ISBN 979-3132-17-5
ROTAN SUMBERDAYA, SIFAT DAN PENGOLAHANNYA
Rotan SUMBERDAYA, SIFAT DAN PENGOLAHANNYA
Osly Rachman Jasni
Osly Rachman Jasni
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KETEKNIKAN KEHUTANAN DAN PENGOLAHAN HASIL HUTAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN KEMENTERIAN KEHUTANAN BOGOR, 2013
a
Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta 1.
Barang siapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masingmasing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000.00, (lima milyar rupiah).
2.
Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
b
ROTAN SUMBERDAYA, SIFAT DAN PENGOLAHANNYA ISBN : 979-3132-17-5 Penyusun
: Osly Rachman Jasni
Penyunting
: Djaban Tinambunan Kurnia Sofyan Hariadi Kartodiharjo
Cetakan pertama Cetakan kedua
: September, 2006 : Desember, 2008
Dipublikasikan : Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Gedung Manggala Wanabakti Blok I Lt. XI Jl. Jend. Gatot Subroto, Jakarta 10270 Telp. (021) 5730398, 5734333, 5730111 Cetakan ketiga
: Juli 2013
Dipublikasikan: Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Jl. Gunung Batu No. 5. Bogor 16610 Telp. (0251) 8633378, 8633413 Website : www.pustekolah.org E-mail : -
[email protected] -
[email protected] Foto-foto
: Osly & Jasni
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, termasuk fotocopy, micro film, dan cetak, tanpa izin penerbit
c
d
KATA PENGANTAR CETAKAN KE-3 Informasi IPTEK tentang produk hasil hutan berupa kayu dan non kayu seperti rotan, bambu, arang, damar serta minyak atsiri terus dinantikan oleh pengguna. Hal ini terlihat dengan semakin banyaknya permintaan masyarakat terhadap hasil-hasil litbang baik berupa buku IPTEK, pedoman teknis maupun terbitan ilmiah lainnya. Dalam rangka memenuhi permintaan tersebut dan untuk mendukung bangkitnya kembali industri rotan di Indonesia, Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (Pustekolah) selaku institusi ilmiah yang melayani masyarakat berupaya untuk menyediakan informasi yang diperlukan diantaranya adalah menyediakan informasi mengenai IPTEK Rotan. Buku: “Rotan, Sumberdaya, Sifat dan Pengolahannya” karya Prof. Dr. Ir. Osly Rachman, MS dan Dra. Jasni, M.Si, mulai dipublikasikan oleh Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (dahulu Pusat Litbang Hasil Hutan), Badan Litbang Kehutanan pada tahun 2006 dan dicetak kembali pada tahun 2008. Sehubungan masih banyaknya permintaan terhadap buku ini dan terbatasnya persediaan, maka Pustekolah memandang perlu untuk menerbitkan kembali buku ini menjadi cetakan ketiga. Pada cetakan ketiga ini dilakukan penambahan materi sesuai dengan perkembangan teknologi rotan sehingga lebih menyempurnakan cetakan sebelumnya. Kami berharap dengan terbitnya buku ini akan lebih memperkaya khasanah IPTEK tentang rotan dan memperluas sasaran pengguna hasil litbang serta memberikan kontribusi bagi tumbuh dan berkembangnya kembali industri rotan yang lebih kompetitif. Bogor,
Juni 2013
Kepala Pustekolah,
Dr. Ir. I.B. Putera Parthama, M.Sc i
ii
SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG Rotan sebagai sumber kekayaan alam yang khas dari hutan tropis sejak lama telah digunakan dalam kehidupan manusia. Indonesia sampai saat ini masih di pandang sebagai negara penghasil rotan terbesar di dunia. Pemanfaatannya yang semakin meningkat dan didukung oleh masukan teknologi yang tepat guna akan dapat meningkatkan nilai tambah rotan. Tetapi peningkatan nilai tambah ini haruslah terdistribusi secara proporsional sejak dari petani/pengumpul, pedagang, pengolah barang setengah jadi sampai kepada pengolah barang jadi di industri. Dengan demikian, diharapkan akan tercipta sistem usaha yang harmonis dan berkesinambungan untuk kesejahteraan masyarakat. Dalam hubungan itu, untuk mencapai tujuan produksi rotan yang lestari dan berdaya saing tinggi diperlukan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi. Buku ini dapat memberikan gambaran tentang potensi, ekologi dan penanaman serta peningkatan efisiensi pemanfaatan rotan baik di hutan maupun industri pengolahan. Atas tersusunnya buku ini saya sampaikan penghargaan kepada Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan tidak lupa saya sampaikan pula penghargaan kepada Prof. Dr.Ir. Osly Rachman, MS dan Dra. Jasni,MSi selaku penyusun. Selanjutnya saya ucapkan terima kasih kepada Prof.Dr.Ir. Djaban Tinambunan, MS, Prof. Dr. Ir. Kurnia Sofyan, MS dan Dr. Ir. Hariadi Kartodiharjo, MS selaku penyunting. Saya harapkan upaya penyebarluasan ilmu pengetahuan dan teknologi rotan dapat mendorong upaya pemanfaatan sumberdaya rotan yang efektif dan efisien menuju terciptanya industri yang berkelanjutan dan berdaya saing tinggi. Jakarta,
September 2006
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Wahyudi Wardoyo.
iii
iv
KATA PENGANTAR Walaupun industri rotan sudah berkembang dengan pesat di Indonesia, namun perkembangan ilmu dan teknologi rotan tidak sepesat produksinya. Bahkan, perkembangannya jauh tertinggal dibandingkan dengan ilmu dan teknologi kayu. Hal ini terutama benar, jika dilihat dari jumlah buku tentang rotan yang tersedia pada khasanah ilmu pengetahuan yang ada saat ini, walaupun rotan merupakan komoditi primadona dan penghasil devisa Indonesia terbesar setelah kayu di sektor kehutanan. Menyadari sepenuhnya akan hal itu, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan yang merupakan salah satu pusat ilmu perkayuan dan kehutanan di Indonesia merasa terpanggil dan berkewajiban untuk menghimpun dan menyusun suatu rangkaian tulisan ilmiah tentang rotan yang pernah dikaji dan diteliti baik oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan maupun institusi lain di dalam maupun mancanegara agar materi tersebut dapat tersaji dalam bentuk yang sistematis dan komprehensif. Kami menyambut gembira atas penerbitan Buku Rotan Sumberdaya Sifat dan Pemanfaatannya ini dan menghargai upaya Saudara Prof. Dr. Ir. Osly Rachman, MS dan Dra. Jasni, MSi selaku penyusun dan Prof. Dr. Ir. Djaban Tinambunan, MS selaku penyunting. Kepada semua pemakai buku ini yang telah memberikan saran perbaikan dan kelengkapan isinya kami mengucapkan terima kasih. Buku ini hendaknya bermanfaat bagi peneliti, ilmuwan, praktisi, perencana dan perumus kebijakan serta pengambil keputusan di bidang rotan di Indonesia di masa kini maupun masa datang. Segala saran dan kritik demi kesempurnaan buku ini akan diterima dengan senang hati. Sekian dan terima kasih. Sekian dan terima kasih. Bogor, Desember 2008 Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan
Dr. Ir. Maman Mansyur Idris, MS.
v
vi
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR CETAKAN KE-3 .........................................
i
SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG ...................................
iii
KATA PENGANTAR
.........................................................................
v
DAFTAR ISI ...........................................................................................
vii
DAFTAR TABEL ..................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR .............................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................
xiii
I.
PENDAHULUAN ..........................................................................
1
II. ROTAN SEBAGAI SUMBERDAYA HUTAN .......................
5
A. Jenis dan Penyebaran ............................................................
5
B.
Ekologi ....................................................................................
8
C.
Penanaman dan Pemanenan
.............................................
10
..............................................................
14
A. Potensi Nasional .....................................................................
14
B.
Inventarisasi ..............................................................................
17
IV. SIFAT DASAR ROTAN ..............................................................
21
III. POTENSI PRODUKSI
A. Ciri–Ciri Umum
V.
....................................................................
21
B.
Struktur Anatomi ....................................................................
24
C.
Komposisi Kimia ....................................................................
31
D. Sifat Fisis dan Mekanis ..........................................................
34
E.
Keawetan ...................................................................................
43
PENGOLAHAN ROTAN ...........................................................
46
A. Penanganan Bahan Baku Rotan di Hutan ..........................
46
B.
Pengolahan Rotan Bahan Mentah .........................................
49
C.
Pengolahan Barang Setengah Jadi .......................................
63
D. Pengolahan Barang Jadi Rotan ..............................................
71 vii
VI. PENGAWETAN ROTAN .............................................................
73
A. Organisme Perusak Rotan ...................................................
73
B.
Bahan Pengawet .....................................................................
76
C.
Pengawetan ............................................................................
79
VII. STANDARISASI MUTU .............................................................
85
A. Uji Visual .................................................................................
85
B.
......................................................................
91
...................................................................................
93
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................
94
Mutu Rekayasa
VIII. PENUTUP
viii
DAFTAR TABEL Tabel 1.
Penyebaran pertumbuhan rotan di Asia ...........................
6
Tabel 2.
Penyebaran pertumbuhan jenis rotan di Indonesia .........
7
Tabel 3.
Potensi produksi rotan tebang lestari pada 20 daerah di Indonesia ..........................................................................
16
Tabel 4.
Potensi rotan per jenis di Poso ..........................................
19
Tabel 5.
Deskripsi jenis rotan hasil inventarisasi
........................
20
Tabel 6.
Potensi kelompok jenis rotan di Kalimantan Timur ......
20
Tabel 7.
KIP beberapa jenis rotan (buah/mm²) ............................
23
Tabel 8.
Komposisi kimia rotan dan kayu ......................................
33
Tabel 9.
Kadar air rata–rata rotan segar dan pada kondisi kering udara di daerah Bogor ........................................................
36
Tabel 10. Hubungan antara proporsi relatif pori, serat dan parenkim dengan berat jenis .............................................
38
Tabel 11. Hubungan antara jumlah sel schlerenchyma dan kekuatan tarik rotan .............................................................................. 41 Tabel 12. Struktur anatomi tiga jenis rotan dari Kerala, India .......
42
Tabel 13. Kriteria kelas keawetan rotan terhadap bubuk ...............
44
Tabel 14. Kelas ketahanan rotan terhadap serangan bubuk rotan kering (Dinoderus minutus Farb) ............................................
44
Tabel 15. Kriteria kelas keawetan rotan terhadap bubuk ................
45
Tabel 16. Kriteria kelas keawetan rotan terhadap rayap tanah ........
45
Tabel 17. Rendemen rotan sega, jahab dan jermasin pada kondisi pembelahan basah dan kering (%) ....................................
57
Tabel 18. Hasil pengeringan alami dengan tiga perlakuan terhadap rotan ukuran besar yang sudah digoreng .........................
59
Tabel 19. Kecepatan pengeringan rotan Kerik .................................
60
Tabel 20. Pengeringan rotan dengan kilang pengering. ...................
62
ix
Tabel 21. Jenis bahan pengawet untuk rotan
..................................
80
Tabel 22. Kelas efikasi bahan pengawet ...........................................
81
Tabel 23. Derajat proteksi bahan pengawet ......................................
82
Tabel 24. Syarat khusus untuk mutu rotan asalan ...........................
86
Tabel 25. Syarat khusus untuk mutu rotan bundar WS ....................
87
Tabel 26. Standar mutu rotan bulat WS .............................................
88
Tabel 27. Persyaratan mutu rotan belahan kupasan .........................
88
Tabel 28. Persyaratan mutu rotan kikis buku ....................................
89
Tabel 29. Persyaratan mutu rotan bundar kupasan .........................
89
Tabel 30. Persyaratan mutu kulit rotan ..............................................
90
Tabel 31. Persyaratan khusus mutu hati rotan ..................................
90
Tabel 32. Persyaratan khusus mutu anyaman rotan ........................
91
x
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.
Tanaman rotan dan buah rotan di hutan tropika ........
9
Gambar 2.
Bibit rotan manau (Calamus manan) dan sega (C. caesius) berumur 12 bulan yang siap dipindahkan ke tempat penanaman. ..............................
11
Gambar 3.
Batang rotan
...................................................................
22
Gambar 4.
Struktur anatomi mikro batang rotan .........................
25
Gambar 5.
Yellow Caps pada rotan Sampang (Korthalsia junghunii)
26
Gambar 6.
Tipe struktur sel parenkim dasar pada penampang lintang dan longitudinal ...................................................
27
Foto penampang lintang ikatan pembuluh (Linda Idrawati, 1993) Pembesaran 100 x ................
28
Gambar 8.
Diagram ikatan pembuluh (Weiner dan Liese, 1990) .
29
Gambar 9.
Dinding sel pembuluh pratoxylem yang khas berbentuk spiral (Pembesaran 100 X) ...........................
30
Ganbar 10. Grafik hubungan antara defleksi dan beban pada uji lentur statik rotan (b) dan kayu (a) .................................
39
Gambar 11. Pengujian lentur statik rotan pada mesin uji ................
40
Gambar 12. Penumpukan rotan di tempat pengumpulan sementara ditepi hutan. ....................................................
48
Gambar 13. Bagan alir pengolahan bahan mentah rotan besar (Keterangan:*) kulit terkelupas,retak/pecah,serangan jamur/insekta ...................................................................
50
Gambar 14. Unit penggorengan rotan ...............................................
51
Gambar 15. Grafik hubungan waktu penggorengan dengan kadar air (A), kecerahan warna (B) dan keteguhan rotan (C).
54
Gambar 16. Bagan alir pengolahan bahan mentah rotan kecil .......
56
Gambar 17. Pengeringan rotan secara alami ......................................
58
Gambar 18. Perilaku penurunan kadar air rotan selama pengeringan .
61
Gambar 7.
xi
Gambar 19. Rumah asap .......................................................................
63
Gambar 20. Bagan alir pengolahan barang setengah jadi rotan besar
64
Gambar 21. Bagan alir pengolahan barang setengah jadi rotan kecil
65
Gambar 22. Hasil produk yang sudah diputihkan ...........................
68
Gambar 23. Jenis kerusakan rotan pada proses pembengkokan (Setiadji, 1977) ...................................................................
69
Gambar 24. Bagan alir pengolahan barang jadi .................................
72
Gambar 25. Tumpukan rotan segar yang diserang jamur pewarna dan pelapuk ......................................................................
75
Gambar 26. Serangan bubuk rotan kering pada rotan. Lyctus sp dan Dinoderus sp (atas), Heterobostrychus aequalis (bawah) ...............................................................................
76
Gambar 27. Hubungan MOE dengan lentur maksimum dan garis batas mutu rekayasa rotan ...............................................
92
xii
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Daftar jenis rotan Indonesia ......................................... 105 Lampiran 2. Jenis rotan komersial dan penyebarannya di Indonesia 120 Lampiran 3. Jenis alternatif rotan pengganti rotan komersial ........ 123 Lampiran 4. Jenis-jenis rotan berdiameter besar (>18 mm) di Indonesia ......................................................................... 124 Lampiran 5. Jenis rotan dan hasil inventarisasi di Kalimantan Timur tahun 1981 ........................................................... 126 Lampiran 6. Komposisi sel dan dimensi serat rotan
..................... 128
Lampiran 7. Ukuran rata-rata struktur anatomi rotan (um) ........... 129 Lampiran 8 . Komponen kimia utama penyusun rotan (%) ............ 130 Lampiran 9. Sifat fisis dan mekanis rotan ........................................ 132 Lampiran 10. Sifat pelengkungan rotan .............................................. 134 Lampiran 11. Kelas ketahanan rotan terhadap serangan bubuk rotan kering (Dinoderus mintus Fabr.) ........................ 136 Lampiran 12. Kelas ketahanan rotan terhadap serangan rayap tanah (Coptotermes curvignathus) .................................................. 137 Lampiran 13. Persentase susut berat dan volume pada tiap tahap proses pengolahan rotan besar ..................................... 139 Lampiran 14. Persentase susut berat dan volume pada tiap tahap proses pengolahan rotan kecil. ...................................... 140
xiii
xiv
I. PENDAHULUAN Rotan yang di dalam dunia perdagangan mancanegara disebut sebagai rattan, konon berasal dari bahasa Melayu, yaitu rautan yang asal katanya adalah raut. Rautan mempunyai arti kurang lebih benda yang diperoleh dengan cara meraut, mengupas, melicinkan, biasanya dengan pisau atau parang yang tajam. Benda yang diraut akan menjadi lebih tipis, lebih pipih atau lebih bulat sesuai kemauan peraut. Benda-benda tersebut selanjutnya dapat dijadikan tali pengikat atau dirakit menjadi barang yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga seperti berbagai macam tikar, kursi, meja dan aneka keranjang. Secara jelas belum diketahui kapan rotan mulai dieksploitasi dari hutan alam untuk dimanfaatkan baik sebagai perabot rumah tangga maupun sebagai komoditi yang diperdagangkan di mancanegara. Namun hampir dapat dipastikan bahwa pemanfaatan rotan diawali oleh bangsa Melayu di Indochina atau Hindia Belakang, yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand dan Pilipina. Hyene (1950) menyebutkan bahwa sejak pertengahan abad–19 masyarakat Dayak di Kalimantan telah mengenal teknologi penanaman rotan, yaitu di sekitar daerah pasir (Tanah Grogot), di tepi sungai Barito, di sisi sungai Kahayan dan di sekitar Sampit. Penanaman rotan di daerah itu masih berlangsung sampai saat ini. Sejak dahulu sampai sekarang Indonesia dikenal sebagai pemasok rotan terbesar di dunia. Akan tetapi pada masa lalu keuntungan yang diperoleh dari sumber daya rotan ini lebih banyak dinikmati oleh negara importir, terutama Singapura, Hongkong dan Taiwan. Negara ini pernah tercatat sebagai tujuan ekspor terbesar (90%) Indonesia dalam bentuk rotan asalan. Di negara-negara itu, dengan penerapan teknologi pengolahan rotan asalan secara sederhana, yaitu penggorengan, penggosokan, pencucian, pengeringan, pengasapan dan sortasi maka negara-negara tersebut mendapatkan nilai tambah rotan menjadi berlipat ganda (Rachman, 1979; Anonim, 1988). Kebijakan pertama tentang rotan yang dikeluarkan pemerintah Republik Indonesia diawali pada tahun 1979, yaitu pelarangan ekspor rotan asalan. Hal ini mengingat rotan sebagai komoditi hasil hutan non kayu yang pemungutannya dilakukan oleh rakyat dipandang sebagai komoditi primadona dan mampu menyumbangkan devisa terbesar kedua setelah kayu di sektor kehutanan. Selain itu, teknologi pengolahan awal (lepas panen) telah mampu dilakukan di dalam negeri untuk meningkatkan nilai tambah pada produk rotan. Nilai tambah tersebut
1
akan dapat memberikan dampak positif terhadap peningkatan pendapatan petani dan pemungut rotan (trickle down effect). Masa itu adalah zaman keemasan bagi petani rotan di Kalimantan serta para pemungut dan pengumpul rotan di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi karena mereka mengekspor rotan dalam bentuk rotan bulat kering berkulit (rattan cane) atau disebut juga rotan wash and sulphurized (W&S). Zaman keemasan rotan di tingkat hulu berakhir ketika pelarangan ekspor rotan bahan mentah (termasuk rotan asalan) dan barang setengah jadi rotan dikeluarkan pada tahun 1989 dan tahun 1990. Kebijakan tersebut tampaknya mampu meningkatkan produksi bahan baku rotan Indonesia sampai sekitar 250.000 ton per tahun. Bahan baku tersebut seluruhnya telah diolah dalam negeri dan tidak kurang dari 100.000 ton pertahun diekspor dalam bentuk barang jadi rotan dengan nilai US$ 300 – 400 juta per tahun. Pada pertengahan dekade 90-an Indonesia telah menguasai hampir 60% nilai ekspor barang jadi rotan negara-negara ASEAN (Hartono, 1988). Sayangnya, perkembangan industri pengolahan hampir seluruhnya terpusat di pulau Jawa. Sedangkan, daerah di luar pulau Jawa sebagai penghasil bahan baku rotan hanya mampu mengolah rotan sampai menjadi rotan asalan dan rotan bulat. Karena tidak boleh ekspor, maka industri di pulau Jawa seolah-olah memonopoli harga rotan bahan mentah. Akibatnya, posisi tawar-menawar pihak pemasok bahan mentah menjadi rendah dan posisi yang paling lemah ada pada pemungut/petani dan pengumpul rotan di pedesaan, sehingga harga rotan di tingkat ini sangat rendah. Dengan adanya hasil kesepakatan General Agreement on Trade and Tariffs (GATT) putaran Uruguay, tahun 1992 maka larangan ekspor rotan Indonesia mendapat sorotan, sehingga larangan ekspor tersebut berubah menjadi ekspor rotan dengan pajak tinggi. Adanya arus reformasi tahun 1998 dan sorotan internasional maka setelah akhir dekade 90-an sampai awal abad-21 larangan ekspor rotan menjadi longgar yang pada pokoknya mempertimbangkan segi kesejahteraan pemungut/petani dan pengumpul rotan, kelestarian sumberdaya rotan dan keberlanjutan industri pengolahan rotan. Sampai kapanpun, tampaknya mebel rotan atau perabot rumah tangga lainnya yang terbuat dari rotan akan tetap disukai orang. Sifat khas, unik dan eksotis yang dimiliki rotan belum bisa disubstitusi oleh kayu, plastik atau metal bahkan dengan rotan tiruan, seperti yang dilakukan oleh negara Taiwan pada dekade 80-an melalui teknologi perekatan limbah dari venir tolakan (rejected). Keunikan rotan terletak pada kemampuannya yang khas dalam menampilkan rasa artistik yang
2
sangat alami sehingga menimbulkan rasa bangga memilikinya. Selain itu, perabot rotan memberikan kesan rileks dan informal serta sifat bersahabat pemiliknya. Di samping sifatnya yang demikian unik, secara ekonomis, perabot rotan bila dibandingkan dengan barang lain dengan fungsi yang sama ternyata harganya jauh lebih murah dan secara fisik perabot rotan lebih ringan sehingga mudah dipindahkan baik letak maupun posisinya. Walaupun rotan sebagai produk manufaktur telah berkembang dengan pesat, namun demikian perkembangan ilmu dan teknologi rotan tidak sepesat produknya, terutama pada spek teknologi pengolahannya. Bahkan perkembangannya jauh tertinggal dibandingkan dengan ilmu dan teknologi kayu walaupun kedua material ini sama-sama bahan berkayu (berlignoselulosa) dan berasal dari sumberdaya yang sama, yaitu hutan. Tanaman rotan hanya tumbuh di daerah lingkar tropis dengan persebaran di negara-negara berkembang. Oleh karena itu, buku-buku teks yang berasal dari negara maju umumnya menguraikan tentang kayu softwood dan hardwood. Sedangkan kelas Monocoyiledons, suku Palmeae tidak banyak ditemui, terutama tentang pemanfaatanya. Bahkan, suku ini dianggap inferior dan disebut sebagai hasil hutan bukan kayu atau ikutan atau sekunder, di sisi lain kayu softwood dan hardwood sebagai hasil hutan primer atau utama. Kesan semacam ini banyak ditemui dalam tulisan atau buku teks. Oleh karena itu, penulisan buku ini bertujuan untuk memacu perkembangan ilmu dan teknologi rotan di Indonesia, yaitu daerah dimana rotan memiliki keanekaragaman jenis paling tinggi dan memproduksi rotan paling banyak di dunia. Dalam buku ini diuraikan tentang rotan sebagai salah satu komoditi sumberdaya hutan, potensi poduksi, sifat dasar, teknologi pengolahan termasuk pengawetan dan standarisasi mutu rotan. Materi rotan sebagai sumber daya membahas tentang jenis dan penyebaran rotan di dunia maupun Indonesia, ekologi rotan dan penanaman sampai pemanenan. Pada potensi produksi disajikan potensi nasional rotan termasuk perkembangan produksi dan inventarisasi termasuk teknik inventarisasi serta penentuan jatah tebang lestari. Pada sifat dasar diuraikan ciri-ciri umum tiap jenis rotan, struktur anatomi makro dan mikro, komposisi kimia, sifat fisis-mekanis dan keawetan. Dalam bidang pengolahan didiskusikan tentang penanganan rotan di hutan, pengolahan rotan mentah, setengah jadi dan barang jadi baik untuk rotan kecil maupun rotan besar. Dalam teknologi pengawetan dibahas organisme perusak rotan, bahan pengawet dan cara-cara pengawetan. Adapun materi standarisasi mutu meliputi standarisasi mutu visual untuk
3
rotan asalan, rotan mentah, setengah jadi dan barang jadi. Pada bagian akhir materi ini diulas pula tentang standarisasi mutu rekayasa pada rotan.
4
II. ROTAN SEBAGAI SUMBERDAYA HUTAN Seluruh jenis rotan tumbuh di permukaan bumi diperkirakan 850 jenis. Penyebaran tumbuhan rotan mulai di kepulauan Fiji di Timur sampai ke Afrika tropis di bagian Barat dan mulai dari Australia Utara sampai daerah Cina Selatan. Pusat pertumbuhan rotan paling banyak ditemui di Asia Selatan. Di wilayah ini terdapat sekitar 614 jenis rotan dan 312 jenis diantaranya tumbuh di Indonesia. Secara umum rotan tumbuh baik didaerah hutan hujan tropika, baik pada hutan primer maupun hutan sekunder pada ketinggian sampai dengan 1500 meter di atas permukaan laut. Dalam upaya pelestarian sumberdaya rotan di Indonesia, masyarakat telah melakukan penanaman rotan baik secara tradisonal maupun secara komersial. A. Jenis dan Penyebaran Semua bahan berkayu yang dipakai sehari-hari adalah produk dari tanaman yang termasuk sub-divisi Gymnospermae dan Angiospermae. Dari sub-divisi Gymnospermae yang banyak menghasilkan kayu berasal dari kelas Coniferales (kayu conifer atau softwood). Sedangkan dari sub-divisi Angiospermae terbagi menjadi dua kelas, yaitu Monocotyiledons dan Dicotyledons. Dari kelas Dicotyledons dihasilkan kayu-kayu daun lebar (hardwood). Adapun rotan berasal dari subdivisi angiospermae, kelas monokotyledons, ordo palmales dan famili palmeae. Famili palmeae ini terdiri dari 6 sub-famili, rotan termasuk ke dalam sub-famili lepidocaryoid atau calamoideae (Uhl dan Dransfield, 1987). Sub-famili ini secara keseluruhan memiliki 22 genera dengan ciri khas buahnya bersisik. Akan tetapi hanya 13 genera yang termasuk tumbuhan rotan dengan ciri khas batang memanjat, kelopak dan daun berduri, buah bersisik serta mempunyai flagela atau cirus. Seluruh jenis tumbuhan rotan yang terdapat di dunia ini diperkirakan sekitar 850 jenis (Dransfield,1984 ; Weiner dan Liese,1990) Pusat penyebaran tumbuhan rotan adalah Asia Tropis, terutama di Asia Tenggara. Di daerah ini ditemui 10 genera yang meliputi 85% dari seluruh jenis rotan yang tumbuh di muka bumi ini. Sisanya, 15% tumbuh di Fiji, Papua Nugini, Australia Utara dan Afrika Tropis bagian Barat. Di daerah yang disebut terakhir ini terdapat 3 genera endemik, yaitu Eremospatha, Laccosperma dan Oncocalamus. Mogea (1990) menyatakan bahwa di Asia Selatan terdapat sekitar 614 jenis rotan. Dari jumlah ini ternyata di Indonesia tumbuh sebanyak
5
314 jenis yang berasal dari 8 genera (Lampiran 1) dan satu genus di antaranya adalah endemik Indonesia, yaitu Cornera. Dari jenis yang ada di Indonesia, 51 jenis di antaranya dilaporkan oleh Sumarna (1996) sebagai jenis-jenis rotan komersial (Lampiran 2), sedangkan 13 jenis rotan kurang dikenal dapat digunakan sebagai alternatif pengganti rotan komersial (Lampiran 3). Apabila dibandingkan dengan beberapa negara-negara di Asia Tenggara, Indonesia merupakan negara paling kaya akan sumberdaya rotan. Di Semenanjung Malaysia terdapat 146 jenis dari 7 genera dan 20 jenis di antaranya dilaporkan sebagai jenis komersial. Di Thailand terdapat 70 jenis dari 6 genera dimana 10 jenis termasuk jenis komersial. Di Philipina terdapat 70 jenis dari 4 genera dan 10 jenis di antaranya dipungut sebagai jenis komersial (Tabel 1). Badhwar (1961) melaporkan, bahwa di India ditemukan sekitar 37 jenis dari 3 genera dan 10 jenis di antaranya merupakan jenis-jenis rotan komersil (seluruhnya dari genus Calamus). Tabel 1. Penyebaran pertumbuhan rotan di Asia Jenis yang tumbuh di Seluruh SemenanGenera jenis di Lao Indonesia Pilipina jung Thailand Brunei Asia PDR Malaysia 1. Calamus 400 192 48 96 48 75 25 2. Ceratalobus 6 7 2 5 3. Cornera 1 1 2 4. Daemonorops 155 78 14 35 12 44 2 5. Kortehalsia 26 25 6 8 3 12 3 6. Myrialepsis 1 2 1 1 1 7. Plectocomia 16 5 2 1 6 4 5 8. Plectocomiopsis 5 2 3 1 4 1 9. Pogonotium 3 3 10. Retisphata 1 1 Jumlah 614 312 70 149 70 149 37
Sumber : Data diolah dari Dransfield (1974); Vongkaluang (1984); Salita (1984); Sumarna (1986) dan Mogea (1990); Nangkat et.al. (1997); Evans et.al. (2001)
Untuk mengetahui penyebaran jenis-jenis rotan yang tumbuh di berbagai wilayah di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2. Jenis-jenis rotan
6
yang paling banyak ditemui di Kalimantan ada 133 jenis, kemudian menyusul berturut-turut di Sumatera, Irian Jaya, Sulawesi, Jawa, Maluku, dan paling sedikit di NTB dan NTT (hanya 2 jenis). Apabila Tabel 2 diperhatikan lebih seksama, diketahui bahwa di Indonesia terdapat jenisjenis epidemik, yaitu jenis-jenis dari genera: Calamus (15 jenis), Ceratalobus (2 jenis), Cornera (1 jenis), Daemonorops (4 jenis), Korthalsia (5 jenis) dan Plectocomia (1 jenis). Sedangkan, jenis-jenis endemik sebanyak 2 jenis berasal dari genus Myrialepsis yang hanya tumbuh di Kalimantan dan Sumatera; dan genus Plectocomia sebanyak satu jenis yang hanya tumbuh di Sumatera. Tabel 2. Penyebaran pertumbuhan jenis rotan di Indonesia Wilayah
Jumlah Calamus
Cerata lobus
Cornera
Daemonorops
Korthalsia
Myri- PlectoP´miopsis liepsis comia
Kalimantan
133
75
4
1
37
15
1
-
-
Sumatera
82
33
3
1
28
10
1
4
2
Irian Jaya Sulawesi Jawa Maluku NTB + NTT Jumlah 1)
47 35 30 11 2
45 27 18 7 2
2 -
-
7 6 4 -
2 1 2 -
-
2 -
-
340
207
9
2
82
30
2
6
2
Jumlah 2) Jumlah 3)
312 28
192 15
7 2
1 1
78 4
25 5
2 0
5 1
2 0
Sumber
: Data diolah dari Dransfield (1974) dan Sumarna (1986).
Keterangan
: 1) Terdapat lebih dari satu species yang sama dalam wilayah yang berbeda; 2) Jumlah species yang ada secara nasional; 3) Banyaknya species yang sama menyebar pada beberapa wilayah (jenis-jenis epidemik)
Seperti tampak pada Tabel 2, apabila spesies yang tumbuh pada masing-masing wilayah dijumlahkan diperoleh sebanyak 340 spesies (Jumlah 1). Namun, jumlah spesies yang tercatat secara nasional adalah 312 spesies. Dengan demikian, terdapat selisih sebanyak 28 spesies, yaitu spesies-spesies yang tumbuh secara epidemik di beberapa wilayah. Berdasarkan ukuran diameter batangnya, seluruh jenis rotan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu rotan besar dan rotan kecil. Kelompok rotan besar atau disebut juga rotan berdiameter besar adalah jenis-jenis rotan yang diameter batangnya lebih besar dari 18 mm. Jenisjenis yang termasuk kedalam kelompok ini dan sering dijumpai dalam
7
perdagangan antara lain manau (Calamus manan), batang (C. ornatus), semambu (C. scipionum) dan unbut (Daemonorop macroptera). Rotan besar biasanya digunakan untuk pembuatan rangka mebel atau komponen struktural lainnya. Rotan kecil atau disebut juga rotan berdiameter kecil adalah rotan yang diameter batangnya kurang dari atau sama dengan 18 mm. Jenis-jenis yang termasuk kelompok ini dan sudah umum dikenal di antaranya sega (C. caesius), pulut (C.impar), irit (C. trachayecoleus) dan jermasin (C. leijocaulis). Rotan kecil digunakan sebagai bahan anyaman atau komponen pengisi dalam barang jadi. B. Ekologi Rotan secara umum tumbuh baik di daerah hutan hujan tropika (Gambar 1). Di dunia, rotan tumbuh menyebar mulai dari Kepulauan Fiji di Timur sampai ke Afrika di Barat, Cina Selatan di Utara sampai ke Australia Utara di Selatan. Walaupun demikian wilayah Asia Tenggara, terutama di Indonesia, dijumpai paling banyak jenis rotan. Indikator yang penting untuk tempat tumbuh rotan, yaitu: areal hutan yang memiliki kelembaban tinggi (± 60%), areal bekas tebangan hutan (secondary forest), semak belukar dan tersedianya pohon penyangga diantaranya, yaitu kayu huru (Litsea sp.), meranti (Shorea spp. dan Hopea spp.), rasamala (Altingia excelsa), karet (Havea braziliensis) dan lain-lain. Rotan tumbuh merambat dan dapat mencapai 100 meter atau lebih (Alrasyid, 1989). Berdasarkan cara pertumbuhannya, rotan dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu yang tumbuh berumpun (cluster), tumbuh tunggal (soliter) dan tumbuh berumpun dengan batang bercabang. Rotan yang disebut pertama umumnya adalah rotan berdiameter kecil seperti rotan sega (Calamus cesius), irit (C. trachycoleus), jermasin (C. leijocaulis) dan lain-lain yang tumbuh berkelompok di tepi sungai. Bagian batang yang tertutup lumpur dapat bertunas dan menghasilkan batang baru pada setiap bukunya. Namun, jenis-jenis rotan besar ada juga yang tumbuh berumpun seperti seuti (C. ornatus), balukbuk (C. burckianus), pelah (Daemonorop rubra) dan seel (D. melanochaetes). Adapun yang tumbuh tunggal seperti manau (C. manan) hanya menghasilkan satu batang sepanjang hidupnya dan berkembang biak terutama melalui biji. Adakalanya daging buahnya terlebih dahulu telah dimakan hewan hutan, kemudian berkecambah dan tumbuh. Rotan yang tumbuh berumpun dengan batang bercabang adalah rotan sampang (Korthalsia tysmanii) yang banyak dijumpai tumbuh di Jawa Barat yaitu di sekitar Gunung Salak.
8
Gambar 1. Tanaman dan buah rotan di hutan tropika
Alrasyid dan Dali (1986) menyatakan bahwa sampai saat ini belum ada hasil penelitian yang dapat menunjukkan adanya hubungan yang jelas antara tempat tumbuh dengan tipe flora rotan. Namun demikian secara umum rotan dapat tumbuh di hutan primer maupun sekunder, pada lereng-lereng bukit, di sepanjang pinggir sungai, dan pada tanah podsolik atau aluvial. Daya toleransi terhadap ketinggian sangat luas, yaitu dari 0 – 2.900 meter di atas permukaan laut (d.p.l.). Sungguhpun demikian, akumulasi pertumbuhan umumnya dijumpai pada ketinggian 0 – 1.500 meter d.p.l. dengan kondisi curah hujan tidak kurang dari 2.000 mm/tahun, kelembaban udara sekitar 40 – 60% dan intensitas cahaya untuk pertumbuhan 20 – 50%. Dari Sulawesi dilaporkan bahwa akumulasi pertumbuhan ditemukan pada ketinggian sekitar 600 meter d.p.l. Adapun di tanah liat berpasir dan secara periodik digenangi air disenangi oleh pertumbuhan balukbuk (Calamus burckiamus), sega-air (C. axillaris) atau irit (C. trachycoleus). Sebaliknya, jenis-jenis seperti manau (C. manan) dan sega (C. caesius) umumnya tumbuh pada lahan kering. Suatu kenyataan yang ditemui di lapangan ialah bahwa di daerah pegunungan yang berbatu kapur hanya tumbuh jenis manau-padi (C. marginatus, Kalimantan) dan pada rawa gambut hanya tumbuh jenis rotan
9
dahan atau andung (Korthalsia flagellaris). Daerah-daerah semacam ini miskin akan jenis-jenis rotan. C. Penanaman dan Pemanenan Penanaman rotan telah dilakukan baik secara tradisional maupun komersial. Penanaman secara tradisional pertama kali dengan jenis sega (Calamus caesius) dan irit (C. trachycoleus) telah berhasil dilakukan di beberapa daerah di Kalimantan pada tahun 1850. Kemudian tahun 1929 dan 1939 dilakukan pula penanaman jenis yang sama di daerah Kutai (Heyne, 1950; Nandika, 1939 dan Tuil, 1929). Pada tahun 1979 dilakukan percobaan pananaman rotan manau (C. manan) di pulau Jawa oleh Lembaga Penelitian Hutan, Departemen Pertanian. Penanaman secara komersial dengan areal yang relatif luas dimulai pada dekade 80–an yang didorong oleh kekhawatiran semakin menipisnya sumber daya rotan dari hutan alam. Di pulau Jawa penanaman rotan secara komersial oleh Perum Perhutani dimulai tahun 1983. Hasil penanaman sejak tahun 1983 – 1992 telah mencapai areal 33.000 Ha yang terdiri dari jenis manau, sega, irit dan jenis-jenis lokal. Dalam teknik penanaman rotan, berkembang suatu teori yang kuat, bahwa pananaman rotan di areal tempat tumbuhnya, ditinjau dari segi ekologis memberi tingkat keberhasilan yang tinggi. Karena itu, untuk pembuatan tanaman rotan sebaiknya dilakukan di areal di mana rotan secara alami tumbuh baik. Dengan perkataan lain, penanaman rotan disesuaikan dengan tempat tumbuhnya. Namun demikian, untuk penanaman rotan yang baik masih diperlukan percobaan pendahuluan untuk mencari kendala-kendala yang mungkin timbul (Dransfield, 1974). Bibit untuk penanaman rotan dapat dipakai bibit liar yang berasal dari permudaan alam atau dari biji yang diunduh. Apabila memakai biji, maka biji tersebut harus disemaikan dahulu sebelum ditanam di lapangan. Buah rotan yang telah diunduh, lalu diremuk dan dibiarkan selama 1 – 2 hari, agar kulit buahnya meluruh sehingga perikarp dan daging buahnya dapat dibuang dengan mudah. Biji selanjutnya dicuci sampai bersih dan dimasukkan kedalam kantong plastik (ukuran 40 x 60 cm) atau karung untuk disimpan selama 2 – 3 hari. Perkecambahan biji dapat dilakukan di petak persemaian (ukuran 1m x 5 m) atau langsung di polibek (kantong plastik ukuran 15 cm x 20 cm). Media perkecambahan terdiri dari campuran bunga tanah, gambut dan pasir halus dengan perbandingan 7 : 3 : 2. Sebelum biji berkecambah,
10
bedengan penaburan biji diberi naungan dan disiram setiap hari. Setelah kecambah umur sekitar 1 – 2 bulan, adalah saatnya untuk dipindahkan ke petak penyapihan atau ke polibek. Jarak tanam dipetak penyapihan adalah 30 x 30 cm. Setelah bibit mencapai umur sekitar 9 – 12 bulan (tinggi 40 – 50 cm) dapat dipindahkan ke tempat penanaman (Gambar 2.). Jarak tanam di lapangan dapat dipakai 5 x 5 m, 10 x 10 m atau 20 x 20 m (Alrasyd, 1989; Sumarna dan Kosasih, 1997).
Gambar 2.
Bibit rotan manau (Calamus manan) dan sega (C. caesius) berumur 12 bulan yang siap dipindahkan ke tempat penanaman.
Pemeliharaan tanaman di lapangan dilakukan secara teratur sekurang-kurangya setiap 6 bulan yaitu sampai rotan berumur 3 tahun. Caranya adalah membersihkan jalur tanam selebar 1 m agar rotan muda mendapatkan cahaya cukup. Penyiangan tanaman dilakukan 3 – 4 kali dalam setahun. Bila hendak memupuk rotan dapat dilakukan sampai rotan berumur 3 tahun. Setelah berumur 3 tahun pemeliharaan cukup sekali setahun. Hama tanaman rotan adalah belalang dan kumbang (dari kelompok Rhyncophorus dan Macrocyrus) yang menyerang daun-daun yang masih muda, serta kera dan bajing yang biasanya memakan umbut atau pucuk daun muda. Penyakit tanaman rotan biasanya disebabkan oleh sejenis jamur (Pestalosia sp) yang menyerang daun dan menyebabkan pembusukan pada pangkal batang. Sejenis virus diketahui menyerang tunas-tunas muda yang mengakibatkan tumbuhan rotan menjadi kerdil.
11
Untuk mencegahnya dapat dilakukan dengan cara penyemprotan dengan insektisida atau dengan fungisida (Anonim, 2005). Pada dasarnya, pemanenan rotan dilakukan semakin tua akan semakin baik. Namun, pemanenan sebaiknya dilakukan setelah rotan masak tebang. Umur panen rotan masak tebang yang telah diketahui hanya terbatas pada rotan-rotan yang telah lama dibudidayakan, yaitu rotan irit, taman, pulut dan manau. Panen pertama kali umumnya dilakukan pada umur 6 – 8 tahun untuk rotan berdiameter kecil, sedangkan untuk rotan berdiameter besar antara 12 – 15 tahun. Rotan irit (Calamus trachycoleus) di Dedahup, Kalimantan mulai dipungut pada umur 7 – 8 tahun, sebanyak empat kali pemungutan dalam jangka waktu 2 – 3 tahun. Pemungutan pertama menghasilkan 7 ton rotan basah/Ha (kerapatan 100 rumpun/Ha) dan selanjutnya menghasilkan masingmasing 9 ton, 10 ton dan 8 ton tiap kali panen. Untuk rotan besar berbatang tunggal pemanenan hanya satu kali, kemudian dilakukan penanaman kembali (Menon, 1979; Alrasyid, 1989; Sumarna dan Kosasih, 1997). Di Katingan jenis rotan irit (Calamus trachycoleus) dipungut setelah berumur 7 tahun, selanjutnya ditebang lagi selang 2 tahun selama 24 tahun. Rotan sega (C. caesius) dan rotan manau (C. Manan) daur optimumnya 25 tahun, sedangkan rotan taman (C. optimus) daurnya 10 tahun. Dalam satu hektar kebun rotan yang terawat baik dapat menghasilkan 7,5 ton rotan basah dalam setiap kali panen. Bagi rotan alam yang tidak diketahui umurnya, ciri-ciri pohon rotan yang telah masak tebang adalah apabila kelopak atau daunnya atau selundang pada batang bagian bawah sudah rontok, sebagian daunnya sudah mengering dan bewarna kekuning-kuningan. Untuk rotan berdiameter kecil, tanda-tanda tersebut dapat muncul setelah rotan berumur sekitar 7 tahun sedangkan pada rotan berdiameter besar pada umur 15 – 20 tahun. Penebangan rotan masih dikerjakan secara tradisional, yaitu dengan cara, dengan parang dibagian bawah batang lalu seluruh batang diupayakan dapat dilepaskan dari pohon inang atau rumpunnya dengan cara ditarik oleh penebang. Keterbatasan kemampuan penarikan dapat menyebabkan batang rotan putus atau terpaksa diputuskan dan tertinggal pada pohon inang sebagai limbah penebangan. Besarnya limbah yang terjadi pada penebangan secara tradisional adalah 12,6 – 28,5 %. Tetapi dengan menggunakan alat tirfor dan lir (semacam alat bantu penarikan rotan) limbahnya adalah 4,1 – 11,1 %. Besarnya limbah yang dihasilkan selama pengangkutan berkisar antara 5 – 10 % (Sinaga, 1986).
12
Batang rotan sesudah dipanen dibersihkan dari pelepah dan duri dengan menggunakan parang atau golok secara hati-hati sehingga kulitnya tidak rusak. Selanjutnya rotan dipotong sesuai ukuran panjang yang diminta atau dipesan. Khusus pada rotan berdiameter besar, potongan rotan diluruskan untuk memudahkan pengikatan. Setelah itu, rotan diikat menjadi bundelan kemudian diangkut ke tepi hutan dan diletakkan di tempat penampungan sementara.
13
III. POTENSI PRODUKSI Indonesia dikenal sebagai produsen rotan terbesar di dunia, yaitu mencapai sekitar 80 – 90 % sedangkan sisanya berasal dari Malaysia, Pilipina dan beberapa negara Asia Tenggara lainya. Potensi produksi lestari rotan Indonesia yang diperhitungkan berdasarkan data sekunder dan dilaporkan berbagai sumber berkisar antara 570.000 – 696.000 ton per tahun. Untuk mengetahui perkembangan potensi rotan diperlukan inventarisasi di lapangan. Hasil inventarisasi dapat menginformasikan secara lebih realistis tentang jenis rotan dan jatah produksi tahunan (Annual Allowable Cut). A. Potensi Nasional Data produksi rotan Indonesia dengan pendekatan melalui volume ekspor berupa bahan mentah, terutama rotan asalan mulai tercatat pada Biro Puasat Statistik pada zaman kolonial, yaitu tahun 1918 dengan volume ekspor pada tahun itu adalah 25.200 ton. Apabila kebutuhan dalam negeri 10% (2.520 ton) maka produksi rotan Indonesia diperkirakan 28.000 ton. Angka produksi ini tidak banyak meningkat sampai dengan tahun 1970, yaitu berkisar antara 30.000 – 40.000 ton per tahun. Dengan jumlah produksi sebesar itu, Indonesia dikenal sebagai pemasok bahan baku rotan terbesar di dunia, yaitu mencapai sekitar 80% dari kebutuhan rotan dunia (Yudodibroto, 1984). Luas areal hutan yang ditumbuhi rotan dan potensi produksi yang banyak dipublikasikan di Indonesia pada dasarnya adalah hasil studi meja (desk study). Data yang digunakan adalah data sekunder, antara lain data permohonan ijin Hak Pemungutan Hasil Hutan Rotan (HPHHR) dan jumlah produksi yang dikapalkan oleh daerah penghasil rotan untuk diperdagangkan baik di pasaran dalam negeri atau antar pulau maupun ekspor. Berdasarkan data tersebut dilaporkan bahwa luas areal rotan pada hutan alam sangat beragam, mulai dari 7,9 juta ha sampai dengan 18,2 juta ha. Demikian pula potensi produksi rotan sangat bervariasi, yaitu mulai dari 350.000 ton per tahun sampai dengan 697.000 ton per tahun (Gunawan, 2005). Silitonga et al. (1990) memperkirakan luas areal rotan Indonesia 9,36 juta ha dengan potensi produksi sekitar 575.000 ton per tahun. Namun Gunawan (2002) menyatakan, bahwa di Indonesia rotan dapat tumbuh di semua pulau yang masih berhutan alam dan tersebar pada
14
lahan hutan seluas kurang lebih 18,2 juta ha dengan potensi produksi kurang lebih 300.000 ton rotan kering per tahun. Selanjutnya Gunawan (2005) menyatakan, bahwa luas areal rotan dari hutan alam secara nasional adalah 7.904.625 ha dengan produksi lestari sebesar 397.175 ton per tahun (daur tebang 5 tahun). Sukardi (2000) dalam Gunawan (2005) menyatakan bahwa produksi lestari rotan Indonesia sekitar 415.000 ton pertahun. Berdasarkan hasil Inventarisasi Hutan Nasional tahun 1990-an yang menggunakan citra landsat, areal hutan yang ditumbuhi rotan di Indonesia adalah 9,87 juta ha dengan potensi produksi dari seluruh jenis rotan diperkirakan sekitar 670.000 ton per tahun. Sedangkan jenis rotan komersial saja, produksinya sekitar 350.000 ton per tahun. Untuk memberikan gambaran tentang distriusi potensi produksi rotan Indonesia, Nasendi (1994) dalam Gunawan (2000) menyatakan bahwa data produksi tiap–tiap daerah penghasil rotan di 15 wilayah potensial., yaitu Aceh, Riau, Jambi, Bengkulu, Sumsel, Lampung, Kalbar, Kalteng, Kalsel, Kaltim, Sulteng, Sulsel, Sulut, Sultra dan NTB dengan total produksi rotan tebang lestari untuk seluruh jenis rotan sebesar 696.900 ton per tahun. Sedangkan Gunawan (2002) melaporkan data produksi tiap-tiap daerah penghasil rotan di 20 wilayah potensial seperti disajikan pada Tabel 3. Sampai saat ini, hampir seluruh hasil produksi rotan bulat Indonesia masih berasal dari hutan alam. Adapun rotan tanaman yang ditanam secara tradisional oleh masyarakat di Kalimantan Selatan, Tengah dan Timur, jumlahnya masih sangat kecil. Alrasyid (1989) melaporkan, rotan yang ditanam masyarakat berjumlah 22.000 ha. Namun demikian, sejak tahun 1983 – 1992 Perum Perhutani telah melakukan penanaman jenis–jenis komersil seperti manau (Calamus manan), sega (C. caesius), irit (C. trachycoleus) dan jenis–jenis lokal seluas 33.000 ha di seluruh Pulau Jawa.
15
Tabel 3. Potensi produksi rotan tebang lestari pada 20 daerah di Indonesia No. Daerah Volume (ton/th) Persen (%) 1 Aceh 28.000 4,5 2 Sumut 12.000 1,9 3 Sumbar 38.000 6,1 4 Riau 5.000 0,8 5 Jambi 13.000 2,0 6 Bengkulu 25.000 4,0 7 Sumsel 22.000 3,5 8 Lampung 5.000 0,8 9 Kalbar 50.000 8,0 10 Kalteng 70.000 11,3 11 Kalsel 15.000 2,4 12 Kaltim 65.000 10,5 13 Sulut 20.000 3,2 14 Sultengah 75.000 12,1 15 Sulsel 37.000 5,9 16 Sultenggara 31.000 5,0 17 NTB 13.000 2,1 18 NTT 5.000 0,8 19 Maluku 25.000 4,0 20 Irian Jaya 68.000 10,9 Total 622.000 100 Sumber:
Departemen Kehutanan dalam Pusat Data dan Informasi Depperindag (1999) dan Gunawan (2005).
Produksi jenis rotan berdiameter besar lebih rendah daripada rotan berdiameter kecil. Perbandingan jumlah produksi rotan besar dan kecil diperkirakan berkisar antara 3 : 7 sampai 4 : 6. Menurut Mogea (1990), Hadikusumo (1998) dan Sumarna (1990), berdasarkan hasil pengamatannya di lapangan, jenis–jenis rotan berdiameter besar yang ditemukan di Indonesia diperkirakan sekitar 25 jenis (Lampiran 4). Pada hakekatnya, semua data mengenai potensi rotan seperti di uraikan di atas
16
masih bersifat kasar. Untuk mendapatkan data yang lebih akurat diperlukan cek–silang di lapangan (ground survey) atau melalui inventarisasi rotan. B. Inventarisasi Untuk mengetahui perkembangan kondisi areal hutan berotan dan untuk keseragaman dalam pelaksanaan inventarisasi kawasan hutan berotan, telah diterbitkan Pedoman Inventarisasi Rotan oleh Direktorat Inventarisasi Hutan, berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan Nomor 36/Kpts/VII-2/1989. Inventarisasi tersebut pada dasarnya terdiri dari inventarisasi rotan secara nasional dan inventarisasi pada kelompok hutan tertentu. Inventarisasi rotan nasional menghasilkan data potensi rotan yang bersifat makro yang akan dipergunakan untuk menyusun rencana tingkat nasional, seperti kemampuan suplai, jumlah industri yang seharusnya dibangun, taksiran devisa dan lain–lain. Penarikan contoh awal dilakukan secara stratifikasi (stratified sampling). Stratum pertama adalah propinsi sebagai perwakilan nasional dan stratum kedua adalah Cabang Dinas Kehutanan sebagai perwakilan propinsi. Pada stratum kedua dipilih kelompok–kelompok hutan berotan sebagai objek survei inventarisasi lapangan. Penarikan contoh pada kelompok–kelompok hutan yang berotan mengikuti metode jalur sistematis (systematic strip sampling). Inventarisasi kelompok hutan menghasilkan data yang bersifat rinci tentang rotan pada kelompok hutan yang disurvei dan digunakan untuk menyusun rencana operasional, seperti pemungutan tahunan (jatah produksi tahunan), penanaman dan lain–lain. Penarikan contoh mengikuti metode jalur sistematis. Garis induk (base line) untuk peletakan jalur dapat berupa sungai atau jalan hutan, sehingga arah jalur tegak lurus terhadap garis induk. Jalur dibuat dengan lebar 20 meter atau 10 meter kanan–kiri sumbu jalur. Jalur pertama diletakkan secara acak sedangkan jalur–jalur berikutnya diletakkan secara sistematis dengan jarak antar jalur disarankan 2 – 4 kilometer (intensitas sampling = 0,5 – 1%). Inventarisasi potensi rotan telah dilaksanakan pada areal contoh seluas 30 ha, yang meliputi 6 Cabang Dinas Kehutanan di Kalimantan Timur. Inventarisasi ini termasuk inventarisasi rotan pada kelompok hutan. Sayangnya, kegiatan inventarisasi ini tidak menyebutkan teknik penarikan contoh dan intensitas sampling. Hasil inventarisasi melaporkan, bahwa potensi seluruh jenis rotan pada populasi kelompok hutan yang disurvei adalah 720 kg rotan kering/ha. Jumlah ini terdiri dari
17
467 kg atau 374 batang/ha rotan komersial dan 253 kg atau 172 batang/ha rotan non komersial. Nama jenis–jenis rotan yang diinventarisasi disajikan pada Lampiran 5. Areal hutan yang ditumbuhi rotan di Kalimantan Timur diperkirakan 4.375.000 ha. Berdasarkan hasil survei di atas maka persediaan seluruh jenis rotan diperhitungkan sebesar 3.150.000 ton. Jumlah tersebut terdiri dari 2.047.500 ton (65%) kelompok jenis rotan komersil dan 1.102.500 ton kelompok rotan nonkomersial (Anonim, 1982). Pertumbuhan rotan mulai dari anakan sampai masak tebang adalah antara 7 – 10 tahun atau lebih. Rotan yang sudah masak tebang bisa mencapai panjang 40 – 100 meter lebih. Batang yang ditebang tidak bisa dimanfaatkan seluruhnya. Bagian yang tertinggal di hutan berupa limbah pemanenan diperkirakan 10% sehingga bagian yang dapat dipungut adalah sekitar 90%. Apabila diasumsikan, bahwa rotan yang masak tebang sebanyak 40% tiap tahun dan daur rotan rata – rata adalah 10 tahun maka jumlah rotan yang dapat dipungut atau diproduksi tiap tahun (Annual Allowable Cut – AAC) di Kalimantan Timur mengikuti rumus sebagai berikut: JPR = LHR x P x MT x NE DT Keterangan : JPR = Jatah produksi rotan, ton/tahun LHR = Luas hutan ditumbuhi rotan, ha P = Potensi per hektar, ton/ha MT = Masak tebang, % NE = Nilai eksploitasi, % DT = Daur tebang rata – rata, tahun. Dalam kasus di atas maka jatah produksi rotan adalah: JPR = 4.375.000 x 720 x 0,4 x 0,9 10 = 113.400 ton/tahun Jumlah tersebut dapat dikelompokkan menjadi jenis komersial sebanyak 73.710 ton/tahun (65%) dan sisanya jenis–jenis non komersial.
18
Inventarisasi rotan lainnya dilakukan pada kelompok hutan Tojo dan kelompok hutan Wanari di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Teknik penarikan contoh yang digunakan adalah systematic strip sampling dengan intensitas penarikan contoh sebesar 0,3%. Jarak antar jalur diletakkan sekitar 6,5 km dengan panjang jalur berkisar antara 3 – 7 km. Hasil analisis data inventarisasi menunjukkan bahwa potensi rotan pada kelompok hutan yang disurvei adalah 1.111,6 kg/ha atau 198,03 batang/ha. Permudaan alam adalah 76,0% atau setara dengan 1.145 batang/ha. Inventarisasi tersebut di atas melaporkan pula, bahwa luas seluruh kelompok hutan yang disurvei adalah 40.000 ha dengan luas hutan berotan 29.700 ha (74%). Rincian potensi rotan per jenis seperti Tabel 4. (Anonim, 1996). Tabel 4. Potensi rotan per jenis di Poso No. Jenis 1. Tohiti (Calamus inops) 2. Buku tinggi (Calamus sp) 3. Batang (Daemonorops robusta Warb.) 4. Umbul (C. sumpisius) 5. Merah (C. panajuga) 6. Susu (Calamus sp.) 7. Routi (C. axeliarris) Jumlah
kg/ha Batang/ha 281,96 16,71 267,24 24,11 236,03 3,67 142,19 136,70 37,14 10,34 1111,60
99,92 45,21 1,13 7,28 198,03
Sumber : Anonim (1996)
Dengan merujuk hasil inventarisasi maka dapat ditetapkan jatah produksi tahunan rotan di areal hutan berotan di Poso sebagai berikut: JPR = 29.700 x 1.1116 x 0,4 x 0,9 = 1.188,5 ton/tahun 10 Penyebaran jenis pada lokasi yang disurvei relatif merata dengan deskripsi jenis–jenis rotan yang diinventarisasi seperti ditunjukkan pada Tabel 5.
19
Tabel 5. Deskripsi jenis rotan hasil inventarisasi No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Jenis
Sifat tumbuh
Tohiti Batang Umbul Routi Buku tinggi Merah Susu Tarumpu
soliter berumpun soliter berumpun berumpun berumpun soliter soliter
Panjang batang (m) 15 – 120 15 - 60 7 - 40 15 - 60 15 - 45 15 - 60
Diameter (mm) 8 - 40 20 - 80 9 - 40 2 - 10 10 - 20 4-8 20 - 40 10 - 20
Panjang ruas (cm) 20 - 35 15 - 30 25 - 40 15 - 30 25 - 40 20 - 30*) 15 - 40 -
Keterangan: *) batangnya bercabang
Farhansyah (1987), melakukan inventarisasi rotan di Kutai, Kalimantan Timur. Hasil inventarisasi dilaporkan seperti Tabel 6 berikut ini. Tabel 6. Potensi kelompok jenis rotan di Kalimantan Timur Kelompok jenis Rumpun/ha Batang/ha Rotan tanaman 655 11.145 Rotan alam 794 12.156 Rotan komersial, sega 523 11.997 Rotan alam komersial 138 3.225
20
IV. SIFAT DASAR ROTAN Rotan adalah batang dari tumbuhan yang berlignoselulosa yang dapat dimanfaatkan untuk mebel, barang kerajinan dan tikar. Dalam pemanfaatan rotan harus dipahami sifat dasarnya karena tiap jenis rotan pada hakekatnya mempunyai sifat yang berbeda, baik bentuk maupun ukuran. Dalam buku ini dibahas sifat dasar meliputi ciri-ciri umum, struktur anatomi, komposisi kimia, sifat fisis dan mekanis serta keawetan rotan. Dengan mengetahui sifat dasar jenis rotan akan dapat ditentukan peruntukannya secara lebih baik. A. Ciri–Ciri Umum Kayu yang dalam dunia tumbuh–tumbuhan digolongkan ke dalam subdivisi Gymnospermae dan kelas Dicotyledons, sel–selnya diproduksi oleh aktivitas meristem apikal (pucuk) dan meristem lateral atau kambium vaskular. Rotan yang digolongkan ke dalam subdivisi Angiospermae kelas Monocotyledons, sel–selnya seluruhnya diproduksi oleh meristem apikal. Oleh karena itu, pertumbuhan primer oleh meristem apikal pada pucuk dipandang sebagai aktivitas pertambahan panjang batang dan sekaligus pertambahan diameter batang. Pertambahan diameter batang terjadi tepat di bawah pucuk, tetapi pertambahan ini bukan karena pertumbuhan pada kambium vaskular melainkan karena bertambah besarnya ukuran sel yang sudah terbentuk di pucuk. Namun demikian, Philipson et al. (1970) melaporkan, bahwa sebenarnya pertumbuhan sekunder seperti pada meristem lateral memang tidak terjadi pada Monocotyledons tetapi setelah pembesaran sel terjadi diferensiasi jaringan. Bentuk batang rotan umumnya silindris dan terdiri dari ruas–ruas yang panjangnya berkisar antara 10 sampai 50 cm. Sedangkan diameter rotan berkisar antara 6 – 50 mm, bergantung pada jenisnya. Ruas satu dengan yang lain dibatasi oleh buku tetapi buku ini hanya ada di bagian luar batang, tidak membentuk sekat seperti pada bambu. Pada beberapa jenis tampak adanya tonjolan dan lekukan pada sisi yang berlawanan sepanjang ruas. Tonjolan dan lekukan ini tampak lebih jelas pada buku yang berasal dari jejak daun, yaitu ikatan pembuluh yang menuju ke daun. Anatomi makro batang rotan adalah seperti pada Gambar 4.
21
Sumber: Mandang dan Rulliaty, 1990
Gambar 3. Batang rotan
Buku rotan ada yang relatif rendah dan ada pula yang tinggi. Buku yang rendah ditunjukkan oleh perbedaan diameter antar ruas yang bersebelahan sangat kecil sehingga diameter sepanjang batang tampak hampir seragam dan rata. Rotan dengan buku rendah mencirikan mutu penampakan yang baik. Menurut Uhl dan Dransfield (1987), buku yang rendah terdapat pada jenis–jenis dari genera Calamus (manau, tohiti, sega dan lain–lain). Buku agak tinggi terdapat pada jenis–jenis dari genera Daemonorops (tarumpuh, seel, tabu–tabu dan lain–lain). Sedangkan buku yang tinggi terdapat pada anggota dari genera Korthalsia, Ceratalobus, Plectocomiopsis dan Myrialepsis. Permukaan kulit batang rotan ada yang licin dan ada pula yang mengkerut, ada yang mengandung lapisan silika ada pula yang tidak. Permukaan licin terdapat pada rotan bubuay (Plectocomia elongata Becc.), sedangkan permukaan berkerut pada manau (Calamus manan Miq.). Lapisan silika yang tampak jelas, terdapat pada rotan manau (C. Manan), sega (C. caesius Bl.), tohiti (C. inops) dan batang (C. optimus). Pada penampang lintang batang dapat dilihat dengan mata telanjang, pertama lapisan kulit yang tipis dan sangat keras kemudian
22
bagian di bawah kulit yang tampak lebih padat, disebut jaringan tepi atau perifer atau corteks. Sedangkan, bagian yang lebih ke arah pusat, yang relatif lunak dinamakan jaringan sentral. Bintik-bintik yang menyebar di antara jaringan yang berwarna lebih pucat disebut ikatan pembuluh dan jaringan berwarna pucat itu sendiri disebut parenkim dasar. Ikatan pembuluh menyebar lebih rapat ke arah kulit dan semakin jarang ke arah pusat. Jumlah ikatan pembuluh dihitung sebagai Kerapatan Ikatan Pembuluh (KIP) dengan satuan buah per milimeter persegi. Rotan dengan KIP rata-rata sekitar 3 – 5 buah/ mm² dan perbedaan KIP pada bagian tepi dengan pusat yang tidak terlalu tinggi termasuk rotan yang dicari orang. Pada Tabel 7. KIP beberapa jenis rotan (buah / mm²) Jenis rotan Rotan berdiameter besar Manau (Calamus manan) Batang (C. Zolingeri) Tohiti (C. inops) Seuti (C. ornatus) Sampang (Korthalsia junghnii) Tretes (Daemonorops heteroides) Balukbuk (C. burckianus) Bubuay (Plectocomia elongata) Rotan berdiameter kecil Sega (C. caecius) Sega batu (C. hateroideus) Sega air (C. axilaris) Cemmeti (C. ciliaris) Kertas (C. sabesis) Nona (?) Balam putih (?) Sesah muda (?) Cabang (K. laciniosa) Jernang (D.draco) Teretes (C.oblonga) Samare (Plectocomia mulleri) Sanjat (C.pasparantus)
Rata-rata
Tepi
Pusat
3,1 5,2 3,1 2,9 3,3 3,4 3,3 2,2
4,2 6,3 4,0 3,6 4,2 4,1 4,2 3,8
2,0 4,0 2,1 2,1 2,3 2,6 2,3 0,5
2,6 4,8 2,3 2,2 3,3 1,9 3,0 3,6 4,3 4,6 4,9 3,9 4,8
3,1 5,2 3,2 2,9 3,8 2,2 3,9 4,6 4,8 5,6 6,5 5,2 5,6
2,0 4,3 1,3 1,5 2,8 1,5 2,0 2,5 3,9 3,6 3,3 2,6 4,3
23
B. Struktur Anatomi Untuk menentukan nama suatu jenis rotan tertentu adakalanya dilakukan melalui penilaian ciri-ciri umum seperti warna, kilap, diameter, panjang ruas, bentuk buku dan sifat-sifat lain yang mudah ditangkap oleh panca indera. Hasilnya kerap kali tidak tepat karena sifat yang dikenali lewat panca indera pada umumnya tidak konstan dan subjektif. Warna asli satu jenis rotan yang digoreng dengan campuran minyak nabati bisa dinilai berwarna lebih terang dan mengkilap dibanding tanpa campuran minyak nabati. Panjang ruas satu jenis rotan yang diambil dari bagian ujung batang bisa dinilai lebih panjang dibanding dari bagian pangkal. Oleh karena itu, diperlukan sifat-sifat khas satu jenis yang konstan pada sembarang contoh rotan yang diambil dari jenis tersebut. Dengan demikian, hasil penentuan jenis menjadi tepat dan dapat mencegah pemalsuan jenis rotan. Sifat yang memenuhi syarat itu adalah sifat mikroskopis atau pengetahuan struktur anatomi mikro rotan. Struktur itu dapat dilihat dengan bantuan loupe, dengan mikroskop atau dengan mikroskop elektron. Struktur anatomi mikro tidak hanya digunakan sebagai kunci identifikasi jenis tetapi juga sebagai penentu sifat-sifat kekuatan, mutu dan pengolahan. Sifat pengolahan yang dipengaruhi antara lain pengeringan, pengawetan, pemolisan, pelengkungan dan finishing. Rotan dengan proposi parenkim (parenchyma) yang tinggi, dinding sel serat yang tipis dan diameter metaksilim (metaxylem) yang besar cenderung cepat mengering, mudah diawetkan tetapi kekuatannya rendah. Salah satu contoh struktur anatomi batang rotan dilukiskan seperti pada Gambar 4. Lukisan skematis ini merupakan bentuk typical penampang lintang dan longitudinal rotan apabila dilihat dibawah mikroskop (Mandang dan Ruliaty, 1990).
24
a
b
Sumber: Mandang dan Rulliaty, 1990
Gambar 4.
Struktur anatomi mikro batang rotan (a) penampang lintang, (b) penampang longitudinal.
Menurut Tomlison (1961), sepuluh macam komponen mikroskopik penyusun batang rotan seperti disebutkan pada Gambar 5 di atas dapat dikelompokkan menjadi tiga jaringan utama, yaitu: kulit, parenkim dasar dan ikatan pembuluh. Masing-masing jaringan tersebut dan sel-sel penyusunnya diuraikan seperti dibawah ini. 1. Kulit Jaringan kulit terdiri dari dua lapisan sel, yaitu epidermis dan endodermis. Menurut Siripatanadilok (1974), sel-sel epidermis pada Ceratalobus berbentuk empat persegi panjang tidak teratur. Pada Calamus spectabilis sel-sel epidermisnya berbentuk bujur sangkar, sedangkan pada C. ornatus, dan C. rhomboides berbentuk pipa panjang. Di antara sel-sel epidermis dari jenis C. horens, C. unifarius dan C. viminalis terlihat adanya benda mengkilat yang diduga silika. Sel-sel endodermis bersifat lebih
25
lunak. Sel-sel ini diduga sebagai tempat di mana persenyawaan silika paling banyak dibentuk untuk kemudian diendapkan pada epidermis. Menurut Wiener dan Liese (1990), sel-sel endodermis pada genera endemis di Afrika berbentuk barisan sel serat (fiber rows) sedangkan pada genera Asia berbentuk pita serat (fibre strands). Di bawah endodermis terdapat korteks yang terdiri dari sel-sel parenkim, berkas serat dan ikatan pembuluh. Suatu hal yang perlu diperhatikan ialah adanya seludang serat (fibre sheat) yang disebut sebagai “yellow caps“, yaitu serat schlerenchyim yang terdapat di sekitar pembuluh pertama di bawah korteks (Siripatanadilok, 1974). “Yellow caps“ (Gambar 5) ini hanya ditemukan pada genera Korthalsia, Myrialepsis, Plectocomia dan Plectocomiopsis.
Yellow Caps
Gambar 5. Yellow Caps pada pada rotan Sampang (Korthalsia junghunii)
2. Parenkim dasar Jaringan parenkim dasar (ground parenchyma) bagaikan pengisi batang di mana ikatan-ikatan pembuluh tertanam menyebar di dalamnya. Jaringan ini berbeda dengan parenkim aksial yang terdapat di dalam ikatan pembuluh. Parenkim dasar terdiri dari sel-sel parenkim isodiometrik pedinding tipis dengan noktah sederhana. Wiener dan Liese (1990) membedakan tiga tipe parenkim dasar berdasarkan bentuk dan susunan selnya, yaitu seperti dapat diamati pada Gambar 6.
26
Gambar 6. Tipe struktur sel parenkim dasar pada penampang lintang dan longitudinal Keterangan: Tipe A. Pada penampang lintang sel-selnya tampak lunak dengan ruang antar sel yang bulat. Pada penampang longitudinal susunan sel-selnya tampak seperti susunan uang logam (stack coins), d. Contoh, Calamus; Tipe B. Pada penampang lintang sel-selnya tampak bulat dan lebih kecil dengan ruang antar sel yang tidak teratur. Pada penampang longitudinal susunan selnya seperti d. Contoh, Daemonorops; Tipe C. Sel-selnya berdinding lebih tipis, besar dan bulat dengan ruang antar sel yang relatif sempit pada penampang logitudinal susunan selnya seperti e. Contoh, Plectocomiopsis.
3. Ikatan pembuluh Jaringan ikatan pembuluh (vascular bundles) terletak menyebar di antara jaringan parenkim dasar. Pada penampang lintang sepotong rotan, ikatan-ikatan pembuluh dapat dilihat dengan mata telanjang berupa bintik-bintik. Satu buah bintik tersebut bila dilihat di bawah mikroskop cahaya tampak seperti pada Gambar 7. 27
Gambar 7. Foto penampang lintang ikatan pembuluh (Linda Idrawati, 1993) (Pembesaran 100 X) Keterangan: a. metaksilim b. phloem c. protoksilim d. parenkim aksial e. berkas serat.
Bila diperhatikan secara seksama, penampilan ikatan pembuluh pada penampang lintang bisa berbentuk hampir bulat, yaitu pada rotan sega (Calamus cesius) atau elipsoid pada rotan batang (Daemonorops crinatus). Diameter tangansial ikatan pembuluh ini pada bagian tengah batang mencapai 0,58 mm pada jenis rotan D. crinatus, 0,60 mm pada sega (C. caesius), 0,72 mm pada semambu (C. scipionum), 0,76 mm pada C. thwaitesii (rotan berdiameter besar dari India) dan 0,82 mm pada manau (C. manan). Jaringan ikatan pembuluh terdiri dari beberapa macam sel, yaitu: metaksilim (metaxylem), protoksilim (protoxylem), phloem, parenkim aksial dan serat. Empat macam sel yang disebut pertama berfungsi mengatur kegiatan fisiologis tanaman dalam pertumbuhannya. Karena itu, kumpulan sel-sel ini disebut sebagai jaringan pelaksana. Sedangkan, sel yang disebut terakhir membentuk kumpulan yang dinamakan jaringan penyangga atau berkas serat (fibre sheat) yang berfungsi dominan memberikan kekuatan mekanik pada rotan . Phloem pada rotan adalah jaringan yang berfungsi menyalurkan dan membawa hasil fotosintesis dari tajuk ke bagian–bagian lain dari tanaman. Bentuknya seperti pipa yang sambung menyambung dengan bidang perforasi berbentuk tapisan. Diameternya jauh lebih kecil dari metaksilim dan sedikit lebih kecil dari protoksilim. Panjang satu sel pembuluh bervariasi dari satu sampai lebih dari 3,00 mm. Apabila dilihat pada penampang lintang, dalam satu ikatan pembuluh bisa terdapat satu untaian phloem (phloem field) dengan satu metaksilim yang terdapat pada jenis Plectocomia elongata (Gambar 8 a) atau dua untaian phloem mengapit satu metaksilim yang terdapat pada jenis Calamus caesius, C. burchianus, Daemonorops dan Korthalsia (Gambar 8 b) atau satu untaian phloem dengan 28
dua metaksilim yang terdapat pada jenis Myrialepsis paradoxa (Gambar 8c). Selain itu terdapat pula susunan ikatan pembuluh dengan dua untaian phloem yang mempunyai susunan tabung uniseriate dan biseriate sieve dan satu metaksilim (Gambar 8 d).
Gambar 8. Diagram ikatan pembuluh (Weiner dan Liese, 1990)
Metaksilim dan protoxylem adalah xilem, yaitu jaringan yang berfungsi sebagai saluran air dan zat hara dari akar ke daun. Protoxylem dibentuk pada saat ruas-ruas baru tumbuh. Dindingnya sangat khas, yaitu seperti spiral dengan gulungan yang rapat (Gambar 9). Pada waktu ruas tumbuh menjadi dewasa, protoksilim ikut memanjang tetapi diameternya tidak mengalami pertambahan yang berarti (Mandang dan Rulliaty, 1990). Menurut Wiener dan Liese (1990) diameter protoxylem berkisar 30 - 80 mikron. Pada waktu ruas tumbuh salah satu atau dua protoxylem yang ikut memanjang mengalami pembesaran diameter yang cukup menonjol. Xilem yang diameternya besar ini dinamakan metaksilim dengan ukuran diameter 320 mikron pada Calamus caesius , 340 mikron pada Daemonorops crinatus, 400 mikron pada C. scipionum dan 600 mikron pada C. manan.
29
protoksilim
Gambar 9. Dinding sel pembuluh protoksilim yang khas berbentuk spiral (Pembesaran 100 X)
Parenkim aksial menyebar disekeliling metaksilim, protoxylem dan phloem di dalam ikatan pembuluh. Dindingnya relatif tipis dengan noktah sederhana. Parenkim aksial bentuknya berbeda dengan parenkim dasar, yaitu memanjang ke arah vertikal dengan sekat–sekat yang agak miring. Berkas serat yang terdiri dari sel–sel serat, tersusun satu berkas mirip tapal kuda atau segitiga yang menghadap ke arah pusat batang. Ukuran penampang lintang berkas serat ini berbeda antara jenis. Sel–sel serat berbentuk panjang langsing dengan dinding relatif tebal. Panjang sel serat 1 – 3 mm, sering mengandung “septa“ dan umumnya mempunyai dinding sel “polylamellar“. Pada rotan manau (C. manan) panjang selnya 1,1 – 1,3 mm dengan diameter 17 – 19 mikron. Pada rotan C. thawaitesii dari India panjang sel seratnya 1,7 mm, diameternya 19 mikron dan diameter lumennya 8,0 mikron (Mandang dan Rulliaty, 1990; Bhat dan Thulasidas, 1989; Wiener dan Liese, 1990; Rachman, 1996).
30
Saluran getah (musilage canal) tersebar di antara jaringan parenkim dasar dan dapat ditemui pada beberapa jenis rotan tertentu. Saluran ini dikelilingi oleh sel–sel epithel dan membentang ke arah vertikal dengan diameter rongga saluran kurang dari 50 mikron. Saluran ini mengeluarkan zat ekstraktif yang komposisinya belum banyak diketahui. Kehadiran saluran getah adalah khas pada Daemonorops, Ceratalobus dan beberapa jenis Calamus (C. burckianus, C. ciliaris, C. horens dan C. polystachys). Stegmata adalah sel khusus yang berisi partikel silika. Partikel silika yang terdapat di dalam stegmata ini disebut badan–silika (silica bodies). Ada dua tipe badan–silika yang berguna untuk diagnostik, yaitu bentuk topi (hat) dan bentuk bola (spherical). Tomlison (1961) menyatakan bahwa stegmata biasanya semakin banyak terdapat semakin ke arah jaringan kulit, yaitu antara ikatan pembuluh pertama dan epidermis. Selain itu, stegmata terdapat juga dekat ikatan pembuluh, di antara sel–sel serat dan jaringan parenkim dasar. Uhl dan Dransfield (1987) menyatakan bahwa kekerasan batang rotan sebagian ditentukan oleh kehadiran partikel silika ini. Schmitt, Wiener dan Liese (1995) memperlihatkan dengan jelas bentuk badan–silika pada jenis rotan Calamus axillaris dengan alat scanning electron microscop (SEM) dan transmission electron microscop (TEM). Rachman (1996) menyatakan bahwa sel serat, sel parenkim dan pori adalah sel–sel utama penyusun rotan. Komposisi sel–sel ini dan dimensi sel serat sangat berperan dalam menentukan sifat fisis dan mekanis rotan. Pada Lampiran 6 dan 7 dapat dilihat komposisi sel dan dimensi serat, diameter metasilim dan diameter protoxylem beberapa jenis rotan Indonesia. C. Komposisi Kimia Rotan disusun oleh berbagai komponen kimia yang sangat komplek. Komponen ini dapat mempengaruhi proses pengolahan, yaitu pada proses pembelahan, pembengkokan, pemutihan dan finishing. Secara garis besar komponen tersebut di kelompokan menjadi tiga komponen pokok, yaitu: selulosa, lignin dan zat ekstraktif. 1. Selulosa Selulosa berasal dari fotositensis, berbentuk rantai panjang. Rantai selulosa tersebut tersusun pada dinding sel rotan. Orientasi rantai selulosa ini pada satu bagian tersusun rapat (daerah kristalit) dan pada bagian lain tersusun tidak teratur (daerah amorf). Daerah amorf inilah yang mudah dimasuki atau mengeluarkan air sehingga rotan bisa
31
mengembang atau mengerut. Pada rotan muda banyak daerah amorf sehingga mudah keriput. Jumlah selulosa dalam rotan ± 38 – 60%. Selulosa ini mempunyai sifat mudah teroksidasi. Larutan hidrogenperoksi (H2O2), ca-hipoklorit dan oksidator lainnya mengoksidasi selulosa bila dipakai dalam proses pemutihan rotan. 2. Lignin. Lignin adalah bagian terbesar kedua setelah selulosa. Jumlahnya berkisar antara 18 - 35%. Lignin terutama berfungsi sebagai bahan pengikat antara satu dan lain sel dalam bahan rotan. Ibarat semen dalam susunan batu bata. Dengan demikian lignin memberi kekuatan kepada rotan. Sifat fisikokimia lignin adalah tidak berwarna (colourless) dan mudah dioksidasi oleh larutan alkalik maupun oksidator seperti halnya pada selulosa. Reaksi ini juga digunakan untuk pemutihan. 3. Zat ekstraktif. Zat ekstraktif adalah bahan organik dan anorganik dengan berat molekul rendah. Zat ekstraktif ini pada mulanya merupakan cairan yang terdapat dalam rongga sel (protoplasma) pada waktu sel-sel masih hidup. Setelah sel-sel tua atau mati cairan tadi menempel pada dinding sel berupa getah, lilin, zat warna, gelatin, gula-gula, mineral dan silika. Jumlah zat ekstratif pada rotan lebih kurang 13%. Dibandingkan dengan bahan berselulosa lain seperti kayu (± 9%) jumlah ini cukup tinggi. Peranan zat ekstraktif dalam pengolahan sangat penting sekali karena : x
Gula-gula merupakan bahan makanan jamur dan serangga,
x
Lilin dan getah menghambat proses pengeringan ,
x
Zat warna menyebabkan rotan berwarna lebih gelap atau kecoklatan, kemerah-merahan bahkan ada yang kehitaman,
x
Silika merupakan zat vertikal keras yang dapat menumpulkan pisau dalam proses pengerjaan rotan.
Dalam cara pengolahan rotan tradisional ditemui perendaman rotan dalam air mengalir atau lumpur dalam waktu yang cukup lama. Cara ini sebenarnya bertujuan : x
Melarutkan zat warna supaya rotan berwarna lebih cerah,
x
Melarutkan gula-gula agar rotan tidak lagi diserang oleh jamur dan serangga sehingga rotan menjadi lebih awet (pengawetan).
32
Hasil penelitian komponen rotan dan kayu yang dihimpun dari berbagai pustaka disajikan seperti pada Tabel 8. Pada Tabel 8 terlihat, bahwa selulosa rotan lebih tinggi dibandingkan dengan kayu daun jarum dan daun lebar. Sedangkan persentase lignin lebih kecil dibandingkan dengan kayu daun jarum (Kollman dan Cöté, 1968). Karakteristik lignin rotan sama dengan lignin dari daun lebar artinya tersusun dari prazat koniferil dan sinafil alkohol atau disebut sebagai lignin guayasil-siringil. Komponen silika dari 12 jenis rotan asal Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya berkisar antara 0.54 - 8,00% (Hadikusumo, 1994). Chang et al. (1988) menyatakan bahwa rotan mengandung lignin relatif kecil, apabila di bandingkan dengan kayu keras (hardwood) atau kayu lunak (softwood) tetapi sejumlah besar polisacharida, terutama hemiselulosa. Pada bagian epidermis rotan terdapat sebagian besar senyawa silika. Tabel 8. Komposisi kimia rotan dan kayu Komponen kimia
Rotan
Kayu
Daun lebar Daun jarum 1. Holoselulosa 71 – 76 2. Selulosa 39 – 60 40 – 44 44 3. Hemiselulosa 15 – 35 20 – 32 4 Lignin 18 – 48 18 – 25 25 – 35 5. Prazat lignin Mirip d. lebar Gua/syr Guaiasil 6. Abu 0.1 – 1,0 0,2 – 1,4 7. Silika 0,54 – 8,00 9. Pati 14,00 – 29,00 Sumber : Kollman and Cöte (1968), Simatupang (1975), Hadikusumo (1994), Fengel and Wegener (1984) dan Rachman (1996), Jasni et.al (2008, 2012).
Menurut Fengel dan Wagener (1984) elemen silika termasuk kedalam kelompok abu, yaitu bahan anorganik yang diperoleh setelah pengabuan kayu pada suhu 600 – 8500C. Elemen penyusun kelompok abu yang utama adalah Ca (dalam kebanyakan kayu mencapai 50% dari total abu); K dan Mg masing-masing menduduki tempat kedua dan ketiga; lalu dilanjutkan oleh elemen-elemen Mn, Na, P, Cl, Si, S, Mg dan lain–lain. Pada kayu–kayu tropis, persentase silika yang tinggi dapat melebihi kandungan Ca dalam beberapa jenis.
33
Kelompok abu yang dapat diamati dengan mikroskop cahaya atau elektron tampak terakumulasi dalam saluran damar, sel jari-jari, lamela tengah, lapisan dinding tersier, noktah dan daerah penebalan spiral. Deposit silika paling banyak terdapat dalam bentuk silikat (SiO2) dan tampil sebagai butiran (grain) atau butiran agregrat. Analisis kualitatif dan kuantitatif silika dapat dilakukan secara gravimetri mengikuti prosedur TAPPI standard T 15.06–58 atau ASTM D1102 – 56. Analisis yang lebih teliti dapat menggunakan alat spektroskopi (Fengel dan Wagener, 1984). Sedangkan analisis pati secara kuantitatif berdasarkan SII 70-1979 (Anonim, 2979). Komponen kimia utama beberapa jenis rotan Indonesia dapat dilihat pada Lampiran 8. D. Sifat Fisis dan Mekanis Sifat fisis dan mekanis adalah indikator yang penting untuk menentukan perilaku penampakkan, kekuatan dan bahkan mutu rotan. Sifat – sifat ini berbeda untuk tiap jenis rotan sehingga ia menjadi karakter suatu jenis rotan. Secara mendasar nilai sifat fisis mekanis rotan ditentukan oleh susunan dan orientasi sel penyusunan dan komposisi kimia rotan. Sifat fisis mekanis rotan diuraikan sebagai berikut. 1. Kadar air Dalam penggunaan rotan sebagai bahan baku industri, sangat penting untuk mengetahui, bagaimana air berada dan bergerak di dalam bahan rotan. Hal ini karena hampir semua sifat rotan dan produk rotan dipengaruhi oleh keberadaan air dalam rotan. Pada saat rotan ditebas di hutan, kandungan airnya sangat tinggi bahkan dapat melebihi berat zat rotannya. Apabila sesorang tersesat di dalam hutan dan kehausan, tebaslah sebatang rotan, airnya akan mengucur dari batang yang ditebas. Para pemungut dan petugas survei seringkali memanfaatkan air ini di hutan sebagai penawar dahaga. Ketika rotan dalam keadaan segar, yaitu rotan yang baru ditebas, air dalam bentuk cairan berada dalam rongga sel, dinding sel dan ruang antar sel rotan. Beberapa waktu setelah rotan ditebas jumlah air yang ada dalam rotan akan terus berkurang sampai air hanya terdapat dalam dinding sel dan uap air–jenuh dalam rongga sel serta ruang antar sel. Keadaan ini disebut sebagai titik jenuh serat (TJS). Setalah melewati titik jenuh serat, jumlah air akan terus berkurang sampai tercapai keseimbangan dengan kelembaban udara di sekelilingnya. Di Indonesia
34
kandungan air tersebut berkisar 14 – 20% dari berat rotan kering (tanpa air), tergantung pada kondisi lingkungan di mana rotan tersebut berada. Banyaknya air dalam sepotong rotan dibandingkan dengan berat rotan keringnya dan dinyatakan dalam persen disebut sebagai kadar air. Untuk menghitung kadar air ini secara teliti harus dilakukan di laboratorium, menggunakan timbangan dan oven. Berdasarkan pengertian bahwa kadar air adalah rasio berat air dan berat rotan bebas air maka kadar air dapat dihitung dengan rumus berikut: Bb - Bo KA =
x 100%
Bo dimana: KA = Kadar air ; Bb = Berat basah ; Bo = berat kering oven Dalam praktek sehari–hari dikenal istilah rotan segar, rotan basah, rotan kering udara atau rotan dengan kadar air 8 – 12% dan sebagainya. Rotan segar adalah rotan yang baru dipanen dengan kadar air melebihi 100%. Biasanya, terdapat pada rotan yang baru ditebas. Rotan basah adalah rotan dengan kadar air di atas titik jenuh serat, biasanya di bawah 100% dan di atas rotan kering udara. Nilai kadar air rotan pada saat titik jenuh serat belum diketahui secara pasti. Nilai ini diduga sekitar 30%. Rotan kering udara atau disebut juga rotan kering adalah rotan dengan kadar air 14 – 20% dan merupakan kadar air keseimbangan dengan kelembaban udara atau keadaan cuaca di sekitar tempat rotan tersebut berada. Kadar air rotan kering udara dapat pula diukur dengan cepat, menggunakan alat moisture meter yang banyak dijual dengan berbagai merek. Alat ini pada hakekatnya mengukur secara elektris hubungan antara kandungan air dalam bahan dengan besarnya tegangan listrik. Oleh karena itu, terdapat sedikit perbedaan antara nilai pengukuran kadar air moisture meter dengan nilai pengukuran laboratoris. Untuk mengetahui kadar air rotan segar dan kering udara secara laboratoris pada beberapa jenis rotan dapat dilihat pada Tabel 9.
35
Tabel 9. Kadar air rata–rata rotan segar dan pada kondisi kering udara di daerah Bogor Kadar air Kadar air kering segar Jenis udara (%) (%) Rotan diameter besar 1. Manau (Calamus manan) 140* 18 2. Sampang (Korthalsia junghunii) 111* 18 3. Seuti (C. ornatus) 225 16 4. Bubuay (Plectocomia elongata) 147 15 Rotan diameter kecil 1. Seel (Daemonorops malanocaetes) 235 14 2. Pelah (Calamus sp) 195 16 Keterangan: *) sekitar 5 – 7 hari setelah panen
Pengeringan rotan pada dasarnya, adalah usaha pengeluaran air dari dalam rotan mulai dari rotan segar sampai mencapai kadar air kering udara. Pengeringan rotan biasanya disertai penyusutan. Pada jenis-jenis rotan tertentu terutama rotan muda atau bagian ujung batang dapat terjadi keriput (kisut) atau collaps selama proses pengeringan sehingga menurunkan mutu rotan. Collaps biasanya terjadi pada bagian ujung rotan diameter besar yang dijemur pada sinar matahari yang terlalu terik. Persamaam dasar kadar air dapat dirubah dalam bentuk yang lebih mudah digunakan dalam situasi tertentu sebagai berikut : Bb Bo = 1 + (%KA/100) Bb = Bo (1 + %KA/100) Sebagai contoh, perhatikan suatu situasi tumpukan rotan basah, beratnya 10 ton. Rotan ini akan diangkut dari tempat penebangan ke tempat pengolahan. Kadar air rotan tersebut adalah sekitar 100%. Berapa
36
berat akan dihemat bila rotan dikirim dalam bentuk rotan bulat kering udara (rotan WS) dengan kadar air 20%. 10 Bo = = 5 ton 1+1 Bb (K.A 20%) = 5 (1 + 20/100) = 5 x 1,2 = 6 ton Penghematan berat adalah 10 – 6 = 4 ton. Bila ongkos angkut per ton = Rp 10.000,- maka akan terjadi penghematan biaya sebesar Rp 40.000,-. 2. Berat jenis Berat jenis (specific gravity) adalah salah satu sifat fisik yang paling penting karena akan sangat mempengaruhi sifat kekuatan, kembang susut, sifat menyerap bahan kimia dan finishing serta sifat–sifat lain dalam pengolahan dan penggunaan. Berat jenis (BJ) adalah perbandingan antara berat dan volume bahan dengan perbandingan berat dan volume air. Rumusnya adalah: B/V bahan BJ = B/V air dimana: B = berat ; V = volume Berdasarkan persamaan di atas maka nilai berat jenis tidak memakai satuan. Selanjutnya, karena B/V air = 1 maka BJ diukur berdasarkan B/V bahan. Berat jenis standar selalu dinyatakan Bo/Vb; Bo/Vku atau Bo/Vo (di mana notasi o untuk oven; b untuk basah; ku untuk kering udara). Namun dalam praktek sering digunakan berat jenis atas dasar Bb/Vb atau Bku/Vku. Rotan berat, sedang atau ringan berkaitan dengan berat jenis yang tinggi, sedang atau rendah. Rotan dengan berat jenis yang terlalu tinggi atau terlalu rendah tidak disenangi karena terlalu kaku/ jeras atau terlalu lemah/ lunak. Rotan manau dan tohiti sangat disukai dalam pemakaian karena BJ-nya 0,48 – 0,55 (sedang). Berat jenis rotan dipengaruhi pula
37
oleh sebaran ikatan pembuluh (KIP). Semakin tinggi sebaran KIP semakin tinggi BJ rotan, tetapi sebaran yang terlalu tinggi dan terlalu rendah biasanya kurang disukai Di lapangan sering dipakai istilah kerapatan rotan yang pada hakekatnya sama dengan BJ. Kerapatan adalah berat per satuan volume dan selalu dinyatakan dalam satuan gr/cm³, kg/m³ atau lb/ft³. Kerapatan dihitung atas dasar Bo/Vb, Bb/Vb atau Bo/Vku. Pada kayu daun lebar (hardwood), proporsi sel–sel utama penyusun kayu berpengaruh terhadap berat jenis, seperti dapat dilihat pada Tabel 10. pada tabel tersebut secara umum tampak adanya hubungan, bahwa penurunan volume pori akan meningkatkan berat jenis. Secara nalar ternyata penggantian kedudukan sel pori yang besar oleh sel–sel serat dengan dinding yang lebih tebal dan sel – sel parenkim akan meningkatkan jumlah dinding sel, dengan demikian akan meningkatkan berat jenis. Hubungan yang sama berlaku pula pada rotan (Tabel 10). Tabel 10. Hubungan antara proporsi relatif pori, serat dan parenkim dengan berat jenis Jenis Kayu : ¹) Basswood Sweetgum Birch Hickory Rotan ²) Tretes Galaka Seuti Manau Tohiti
Pori (%)
Serat (%)
Parenkim (%)
BJ
56 54 21 6
36 26 64 67
8 20 15 22
0,32 0,46 0,50 0,64
17 23 18 20 21
30 33 28 40 38
53 45 46 40 41
0,40 0,50 0,51 0,59 0,61
Keterangan: ¹) Wangard (1979), ²) Rachman (1996)
3. Kekuatan lentur statik Kekuatan lentur statik adalah ukuran kemampuan rotan menahan beban lentur yang mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk. Perubahan dapat berupa pelengkungan (bending), perpanjangan (tensile) atau torsi (beban putar). Tingkat perubahan bisa sampai batas elastis dan
38
sampai maksimum. Batas elastis diartikan apabila perubahan bentuk yang terjadi akibat pembebanan akan kembali ke bentuk semula jika beban dilepaskan. Sedangkan, batas maksimum adalah bila perubahan bentuk akibat pembebanan tidak kembali ke bentuk semula jika beban dilepaskan. Grafik hubungan pembebanan dan perubahan bentuk (stress-strain) dalam uji lengkung (bending) pada kayu berbeda dengan rotan. Setelah mencapai batas lengkungan (deflection) maksimum, kayu akan mengalami patah (Gambar 10a). Sedangkan, pada rotan tidak mengalami patah melainkan pertambahan lengkungan tidak lagi menyebabkan kenaikan beban (Gambar 10b). Titik maksimum, pada beberapa jenis rotan dicapai pada lengkungan sekitar 25 mm. Pengujian lentur statik pada rotan dengan mesin uji lentur disajikan pada Gambar 11.
P
P
M
M E
E
Kayu
E
(a)
Rotan
E
(b)
Keterangan : E = Batas elastis; M = Batas maksimum; ǂ = Lengkungan; P = Beban
Gambar 10. Grafik hubungan antara defleksi dan beban pada uji lentur statik rotan (b) dan kayu (a)
Ukuran kemampuan sampai batas elastis disebut modulus elastisitas (MOE) dan sampai batas maksimum disebut modulus rusak (MOR) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: 0.424 Pe L³ MOE =
D4 Fe
39
1.273 Pm L MOR = D³ dimana: Pe = beban elastis; L = jarak sanggah, D = diameter rotan; Fe = lengkungan; Pm = beban maksimum. Untuk rotan diameter besar biasanya digunakan MOE dan MOR lengkung dan untuk kulit rotan digunakan MOE dan MOR perpanjangan (tarik).
Gambar 12. Pengujian lentur statik rotan pada mesin uji
Dalam hubungan dengan MOE lengkung dan MOR (lengkung maksimum) pada rotan perlu dibedakan dengan istilah kekerasan yang digunakan dalam standar mutu rotan. Istilah kekerasan dalam standarisasi rotan diartikan, jika sepotong rotan dilengkungkan dengan kedua tangan lalu ia menjadi patah maka dinyatakan kekerasannya rendah dan sebaliknya kekerasannya tinggi. Sedangkan, kekerasan dalam pengertian mekanika adalah besarnya gaya yang diperlukan untuk menancapkan bola baja berdiameter 11,5 mm ke dalam bahan 5,525 mm. Kekerasan adalah indikator yang menunjukkan kegunaan kayu untuk paving block, flooring, bearing dan bahan lain yang sama. Adapun kekakuan (stiffness) adalah kemampuan bahan menahan beban seketika dan merupakan indikator
40
baik tidaknya bahan sebagai hammer handle, athletic goods dan bahan sejenis lainnya. Sifat mekanis lain yang penting adalah keteguhan belah yang menunjukan mudah tidaknya rotan dibelah dan dikupas. Rachman (1996) melaporkan bahwa MOE lengkung beberapa jenis rotan berkisar antara 5.000 – 45.000 kg/cm². Selanjutnya hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa rotan tohiti MOEnya 54.000 kg/cm2 (Jasni et.al, 2007). Menurut Hadikusumo (1990) MOE lengkung rotan jauh lebih rendah daripada kayu, yaitu sekitar 1/3 kayu pada berat jenis yang hampir sama. Keteguhan lengkung maksimum kayu dan rotan tidak berbeda jauh pada berat jenis yang sama, yaitu sekitar 550 – 650 kg/cm² pada berat jenis 0,55 – 0,65. Adapun keteguhan tekan sejajar serat pada rotan semambu, kayu kelapa dan kayu meranti dengan berat jenis yang sama (0,54) masing–masing adalah 205 kg/cm², 395 kg/cm² dan 411 kg/cm². Sifat fisis dan mekanis beberapa jenis rotan disajikan pada Lampiran 9. Para peneliti rotan tampaknya juga sependapat bahwa keberadaan berkas serat berpengaruh terhadap sifat fisik dan mekanik rotan. Bhat dan Thulasidas (1989) melaporkan, bahwa tebal dinding sel serat adalah parameter anatomi yang paling penting yang menentukan perilaku sifat fisik rotan. Dinding yang lebih tebal mengakibatkan rotan lebih keras dan lebih berat. Selanjutnya Yudodibroto (1984) melaporkan bahwa jumlah sel–sel schlerenchyma yang terdapat di sekitar ikatan pembuluh berkolerasi dengan kekuatan tarik (tensile strength) rotan, yaitu kenaikan persentase sel–sel ini, yang diukur pada penampang lintang akan meningkatkan kekuatan tarik rotan seperti terlihat pada Tabel 11. Tabel 11. Hubungan antara jumlah sel schlerenchyma dan kekuatan tarik rotan Daerah yang ditempati (%) Kekuatan tarik Jenis rotan Sel–sel (kg/cm2) Sel–sel lain schlerenchyma Tohiti (Calamus 43,9 56,1 1.239,15 inops) (Calamus sp) 28,4 71,6 847,34 Umbul (Calamus 25,8 74,2 830,81 symphysipus)
41
Pada Tabel 11. diatas dapat dilihat bahwa C. inops mengandung 43,9% sel serat. Sedangkan C. symphysipus yang mengandung 25,8% sel serat mempunyai kekuatan tarik sekitar 30% lebih rendah dari C. inops. Hadikusumo (1994) menyatakan bahwa dari pengamatan 17 jenis rotan diperoleh rata–rata proporsi sel serat sekitar sepertiga bagian (33,3%), sepertiga berikutnya adalah sel vascular dan sepertiga terakhir adalah sel parenkim. Bhat dan Thulasidas (1989) mencoba menjelaskan penyebab terjadinya pecah dan patah pada rotan Calamus metzianus yang tergolong berdiameter kecil berdasarkan hasil pengamatan struktur anatomi secara mikroskopis seperti pada Tabel 12. Pada tabel tersebut dapat dilihat, bahwa C. metzianus yang mengandung rata–rata 16% sel serat adalah setengah dari nilai persentase serat rotan jenis lainnya. Diameter pembuluh metaksilim yang besar juga dapat menambah volume rongga pada jaringan batang sehingga menurunkan kekuatan rotan. Selain itu pada diameter serat yang hampir sama, diameter lumen C. metzianus jauh lebih tinggi sehingga ketebalan dindingnya kecil. Tabel 12. Struktur anatomi tiga jenis rotan dari Kerala, India Sifat Jumlah ikatan pembuluh/mm2 Diameter ikatan pembuluh (mm) Jumlah serat (%) Jumlah xylem (%) Jumlah phloem (%) Diameter metaksilim (μ) Panjang serat (μ) Diameter serat (μ) Lebar lumen (μ) 2x tebal dinding sel (μ)
42
C. metzianus (ø kecil) 6,0
C. travancoricus (ø kecil) 4,0
C. thawaitesii (ø besar) 3,0
0,61
0,31
0,76
16,0 25,2 8,7 283,0
32,0 27,0 8,5 130,0
32,0 23,0 7,5 290,0
1.576 19,0 13,0 6,0
1.400 17,0 7,0 10,0
1.700 19,0 8,0 11,0
Menurut Hadikusumo (1994) sifat kelengkungan rotan (radius terkecil dari pelengkungan rotan) lebih banyak dipengaruhi oleh diameter dan kandungan lignin dan sedikit dipengaruhi oleh berat jenis dan kandungan silika, dalam bentuk hubungan regresi linier berganda. Hasil beberapa jenis radius lengkung rotan seperti terlihat pada Lampiran 10. E. Keawetan Keawetan rotan adalah ketahanannya terhadap serangan organisme perusak yang melakukan perusakan secara alami pada substrat rotan. Biasanya yang dimaksud organisme perusak pada rotan adalah mikroorganisme berupa jamur dan serangga, baik pada tanaman masih hidup maupun setelah panen. Dengan demikian istilah keawetan mengacu kepada daya tahan rotan terhadap serangan organisme tersebut. Beberapa jenis rotan sangat tahan terhadap serangan jamur dan serangga, disamping penampakannya yang sangat baik. Karena itu, jenis– jenis rotan ini disebut sebagai rotan elite Indonesia, yaitu: jenis manau (Calamus manan), tohiti (C. inops), sega (C. caesius) dan irit (C. trachycoleus). Faktor penyebab tingginya keawetan jenis–jenis rotan ini belum diketahui dengan jelas. Akan tetapi, adanya kandungan ekstraktif tertentu dalam rotan diduga mampu menahan serangan organisme perusak sehingga bahan ini berfungsi sebagai fungisida atau insektisida. Sebaliknya, kebanyakan jenis–jenis rotan sangat mudah diserang oleh organisme perusak rotan. Bahkan, serangan itu sudah mulai terjadi setelah 24 jam rotan dipanen. Demikian pula dalam penumpukan, pengangkutan, pengolahan dan selama pemakaian rotan tidak luput dari kemungkinan serangan organisme perusak rotan. Faktor yang menyebabkan rotan mudah diserang terutama adalah karena adanya kandungan zat pati, gula dan protein yang cukup tinggi pada rotan. Zat ini merupakan makanan organisme perusak. Selain itu, organisme tersebut dapat pula memakan komponen kimia utama penyusun rotan, yaitu selulosa dan lignin serta mampu merombaknya menjadi gula dan pati. Saat ini sudah ada klasifikasi ketahanan jenis–jenis rotan Indonesia yang berlaku secara umum seperti pada kayu, namun belum ada peraturan yang mengharuskan pengawetan rotan yang diperdagangkan. Klasifikasi keawetan rotan Indonesia telah dilakukan Jasni dan Supriana (1999) menyusun klasifikasi rotan kering berdasarkan pengurangan berat pada 8 jenis rotan yang ditulari dengan
43
bubuk rotan kering (Dinoderus minutus) di laboratorium. Contoh rotan dengan kadar air berkisar 12 – 19 % masing – masing berukuran panjang 2 cm dan tiap contoh ditulari 10 ekor bubuk rotan kering. Pengamatan kehilangan berat dilakukan setelah contoh ditulari selama satu bulan bubuk rotan kering seperti Tabel 13. Tabel 13. Kriteria kelas keawetan rotan terhadap bubuk Ketahanan Kelas ketahanan Kehilangan berat (mg) Sangat tahan I < 42 II
43 – 62
III
63 – 82
Tahan Sedang
IV
83 – 102
Buruk
V
>102
Sangat buruk
Berdasarkan kriteria tersebut disusun klasifikasi ketahanan rotan seperti pada Tabel 14. Tabel 14. Kelas ketahanan rotan terhadap serangan bubuk rotan kering (Dinoderus minutus Farb). Jenis rotan Manau (Calamus manan) Tohiti (C. inops) Galaka (Calamus sp) Batang (C. zolingerii) Balukbuk (C. burckianus) Semambu (C. spicionum) Tretes (Daemonorops heteroides) Bubuay (Plectocomia elongata)
Kehilangan berat (mg)
Kelas awet
13,0 25,0 35,0 47,5 50,0 75,0 65,0 185,0
I I I II II III III V
Selanjutnya Jasni dan Roliadi (2011) telah menyusun klasifikasi ketahanan rotan terhadap serangan bubuk rotan kering. Klasifikasi ditetapkan berdasarkan kehilangan berat pada 16 jenis rotan kecil yang
44
ditulari dengan bubuk rotan kering (Dinoderus minutus) di laboratorium. Contoh rotan dengan kadar air berkisar 12 – 19 % masing – masing berukuran panjang 5 cm, rotan dibelah dua dan tiap contoh ditulari 10 ekor bubuk rotan kering. Pengamatan kehilangan berat dilakukan setelah contoh ditulari selama satu bulan. Kriteria penentuan kelas ketahanan yang didasarkan pada kehilangan berat adalah seperti Tabel 15. Tabel 15. Kriteria kelas keawetan rotan terhadap bubuk Ketahanan Kelas ketahanan Kehilangan berat (%) I <0,81 Sangat tahan Tahan II 0,82 – 1,33 III 1,34 – 1,98 Sedang Buruk IV 1,99 – 2,76 Sangat buruk V >2,76 Berdasarkan kriteria tersebut disusun klasifikasi ketahanan rotan seperti pada Lampiran 11. Kemudian Jasni dan Roliadi (2010) juga menyusun klasifikasi berdasarkan kehilangan berat pada 25 jenis contoh rotan, diuji dengan rayap tanah (Cototermes curvignathus Holmgren) di laboratorium. Contoh rotan dengan kadar air berkisar 12 – 19 %. Pengamatan kehilangan berat dilakukan setelah contoh selama 4 minggu pengujian rayap tanah. Kriteria penentuan kelas ketahanan yang didasarkan pada kehilangan berat adalah seperti Tabel 16. Tabel 16. Kriteria kelas keawetan rotan terhadap rayap tanah Kelas ketahanan Kehilangan berat (%) Ketahanan I <17,0 Sangat tahan II 17,1 – 24,0 Tahan III 24,1 – 31,7 Sedang IV 31,8 – 39,8 Buruk Sangat buruk V >39,8 Berdasarkan kriteria tersebut disusun klasifikasi ketahanan rotan seperti pada Lampiran 12.
45
V. PENGOLAHAN ROTAN Rotan sebagai bahan untuk mebel, tikar, lampit, keranjang dan sebagainya sudah banyak diketahui dan digunakan sehari-hari, namun rotan sebagai material hayati yang berasal dari hutan dan tahap-tahap pengolahannya secara menyeluruh belum banyak diketahui, mulai dari bahan baku di hutan sampai barang jadi. Pengolahan yang tepat akan menghasilkan rendemen yang tinggi dan produk dengan kualitas yang konsisten A. Penanganan Bahan Baku Rotan di Hutan Rotan merupakan tanaman pemanjat yang panjangnya dapat mencapai 100 meter atau lebih dari pangkal sampai pucuknya. Rotan dapat tumbuh secara tunggal atau berumpun. Cara pemanenan sebaiknya disesuaikan dengan jenis pertumbuhan rotan tersebut. Sampai saat ini cara pemanenan rotan masih dikerjakan dengan cara tradisional yang berlaku turun temurun. Proses pemanenan yang tepat sangat mempengaruhi mutu hasil akhir pengolahan rotan, karena itu pekerjaannya harus dilakukan dengan sebaik–baiknya. Semua jenis rotan harus dipungut pada umur masak tebang, jika tidak maka rotan yang ditebang pada umur muda akan menghasilkan warna yang tidak cerah dan kulit keriput yang dapat dilihat setelah rotan dikeringkan. Penentuan umur masak tebang bagi rotan tanaman mudah dilakukan, yaitu sekitar 7 – 8 tahun bagi rotan diameter kecil dan 12 – 15 tahun bagi rotan diameter besar. Namun, umur masak tebang untuk rotan alam dikenali oleh pemungut melalui tanda–tanda sebagai berikut: x
Dari kejauhan dapat dilihat, bahwa sebagian daunnya berwarna kekuningan dan telah mengering.
x
Kelopak daun atau seludang, terutama pada hampir seluruh batang bagian bawah sudah rontok, berwarna coklat kehitaman dan biasanya berserakan di bawah batang.
x
Bagian batang yang seludangnya telah terbuka ini berwarna hijau tua.
Rotan yang sudah masak tebang sebaiknya dipungut pada musim kemarau. Dengan cara ini akan memberikan dua keuntungan. Pertama, rotan hasil pemungutan akan lebih cepat kering. Kedua, tunggak (stump) sisa tebangan tidak membusuk yang dapat merusak anakan pada rumpun
46
rotan (rotan yang tumbuh berumpun). Kalau sekiranya harus memanen pada musim hujan, tunggak dari batang yang ditebas ditutupi untuk mencegah masuknya air. Hal ini membantu usaha pelestarian rotan dengan cara menghindari kerusakan ekosistem rumpun rotan. Rotan yang baru ditebang akan mengucurkan air bening dari dalam batangnya. Selanjutnya, rotan ditarik dari rumpun atau pohon penyangga, penarikan harus dilakukan hati–hati. Cara penarikan yang kurang baik dan tidak terampil menyebabkan batang rotan akan rusak atau putus. Adakalanya pemungut harus memanjat pohon inang atau bahkan menebangnya untuk dapat menarik rotan dengan lebih mudah. Hal ini biasanya dilakukan bagi jenis rotan yang bernilai jual tinggi, seperti manau (Calamus manan). Berdasarkan hasil pengamatan pada rotan berdiameter besar (manau, batang, semambu, tohiti) terdapat atau ada sekitar 10 – 15% rotan tertinggal karena tidak dapat ditarik. Di Sulawesi Selatan bahkan dilaporkan ada seitar 28,5% rotan rusak selama pemungutan. Usaha perbaikan pemungutan dilakukan dengan menggunakan alat tirfor. Dengan alat ini rotan yang telah ditebang ditarik secara mekanis. Percobaan pemakaian alat ini di lapangan ternyata dapat menurunkan kerusakan sampai ± 3% (Sinaga, 1986). Rotan yang sudah ditarik dari pohon penyangga atau rumpunnya lalu dipotong bagian ujungnya yang lunak. Bila bagian ini terbawa akan merusak mutu rotan karena menjadi keriput setelah pengeringan. Bagian batang yang akan dimanfaatkan, selanjutnya dibersihkan dari duri-duri, kelopak dan kotoran lainnya. Pada beberapa jenis rotan kecil, seperti sega atau irit, setelah penarikan biasanya dilakukan proses runti. Proses ini bertujuan untuk membersihkan lapisan silika yang menempel pada permukaan kulit rotan. Ada beberapa cara yang dilakukan dalam merunti rotan antara lain dengan cara melewatkan rotan bolak-balik pada beberapa batang bambu yang ditancapkan di tanah. Cara lain yaitu memukul-mukul rotan dengan sepotong kayu atau bambu. Rotan yang sudah dibersihkan, kemudian dipotong-potong dalam ukuran sesuai permintaan. Ukuran rotan besar biasanya dipotong-potong sepanjang ± 3 meter dan rotan kecil ± 6 meter. Pada saat ditebang kadar air potongan rotan masih cukup tinggi, yaitu sekitar 100-200%, tergantung jenis dan lokasi pertumbuhan rotan. Batang rotan yang sudah dibersihkan dan dipotong-potong kemudian diikat menjadi bundelan yang siap dibawa ke tempat pengumpulan (Gambar 12).
47
Gambar 12.
Penumpukan rotan di tempat pengumpulan sementara di tepi hutan.
Pengangkutan ke tempat pengumpulan dilakukan dengan berbagai cara yaitu dipanggul oleh pemungut, ditarik oleh sapi atau kerbau, diangkat dengan gerobak, perahu atau rakit. Setelah sampai di tempat pengumpulan biasanya timbul kerusakan fisis dan biologis. Beberapa jenis rotan komersil yang dipungut terutama sega, manau, tohiti tidak mudah diserang oleh jamur dan serangga sehingga terhindar dari kerusakan biologis. Namun demikian, kebanyakan jenis lain mudah diserang mikroorganisme perusak rotan, sehingga jenis-jenis ini tidak dipungut. Kerusakan fisik yang banyak ditemui adalah kulit tergores, retak atau pecah karena kurang hati-hati selama pengangkutan. Oleh karena itu, di tempat pengumpulan rotan tersebut dibersihkan kembali, adakalanya disortir, lalu dijemur secukupnya (2 - 3 hari). Sampai dengan tahap proses ini, dihasilkan apa yang disebut rotan asalan. Kadang-kadang rotan ini disebut juga sebagai rotan unwashed and sulphurized (UWS) atau rotan bulat basah, yaitu rotan yang belum dicuci, dijemur dan diasap belerang tetapi sudah dirunti (bagi rotan kecil). Rotan asalan kondisinya masih basah dengan kadar air masih di atas 20%.
48
B. Pengolahan Rotan Bahan Mentah Rotan bahan mentah adalah rotan asalan yang sudah mengalami tahap-tahap proses pencucian, penggorengan, penjemuran, pengasapan, pembelahan kasar, polis kasar dan pemotongan. Sortimen rotan yang dihasilkan proses ini terdiri dari rotan bulat berkulit, rotan kikis buku, rotan polis kasar, rotan belahan kasar. Pada hakekatnya, pengolahan rotan bahan mentah ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu pengolahan rotan asalan menjadi rotan bulat berkulit atau disebut juga rotan Washed and Sulphurized (WS) dan pengolahan rotan WS menjadi rotan bahan mentah. Tahap pengolahan WS hanya meliputi pencucian, penggorengan (khusus rotan berdiameter besar), pejemuran dan pengapasan. Proses ini hanya menghasilkan rotan bulat yang masih berkulit dan telah kering udara. Produk seperti ini dalam perdagangan sering disebut sebagai rotan we-es (WS) atau dalam buku teks dan perdagangan manca-negara disebut sebagai cane. Cara pengolahan rotan WS ini sangat sederhana, bersifat tradisional dan unskilled akan tetapi perlakuan–perlakuan dalam prosesnya sangat berpengaruh terhadap mutu rotan bahan mentah maupun produk akhir rotan. Cara pengolahan ini sudah dikenal sejak lama dan dipakai secara turun temurun dari generasi ke generasi. Rotan WS yang dihasilkan selanjutnya dalam tahap pengolahan berikutnya dipotang–potong menjadi sortimen rotan bulat pendek dan rotan kikis buku; dipolis menjadi rotan polis kasar atau dibelah menjadi rotan belahan kasar. Tahapan pengolahan rotan bahan mentah ini berbeda untuk rotan berdiameter besar (manau, tohiti, batang, semambu dan lain–lain) dan rotan berdiameter kecil (sega, jahab, jermasin dan lain– lain). Perbedaan tersebut diuraikan seperti di bawah ini. 1. Rotan besar Bagan alir pengolahan rotan bahan mentah berdiameter besar dapat dilihat pada Gambar 13. Bagan ini menggambarkan secara menyeluruh rincian langkah-langkah pengolahan yang pada pokoknya dari mengolah rotan asalan menjadi rotan WS atau disebut juga rotan bahan mentah.
49
ROTAN ASALAN SORTASI I LIMBAH ) 5 -20% PENGGORENGAN PENGGOSOKAN PENJEMURAN S/D KERING UDARA PENGASAPAN ROTAN BULAT WS SORTASI II MUTU A,B 25-40%
MUTU C, D ± 40%
PELURUSAN
PELURUSAN
BUANG BUKU
POLIS KASAR PENGASAPAN
PENGASAPAN NATURAL CANE
REJECTED*
PEMOTONGAN
PEMOTONGAN BUNDLING
BUNDLING
BUNDLING
Gambar 13. Bagan alir pengolahan bahan mentah rotan besar Keterangan: *) kulit terkelupas, retak/pecah, serangan jamur/insekta
Dalam pengolahan rotan asalan menjadi WS terdapat beberapa tehnik yang pernah berkembang di beberapa daerah di Indonesia, yaitu : x
Penggorengan, di Sumatera Barat
x
Pelayuran, di Jawa Barat dan Lampung
x
Perendaman dalam air (2 – 3 minggu), di Kalimantan Barat
x
Pencelupan kedalam lumpur dan kemudian diasapi di atas api, di Sulawesi Selatan.
Kedua teknik yang disebut pertama di atas pada pokoknya bertujuan melakukan pemanasan awal untuk mempercepat pengeluaran air dan bahan getah-getahan dari dalam bahan rotan. Teknik pelayuran
50
dilakukan dengan cara menyiram rotan dengan minyak tanah lalu dibakar kemudian api segera dimatikan menggunakan karung goni basah. Dewasa ini, teknik pelayuran hampir sudah tidak ditemui lagi karena bila kurang terampil sebagian rotan bisa terbakar. Kedua teknik yang disebut terakhir di atas pada dasarnya bertujuan melarutkan zat ekstraktif, terutama pati dan gula yang merupakan bahan atraktan bagi mikroorganisme perusak rotan. Di samping itu cara ini juga dimaksudkan untuk melunakkan kotoran yang menempel pada kulit rotan agar mudah terkelupas. Dewasa ini teknik penggorengan sangat umum ditemui dalam proses pengolahan rotan asalan menjadi rotan WS. Teknologi penggorengan mengunakan peralatan sederhana yang di buat seluruhnya dari bahan-bahan lokal, terdiri dari tungku dan kuali yang berbentuk palung dengan panjang sekitar 4 m, lebar 125 cm dan tinggi 90 cm. Karena itu unit penggorengan rotan banyak dibangun oleh masyarakat lokal dan biasanya didirikan di tempat-tempat yang dekat dengan sumber rotan asalan. Salah satu tipe kuali penggorengan yang dipakai adalah seperti pada Gambar 14.
Gambar 14. Unit penggorengan rotan
Kuali mula-mula diisi sekitar tiga-perlima volumenya dengan minyak penggoreng lalu dipanaskan sampai mencapai suhu sekitar 80 derajat Celcius. Rotan dimasukkan ke dalam kuali lalu digoreng selama lebih kurang 30 menit. Minyak penggoreng biasanya diganti setelah digunakan untuk sekitar 40 kali penggorengan atau bila minyak sudah kelihatan kotor. Sisa minyak penggoreng yang ada di dalam kuali dapat digunakan setelah terlebih dahulu disaring. Konsumsi minyak penggoreng untuk tiap batang rotan adalah sekitar 0,17 – 0,20 liter, tergantung efisiensi pemakaian.
51
Tujuan penggorengan adalah sebagai berikut : a. Menurunkan kadar air rotan Penurunan kadar air rotan sebesar 40 – 60% akan menurunkan berat sekitar 15 – 20% dan volume antara 6 – 12% (Maulana, 1997). Selain itu penurunan kadar air yang besar akan menghemat waktu penjemuran atau pengeringan rotan di lapangan. Waktu penjemuran yang relatif pendek setelah penggorengan (1 – 2 minggu) akan menghindarkan rotan dari serangan jamur dan serangga perusak rotan. Dengan demikian penggorengan bukan berarti dapat mengawetkan rotan. Casin (1975) melaporkan, bahwa rotan yang tidak digoreng seperti yang dilakukan di Philipina pada rotan palasan (Calamus maximus Merr. dan Calamus ornatus MAR, sejenis manau atau tohiti di Indonesia) memerlukan waktu penjemuran ± 26 minggu dari basah (kadar air ± 155%) sampai kadar air ± 20% dan masih memerlukan 1 minggu untuk mencapai kadar air keseimbangan (Equilibrium Moisture Content = EMC). Dari hasil penelitian juga diketahui bahwa jamur Ascomycetes (penyebab bercak biru, blue stain) tumbuh subur pada kadar air rotan sekitar 100% dan kelembaban 84%. Dengan penggorengan kondisi tersebut dilewati sewaktu rotan dalam penggorengan. b. Melarutkan getah Bahan getah seperti gum, lilin, gelatin dan sejenisnya pada batang rotan umumnya tertimbun pada kulit bagian epidermis. Fungsinya sewaktu tanaman masih hidup adalah untuk melindungi penguapan air yang tinggi dari rongga – rongga sel di bawahnya. Seperti halnya pohon jati yang menggugurkan daun pada musim kemarau. Komposisi minyak penggoreng yang umum digunakan terdiri dari sebagian besar minyak bumi (minyak tanah, minyak solar). Minyak bumi ini merupakan pelarut yang baik untuk getah seperti gum, lilin dan sejenisnya. Daya melarutkan tersebut semakin cepat pada suhu penggorengan yang cukup tinggi (60 - 80ºC). Rotan yang getah–getahnya telah dilarutkan dalam minyak penggoreng akan mempermudah pengeluaran air dan akan memperpendek waktu penjemuran. Dengan demikian, kesempatan rotan untuk diserang jamur akan berkurang. c. Pemanasan tanpa udara Berdasarkan hasil-hasil percobaan telah dibuktikan bahwa bahan berlignoselulosa (termasuk rotan) apabila dipanaskan pada udara terbuka
52
maka penurunan sifat kekuatannya akan terjadi dengan cepat. Potonganpotongan kayu yang dicelupkan ke dalam metal cair pada suhu 320ºC selama 1 menit, 250ºC selama 1 jam dan 160ºC selama 1 minggu menghasilkan penurunan keteguhan patah (MOR) yang hampir sama yaitu sebesar 17% dari keteguhan sebelum dipanaskan. Apabila kayu yang sama dipanaskan pada udara terbuka (ada oksigen) maka penurunan keteguhan patahnya mencapai 50% (Stam, 1964). Campuran minyak penggoreng yang identik dengan metal cair dalam percobaan Stam di atas yang umum ditemui adalah sebagai berikut: x x x x x x x x x x
Minyak solar + minyak kelapa Minyak solar + minyak sawit Minyak solar + minyak tanah Minyak solar + air Minyak tanah + minyak kelapa Minyak tanah + minyak sawit Minyak tanah + air Minyak tanah + oli motor (motor oil) S.A.E 20 -120 Minyak tanah Minyak solar
Berdasarkan hasil percobaan Rachman (1986) pada rotan manau dan tohiti dapat diketahui pengaruh berbagai komposisi minyak penggoreng dan lama waktu penggorengan terhadap penurunan kadar air, kecerahan warna dan penurunan sifat kekuatan atau keteguhan rotan. Percobaan ini menggunakan 5 macam minyak penggoreng, yaitu: minyak tanah (MT), minyak solar (MS), campuran minyak tanah dan solar (MT.MS), campuran minyak tanah dan oli SAE – 40 (MT.MO), serta campuran minyak solar dan minyak kelapa (MS.MK). Pengamatan kecerahan warna dinilai menggunakan skor 5 – 1, yaitu dari warna kuning terang sampai coklat kekuning–kuningan. Hasil percobaan tersebut dapat dilihat pada Gambar 16. Seperti disajikan pada Gambar 15 A penurunan kadar air semakin meningkat dengan meningkatnya waktu penggorengan. Penurunan kadar air tertinggi terjadi pada rotan yang digoreng dengan campuran minyak penggoreng MTMS, yaitu mencapai sekitar 70 %. Pada Gambar 15 B tampak bahwa kecerahan warna menurun dengan meningkatnya waktu
53
penggorengan. Sedangkan Gambar 15 C menunjukkan bahwa waktu penggorengan yang semakin lama akan menurunkan sifat kekuatan rotan. Hasil percobaan secara keseluruhan dapat memberikan informasi sebagai berikut: x
Pemakaian minyak tanah saja dalam penggorengan rotan memberikan nilai warna yang lebih cerah dibandingkan dengan minyak penggoreng lainnya. Akan tetapi penggorengan dengan minyak tanah harus hati – hati karena laju penurunan warna dan keteguhan sangat cepat.
x
Penggunaan minyak nabati seperti minyak kelapa atau minyak sawit dalam campuran minyak penggoreng bertujuan untuk mengurangi laju penurunan keteguhan dan kecerahan warna rotan.
A
B
C
Gambar 15. Grafik hubungan waktu penggorengan dengan kadar air (A), kecerahan warna (B) dan keteguhan rotan (C). 54
Pada awalnya, hampir seluruh hasil proses penggorengan yang menghasilkan rotan WS ditujukan untuk mendapatkan kulit rotan yang baik, yaitu berwarna cerah dan mengkilap. Rotan ini disebut juga sebagai natural cane yang langsung dapat dibuat barang jadi, seperti mebel dengan harga yang tinggi. Produk seperti ini memerlukan penampilan kulit alami dan warna asli rotan. Produk semacam ini sudah sangat jarang diproduksi kecuali pesanan khusus karena harganya yang sangat mahal. Rotan WS, oleh pengolah biasanya diklasifikasikan mutunya menjadi kualitas A, B, C dan D. Semakin banyak banyak terdapat cacat pada kulit dan semakin berwarna buram semakin rendah kualitas rotan. Praktek di lapangan menunjukkan, bahwa penggorengan hanya menghasilkan 25 – 40% berkualitas A dan B. Sedangkan rotan berkualitas A atau yang termasuk natural cane tidak lebih dari 20%, sisanya berupa rotan yang kulitnya mengandung cacat. Bahkan, dewasa ini jumlah natural cane yang diperoleh semakin menurun. Rotan yang sudah dipilah menurut kualitasnya, selanjutnya diluruskan dengan mesin pelurus atau secara manual. Pelurusan secara manual dikerjakan dengan cara menjepit salah satu ujung rotan dengan kayu dan mendorong atau menarik ujung yang lain berulang-ulang dangan tangan sampai potongan rotan menjadi lurus. Rotan bermutu A yang sudah lurus dibuang bukunya agar berpenampilan lebih bersih. Untuk meningkatkan mutu rotan ini biasanya dilakukan lagi pengasapan. Kelompok rotan dengan mutu yang lebih rendah dikupas kulitnya menjadi produk yang disebut sebagai rotan polis. Mengingat sebagian besar rotan WS dikupas kulitnya untuk dijadikan rotan polis kasar maka untuk menghemat penggunaan enersi, seharusnya rotan yang akan dijadikan natural cane saja yang digoreng. Sisanya, tidak harus digoreng tetapi cukup dilakukan pengupasan kulit pada saat rotan masih basah, lalu rotan dijemur sampai mencapai kering udara. 2. Rotan kecil Pada rotan kecil biasanya tidak dilakukan penggorengan karena batangnya lebih kecil daripada rotan besar, sehingga lebih mudah mengeringkannya dan membutuhkan waktu penjemuran yang relatif pendek. Skema umum pengolahannya disajikan pada Gambar 16. Dalam skema pengolahan tersebut dapat dilihat bahwa ada 2 versi cara pengolahan. Pertama, melakukan pencucian setelah rotan asalan disortir. Kedua, melakukan pengasapan secara langsung setelah rotan
55
asalan disortir. Tujuan yang kedua dimaksudkan untuk mengawetkan rotan selama penjemuran meskipun tujuan tersebut belum terbukti secara ilmiah. Hal ini disebabkan asam belerang (SO2) pada dasarnya tidak mempunyai efek membunuh jamur atau insek akan tetapi lebih banyak sebagai oksidator untuk memucatkan warna rotan. ROTAN ASALAN (runti/tanpa) SORTASI I LIMBAH PENGASAPAN*)
PENCUCIAN
PENJEMURAN
PENJEMURAN
PENCUCIAN PENGASAPAN
JEMUR ULANG PENGASAPAN
ROTAN KERING UDARA SORTASI II
ROTAN BULAT MUTU P BUANG BUKU NATURAL CANE BUNDLING / STORAGE
ROTAN BULAT MUTU D,T,E PERENDAMAN / TANPA PEMBELAHAN MESIN / TANGAN LIMBAH ROTAN BELAHAN KASAR BUNDLING / STORAGE
Gambar 16. Bagan alir pengolahan bahan mentah rotan kecil
56
Pada langkah selanjutnya, yaitu sebelum proses pembelahan rotan, sebagian industri pengolahan melakukan perendaman. Secara fisik perendaman menyebabkan penyerapan air oleh bahan rotan sehingga terjadi pengembangan jaringan rotan karena air memasuki rongga sel, ruang antar sel dan dinding sel rotan. Secara kimia air yang memasuki dinding sel akan meregangkan rantai-rantai selulosa yang tersusun dalam mikrofibril. Kondisi seperti tersebut di atas akan menyebabkan rotan menjadi lunak. Proses pelunakan (softening) ini akan memberikan beberapa keuntungan : x Memudahkan pembelahan x Mengurangi penggunaan tenaga mesin atau tenaga orang karena air yang diserap berfungsi pula sebagai pelumas antara rotan dan pisau pembelah. x Meningkatkan rendemen pembelahan karena dapat mengurangi terjadinya rotan putus selama pembelahan. Pembelahan rotan sega, jahab dan jermasin yang dilakukan pada kondisi basah menghasilkan rendemen kulit dan hati lebih tinggi sekitar 3 – 8% dibandingkan kondisi kering (Tabel 17). Badhwar (1961), menyarankan, bagi rotan di India sebaiknya dibelah dalam keadaan segar atau segera setelah dipanen. Keuntungannya adalah : x Rotan lebih mudah dibelah dan lebih hemat tenaga x Hasil pembelahannya lebih cepat kering sehingga terhindar dari serangan jamur dan insekta. Apalagi bila setelah pembelahan dicelupkan dalam bahan pengawet. Tabel 17. Rendemen rotan sega, jahab dan jermasin pada kondisi pembelahan basah dan kering (%) Jenis rotan/hasil Sega - rotan kulit - rotan hati - Jumlah Jahab - rotan kulit - rotan hati - Jumlah
Kondisi pembelahan Kering Basah 16,7 51,1 67,8
19,1 54,1 73,2
20,3 38,5 58,8
22,8 44,8 67,6
57
Jermasin - rotan kulit - rotan hati - Jumlah
13,9 47,1 61,0
19,1 58,7 77,8
Sumber : Rachmat, et al. (1981)
3. Pengeringan rotan Sebagian besar hasil–hasil pertanian dikeringkan lebih dahulu sebelum dimanfaatkan atau diolah lebih lanjut. Tujuan utamanya adalah memudahkan dalam penanganan dan menghindari dari kerusakan, terutama biologis di samping kerusakan fisis. Pengeringan adalah pengeluaran air dari dalam bahan dengan bantuan energi panas ke udara terbuka sampai mencapai kadar air tertentu. Biasanya bahan dikeringkan sampai keadaan bahan mencapai kering udara atau mencapai kadar air keseimbangan. Pengeringan rotan di Indonesia sampai saat ini baik pada rotan besar maupun kecil masih seluruhnya dilakukan dengan cara alami atau penjemuran oleh sinar matahari, karena sinar matahari jumlahnya berlimpah di daerah tropis seperti di Indonesia. Akan tetapi teknik penjemuran yang dilakukan masih sederhana yaitu dengan menyusun rotan secara silang–menyilang hampir vertikal khususnya bagi rotan besar dan menghamparkan untuk rotan kecil. Namun kebersihan lingkungan, sistem drainase, arah susunan, arah angin, perlindungan dari kebasahan dan lain – lain belum mendapat perhatian memadai (Gambar 17).
Gambar 17. Pengeringan rotan kecil secara alami
58
Rujehan (2001) melaporkan, bahwa pengeringan alami rotan kecil, yaitu sega (Calamus caesius) mengalami susut berat sekitar 35 – 40% dari rotan basah. Sedangkan rotan pulut mengalami susut berat sekitar 45 – 50% dari berat rotan basah. Usaha – usaha untuk mendapatkan cara pengeringan rotan yang lebih baik telah dilakukan baik dengan cara pengeringan alami (penjemuran) maupun dengan pengeringan buatan (klin dryer). Percobaan pengeringan alami dengan memodifikasi tiga cara penjemuran, sebagai berikut : a. Pengeringan rotan di dalam bangunan beralas yang diberi atap dan dinding plastik tembus cahaya. b. Pengeringan di tempat teduh atau di bawah atap. c. Penjemuran di bawah matahari langsung. Hasil percobaan pengeringan tersebut di atas disajikan seperti Tabel 18. Tabel 18. Hasil pengeringan alami dengan tiga perlakuan terhadap rotan ukuran besar yang sudah digoreng Hasil proses pengeringan, % Kelas mutu Transparan Naungan Langsung A 0 0 10 B 4 0 24 C 28 17 28 D 68 83 38 Jumlah : 100 100 100 Sumber : Sudiwinardi (1985).
Berdasarkan tabel tersebut dapat disimpulkan hal – hal sebagai berikut : x
Cara pengeringan yang terbaik adalah pada lapangan terbuka dan terkena langsung oleh sinar matahari. Hal ini dibuktikan oleh jumlah rotan berkualitas A & B yang dihasilkan tertinggi.
x
Cara pengeringan di bawah naungan tanpa terkena sinar matahari langsung tidak dianjurkan karena akan memperoleh hasil pengeringan terburuk.
59
Usaha untuk mempercepat waktu pengeringan alami dilakukan dengan cara mengerik (scrape) rotan segar kemudian dijemur. Hasilnya disajikan seperti pada Tabel 19. Tabel 19. Kecepatan pengeringan rotan kerik Waktu Kadar air (%) (Minggu) Palasan Limoran 1 102.7 138.1 2 55.0 50.6 3 27.2 21.3 4 27.7 15.5 5 13.1 12.6
RH (%) 78.5 84.2 82.1 85.0 81.4
Suhu (ºF) 75.3 76.6 78.1 77.1 78.5
Sumber: Cortes (1939)
Hasilnya menunjukkan bahwa rotan yang dikerik mengering lebih cepat dibandingkan dengan yang tidak dikerik. Jenis rotan yang sama jika tanpa dikerik memerlukan waktu 26 minggu untuk mencapai kadar air sekitar 20%. Dengan demikian, bagi rotan segar yang mengalami cacat pada kulit seharusnya dikerik, kemudian dikeringkan sehingga waktu pengeringan relatif cepat. Sisanya, rotan segar dengan kulit yang bersih dapat digoreng untuk mendapatkan natural cane. Penelitian yang hampir sama dilakukan oleh Rachman dan Santoso (1996). Penelitian ini mempelajari perilaku penurunan kadar air rotan segar (124 – 220%) sampai kering udara dengan cara penimbangan berat rotan setiap hari. Contoh rotan berukuran panjang 2 meter dan diameter berkisar 18 – 29 mm; terdiri dari tiga jenis, yaitu: tretes (Daemonorops heteroides), omas (Calamus sp) dan kesur (C. ornatus). Rotan dikeringkan melalui 4 macam perlakuan, yaitu: x
Konvensional (Konv): rotan segar digoreng kemudian dikeringkan, setelah kering udara lalu dipolis.
x
Aiternatif I (Alt1); rotan segar dicelupkan bahan pengawet, dibiarkan sampai setengah kering, dipolis, diawetkan kembali, akhirnya dikeringkan.
x
Alternatif II (Alt2); rotan segar dicelupkan bahan pengawet, lalu dipolis, akhirnya dikeringkan.
60
Alternatif III (Alt3); rotan segar dipolis, dicelupkan bahan pengawet, akhirnya dikeringkan. Perilaku penurunan kadar air rotan hasil percobaan itu disajikan pada Gambar 18. x
Gambar 18. Perilaku penurunan kadar air rotan selama pengeringan
61
Cara pengeringan buatan, yaitu dengan menggunakan kilang pengering (kiln dryer) telah dilakukan di Philipina. Hasil percobaannya disajikan seperti Tabel 20. Tabel 20. Pengeringan rotan dengan kilang pengering. Kadar air awal,%
Kadar air akhir,%
Tumalin (berkulit)
145 – 117
5
Waktu pengeringan (hari) 10
Tumalin (dikerik)
150 - 119
4.6
1.5
Jenis bahan
Sumber: Casin (1985)
Dilihat dari segi praktis dan produktifitas pengeringan dengan kiln tampaknya memberikan harapan baik. Akan tetapi dari hasil percobaan di atas dinyatakan pula, bahwa dengan pengeringan kiln tersebut warna rotan yang dihasilkan kurang cerah dan tidak berkilap. Sedangkan faktor kecerahan warna dan kilap sangat menentukan standar mutu rotan. Dari hasil penelitian tersebut diduga bahwa sinar ultra violet dalam spektrum sinar matahari berfungsi meningkatkan kilap dan kecerahan warna rotan. Hal ini juga memperkuat bukti tiga cara pengeringan alami terdahulu bahwa penjemuran rotan pada sinar matahari langsung memberikan hasil pengeringan terbaik. Namun demikian kemungkinan pengembangan pengeringan kiln tetap ada dengan cara melengkapi ruang pengeringan dengan fraksi sinar – sinar tertentu. 4. Pengasapan Pengasapan dilakukan dengan cara mengasapi rotan dalam rumah asap. Berbagai bentuk rumah asap dapat ditemui di lapangan. Salah satu contoh rumah asap, yaitu berukuran panjang, lebar dan tinggi masing– masing sekitar 650 x 200 x 270 cm. Rumah asap seperti ini berkapasitas muat sekitar 4.000 potong rotan besar atau sekitar 6 ton rotan kecil (Gambar 19).
62
Gambar 19. Rumah asap
Rotan disusun di atas bantalan sejajar dengan arah panjang rumah asap. Setelah rumah asap penuh dengan rotan, pintu didorong sampai tertutup rapat. Wadah pembakaran pada dasar rumah asap diisi dengan belerang ± 7,5 kg lalu dibakar. Lamanya pengasapan sekitar 1 malam atau 12 jam, pengasapan dengan belerang dapat meningkatkan warna dan kilap rotan akan tetapi menurunkan keteguhan tarik sejajar serat. C. Pengolahan Barang Setengah Jadi Pengolahan barang setengah jadi merupakan proses lanjutan dari hasil pengolahan rotan bahan mentah baik rotan kecil maupun rotan besar. Produk hasil pengolahan ini terdiri dari: rotan bulat kupasan (polis halus), kulit rotan, hati rotan dan komponen mebel terpisah. Pada beberapa industri rotan yang cukup besar, pengolahan barang setengah jadi bersatu dengan barang jadi sehingga sukar membedakan tahap pengolahannya. Untuk memberikan gambaran tentang besarnya penyusutan yang terjadi mulai dari rotan dipanen sampai menghasilkan produk barang setengah jadi dari rotan besar dan dari rotan kecil dapat dilihat masing – masing pada Lampiran 13 dan 14. Langkah kegiatan pengolahan barang setengah jadi berbeda untuk rotan besar dengan rotan kecil, seperti diuraikan di bawah ini.
63
1. Rotan Besar Proses polis kasar, polis halus dan pengampelasan umumnya dilakukan dengan mesin. Sedangkan proses kikis kulit (scrapping) menggunakan mesin kupas. Pada beberapa pabrik, untuk kikis kulit ada yang dilakukan secara manual dengan menggunakan ketam. Perbedaan pemolisan dan pengikisan kulit, yaitu proses yang disebut pertama mengeluarkan lapisan kortek lebih tipis dibandingkan proses pengikisan kulit. Besarnya lapisan kortek yang terbuang dalam proses pemolisan berkisar antara 2,4 – 2,8 mm dan rendemen adalah 80 – 90% berdasarkan berat rotan (Basri dkk, 1998) Bagan alir pengolahan rotan besar disajikan pada Gambar 20. ROTAN BAHAN MENTAH
NATURAL CANE
POLIS HALUS
SCRAPPINGS
PENGAMPELASAN
PENGAMPELASAN
PEMBENGKOKAN
PEMUTIHAN
PEMUTIHAN
BARANG SETENGAH JADI BUNDLING / STORAGE PENGIRIMAN
Gambar 20. Bagan alir pengolahan barang setengah jadi rotan besar.
64
2. Rotan kecil Bagan alir pengolahan barang setengah jadi rotan kecil disajikan pada Gambar 21. Hampir seluruh rotan kecil pengolahannya melalui proses pembelahan lebih dahulu sebelum dipasarkan. Sebagian kecil rotan yang tidak dibelah digunakan sebagai natural cane pada barang jadi. Sebelum pembelahan, rotan bulat biasanya direndam atau tanpa perendaman (lihat juga Gambar 16). ROTAN BAHAN MENTAH PERENDAMAN / TANPA PEMBELAHAN MESIN/ TANGAN
ROTAN KULIT
ROTAN HATI
TRIMMING KULIT
PEMBENTUKAN HATI
ROTAN KULIT BERBAGAI UKURAN
ROTAN HATI BERBAGAI BENTUK & UKURAN
PENCUCIAN SISA SILICIOUS
PEMUTIHAN PENCUCIAN SISA BAHAN PEMUTIH CONDITIONING BUNDLING / STORAGE
Gambar 21. Bagan alir pengolahan barang setengah jadi rotan kecil
Proses pembelahan menghasilkan rotan belahan kulit dan rotan belahan hati yang masih kasar. Rotan belahan kulit dihaluskan dan diratakan sisi-sisinya dengan mesin trimmer menghasilkan rotan kulit
65
berukuran lebar maksimum 8 mm dan tebal maksimum 1,3 cm dengan dimensi yang sama sepanjang lembaran. Rotan belahan hati yang masih kasar dilanjutkan pengolahannya dengan proses pembentukan hati menggunakan mesin split dengan memasang berbagai macam pisau sesuai dengan bentuk hati rotan yang diinginkan (bulat, elips, persegi dan lain – lain). 3. Pemutihan Berbagai macam cara pemutihan baik untuk rotan kulit maupun rotan hati sudah banyak dilakukan orang. Beberapa teori mengemukakan bahwa rotan kulit sebaiknya diputihkan dengan larutan yang bersifat asam dan sebelum pemutihan rotan kulit direndam dalam larutan Hidrogen Fluorida (HF) untuk mencuci sisa silicious yang terdapat pada kulit. Sedangkan untuk rotan hati sebaiknya diputihkan dengan larutan yang bersifat basa (alkalis). Hasil pemutihan, baik rotan hati dan kulit, dicuci dengan alkohol untuk menghilangkan sisa–sisa bahan pemutih (Simatupang, 1978). Berbagai cara dan bahan kimia telah dilakukan untuk pemutihan rotan. Pemutihan dengan cara pembakaran belerang dalam ruang tertutup atau disebut juga pengasapan adalah teknik pemutihan yang sudah lama dikenal orang. Pengasapan biasanya dilakukan pada rotan bahan mentah. Sedangkan istilah pemutihan adalah untuk barang setengah jadi yang biasanya dilakukan dengan cara perendaman atau pelaburan dalam bahan kimia. Pemutihan dapat dilakukan dengan larutan Natrium klorit (NaClO2). Natrium klorit pada konsentrasi 2% bila digunakan untuk pemutihan rotan kulit akan menghasilkan rotan dengan warna yang cerah serta tidak mempengaruhi sifat mekaniknya. Natrium Klorit dapat juga digunakan untuk pemutihan rotan hati. Penggunaan kaporit untuk bahan pemutih rotan belum banyak di lakukan di Indonesia. Beberapa pengusaha rotan di Tegalwangi Cirebon telah mencoba menggunakan kaporit untuk pemutihan. Hasilnya menunjukan rotan yang bersih dan warna mengkilap. Reaksi yang berlangsung pada pemutihan kaporit adalah sebagai berikut : CaOCl2 + 2 NaOH Ⱥ Ca (OH) 2 + 2 NaCl + On
66
On akan mengoksidasi zat warna dan lignin sehingga berwarna putih bersih. Selain tiu kaporit apabila bereaksi dengan air akan terbentuk asam hipoklorit yang akan mengoksidasi zat warna dan melarutkan sebagian lignin sehingga sehingga sifat kekuatan rotan dapat menurun. Hasil penelitian pemutihan dengan kaporit dan NaOH pada berbagai tingkat konsentrasi menunjukan bahwa penigkatan konsentrasi bahan pemutih akan meningkatkan nilai warna namun akan menurunkan sifat kekuatan (Darma, 1987). Rachman et al. (1994) telah menggunakan larutan perhidrol (H2O2) pada kisaran konsentrasi sekitar 10 – 30% untuk pemutihan rotan batang (C. ornatus) dengan cara pelaburan. Larutan itu dicampur dengan larutan soda api (NaOH) pada konsentrasi 1,5 – 4,5% atau air kaca (Na2SiO3) pada konsentrasi 5 – 15%. Mekanisme reaksi kimia yang bekerja pada proses pemutihan dengan perhidrol adalah sebagai berikut : 1. HOO ¯ + H + (perhidroksil ion) H2O2 2. H2O + On (oksigen radikal) Adanya penambahan NaOH (suasana basa) atau air kaca akan membentuk perhidroksil ion dan oksigen radikal yang berfungsi sebagai oksidator untuk memutihkan rotan. Di samping mempunyai efek memutihkan rotan, oksigen radikal dapat menyerang serat selulosa dan kerusakan serat selulosa tersebut ditandai dengan pembentukan oksiselulosa (Trotman, 1968). Akibat dari penggunaan perhidrol yaitu kekuatan mekanis rotan menjadi turun. Berdasarkan teori tersebut di atas maka keberhasilan pemutihan dapat dinilai melalui derajat putih (JIS-Z-8741), kilap (SII 0437-81) dan kekuatan mekanis rotan, yaitu keteguhan lentur maksimum (BS 373 : 2957). Hasil penelitian menujukkan, bahwa pemakaian perhidrol 24% dan soda api 3% memberikan hasil yang cukup memuaskan (Gambar 22). Pada kondisi itu nilai derajat putih, kilap dan keteguhan lentur maksimum maing-masing adalah 52,2%, 4,9% dan 442,0 kg/cm2. Peningkatan penggunaan konsentrasi perhidrol dalam pemutihan akan menurunkan kekuatan mekanik rotan tersebut. Pada konsentrasi perhidrol 30% keteguhan lentur maksimum turun menjadi 337 kg/ cm2.
67
Gambar 22. Hasil produk yang sudah diputihkan.
4. Pembengkokan Proses pembengkokan atau lazim disebut pelengkungan (bending) bertujuan untuk melengkung dan rotan besar sesuai dengan bentuk yang diinginkan, yaitu untuk memenuhi tujuan fungsional maupun estetika seperti lengkungan pada rangka mebel, kap lampu, tempat tidur dan lain-lain. Prinsip dasar proses pembengkokan adalah penggunaan panas untuk melunakkan (softening) jaringan rotan. Pada mulanya proses pembengkokan ini dilakukan dengan cara memanaskan langsung bagian yang akan dibengkokan di atas nya api, kemudian bagian tersebut ditekan dengan bantuan alat pembengkok pada waktu rotan masih panas. Cara ini mempunyai beberapa kelemahan yaitu prosesnya lambat dan kadang-kadang bagian yang dipanaskan dapat terbakar sehingga berwarna hitam. Pada perkembangan selanjutnya, uap panas digunakan untuk pembengkokan. Dalam industri pembengkokan dengan uap panas dikenal dengan sebutan steaming. Rotan yang akan dibengkokan dimasukan kedalam ketel berbentuk silindris kemudian uap panas dimasukkan kedalamnya selama 15 – 30 menit. Selanjutnya rotan yang sudah dikukus, dikeluarkan untuk dibengkokan sesuai dengan bentuk yang diinginkan. Alat–alat sederhana sampai alat hidrolis telah banyak digunakan untuk pembengkokan. Permasalahan yang umum dihadapi dalam pembengkokan adalah kerusakan yang terjadi pada bagian rotan 68
yang dibengkokan. Berbagai jenis kerusakan dilaporkan dan persentase rotan yang rusak dalam proses pembengkokan cukup tinggi. Setiadji (1997) melaporkan bahwa persentase kerusakan dalam pembengkokan dengan bantuan uap panas di industri mencapai rata – rata 18% dengan kisaran antara 12 – 24%. Penelitian ini dilakukan pada dua jenis rotan berdiameter besar, yaitu: tohiti (Calamus inops) dan batang (Daemonorops robustus). Faktor–faktor yang menyebabkan kerusakan adalah jenis rotan, mutu rotan, waktu pengukusan, bentuk lengkungan dan keterampilan pekerja. Tiga jenis kerusakan yang umum terjadi pada proses pembengkokan adalah pecah, patah dan gembos (Gambar 23). Kerusakan pecah adalah yang terbanyak, yaitu 81% dibandingkan dengan dari ketiga jenis kerusakan yang diamati.
A
B
C
Gambar 23. Jenis kerusakan rotan pada proses pembengkokan (Setiadji, 1977). A = pecah, B = gembos, C = patah.
69
Berdasarkan teori, maka energi kimia dapat pula digunakan untuk pelengkungan rotan. Sama halnya dengan pelengkungan dengan uap panas (steaming), enersi kimia di sini bertindak untuk memekarkan rantai selulosa pada dinding sel. Dengan pemekaran ini, rotan menjadi relatif lunak atau bersifat plastis sehingga lebih mudah dilengkungkan. Pada dsarnya bahan pemekar atau pelunak untuk kayu dapat pula digunakan untuk rotan, antara lain : urea, dimetilol urea, amoniak cair, pyrogallol, resin penolformaldehis (berat molekul rendah), larutan gliserin 5,1%, dimethyl sulfoxide (DMSO), resorsinol dan lain-lain. Penggunaan bahan kimia dalam bentuk larutan urea dan larutan amoniak masing-masing dengan konsentrasi 30% telah diteliti untuk pelengkungan rotan manau (Calamus manan) dan batang (Daemonorop robusta). Pemakaian urea dan amoniak dilakukan setelah rotan dikukus, yaitu dengan cara perendaman rotan dalam larutan tersebut selama 20 – 30 menit. Perendaman ini dimaksudkan untuk mempermudah pelengkungan. Evaluasi pelengkungan meliputi kerusakan rotan pada diameter lengkungan tertentu (10 cm, 20 cm, 30 cm dan 50 cm), perubahan warna, kilap, keteguhan lentur, mulur (creep) dan susut volume. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan bahan kimia dalam pelengkungan dapat menurunkan kerusakan pecah tetapi cenderung menurunkan keteguhan lentur. Sedangkan, susut volume cenderung meningkat dalam perendaman dengan amoniak dan sebaliknya dalam urea (Handayani, 1993). Pelengkungan rotan dengan bahan kimia dimethyl sulfoxide (DMSO) telah dilakukan pada tiga jenis rotan, yaitu manau (Calamus manan), minong (C. optimus) dan batang (Daemorop robusta). Percobaan ini menggunakan bahan kimia dimetil sulfoksid (DMSO) yang di larutkan dalam air pada konsentrasi 5 – 15%. Sebelum dilengkungkan, rotan direndam dalam larutan tersebut selama 8 jam pada suhu 80°C. Pengujian terhadap hasil pelengkungan meliputi : keteguhan lentur statis, lentur dinamis, kilap dan penyusutan (Rachman et al, 1997). Hasil percobaan menunjukan bahwa perendaman dengan DMSO pada konsentrasi 5% untuk rotan manau dan minong sudah cukup meningkatkan kemudahan pelengkungan sampai dengan radius 12,5 cm dan menurunkan tingkat kerusakan fisik rotan. Sedangkan untuk rotan batang, konsentrasi DMSO mencapai 15%. Kemudahan pelengkungan dan kerusakan fisik meningkat dengan meningkatnya kerapatan densiti rotan dan kerapatan ikatan pembuluh. Perendaman rotan dalam larutan
70
DMSO cenderung menurunkan modulus elatisitas dan rasio elastisplastis, meningkatkan nilai mulur dan susut volume tetapi tidak mempengaruhi kilap rotan. Krisdianto et.al (2007), melakukan pelenngkungan dengan gelombang mikro menggunakan microwave oven SHARP R-240 F dengan kekuatan 800 W, hasilnya menunjukkan bahwa pemanasan dengan gelombang mikro dapat meningkatkan kemampuan dan mengurangi limbah pelengkungan rotan. Waktu pemanasan rotan dengan gelombnag mikro sebaiknya kurang dari 2 menit, karena pemanasan terlalu lama dapat mengakibatkan rotan hangus terbakar. D. Pengolahan Barang Jadi Rotan Yang dimaksud dengan rotan barang jadi adalah produk rotan siap pakai yang terdiri dari tikar rotan, lampit rotan, krei rotan, aneka keranjang rotan, anyaman rotan dan mebel rotan. Proses pengolahan barang jadi rotan sangat bervariasi antara satu dengan lainnya, tergantung kepada jenis komoditi barang jadi rotan yang diproduksi. Namun demikian, kegiatan utama dalam proses pengolahan barang jadi, pertama adalah membuat pola barang jadi rotan yang akan diproduksi. selanjutnya komponen rotan dirakit sesuai dengan bentuk pola. Rakitan kemudian dianyam atau diikat. Anyaman dan ikatan ini tidak hanya memberikan kekuatan struktural tetapi juga keindahan. Pada beberapa bagian terutama pada sambungan (dengan rotan, kayu atau/playwood) memerlukan pekerjaan pemakuan, penyekrupan, pemboran dan bahkan penyulaman. Barang rotan yang sudah hampir jadi pada beberapa bagian ditempeli dengan rotan atau non rotan untuk menambah keindahan. Aliran proses pengolahan barang jadi dapat dilihat seperti pada Gambar 24.
71
PEMOLAAN / PERANGKAAN
PERAKITAN PENGANYAMAN / PENGIKATAN
PEKERJAAN TUKANG KAYU
PENEMPELAN / HIASAN
BUNDLING / STORAGE Gambar 24. Bagan alir pengolahan barang jadi
Pada beberapa industri rotan di Indonesia dapat dilihat bahwa proses pengolahan barang setengah jadi menyatu dengan proses pengolahan barang jadi. Seperti terjadi dalam industri mebel yang cukup besar, tahap proses dimulai dari pemolesan, pembelahan, pembentukan hati dan pelengkungan dengan steaming untuk pembuatan rangka
72
VI. PENGAWETAN ROTAN Kunci keberhasilan produksi rotan adalah bagaimana mencegah atau menghindari rotan dari serangan organisme perusak rotan, yang dapat menurunkan kekuatan, keawetan maupun kualitasnya. Serangan organisme ini dapat terjadi sejak rotan ditebang, selama pengangkutan ke tempat pengumpulan ditepi hutan atau ke desa, dalam pengangkutan ke pabrik pengolahan, dipabrik sebelum diolah, setelah diolah maupun setelah menjadi barang jadi, di konsumen. Organisme ini dikelompokkan menjadi jamur (fungi) dan serangga (insekta) yang menyerang rotan sesuai bahan rotan dan kondisi lingkungan. Bahan pengawet yang sesuai dan teknik pengawetan yang tepat perlu diperhatikan agar pengawetan rotan menjadi efektif. Pengawetan yang efektif akan dapat menghemat penggunaan bahan baku rotan, sehingga meningkatkan kelestarian sumber daya rotan. A. Organisme Perusak Rotan Pengetahuan tentang organisme perusak rotan diperlukan karena banyak sekali jenis organisme yang dapat menyerang rotan. Selain itu, tiap jenis organisme menimbulkan bentuk kerusakan yang berbeda dan memerlukan kondisi lingkungan tertentu pada saat menyerang rotan. Secara sederhana, semua organisme perusak rotan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: jamur (fungi) dan serangga (insects). berdasarkan kerusakan yang ditimbulkannya pada rotan, jamur dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu: jamur pewarna, jamur pelunak dan jamur pelapuk. Sedangkan serangga berdasarkan kondisi lingkungan rotan saat diserang dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: bubuk rotan basah (pin hole borer) dan bubuk rotan kering (powder post beetle). Jamur pewarna dan pelapuk berasal dari kelas Ascomycetes dan Basidiomycetes. Sebagaimana namanya, serangan jamur pewarna menimbulkan warna berupa bintik-bintik atau bercak-bercak kebiruan, coklat, sindur, merah, ungu, dan sampai biru kehitaman sehingga dapat menurunkan mutu penampilan rotan. Jamur pewarna ini tidak hanya menodai permukaan (kulit) rotan, tetapi juga masuk kedalam jaringan rotan. Dalam jangka waktu 24 jam, hypha jamur dapat menjangkau sejauh sekitar 5,1 mm ke dalam jaringan rotan. Jamur pewarna yang sudah dijumpai pada rotan berasal dari genus Ceratocystis dan Diploida (Martono 1990a).
73
Jamur pewarna tidak menyerang selulosa dan lignin penyusun dinding sel tetapi hidup dari zat pengisi sel, terutama sel rotan yang masih hidup, yaitu sel–sel parenkim. Oleh karena itu, jamur pewarna menyerang rotan dalam kondisi segar, terutama yang mempunyai kadar air berkisar 100% (Toni, 1976). Kadar air dalam rotan sangat erat hubungannya dengan serangan jamur pewarna; semakin tinggi kadar air dalam rotan segar semakin aktif serangan jamur pewarna. Cumin (1933) dan Holtam (1966) melaporkan, bahwa pertumbuhan jamur biru ini terjadi pada kadar air 23 – 150% dan tumbuh baik pada kadar air 35 – 120% dan suhu 22 – 300C. Selanjutnya Salita (1985) mengatakan bahwa pertumbuhan jamur biru tersebut terhambat pada kadar air dibawah 20% dan suhu diatas 400C. Dua jenis jamur yang bertanggung jawab terhadap pewarnaan adalah Ceratocystis filiformis dan C. minuta. Jamur yang disebut pertama menyebabkan pewarnaan lebih berat karena penetrasinya cukup dalam, sedangkan C. minuta menyerang di permukaan rotan (Casin, 1975). Oleh karena jamur pewarna tidak menyerang dinding sel maka serangannya tidak menurunkan kekuatan rotan seperti keteguhan lentur, kekerasan dan sifat mekanis lainnya tetapi sangat menurunkan mutu rotan (Roldan, 1954). Serangan jamur pelapuk menyebabkan rotan yang diserang menjadi regas atau lapuk. Jamur pelapuk biasanya menyerang rotan yang sudah kering tetapi sering mengalami kebasahan, misalnya penggudangan yang kurang sempurna atau dalam pemakaian sering terkena air. Jamur pelapuk dapat pula menyerang rotan segar yang ditumpuk terlalu lama dalam kondisi lembab di tempat terbuka, misalnya menunggu saat pengangkutan di hutan atau saat pengolahan di pabrik. Jamur pelapuk berasal dari kelas Basidiomycetes ini memiliki kemampuan menghancurkan selulosa dan lignin sehingga kekuatan rotan, seperti keteguhan lentur, kekerasan dan keteguhan tekan akan berkurang. Beberapa jenis jamur dari kelas ini hanya mampu merombak selulosa sehingga warna rotan berubah menjadi coklat sesuai warna lignin yang disisakannya. Oleh sebab itu disebut brown rot. Beberapa jenis lainnya menyebabkan warna rotan menjadi lebih putih dan pucat sebagai akibat perombakan lignin dan selulosa, sehingga disebut white rot. Serangan brown rot biasanya lebih cepat menurunkan kekuatan daripada white rot. Di antara kelompok jamur pelapuk yang sering dijumpai menyerang rotan adalah Schizophyllum commune Fr. , Dacryopinax spathularia (Schw) dan Pyenoporus sanguinius (Fr) Karst. (Jasni dan Sumarni, 1999). Salah satu kasus serangan jamur pada rotan hasil panen yang ditumpuk terlalu lama disajikan pada Gambar 25. Pada gambar tersebut, rotan yang
74
diserang jamur pewarna dan pelapuk tampak bewarna gelap, abu-abu bahkan sampai hitam.
Gambar 25. Tumpukan rotan segar yang diserang jamur pewarna dan pelapuk
Bubuk rotan basah atau disebut juga pin hole borer adalah kumbang Ambrosia yang berasal dari famili Scolytidae dan Platypdidae. Kumbang ini menyerang rotan segar, bahkan sudah dimulai dalam keadaan rotan rotan masih tumbuh berdiri sampai rotan dipanen. Serangan kumbang ini mengakibatkan rotan berlubang kecil-kecil (diameter 0,5 – 2,0 mm) dan berwarna kehitaman, sehingga akan menurunkan kualitas penampilan dan kekuatan rotan tersebut. Kumbang ini hanya berkembang sampai kadar air rotan turun di bawah 30%, di bawah 30% kumbang ini sulit untuk berkembang biak. Jenis yang umum ditemui adalah Arixyleborus granulifer, Platypus curtus dan Xyleborus perforans (Casin,1975). Bubuk rotan kering atau disebut juga kumbang bubuk kering (powder post beetles) adalah serangga yang berasal dari famili Lyctidae dan Bostrycidae. Serangan bubuk rotan kering ditandai oleh adanya lubang gerek atau liang kembara yang dipenuhi bubuk halus (powder). Serangan dapat terjadi pada bahan baku rotan kering yang disimpan seperti rotan W&S dan bahan setengah jadi maupun penumpukkan komponen mebel selama beberapa bulan di gudang. Salah satu suku Lyctidae yang sering menimbulkan kerusakan pada rotan adalah Lyctus sp. yang kecepatan penyerangannya sangat tinggi, yaitu dalam beberapa minggu rotan sudah hancur. Jenis bubuk lainnya yang umumnya menyerang adalah dari genus Dinoderus (Dinoderus minutus, Dinoderus brevis dan Dinoderus ocelaris) yang banyak tersebar di Asia Tropik.
75
Dari tiga jenis bubuk tersebut, Dinoderus minutus merupakan jenis yang paling banyak dijumpai (Jasni, 1992; Imm, 1957; Nurjito, 1985 dalam Jasni 1999). Salah satu jenis dari famili Bostrycidae yang sering ditemukan adalah Heterobostrychus aequalis yang membuat lubang pada permukaan rotan dan dari lubang itu dikeluarkan bubuk halus berwarna kekuningan (Ahmad, et al. 1985). Contoh rotan yang diserang bubuk rotan kering dapat dilihat pada Gambar 26.
Gambar 26. Serangan bubuk rotan kering pada rotan. Lyctus sp dan Dinoderus sp (atas) , Heterobostrychus aequalis (bawah)
B. Bahan Pengawet Bahan pengawet adalah senyawa kimia atau predator yang mampu mencegah serangan organisme perusak rotan. Dengan demikian, istilah “bahan pengawet” selalu mengacu kepada senyawa kimia yang apabila diaplikasikan kepada rotan akan membuat rotan tidak disenangi atau repellent terhadap organisme perusak. Jumlahnya saat ini sangat banyak dan bervariasi dalam sifat, harga, keefektifan dan kegunaannya. Namun, berdasarkan kegunaannya, secara umum bahan pengawet dapat dikelompokkan menjadi fungisida dan insektisida. Fungisida adalah bahan pengawet yang dalam pembuatannya ditujukan untuk mencegah jamur. Sedangkan insektisida ditujukan terutama untuk mencegah serangga. Nama umum untuk kedua bahan pengawet itu adalah pestisida. Bahan pengawet atau pestisida dapat mengawetkan rotan karena bahan ini mampu mempengaruhi fungsi biologis organisme perusak.
76
Fungsi biologis yang dipengaruhi adalah menghambat sistem kerja enzim atau hormon dalam tubuh organisme. Gangguan pada sistem kerja enzim akan menyebabkan perubahan fisiologis sehingga mungkin mematikan organisme perusak. Perubahan terhadap hormon biasanya menghambat telur untuk menetas atau tidak mampu membentuk turunannya atau biasa juga merubah strain menjadi tidak mampu menyerang rotan (Martono, 1990a). Mengingat bahan pengawet bersifat racun tidak hanya terhadap jamur dan serangga tetapi juga pada binatang dan manusia maka bahaya yang mungkin ditimbulkannya haruslah dicegah. Menurut Martono (1990) agar penggunaan bahan pengawet untuk rotan menjadi efektif dan aman maka haruslah memenuhi beberapa persyaratan, yaitu : x
Bahan pengawet sudah mendapat izin penggunaan dari Komisi Pestisida.
x
Tidak menyebabkan perubahan warna rotan, tidak menimbulkan bau tidak sedap dan tidak bersifat korosif.
x
Tidak menyulitkan dalam finishing (cat, pelitur dan lain-lain)
x
Tidak mengubah sifat kekuatan bahan, terutama kelenturan.
x
Sifat fiksasi pada bahan rotan harus kuat, karena rotan selama pemakaian selalu bersinggungan dengan manusia.
x
Masa proteksi cukup panjang.
x
Tidak mengandung bahan yang sangat beracun bagi manusia dan ternak.
x
Tidak bersifat persistent di alam.
Menurut Martawijaya (1988), berdasarkan pada komposisi kimia penyusunnya, bahan pengawet secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu : bahan pengawet larut air (water – borne presrvatives), bahan pengawet larut minyak (oil – borne preservatives) dan minyak pengawet (preservatives oils). Kelompok bahan pengawet tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. 1. Bahan pengawet larut air Kelompok pengawet ini terbuat dari senyawa kimia dalam bentuk garam anorganik, baik tunggal atau campuran. Bahan pengawet selain dapat masuk ke dalam rongga sel dapat juga menembus dinding sel
77
dengan cara difusi. Dengan adanya proses difusi ini maka rotan basah lebih disukai diawetkan dengan bahan pengawet ini karena larutan garam akan menembus lebih dalam pada rotan basah ketimbang rotan kering. Pada rotan kering, bahan pengawet akan mengendap lebih cepat. Di pasaran bahan pengawet ini diperdagangkan dalam bentuk tepung, pasta atau larutan pekat. Dalam pemakaiannya bahan terlebih dahulu dilarutkan dalam air pada konsentrasi tertentu. Karena dilarutkan dalam air, nampaknya bahan pengawet ini mudah luntur jika kena air atau menguap bersama air. Namun demikian tidak seluruhnya luntur karena tergantung kepada jumlah yang terfiksasi di dalam rotan. Untuk meningkatkan jumlah yang terfiksasi maka penetrasi harus tinggi yang diatur melalui komposisi bahan, cara aplikasi dan konsentrasi. Beberapa contoh bahan pengawet larut air yang termasuk garam anorganik tunggal adalah garam sublimat (HgCl2), sulfat tembaga (CuSO4), bifluorida (NH4. HF). dan campuran asam borat (H3BO3) dengan borax (Na2B4O7. 10 H2O). Sedangkan contoh garam anorganik campuran dapat digolongkan menjadi : x
FCAP (campuran garam flour/chrom/arsen/phenol), dengan jenis – jenis bahan pengawet antara lain tanalth, impralit, sarmix dan lain lain
x
CCA (campuran garam tembaga/chrom/arsen), contoh jenis bahan pengawet antara lain wolmanit, diffusol, impralit dan lain lain
x
CCB (campuran garam tembaga/chrom/boron),
x
CCF (campuran garam tembaga/chrom/fluor) dan
x
BFCA (campuran garam boron/fluor/chrom/arsen) dengan jenis bahan pengawet koppers.
2. Bahan pengawet larut minyak dan minyak pengawet Dalam aplikasinya, bahan pengawet ini dapat masuk ke dalam rongga sel tetapi tidak dapat menembus dinding selnya. Namun, apabila bahan pengawet telah masuk ke dalalam rongga sel tidak mudah luntur dan bersifat menolak air (water repellent). Agar bahan pengawet dapat masuk ke dalam rongga sel maka rotan harus dalam keadaan kering. Pada kadar air rotan berada di atas titik jenuh serat maka air yang terdapat dalam rongga sel akan menghambat masuknya bahan pengawet ke dalam rongga. Kelompok bahan pengawet larut minyak, antara lain adalah tributulene acetat, phoxin, pyrimyphos, permetrin, sipemetrin dan lain – lain.
78
Sedangkan minyak pengawet antara lain adalah kreosot yang terbuat dari hasil penyulingan terbatu bara (coal tar). Minyak kreosot untuk pengawetan diperoleh dari fraksi – fraksi yang disuling pada suhu antara 200 – 400°C. Berbagai jenis bahan pengawet dapat dihasilkan dari fraksi tersebut. Kreosot kurang layak dipakai untuk pengawetan rotan karena dapat mengotori bahan yang diawetkan, berbau kurang sedap dan sukar dicat. C. Pengawetan 1. Pengawetan sementara Untuk mencegah rotan diserang organisme perusak maka pengawetan seharusnya dilakukan segera setelah panen. Pengawetan pada tahap ini disebut sebagai pengawetan sementara. Pengawetan sementara atau disebut juga pencegahan sementara (prophylactic treatment) dimaksudkan untuk menghindarkan rotan segar dari serangan organisme perusak, terutama jamur pewarna dan bubuk rotan basah atau kumbang ambrosia. Kata “sementara” berarti hasil pengawetan hanya mampu menahan serangan organisme perusak sampai rotan mencapai kadar air kering udara. Artinya, bahan pengawet akan efektif dalam selang beberapa minggu (biasanya 4 minggu) atau sampai selesainya proses pengolahan tahap awal (pasca panen). Tindakan pengawetan ini sangat tepat bila dilakukan pada rotan yang baru dipanen atau setelah pembersihan duri dan kelopak serta pemotongan batang menjadi potongan–potongan dengan panjang tertentu (3 – 6 m). Pengawetan bisa dilakukan dengan cara–cara sederhana dan mudah seperti perendaman, pelaburan atau penyemprotan. Pada dasarnya, apabila rotan segar hasil panen dapat segera diangkut ke tempat pengolahan lalu di proses dan dikeringkan maka pemberian bahan pengawet untuk pengawetan sementara tidak perlu dilakukan. Akan tetapi mengingat kondisi pemungutan rotan pada hutan alam maka pengumpulan dan pengangkutan memakan waktu yang cukup lama. Oleh karena itu pencegahan sementara seharusnya dikerjakan di hutan atau di tempat pengumpulan sementara di tepi hutan. Jenis bahan pengawet yang digunakan untuk pencegahan jamur pewarna biasanya berbeda dengan bahan pengawet untuk pencegahan bubuk rotan basah atau kumbang ambrosia. Namun demikian, secara praktis, bila kedua bahan ini dapat–campur (compatible) maka dalam pelaksanaannya dapat dicampurkan. Beberapa jenis bahan pengawet yang umum digunakan dewasa ini dapat dilihat pada Tabel 21.
79
Tabel 21. Jenis bahan pengawet untuk rotan Tujuan/Nama dagang A. Untuk pencegahan jamur 1. Enblue 110 EC
Komposisi bahan aktif
Konsentrasi yang dianjurkan (%)
Metilen bistiosianat (MBT)108 gram/liter Metilen bistiosuanat 100 gram/liter 2 – tiosianometil tiobenzotianit 100 gram/liter Metilen bistiosianat 100 gram/liter Metilen bistiosianat 101 gram/liter Metilen bistiosianat 98 gram/liter Dietil dimetil amonium chlorit 149,9 gram/liter Alkohol dimetilbenzil amonium chlorit 104,9 gram/liter
1,5
6. Defence 200/130 WSC
Azakonisol 200 gram/liter Karbendazim 131,31 gram/liter
2,0
7. Borax
Boraks Asam borat
10,0
Sihalotrin 25 gram/liter Deltametrin 25 gram/liter Permetrin 100 gram/liter Cypermetrin 300 gram/liter Chlorophyrifos 400 gram/liter
1,0 0,5 0,5 0,5 1,0
2. Enblue 100/100 EC
3. Microcide 100 EC 4. Basiblue 100 EC 5. Celebrite 300 WSC
B. Untuk pencegahan serangga 1. Brash 25 EC 2. Cislin 25 EC 3. Demone 100 EC 4. Dragnet 100 EC 5. Lantreks 400 EC
Sumber : Jasni dan Martono (1999) dan Rachman et al. (1999)
80
1,0
1,5 2,0 2,0
Penelitian pengawetan sementara telah dilakukan pada rotan segar, berdiameter besar, jenis balukbuk (Daemonorops sp) dengan cara perendaman selama 30 menit (Sumarni dkk., 1993). Bahan pengawet yang digunakan adalah campuran MTB (metilen bistiosianat) 108 gram/liter dan chlorphyrifos 400 gram/liter yang dilarutkan dalam air masing– masing pada konsentrasi berkisar antar 1 – 4%. Contoh rotan hasil pengawetan sementara sebagian disimpan di ruang terbuka di bawah atap dan sisanya digoreng, lalu disimpan di tempat yang sama. Efektifitas fungisida dinilai melalui pengamatan perubahan warna penampang lintang (bontos) contoh uji. Perubahan warna dihitung berdasarkan perbandingan luas bidang yang mengalami pewarnaan dan luas bontos dinyatakan dalam persen. Suatu fungisida dinyatakan efektif bila pewarnaan pada bontos yang diberi bahan pengawet kurang dari 5% dan pada kontrol lebih dari 20%. Untuk mengetahui masa efektif atau masa proteksi fungisida maka pengamatan dilakukan secara periodik tiap dua minggu. Berdasarkan masa proteksi ditetapkan kelas efikasi bahan pengawet seperti pada Tabel 22. Tabel 22. Kelas efikasi bahan pengawet Masa proteksi (minggu) 0–2 2–4 4–6 6–8
Kelas efikasi Kurang Sedang Cukup Baik
Sumber : Martono (1990)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua jenis bahan pengawet dapat–campur (compatible) dan efektif menahan serangan jamur biru maupun kumbang ambrosia. Hal ini ditunjukkan oleh persentase pewarnaan pada bontos yang diawetkan (tidak digoreng dan digoreng) adalah 0% selama delapan minggu. Sedangkan, pewarnaan pada rotan yang tidak diawetkan (kontrol) dan tidak digoreng adalah 71 – 76% sampai dengan minggu kedua. Pewarnaan meningkat menjadi 100% pada minggu ketiga dan seterusnya. Bagi rotan kontrol yang digoreng, pewarnaan dapat dipertahankan pada 48% sampai dengan minggu kedua, tetapi meningkat menjadi 95% pada minggu keempat dan menjadi 100% pada minggu seterusnya. Dengan demikian bahan pengawet yang digunakan termasuk kelas efikasi baik.
81
2. Pengawetan permanen Pengawetan permanen dimaksudkan, terutama untuk mencegah rotan terhadap serangan bubuk rotan kering. Cara pengawetan yang umum dilakukan adalah dengan perendaman, pelaburan atau penyemprotan. Bahan rotan yang diawetkan adalah rotan kering, seperti rotan bulat kering atau rotan WS, rotan polis, rotan kulit, rotan hati, komponen barang jadi atau barang jadi yang akan disimpan di gudang. Oleh karena itu, pengawetan biasanya dilakukan di industri pengolahan. Penelitian rotan polis jenis batang (Daemonorops rubusta Warb.), diameter sekitar 3 cm telah dilakukan oleh Sumarni (1994) dengan perendaman selama 20 menit dalam larutan bahan pengawet chloropyrofos 400 gram/liter yang dilarutkan masing–masing dalam air dan minyak pada konsentrasi 1 – 5%. Setelah perendaman sebagian rotan dikukus (steaming) untuk memudahkan pembengkokan dan sisanya ditiriskan. Selanjutnya, rotan yang diawetkan ditulari dengan bubuk rotan kering Heterobostrychus aqualis Watt. dan dibiarkan dalam ruang pengujian selama 6 minggu. Keberhasilan pengawetan ditentukan oleh derajat proteksi dan mortalitas serangga atau bubuk rotan kering. Derajat proteksi ditetapkan dengan skala seperti pada Tabel 23. Sedangkan mortalitas serangga adalah perbandingan serangga yang mati dan jumlah serangga awal yang ditularkan, dinyatakan dalam persen. Tabel 23. Derajat proteksi bahan pengawet Kondisi contoh Kondisi Persentase uji serangan serangan (%) Hampir utuh Tipis 5 Terserang ringan Nyata 6 – 15 Terserang sedang Tembus ke 16 – 50 dalam Terserang hebat Meluas di dalam 51 – 90 Hancur Menyeluruh 91 – 100
Nilai 100 90 70 40 0
Catatan : Pengawetan berhasil jika derajat proteksi rotan kontrol kurang dari 70. Sumber : Sumarni (1994)
Hasil penelitian di atas menunjukkan, bahwa bagi rotan yang tidak akan dikukus, bahan pengawet chloropyrifos harus dilarutkan dalam air untuk mengawetkan rotan tersebut, karena dengan cara ini mampu
82
mencapai derajat proteksi 97,52% dan mortalitas 100%. Sedangkan bagi rotan yang akan dikukus bahan pengawet perlu dilarutkan dalam minyak untuk mengawetkan rotan tersebut, agar mencapai derajat proteksi 95,48% dan mortalitas 100%. Pada penelitian ini tercatat bahwa derajat proteksi rotan kontrol adalah 66. Penelitian dengan pola yang sama telah dilakukan pula dengan cara perendaman selama 30 menit dalam cairan bahan pengawet permetrin 36,8% yang dilarutkan dalam air pada konsentrasi 0,15 – 1,50% (Sumarni, 1994a). Setelah perendaman sebagian rotan dikukus dan sisanya ditiriskan. Selanjutnya, rotan ditulari dengan bubuk rotan kering Dinoderus minutus Febr sebanyak 50 ekor pada setiap contoh uji. Keberhasilan pengawetan dinilai melalui retensi, derajat proteksi dan mortalitas. Retensi adalah jumlah bahan pengawet yang diserap oleh rotan dinyatakan dalam kilogram per meter kubik (kg/m3) atau dengan rumus: (Bl – Bo) x K R= V di mana, R = retensi, kg/m3; Bo = berat contoh rotan awal, gr; Bl = berat rotan sesudah diawetkan, gr; K = konsentrasi bahan pengawet, %; V = volume bahan rotan, cm3. Hasil penelitian di atas melaporkan, bahwa retensi rata – rata bahan pengawet pada rotan yang tidak dikukus mencapai 0,36 kg/m3 dan pada rotan yang dikukus retensi menjadi 0,31 kg/m3 atau turun sekitar 14%. Rotan yang tidak akan dikukus dapat direndam dalam permetrin pada konsentrasi 0,15% karena mortalitas dan derajat proteksi telah mencapai 100%. Sedangkan derajat proteksi kontrol 50. Rotan yang akan dikukus harus direndam dalam permetrin pada konsentrasi 0,30%. Sumarni dan Ismanto (1994) telah mengawetkan rotan untuk mencegah serangan kumbang bubuk kering dengan perendaman selama 20 menit dalam campuran bahan pengawet boraks 35,5%, asam borat 35,3% dan polibor 28,4% pada konsentrasi 1 – 5%. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa rotan yang diawetkan dapat mencegah serangan bubuk rotan kering setelah delapan bulan pengamatan, baik rotan itu dikukus maupun tidak dikukus.
83
Hadikusumo (1990) melaporkan bahwa untuk mencegah serangan kumbang bubuk, rotan dapat diawetkan dengan campuran prusi dan sevin masing–masing pada konsentrasi 6% dan 2 – 8%. Hasilnya menunjukkan bahwa selama pengamatan empat bulan tidak ditemui serangan kumbang bubuk pada rotan yang diawetkan.
84
VII. STANDARISASI MUTU Sejak zaman pendudukan kolonial Belanda sampai dengan dua dekade setelah kemerdekaan, produk rotan Indonesia telah menguasai pasaran dunia. Namun, nilai dagangnya tidak banyak dinikmati oleh produsen dan rakyat Indonesia. Hal ini karena: pertama, produk rotan hampir seluruhnya berupa rotan asalan; kedua, standar mutu produk rotan yang berlaku waktu itu masih sangat sederhana dan lebih banyak ditentukan oleh konsumen di luar negeri. Akibatnya, produsen enggan meningkatkan mutu produknya, sehingga menyerah pada keadaan dan harus puas dengan harga yang rendah (Yudodibroto, 1984). Oleh karena standarisasi mutu rotan demikian pentingnya maka mulai tahun 1980 dikeluarkan peraturan pengujian rotan Bulat Indonesia oleh Direktorat Jenderal Kehutanan, Departemen Pertanian. Pengujian rotan ini adalah untuk produk rotan asalan, rotan bulat WA dan rotan ketam kulit. Pengujian dilakukan secara visual. Kelas mutu dibagi menjadi tiga, yaitu: mutu utama, mutu satu dan mutu dua. Syarat mutu terdiri dari ukuran panjang, kekerasan batang, warna dan cacat. Standar produk rotan yang pertama ini merupakan acuan dalam perkembamgan standarisasi rotan di Indonesia. Dewasa ini sistem standarisasi rotan yang berkembang adalah sistem uji visual atau pengujian secara organoleptik yang didasarkan pada intensitas cacat pada sepotong rotan. Sistem uji tekan (stress grading), seperti pada kayu belum berkembang sama sekali pada rotan, walaupun penelitian kearah itu sudah dimulai (Rachman, 1996). Berdasarkan SNI 01-7254-2006 (Anonim, 2006), pada sistem uji visual, rotan dikelompokkan menjadi sembilan sortimen, yaitu: rotan asalan, rotan bulat WS, rotan bulat pendek, rotan belahan, rotan kikis buku, rotan bulat kupasan, kulit rotan, hati rotan dan anyaman rotan (webbing). Standarisasi ini merupakan pedoman dilapangan untuk diterapkan pada pengolah, pedagang dan produsen bahan baku rotan, sehingga dapat diterima oleh pasar internasional. A. Uji Visual 1. Rotan asalan Rotan asalan yang akan diuji dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu rotan besar dan rotan kecil. Rotan besar adalah rotan
85
berdiameter sama dengan atau lebih besar dari 16 mm sedangkan rotan kecil adalah rotan berdiameter kurang dari 16 mm. Kepada kedua kelompok rotan ini diklasifikasikan mernjadi 4 kelas mutu, yaitu: A, B, C dan D. Persyaratan mutu terdiri dari syarat umum dan syarat khusus. Syarat umum setiap potong rotan yang diuji harus relatif lurus, relatif keras dan tidak terdapat keriput. Adapun syarat khusus untuk rotan asalan diameter besar dan diameter kecil tidak berbeda kecuali panjang, seperti pada Tabel 24. Tabel 24. Syarat khusus untuk mutu rotan asalan Karakteristik
Satuan
Mutu A
B
C
D
1. Panjang: - Rotan besar
m
2,70
2,70
2,70
1,0
- Rotan kecil
m
4,0
4,0
4,0
3,0
2. Cacat ringan 1)
%
3. Cacat sedang 2)
%
x
4. Cacat berat 3)
%
x
Maksimum Maksimum Maksimum 10 % 25 % 50 % panjang panjang panjang Maksimum Maksimum 5% panjang 10 % panjang x
x
-
-
Maksimum 10 % panjang
Keterangan : x = Tidak diperkenankan; - = tidak dipersyaratkan; 1) adalah cacat yang terdiri dari alur kulit, lubang gerek kecil, kulit mengelupas, retak kulit, kulit tergores, parut buaya dan jamur pewarna; 2) adalah mata pecah dan 3) adalah cacat yang pengaruhnya relatif berat terhadap mutu, terdiri dari keriput, lapuk, pecah, patah dan kulit mengelupas (pada rotan umbulu). Mata pecah adalah luka besar berwarna hitan pada potongan rotan.
86
2. Rotan bundar WS Syarat umum adalah kadar air d 20%, panjang t 1,0 m, batang lurus, elastis dan keras dan tidak diperkenankan adanya keriput. Syarat khusus seperti pada Tabel 25. Tabel 25. Syarat khusus untuk mutu rotan bundar WS No. Karakter 1. Cacat ringan
Satuan 1)
%
2. Cacat sedang 2)
%
3. Cacat berat 3)
%
Mutu A B C Maksimum Maksimum Maksimum 10 % 25% 50 % panjang panjang panjang
D -
Maksimum Maksimum Maksimum 10 % 10 % 10 % panjang panjang panjang
-
x
x
x
Maksimum 10 % panjang
Keterangan : 1) perubahan warna, lubang gerek kecil, serat terlepas, parut buaya, kulit mengelupas (Khusus rotan umbulu), kulit tergores, pecah kulit, gosong, , cerah tidak merata, bontos tidak siku; 2) mata pecah; 3) keriput, pecah ujung, pecah tengah, pecah buku, alur kulit busuk, lapuk, patah, kulit mengelupas (selain umbulu) dan bontos pecah.
3. Rotan bulat pendek Syarat umum adalah batang lurus, elastis dan keras; bontos dipotong siku; dan tidak boleh adanya keriput. Adapun syarat khusus adalah seperti pada Tabel 26.
87
Tabel 26. Standar mutu rotan bulat WS No. Karakter
Satuan
1. Cacat ringan 1)
%
2. Cacat sedang 2)
%
3. Cacat berat 3)
%
A Maksimum 10 % panjang Maksimum 10 % panjang x
Mutu B C Maksimum Maksimum 25 % 50 % panjang panjang Maksimum Maksimum 10 % 10 % panjang panjang x x
D -
Maksimum 10 % panjang Keterangan : 1) perubahan warna, lubang gerek kecil, serat terlepas, parut buaya, kulit mengelupas (umbulu), pecah kulit, gosong, kulit tergores, cerah tidak merata, bontos tidak siku; 2) mata pecah; 3) keriput, pecah ujung, pecah tengah, pecah buku, alur kulit busuk, lapuk, patah, kulit mengelupas (selain umbulu) dan bontos pecah.
4. Rotan belahan Syarat umum adalah belahan rotan harus lurus, kedua ujungnya dipotong siku, warna dasar menurut karakteristik tiap jenis rotan dan cerah merata pada kulit sepanjang belahan dan tidak diperkenankan adanya keriput. Adapun syarat khusus adalah seperti Tabel 27. Tabel 27. Persyaratan mutu rotan belahan kupasan No. Karakter
Satuan
Mutu A 4–6
B 3 – 3,95
C 1 – 2,95
1. Panjang
m
2. Cacat ringan 1)
%
Maksimum Maksimum Maksimum 10 % 25 % 50 % panjang panjang panjang
3. Cacat sedang 2)
%
4. Cacat berat 3)
%
Maksimum Maksimum Maksimum 10 % 10 % 10 % panjang panjang panjang x x x
D 1 -
-
Maksimum 10 % panjang Keterangan : 1) perubahan warna, lubang gerek kecil, serat terlepas, parut buaya, kulit mengelupas (umbulu), pecah kulit, gosong, kulit tergores, cerah tidak merata, bontos tidak siku; 2) mata pecah; 3) keriput, pecah ujung, pecah tengah, pecah buku, alur kulit busuk, lapuk, patah, kulit mengelupas (selain umbulu) dan bontos pecah.
88
5. Rotan kikis buku Syarat umum adalah panjang 1 m, batang lurus, elastis dan keras, bontos dipotong siku, buku telah dikikis sedemikian rupa sehingga ketebalan buku sama dengan ketebalan ruas-ruas yang berhubungan denganya dan tidak diperkenankan adanya keriput. Adapun syarat khusus adalah seperti Tabel 28. Tabel 28. Persyaratan mutu rotan kikis buku No. Karakter
Satuan
1. Cacat ringan 1)
%
2. Cacat berat 2)
%
Mutu A Maksimum 10 % panjang
B Maksimum 25 % panjang
C Maksimum 50 % panjang
D -
x
x
x
Maksimum 10 % panjang
Keterangan : 1) perubahan warna, lubang gerek kecil, serat terlepas, parut buaya, kulit mengelupas (umbulu), pecah kulit, gosong, kulit tergores, cerah tidak merata, bontos tidak siku; 2) keriput, pecah ujung, pecah tengah, pecah buku, alur kulit busuk, lapuk, patah, kulit mengelupas (selain umbulu) dan bontos pecah.
6. Rotan bundar kupasan Syarat umum adalah panjang 1m, kulit ari dan buku terpoles halus sepanjang batang, warna cerah merata sepanjang batang, kedua bontos potong siku dan tidak ada keriput. Adapun syarat khusus adalah seperti Tabel 29. Tabel 29. Persyaratan mutu rotan bundar kupasan No. Karakter
Satuan
A Maksimum 10 % panjang x
Mutu B C Maksimum Maksimum 25% 50 % panjang panjang x x
D 1. Cacat % Maksimum ringan 1) 75 % panjang 2. Cacat % Maksimum berat 2) 10 % panjang Keterangan : 1) perubahan warna, lubang gerek kecil, serat terlepas, parut buaya, cerah tidak merata, bontos tidak siku; 2) keriput, pecah ujung, pecah tengah, pecah buku, lapuk, patah, dan bontos pecah
89
7. Kulit rotan Syarat umum adalah kedua ujung dipotong siku dan tidak ada keriput. Adapun syarat khusus adalah seperti Tabel 30. Tabel 30. Persyaratan mutu kulit rotan No. Karakter
Satuan
Mutu
1. Panjang 2. Cacat ringan 1)
m %
A t 3,5 x
3. Cacat sedang2) 4. Cacat berat 3)
% %
Keterangan :
x
B t2,25 Maksimum 25 % panjang x
C t1 Maksimum 50 % panjang x
D <1 Maksimum 75 % panjang x
x
x
x
x
1)
perubahan warna, serat terlepas, parut buaya, kulit mengelupas, pecah kulit, kulit tergores, gosong dan bontos tidak siku; 2) mata pecah; 3) keriput, pecah ujung, pecah tengah, pecah buku, alur kulit, busuk, lapuk, patah, kulit mengelupas dan bontos pecah
8. Hati rotan Syarat umum adalah kedua ujung dipotong siku. Adapun syarat khusus seperti Tabel 31. Tabel 31. Persyaratan khusus mutu hati rotan No. Karakter
Mutu
Satuan
A
B
C
1. Panjang
m
2. Serat lepas, salah warna
%
t 3,5 x
t 2,25 Maksimum 25 % panjang
t1 Maksimum 50 % panjang
D <1 Maksimum 75 % panjang
9. Anyaman rotan (webbing) Syarat umum adalah ukuran dan bentuk tidak dibatasi; bebas dari cacat serat lepas, lubang gerek kecil, salah warna, parut buaya, pecah kulit, keriput, mata pecah, kulit mengelupas, patah, lapuk, busuk dan perpaduan tidak serasi. Adapun syarat khusus adalah seperti Tabel 32.
90
Tabel 32. Persyaratan khusus mutu anyaman rotan Mutu No. Karakter Satuan A B Maksimum Maksimum Warna dan cacat % 10 % 25 % tidak merata panjang panjang
C Maksimum 50 %
panjang
B. Mutu Rekayasa Dalam standarisasi rotan dengan sistem uji visual yang berlaku sampai saat ini, rotan dinilai secara kualitatif pada sepanjang dan sekeliling potongan rotan. Dalam penilaian ini termasuk pula kemampuan mekanis rotan dengan indikator ”kekerasan ” dan ”elastisitas”. Sejauh ini penaksiran kemampuan mekanis tersebut belum dapat menjamin kesesuaian dengan kondisi pemanfaatannya, terutama dalam memenuhi kebutuhan fungsional, baik sebagai bahan baku dalam pengolahan maupun sebagai pengguna akhir (Rachman, 1996). Sebagai upaya penyempurnaan standarisasi rotan sudah seharusnya disusun satandarisasi mutu rekayasa (engineering quality) di samping mutu visual yang sudah ada. Dengan adanya standarisasi ini maka penggunaan jenis rotan akan semakin luas karena dasar pengujian bukan lagi pada penampakan tetapi berorientasi kepada tujuan untuk memenuhi kebutuhan fungsional (pemanfaatan). Oleh karena itu, penetapan mutu didasarkan kepada indikator sifat fisis dan mekanis rotan. Untuk kayu Indonesia telah digunakan Berat Jenis (BJ) sebagai indikator mutu rekayasa karena BJ mempunyai hubungan yang erat dengan sifat mekanis seperti modulus patah dan keteguhan tekan. Berdasarkan BJ maka mutu rekayasa kayu Indonesia dibagi menjadi lima kelas, disebut sebagai kelas kuat kayu. Rachman (1996) melaporkan bahwa Modulus Elastisitas (MOE) rotan dapat dijadikan indikator mutu rekayasa karena MOE rotan mempunyai hubungan yang erat dengan keteguhan lentur maksimum. Hubungan tersebut berbentuk regresi linier positif yang signifikan, seperti ditunjukkan pada Gambar 27. Artinya, semakin tinggi MOE maka keteguhan lentur maksimumnya meningkat pula. Keunggulan MOE sebagai indikator mutu rekayasa ditunjukkan pula oleh hubungannya yang erat dengan keteguhan pada batas elastis bahkan dengan beberapa sifat anatomi, yaitu kelangsingan serat dan sifat kimia, yaitu kandungan silika. Di samping itu pengujian Modulus Elastisitas
91
dapat dilakukan dengan metode non destructive test sehingga tidak merusak integritas rotan yang diuji. Berdasarkan MOE maka jenis – jenis rotan Indonesia dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelas mutu, nilai Modulus Elastisitas lebih besar dari 20.300 kg/cm2, 20.300 – 11.100 kg/cm2 dan kurang dari 11.100 kg/cm2. Pada Gambar 27, satuan yang digunakan adalah Megapascal (Mpa) yang dapat dikonversi menjadi 1/10 dari satuan kg/cm2. Dengan demikian, klasifikasi mutu rotan berdasarkan Modulus Elastisitas, bila menggunakan satuan Mpa, yaitu : mutu I lebih besar dari 2.030 Mpa, mutu II 2.030 – 1.110 Mpa dan mutu III kurang dari 1.110 Mpa. Tegangan Lentur Maksimum (Mpa)
Gambar 27. Hubungan MOE dengan lentur maksimum dan garis batas mutu rekayasa rotan
92
VIII. PENUTUP Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya maka tampak bahwa betapa luasnya ilmu pengetahuan dan teknologi rotan, walaupun yang diuraikan hanya salah satu bagian dari pohon rotan, yaitu batang (Stem). Namun demikan, dari apa yang telah diuraikan masih saja ada bagian di sana-sini yang belum terungkap karena keterbatasan informasi. Oleh karena itu, terbitan pertama ini perlu kiranya secara terus menerus disempurnakan dan dikembangkan di kemudian hari agar batang dari pohon palm-memanjat yang unik ini dapat selamanya menghiasi kehidupan umat manusia. Dari apa yang telah terungkap dalam buku ini, pantas bahwa Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki sumberdaya rotan terkaya di dunia baik dalam keanekaragaman jenis maupun jumlah produksi. Tetapi, kekayaan yang tinggi itu masih memerlukan kalkulasi yang lebih akurat dengan cara inventarisasi rotan secara nasional. Sifat dasar rotan mengungkapkan bahwa tumbuhan famili palmeae dari kelas monocotyledones ini ternyata mempunyai kharakter yang sangat berbeda dengan kayu walaupun sama-sama berasal dari tanaman berkayu. Sifat ini sangat penting diketahui, karena mempunyai implikasi yang luas dalam pengolahan, pengawetan dan standarisasi mutu rotan. Bahkan sifat dasar, pengolahan dan pengawetan merupakan pengetahuan pokok dalam upaya peningkatan mutu dan kunci keberhasilan peningkatan daya saing produk rotan. Dalam buku ini telah dicoba merangkum semua aspek yang berkaitan dengan upaya-upaya agar batang rotan dapat dimanfaatkan secara lebih baik batang dari pohon rotan. Di luar batang, pohon rotan masih dapat memberi manfaat yang tinggi dalam kehidupan manusia, yaitu buah, pucuk dan akar. Bahan-bahan ini telah digunakan sebagai campuran dalam pembuatan cat, kosmetik, sumber makanan dan obatobatan.
93
DAFTAR PUSTAKA Achmadi,S.S. 1990. Kimia Kayu. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen P & K. PAU Ilmu Hayat. IPB Bogor. Ahmad,N.Y., P.Tho and L.T.Hong. 1985. Pest and Diseases of Rattan Products in Pinumsular Malaysia. Proceeding of Rattan Seminar. Kuala Lumpur. Forest Research Institute , Malaysia. Alrasyid,H. 1989. Teknik penanaman rotan. Pusat Litbang Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. Tidak diterbitkan ________dan Y. Dali. 1986. Prospek Budidaya Jenis rotan Potensial. Maklah Lokakarya Nasional 15 - 16 Desember. Departemen Kehutanan ________.1979. Standar Industri Indonesia. Mutu dan Cara Uji Tepung Gaplek. Departemen Perindustrian Republik Indonesia, SII 70 – 1979. ________.1982. Laporan inventarisasi potensi rotan di 6 kelompok hutan Cabang Dinas Kahutanan Kaltim. Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan Wilayah V, Kalimantan Timur. Samarinda. ________.1982. Laporan survey inventarisasi potensi hasil hutan ikutan (non kayu) di Kalimantan. Laporan kerjasama Balai Planologi Kehutanan III, Direktorat Bina Produksi Kehutanan. Banjarbaru ________. 1985 Pedoman peningkatan mutu rotan. Direktorat Tertib Peredaran Hasil Hutan. Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan. Departemen Kehutanan. Jakarta ________. 1985. Studi pengembangan tanaman rotan di Jawa Barat. Laporan Kerjasam Lembaga Penelitian IPB dan Direktorat Jenderal Rebiosasi dan Rehabilitasi Lahan. Departemen Kehutanan. Jakarta. ________. 1986 Himpunan Kertas Kerja dalam Raker HPRI (Himpunan Pengusaha Rotan Indonesia). Jakarta. _______. 1988. A Study on the prosfects on the rattan industry and market PT. Capricorn Indonesia Consult. Inc. Jakarta. Tidak diterbitkan.
94
________. 1989. Pedoman inventarisasi Rotan, dalam ”Himpunan Peraturan dan Perundang – undangan Tentang Rotan”, halaman 44 – 83. Pusat dokumentasi dan informasi Manggala Wanabakti. Jakarta. ________. 1991. SNI Seri 19 – 9000 Manajemen Mutu. Standar Nasional Indonesia. Dewan Standarisasi Nasional. Jakarta. _______.1996. Laporan inventarisasi potensi rotan di kelompok hutan Tojo dan Wanari, Palu. Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan Wilayah VI, Sulawesi Utara. Manado. ________. 2005. Rotan. Dinas Kehutanan Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah. Tidak diterbitkan. _______.2006. Standar Nasional Indonesia. Badan Standarisasi Nasional (BSN), SNI 01-7254-2006. Badhwar, R.L. 1961. Collection and processing of canes. Indian Forester 87 (A). 257 – 267. Kerala. Basri, E., O.Rachman dan A.Supriadi. 1998. Pengupasan dan pemolisan rotan dalam keadaan basah dan kering. Buletin Penelitian Hasil Hutan 15 (8) : 475 – 487. Puslitbang Hasil Hutan & Sosek. Bogor. Bhat, K. M. dan P. K Thulasidas. 1989. Calamus metzianus Schlecht, Why this rattan breaks ?. Rattan Information Center Bulletin, 8 (1/4 ), 4 – 5. FRIM, . Malysia. _______ dan M Verghese. 1989. Anatomical basis for the behaviour of rattan. Kerala Forest Research Institute. Kerala . Bodig, J dan B. A, Jayne. 1982. Mechanical of Wood and Wood Composite. Van Nostrand Reinhold, Co. New York. Chang, S. T., Y. S Huang dan W.J Ku. 1988. Use of SEM/EXA and IR in characterizing microscopic and chemical properties of rattan. For. Prod. Inds, 1988, 7 : 1. En caption. Casin, R. F. 1975. Study on the proper utilization of rattan poles. Progress report, project No. 13. PCAR. Los Banos. Cortes, R.T. 1939. Air seasoning of commercial rattan. The Philipines Journal of Forestry 8(4). Laguna.
95
Cummins, J.E. 1933. Blue stain in Pinus radiate (insiquis) timber. Some premilinary exsperiments with case stock. Division of forest Products Reprint 14. p. 244 – 251. Dali,J dan Y.Sumarna. 1986. Pengenalan jenis-jenis rotan Indonesia. Himpunan Diklat Penguji Rotan Kerjasama Puslitbang Hasil Hutan-PT. Sucofindo, Bogor. Tidak diterbitkan. Darma,S. 1987. Pengaruh konsentrasi bahan pemutih kaporit dan kostik soda terhadap warna dan sifat mekanis beberapa jenis rotan. Skripsi Sarjana Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor. Tidak diterbitkan. Dewi, H. H. 1999. Pengaruh waktu penggorengan dan jenis rotan terhadap mutu hasil pemolisan. Skripsi Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan, Unwim. Bandung. Dransfield, J. 1974. A short guide to rattan. SEAMEO, Regional center for tropical biology. Biotrop/TF/128. Bogor. ________. 1979. A manual of the rattan of Malay Peninsula. Malayan Forest Record No. 29. FRIM, Malaysia. ________. 1984. Prospect for lesser known canes. In : Proc. Rattan Seminar Kualalumpur. The RIC ( 1985 ) : 107 – 114. Fengel, D dan G Wagener. 1984. Wood, Chemistry Ultrastructure and Reaction. Walter de Gruyter. New York. Gunawan. 2002. Keragaan perdagangan rotan dan produk rotan Indonesia di pasar domestik dan international suatu analisis simulasi kebujakan. Disertasi. Program Doktor. Program pascasarjana. Institute Pertanian Bogor. Tidak dipubliksikan. _______.
2005. Ketersediaan bahan baku dalam mendukung peningkatan ekspor produk rotan dan permasalahannya. Fasilitasi usaha bidang pemasaran dan produksi pelaku usaha hasil hutan non kayu (rotan). Direktorat Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan. Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. Jakarta.
Hadikusumo, S. A. 1988. Properties and potensial uses of unexploited rattan in Indonesian. Final Report Rattan Indonesian Project. 1984 – 1988. IRDC – and Departemen. of Forestry, Jakarta. p. 186 – 190.
96
________. 1990. Sifat fisik – mekanik rotan dan teknik pengawetannya. Makalah Diskusi Hasil Penelitian Rotan. Kerjasama Pemerintah RI – IDRC, Canada. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta. ________. 1994. Eksploration of physical and mechanical properties of presently unusual rattan. Buletin Fakultas Kehutanan No. 25/1995. Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. ________ dan H Yudodibroto. 1985. Sifat – sifat fisis dan mekanis rotan – rotan yang tidak dipungut dari Propinsi Kalimantan Tengah. Proceeding Lokakarya Nasional Rotan. Departemen. Kehutanan – Badan Litbang Kehutanan – IRDC, Jakarta. p. 394 – 395. Handayani, D. V. 1993. Pengaruh pengukusan, perendaman urea dan perendaman amoniak terhadap pelengkungan, dan sifat fisis mekanis rotan manau dan rotan batang. Skripsi. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor. Hardjo, S., O.Rachman., dan E. Sopianti. 1994. Kajian Pemutihan Rotan Batang (Calamus ornatus) dengan Berbagai Konsentrasi Bahan Kimia dan Cara Penggunaannya. Jurnal Teknologi Industri Pertanian 4(1). FATETA, IPB. Bogor. Hartono. 1998. Prospek industri rotan dan saran yang diperlukan. Maklah pada workshop tentang deregulasi rotan. Asmindo. Jakarta. Haygreen, J. G. dan J. L Bowyer 1982. Forest Products and Wood Science. The Lowa State University Press, Ames. lowa. Heyne,K. 1950. De nuttige planten van Indonesia. Leitgeverij W.Van Hoeve, S’Gravenhage/Bandung. Hillis, W. E. 1987. Heartwood and Tree Exudates. Spring Verlag. Berlin. Holtam, B.W. 1966. Blue stain. Its effect on the wood of home grown conifer and suggested methos of control. Forestry Commision. Leafleat No. 53: 1-3. Indrawati,L. 1993. Struktur Anatomi Beberapa Jenis Rotan. Skripsi S1 Jurusan THH Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor. Tidak diterbitkan.
97
Jasni. 1992. Cara pengolahan rotan dan pecegahan serangan organisme pada rotan di Semarang dan sekitarnya. Prosiding dan Pengembangan Bioteknologi. Bogor. Hal 259 – 270. ______. 1999. Pencegahan bubuk Dinoderus minutus Farb. pada rotan batang (Daemonorops robusta Warb). Seminar Hasil-Hasil Penelitian Bidang Teknologi Hasil Hutan, Yokyakarta. ______ dan N,Supriana. 1999. The resistance of eight rattan species against the powder – post beetle Dinoderus minutus Farb. Proceeding of the 4th International Conference on the Development of Wood Science, Wood Technology and Forestry. FPRC, England. ______ dan D Martono. 1999. Pengawetan rotan asalan. Petunjuk Teknis. Pusat Litbang Hutbun. Bogor. ______ dan G. Sumarni. 1999. Pengetahuan Sifat Keawetan dan Penyebaran Jenis Rotan. Diktat Diklat Disainer Mebel Kayu dengan Bahan rotan non Paforit. Kerjasama Pusat Penelitian Hasil Hutan dengan Pengelola Dana Hasil Hutan. Direktorat Jenderal Industri Kimia Agro dan Hasil Hutan, Bogor. ______. R. Damayanti dan T. Kalima. Atlas Rotan Indonesia. Jilid I. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor. ______, R. Damayanti. T. Kalima. J. Malik dan Aburachman. 2010. Atlas Rotan Indonesia. Jilid II. Pusat penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kahutan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor. ______ dan H. Roliadi. 2010. Daya Tahan 25 Jenis Rotan Terhadap Rayap Tanah. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 28 (1): 55-65. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor. ______ dan H. Roliadi. 2011.Daya Tahan 16 Jenis Rotan Terhadap Bubuk Rotan (Dinoderus minutus Fabr.). Jurnal Penelitian Hasil Hutan 29 (2): 115-127. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor. ______. Krisdianto. T.Kalima dan Abdurachman. 2012 a. Atlas Rotan Indonesia. Jilid 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor.
98
______. Krisdianto dan Abdurachman. 2013. Beberapa Jenis Rotan Kurang Dikenal Sebagai Alternatif Bahan Baku Mebel. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Keteknikan Kehutanan dan Pengembangan Hasil Hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor Karnasudirdja, S. , S Kurnia dan K Rochimini. 1974. Pedoman pengujian sifat fisis – mekanis kayu. Publikasi khusus No. 20. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor. Kollmann, F. P. P dan W. A Cote. 1968. Principles of Wood Science and Technology, Vol I. Springer Verlag New York, Inc. New York. Komaesakh, A. 1990. Standarisasi dan teknik pengujian rotan. Sirkulasi terbatas. Departemen Kehutanan. Jakarta Krisdianto, Jasni dan O.Rachman.2007. Pelengkungan rotan dengan gelombang mikro. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 25 (2): 166181. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor. Liemens, R. H. M. J. , F. C. M Jansen. , J. S Siemonsma dan F. M Stavast. 1989. Plant Resources of South – East Asia. Basic list of species and comodity grouping. PROSEA Project. Wangeningen. Nederlands. Lin, S. Y dan C. D Dence. 1992. Methods in Lignin Chemistry. Springer Verlag. Berlin. Heidelberg. Mandang, I. Y. dan Rulliyati S. 1990. Anatomi batang rotan. Himpunan diktat Kursus Penguji Rotan, jilid I. Sirkulasi terbatas. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Martawijaya, A. 1988. Bahan pengawet kayu. Himpunan diktat kursus Sawmill Technician, Angkatan VIII. Puslitbang Hasil Hutan. Bogor. Tidak diterbitkan. Martono, D. 1986. Laporan Perjalanan Koleksi Organisme Perusak Rotan di Lampung dan Cirebon. Tidak diterbitkan. Puslitbang Hasil Hutan. Bogor. ________. 1990. Percobaan penggunaan pestisida untuk mencegah serangan jamur pewarna pad rotan. Jurnal Pen. HH. 7 ( 2 ) : 54 – 60. Puslitbang Hasil Hutan & Sosek. Bogor.
99
________. 1990a. Proses pengawetan rotan. Diktat kursus penguji rotan. Puslitbang Hasil Hutan. Bogor. Tidak diterbitkan. Maulana, H. 1997. Penetuan faktor konversi dalam proses pengolahan rotan untuk bahan baku furnitur. Skripsi. Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan, Unwim. Bandung. Menon, K. D. 1979. Rattan a Report of Workshop Hild in Singapore, IDRC. OTTAWA. Capita. 55 PP. Mogea, J. P. 1990. Potensi dan penyebaran jenis – jenis rotan di Indonesia khususnya di Sulawesi. Makalah Diskusi Hasil Penelitian Rotan. Departemen. Kehutanan – IDRC, Jakarta. Nangkat, N., H.H. Morni, J. H.H.A. Ahmad dan A.Kalat. 1997. The Rattans of Brunei Darusalam. Forestry Departmen, Brunei Darussalam and Royal Botanic Gardens, Kew, UK. Ministry of Industry and Primary Resources Brunei Darussalam. Natalie, W. Uhl. dan J Dransfield. 1987. Genera Palmarum a classification of palm. Allen press, Lawrence. Kansas. Oey Djoen Seng 1964. Berat Jenis dari jenis – jenis kayu Indonesia dan pengertian beratnya untuk keperluan prektek. Pengumuman No. 1. Lembaga Penelitian Hasil Hutan Departemen Kehutanan. Bogor. Pandit. I. K. N. , O Rachman dan L Indrawati. 1993. Struktur anatomi beberapa jenis rotan. Teknolog Buletin Jurusa Teknologi Hasil Hutan ( 4 ) 1 : 40 – 50. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Parameswaran, N dan W Liese. 1984. Fiber wall architecture in the stem of rotan manau ( Calamus manan ). In : Proc. Rattan Seminar, Kualalumpur. The RIC ( 1985 ) : 123 – 129. Peluso,N.C. 1999. Rattan industries in East Kalimantan, Indonesia. Website http://www.fao.org/docrep. Diakses tanggal 4 Maret 2003. Philipson, W. R. , J. M Ward. dan B. G Butterfield. 1970. The Vasculer Cambium, Its development and activity. Chapman & Hall Ltd. New Fetter Lane, London EC 4. Rachman,O. 1979. Masalah penelitian pengolahan rotan di Indonesia, Majalah Kehutanan Indonesia. No. 3 Th IV. Direktorat Jenderal Kehutanan, Departemen Pertanian.
100
________. 1984. Pengaruh kondisi penggorengan terhadap kualitas rotan manau. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 1 ( 4 ) : 14 – 19. Puslitbang Hasil Hutan. Bogor. _______. J. Balfas dan T. Silitonga. 1088. Improvment of Rattan Processing Method. Final Report Rattan Indonesian Project. Departemen Kehutanan RI – IDRC. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta. _______. 1992. Tingkah laku tegangan regangan dalam uji lentur pada beberapa jenis rotan. Laporan masalah khusus. Sirkulasi terbatas, Jurusan IPK. Program PPS, IPB. Bogor. ________. 1996. Peranan sifat anatomi kimia dan fisik terhadap mutu rekayasa rotan. Disertasi Doktor, Program Pasca Sarjana IPB. Bogor. Tidak diterbitkan. ________. Dan A. Santoso. 1996. Pengupasan dan Pengeringan Bahan Baku Rotan Segar. Laporan Proyek Peneltian Puslitbang Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi, Bogor. ________, S Suhardjo dan M Suwirman. 1997. Perbaikan teknik pelengkungan rotan melalui perendaman dengan larutan Dimetil Sulfoksida. Buletin Penelitian Hasil Hutan 15 ( 4 ) : 299 – 311. Puslitbang Hasil Hutan & Sosek. Bogor. ________, E Basri dan D Martono. 1999. Pengolahan rotan lepas panen. Pedoman teknis. Kerjasama Puslit Hasil Hutan dan Perum Perhutani. Bogor. Rachmat, Z. F. , D Kadarisman. , O Rachman dan A. B Ahza. 1981. Peningkatan rendemen dan mutu rotan belah untuk bahan industri kerajinan rakyat. Fateta, IPB. Bogor. Roldan, L.P. 1954. Stain discoloration in ratan. The Phil. Lumberman 4(32) : 12-13. Rujehan. 2001. Pendapatan petani rotan berdasarkan produk akhir di desa Muara Asa Kecamatan Barong Tongkok Kabupaten Kutai Barat. Jurnal Rimba Kalimantan 6 (2): 32 – 44. Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman. Samarinda, Salita, A. A. 1985. Rattan industry of the Philippines. In : proc. Rattan Seminar, Kualalumpur. The RIC ( 1985 ) : 95 – 116.
101
Sastry,C.B. 2003. Rattan in twenty-first century – an outlook. Website http://www.fao.org/docrep. Diakses 29 Juni 2004. Schmitt, U. , G Weiner dan W Liese. 1995. The fine structure of the stegmata in Calamus axillaris during maturation. IAWA Journal, Vol 16 ( 1 ) : p 61 – 68. Hortus Botanicus, Lieden. Setiaji, H. 1997. Studi tentang kerusakan rotan akibat pembengkokan pada industri mebel rotan di Mojokerto, Jawa Timur. Skripsi Jur. THH, Fahutan Universitas Winayamukti. Bandung Shadily, H. 1984. Ensiklopedi Indonesia. Vol 5. Ichtiar Baru – Van Hoeve. Jakarta Silitonga, T. , R. M Siagian dan A Nurachman. 1973. Cara pengukuran serat kayu di Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Publikasi Kusus No. 12. Bogor. ________. H Prahasto. dan S Priasukmana. 1990. Perdagangan, industri dan pengembangam sumber daya rotan. Makalah diskusi hasil penelitian rotan. Departemen Kehutanan. IDRC. Jakarta. Simatupang, M. H. 1978. The processing of rotan, minor forest products from tropical rain forest. Voluntary paper in WFC – VIII. Direktorat Jenderal Kehutanan, Departemen Pertanian. Jakarta. Sinaga, M. 1986. Perbaikan metode pemanenan rotan di hutan alam. Final Report Rattan Indonesian Project. Departemen Kehutanan RI – IDRC. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta. Siripatanadilok, S. 1974. Anatomical investigation of Javenese rattan cane as a guide to their identification. Kasetsart University, Thailand. Sumarna, Y. 1986. Pengenalan umum tentang rotan di Indonesia. Himpunan Diktat Kursus Penguji Rotan, Jilid I. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. ________ dan A. S Kosasih. 1997. Menanam rotan jenis manau (Calamus manan Miq.) dengan pola taman kecambah. Puslitbang hutan dan Konservasi Alam. Badan litbang Kehutana. Bogor. Sumarni, A. Ismanto dan D Martono. 1993. Pengaruh insektisida terhadap efektifitas fungisida untuk mencegah serangan jamur biru pada rotan. Makalah Kongres Nasional Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia. Surabaya.
102
102
_______. 1994. Penggunaan bahan pengawet chloropyrifos sebagai pencegahan serangan kumbang bubuk pada rotan. Makalah Seminar Rotan – FMIPA, UI. Jakarta. ________. 1994a. Pengaruh pengukusan pada rotan yang diawetkan terhadap serangan bubuk Dinoderus minutus Febr. Makalah Seminar Rotan – FMIPA UI. Jakarta. ________. dan A Ismanto. 1994. Penggunaan boraks untuk mencegah serangan pada kumbang bubuk pada rotan batang ( Daemonorops robustus Warb. ). Makalah Seminar Rotan – FMIPA UI. Jakarta. Suryokusumo,S. 1989. Peranan Keteknikan dalam Sistem Pemanfaatan Kayu Konstruksi di Indonesia. Lembaga Penelitian IPB. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. _______. 1997. Stress grading mekanis dan prospek penggunaannya di Indonesia. Makalah Utama dalam Seminar Persaki, Bogor. Stam, A. J. 1964. Wood an Cellulose Science. The Ronald Press Company. New York. Suhadihardjo. O Rachman dan E Sofianti. 1994. Kajian pemutihan rotan batang. Jurnal Teknologi Industri Pertanian 4 ( 1 ) : 20 – 29. Fateta, IPB. Bogor. Syafii, W. , M Samejima dan T Yosimoto. 1988. The role of lignin on decay resistance of ulin ( Eusideroxylon zwageri T. et B. ) to wood – rotting fungi. Bulletin Tokyo University Forest No. 79 : p 119 – 126. Tokyo. Tomlison, P. B. 1961. Anatomy of Monocotyledon. II, Palmae. Oxford at the Clarendom Press. Florida, USA. Toni C Lo.1976. Production and Marketing of Rattan Furniture in Indonesia. Assistance to The National Agency for Export Development (NAFED), Ministry of Trade, im the field of Export Product Adaptation. IS/INS74/030. Indonesia. Trotman, E. R. 1968. Textile scouring and bleaching. Charles Griffin & Company, Ltd. London. Uhl, N. W. dan Dransfield, J. 1987. Genera Palmarhum. Allen Press, Lawrence, Kansas. Vongkaluang, I. 1984. Rattan in Thailand. Proc. Rattan Seminar, Kualalumpur. The RIC ( 1985 ) : 125 _ 129.
103
Wangard, F. F. 1950. The Mechanical Properties of Wood. John Willey and Sons, Inc. New York Wiener, G dan W Liese. 1990. Rattan – stem anatomy and taxonomic implications. AWA Buletin. 11 ( 1 ) : 61 – 70. Yudodibroto, H. 1984. Anatomy, Strength properties and utilization of some Indonesian rattan. In : Proc. Rattan Seminar, Kualalumpur. The RIC (1985) : 117 – 121.
104
Lampiran 1. Daftar jenis rotan Indonesia DAERAH No. NAMA BOTANI SEBARAN 1 Calamus acidus Becc Sulawesi 2 acuminatus Becc Kalimantan 3 adspersus Bl Sumatra, Jawa, Maluku 4 ahli durii Sulawesi 5 albus Pers (C. Maluku rudentus Roxb) 6 altiscandeus Burr Irian Jaya 7 amphybolus Becc Maluku 8 anomalus Burr Irian Jaya 9 aquatilis Ridl Sumatra, Kalimantan 10 arfakianus Becc Irian jaya 11 aruensis Becc Maluku 12 aspermus Bl Jawa 13
axillaris Bl
14
bacularis Becc
Jawa, Sumatra, Kalimantan Kalimantan
15
barbatus Zipp bengkulunensis Becc bifacialis Burr bilitonensis Becc blumei Becc boniensis Becc branchystachys Becc
Irian Jaya Sumatra Kalimantan Sumatra Kalimantan Sulawesi Kalimantan
brasii Burr bravifolius Becc
Irian Jaya Irian Jaya
16 17 18 19 20 21 22 23
NAMA LOKAL asam (Mly) howe–bogo (Sund), wulu batang merah putih,uwaputi,u.ela (Amb) tuni, biau bakau (Mly)
leuleus, huwi– semulik sega–air, s.banyu (Plmbng) Cempaka (Serwk)
ramit (Belitung) Tomani landak, pangrungrung
105
No.
NAMA BOTANI
DAERAH SEBARAN Jawa
24
burckianus Becc
25
caesius Bl
26 27
castaneus Griff cawa Bl
Sumatra, Kalimantan Sumatra Maluku
28
ciliaris Bl
Jawa
29
colorrhynchus Becc conjungatus Furt corrugatus Becc cuthbersonil Becc dachagensis Furt depanperatus Ridl didymocarpus Warb diepenhorstii Miq distendus Burr divaricatus Becc equestris Willd
Kalimantan Kalimantan Kalimantan Irian Jaya Kalimantan Irian Jaya Sulawesi Sulawesi Irian Jaya Kalimantan Maluku
erioacanthus Becc exilis Griff
Kalimantan Sumatra, jawa, Kalimantan
eximius Burr fasijugatus Burr ferrugineus Becc fertilis Becc filiformis Becc flabellatus Becc
Irian Jaya Sumatra Kalimantan Irian Jaya Kalimantan Kalimantan,
30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41
42 43 44 45 46 47
106
NAMA LOKAL howe – balukbuk (Sund) sega, taman, sego, sesah Sabut uwa – kawa (Amb), kadat cacing, pueteuy, geureung
hoa, nona, lauro
uwa launkana (Amb) ageung, uwi pahe (Plbang),lilin, paku, uwe pare, gunung
batu, kawat dahan, berman
No.
48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68
69 70
NAMA BOTANI fuscus Becc gibbsianus Becc gonospermus Becc halmaherensis Burr hartmannii Becc heterocanthus Zipp heteroideus Bl heteroideus var depenperatus heteroideus var palleus Bl hewittianus Becc hispidulus Becc hollrungii Becc horrens Bl humboldtianus Becc hypertrichosus impor Bl inops Becc insignis Griff interruptus var docilis Becc jaherianus Becc javensis Bl
javensis var acicularis Bl javensis var exilis Becc
DAERAH SEBARAN Sulawesi Irian Jaya Kalimantan Kalimantan Maluku Irian Jaya Irian Jaya Jawa Jawa
NAMA LOKAL
korod, omas
Sumatra, Jawa tretes – hejo Kalimantan Kalimantan Kalimantan Sumatra, Jawa Irian Jaya Kalimantan Kalimantan Sulawesi Sumatra Irian Jaya Kalimantan Sumatra, Jawa, Kalimantan Kalimantan
buluk (Pontnk) buku akar
pulut tohiti
lilin, cacing
Jawa
107
No.
NAMA BOTANI
DAERAH SEBARAN Kalimantan
92
javensis var mollispinus Becc javensis var pollyphylus javensis var sublevis Becc javensis var tertasticjus kandariensis Becc karuensis Ridl kishii Furt kjellbergii Furt klossii Ridl koordersianus Becc latisectus Burr laceratus Burr ladermannianus Becc lanterbranchii Becc leijocaulis Becc leiophatus Barlett leptostachys Becc macrochlamys Becc macrogorii Becc macrospadix Burr macrosphaerion Becc manam Miq
93
marginatus Mart
Irian Jaya Sulawesi Sumatra Sulawesi Irian Jaya Irian Jaya Irian Jaya Sulawesi Sumatra, Kalimantan Kalimantan
94
mattanensis Becc
Kalimantan
71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91
108
NAMA LOKAL
Sumatra, Kalimantan Kalimantan Kalimantan Sulawesi Sulawesi Kalimantan Sulawesi Irian Jaya Sulawesi Sumatra Irian Jaya Irian Jaya
Noko, boga
jermasin, hoa ronti, telang
tohiti kasar manau manau gajah, m. padi marau, sabut
No. 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112
113 114 115 116
NAMA BOTANI
DAERAH SEBARAN Kalimatan
mattanensis var sabut Becc mayrii Burr malanoloma Mart
Irian Jaya Jawa
melanochetes Mart minahasae Warb
Jawa Sulawesi
moskowkianus Becc mucronatus Becc multicentosus Burr myriacanthus Becc myriocarpus Burr nannosachys Burr nanus Burr nematospadix
Irian Jaya Kalimantan Irian Jaya Kalimantan Irian Jaya Irian Jaya Kalimantan Kalimantan endemik Sulawesi Sumatra Kalimantan
obscurus Warb opacus Bl optimus Becc optimus var mitis Becc ornatus Bl
ornatus var celebius Becc ornatus var sumatranus Becc orthostachys furt oxleyanus Teysm et
NAMA LOKAL
howe-leuleus, h. lilin seel lauro, datu, rintek tunggal
Mawang batu merenung, buyung, selutup
Kalimantan Sumatra, Jawa, Sulawesi Sulawesi
seuti, selian, kesur
Sumatra
tabu-tabu
Sulawesi Sumatra
Sigisi,popini manau-tikus
batang, lambang
109
No.
117 118 119 120
NAMA BOTANI Binn oxleyanus var obovatus Becc pachystachys Warb palembanicus Becc panci jugus Becc
DAERAH SEBARAN Sumatra
Sulawesi
122 123
pedicellatus Becc
124
penibukanesis furt pigmaceus Becc pilosellus Becc pilosissimus Becc pisicarpus Bl plicatus Bl poensis Becc pogonacanthus Becc polycladus Burr polystachys Becc
Kalimantan Kalimantan Kalimantan Irian Jaya Maluku Sulawesi Kalimantan Kalimantan Irian jaya Jawa, Kalimantan,
prattianus Becc pseudomolis Becc pseudoulur Becc pseudozebrianus Burr ralumensis Warb
Irian Jaya Sulawesi Kalimantan Irian Jaya
125 126 127 128 129 130 131 132 133
134 135 136 137 138
110
manau gajah
Sulawesi Sumatra
papuanus Becc paspalanthus Becc
121
NAMA LOKAL
Irian Jaya Kalimantan, endemik Sulawesi
Irian Jaya
tongka, daunpinang, wulo Marau tunggal, sanjat samole, toromataha, wuta
bulu
samuli telang, uwi lelah, cincin, howe gelang
No. 139 140 141 142 143 144
NAMA BOTANI regularis Burr reinwardtii Mart reticulatus Burr retrophyllus Becc robinsonsianus Becc rhombiodeus
148
romboideus var cuberri Miq rostratus Furt rubiginosus Ridl rugosus Becc
149
rumphii Bl
150
ruvidus Becc rhytidomus Becc srawalensis becc scabrifolius Becc
145 146 147
151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161
scabristaphus Becc schleterianus Becc scrhristacanthus Bl schaeferianus Burr schristacanthus Bl scipionum Burr sclerecanthus Becc semai Becc
DAERAH SEBARAN Kalimantan Jawa, Kalimantan Irian Jaya Sumatra, kalimantan Maluku Sumatra, Jawa, Kalimantan Sumatra Kalimantan Kalimantan Sumatra, Kalimantan Maluku Kalimantan Kalimantan Kalimantan Kalimantan, Sumatra Irian Jaya Irian Jaya Kalimantan Sumatra Sumatra Sumatra, Kalimantan Sulawesi Kalimantan
NAMA LOKAL
sampang, dudur
arasuli, holite (Amb) lilin jelai–batu inun, kikir, mengkekeran
dandan dandan semambu batu
111
No. 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 182 183 184 185 186
112
NAMA BOTANI sepikensis Becc serrulatuss Becc sessilifolius Burr setigerus Burr simphysipus Mart slootenii Furt sobensis Becc spectabilis Bl spectabilis var sumatranus sphaerieliferus spinulinervis Becc stramineus Furt subinervis H wendl sumbawaensis Burr tapa Becc tamentosus Becc tenenpokensis Furt timorensis Becc
DAERAH SEBARAN Irian jaya Irian Jaya Irian Jaya Irian Jaya Sulawesi Kalimantan Kalimantan Jawa Sumatra
tolitoliensis Becc trachicoleus Becc ulur Becc unifarius H. wendl
Kalimantan Kalimantan Kalimantan Kalimantan Nusa Tenggra Kalimantan Kalimantan Kalimantan Nusa Tenggara Sulawesi Kalimantan Sumatra Sumatra, Jawa
vesticus Becc viminalis Wendl
Irian Jaya Jawa
viridispinus var sumatranus
Sumatra
NAMA LOKAL
ombol, wakawaka (Bugs)
uwi peledes (Plbng)
salompea, apek irit, jahab uwi sabu, ulur kesur, sege,uwi kertas karokok, penjalin glatik
No. 187 188 189 190 191
NAMA BOTANI warbugii k. schum wariwarensis winklerianus Becc zebrianus Becc zollingeri Becc
zonatus Becc 193 Ceratolobus concolor Bl 192
198
discolor Becc glaucescens Bl hallieranus Becc kingianus Becc laevigatus Becc
199
rostratus Becc
194 195 196 197
Subangulatus (Miquel) Beccari 201 Cornera conirostris Becc (furt) 200
202 203 204 205 206 207 208 209 210
Demorops acamptostschys Becc acantholoma Becc aruensis Becc asteracanthus Becc bakauensis Becc beguinii Burr binaendijkii Becc calapparia Bl calicarpa Mart
DAERAH SEBARAN Irian Jaya Irian Jaya Kalimantan Irian Jaya Sulawesi Kalimantan Sumatra, Jawa,Kaliman tan Kalimantan Jawa Kalimantan Kalimantan Sumatra, Kalimantan Sumatra, Kalimantan Kalimanatan, Sumatera Sumatra, Kalimantan Kalimantan Kaliamntan Maluku Kalimantan Sumatra Maluku
NAMA LOKAL suwai, sasami tawangkis batang, pondos saisagan perdas uwi tikus,mata pelanduk
lamayoh (dyk) kulus (dyk)
Rotan cakre, rotan halus
kalapa (Amb), hahulu
Sumatra Maluku Sumatra
113
No.
NAMA BOTANI
211
callarifera Becc calothyrsa furt confusa furt crinita Bl
212 213 214 215 216 217
218 219 220 221 222 223
cristata Bl depressiuscula Becc didymophylla Becc
didymophylla var. cinnamonea Becc draco Bl dracuncula Ridl florida Becc formicaria Becc fornesii Becc
DAERAH SEBARAN Kalimantan Kalimantan Sumatra Sumatra, Kalimantan Kalimantan Sumatra Sumatra, Kalimantan, Jawa
Sumatra Sumatra Kalimantan Kalimantan Sumatra
226
Kalimantan Sumatra
227
hystrix (Grift) Mart
Kalimantan
228
hystrix var. exielans Becc javanica Furt korthalsii Bl lamrolepis Becc
Kalimantan
225
229 230 231
114
Jerenang, hotang-hotang, tangkalang, awe ente
Kalimantan
gracilipes Miq. (Becc) halleriana Becc hystrix Mart
224
NAMA LOKAL
jernang
gelong (Ranau/ Plbng)
Sumatra
Jawa Kalimantan Sulawesi
kalangsintangang , sabut Marucam, uwe kalang, sintang, balam, jerenang
lapa, lita,
No.
NAMA BOTANI
DAERAH SEBARAN
NAMA LOKAL tambaelulu
232 233 234 235 236 237 238
239 240 241 242
243
244
245
246 247 248
lasopatha Furt longipedunculata Furt longispatha Becc longipes Mart (Griff) longispinosa Burr longistipes Burr macroptera Becc
mattanensis Becc megalocarpa Burr melanochaetes Becc melanochaetes var D. macrocorpa Becc melanochaetes var D. padangensis Becc melanochaetes var macrocymbo Becc melanochaetes var microcarpa. T et B. microcarpha Burr microstachys Becc migra (Rump) Bl
Kalimantan Kalimantan Kalimantan Sumatra Sumatra Kalimantan Sulawesi
ompoy, duduk (Mly), tanah
kuyui, susu, manuk,pondos valuku, pondos sarigase, pondos kukwi umbut
Kalimantan Sumatra Sumatra, Jawa seel, selang, penjalin manis Sumatra
Sumatra
Jawa
Jawa
Sumatra Kalimantan Maluku
115
No. 249 250 251 252 253 254 255 256 257 258 259 260
NAMA BOTANI mirabilis Mart mirabilis var. oligocyclis Becc monticola (Grift) Mart motleyl Becc neptilis (Wendl) Becc niger Bl oblonga (Reinw) Bl oxycarpa Becc pachyrostris Becc palembanica Bl palembanica var. bangkana Becc periacantha Miq
265
plagiocyla Burr pleioclara Burr propinque Becc riedenliana (Miq) Becc robusta Warb
266
rubra (Reinw) Bl.
267
sabensis Becc
261 262 263 264
116
DAERAH SEBARAN Kalimantan Kalimantan
NAMA LOKAL bambulan
Kalimantan Kalimantan Kalimantan Maluku
itam (Mly), mete (Amb) Sumatra, Jawa pitik, trete Kalimantan Kalimantan Sumatra nangga, niyem (Lmpng) Sumatra Kalumantan, Sumatra Sumatra Kalimantan Sulawesi Sulawesi Sulawesi
landak, pakak (Plbng)
Pondos wasal
batang, pondos kuluwi Jawa, Sumatra pelah, sepet, bebuwar,leusleus, selang, teretes, penjalin angin Kalimantan, tabutabu Sumatra
No. 268 269 270 271 272 273 274 275
schlechteri Burr scopigera Becc serisinorum Warb
DAERAH SEBARAN Sulawesi Kalimantan Sulawesi
singalana Becc sparsiflora Becc spectabilis Becc stenophylla Becc trichroa Miq
Sumatra Kalimantan Kalimantan Sumatra Sumatra
NAMA BOTANI
turbinata Becc 277 ursina Becc 278 uschdraweitiana Burr 279 verticilliaris (Grift) Mart 280 Korthalsia rostrata Bl 281 brasii Burr 282 cheb Becc 283 celebica Becc 284 conclor Burr 285 debilis Bl 276
286
echinometra Becc
287
ferox Becc
288
flagellaris Miq
289
fulcata Becc
NAMA LOKAL
benang, nako, ngalum
bungkus, kelemuning (Kbu)
Kalimantan Kalimantan Sumatra Kalimantan, Sumatra Kalimantan Irian Jaya Kalimantan Sulawesi Kalimantan Sumatra, Kalimantan Sumatra, Kalimantan Kalimantan endemik Sumatra, Kalimantan Kalimantan
gelang, semut, monok (Lpng) getah
yaki, keis dahanan udang, siu, meiya, hurang, semut, dahan Sampan, kapuas dahanan, andung
117
No. 290 291 292 293
NAMA BOTANI halleriana Becc hispida Becc horrida Becc junghunii Miq
DAERAH SEBARAN Kalimantan Sumatra Kalimantan Jawa
NAMA LOKAL
sampang, simpang, sampay
Sumatra Kalimantan Kalimentan Kalimantan Sumatra, Kalimantan, jawa
uwi dahanan
298
laciniosa Mart macrocarpa Becc mauleri Bl paucijuga Becc rigida Bl
299
robusta Bl
Sumatra
pakrai (Klmtn)
300
rubiginosa Becc
Kalimantan
bidai (Bltung), dahanin
301
scaphigera Mart
Sumatra, kalimantan
semut, semot, lalun (Dyk)
302
teysmanii Miq
Sumatra, Jawa tangkurungan (Plbng) Sumatra bilah-kinjau (Lmpng) Irian Jaya kaprus, opka Sumatra sertung, kirtung (Mly) Kalimantan lapak Sumatra Sumatra, Jawa bubuay, penjalinwarak
294 295 296 297
wallichiaefolia Wendl 304 zippelii Bl 305 Myrialepsis scortechnii Becc 303
triqueter becc 307 Plectocomia bilitonensis Becc 308 elongata Becc 306
309
118
griffithii Bl
Jawa
meladang (Bangka), dahan, wa guun
bubuay
NAMA BOTANI
No.
muelleri Bl
310
sumatrana Miq 312 Plectocomiopsis corneri Furt 313 germinimflorus Becc 311
314
Plectocomiopsis mira J.Dransf
Sumber :
DAERAH SEBARAN Sumatra
Sumatra Sumatra Sumatra, Kalimantan Sumatera, Kalimantan
NAMA LOKAL buwai (Bltng),langgane, sadak, sanggau
loa (Bltng), poporan (Lmpng), buluh Rotan marak, wi metai, samare
Dransfield, 1974 ; Dali dan Sumarna, 1985 ; Hadikusumo, 1994 ; Jasni et.al (2012) data diolah
119
Lampiran 2. Jenis rotan komersial dan penyebarannya di Indonesia Daerah sebaran No. Nama Lokal Nama Botani produksi 1. Arasuli Calamus rumphii Maluku, Irja 2. Balukbuk C. burckianus Sumatera, Jawa 3. Batang C. zolingeri/ D. Sulawesi, Maluku robustus 4. Batu C. filiformis Bengkulu, Lampung, Kalteng 5. Bulu K. celebica Sulawesi, Maluku, Irja 6. Buluk C. hispidulus Sumsel, Riau, Bengkulu, Sumbar, Lampung 7. Buyung C. optimus Kaltim, Kalsel, Kalteng 8. Cacing C. cilliaris Sumatera, Jawa, Kalimantan 9. Dahan C. flagellaris Jambi, Riau, Bengkulu 10. Dandan C. schristacanthus Sumsel, Jambi, Lampung 11. Datu C. minahasae Maluku, Irja 12. Duduk D. longipes Bengkulu, Sumbar, Sumsel, Lampung, Aceh, Jawa 13. Epek C. tolitoliensis NTB, Maluku, Sulawesi 14. Getah K. angustifolia NTB, Aceh, Sumbar, Jambi 15. Hoa C. didymocarpus Sulawesi, Maluku, Iraja 16. Inun C. scabrifolius Lampung, Jawa, Kalimantan 17. Irit C. trachicoleus Kalimantan
120
No.
Nama Lokal
Nama Botani
18. 19. 20. 21.
Jermasin Jernang Kidang Lacak
C. leijocaulis C. draco Calamus spp. C. crinitus
22. 23. 24. 25.
Lambang Leluo Leuleus Lilin
Calamus sp. C. maximus C. melanoloma C. javensis
26. 27.
Lita Manau
D. lamprolepsis C. manan
28. 29.
Manau gajah Manau tikus
C. marginatus C. oxleyanus
30.
Pelah
D. rubra
31. 32. 33.
Pulut Pulut putih Rawa
C. impor Calamus sp. C. tenuis
34. 35.
Samuli Seel
C. picicarpus D. melanoc
36.
Sega
C. caesius
37.
Sega air
C. axillaris
Daerah sebaran produksi Sulawesi, Maluku Jambi, Sumbar, Riau Lampung, Jabar Riau, jambi, Lampung Sulawesi, Maluku Sulawesi Lampung, Jabar Sumatra, Jawa, Kalimantan Kalteng, Kalbar Aceh, Sumut, Sumbar, Jambi, Bengkulu, Lampung, Kalimantan Sumbar, Bengkulu Jambi, Sumbar, Bengkulu Sumatra, Jawa, Kalimantan Kaltim, Kalsel Kaltim, Kalsel Jambi, Sumsel, Lampung Sulawesi, Maluku Sumatra, Jawa, Kalimantan Aceh, Sumut, Sumbar, Riau Jambi, Sumsel, Lampung
121
No.
Nama Lokal
Nama Botani
38.
Sega batu
C. heteroideus
39. 40.
Selutup Semambu
C. optimus C. scipionum
41.
Seuti
C. ornatus
42. 43. 44.
Suwai Tarompu telang
C. warburgii C. maricatus C. polystachys
45. 46. 47. 48. 49.
Tohiti Tunggal Tabu-tabu Udang Semut
C. inops C. mucronatus D. sabensis K. echinometra K. scaphigera
50. 51.
Umbul Wilatung
C. symphysipus D. fuscus
122
Daerah sebaran produksi Jambi, Sumsel, Lampung, Bengkulu, Kalsel, Kalsel, Kalteng Sumatra, Jawa Sumbar, Bengkulu, Lampung Bengkulu, Lmpung, Sumbar, Jawa Sulawesi Sumut, Aceh, Riau, Jambi Sulawesi, Maluku Sumatra Sumbar, Bengkulu Sumbar, Bengkulu Sumatra, Kalimantan, Bengkulu, Lampung, Kalsel, Kaltim, Kalteng NTB, Sulawesi Kalimantan
Lampiran 3. Jenis alternatif rotan penganti rotan komersial Daerah sebarab No Nama Lokal Nama Botani produksi 1 Sigisi Calamus orthostachys Sulawesi Warburg ex Beccari 2 Susu Daemonrops macroptera Sulawesi, Maluku (Miquel) Beccari 3 Noko Calamus koordesianus Sulawesi Becc 4 Buku Tinggi Calamus ornatus var Sulawesi celebicus Beccari 5 Kapuas Korthlsia ferox Beccari Kalimantan 6
Marau
Korthalsia rigida Blume.
7
Marucam
8
Tangkalang
9
Teretes
10
Cakre
11
Paku
Daemonorops hystrix (Griffith)Matius Demonorop didymophylla Beccari Daemonorops oblonga Blume Ceratolobus subangulatus (Miquel)Beccari Calamus exilis Griffith
12
Mawang
13
Sanjat
14
Mata pelanduk
Calamus nemathospadix Beccari Calamus pasparanthus Beccari Ceratolobus concolor Blume
Jawa, Sumatera, Kalimantan Sumatera, Kalimantan, Jawa Jawa, Sumatera, Kalimantan Jawa, Sumatera Sumatera, Kalimantan Jawa, Sumatera, Kalimantan Kalimantan Kalimantan Sumatera, Kalimantan
Sumber: Jasni et.al (2008, 2012 a, 2012 b.)
123
Lampiran 4. Jenis-jenis rotan berdiameter besar (>18 mm) di Indonesia No.
Nama botanis
Lokasi
Prakiraan Potensi B
Grup
1.
Calamus burckianus
Jw
2.
C. didymocarpus Warb
Sl
3.
Calamus sp
Sl
4.
C. macrosphaeron Becc
Sl
5.
C. manan Miq *
Sm
B
C
manau liki
6.
C. manan
Sm, Kl
B
C
manu gajah
7.
Calamus sp *
Sl
B
C
leluo
8.
C. ornatus Bl *
Sm, Jw, Kl
B
C
9.
Sl
B
10.
C. ornatus Bl var. celebica C. rumphii
seuti, batang, kesur minong, lambang
Ml
B
C
11.
C. scipionum Burr *
Sm, Jw, Kl
B
C
semambu, seuti, tabutabu
12.
C. sumbawaensis Burr
Nt
B
13.
C. zolingeri Becc *
Sl
B
C
batang, sasisagan
14.
Kl
15.
Daemonorops callarifera Becc D. longipes (Griff.) Mart
B
C
ompoy, sarangbuaya
16.
D. longispatha Becc
Kl
17.
D. macroptera Miq
Sl
18.
D. melanochaetes Becc
Sm, Jw
19. 20.
D. oblonga Bl D. robusta Warb *
Sm, Jw Sl, Ml
124
Sm
C
Nama daerah howebalukbuk, sepet t. siombo, lauro-sura, hoa, nona tohiti
C
B
tungka
B
umbut C
B B
C C
seel, selang, padang pitik batang asli
21.
Korthalsia ferrox Becc
Kl
22. 23.
K. fargellaris Miq Myrialepsis scortechnii Becc Plectocmia elongata Bl
Sm Sm
24. 25.
Plectocomiopsis geminiflorus (Griff.) Becc
Sm, Jw
B
C
sampang
C C B
bubay
Sm
Keterangan: * = Jenis – jenis rotan yang telah dipilih untuk dikembangkan sebagai rotan tanaman; Sm = Sumatera; Jw = Jawa; Kl = Kalimantan; Sl = sulawesi; Ml = Maluku; Nt = Nusa Tenggara; B = Ditaksir cukup besar; C = Jenis komersil) Liemens et al, 1989)
125
Lampiran 5. Jenis rotan dan hasil inventarisasi di Kalimantan Timur tahun 1981 Jenis Komersial 1 Sega Sako Manau Pulut merah pulut putih Jelayan Habang/Luwa Sega batu Semambu Bintang Jahab Sega air Sega merah Merah
126
Lokasi *) 2 1,2,3,4,6 dan 7 1 1,2,3,4 dan 7 2 dan 3 2,3 dan 4 2,3 dan 5 2 dan 3 2,3 dan 4 2,3,5 dan 6 2,3 dan 4 3 5 6 3 dan 7
Jenis Non Komersial 3 Danan Kotok Getah Juwa Dengki Jempet Dahanan Oros Tunggal Jeruan Penur Jelapang Pendas Lentong Kotak air Paku Jerak bungkus Kehes Cit Lontong Lilin Keles Jipeng Binungan Bungkulan Tintangan Buluh Sabut Limuru Sangai Lambir Gelagan Tulang Kiwa Semule Seringan
Lokasi *) 4 1 1,2 dan 3 5,2,3 dan 5 4,2,3 dan 4 2 dan 3 2 dan 3 2 dan 3 2 dan 3 2, 3 dan 5 2 dan 3 2 dan 3 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 dan 5 4 4 4 5 5 5 5 5 5 5 5 5 6 6
Jenis Komersial
Jumlah : 14
Lokasi *)
Jumlah :
Jenis Non Komersial Lingan
Lokasi *) 7
Temberu Hom Butu aluh Ecik Tidak Tik Teceh Mulih Banat Powa Pak Kanca Ilum Anying Lancang 51
7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7
*) Lokasi/KPH : 1. Pasir 2. Mahakam Ilir 3. Mahakam Tengah 4. Mahakam Ulu 5. Berau 6. Bulungan Selatan 7. Bulungan Tengah
127
Lampiran 6. Komposisi sel dan dimensi serat rotan No.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
Nama Botani
Calamus adpersus C. amphybolus C. burckianus C. hollrungii C. inops C. leiocaulis C. manan C. ornatus C. pauchiyugus C. scipionum C. synphisipus C. zolingeri Calamus sp Calamus sp Calamus sp Daemonorop beguinii D. heteroides D. sarasinorum Daemonorop sp Korthalsia tysmanii
Dimensi Serat Serat Pori Parenkim Nama Lokal (%) (%) (%) panjang tebal
Wulu Tuni balukbuk bakuakar Tohiti Hoa manau Seuti daunpinang semambu alomanu batang Galaka Urujawa Batu Bulurusa Tretes Nalum Nanga Sampang
33 38 41 44 43 39 40 29 30 40 35 38 33 36 47 41 28 44 42 43
Sumber : Rachman (1996); Hadikusumo (1994)
128
33 25 19 28 20 26 21 19 25 20 26 23 23 21 24 23 12 22 23 15
28 41 36 26 36 35 37 50 44 38 38 38 43 42 28 35 69 33 34 40
(mm) ddg (Ƭ) 1.190 3,19 1.450 4,37 1.186 4,41 1.430 4,76 1.530 6,51 1.180 2,79 1.540 5,89 1.428 5,56 1.560 4,59 1.470 3,75 1.270 3,50 1.555 5,83 1.432 6,06 1.870 4,27 1.150 3,62 1.180 5,36 1.172 4,90 1.240 5,20 1.180 4,94 1.398 5,85
Lampiran 7. Ukuran rata-rata struktur anatomi rotan (um) No 1 2 3 4
Nama lokal Cacing Jernang Lacak Lambang
Nama botani
Ŷ metasilim
C. hetroideus 227 D. draco 192 C.crinita 268 C.ornatus var 307 celebicus 5 Marucam D.hystrix 247 6 Sabut D.sabut 163 7 Sega C.caesius 97 8 Teretes D.oblonga 229 9 Sigisi C.ortostachys 209 10 Udang K.echimotre 265 11 Langgane Plectocomia 267 muelleri 12 Samare Plectocomiopsis 320 mira 13 Susu D.macroptera 266 14 Maldo Plectocomiopsis 705 jormal geminiflora 15 Pelah D.rubra 198 16 Kapuas K.ferox 333 17 Marau K.rigida 345 18 Sanjat C.paspalanthus 306 19 Noko C. koordesianus 200 20 Paku C.exilis 184 21 Mawang Calamus 180 nemathospadix 22 Sanjat Calamus 190 pasapalanthus 23 Mata Ceratolobus 209 pelanduk concolor 24 Cincin Calamus 154 polystachys Sumber: Jasni et.al (2010, 2012 a, 2012 b)
Ŷ protosilim
Panjang serat
55 86 77 87
1.400 2.110 1.773 2.087
Tebal diding serat 3 2 2 2
63 44 75 81 62 63 72
2.865 1.196 3.768 2.318 1.577 2.342 2.766
2 3 4 2 2,4 2,1 2,3
92
2.370
2,4
76 64
2.038 2.682
2,2 2,3
82 66 91 73 62 60 60
1.689 1.802 3.248 2.774 1.577 1.688 1.602
2,1 2,2 2,6 2,2 2,0 2,0 2,4
73
2.774
2,2
62
1.577
2,4
48
1.578
2,0
129
Lampiran 8. Komponen kimia utama penyusun rotan (%) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31.
Nama botani C. amphybolus C. burckianus C. didimocarpus C. hollrungii C. inops C. manna C. ornatus C. scipionum C. zolingeri Calamus sp Calamus sp Daemonorop beguinii D. heteroides D.sarasinorum Daemonorop sp Korthalsia tysmanii Calamus hetroideus Daemonorops draco Calamus crinita Calamus ornatus var celebicus Daemonorops hystrix Daemonorops malanocaetes Daemonorps oblonga Calamus orthostachys Korthalsia echinometra Plectocomia muelleri Plectocomiops imira Daemonorops macroptera Plectocomiops geminiflora \ Daemonorops rubra Korthalsia ferox
130
Nama lokal
Selulosa
tuni, biau Balukbuk Hoa bukuakar tohiti manau seuti semambu batang galaka batu bulurusa tretes nalum,nako nanga sampang Cacing Jernang Lacak
55,68 42,35 48.23 53,73 43,28 39,05 38,34 37,36 41,09 44,19 40,61 50,86 41,72 44,02 55,46 41,42 46,7 42,8
24,97 24,03 34,00 23,56 21,34 22,22 19,93 22,19 21,21 21,45 28,13 22,39 21,99 27,35 25,46 23,47 24,0 21,9
1,72 0,81 8,00 0,54 0,88 1,36 0,89 0,80 1,36 1,82 5,01 1,59 1,14 2,78 1,64 1,44 -
Lamban
-
18
-
Marucam
42,1
22,0
-
Seel
44,4
27,2
-
Tetetes Sigisi Udang Langgane Samare
50,8 59,2 51,21 -
24,4 21,20 22,0 17,75 -
-
Susu
55,87
18,33
-
61,85
21,94
-
50,44 51,0
24,62 26,35
-
Maldo jormal Pelah Kapuas
Lignin
Silika
Pati 20,9
18,6 18,5 21,8 21,4 20,6
21,2 21,8 22,1 21,4 19,1 20,5 20,01 19,81 23,32 19,36 20,08 21,85 20,68 22,0
32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39.
Korthlsia rigida Calamus paspalantus Calamus koordesianus Demonorop didymophylla Ceratolobus subangulatus Calamus exilis Calamus nemathospadix Calamus pasapalanthus
40.
Ceratolobus concolor
41.
Calamus polystachys
42.
Daemonorops robusta
43.
Plectocomia elongata
44.
Calamus tumidus
marau Sanjat Noko
49,0 59,0 62,0
22,15 23,35 21
-
Tangkalang
45,0
25,0
-
Cakre
59,0
24,0
-
Paku
52,0
23,0
-
Mawang
60,0
24,0
-
Sanjat
59,0
24,0
-
59,0
19,0
-
55,0
24,0
-
50,9
22,4
1,6
16,9
-
21,8
2,3
Mata pelanduk Cincin Batang susu Bubuay Manau tikus Sampang
-
20,36 19,42 21 21,0 20,0 21,0 20,0 20,0 20,0 20,0 23,6 20,6
45. Korthalsia junghunii 24,4 19,6 46. Sumber : Rachman (1996); Hadikusumo (1994); Jasni et.al (2007, 2010, 2012 a, 2012 b)
131
Lampiran 9. Sifat fisis dan mekanis rotan No.
Nama botani
Calamus adepersus 2. C. aruensis 3. C. manan 4. C. pauchiyugus 5. C. zolingeri 6. Calamus sp 7. Calamus sp 8. Calamus sp 9. Calamus sp 10. Calamus sp 11. Calamus sp Daemonorops 12. laemprolepsis 1.
13.
D. robusta
14. D. sarasinorum 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.
Daemorop sp Khortalsia tysmanii Calamus hetroideus Daemonorops draco Calamus crinita Calamus ornatus var celebicus Daemonorops hystrix Daemonorops sabut
132
DiaNama lokal meter*
Berat Jenis
MOE (Kg/ Cm2)
MOR (kg/ Cm2)
Tekan // (Kg/ Cm2)
Wulu
K
0,65
34.283
764
374
Taka Manau Wullo batang umbulu sepet datumerah kou kunop taitika
B B K B B B K B K K
0,47 0,59 0,68 0,49 0,53 0,46 0,65 0,60 0,52 0,50
25.726 29.382 47.002 29.422 21.842 12.765 27.835 23.234 43.357 46.909
707 579 420 580 428 297 924 533 783 867
264 282 311 184 212 165 395 418 344 351
tambelulu
B
0,51
34.030
665
304
B
0,42
33.774
647
294
B
0,53
31.993
762
362
B
0,46
20.555
543
197
sampang
B
0,53
21.669
585
-
Srimit, sega batu,
K
0,40
13.629
442
-
jernang
K
0,51
-
-
257
lacak lambang, buku tinggi marucam, balam
K
0,66
26.954
880
-
B
0,45
34.943
679
-
K
0,44
-
-
366
K
0,48
-
-
343
Batang susu nalum, benang manis
sabut
Daemonorops malanochaetes 24. Calamus caesius 23.
Seel
sega teretes, Daemonrops 25. oblonga pitik Sigisi, Calamus 26. orthostachys popini Korthalsia udang,sem 27. echinometra ut, dahan langgane, 28. Plectocomia muleri sadak Daemonorops Susu,lauro 29. macroptera manu maldo Plectocomiopsis 30. jormal, geminiflora gilang Daemonorops pelah, 31. rubra getah 32. Korthalsia ferox kapuas marau, 33. Korthlsia rigida dane Calamus 34. sanjat paspalanthus Plectocomia 35. bubuay elongata Manau 36. Calamus tumidus tikus Korthalsia 37. Sampang junghunii 38. C.scipionum Semambu 39. C.orntus Seuti 40. C.inops Tohiti
B
0,49
12.695
448
-
K
0,48
-
-
338
B
0,44
12,899
395
-
B
0,52
17.029
628
-
B
0,51
21.669
585
-
B
0,51
34.293
499
-
B
0,53
19.131
612
-
B
0,44
18.313
314
-
B
0,44
18.447
734
-
K
0,49
-
-
444
B
0,66
27.296
673
575
K
0,49
-
-
19,42
B
-
30.098
350
-
B
0,45
-
-
-
B
0,58
22.000
834
-
B B K
0,44 0,51 0,56
20.500 17.090 54.000
611 442 456
-
Sumber : Rachman (1996) dan Hadikusumo (1994), Jasni et.al (2007, 2010, 2012 a,2012 b) Keterangan: *) B = besar; K = kecil
133
Lampiran 10. Sifat pelengkungan rotan No
Nama Botani
1 2 3 4 5
Calamus adpersus Bl. C. ahlidurii Furtd. C.amphybolus Becc C.aruensis Becc. C.didymocarpus Warb. Ex Becc C.hollrungii Becc. C. inops Becc C. koordesianus Bcc. C.leiocaulis Becc. C.macrosphaerion Becc C. ornathus var celebicus Becc. C. pauciyugus Becc C. pedicellatus Becc. C. symphysipus Becc.
6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
BJ
Wulu Btng merah Tuni Limbat madutu Hoa, laurosura
1,63 2,72 1,90 1,45 2,37
0,47 0,58 0,52 0,43
A* 24,9 23,7 11,5 11,5 28,5
B* 16,1 7,1 2,5 6,1 21,6
Buku akar Tohiti halus Beka, Boga Hoa, Jermasin Tohiti kasar Lambang
1,11 1,59 2,1 2,35 2,63 1,90
0,55 0,56 0,45 0,62 0,57 0,45
4 28,4 12,7 23,3 25,2 23,0
2,2 12 4,5 10,7 14,9 6,5
1,75 0,93 1,33
0,49 0,64 0,55
13,6 9,7 12,4
5,2 3,1 5,4
1,21 3,21
0,55 0,41
20,1 26,9
4,2 21,7
1,73
0,51
21,2
8,2
2,37
0,42
18,5
6,5
1,82
0,53
23,2
5,3
1,81 1,5 2,3
0,44 0,51 0,49
25,9 -
6,1 7,5 8,0
1,9 1,8 2,8 1,7
0,44 0,52 0,53 0,66
-
5,5 3,5 7,5 9
Nama lokal
Daun pinang, tongka Toromataha,Samole Alomanu, Ombol, Laru C. warbugii K.Schum. Suai, Sasami C. zolingerii Becc. Batang, podos batang, rotan air Daemonorops lamprolepis Tambaelulu, Lapa, Becc. Latea D. robusta Warb. Noko, podos-kuluwi, batang D. sasasinorum Warb. Benang, Nako, Ngalum K. zippellii Bl. Kaprus Daemonorps draco Jernang Daemonorops Seel malanocaetes Daemonorops oblonga Teretes Calamus orthostachys Sigisi Daemonorops macroptera Susu Korthlsia rigida Marau
134
Radius lengkung (cm)
Diameter (cm)
27 Demonorop didymophylla Tangkalang 1,8 0,51 28 C. burchianus Balubuk 2,5 0,50 29 Plectocomia elongata Bubuay 4,5 30 Calamus manan manau 4,0 0,55 31 Korthalsia junghunii Sampang 1,6 0,58 32 Calamus scipionum semambu 2,8 0,44 33 Calamus ornatus Seuti 3,0 0,51 Sumber : Hadikusumo (1994), Jasni et.al 2007, 2010,2012 a, 2012 b Keterangan: *) A = Tanpa Steam ; B = Steam 15 menit
-
7
23,0
4,9 14,7 9 4,7 4,5 6,5
135
Lampiran 11. Kelas ketahanan rotan terhadap serangan bubuk rotan kering (Dinoderus minutus Fabr.). Jenis rotan Sanjat (Calamus paspalanthus Becc.) Mata pelanduk (Ceratolobus concolor Bl.) Mawang (Calamus nematospadix) Paku (Calamus exilis Griffith) Rus-rus (Calamus rostratus Furt) Maratam (Daemonorops hystrix (Griff.)Mart.) Sega air (Calamus axillaris Becc.) Sega batu (Calamus diepenhorstii Mig.) Sabut (Daemonorops sabut Becc.) Cacing (Calamus javensis Bl.) Hotang-hotang (Daemonorops didymophylla Becc) Rotan labu (Daemonorops formicaria Becc) Rotan bulu (Calamus hispidulus Becc.) Rotan hotang pahu (Daemonorops sp) Rotan pamano (Calamus didymocarpus (Mart.)) Lacak (Calamus crinita Bl) Sumber: Jasni dan Roliadi (2011)
136
Kehilangan berat (%)
Kelas awet
1,42
III
1,41
III
1,92
III
3,36 0,61 2,07
V I III
2,22
IV
1,81
III
2,77
IV
3,51 0,74
V I
0,99
II
4,09
V
0,65
I
1,08
II
1,30
II
Lampiran 12. Kelas ketahanan rotan terhadap serangan rayap tanah (Coptotermes curvicnathus Holmgren). Jenis rotan Balubuk (Camaus burchianus Becc) Paku (Calamus exilis Griffith) Munduk (Calamus lobbianus Becc) Tohiti (Calamus inops Becc.ex Heyne) Manau (Calamus manan Miquel) Marau tunggal (Calamus marginatus (Bl) Mart) Tarumpu (Calamus muricatus Becc) Seuti (Calamus ornatus Blume) Lambang (Calamus ornatus var celebicus Becc) Batang, tohiti (Calamus orthostachyus Becc) Semambu (Calamus scipionum Loureiro) Janan (Calamus tumidus Furtado) Batang (Calamus zolingerii Becc) Jernang (Daemonorops draco (Willd.)Bl.) Maratam (Daemonorops hystric (Griff.)Mart) Seel (Daemonorops malanocaetes BL) Batang merah (Daemonorops robusta Warb) Tabu-tabu (Daemonorops sabensis Becc.ex Gibbs in J.Linn) Cabang (Korthalsia laciniosa Griff.ex.Mart) Dahanan (Khorthalsia jala. J.Dransf) Sampang (Korthalsia junghunii Miq.)
Kehilangan berat (%)
Kelas awet
42,14 30,01 30,52 23,64 20,24 37,32
IV III III II I IV
37,36 24,35 34,52
IV II III
42,58
IV
21,58 32,48 36,51 39,51 38,43
I III III IV IV
34,63 33,05
III III
.34,50
III
47,90
V
20,56 29,06
I II
137
Marau (Khorthalsia cheb Becc) Bubuay (Plectocomia elongata Bl) Sadak (Plectocomia mulleri Bl) Samarikik (Plectocomiaopsis mira. J. Dransf.) Sumber: Jasni dan Roliadi (2010)
138
17,41 34,37 44,97 48,04
I III IV V
Lampiran 13. Persentase susut berat dan volume pada tiap tahap proses pengolahan rotan besar Berat (%) Volume (%) Tahap proses Seuti Bubuay Seuti Bubuay Panen 100 100 100 100 Tp-1 9 7 4 2 (91) (93) (96) (98) Tp-2 20 15 12 6 (72,8) (79,1) (84,5) (92,1) Tp-3 46 45 12 6 (39,9) (43,5) (74,4) (86,6) Tp-4,1 4 3 3 2 (37,3) (42,2) (72,2) (84,7) Tp-4,2 8 5 6 3 (34,3) (40,1) (67,9) (82,2) Keterangan: Tp-1 = Transportasi kepenggorengan; Tp-2 = proses penggorengan; Tp-3 = proses penjemuran; Tp-4.1 = proses polis kasar ; Tp-4.2 = proses polis halus; Angka dalam kurung adalah rendemen kumulatif.
139
Lampiran 14. Persentase susut berat dan volume pada tiap tahap proses pengolahan rotan kecil. Berat (%) Volume (%) Tahap proses Seuti Bubuay Seuti Bubuay Panen 100 100 100 100 Tp-1 9 8 6 6 (91) (92) (94) (94) Tp-2 55 54 8 9 (41,0) (42,3) (86,5) (85,5) Tp-3.1 74 62 (10,7) (16,1) Tp-3.2 31 38 (51,1) (38,4) Tp-4 (61,8) (54,4) Keterangan: Tp-1 = tranportasi penjemuran; Tp-2 = proses penjemuran dan pengasapan; Tp-3.1 = proses pembuatan kulit; Tp-3.2 = proses pembuatan hati, bahan baku berasal dari nilai susut Tp-3.1 atau limbah pembuatan kulit; Tp-4 = rendemen total pembuatan kulit dan hati; Angka dalam kurung adalah rendemen kumulatif.
140
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KETEKNIKAN KEHUTANAN DAN PENGOLAHAN HASIL HUTAN Jl. Gunung Batu No. 5, BOGOR 16610 Telp./Fax. (0251) 8633378/8633413 website : www.pustekolah.org E-mail : -
[email protected] -
[email protected]
ISBN 979-3132-17-5