Perangko Berlangganan No.11/PRKB/JKP/DIVRE IV/2013
ISSN : 0853-8344
Harga eceran Rp.9.000,-
198/Thn. XIX/September 2013
e-mail:
[email protected] /
[email protected];
DEPRESI dan penyakit kardiovaskular merupakan salah satu penyebab utama masalah kesehatan dan ekonomi. Diperkirakan pada tahun 2020 kedua hal ini akan menjadi penyebab utama masalah global. Data di Amerika Serikat menunjukkan bahwa satu dari tiga orang akan mengalami depresi pasca serangan jantung. Di Indonesia belum terdapat data yang menyebutkan seberapa banyak pasien yang mengalami depresi pasca serangan jantung. Hal ini tidak terlepas dari kurangnya perhatian terhadap keadaan ini khususnya dalam hal pengelolaan pasien pasca serangan jantung. Gangguan depresi yang dialami pasien pasca serangan jantung berakibat terhadap gangguan proses pemulihan dan pengo-
batan, sehingga pemulihan menjadi lebih sulit dan lama dan meningkatkan resiko rawat inap berulang, meskipun faktor resiko penyakit jantung lainnya telah ditangani dengan baik. Depresi pasca serangan jantung juga meningkatkan resiko kematian hampir 3x lipat. Depresi juga berhubungan dengan rendahnya kualitas hidup, terbatasnya aktivitas fisik, dan tingginya biaya pengobatan pasca serangan jantung. Guidelines ESC CVD prevention 2012 dan ACC/AHA secondary prevention 2012 merekomendasikan skreening dan pengelolaan depresi sebagai suatu tindakan prevensi yang penting (class IIa, LoE : A). Tidak sulit untuk mengenali gejalagejala depresi. Berbagai gejala depresi yang mudah dikenali diantaranya seperti: 1) Merasa sedih atau sering menangis, kadang tanpa sebab yang jelas. 2) Hilang atau turunnya motivasi dan gairah hidup dalam aktivitas sehari-hari 3) Perubahan nafsu makan (makin besar atau hilang) dan perubahan berat badan (bertambah atau berkurang)
kardiovk;
@kardio_vaskuler;
4) 5) 6) 7)
Mudah tersinggung Merasa gelisah dan tak berguna Sulit berkonsentrasi Porsi tidur yang berlebihan atau bahkan menjadi sulit tidur 8) Perasaan ingin bunuh diri. Pasien dengan gangguan depresi biasanya mempunyai satu atau beberapa gejala tersebut, berlangsung hampir setiap hari selama 2 minggu atau lebih. Orang yang rentan terhadap depresi pasca serangan jantung diantaranya adalah: 1) Kaum wanita 2) Mereka yang sebelumnya suka menyendiri dengan hubungan sosial kemasyarakatan 3) Mereka yang pernah mengalami depresi sebelumnya. Biasanya karena adanya tekanan ekonomi, tidak mempunyai pekerjaan, merasa rendah diri, dll. 4) Mereka yang kurang mendapat dukungan emosi dari keluarga atau lingkungan sosial. Oleh karena itu, skreening awal dapat diprioritaskan pada orang-orang tersebut.
tpkindonesia.blogspot.com
Depresi dapat disembuhkan dengan berbagai intervensi psikososial, obat-obatan, program rehabilitasi maupun kombinasi antara ketiganya. Intervensi psikososial bertujuan untuk melawan stres psikososial dan meningkatkan kebiasaan hidup sehat. Intervensi dapat berupa konseling secara pribadi maupun berkumpul dengan kelompok yang memiliki faktor resiko dan keadaan sakit yang sama. Kegiatan konseling dapat membantu untuk mengenali dan mencegah pikiran-pikiran negatif lalu menggantikannya dengan pikiran-pikiran yang logis dan positif. Aktivitas fisik dan berkumpul dengan lingkungan sosial juga mempunyai peranan penting. Pikiran akan menjadi lebih baik bila sibuk dengan kegiatan yang menyenangkan ataupun melibatkan diri dalam kegiatan yang bersifat fun activities. Meningkatkan interaksi dengan orang lain serta berolahraga ringan dapat membuat anda merasa lebih baik dan termotivasi. Obat antidepresan yang dianggap efektif dan aman dapat digunakan yaitu (Bersambung ke hal.5)
Intervensi Konseling Perilaku untuk Promosi Diet Sehat dan Aktivitas Fisik sebagai Preventif Penyakit Kardiovaskular BARU-baru ini U.S. Preventive Services Task Force (USPSTF) membuat rekomendasi (Ann Intern Med. 2012; 157: 367-372. Ann Intern Med. 2012; 157: 367-372) tentang intervensi konseling perilaku untuk diet sehat dan aktivitas fisik untuk prevensi kardiovaskular pada orang dewasa. Rekomendasi ini sebenarnya untuk memperbarui pernyataan mereka sebelumnya di tahun 2002 dan 2003 pada orang dewasa tetapi tanpa penyakit jantung koroner (PJK) atau tanpa faktor risiko. Tentu saja berdasarkan hasil penelitian mereka tentang pentingnya intervensi konseling yang bermakna pada pelayanan primer atau laporan pribadi pasien setelah melakukan diet kesehatan. Telaah tentang perubahan fisiologi menurunnya kadar lemak, tekanan darah, indeks massa tubuh, dan meningkatnya toleransi gula darah. Mereka juga mempelajari
morbiditas dan mortalitas kardiovaskular pada populasi dewasa tanpa diketahui adanya PJK, hipertensi, hiperlipidemi, atau diabetes. Rekomendasinya memperhatikan kenyataan bahwa kuatnya hubungan antara PJK dengan diet sehat dan aktivitas fisik tidak serta merta meningkatkan peranan konseling perilaku pada lingkup pelayanan primer; justru peranannya kecil. Dokter dapat memilih secara selektif pasiennya daripada mengelompokkan konseling untuk seluruh orang dewasa dalam populasi umum. Pertimbangan lainnya termasuk memperhatikan faktor risiko lainnya, kesiapan pasien untuk berubah, bantuan dan peran serta masyarakat dalam mempersiapkan perubahan perilaku, serta adanya prioritas pelayanan kesehatan dan pelayanan preventif lainnya. Kerugiannya adalah ter-
masuk kehilangan jenis pelayanan lainnya yang jelas memiliki dampak kesehatan yang lebih besar. Kategori rekomendasinya C, artinya walaupun USPSTF menganjurkan secara selektif memberikan atau menyediakan pelayanan ini kepada pasien individual berdasarkan keputusan profesional dan kebutuhan pasien, tetapi sifat keyakinan kebenarannya hanya moderat saja; bahwa jumlah keuntungannya yang diharapkan juga kecil. Anjuran pada tingkat praktek pelayanan hanya mempertimbangkan kemungkinan lainnya yang memperkuat tawaran dan menyiapkan pelayanan pada pasien individual. Tentu saja ada catatan bahwa anjuran tersebut dapat direvisi dikemudian hari, saat anjuran ini disampaikan USPSTF mengikuti dengan seksama populasi dengan umur 18 tahun atau diatasnya.
Studi intervensi perilaku yang dianjurkan adalah intervensi dalam intensitas sedang atau tinggi, bukan intensitas rendah. Waktu pertemuan intensitas rendah (1-30 menit), sedang (31-360 menit), dan tinggi (>360 menit). Secara umum digambarkan sebagai intervensi intensitas rendah terdiri dari pengiriman materi sekali atau dua kali, pertemuan sesi pendek dengan dokter pelayanan primer atau orang yang terlatih. Intensitas sedang termasuk melakukan 3 sampai 24 sesi telpon atau sesi pribadi 1-8 kali. Pada intensitas tinggi memerlukan 420 pertemuan pribadi dalam kelompok dan hanya laporan intervensi perilaku dikatakan bermanfaat jangka panjang ketika dilakukan sekitar 12 bulan. Uniknya pada intensitas tinggi dan beberapa yang termasuk sedang jenis intervensinya tidak menyertakan (Bersambung ke hal.5)
2
198/Thn. XIX/September 2013
S
Tabloid Profesi
KARDIOVASKULER STT no. 2143/SK/Ditjen PPG/STT/1995 tanggal 30 Oktober 1995 ISSN : 0853-8344
SUSUNAN REDAKSI Ketua Pengarah: Prof.DR.Dr. Budhi Setianto, SpJP(K), FIHA Pemimpin Redaksi: Dr. Sony Hilal Wicaksono, SpJP Redaksi Konsulen: Dr. Anna Ulfah Rahajoe, SpJP(K) Prof.DR. Haris Hasan, SpPD, SpJP(K) Dr. Budi Bhakti Yasa, SpJP(K) Dr. Fauzi Yahya, SpJP(K) Dr. Antonia A. Lukito, SpJP(K) Tim Redaksi: Bidang Cardiology Prevention & Rehabilitation Dr. Basuni Radi, SpJP(K) Dr. Dyana Sarvasti, SpJP Bidang Pediatric Cardiology Dr. Indriwanto, SpJP(K) Dr. Radityo Prakoso, SpJP Bidang Cardiovascular Emergency Dr. Noel Oepangat, SpJP(K) Dr. Isman Firdaus, SpJP Bidang Clinical Cardiology Dr. Sari Mumpuni, SpJP(K) Dr. Rarsari Soerarso, SpJP Bidang Interventional Cardiology Dr. Doni Firman, SpJP(K) Dr. Isfanudin, SpJP(K) Bidang Echocardiography Dr. Erwan Martanto, SpPD, SpJP(K) Dr. BRM. Ario Soeryo K., SpJP Bidang Cardiovascular Intensive Care Dr. Sodiqur Rifqi, SpJP(K) Dr. Siska Suridanda, SpJP Bidang Cardiovascular Imaging Dr. Manoefris Kasim, SpJP(K) Dr. Saskia D. Handari, SpJP Bidang Cardiac Surgery & Post-op Care Dr. Bono Aji, SpBTKV Dr. Pribadi Boesroh, SpBTKV Dr. Rita Zahara, SpJP Bidang Vascular Medicine Dr. Iwan Dakota, SpJP(K) Dr. Suko Ardiarto, PhD, SpJP Tim Editor: Dr. Sidhi Laksono Purwowiyoto Fotografer: Dr. M. Barri Fahmi Harmani Sekretaris/Keuangan: Endah Muharini Bagian Iklan: Bimo Sukandar Bagian Perwajahan: Asep Suhendar Alamat Redaksi dan Tata Usaha: Wisma Harapan Kita Bidakara, Lt.2, RS Jantung Harapan Kita, Jln. S Parman Kav. 87, Jakarta 11420, Telp: 02170211013 atau Telp/Fax.: 5602475 atau 5684085-93 pes. 5011 e-mail :
[email protected] atau
[email protected] Penerbit: H&B Heart & Beyond PERKI (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia)
Manajemen: Yayasan PERKI Pencetak: PT. Oscar Karya Mandiri, Jakarta Tabloid Profesi KARDIOVASKULER diterbitkan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). Tabloid unik ini memang bereda dengan media kedokteran lainnya. Tata letaknya sedikit konservatif tapi enak dipandang. Bukan media yang berkesan ilmiah, tetapi media ilmiah yang sangat terjaga akurasinya, ditulis dengan bahasa tutur yang enak dibaca. Tabloid KARDIOVASKULER memang merupakan sarana untuk menyampaikan setiap informasi kedokteran mutakhir --khususnya terkait bidang kardiovaskuler-bagi seluruh dokter Indonesia. Di era globalisasi, dikenal pemeo "so many journals, but so little time". Untuk itulah Tabloid KARDIOVASKULER hadir, membawa berita ilmiah kardiovaskuler terkini. Diedarkan terbatas khusus untuk dokter Indonesia. Infak ongkos cetak/kirim Rp150.000/tahun, transfer melalui Bank Mandiri acc: Tabloid Profesi Kardiovaskuler, RK no. 116-0095028024, Sandi Kliring: 008-1304 KK. Harapan Kita, Cab. S. Parman, Jakarta.
Prof.DR.Dr.Budhi Setianto, SpJP(K), FIHA Ketua Pengarah
erangan jantung pada wanita menimbulkan dampak yang tidak sederhana bagi seorang dokter yang menanganinya, walaupun penting, tetapi sering terabaikan. Adalah depresi dan galau setelah terjadinya serangan jantung yang berhubungan dengan masalah seksual, termuat di dalam dua judul pada tabloid edisi ini. Karena pada umumnya wanita sensitif, tentu saja tanya-jawab tentang masalah ini memerlukan kehati-hatian. Studi PRAMI menjadi menarik karena pasien STEMI dan PJK multi pembuluh yang menjalani PCI lesi kulprit kemudian dilakukan upaya preventif dengan lesi nonkulprit secara signifikan mengurangi risiko kejadian mayor kardiovaskular. Intervensi konseling perilaku untuk promosi diet sehat dan aktifitas fisik sebagai preventif penyakit kardiovaskular telah mendapat fatwa profesional dari U.S. Preventive Task Force yang isinya lebih menyarankan upaya promosi kese-
hatan secara luas oleh berbagai organisasi pemerintah maupun non-pemerintah dibandingkan pasien satu persatu dilakukan oleh seorang klinisi. AHA sendiri menyarankan kombinasi dua metode atau lebih apabila para klinisi ingin berperanan dalam intervensi konseling. Sebenarnya para klinisi dapat saja meluangkan waktunya 2-3 menit untuk penyuluhan singkat bagi pasiennya, setidaknya mengirimkan ke pusat konseling perilaku yang tersedia. Kardiologi Kuantum ke-21 tidak mau ketinggalan dengan cara menyimak perilaku negatif terhadap kesehatan jantung di masyarakat. Perilaku yang perlu diperhatikan adalah merokok, makan berlebih-lebihan (kuliner?), distres psiko-sosial, dan kurangnya aktifitas. Sekiranya, kita dapat menggerakkan semangat, daya kohesi sentra vitalitas di dalam jiwa dan transedensi spiritual, niscaya apa yang kita cita-citakan tentang kesehatan akan sukses. Selamat membaca dan Salam Kuantum.***
INA Echo 2013, 7-8 September 2013, Borobudur Hotel, Jakarta
Transcendence to The Depth of The Heart and Beyond, adalah benang merah yang menghubungkan antara profesi penulis sebagai guru besar, dokter ahli jantung dan pembuluh darah dengan buku yang ditulisnya tentang Candra Jiwa Indonesia. Candra Jiwa Indonesia (CJI) adalah warisan ilmiah kepada dunia tentang jiwa manusia serta peta perjalanannya menuju candra ideal sebagai batas akhir dari perkembangan kesadaran manusia. Konsep tersebut telah dibandingkan secara ilmiah (disertasi Dr. Soemantri Hardjoprakoso: Indonesisch Mensbeeld als Basis ener Psycotherapie) dengan Candra Jiwa Freud, Adler, dan Jung di Rijkuniversiteit di Leiden (1956), Nederland; memang kandungan asli dari bumi Indonesia, dari bangsa Indonesia, dan dipertahankan oleh orang Indonesia pula. Dua orang putra Indonesia R. Soenarto Mertowardojo dan Dr. Soemantri Hardjoprakoso telah membuktikan hipotesis Jung tentang intuisi. Sejak itu Candra Jiwa Indonesia (Soenarto) berdiri sejajar bahkan lebih lengkap dari candra jiwa sebelumnya dari Sigmund Freud, Alfred Adler, dan Carl Gustav Jung. Penulisnya berharap, buku ini dapat membantu memperluas pengetahuan kita tentang candra manusia dan candra dunia, karena dapat ’merangkum’ dari yang telah ada sebelumnya. Walaupun sedikit-banyak menyentuh masalah keyakinan dan kepercayaan justru memberikan dasar pendidikan budi pekerti, pembinaan mental spiritual dan mempertajam empati secara luas kepada siapa saja terutama para mahasiswa.
Penulis
: Budhi Setianto Purwowiyoto Penyunting : Puji Santosa Penerbit : H&B / Heart and Beyond PERKI Size : 143 x 205 mm Tebal : xvii (dwi halaman) + 102 (dwi halaman) Kertas : Book paper BW Cover : Art Carton 310 gr F/C Harga : Rp. 75.000,(belum termasuk ongkos kirim) UNTUK TAHAPAWAL PENJUALAN HANYADENGAN PIHAK KANTOR KAMI. dapatkan HARGA KHUSUS bila Anda datang membeli langsung di alamat: Redaksi dan Tata Usaha Tabloid Profesi KARDIOVASKULER
3
198/Thn. XIX/September 2013
Kardiologi Kuantum (21)
Menyimak Perilaku/Gaya Hidup Negatif terhadap Kesehatan Jantung Masyarakat KARDIOLOGI kuantum seyogyanya berperanan memberikan penyuluhan kepada masyarakat dengan cara-cara yang sesederhana mungkin, walaupun jangan terkesan terlalu sederhana. Ada tiga faktor risiko utama yang perlu diperhatikan untuk pencegahan penyakit jantung koroner dan stroke yang wajib diketahui masyarakat yaitu Dislipidemi, Hipertensi, dan Diabetes. Penyakit tersebut sudah menjadi pandemi di seluruh dunia. Sebenarnya setiap masyarakat harus memperhatikan kearifan lokal dan seyogyanya menjadi solusi global, setidaknya penyakit yang mengglobal (pandemi) tersebut dapat di dekati dengan pengetahuan apa saja yang sudah ada di masyarakat itu sendiri sedikitnya menahan musibah internasional tersebut. Apakah hanya ketiga jenis penyakit tersebut yang harus diperhatikan? Tentu saja tidak. Ada jenis perilaku/kebiasaan yang dapat memicu atherosklerosis yang harus disampaikan kepada masyarakat satu paket dengan ketiga jenis penyakit unggulan faktor risiko tersebut misalnya kebiasaan merokok, kurangnya aktivitas fisik/malas berolahraga yang mengakibatkan kegemukan, obesitas ujung-ujungnya kearah diabetes/kencing manis. Nah, kencing manis ini sering ditemani dengan tingginya trigliserida (dislipidemi) dan penyakit tekanan darah tinggi. Penyakit darah tinggi dan diabetes mendekatkan pada penyakit gagal ginjal. Keseringan makan/over-eating patut disampaikan kepada masyarakat luas agar menyadari kehadiran penyakit perilaku ini
sebagai dasar dari tiga penyakit unggulan tersebut di atas. Perubahan perilaku terhadap kesehatan yang positif, setidaknya netral berubah menjadi perilaku negatif ini berasal dari mana? Kalau begitu apakah perilaku/gaya hidup itu? Perilaku atau gaya hidup sudah lama dipelajari oleh Pavlov pada sistem pencernaan binatang menyusui (anjing) ia membuka wawasan baru tentang aspek psikologi pembelajaran dan respon. Ilmuwan Rusia tersebut lahir di Ryazan, awalnya mengikuti karier ayahnya di bidang agama sebagai pendeta di desanya, akhirnya meneruskan panggilan hatinya di Universitas Petersburg. Ia tertarik mempelajari refleks menetesnya air liur anjing di laboratoriumnya setiap kali melihat jas laboratorium yang dipakai sang pemberi makan, walaupun tidak ada makanan. Seri penelitian berikutnya terjadi hal yang sama bila sang anjing dibiasakan merespons suara bel menjelang pemberian makanan. Pavlov mendiskripsikan cara melatih hewan (dan manusia) dengan rangsangan tertentu menghasilkan suatu respons yang tertentu juga. Suatu era baru penelitian perilaku dengan metode yang objektif. Salah satu metodenya disebut desensitisasi sistematik. Penelitiannya tentang fisiologi kedokteran tersebut mendapat hadiah Nobel pada tahun 1904. Perilaku adalah kebiasaan kita melakukan sesuatu ketika mendapatkan respon tertentu. Berdasarkan riset tersebut sebenarnya kita dapat mengubah perilaku ke (Bersambung ke hal.4)
New long-term data reinforce safety profile of Pradaxa® for stroke prevention in AF • Published online in Circulation, results from RELY-ABLE®, the RE-LY® extension study, support long-term safety of Pradaxa® (dabigatran etexilate) in patients with non-valvular atrial fibrillation • Pradaxa® is the only novel oral anticoagulant with controlled long-term clinical trial data extending beyond 4 years of ongoing treatment • The long-term results contribute to the growing body of data reinforcing Pradaxa® as an important advancement in the treatment of patients with atrial fibrillation compared to warfarin1 Ingelheim, Germany, June 17, 2013 – New longterm data from the RELY-ABLE® study, the long-term extension of the pivotal RE-LY® trial of Pradaxa® (dabigatran etexilate) in patients with non-valvular atrial fibrillation (AF), were today published online in Circulation,1 the
journal of the American Heart Association. Pradaxa® is the only treatment among the new generation of direct oral anticoagulants, which has been evaluated in a large set of AF patients for more than four years.1The long-term results reinforce the safety profile of Pradaxa®, which was originally established in the landmark RELY® trial.1,2,3 The new data from RELY-ABLE® contribute to the already available evidence supporting the safety profile of Pradaxa®. This evidence also includes the most recent analyses of real-world safety data from the US FDA Mini-Sentinel initiative4 as well as assessments by other regulatory bodies, including the European Medicines Agency.5 “Before RELY-ABLE®, we already had data on the effects of two years of dabigatran etexilate treatment in patients with non valvular AF,” said RELY-ABLE® lead investigator Professor Stuart Connolly, Director of the Division of Car-
Professor Stuart Connolly
diology at McMaster University, Hamilton, Ontario. “The additional long-term data from RELY-ABLE® provide reassuring safety information for the long-term treatment of patients taking dabigatran etexilate.” The international multi-centre RELY-ABLE® trial was designed to evaluate the long-term safety of ongoing Pradaxa® therapy (110mg bid or 150mg bid) in patients with AF, following RELY®.1 Patients enrolled in RELY-ABLE® continued Pradaxa® therapy for an additional 2.3 years in an ongoing blinded comparison, bring-
ing the mean duration of treatment to 4.3 years. A total of 5,851 patients participated in the extension study.1 The unique results support the benefits of Pradaxa® over more than four years of longterm treatment.1 During the additional 2.3 years of treatment following RE-LY®, rates of major events for both dabigatran 110 mg and 150 mg twice daily were consistent with those seen in RE-LY® There were no new safety findings identified during the additional observation period of RELY-ABLE® Key results from RELY-ABLE® include:1 Rates of major bleeding were 3.74 percent per year (n=238) and 2.99 percent per year (n=190) on Pradaxa® 150mg bid and 110mg bid respectively (HR = 1.26; 95% CI1.04-1.53) (Bersambung ke hal.5)
4
198/Thn. XIX/September 2013 (Kardiologi.................... hal.3)
arah sebaliknya dengan cara tertentu pula. Salah satu cara tertentu ini adalah kebiasaan dari angan-angan (kapasitas intelektual) kita membentuk bayangan-bayangan tertentu. Sekiranya kita selalu membayangkan untuk kepentingan yang baik misalnya tentang kesehatan jantung, niscaya perilaku kita menjadi positif. Apakah hasilnya akan demikian? Tergantung kuatnya kepribadian kita dalam bertahan dalam perilaku positif, sebut saja dalam perilaku diet sehat jantung. Setiap hari kita melihat televisi yang menyiarkan iklan-iklan yang dibuat sedemikian menariknya sampai memberikan daya dorong jiwa kita untuk mencoba dengan membeli produk itu. Katakan saja itu tentang rokok yang “sehat”, ayam goreng gurih yang berkolesterol tinggi, serta minuman yang beraroma alkohol, manis, segar dan dingin. Setelah kita mencoba sekali dua kali dan seterusnya, jadilah itu perilaku diet yang tidak sehat. Kalau perilaku itu sudah keterlaluan mengganggu kesehatan jantung, barulah ada gerakan dari masyarakat secara mandiri atau berkelompok untuk melawannya. Pada rokok iklannya sudah dilarang, atau karena kuatnya lobbi pabrik rokok dengan pemerintah, terjadi kompromi misalnya harus mencantumkan kata-kata tertentu yang isinya bahwa rokok itu mengganggu kesehatan. Dapat juga berupa penampilan nama produk rokok tetapi tanpa gambar rokoknya, latar belakang gambar itu menampilkan sekelompok penunggang kuda yang gagah perkasa, tentu saja dengan mencantumkan bahwa rokok itu mengganggu kesehatan. Hal yang sama berlaku juga untuk produkproduk makanan dan minuman. Bagaimana dengan mengubah gaya hidup/perilaku yang tidak sehat dengan upaya konseling perilaku? Beberapa waktu yang lalu U.S. Preventive Services Task Force (USPSTF) membuat rekomendasi (Ann Intern Med. 2012;157:367-372) tentang intervensi konseling perilaku untuk diet sehat dan aktivitas yang berguna untuk prevensi kardiovaskular pada orang dewasa. Sebenarnya rekomendasi ini untuk memperbarui pernyataan mereka sebelumnya di tahun 2002 dan 2003 pada orang dewasa teta-
pi tanpa penyakit kardiovaskular (PKV) atau tanpa faktor risiko. Tentu saja berdasarkan hasil penelitian mereka tentang pentingnya intervensi konseling yang bermakna pada pelayanan primer atau laporan pribadi pasien setelah melakukan diet kesehatan. Telaah tentang perubahan fisiologi menurunnya kadar lemak, tekanan darah, indeks masa tubuh, dan meningkatnya toleransi gula darah. Mereka juga mempelajari morbiditas dan mortalitas kardiovaskular pada populasi dewasa tanpa diketahui adanya PKV, hipertensi, hiperlipidemi, atau diabetes. Yang menarik adalah pernyataannya berdasarkan hasil riset bahwa konseling intervensi yang memungkinkan dalam pelayanan primer menghasilkan perubahan perilaku yang katakan saja kecil atau mengecewakan. Sebagai gantinya USPSTF lebih menganjurkan intervensi kesehatan masyarakat yang luas yang menganjurkan diet dan aktifitas fisik akan lebih meningkatkan semangat serta mengubah gaya hidup sehat jantung dan pembuluh darah. Konseling perilaku akan lebih berhasil jika ditujukan kepada pasien dewasa yang sudah diketahui hiperlipidemia dan faktor risiko lainnya dan ada hubungannya antara diet dengan penyakit kronik lainnya. Mereka menganjurkan skrining hipertensi untuk yang berumur > 18 tahun, pada orang dewasa tertentu dianjurkan skrining gangguan lemak dan penggunaan aspirin sebagai upaya preventif PKV. Organisasi USPTF juga menganjurkan skrining obesitas untuk diberikan atau merujuk konseling intensif dan intervensi perilaku agar terjadi pengurangan berat badan yang berkelanjutan bagi penderita obese dewasa. The American Heart Association telah merekomendasikan untuk para dokter yang ingin melakukan intervensi konseling untuk meningkatkan diet yang sehat dan aktivitas fisik agar menggunakan kombinasi 2 atau lebih dari strategi ini: 1. menentukan tujuan spesifik, 2. pencapaian jangka pendek; 3. memberi umpan balik pada kemajuan; 4. menyampaikan strategi monitoring pribadi; 5. membuat rencana kontrol kembali; 6. gunakan tanya jawab yang memotivasi, dan 7. membangun manfaat bagi dirinya. (Circulation. 2010; 122: 406-41)
Diagram Transenden: Kereta “Perkasa” Mikrokosmos Kereta kuantum (perkasa) mikrokosmos ini adalah imajinasi dari kereta dengan empat ekor kuda berdasarkan Candra Jiwa Soenarto (Indonesia). Disain kereta ini adalah untuk 1) tugas ke luar (ekstraversi) ke dunia luar, berkiprah membahagiakan masyarakat, dan memelihara alam semesta (D1, Dimensi-1, makrokosmos). Angan-angan (mind dengan aku, ego sebagai perwakilannya) manusia yang fungsi vitalitasnya nyaris tak terbatas itu bertugas sebagai sang Kusir (TheDriver) yang mengendalikan kekuatan 4-nafsu. Arah perjalanan ditentukan oleh potensi egosentrifugal (mutmainah, kuda putih). Ke-inginan (kuning) mampu menarik kemauan (merah) dan egosentripetal (hitam) yang pro kenikmatan agar menjadi egonetral yang memiliki ketahanan mental dan kesanggupan untuk menderita dalam perjalanan hidup. Suasana (perasaan) positif dan negatif sang Kusir dalam mengendalikan kuda sesuai dengan adaptasinya terhadap panduan ideal ekstraversi (ikhlas, sabar, syukur, jujur, dan budi luhur) dan introversi dari Pusat Imateri. 2) Tugas ke dalam (introversi) ke Pusat Imateri adalah proses kembalinya hidup-pribadi manusia ke asal mulanya (sadar kolektif) yang meng-hidup-i, dan sumber hidup-nya. Purwowiyoto BS. Candra Jiwa Indonesia Warisan Ilmiah Putra Indonesia. Penerbit H&B PERKI, Jakarta 2012.
Untuk rekomendasi yang terakhir ini Kardiologi Kuantum masih ingin mengingatkan kembali pentingnya kita mengetahui sentra-sentra kekuatan mental-spiritual seperti perasaan dan semangat, sebagai kuda kuning dan kuda merah (desire and passion) yang dapat digugah oleh sang aku sebagai sentra intelektual (theDriver) yang senantiasa fokus pada kesehatan khususnya jantung dan pembuluh darah. Ia harus selalu menerima atau mencari informasi yang terkait dan memiliki daya tangkal bagi masukan-masukan kesehatan yang negatif. Nafsu yang egosentrik (luamah, kuda hitam)
di arahkan dengan cara dikendalikan dengan puasa, tapabrata dan upaya lainnya agar polaritasnya menjadi netral niscaya mampu menahan penderitaan dan menjadi dasar kekuatan fisik manusia. Mutmainah (kuda putih) sebagai drive yang bersifat sosial, suprasosial, dan spiritual agar dapat mengajak semuanya untuk mendekat kepadaNya agar diberi kekuatan yang dahsyat agar mampu memiliki gaya hidup sehat jantung dan pembuluh darah. Semoga Sang Pencipta Alam Semesta memberikan kekuatan-Nya kepada kita semua.Amin. Salam Kuantum. Budhi S. Purwo
Saxagliptin dan Keluaran Kardiovaskuler Pasien DMT2 DIABETES mellitus tipe 2 meningkatkan dua kali lipat komplikasi kardiovaskuler pada pasien dengan atau tanpa penyakit kardiovaskuler, dan kebanyakan pasien DMT2 meninggal karena penyakit kardiovaskuler. Walaupun perbaikan kontrol glikemik secara berulang akan mengurangi komplikasi mikrovaskuler, ketidakjelasan masih menjadi pertanyaan apakah strategi penurunan glukosa atau pemberian obat terapi spesifik aman dari kejadian kardiovaskuler atau dapat mengurangi risiko kardiovaskuler. Dengan kemungkinan pengecualian terhadap studi metformin dan insulin, kebanyakan studi yang dilaporkan mengevaluasi efek keluaran kardiovaskuler terhadap strategi penurunan glukosa spesifik atau medikasi lainnya dilaporkan terbatas pada nilai kekuatan suatu studi atau tidak memiliki signifikansi keuntungan kardiovaskuler ataupun adanya peningkatan risiko kematian atau gagal jantung. Walau demikian, hal ini masih menjadi kebutuhan klinis yang kuat untuk mengidentifikasi oabt antihiperglikemik yang aman dan secara potensial dapat mengurangi komplikasi kardiovaskuler. Lebih lanjut, pada tahun 2008, FDA dan Agensi Kesehatan Eropa secara berkelanjutan melakukan revisi terhadap proses pemasaran obat baru penurunan glukosa yang membutuhkan keamanan kardiovaskuler. Saxagliptin merupakan inhibitor selektif 4 peptidase dipeptidil, dimana studi fase 2-3 memperbaiki kontrol glikemik dibandingkan dengan placebo dan menurunkan risiko mayor kejadian kardiovaskuler.
Oleh karena itu dilakukan studi SAVORTIMI53 untuk mengevaluasi keamanan dan kegunaan saxagliptin terhadap keluaran kardiovaskuler pasien DMT2 yang memiliki risiko kejadian kardiovaskuler. Randomisasi 16,492 pasien DMT2 yang memiliki riwayat atau risiko kejadian kardiovaskuler diberikan saxagliptin atau placebo dan dilakukan follow-up selama median 2.1 tahun. Dokter yang merawat diizinkan untuk menaikkan atau menurunkan terapi lainnya termasuk obat antihiperglikemia. Keluaran primer adalah kematian kardiovaskuler, infark miokard atau stroke iskemik. Hasil akhir primer terjadi pada 613 pasien kelompok saxagliptin dan 609 pasien kelompok placebo (7.3% dan 7.2%, berdasarkan 2 tahun perhitungan Kaplan-Meier; HR saxagliptin 1.00; 95% CI 0.89-1.12; p = 0.99 untuk superioritas; p < 0.001 untuk non inferioritas); hasil tersebut sama dengan analisis “on treatment” (HR 1.03; 95% CI 0.911.17). Hasil akhir sekunder mayor dari kematian kardiovaskuler, infark miokard, stroke, hospitalisasi angina tidak stabil, revaskularisasi koroner atau gagal jantung terjadi pada 1059 pasien kelompok saxagliptin dan 1034 pasien kelompok placebo (12.8% dan 12.4%, berdasarkan perhitungan 2 tahun Kaplan-Meier; HR 1.02; 95% CI 0.94-1.11; p = 0.66). Banyak pasien kelompok saxagliptin dibanding kelompok placebo yang dirawat inap karena gagal jantung (3.5% vs 2.8%; HR 1.27; 95% CI 1.07-1.51; p = 0.007). Kasus pankreatitis akut dan kronis ditemukan
sama pada kedua kelompok (pankreatitis akut 0.3% pada kelompok saxagliptin dan 0.2% pada placebo; pankreatitis kronis < 0.1% pada saxagliptin dan 0.1% pada placebo). Inhibitor DPP-4 saxagliptin tidak mengurangi atau meningkatkan hasil akhir primer kematian kardiovaskuler, infark miokard atau stroke iskemik ketika ditambahkan pada terapi standar pasien risiko tinggi kejadian kardiovaskuler, walau telah memenuhi kriteria non inferior dibanding placebo, tetapi tidak memberikan keuntungan kardioprotektif. Saxagliptin dihubungkan dengan perbaikan kontrol glikemik secara signifikan dan perkembangan ke arah yang baik pada mikroalbuminuria; walau meningkatkan risiko hospitalisasi karena gagal jantung dan risiko kejadian hipoglikemik. Saxagliptin dengan beberapa DPP-4 lainnya berperan sebagai obat antihiperglikemik oral yang diakui sebagai pengontrol glikemik. Terdapat beberapa penjelasan potensial untuk menjawab kenapa saxagliptin tidak mengurangi kejadian iskemik walau telah mencapai kontrol glikemik. Pertama, paparan obat saxagliptin mungkin belum cukup lama untuk melawan efek tahunan proses pro aterosklerosis pada pasien DMT2 yang lebih dari 10 tahun.
Kedua, perbedaan aktual nilai hemoglobin terglikasi diantara kelompok studi secara relatif cukup kecil karena penambahan terapi antihiperglikemik yang diberikan oleh dokter yang merawat dan lebih sering diberikan pada kelompok kontrol dibandingkan saxagliptin. (N Engl J Med 2013.DOI: 10.1056/NEJMoa1307684) SL Purwo
5
198/Thn. XIX/September 2013
Sejarah Kardiologi (Bagian Ketiga) Namun walaupun Lakarnas sudah bekerja Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri tersebut tidak sempat diresmikan sehubungan dengan meletusnya G.30.S./PKI pada tahun 1965. Pada tahun 1966 dengan persetujuan Kabag. Bedah, Kabag. Ilmu Penyakit Dalam, dan Kabag. Ilmu Kesehatan Anak pewujudan pendirian Lembaga Kardiologi Nasional ini diteruskan oleh Direktur Rumah Sakit Dr. Cipto Ma-ngunkusumo (Kolonel CDM. dr. Djaka Sutadiwiria). Pada waktu itu semua tenaga yang berkecimpung dibidang Ilmu Kardiologi ditugaskan oleh Direktur untuk bekerja di Lakarnas, dan semua kegiatan Kardiologi baik itu pelayanan, penelitian, kuliah, demonstrasi serta ujian mahasiswa dilaksanakan oleh dokter-dokter Lakarnas. Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Bagian Bedah yang menginginkan pendidikan asistennya didalam Bidang kardiologi mengirim asistennya untuk mengadakan stase beberapa bulan di Lakarnas. Pada tanggal 12 Agustus 1967, dengan Surat Keputusan nomor 1202/Peg., Direktur RSCM menetapkan dr. Sukaman, dr. Lutfi Usman dan dr. Tagor G.M.Siregar diserahkan/ diperbantukan penuh di Lakarnas, walaupun saat itu secara administrative masih di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSCM. Dengan adanya Lakarnas pada tahun 1967, pendidikan Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh darah langsung dari dokter umum di FKUI/RSCM dimulai. Pendidikan Kardiologi pada saat itu mencakup 6 bulan
(Depresi.................... hal.1)
selective serotonin re-uptake inhibitor (SSRI). Program rehabilitasi pasca serangan jantung akan memberikan manfaat tidak hanya dari segi perbaikan fisik tetapi juga memperbaiki kondisi mental dan mengendalikan depresi. Konsultasi dengan dokter spesialis jantung tentang jenis dan macam aktifitas atau olahraga yang tepat adalah penting. Kesimpulan Skreening dan pengelolaan depresi pasca serangan jantung, khususnya di Indonesia belum banyak mendapat perhatian. Acapkali pengelolaan penyakit jantung hanya terfokus kepada medika mentosa. Padahal, pengelolaan depresi menjadi salah satu komponen penting yang tidak dapat dipisahkan, tidak hanya untuk meningkatkan kualitas hidup, tetapi juga mengurangi resiko rawat inap berulang bahkan kematian. Kesadaran masyarakat yang masih kurang turut berperan serta dalam hal belum optimalnya pengelolaan terhadap depresi pasca serangan jantung. Masih banyak yang beranggapan bahwa konsultasi dengan spesialis kedokteran jiwa ataupun psikiatri merupakan hal yang tabu. Oleh karena itu, skreening dan pengelolaan depresi pada pasien pasca serangan jantung harus dilakukan secara multidisipliner, tidak hanya melibatkan paramedis, tetapi juga dorongan dari lingkungan sekitar terutama keluarga.
(New.................... hal.3)
Very low rates of intracranial bleeding were sustained throughout the RELY-ABLE® study: 0.33 percent per year (n=21) and 0.25 percent per year (n=16) on Pradaxa® 150mg bid and 110mg bid respectively
Incidence of haemorrhagic stroke was very low and similar between treatment arms: 0.13 percent per year (n=8) and 0.14 percent per year (n=9) on Pradaxa® 150mg bid and 110mg bid respectively
“We are pleased that the new long-term data from RELY-ABLE® add to the growing body of positive evidence for Pradaxa® in stroke prevention in atrial fibrillation. Pradaxa® is an important advancement in the treatment of patients with AF,” commented Professor Klaus
masing-masing di Bagian Ilmu Kesehatan Anak dan Bagian Ilmu Penyakit Dalam, sedangkan untuk stase modul penyakit jantung untuk asisten kesehatan anak dan penyakit dalam, juga dilakukan di Lakarnas, demikian pula pendidikan kardiologi untuk mahasiswa kedokteran FKUI. Sebelum tahun 1962 bedah jantung terbuka dengan mesin dimulai oleh dr.Eri Sudewo dan dr.Iwan Santoso dengan Tim dari Swedia dan kemudian pada tahun 1968 bedah jantung terbuka dilakukan kembali dengan bantuan Prof. Sakakibara dari Jepang. Karena Lembaga Kardiologi Nasional secara operasional hanya bergerak diluar RSCM, maka pada tanggal 12 Juli 1972, Direktur Jenderal Pembinaan Kesehatan Prof.dr Dradjat D Prawiranegara mengeluarkan Surat Keputusan no. 862/P.Kes/D/ 72 tentang pembentukan Bagian Kardiologi RSCM (sebagai fungsional dari RS Dr. Cipto Mangunkusumo) dengan tujuan “untuk lebih menertibkan prosedur kerja serta meningkatkan effisiensi penggunaan fasilitas serta peralatan kardiologi yang ada didalam RSCM, demi untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat”. Sedangkan Direktur RSCM Prof. Dr. O. Odang diangkat sebagai Kepala Bagiannya. Pada tanggal 29 Juli 1972, Surat Keputusan Dirjen Kes nomor 862 tersebut dilampirkan tugas dan tanggung jawab yang ditandatangani dr. R.Brotoseno Pjs Sekretaris jenderal Depkes, Prof.Dr. R.O.Odang Direktur RSCM dan Prof.Dr.Mahar Mardjono Dekan FKUI yang isinya sebagai Tahukah anda?
berikut : 1. Dalam Pelaksanaan Surat-surat keputusan Direktur Jenderal pembinaan Kesehatan nomor 862/P.Kes/D/72, tertanggal 12 Juli 1972, dianggap perlu untuk membuat beberapa perincian tugas dan hubungan kerja Bagian Kardiologi RSCM dengan bagian-bagian lain yang ada dalam RSCM/FKUI. 2. Bagian Kardiologi RSCM dibentuk dengan tujuan untuk lebih menertibkan prosedur kerja serta meningkatkan efisiensi penggunaan fasilitas serta peralatan kardiologi yang ada didalam RSCM, demi untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. 3. Fasilitas dan peralatan Kardiologi adalah milik RSCM/FKUI yang dalam penggunaannya sehari-hari dikoordinir oleh bagian Kardiologi RSCM. 4. Sub-divisi Kardiologi yang terdapat di dalam Bagian-bagian RSCM/FKUI, dapat diteruskan dengan mengutamakan fungsinya dibidang pendidikan dan penelitian. 5. Dalam melaksanakan tugasnya dibidang pendidikan dan penelitian sub-divisi Bagian-bagian yang bersangkutan, dapat menggunakan fasilitas-fasilitas dan peralatan Kardiologi yang ada dengan bekerjasama, dan dibawah koordinasi bagian Kardiologi RSCM. 6. Personalia Bagian kardioogi RSCM terdiri dari personalia yang telah ada ditambah dengan wakil-wakil dari bagian Ilmu Penyakit Dalam, Bagian Ilmu kesehatan Anak dan bagian Bedah RSCM/ FKUI. Wakil ini ditunjuk oleh Kepala bagian yang bersangkutan dan ditetapkan oleh Kepala bagian kardiologi. 7. Anggaran bagian kardiologi RSCM dimasukan dalam anggaran RSCM.
8. Struktur organisasi dan penunjukan staf pelaksana diserahkan pelaksanaannya kepada Kepala Bagian Kardiologi RSCM dengan berkonsultasi dengan Direktur RSCM dan dekan FKUI. 9. Hal-hal yang belum tercantum/diatur dalam lampiran ini diselesaikan bersama oleh Kepala bagian Kardiologi RSCM, Direktur RSCM dan Dekan FKUI.
(Intervensi.................... hal.1)
Pembentukan Bagian Kardiologi ini juga ditentang oleh dr. A Halim (Inspektur Jenderal RSCM) dan dari Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSCM/FKUI yang tidak dapat menerima rencana pembentukan tersebut sehingga peresmian Bagian Kardiologi RSCM yang direncanakan tanggal 15 Juli 1972 ditangguhkan. Namun sebagai Follow-up SK Dirjen Pembinaan Kesehatan tersebut pada tanggal 14 Agustus 1972 diadakan pertemuan antara Dekan FKUI dan Direktur RSCM dengan menghasilkan susunan personalia sebagai berikut : Ketua Klinik dr. Lie Kioeng Foei, Ketua Poliklinik dr. Sukaman, Koordinator Administrasi dan Organisasi dr. Tagor G.M.Siregar, Koordinator Pendidikan dr. Loethfi Oesman, Kepala Subagian Penelitian/Research dr. I.S.F. Ranti dan Kepala laboratorium Kardiopulmoner dr. Asikin Hanafiah. Untuk penyelesaian dan implementasi lampiran SK Dirjen tersebut, pada tanggal 11 September 1972 dibuat suatu consensus mengenai Bagian Kardiologi RSCM di Ruang Senat FKUI. Hadir pada pertemuan tersebut Dekan FKUI Prof.Dr.mahar Mardjono, Direktur RSCM Prof.Dr.Odang, dr. A Halim Irjen RSCM, unsur bagian Ilmu Penyakit Dalam, bagian ilmu Kesehatan Anak, bagian Bedah dan para kardiolog.
1. Keadaan depresi dapat ditemukan sebanyak 20% dari keseluruhan pasien dengan penyakit kardiovaskular. 2. Keadaan depresi ditambah dengan berbagai kondisi penyakit kronis lainnya (termasuk penyakit kardiovaskular) dapat meningkatkan resiko hilangnya konsentrasi, tidak masuk atau berhenti dari pekerjaan sebanyak 2x lipat. 3. Stres dapat menyebabkan tingginya tekanan darah dan gangguan irama jantung. 4. Stres yang berkepanjangan akan meningkatkan aktivitas platelet, disfungsi endotel, menurunkan heart rate variability, dan meningkatkan aktivitas marker proinflamasi (seperti C- reactive protein) sehingga resiko penyakit kardiovaskular meningkat. 5. Pasien dengan depresi pasca serangan jantung meningkatkan resiko kematian 5x lebih tinggi dalam 6 bulan dibanding pasien tanpa depresi. Dalam 18 bulan, kematian akibat penyakit jantung pada pasien depresi mencapai 20% (vs 3%) dibanding tanpa depresi 6. Bagi yang tidak memilki penyakit jantung, depresi dapat meningkatkan resiko serangan jantung dan terjadinya penyakit jantung koroner (73% lebih besar pada wanita, dan 71% lebih besar pada pria dibanding tanpa depresi). M. Iqbal
dokter pelayanan primer sebagai provider intervensi. Intervensi dilakukan oleh penyuluh kesehatan atau perawat, konselor atau psikolog, dietisen atau nutrisen, atau instruktor latihan atau fisiolog. Pada orang dewasa dengan tekanan darah diastolik 80-89 mm Hg, pada intensitas intervensi tinggi dianjurkan mengurangi kandungan sodiumnya, telah menghasilkan pengurangan tekanan darah (menurunkan 1,9 mm Hg tekanan darah sistolik dan 1.0 mm Hg pada tekanan darah diastolik), dan diikuti angka kejadian kardiovaskulernya. Pendekatan preventif lainnya. Konseling intervensi yang memungkinkan di dalam pelayanan primer atau dapat juga dikonsulkan dalam review USPSTF hanya menghasilkan perubahan perilaku kecil atau sedang atau hasil kesehatannya menengah. Konseling perilaku mungkin lebih efektif jika diberikan dalam konteks intervensi kesehatan masyarakat yang luas yang meningkatkan semangat gaya hidup. Banyak organisasi kesehatan masyarakat menganjurkan diet dan aktifitas fisik mungkin bermanfaat sebagai sumber bagi dokter-dokter pelayanan primer. Departemen Pertanian, Kesehatan, dan
Pelayanan Umum USA secara bersamasama memberikan panduan untuk masyarakat umum. Panduan tersebut menganjurkan diet yang memasukkan berbagai buahbuahan, sayuran, biji-bijian, dan serat; rendah lemak jenuh, kolesterol, dan sodium; serta keseimbangan kalori dengan aktivitas untuk memelihara berat badan yang sehat. The “2008 Physical Activity Guidelines for Americans” menganjurkan agar setiap orang dewasa berolahraga sedikitnya 150 menit per minggu dan memasukkan penguatan otot sedikitnya dua kali per minggu. Kampanye The Million Hearts yang disponsori Departemen Kesehatan dan Pelayanan Umum bertujuan menurunkan jumlah serangan jantung dan stroke sebesar 1 juta orang dalam 5 tahun ke depan. Mengedepankan penggunaan pelayanan klinik preventif digabungkan dengan kebijakan berbagai intervensi (http://million hearts.hhs. gov). The Community Preventive Services Task Force juga menganjurkan beberapa intervensi berbasis komunitas untuk mempromosikan aktivitas fisik, termasuk kampanye pada masyarakat luas, edukasi kesehatan fisik di sekolah-sekolah, dan beberapa pendekatan lingkungan masyarakat (http:// www.thecommunityguide.org). (Ann Intern Med. 2012; 157: 367-372) Budhi Setianto
Dugi, Corporate Senior Vice President Medicine, Boehringer Ingelheim. “Boehringer Ingelheim is a science-based company that is proud to bring innovative products, like Pradaxa®, to patients and the medical community.” Additional findings from RELY-ABLE® include:1 Rates of stroke or systemic embolism: 1.46 percent per year (n=93) and 1.60 percent per year (n=102) on Pradaxa® 150mg bid and 110mg bid respectively Rates of myocardial infarction were also low and similar between the two doses of Pradaxa® at 0.69 percent per year (n=44) and 0.72 percent per year (n=46) on Pradaxa® 150mg and 110mg, during the extended follow-up period.1 The efficacy and safety of Pradaxa® was
established in the RE-LY® trial, one of the largest stroke prevention clinical studies ever conducted in patients with AF. Pradaxa® 150mg bid is the only novel oral anticoagulant, study of which has shown a significant reduction in the incidence of ischaemic strokes in patients with non-valvular AF compared to warfarin, offering a relative risk reduction of 25 percent.2,3 Nine out of ten strokes are ischaemic strokes,6 which can result in irreversible neurological injury with profound long-term consequences such as paralysis or inability to move one’s limbs or formulate speech.7 Furthermore in RE-LY®, Pradaxa® 150mg bid provided a 36 percent reduction in the overall risk of stroke versus warfarin, demonstrating superior protection.2,3 Pradaxa® 110mg bid was as effective as warfarin for the preven-
tion of stroke and systemic embolism.2,3 Both doses of Pradaxa® were associated with significantly lower total, intracranial and life-threatening bleeding compared to warfarin. 2,3 Pradaxa® 150mg bid showed a similar risk of major bleeds versus warfarin while Pradaxa® 110mg bid demonstrated a significantly lower risk.2,3 Pradaxa® is already widely approved for stroke prevention in atrial fibrillation and for primary prevention of VTE following total hip replacement or total knee replacement surgery.8 Over 1.6 million patient years of experience in all licensed indications in over 100 countries support Pradaxa® as the leading novel oral anticoagulant. 9 (References available at www.tpkindonesia.blogspot.com) SPONSORED ARTICLE
(BERSAMBUNG)
6
198/Thn. XIX/September 2013
Studi PRAMI: Angioplasti Preventif Infark Miokard PASIEN dengan akut elevasi segmen ST secara efektif diobati dengan angioplasti emergensi untuk mengembalikan aliran darah ke arteri koroner dimana hal tersebut yang menyebabkan terjadinya infark miokard (arteri infark, juga dikenal sebagai arteri culprit). Pasien-pasien tersebut mungkin memiliki beberapa stenosis mayor pada arteri koronernya yang tidak menyebabkan infark miokard, tetapi manfaat untuk dilakukannya PCI pada arteri tersebut sebagai preventif kejadian kardiak di masa depan belumlah diketahui. Beberapa ahli menyebutkan tindakan preventif pada arteri non infark tersebut dapat mencegah kejadian mayor kardiovaskuler (MACE), sementara ahli lainnya berpendapat bahwa pemberian terapi medis dengan antiplatelet, obat penurun kolesterol dan penurun tekanan darah dapat mencegah MACE tersebut. Sehingga dilakukanlah studi tersamar tunggal randomisasi “Preventive Angioplasty in Acute Myocardial Infarction (PRAMI)” oleh Wald et al., dengan tujuan untuk menentukan apakah melakukan PCI preventif sebagai prosedur terhadap lesi culprit akan mengurangi insiden kematian oleh sebab kardiak, infark miokard nonfatal ataupun angina refrakter. Dari tahun 2008 sampai 2013, di lima senter pendidikan di Inggris, menggunakan 465 pasien STEMI akut (termasuk tiga pasien dengan blok cabang berkas kiri) yang dilakukan PCI pada lesi culprit dan secara random dilakukan pula PCI preventif (234 pasien) atau tanpa PCI preventif (231 pasien). PCI yang dilakukan untuk angina direkomendasikan hanya untuk angna refrakter dengan bukti objektif adanya iskemia. Hasil keluaran primer adanya kematian oleh sebab kardiak, infark miokard
nonfatal atau angina refrakter. Pada Januari 2013, hasilnya didasarkan secara konkret oleh pengamatan data dan keamanan oleh komite, dimana direkomendasikan studi ini untuk dihentikan lebh awal. Selama follow-up 23 bulan, hasil keluaran terjadi pada 21 pasien yang dilakukan PCI preventif dibandingkan pada 53 pasien non PCI preventif (hanya pada lesi culprit), dimana dapat diartikan 9 kejadian terjadi pada setiap 100 pasien dan 23 per 100 pasien (PCI preventif HR 0.35; 95% CI 0.210.58; p < 0.001). HR untuk ke tiga komponendari hasil keluaran primer didapatkan 0.34 (95% CI 0.11-1.08) untuk sebab kardiak; 0.32 (95% CI 0.13-0.75) untuk infark miokard nonfatal dan 0.35 (95% CI 0.18-0.69) untuk angina refrakter. Hasil temuan studi ini menunjukkan bahwa pasien STEMI akut dengan penggunaan terapi PCI preventif untuk mengatasi lesi non culprit setelah dilakukannya revaskularisasi lesi culprit memberikan hasil yang bermanfaat. Nilai keseluruhan kematian kardiak, infark miokard nonfatal dan angina refrakter berkurang 65%, sementara risiko absolut mengalami penurunan sebesar 14% selama 23 bualan. Efeknya sama dalam hal signifikansi ketika analisis dilakukan pada kematian kardiak dan infark miokard nonfatal. Panduan klinis terbaru mengenai manajemen STEMI merekomendasikan PCI hanya dilakukan pada lesi culprit pada pasien dengan penyakit multi pembuluh koroner, hal ini dikarenakan kurangnya bukti objektif studi-studi dan belum tahunya manfaat PCI preventif. Ketidakjelasan tersebut membuat berbagai variasi dalam praktek klinis, beberapa kardiolog melakukan PCI preventif segera walaupun tidak sesuai panduan
klinis, beberapa kardiolog menunda PCI preventif sampai melewati kondisi akut dan lainnya membatasi tindakan terbatas pada symptom atau bukti adanya iskemia. Hasil dari studi ini membantu mengatasi ketidakjelasan tersebut dengan cara memberi kejelasan PCI preventif merupakan strategi yang lebih baik dibandingkan membatasi melakukan intervensi lebih lanjut pada pasien dengan angina refrakter atau infark miokard lanjutan. Walaupun temuan ini tidak mempertanyakan apakah PCI preventif yang dilakukan segera diabndingkan bertahap (bertingkat) akan menghasilkan hasil yang baik. Beberapa pertanyaan masih menjadi kendala. Pertama, apakah keuntungan PCI preventif dapat diaplikasikan pada pasien NSTEMI? Pasien tersebut sulit untuk dilakukan studi karena tidak seperti STEMI, seringkali sulit menentukan arteri mana yang menjadi culprit. Kedua, apakah ada manfaatnya jika dilakukan pada arteri yang stenosis kurang dari 50%? Terdapat keraguan terhadap tingkat stenosis dimana risiko PCI bisa melebihi dari manfaatnya. Ketiga, apakah pengukuran fisiologis terhadap aliran darah, seperti fractional flow reserve, memberikan keuntungan dibandingkan pengukuran visual angiografi dalam melakukan PCI preventif? Diperlukan studi lebih lanjut untuk menjawab pertanyaan tersebut. Sebagai kesimpulan, pasien yang dilakukan emergensi PCI lesi culprit pada STEMI, kemudian PCI preventif pada lesi non culprit mengurangi risiko kejadian kardiovaskuler yang tidak diinginkan, jika dibandingkan dengan hanya dilakukan PCI lesi culprit. (NEJM 2013; DOI: 10.1056/NEJMoa1305520) SL Purwo
Takut dan Kebingungan Wanita Seputar Masalah Seksual Paska Serangan Jantung DISKUSI terang-terangan mengenai aktivitas seksual pada wanita post MI hingga kini masih belum terlalu banyak, dan beberapa di antaranya masih memberikan hasil yang membingungkan untuk para pasien. Para pasien wanita ini memiliki ketakutan untuk melanjutkan aktivitas seksual post MI, dan mereka sangat menginginkan penjelasan langsung dari dokter mereka, mengenai kapan mereka dapat memulai kembali aktivitas seksual dan apakah aktivitas itu tidak berbahaya untuk jantung mereka. Menurut Emily Abramsohn untuk heartwire, “sebenarnya ketakutan ini dirasakan baik pria dan wanita. Ketakutan akan mengalami serangan jantung kembali saat aktivitas seksual. Namun wanita juga menunjukkan motivasi mereka untuk kembali ke aktivitas seksual mereka layaknya orang normal dan tidak distigma sebagai pasien jantung.” Dari semua wanita yang diwawancara, mayoritas memulai aktivitas seksual lagi sekitar 4 minggu post MI, walaupun mereka tetap dibayangi rasa takut. Dalam waktu 6 bulan, hanya satu orang yang tidak aktif secara seksual. Studi ini dipublikasikan pada 24 Juli 2013 di Journal of the American Heart Association. Abramsohn, bersama Dr. Stacy Lindau (University of Chicago), mewawancarai 17 wanita dengan satu partner seksual dalam Translational Research Investigating Underlying Disparities in Acute Myocardial Infarction Patients’ Health Status (TRIUMPH) registry.
Wawancara dilakukan untuk memberikan pengertian yang lebih baik mengenai aktivitas seksual post MI. Baik AHA (American Heart Association), ACC (American College of Cardiology), dan ESC (European Society of Cardiology) merekomendasikan kepada para dokter untuk memberikan konseling kepada pasien mereka akan kemampuan untuk melanjutkan kembali aktivitas seksual mereka. AHA menyatakan, pada pasien yang kondisinya cukup stabil, aktivitas seksual dapat dimulai sekitar 10 hari post MI. Dalam sebuah jurnal yang dipublikasikan tahun 2012, AHA menyatakan bahwa aktivitas seksual aman untuk mayoritas pasien, dan dokter sebaiknya mengupayakan diskusi yang baik seputar hal ini dengan pasien. Menurut AHA kembali, yang perlu mendapat perhatian adalah pasien dengan kondisi yang tidak stabil atau gejala berat. Pasien ini harus distabilisasi terlebih dahulu dengan pengobatan, sebelum dapat melakukan aktivitas seksual. Abrahmsohn mengatakan, walaupun terdapat rekomendasi AHA dan rekomendasi serupa lainnya dari ESC, dari studi ini ditemukan bahwa diskusi antara para pasien wanita dengan dokter tersebut dirasa oleh pasien samar-samar atau membingungkan. Dokter-dokter ini mungkin merasa ragu untuk membahas topik seputar aktivitas seksual karena mereka bingung harus merujuk kemana jika terdapat keluhan. University of Chicago, sebagai contohnya, memiliki Program in Integrative Sexual Medicine for Women and Girls with Cancer, yang mem-
fokuskan pada identfikasi dan pengobatan disfungsi seksual pada wanita dengan kanker. Program seperti ini mungkin tidak terdapat pada pasien wanita khusus berpenyakit jantung, atau mungkin para dokter yang tidak menyadari terdapat programprogram rehabilitasi jantung di sekitar mereka, di mana program rehabilitasi itu dapat mencakup isu seputar aktivitas seksual pasca MI. Dalam jurnal TRIUMPH sebelumnya, sebuah analisis kualitatif, salah satu predictor hilangnya aktivitas seksual post MI ternyata adalah sangat kurangnya konseling dari dokter. Hilangnya aktivitas seksual didefinisikan sebagai aktivitas yang lebih jarang atau tidak sama sekali pada wanita yang sebelumnya aktif secara seksual. Tujuh belas wanita dalam analisis itu menganggap bahwa cardiologist adalah anggota tim medis yang paling penting untuk memberikan konseling pada pasien seputar melanjutkan kembali aktivitas seksual mereka post MI. Banyak pasien yang menganggap bahwa cardiologist-lah yang seharusnya memulai pembicaraan seputar aktivitas seksual post MI ini karena mereka menganggap cardiologist lah yang paling mengerti tentang kesehatan jantung. Ini adalah sebuah catatan penting bagi seorang cardiologist. Membuka pembicaraan dan memberikan informasi mengenai keamanan kembali ke kehidupan seksual, seperti level exertion yang jantung mereka dapat pikul, bagi pasien wanit post MI sudah sangat berarti penting. Dwita Rian Desandri
Terapi Awal Prasugrel pada pasien Elevasi Segmen ST-SKA CLOPIDOGREL tidak menjadikan efektif secara biologis dan klinis sampai beberapa jam pemberiannya. Walaupun dosis loading clopidogrel dibutuhkan pada pasien yang akan dilakukan intervensi koroner perkutan (PCI), tidaklah jelas apakah pengobatan awal dengan clopidogrel efisien ketika diberikan pada pasien ACS NSTEMI belumlah jelas. Pengobatan awal dapat menunda prosedur bedah pintas koroner atau peningkatan yang tidak diinginkan dari risiko perdarahan pada pasien yang tidak perlu PCI. Dua studi randomisasi, satu studi melibatkan pasien dengan ACS NSTEMI dan studi lainnya dengan PCI elektif, kedua memperlihatkan pengobatan awal dengan clopidogrel dapat menurunkan tingkat kejadian iskemik namun dengan kekurangan meningkatkan rsiko perdarahan mayor. Panduan klinis terbaru dari Perkumpulan Kardiologi Eropa dan Asosiasi Jantung Amerika memberikan kelas satu rekomendasi untuk pengobatan awal pasien NSTEMI yang akan dilakukan prosedur invasif. Beberapa studi observasional terbaru dan meta analisis mempertanyakan keuntungan pengobatan awala yang rutin menggunakan clopidogrel pasien ACS NSTEMI. Prasugrel dan ticagrelor mempunyai efek yang lebih poten dan onset cepat dibandingkan clopidogrel. Obat tersebut menunjukkan lebih efektif dibandingkan clopidogrel pada pasien sindroma koroner akut tetapi dihubungkan dengan peningkatan komplikasi perdarahan. Pengobatan awal diberikan sebelum kateterisasi pada salah satu studi, dimana studi lainnya diberikan antagonis reseptor P2Y12 setelah tindakan angiografi koroner dan telah memenuhi indikasi PCI. Dilakukanlah studi oleh Montalescot et al. untuk membandingkan efek pemberian prasugrel saat PCI atau sebagai pengobatan awal pada saat diagnosis NSTEMI (studi ACCOAST). Menggunakan 4033 pasien NSTEMI dan yang dengan tingkat troponin positif dilakukan angiografi koroner terjadwal dalam 2 - 48 jam setelah dilakukan randomisasi. Pasien secara random diberikan prasugrel (30 mg sebagai dosis loading) sebelum dilakukan angiografi (kelompok pengobatan awal) atau diberikan placebo (kelompok kontrol). Ketika PCI merupakan indikasi, penambahan prasugrel 30 mg diberikan pada kelompok pengobatan awal pada saat dilakukannya PCI dan prasugrel 60 mg diberikan pada kelompok kontrol. Tingkat kefektifan dari hasil akhir primer yang berupa kematian oleh sebab kardiak, infark miokard, stroke, revaskularisasi segera atau pemberian terapi emergensi dengan inhibitor GPIIb/IIIa selama tujuh hari tidak berbeda bermakna diantara kedua kelompok (HR pengobatan awal 1.02; 95% CI 0.84-1.25; p = 0.81). Tingkat keamanan hasil akhir episode perdarahan mayor berdasarkan TIMI atau yang dihubungkan maupun tidak dengan CABG selama 7 hari terdapat peningkatan pada kelompok pengobatan awal (HR 1.9; 95% CI 1.19 – 3.02; p = 0.006). Pengobatan awal tidak mengurangi tingkat hasil akhir primer diantara pasien yang menjalani PCI (69% pasien) tetapi mengalami penigkatan dari tingkat perdarahan mayor TIMI selama 7 hari. Sehingga dapat ditarik kesimpulan pasien dengan ACS NSTEMI yang akan dilakukan PCI terencana, pengobatan awal dengan prasugrel tidak mengurangi tingkat kejadian iskemik mayor selama 30 hari tetapi meningkatkan komplikasi perdarahan mayor. (NEJM 2013. DOI:10.1096/NEJMMoa1308075) SL Purwo