ANCANG G BANGU UN BUBU U LIPAT MODIFIK M KASI RA DAN PE ENGGUN NAAN CA ACING T TANAH (L Lumbricu us rubelluss) SEBAG GAI UMP PAN ALT TERNATIIF UNTU UK PEN NANGKA APAN SP PINY LOB BSTER
ZU ULKARN NAIN
SEKOLA S AH PASCA ASARJA ANA IN NSTITUT PERTAN NIAN BO OGOR BOGOR R 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Rancang Bangun Bubu Lipat Modifikasi dan Penggunaan Cacing Tanah (Lumbricus rubellus) Sebagai Umpan Alternatif Untuk Penangkapan Spiny Lobster adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian disertasi ini. Bogor, Januari 2012
Zulkarnain NRP C561050021
ABSTRACT ZULKARNAIN. Design and Construction of Collapsible Pot Modification and Use Earthworm (Lumbricus rubellus) as Bait Alternatives for Catching Spiny Lobster. Under supervision of MULYONO S. BASKORO, SULAEMAN MARTASUGANDA, and DANIEL R. MONINTJA. In Indonesia, the use of special pots to catch lobsters has not been much done and undeveloped, so that the necessary effort to develop a lobster pot fishing gear through technological improvements or modifications of existing gear. There are organisms that originated from the mainland are expected to have economic potential as a natural alternative for lobster bait, ie earthworms (Lumbricus rubellus). The general objective of the research is to make improvements and reveal the effectiveness of pot construction and the use of alternative bait in the lobster resource utilization. The experiment was conducted in two stages carried out since the year 2008 to 2011. The first stage is a laboratory-scale research and the second stage is a field-scale research with the experimental fishing in the eastern coast of the Pelabuhanratu Bay waters of West Java. The result of this study show that catch of collapsible pot consisted of the main target and by-catch. The main target catches were composed by lobster, consisting of three species, namely scalloped spiny lobster (Panulirus homarus), painted rock lobster (Panulirus versicolor), and ornate rock lobster (Panulirus ornatus). On the other hand the by-catch which consisting of a group of crustaceans (sea swimming crabs), group molluscs (cuttlefish-Sepia sp.), groups of fish (grouper, Epinephelus maculatus), and groups of crustaceans (shrimp, Squilla mantis). Fishing trials to measure the effectiveness of collapsible pot modifications and bait of sardines has been performed for 31 days of fishing trip. The use of collapsible pot experiments has a different effectiveness in acquiring lobster catches (Fvalue α = 5% = 9.44> Ftabel = 3.097 or p-value = 0.0002 <0.05). Trials to measure the effectiveness of collapsible pot side doors modification and bait earthworms have been performed for 20 days fishing trip The statisticaly analysis show that two types of collapsible pot and two kind of baits in this research are significantly different (α = 5%). Furthermore analysis comparison about lobster catch between type of collapsible pot show that the standard of collapsible pot is better compared with modifications. While collapsible pot using earthworms better than the collapsible pot that uses sardine (standard of bait). The collapsible pot modification can reduce by-catch by 50% compared with the standard. Earthworms have a high protein content, also have good feedback resistance in sea water compared with bait sardines. Earthworms bait fat content decreased more rapidly with an average reduction of 65.48% ± 3.04 compared with sardines 41.51% ± 3.44. Keywords: Spiny lobster, collapsible pot modification, earthworm
RINGKASAN ZULKARNAIN. Rancang Bangun Bubu Lipat Modifikasi dan Penggunaan Cacing Tanah (Lumbricus rubellus) Sebagai Umpan Alternatif Untuk Penangkapan Spiny Lobster. Dibimbing oleh MULYONO S. BASKORO, SULAEMAN MARTASUGANDA, dan DANIEL R. MONINTJA. Penangkapan lobster, secara umum merupakan kegiatan perikanan tangkap skala kecil yang memiliki keterbatasan dalam upaya pemanfaatan sumberdaya perikanan, seperti keterbatasan dalam perolehan input teknologi (IPTEK), sehingga cenderung statis dalam penggunaan teknologi alat tangkap yang digunakan. Di sisi lain, metode penangkapan dari alat tangkap dan cara penangkapan lobster yang digunakan akan memiliki keunggulan dan kekurangan dalam perolehan hasil tangkapan lobster baik dalam jumlah, ukuran dan kualitasnya. Bubu adalah alat tangkap perangkap atau jebakan yang sifatnya pasif. Penggunaan bubu untuk penangkapan lobster sesungguhnya adalah memakai bubu yang umum digunakan untuk menangkap ikan-ikan karang. Bubu ini ukurannya bermacam-macam yang disesuaikan dengan kedalaman air. Bubu dapat dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan letak mulut bubu. Jenis yang pertama dengan satu mulut bubu yang terletak pada bagian atas bubu, dan jenis kedua yaitu bubu dengan satu atau dua mulut bubu yang terletak di bagian samping bubu. Umpan merupakan salah satu faktor penting untuk menunjang keberhasilan suatu operasi penangkapan dan berfungsi sebagai perangsang yang memikat target penangkapan dan sangat berpengaruh untuk meningkatkan laju tangkap bubu. Di Indonesia, penggunaan bubu yang khusus untuk menangkap lobster belum banyak dilakukan dan belum berkembang, sehingga diperlukan upaya pengembangan alat tangkap bubu lobster melalui perbaikan teknologi atau modifikasi dari alat tangkap yang ada. Terdapat organisme yang berasal dari wilayah daratan yang diduga memiliki potensi ekonomis sebagai alternatif umpan alami bagi lobster, yaitu cacing tanah (Lumbricus rubellus). Tujuan umum penelitian adalah untuk melakukan perbaikan teknologi bubu dan mengkaji efektivitasnya serta penggunaan jenis umpan alternatif dalam pemanfaatan sumber daya lobster. Sedangkan tujuan khusus penelitian ini adalah : (1) Mengkaji dan menciptakan bubu lobster sebagai upaya perbaikan teknologi dengan melakukan modifikasi terhadap desain dan konstruksi bubu standar; (2) Menentukan kandungan kimia umpan alami, baik umpan standar maupun umpan alternatif berdasarkan lama perendaman; (3) Mengkaji efektivitas penangkapan lobster dengan menggunakan bubu lobster hasil modifikasi dengan umpan standar; dan (4) Mengkaji efektivitas penangkapan lobster dengan menggunakan bubu lobster hasil modifikasi dengan umpan alternatif. Penelitian dilaksanakan sejak tahun 2008 - 2011. Tahap pertama adalah penelitian skala laboratorium, yang terdiri dari kegiatan desk study terhadap studi desain dan konstruksi bubu lobster dan pemilihan jenis umpan alternatif. Kemudian dilanjutkan dengan kegiatan rancang bangun bubu lobster modifikasi. Terkait dengan umpan, juga dilakukan uji proksimat untuk kadar protein dan lemak kasar berdasarkan perbedaan lama perendaman di laut. Tahap kedua
adalah penelitian skala lapangan dengan melakukan uji coba penangkapan di perairan pesisir timur Teluk Pelabuhanratu, Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode desk study, deskriptif dan uji coba penangkapan (experimental fishing). Data primer yang dikumpulkan adalah produksi tangkapan dengan satuan cacah individu (ekor) dan berat (gram) lobster sebagai Hasil Tangkapan Utama (HTU) dan Hasil Tangkapan Sampingan (HTS) lainnya sebagai by-catch, dan kandungan kimiawi (kadar protein dan lemak) umpan. Analisis data menggunakan Analisis sidik ragam Rancangan Acak Lengkap dan Rancangan Acak Kelompok. Bila faktor dan/ atau perlakuan berbeda nyata maka dilakukan uji lanjutan. Data hasil tangkapan tersebut diolah dengan menggunakan aplikasi Statistical Analysis System (SAS) versi 9.1.3 portable for Windows. Pengujian kandungan kimiawi umpan dilakukan dengan analisis proksimat (A.O.A.C.1980) khusus untuk analisis kadar protein dan kadar lemak kasar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bubu lipat modifikasi memiliki spesifikasi yang berbeda dengan bubu lipat standar. Modifikasi bubu lipat pintu samping terletak pada ukuran bubu (pxlxt = 60 cm x 45 cm x 30 cm) yang lebih besar dibandingkan bubu lipat standar yang umumnya digunakan untuk menangkap rajungan (pxlxt = 50 cm x 30 cm x 20 cm), Slope net (sudut kemiringan pintu masuk bubu) atas dan bawah : 22,5°, Ukuran pintu masuk cukup lebar, yaitu 30 cm x 14 cm (panjang x tinggi), Terdapat pintu jebakan bentuk kisi-kisi bahan plastik yang berfungsi untuk memudahkan target masuk ke dalam bubu dan sulit untuk keluar, Sumbu lipatan bubu terletak 20 cm dari bagian depan bubu. Modifikasi bubu lipat pintu atas terletak pada ukuran bubu (pxlxt = 60 cm x 45 cm x 30 cm) lebih besar dibandingkan bubu lipat standar (pxlxt = 50 cm x 30 cm x 20 cm) dengan bagian atasnya menyempit, slope net (sudut kemiringan pintu masuk bubu): 70°, ukuran pintu masuk cukup lebar, yaitu 30 cm x 14 cm (panjang x tinggi), terdapat pintu jebakan bentuk kisi-kisi bahan plastik yang berfungsi untuk memudahkan target masuk ke dalam bubu dan sulit untuk keluar, sumbu lipatan bubu terletak 15 cm dari bagian depan bubu. Cacing tanah yang akan dijadikan umpan alternatif adalah adalah Lumbricus rubellus. Efektivitas bubu lipat modifikasi dan umpan cacing tanah ini perlu diuji lebih lanjut dalam pengujian skala lapangan (experimental fishing). Uji coba penangkapan untuk mengukur efektivitas bubu lipat modifikasi dan umpan tembang telah dilakukan selama 31 hari trip penangkapan. Komposisi hasil tangkapan utama adalah lobster 42 ekor (35,0%) terdiri dari 3 spesies, yaitu Lobster hijau pasir (Panulirus homarus) 39 ekor (32,5%), Lobster hijau (Panulirus versicolor) 2 ekor (1,7%), dan Lobster mutiara (Panulirus ornatus) 1 ekor (0,8%). Hasil Tangkapan Sampingan atau by-catch dengan total 78 ekor (65,0%) yang terdiri dari kelompok krustasea (rajungan) 59 ekor (49,2%), kelompok moluska (sotong-Sepia sp.) 14 ekor (11,7%), kelompok ikan (kerapu tutul- Epinephelus maculatus dan sinreng- Canthigaster sp.) 5 ekor (4,2%). Penggunaan bubu lipat penelitian, baik bubu lipat modifikasi pintu samping, bubu lipat modifikasi pintu atas maupun bubu lipat standar dengan umpan tembang (standar) memiliki efektivitas yang berbeda dalam memperoleh hasil tangkapan lobster (Fvalue α=5% = 9,44 > Ftabel = 3,097 atau p-value = 0.0002 < 0.05). Bubu lipat rajungan sebagai standar pengujian (0,8 ekor ± 0,03) lebih baik dalam memperoleh rata-rata tangkapan lobster dibandingkan dengan kedua bubu
lipat modifikasi, yaitu bubu lipat modifikasi pintu samping (0,5 ekor ± 0,02) dan bubu lipat modifikasi pintu atas (0,1 ekor ± 0,01). Bubu lipat modifikasi pintu samping (0,5 ekor ± 0,02) lebih baik dibandingkan dengan bubu lipat modifikasi pintu atas (0,1 ekor ± 0,01) terhadap rata-rata hasil tangkapan lobster. Efektivitas bubu lipat standar (6,7%) lebih besar dibandingkan dengan bubu lipat modifikasi pintu samping (3,8%) dan bubu lipat modifikasi pintu atas (0,8%). Sementara, nilai efektivitas bubu lipat modifikasi pintu samping (3,8%) lebih besar dibandingkan dengan bubu lipat modifikasi pintu atas (0,8%). Bubu lipat modifikasi, baik modifikasi pintu atas (0,6 ekor ± 0,05) maupun pintu samping (0,7 ekor ± 0,02) menangkap rata-rata hasil tangkapan sampingan (by-catch) lebih sedikit dibandingkan dengan bubu lipat standar (1,5 ekor ± 0,04). Uji coba penangkapan untuk mengukur efektivitas bubu lipat modifikasi pintu samping dan umpan cacing tanah telah dilakukan selama 20 hari trip penangkapan. Komposisi hasil tangkapan utama adalah lobster 31 ekor (33,7%), terdiri dari 3 spesies, yaitu lobster hijau pasir (Panulirus homarus) 29 ekor (31,5%), lobster hijau (Panulirus versicolor) 1 ekor (1,1%), dan lobster mutiara (Panulirus ornatus) 1 ekor (1,1%). Hasil tangkapan sampingan (HTS) atau bycatch dengan total 61 ekor (66,3%) yang terdiri dari kelompok krustasea (rajungan) 33 ekor (35,9%), kelompok moluska (sotong-Sepia sp.) 22 ekor (23,9%), kelompok ikan (kerapu tutul-Epinephelus maculatus) 5 ekor (5,4%), dan kelompok krustasea (udang ronggeng- Squilla mantis) 1 ekor (1,1%). Faktor bubu lipat, baik bubu lipat modifikasi pintu samping maupun bubu lipat standar berbeda nyata pada taraf α = 5%. Dalam hal ini bubu yang paling baik digunakan adalah tetap bubu lipat rajungan sebagai standar pengujian (Mean = 0,96025) dibandingkan dengan bubu lipat modifikasi pintu samping (Mean = 0,82358). Efektivitas bubu lipat standar (9,2%) lebih besar dibandingkan dengan bubu lipat modifikasi pintu samping (3,8%). Namun demikian, bubu lipat modifikasi pintu samping dapat mereduksi by-catch hingga 50% dibandingkan penggunaan bubu lipat rajungan (standar). Perlakuan umpan, baik umpan cacing tanah maupun tembang berbeda nyata pada taraf α = 5%. Dalam hal ini umpan yang paling baik digunakan adalah cacing tanah (Mean = 0.96429) dibandingkan dengan umpan tembang (Mean = 0.81954). Efektivitas bubu lipat yang menggunakan umpan cacing tanah (9,2%) lebih besar dibandingkan dengan yang menggunakan umpan tembang (3,8%). Bubu yang menggunakan umpan cacing tanah dapat mereduksi by-catch hingga 36,8% dibandingkan dengan bubu lipat yang menggunakan umpan tembang. Umpan cacing tanah mengalami penurunan kadar protein yang cukup lambat dengan rata-rata penurunan 9,76% ± 0,40 dibandingkan dengan umpan tembang 34,90% ± 3,40. Dengan demikian, selain cacing tanah memiliki kandungan protein yang tinggi, juga memiliki ketahanan umpan yang cukup tinggi dibandingkan dengan umpan tembang. Umpan cacing tanah mengalami penurunan kadar lemak yang lebih cepat dengan rata-rata penurunan 65,48% ± 3,04 dibandingkan dengan umpan tembang 41,51% ± 3,44. Kata kunci: Lobster, bubu lipat modifikasi, cacing tanah,
©Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor (IPB), Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
RANCANG BANGUN BUBU LIPAT MODIFIKASI DAN PENGGUNAAN CACING TANAH (Lumbricus rubellus) SEBAGAI UMPAN ALTERNATIF UNTUK PENANGKAPAN SPINY LOBSTER
ZULKARNAIN
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi Pembimbing: Penguji pada Ujian Tertutup:
Dr. Ir. M. Imron, M.Si Dr. Ir. Diniah, M.Si
Penguji pada Ujian Terbuka:
Prof. Dr. Ir. Bambang Murdiyanto, M.Sc Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB Dr. Suharyanto, M.Si Direktur Sekolah Pascasarjana Sekolah Tinggi Perikanan (STP) Jakarta
Judul Disertasi
:
Nama NIM Program Studi
: : :
Rancang Bangun Bubu Lipat Modifikasi dan Penggunaan Cacing Tanah (Lumbricus rubellus) Sebagai Umpan Alternatif Untuk Penangkapan Spiny Lobster. Zulkarnain C561050021 Teknologi Kelautan
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc. Ketua
Dr. Sulaeman Martasuganda, M.Sc Anggota
Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja Anggota
Mengetahui Ketua Program Studi Teknologi Kelautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian : 13 Januari 2012
Tanggal Lulus: _____________
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah Rancang Bangun Bubu Lipat Modifikasi dan Penggunaan Cacing Tanah (Lumbricus rubellus) Sebagai Umpan Alternatif Untuk Penangkapan Spiny Lobster. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing; Bapak Dr. Sulaeman Martasuganda, M.Sc, dan Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan saran, arahan, bimbingan, dan ilmu. Bahkan lebih jauh, penulis diberikan motivasi dan rasa percaya diri untuk segera menyelesaikan studi. Demikian juga kepada Prof. Takafumi Arimoto yang telah membimbing selama exchange student di Tokyo University of Marine Science and Technology, beserta teman sejawat di Laboratorium TPI dan Departemen PSP. Doa saya kepada Allah Yang Maha Kuasa untuk selalu memberikan limpahan rahmat dan karunia kepada Bapak semua. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Mukhlish, Diki, Awang, yang telah membantu dalam pengumpulan dan pengolahan data serta semua pihak yang telah memberikan kontribusi dalam penyelesaian disertasi ini. Penghargaan dan terima kasih tidak terhingga penulis sampaikan kepada istri Renny Juniarti S.Pi dan anakku Hafizh Reza Prasetya, Ir. Djuli Kuncoro, Muhammad Iwan S.E., Siti Sundari atas segala doa, kesabaran, dorongan dan pengertian yang diberikan secara tulus ikhlas selama penulis menempuh pendidikan. Kepada semua pihak yang tidak penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu langsung atau tidak langsung, semoga Allah SWT membalas kebaikan tersebut dengan rahmat dan pahala berlipat ganda. Terakhir penulis berharap semoga karya ini bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya, Amin. Bogor, Januari 2012 Zulkarnain
R RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan dii Jakarta, pada p tanggaal 19 Mei 1963 sebagaii anak ketiiga dari Baapak Muham mmad Suebb (alm) dan n Ibu Supinaah (almh). Menikah M paada tahun 1998 dengann Renny Juniarti dan dikkaruniai anaak Hafizh Reza R Prasetyya. Peendidikan sarjana dittempuh di Jurusan Pemanfaataan Sumberrdaya Perikanann, Fakultas Perikanan, IPB, lulus tahun 19888. Penulis bekerja seb bagai dosen di Departemeen Pemanfaatan Sumbeerdaya Periikanan, Fakkultas Perik kanan PB sejak tahhun 1992. Pada P tahun 2002 penullis lulus S2 pada dan Ilmu Kelautan-IP Program Studi S Teknoologi Kelauutan, Prograam Pascasarj rjana IPB. P Pada tahun 2005 penulis melanjutkan m studi S3 pada Program m Studi Teeknologi Keelautan, Sek kolah Pascasarjaana IPB. Paada bulan April A 2007 penulis p terpiilih dan ikutt dalam pro ogram Exchangee Student prrogram satuu tahun hing gga April 20008 di Tokkyo University of Marine Sccience and Technology T y. Kaarya berkaittan dengan disertasi, adalah a publiikasi yang ttelah diterb bitkan bulan Julii tahun 20111 di Buletiin PSP Vollume XIX, No.2: 45-557, dengan judul j Pengembaangan Desaain Bubu Loobster yang g Efektif, dan d di Bulettin PSP Vo olume XIX, No. 3 Desembeer 2011, denngan judul Efektivitas E Bubu Lipatt Modifikassi dan Penggunaaan Umpan Cacing Tannah (Lumbriicus rubelluus) pada pennangkapan Spiny S Lobster (P Panulirus spp.) s di Peerairan Pesiisir Timur Teluk Pelaabuhanratu Jawa Barat.
DAFTAR ISTILAH
Umpan alami (natural bait)
Umpan yang berasal dari bahan alami yang digunakan untuk memikat ikan sehingga mendekati umpan tersebut
Bubu (pot)
Alat penangkap ikan yang termasuk dalam klasifikasi perangkap dengan desain khusus untuk menangkap ikan dan krustasea
Bubu lipat (collapsible pot)
Alat penangkap ikan yang termasuk dalam klasifikasi perangkap dengan desain khusus untuk menangkap ikan dan krustasea, dimana alat tangkap tersebut dapat dilipat menjadi posisi datar karena memiliki sumbu lipatan
Efektivitas (effectivity)
Tingkat pencapaian suatu tujuan
Daerah penangkapan ikan (fishing ground)
Daerah yang menjadi tujuan operasi penangkapan ikan
Tempat berlindung (shelter)
Suatu tempat atau bentuk bangunan yang dapat dijadikan tempat untuk berlindung dari predator bagi ikan dan krustasea.
Tempat bersembunyi (hiding place)
Suatu tempat atau bentuk bangunan yang dapat dijadikan tempat untuk bersembunyi dari predator bagi ikan dan krustasea.
Unit penangkapan (fishing unit)
Unit penangkapan ikan yang terdiri atas nelayan, kapal dan alat tangkap
Penebaran (setting)
Pemasangan alat tangkap di daerah penangkapan
Pengangkatan (hauling)
Proses pengangkatan alat tangkap ke atas kapal dalam operasi penangkapan
Perangkap (trap)
Alat penangkapan ikan yang prinsip kerjanya menjebak ikan untuk masuk ke dalam alat dengan pikatan tertentu
hasil
terhadap
Modifikasi (modification)
Perubahan secara fisik terhadap spesifikasi suatu benda tertentu
Cacing tanah (earthworm)
Hewan darat dari Kelas Oligochaeta, Famili Lumbricidae dan spesies Lumbricus rubellus yang hidup di tanah yang terlindung dari sinar matahari, lembab, gembur, dan mengandung banyak serasah. Habitat ini sangat spesifik bagi cacing tanah untuk tumbuh dan berkembang biak dengan baik. Tubuh selalu menghasilkan banyak lendir
Hasil tangkapan sampingan (by-catch)
Hasil tangkapan dari suatu alat tangkap yang bukan target tangkapan
Nocturnal
Sifat dan tingkah laku ikan yang aktif pada waktu malam hari
Umpan (bait)
Bahan fisik maupun kimia yang dapat memberikan rangsangan ikan tertentu dalam tujuan penangkapan
Teknologi tepat guna
Teknologi yang sesuai dan dibutuhkan oleh masyarakat
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ................................................................................. DAFTAR GAMBAR ........................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................
Halaman xxi xxiii xxvii
1
PENDAHULUAN ...................................................................... 1.1 Latar Belakang ..................................................................... 1.2 Perumusan Masalah .............................................................. 1.3 Tujuan Penelitian ................................................................. 1.3.1 Tujuan umum ............................................................ 1.3.2 Tujuan khusus ........................................................... 1.4 Manfaat Penelitian .............................................................. 1.5 Hipotesis .............................................................................. 1.6 Kerangka Pemikiran .............................................................. 1.7 Novelty ...................................................................................
1 1 3 6 6 6 6 6 7 9
2
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................... 2.1 Perbaikan Teknologi ............................................................ 2.2 Bubu ..................................................................................... 2.3 Makanan Alami Lobster ..................................................... 2.4 Mekanisme Makan ............................................................... 2.5 Bahan Rangsangan Umpan bersifat Kimiawi ...................... 2.6 Indera Penciuman ................................................................. 2.7 Pelepasan Bahan Kimiawi Umpan ....................................... 2.8 Simulasi Makan dan Pikatan Kimiawi ................................. 2.9 Taksonomi, Morfologi, Habitat dan Penyebaran Lobster ….. 2.10 Tingkah Laku Lobster ……………………………………..
11 11 12 15 17 17 19 21 25 28 37
3
METODOLOGI PENELITIAN ................................................ 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian .................................................. 3.1.1 Penelitian skala laboratorium........................................ 3.1.2 Penelitian skala lapangan ............................................. 3.2 Alat dan Bahan Penelitian ...................................................... 3.2.1 Penelitian skala laboratorium........................................ 3.2.2 Penelitian skala lapangan ............................................. 3.3 Kerangka Penelitian ............................................................... 3.4 Metodologi Penelitian ............................................................ 3.4.1 Pengumpulan data ........................................................ 3.4.1.1 Penelitian skala laboratorium .......................... 3.4.1.2 Penelitian skala lapangan ................................ 3.4.2 Kegiatan operasi penangkapan ..................................... 3.4.3 Analisis data ................................................................. 3.4.3.1 Penelitian skala laboratorium .......................... 3.4.3.2 Penelitian skala lapangan ................................
39 39 39 40 41 41 41 44 44 46 46 47 49 52 52 53
xix
4
HASIL PENELITIAN ............................................................... 4.1 Desain dan Konstruksi Bubu Lobster .................................... 4.1.1 Perkembangan penangkapan lobster ............................ 4.1.2 Perkembangan desain bubu lobster .............................. 4.1.3 Analisis penentuan desain bubu lobster ....................... 4.1.4 Desain bubu lobster yang efektif .................................. 4.1.5 Rancang bangun bubu lipat modifikasi dan standar ..... 4.2 Pemilihan umpan alternatif .................................................... 4.3 Efektivitas Bubu Lipat Dengan Umpan Ikan Tembang (Standar) ................................................................................. 4.3.1 Komposisi hasil tangkapan (total) ................................ 4.3.2 Efektivitas bubu lipat penelitian ................................... 4.4 Efektivitas Bubu Lipat Modifikasi Pintu Samping dan Umpan Cacing Tanah ............................................................. 4.4.1 Komposisi hasil tangkapan (total) ................................ 4.4.2 Perbedaan efektivitas bubu lipat .................................. 4.4.3 Perbedaan efektivitas umpan ........................................ 4.5 Perubahan Kadar Protein dan Lemak Umpan ........................
Halaman 55 55 55 57 63 64 72 74 78 78 83 87 87 92 95 98
5
PEMBAHASAN .......................................................................... 5.1 Bubu Lipat ............................................................................. 5.2 Bubu Lipat dan Umpan Standar ............................................. 5.3 Bubu Lipat Modifikasi dan Umpan Cacing Tanah ................ 5.4 Umpan Alternatif ...................................................................
103 103 104 107 112
6
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................. 6.1 Kesimpulan ........................................................................... 6.2 Saran ....................................................................................
115 115 116
DAFTAR PUSTAKA ................................................................ LAMPIRAN ................................................................................
117 127
xx
DAFTAR TABEL
Halaman 1
Deskripsi dan respons tingkah laku krustasea terhadap rangsangan kimiawi ..................................................................
26
2
Alat dan bahan penelitian ..........................................................
42
3
Alat dan bahan utama penelitian ...............................................
42
4
Alat dan bahan utama penelitian ...............................................
43
5
Spesifikasi alat tangkap bubu lipat penelitian ...........................
48
6
Spesifikasi alat tangkap bubu lipat penelitian ...........................
48
7
Spesifikasi bubu lipat modifikasi pintu samping .......................
68
8
Spesifikasi bubu lipat modifikasi pintu atas ...............................
70
9
Profil asam amino (g/100g protein) cacing tanah (Lumbricus rubellus) .....................................................................................
76
Komposisi hasil tangkapan total ukuran jumlah (ekor) dan ukuran berat (gram) ....................................................................
79
11
Komposisi hasil tangkapan lobster berdasarkan jenis bubu lipat
83
12
Analisis sidik ragam model terhadap total hasil tangkapan lobster .........................................................................................
85
13
Nilai efektivitas bubu lipat .........................................................
86
14
Komposisi hasil tangkapan total jumlah (ekor) dan berat (gram) .........................................................................................
88
Analisis sidik ragam perlakuan terhadap total hasil tangkapan lobster .........................................................................................
91
Analisis sidik ragam masing-masing faktor terhadap total hasil tangkapan lobster ........................................................................
91
17
Komposisi hasil tangkapan berdasarkan jenis bubu lipat ...........
92
18
Uji Duncan untuk faktor bubu lipat terhadap hasil tangkapan lobster .........................................................................................
92
19
Nilai efektivitas bubu lipat .........................................................
94
20
Komposisi hasil tangkapan berdasarkan jenis umpan ................
95
21
Uji Duncan untuk faktor umpan terhadap hasil tangkapan lobster .........................................................................................
96
Nilai efektivitas umpan ..............................................................
97
10
15 16
22
xxi
xxii
DAFTAR GAMBAR
1
Kerangka pemikiran....................................................................
Halaman 9
2
Organ penciuman dan sensilla dari spiny lobster .....................
22
3
Tingkat pelepasan asam amino dari umpan buatan yang berisi 2 g campuran bahan kimia dalam 100 g bahan pengemulsi dibandingkan dengan umpan alami ..........................................
24
4
Bagian-bagian tubuh lobster .....................................................
29
5
Penyebaran geografis lobster hijau pasir (Panulirus homarus Linnaeus 1758) .........................................................................
31
Penyebaran geografis lobster bunga (Panulirus longipes Milne Edwards 1868) …………………………………………
32
Penyebaran geografis lobster mutiara (Panulirus ornatus Fabricius 1798) ……………………………………………….
33
Penyebaran geografis lobster batu (Panulirus penicillatus Olivier 1791 ………………………………………………….
34
Penyebaran geografis lobster bambu coklat (Panulirus polyphagus Herbst 1793) …………………………………….
35
Penyebaran geografis lobster hijau (Panulirus versicolor Latreille 1804) ………………………………………………..
36
11
Lokasi penelitian di Pelabuhanratu Jawa Barat ………………..
40
12
Kerangka Penelitian ..................................................................
45
13
Perendaman umpan untuk sampel uji proksimat (Kadar protein dan lemak kasar) .......................................................................
47
14
Alat tangkap bubu lipat penelitian sistem longline ...................
49
15
Perahu penelitian ......................................................................
50
16
Pemasangan umpan cacing ........................................................
50
17
Pemasangan umpan ...................................................................
50
18
Setting alat tangkap ...................................................................
50
19
Hauling alat tangkap .................................................................
51
20
Hasil tangkapan lobster .............................................................
51
21
Hasil tangkapan rajungan ..........................................................
51
22
Hoop net atau perangkap krendet untuk menangkap lobster dengan ukuran diameter bingkai : 80 – 100 cm .......................
58
6 7 8 9 10
xxiii
Halaman 23
Bubu lobster dengan desain dan penggunaan bahan yang berbeda : (a) Bahan bambu; (b) Bahan serat pelepah daun kelapa; (c) Bahan kayu; (d) Bingkai baja ringan dan jaring polyethilene; (e) Bentuk mata jaring dari kawat baja yang dilas; dan (f) Bahan kawat ayam ..............................................
59
Bubu lipat (collapsible pot) untuk menangkap rajungan bentuk kotak dengan ukuran PxLxT = 55 x 35 x 20 cm ......................
60
25
Ilustrasi penggunaan trigger pada mulut bubu kepiting ...........
62
26
Ilustrasi penggunaan trigger pada mulut bubu kepiting ..........
62
27
Desain bubu lipat rajungan sebagai bubu lipat standar untuk acuan modifikasi .......................................................................
65
Tahapan pembuatan desain bubu lipat modifikasi pintu samping .....................................................................................
66
Tahapan pembuatan desain bentuk pintu jebakan bentuk kisikisi pada mulut bubu lipat modifikasi pintu samping ................
67
Desain bubu lipat modifikasi pintu samping (MPS) dengan pintu jebakan yang berbentuk kisi-kisi .......................................
69
Desain bubu lipat modifikasi pintu atas (MPA) dengan pintu jebakan yang berbentuk kisi-kisi ................................................
71
Proses rancang bangun bubu lipat modifikasi dan bubu lipat standar .......................................................................................
72
33
Bubu lipat modifikasi pintu samping ........................................
73
34
Bubu lipat modifikasi pintu atas ...............................................
73
35
Bubu lipat standar (bubu lipat rajungan) ...................................
74
36
Cacing tanah (Lumbricus rubellus) ...........................................
77
37
Bagian-bagian tubuh cacing tanah (Lumbricus rubellus) .........
77
38
Komposisi hasil tangkapan total dalam jumlah (ekor) ..............
80
39
Komposisi hasil tangkapan total dalam berat (gram) ................
80
40
Komposisi hasil tangkapan lobster dan by-catch dalam jumlah (ekor) ........................................................................................
81
Komposisi hasil tangkapan lobster dan by-catch dalam berat (gram) ........................................................................................
81
Rata-rata jumlah (ekor) hasil tangkapan per trip antara lobster dengan by-catch ........................................................................
82
43
Komposisi panjang karapas (mm) lobster hasil tangkapan ........
82
44
Komposisi berat (gram) lobster hasil tangkapan .......................
83
24
28 29 30 31 32
41 42
xxiv
Halaman 45
Komposisi hasil tangkapan lobster berdasarkan jenis bubu lipat
84
46
Rata-rata jumlah (ekor) lobster yang tertangkap per trip ± SE antara bubu lipat Standar, MPS dengan bubu lipat MPA .........
85
Rata-rata jumlah (ekor) by-catch yang tertangkap per trip ± SE antara bubu lipat Standar, MPS dengan bubu lipat MPA ..........
85
48
Komposisi hasil tangkapan total dalam jumlah (ekor) .............
88
49
Komposisi hasil tangkapan total dalam berat (gram) ...............
89
50
Komposisi hasil tangkapan total dalam jumlah (ekor) .............
89
51
Rata-rata hasil tangkapan (ekor) per trip ± SE antara lobster dengan by-catch ........................................................................
89
Komposisi selang kelas panjang karapas (mm) lobster hasil tangkapan ..................................................................................
90
53
Lobster hijau pasir dengan telur yang melekat pada pleopod ....
90
54
Komposisi selang kelas berat (gram) lobster hasil tangkapan ..
91
55
Rata-rata hasil tangkapan lobster (ekor) per trip ± SE berdasarkan penggunaan bubu lipat Modifikasi Pintu Samping (MPS) dengan bubu lipat Standar (S) .......................................
93
Rata-rata hasil tangkapan by-catch (ekor) per trip ± SE berdasarkan penggunaan bubu lipat Modifikasi Pintu Samping (MPS) dengan bubu lipat Standar (S) .......................................
94
Rata-rata hasil tangkapan lobster (ekor) per trip ± SE berdasarkan penggunaan bubu lipat dengan umpan cacing tanah dan umpan tembang (S) ..................................................
96
Rata-rata hasil tangkapan by-catch (ekor) per trip ± SE berdasarkan penggunaan bubu lipat dengan umpan cacing tanah dan umpan tembang (S) ..................................................
97
Perubahan kadar protein umpan cacing tanah dan tembang berdasarkan lama perendaman .................................................
98
Rata-rata perubahan kadar protein (% ± SE) umpan cacing tanah dan tembang berdasarkan lama perendaman ..................
99
Perubahan kadar lemak umpan cacing tanah dan tembang berdasarkan lama perendaman ..................................................
100
Rata-rata perubahan kadar lemak (% ± SE) umpan cacing tanah dan tembang berdasarkan lama perendaman ...................
100
47
52
56
57
58
59 60 61 62
xxv
xxvi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Data respon hasil tangkapan 3 jenis bubu lipat dengan umpan tembang ……………………………………………………………...
127
Data respon hasil tangkapan 2 jenis bubu lipat dengan umpan cacing tanah dan umpan tembang ..................................................................
158
Respon data hasil tangkapan lobster jenis bubu lipat dengan umpan tembang ..........................................................................
178
4
Data syntax 3 jenis bubu lipat dengan umpan tembang .............
179
5
Analisis ANOVA dengan aplikasi SAS untuk 3 jenis bubu lipat dengan umpan tembang ......................................................
182
1 2 3
6
7 8 9
Respon data hasil tangkapan lobster jenis bubu lipat modifikasi
pintu samping (MPS) dan standar (S) dengan jenis umpan cacing tanah dan tembang (standar) ...........................................
183
Data syntax 2 jenis bubu lipat dengan umpan cacing tanah dan umpan tembang ..........................................................................
185
Hasil analisis ANOVA dengan aplikasi SAS untuk 2 jenis bubu lipat dengan umpan cacing tanah dan umpan tembang ….
187
Respon data hasil tangkapan lobster berdasarkan jenis bubu lipat
modifikasi pintu samping (MPS) dan standar (S) …………….. 10
Respon data hasil tangkapan lobster berdasarkan jenis umpan cacing tanah dan tembang (standar) ………………………………………..
188
11
Kondisi umpan sebelum dan sesudah perendaman ............................
189 190
12
Hasil tangkapan bubu lipat penelitian ........................................
192
xxvii
1
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya perikanan laut Indonesia yang berada di wilayah tropis memiliki keanekaragaman hayati laut (biodiversity) tertinggi di dunia.
wilayah
perairan pantai dengan keanekaragaman ekosistem dan variabilitas organisme lautnya merupakan sumber daya perikanan yang penting bagi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia.
Keanekaragaman hayati laut tersebut
diantaranya adalah jenis-jenis ikan karang konsumsi (kakap, kerapu, baronang, kuwe), ikan karang hias, spiny lobster (udang karang), rajungan (blue swimming crab), kepiting bakau (mud crab), ikan layur dan berbagai jenis ikan pelagis lainnya yang bermigrasi ke perairan pantai. Upaya pemanfaatan sumber daya ikan dilakukan dengan menggunakan berbagai tingkatan teknologi, baik teknologi tingkat tinggi (moderen), tingkat madya dan tradisional.
Pemanfaatan sumber daya ikan yang dilakukan
masyarakat nelayan kebanyakan dilakukan di perairan pantai dan didominasi oleh kegiatan perikanan tangkap skala kecil yang sangat besar dalam jumlah unit penangkapan dan jumlah nelayan. Pada umumnya, kegiatan perikanan tangkap skala kecil memiliki keterbatasan dalam upaya pemanfaatan sumberdaya perikanan. Keterbatasan yang dapat dikategorikan sebagai permasalahan utama selain aspek modal, adalah keterbatasan input teknologi (IPTEK). Kegiatan Perikanan tangkap skala kecil cenderung statis dalam upaya pengembangan teknologi yang digunakan. Kondisi ini akan mempengaruhi produktivitas usaha yang dijalankan, seperti menurunnya hasil tangkapan per upaya penangkapan, kualitas hasil tangkapan dan nilai jual yang rendah, sehingga secara keseluruhan dapat mengurangi keragaan usaha yang dilakukannya. Pemilihan input teknologi penangkapan akan disesuaikan dengan target tangkapan. Target ikan hasil tangkapan yang seharusnya dipilih adalah jenis ikan unggulan dengan tujuan memperoleh nilai jual yang tinggi dengan kualitas yang diinginkan oleh pasar, baik dalam keadaan hidup maupun segar. Lobster merupakan komoditas perikanan unggulan yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi dalam perdagangan produk perikanan tingkat lokal maupun
2
internasional. Kondisi lobster yang memberikan nilai jual tinggi adalah lobster dalam keadaan hidup dan lengkap bagian-bagian tubuhnya, yaitu belum ada bagian dari tubuhnya yang putus atau hilang. Perikanan lobster di setiap wilayah perairan pantai di Indonesia dengan habitat yang sesuai merupakan salah satu kegiatan industri perikanan tangkap yang berbasis masyarakat yang memiliki keunggulan komperatif karena potensi sumber daya lokal yang cukup besar, permintaan pasar dan harga yang tinggi. Operasi penangkapan lobster dilakukan di perairan pantai dengan teknologi dan cara penangkapan yang bervariasi.
Penangkapan lobster yang
dilakukan oleh nelayan termasuk dalam kegiatan perikanan tangkap skala kecil. Jenis alat tangkap yang kebanyakan digunakan adalah perangkap jaring yang disebut dengan jaring gilnet dasar monofilamen (sirang), perangkap krendet (jodang) dan perangkap bubu (pot) yang belum berkembang secara luas di Indonesia. Alat tangkap tersebut menggunakan berbagai jenis umpan sebagai bahan atraktor untuk keberhasilan memperoleh hasil tangkapan lobster. Sedangkan cara penangkapan lobster adalah penangkapan yang dilakukan dengan penyelaman dengan alat kompresor udara dan atau/ pembiusan yang secara umum menggunakan potassium dan /atau akar tumbuh-tumbuhan (akar bore). Alat tangkap perangkap yang digunakan untuk menangkap lobster bersifat pasif
dan proses tertangkapnya lobster akan mempengaruhi kualitas hasil
tangkapannya. Kondisi lobster yang tertangkap dengan perangkap jaring gillnet dasar monofilamen dan perangkap krendet adalah terperangkap dan terbelit oleh jaring. Selama proses terperangkap, lobster akan berusaha untuk melepaskan diri dan hal ini dapat menyebabkan kondisi lobster tidak lengkap karena dapat saja terjadi bahwa ada bagian dari anggota tubuhnya yang terputus atau kondisi lobster sudah tidak utuh lagi.
Alat tangkap tersebut tidak memiliki fungsi
pelindung bagi lobster saat terperangkap pada alat tangkap terhadap predator yang memangsanya. Sebaliknya, alat tangkap bubu memberikan kondisi lobster yang tertangkap dengan kualitas yang prima, karena lobster terperangkap dalam bubu yang memiliki ruang untuk lobster dapat bergerak dengan leluasa, lobster tidak terbelit jaring dan bubu memiliki fungsi pelindung bagi lobster yang tertangkap dari serangan predator.
Sementara itu, cara penangkapan lobster
3
dengan penyelaman, baik yang menggunakan alat kompresor udara maupun bahan pembiusan selain akan merusak habitat juga beresiko tinggi terhadap keselamatan nelayan sebagai operator dalam kegiatan penangkapan. Secara umum, kondisi suatu perairan dengan potensi lobster di perairan tersebut dan tingkat upaya penangkapan di daerah penangkapan (fishing ground) akan mempengaruhi besarnya perolehan hasil tangkapan lobster oleh nelayan, baik dalam jumlah maupun ukuran. Demikian juga dengan metode penangkapan dari alat tangkap dan cara penangkapan lobster yang digunakan akan memiliki keunggulan dan kekurangan dalam perolehan hasil tangkapan lobster baik dalam jumlah, ukuran dan kualitasnya. Dengan demikian, jumlah, ukuran dan kualitas lobster yang tertangkap akan dipengaruhi oleh kondisi perairan, potensi lobster, tingkat upaya penangkapan di fishing ground, desain dan konstruksi alat tangkap, dan penggunaan jenis umpan. Beberapa penelitian yang terkait dengan perikanan bubu, target hasil tangkapan lobster dan penggunaan umpan telah dilakukan, seperti Fielder (1965), Shelton (1981), Monintja dan Budihardjo (1982), Meenakumari and Rajan (1985), Miller (1990), Groneveld (2000), Eno et al. (2001), Salthaug (2002), Brouck et al. (2006), dan Archdale et al. (2007). Dengan keterbatasan input teknologi (IPTEK) dalam kegiatan perikanan tangkap skala kecil dan hal itu juga terjadi dalam perikanan lobster serta belum berkembangnya penggunaan bubu yang khusus untuk menangkap lobster, maka diperlukan penelitian tentang rancang bangun bubu lipat modifikasi dan penggunaan umpan alternatif untuk penangkapan lobster, sehingga dapat memberikan informasi penting dalam pengembangan teknologi penangkapan lobster.
1.2 Perumusan Masalah Perkembangan teknologi perikanan tangkap di Indonesia pada tingkat teknologi skala madya dan moderen merupakan hasil adopsi paket teknologi yang telah dikembangkan berdasarkan kegiatan penelitian-penelitian sebelumnya dari negara-negara maju, seperti Jepang, Korea Selatan, Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa lainnya. Kegiatan penangkapan lobster dari berbagai
4
tingkatan skala usaha yang dijalankan, terutama perikanan tangkap skala kecil kebanyakan belum mempertimbangkan aspek efisiensi dan efektivitas alat tangkap terhadap target hasil tangkapan yang diperoleh atau dapat dikatakan bahwa produktivitas alat tangkap masih rendah, atau justru menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Dengan mempertimbangkan bahwa Indonesia memiliki potensi sumber daya lobster yang cukup besar, harga lobster cukup tinggi dan memiliki potensi pasar potensial yang sangat besar, baik tingkat lokal maupun ekspor, maka pendekatan aspek teknis menjadi penting, bahwa alat tangkap yang digunakan harus memiliki kriteria alat tangkap yang ramah terhadap lingkungan. Beberapa kriteria yang termasuk alat tangkap yang ramah lingkungan, adalah : memiliki selektivitas yang tinggi, tidak destruktif terhadap habitat, tidak membahayakan nelayan, menghasilkan ikan yang berkualitas baik, hasil tangkapan yang tidak membahayakan kesehatan konsumen, meminimumkan hasil tangkapan yang terbuang, memberikan dampak minimum terhadap keanekaragaman sumber daya hayati, dan tidak menangkap spesies yang dilindungi atau terancam, serta kegiatan perikanan tangkap yang dapat diterima secara sosial. Keberhasilan suatu usaha perikanan tangkap tergantung pada beberapa faktor yang saling menunjang. Seperti yang dikemukakan oleh Grofit (1980), bahwa pemanfaatan sumber daya hayati laut khususnya perikanan tangkap bertujuan untuk mendapatkan hasil yang maksimum tanpa membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dengan biaya yang se-efisien mungkin. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka teknologi yang diterapkan perlu memenuhi persyaratan, yaitu alat tangkap yang efektif dan efisien dengan bahan yang baik, perbaikan kapal, alat bantu dan perlengkapan kapal serta metode operasi penangkapan yang handal.
Kondisi tersebut di atas juga harus didukung oleh
suatu ketentuan yang bersifat politis, yaitu bahwa dalam kegiatan usaha perikanan tangkap akan selalu mengacu pada kegiatan penangkapan ikan yang akan diakui oleh dunia internasional, yaitu upaya pemanfaatan sumberdaya ikan dan peningkatan produksi perikanan tangkap melalui cara-cara pemanfaatan yang efektif, efisien dan bertanggung jawab. Efektif yang memberikan hasil tangkapan yang optimal; efisien yang memudahkan cara pengoperasian alat tangkap dan
5
penanganan hasil tangkapan ikan; dan bertanggung jawab yang tidak merusak habitat dan menjaga kelestarian sumber daya ikan. Dalam upaya menciptakan atau melakukan perbaikan teknologi, maka perancangan alat dan metode penangkapan ikan harus mengacu pada referensi yang mendukung tujuan pengembangan.
Eksisting teknologi yang ada dan
informasi dari publikasi hasil penelitian dengan topik yang sesuai akan mengarahkan pencapaian tujuan pengembangan kepada sesuatu yang menjadi lebih baik. Khusus untuk perikanan bubu dan lobster sebagai target tangkapan, maka upaya perbaikan teknologi tidak hanya kepada aspek teknis alat tangkap, tetapi juga faktor umpan yang dipertimbangkan dapat memberikan efektivitas yang baik dalam perolehan target hasil tangkapan dan efisien dalam pengoperasian alat tangkap tersebut. Beberapa permasalahan tentang perikanan bubu dan umpan yang digunakan dalam penangkapan lobster, yaitu: (1) Ukuran bubu yang relatif besar, berat dan kaku; (2) Pintu mulut bubu yang terbuka yang memungkinkan target dapat meloloskan diri; (3) Jenis umpan yang berasal dari laut cukup tersedia, namun pengadaannya tetap bersaing dengan kebutuhan konsumsi masyarakat dan kebutuhan pakan ternak, sehingga pengadaannya membutuhkan biaya yang relatif besar. Sebaliknya, untuk mencapai keberhasilan dalam penangkapan lobster, maka dibutuhkan kriteria yang terkait dengan: (1) Ukuran bubu yang relatif kecil dan efisien dalam pengoperasiannya; (2) Diperlukan rekayasa pintu jebakan pada pintu masuk bubu sehingga dapat mereduksi pelolosan target tangkapan; (3) Diperlukan umpan alternatif yang dapat menggantikan kebutuhan umpan yang umumnya digunakan dan tidak memerlukan biaya yang relatif besar. Mengacu dengan adanya kendala dan peluang pengembangan dalam upaya perbaikan teknologi perikanan bubu, maka diperlukan kajian. Kajian yang dapat dilakukan adalah studi desain dan konstruksi alat tangkap bubu, studi efektivitas bubu dan penggunaan umpan alternatif melalui metode experimental fishing serta pengujian terhadap kadar protein dan lemak umpan selama perendaman di laut. Hasil kajian diharapkan dapat menjadi acuan awal pengembangan perikanan bubu dan penggunaan jenis umpan alternatif sebagai paket teknologi yang efektif dalam pemanfaatan sumber daya lobster.
6
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan perbaikan teknologi bubu dan mengkaji efektivitasnya serta penggunaan jenis umpan alternatif dalam pemanfaatan sumber daya lobster. 1.3.2 Tujuan khusus Tujuan penelitian secara khusus, adalah : (1)
Mengkaji dan menciptakan bubu lobster sebagai upaya perbaikan teknologi dengan melakukan modifikasi terhadap desain dan konstruksi bubu standar.
(2)
Menentukan laju penurunan kandungan kimia (protein dan lemak) umpan alami, baik umpan standar maupun umpan alternatif berdasarkan lama perendaman.
(3)
Mengkaji efektivitas penangkapan lobster dengan menggunakan bubu lobster hasil modifikasi dengan umpan standar.
(4)
Mengkaji efektivitas penangkapan lobster dengan menggunakan bubu lobster hasil modifikasi dengan umpan alternatif.
1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa informasi teknologi penangkapan lobster hasil modifikasi dan penggunaan umpan alternatif.
Informasi ini selanjutnya dapat dijadikan acuan dalam upaya
pengembangan IPTEK bagi masyarakat nelayan sebagai paket teknologi tepat guna pada tahap awal dalam pemanfaatan sumber daya lobster. Dalam rangka penyempurnaan hasil penelitian, informasi ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi kegiatan penelitian lanjutan untuk pengembangannya.
1.5 Hipotesis Berdasarkan tahapan penelitian yang akan dilakukan, maka hipotesis penelitian ini, adalah : (1)
Terdapat perbedaan efektivitas penggunaan bubu lobster modifikasi dengan bubu standar dalam memperoleh hasil tangkapan lobster.
(2)
Terdapat perbedaan efektivitas penggunaan bubu lobster modifikasi dengan bubu standar dalam memperoleh hasil tangkapan sampingan (by-catch).
7
(3)
Terdapat perbedaan efektivitas penggunaan umpan alternatif dengan umpan standar dalam memperoleh hasil tangkapan lobster.
1.6 Kerangka Pemikiran Perikanan lobster dalam konsteks perikanan tangkap di Indonesia, secara umum merupakan kegiatan perikanan tangkap skala kecil yang didominasi oleh masyarakat nelayan di wilayah pesisir pantai. Masyarakat nelayan skala kecil masih memiliki keterbatasan dalam hal akses permodalan dan input IPTEKS, sehingga kecenderungannya bersifat statis dalam penggunaan alat tangkap yang digunakan.
Berbagai alat tangkap digunakan untuk pemanfaatan sumberdaya
lobster, seperti krendet, gillnet dasar nylon monofilament, bubu, dan cara penangkapan dengan penyelaman.
Komoditas lobster akan terkait dengan
kondisi yang prima dan kualitas yang baik untuk setiap individu lobster, yaitu dalam keadaan hidup, lengkap bagian tubuhnya dan memiliki ukuran berat yang diminta oleh pasar. Proses tertangkapnya lobster akan menjadi penting untuk dapat memenuhi kondisi prima dan kualitas lobster yang baik serta pemanfaatannya menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan.
Bubu
biasanya digunakan oleh nelayan untuk menangkap dan mempertahankan target tangkapan yang diinginkan yaitu lobster dan jenis krustasea lainnya yang juga target yang baik, seperti halnya ikan bersirip, gastropoda dan moluska (Miller 1990). Lebih dari itu, bubu juga mewakili alat tangkap yang berguna untuk kegiatan pemanenan sumberdaya ikan yang bertanggung jawab. Bubu adalah alat tangkap yang selektif, hasil tangkapan di bawah ukuran ekonomis dapat dikembalikan ke perairan tanpa melukainya, sedikit hasil tangkapan sampingan atau by-catch (Groneveld 2000) dan mempunyai dampak yang minimum terhadap komunitas dasar perairan (Eno et al 2001). Bubu merupakan jenis alat tangkap pasif yang dioperasikan di dasar perairan untuk menangkap sumberdaya perikanan demersal.
Di Indonesia,
penggunaan alat tangkap bubu yang khusus untuk kegiatan penangkapan lobster (udang barong atau udang karang) secara komersial belum dilakukan, karena bubu yang digunakan oleh nelayan selama ini hanya untuk menangkap ikan, rajungan dan kepiting bakau. Dibandingkan dengan negara-negara lain, maka alat tangkap bubu merupakan alat tangkap utama pada kegiatan penangkapan lobster
8
dan telah berkembang menjadi usaha perikanan tangkap yang berkelanjutan. Harga lobster per kilogram di tingkat nelayan sangat tinggi, sehingga penangkapan lobster menjadi salah satu usaha andalan bagi masyarakat nelayan, karena dengan kuantitas hasil tangkapan minimum dan kualitas yang prima akan tetap memberikan keuntungan usaha sekaligus memberikan peningkatan pendapatannya. Pengoperasian alat tangkap bubu biasanya menggunakan umpan untuk memberikan hasil tangkapan yang optimal sesuai dengan target.
Umpan
merupakan salah satu faktor yang sangat besar pengaruhnya pada keberhasilan penangkapan, baik jenis umpan, sifat dan cara pemasangannya (Sadhori 1985). Selanjutnya dijelaskan pula bahwa umpan merupakan salah satu bentuk rangsangan (stimulus) yang bersifat fisika dan kimia yang dapat memberikan respons bagi ikan-ikan tertentu dalam proses penangkapan.
Beberapa ahli
perikanan sependapat bahwa umpan merupakan alat bantu (perangsang) yang memikat sasaran penangkapan dan sangat berpengaruh untuk meningkatkan laju tangkap bubu (Rahardjo dan Linting 1993). Beberapa jenis umpan yang berasal dari perairan laut untuk kegiatan penangkapan lobster, diantaranya adalah ikan rucah dan siput laut (Kholifah 1998), umpan kanikil (Chiton sp) dan kepala ikan kembung (Rastrelliger sp) (Sopati 2005). Sementara, umpan yang berasal dari wilayah daratan yang digunakan untuk penangkapan lobster adalah kulit kambing dan kulit sapi (Moosa dan Aswandy 1984), keong mas (Babylonia spirata L) (Sopati 2005), dan kelapa yang dibakar (Kholifah 1998). Kondisi saat ini, jenis umpan alami yang berasal dari perairan laut cukup tersedia, namun memiliki harga yang cukup tinggi, sehingga untuk pengadaan umpan akan meningkatkan biaya operasi penangkapan. Oleh karena itu, diperlukan alternatif jenis umpan lainnya yang lebih ekonomis dan efektif dengan daya pikat yang baik dalam proses penangkapannya, yaitu jenis umpan yang berasal dari wilayah daratan. Berdasarkan kondisi tersebut di atas yang menjelaskan bahwa terdapat kendala dengan perikanan tangkap skala kecil dan sebaliknya juga terdapat peluang yang cukup besar dalam pemanfaatan sumberdaya lobster, sehingga diperlukan upaya pengembangan melalui kegiatan penelitian. pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1.
Kerangka
9
PERIKANAN LOBSTER
UPAYA PENGEMBANGAN
PERIKANAN TANGKAP SKALA KECIL
PELUANG
KENDALA
Sumber daya lobster cukup besar Harga lobster cukup tinggi Pasar sangat terbuka (lokal/ekspor) Teknologi alat tangkap bubu cukup berkembang Ukuran bubu yang relative besar, berat dan kaku Alat tangkap bubu lipat cukup efisien dan efektif untuk menangkap gurita dan rajungan - Aspek penelitian terkait dengan alat tangkap dan tingkah laku lobster cukup banyak - Pintu mulut bubu yang terbuka memungkinkan target dapat meloloskan diri
- Kurangnya pertimbangan aspek efisiensi dan efektivitas alat tangkap - Lobster hasil tangkapan dapat saja dalam kondisi ada angota tubuh yang terputus atau cacat - Statis dalam pengembangan IPTEKS - Alat tangkap bubu khusus untuk menangkap lobster belum berkembang - Jenis umpan alami yang berasal dari laut cukup tersedia, namun kebutuhannya bersaing dengan kebutuhan untuk konsumsi, pengolahan dan peternakan, sehingga harga umpan relatif mahal - Diperlukan rekayasa pintu jebakan pada pintu masuk bubu sehingga dapat mereduksi pelolosan target tangkapan
-
KAJIAN
ALAT TANGKAP BUBU LOBSTER DAN UMPAN ALTERNATIF YANG EFEKTIF
Gambar 1 Kerangka pemikiran
1.7 Novelty Novelty disertasi ini adalah: (1)
Rancang bangun bubu lipat modifikasi yang berbeda dengan bubu lipat standar, dalam hal: (i) adanya penggunaan rekayasa pintu jebakan pada mulut bubu yang terbuat dari bahan plastik berbentuk kisi-kisi, (ii) ukuran mulut bubu lipat modifikasi yang lebih besar dibandingkan dengan ukuran mulut bubu lipat standar yang memberikan peluang target lobster lebih mudah dan cepat masuk ke dalam bubu, dan (iii) sudut slope net pada pintu masuk bubu memiliki sudut yang sama antara bagian bawah dan atas, yaitu 22,5° yang merupakan sudut dengan kemiringan yang kecil yang memudahkan lobster bergerak ke arah mulut bubu meskipun posisi bubu saat di dasar perairan dalam posisi terbalik,
10
(2)
Penggunaan jenis umpan alami yang berbeda dan efektif yang berasal dari daratan dibandingkan dengan jenis umpan standar, yaitu: cacing tanah (Lumbricus rubellus).
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perbaikan Teknologi Dalam upaya menciptakan atau melakukan perbaikan teknologi, maka perancangan alat dan metode penangkapan ikan akan selalu diawali dengan mengetahui tingkah laku dari ikan. Tingkah laku ikan menurut He (1989) adalah adaptasi dari badan ikan terhadap lingkungan internal dan lingkungan eksternal, sedangkan reaksi ikan merupakan respon yang berhubungan dengan tingkah laku ikan karena adanya rangsangan eksternal. Taxis merupakan salah satu tingkah laku yaitu yang berhubungan dengan arah gerakan terhadap rangsangan secara eksternal. Grofit (1980) menyatakan bahwa pemanfaatan sumberdaya hayati laut khususnya perikanan tangkap bertujuan untuk mendapatkan hasil yang optimum tanpa membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dengan biaya yang se-efisien mungkin. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka teknologi yang diterapkan perlu memenuhi persyaratan, yaitu alat tangkap yang efektif dan efisien dengan bahan yang baik, perbaikan kapal, alat bantu dan perlengkapan kapal serta metode operasi penangkapan yang handal. Menurut Fridman (1988), merancang alat tangkap adalah proses mempersiapkan uraian teknis dan menggambar alat tangkap agar dapat memenuhi syarat-syarat penanganan alat, teknis, operasional (penggunaan), ekonomis dan sosial. Penyelesaian masalah yang terdapat dalam memproduksi alat tangkap agar memenuhi sifat-sifat tersebut adalah komplek, pertama karena sifat teknologi yang komplek dan kedua karena beberapa sifat yang bertentangan harus digabungkan. Pada dasarnya, untuk merancang alat tangkap, cukup bila dipunyai pengalaman praktek menangkap ikan dan mampu melaksanakan perhitungan teknis. Dengan pengetahuan ini, rencana dan spesifikasi alat tangkap ikan dapat dikembangkan dan alat dibuat dan diuji di laut. Jika alat tangkap yang baru kurang memuaskan, maka perlu dimodifikasi atau bahkan dirancang dari permulaan dengan memperhitungkan kesalahan sebelumnya.
12
Selanjutnya Fridman (1988) juga menyatakan bahwa kualitas utama dari alat tangkap dan rancangannya yaitu kelayakan ekonomis dan efisiensi penangkapan, yang tergantung dari banyak faktor seperti adanya sumber daya perikanan, kebutuhan pasar akan ikan dan harganya, biaya operasi armada penangkapan, jumlah, ukuran, dan jenis perahu di tempat tersebut, jauh dekatnya dari pelabuhan, tersedianya bahan dan komponen alat tangkap dan teknik yang mendukung konstruksi dan merawat armada, pengelolaan sumber daya perikanan (peraturan dan hambatan operasionalnya), keadaan hidrometeorologi, tersedianya nelayan dan tenaga ahli dan tergantung juga pada kondisi teknik dan kondisi ekonomi lainnya. Rancang bangun yang baru seharusnya disesuaikan sedapat mungkin dengan syarat-syarat tersebut di atas dan kondisi teknik, ekonomi serta sosial lainnya. Ayodhyoa (1981) menyatakan bahwa terdapat indikator perkembangan dan kemajuan metode penangkapan (fishing methods) dari perikanan tradisional ke perikanan industri, yaitu : (1) Perubahan usaha penangkapan dari seekor demi seekor ke arah usaha penangkapan dalam jumlah banyak. Hasil tangkapan ini tidak hanya diperuntukkan untuk waktu itu, tetapi diharapkan dapat dipergunakan pula untuk sesuatu jangka waktu, menyesuaikan diri dengan situasi harga pasaran. Hal ini menyebabkan alat yang dipergunakan haruslah lebih besar dan efektif; (2) Perubahan fishing ground ke arah yang lebih jauh dari pantai, dan sehubungan dengan itu terjadi pula perubahan dari kedalaman perairan, yaitu dari perairan dangkal ke arah perairan yang lebih dalam; (3) Penggantian tenaga manusia dengan tenaga mesin.
Perkembangan teknologi telah mampu
menggantikan manusia yang menjaga alat yang digunakan dengan mesin yang serba otomatis, sehingga dengan pengurangan tenaga buruh maka keuntungan akan lebih besar.
2.2 Bubu Bubu adalah alat tangkap perangkap atau jebakan yang sifatnya pasif. Penggunaan bubu untuk penangkapan lobster sesungguhnya adalah memakai bubu yang umum digunakan untuk menangkap ikan-ikan karang.
Bubu ini
ukurannya bermacam-macam yang disesuaikan dengan kedalaman air. Bubu
13
dapat dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan letak mulut bubu. Jenis yang pertama dengan satu mulut bubu yang terletak pada bagian atas bubu, dan jenis kedua yaitu bubu dengan satu atau dua mulut bubu yang terletak di bagian samping bubu (Thomas 1973). Bentuk bubu bermacam-macam, diantaranya silinder, segi banyak dan bulat setengah lingkaran. Satu unit bubu umumnya terdiri atas : badan bubu, mulut bubu, tempat umpan, pemberat, tali-temali dan pelampung atau pelampung tanda. Pengoperasiannya cukup mudah, yaitu dengan memasang bubu diantara karang-karang dengan cara menyelam atau diturunkan dengan tali.
Setelah
pemasangan bubu maka bubu ditinggal sekurangnya 24 jam baru kemudian diangkat (Subani 1978).
Alat tangkap yang banyak dipergunakan untuk
menangkap lobster adalah jaring insang tiga lembar (trammel net), sedangkan alat tangkap bubu sebagai alat tangkap alternatif masih belum banyak dikenal meskipun di luar negeri sudah umum dilakukan.
Konstruksi bubu lobster
diusahakan dalam keadaan stabil di dasar perairan dan pintu masuk serendah mungkin untuk memudahkan lobster memasuki bubu.
Rangka bubu
keseluruhannya memakai rangka dari besi behel berdiameter 0,8 cm, badan jaring menggunakan jaring sintetis multifilamen dengan mesh size 0,5 inchi dan kantung umpan memakai bahan kawat kasa. Ukuran bubu ke arah panjang 100 cm, lebar 40 cm dan tinggi 30 cm. Pintu masuk panjang 25-30 cm, lebar 20 cm dan tinggi 10-12 cm atau ukuran pintu masuk disesuaikan dengan besar kecilnya lobster yang ada di daerah penangkapan (Martasuganda 2003). Beberapa alat tangkap yang dikonstruksikan khusus untuk penangkapan lobster menurut Everett (1972) diacu dalam Monintja dan Budihardjo (1982) adalah : (1) semi-cylindrecal pot, (2) Trapezoidal pot, dan (3) Square pot. Namun penggunaan jenis konstruksi yang cocok akan sangat banyak tergantung pada jenis perairan, jenis lobster, kuat arus dan konfigurasi dasar laut. Pengadopsian jenis perangkap bubu, perlu dilakukan percobaan terlebih dahulu dan mungkin pula bahwa pada alat tersebut harus diadakan beberapa rekonstruksi (O’Farrell 1971 diacu dalam Monintja dan Budihardjo 1982). Percobaan penelitian di lapangan dengan membandingkan lobster pot tipe jepang dengan bubu tradisional terhadap hasil tangkapan lobster di Perairan Teluk
14
Pelabuhanratu (Monintja dan Budihardjo 1982) menunjukkan bahwa efektifitas lobster pot dalam penangkapan lobster cukup baik dan secara nyata hasil tangkapannya lebih besar dari pada bubu tradisional yang biasa digunakan nelayan. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Thomas (1954) diacu dalam Shelton and Hall (1981) yang melakukan pengujian terhadap alat tangkap bubu antara scottish creel dengan traditional cornish inkwell pot yang memberikan hasil tangkapan lobster jenis Homarus gammarus masing-masing adalah 66 ekor dan 48 ekor dalam 384 hauling.
Secara statistik menunjukkan bahwa hasil
tangkapan lobster dari setiap alat tangkap bubu tersebut terbukti tidak berbeda nyata dalam jumlah dan ukuran. Bennet (1974) diacu dalam Shelton and Hall (1981) menyatakan bahwa hasil tangkapan dari alat tangkap perangkap yang diberikan umpan adalah hasil dari serangkaian kejadian yang kompleks dan bervariasi. Karakteristik fisik dari alat tangkap perangkap merupakan bagian akhir yang menentukan dalam rangkaian ini. Pada mulanya dengan pengetahuan awal dari hewan yang terpikat secara kimiawi di dalam perairan dan berakhir dengan masuk ke dalam perangkap, memakan umpan dan berusaha untuk melepaskan diri. Pengamatan lobster dalam tangki percobaan (Shelton 1981) menjelaskan bahwa masuknya lobster ke dalam perangkap mungkin diperlambat oleh kesulitan pengalaman dalam menemukan pintu masuk. Lobster membutuhkan waktu yang cukup lama dalam berusaha mendapatkan jalan ke arah umpan hingga pada bagian sisi dari perangkap, khususnya jika ada bagian dari jaring yang tersentuh tangan yang terkontaminasi umpan, dimana ada periode waktu bagi lobster dalam usaha memakan jaring yang terkontaminasi umpan tersebut. Phillips et al. (1980) menyatakan bahwa desain yang tepat dari perangkap adalah membuat lobster dapat masuk melalui mulut bubu dan menyulitkannya untuk keluar. Bubu yang dipakai di Selandia Baru untuk penangkapan lobster memiliki bukaan mulut yang berbentuk lingkaran dan terletak di bagian atas bubu dan berhasil menangkap lobster (Gorman 1996).
15
2.3 Makanan Alami Lobster Umpan merupakan salah satu faktor penting untuk menunjang keberhasilan suatu operasi penangkapan, khususnya untuk alat tangkap yang bersifat pasif seperti bubu. (1993),
bahwa
umpan
Seperti yang dinyatakan oleh Raharjo dan Linting merupakan
perangsang
yang
memikat
sasaran
penangkapan dan sangat berpengaruh untuk meningkatkan laju tangkap bubu. von Bonded and Marchand (1935) diacu dalam Fielder (1965) menyatakan bahwa : ”Banyak kontroversial yang muncul di sekitar pertanyaan mengenai apakah krustasea adalah hewan pemakan bangkai, atau apakah hal tersebut suka membeda-bedakan dalam makanannya. Adalah suatu yang bersifat alami bahwa sekali waktu terjadi kelangkaan makanan, krustasea akan memakan apapun, tetapi percobaan-percobaan yang telah dilakukan dalam skala laboratorium dan juga di laut membuktikan secara meyakinkan bahwa metode penangkapan yang terbaik untuk semua makanan adalah yang menggunakan umpan segar”. Mereka kemudian menggunakan aspek morfologi tertentu untuk menduga kemungkinan sumber-sumber makanan.
Berdasarkan kondisi ini,
mereka mengabaikan ikan yang bersisik sebagai sumber makanan karena mereka terlalu bergerak cepat dan menduga moluska seperti kekerangan sebagai sumber makanan yang disukainya. Hickman (1946) diacu dalam Fielder (1965) telah memeriksa gastric mill dalam perut dari sejumlah besar lobster Jasus lalandei dan menemukan sisa-sisa makanan dari jenis moluska, spiny lobster, kepiting, ekinodermata, dan rumput laut.
Selanjutnya, juga ditemukan hubungan dari material moluska dengan
puncak musim spiny lobster betina yang baru moulting dan menduga bahan makanan moluska adalah makanan istimewa untuk keperluan pengerasan skeleton atau karapas lobster. Lindberg (1955) diacu dalam Fielder (1965) telah menguji isi perut sejumlah besar lobster Panulirus interruptus Randall dan menemukan makanan utama seperti cacing laut, moluska, bulu babi, ganggang laut, dan Bryozoa. Alga dan sisa-sisa ikan jarang ditemukan. Dia menyimpulkan bahwa P. interruptus adalah omnivora dan terutama sebagai hewan pemulung. Ia juga menunjukkan bahwa hasil tangkapan nelayan yang lebih besar ketika umpan segar digunakan
16
dibandingkan dengan umpan busuk. George (1957) diacu dalam Fielder (1965) menyatakan bahwa lobster Panulirus Cygnus adalah pemulung berdasarkan hasil pengamatannya terhadap adanya rumput laut, pecahan karang, sisa ikan, Foraminifora, fragmen-fragmen kerang, dan partikel-partikel pasir dalam isi perut lobster. Telah diperiksa bagian gastric mill dari isi perut 30 spesimen lobster Jasus lalandei yang ditangkap oleh penyelam di dekat Tanjung Jaffa. Berkisar dari isi perut yang kosong hingga hampir penuh dan berisi jenis makanan yang serupa dengan yang digambarkan oleh penulis lainnya, yaitu berisi kepingan hewan yang dominan di daerah ini, dan termasuk gastropods, pelecypods, krustasea (termasuk lobster lainnya, udang dan rajungan), landak laut, bryozoa, dan ganggang dengan beberapa partikel pasir. Tidak ada sisa-sisa ikan yang ditemukan, tetapi hanya sedikit yang diamati di daerah tersebut. Dengan pengecualian dari krustasea, semua spesies lain adalah sessile atau bergerak lamban. Sulit untuk menentukan apakah krustasea dimakan dalam keadaan hiduphidup, tetapi beberapa jenis rajungan dan udang, termasuk Leander intermedius (Stimpson), Paguristes frontalis (Milne-Edwards), Naxia aurita (Latreille), Ozius truncates (Milne-Edwards), Helice haswellianus (Whitelegge) dan Ovalipes bipustulatus (Milne-Edwards) tetap dipertahankan dalam akuarium yang berisi spiny lobster dan tidak dibunuh dan dimakan. Di sisi lain, rajungan mati dan lobster mati, terutama mereka yang baru saja dilemparkan, dimakan. Makanan yang tersisa di akuarium lebih dari satu hari, yaitu cukup lama untuk menjadi busuk, tidak pernah dimakan (Fielder 1965). Percobaan-percobaan yang telah dilakukan dalam skala laboratorium menunjukkan bahwa Jasus lalandei memakan makanan yang disukainya jika diberikan pilihan, dan memilih umpan-umpan alami yang ada di laut sebelum digunakan jenis makanan alami di darat (daging hewan). Selanjutnya, Fielder (1965) menyatakan bahwa terdapat beberapa kondisi terkait dengan tingkah laku makan lobster Jasus lalandei tentang makanan yang disukai, yaitu : (1) Lobster Jasus lalandei memiliki tingkah laku makan yang selektif, yaitu jika diberikan pilihan makanan; (2) Umpan yang berasal dari laut, seperti ikan dan hiu lebih disukai daripada umpan yang berasal dari daratan, seperti kuda dan kelinci; (3)
17
Umpan segar lebih disukai dari pada umpan busuk; dan (4) Umpan cumi-cumi termasuk jenis umpan yang efisien seperti halnya umpan ikan.
2.4 Mekanisme Makan Kegiatan makan adalah proses yang berirama, kebanyakan kegiatan makan berlangsung selama tengah malam. Rekaman kegiatan makan yang dibuat dalam skala laboratorium dengan kondisi terang dan gelap yang konstan, menunjukkan bahwa irama makan ini banyak terjadi secara terus menerus dalam kondisi gelap yang konstan, tetapi tidak terjadi terus menerus dalam kondisi terang yang konstan.
Lobster Jasus lalandei terangsang untuk makan oleh
perubahan dari terang ke gelap (Fielder 1965). Selanjutnya dikatakannya juga, bahwa lobster Jasus lalandei dalam akuarium makan menurut pola tetap. Ketika lobster mencari makan menemukan beberapa potensi makanan itu digenggam oleh walking leg (kaki jalan) dan maxilliped pertama. Lobster kemudian berusaha untuk kembali ke tempat penampungan
sebelum
benar-benar
memakan
makanan.
Jika
tempat
penampungan tidak tersedia dekat, sebuah sudut dari akuarium dicari dan kemudian lobster mulai makan. Mekanisme makan tidak efisien dan banyak potensi makanan hilang. Makanan dicengkeram erat oleh mandibula dan kaki jalan kemudian digunakan untuk menarik makanan dari mandibula, merobek sepotong kecil dari massa makanan. Tiga pasang maxilliped memanipulasi makanan dengan gerakan melingkar dan bantuan kaki jalan pertama dalam merobek potongan dari makanan. Perlakuan ini cenderung menghancurkan massa makanan dan seekor lobster makan selalu dikelilingi oleh awan partikel makanan kecil yang hilang dan cenderung mencemari air di akuarium (Fielder 1965).
2.5 Bahan Rangsangan Umpan bersifat Kimiawi Gunarso
(1985)
menyatakan
bahwa
untuk
memudahkan
dalam
menangkap ikan selain menggunakan alat tangkap, dibutuhkan juga taktik dan metode yang tepat. Metode untuk dapat membawa ikan ke dalam posisi yang dikehendaki ataupun ke dalam area suatu jenis alat tangkap tertentu, banyak tergantung antara lain kepada jenis ikan, kondisi fisiologis ikan, musim atau
18
bahkan perubahan waktu dalam sehari. Taktik-taktik tersebut diantaranya adalah menarik perhatian ikan (fish attraction), mengejuti ikan (fish frightening), merangsang ikan agar melompat (inducing fish to jump) dan membius ikan (stupeying).
Taktik menarik perhatian ikan menjadi beberapa cara, yaitu :
rangsangan umpan bersifat kimiawi (chemical bait), rangsangan ikan bersifat penglihatan (optical bait), rangsangan umpan bersifat pendengaran (acoustic bait) dan rangsangan umpan bersifat listrik (electrical bait). Zat kimia yang bertindak sebagai perantara dalam komunikasi antara organisme dengan organisme disebut dengan semiokemikal dan terdiri dari alelokemikal (Law and Regnier 1971 diacu dalam Kusumah 1988) dan feromon (Mathews and Mathews 1978 diacu dalam Anonymous 1990). Amoniak adalah bentuk utama ekskresi nitrogen oleh kebanyakan hewan akuatik.
Ikan-ikan
teleostei mengekskresikan 60% hingga 90% nitrogen dalam bentuk amoniak ke perairan dan sebagian besar dikeluarkan oleh insang. Bentuk lain dari ekskresi nitrogen adalah urea, kreatin, kreotenin, trimetilalanin oksida dan asam amino. Amoniak merupakan jalur efisien dari ekskresi nitrogen yang dihasilkan dari proses katabolisme protein dalam tubuh (Saridewi 1998 diacu dalam Munadi 2006).
Umpan daging hiu setelah direndam dalam air laut, warnanya menjadi
putih, teksturnya mengeras dan bau amis dari darah segar berganti menjadi bau pesing. Zat yang dapat dijadikan indikator bau pesing tersebut adalah amoniak (Hendrotomo 1989). Asam amino merupakan salah satu substansi kimia yang sangat sensitif terhadap indera pengecapan ikan.
Alanin, glisin dan prolin
merupakan jenis asam amino utama perangsang nafsu makan pada beberapa spesies ikan meskipun komposisi asam amino aktif ini berbeda untuk setiap spesies ikan (Fujaya 2002). Berbagai jaringan hewan yang berasal dari darat maupun laut dapat berfungsi sebagai umpan untuk penangkapan lobster.
Hasil penelitian yang
dilakukan terhadap efisiensi relatif dari umpan alami dan umpan buatan untuk lobster, Homarus gammarus berdasarkan hasil pengujian laboratorium dan experimental fishing menunjukkan bahwa : (1) Dibandingkan dengan umpan alami, umpan buatan dapat menarik dan menangkap lobster dengan efisiensi yang dapat diterima, (2) Ada keterbatasan dalam penggunaan umpan buatan sebagai
19
pengganti total umpan alami pada sebuah skala komersial. Tetapi mungkin bahwa kombinasi umpan buatan dengan sedikit umpan alami akan menjadi solusi yang paling efektif untuk masalah-masalah saat ini bagi nelayan lobster komersial. Hasil ini menegaskan pengamatan sebelumnya yang dibuat pada kondisi laboratorium (Mackie 1973 diacu dalam Mackie 1978) bahwa campuran dari bahan umum dan bahan kimia yang larut dalam air dan bukan satu bahan kimia yang penting untuk mendorong respons tingkah laku pencarian makanan oleh lobster. Ikan dan beberapa invertebrata merespons perbedaan dalam konsentrasi asam amino, asam lemak (molekul komponen lipid, termasuk steroid), alkohol, salinitas dan temperatur (Kobayashi and Fujiwara 1987 diacu dalam Kingsford et al. 2002). Menyertakan suhu di sini, karena faktor salinitas dan suhu air mempengaruhi kerapatan dan suhu dapat mempengaruhi penyebaran dan aktivitas rangsangan kimia.
2.6 Indera Penciuman Crawford and De Smidt (1922) diacu dalam Fielder (1965) menunjukkan bahwa reseptor untuk indera penciuman Panulirus argus Latreille terletak pada flagellae dari antenna dan juga direkam oleh reseptor sensori pada kaki lobster. Lindberg (1955) diacu dalam Fielder (1965) menyatakan bahwa spiny lobster mendeteksi makanannya dengan penglihatan dan bau, dan bahwa lobster yang tidak memiliki antennule (karena putus) kurang mampu menemukan makanan. Selanjutnya dikatakannya juga bahwa lobster yang buta menunjukkan tingkah laku mencari makan yang normal, tapi kemampuan mereka untuk menangkap mangsa yang bergerak telah menjadi lemah. Dia menemukan rambutrambut sensori pada semua anggota badan dan mengamati bahwa deteksi makanan oleh kaki adalah hal yang biasa. Deteksi visual dan deteksi kimiawi terhadap munculnya makanan menjadi faktor yang saling melengkapi pada lobster Jasus lalandei, meskipun deteksi visual tidak sangat efisien.
Antennule lobster terus-menerus aktif menguji
kondisi air. Darah ikan dimasukkan ke dalam akuarium yang menyebabkan merangsang kegiatan antennule dan melakukan orientasi terhadap titik distribusi
20
rangsangan. Flagella pendek dari antennule, yang memiliki rambut sensori menjadi aktif dan setelah pengujian air, mengarahkan ke rangsangan. Sepotong ikan jatuh ke dalam akuarium dan antennule mengikuti gerakan seperti tenggelam. Akhirnya antennule berorientasi terhadap partikel makanan tersebut, dan jika cukup dekat dengan lobster, maka makanan tersebut akan dimakan. Indra rambut berada pada dasar kaki jalan dan mungkin di dalam ruang branchial. Seringkali makanan tidak terdeteksi sampai lobster berjalan di atasnya. Demikian pula, makanan ditempatkan di belakang atau ke satu sisi lobster, mungkin makanan tersebut akan dideteksi oleh indera rambut ini. Akan ditunjukkan kemudian bahwa lobster Jasus lalandei biasanya makan pada kondisi gelap dan bahwa mereka dapat makan cukup memadai dalam kegelapan total. Oleh karena itu akan tampak bahwa lokasi makanan dengan kandungan kimiawinya tersebut memberikan arti bahwa deteksi kimiawi lebih penting dari pada deteksi visual (Fielder 1965). Dalam spiny lobster dan krustasea lain, sumber bau diperantarai pola tingkah laku mencari yang digerakkan terutama oleh syaraf indera kimiawi (chemosensory neuron) dalam antennule (Steullet et al. 2001). Indra kimiawi adalah sangat penting dalam mediasi pola tingkah laku bagi banyak hewan. Dalam krustasea, peran indra kimiawi telah dibuktikan dalam interaksi makan, interaksi di tempat penampungan, interaksi seksual dan interaksi sosial (Zulandt and Moore 1999 diacu dalam Steullet et al. 2001).
Lobster dan krustasea lain
memiliki berbagai jenis setae, termasuk sensilla dalam sistem syaraf indera kimiawi (Hallberg et al. 1997 diacu dalam Steullet et al. 2001). Chemosensilla ini didistribusikan melalui hampir seluruh permukaan tubuh lobster, termasuk antena pertama (antennule), antenna kedua, mulut, kaki, cephalothorax, perut dan telson (Cate and Derby 2001 diacu dalam Steullet et al. 2001). Namun, itu adalah syaraf chemoreceptor di antennule, dengan lateral dan medial flagella, yang terutama menengahi respons jarak jauh pada lobster dan crayfish untuk sumber bau yang berbahan kimia (Giri and Dunham 2000 diacu dalam Steullet et al. 2001). Krustasea mengandalkan indra penciuman mereka untuk mendeteksi mangsa dan menemukan pasangan (Atema and Voigt 1995 diacu dalam Mead
21
and Weatherby 2002). Lobster mendeteksi bau ini dari sumber-sumber yang jauh melibatkan indera kimiawi (chemosensory) setae yang disebut aesthetasc terletak di antennule (Hallberg et al. 1992 diacu dalam Mead and Weatherby 2002). Meminimalkan jarak di mana molekul-molekul bau harus berdifusi sebelum menjumpai sensilla adalah sangat penting untuk penciuman efektif karena dua alasan. Pertama, difusi molekul adalah proses yang lamban, dengan banyak isyarat kimia yang khas seperti asam amino yang memiliki koefisien difusi sekitar 10-9 m2/detik dalam air (Lide 1991 diacu dalam Mead and Weatherby 2002). Oleh karena itu, meningkatkan akses fluida secara substansial dapat mengurangi waktu yang diperlukan untuk molekul pembau berdifusi ke permukaan sensillar, sehingga lobster dapat merespons lebih cepat. Selain itu, Kedua, ketika fluida yang mengandung pembau dekat permukaan aesthetasc dan proses difusi cepat, perubahan konsentrasi pembau lebih akurat dan cepat tercermin pada permukaan sensillar (Mead dan Koehl 2000 diacu dalam Mead and Weatherby 2002). Organ penciuman spiny lobster Florida, Panulirus argus, terdiri dari susunan padat sensilla pada cabang-cabang lateral antennule (Gambar 2). Masing-masing sensillum tersusun tipis, dengan selubung berpori dari kutikula yang di dalamnya terdapat dendrite berbulu halus yang bercabang lebih dari 300 syaraf indera kimiawi (chemosensory neuron) utama, ditambah dengan populasi sel-sel pembantu dari nonneuronal (Grunert and Ache 1988 diacu dalam TrapidoRosethal 1990).
2.7 Pelepasan Bahan Kimiawi Umpan Kelayakan dua produk olahan dari ikan herring, yaitu tepung ikan dan tepung ikan yang diasamkan, sebagai substrat kemo-atraktan (pikatan kimiawi) yang berfungsi sebagai umpan komersial untuk American lobster (Homarus americanus) telah dilakukan pengujian di laboratorium. Ikan kering homogenat diuji sebagai standar untuk perbandingan. Tiga substrat yang diuji untuk tingkat pikatan, dan berbagai metode, termasuk pencernaan proteolitik, telah dilakukan dalam rangka untuk meningkatkan tingkat pikatan. Setelah penggabungan substrat pikatan kimiawi ke pertalian yang sesuai, maka laju pelepasan pikatan
22
kimiiawi secaraa temporal dipantau. Akhirnya, kualitas pikatan kim miawi itu dievaluasi denggan menggunakan juvennil lobster. Kedua K tepuung ikan terssebut telah ditem mukan menjjadi sumberr pikatan kim miawi yang g baik (Daniiel et al. 19889).
Keterangan : A dan B : organ pennciuman terddiri dari aesthetasc senssilla yang terrdapat pada filam men lateral antennule; a C : Setiapp sensillum berisi b dendritte dari syaraaf indera prim mer yang meemiliki sel tubuh dan axon yaang berlokasii di dalam lu umen antennuule. Distal, ddendrit yang menngandung baagian-bagiann dari sensillla dengan paanjang sekitaar 700 pm dan memiliki m diaameter internnal 18 pm. Perangsang P eksogen meelewati kutikula berpori unttuk menghuubungi dend drite. Strukttur sensillarr dari Grunert and a Ache (19988) diacu daalam Trapido o-Rosethal (11990). Gaambar 2 Orggan pencium man dan sensiilla dari spinyy lobster
Meskipuun tingkat pikatannya p dalam tepu ung ikan jaauh lebih reendah dari padaa tepung ikkan yang diiasamkan, tepung t ikan n bisa dianggkat ke tinngkat yang
23
sama baiknya melalui inkubasi dengan protease tertentu. Pikatan kimiawi dilepaskan dari dua pengujian umpan yang memiliki pola pelepasan temporal yang serupa dan membangkitkan respons mencari makanan yang sama seperti pikatan kimiawi yang dilepaskan dari umpan ikan herring alami. Namun, ikan kering homogenat ternyata mengandung kadar pikatan kimiawi yang jauh lebih tinggi dari pada tepung ikan. Ini mungkin saja terjadi, karena suhu yang lebih rendah digunakan untuk menyiapkan ikan kering homogenate (Daniel et al. 1989). Sebuah metode untuk mendeteksi fluorometrik asam amino telah digunakan untuk menentukan laju pelepasan zat kimia dari umpan ikan mackerel dan umpan buatan didasarkan pada bahan ekstrak udang. Untuk kedua umpan, pelepasan pikatan kimiawi sebagai pemikat potensi makan awalnya tinggi dan menurun pesat dalam kurun waktu 1,5 jam pertama dengan kondisi air laut yang mengalir.
Dari 2 hingga 24 jam kemudian, laju pelepasan menurun pada
kecepatan yang lebih rendah (Lokkeborg 1990). Efektivitas dari semua umpan berhubungan dengan laju difusi bahan kimia yang terkandung pada atraktan yang berasal dari bahan yang tidak larut ke lingkungan. Umpan buatan yang paling efisien adalah umpan yang telah dipersiapkan dengan memasukkan baik secara ekstrak seluruh sprats, Sprattus sprattus L. atau campuran bahan kimia attraktan murni ke dalam matriks padat dari blok padat kalsium sulfat terdehidrasi. Laju pelepasan atraktan dan efektivitas umpan buatan ditemukan secara kritis tergantung pada bentuk kristal dari blok kalsium sulfat (Mackie et al. 1978). Banyak umpan yang belum diketahui efektivitasnya telah diajukan selama bertahun-tahun pada asumsi yang masuk akal bahwa bahan kimia atraktan adalah komponen jaringan yang spesifik seperti tetesan minyak atau senyawa yang larut dalam air yang berdifusi dari umpan dan terdeteksi oleh indera penciuman kimiawi lobster (Mackie et al. 1978). Penentuan laju pelepasan bahan kimia dari umpan buatan yang mengandung kelompok senyawa amino bebas, seperti asam amino, yang ditentukan untuk berbagai umpan buatan dan untuk satu umpan alami. Hasilnya (Gambar 3) menyediakan satu penjelasan untuk efisiensi rendah dari umpan
24
buatan yang dibbuat dari agar-agar seebagai bahaan pengemuulsi lebih daari 24 jam mino telah teersebar darii agar-agar perioode penangkkapan. Sekitar setengaah asam am dalam m 1 jam daan proses diifusi pada dasarnya d terrjadi secara keseluruhaan dalam 6 jam. Sebaliknyya, pelepasaan senyawaa amino baiik dari dagiing ikan sebbelah atau y dibuat dengan gippsum atau gelatin adalaah sebuah prroses yang umpan buatan yang lebihh lambat daan laju pellepasan meendekati konstan setelaah 6-24 jam m periode penaangkapan (M Mackie et all. 1978).
Keteranngan : ○ = bahhan pengemuulsi agar ● = bahhan pengemuulsi gipsum ∆ = bah han pengemuulsi gelatin ▼= 100 0 g daging ikkan sebelah (Euuropean plaicce) Gam mbar 3
Tinngkat pelepaasan asam amino dari umpan buuatan yang berisi 2 g cam mpuran bahan kimia dalam 100 g bahan penngemulsi dibbandingkan denngan umpan alami
Pikatan kimiawi (aatraktan) yang y mungk kin terkait dengan teggas terikat denggan air dann proses diffusi yang terjadi t ke dalam d air laut akan laambat dan berkkesinambunggan sampai suatu keaddaan ekuilib brium telah tercapai. S Sebaliknya, laju difusi dari umpan buaatan diuji dalam d waktu u 24 jam harus h jauh lebih cepat karenna atraktann akan laruut dalam faase kelebih han air yanng terkanduung dalam strukktur yang taak berbentuuk dari fase padat kalsium sulfat (Mackie et al. 1978). Selannjutnya dijelaskan jugga, bahwa perbandinga p an langsungg yang dibbuat dalam percobaan ini menunjukkkan bahwa campuran bahan kim mia di dalaam umpan buatan seefektif umpan ikkan asin maackerel, tetaapi hanya sekitar s 50% % seefektif umpan segar untuk u lobstter. Dapat disimpulkaan bahwa umpan buuatan akan berhhasil mendoorong tingkkah laku peencarian makanan m oleeh lobster di habitat alam minya dengaan efisiensi yang y tidak kurang k dari setengah dari d umpan aalami.
25
2.8 Simulasi Makan dan Pikatan Kimiawi Hewan air termasuk krustasea memanfaatkan 'sinyal kimia' (rangsangan kimia) yang terbawa air untuk mengidentifikasi potensi dan berorientasi ke arah mangsa, untuk menghindari predator dan untuk menemukan lokasi pasangannya (Rittschof 1992 diacu dalam Lee and Meyers 1996). Sinyal kimia khusus ini diakui terlepas dari kompleksitas kimia lingkungan perairan Oleh karena itu, ekologi kimia hewan air sangat penting baik fisiologis dan tingkah laku untuk memahami status dan peran hewan dalam lingkungan perairan.
Fungsi dari
sinyal-sinyal kimia tertentu menjadi lebih signifikan dalam mengelola sistem biologi yang dioptimalkan untuk satu spesies hewan air sejak sinyal kimiawi ini mengatur tingkah laku makan dan mengontrol reproduksi (Lee and Meyers 1996). Hirarki tingkah laku krustasea diklasifikasikan berdasarkan responnya terhadap rangsangan kimia menjadi lima fase (Tabel 1), yaitu : (1) deteksi (detection), di mana hewan menjadi sadar akan kehadiran rangsangan kimia; (2) orientasi (orientation), dimana hewan mempersiapkan untuk melakukan gerakan karena tertarik atau menolak; (3) pergerakan (locomotion), di mana terjadi pergerakan karena tertarik atau menolak; (4) inisiasi untuk makan (initiation of feeding), di mana hewan mulai menangani dan mengkonsumsi makanan (incitant atau menekan), dan (5) kelanjutan atau penghentian makan (continuation or termination of feeding), dimana hewan makan sampai kekenyangan atau jera (Lee and Meyers 1996). Deskripsi model tingkah laku adalah asosiasi tingkah laku tertentu dengan respons lima fase ini. Krustasea menunjukkan empat kategori utama tingkah laku chemotactic : antennule menjentikkan, yang tampaknya paling sensitif, menyelidik gerakan-gerakan yang dibuat oleh pereiopods yang mendahului pergerakan; pergerakan oleh krustasea, benar menunjukkan ketertarikan atau penolakan; dan pergerakan bagian mulut yang menunjukkan stimulasi umum dalam memakan makanan. Akhirnya, makanan dan kualitas lingkungan memiliki efek langsung pada efektivitas daya tarik/stimulan makanan; Pendeteksian makanan dan stimulasi makan pada akhirnya menentukan nilai komersial dari suatu makanan hewan air (Lee and Meyers 1996).
26
Empat asosiasi tingkah laku dasar yang terkait dengan chemoreception telah dijelaskan bagi sebagian besar spesies krustasea, yaitu : (1) Menjentikkan Antennule tampaknya yang paling sensitif (2-4 kali lipat dibandingkan dengan pergerakan) dan tingkah laku meresapi terkait dengan perilaku chemoreception dari kejauhan. Menjentikkan Antennule telah digunakan berulang kali untuk menilai batas-batas fisiologis penerimaan kimia dalam krustasea (Pittet et al. 1996 diacu dalam Lee and Meyers 1996). Krustasea dapat mendeteksi larutan senyawa organik yang sangat encer, terutama asam amino, gula dan nukleotida. (2) Pergerakan oleh bagian mulut menunjukkan rangsangan makan yang umum dan dapat berfungsi dengan baik dalam jarak dan kontak chemoreception. (3) Gerakan-gerakan menyelidiki yang dibuat oleh pereiopod biasanya mendahului pergerakkan dan muncul untuk melayani dalam upaya mencari daerah sumber kimiawi, khususnya endapan dasar perairan, untuk kemungkinan adanya mangsa. (4) Pergerakkan oleh krustasea yang menunjukkan benar-benar tertarik atau menolak.
Ke-empat asosiasi tingkah laku ini mungkin memiliki korelasi
fisiologis karena penelitian telah menunjukkan bahwa antennule dan pereiopod dactyl berhubungan dengan jarak yang berkaitan dengan deteksi chemoattraction, orientasi dan pergerakkan, sementara bagian mulut berhubungan dengan kontak chemoreception yang terkait dengan penanganan makanan dan konsumsi (Derby and Atema 1982 diacu dalam Lee and Meyers 1996). Tabel 1
No. 1.
Deskripsi dan respons tingkah laku krustasea terhadap rangsangan kimiawi (Lee and Meyers 1996a) Fase Detection
Respons tingkah laku 1. Antennule flick (antennule dijentikkan atau dikibaskan) 2. Antennule wipe (antennule diseka) 3. Maxilliped beat (maxilliped bergerak dengan tempo) 4. Dactyl wave (Gerakan bergelombang dari dactyl) 5. Dactyl wipe (Dactyl diseka) 6. Head bob
Antennule digerakkan dengan cepat dari satu sisi ke sisi lainnya Antennule dibelai oleh maxilliped Maxilliped melakukan gerakan tempo cepat (> 10 beat/menit) Mactyl pereiopod melambai perlahan (1 gelombang = 10 detik) Dactyl dibelai oleh maxilliped Bagian anterior terangkat dari substrat dasar
27
Tabel 1 (Lanjutan) No. 2.
3.
4.
Fase Orientation
Locomotion
Initiation of feeding
Respons tingkah laku 7. Dactyl rake (Dactyl melakukan Penyapuan di dasar) 8. Dactyl probe (Dactyl mengorek) 9. Dactyl dig (Dactyl menggali) 10. Turn (Menoleh) 11. Walk (Berjalan) 12. Run (Berlari) 13. Search (Mencari atau berjalan) 14. Frantic search (Mencari dengan panik) 15. Grab (Menggenggam) 16. Lunge (Menyergap) 17. Pounce (Menerkam) 18. Hold (Memegang) 19. Taste (Rasa)
5.
Continuation of feeding
20. Ingest (Menelan) 21. Reject (Menolak)
Dactyl pereiopod menyeret di permukaan substrat Dactyl pereiopod digunakan untuk mengorek substrat Dactyl pereiopod digunakan untuk menggali ke dalam substrat dan substrat menyentuh tubuh Krustasea menoleh kea rah atau menjauh dari sinyal kimiawi Krustasea berjalan dari satu lokasi ke lokasi lainnya Krustasea berlari dari satu lokasi ke lokasi lainnya Krustasea mencari sebuah tempat yang luas atau berjalan dengan cara yang disengaja Tingkah laku pencarian yang intensif (berlari) Krustasea menyambar sumber atau mengambil pada sumber dengan cheliped atau dactyl Krustasea melompat maju ke arah sumber Krustasea melompat maju ke arah bawah menyentuh sumber atau substrat dengan thorax Sumber sinyal kimia dipegang dengan cheliped Sumber sinyal kimia pindah ke mulut, kontak langsung dengan mulut Sumber sinyal kimiawi pindah ke mulut dan tertelan seluruhnya atau sebagian Sumber sinyal kimiawi dijatuhkan dan krustasea mengabaikannya
28
Keterangan : (1) Detection
: Persepsi sinyal kimia oleh chemoreceptor di antennule, mulut dan pereipod
(2) Orientation
: Posisi krustasea berubah relatif terhadap posisi sebelum stimulasi, tetapi tidak bergerak dan terus melakukan respon seperti pada fase 1
(3) Locomotion
: Krustasea mulai melakukan gerakkan, baik menuju atau menjauhi dari sumber sinyal kimiawi, dan sesekali terus melakukan respon seperti pada fase 1 dan fase 2
(4) Initiation of feeding
: Krustasea tiba pada sumber sinyal kimia, berhenti bergerak cheliped
dan dan
menangani bagian
makanan mulut
dengan sehingga
chemoreceptor terkena sinyal kimiawi. Krustasea terus melakukan respon seperti pada fase 1 dan fase 2 (5) Continuation of feeding
: Krustasea baik menelan atau menolak makanan, mengakhiri makan dan terus melakukan respon seperti pada fase 1, fase 2 dan fase 4
2.9 Taksonomi, Morfologi, Habitat dan Penyebaran Lobster Tubuh lobster diselubungi dengan kerangka kulit yang keras dan berzat kapur serta terdapat duri-duri. Pada kerangka kulit ini terdapat warna-warna yang indah. Duri-duri besar dan kecil yang kukuh serta tajam-tajam mulai dari ujung sungut kedua (second antenna), kepala, bagian belakang badannya (abdomen) dan lembaran ekornya (Subani 1978).
29
Gambar 4
Bagian-baagian tubuh lobster l (http://research.myfwcc.com 2 Jan 2010) 2
M Menurut Holthuis (19911), lobster yang y terkaitt dengan G Genus Panulirus, diklasifikaasikan sebaagai berikut : Kingdom : Animalia Phylluum : Arthroppoda Claass : Crustaccea O Order : Deccapoda Sub Ordder : Macrurra Reptantiaa Superr Family : Paalinuroidea Faamily : Palinnuridae Genus : Panulirus P Speciees : Panullirus argus
Panu ulirus cygn nus Panullirus echinaatus Panullirus graciliis
30
Panulirus guttatus Panulirus homarus (Linnaeus 1758) Panulirus inflatus Panulirus interruptus Panulirus japonicus Panulirus laevicauda Panulirus longipes (Milne Edwards 1868) Panulirus marginatus Panulirus ornatus (Fabricius 1798) Panulirus pascuensis Panulirus penicillatus (Olivier 1791) Panulirus polyphagus (Herbst 1793) Panulirus regius Panulirus stimpsoni Panulirus versicolor (Latreille 1804) Menurut Williams (1986), jenis lobster yang tertangkap di perairan selatan Jawa adalah : (1) Lobster hijau pasir (Panulirus homarus); (2) Lobster bunga (Panulirus longipes); (3) Lobster mutiara (Panulirus ornatus); (4) Lobster batu (Panulirus penicillatus); (5) Lobster bambu coklat (Panulirus polyphagus); dan (6) Lobster hijau (Panulirus versicolor). Ciri-ciri khusus lobster yang hidup di seluruh perairan pantai di Indonesia adalah (Moosa dan Aswandy 1984; Holthuis 1991) : (1)
Lobster hijau pasir (Panulirus homarus Linnaeus 1758) Lobster ini bernama Scalloped spiny lobster (nama Inggris) dan Udang karang (nama Indonesia). Lobster ini mempunyai warna dasar kehijauan atau kecoklatan dengan dihiasi bintik-bintik terang tersebar di seluruh permukaan segmen abdomen.
Kaki berbercak-bercak putih.
Ukuran
panjang tubuh maksimum adalah 31 cm, panjang karapas 12 cm dan ratarata panjang tubuh antara 20 – 25 cm. Panulirus homarus aktif di malam hari dan hidup berkoloni. Lobster mendiami perairan dangkal antara 1 – 90 meter, kebanyakan berada pada kedalaman 1 – 5 meter dan tinggal diantara
31
batuu-batu, serinng di zona ombak, o kadaang-kadang di air agak keruh. Lo obster mudda mempunnyai toleraansi yang cukup beesar terhaddap kekeru uhan, sedaangkan lobsster dewasa lebih meny yukai perairran yang cerrah. Penyeb baran secaara geografiis lobster inni berada di d Indo-Pasiifik Barat, A Afrika Timu ur ke Jepaang, Indonesia, Australlia dan Kaleedonia Baruu. Penyebarran lobster ini di wilaayah perairan Pulau Jawa J
adallah di peraairan Telukk Pelabuhan nratu,
Pam meungpeuk, Pacitan, Taanjung Panaaitan, dan Keepulauan Seeribu.
Gaambar 5
(2)
Penyebaran geografis lobster P l hijauu pasir (Paanulirus hom marus L Linnaeus 17558)
Lobster bunga (Panulirus ( longipes Milne M Edwarrds 1868) Lobster ini bernnama Longglegged spin ny lobster (nama Inggrris). Lobsteer ini berw warna dasarr kecoklataan dengan warna w kebiiruan pada ruas I anteenna. Abddomen berbiintik-bintik putih. Kaaki jalan berbintik-binttik putih deengan warnna pucat memanjang m p pada tiap-tiiap ruas kakki. Ukurann panjang tubuh t makksimum adaalah 30 cm dengan d rata-rata panjanng tubuh anntara 20 – 25 5 cm, dan maksimum m panjang karapas k 12 cm dengann rata-rata ppanjang karrapas antaara 8 – 10 cm.
Pannulirus long gipes menddiami temppat yang seedikit
terlindung dan menyukai perairan p yan ng bersifat oseanik. o Loobster ini tin nggal
32
di dalam lubang l batuu atau karanng dan padaa malam harri naik ke tuubir untuk mencari makan. m Lobbster hidup di air yang g jernih ataau sedikit kkeruh pada kedalamann antara 1 – 18 m (m meskipun ditemukan d juga pada kkedalaman perairan 122 m) di daaerah berbaatu dan teru umbu karangg, aktif di m malam hari dan hidupp soliter. Peenyebaran geografis g lo obster ini berada di Inndo-Pasifik Barat, Affrika Timurr ke Jepanng dan Pollinesia.
D Dua sub-speesies yang
dikenali sebagai PI longipes l addalah lobsteer wilayah barat b yang mendiami dari Afrikka Timur kee Thailand, Taiwan, Filipina dan Indonesia, I sedangkan lobster wiilayah timuur yang dikkenali deng gan sub-speesies PI fem moristriga mendiami Jepang, Maluku, M Papuua New Gu uinea, Austrralia timur, Kaledonia baru dan Polinesia. P P Penyebaran lobster ini di wilayahh perairan P Pulau Jawa adalah di perairan p Panngandaran dan d Situbon ndo.
Gam mbar 6 Penyyebaran geoggrafis lobsterr bunga (Pannulirus longiipes Milne Edwards 1868)
(3)
Lobster mutiara m (Pannulirus ornaatus Fabriciu us 1798) Lobster inni bernamaa Ornate spiny s lobsteer (nama Inggris). L Lobster ini memiliki warna dasaar biru kehhijauan sam mpai biru kekuningan. k . Segmen
33
abdoomen berw warna kegeelapan pad da bagian tengah ddan bagian sisi mem mpunyai berrcak putih. Kaki bercaak putih. Lobster ini meendiami perrairan danggkal di panttai antara 1 – 8 m yan ng kadang-kkadang sediikit keruh, tetapi t jugaa ditemukann pada kedallaman lebih h dari 50 m.. Hidup di substrat berrpasir dan berlumpur, kadang-kadang di baw wah batu daan terumbu karang. Lo obster ini memiliki m u ukuran panjjang maksimum hinggga 50 cm, tetapi biassanya ukurrannya jauhh lebih kecill, yaitu antaara 30 – 35 cm. c
Penyeebaran geog grafis
lobsster ini beraada di Indo--Pasifik Barrat dari Lauut Merah daan Afrika Timur, T ke selatan s Jeppang, Kepullauan Solomon, Papuua New Guuinea, Austtralia, Kaleedonia Baruu dan Fiji. Tahun T 1988 8, lobster inni ditemukann di pantai timur t Israeel di Meditterania. Peenyebaran lobster ini di d wilayah perairan seelatan Pulaau Jawa adaalah di peraiiran Teluk Pelabuhanra P atu, Pameunngpeuk, Tan njung Panaaitan, dan kepulauan k S Seribu.
Gambar 7 Penyebaran geografis lobster l mutiaara (Panuliruus ornatus Faabricius 1798 8)
34
(4)
Lobster baatu (Panulirrus penicillaatus Olivierr 1791) Lobster inni bernamaa pronghornn spiny lob bster (namaa Inggris) ddan udang barong (nnama Indoneesia). Lobster ini berrwarna dasaar hijau muuda sampai hijau kecooklatan.
L Lobster janntan biasany ya berwarnna lebih geelap. Kaki
berwarna putih. Mendiami peraiiran dangkaal antara 1 – 4 m dengaan substrat berbatu. Kondisi K air jernih, tidaak dipengaru uhi oleh sunngai, seringkkali dalam zona surfi fing dan daalam perairaan bergelom mbang. Olleh karena itu sering berada di dekat pantaai dan pulauu-pulau kecil. Lobster ini aktif paada malam hari dan hidup h soliteer. Panjangg tubuh maaksimum sekitar 40 cm m, panjang tubuh lobster dewasaa sekitar 300 cm. Lob bster jantann biasanya jjauh lebih besar dibaandingkan betina. b Peenyebaran geografis g beerada di Inndo-Pasifik Barat dann Pasifik Tiimur : Lautt Merah, tiimur Afrikaa ke Jepangg, Hawaii, Samoa daan Kepulauaan Tuamotuu dan lebih h ke timur ke pulau-pulau lepas pantai barrat Amerikaa (Pulau Clipperton, Kepulauan K Revillagigeedo, Pulau Cocos, Keepulauan Gaalapagos) dan di beberaapa daerah dekat pantaai Meksiko (Sinaloa, Nayarit N dann Guerrero).. Penyebaraan lobster inni di wilayaah perairan selatan Puulau Jawa adalah a di peerairan Telu uk Pelabuhaanratu, Pam meungpeuk, Pacitan, dan Tanjung Panaitan.
Gambar 8 Penyebaran geografis lobster batu (P Panulirus pennicillatus Oliivier 1791)
35
(5)
Lobster bambu coklat (Pannulirus polyyphagus Herbst 1793) Lobster ini berrnama mud spiny lobsster (nama Inggris) daan udang baarong (nam ma Indonesia). Lobsterr ini memilliki warna dasar hijauu muda keb biruan denggan garis putih p melinttang terdap pat pada settiap segmenn. Kaki beercak putihh. Panuliruus polyphaggus mendiaami perairaan yang keeruh dan sering s ditem mukan hiduup pada dasaar laut yang g berlumpurr dengan kissaran kedalaaman peraairan antaraa 3 – 90 m,, tapi biasaanya pada kedalaman k ddi bawah 40 4 m. Panjjang tubuh maksimum m dapat men ncapai 40 cm m dengan rrata-rata pan njang tubuuh antara 20 2 – 25 cm m. Penyebaaran geograafis berada di Indo-Paasifik Baraat : mulai daari pantai Pakistan P dan n India ke Vietnam, V Filiipina, Indon nesia, Baraat Laut Ausstralia dan Teluk T Papu ua.
Penyebbaran lobsteer ini di willayah
peraairan selataan Pulau Jawa J adalaah di peraiiran Teluk Pelabuhan nratu, Pam meungpeuk, dan Tanjunng Panaitan.
Gam mbar 9 Penyyebaran geoografis lobsteer bambu coklat c (Panuulirus polyph hagus Herbbst 1793)
36
(6)
Lobster baambu hijau (Panulirus versicolor Latreille L 18804) Lobster inni bernama painted p spinny lobster (nama ( Inggrris) dan udaang barong (nama Inddonesia). Lobster L ini memiliki m waarna-warni yang indahh. Antenna berwarna merah jam mbu di bagiian dasarny ya dan warrna yang seerupa juga d lobsteer adalah hiijau terang terlihat paada bagian sisi karapass. Warna dasar dengan gaaris putih melintang m y yang diapit oleh garis hitam. Paada lobster yang masih muda warna daasarnya adaalah kebiruuan atau keunguan. Panulirus versicolor mendiami perairan daangkal darii sublitoral hingga ke kedalamann 15 m, di daerah terrumbu karaang, di peraairan yang jjernih dan daerah suurfing.
L Lobster ini aktif pada malam haari dan hiduup soliter.
Panjang tubuh t makssimum dapaat mencapaai 40 cm dan d rata-ratta panjang tubuh adaalah kurangg dari 30 cm m. Penyeb baran geogrrafis beradaa di IndoPasifik Baarat : mulaii dari Laut Merah dan n seluruh paantai timur Afrika, ke selatan Jeepang, Mikkronesia, Melanesia, M Australia Utara U dan Polinesia. Penyebaraan lobster ini i di wilayyah perairan n Pulau Jaw wa adalah ddi perairan Teluk Pelabuhanratu, Pameungppeuk, Tanju ung Panaitaan, kepulauan Seribu, dan Situboondo.
Gam mbar 10 Penyyebaran geoggrafis lobsterr hijau (Panu ulirus versicoolor Latreillee 1804)
37
2.10 Tingkah Laku Lobster Lobster atau udang karang disebut juga udang barong. Lobster ini hidup pada perairan berbatu karang dan di dasar laut yang berpasir karang halus dengan perairan yang mempunyai iklim tropis dan mempunyai suhu rata-rata 28ºC (Suman et al. 1993; Moosa dan Aswandy 1984). Lobster termasuk organisme yang bersifat nocturnal, yaitu mempunyai sifat tidak aktif bergerak dalam mencari makan dan sumber makanannya pun terdiri dari binatang-binatang laut yang hidupnya menetap pada dasar perairan di sekelilingnya, seperti mollusca, bivalvia, bulu babi, teripang, dan bangkai ikan. Lobster keluar dari persembunyiannya pada malam hari untuk mencari makan, dan meskipun lobster hidup pada perairan yang lebih dalam pada siang hari, pada malam hari biasanya akan menuju perairan yang lebih dangkal sampai dengan kedalaman kurang lebih satu meter (Moosa dan Aswandy 1984). Hal ini juga diperkuat oleh pendapat Phillips and Cobb (1980), bahwa pada malam hari lobster meninggalkan liang untuk mencari makan pada daerah terdekat dengan habitatnya, seperti pada batu karang datar dan hamparan rumput laut dan karena lobster adalah hewan nocturnal. Pada saat bulan bulan gelap udang karang akan bergerak bebas dan beraktivitas sampai pada kedalaman 11 – 15 meter. Waktu tersebut sangat cocok untuk dilakukan penangkapan lobster.
Lobster merupakan organisme yang
bersifat fototaksis negatif. Pada fase bulan purnama udang karang akan bergerak ke arah yang lebih dalam sampai kedalaman lebih dari 20 meter, atau membenamkan diri ke dalam substrat dan bersembunyi di dalam karang (Prasetyani 2001). Kegiatan penangkapan lobster akan sangat tergantung dari penggunaan umpan sebagai sumber makanannya.
Makanan alami yang digemari lobster
adalah dari jenis binatang lunak (mollusca), seperti keong dan kekerangan; binatang berkulit duri (echinodermata), seperti bulu babi, bintang laut dan teripang atau lili laut (Moosa dan Aswandy 1984).
Pada alat tangkap krendet,
jenis umpan yang biasa digunakan untuk menangkap lobster adalah ikan rucah, jenis-jenis molusca dan gastropoda serta kelapa bakar (Kholifah 1998).
38
Penggunaan kulit hewan dapat dijadikan sebagi umpan alternatif karena kandungan protein dalam kulit hewan tersebut. Moosa dan Aswandy (1984), menyatakan bahwa protein kulit hewan terdiri dari 96% protein terbentuk (fibrous protein) dan 4% protein tak terbentuk (globural protein). terdiri dari atas kolagen, elastin dan keratin.
Protein terbentuk
Adanya komponen-komponen
dalam kulit tersebut, memungkinkan penggunan kulit tersebut sebagai umpan untuk menangkap lobster, sesuai dengan sifat lobster yang menyukai jenis makanan atau umpan yang mengandung protein dan lemak yang tinggi. Umpan yang mempunyai komposisi protein, lemak dan chitine yang tinggi serta mempunyai bau yang menyengat sangat disukai oleh lobster. Umpan kulit kambing dapat digunakan sebagai umpan alternatif pada alat tangkap krendet, selain umpan krunken (kelapa bakar) dan siput laut (Kholifah 1998). Selain umpan kulit kambing, umpan dari jenis kulit hewan lainnya seperti kulit sapi juga dapat digunakan sebagai umpan alternatif pada alat tangkap krendet untuk meningkatkan hasil tangkapan lobster (Febrianti 2000).
Tertangkapnya
lobster dengan menggunakan umpan asli atau umpan buatan tidak saja karena umpan tersebut mengandung urea, serta perangkap juga berfungsi sebagai tempat berlindung (shelter) dari predator (Williams 1988).
3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian tentang rancang bangun bubu lobster modifikasi dan penggunaan umpan alternatif untuk penangkapan lobster dilakukan berdasarkan penelitian skala laboratorium dan skala lapangan. 3.1.1 Penelitian skala laboratorium (1)
Kajian desain dan konstruksi dan pembuatan bubu lobster penelitian serta pemilihan umpan alternatif. Kegiatan kajian desain dan konstruksi bubu lobster dan pemilihan umpan alternatif dilakukan pada bulan Januari 2008 hingga Desember 2009. Informasi data penelitian diperoleh dalam bentuk buku dan artikel jurnal dari perpustakaan, yaitu di Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan FPIK-IPB Bogor, Fakultas Peternakan IPB Bogor, LSI-IPB Bogor, Balai Pengembangan Perikanan Laut Muara Baru Jakarta, Balai Besar Pengembangan Penangkapan Ikan Semarang, dan Perpustakaan Tokyo University of Marine Science and Technology (TUMSAT) Tokyo, Japan.
Selain itu, informasi data penelitian juga diperoleh dengan
pengunduhan artikel jurnal melalui internet (e-journal), baik jurnal Fisheries Science, Fisheries Research, Australian Journal of Marine and Fresh Water Research, ICES Journal Marine Science dan sebagainya.
Sedangkan
rancang bangun bubu lobster modifikasi dilakukan pada bulan Januari – Juni 2010. Gambar desain bubu lobster modifikasi yang telah tercipta, menjadi acuan untuk dilakukan rancang bangun bubu lipat modifikasi sesuai dengan desain yang dihasilkan. Bingkai (frame) bubu dibuat di Cirebon, kemudian dilakukan pemasangan badan jaring dan konstruksi lainnya di Laboratorium Teknologi Penangkapan Ikan, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. (2)
Analisis protein dan lemak umpan dilakukan di Laboratorium Konservasi Satwa Langka dan Harapan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, LPPM IPB.
40
3.1.2 Penelitian skala lapangan (1)
Pengujian bubu lobster modifikasi dengan menggunakan umpan tembang sebagai umpan standar yang biasa digunakan nelayan dalam penangkapan lobster.
Kegiatan ini dilakukan pada bulan Juli dan Agustus 2011 di
perairan Teluk Pelabuhanratu. (2)
Pengujian bubu lobster modifikasi dengan umpan alternatif yang dilakukan pada bulan Agustus dan September 2011 di perairan Teluk Pelabuhanratu.
(3)
Pengambilan sampel umpan berdasarkan lama perendaman di air laut sebagai sampel analisis protein dan lemak umpan. Kegiatan ini dilakukan pada bulan September 2011, dimana pengambilan sampel dilakukan di Pelabuhanratu.
Gambar 11 Lokasi penelitian di Pelabuhanratu Jawa Barat
41
3.2 Alat dan Bahan Penelitian 3.2.1 Penelitian skala laboratorium (1)
Kajian desain dan konstruksi dan pembuatan bubu lobster penelitian serta pemilihan umpan alternatif Alat dan bahan penelitian dalam kegiatan desain bubu lipat modifikasi terdiri dari perangkat komputer yang terhubung dengan sistem internet yang digunakan untuk mengunduh informasi jurnal terkait dengan referensi konstruksi bubu dan umpan, peralatan tulis-menulis, Kamera digital untuk mereproduksi foto dalam bentuk file. Alat dan bahan penelitian dalam kegiatan pembuatan bubu lipat penelitian terdiri dari jaring PE ms 1,5 inci 210 D/18, benang PE dia. 2 mm dan 5 mm, lembar plastik tebal 1 mm, pisau, gunting, meteran gulung panjang 5 meter, dan coban plastik.
(2)
Analisis protein dan lemak umpan Alat dan bahan yang digunakan adalah sampel ikan tembang dan cacing tanah yang diperoleh dari pengambilan sampel di lapangan.
Analisis
protein umpan dibutuhkan masing-masing 0,25 gram sampel, selenium 0,25 gram, 3 ml H2SO4 pekat, 50 ml aquades, 20 ml NaOH 40%, 10 ml H3B03 2%, 2 tetes indicator Brom Cresol Green-Methyl Red warna merah muda, HCL 0,1 N, destilasi titrasi, labu Erlenmeyer, dan botol labu kjeldahl. Analisis lemak umpan dibutuhkan masing-masing 2 gram sampel, kapas, kertas saring, labu soxhlet, dan pelarut lemak. 3.2.2 Penelitian skala lapangan Alat dan bahan penelitian skala lapangan yang bersifat umum dan digunakan dalam pengujian bubu lobster modifikasi dengan menggunakan umpan tembang dan pengujian bubu lobster modifikasi dengan umpan alternatif antara lain adalah timbangan, salinometer, Thermometer batang, ember, karamba apung, mistar, alat tulis camera digital, dan laptop seperti terlihat pada Tabel 2.
42
Tabel 2 Alat dan bahan penelitian No. 1 2
Salinometer
Spesifikasi Kapasitas 2 kg dan 5 kg Portable
3
Thermometer batang
Portable
4
Ember
Kapasitas 5 kg
5
Karamba apung
6
Penggaris
4mx4mx2m (pxlxt) Panjang 30 cm dan 50 cm
7
Alat tulis
8 9
Kamera digital Laptop
(1)
Alat dan bahan Timbangan
Toshiba
Kegunaan Pengukuran berat (gram) per ekor hasil tangkapan Pengukuran salinitas permukaan perairan Pengukuran suhu permukaan perairan Tempat penampungan umpan dan hasil tangkapan Tempat penampungan hasil tangkapan Pengukuran panjang karapas lobster, panjang ikan, dan lebar karapas rajungan Pencatatan data respon hasil experimental fishing Dokumentasi kegiatan Penyimpanan data penelitian
Pengujian bubu lobster modifikasi dengan menggunakan umpan tembang Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 1 unit perahu milik nelayan lokal, 1 unit alat tangkap bubu lipat penelitian dengan sistem longline, timbangan masing-masing dengan maksimum kapasitas beban 2 kg dan 5 kg, salinometer, thermometer batang, 2 buah ember, 1 unit karamba apung milik nelayan, bandul tali, alat tulis, penggaris, kamera digital dan laptop. Bahan yang digunakan adalah tembang (kondisi segar) yang akan digunakan sebagai umpan untuk kegiatan selama 31 trip operasi penangkapan. Alat dan bahan utama penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Alat dan bahan utama penelitian No. 1
Alat dan bahan Perahu
2.
Alat tangkap bubu lipat penelitian : (a) 4 buah bubu lipat modifikasi pintu samping (MPS) – satu pintu (b) 4 buah bubu lipat modifikasi pintu atas (MPA) – satu pintu (c) 4 buah bubu lipat standar (S) – dua pintu
3
Ikan tembang (segar)
Spesifikasi 9 m x 1,2 m x 0,8 m (pxlxt) Ukuran bubu lipat 60 cm x 45 cm x 30 cm (pxlxt). Frame bubu besi galvanis dia. 6 mm. Jaring bubu (cover net) PE ms 1,5 inci 210 D/18. 1 kg = 15 - 17 ekor
Kegunaan Experimental fishing Perolehan data respon hasil experimental fishing
Umpan pada bubu lipat
43
(2)
Pengujian bubu lobster modifikasi dengan umpan alternatif Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 1 unit perahu milik nelayan lokal, 1 unit alat tangkap bubu lipat penelitian dengan sistem longline, timbangan masing-masing dengan maksimum kapasitas beban 2 kg dan 5 kg, salinometer, thermometer batang, 2 buah ember, 1 unit karamba apung milik nelayan, bandul tali, alat tulis, penggaris, kamera digital dan laptop. Bahan yang digunakan adalah tembang (kondisi segar) yang akan digunakan sebagai umpan standar dan cacing tanah (kondisi hidup) untuk kegiatan selama 20 trip operasi penangkapan. Alat dan bahan utama penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Alat dan bahan utama penelitian No. 1
Alat dan bahan Perahu
Spesifikasi 9 m x 1,2 m x 0,8 m (pxlxt) Ukuran bubu lipat 60 cm x 45 cm x 30 cm (pxlxt). Frame bubu besi galvanis dia. 6 mm. Jaring bubu (cover net) PE ms 1,5 inci 210 D/18.
3
Alat tangkap bubu lipat penelitian : (d) 6 buah bubu lipat modifikasi pintu samping (MPS) – satu pintu (e) 6 buah bubu lipat standar (S) – dua pintu Tembang (segar)
Berat 50 – 100 gram
4
Cacing tanah (hidup)
Berat 50 – 100 gram
2.
(3)
Kegunaan Experimental fishing Perolehan data respon hasil experimental fishing
Umpan pada bubu lipat Umpan pada bubu lipat
Pengambilan sampel umpan berdasarkan lama perendaman di air laut Alat dan bahan yang digunakan adalah 7 kantong sampel ikan tembang yang masing-masing kantong sampel terdiri dari 4-5 ekor atau 400-500 gram dan 7 kantong sampel cacing tanah yang masing-masing kantong sampel terdiri dari 100-200 gram.
Masing-masing kantong sampel
merupakan hasil perendaman di dalam air laut dengan waktu perendaman masing-masing 0, 1, 2, 3, 6, 9, dan 12 jam. Untuk mempertahankan kondisi sampel dalam keadaan beku, maka diperlukan es batu yang dihancurkan dan stirofoam box.
44
3.3 Kerangka Penelitian Skematik kerangka penelitian dapat dilihat pada Gambar 12, dimana terdapat input, proses dan output yang akan menegaskan langkah dan tahapan penelitian. Input terdiri dari kondisi eksisting permasalahan desain dan konstruksi bubu dan umpan serta kebutuhan yang diperlukan dalam rangka pengembangan. Pada kondisi ini diharapkan ada solusi yang dapat menyelesaikan permasalahan tersebut dan pada akhirnya dapat menjadi acuan yang baik dalam upaya pengembangan. Proses merupakan ruang lingkup penelitian yang terdiri dari tahap penelitian awal yang mereprestasikan kondisi eksisting permasalahan dan upaya pembuatan desain dan konstruksi bubu lobster. Terkait dengan aspek teknis bubu, maka kajian awal untuk pemilihan jenis umpan alternatif juga dilakukan untuk menjadi paket penelitian yang utuh bahwa alat tangkap bubu disandingkan dengan penggunaan umpan alternatif pilihan. Hasil tahap penelitian awal akan dilanjutkan dengan tahapan penelitian berikutnya, yaitu studi efektivitas bubu lobster modifikasi dengan menggunakan umpan standar dan umpan alternatif dengan melakukan kegiatan experimental fishing skala lapangan. Untuk dapat menjawab aspek efektivitas umpan, maka dilakukan juga dilakukan analisis kandungan kimia alami umpan berdasarkan lama perendaman di laut. Secara keseluruhan akan dilakukan pembahasan terkait dengan pencapaian tujuan penelitian. Output atau keluaran dalam penelitian ini adalah informasi tentang desain dan konstruksi bubu lobster modifikasi dan umpan alternatif yang bermanfaat bagi pengembangan teknologi penangkapan lobster yang efektif, efisien dan ramah lingkungan serta sesuai dengan kebutuhan masyarakat nelayan.
3.4 Metode penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini bersifat parsial tergantung pada bentuk rancangan penelitian yang akan dilakukan, baik dalam penelitian skala laboratorium maupun skala lapangan.
45
INPUT MASALAH BUBU DAN UMPAN - Ukurannya besar, berat, massif dan kaku - Pintu bubu terbuka sehingga peluang pelolosan target tangkapan sangat besar - Umpan yang berasal dari laut tersedia, tapi bersaing dengan kebutuhan konsumsi masyarakat dan harga cukup mahal
KEBUTUHAN - Ukurannya kecil dan efisien yang dapat dioperasikan oleh perahu kecil dengan jumlah alat tangkap yang banyak - Diperlukan rekayasa pintu jebakan pada pintu masuk bubu sehingga dapat mereduksi pelolosan target tangkapan dari bubu - Diperlukan umpan alternatif
PROSES
STUDI DESAIN DAN KONSTRUKSI BUBU LOBSTER & PEMILIHAN UMPAN ALTERNATIF EKSISTING PENANGKAPAN LOBSTER
ALAT TANGKAP
UMPAN
ANALISIS DAN PEMILIHAN UMPAN ALTERNATIF
RANCANGAN DESAIN
RANCANG BANGUN
SKALA LABORATORIUM
SKALA LAPANGAN
PENGUJIAN
KANDUNGAN KIMIAWI UMPAN
EFEKTIVITAS BUBU LOBSTER
KETAHANAN UMPAN
EFEKTIVITAS UMPAN
ANALISIS
OUTPUT
RANCANG BANGUN BUBU LOBSTER TEPAT GUNA & UMPAN ALTERNATIF YANG EFEKTIF
Gambar 12 Kerangka penelitian
46
3.4.1 Pengumpulan Data 3.4.1.1 Penelitian skala laboratorium (1)
Kajian desain dan konstruksi dan pembuatan bubu lobster penelitian serta pemilihan umpan alternatif Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode desk study terhadap informasi dan perkembangan bubu yang diperoleh dari jurnal penelitian dan buku-buku perikanan tangkap lainnya. Metode deskriptif akan digunakan untuk memberikan gambaran terhadap desain dan konstruksi bubu dan jenis umpan alternatif yang akan dihasilkan dalam penelitian ini.
Perkembangan desain bubu yang sudah ada akan
menentukan dalam analisis pemilihan desain bubu standar sebelum dimodifikasi sebagai tujuan pengembangan desain bubu lobster. Tahap–tahap pelaksanaan penelitian adalah sebagai berikut : (a)
Melakukan kunjungan ke berbagai perpustakaan untuk memperoleh informasi dalam bentuk buku dan artikel jurnal, yaitu di Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan FPIK-IPB Bogor, LSI-IPB Bogor, Balai Pengembangan Perikanan Laut Muara Baru Jakarta, Balai Besar Pengembangan Penangkapan Ikan Semarang, dan Perpustakaan Tokyo University of Marine Science and Technology (TUMSAT) Tokyo, Japan.
(b)
Melakukan pengunduhan artikel jurnal melalui internet (e-journal), baik jurnal Fisheries Science, Fisheries Research, Australian Journal of Marine and Fresh Water Research, ICES Journal Marine Science dan sebagainya.
(2)
Analisis protein dan lemak umpan Sampel umpan penelitian (cacing tanah dan tembang) untuk analisis protein dan lemak dilakukan dengan perendaman di laut dengan waktu perendaman yang berbeda, yaitu 0 jam, 1 jam, 2 jam, 3 jam, 6 jam, 9 jam dan 12 jam. Waktu perendaman adalah ± 12 jam yang dimulai dari sore hari menjelang malam hingga keesokan pagi harinya. Masing-masing umpan dimasukkan ke dalam kantong umpan dari bahan kawat kasa aluminium dan posisi sampel umpan terendam pada kedalaman 2-3 meter dan tergantung pada tali
48
Tabel 5 Spesifikasi alat tangkap bubu lipat penelitian No. 1 2 3 4 5 6 7
Bagian alat tangkap Pelampung tanda (floating buoy) (4 buah) Tali pelampung (floating line) (2 buah) Pemberat (sinker) (2 buah) Tali pemberat (sinker line) (2 buah) Tali utama (main line) (1 set) Tali cabang (branch line) (12 buah) Bubu lipat modifikasi pintu samping (4 buah)
8
Bubu lipat modifikasi pintu atas (4 buah)
9
Bubu lipat standar (4 buah)
(2)
Spesifikasi Plastik dia. 30 cm PE dia. 10 mm; Panjang 25 m Batu ± 30 kg PE dia 10 mm; Panjang 5 m PE dia. 10 mm; Panjang 130 m PE dia 6 mm; Panjang 5 m Frame besi galvanis dia 6 mm Cover net PE ms 1,5 inci d18 60 cm x 45 cm x 30 cm (pxlxt) Frame besi galvanis dia 6 mm Cover net PE ms 1,5 inci d18 60 cm x 45 cm x 30 cm (pxlxt) Frame besi galvanis dia 6 mm Cover net PE ms 1,5 inci d18 60 cm x 45 cm x 30 cm (pxlxt)
Pengujian bubu lobster modifikasi dengan umpan alternatif Setiap bubu lipat penelitian, baik bubu lipat modifikasi pintu samping, maupun bubu lipat standar akan menggunakan jenis umpan yang berbeda, yaitu tembang (Sardinella spp) dan cacing tanah (Lumbricus rubellus). Penyusunan bubu lipat penelitian dalam satu rangkaian sistem longline disusun secara acak. Spesifikasi bubu lipat penelitian dapat dilihat pada Tabel 6 dan Gambar 14.
Tabel 6 Spesifikasi alat tangkap bubu lipat penelitian No. 1 2 3 4 5 6 7
8
Bagian alat tangkap Pelampung tanda (floating buoy) (4 buah) Tali pelampung (floating line) (2 buah) Pemberat (sinker) (2 buah) Tali pemberat (sinker line) (2 buah) Tali utama (main line) (1 set) Tali cabang (branch line) (12 buah) Bubu lipat modifikasi pintu samping (6 buah)
Bubu lipat standar (6 buah)
Spesifikasi Plastik dia. 30 cm PE dia. 10 mm; Panjang 25 m Batu ± 30 kg PE dia 10 mm; Panjang 5 m PE dia. 10 mm; Panjang 130 m PE dia 6 mm; Panjang 5 m Frame besi galvanis dia 6 mm Cover net PE ms 1,5 inci d18 60 cm x 45 cm x 30 cm (pxlxt) Frame besi galvanis dia 6 mm Cover net PE ms 1,5 inci d18 60 cm x 45 cm x 30 cm (pxlxt)
47
dan terikat pada bambu bagan tancap. Setiap selesai waktu perendaman, maka sampel umpan dimasukkan ke dalam plastik sampel dan disimpan sementara pada kotak stirifoam yang berisi es curah.
Keesokan pagi,
seluruh sampel dimasukkan ke dalam freezer untuk dibekukan.
Tembang dimasukkan ke dalam kantung umpan
Sampel dalam kantung umpan siap untuk direndam
Cacing tanah dimasukkan ke dalam kantung umpan Gambar 13
Perendaman umpan untuk sampel uji proksimat (Kadar protein dan lemak kasar)
3.4.1.2 Penelitian skala lapangan (1)
Pengujian bubu lobster modifikasi dengan menggunakan umpan tembang Setiap bubu lipat penelitian, baik bubu lipat modifikasi pintu samping, bubu lipat modifikasi pintu atas maupun bubu lipat standar akan menggunakan jenis umpan yang sama, yaitu tembang (Sardinella spp). Penyusunan bubu lipat penelitian dalam satu rangkaian sistem longline disusun secara acak. Spesifikasi bubu lipat penelitian dapat dilihat pada Tabel 5 dan Gambar 14.
49
Pelampung tanda Plastik dia 30 cm
Kolom perairan Tali pelampung PE dia.10 mm Panjang 25 m Pemberat Batu ±30 kg
Kedalaman < 15 m
Tali utama
Bubu lipat penelitian
Tali cabang
Dasar perairan
Pemberat
Gambar 14 Alat tangkap bubu lipat penelitian sistem longline
3.4.2 (1)
Kegiatan operasi penangkapan Setting alat tangkap Kegiatan operasi penangkapan dilakukan di perairan pesisir pada kedalaman perairan antara 5 – 12 meter. Substrat dasar perairan terdiri dari pasir, lumpur dan batu karang. Perjalanan ke daerah penangkapan hanya membutuhkan waktu 10 menit. Setting atau pemasangan alat tangkap bubu lipat penelitian ke dasar perairan dilakukan pada sore hari kurang lebih antara pukul 17.00 – 18.00 WIB. Kegiatan setting membutuhkan waktu sekitar 30 menit. Persiapan setting dilakukan dengan memasang umpan ikan tembang pada masing-masing bubu.
Kondisi umpan tembang adalah segar karena diperoleh dengan
membeli langsung dari hasil tangkapan bagan tancap. Seperti yang diungkapkan oleh Fielder (1965), bahwa lobster lebih menyukai jenis umpan dalam keadaan segar (fresh) dan diduga selain kandungan zat yang dimilikinya juga berkaitan dengan aroma (bau) kimiawi yang juga ditimbulkannya Setelah umpan selesai dipasangkan pada setiap bubu lipat penelitian, kapal bergerak perlahan dan unit alat tangkap bubu lipat sistem longline di setting ke perairan yang dimulai dari pelampung tanda pertama, tali pemberat, pemberat dan satu-persatu bubu lipat diturunkan dan bagian terakhir adalah pelampung tanda kedua.
Bersamaan dengan dilakukan
50
setting alaat tangkap bubu lipat juga dilaku ukan penguukuran terhadap suhu dan salinittas pada tem mpat dan waaktu tersebu ut.
Gambar 15 Perahu peneelitian
Gambarr 16 Pemasanngan umpan cacing
Gam mbar 17 Pemaasangan umppan tembangg
Gam mbar 18 Settting alat tanggkap
(2)
Soaking tiime alat tan ngkap Soaking time t atau lama l perendaman alatt tangkap bubu b lipat penelitian dilakukan selama ± 12 jam, yaaitu mulai sore s hari hiingga keesookan pagi. Berdasarkkan hasil pennelitian yanng telah dilaakukan, bahhwa lama peerendaman (soaking time) t bubu untuk penaangkapan lo obster adalaah 12 jam, yyaitu pada malam haari (Miller and a Rodgerr 1996). Lo obster termaasuk organiisme yang bersifat nocturnal, n d dimana lobbster keluar dari perssembunyiannnya pada malam haari untuk mencari m makkan. Meskip pun lobsterr hidup padda perairan yang lebihh dalam padda siang haari, pada maalam hari biasanya b akaan menuju perairan yang y lebih dangkal sam mpai dengaan kedalam man kurang lebih satu meter (Mooosa dan Aswandy A 19984). Hal ini i juga dipperkuat olehh pendapat Phillips and Cobb (11980), bahw wa pada malam m hari lobster l menninggalkan liang untuuk mencari makan m padaa daerah terrdekat denggan habitatnnya, seperti
51
pada batu karang datar dan hamparan rumput laut dan karena lobster adalah hewan nocturnal. (3)
Hauling alat tangkap Hauling atau pengangkatan alat tangkap bubu lipat penelitian ke atas perahu dilakukan pada sore hari kurang lebih antara pukul 06.00 – 07.30 WIB. Kegiatan hauling didahului dengan pengangkatan pelampung tanda, tali pelampung hingga pemberat, kemudian satu-persatu bubu lipat penelitian diangkat dengan memperhatikan kondisi substrat dasar pada bubu lipat. Hasil tangkapan dikeluarkan dari bubu lipat penelitian dan dilakukan pengukuran, yaitu jumlah (ekor) lobster per bubu, berat (gram) lobster per ekor, panjang karapas lobster, begitu juga dengan hasil tangkapan lainnya. Kemudian dicatat jenis lobster dan hasil tangkapan lainnya.
Kegiatan
hauling membutuhkan waktu sekitar 30 menit. Sebelum kembali ke pantai, hasil tangkapan lobster dan ikan dimasukkan ke dalam karamba untuk ditampung dan dibesarkan.
Gambar 19 Hauling alat tangkap
Gambar 20 Hasil tangkapan lobster
Gambar 21 Hasil tangkapan rajungan
52
3.4.3 Analisis Data 3.4.3.1 (1)
Penelitian skala laboratorium
Kajian desain dan konstruksi dan pembuatan bubu lobster penelitian serta pemilihan umpan alternatif Informasi yang terkait dengan gambar desain dan konstruksi bubu serta target spesies akan menentukan dalam analisis pemilihan desain bubu standar, bentuk bubu lobster, dimensi bubu lobster dan bahan bubu lobster. Analisis pemilihan desain bubu standar dilakukan melalui tahap kajian perkembangan penangkapan lobster dan perkembangan desain bubu lobster. Demikian juga dengan pemilihan umpan alternatif.
Berdasarkan hasil
kajian akan dilakukan pembuatan gambar desain bubu lobster yang secara teknis dapat menjadi acuan pengembangan rancang bangun bubu lobster yang ”diduga” efektif. (2)
Analisis protein dan lemak umpan (a)
Analisis protein kasar dilakukan dengan mengambil sebanyak 0,25 gram sampel, dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 100 ml dan tambahkan selenium 0,25 gram dan 3 ml H2SO4 pekat. Kemudian dilakukan destruksi (pemanasan dalam keadaan mendidih) selama 1 jam, sampai larutan jernih.
Setelah dingin ditambahkan 50 ml
aquades dan 20 ml NaOH 40%, lalu didestilasi.
Hasil destilasi
ditampung dalam labu erlenmeyer yang berisi campuran 10 ml H3BO3 2% dan 2 tetes indicator Brom Cresol Green-Methyl Red warna merah muda. Setelah volume hasil tampungan (destilat) menjadi 10 ml dan berwarna hijau kebiruan, destilasi dihentikan dan destilasi dititrasi dengan HCL 0,1 N sampai dengan berwarna merah muda. Perlakuan yang sama juga dilakukan terhadap blanko. Dengan metode ini akan diperoleh kadar Nitrogen total yang dihitung dengan rumus: (S-B) x NHCL x 14 N (%) =
x 100% W x 1000
N (%) B W
= volume titran sampel (ml) = volume titran blanko (ml) = bobot sampel kering (mg)
53
Kadar protein diperoleh dengan mengalikan kadar Nitrogen dengan faktor perkalian untuk berbagai bahan pangan berkisar antara 5,18 – 6,38 (AOAC 1980). (b)
Analisis kadar lemak kasar dilakukan dengan mengambil 2 gram sampel disebar di atas kapas yang beralaskan kertas saring dan digulung membentuk thimble, lalu dimasukkan ke dalam labu soxhlet. Kemudian dilakukan ekstrasi selama 6 jam dengan pelarut lemak berupa heksan sebanyak 150 ml. Lemak yang terekstrak dikeringkan dalam oven pada suhu 100°C selama 1 jam.
Kadar lemak kasar
dihitung dengan rumus Bobot lemak terekstrak Kadar lemak (%) =
x 100% Bobot sampel
3.4.3.2 Penelitian skala lapangan (1)
Hasil tangkapan Hasil tangkapan lobster akan dikelompokkan dalam selang kelas panjang karapas (mm) dan selang berat (gram) yang dihitung menggunakan rumus distribusi frekuensi menurut Walpole (1995), yaitu: K = 1 + 3,3 log n Lebar kelas (i) = Nilai terbesar – Nilai terkecil K Keterangan: K = Jumlah kelas n = Banyaknya data
(2)
Efektivitas bubu lipat penelitian Penelitian ini menggunakan metode eksperimen penangkapan (experimental fishing) Pola Rancangan Acak Lengkap dan Rancangan Acak Kelompok. Pengujian bubu lobster modifikasi dengan menggunakan umpan tembang menggunakan 1 faktor, yaitu penggunaan 3 bentuk bubu yang berbeda, yaitu: bubu lipat Modifikasi Pintu Samping (MPS), bubu lipat Modifikasi Pintu Atas (MPA) dan bubu lipat Standar (S) dan menggunakan perlakuan umpan tembang (Standar). Jumlah ulangan penelitian ini adalah 31 trip.
54
Pengujian bubu lobster modifikasi dengan umpan alternatif menggunakan 2 faktor, yaitu penggunaan 2 bentuk bubu yang berbeda, yaitu: bubu lipat Modifikasi Pintu Samping (MPS) dan bubu lipat Standar (S) dan menggunakan 2 perlakuan, yaitu umpan cacing tanah dan tembang (Standar). Masing-masing perlakuan menggunakan 3 bubu lipat penelitian, baik bubu lipat MPS maupun Standar (S) dengan jumlah ulangan penelitian sebanyak 20 trip. Pengamatan hasil penelitian mencakup produksi tangkapan dengan satuan cacah individu (ekor) dan berat (gram) lobster sebagai Hasil Tangkapan Utama (HTU) dan Hasil Tangkapan Sampingan (HTS) lainnya sebagai bycatch per trip operasi penangkapan. Sebaran normal data akan diperiksa dengan aplikasi MINITAB. Bila data tidak menyebar normal, maka akan dilakukan transformasi akar kuadrat terhadap data awal dengan rumus (Y + ½)
½
(Mattjik dan Sumertajaya, 2006). Efektivitas bubu lipat penelitian
akan diuji berdasarkan perhitungan Analisis Sidik Ragam (Walpole 1995) terhadap faktor bubu lipat dengan uji F untuk mengetahui apakah hasil tangkapan lobster (ekor) berbeda di antara penggunaan bubu lipat MPS, MPA dan bubu lipat S. Begitu juga di antara penggunaan bubu lipat MPS dan bubu lipat S, maupun di antara penggunaan umpan cacing tanah dan tembang (S). Data hasil tangkapan tersebut diolah dengan menggunakan aplikasi Statistical Analysis System (SAS) versi 9.1.3 portable for Windows. Nilai efektivitas bubu lipat penelitian akan diperhitungkan berdasarkan prosentase jumlah lobster yang tertangkap pada jenis bubu lipat tertentu terhadap total bubu lipat yang dioperasikan untuk keseluruhan trip penangkapan. Nilai efektivitas umpan diperhitungkan sebagai prosentase jumlah lobster yang tertangkap pada bubu lipat yang menggunakan jenis umpan tertentu terhadap total bubu lipat yang dioperasikan untuk keseluruhan trip penangkapan.
4 HASIL PENELITIAN 4.1 Desain dan Konstruksi Bubu Lobster Bentuk konstruksi mulut bubu pada bubu dengan pintu samping kebanyakan adalah bentuk bulat dan ditempatkan pada posisi di tengah, sehingga lobster dapat masuk ke dalam bubu, tapi sulit untuk keluar karena sulit menjangkau ketinggian mulut bubu. Pada kondisi tersebut, maka bubu harus memiliki ukuran tinggi yang cukup untuk menempatkan posisi mulut bubu yang tidak dapat dijangkau dengan mudah oleh lobster. Bila tidak mengikuti kondisi tersebut, dimana bentuk mulut bubu tidak lagi berbentuk bulat dan ketinggian posisi mulut bubu tidak terlalu tinggi dari dasar bubu, maka lobster akan mudah masuk dan juga mudah meloloskan diri. Dengan demikian untuk posisi pintu bubu yang tidak terlalu tinggi dibutuhkan suatu rekayasa pintu jebakan yang memudahkan lobster masuk dan sulit meloloskan diri. 4.1.1 Perkembangan penangkapan lobster Kegiatan penangkapan lobster di Indonesia masih menggunakan teknologi alat tangkap sederhana (tradisional) dengan usaha penangkapan skala kecil. Operasi penangkapan dilakukan dengan menggunakan perahu bercadik, mesin penggerak kombinasi motor tempel dan layar. Secara umum, alat tangkap yang digunakan adalah jenis alat tangkap jaring insang dasar monofilamen (bottom gillnet monofilament) dan jenis perangkap krendet (hoop net). Lobster yang tertangkap oleh kedua alat tangkap tersebut umumnya terbelit atau terpuntal jaring yang dapat menyebabkan adanya bagian anggota tubuh lobster yang putus atau patah, seperti kaki dan/atau antenanya, sehingga proses tertangkapnya lobster dapat menurunkan kualitas hasil tangkapan. Alat tangkap lainnya adalah trawl dasar (bottom trawl). Trawl merupakan alat tangkap yang sangat efektif, yaitu ikan dan biota laut lainnya akan tertangkap di dasar perairan yang disapu oleh alat tangkap tersebut.
Salah satu hasil
tangkapan trawl dasar adalah lobster yang hidup pada substrat pasir dan lumpur. Selain menggunakan alat tangkap, ada cara penangkapan lobster lainnya, yaitu kegiatan pembiusan (stupefying device) yang dilakukan dengan cara menyelam dengan bantuan kompresor udara pada kedalaman air lebih dari 5
56
meter. Pembiusan lobster biasanya menggunakan bahan kimia beracun seperti potassium sianida.
Pembiusan dengan potassium sianida merupakan cara
penangkapan yang dilarang karena dapat mengancam kelestarian sumberdaya perikanan dan merusak habitatnya (Purbayanto dan Subandi 2005), serta menyebabkan kualitas hasil tangkapan rendah dimana lobster yang tertangkap tidak dapat bertahan hidup lebih lama. Sementara itu, di Indonesia, penggunaan bubu untuk kegiatan penangkapan lobster secara komersial belum banyak dilakukan, karena bubu yang digunakan oleh nelayan selama ini hanya untuk menangkap ikan, rajungan dan kepiting bakau. Jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya, dimana alat tangkap bubu merupakan alat tangkap utama untuk kegiatan penangkapan lobster dan telah berkembang menjadi kegiatan usaha perikanan tangkap yang berkelanjutan. Namun demikian, ukuran alat tangkap bubu tersebut cukup besar, yaitu kisaran ukuran panjang x lebar x tinggi adalah (1 – 1,2 m) x (0,6 – 0,8 m) x (0,4 – 0,6 m), bentuknya masif, kaku dan terlalu berat, sehingga tidak efisien bila dioperasikan di atas perahu yang berukuran kecil. Bubu biasanya digunakan untuk menangkap dan mempertahankan target tangkapan yang diinginkan yaitu lobster dan jenis krustasea lainnya yang juga target yang baik, seperti halnya ikan bersirip, gastropoda dan moluska (Miller 1990). Lebih dari itu, bubu juga mewakili alat tangkap yang berguna untuk kegiatan pemanenan sumberdaya ikan yang bertanggung jawab. Bubu adalah alat tangkap yang selektif, hasil tangkapan di bawah ukuran ekonomis dapat dikembalikan ke perairan tanpa melukainya, sedikit hasil tangkapan sampingan atau by-catch (Groneveld 2000) dan mempunyai dampak yang minimum terhadap komunitas dasar perairan (Eno et al. 2001). Pengoperasian alat tangkap bubu biasanya menggunakan umpan untuk memberikan hasil tangkapan yang optimal sesuai dengan target.
Umpan
merupakan salah satu faktor yang sangat besar pengaruhnya pada keberhasilan penangkapan, baik jenis umpan, sifat dan cara pemasangannya (Sadhori 1985). Selanjutnya dijelaskan pula bahwa umpan merupakan salah satu bentuk rangsangan (stimulus) yang bersifat fisika dan kimia yang dapat memberikan respons bagi ikan-ikan tertentu dalam proses penangkapan.
57
4.1.2 Perkembangan desain bubu lobster Kegiatan penangkapan lobster yang dilakukan oleh nelayan kebanyakan belum mempertimbangkan aspek efektivitas alat tangkap terhadap hasil tangkapan yang diperoleh atau dapat dikatakan bahwa produktivitas alat tangkap masih rendah, atau justru menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Pengertian efektivitas pada alat tangkap adalah suatu kemampuan alat tangkap untuk mendapatkan hasil tangkapan yang optimum sesuai dengan tujuan
penangkapan.
Tujuan
penangkapan
yang
dimaksud
harus
mempertimbangkan adanya upaya untuk menjaga keberlangsungan sumberdaya perikanan, yaitu penggunaan teknologi alat tangkap yang ramah lingkungan yang sesuai dengan Code of Conduct for Resposible Fisheries (CCRF). Krendet adalah alat tangkap pasif dan tergolong ke dalam perangkap untuk menangkap lobster (BPPI 1990). Keuntungan alat tangkap ini selain bentuknya sangat sederhana dan mudah dalam pembuatannya, alat tangkap ini juga relatif murah biaya pembuatannya, karena pada umumnya hanya menggunakan jaring bekas. Krendet merupakan perangkap yang tidak memiliki dimensi ruang seperti halnya bubu, bentuk bingkai krendet biasanya bulat atau persegi panjang dengan diameter atau panjang sisi bingkai antara 80 – 100 cm. Jaring yang digunakan merupakan lembaran jaring 2 hingga 3 rangkap yang berfungsi sebagai penjerat atau perangkap (Direktorat Jenderal Perikanan 1989). Sama halnya dengan jaring insang dasar nylon monofilamen, kondisi lobster yang tertangkap dengan perangkap krendet adalah terbelit atau terpuntal oleh jaring. Selama proses terperangkap, diduga bahwa lobster akan berusaha untuk melepaskan diri dan hal ini dapat saja menyebabkan kondisi lobster stress dan cidera dengan anggota badan yang tidak lengkap karena ada bagian dari anggota tubuhnya yang terputus atau kondisi lobster sudah tidak utuh lagi. Konstruksi perangkap krendet (Gambar 22) yang tidak memiliki dimensi ruang, dapat dikatakan bahwa alat tangkap tersebut tidak memiliki fungsi pelindung bagi lobster saat terperangkap terhadap predator yang dapat saja dengan mudah memangsanya. Bubu merupakan alat tangkap yang dirancang untuk menangkap berbagai jenis ikan dan krustasea, dengan berbagai bentuk dan terbuat dari berbagai bahan.
58
Bubuu memiliki satu atau lebih bukaan mulut. Bubu biasanya diopeerasikan di dasaar perairan dengan d sisteem tunggal maupun m raw wai. Bubu dilengkapi d ddengan tali pelam mpung unntuk mengghubungkan bubu deengan pelaampung. P Pelampung berfuungsi untukk menunjukkan posissi pemasang gan bubu (Nedelec aand Prado 19900).
Gambar 222
Hoop neet atau peranngkap krendeet untuk mennangkap lobsster dengan ukuran diameter d binggkai : 80 – 10 00 cm (Sumber : Thom mas 1973)
Meenaku kumari and Rajan (19885) telah meenguji bubuu yang dibuuat dengan desaain dan bahaan yang berrbeda (Gam mbar 23) sep perti bahan bambu, serrat pelepah daunn kelapa, seerat pelepahh daun paleem merah, bahan b kayuu, bingkai bbaja ringan dan jaring j polyethylene, batang baja ringan, ben ntuk mata jaaring dari kkawat baja yangg dilas, kaw wat ayam, dan kawatt besi galvaanis. Melaalui kegiataan ujicoba penaangkapan diperoleh d k kesimpulan, bahwa bubu yang terbuat daari bambu mem miliki konstrruksi yang lemah dan rapuh. Bub bu yang terrbuat dari bbahan kayu cukuup berat dann tidak disukkai. Bubu yang y terbuaat dari bahann logam, yaaitu batang baja ringan dann mata jarinng dari kaw wat baja yaang dilas seerta dilinduungi secara nerja yang efisien dann memiliki utuhh oleh lapissan plastik telah membberikan kin dayaa tahan pakkai lebih lam ma. Dengaan demikian n, bubu yanng diinginkkan adalah bahw wa bubu tidaak berat, muudah dibuatt, menggunaakan bahan yang tahann lama.
59
( (a)
(b)
(c)
( (d)
(e)
(f)
Gambaar 23
Bubuu lobster denngan desain dan penggunnaan bahan yyang berbedaa : (a) Bahaan bambu; (bb) Bahan serat pelepah daun kelapa; (c) Bahan kayu; (d) Bingkai B baja ringan dan jaring j polyetthilene; (e) B Bentuk mata jaring j dari kawat bajaa yang dilas; dan (f) Baahan kawat ayam (Sum mber : Meeenakumari annd Rajan 198 85)
Koondisi saat ini di Indonnesia, pengg gunaan bubbu untuk meenangkap lo obster secara koomersial beelum dilakuukan, bubu u digunakann untuk m menangkap ikan, rajungan dan kepitiing bakau.
Dalam perkembang p gannya, seccara konstru uktif,
bingkai buubu lobsterr terbuat darri batang beesi (mild stteel rod) berrdiameter antara a 0,8 – 1 cm m yang dilaas membenttuk kotak deengan selanng ukuran panjang x lebar x tinggi adaalah (100 – 120 cm) x (60 – 80 cm) c x (40 – 60 cm). Kemudian bubu dibungkuss dengan jarring PE messh size 1 incci. Kebanyyakan bubu lobster mem miliki dua pintuu samping, tetapi ada juga j bubu lobster l denngan satu piintu atas. Pintu masuk buubu lobster berbentuk b b bulat terbuk ka dengan diameter d sekkitar 10 - 15 5 cm. Dengan demikian, d koonstruksi buubu saat inii adalah maasif dan kakku, relatif cukup c besar, berrat dan tidakk efisien kaarena tidak dapat menyyimpan bubbu dalam ju umlah banyak di d atas dek kapal pennangkap ikaan.
Bentukk pintu maasuk bubu yang
terbuka menyebabka m an lobster yaang telah masuk m ke dallam bubu akkan dapat keluar k dengan mudah m dan juga bubuu dapat meenangkap berbagai jennis ikan laiinnya sebagai haasil tangkappan sampinggan (by-catcch).
60
Bubu liipat (collappsible pot) telah dioperasikan seecara komeersial oleh nelayyan di Jepaang untuk menangkapp gurita (A Archdale et al. 2003) dan untuk menangkap rajuungan di Thailand T (B Boutson et al. 2009).
Demikiaan juga di
Indoonesia, pengggunaan buubu lipat unntuk menan ngkap rajunngan telah dilakukan oleh nelayan dii sepanjangg pantai utaara Laut Jaw wa, Lampuung, Madura, Maluku dan Sulawesi Selatan. Bubbu lipat berrbentuk kotaak (box type) atau emppat persegi panjang dengann ukuran pannjang x lebaar x tinggi yaitu y 55 x 35 x 20 cm m3 (Gambar 24). Bingkai uttama bubu lipat l terbuatt dari besi galvanis g denngan ukurann diameter 0,4 cm c dan dibuungkus dengan jaring polyethylen p e (PE) denggan mesh siize 2,5 cm. Bubuu tersebut dapat d dilipaat untuk dibbuka dan dittutup dengaan mudah ddari bagian poroos tengah buubu. Bila dibandingkan d n, maka uku uran volum me bubu lipaat rajungan adalaah 1/15 kalii ukuran vollume bubu lobster l yang g masif dann kaku.
Gam mbar 24
Buubu lipat (coollapsible pot) untuk menangkap m r rajungan bentuk kotak denngan ukuran PxLxT = 555 x 35 x 20 cm m3 (Sumber : Boutson ett.al. 2009)
Bubu liipat merupaakan alat tangkap t yaang lebih disukai d karrena dapat dibaw wa dalam jumlah j bessar dalam perahu-pera p ahu kecil yaang biasanyya dipakai dalam m kegiatan penangkappan (Anonyymous 1986 6) dan cocook untuk diooperasikan padaa berbagai tiipe dasar peerairan dan variasi selaang kedalam man, serta tiidak mahal namuun kuat (K Krouse 19899; Miller 1990).
Leebih jauh dikatakan d oleh Miller
(19990), bahwa kualitas bubu b lipat sebagai perangkap p adalah karrena hasil tangkkapan dalaam keadaaan hidup dengan d kuaalitas yangg sangat bbaik, hasil tangkkapan di bawah b ukuuran ekonomis (underr size) dappat dikembbalikan ke perairan dalam keadaan k hiddup dan biaya penangk kapan rendahh.
61
Efektivitas alat tangkap adalah suatu kemampuan alat tangkap untuk mendapatkan hasil tangkapan yang optimum sesuai dengan tujuan penangkapan (Baskoro et al. 2006). Pemilihan bahan untuk alat tangkap telah menjadi sangat penting, yaitu bahwa efisiensi alat tangkap dapat ditingkatkan 3 – 10 kali dengan memilih bahan yang sesuai (von Brandt 1984).
Hasil tangkapan suatu alat
tangkap dipengaruhi oleh efektivitas alat dan efisiensi cara operasi. Efektivitas alat tangkap secara umum tergantung pada faktor-faktor, antara lain : parameter alat tangkap itu sendiri (rancang bangun dan konstruksi), pola tingkah laku ikan, ketersediaan atau kelimpahan ikan dan kondisi oseanografi (Fridman, 1988). Desain bubu secara fisik berpengaruh terhadap efektivitas dan selektivitas alat tangkap. Bubu telah dipertimbangkan di antara alat tangkap yang paling efektif dan multiguna. Kendala utama dalam perikanan bubu adalah bahwa peluang terjadinya pelolosan hasil tangkapan cukup besar dan hal tersebut terkait dengan desain pintu masuk bubu. Archdale et al. (2007) mengatakan bahwa metode yang efektif digunakan untuk memperkecil pelolosan rajungan dari bubu adalah kemiringan corong pintu masuk ke arah atas, membuat ruang/kamar terpisah di dalam bubu untuk meningkatkan retensi atau menempatkan pintu pemicu (trigger) pada mulut bubu (Gambar 25), jendela, alat tambahan lainnya di dalam pintu masuk untuk mencegah pelolosan. Hingga saat ini, belum ada desain pintu jebakan yang dapat dipasang pada bubu lipat. Selanjutnya dikatakannya juga, bahwa bentuk pintu masuk dapat mempengaruhi mudahnya bagi target spesies rajungan untuk masuk ke dalam dan keluar dari bubu. Corong dengan pintu terbuka akan memudahkan target spesies memasuki bubu, sementara pintu masuk bentuk celah sempit sulit untuk melewatinya dan membutuhkan upaya untuk membuka celah pintu sehingga dapat masuk ke dalam bubu. Bentuk pintu masuk dengan celah sempit memastikan bahwa sekali target tertangkap maka tidak dapat meloloskan diri. Sementara dengan bentuk pintu masuk terbuka, target yang tertangkap dalam bubu dapat menemukan pintu keluar dan biasanya berhasil meloloskan diri.
62
Gambbar 25 Ilustraasi penggunaaan trigger pada p mulut buubu kepitingg (Sum mber : Archdaale et al. 2007 7)
Penggunnaan pintu pemicu p (triggger) pada pintu p masukk sangat efeektif untuk penccegahan peelolosan rajungan r d dari bubu (Gambar 26), selaama tidak mengghalangi taarget spesies untuk masuk m ke dalam bubbu (Salthauug 2002). Kem mudian diteggaskan olehh Brouck ett al. (2006) bahwa spiiny lobster yyang telah masuuk ke dalam m perangkaap bubu paada dasarny ya mudah bagi b pemanngsa untuk mem makannya, seperti gurrita dapat memasuki bubu, memakan loobster dan melooloskan dirri dari berbbagai bentuuk pintu maasuk bubu.
Dengan demikian,
secarra konstrukksi, bubu sebaiknya s m menggunaka an jenis buubu lipat, yyaitu bubu yangg dapat dibuuka dan dippasang kem mbali dengaan mudah dan d memilikki efisiensi dalam m penanganan bubu di d atas kappal penangk kap. Bentuuk pintu maasuk bubu lobstter yang terrbuka tanpaa penghalanng akan mem mudahkan hasil h tangkaapan untuk dapaat meloloskan diri ke luar l bubu. Untuk dap pat mengataasi hal terseebut, maka padaa pintu bubuu harus mem miliki pintuu jebakan teertentu yangg memudahhkan target masuuk ke dalam m bubu dan sulit untuk keluar.
Gambar 26 2
Ilustrassi penggunaaan trigger paada mulut bubbu kepiting (Sumber : Salthaugg 2002)
63
4.1.3 Analisis penentuan desain bubu lobster Keberhasilan suatu usaha perikanan tangkap tergantung pada beberapa faktor yang saling menunjang. Seperti yang dikemukakan oleh Grofit (1980), bahwa pemanfaatan sumberdaya hayati laut khususnya perikanan tangkap bertujuan untuk mendapatkan hasil yang optimum tanpa membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dengan biaya yang se-efisien mungkin. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka teknologi yang diterapkan perlu memenuhi persyaratan, yaitu alat tangkap yang efektif dan efisien dengan bahan yang baik, perbaikan kapal, alat bantu dan perlengkapan kapal serta metode operasi penangkapan yang handal. Beberapa kegiatan penelitian tentang alat tangkap bubu yang telah dilakukan dan/atau dipublikasikan, yaitu : Pengaruh penggunaan umpan dan konstruksi funnel terhadap hasil tangkapan bubu laut dalam di Teluk Palabuhanratu (Purbayanto et al. 2006d); Selektivitas bubu yang dilengkapi dengan celah pelolosan terhadap ikan kakap (Purbayanto et al. 2006a); Hasil tangkapan bubu laut dalam di Teluk Palabuhanratu (Purbayanto et al. 2006b); Eksplorasi sumberdaya ikan laut dalam menggunakan bubu di Teluk Palabuhanratu (Purbayanto et al. 2006c); Bubu plastik sebagai metode alternatif penangkapan ikan hias ramah lingkungan (Purbayanto et al. 1998); Studi tentang penggunaan tiga bentuk corong (funnel) yang berbeda terhadap komposisi hasil tangkapan ikan hias dengan menggunakan bubu sayap (Mawardi 2000); Bubu sayap (basket trap with wings), alat tangkap ikan-ikan karang yang ramah lingkungan (Mawardi 1999); Gaya hidrodinamika pada bubu lipat berdasarkan perbedaan kecepatan dan sudut datang arus yang diobservasi di kolam penelitian (Iskandar 2007a); Perbedaan kemampuan tangkap
terhadap kepiting karang
Jepang antara gillnet dan bubu lipat berumpan (Iskandar et al. 2007); Analisa hasil tangkapan rajungan pada bubu lipat dengan konstruksi yang berbeda (Iskandar 2007b); Bubu (trap) : Serial teknologi penangkapan ikan berwawasan lingkungan (Martasuganda 2003); Studi komparatif terhadap bubu lobster (lobster pot) tipe Jepang dan bubu tradisional dalam penangkapan udang barong (Panulirus spp.) di Pelabuhanratu, Jawa Barat (Monintja dan Budihardjo 1982).
64
Beberapa pertimbangan dalam menentukan bubu lobster yang diduga efektif, yaitu : (1)
Pemilihan bahan-bahan konstruksi bubu, yaitu : bahan-bahan mudah diperoleh, kekuatan bahan baik dan tahan lama, harga bahan tidak mahal, mudah untuk diperbaiki dan konstruksi alat tangkap bubu tidak berat.
(2)
Konstruksi bubu, yaitu : Bubu berbentuk kotak persegi panjang dan /atau trapesium, adanya kemiringan jaring (slope net) pada pintu masuk bubu sebagai jalan masuk ke dalam bubu dengan sudut kemiringan jaring lebih kecil dari 45˚ (untuk bubu pintu samping), memiliki rekayasa pintu jebakan pada mulut bubu yang memudahkan lobster masuk dan sulit keluar.
(3)
Efisien dalam operasi penangkapan, yaitu : ukuran bubu yang ideal bagi nelayan tradisional, mudah dalam penanganan alat tangkap bubu dan hasil tangkapan di atas kapal, dan cukup tempat di atas dek kapal untuk menempatkan alat tangkap bubu saat persiapan operasi setting dan hauling.
(4)
Mengikuti ketentuan yang bersifat politis, yaitu bahwa dalam kegiatan usaha perikanan tangkap akan selalu mengacu pada kegiatan penangkapan ikan yang diakui oleh dunia internasional, yaitu upaya pemanfaatan sumberdaya ikan dan peningkatan produksi perikanan tangkap melalui caracara pemanfaatan yang efektif dan bertanggung jawab.
4.1.4 Desain bubu lobster yang efektif Berdasarkan kondisi pertimbangan di atas maka pemilihan desain bubu yang dijadikan standar adalah jenis bubu lipat yang biasa digunakan untuk menangkap rajungan.
Bubu lipat standar adalah bubu lipat rajungan yang
dijadikan acuan untuk dimodifikasi dengan ukuran yang lebih besar dibandingkan ukuran bubu lipat rajungan yang dioperasikan di Indonesia. Ukuran bubu lipat standar yang digunakan nelayan untuk penangkapan rajungan adalah 50 cmm x 30 cm x 20 cm (panjang x lebar x tinggi). Bubu lipat standar dapat dilihat pada Gambar 27.
65
20 cm
30 cm
(Sumber : Boutson et.al. 2009)
Gambar 27
Desain bubu lipat rajungan sebagai bubu lipat standar untuk acuan modifikasi
66
Beberapa tahapan dan perubahan desain dan konstruksi dalam penyusunan desain dan konstruksi bubu lipat modifikasi dan bentuk pintu masuk kisi-kisi pada mulut bubu lipat seperti terlihat pada Gambar 28 dan Gambar 29.
Pintu jebakan bentuk kisi-kisi
Pintu jebakan bentuk kisi-kisi
Gambar 28 Tahapan pembuatan desain bubu lipat modifikasi pintu samping
67
Pintu jebakan bentuk kisi-kisi tegak dengan celah tertutup
Pintu jebakan bentuk kisi-kisi tegak dengan celah terbuka
Pintu jebakan bentuk kisi-kisi celah ellips terbuka
Gambar 29
Tahapan pembuatan desain bentuk pintu jebakan bentuk kisi-kisi pada mulut bubu lipat modifikasi pintu samping
68
Berdasarkan hasil tahapan desain yang telah dilakukan, maka desain bubu lipat lobster yang “diduga” efektif, yaitu: (1)
Bubu lipat lobster modifikasi pintu samping (satu pintu) dengan rekayasa pintu jebakan berbentuk kisi-kisi (Gambar 30). Bubu lipat modifikasi pintu samping berbentuk kotak (box type atau rectangular type with single entrance) dengan ukuran panjang x lebar x tinggi adalah 60 cm x 45 cm x 30 cm. Perbandingan volume : 1/7 kali dengan bubu lobster bentuk masif dan kaku. Bagian depan bubu membentuk sudut kemiringan 22,5˚ (slope net) sebagai jalan ke pintu masuk mulut bubu. Bingkai (frame) bubu menggunakan besi galvanis berdiameter 0,6 cm dan jaring polyethylene (PE) untuk pembungkus bubu dengan 210 D/18, mesh size 1,5 inci. Pintu jebakan yang ditempatkan pada ujung mulut bubu adalah kisi-kisi ke arah bagian dalam bubu dan terbuat dari plastik dengan ketebalan 1 mm. Poros lipatan bubu terletak diantara jarak 20 cm dan 40 cm dari posisi memanjang.
Tabel 7 Spesifikasi bubu lipat modifikasi pintu samping No. 1 2 3 4 5
Bagian Konstruksi Nama : Bentuk bubu Ukuran bubu Jumlah pintu masuk Jenis modifikasi:
6 7
Bingkai (frame) Badan jaring (cover net)
Spesifikasi Bubu lipat modifikasi pintu samping (MPS) Empat persegi panjang (box type) 60 cm x 45 cm x 30 cm (pxlxt) 1 pintu; pintu samping - Ukuran bubu lebih besar dibandingkan bubu lipat standar (pxlxt = 50 cm x 30 cm x 20 cm) - Slope net (sudut kemiringan pintu masuk bubu) atas dan bawah : 22,5° - Ukuran pintu masuk cukup lebar, yaitu 30 cm x 14 cm (panjang x tinggi) - Terdapat pintu jebakan bentuk kisi-kisi bahan plastik yang berfungsi untuk memudahkan target masuk ke dalam bubu dan sulit untuk keluar - Sumbu lipatan bubu terletak 20 cm dari bagian depan bubu Besi galvanis, dia. 6 mm. PE ms 1,5 inci, 210 D/18
69
Pintu jebakan bentuk kisi-kisi
Gambar 30
Desain bubu lipat modifikasi pintu samping (MPS) dengan pintu jebakan yang berbentuk kisi-kisi
70
(2)
Bubu lipat modifikasi pintu atas dengan pintu jebakan yang berbentuk kisikisi (Gambar 31). Bubu lipat modifikasi pintu atas berbentuk trapesium (trapezoidal type with single entrance) dengan ukuran selang panjang x lebar x tinggi adalah (30 – 60) cm x 45 cm x 30 cm. Perbandingan volume : 1/9 kali dengan bubu bentuk masif dan kaku. Bagian depan dan belakang sisi samping membentuk sudut kemiringan 70˚ (slope net) sebagai jalan masuk ke arah pintu atas. Bahan yang digunakan adalah besi galvanis sebagai bingkai (frame) berdiameter 0,6 cm dan jaring polyethylene (PE) untuk pembungkus bubu dengan 210 D/18, mesh size 1,5 inci. Pemicu pintu masuk yang ditempatkan pada ujung mulut bubu adalah kisi-kisi ke arah bagian dalam bubu dan terbuat dari plastik dengan ketebalan 1 mm. Poros lipatan bubu terletak pada satu sisi bagian atas ujung slope net.
Tabel 8 Spesifikasi bubu lipat modifikasi pintu atas No. 1 2 3 4 5
Bagian Konstruksi Nama : Bentuk bubu Ukuran bubu Jumlah pintu masuk Jenis modifikasi:
6 7
Bingkai (frame) Badan jaring (cover net)
Spesifikasi Bubu lipat modifikasi pintu atas (MPA) Trapesium (trapezoidal type) 60 cm x 45 cm x 30 cm (pxlxt) 1 pintu; pintu atas - Ukuran bubu lebih besar dibandingkan bubu lipat standar (pxlxt = 50 cm x 30 cm x 20 cm) dengan bagian atas menyempit. - Slope net (sudut kemiringan pintu masuk bubu): 70° - Ukuran pintu masuk cukup lebar, yaitu 30 cm x 14 cm (panjang x tinggi) - Terdapat pintu jebakan bentuk kisi-kisi bahan plastik yang berfungsi untuk memudahkan target masuk ke dalam bubu dan sulit untuk keluar - Sumbu lipatan bubu terletak 15 cm dari bagian depan bubu Besi galvanis, dia. 6 mm. PE ms 1,5 inci, 210 D/18
71
Pintu jebakan bentuk kisi-kisi
Gambar 31
Desain bubu lipat modifikasi pintu atas (MPA) dengan pintu jebakan yang berbentuk kisi-kisi
72
4.1.55 Rancangg bangun bu ubu lipat modifikasi m dan d standarr Pembuattan bingkaii (frame) buubu lipat modifikasi m dan bubu lippat standar dilakkukan oleh kelompok usaha pem mbuat bubu lipat di Cirebon. C U Ukuran dan bentuuk bingkai disesuaikann dengan gaambar desaiin bubu lipaat modifikassi. Jumlah bubuu lipat yangg akan dibuaat sesuai deengan kebuttuhan kegiattan pengujiaan melalui metoode experim mental fishinng. Proses selanjutnya s adalah peemasangan badan jarinng (cover nnet) untuk semuua bubu lipat modifikaasi dan bubuu lipat stand dar. Setelahh semua baadan jaring terpaasang pada masing-maasing bingkkai bubu lip pat, maka dilakukan d ppembuatan pintuu jebakan bentuk b kisi--kisi yang tebuat t dari bahan lem mbaran plasttik dengan ketebbalan 1 mm m.
Pem masangan baadan jaring pada p bingkai
M Membuat lubaang pada pinntu jebakan
Pintu jebakkan bentuk kiisi-kisi
Pemasanngan pintu jebbakan
G Gambar 32 Proses rancaang bangun bubu b lipat modifikasi m dann bubu lipat standar
73
Buubu lipat staandar yang akan digun nakan dalam m pengujiann, adalah uk kuran yang sam ma dengan ukuran u bubuu lipat modifikasi, yaittu 60 cm x 45 cm x 30 cm (pxlxt).
Penyesuaiaan ukuran bubu lipatt standar dengan d ukuuran bubu lipat
modifikassi adalah untuk meemberikan keseragam man dalam m ukuran yang sebenarnyya. Hasil raancang banngun bubu lipat modifikkasi dan buubu lipat staandar dapat dilihhat pada Gaambar 33, 34 dan Gamb bar 35.
Gaambar 33 Buubu lipat mod difikasi pintuu samping
G Gambar 34 Bubu lipat modifikasi m piintu atas
74
Gambar 355 Bubu lipatt standar (bub bu lipat rajunngan)
4.2 Pemilihan n umpan alternatif a Pengopeerasian bubbu biasanyaa menggunaakan umpann untuk memberikan hasill tangkapann yang optim mum sesuaii dengan tarrget. Menuurut Subani dan Barus (19889), umpann merupakkan salah satu fakto or pentingg dalam m menunjang kebeerhasilan suatu operasi penangkapan ikan, khususnya unntuk alat tanngkap pasif sepeerti bubu dan d pancinng.
Umpaan digunak kan dalam pengoperassian bubu
berfuungsi sebaggai pemikatt dengan tuujuan agar target tertaarik untuk masuk ke dalam m bubu. Berdasarkan B kondisinyaa, umpan daapat dibedaakan ke dalaam umpan hiduup (live bait)) dan umpaan mati (deaad bait), sed dangkan meenurut asalnnya umpan dapaat dibedakaan ke dalaam umpan alami (natural bait) dan umpaan buatan (artif ificial bait). Efektivitaas umpan ditentukan olleh bentuk rangsangan r (stimulus) yangg bersifat fissik dan kim miawi yang dimilikinya d a agar dapatt memberikaan respons terhaadap ikan-ikkan tertentuu dalam tuj ujuan penan ngkapan ikaan (Purbayaanto et al. 20066; Fitri 2008).
Deesain bubu dan umpaan secara bersama-saama dapat
menentukan pillihan target spesies yanng akan ditaangkap dann selang ukuuran target spesies yang terrtangkap sessuai dengann harga pasaar yang tinggi (Miller 1990).
75
Begitu juga dengan lobster, umpan merupakan salah satu faktor penting sebagai bahan atraktor dalam memikat lobster. Umpan yang mengandung unsur lemak, protein dan chitine serta adanya bau yang menyengat merupakan umpan yang sangat baik sebagai bahan atraktor untuk memikat lobster (Fielder 1965; Phillips and Cobb 1980; Moosa dan Aswandy 1984).
Jenis makanan alami
lobster adalah jenis binatang lunak seperti bulu babi, bintang laut, teripang, lili laut, siput laut dan kekerangan lainnya (Fielder 1965). Umpan yang berasal dari perairan laut yang biasa digunakan oleh nelayan adalah ikan rucah, siput laut (Kholifah 1998), umpan kanikil (Chiton sp), kepala ikan kembung (Rastrelliger sp) (Sopati 2005). Umpan yang berasal dari wilayah daratan adalah kelapa bakar (Kholifah 1998), kulit kambing dan kulit sapi (Febrianti 2000), dan keong mas (Babylonia spirata L) (Sopati 2005). Lobster lebih menyukai jenis umpan dalam keadaan segar (fresh) dan diduga selain kandungan zat yang dimilikinya juga berkaitan dengan aroma (bau) kimiawi yang juga ditimbulkannya. Banyak kontroversial yang muncul di sekitar pertanyaan mengenai apakah krustasea adalah hewan pemakan bangkai, atau apakah hal tersebut suka membeda-bedakan dalam makanannya. Adalah suatu yang bersifat alami bahwa sekali waktu terjadi kelangkaan makanan, krustasea akan memakan apapun, tetapi percobaan-percobaan yang telah dilakukan dalam skala laboratorium dan juga di laut membuktikan secara meyakinkan bahwa metode penangkapan yang terbaik untuk semua makanan yang menggunakan umpan segar. Mereka kemudian menggunakan aspek morfologi tertentu untuk menduga kemungkinan sumber-sumber makanan.
Berdasarkan kondisi ini,
mereka tidak menganggap ikan yang bersisik sebagai makanannya, karena mereka terlalu bergerak cepat dan menduga bahwa moluska seperti kekerangan sebagai sumber makanan yang disukainya (Fielder 1965).
Berdasarkan hal
tersebut, dapat diindikasikan bahwa penggunaan umpan alami yang segar dan mengandung bahan rangsangan umpan bersifat kimiawi akan memberikan daya tarik bagi lobster. Terdapat organisme yang berasal dari wilayah daratan yang diduga memiliki potensi ekonomis sebagai alternatif umpan alami bagi lobster, yaitu cacing tanah (Lumbricus rubellus).
Cacing tanah sangat potensial untuk
76
dikembangkan sebagai bahan pangan dan pakan karena kandungan nutrisinya cukup tinggi, dimana komposisi kimia cacing tanah (g/100g), yaitu energi 110,50 kalori; protein 19,77; lemak 2,48; karbohidrat 2,25; air 72,69 dan abu 2,93 (Raharti 1999; Soenanto 2000), dan sebagai umpan ikan (Sihombing 1999). Umpan yang mengandung asam amino diidentifikasi dapat menjadi stimulus dan atraktor makan pada ikan dan krustasea.
Hampir semua studi
mengenai rangsangan kimia untuk tingkah laku makan menunjukkan bahwa rangsangan makan pada ikan dan krustasea akan hilang seiring dengan hilangnya kandungan asam amino pada umpan (Engas and Lokkeborg 1994). Profil asam amino esensial cacing tanah dan bekicot termasuk sangat baik sebagai bahan makanan untuk ikan dan udang (Sihombing 1999). Profil asam amino cacing tanah dan bekicot dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Profil asam amino (g/100g protein) cacing tanah (Lumbricus rubellus) Profil asam amino Esensial : - Arginin - Fenilalanin - Histidin - Isoleusin - Leusin - Lisin - Metionin - Treonin - Triptofan - Valin Non-esensial : - Alanin - Asam aspatat - Asam glutamat - Glisin - Prolin - Serin - Sistein - Tirosin Sumber : * Sabine (1982)
Cacing tanah* 7,30 5,10 3,80 5,30 6,20 7,30 2,00 6,00 2,10 4,40 5,40 10,50 13,20 4,30 5,10 5,80 1,80 4,60
Pendekatan penggunaan umpan alami yang berasal dari wilayah daratan adalah bahwa umpan tersebut dapat dibudidayakan secara sederhana sehingga pengadaannya tidak membutuhkan biaya yang besar. Kegiatan pemeliharaan dalam budidaya cacing tanah (Lumbricus rubellus) tidak dibutuhkan lahan yang luas atau biaya pakan yang mahal, karena pemeliharaan cacing tanah bersifat zero feed cost (Edwards and Lotfy1972 diacu dalam Pardamean 2002). Selama ini
77
cacing tanah hanya diambil dari alam bebas dan masyarakat mengumpulkannya saat musim hujan sebagai bahan pangan (Sihombing 1999). Kondisi saat ini, jenis umpan alami yang berasal dari perairan laut masih tersedia, namun memiliki harga yang cukup tinggi dan bersaing dengan kebutuhan tingkat konsumsi ikan oleh masyarakat, sehingga untuk pengadaan umpan akan meningkatkan biaya operasi penangkapan.
Dengan demikian,
diperlukan alternatif jenis umpan lainnya yang lebih ekonomis yang berasal dari wilayah daratan, yaitu cacing tanah yang diharapkan hasilnya akan cukup efektif dengan daya pikat yang baik dalam proses penangkapannya.
Gambar 36 Cacing tanah (Lumbricus rubellus)
Gambar 37
Bagian-bagian tubuh cacing tanah (Lumbricus rubellus) (sumber: Kumolo 2011)
78
Hagner and Engemann (1968) mengklasifikasikan cacing tanah Lumbricus rubellus sebagai berikut : Kingdom : Animalia Divisi : Vermes Filum : Annelida Kelas : Oligochaeta Ordo : Opisthopora Family : Lumbricidae Genus : Lumbricus Spesies : Lumbricus rubellus Bubu lipat modifikasi pintu samping dan bubu lipat pintu atas dengan penambahan pintu jebakan bentuk kisi-kisi bahan plastik merupakan desain dan konstruksi yang pertama kali dibuat.
Bentuk pintu masuk bubu yang terbuka
menyebabkan lobster yang telah masuk ke dalam bubu akan dapat keluar dengan mudah dan juga bubu dapat menangkap berbagai jenis ikan lainnya sebagai hasil tangkapan sampingan (by-catch). Oleh karena itu, penggunaan pintu jebakan pada mulut bubu diharapkan selain memudahkan lobster masuk ke dalam bubu dan sulit meloloskan diri, tetapi juga dapat mengurangi hasil tangkapan sampingan (by-catch) Cacing tanah sebagai hewan yang berasal dari daratan sudah sering dilakukan sebagai umpan untuk memancing ikan di perairan umum. Kegiatan experimental fishing menggunakan bubu lipat modifikasi dengan menggunakan umpan cacing merupakan kegiatan uji coba penangkapan yang juga pertama kali dilakukan.
Melalui pengujian, diharapkan dapat diukur efektivitasnya bila
dibandingkan dengan bubu lipat standar dan umpan standar.
4.3 Efektivitas Bubu Lipat Dengan Umpan Ikan Tembang (Standar) 4.3.1 Komposisi hasil tangkapan (total) Selama penelitian 31 trip operasi penangkapan diperoleh komposisi hasil tangkapan dalam jumlah (ekor) yang terdiri dari kelompok krustasea (lobster) sebagai Hasil Tangkapan Utama (HTU) dengan total 42 ekor (35,0%) terdiri dari 3 spesies, yaitu
Lobster hijau pasir (Panulirus homarus) 39 ekor (32,5%),
Lobster hijau (Panulirus versicolor) 2 ekor (1,7%), dan Lobster mutiara (Panulirus ornatus) 1 ekor (0,8%).
79
Komposisi hasil tangkapan dalam berat (gram) yang terdiri dari kelompok krustasea (lobster) sebagai Hasil Tangkapan Utama (HTU) dengan total 2840 gram (33,4%) terdiri dari 3 spesies, yaitu
Lobster hijau pasir (Panulirus
homarus) 2605 gram (30,6%), Lobster hijau (Panulirus versicolor) 115 gram (1,4%), dan Lobster mutiara (Panulirus ornatus) 120 gram (1,4%). Komposisi hasil tangkapan dalam jumlah (ekor) untuk Hasil Tangkapan Sampingan (HTS) atau by-catch dengan total 78 ekor (65,0%) yang terdiri dari kelompok krustasea (rajungan) 59 ekor (49,2%), kelompok moluska (sotongSepia sp.) 14 ekor (11,7%), kelompok ikan (kerapu tutul- Epinephelus maculatus dan sinreng- Canthigaster sp.) 5 ekor (4,2%). Komposisi hasil tangkapan dalam berat (gram) untuk Hasil Tangkapan Sampingan (HTS) atau by-catch dengan total 5665 gram (66,6%) yang terdiri dari kelompok krustasea (rajungan) 4175 gram (49,1%), kelompok moluska (sotongSepia sp.) 830 gram (9,8%), kelompok ikan (kerapu lumpur- Epinephelus maculatus dan sinreng- Canthigaster sp.) 660 gram (7,8%). Komposisi hasil tangkapan (total) baik ukuran jumlah (ekor) maupun ukuran berat (gram) dapat dilihat pada Tabel 10, Gambar 38 dan 39. Tabel 10 Komposisi hasil tangkapan total ukuran jumlah (ekor) dan ukuran berat (gram) No. 1
Hasil tangkapan
Utama: a. Krustasea (lobster) Lobster hijau pasir (Panulirus homarus) Lobster hijau (Panulirus versicolor) Lobster mutiara (Panulirus ornatus) sub-Total HTU 2 Sampingan (By-catch): a. Krustasea (rajungan) Rajungan (Portunus pelagicus) Rajungan (Portunus sanguinolentus) Rajungan (Carybdis natator) Rajungan (Carybdis feriatus) sub-Total b. Moluska Sotong (Sepia sp) sub-Total c. Ikan Kerapu tutul (Epinephelus maculatus) Singreng (Canthigaster sp.) sub-Total sub-Total HTS Total Hasil Tangkapan
Jumlah (ekor) %
Berat (gram) %
39 2 1 42
32.5 1.7 0.8 35.0
2,605.0 115.0 120.0 2,840.0
30.6 1.4 1.4 33.4
10 14 28 7 59
8.3 11.7 23.3 5.8 49.2
700.0 730.0 1,645.0 1,100.0 4,175.0
8.2 8.6 19.3 12.9 49.1
14 14
11.7 11.7
830.0 830.0
9.8 9.8
3 2 5 78 120
2.5 1.7 4.2 65.0 100
590.0 70.0 660.0 5,665.0 8,505.0
6.9 0.8 7.8 66.6 100
80
Sotong, 14 ekor (11,7%)
Ikan, 5 ekor (4,2%) Lobster, 42 ekor (35,0%)
Rajungan, 59 ekor (49,2%)
Gambar 38 Komposisi hasil tangkapan total dalam jumlah (ekor)
Ikan, 660 gram (7,8%) Sotong, 830 gram (9,8%)
Lobster, 2.840 gram (33,4%)
Rajungan, 4.175 gram (49,1%)
Gambar 39 Komposisi hasil tangkapan total dalam berat (gram)
81
Beerdasarkan komposisi total dalam m jumlah (ekkor) diperooleh bahwa hasil tangkapann lobster sebbagai HTU dibandingk kan dengan HTS H masing-masing ad dalah 42 ekor (335,0%) dann 78 ekor (65,0%), dim mana by-catcch lebih bessar dibandin ngkan dengan HTS H (Gambbar 40).
B Berdasarkan n komposissi total dalaam berat (g gram)
diperoleh bahwa hasiil tangkapann lobster sebagai HTU U dibandingkkan dengan HTS masing-m masing adalah 2840 gram g (33,4% %) dan 56665 gram (666,6%), dim mana jumlah byy-catch lebihh besar dibaandingkan dengan d HTS S (Gambar 441).
Gambar 40 Kompoosisi hasil tanngkapan lobster dan by-ccatch dalam jjumlah (ekorr)
Gambar 411
Komposisi hasil tanggkapan lobsteer dan by-cattch dalam beerat (gram)
Beerdasarkan rata-rata haasil tangkap pan dalam jumlah (ekoor) per trip ± SE untuk lobbster adalahh 1,4 ekor ± 0,038 daan by-catch sebesar 2,5 ekor ± 0,045, 0 yaitu bahhwa hasil tangkapann by-catch (ekor) addalah 56% % lebih baanyak dibandinggkan dengann HTU lobster (Gambaar 42).
82
Gambaar 42
Rata-rata jumlahh (ekor) hasiil tangkapan per trip anttara lobster denggan by-catch
Lobster yang dom minan tertaangkap adalah jenis lobster hhijau pasir (Pannulirus hom marus).
Lobster yang tertangkaap dominann pada sellang kelas
panjang karapass 41 - 46 mm m (17 ekorr) yang jugaa merupakann ukuran lobster yang masiih kecil (baaby lobster) (Gambar 43). 4 Berdassarkan selanng kelas berrat (gram), bahw wa lobster yang y tertanngkap sebannyak 39 ek kor merupakkan di baw wah ukuran ekonnomis, kareena di bawaah 100 gram m harga lob bster sangaat rendah, sselain juga karenna memangg ukuran yang y masihh kecil untu uk dimanfaaatkan (Gaambar 44). Ukurran lobster yang tertanngkap didom minasi oleh h ukuran dibawah sizee ekonomi. Daerrah penanggkapan dalaam penelitiaan ini adallah perairann dengan kkedalaman yangg cukup danngkal, yaituu < 15 meteer. Sehingg ga ada keceenderungann bahwa di
Hasil Tangkapan Lobster (ekor)
daerah tersebut merupakann daerah pem mbesaran lo obster. 2 25 2 20
17
1 15
12 10
1 10 5 1
1
1
5 - 58 53
59 - 64
65 - 70 7
0 35 - 40
41 - 46
47 - 52
ELAS PANJAN NG KARAPAS (mm) SELANG KE
Gambaar 43 Kompoosisi panjangg karapas (mm m) lobster haasil tangkapaan
Hasil Tangkapan Lobster (ekor)
83
40
di bawah size ekonomis
35 30
25
25 20 15
10
10 3
5
1
1
2
94 - 111
112 - 129
130 - 147
0 40 - 57
58 - 75
76 - 93
SELANG KELAS BERAT (gram)
Gambar 44 Komposisi berat (gram) lobster hasil tangkapan
4.3.2 Efektivitas bubu lipat penelitian Berdasarkan penggunaan bubu lipat Modifikasi Pintu Samping (MPS), bubu lipat Modifikasi Pintu Atas (MPA) dan bubu lipat Standar (S) selama 31 trip operasi penangkapan tersebut dengan menggunakan umpan tembang, maka komposisi hasil tangkapan lobster sebagai Hasil Tangkapan Utama (HTU), masing-masing adalah 14 ekor (33,3%), 25 ekor (29,5%), dan 3 ekor (7,1%), sedangkan komposisi Hasil Tangkapan Sampingan (HTS) atau by-catch, masingmasing adalah 22 ekor (28,2%), 44 ekor (56,4%), dan 9 ekor (11,5%) (Tabel 11 dan Gambar 45).
Tabel 11 Komposisi hasil tangkapan lobster berdasarkan jenis bubu lipat
No. 1 2
Hasil tangkapan Utama: lobster Sampingan: By-catch Total
(S) Jumlah (ekor) % 25 59.5 44 56.4 69 57.5
Jenis bubu lipat (MPS) Jumlah (ekor) % 14 33.3 22 28.2 36 30.0
(MPA) Jumlah (ekor) % 3 7.1 9 11.5 12 10.0
84
35 30
30 Jumlah (ekor)
25
25 18
20 15
14 8
10 5
10 3
3
4 1
1
0
0 Lobster
Rajungan
Sotong
Ikan
HASIL TANGKAPAN Bubu Lipat Standar (S) Bubu Lipat Modifikasi Pintu Samping (MPS) Bubu Lipat Modifikasi Pintu Atas (MPA)
Gambar 45 Komposisi hasil tangkapan lobster berdasarkan jenis bubu lipat Berdasarkan hasil analisis sidik ragam untuk total hasil tangkapan lobster (Tabel 12) menunjukkan bahwa faktor bubu lipat dengan perlakuan umpan tembang berpengaruh nyata (Fvalue = 9,44 > Ftabel = 3,097 atau p-value = 0.0002 < 0.05) pada taraf nyata 5%. Demikian juga bila dilihat dari perbedaan nilai ratarata hasil tangkapan lobster (ekor) per trip ± SE, dimana terlihat bahwa bubu lipat standar (0,8 ekor ± 0,03) lebih baik dibandingkan dengan bubu lipat MPS (0,5 ekor ± 0,02) dan MPA (0,1 ekor ± 0,01). Bubu lipat MPS (0,5 ekor ± 0,02) lebih baik dibandingkan dengan bubu lipat MPA (0,1 ekor ± 0,01) (Gambar 46). Sementara rata-rata hasil tangkapan by-catch (ekor) per trip ± SE, dimana terlihat bahwa bubu lipat modifikasi lebih sedikit, yaitu masing-masing untuk MPS (0,7 ekor ± 0,02) dan MPA (0,6 ekor ± 0,05) dibandingkan dengan bubu lipat standar (1,5 ekor ± 0,04) (Gambar 47). Meskipun bubu lipat modifikasi memberikan hasil tangkapan sampingan (by-catch) yang lebih sedikit dibandingkan dengan hasil tangkapan bubu lipat standar, namun jenis hasil tangkapan sampingan tersebut juga memiliki nilai komersial yang baik.
85
Tabel 12 Analisis A sidiik ragam moddel terhadap total hasil taangkapan lobbster Sum mber keragaaman Perlakuann Galat Total Korreksi
Jumlah kuadrat 7.80645161 37.22580645 4 45.03225806
db 2 90 92
Kuadratt Tengahh 3.903225581 0.413620007
F(0,05) 9.44**
Probabiliitas 0.0002
F tabel = 3,,097
Gaambar 46 Raata-rata jumlaah (ekor) lob bster yang terrtangkap per trip ± SE anntara bubu lippat Standar, MPS M dengann bubu lipat M MPA 1.6 Rata-rata Jumlah by-catch (ekor) per Trip +/- SE
1.5
1.4 1.2 1.0 0.7
0.8 0.6
0.6 0.4 0.2 0.0
1 JENIS BUBU LIPAT
Bubu lipat Standa ar (S) Bubu lipat Modifik kasi Pintu Samping (M MPS) Bubu lipat Modifik kasi Pintu Atas (MPA A)
Gam mbar 47
Raata-rata jumlaah (ekor) by--catch yang tertangkap t peer trip ± SE anntara bubu lippat Standar, MPS M dengann bubu lipat M MPA
86
Pengujian bubu lipat penelitian, yaitu bubu lipat modifikasi pintu samping, modifikasi pintu atas dan bubu lipat standar telah dilakukan selama 31 trip dengan menggunakan umpan tembang sebagai umpan standar. Pengujian ini untuk melihat respons hasil tangkapan lobster dari masing-masing bubu lipat, sehingga dapat diketahui efektivitasnya. Unit alat tangkap penelitian menggunakan sistem longline yang dapat diperhitungkan nilai efektivitasnya, yaitu prosentase jumlah lobster yang tertangkap pada jenis bubu lipat tertentu terhadap total bubu lipat yang dioperasikan untuk keseluruhan trip penangkapan (Tabel 13). Tabel 13 Nilai efektivitas bubu lipat No.
Jenis bubu lipat
1 2 3
Standar (S) Modifikasi Pintu Samping (MPS) Modifikasi Pintu Atas (MPA)
Jumlah lobster (ekor) 25 14 3
Jumlah Hari operasi (trip) 31 31 31
Jumlah bubu lipat/trip (bubu) 12 12 12
Efektivitas bubu lipat (%) 6.7 3.8 0.8
Berdasarkan perhitungan nilai efektivitas bubu lipat pada Tabel 13 di atas, maka efektivitas bubu lipat standar (6,7%) lebih besar dibandingkan dengan bubu lipat modifikasi pintu samping (3,8%) dan bubu lipat modifikasi pintu atas (0,8%). Sementara, nilai efektivitas bubu lipat modifikasi pintu samping (3,8%) lebih besar dibandingkan dengan bubu lipat modifikasi pintu atas (0,8%). Bubu lipat modifikasi pintu samping memberikan hasil tangkapan yang lebih sedikit dibandingkan dengan bubu lipat standar.
Hal yang perlu
diperhatikan adalah pada konstruksi pintu jebakan yang terkait dengan ketebalan bahan dan lebar kisi-kisi. Permasalahannya adalah apakah keberadaan pintu jebakan memberikan dampak terhadap sulitnya lobster masuk ke dalam bubu. Sementara, bubu lipat modifikasi pintu atas kemungkinan besar terkait dengan tingginya sudut kemiringan pintu masuk (slope net) menuju pintu atas. Namun demikian, bubu lipat modifikasi tetap memperoleh hasil tangkapan lobster, meskipun tidak sebanyak hasil tangkapan bubu lipat standar.
87
4.4 Efektivitas Bubu Lipat Modifikasi Pintu Samping dan Umpan Cacing Tanah
4.4.1 Komposisi hasil tangkapan (total) Selama penelitian 20 trip operasi penangkapan diperoleh komposisi hasil tangkapan yang terdiri dari : kelompok krustasea (lobster) sebagai Hasil Tangkapan Utama (HTU) dengan total 31 ekor (33,7%) terdiri dari 3 spesies, yaitu Lobster hijau pasir (Panulirus homarus) 29 ekor (31,5%), Lobster hijau (Panulirus versicolor) 1 ekor (1,1%), dan Lobster mutiara (Panulirus ornatus) 1 ekor (1,1%). Komposisi hasil tangkapan dalam berat (gram) yang terdiri dari kelompok krustasea (lobster) sebagai HTU dengan total 1925,5 gram (27,0%) terdiri dari 3 spesies, yaitu Lobster hijau pasir (Panulirus homarus) 1780,5 gram (25,0%), Lobster hijau (Panulirus versicolor) 55 gram (0,8%), dan Lobster mutiara (Panulirus ornatus) 90 gram (1,3%). Hasil Tangkapan Sampingan (HTS) atau by-catch dengan total 61 ekor (66,3%) yang terdiri dari kelompok krustasea (rajungan) 33 ekor (35,9%), kelompok moluska (sotong-Sepia sp.) 22 ekor (23,9%), kelompok ikan (kerapu tutul- Epinephelus maculatus) 5 ekor (5,4%), dan kelompok krustasea (udang ronggeng- Squilla mantis) 1 ekor (1,1%). Komposisi hasil tangkapan dalam berat (gram) untuk by-catch dengan total 5207 gram (73,0%) yang terdiri dari kelompok krustasea (rajungan) 3331 gram (46,7%), kelompok moluska (sotong-Sepia sp.) 1312 gram (18,4%), kelompok ikan (kerapu tutul- Epinephelus maculatus dan sinreng- Canthigaster sp.) 494 gram (6,9%), dan kelompok krustasea (udang ronggeng- Squilla mantis) 70 gram (1,0%). Komposisi hasil tangkapan (total) baik ukuran jumlah (ekor) maupun ukuran berat (gram) dapat dilihat pada Tabel 14, Gambar 48 dan 49. Berdasarkan komposisi total (ekor) diperoleh bahwa hasil tangkapan lobster sebagai HTU dibandingkan dengan HTS masing-masing adalah 31 ekor (33,7%) dan 61 ekor (66,3%), dimana by-catch lebih besar dibandingkan dengan HTS (Gambar 50). Rata-rata hasil tangkapan (ekor) per trip ± SE untuk lobster adalah 1,6 ekor ± 0,04 dan by-catch sebesar 3,1 ekor ± 0,11 (Gambar 51).
88
Tabel 14 No. 1
2
Komposisi hasil tangkapan total jumlah (ekor) dan berat (gram)
Hasil tangkapan Utama: a. Krustasea (lobster) Lobster hijau pasir (Panulirus homarus) Lobster hijau (Panulirus versicolor) Lobster mutiara (Panulirus ornatus) sub-Total HTU Sampingan (By-catch): a. Krustasea (rajungan) Rajungan (Portunus pelagicus) Rajungan (Portunus sanguinolentus) Rajungan (Carybdis natator) Rajungan (Carybdis feriatus) sub-Total b. Moluska Sotong (Sepia sp) sub-Total c. Ikan Kerapu tutul (Epinephelus maculatus) Singreng (Canthigaster sp.) sub-Total d. Krustasea (udang) Udang ronggeng (Squilla mantis) sub-Total sub-Total HTS Total Hasil Tangkapan
Ikan 5 ekor (5,4%)
Jumlah (ekor) %
Berat (gram) %
29 1 1 31
31.5 1.1 1.1 33.7
1,780.5 55.0 90.0 1,925.5
25.0 0.8 1.3 27.0
4 7 10 12 33
4.3 7.6 10.9 13.0 35.9
280.0 205.0 495.0 2,351.0 3,331.0
3.9 2.9 6.9 33.0 46.7
22 22
23.9 23.9
1,312.0 1,312.0
18.4 18.4
4 1 5
4.3 1.1 5.4
474.0 20.0 494.0
6.6 0.3 6.9
1 1 61 92
1.1 1.1 66.3 100
70.0 70.0 5,207.0 7,132.5
1.0 1.0 73.0 100
Udang 1 ekor (1,1%)
Sotong 22 ekor (23,9%)
Lobster 31 ekor (33,7%)
Rajungan 33 ekor (35,9%)
Gambar 48 Komposisi hasil tangkapan total dalam jumlah (ekor)
89
Ikan 494,0 0 gram (6,9% %)
Udang 70,0 gram (1,0%)
Sotong 13 312,0 gram (18,4%)
Lobster 192 25,5 gram (27,0 0%)
Rajungan 3331,0 gram (46,7%)
Gambar 49 4 Komposisii hasil tangkapan total daalam berat (ggram)
Gambar 500 Komposisi hasil tangkaapan total dallam jumlah ((ekor)
Gambar 511 Rata-rata hasil h tangkap pan (ekor) peer trip ± SE aantara antara lobster dengan by-catch b
90
Lobster yang dominan tertangkap adalah jenis lobster hijau pasir (Panulirus homarus).
Lobster yang tertangkap dominan pada selang kelas
panjang karapas 38 – 45 mm (18 ekor) yang merupakan ukuran lobster yang masih kecil (baby lobster) (Gambar 52). Pada trip ke-8 tertangkap se-ekor jenis lobster hijau pasir (Panulirus homarus) dengan ukuran panjang karapas 120 mm dan berat 120 gram sudah memiliki telur (Gambar 53). Berdasarkan selang kelas berat (gram) lobster yang tertangkap sebanyak 30 ekor merupakan di bawah ukuran ekonomis, karena di bawah 100 gram harga lobster sangat rendah, selain
Hasil Tangkapan Lobster (ekor)
juga karena memang ukuran yang masih kecil untuk dimanfaatkan (Gambar 54).
20 18 16
18
14 12 10 8 6 4 2 0
5 2
30 - 37
38 - 45
46 - 53
2
2
2
54 - 61
62 - 69
70 - 77
Selang Kelas Panjang Karapas (mm)
Gambar 52 Komposisi selang kelas panjang karapas (mm) lobster hasil tangkapan
Gambar 53 Lobster hijau pasir dengan telur yang melekat pada pleopod
Hasil Tangkapan Lobster (ekor)
91
20 18 16 14 12 10
di bawah size ekonomis
8
8
7
8 6 4 2 0
4
3 1
25 - 41
42 - 58
59 - 75
76 - 92
93 - 109 110 - 126
Selang Kelas Berat (gram)
Gambar 54 Komposisi selang kelas berat (gram) lobster hasil tangkapan
Hasil analisis sidik ragam untuk total hasil tangkapan lobster (Tabel 15) menunjukkan bahwa faktor bubu lipat dan perlakuan umpan berpengaruh nyata (Fvalue = 3,45 > Ftabel = 2.72 atau p-value = 0.0206 < 0.05) pada taraf nyata 5%.
Tabel 15 Analisis sidik ragam perlakuan terhadap total hasil tangkapan lobster
Sumber keragaman Perlakuan Galat Total Koreksi
db
Jumlah kuadrat
3 76 79
0.88266572 6.47633388 7.35899959
Kuadrat F(0,05) Probabilitas Tengah 0.29422191 3.45* 0.0206 0.08521492
Dari hasil analisis sidik ragam masing-masing faktor terlihat bahwa jenis umpan berpengaruh terhadap hasil tangkapan pada taraf nyata 5%, dengan p– value = 0,0296 < 0.05. Jenis bubu berpengaruh terhadap hasil tangkapan (α = 5%), dengan p–value = 0.0396 < 0.05. Di antara bubu dan umpan tidak ada interaksi pada taraf nyata 5% terlihat pada p–value = 0.3073 > 0.05 (Tabel 16). Tabel 16 Analisis sidik ragam masing-masing faktor terhadap total hasil tangkapan lobster Sumber keragaman Umpan Bubu Interaksi Umpan-Bubu
db 1 1 1
Kuadrat Tengah 0.41900295 0.37362545 0.09003732
F(0,05) 4,92* 4,38* 1,06
Probabilitas 0.0296 0.0396 0.3073
92
4.4.2 Perbedaan efektivitas bubu lipat Berdasarkan penggunaan bubu lipat Modifikasi Pintu Samping (MPS) dengan bubu lipat Standar (S) selama 20 trip operasi penangkapan tersebut dengan mengabaikan penggunaan umpan, maka komposisi hasil tangkapan dapat dilihat pada Tabel 17. Perolehan bubu lipat Modifikasi Pintu Samping (MPS) untuk kelompok krustasea (lobster) sebagai Hasil Tangkapan Utama (HTU) dengan total 9 ekor (29,0%), sementara komposisi hasil tangkapan perolehan bubu lipat Standar (S) adalah kelompok krustasea (lobster) 22 ekor (71,0%). Perolehan bubu lipat MPS untuk Hasil Tangkapan Sampingan (HTS) atau bycatch dengan total 20 ekor (32,8%), sementara komposisi hasil tangkapan perolehan bubu lipat Standar (S) untuk by-catch dengan total 41 ekor (67,2%). Tabel 17 Komposisi hasil tangkapan berdasarkan jenis bubu lipat
No.
Hasil tangkapan
1 2
Utama: lobster Sampingan: By-catch
Jenis bubu lipat Standar Modifikasi Pintu Samping Jumlah Jumlah (ekor) % (ekor) % 22 71.0 9 29.0 41 67.2 20 32.8
Dari hasil pengujian dengan uji Duncan, terlihat bahwa kedua jenis bubu, baik bubu lipat Modifikasi Pintu Samping (MPS) maupun bubu lipat Standar (S) berbeda nyata pada taraf nyata 5%. Dalam hal ini bubu yang paling baik digunakan adalah bubu lipat Standar (S) dengan nilai Mean 0,96025 yang lebih besar dibandingkan dengan bubu lipat Modifikasi Pintu Samping (MPS) yaitu yaitu 0,82358 (Tabel 18). Tabel 18 Uji Duncan untuk faktor bubu lipat terhadap hasil tangkapan lobster Mean dengan nilai yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata 5% Duncan group Jenis bubu lipat n Mean A Standar (S) 40 0,96025 B Modifikasi Pintu Samping (MPS) 40 0,82358
Rata-rata hasil tangkapan lobster per trip ± SE dengan menggunakan bubu lipat Modifikasi Pintu Samping (MPS) adalah 0,5 ekor ± 0,03, sedangkan bubu lipat Standar (S) adalah 1,1 ekor ± 0,05 (Gambar 55). Rata-rata hasil tangkapan
93
by-catch per trip ± SE denggan menggu unakan bubbu lipat M Modifikasi Pintu Samping (MPS) adallah 1 ekor ± 0,08, sedaangkan bubuu lipat Stanndar (S) adaalah 2 ekor ± 0,008. (Gambarr 56). Beerdasarkan hasil pengamatan di lapangan dan d analisiss terlihat bahwa bubu lipaat modifikassi pintu sam mping berhaasil menanggkap lobsterr dalam keaadaan hidup daan lengkapp semua anggota badannya, b meskipun rata-rata hasil tangkapannnya masihh kecil hinggga kemam mpuan menaangkap lobster hanya 50% dari bubuu lipat standdar. Hasil inni juga mem mberikan nilai n efektivvitas yang relatif r sama denngan pengujjian sebelum mnya. Nam mun demikkian, bubu lipat modiffikasi dapat mengurangi by-catch b hinngga 50% dibandingkkan penggunnaan bubu lipat standar (S S).
Gambar 555 Rata-rata hasil tangkkapan lobsteer (ekor) per p trip ± SE berdassarkan penggunaaan bubu lipatt Modifikasi Pintu Sampping (MPS) ddengan bubu u lipat Standar (S)
94
Gam mbar 56 Rata--rata hasil tangkapan by-catch (eekor) per trrip ± SE bberdasarkan pengggunaan bubuu lipat Modiifikasi Pintu Samping (M MPS) dengann bubu lipat Standdar (S)
Pengujiaan berdasarkkan faktor bubu b lipat, yaitu y bubu lipat modiffikasi pintu sampping dan buubu lipat sttandar telahh dilakukan n selama 200 trip. Penngujian ini untuuk melihat respons r hassil tangkapan lobster dari masinng-masing bbubu lipat, sehinngga dapat diketahui effektivitasnyya. Unit alaat tangkap penelitian menggunak kan sistem longline yyang dapat diperrhitungkan nilai efekktivitasnya,, yaitu prosentase juumlah lobster yang tertaangkap padda jenis buubu lipat tertentu teerhadap tottal bubu llipat yang dioperasikan unntuk keselurruhan trip peenangkapan n (Tabel 19)). Tabel 19 Nilai effektivitas bubbu lipat No.
Jenis bubu lipaat
1 2
Standar (S) ( Modifikaasi Pintu Sam mping (MPS)
Jumlah lobster (ekor) 22 9
Jumlah Hari operasi (trip) 20 20
Jumlah bubu lipat/trip (bubu) 12 12
Efektivitass bubu lipat (%) 9.2 2 3.8 8
95
Berdasarkan perhitungan nilai efektivitas bubu lipat pada Tabel 19 di atas, maka efektivitas bubu lipat standar (9,2%) lebih besar dibandingkan dengan bubu lipat modifikasi pintu samping (3,8%). Bubu lipat modifikasi pintu samping memberikan hasil tangkapan yang lebih sedikit dibandingkan dengan bubu lipat standar yang merupakan hasil yang sama dengan pengujian sebelumnya, sehingga bubu lipat standar dapat dikatakan lebih baik dalam memberikan hasil tangkapan lobster. 4.4.3 Perbedaan efektivitas umpan Berdasarkan penggunaan umpan cacing tanah dengan umpan tembang (standar) selama 20 trip operasi penangkapan dengan mengabaikan jenis bubu lipat yang digunakan, maka komposisi hasil tangkapan dapat dilihat pada Tabel 20. Perolehan bubu lipat dengan umpan cacing tanah untuk kelompok krustasea (lobster) sebagai HTU dengan total 22 ekor (71,0%), sementara komposisi hasil tangkapan perolehan bubu lipat dengan umpan tembang (standar) adalah kelompok krustasea (lobster) 9 ekor (29,0%). Perolehan bubu lipat dengan umpan cacing tanah untuk by-catch dengan total 24 ekor (39,3%), sementara komposisi hasil tangkapan perolehan bubu lipat dengan umpan tembang (Standar) by-catch dengan total 37 ekor (60,7%). Tabel 20 Komposisi hasil tangkapan berdasarkan jenis umpan
No. 1 2
Hasil tangkapan Utama: lobster Sampingan: By-catch
Jenis umpan Tembang Cacing tanah Jumlah Jumlah (ekor) % (ekor) % 9 29.0 22 71.0 37 60.7 24 39.3
Dari hasil pengujian dengan uji Duncan, terlihat bahwa kedua jenis umpan, baik umpan cacing tanah maupun umpan ikan tembang (standar) berbeda nyata pada taraf nyata 5%. Dalam hal ini bahwa umpan cacing tanah lebih baik dibandingkan dengan umpan standar yang biasa digunakan oleh nelayan, dimana nilai Mean umpan cacing tanah sebesar 0.96429 lebih besar dibandingkan dengan penggunaan umpan tembang (standar) yaitu 0.81954 (Tabel 21).
96
Tabel 21 Uji Dunncan untuk faktor f umpann terhadap haasil tangkapaan lobster Mean deengan nilai yang sama tiddak berbeda nyata n pada taaraf nyata 5% % D Duncan groupp Jenis umpan n Meean A Tembang (standar) ( 40 0.81954 B Cacing tanah 40 0.96429
Rata-rata hasil tanggkapan lobster per trip p ± SE denngan bubu lipat yang mengggunakan umpan u cacinng tanah addalah 1,1 ek kor ± 0,03, sedangkan bubu lipat yangg menggunaakan umpann tembang (standar) adalah a 0,5 ekor per trrip ± 0,03 (Gam mbar 57). Rata-rata R haasil tangkappan by-catch h per trip ± SE dengan bubu lipat yangg menggunaakan umpann cacing tannah adalah 1,2 1 ekor ± 0,06, 0 sedanggkan bubu lipatt yang mennggunakan umpan tem mbang (staandar) adallah 1,9 ekoor ± 0,08 (Gam mbar 58). Hasil annalisis mennunjukkan bahwa pen nggunaan umpan u caccing tanah mem mberikan niilai efektiviitas yang leebih baik dengan d kem mampuan m menangkap lobstter lebih dari d 50% dibandingka d an dengan bubu lipat yang mennggunakan umpan tembangg (standar).
Gam mbar 57 Rata--rata hasil tangkapan lobster (ek kor) per triip ± SE bberdasarkan pengggunaan bubuu lipat dengaan umpan caccing tanah daan umpan tem mbang (S)
97
Gambar 588 Rata-rata hasil tangkkapan by-cattch (ekor) per trip ± SE berdassarkan penggunaaan bubu lipatt dengan ump pan cacing taanah dan umppan tembang g (S)
Peengujian berrdasarkan faktor fa umpaan, yaitu bubbu lipat yanng menggun nakan umpan ikaan tembangg dan cacingg tanah telah h dilakukann selama 200 trip. Peng gujian ini untukk melihat respons hasil h tangkaapan lobstter dari buubu lipat yang menggunaakan
masing-masingg
jenis
umpan, u
seehingga
ddapat
dikeetahui
efektivitassnya. Unnit alat taangkap peenelitian menggunaka m an sistem longline dapat d diperhitunngkan nilai efektivitasnnya, yaitu sebagai prossentase jum mlah lobster yang tertangkapp pada bubuu lipat yangg menggunak kan jenis um mpan tertenntu terhadap p total bubu lipatt yang diopeerasikan unntuk keseluru uhan trip peenangkapann. Tabel 22 Nilai N efektiviitas umpan No.
Jennis um mpan
Jumlaah lobsteer (ekorr)
1 2
Teembang (stanndar) Caacing tanah (alternatif) (
9 22
Jumlaah Harii operassi (trip)) 20 20
Jumlaah bubuu lipat/trrip (bubuu) 12 12
Efektiv vitas bubu lipat l (%) 3.8 9.2
Beerdasarkan perhitungann nilai efek ktivitas umppan pada T Tabel 22 di atas, maka efekktivitas bubbu lipat yangg menggunaakan umpann cacing tannah (9,2%) lebih besar dibaandingkan dengan d yangg menggunaakan umpann tembang (3,8%).
98
4.5 Perubahaan Kadar Protein P daan Lemak Umpan Berdasarkan hasil analisis a kaddar protein (%) ( gram daalam 100 grram, maka dikettahui bahwa data awall umpan caccing tanah mengandun m ng 18,45% ddan terjadi penuurunan kadaar protein (% %) yang dipperhitungkaan dari dataa awal. Anaalisis yang diperrhitungkan berdasarkann lama pereendaman selama 1 jam m, 2 jam, 3 jaam, 6 jam, 9 jam m, dan 12 jam j dan terjadi penurrunan berturrut-turut addalah 5,53% %, 8,56%, 10,35%, 10,41% %, 11,27%,, dan 12,411%. Begittu juga denngan umpann tembang p (%) gram dalam m 100 gram m diketahui (stanndar) dimanna hasil anallisis kadar protein bahw wa data aw wal umpan tembang t m mengandung g 11,67% dan d terjadi ppenurunan kadaar protein (%) yang diperhitunngkan dari data awaal yang leebih besar dibanndingkan dengan d um mpan cacinng tanah.
Analisis yang y diperrhitungkan
berddasarkan lam ma perendam man selamaa 1 jam, 2 jam, 3 jam, 6 jam, 9 jaam, dan 12 jam dan terjaddi penurunaan berturutt-turut adallah
5,40% %, 12,77%, 43,44%,
45,16%, 50,90% %, 51,76% (Gambar 59). Dengan n demikian, bahwa caccing tanah menggalami pennurunan kaadar proteiin yang cukup c lambbat dengann rata-rata penuurunan 9,766% ± 0,40 dibandingka d an dengan umpan tem mbang 34,900% ± 3,40 (Gam mbar 60).
Gam mbar 59 Perubbahan kadar protein umppan cacing taanah dan tem mbang berdasaarkan lamaa perendamann
99
Gambar 600 Rata-rata perubahan kadar k proteiin (% ± SE E) umpan ccacing tanah h dan tembang berdasarkan lama perendaaman
Beerdasarkan hasil analissis kadar lem mak (%) grram dalam 100 gram, maka m diketahui bahwa data awal umppan cacing tanah menggandung 2,11% dan teerjadi penurunann kadar lem mak (%) yanng diperhitu ungkan darri data awall. Analisis yang diperhitunngkan berdaasarkan lam ma perendam man selama 1 jam, 2 jam m, 3 jam, 6 jam, 9 jam, daan 12 jam dan d terjadi penurunan p berturut-tur b rut adalah 45,2%, 46,45%, 59,72%, 72,99%, 7 788,20%, dann 90,52%. Begitu jugga dengan uumpan tem mbang (standar) dimana hassil analisis kadar k lemak k (%) gram m dalam 1000 gram dikeetahui bahwa daata awal um mpan tembbang mengaandung 1,04% dan teerjadi penurrunan kadar lem mak (%) yang dipeerhitungkan dari dataa awal yaang lebih kecil dibandinggkan dengaan umpan cacing tan nah.
Anaalisis yang diperhitun ngkan
berdasarkkan lama perendaman selama s 1 jam m, 2 jam, 3 jam, 6 jam m, 9 jam, daan 12 jam dan terjadi pennurunan beerturut-turutt adalah
2 23,08%, 244,04%, 32,69%,
5 75,96% (Gam mbar 61). Dengan D dem mikian, bahw wa cacing tanah t 37,50%, 55,77%, mengalam mi penurunaan kadar lem mak yang leebih cepat dengan d rataa-rata penurrunan 65,48% ± 3,04 dibanndingkan denngan tembaang 41,51% ± 3,44 (Gaambar 62).
100
Gam mbar 61 Perubbahan kadar lemak umpaan cacing tan nah dan tembbang berdasarkan lamaa perendamann
Rata-rata penurunan kadar lemak (%) +/- SE
90 80 65.48 70 60 41.51 1 50 40 30 20 10 0 1
JEN NIS UMPAN C Cacing tanah T Tembang
Gam mbar 62 Rata--rata perubahhan kadar lem mak (% ± SE E) umpan caccing tanah daan tembang berdaasarkan lamaa perendamann
101
Penurunan kadar protein (%) umpan cacing tanah yang lebih lambat menunjukkan bahwa cacing tanah lebih tahan lama dalam waktu perendaman dibandingkan dengan umpan tembang (standar) dan hal ini dapat menjadi acuan penjelasan bahwa cacing tanah adalah umpan yang efektif dalam penangkapan lobster dengan alat tangkap bubu lipat. Hasil perendaman terhadap umpan cacing tanah dan tembang terlihat terjadi beberapa perubahan seperti warna umpan, dan bau khas dari masingmasing umpan. Semakin lama di rendam, warna umpan terlihat berubah, seperti cacing tanah akan berubah menjadi berwarna hitam, lumer dan lengket. Saat masih dalam keadaan basah cacing tanah masih berbau khas dan segar, namun setelah mengering akan berbau busuk. Umpan tembang dalam keadaan basah, setelah dilakukan perendaman tidak terlalu terlihat perubahannya, karena umpan tembang yang direndam adalah utuh per ekor ikan dan berbau khas ikan segar. Namun saat sudah mulai kering akan tercium bau ikan yang tidak segar lagi dan ikan terlihat mulai pucat. dilihat pada Lampiran 11.
Perubahan fisik umpan setelah perendaman dapat
5
PEMBAHASAN
5.1 Bubu Lipat Bubu lipat modifikasi pintu samping dan bubu lipat pintu atas dengan penambahan pintu jebakan bentuk kisi-kisi merupakan desain dan konstruksi yang pertama kali dibuat. Cacing tanah sebagai hewan yang berasal dari daratan sudah sering dilakukan sebagai umpan untuk memancing ikan di perairan umum. Kegiatan experimental fishing menggunakan bubu lipat modifikasi dengan menggunakan umpan cacing merupakan kegiatan uji coba penangkapan yang juga pertama kali dilakukan.
Melalui pengujian, diharapkan dapat diukur
efektivitasnya bila dibandingkan dengan bubu lipat standar dan umpan standar. Spesifikasi bubu lipat pintu samping dengan pintu jebakan yang berbentuk kisi-kisi adalah : bentuk bubu empat persegi panjang (box type); ukuran 60 cm x 45 cm x 30 cm (pxlxt); memiliki satu pintu masuk di bagian samping; sudut slope net (bagian atas dan bawah) adalah 22,5°; bingkai bubu bahan besi galvanis berdiameter 6 mm; badan jaring (cover net) bahan Polyethylene (PE) mesh size 1,5 inci 210 D/18; pintu jebakan bentuk kisi-kisi bahan plastik dengan tebal 1 mm. Spesifikasi bubu lipat pintu atas dengan pintu jebakan yang berbentuk kisi-kisi adalah : bentuk bubu trapesium (trapezoidal type); ukuran 60 cm x 45 cm x 30 cm (pxlxt); memiliki satu pintu masuk di bagian atas; sudut slope net (bagian samping) adalah 70°; bingkai bubu bahan besi galvanis berdiameter 6 mm; badan jaring (cover net) bahan Polyethylene (PE) mesh size 1,5 inci 210 D/18. pintu jebakan bentuk kisi-kisi bahan plastik dengan tebal 1 mm. Bubu lipat modifikasi pintu samping dengan bubu lipat modifikasi pintu atas secara konstruksi berbeda posisi pintu masuknya.
Kedua bubu lipat
modifikasi juga berbeda dengan bubu lipat standar yang merupakan bubu lipat rajungan.
Pengujian bubu lipat modifikasi terhadap bubu lipat standar
merupakan pengujian terhadap bubu lipat acuan. Bubu lipat standar mungkin saja hanya memperoleh hasil tangkapan rajungan dan tidak mendapatkan lobster karena bubu lipat standar adalah bubu rajungan dengan bentuk pintu masuk yang
104
menyempit (slit type). Bubu lipat modifikasi mungkin saja dapat menangkap keduanya, baik lobster maupun rajungan.
5.2 Bubu Lipat dan Umpan Standar Hasil tangkapan bubu lipat penelitian pada pengujian efektivitas bubu lipat, yaitu bubu lipat modifikasi pintu samping, bubu lipat modifikasi pintu atas dan bubu lipat standar dengan menggunakan umpan tembang telah dilakukan selama 31 trip.
Hasil tangkapan terdiri dari lobster (lobster hijau pasir -
Panulirus homarus, lobster hijau - Panulirus versicolor, dan lobster mutiara Panulirus ornatus), rajungan – blue swimming crab, sotong-Sepia sp., kerapu tutul- Epinephelus maculatus, dan Singreng - Canthigaster sp.. Hasil pengujian efektivitas bubu lipat penelitian, yaitu antara bubu lipat modifikasi pintu samping, bubu lipat modifikasi pintu atas dengan bubu lipat standar menunjukkan bahwa bubu lipat standar lebih baik dibandingkan dengan bubu lipat modifikasi. Sementara, bubu lipat modifikasi pintu samping lebih baik dibandingkan dengan bubu lipat modifikasi pintu atas. Bubu lipat standar penelitian untuk menangkap lobster memiliki ukuran pxlxt lebih besar dibandingkan dengan bubu lipat standar untuk menangkap rajungan, sehingga bubu lipat standar penelitian diduga memiliki peluang yang lebih besar untuk menangkap lobster lebih banyak bila dibandingkan dengan bubu lipat standar yang biasa dipakai untuk menangkap rajungan; Bubu lipat modifikasi pintu samping hanya memiliki satu pintu, sama halnya dengan bubu lipat modifikasi pintu atas. Sedangkan bubu lipat standar memiliki dua pintu samping, sehingga diduga akan memberikan peluang yang cukup besar bagi lobster untuk memasuki bubu lipat standar dengan catatan bahwa posisi jatuhnya bubu lipat standar saat dilakukan setting alat tangkap dan berada di dasar perairan dalam keadaan tidak terbalik. Bila posisi bubu lipat standar terbalik di dasar perairan akan menempatkan sudut slope net akan menjadi cukup tinggi yaitu 67,5° yang dapat menyulitkan lobster untuk bergerak menuju pintu masuk. Bubu lipat modifikasi pintu atas memiliki sudut slope net yang paling tinggi, yaitu 70° dan hanya berhasil menangkap 3 ekor lobster yang merupakan jumlah yang sedikit dibandingkan dengan hasil tangkapan lobster
105
pada bubu lipat standar dan bubu lipat modifikasi pintu samping masing-masing 25 ekor dan 14 ekor. Kondisi sudut slope net yang cukup tinggi diduga akan menyulitkan bagi lobster untuk mencapai pintu masuk bubu. Di Selandia Baru untuk penangkapan lobster memiliki bukaan mulut yang berbentuk lingkaran dan terletak di bagian atas bubu dan berhasil menangkap lobster (Gorman, 1996). Bubu lipat yang dilakukan modifikasi hanya menggunakan satu pintu adalah untuk lebih membesarkan volume ruangan dalam bubu lipat, sehingga bubu lipat diduga dapat memiliki peluang untuk memperoleh lobster lebih dari satu ekor. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Thomas (1954) yang diacu dalam Shelton and Hall (1981) yang melakukan pengujian terhadap alat tangkap bubu antara scottish creel (pintu samping jumlah satu pintu) dengan traditional cornish inkwell pot (pintu atas jumlah satu pintu) yang memberikan hasil tangkapan lobster jenis Homarus gammarus masing-masing adalah 66 ekor dan 48 ekor dalam 384 hauling. Secara statistik menunjukkan bahwa hasil tangkapan lobster dari setiap alat tangkap bubu tersebut terbukti tidak berbeda nyata dalam jumlah dan ukuran; Ukuran pintu masuk bubu lipat modifikasi, baik modifikasi pintu samping maupun pintu atas memiliki ukuran pintu masuk yang cukup luas, yaitu 30 cm x 14 cm (panjang x tinggi/ atau lebar) dibandingkan dengan ukuran pintu masuk bubu lipat standar penelitian. Pintu masuk bubu lipat standar berbentuk ellips atau slit type merupakan bentuk pintu masuk yang mengerucut seperti bentuk lubang di batu karang dengan ukuran yang sempit.
Celah yang kecil dapat
membuat lobster tetap berusaha masuk ke dalam bubu, terutama untuk lobster yang berukuran kecil.
Sementara, meskipun bubu lipat modifikasi memiliki
ukuran yang cukup luas, namun penggunaan pintu plastik bentuk kisi-kisi dapat saja mengganggu bagi lobster untuk masuk ke dalam bubu. Penggunaan pintu pemicu bentuk kisi-kisi pada mulut bubu lipat modifikasi selain berfungsi untuk memberikan peluang bagi lobster untuk mudah masuk, tetapi sulit untuk keluar dan sekaligus bagian dari upaya untuk mengurangi hasil tangkapan sampingan (by-catch). Seperti yang diungkapkan oleh Phillips et al., (1980) bahwa desain yang tepat dari perangkap adalah membuat lobster dapat masuk melalui mulut bubu dan menyulitkannya untuk
106
keluar. Pengamatan lobster dalam tangki percobaan (Shelton, 1981) menjelaskan bahwa masuknya lobster ke dalam perangkap mungkin diperlambat oleh kesulitan pengalaman dalam menemukan pintu masuk. Lobster membutuhkan waktu yang cukup lama dalam berusaha mendapatkan jalan ke arah umpan hingga pada bagian sisi dari perangkap, khususnya jika ada bagian dari jaring yang tersentuh tangan yang terkontaminasi umpan, dimana ada periode waktu bagi lobster dalam usaha memakan jaring yang terkontaminasi umpan tersebut. Namun, dapat saja bahwa pemasangan pintu pemicu bentuk kisi-kisi justru dapat menghalangi bagi lobster untuk masuk.
Pada kondisi tersebut diperlukan
penelitian lanjutan yang terkait dengan performa bubu lipat modifikasi terkait dengan cara dan keberhasilan lobster memasuki bubu lipat modifikasi. Hasil tangkapan lobster memiliki ukuran yang masih kecil (baby lobster) dengan ukuran berat (gram) < 100 gram.
Hal ini diduga karena kegiatan
penangkapan dilakukan pada kedalaman yang cukup dangkal, yaitu antara 5 – 15 meter dengan substrat dasar perairan lumpur, pasir dan berkarang. Berdasarkan informasi dari nelayan setempat bahwa perairan di daerah penelitian sering tertangkap juvenil lobster oleh alat tangkap bagan tancap pada kedalaman < 10 meter.
Sehingga diduga bahwa perairan tersebut sebagai tempat bertelurnya
lobster (spawning ground) hingga berkembang menjadi lobster kecil (baby lobster). Pada musim tertentu di perairan tersebut, lobster dengan ukuran kecil akan berlimpah dan penggunaan bubu lipat akan memberikan hasil tangkapan lobster.
Menurut Goni et al. (2003), bahwa kondisi matang gonad secara
fisiologi (size at maturity) untuk lobster betina dari spiny lobster di Perairan Mediterania terjadi pada ukuran panjang karapas antara 76 – 77 mm. Sedangkan untuk lobster jantan dari lobster yang sama terjadi pada ukuran panjang karapas 82,5 mm.
Bila dibandingkan dengan lobster hasil tangkapan yaitu ukuran
panjang karapas < 70 mm, maka kondisinya belum dalam keadaan matang gonad. Peran IPTEK dalam pengembangan perikanan bubu menjadi sangat penting untuk tujuan-tujuan yang berhubungan dengan aspek pemanfaatan sumber daya dan aspek keberlanjutan sumber daya. Faktor yang menjadi daya tarik bagi nelayan dalam memanfaatkan sumber daya lobster adalah selain memiliki harga yang cukup tinggi, lobster yang tertangkap dalam keadaan hidup
107
dengan ukuran kecil (di bawah size ekonomis) dapat dikembangkan kegiatan budidaya pembesaran dalam karamba apung.
Dengan kata lain, bahwa
penangkapan lobster dengan alat tangkap bubu lipat dapat memberikan manfaat lain, yaitu perolehan bibit lobster dari alam untuk kegiatan usaha budidaya pembesaran.
5.3 Bubu Lipat Modifikasi dan Umpan Cacing Tanah Hasil tangkapan bubu lipat penelitian pada pengujian efektivitas bubu lipat modifikasi pintu samping dan bubu lipat standar dengan menggunakan umpan cacing tanah dan umpan tembang selama 20 trip, relatif homogin dengan hasil tangkapan pada pengujian efektivitas bubu lipat dengan umpan tembang (standar) yang telah dilakukan sebelumnya (31 trip). Hasil tangkapan terdiri dari lobster (lobster hijau pasir - Panulirus homarus, lobster hijau - Panulirus versicolor, dan lobster mutiara - Panulirus ornatus), rajungan - swimming crab, sotong-Sepia sp., kerapu tutul- Epinephelus maculatus, dan udang ronggengSquilla mantis. Lobster yang dominan tertangkap adalah jenis lobster hijau pasir (Panulirus homarus). Lobster yang tertangkap berada pada selang kelas panjang karapas < 77 mm yang merupakan ukuran lobster yang masih kecil (baby lobster). Berdasarkan selang kelas berat (gram) lobster yang tertangkap sebanyak 30 ekor merupakan di bawah ukuran ekonomis, karena di bawah 100 gram harga lobster sangat rendah, selain juga karena memang ukuran yang masih kecil untuk dimanfaatkan. Namun demikian salah satu jenis lobster hijau pasir (Panulirus homarus) yang tertangkap pada trip ke-8 dengan ukuran panjang karapas (CL) 72 mm dan berat 120 gram sudah memiliki telur. Kondisi matang dewasa pertama lobster memiliki ukuran panjang karapas yang berbeda-beda. Seperti yang diungkapkan oleh Montgomery (1992) bahwa tidak ada perbedaan secara signifikan dalam panjang karapas (CL) antara ukuran lobster pada saat matang dewasa pertama dan ukuran lobster saat pemuliaan. Kriteria Pencapaian matang dewasa ini adalah kehadiran setae yang berkembang dengan baik, atau adanya telur melekat pada pleopods (kaki renang). Tidak ada
108
perbedaan signifikan dalam panjang karapas (CL) antara ukuran lobster pada saat matang dewasa pertama dan ukuran lobster saat pemuliaan (Montgomery 1992). Umumnya kondisi matang dewasa didefinisikan sebagai ukuran pertama atau usia di mana 50% dari hewan mencapai kematangan seksual (Somerton 1980 diacu dalam Montgomery 1992).
Aiken dan Waddy (1980) diacu dalam
Montgomery (1992) menjelaskan berbagai karakteristik lobster yang telah digunakan untuk menentukan matang dewasa, yaitu termasuk perubahan dalam hubungannya dengan morfometrik, dimorfisme dari pleopods, kondisi ovarium, kehadiran telur, kehadiran kelimpahan spermatophoric, dan perubahan dalam sternalis. Sebuah pengetahuan tentang ukuran di mana hewan mencapai kondisi matang dewasa dapat menjadi penting dalam pengelolaan stok. Hal ini memungkinkan, yaitu kombinasi informasi tentang distribusi panjang individu dan perkiraan proporsi hewan yang mampu berkembang biak dalam populasi. Hal ini dapat digunakan juga sebagai ukuran yang mendasari ukuran minimum yang legal dan /atau usia untuk hewan yang diperbolehkan untuk ditangkap. Tujuan dalam pengelolaan adalah untuk melindungi hewan yang cukup matang dewasa dari kegiatan penangkapan sehingga stok yang ada cukup untuk mempertahankan populasi, atau untuk mempromosikan ukuran maksimum yang tertangkap dari jenis yang diinginkan dari individu dengan ukuran tertentu dalam populasi (Alen 1954 diacu dalam Montgomery 1992). Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa faktor bubu lipat (bubu lipat modifikasi pintu samping dan bubu lipat standar) dan perlakuan umpan (cacing tanah dan tembang) yang dilakukan secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan lobster (Fvalue α=5% = 3,45 > Ftabel = 2.72 atau pvalue = 0.0206 < 0.05). Selanjutnya, hasil analisis sidik ragam untuk masingmasing faktor, yaitu untuk penggunaan jenis bubu lipat (bubu lipat modifikasi pintu samping dan bubu lipat) berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan lobster (p–value
α=5%
= 0.0396 < 0.05). demikian juga dengan penggunaan jenis umpan
(cacing tanah dan tembang) berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan lobster (p–value
α=5%
= 0,0296 < 0.05). Sedangkan di antara bubu dan umpan tidak ada
interaksi terhadap perolehan hasil tangkapan lobster (p–value
α=5%
= 0.3073 >
109
0.05). Pada kondisi tersebut diperlukan analisis lanjutan untuk melihat perbedaan efektivitas masing-masing diantara faktor bubu lipat dan perlakuan umpan dalam memperoleh hasil tangkapan lobster. Atau dengan kata lain bahwa faktor bubu lipat dan perlakuan umpan masing-masing berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan lobster. Gunarso
(1985)
menyatakan
bahwa
untuk
memudahkan
dalam
menangkap ikan selain menggunakan alat tangkap, dibutuhkan juga taktik dan metode yang tepat. Selain adanya interaksi yang saling ketergantungan, antara lain seperti kepada jenis ikan, kondisi fisiologis ikan, musim atau bahkan perubahan waktu dalam sehari.
Taktik dalam penangkapan dengan bubu
diperlukan bagaimana bubu dapat menarik perhatian lobster (lobster attraction) bahwa bubu dapat berfungsi sebagai tempat berlindung (shelter) atau tempat bersembunyi (hiding place) dan taktik penggunaan umpan untuk tujuan menimbulkan rangsangan umpan bersifat kimiawi (chemical bait). Faktor bubu lipat saat di dasar dapat berfungsi sebagai
tempat berlindung (shelter) atau
tempat bersembunyi (hiding place), sedangkan penggunaan umpan dapat menimbulkan bau akibat faktor kimiawi umpan (chemical bait). Hasil uji Duncan terhadap faktor bubu lipat adalah bahwa kedua jenis bubu, baik bubu lipat modifikasi pintu samping maupun bubu lipat Standar berbeda nyata pada taraf α = 5%. Dalam hal ini bubu yang paling baik digunakan adalah tetap bubu lipat Standar (Mean = 0,96025) dibandingkan dengan bubu lipat modifikasi pintu samping (Mean = 0,82358).
Hasil uji duncan juga
diperkuat oleh analisis rata-rata hasil tangkapan lobster per trip bubu lipat standar (1,1 ekor ± 0,05) lebih baik dibandingkan dengan bubu lipat modifikasi pintu samping (0,5 ekor ± 0,03). Demikian juga dengan nilai efektivitas bubu lipat, yaitu bahwa efektivitas bubu lipat standar (9,2%) lebih besar dibandingkan dengan bubu lipat modifikasi pintu samping (3,8%). Kondisi ini sama dengan hasil yang diperoleh dalam pengujian sebelumnya, yaitu bahwa efektivitas bubu lipat standar lebih baik dibandingkan dengan bubu lipat modifikasi pintu samping dan bubu lipat modifikasi pintu atas yang telah dilakukan experimental fishing dengan menggunakan umpan tembang. Hal ini menegaskan kembali bahwa bubu
110
standar masih lebih baik dalam perolehan hasil tangkapan lobster dibandingkan dengan bubu lipat modifikasi. Rata-rata hasil tangkapan sampingan (by-catch) per trip bubu lipat modifikasi pintu samping (1 ekor ± 0,08) lebih sedikit dibandingkan dengan bubu lipat standar (2 ekor ± 0,08). Kondisi ini dapat dikatakan bahwa bubu lipat modifikasi dapat mereduksi by-catch hingga 50% dibandingkan penggunaan bubu lipat standar.
Namun demikian, jenis by-catch yang tertangkap juga
memiliki nilai komersial yang cukup tinggi, seperti rajungan, ikan kerapu dan sotong. Meskipun dapat mereduksi by-catch bagi bubu lipat modifikasi pintu samping dan bubu lipat standar memperoleh hasil tangkapan lobster dan by-catch dalam keadaan hidup. Hasil tangkapan jenis lobster memiliki ukuran yang masih kecil, sehingga diperlukan aspek pengelolaan yang baik dalam memanfaatkan lobster dengan ukuran di bawah size ekonomis.
Salah satu bentuk upaya
pengelolaan yang menjadi pilihan adalah pengembangan budidaya pembesaran lobster, dimana bibit lobster ditangkap dari alam sebagai hasil tangkapan bubu lobster kemudian dimasukan ke dalam karamba apung . Bubu biasanya digunakan oleh nelayan untuk menangkap dan mempertahankan target tangkapan yang diinginkan yaitu lobster dan jenis krustasea lainnya yang juga target yang baik, seperti halnya ikan bersirip, gastropoda dan moluska (Miller 1990). Lebih dari itu, bubu juga mewakili alat tangkap yang berguna untuk kegiatan pemanenan sumberdaya ikan yang bertanggung jawab. Bubu adalah alat tangkap yang selektif, hasil tangkapan di bawah ukuran ekonomis dapat dikembalikan ke perairan tanpa melukainya, sedikit hasil tangkapan sampingan atau by-catch (Groneveld 2000) dan mempunyai dampak yang minimum terhadap komunitas dasar perairan (Eno et al., 2001). Lebih jauh dikatakan oleh Miller (1990), bahwa kualitas bubu lipat sebagai perangkap adalah karena hasil tangkapan dalam keadaan hidup dengan kualitas yang sangat baik, hasil tangkapan di bawah ukuran ekonomis (under size) dapat dikembalikan ke perairan dalam keadaan hidup dan biaya penangkapan rendah. Umpan merupakan salah satu faktor penting untuk menunjang keberhasilan suatu operasi penangkapan, khususnya untuk alat tangkap yang
111
bersifat pasif seperti bubu. (1993),
bahwa
umpan
Seperti yang dinyatakan oleh Raharjo dan Linting merupakan
perangsang
yang
memikat
sasaran
penangkapan dan sangat berpengaruh untuk meningkatkan laju tangkap bubu. Percobaan-percobaan
yang
telah
dilakukan
dalam
skala
laboratorium
menunjukkan bahwa lobster Jasus lalandei memakan makanan yang disukainya jika diberikan pilihan, dan memilih umpan-umpan alami yang ada di laut sebelum digunakan jenis makanan alami di darat (daging hewan). Selanjutnya, Fielder (1965) menyatakan bahwa terdapat beberapa kondisi terkait dengan tingkah laku makan lobster Jasus lalandei tentang makanan yang disukai, yaitu : (1) Lobster Jasus lalandei memiliki tingkah laku makan yang selektif, yaitu jika diberikan pilihan makanan; (2) Umpan yang berasal dari laut, seperti ikan dan hiu lebih disukai daripada umpan yang berasal dari daratan, seperti kuda dan kelinci; (3) Umpan segar lebih disukai dari pada umpan busuk; dan (4) Umpan cumi-cumi termasuk jenis umpan yang efisien seperti halnya umpan ikan. Hasil uji Duncan terhadap perlakuan umpan adalah bahwa kedua jenis umpan, baik umpan cacing tanah maupun tembang berbeda nyata pada taraf α = 5%. Dalam hal ini umpan yang paling baik digunakan adalah cacing tanah (Mean = 0.96429) dibandingkan dengan umpan tembang (Mean = 0.81954). Hasil uji duncan juga diperkuat oleh analisis rata-rata hasil tangkapan lobster per trip bahwa bubu lipat yang menggunakan umpan cacing tanah (1,1 ekor ± 0,03) lebih baik dibandingkan dengan bubu lipat yang menggunakan umpan tembang (0,5 ekor ± 0,03). Demikian juga dengan hasil perhitungan nilai efektivitas umpan, yaitu bahwa efektivitas bubu lipat yang menggunakan umpan cacing tanah (9,2%) lebih besar dibandingkan dengan yang menggunakan umpan tembang (3,8%). Rata-rata hasil tangkapan sampingan (by-catch) per trip untuk bubu lipat yang menggunakan umpan cacing tanah (1,2 ekor ± 0,06) lebih sedikit dibandingkan dengan bubu lipat yang menggunakan umpan tembang (1,9 ekor ± 0,08).
Hasil
analisis
menunjukkan
bahwa
pengoperasian
bubu
yang
menggunakan umpan cacing tanah dapat mereduksi by-catch hingga 36,8% dibandingkan dengan bubu lipat yang menggunakan umpan tembang.
112
5.4 Umpan Alternatif Cacing tanah sebagai hewan yang berasal dari daratan sudah sering dilakukan sebagai umpan untuk memancing ikan di perairan umum. Kegiatan experimental fishing menggunakan bubu lipat modifikasi dengan menggunakan umpan cacing merupakan kegiatan uji coba penangkapan yang juga pertama kali dilakukan. Hal-hal yang berhubungan dengan umpan sebagai atraktor dalam penangkapan ikan ditentukan oleh kandungan kimia umpan yang digunakan. Kandungan kimia tersebut erat kaitannya sebagai perangsang bau yang meliputi kandungan proksimat (protein dan lemak), asam amino, asam lemak dan amoniak. Seperti yang dikatakan Sadhori (1985) menjelaskan bahwa umpan merupakan salah satu bentuk rangsangan (stimulus) yang bersifat fisika dan kimia yang dapat memberikan respons bagi ikan-ikan tertentu dalam proses penangkapan.
Begitu juga dengan lobster, umpan merupakan salah satu faktor
penting sebagai bahan atraktor dalam memikat lobster.
Umpan yang
mengandung unsur lemak, protein dan chitine serta adanya bau yang menyengat merupakan umpan yang sangat baik sebagai bahan atraktor untuk memikat lobster (Fielder 1965; Phillips and Cobb 1980; Moosa dan Aswandy 1984). Hasil uji proksimat terhadap kadar protein umpan berdasarkan 6 tahap lama perendaman, yaitu lama perendaman 1, 2, 3, 6, 9, dan 12 jam terlihat bahwa cacing tanah mengalami penurunan kadar protein yang cukup lambat dengan ratarata penurunan 9,76% ± 0,40 dibandingkan dengan umpan tembang 34,90% ± 3,40. Dengan demikian, selain cacing tanah memiliki kandungan protein yang tinggi, juga memiliki ketahanan umpan yang cukup tinggi dibandingkan dengan umpan tembang. Dalam protein kasar banyak mengandung asam amino yang berguna untuk menjadi stimulus makan bagi target tangkapan. Seperti yang diungkapkan Engas and Lokkeborg (1994), bahwa umpan yang mengandung asam amino diidentifikasi dapat menjadi stimulus dan atraktor makan pada ikan dan krustasea. Hampir semua studi mengenai rangsangan kimia untuk tingkah laku makan menunjukkan bahwa rangsangan makan pada ikan dan krustasea akan hilang seiring dengan hilangnya kandungan asam amino pada umpan. Sedangkan
113
cacing tanah mengalami penurunan kadar lemak yang lebih cepat dengan ratarata penurunan 65,48% ± 3,04 dibandingkan dengan umpan tembang 41,51% ± 3,44.
Rantai kimia pada kandungan asam lemak apabila terpotong akan
berpengaruh pada pembentukan komponen yang bertanggung jawab atas rangsangan bau. Berdasarkan hasil penelitian di Samudera Pasifik, bahwa umpan yang mengandung banyak lemak menghasilkan tangkapan yang lebih baik dibandingkan dengan umpan yang mengandung lemak yang kurang (King 1986 diacu dalam Rahardjo dan Linting 1993). Pendekatan penggunaan umpan alami yang berasal dari wilayah daratan adalah bahwa umpan tersebut dapat dibudidayakan secara sederhana sehingga pengadaannya tidak membutuhkan biaya yang besar. Kegiatan pemeliharaan dalam budidaya cacing tanah (Lumbricus rubellus) tidak dibutuhkan lahan yang luas atau biaya pakan yang mahal, karena pemeliharaan cacing tanah bersifat zero feed cost (Edwards and Lotfy 1972 diacu dalam Pardamean 2002). Penggunaan cacing tanah sebagai umpan alternatif akan mengurangi tekanan terhadap pemanfaatan ikan rucah dalam upaya pengembangan perikanan bubu lobster.
6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan Kesimpulan dalam penelitian rancang bangun bubu lipat modifikasi dan penggunaan cacing tanah (Lumbricus rubellus) sebagai umpan alternatif untuk penangkapan spiny lobster, yaitu : (1)
Bubu lipat yang dibuat sebagai upaya perbaikan teknologi penangkapan ikan adalah bubu lipat modifikasi pintu samping dan bubu lipat modifikasi pintu atas masing-masing dengan rekayasa pintu jebakan berbentuk kisi-kisi dengan ukuran 60 cm x 45 cm x 30 cm (pxlxt), sudut slope net (bagian atas dan bawah) adalah 22,5° dan 70°.
(2)
Umpan cacing tanah mengalami penurunan kadar protein yang cukup lambat dengan rata-rata penurunan 9,76% ± 0,40 dibandingkan dengan umpan tembang 34,90% ± 3,40. Dengan demikian, selain cacing tanah memiliki kandungan protein yang tinggi, juga memiliki ketahanan umpan yang cukup tinggi dibandingkan dengan umpan tembang. Umpan cacing tanah mengalami penurunan kadar lemak yang lebih cepat dengan rata-rata penurunan 65,48% ± 3,04 dibandingkan dengan umpan tembang 41,51% ± 3,44.
(3)
Kedua bubu lipat modifikasi dan bubu lipat rajungan berhasil memperoleh hasil tangkapan lobster dan rajungan. Efektivitas bubu lipat rajungan sebagai standar pengujian (6,7%) lebih besar dibandingkan dengan bubu lipat modifikasi pintu samping (3,8%) dan bubu lipat modifikasi pintu atas (0,8%) dalam memperoleh hasil tangkapan lobster. Efektivitas bubu lipat modifikasi pintu samping (3,8%) lebih besar dibandingkan dengan bubu lipat modifikasi pintu atas (0,8%) dalam memperoleh hasil tangkapan lobster.
(4)
Bubu lipat modifikasi pintu samping dan bubu lipat rajungan berhasil memperoleh hasil tangkapan lobster dan rajungan. Faktor bubu lipat, baik bubu lipat modifikasi pintu samping maupun bubu lipat standar berbeda nyata pada taraf α = 5%. Efektivitas bubu lipat rajungan sebagai standar
116
dalam pengujian (9,2%) lebih besar dibandingkan dengan bubu lipat modifikasi pintu samping (3,8%) dalam memperoleh hasil tangkapan lobster.
Sementara untuk perlakuan umpan, baik umpan cacing tanah
maupun tembang berbeda nyata pada taraf α = 5%. Efektivitas bubu lipat yang menggunakan umpan cacing tanah (9,2%) lebih besar dibandingkan dengan yang menggunakan umpan tembang (3,8%) dalam memperoleh hasil tangkapan lobster.
6.2 Saran (1)
Diperlukan penelitian lanjutan yang terkait dengan pemilihan bahan plastik dengan ketebalan tertentu untuk pintu jebakan hubungannya dengan proses masuknya lobster ke dalam bubu lipat modifikasi pintu samping.
(2)
Diperlukan penelitian lanjutan tentang kekuatan bingkai (frame) bubu lipat yang dapat bertahan secara statis di dasar perairan terhadap pengaruh kecepatan arus tertentu yang dilakukan pada skala laboratorium.
(3)
Diperlukan uji kandungan asam amino dan asam lemak umpan untuk dapat melihat penurunannya dalam proses perendaman umpan dalam air laut.
(4)
Upaya pengembangan kegiatan komersial dalam pemanfaatan lobster perlu dilakukan kegiatan budidaya pembesaran lobster pada karamba apung.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 1986. Simpler and More Effective Modernized Methods: Pot Fishing. Yamaha Fisheries Journal. Volume 27 : 1–8p. Anonymous. 1990. Peranan Feromon sebagai Senyawa Bioaktif dalam Proses Pelapukan Kayu. Laporan Penelitian (Tidak Dipublikasikan). Fakultas matematika dan Ilmu pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. 33 hal. [AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 1980. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemists. Washington : AOAC Inc. Archdale VM, Anasco CP, Kawamura Y, and Tomiki S. 2007. Effect of Two Collapsible Pot Designs on Escape Rate and Behavior of the Invasive Swimming Crabs Charybdis japonica and Portunus pelagicus. Fisheries Research. Elsevier B.V. All rights reserved. Volume 85 : 202–209p. Archdale VM, Anraku K, Yamamoto T, and Higashitani N. 2003. Behavior of the Japanese Rock Crab ‘Ishigani’ Charybdis japonica towards Two Collapsible Baited Pots: Evaluation of Capture Effectiveness. Fisheries Science. The Japanese Society of Fisheries Science. Japan. Volume 69: 785–791p. Ayodhyoa AU. 1981. Metode Penangkapan Ikan. Cetakan Pertama. Yayasan Dewi Sri. Bogor. 97 hal. Baskoro MS, Telussa RF dan Purwangka F. 2006. Efektivitas Bagan Motor di Perairan Waai, Pulau Ambon. Prosiding Seminar Perikanan Tangkap. ISBN : 979-1225-00-1. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hlm 115-121. [BPPI] Balai Pengembangan Penangkapan Ikan. 1990. Krendet Alat Tangkap Lobster. Balai Pengembangan Penangkapan Ikan. Semarang. 36 hlm. von Brandt A. 1984. Fish Catching Methods of the World. Fishing News (Books), London. 240p. Boutson A., Mahasawasde C, Mahasawasde S, Tunkijjanukij S and Arimoto T. 2009. Use of Escape Vents to Improve Size and Species Selectivity of Collapsible Pot for Blue Swimming Crab Portunus pelagicus in Thailand. Fisheries Science. The Japanese Society of Fisheries Science. Japan. Volume 75 : 25–33p.
118
Brouck DJ, Saunders TM, Ward TM, Linnane AJ. 2006. Effectiveness of a TwoChambered Trap in Reducing within-Trap Predation by Octopus on Southern Spiny Rock Lobster. Fisheries Research. Elsevier B.V. All rights reserved. Volume 77 (3) : 348–355p. Daniel PC and Bayer RC. 1989. Fish byproducts as chemo-attractant substrates for the American lobster (Homarus americanus): Concentration, quality and release characteristics. Fisheries research 7: 367-383p. [DJP] Direktorat Jenderal Perikanan. 1989. Krendet Alat Tangkap Lobster. Buletin Warta Mina Tahun III Nopember 1989. No. 32. Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian. Jakarta. Hlm 23 – 25. Engas A and Lokkeborg S. 1994. Abundance Estimation Using Bottom Gillnet and Longline – the Role of Fish Behaviour. Di dalam : Ferno A, Olsen S. editor. Marine Fish Behaviour in Capture and Abundance Estimation. Fishing News. 134-165p. Eno CN, MacDonald DS, Kinnear JA, Awos SC, Chapman CJ, Clark RA, Bunker FPD, Munro C. 2001. Effects of Crustacean Traps on Benthic Fauna. ICES Journal. Marine. Science. Volume 58 : 11–20p. [FAO] Food and Agricultural Organization. 1995. Resposible Fisheries. Rome.
Code of Conduct for
Febrianti L. 2000. Pengaruh Umpan Pikatan Kulit Hewan (Kulit Sapi dan Kulit Kambing) Terhadap Hasil Tangkapan Menggunakan Krendet dan Tingkah Laku Mencari Makan Udang Karang (Lobster) di Perairan Baron Kabupaten Gunung Kidul Daerah Istimewa Yogyakarta. Skripsi (tidak dipublikasikan). Program Studi Ilmu Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 49 hal. Fielder DR. 1965. The Spiny Lobster, Jasus lalandei (H Milne-Edwards) in South Australia. Australian Journal of Marine and Fresh Water Research. Volume 16 : 351-367p. Fitri ADP. 2008. Respons Penglihatan dan Penciuman Ikan Kerapu Terhadap Umpan Terkait Dengan Efektivitas Penangkapan. [Disertasi] tidak dipublikasikan. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 216 hlm. Fridman AL. 1988. Perhitungan Dalam Merancang Alat Penangkapan Ikan. Balai Penelitian Perikanan laut, penerjemah. Semarang. Terjemahan dari : Calculation in design fishing gears. 304 hlm. Fujaya Y. 2002. Fisiologi Ikan. Dasar Pengembangan Teknologi Perikanan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar dengan Direktorat Jenderal Pendidikan tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. 204 hal.
119
Goni R., A. Quetglas, and O. Renones. 2003. Size at maturity, fecundity and reproductive potential of a protected population of the spiny lobster Palinurus elephas (Fabricius, 1787) from the western Mediterranean. Marine Biology (2003) 143: p.583–592 Gorman, T. 1996. Pot and Trap Fishing Gear and Boats. Fishing Boat World. Vol. 8, No. 5. 20-24p. Grofit E. 1980. The Fishing Technology Unit (FTU). Papers. Rome. 48p.
Fisheries Technical
Groneveld JC. 2000. Stock Assessment, Ecology and Economics as Criteria for Choosing Between Trap and Trawl Fisheries for Spiny Lobster Palinurus delagoae. Fisheries Research. Elsevier B.V. All rights reserved. Volume 48 : 141–155p. Gunarso W. 1985. Tingkah Laku Ikan dalam Hubungannya dengan Alat, Metoda dan Taktik Penangkapan. Diktat kuliah (Tidak Dipublikasikan). Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. 148 hal. Hagner R W, Egenmann J G. 1968. Invertebrate Zoology. New York. Macmillan. He P. 1989. Fish Behaviour and its Application in Fisheries. Newfoundland and Labrador Institute of Fisheries and Marine Technology. Canada. 157p. Hendrotomo M. 1989. Studi dan Analisis Hasil Tangkapan dengan Menggunakan Umpan yang berbeda pada rawai Cucut (Hiu) Permukaan di Pelabuhanratu. Skripsi (Tidak Dipublikasikan). Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. 96 hal. Holthuis LB. 1991. FAO Species Catalogue. Vol. 13. Marine Lobsters of the World. An annotated and illustrated catalogue of species of interest to fisheries known to date. FAO Fisheries Synopsis. No. 125, Vol. 13. Rome, FAO. 1991 http://research.myfwc.com 2 Januari 2010. Iskandar MD. 2007a. Hydrodynamic Force of Collapsible Pot in Different Current Speed and Attack Angle Observed in the Flume Tank. 2007. Jurnal Mangrove dan Pesisir. Vol. VII No. 1. Padang. ISSN 1411-0679. Iskandar MD, Suzuki Y, Shiode D, Hu F, Tokai T. 2007. Catchability Difference of Gill Net and Collapsible Baited Pot For Japanese Rock Crab. Indonesian Fisheries Research Journal Agency for Marine and Fisheries Research. Vol. 12 No. 2. Jakarta. Hal. 101-167 ISSN 0853-8980.
120
Iskandar MD. 2007b. Analisa Hasil Tangkapan Rajungan Pada Bubu Lipat Dengan Konstruksi yang Berbeda. Prosiding. Seminar Nasional Perikanan dan Kelautan. Pengembangan Iptek Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan Dalam Mendukung Pembangunan Nasional. UNDIP. Semarang. Hal. 156265 ISBN 978979-704-595-1. Kholifah N. 1998. Pengaruh Pikatan dengan Umpan Kulit Kambing Terhadap Hasil Tangkapan Lobster Menggunakan Jaring Krendet di Perairan Baron Gunung Kidul, Yogyakarta. Skripsi (tidak dipublikasikan). Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 33 hlm. Kingsford MJ, Lewis JM, Shanks A, Lindeman KC, Morgan SG and Pineda J. 2002. Sensory environments, larval abilities and local sef-recruitment. Bulletin of Marine Science. 70: 309-340p. Krouse JS. 1989. Performance and Selectivity of Trap Fisheries for Crustaceans. In: Caddy, J.F. (Ed.), Marine Invertebrate Fisheries: Their Assessment and Manage ment. John Wiley and Sons, New York. 307-325p. Kumolo D C. 2011. Kaya Raya Dari Budidaya Cacing Tanah dan Cacing Sutra. Yogya. Arta Pustaka. 88 hal. Kusumah A. 1988. Pengaruh Angin dan Tinggi Letak Feromon Kelamin terhadap Tangkapan Ngengat Umbi Kentang di Dalam gudang. Tesis (Tidak Dipublikasikan). Jurusan Entomologi. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. 38 hal. Lee PG and Meyers SP. 1996. Chemoattraction and Feeding Stimulation in Crustaceans. Aquaculture Nutrition. 2: 157-164p. Lee PG. and Meyers SP. 1996a. Chemoattraction and feeding stimulation. In: Crustacean Nutrition (D’ Abramo, L., Conklin, D. & Akiyama. D. eds). World Aquaculture Society, Baton Rouge, LA. (in press). Lokkeborg S. 1990. Rate of release of potential feeding attractants from natural and artificial bait. Fish.. Res., 8,253-261. Mackie AM, Grant PT, Shelton RGJ, Hepper BT and Walne PR. 1978. The relative efficiencies of natural and artificial baits for the lobster, Homarus gammarus : laboratory and field trials. J. Cons. Int. Explor. Mer. 39 (2): 123-129p. Martasuganda S. 2003. Bubu (Trap) : Serial Teknologi Penangkapan Ikan Berwawasan Lingkungan. Departemen Pemanfaatan sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 69 hal.
121
Mattjik A.A. dan I.M. Sumertajaya. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan MINITAB. Jilid 1. Edisi ke-2:Juli 2006. IPB Press. 334 hal Mawardi W. 1999. Bubu Sayap (Basket Trap with Wings) an Environmental Friendly of Reef Fishes Fishing Gear. Proceeding of The 3rd JSPS International Seminar on Fisheries Science in Tropical Area. Bali. Mawardi W. 2000. Study on Three Different Types of Funnel on Catch Composition of Ornamental Fish Using Bubu Sayap (Basket Trap with Wings) in Belebuh Bay, Lampung. Proceeding of The JSPS International Symposium on Fisheries Science in Tropical Area. Bogor. Mead KS and Weatherby TM. 2002. Morphology of stomatopod chemosensory sensilla facilitates fluid sampling. Invertebrate Biology 121(2): 148-157p. Meenakumari B and Rajan KVM. 1985. Studies on Materials for Traps for Spiny Lobsters. Fisheries Research. Elsevier B.V. All rights reserved. Volume 3 : 309–321p. Miller RJ. 1990. Effectiveness of Crab and Lobster Traps. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Science. Ottawa, Canada. Volume 47, No. 4, April. 1228-1251p. Miller R.J and R.S. Rodger. 1996. Soak times and fishing strategy for American lobster. Elsevier Science. Fisheries Research 26:p.199-205. Monintja DR dan Budihardjo S. 1982. Suatu Studi Komparatif Terhadap Lobster Pot Tipe Jepang dan Bubu Tradisional dalam Penangkapan Udang Barong (Panulirus spp.) di Pelabuhanratu, Jawa Barat. Buletin Perikanan. Vol 1 No. 2. Hal 1-9. Montgomery S.S. 1992. Size at first maturity and at onset of breeding in female Jasus verreauxi (Decapoda: Palinuridae) from New South Wales Water, Australia. Australian Journal Marine Freshwater Research. 43, 1373-9. Moosa MK dan Aswandy I. 1984. Udang Karang (Panulirus sp) dari Perairan Indonesia. Proyek Studi Pengembangan Alam Indonesia, Studi Hayati Potensi Ikan, Lembaga Oseanografi Nasional, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. 41 hlm. Munadi A. 2006. Analisis Sekresi untuk Tujuan Pengumpulan Ikan Hiu dalam Penangkapan Ikan. Skripsi (Tidak Dipublikasikan). Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 82 hal. Nedelec C and Prado J. 1990. Definition and Classification of Fishing Gear Categories. Rome:FAO. 235p.
122
Pardamean R. 2002. Volume Pengembangan dan Palatabilitas Kerupuk Tapioka dengan Penambahan Tepung Cacing Tanah (Lumbricus rubellus). Skripsi (Tidak Dipublikasikan). Program Studi Teknologi Hasil Ternak. Jurusan Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. 40 hlm. Phillips B.F. and S.J.Cobb. 1980. The Biology and Management of Lobster. Ecology and Management Vo. II. Academic Press Inc. (London) Ltd. 385p. Phillips BF, Morgan GR, and Austin CM. 1980. Synopsis of Biological Data on the Western Rock Lobster Panulirus cygnus (George, 1962). Food and Agricultural Organization of the United Nation. Rome. 64p. Prasetyani. 2001. Analisa Pengaruh Fase Bulan Terhadap Pola Penyebaran dan Aktivitas Lobster (Panulirus sp) pada Bulan Juli – Agustus di Perairan Selatan Kabupaten Kebumen. Skripsi (tidak dipublikasikan). Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 43 hal. Purbayanto A, Husni E, Susanto A. 2006b. Hasil Tangkapan Bubu Laut Dalam di Teluk Palabuhanratu, Jurnal Ilmiah Pertanian Gakuryokushi, Vol. XII No. 2 Juli 2006 Hal. 208-212 ISSN 0853-7674 Purbayanto A, Mawardi W, Husni E, Riyanto M. 2006c. Eksplorasi Sumberdaya Ikan Laut Dalam Menggunakan Bubu di Teluk Palabuhanratu, Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap. Dept. PSP FPIK IPB, Agustus 2006 Hal. 290-302 ISBN 979-1225-00-1. Purbayanto A, Susanto A dan Husni E. 2006d. Pengaruh Penggunaan Umpan dan Konstruksi funnel Terhadap Hasil Tangkapan Bubu Laut Dalam di Teluk Palabuhanratu. Biota, 12 (2): 108-115. Purbayanto A dan Subandi N. 2005. Efek paparan sianida terhadap tingkat pemutihan (bleaching) terumbu karang. Warta Pesisir & Lautan, Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL-IPB), Edisi No. 2: hal. 1317. Purbayanto A, Martasuganda S, Mawardi W, Mangunsukarto K dan Puspito G. 1998. Bubu Plastik Sebagai Metode Altrnatif Penangkapan Ikan Hias Ramah Lingkungan. Proc. Agri-Bioche. Symp II. Tokyo. P:121-129. Rahardjo P dan Linting ML. 1993. Penelitian Jenis Umpan Untuk Bubu Laut. Jurnal Penelitian Perikanan Laut (77): 72 – 77. Raharti. 1999. Seri Panduan Usaha : Tepung Cacing. LIPI Press, Jakarta.
123
Salthaug A. 2002. Do Triggers in Crab Traps Affect the Probability of Entry? Fisheries Research. Elsevier B.V. All rights reserved. Volume 58 : 403– 405p. Sabine JR. 1982. The Nutritive Value of Earthworm Meal. In: Explore the World of Earthworms. Inseat Lecturer Hall, UPLB College, Laguna. Sadhori. 1985. Teknologi Penangkapan Ikan. CV. Yasaguna. Jakarta. Shelton RGJ. 1981. How lobsters get into creels. Scott Fisheries Bulletin. 46p. Shelton RGJ and Hall WB. 1981. A comparison of the efficiency of the scottish creel and the inkwell pot in the capture of crabs and lobsters. Fisheries Research. Vol. 1. 45-53p. Sihombing DTH. 1999. Satwa Harapan I : Pengantar Ilmu dan Tehnologi Budidaya. Pustaka Wirausaha Muda. Bogor. 234 hlm. Soenanto H. 2000. Budidaya Cacing Tanah (Lumbricus rubellus. Penerbit CV. Aneka. Solo. Sopati E. 2005. Penentuan Jenis dan Peletakkan Umpan pada Jarring Krendet dan Pengaruhnya Terhadap Hasil Tangkapan Lobster di Teluk Pelabuhanratu, Jawa barat. [Skripsi] tidak dipublikasikan. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 57 hlm. Steullet P, Dudar O, Flavus T, Zhoe M and Derby CD. 2001. Selective ablation of antennulear sensila on the Caribbean spiny lobster Panulirus argus suggest that dual antennular chemosensory pathways mediate odorant activation of searching and localization of food. The Journal of Experimental Biology 204: 4259-4269p. Subani W dan Barus HR. 1989. Alat Penangkap Ikan dan Udang Laut di Indonesia. Jornal Penelitian Perikanan Laut. Yakarta. Departemen Pertanian, Balai Penelitian Perikanan Laut. 248 hlm. Subani W. 1978. Perikanan Udang Barong (spiny lobster) dan Prospek Masa Depannya. Prosiding Seminar ke II Perikanan Udang 15-18 Maret 1977. Lembaga Penelitian Perikanan Laut. Badan Penelitian Pengembangan Perikanan, Jakarta. Hal 39-53. Suman A, Rizal M dan Subani W. 1993. Status Perikanan Udang Karang di Perairan Pangandaran, Jawa Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 81. Jakarta. Hal : 1-7. Thomas HJ. 1973. A Comparison of Some Methods Used in Lobster and Crab Fishing. Scooish fisheries information pamphlets. 4th Edition. Marine Laboratory, Aberden. Department of Agriculture and Fisheries for Scotland. 19p.
124
Trapido-Rosenthal HG, William ES and Gleeson RA. 1990. Ectonucleotidase Activities Associated with the Olfactory Organ of the Spiny Lobster. International Society for Neurochemistry. Raven Press, Ltd., New York. Journal of Neurochemistry. 55: 88-96p. Wahyudi I., N Probosunu, Supardjo S.D., dan Soeparno. 2010. Studi Efektivitas Jenis Umpan Krendet Pada Penangkapan Lobster (Panulirus spp.). Jurnal Krustasea Indonesia. September 2010. Jilid 1. No. 2: hal.82-89. Walpole RE. 1995. Pengantar Statistik. Sumantri B, penerjemah. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Terjemahan dari : Introduction to Statistics. 515 hlm. Williams AB. 1986. Lobster – Identification, World Distribution, and US Trade. Marine Fisheries Review, National Marine Fisheries Service Vol. 48 No.2. Williams AB. 1988. 186p.
Lobster of the World. Osprey Books, New York, USA.
Zulkarnain, M.S. Baskoro, S. Martasuganda, dan D.R.Monintja. 2011. Pengembangan Desain Bubu Lobster yang Efektif. Buletin PSP. Vol. XIX. No.2. Hal. 45-57.
LAMPIRAN
127
Lampiran 1 Data respon hasil tangkapan 3 jenis bubu lipat dengan umpan tembang TRIP 1
Set : 17.16 – 17.43/5 Juli 2011
No
Jenis Bubu
1 2 3 4 4
S S MPS MPS MPA
Lobster S ikan MPS ikan
3 ekor 2 bubu 1 bubu
Total S Ikan MPS ikan MPA Ikan
5 2 bubu 2 bubu 1 bubu
Umpan Ikan Ikan Ikan Ikan Ikan Total
Lobster Jenis Panulirus homarus Panulirus homarus Panulirus homarus
Haul : 6.32 – 6.53/6 Juli 2011 T : 26 ; 25; 26 By-cath ekor gram Jenis ekor gram 1 60 1 85 1 60 1 40 Portunus pelagicus 1 65 Charybdis natator 3 205 2 105
S: 33 ; 34 ; 34 Total ekor gram 1 60 1 85 1 60 1 40 1 65 5 310
128
Lampiran 1 (Lanjutan) TRIP 2
Set : 17.10 – 16.32/6 Juli 2011
No
Jenis Bubu
1 2 3 4
S MPS S MPS
Lobster S ikan MPS ikan
2 ekor 1 bubu 1 bubu
Total S Ikan MPS ikan
4 2 bubu 2 bubu
Umpan Ikan Ikan Ikan Ikan Total
Lobster Jenis Panulirus homarus Panulirus homarus
Haul : 6.12 – 6.25/7 Juli 2011 T : 25 ; 26 ; 26 By-cath ekor gram Jenis ekor gram 2 150 1 40 1 65 Charybdis natator 1 45 Charybdis natator 3 190 2 110
S: 34 ; 34 ; 34 Total ekor gram 2 150 1 40 1 65 1 45 5 300
129
Lampiran 1 (Lanjutan) TRIP 3
Set : 17.16 – 17.43/7 Juli 2011
No
Jenis Bubu
Umpan
1 2
S MPS
Ikan Ikan Total
Lobster
0 ekor
Total S Ikan MPS ikan
2 1 bubu 1 bubu
Haul : 6.32 – 6.53/8 Juli 2011 T : 26 ; 26 ; 26 Lobster By-cath Jenis ekor gram Jenis ekor gram 1 65 Charybdis natator 1 70 Charybdis natator 0 0 2 135
S: 34 ; 34 ; 34 Total ekor gram 1 65 1 70 2 135
130
Lampiran 1 (Lanjutan) TRIP 4
Set : 17.06 – 17.33/9 Juli 2011
No
Jenis Bubu
1 2 3 4
S MPS S MPS
Lobster S ikan MPS ikan
3 ekor 2 bubu 1 bubu
Total S Ikan MPS ikan
4 2 bubu 2 bubu
Haul : 6.12 – 6.34/10 Juli 2011 T : 26 ; 25 ; 26 Lobster By-cath Umpan Jenis ekor gram Jenis ekor gram Ikan 2 110 Panulirus homarus Ikan Panulirus homarus 1 70 Ikan Charybdis natator 2 155 Ikan 1 35 Portunus pelagicus Total 3 180 3 190
S: 34 ; 34 ; 34 Total ekor gram 2 110 70 1 155 2 35 1 6 370
131
Lampiran 1 (Lanjutan) TRIP 5 No
Jenis Bubu
1 2 3 4
S S S MPS
Lobster S ikan
2 ekor 2 bubu
Total S Ikan MPS ikan
4 3 bubu 1 bubu
Set : 17.55 – 16.20/10 Juli 2011 Lobster Umpan Jenis Ikan Panulirus homarus Ikan Lobster mutiara (Panulirus ornatus) Ikan Ikan Total
Haul : 6.32 – 7.05/11 Juli 2011 By-cath ekor gram Jenis 1 140 1 120 Epinephelus manuculatus Portunus pelagicus 2 260
T : 25 ; 26 ; 26 ekor
gram
1 1 2
450 100 550
S: 33 ; 34 ; 34 Total ekor gram 1 140 120 1 450 1 100 1 4 810
132
Lampiran 1 (Lanjutan) TRIP 6 No 1 2 3
Set : 17.12 – 17.43/11 Juli 2011 Haul : 7.05 – 7.30/12 Juli 2011 Lobster By-cath Jenis Bubu Umpan Jenis ekor gram Jenis MPS Ikan 1 110 Panulirus homarus S Ikan Portunus sanguinolentus MPS Ikan Charybdis natator Total 1 110
Lobster MPS ikan
1 ekor 1 bubu
Total S Ikan MPS ikan
3 1 bubu 2 bubu
T : 26 ; 26 ; 26 ekor
gram
1 1 2
60 70 130
S: 33 ; 34 ; 34 Total ekor gram 1 110 60 1 70 1 3 240
133
Lampiran 1 (Lanjutan) TRIP 7
Set : 17.00 – 17.23/12 Juli 2011
No
Jenis Bubu
Umpan
1 2 3
S MPS MPA
Ikan Ikan Ikan Total
Lobster
0 ekor
Total S Ikan MPS ikan MPA Ikan
3 1 bubu 1 bubu 1 bubu
Haul : 6.31 – 7.03/13 Juli 2011 T : 26 ; 27 ; 26 Lobster By-cath Jenis ekor gram Jenis ekor gram 1 25 Charybdis natator Charybdis natator 1 30 Carybdis feriatus 1 65 0 0 3 120
S: 34 ; 34 ; 34 Total ekor gram 1 25 30 1 65 1 3 120
134
Lampiran 1 (Lanjutan) TRIP 8
Set : 16.26 – 16.53/13 Juli 2011
No
Jenis Bubu
Umpan
1 2
S MPA
Ikan Ikan Total
Lobster
0 ekor
Total S Ikan MPA Ikan
2 1 bubu 1 bubu
Jenis
Haul : 6.12 – 6.43/14 Juli 2011 T : 26 ; 26 ; 25 Lobster By-cath ekor gram Jenis ekor gram 1 55 1 70 0 0 2 125
S: 34 ; 34 ; 34 Total ekor gram 1 55 70 1 2 125
135
Lampiran 1 (Lanjutan) TRIP 9 No 1 2 3 4
Set : 16.06 – 16.23/15 Juli 2011 Haul : 6.42 – 7.23/16 Juli 2011 T : 22 ; 22 ; 22 Lobster By-cath Jenis Bubu Umpan Jenis ekor gram Jenis ekor gram S Ikan 1 85 1 35 Panulirus homarus Portunus pelagicus MPS Ikan Panulirus homarus 1 70 MPA Ikan Portunus pelagicus 1 45 MPS Ikan 1 70 Charybdis natator Total 2 155 3 150
Lobster S ikan MPS ikan
2 ekor 1 bubu 1 bubu
Total S Ikan MPS ikan MPA ikan
1 bubu 2 bubu 1 bubu
4
S: 34 ; 34 ; 34 Total ekor gram 2 120 70 1 45 1 70 1 5 305
136
Lampiran 1 (Lanjutan) TRIP 10 No 1 2 3
Set : 16.33 – 17.10/16 Juli 2011 Haul : 6.24 – 7.06/17 Juli 2011 Lobster By-cath Jenis Bubu Umpan Jenis ekor gram Jenis S Ikan 2 105 Panulirus homarus MPA Ikan Panulirus homarus 1 60 Charybdis natator MPS Ikan Portunus sanguinolentus Total 3 165
Lobster S ikan MPS ikan
3 ekor 1 bubu 1 bubu
Total S Ikan S ikan MPS ikan
3 1 bubu 1 bubu 1 bubu
T : 25 ; 26 ; 26 ekor
gram
1 1 2
65 60 125
S: 33 ; 34 ; 34 Total ekor gram 2 105 125 2 60 1 5 290
137
Lampiran 1 (Lanjutan) TRIP 11 No 1 2 3
Set : 16.50 – 17.21/18 Juli 2011 Haul : 6.00 – 6.33/19 Juli 2011 T : 25 ; 26 ; 26 Lobster By-cath Jenis Bubu Umpan Jenis ekor gram Jenis ekor gram S Ikan 1 140 Panulirus homarus MPS Ikan Panulirus homarus 2 115 S Ikan Epinephelus maculatus 1 80 Total 3 255 1 80
Lobster S ikan MPS ikan
3 ekor 1 bubu 1 bubu
Total S Ikan MPS ikan
3 2 bubu 1 bubu
S: 33 ; 34 ; 34 Total ekor gram 1 140 115 2 80 1 4 335
138
Lampiran 1 (Lanjutan) TRIP 12
Set : 17.16 – 17.44/20 Juli 2011
No
Jenis Bubu
Umpan
1
S
Ikan Total
Lobster
0 ekor
Total S Ikan
1 1 bubu
Haul : 7.01 – 7.22/21 Juli 2011 T : 24 ; 23 ; 23 Lobster By-cath Jenis ekor gram Jenis ekor gram 1 70 Charybdis natator 0 0 1 70
S: 34 ; 34 ; 34 Total ekor gram 1 70 1 70
139
Lampiran 1 (Lanjutan) TRIP 13
Set : 17.22 – 17.43/21 Juli 2011
No
Jenis Bubu
Umpan
1 2
S MPS
Ikan Ikan Total
Lobster
0 ekor
Total S Ikan MPS ikan
2 1 bubu 1 bubu
Haul : 6.32 – 7.04/22 Juli 2011 T : 26 ; 25 ; 26 Lobster By-cath Jenis ekor gram Jenis ekor gram 1 60 Charybdis natator Charybdis natator 1 50 0 0 2 110
S: 34 ; 34 ; 34 Total ekor gram 1 60 50 1 2 110
140
Lampiran 1 (Lanjutan) TRIP 14 No
Jenis Bubu
1 2 3 4
S MPS S MPS
Lobster S ikan MPS ikan
3 ekor 2 bubu 1 bubu
Total S Ikan MPS ikan
4 2 bubu 2 bubu
Set : 17.16 – 17.43/22 Juli 2011 Lobster Umpan Jenis Ikan Panulirus homarus Ikan Lobster hijau (Panulirus versicolor) Ikan Ikan Total
Haul : 7.00 – 7.25/23 Juli 2011 By-cath ekor gram Jenis 2 110 Portunus sanguinolentus 1 60 Portunus sanguinolentus Charybdis natator 3 170
T : 26 ; 25 ; 26 ekor 3
gram 270
1 1 5
60 50 380
S: 33 ; 34 ; 34 Total ekor gram 5 380 60 1 60 1 50 1 8 550
141
Lampiran 1 (Lanjutan) TRIP 15 No 1 2 3 4
Set : 16.45 – 17.13/23 Juli 2011 Haul : 6.32 – 7.02/24 Juli 2011 Lobster By-cath Jenis Bubu Umpan Jenis ekor gram Jenis MPS Ikan 1 65 Panulirus homarus MPA Ikan Panulirus homarus 1 70 MPS Ikan Charybdis natator S Ikan Portunus sanguinolentus Total 2 135
Lobster MPS ikan MPA ikan
2 ekor 1 bubu 1 bubu
Total MPS ikan MPA ikan S Ikan
4 2 bubu 1 bubu 1 bubu
T : 27 ; 26; 27 ekor
gram
2 1 3
80 25 105
S: 34 ; 34 ; 34 Total ekor gram 1 65 70 1 80 2 25 1 5 240
142
Lampiran 1 (Lanjutan) TRIP 16 No
Jenis Bubu
1 2 3
S MPS S
Lobster S ikan MPS ikan
2 ekor 1 bubu 1 bubu
Total S Ikan MPS ikan
3 2 bubu 1 bubu
Set : 17.26 – 17.53/24 Juli 2011 Lobster Umpan Jenis Ikan Panulirus homarus Ikan Lobster hijau (Panulirus versicolor) Ikan Total
Haul : 6.22 – 7.06/25 Juli 2011 T : 25 ; 26 ; 26 By-cath ekor gram Jenis ekor gram 1 50 1 75 Charybdis natator 1 55 1 20 2 105 2 95
S: 33 ; 34 ; 34 Total ekor gram 2 125 55 1 20 1 4 200
143
Lampiran 1 (Lanjutan) TRIP 17
Set : 16.10 – 16.43/25 Juli 2011
No
Jenis Bubu
Umpan
1 2 3
MPS MPA S
Ikan Ikan Ikan Total
Lobster
0 ekor
Total S Ikan MPS ikan MPA ikan
3 1 bubu 1 bubu 1 bubu
Haul : 6.12 – 7.22/26 Juli 2011 Lobster By-cath Jenis ekor gram Jenis Sepia sp. Sepia sp. Portunus sanguinolentus 0 0
T : 23 ; 23 ; 23 ekor 3 1 1 5
gram 190 4 50 244
S: 34 ; 34 ; 34 Total ekor gram 3 190 4 1 50 1 5 244
144
Lampiran 1 (Lanjutan) TRIP 18 No 1 2 3 4
Set : 16.56 – 17.27/27 Juli 2011 Haul : 6.30 – 7.13/28 Juli 2011 T : 25 ; 26 ; 26 Lobster By-cath Jenis Bubu Umpan Jenis ekor gram Jenis ekor gram S Ikan 1 60 Panulirus homarus MPS Ikan Panulirus homarus 1 50 S Ikan Sepia sp. 3 180 S Ikan 1 65 Charybdis natator Total 2 110 4 245
Lobster S ikan MPS ikan
2 ekor 1 bubu 1 bubu
Total S Ikan MPS ikan
4 3 bubu 1 bubu
S: 33 ; 34 ; 34 Total ekor gram 1 60 50 1 180 3 65 1 6 355
145
Lampiran 1 (Lanjutan) TRIP 19 No
Set : 17.11 – 17.43/28 Juli 2011 Jenis Bubu Total
Lobster
0 ekor
Total
0
Umpan
Jenis
Haul : 6.32 – 6.53/29 Juli 2011 T : 23 ; 23 ; 23 Lobster By-cath ekor gram Jenis ekor gram 0
0
0
0
S: 34 ; 34 ; 33 Total ekor gram 0
0
146
Lampiran 1 (Lanjutan) TRIP 20 No 1 2 3
Set : 16.26 – 16.53/29 Juli 2011 Haul : 7.02 – 7.33/30 juli 2011 T : 23 ; 24 ; 25 Lobster By-cath Jenis Bubu Umpan Jenis ekor gram Jenis ekor gram S Ikan 2 135 Panulirus homarus MPS Ikan Epinephelus maculatus 1 60 MPS Ikan Charybdis natator 1 40 Total 2 135 2 100
Lobster S ikan
2 ekor 1 bubu
Total S Ikan MPS ikan
3 1 bubu 2 bubu
S: 35 ; 34 ; 34 Total ekor gram 2 135 60 1 40 1 4 235
147
Lampiran 1 (Lanjutan) TRIP 21
Set : 16.26 – 16.53/30 Juli 2011
No
Jenis Bubu
Umpan
1
S
Ikan Total
Lobster
0
Total S Ikan
1 1 bubu
Haul : 6.02 – 6.33/31 Juli 2011 T : 26 ; 27 ; 26 Lobster By-cath Jenis ekor gram Jenis ekor gram 1 60 Sepia sp. 0 0 1 60
S: 34 ; 34 ; 35 Total ekor gram 1 60 1 60
148
Lampiran 1 (Lanjutan) TRIP 22 No 1 2 3
Set : 16.56 – 17.23/31 Juli 2011 Haul : 6.30 – 7.03/1 Agustus 2011 T : 27 ; 26 ; 26 Lobster By-cath Jenis Bubu Umpan Jenis ekor gram Jenis ekor gram S Ikan 1 60 Panulirus homarus S Ikan 2 70 Cantthigaster sp S Ikan Carybdis feriatus 1 35 Total 1 60 3 105
Lobster S ikan
1 ekor 1 bubu
Total S Ikan
3 3 bubu
S: 34 ; 34 ; 35 Total ekor gram 1 60 70 2 35 1 4 165
149
Lampiran 1 (Lanjutan) TRIP 23 No
Set : 17.00 – 17.23/1 Agustus 2011 Jenis Bubu Total
Lobster Total
0 ekor 0
Umpan
Jenis
Haul : 6.32 – 7.00/2 Agustus 2011 T : 26 ; 25 ; 26 Lobster By-cath ekor gram Jenis ekor gram 0
0
0
0
S: 34 ; 33 ; 34 Total ekor gram 0 0 0 0
150
Lampiran 1 (Lanjutan) TRIP 24 No 1 2 3 Total
Set : 16.15 – 16.33/2 Agustus 2011 Haul : 6.00 – 6.15/3 Agustus 2011 T : 26 ; 26 ; 27 Lobster By-cath Jenis Bubu Umpan Jenis ekor gram Jenis ekor gram S Ikan 1 60 Panulirus homarus S Ikan Sepia sp. 1 70 MPA Ikan Portunus pelagicus 1 30 1 60 2 100
Lobster S ikan
1 ekor 1 bubu
Total S Ikan MPA Ikan
3 2 bubu 1 bubu
S: 34 ; 34 ; 35 Total ekor gram 1 60 70 1 30 1 3 160
151
Lampiran 1 (Lanjutan) TRIP 25 No
Set : 17.10 – 17.33/3 Agustus 2011 Jenis Bubu
Total Lobster Total
Umpan
Jenis
Haul : 6.32 – 6.53/4 Agustus 2011 T : 26 ; 25 ; 26 Lobster By-cath ekor gram Jenis ekor gram 0
0 ekor 0
0
0
0
S: 34 ; 33 ; 34 Total ekor gram 0 0 0 0
152
Lampiran 1 (Lanjutan) TRIP 26 No 1 2 3 4
Set : 17.20 – 17.45/4 Agustus 2011 Haul : 6.12 – 6.53/5 Agustus 2011 T : 26 ; 26 ; 26 Lobster By-cath Jenis Bubu Umpan Jenis ekor gram Jenis ekor gram S Ikan 2 135 Panulirus homarus S Ikan Portunus pelagicus 1 85 S Ikan Carybdis feriatus 1 165 1 50 Sepia sp. MPA Ikan 1 80 Charybdis natator Total 2 135 4 380
Lobster S ikan
2 ekor 1 bubu
Total S Ikan MPA Ikan
4 3 bubu 1 bubu
S: 34 ; 34 ; 34 Total ekor gram 2 135 85 1 165 1 50 1 1 80 6 515
153
Lampiran 1 (Lanjutan) TRIP 27 No 1 2 3 4
Set : 17.16 – 1743/6 Agustus 2011 Haul : 6.40 – 7.20/7 Agustus 2011 T : 26 ; 26 ; 26 Lobster By-cath Jenis Bubu Umpan Jenis ekor gram Jenis ekor gram Panulirus MPS Ikan 2 105 homarus S Ikan 1 180 Carybdis feriatus MPS Ikan Charybdis natator 2 195 MPA Ikan 1 25 Portunus pelagicus Total 2 105 4 400
Lobster MPS ikan
1 ekor 1 bubu
Total S Ikan MPS ikan MPA Ikan
4 1 bubu 2 bubu 1 bubu
S: 34 ; 34 ; 34 Total ekor gram 2
105
1 2 1 6
180 195 25 505
154
Lampiran 1 (Lanjutan) TRIP 28 No 1 2 3
Set : 16.56 – 17.33/7 Agustus 2011 Haul : 6.32 – 6.53/8 Agustus 2011 Lobster By-cath Jenis Bubu Umpan Jenis ekor gram Jenis S Ikan Portunus sanguinolentus S Ikan Carybdis feriatus MPS Ikan Total 0 0
Lobster
0 ekor
Total S Ikan MPS ikan
3 2 bubu 1 bubu
T : 26 ; 26 ; 26 ekor 2 1 1 4
gram 55 105 25 185
S: 34 ; 34 ; 34 Total ekor gram 2 55 105 1 25 1 4 185
155
Lampiran 1 (Lanjutan) TRIP 29 No 1 2 3 4
Set : 17.26 – 18.05/8 Agustus 2011 Haul : 6.32 – 6.50/9 Agustus 2011 T : 26 ; 26 ; 26 Lobster By-cath Jenis Bubu Umpan Jenis ekor gram Jenis ekor gram S Ikan 1 65 1 50 Panulirus homarus Charybdis natator MPA Ikan Panulirus homarus 1 60 S Ikan Carybdis feriatus 1 145 S Ikan 1 150 Portunus pelagicus Total 2 125 3 345
Lobster S ikan MPA ikan
2 ekor 1 bubu 1 bubu
Total S Ikan MPA Ikan
4 3 bubu 1 bubu
S: 34 ; 34 ; 34 Total ekor gram 2 115 60 1 145 1 150 1 5 470
156
Lampiran 1 (Lanjutan) TRIP 30 No 1 2 3
Set : 17.16 – 17.43/9 Agustus 2011 Haul : 6.32 – 6.53/10 Agustus 2011 T : 26 ; 26 ; 26 Jenis Bubu Umpan Lobster By-cath Jenis ekor gram Jenis ekor gram S Ikan 2 110 Sepia sp. 1 30 Panulirus homarus S Ikan Carybdis natator 1 50 MPS Ikan 1 290 Total 2 110 3 370
Lobster S ikan
1 ekor 1 bubu
Total S Ikan MPS ikan
3 2 bubu 1 bubu
S: 34 ; 34 ; 34 Total ekor gram 3 140 50 1 290 1 5 480
157
Lampiran 1 (Lanjutan) TRIP 31 No 1 2 3
Set : 16.55 – 17.23/10 Agustus 2011 Haul : 6.42 – 7.15/11 Agustus 2011 Lobster By-cath Jenis Bubu Umpan Jenis ekor gram Jenis MPS Ikan 1 60 Panulirus homarus Portunus pelagicus S Ikan Sepia sp. S Ikan Portunus sanguinolentus Total 1 60
Lobster MPS ikan
1 ekor 1 bubu
Total S Ikan MPS ikan
3 2 bubu 1 bubu
T : 26 ; 26 ; 26 ekor 1 3 1 5
gram 35 200 50 285
S: 34 ; 34 ; 34 Total ekor gram 2 95 200 3 50 1 6 345
158
Lampiran 2 Data respon hasil tangkapan 2 jenis bubu lipat dengan umpan cacing tanah dan umpan tembang TRIP 1 No 1 2 3 4 5
Set : 16.16 – 16.43/15 Agustus 2011 Haul : 7.32 – 7.53/16 Agustus 2011 Lobster By-cath Jenis Bubu Umpan Jenis ekor gram Jenis S Cacing Panulirus homarus 2 110 Portunus pelagicus S Cacing Panulirus homarus 1 60 Portunus pelagicus S Cacing Portunus sanguninolentus Portunus sanguninolentus S Ikan Portunus sanguninolentus MPS Ikan Total 3 170
Lobster S Cacing
3 ekor 2 bubu
Total S Cacing S Ikan MPS Ikan
5 3 bubu 1 bubu 1 bubu
T : 26 ; 26 ; 26 ekor 1
gram 50
1 1 1 1 5
50 30 30 30 190
S: 34 ; 34 ; 34 Total ekor gram 3 160 1 60 1 50 1 30 1 30 1 30 8 360
159
Lampiran 2 (Lanjutan) TRIP 2 No 1 2 3 4 5
Set : 16.48 – 16.55/16 Agustus 2011 Haul : 07.19 – 07.32/17 Agustus 2011 T : 26 ; 26,5 ; 26 Lobster By-cath Jenis Bubu Umpan Jenis ekor gram Jenis ekor gram S Ikan 1 90 Panulirus homarus S Cacing 1 40 Charybdis natator S Ikan 1 290 Charybdis feriatus Charybdis natator 1 50 MPS Ikan 1 130 Charybdis natator MPS Ikan 1 310 Charibdis feriatus Total 1 90 5 820
Lobster S ikan
1 ekor 1 bubu
Total S Ikan S Cacing MPS Ikan
5 2 bubu 1 bubu 2 bubu
S : 36 ; 37 ; 36,5 Total ekor gram 1 90 1 40 1 290 1 50 1 130 1 310 6 910
160
Lampiran 2 (Lanjutan) TRIP 3 No 1 2 3 4 5 6
Lobster S Ikan Total S Ikan S Cacing MPS Ikan
Set: 16.44 – 16.51/17 Agustus 2011 Haul: 06.39 – 06.53/18 Agustus 2011 T : 26 ; 25 ; 25,5 Lobster By-cath Jenis Bubu Umpan Jenis ekor gram Jenis ekor gram S Ikan 2 110 1 150 Panulirus homarus Portunus pelagicus S Ikan 1 206 Charybdis feriatus S Ikan 1 560 Charybdis feriatus S Cacing 1 104 Epinephelus coioides 1 20 Charybdis natator MPS Ikan 1 40 Charybdis natator MPS Ikan Sepia sp. 1 29 Total 2 110 7 1109 2 lobster 1 bubu 6 3 bubu 1 bubu 2 bubu
S : 35 ; 34 ; 34,5 Total ekor gram 3 260 1 206 1 560 1 104 1 20 1 40 1 29 9 1219
161
Lampiran 2 (Lanjutan) TRIP 4 No 1 2 3 4
Set : 16.56 – 17.19/19 Agustus 2011 Haul : 06.15 – 06.40/20 Agustus 2011 Lobster By-cath Jenis Bubu Umpan Jenis ekor gram Jenis S Ikan 1 70 Panulirus homarus S Cacing Portunus sanguinolentus S Ikan Portunus sanguinolentus S Ikan Charybdis feriatus Total 1 70
Lobster S Ikan
1 ekor 1 bubu
Total S Ikan S Cacing
4 3 bubu 1 bubu
T : 25 ; 23 ; 24 ekor
gram
2 1 1 4
45 50 120 215
S : 35 ; 34 ; 34 Total ekor gram 1 70 2 45 1 50 1 120 5 285
162
Lampiran 2 (Lanjutan) TRIP 5 No 1 2
Set : 16.59 – 17.10/22 Agustus 2011 Haul : 06.20 - 06.35/23 Agustus 2011 T : 23 ; 24 ; 23 Lobster By-cath Jenis Bubu Umpan Jenis ekor gram Jenis ekor gram S Cacing Panulirus homarus 1 70 S Cacing 1 20 Charybdis feriatus S Ikan 1 220 Charybdis feriatus Total 1 70 2 240
Lobster S Cacing
1 ekor 1 bubu
Total S Cacing S Ikan
3 2 bubu 1 bubu
S : 34 ; 34 ; 34,5 Total ekor gram 1 70 1 20 1 220 3 310
163
Lampiran 2 (Lanjutan) TRIP 6 No 1 2 3
Set : 16.51 – 16.57/23 Agustus 2011 Haul : 7.13 – 8.44/24 Agustus 2011 Lobster By-cath Jenis Bubu Umpan Jenis ekor gram Jenis MPS Cacing Panulirus homarus 1 70 MPS Ikan Ikan Singreng S Cacing Charybdis feriatus Total 1 70
Lobster MPS Cacing
1 ekor 1 bubu
Total MPS Cacing MPS Ikan S Cacing
3 1 bubu 1 bubu 1 bubu
T : 22 ; 22 ; 23 ekor
gram
1 1 2
20 200 220
S : 34 ; 34 ; 35 Total ekor gram 1 70 1 20 1 200 3 290
164
Lampiran 2 (Lanjutan) TRIP 7 No 1 2 3
Set : 16.58 – 17.05/25 Agustus 2011 Haul : 06.30 – 06.45/26 Agustus 2011 T : 23 ; 23 ;23 Lobster By-cath Jenis Bubu Umpan Jenis ekor gram Jenis ekor gram MPS Cacing 1 50 Panulirus homarus Portunus MPS Ikan 1 20 sanguinolentus S Ikan 1 50 Charybdis natator Total 1 50 2 70
Lobster MPS Cacing
1 ekor 1 bubu
Total MPS Cacing MPS Ikan S Ikan
3 1 bubu 1 bubu 1 bubu
S : 34 ; 34 ; 34 Total ekor gram 1 50 1
20
1 3
50 120
165
Lampiran 2 (Lanjutan) TRIP 8
Haul : 08.05 - 08.30/06 September T : 27 ; 27 ; 27 2011 Lobster By-cath Jenis ekor gram Jenis ekor gram 1 120 Panulirus homarus 1 80 Panulirus homarus 1 90 Charybdis feriatus 1 30 Charybdis natator 1 25 Charybdis natator 1 20 Charybdis natator 2 200 4 165
Set : 17.08 – 17.14/5 September 2011
No
Jenis Bubu
Umpan
1 2 3
S MPS S
Cacing Cacing Ikan
4 5
MPS MPS
Ikan Cacing Total
Lobster S Cacing MPS Cacing
2 ekor 1 bubu 1 bubu
Total S Cacing S Ikan MPS Cacing MPS Ikan
5 1 bubu 1 bubu 2 bubu 1 bubu
S : 35 ; 34 ; 35 Total ekor gram 1 120 1 80 1 90 1 30 1 25 1 20 6 365
166
Lampiran 2 (Lanjutan) TRIP 9 No 1 2 3
Lobster S Cacing MPS Ikan Total S Cacing S Ikan MPS Ikan
Set : 17.17 – 17.23/6 September 2011 Haul : 07.40 – 08.05/07 September 2011 Lobster By-cath Jenis Bubu Umpan Jenis ekor gram Jenis S Cacing Panulirus homarus 1 55 S Ikan Charybdis feriatus MPS Ikan 1 55 Panulirus versicolor Total 2 100 2 ekor 1 bubu 1 bubu 3 1 bubu 1 bubu 1 bubu
T : 23 ; 23 ; 23 ekor
gram
1
104
1
104
S : 34 ; 34 ; 34 Total ekor gram 1 55 1 104 1 55 3 214
167
Lampiran 2 (Lanjutan) TRIP 10 No 1 2 3 4 5
Set : 16.50 – 17.10/10 September 2011 Haul : 06.48 – 07.08/11 September 2011 Lobster By-cath Jenis Bubu Umpan Jenis ekor gram Jenis S Cacing 1 60 Panulirus homarus S Cacing Charybdis feriatus S Cacing Charybdis feriatus Sepia sp. MPS Ikan Charybdis feriatus MPS Cacing Charybdis natator Total 1 60
Lobster S Cacing
1 ekor 1 bubu
Total S Cacing MPS Ikan MPS Cacing
5 3 bubu 1 bubu 1 bubu
T : 22 ; 22 ; 22 ekor
gram
1 1 1 1 1 5
35 160 50 140 90 475
S : 33 ; 33 ; 33 Total ekor gram 1 60 1 35 1 160 1 50 1 140 1 90 6 535
168
Lampiran 2 (Lanjutan) TRIP 11
Set : 7.28 – 7.35/12 September 2011
No
Jenis Bubu
Umpan
1 2
S S
Cacing Cacing Total
Lobster S Cacing
1 ekor 1 bubu
Total S Cacing
2 2 bubu
Haul : 07.25 – 07.40/13 September 2011 T : 23 ; 24 ; 24 Lobster By-cath Jenis ekor gram Jenis ekor gram 2 160 Panulirus homarus Sepia sp. 1 70 2 160 1 70
S : 34 ; 34 ; 34 Total ekor gram 2 160 1 70 3 230
169
Lampiran 2 (Lanjutan) TRIP 12 No 1 2 3
Set : 8.45 – 9.00/14 September 2011 Haul : 06.45 – 07.00/15 September 2011 Lobster By-cath Jenis Bubu Umpan Jenis ekor gram Jenis S Cacing 2 70 Panulirus homarus S Ikan Portunus pelagicus S Ikan Sepia sp. Total 2 70
Lobster S Cacing
2 ekor 1 bubu
Total S Cacing S Ikan
3 1 bubu 2 bubu
T : 23 ; 23 ; 23 ekor
gram
1 3 4
30 195 225
S : 34 ; 34,5 ; 34 Total ekor gram 2 70 1 30 3 195 6 295
170
Lampiran 2 (Lanjutan) TRIP 13 No 1 2 3
Set : 16.50 – 17.15/17 September 2011 Haul : 07.10 – 07.40/18 September 2011 Lobster By-cath Jenis Bubu Umpan Jenis ekor gram Jenis S Cacing 1 40 Panulirus homarus S Cacing Sepia sp. MPS Ikan Epinephelus coioides Total 1 40
Lobster S
1 ekor Cacing
Total S Cacing MPS Ikan
3 2 bubu 1 bubu
T : 24 ; 23 ; 23 ekor
gram
1 1 2
60 50 110
S : 33 ; 34 ; 34 Total ekor gram 1 40 1 60 1 50 3 150
171
Lampiran 2 (Lanjutan) TRIP 14 No 1 2
Set : 16.40 – 17.05/18 September 2011 Haul : 06.45 – 07.09/19 September 2011 T : 24 ; 23 ; 23 Lobster By-cath Jenis Bubu Umpan Jenis ekor gram Jenis ekor gram S Cacing Panulirus homarus 1 90 Sepia sp. 1 50 S Ikan Sepia sp. 3 180 Total 1 90 4 230
Lobster S Cacing
1 ekor 1 bubu
Total S Cacing S Ikan
3 1 bubu 1 bubu
S : 34 ; 34 ; 34 Total ekor gram 2 140 3 180 5 320
172
Lampiran 2 (Lanjutan) TRIP 15
Set : 16.55 – 17. 20/23 September 2011
No
Jenis Bubu
1
MPS
Lobster MPS Cacing
1 ekor 1 bubu
Total MPS Cacing
1 1 bubu
Umpan Cacing Total
Haul : 6.40 – 6.55/24 September 2011 T : 23 ; 23 ; 23 Lobster By-cath Jenis ekor gram Jenis ekor gram 1 100 Panulirus homarus 1 100
S : 34 ; 34 ; 34 Total ekor gram 1 100 1 100
173
Lampiran 2 (Lanjutan) TRIP 16 No 1 2 3 4
Lobster MPS Ikan S Ikan Total MPS Ikan MPS Cacing S Ikan
Set : 16.30 – 16.55/24 September 2011 Haul : 6.50 – 7.10/25 Septembner 2011 T : 23 ; 23 ; 23 Lobster By-cath Jenis Bubu Umpan Jenis ekor gram Jenis ekor gram MPS Ikan 1 45 Panulirus homarus S Ikan 1 30 Panulirus homarus MPS Ikan Sepia sp. 4 265 MPS Cacing Sepia sp. 3 195 Total 2 75 7 460 2 ekor 1 bubu 1 bubu 4 2 bubu 1 bubu 1 bubu
S : 34 ; 34 ; 34 Total ekor gram 1 45 1 30 5 310 3 195 10 580
174
Lampiran 2 (Lanjutan) TRIP 17 No 1 2 3
Set : 16.55 – 17.20/25 September 2011 Haul : 6.50 – 7. 15/26 September 2011 T : 23 ; 22 ; 22 Lobster By-cath Jenis Bubu Umpan Jenis ekor gram Jenis ekor gram MPS Ikan 1 40 Panulirus homarus S Cacing Sepia sp. 2 120 S Ikan 1 70 Squilla mantis Total 1 40 3 190
Lobster MPS Ikan
1 ekor 1 bubu
Total MPS Ikan S Ikan S Cacing
3 1 bubu 1 bubu 1 bubu
S : 34 ; 34 ; 34 Total ekor gram 1 40 2 120 1 70 4 230
175
Lampiran 2 (Lanjutan) TRIP 18
Set : 16.35 – 16. 50/26 September 2011
No
Jenis Bubu
Umpan
1 Total
MPS
Cacing
Lobster MPS Cacing
1 ekor 1 bubu
Total MPS Cacing
1 1 bubu
Haul : 6.45 – 6.55/27 September 2011 T : 23 ; 23 ; 22 Lobster By-cath Jenis ekor gram Jenis ekor gram 1 100 Panulirus homarus 1 100
S : 34 ; 34 ; 34 Total ekor gram 1 100 1 100
176
Lampiran 2 (Lanjutan) TRIP 19 No 1
Set : 16.50 – 17.20/27 September 2011 Haul : 09.50 – 10.08/28 September 2011 T : 22 ; 22 ; 22 Lobster By-cath Jenis Umpan Bubu Jenis ekor gram Jenis ekor gram S ikan 1 90 Panulirus ornatus Total 1 90
Lobster S Ikan
1 ekor 1 bubu
Total S Ikan
1 1 bubu
S : 35 ; 34 ; 34 Total ekor gram 1 90 1 90
177
Lampiran 2 (Lanjutan) TRIP 20 No 1
2
Lobster S cacing MPS Cacing Total S cacing MPS Cacing S Ikan
Set : 16.55 – 17.25/28 September 2 2011 Haul : 7.28 – 7.35/29 September 2011 T : 22 ; 22 ; 22 Lobster By-cath Jenis Bubu Umpan Jenis ekor gram Jenis ekor gram S Cacing Panulirus homarus 3 120 MPS Cacing Panulirus homarus 1 40,5 MPS Cacing Sepia sp. 1 50 S Ikan Sepia sp. 1 48 S Ikan 1 180 Epinephelus coioides Total 4 160,5 3 278 4 ekor 1 bubu 1 bubu 5 1 bubu 2 bubu 2 bubu
S : 34 ; 34 ; 34 Total ekor gram 3 120 1 40,5 1 50 1 48 1 180 7 438,5
178
Lampiran 3. Respon data hasil tangkapan lobster jenis bubu lipat dengan umpan tembang Trip No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 total rataan SD SE
Standar (S) 2 2 0 2 2 0 0 0 1 2 1 0 0 2 0 1 0 1 0 2 0 1 0 1 0 2 0 0 1 2 0 25 0.8 0.9 0.03
Hasil Tangkapan Lobster (ekor) berdasarkan Jenis Bubu Lipat Modifikasi Pintu Samping Modifikasi Pintu Atas (MPS) (MPA) 1 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 1 2 0 0 0 0 0 1 0 1 1 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 1 0 0 1 0 14 3 0.5 0.1 0.6 0.3 0.02 0.01
179
Lampiran 4. Data syntax 3 jenis bubu lipat dengan umpan tembang DATA bubu; INPUT umpan$ bubu$ ulangan lobsterekor; CARDS;
umpan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan
bubu s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s mps mps mps mps mps mps
ulangan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 1 2 3 4 5 6
lobsterekor 2 2 0 2 2 0 0 0 1 2 1 0 0 2 0 1 0 1 0 2 0 1 0 1 0 2 0 0 1 2 0 1 1 0 1 0 1
180
umpan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan
bubu mps mps mps mps mps mps mps mps mps mps mps mps mps mps mps mps mps mps mps mps mps mps mps mps mps mpa mpa mpa mpa mpa mpa mpa mpa mpa mpa mpa mpa mpa mpa mpa mpa mpa
ulangan 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
lobsterekor 0 0 1 0 2 0 0 1 1 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1 0 0
181
umpan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan
bubu mpa mpa mpa mpa mpa mpa mpa mpa mpa mpa mpa mpa mpa mpa
ulangan 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
; TITLE ' HASIL ANALISIS RAGAM‐RAL lobsterekor '; proc glm data=bubu; class umpan bubu; model lobsterekor=umpan bubu umpan*bubu; means umpan bubu umpan*bubu/duncan; run;
mps : bubu lipat modifikasi pintu samping mpa : bubu lipat modifikasi pintu atas s : bubu lipat standar
lobsterekor 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0
182
Lampiran 5. Analisis ANOVA dengan aplikasi SAS untuk 3 jenis bubu lipat dengan umpan tembang
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
2
7.80645161
3.90322581
9.44*
0.0002
Error
90
37.22580645
0.41362007
Corrected Total
92
45.03225806
F table = 3,097
Source
DF
umpan
0
bubu umpan*bubu
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
0.00000000
.
.
.
2
7.80645161
3.90322581
9.44*
0.0002
0
0.00000000
.
.
.
Pr>F : < 0,05 atau < taraf nyata 5% : berbeda nyata Level of bubu
N
lobsterekor Mean
Std Dev
mpa
31
0.09677419
0.30053715
mps
31
0.45161290
0.62389688
s
31
0.80645161
0.87251953
183
Lampiran 6. Respon data hasil tangkapan lobster jenis bubu lipat modifikasi pintu samping (MPS) dan standar (S) dengan jenis umpan cacing tanah dan tembang (standar) umpan Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing
bubu ps ps ps ps ps ps ps ps ps ps ps ps ps ps ps ps ps ps ps ps s s s s s s s s s s s s s s s s s s
ulangan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
lobsterekor 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 1 3 0 0 0 1 0 0 1 1 1 2 2 1 1 0 0 0 0
184
umpan Cacing Cacing ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan
bubu s s ps ps ps ps ps ps ps ps ps ps ps ps ps ps ps ps ps ps ps ps s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s
ulangan 19 20 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
lobsterekor 0 3 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 1 2 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0
185
Lampiran 7. Data syntax 2 jenis bubu lipat dengan umpan cacing tanah dan umpan tembang DATA bubu; INPUT umpan$ bubu$ ulangan lobsterekor; CARDS;
Umpan Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing Cacing ikan ikan
Bubu mps mps mps mps mps mps mps mps mps mps mps mps mps mps mps mps mps mps mps mps s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s mps mps
Ulangan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 1 2
Trans-data 0.707106781 0.707106781 0.707106781 0.707106781 0.707106781 1.224744871 1.224744871 1.224744871 0.707106781 0.707106781 0.707106781 0.707106781 0.707106781 0.707106781 1.224744871 0.707106781 0.707106781 1.224744871 0.707106781 1.224744871 1.870828693 0.707106781 0.707106781 0.707106781 1.224744871 0.707106781 0.707106781 1.224744871 1.224744871 1.224744871 1.58113883 1.58113883 1.224744871 1.224744871 0.707106781 0.707106781 0.707106781 0.707106781 0.707106781 1.870828693 0.707106781 0.707106781
186
Umpan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan ikan
Bubu mps mps mps mps mps mps mps mps mps mps mps mps mps mps mps mps mps mps s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s
Ulangan 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
; TITLE ' HASIL ANALISIS RAGAM‐RAL lobsterekor '; proc glm data=bubu; class umpan bubu; model lobsterekor=umpan bubu umpan*bubu; means umpan bubu umpan*bubu/duncan; run;
mps: bubu lipat modifikasi pintu samping s : bubu lipat standar
Trans-data 0.707106781 0.707106781 0.707106781 0.707106781 0.707106781 0.707106781 1.224744871 0.707106781 0.707106781 0.707106781 0.707106781 0.707106781 0.707106781 1.224744871 1.224744871 0.707106781 0.707106781 0.707106781 0.707106781 1.224744871 1.58113883 1.224744871 0.707106781 0.707106781 0.707106781 0.707106781 0.707106781 0.707106781 0.707106781 0.707106781 0.707106781 0.707106781 0.707106781 1.224744871 0.707106781 0.707106781 1.224744871 0.707106781
187
Lampiran 8. Hasil analisis ANOVA dengan aplikasi SAS untuk 2 jenis bubu lipat dengan umpan cacing tanah dan umpan tembang
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
3
0.88266572
0.29422191
3.45*
0.0206
Error
76
6.47633388
0.08521492
Corrected Total
79
7.35899960
Source
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
umpan
1
0.41900295
0.41900295
4.92*
0.0296
bubu
1
0.37362545
0.37362545
4.38*
0.0396
umpan*bubu
1
0.09003732
0.09003732
1.06
0.3073
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
umpan
A
0.96429
40
Cacing
B
0.81954
40
ikan
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
bubu
A
0.96025
40
s
B
0.82358
40
ps
188
Lampiran 9.
Respon data hasil tangkapan lobster berdasarkan jenis bubu lipat
modifikasi pintu samping (MPS) dan standar (S)
Trip
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 total rataan SD SE
Hasil Tangkapan Lobster (ekor) berdasarkan Jenis Bubu Lipat Modifikasi Pintu Samping Standar (MPS) (S) 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 1 9 0.5 0.5 0.03
3 1 2 1 1 0 0 1 1 1 2 2 1 1 0 1 0 0 1 3 22 1.1 0.9 0.05
189
Lampiran 10 Respon data hasil tangkapan lobster berdasarkan jenis umpan cacing tanah dan tembang (standar)
Trip No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 total rata SD SE
Hasil Tangkapan Lobster (ekor) berdasarkan jenis umpan Cacing tanah Tembang 3 0 0 0 1 1 1 2 1 1 2 2 1 1 1 0 0 1 0 4 22 1.10 1.1 0.05
0 1 2 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 2 1 0 1 0 9 0.45 0.7 0.03
190
Lampiran 11 Kondisi umpan sebelum dan sesudah perendaman
191
Lampiran 11 (Lanjutan)
1922
Lam mpiran 12 Hasil tangkkapan bubu lipat penelitian
Nama lokal : Udang N U Baronng N Nama Indonessia : Lobster Hijau Pasir N Nama Inggris : Scalloped Spiny Lobsteer N Nama Latin : Panulirus hoomarus
Nama lokal : Udang N U Baronng N Nama Indonessia : Lobster Mutiara N Nama Inggris : Ornate Roock Lobster N Nama Latin : Panulirus orrnatus
Nam ma lokal : Uddang Barong Nam ma Indonesia : Lobster Hiijau Bambu Nam ma Inggris : Painted P Rockk Lobster Nam ma Latin : Paanulirus versiicolor
Nam ma lokal : Raajungan Nam ma Indonesiaa : Rajungann Nam ma Inggris : Blue B swimming Crab Nam ma Latin : Poortunus pelaagicus
193
Lamppiran 12 (Lanjutan)
Nam ma lokal : Raj ajungan macaan Nam ma Indonesiaa : Rajungan Nam ma Inggris : Crucifix C swim mming crab Nam ma Latin : Chharybdis feriaatus
Namaa Indonesia : Rajungan Namaa Inggris : Bloood-spotted swimming s crrab Namaa Latin : Porttunus sanguinolentus
Namaa lokal : Rajuungan batu Namaa Indonesia : Rajungan Namaa Inggris : Riddged swimming crab Namaa Latin : Charrybdis natato or
Namaa lokal : Keraapu Balong Namaa Indonesia : Kerapu tutu ul Namaa Inggris : Orange-spotteed grouper Namaa Latin : Epinephelus ma aculatus
1944
Lam mpiran 12 (Lanjutan)
Nama lokkal : Ikan Sin ngreng Nama Ingggris : Sharpn nosed Pufferr Nama Lattin : Canthig gaster sp.
Nama lookal : Cumi Batok Nama Inndonesia : Sotong Nama Innggris : Cutttlefish Nama Latin L : Sepia sp
Nama lookal : Udang g Mantis Nama Inndonesia : Udang U Mantiss Nama Innggris : Man ntis Shrimp Nama Latin L : Squilla a mantis