EFISIENSI PEMUPUKAN DENGAN PENAMBAHAN KOMPOS JERAMI PADA BUDIDAYA PADI SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI) DI DAERAH PASANG SURUT KALIMANTAN SELATAN
Oleh FAKHRUR RAZIE
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
LAMPIRAN
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Efisiensi Pemupukan dengan Penambahan Kompos Jerami pada Budidaya Padi System of Rice Intensification (SRI) di Daerah Pasang Surut Kalimantan Selatan, dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Juli 2012 Fakhrur Razie NIM. A161070021
ii
iii
ABSTRACT FAKHRUR RAZIE. Efficiency of Fertilizer with Enriched Straw Compost under System of Rice Intensification (SRI)Rice Cultivation in Tidal Areas of South Kalimantan.Under direction of ISWANDI ANAS, ATANG SUTANDI, LUKMAN GUNARTO and SUGIYANTA. System of Rice Intensification (SRI) is a rice cultivation by which can be done in tidal rice fields. The application of this method must be supported by efforts to address the major issues in tidal land, mainly low soil fertility status and high solubility of the elements namely Fe, Al and Mn whichcaused toxic to plants. Composted rice straw is an alternative ameliorantcan be used to resolve the tidal land problems, howevercomposting process naturally takes 2-3 months. Aplication of microbial cellulolytic making shorten decomposition by rice straws become possible. Free living N 2 fixing bacterium such as Azotobacter would able to increase N-available to the plant turn higher N uptake of the plant.The main objective of this study was to isolate the cellulolytic microbial from tidal rice fields that could accelerate straw decomposition and study the effect of enriched compost on nutrient uptake efficiency of N, P and K and rice yield,and study the potential toxicity of Fe, Al and Mn under SRI compared to conventional rice cultivationson in a tidal rice field of South Kalimantan.This study is consisted of two experiments. It was collected 100 samples natural rice straw compost from 16 sites in the tidal rice fields in South Kalimantan from first experiment. 143 cellulolytic isolates have been isolated from the samples. Collectred isolates were then tested ability to excrete cellulase, resistance to soil pH changes and acceleration to the straw decomposition.A completely randomized block design with two factors was used in the field trial. The main plot were SRI and convensional rice cultivations, and as subplots were eight fertilizerstreatments that were a combination between Azotobacter enriched compost with inorganic fertilizersdosages. The results showed that four isolates of microbial cellulolytic namely bacteria GA22 and ST22, and fungi SN123 and C52 were found as a superior strains to excrete cellulaseenzyme, resistance to changes in soil pH and could accelerate composting processes. Although all cellulolytic isolates collected from acid soil,most of them had ability to grow better in neutral pH.The enriched compost could reduce the use of fertilizer N, P and K as much as 25% fertilizer of recommended dosage.The enriched compost with dosage 75% of N, P and K fertilizer could increase N, P and K uptake efficiencies. SRI could be applied in type B of tidal rice fields during dry season,and implementation of SRI was able reduce the potential of Fe toxicity. Ultimately,Ciherang variety of rice yielded 4.34 tons/ha if cultivated under SRI, whereas under the conventional rice cultivation was 3.56 tons/haonly. Key words: Tidal rice fields, System of Rice Intensification, cellulolytic microbes, Azotobacter
iv
v
RINGKASAN FAKHRUR RAZIE. Efisiensi Pemupukan dengan Penambahan Kompos Jerami pada Budidaya Padi System of Rice Intensification (SRI) di Daerah Pasang Surut Kalimantan Selatan.Dibimbing oleh ISWANDI ANAS, ATANG SUTANDI, LUKMAN GUNARTO dan SUGIYANTA. Budidaya System of Rice Intensification (SRI) dapat menjadi salah satu alternatif budidaya padi di daerah pasang surut.Secara prinsip budidaya SRI bertujuan memberikan kondisi pertumbuhan optimal sistem pertunasan dan perakaran untuk mempercepat pertumbuhan dan peningkatan produksi.Budidaya padi SRI memperhatikan aspek-aspek pertumbuhan secara menyeluruh, mulai dari penggunaan bibit yang berkualitas, pengaturan jarak tanam, pengairan dan penggunaan pupuk dengan memperhatikan biofisik lahan, pengendalian hama dan penyakit, pemberantasan gulma hingga panen. Budidaya SRI menekankan pada penghematan air yang didasarkan bahwa padi merupakan tanaman yang butuh air, sehingga lahan tidak harus tergenang secara terus menerus atau terputus (intermittent). Dengan demikian budidaya ini hanya dapat diterapkan di lahan pasang surut tipe B (tidak terluapi ketika air pasang kecil), tipe C dan D (lahan yang tidak terluapi air) terutama pada musim kemarau dan memiliki sistem irigasi seperti tata air mikro.
Seperti halnya
budidaya padi konvensional, penerapan budidaya SRI di persawahan pasang surut akan dihadapkan pada dua masalah utama, yaitu kesuburan tanah yang rendah dan adanya Fe dan Al yang berpotensi meracuni padi. Jerami
padi
dapat
dimanfaatkan
sebagai
bahan
amelioran
untuk
memperbaiki kesuburan dan potensi keracunan Fe dan Al. Pemanfaatan jerami secara langsung selain proses dekomposisi yang lambat dan berdampak negatif terhadap lahan dengan meningkatkan kelarutan besi. Jerami mengandung selulosa 35-45%, hemiselulosa 18-25% dan lignin 10-25 dari bobot kering adalah penyebab utama lambatnya dekomposisi.Kondisi lahan pasang surut yang spesifik, yaitu lingkungan yang ekstrim masam hingga netral, tingginya unsurunsur Fe dan kandungan hara yang rendahmendorong berkembangnya mikrob yang mampu merombak bahan jerami (mikrob selulolitik) spesifik. Kegiatan isolasi dan seleksi mikrob selulolitik untuk dimanfaatkan dalam mempercepat dekomposisi jerami, mengurangi kelarutan besi dan sebagai pemasok hara
vi
tanaman sehingga dapat meningkatkan efisiensiserapan tanaman dan akhirnya meningkatkan produksi padi di lahan pasang surut. Pemberian kompos jerami padi diperkaya Azotobacter adalah sebuah alternatif untuk mengatasi toksisitas besi dan sebagai sumber nutrisi. Pemanfaatan Azotobacter RG3.62 dari persawahan pasang surut Kalimantan Selatan sebagai penambat nitrogen di atmosfer dan penghasil senyawa aktif hormon pertumbuhan yaitu Indole Acetic Acid (IAA) sehingga mendukung kemampuan kompos jerami dalam memasok N dan meningkatkan efesiensi hara N, P dan K Penelitian ini dibagi menjadi dua percobaan, percobaan pertama bertujuan untuk mengisolasi dan menyeleksi mikrob perombak bahan organik (selulolitik) yang memiliki kemampuan dalam mempercepat proses pengomposan jerami padi dan percobaan kedua bertujuan mempelajari peranan kompos diperkaya Azotobacter untuk mengurangi dosis pupuk anorganik, meningkatkan efisiensi serapan hara dan produksi padi pada budidaya SRI dibandingkan dengan budidaya padi konvensional di lahan sawah pasang surut. Percobaan pertama pada penelitian ini dimulai dari pengkoleksian sumber isolat yang diambil di persawahan pasang surut di wilayah Kabupaten Barito Kuala dan Kabupaten Banjar di Kalimantan Selatan.Isolasi dan pemurnian isolat dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Tanah Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB.
Isolat-isolat yang telah dimurnikan diseleksi secara
bertahap, mulai dari kemampuan dalam (1) mengeksresikan tiga komponen enzim selulase yaitu endoglukonase, eksoglukonase dan β-glukosidase; (2) ketahanan terhadap perubahan pH tanah; dan (3) kemampuan dalam mempercepat proses pengomposan jerami padi.
Lima isolat terseleksi dari tahapan pengujian
dipergunakan dalam pembuatan kompos pada percobaan kedua.Percobaan kedua merupakan percobaan lapang dilaksanakan di persawahan pasang surut Desa Danda Jaya, Kecamatan Rantau Badauh, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan.Rancangan lingkungan dan perlakuan yang dipergunakan adalah rancangan acak kelompok dengan dua perlakuan petak terpisah.Petak utama (main plot) adalah budidaya padi
SRI dan konvensional, dan sebagai anak petak
vii
(subplot) adalah delapan taraf pemupukan, yaitu kombinasi dari kompos diperkaya Azotobacterdengan berbagai dosis pupuk anorganik. Pada percobaan pertama diperoleh empat mikrob selulolitik yaitu bakteri selulolitik GA22 dan ST22, dan fungi selulolitik SN123 dan C52 merupakan isolat-isolat unggul dalam mengekskresikan enzim selulase (endoglukonase, eksoglukonase dan β-glukosidase), ketahanan terhadap perubahan pH tanah dan mempercepat pengomposan.Mikrob-mikrob selulolitik indigenous persawahan pasang surut Kalimantan Selatan sebagian besar mampu tumbuh dan berkembang pada pH masam sampai sangat (pH tanah 3.5-4.5).Mikrobimikrobtersebut juga mampu menyusutkan bobot kering jerami sebesar 55 -73%, volume jeramisebesar 26-38% dan menurunkan C/N dari 39 menjadi 16-21 selama 14 hari Hasil dari percobaan kedua menunjukkan bahwa kompos jerami diperkaya Azotobacter mampu menekan penggunaan pupuk N, P dan K sebesar 25% dosis pupuk yang direkomendasikan, dimana kertersediaan hara N-NH 4 dan N-NO 3 pada kompos diperkaya Azotobacter tanpa pupuk N, P dan K dan ketersediaan hara K pada 50% dosis pupuk N, P dan K lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol.
Kandungan P-tersedia tanah budidaya SRI pada pemberian kompos
diperkaya Azotobacter dengan 75% dosis pupuk N, P dan K lebih tinggi dibandingkan dengan budiday konvensional.
Tinggi tanaman, jumlah gabah per
malai, bobot 1000 butir, dan produksi padi pada pemberian kompos jerami diperkaya Azotobacter dan 75% dosis pupuk N, P dan K, danbeberapa komponen hasil lainnya, serapan dan efisiensi serapan N dan K pada kompos jerami diperkaya Azotobacter dan 25% dosis pupuk N, P dan K lebih tinggi dibanding kontrol tidak berbeda dengan 100% dosis pupuk N, P dan K. Budidaya padi SRI dapat diterapkan di persawahan pasang surut tipe B Kalimantan Selatan pada musim kemarau, dimana kandungan hara N-NH 4 dan Ktersedia tanah pada budidaya SRI pada awal tanam lebih tinggi dibandingkan dengan budidaya padi konvensional.Kandungan P-tersedia tanah pada pemberian kompos diperkaya Azotobacter dengan 75-100% dosis pupuk N, P dan K pada budidaya SRI lebih tinggi dibandingkan budidaya padi konvensional.Anakan produktif, tinggi tanaman, jumlah gabah dan bobot kering jerami pada budidaya SRI lebih tinggi dibanding budidaya padi konvensional.Produksi padi Ciherang
viii
pada budidaya padi SRI (4.34 ton GKG/ha) hampir 22% lebih tinggi dibanding dengan budidaya konvensional (3.56 ton GKG/ha).Serapan dan efisiensi serapan hara N, P dan K tanaman pada budidaya SRI lebih tinggi dibanding pada budidaya padi konvensional. Penerapan budidaya padi SRI di persawahan pasang surut mampu menekan potensi keracunan Fe terhadap padi, dimana saat 49 HST, kandungan Fe tersedia tanah pada budidaya SRI lebih rendah dibandingkan dengan budidaya padi konvensional.Saat panen, kandungan Fe jaringan padi Ciherang pada budidaya padi SRI
lebih rendah dibanding budidaya padi konvensional.Saat 14 HST,
pemberian kompos diperkaya Azotobacter mampu menekan kelarutan Fe tanah terekstrak NH 4 -asetat pH 4.8. Viabilitas mikrob selulolitik dan Azotobacter pada kedua budidaya dan pemupukan berhubungan erat negatif dengan ketersediaan Fe tanah. Berdasarkan total populasi tertinggi, total populasi mikrob selulolitik dan Azotobacterpada budidaya SRI masing-masing 2 dan 4 kali lebih tinggi dibanding dengan budidaya padi konvensional.
ix
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah dan, b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
x
xi
EFISIENSI PEMUPUKAN DENGAN PENAMBAHAN KOMPOS JERAMI PADA BUDIDAYA PADI SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION(SRI) DI DAERAH PASANG SURUT KALIMANTAN SELATAN
FAKHRUR RAZIE
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Tanah
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
xii
Penguji luar pada Ujian Tertutup
: Dr. Ir. Suwarno (Staf pengajar Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB) : Dr. Ir. Yulin Lestari, M.Sc (Staf pengajar Departemen Biologi, Fakultas MIPA, IPB)
Penguji luar pada Ujian Terbuka
: Dr. Ir. Agus Sofyan, MS (Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian, Departemen Pertanian) : Dr. Ir. Ahmad Junaedi, M.Si (Staf pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura,Fakultas Pertanian,IPB)
xiii
Judul Disertasi
: Efisiensi Pemupukan dengan Penambahan Kompos Jerami pada Budidaya Padi System of Rice Intensification (SRI) di Daerah Pasang Surut Kalimantan Selatan.
Nama
: Fakhrur Razie
NIM
: A161070021
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof.Dr.Ir. Iswandi Anas, M.Sc Ketua
Dr.Ir. Atang Sutandi, MS Anggota
Prof.(R).Dr.Ir. Lukman Gunarto, MS Anggota
Dr.Ir. Sugiyanta, MS Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Tanah
Dekan Sekolah Pascasarjana
Ir. Atang Sutandi, MS, PhD
Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 19 Juli 2012
Tanggal Lulus :
xiv
xv
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2009 ini adalah Eisiensi Pemupukan dengan Penambahan Kompos Jerami pada Budidaya Padi System of Rice Intensification (SRI) di Daerah Pasang Surut Kalimantan Selatan. Sebuah artikel berjudul Efesiensi Serapan hara dan Hasil Padi pada Budidaya Padi SRI di Persawahan Pasang Surut Kalimantan Selatan dengan Kompos di Perkaya untuk Mengurangi Pupuk Anorganik merupakan sebagian dari disertasi ini diterbitkan pada Jurnal Agronomi Indonesia Vol. XL, No.2 Agustus 2012. Terima kasih dan penghargaan penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Iswandi Anas, M.Sc; Dr. Ir. Atang Sutandi, MS;Prof. (Riset) Dr. Ir. Lukman Gunarto, MS dan Dr. Ir. Sugiyanta, MS. selaku pembimbing yang telah banyak memberikan masukan berupa pengalaman, saran dan kritik, serta membuka cakrawala pemikiran. Ucapan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc selaku pimpinan sidang ujian tertutup; Ibu Dr. Ir. Yulin Lestari, M.Sc dan Bapak Dr. Ir. Suwarno selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup;Bapak Prof. Dr. Ir. Dadang, M.Sc selaku pimpinan sidang ujian terbuka; Bapak Dr. Ir. Agus Sofyan, MS dan Dr. Ir. Ahmad Junaedi, M.Si selaku penguji luar komisi ujian terbuka, yang mengkritisi dan memberikan masukan untuk perbaikan karya ilmiah ini.Ucapan terima kasih dan penghargaan juga disampaikan kepada pada dosen PS Ilmu Tanah Fakultas Pertanian dan Pascasarjana IPB yang telah memberikan ilmu dan membuka cakrawala pemikiran ilmiah selama menempuh pendidikan. Ucapan terima kasih disampaikan kepada staf Laboratorium Bioteknologi Tanah (Bapak Sarjito, Ibu Asih Karyati dan Siti Zulaeha) dan staf Laboratorium Kimia Tanah Fakultas Pertanian IPB Bogor (Bapak Sukoyo), serta kepala dan staf Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru (Bapak Hasrul Satria Nur, S.Si, M.Si dan Ibu Rosidah, AMd) yang telah banyak memberikan bantuan teknis laboratorium.
xvi
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Departemen Pendidikan Nasional atas beasiswa selama penulis menjalankan pendidikan melalui Hibah IMHERE, Unlam yang telah memberikan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana di IPB, dan Pemerintah PropinsiKalimantan Selatan atas bantuan dana pendidikan,serta kepada semua pihak yang berjasa dan membantu sehingga penelitian disertasi ini dapat diselesaikan.
Akhirnya ucapan terima
kasih kepada kedua orang tua, istri (Hidwar Kartikasari, SP), anak-anak (Annisa Damayanti, Muhammad Rizqi Ramadhan dan Raisa Azkia) dan seluruh keluarga atas segala doa dan dukungannya. Tulisan ini bermanfaat untuk pengembangan dan pengelolaan persawahan di daerah pasang surut khususnya di persawahan pasang surut Kalimantan selatan.
Bogor, Juli 2012 Fakhrur Razie
xvii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Banjarmasin pada tanggal 7 Juli 1967 sebagai anak ke empat dari pasangan Hudrie Mazeri dan Nur Hayati. Pendidikan sarjana di tempuh di Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas lambung Mangkurat, lulus pada tahun 1992. Pada tahun 2000, penulis diterima di Program Studi Magister Ilmu Tanah pada Sekolah Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2003. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi dan perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2007. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional melalui proyek hibah I-MHERE Batch II Universitas Lambung Mangkurat. Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat sejak tahun 1993 dan mengampu matakuliah pada bidang Biologi dan Kesuburan Tanah. Selama mengikuti program S3, penulis berkesempatan menyampaikan karya ilmiah yang berjudul Effects of Nitrogen Fixing Bacteria (NFB) in Increasing Rice Yields Grown on Tidal Areas of South Kalimantan pada Workshop and International Seminar di Ibaraki University, Ibaraki, Jepang pada tahun 2009.
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ……………………………..........…………….........…
halaman xxi
DAFTAR GAMBAR ……………………….……………………...........…
xxiii
DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................
xxv
PENDAHULUAN ..........................................................................................
1
LatarBelakang......……………………………………......……......... KerangkaPemikiran .......…………………………………….......... TujuanPenelitian ................................................................................. HipotesaPenelitian ..............................................................................
1 3 5 5
TINJAUAN PUSTAKA ………………………………….....……………...
7
LahanPasangSurut ............................................................................. BudidayaPadiSRI ............................................................................... JeramiPadi ........................................................................................... Selulosa ................................................................................................ Azotobacterspp. di PersawahanPasangSurut Kalimantan Selatan ....
7 12 16 18 20
PERCOBAAN 1: ISOLASI DAN SELEKSI MIKROB SELULOLITIK.....
29
Pendahuluan ................................………………………………….... BahandanMetode ...............................……………………………… HasildanPembahasan......................................................................... Kesimpulan ..........................................................................................
29 30 35 47
PERCOBAAN 2: PENGARUH KOMPOS JERAMI DIPERKAYAAZOTOBACTER TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI CIHERANG PADA BUDIDAYA PADI SRI DAN KONVENSIONAL........................................................................................
49
Pendahuluan ................................…………………………………… BahandanMetode ...............................……………………………… HasildanPembahasan ......................................................................... Kesimpulan ..........................................................................................
49 51 56 79
PEMBAHASAN UMUM ..............................................................................
83
MikrobSelulolitik di PersawahanPasangSurut Kalimantan Selatan . PertumbuhandanProduksiPadiCiherangpadaBudidayaPadi SRI danKonvensional di PersawahanPasangSurut Kalimantan Selatan ..
83 99
KESIMPULAN ..............................................................................................
109
Kesimpulan ................................…………………………………...... Saran...............................………………………………......................
109 110
xx DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
111
LAMPIRAN ...................................................................................................
119
xxi
DAFTAR TABEL halaman 1. SifatkimiatanahdaerahpasangsurutDesaTerantangKabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan(LemlitUnlam 2004)....................... 2. JumlahisolatAzotobacter spp. daribahanrizosfermenurutlokasidanvarietaspadi di daerah pasang surut Kalimantan Selatan (Razie 2003) .................................................................................................... 3. EfektivitasAzotobacter spp. dalammenambat N 2 di daerah pasang surut Kalimantan Selatan (Razie 2003) ................................................ 4. KemampuanAzotobactersppdalammenambat N 2 padaberdasarkanlokasi, bagianekosistemdanvarietaspadidi daerah pasang surut Kalimantan Selatan (Razie 2003)......................................................... 5. Produksi IAA dariAzotobacterspp. danperanannyaterhadapperkembanganakarpadi IR64(Razie 2003; Razie& Haris 2004)...... 6. Sumberisolatdanmikrobselulolitik yang diperolehdaripersawahanpasangsurut Kalimantan Selatan ......................................................... 7. Nilai indeks mikrobselulolitik dari persawahan pasang surut Kalimantan Selatan ..............................................................................
11
21
22
22
25
37
38
8. Aktivitasenzimselobiohidrolasedanglukosidasemikrobselulolitikdari persawahan pasang surut Kalimantan Selatan ..............................
40
9. Hasil pengukuran total populasi dan evolusi CO 2 dari uji ketahanan mikrob terhadap perubahan pH tanah ..................................................
42
1 Persen penyusutan valume dan bobot kering jerami padi selama proses 0. dekomposisi setelah inkubasi selama 14 hari ...........................
44
1 C/N jerami padi selama proses dekomposisi setelah diinkubasi selama 14 1. hari ...................................................................................... 45 1 Seleksimikrobselulolitikberdasarkankemampuanmempercepat proses 2. dekomposisibahanjerami .........................................................
46
1 Kandungan C, N, P dan K total tanah awal, dan kompos jerami yang 3. dipergunakanpada penelitian..............................................................
56
1 Pengaruhbudidayapadidanpemupukanterhadapbeberapasifattanahsaatse 4. minggusetelahpemupukan ...........................................
57
xxii 1 Pengaruhinteraksibudidayapadidanpemupukanterhadapkandungan P 5. tersediatanahsaatseminggusetelahpemupukan .......
59
1 PertumbuhanpadiCiherangpadaperlakuanbudidayapadidanpemupukan di 6. persawahanpasangsurut Kalimantan Selatan ..............
61
1 Produksigabahdanbobotkeringjeramipadipadaperlakuanbudidayapadidan 7. pemupukan di persawahanpasangsurut Kalimantan Selatan ..............................................................................
64
1 Kandunganhara N, P dan K 8. jeramidangabahtanamanpadaperlakuanbudidayapadidanpemupukan di persawahanpasangsurut Kalimantan Selatan .............................................................................. 1 Serapanhara N, P dan K 9. tanamanpadaperlakuanbudidayapadidanpemupukan di persawahanpasangsurut Kalimantan Selatan .............. 2 Efesiensiserapanhara N, P dan K 0. tanamanpadaperlakuanbudidayapadidanpemupukan di persawahanpasangsurut Kalimantan Selatan 2 Fe tersedia tanahterakstrak NH 4 -asetat pH 4.8 1. padaperlakuanbudidayapadidanpemupukan di persawahanpasangsurut Kalimantan Selatan .............................................................................. 2 Kelarutan Fe, Al danMntanah49 HST 2. padaperlakuanbudidayapadidanpemupukan di persawahanpasangsurut Kalimantan Selatan
65
67
69
72
73
2 Kandungan Fe, Al danMntersedia terekstrak NH 4 -Asetat pH 4.8 saat 49 3. HST padaperlakuanbudidayapadidanpemupukan di persawahanpasangsurut Kalimantan Selatan .....................................
74
2 Kandungan Fe jaringanpadiCiherangpadaperlakuanbudidayapadi di 4. persawahanpasangsurut Kalimantan Selatan .................................
76
2 KandunganharaN, P dan K 5. tanahsaatpanenpadaperlakuanbudidayapadidan pemupukan di persawahanpasangsurut Kalimantan Selatan.............................................................................. 2 Aktivitasenzimeksoglukanasedanglukosidasedari 40 6. isolatselulolitikterseleksiberdasarkanlokasisumberisolat........................ 2 Ketahananisolatterhadapsuhu............................................................ 7.
79
86 94
xxiii
DAFTAR GAMBAR halaman 1 Kerangkapemikiranpenelitian…......................................................... . 2 Total mikrob,Azospirillum, . AzotobacterdanmikrobpelarutfosfatpadabudidayaSRI dankonvensional (Anas 2008) …..............……… 3 Penampangakarpadi yang tergenangdantidaktergenang(Poerwanto 2008) . …………….............................................................
4 Skemapemberian air irigasipadasetiapfasepertumbuhanpadi(Poerwanto, . 2008)…..............................................................................
5 Perubahan level nitrattanahselama proses dekomposisisisatanaman . (Havlin et al. 1999) ..............................................................................
6 Skemahidrolisisselulosamenjadiglukosa(Lymaretal. 1995)........... . 7 HubunganpopulasiAzotobacterdengan N-tertambat(Razie& Haris 2004) . …..................................................................................................
4
1 4
1 5
1 6
1 7 2 0
2 3
8 Perubahanjumlah N tertambatper selAzotobacter(Razieetal. 2005) .
2 4
9 ProduksipadiSiam Pandak yang . diinokulasidenganAzotobactersppuntukmensubstitusi urea di lahanpasangsuruttipe A (Razie et al. 2008)…...................................................................................................
2 6
1 ProduksipadiCiherangdiinokulasiAzotobactersppuntukmensubstitusi urea 0 di lahanpasangsuruttipe B (Razie et al. 2008)... .
2 7
1 Diagram alirpenelitianpercobaanpertama…...................................... 1 . 1 Bobot bahan kapur terhadap perubahan pH tanah ............................... 2 . 1 Mikrobselulolitikdaripersawahanpasangsurut Kalimantan Selatan
3 0 3 4 3
xxiv 3 . 1 Seleksiisolatmikrobselulolitikberdasarkannilaiskordariindeksselulolitik…. 4 ......................................................................................... .
6
3 9
1 Seleksiisolatmikrobselulolitikberdasarkannilaiskordariaktivitasenzim….... 5 ............................................................................................ .
4 1
1 Seleksiisolatmikrobselulolitikberdasarkannilaiskordari pertumbuhan 6 populasi dan evolusi CO2 ................................................ .
4 3
1 Perubahansuhubahanjerami yang 7 diinokulasidenganmikrobselulolitiksetelahdiinkubasi........................…...... . ..............................
4 6
1 Diagram alirpenelitianpercobaankedua…......................................... 8 . 1 Baganpetakpercobaan di persawahanpasangsurut Kalimantan Selatan 9 ….............................................................................................. .
5 2
2 0 . 2 1 .
6 0
Jumlahanakan(A) dantinggitanamanpadi(B) selamapertumbuhan
Kandungan Fe jaringanpadiCiherangpadaperlakuanbudidayapadidanpemupukan di persawahanpasangsurut Kalimantan Selatan …...
5 3
7 5
2 PopulasimikrobselulolitikdanAzotobacterpadabudidayapadidanpemupuka 2 npadasaatpanen….............................................................. .
7 7
2 Nilaiindeksselulolitikdariisolat-isolat yang 3 dimurnikanberdasarkanlokasi1isolatdiperoleh…......................................... . .............................
8 5
2 Populasibakteridan fungi selulolitiksetelahdiinkubasi 14 4 haripadaperubahan pH tanah . ...........................................................................
8 9
2 Evolusi CO 2 olehmikrobselulolitikpadaberbagai pH 5 tanahsetelahdiinkubasiselama 14 . hari….................................................................
9 0
xxv
2 Hasilpengukuran N, P dan K tersediasertakelarutan Fe 6 tanahpadaperlakuan pH tanah . ............................................................................
9 1
2 Persenpenyusutan bobotkeringdan volume bahanjeramisetelahdiinkubasi 7 14 hari…............................................................................. .
9 2
2 Nilai C/N bahanjerami yang 8 diinokulasidenganmikrobselulolitiksetelahdiinkubasiselama 14 . hari….....................................................
9 3
2 Kecepatanpenurunannilai C/N bahanjerami yang 9 diinokulasidenganbakteridan fungi . selulolitik….................................................
9 4
3 Perubahannilai C/N terhadappeningkatanpersenpenyusutan bobotdan 0 volume bahanjerami yang dikomposkan….................................. .
9 5
3 1 . 3 2 . 3 3 . 3 4 . 3 5 .
KurvatumbuhbakteriselulolitikGA22 ...............................................
9 6
Kurvatumbuhbakteriselulolitik ST22 …............................................
9 6
Kurvatumbuh fungi selulolitik SN123 …............................................
9 7
Kurvatumbuh fungi selulolitikC52 ..................................................
9 8
Hubunganserapanhara N, P dan K terhadapproduksipadi…............
1 0 6
xxvi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Koleksiisolatmikrobselulolitikmurnidaripersawahanpasangsurut Kalimantan Selatan ..........…................................................................
12 0
2. Hasilpengukurandanskoringindeksselulolitik….............................
12 3
3. Aktvitasenzimselulasedannilaiskor….............................................
12 7
4. Totalpopulasidanevolusi CO 2 dariujiketahananmikrobselulolitikterhadapterhadapperubahan pH tanah................................................ 5. Persenkehilangan volume danbobotkeringjeramiselama proses pengomposan ..................................................................................... 6. Beberapasifatkimiatanahseminggusetelahdilakukanpemupukan 7. Analisisragampengaruhbudidayapadidanpemupukanterhadapsifatkimiata nahseminggusetelahpemupukan ..................................
8. HasilpengukuranjumlahanakandantinggitanamanpadipadabudidayapadiS RI dankonvensional .................................................. 9. Analisisragampengaruhbudidayapaditerhadapjumlahanakan per ubinandantinggitanaman .................................................................. 1 Komponen hasil padiCiherangpadabudidayapadi SRI 0. dankonvensional........................................................................................
1 Analisisragampengaruhbudidayapadidanpemupukanterhadappertumbuha 1. npadiCiherang ................................................................ 1 ProduksidanbobotkeringjeramipadiCiherang ................................ 2. 1 Analisisragampengaruhbudidayapadidanpemupukanterhadapproduksida 3. nbobotkeringpadiCiherang ............................................ 1 Kandungan N, P dan K jeramidangabahpadiCiherang .................... 4. 1 Analisisragampengaruhbudidayapadidanpemupukanterhadapkandungan
12 9
13 0 13 1 13 2
13 4 13 5 13 7
13 8 14 0 14 1 14 2
xxvii 5. N, P dan K jeramidangabah .............................................
14 3
1 Serapanhara N, P dan K padiCiherang .............................................. 6.
14 5
1 Analisisragampengaruhbudidayapadidanpemupukanterhadapserapanhara 7. N, P dan K padiCiherang ............................................... 1 EfisiensiserapanharaN, P dan K padiCiherang ................................ 8. 1 Analisisragampengaruhbudidayapadidanpemupukanterhadapefesiensiser 9. apanhara N, P dan K padiCiherang ................................
2 Fe tersedia tanah terekstrak NH 4 -asetat pH 4.8 padaawaltanam(14 HST) 0. dansaatpanenpadiCiherang ....................................................
2 AnalisisragampengaruhbudidayapadidanpemupukanterhadapFe tersedia 1. tanah ekstraksi NH 4 -Asetat pH 4.8 ........................................ 2 Kandungan Fe, Al danMnterekstrak NH 4 -Asetat pH 4.8 saat 49 HST 2. padiCiherang ..............................................................................
2 AnalisisragampengaruhbudidayapadidanpemupukanterhadapKandungan 3. Fe, Al danMnterekstrak NH 4 -Asetat pH 4.8 saat 49 HST.......................................................................................................
2 Kandungan Fe, Al 4. danMnterikatbahanorganikpadaawalfaseprimordiapadiCiherang ...................................................................... 2 Analisisragampengaruhbudidayapadidanpemupukanterhadap Fe, Al 5. danMnterikatbahanorganikpadaawalfaseprimordiapadiCiherang ...............................................................................................
2 Kandungan Fe, Al danMnjaringanpadaawalfaseprimordiapadiCiherang 6. ...............................................................................................
2 Analisisragampengaruhbudidayapadidanpemupukanterhadapkandungan 7. Fe, Al danMnjaringanpadaawalfaseprimordiapadiCiherang
14 6 14 7
14 8
14 9
15 0
15 1
15 2
15 3
15 4
15 5
xxviii ...............................................................................................
15 6
2 PopulasimikrobselulolitikdanAzotobactersetelahpanen ............... 8.
15 7
2 Kandungan hara N total, N, P dan K tersedia tanahsaat panen .......... 9.
15 8
3 Analisisragampengaruhbudidayapadidanpemupukanterhadapsifatkimiata 0. nahpadasaatpanenpadiCiherang .................................
3 Analisisragampengaruhsumberisolatterhadapaktivitasendoglukanase, 1. eksoglukanasedanglukosidase ................................. 3 Analisisragamisolatmikrobselulolitikterhadappersenkehilanganbobotkeri 2. ngdan volume dan C/N jeramipadi ...................................
15 9 16 1
16 2
PENDAHULUAN LatarBelakang Lahanpasangsurutyang tersebardi Sumatera, Kalimantan, Sulawesi danIrian (Papua) kuranglebih20.1 juta ha dan sekitar 8.1 juta ha terletak di Kalimantan (Suriadikarta&Sutriadi2007)merupakansumberdayalahanalternatifyang dapatdikembangkanuntukpertaniantanamanpangan.Lahaninimerupakanlahan marginal
danfragildenganproduktivitasrendah,
sehinggapemanfaatandanpenerapanteknologi
yang
tepatdalampengelolaantanahdan
air
diperlukandalampengembanganlahanpasangsurut.Selainmemperhatikansistemtata air, kemasamandankesuburantanah, pengembangan
lahan pasang surut untuk
persawahan jugaharus memperhatikan kondisipertumbuhan optimal padapadi mulai
dari
penggunaan
bibit
yang
berkualitas
hingga
Pemanfaatandanpenerapanteknologi
panen. yang
tepattersebutdiharapkanmampumeningkatkanproduksipadi di lahanpasangsurut. Banyakkonsepperbaikansistembudidayapadisaatini, salahsatudiantaranyaadalahSystem
of
Rice
Intensification
(SRI).Cara
pengelolaanbudidayapadisisteminiadalahmenggunakanbibitmudaberkualitas(umur 8-15 hari) yang dipindahtanamkan, satubibitdenganjaraktanam≥ 25 cm x 25 cm, dan
sistemirigasiterputusatau
sawahtetapdalamkondisiaerobik Toriyama&
Ando
tidakselalu
(Laulane1993
2011).
daerahpasangsuruthanyadapatditerapkan
di
tergenangagar
dalamStoop
et
Budidaya
SRI
daerah
al.2002; di yang
tidakselalutergenangdanmemilikisistemtataairmikro. Sistemirigasiterputuspada tanamanpadajumlah
air
SRI
didasarkanpadakebutuhan
tersediasehingga
air
mengefisienkanpenggunaan
air.Penelitian yang dilaksanakan oleh Kalsimetal. (2007) di daerah Tasikmalaya Jawa barat menunjukkan bahwa pengelolaan air dengantinggigenangankurangdari 2 cm hinggapadabataskadar air kapasitaslapangmampumengefesienkan air irigasihingga 60%danmeningkatkanhasil 20% dibandingcarakonvensional yang digenangitidakkurangdari
5
cm.Dilahanpasangsurut
yang
memilikisistemirigasipadatingkatusahatanisepertisistemtata air mikro di lahan tipe
2 B (daerah yang tidak terluapi air ketika pasang kecil) dapat menerapkan sistem irigasi
terputus.
Namunakanmemunculkanbeberapatantangan,
yaitumeningkatnyakelarutanunsur-unsur terutamaAl,
Fe
danMn
yang
yang
dapatmeracunitanaman,
diikutidenganpeningkatankemasamantanah.
Sehinggauntukmenerapkanbudidayapadi
SRI
lahanpasangsurutharusditunjangdenganusaha
di
yang
tepatdalam
mengatasikemasamantanahdanunsur-unsur yang dapatmeracuni. Alternatifmengatasikeracunan
Fe
dan
Al
danpemasamantanahadalahpemberiankomposjeramipadi.Pengomposanjeramipadi yang
dilakukansecaraalamidi
memerlukanwaktu2-3
bulan.Hal
lahanpasangsurut
Kalimantan
Selatan
inidisebabkanadanyafluktuasigenangan
dansenyawakarbonpenyusunjerami.Jeramipaditerdiridariselulosa
air
(30-60%),
hemiselulosa (25%), lignin (5%), dansebagianlagidalambentukgulasederhana, asam-asam amino danasamalifatik, senyawalarutdenganeterdanalkohol (Salma &Gunarto 1999; Chew et al. 2001).Selulosamerupakan senyawa yang sulit terdegradasi, untuk mempercepat perombakan senyawa ini dibutuhkan mikrobmikrobselulolitikdari persawahanpasangsurut Kalimantan Selatan. KomposjeramimampumenekankelarutanAl,
Fe
danMndenganmembentuksenyawakompleksorgano-metal sehinggamencegahterhidrolisisnyaunsur-unsurtersebut menyebabkanpemasamantanah.Selain
itu
yang
komposjeramijugadapat
sebagaisumberhara N, P dan K dan sumberhara lainnya.
dijadikan
Sebagai gambaran
produksi 5 ton jeramipadimengandung 48 kg N/ha, 16 kg P 2 O 5 /ha dan 120 kg K 2 O/ha setaradengan 99 kg urea/ha, 35 kg SP36/ha dan 189 kg KCl/ha (Sumarno2006). Pasokansumberhara
P
dan
K
daripupukanorganikdenganpenambahankomposjeramimenjadilebihmudahterserap olehtanamankarenapeningkatantapakjerapandanpenambahanhara
P
dan
K
olehkompos.Sedangkanpasokanhara
N
daripasokanpupukbuatandankomposbelumdapatmemenuhikebutuhanhara
N
tanaman.Sehinggapemanfaatanbakteripenambat N 2 atmosferdaripersawahanpasangsurutmerupakansalahsatualternatifuntukmening
3 katkanpasokanhara
N
padi.Penambat
N 2 atmosfer
(Azotobacter
RG.3.62)daripersawahanpasangsurut Kalimantan Selatan sebagaipemasokhara N mampumensubstitusi 50% dosisurea padiCiherangdanproduksinyamencapai4.58 ton GKG/ha (Razieet al. 2008). Berdasarkanuraian
di
atasdiperlukansuatupenelitianuntukmempelajariperanananmikrobselulolitikdariper sawahanpasangsurut
Kalimantan
Selatan
dalammempercepat
proses
pengomposandanpengaruhkomposdiperkayaAzotobacterdalammenyediakanhara N,
P
dan
K,
menekankelarutan
Fe
dan
Al
sertameningkatkanefesiensiserapanharapemupukanuntukmendukungpertumbuhan danproduksipadabudidayapadi
SRI
di
persawahanpasangsurut
Kalimantan
Selatan. Kerangka Pemikiran Budidayapadi
SRI
merupakansalahsatualternatifyang
memperhatikansemuaaspekbudidaya
padi.Aspek-
aspektersebutadalahmulaidaripenyiapanbibitmudaberkualitas,menanamsatubibitpa yang
dasatutitiktanamdenganjaraktanam lebar.Pengelolaanlahanmulaidaripenyiapantanah,
pengaturan
dalamkondisiaerobikdanpemupukanuntukmemberikondisipertumbuhan
air optimal
padi, pemeliharaanhinggapemanenan. BudidayapadiSRI di lahanpasangsurutdapatditerapkanpadalahantipe B yaitu tipe lahan pasang surut hanya terluapi ketika pasang besar dan tidak terluapi ketika pasang kecil,danlahan tipe C dan D yaitu lahan yang tidak tergenangi ketika
pasang
besar
maupun
pasang
kecil
baik
padamusimhujanmaupunmusimkemarau.Namun,sisteminimemberikandampakterh adaptanahyaitumeningkatnyakelarutan
Al,
Fe
danMnsertakemasamantanahkarenaadanyalapisanpiritdanpengaturan air.Penerapanbudidaya SRI di lahanpasangsurutharusdiikutidenganusaha untuk menekankelarutan
Fe,
Al
danMnsertapemasamantanah.Pemanfaatan
jeramipadiyang dikomposkansering dilakukan untukmenekan kelarutan Fe, Al danMndi persawahanpasangsurut, meskipun proses pengomposan bahan tersebut membutuhkan waktu dua hingga tiga bulan.
4 Percepatan proses pengomposanjeramidibutuhkanagar dapat diaplikasikan sebelumtanam.
Mikrobselulolitik dari persawahan pasang surut
dimanfaatkan untuk mempercepat proses pengomposan.
dapat
Kegiatanisolasi,
pemurniandan seleksi mikrobselulolitikuntuk memperoleh isolat-isolat yang mampumempercepat
proses
pengomposan
dan
selanjutnya
penerapankomposjeramipadi yang dihasilkan untuk mendukung budidaya padi di lahan pasan surut. Selainmenekankelarutan
Fe,
Al
pemberiankomposjeramipadijugasebagaisumberhara
N,
danMn, P
dan
danmeningkatkanketersediaan
K
harabagi
tanaman.Potensikomposjeramidalammemasokhara
P
akanmampumengurangipenggunaanpupuk
dan
SP36
K danKCl,
tetapikomposjeramiataupunpupuk urea belummenjaminmampumemasokhara N untukkebutuhantanaman.PemanfaatanAzotobacterdaripersawahanpasangsurutKali mantan Selatan untukmemperkayakomposjeramiakanmeningkatkanpasokanhara N padi. Pemberiankomposjeramipadi
yang
diperkayaAzotobacterpadabudiddayapadi Kalimantan
Selatan
SRI
di
akanmemperbaikikandungan
danefesiensiserapanharaN,
P
da
persawahanpasangsurut N,
P
dan
K
padaakhirnyamampumeningkatkanpertumbuhandanproduksipadi. RingkasankerangkapemikirandaripenelitianinidisajikanpadaGambar 1.
K
tanah
tanaman,
5
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian
6 TujuanPenelitian 1. Mempelajari kemampuanmikrobselulolitikyang diisolasi di persawahan pasangsurut Kalimantan Selatan dalammengekskresikan enzim selulase, ketahanan terhadap pH tanah dan mempercepat pengomposanjerami padi. 2. Mempelajari pengaruh pemberian kompos jerami diperkaya Azotobacter pada budidaya SRI dan budidaya konvensional terhadap ketersediaan hara N, P dan K tanah di persawahan pasang surut Kalimantan Selatan. 3. Mempelajari pengaruh kompos jerami diperkaya Azotobacter pada budidaya SRI dan konvensional terhadap efesiensi serapan hara serta pertumbuhan serta produksi padi di persawahan pasang surut Kalimantan Selatan. 4. Mempelajari pengaruh pemberian kompos jerami diperkaya Azotobacter pada budidaya SRI dan budidaya konvensional terhadap potensi keracunan Fe, Al dan Mn di persawahan pasang surut Kalimantan Selatan. 5. Mempelajari viabilitas mikrobselulolitik dan Azotobacterdari kompos diperkaya pada budidaya SRI dan budidaya padi konvensional. HipotesaPenelitian 1. MikrobselulolitikdaripersawahanpasangsurutKalimantan
Selatan
memiliki
kemampuandalammengekskresikan enzim selulase, ketahanan terhadap pH tanah dan mempercepat pengomposanjerami padi. 2. Pemberian kompos jerami diperkaya Azotobacter pada budidaya SRI meningkatkan ketersediaan hara N, P dan K tanah dibandingpada budidayapadi konvensional di persawahan pasang surut Kalimantan Selatan 3. Pemberian kompos jerami diperkaya Azotobacter pada budidaya SRI lebih meningkatkan efesiensi serapan hara, dan pertumbuhan serta produksi padi dibanding pada budidayapadi konvensional di persawahan pasang surut Kalimantan Selatan. 4. Pemberian kompos jerami diperkaya Azotobacter pada budidaya SRI mampu menekan potensi keracunan Fe, Al dan Mn tanah dibandingpada budidaya padi konvensional di persawahan pasang surut Kalimantan Selatan. 5. Viabilitas mikrobselulolitik dan Azotobacterdari kompos pada budidaya SRI lebih tinggi dibanding pada budidaya padi konvensional.
TINJAUAN PUSTAKA Lahan Pasang Surut Lahan pasang surut adalah lahan yang sepanjang tahun atau selama waktu panjang dalam setahun tergenang air (waterlogged). Di lahan ini sering ditemui tumbuhan (pohon, gelagah, rumput dan tumbuhan akuatik) dan genangannya secara relatif dangkal dan menggenang (stagnant) dan tanah dasarnya lumpur (Notohadiprawiro1996). Lahan ini berpotensi untuk dijadikan persawahan. Pada kondisi alami tanah-tanah pada lahan pasang surut merupakan tanah jenuh air atau tergenang dangkal, sepanjang tahun atau dalam waktu yang lama, beberapa bulan dalam setahun. Tanah ini dicirikan oleh kondisi aquik, yakni mengalami penjenuhan air dan reduksi secara terus-menerus atau periodik(Soil Survey Staff 1999).
Proses pembentukan tanah yang dominan adalah
pembentukan horison tanah tereduksi berwarna kelabu-kebiruan (proses gleisasi) dan pembentukan lapisan gambut di permukaan. Bentuk wilayah lahan pasang surut sangat rata (flat) dengan ketinggian tempat sekitar 0-0.5 m dpl di pinggir laut sampai sekitar 5 m dpl di wilayah lebih ke pedalaman. Ada dua jenis tanah yang terbentuk di daerah ini, yaitu tanah gambut (peat soils), dan tanah mineral basah (wet mineral soils). Tanah mineral yang terdapat di wilayah ini merupakan endapan bahan halus, berupa debu halus dan lumpur yang diendapkan air pasang ditambah dengan bahan aluvium yang dibawa ke muara oleh air sungai. Oleh karena itu, tanah yang terbentuk semuanya merupakan tanah aluvial basah yang di permukaannya terdapat lapisan gambut tipis (<20 cm), atau agak tebal, antara 20-50 cm. Yang terakhir ini disebut tanah mineral-bergambut (peaty-soils). Jika ketebalan lapisan gambut sudah melebihi 50 cm sudah termasuk tanah gambut. Pada sistem klasifikasi, tanah aluvial yang selalu jenuh air disebut Aluvial Hidromorf, dan yang relatif agak kering tidak selalu basah hanya disebut Aluvial. Tanah aluvial yang memiliki lapisan gambut tipis (<20 cm) di permukaan, disebut Glei Humus Rendah; sedangkan yang lapisan gambutnya agak tebal (20-50 cm), disebut Glei Humus. Sementara tanah gambut disebut Organosol.
Dalam
klasifikasi taksonomi tanah (Soil Survey Staff 1999), kelompok tanah Aluvial
8 termasuk dalam (ordo) Entisols, atau Inceptisols;
sedangkan tanah gambut
disebut Histosols. Lahan pasang surut merupakan ekosistem dengan karakteristik yang tidak stabil dan selalu berubah sesuai dengan perubahan kondisi lingkungan. Kesalahan dalam mengelola lahan ini, berdampak terhadap perubahan karakteristik ke arah negatif dan irreversibleyang menimbulkan kendala dalam pengembangan. Kendala yang harus diperhatikan dalam menyusun pola pemanfaatan, rencana pengembangan serta teknik pengelolaan air dan tanah lahan rawa, antara lain adalah lama dan kedalaman genangan air, serta kualitas airnya; ketebalan dan kematangan gambut; kedalaman lapisan pirit, kandungan hara yang rendah serta kemasaman total potensial dan aktual setiap lapisan tanahnya; pengaruh luapan atau intrusi air asin/payau; dan tinggi muka air tanah dan keadaan substratum lahan, apakah endapan sungai, laut atau pasir kuarsa (Subagjo &Widjaja-Adhi 1998). . Lahan rawa dapat dikembangkan dengan menerapkan teknologi pengelolaan yang tepat, yang bertujuan untuk mengatur pemanfaatan sumber daya lahan rawa secara optimal. Teknologi pengelolaan lahan rawa meliputi: pengelolaan air; penataan lahan; pengolahan tanah; ameliorasi dan pemupukan; pola tanam dan cara budidaya; pengendalian hama dan penyakit; mekanisasi; dan
aspek
pendukung lainnya. Sistem Tata Air Fluktuasi muka air di sungai dan saluran karena gerakan pasang surut, serta fluktuasi curah hujan menyebabkan proses pengelolaan tata air di daerah pasang surut menjadi sulit, yaitu antara keinginan membuang air (drainase) dan keinginan tetap menjaga muka air tanah untuk kelembaban dan suplai air (irigasi). Sehingga pengelolaan tata air di lahan ini dibedakan antara pengelolaan tata air makro (canal water management) dan tata air mikro (on farm water management). Sistem tata air di daerah ini juga dipengaruhi oleh kondisi hidrolik di sekelilingnya, yaitu gerakan air disungai yang meliputi fluktuasi pasang surut, fluktuasi muka air karena pengaruh musim (musim hujan dan kemarau), intrusi air laut serta pengaruh aliran yang berasal dari lahan. Sehingga sistem irigasi teknis
9 hanya dapat dikembangkan untuk daerah yang tidak pernah tergenangi air pada saat pasang rendah (neaptide) maupun saat pasang tinggi (springtide). Hanya saja petani daerah lahan rawa beririgasi teknis ini umumnya masih menggunakan padi varietas lokal berumur panjang sehingga keperluan airnya mengikuti pola pertumbuhan padi tersebut, walaupun daerah ini dapat dilakukan pengaturan air dengan baik dari sistem irigasi teknis yang ada. Pengelolaan air di lahan pasang surut umumnya mengikuti pergerakan air secara alami (hidrotopografi). Secara umum ada wilayah yang masih terendam ketika pasang tinggi (springtide) dan tidak digenangi air atau air di bawah permukaan tanah ketika pasang rendah (neaptide). Pertumbuhan padi mengikuti surutnya air hingga pada saat panen air di lahan semakin sedikit, hingga memasuki musim kemarau. Pada saat musim kemarau ini lahan diberakan hingga air laut atau sungai yang mempengaruhinya mulai pasang. Seperti halnya yang terjadi di lahan pasang surut di wilayah Barito Kuala Kalimantan Selatan, pada musim kemarau jumlah air yang terevaporasi lebih besar dibanding dengan curah hujannya, yaitu pada bulan Juni hingga Oktober, besarnya evaporasi mendekati 150 mm sedangkan curah hujan 100 mm (Lemlit Unlam 2004). Persoalan utama yang dihadapi ketika musim kemarau adalah terjadi evaporasi pada permukaan tanah dapat menyebabkan akumulasi garam-garam beracun dari horison bawah oleh pergerakan kapiler ke atas (Minh et al. 1998). Kecepatan kapiler keatas di kontrol oleh kondisi iklim, kedalaman muka air tanah dan sifat-sifat fisik tanah. Pengelolaan air seperti pemeliharaan muka air tanah dangkal dan mengurangi kapileritas ke atas dapat digunakan untuk mengurangi akumulasi unsur beracun di permukaan tanah selama musim kemarau, sehingga lahan masih bisa dimanfaatkan. Kemasaman Tanah dan Kelarutan Unsur-unsur Beracun Pemasaman tanah mineral di lahan rawa pasang surut disebabkan oleh oksidasi pirit dan kemudian meningkatnya kandungan Fe dan Al yang dapat meracuni tanaman. Pirit terbentuk pada keadaan reduksi dalam endapan laut di dekat pantai dengan kandungan bahan organik tinggi. Bahan ini bersifat stabil pada suasana lingkungan pembentukannya. Subagjo (2006) menjelaskan bahwa
10 penurunan air tanah yang menyebabkan tereksposnya pirit ke lingkungan yang aerob, dan mengalami oksidasi, menghasilkan asam sulfat dan senyawa besi bebas bervalensi 3 (Fe3+). Hasil akhirnya merupakan tanah bereaksi masam ekstrim (pH <3.5), dan banyak mengandung sulfat (SO 4 -2), besi bervalensi 3 (Fe3+), dan aluminium (AI3+). Tanah bereaksi masam ekstrim yang banyak mengandung sulfat ini disebut
tanah sulfat masam aktual (actual acid sulphate soils).
Sebaliknya, tanah yang mengandung pirit belum teroksidasi, mempunyai reaksi tanah agak masam (pH 4.6-5.5), tetapi berpotensi akan menjadi ekstrim masam bila mengalami drainase, disebut tanah sulfat masam potensial (potential acid sulphate soils). Permasalahan ini hingga kini diatasi dengan cara mempertahankan kondisi reduksi (dengan sistem irigasi) dan/atau pemberian amelioran berupa kapur atau bahan organik.
Penggunaan kapur dimaksudkan untuk menaikan pH tanah
sehingga menekan kelarutan unsur-unsur yang beracun bagi tanaman. Namun efesiensi pengapuran di daerah pasang surut sangat rendah hingga rendah karena sebagian dari bahan kapur tercuci oleh pasang surutnya air.
Noor (1996)
mengemukakan bahwa pengapuran di daerah pasang surut berpirit melebihi 2 ton/ha. Pemberian bahan organik sebagai bahan amelioran merupakan salah satu alternatif yang mungkin dapat dilakukan di lahan rawa pasang surut. Hal yang harus
diperhatikan
dalam
menggunakan
bahan
organik
adalah
tingkat
dekomposisi bahan ini, bahan organik yang telah terdekomposisi sempurna akan mengurangi penurunan potensial reduksi dan meningkatkan kemampuan dalam mengkelasi unsur-unsur yang beracun. Namun sebaliknya, jika bahan organik yang tidak terdekomposisi secara sempurna seperti pengembalian sisa jerami padi yang masih segar dapat memberikan efek terhadap menurunnya potensial reduksi lahan yang berakibat meningkatnya kelarutan besi-ferro yang dapat meracuni tanaman (Ammari2005). Ketersediaan Hara untuk Tanaman Tanah di lahan pasang surut mengandung mineral-mineral yang telah mengalami pelapukan lanjut sehingga yang banyak ditemukan dalam tubuh tanah adalah unsur-unsur lambat dan/atau tidak larut, sedangkan unsur-unsur yang
11 mudah larut yang merupakan unsur-unsur esensial bagi tanaman seperti K, Ca dan Mg di lahan ini mudah tercuci dan meninggalkan tubuh tanah. Sumber hara yang tersisa pada lahan ini pada umumnya berasal dari bahan organik atau intrusi garam dari laut dengan kandungan yang rendah dan relatif lambat tersedia. sehingga tanah di daerah ini umumnya tidak subur.
Tabel 1 di bawah ini
menyajikan sifat kimia tanah daerah pasang surut di desa Terantang Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan. Tabel 1. Sifat kimia tanah daerah pasang surut desa Terantang Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan(Lemlit Unlam 2004) Parameter C (%) N (%) C/N P 2 O 5 Bray I (ppm) P 2 O 5 HCl 25% (me/100g) K 2 O HCl 25% (me/100g) pH H 2 O Ca-dd (me/100g) Mg-dd (me/100g) Na-dd (me/100g) K-dd (me/100g) KTK (me/100g) KB (me/100g)
Nilai
Status
3.54 - 4.18 0.21- 0.30 14.76 -20,55 15.07 -28.84 26.68 – 203.00 1.22 - 3.77 2,91 - 3.61 4.58 - 7.86 0.14 - 0.24 0.66 - 1.01 0.23 – 0.28 29.16 – 42.29 13.22 - 30.29
Tinggi Sedang Sedang-tinggi Sedang-tinggi Sedang-sangat tinggi Sangat rendah Sangat masam Rendah-sedang Sangat rendah Sedang-sangat tinggi Sedang Tinggi-sangat tinggi Rendah
Usaha untuk memenuhi kebutuhan padi adalah dengan pemberian pupuk anorganik. Padi unggul di daerah ini membutuhkan 200-250 kg Urea/ha, 100-200 kg SP-36/ha dan 100 kg KCl/ha(Lemlit Unlam 2004). Kondisi pasang surutnya air dipersawahan menyebabkan cepatnya hilangnya hara yang diberikan dari daerah perakaran padi.
Sebagian besar N hilang melalui proses pencucian,
volatilisasi dan denitrifikasi. Sementara ketersediaan hara P rendah disebabkan terfiksasi kuat unsur oleh Al dan Fe pada pH yang masam hingga sangat masam, Havlin et al. (1999) menjelaskan bahwa keberadaan hara P dalam tanah akan terikat pada Al dan/atau Fe dan mengendap dalam tanah ketika pH tanah di bawah 6.5. Demikian juga ketersediaan K yang tercucinya hara ini dari daerah perakaran.
sangat mobil menyebabkan mudah
12 Budidaya Padi SRI Budidaya padiSRI pertama kali dikemukakan oleh Henri de Laulanie di Madagaskar pada tahun 1983 dengan nama “le system de riziculture intensive”. Budidaya padi SRI merupakan suatu rangkaian prinsif dan suatu rangkaian mekanisme biofisikal.
Metode ini pertama kali dilakukan di lahan kering
Madagaskar daerah humid dengan curah hujan 1000 hingga > 2000 mm. Sifat tanah yang dimiliki daerah tersebut adalah pH rendah, KTK rendah, P tersedia rendah dan konsentrasi Fe dan Al larut tinggi. Produksi pada budidaya SRI yang diperoleh 7-15 ton/ha, sementara hasil padi secara nasional di Madagaskar pada waktu itu berkisar 2 ton/ha (Stoop et al. 2002). Prinsip utama budaya padi metode SRI adalah (1) meningkatkan kualitas persemaian yang dikelola secara hati-hati, (2) menanam bibit muda berumur 8-15 hari saat bibit masih berdaun 2 helai, tanam satu bibit per satu titik tanam dengan jarak tanam ≥ 25 cm x 25 cm, pindah tanam harus segera mungkin (kurang 30 menit) dan harus hati-hati agak akar tidak putus dan ditanam dangkal, (3) irigasi terputus (intermittent) untuk menghindari penggenangan permanen selama fase pertumbuhan vegetatif, (4) pemupukan, terutama dalam bentuk organik seperti kompos sebagai pengganti pupuk kimia, dan (5) pengendalian gulma secara manual atau mekanik secara intensif tanpa menggunakan herbisida (Dobermann 2004).
SRI bukan sebuah paket standar yang spesifik, tetapi lebih
menggambarkan cara empiris yang mungkin berbeda-beda sesuai kondisi lahan. Keragaman
SRI juga diuji
dimana hanya beberapa komponen dasar yang
dilaksanakan.Pada budidaya SRI memberikan kondisi pertumbuhan optimal dimana pertunasan dan perakaran dimaksimumkan sehingga mempercepat pertumbuhan. Budidaya Padi SRI di Indonesia Di Indonesia metode SRI pertama kali dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Sukamandi Jawa Barat pada musim kemarau 1999 dengan hasil 6.2 ton/ha dan pada musim hujan 1999/2000 menghasilkan padi rata-rata 8.2 ton/ha (Sato, 2007).
Metode ini juga telah
diterapkan dibeberapa kabupaten di Jawa, Sumatera, Bali, Nusa Tenggara Barat
13 dan Nusa Tenggara Timur. Selanjutnya budidaya SRI juga telah berkembang di beberapa daerah di Sulawesi dan Kalimantan. Di Jawa barat pola pendekatan budidaya SRI pertama kali dengan memadukan praktek pemahaman ekologi tanah yang dikenal dengan budidaya padi SRI Organik (Kuswara, 2003). Pengembangan budidaya SRI organik dengan menerapkan indigeneous microorganism (IMO) atau mikro organisme lokal (MOL) sebagai dekomposer dan pupuk cair organik. Adopsi komponen budidaya SRI organik berpegang pada tiga hal yaitu pengelolaan tanah yang sehat serta menggunakan bahan organik, pengelolaan potensi lahan untuk mendukung pertumbuhan optimal tanaman dan pengelolaan air yang baik dan teratur. Penggunaan Pupuk Organik dalam SRI Cara budidaya SRI menggunakan pupuk organik untuk menjadikan lingkungan tanah baik secara fisik, kimia maupun biologi mampu mendukung pertumbuhan optimal tanaman.Kondisi tanah yang mendorong meningkatnya populasi
dan
aktivitas
mempercepat
mikrob-mikrob
ketersediaan
hara
dan
yang
menguntungkan,
akanmeningkatkan
sehingga
serapan
hara
tanaman.Perbaikan struktur dan aerasi tanah dengan pemberian kompos, akan memperbaiki
siklus
hara
melalui
aktivitas
dan
keragaman
organisme
tanah(Purwasasmita 2008). Budidaya SRI mengoptimalkan pertumbuhan tunas dan akar, penggunaan kompos serta mikrob lokal dimaksudkan untuk meningkatkan jumlah dan keanekaragaman organisme tanah sehingga menjamin penyediaan hara bagi tanaman. Perbaikan biota tanah pada budidaya SRI menggunakan pupuk organik/kompos
mendorong meningkatnya aktivitas mikrob tanah
yang
beranekaragam.Purwasasmita (2008) mengemukakan bahwa penggunaan kompos pada budidaya SRI meningkatkan populasi mikroorganisme (Azospirillum, Azotobacter, Phosphobacteria, dan lain-lain) pada rizosfir dibandingkan dengan budidaya padi konvensional di India.
Populasi Azospirillumdi rizosfer padi
budidaya konvensional sebanyak 6.5x107 sel/g memberikan 17 anakan dan produksi padi 1.8 ton/ha, sementara populasi Azospirillumdi rizosfer pada budidaya SRI menjadi 1.1x109 sel/g memberikan 45 anakan dan produksi padi 6.1
14 ton/ha.
Penambahan kompos pada budidaya SRI meningkatkan populasi
Azospirillumsebanyak 1.4109 sel/g, memberikan 78 anakan dan produksi padi 10.5 ton/ha. Penggunaan kompos pada budidaya SRI meningkatkan populasi mikroorganisme (Azospirillum, Azotobacter, Phosphobacteria) pada rizosfer lebih tinggi dibandingkan dengan cara konvensional. Anas (2008) menunjukkan bahwa total populasi mikrob pada aplikasi pupuk cair hayati (biofertilizer) di lahan budidaya SRI lebih banyak dibandingkan dengan budidaya SRI lainnya ataupun budidaya padi konvensional pada Gambar 2, namun demikian relatif tidak ada perbedaan antara jumlah Azospirillum dan Azotobacter
antara budidaya SRI
organik yang ditambah dan tanpa pupuk cair hayati. Total Mikrob
Azospirillum 17,2
AtAplikasi compost application 20 DBT kompos 20 HSbT 00DAT HST
12,5
11.30
12,8
28 28DAT HST
8 7,03 4.414.69
6.34
7,31
4.03
4.11 3.67
3.65
Konvensional Conventional SRI-anorganik Inorganic SRI
6,17
7,11
SRI-organik SRI-organik+BF Organic SRI Organic SRI+BF
2,27
2,37
Conventional Inorganic SRI Konvensional SRI-anorganik
Azotobacter
4.54
4.14 4.49
22,7 18,1
6.14 4.99
14,4 11.27
10.54 11
3,35
Conventional Inorganic SRI Organic SRI Organic SRI+BF Konvensional SRI-anorganik SRI-organik SRI-organik+BF
12.13
7.91
3
Keterangan
Organic SRI Organic SRI+BF SRI-organik SRI-organik+BF
10.08 10.4 7.84
6,66
1,87
Mikrob Pelarut Fosfat 10,2
5.57
1,92
2,89
2,94
4,28
Conventional Inorganic SRI Organic SRI Organic SRI+BF Konvensional SRI-anorganik SRI-organik SRI-organik+BF
: HSbT= hari sebelum tanam HST = hari setelah tanam
Gambar 2. Total mikrob, Azospirillum, Azotobacter dan mikrob pelarut fosfat pada budidaya SRI dan konvensional (Anas 2008) Pola Irigasi Terputus (Intermittent) Budidaya SRI menggunakan pola pengairan secara terputus (intermittent) untuk memperbaiki aerasi di daerah perakaran. Pengambilan oksigen melalui akar
15 untuk menghasilkan energi pada proses metabolisme sel menjadi lebih mudah, yaitu proses-proses katabolisme dan anabolisme dalam sel, sintesa ATP (akumulasi energi yang dilepas). Pasokan oksigen yang banyak akan memacu proses metabolisme dan pertumbuhan, dimana akar akan menjadi lebih kuat, membangun jaringan, dan mengaktifkan asimilasi hara. Kekurangan oksigen dalam tanah akan memproduksi asam yang tinggi menyebabkan keracunandan menghambat serapan haradan pelepasan energi, selanjutnya menyebabkan kerusakan seldan pertumbuhan struktur akar tidak sempurnasehingga membentuk struktur aerenchyma. Hal ini diduga yang menyebabkan rendahnya produksi padi (hanya efektif 25-50%) potensi akar seperti terlihat dari Gambar 3.
Tidak tergenang Tergenang Padi di daerah dataran rendah
Tidak tergenang Tergenang Padi di daerah dataran tinggi
Gambar 3. Penampang akar padi yang tergenang dan tidak tergenang(Poerwanto 2008) Tahapan dari pola irigasi terputus pada budidaya SRI secara umum dapat dilihat pada Gambar 4.Kondisi lahan mulai sejak awal tanam sampai dengan 7 hari setelah tanam (HST) diberikan air macak-macak (jenuh lapang), pada masa vegetatif (7 HST sampai dengan 40 HST) diberikan air dalam kondisi macakmacak sampai dengan 80% dari jenuh lapang dengan irigasi terputus 5 harian, pada masa generatif (pembungaan dan pengisian bulir) dari 40 HST sampai dengan 75 HST diberikan air setinggi 2 cm sampai 80% jenuh lapang dengan irigasi terputus 5 harian, pada masa pemasakan dari 75 HST sampai dengan panen tidak diberikan air irigasi, dan semua pemberian airnya yaitu terputus (intermittent), untuk tanah bertekstur liat (clay) interval irigasi sekitar 5 harian. Interval irigasi dapat lebih lama ataupun pendek tergantung kondisi iklim dan perkolasi setempat.
16
Genangan
Awal
Generatif (pembungaan dan pengisian bulir)
Vegetatif
Pemasakan
10 cm 2 cm 0 cm 80% JL 60% JL 0
7
75
40
Panen
HST
Gambar 4. Skema pemberian air irigasi pada setiap fase pertumbuhan padi(Poerwanto 2008) Hasil pengamatan Balai Irigasi Badan Litbang PU di Lemah Abang Bekasi pada petak tersier ± 17.8 ha dengan pola irigasi terputus dan digenangi maksimum 2 cm pada budidaya SRI menyebabkan konsumsi air SRI lebih rendah dibandingkan dengan konsumsi air konvensional saat setelah 3 musim tanam, tetapi produksi budidaya SRI menggunakan pupuk organik tidak berbeda dengan budidaya konvensional yaitu berkisar 4.3-6.4 ton/ha. Studi yang dilakukan Wang et al. (2002) juga menunjukan bahwa jumlah tunas akhir, hasil gabah dan komponen hasil dari padi unggul pada budidaya SRI sama, bahkan lebih rendah dibanding dengan budidaya padi konvensional. Hal ini diduga pupuk organik yang diberikan belum mampu meningkatkan produksi secara nyata, dimana pengaruh pupuk organik lebih lambat dibandingkan pupuk kimia.
Keadaan
berbeda dengan laporan budidaya SRI dari 17 negara yang disampaikan oleh Fernandes &Uphoff (2002) menunjukkan bahwa rata-rata hasil gabah untuk budidaya SRI yaitu sebesar 6.8 ton/halebih tinggi dibandingkan dengan budidaya konvensional yaitu sebesar 3.9 ton/ha. Jerami Padi Jerami padi adalah bagian vegetatif dari tanaman padi yaitu batang, daun dan tangkai malai, ketika tanaman di panen tidak di pungut. Kandungan hara pada jerami padi adalah 0.51-0.76% N, 0.07-0.12% P dan 1.17–1.68% K (Dobermann & Fairhurst 2000). Untuk setiap ton gabah kering giling padi di Indonesia dihasilkan 1.5 ton jerami mengandung 9 kg N, 2 kg P dan 25 kg K(Makarim et al. 2007).
Jerami padi yang mengalami proses dekomposisi
menghasilkan bermacam-macam senyawa organik dan anorganik. Karbohidrat
17 dan protein akan mengalami mineralisasi menjadi senyawa-senyawa anorganik seperti fosfat (PO 4 3-), sulfat (SO 4 2-), nitrat (NO 3 -), amonium (NH 4 +), karbon dioksida (CO 2 ), air dan beberapa unsur hara lainnya seperti K, Ca dan Mg. Sedangkan Minyak, lemak dan lilin relatif sukar terdekomposisi. Hasil akhir proses dekomposisi adalah bahan berukuran koloidal berwarna hitam, mempunyai kapasitas yang tinggi dalam menyerap air dan hara, daya sangga yang tinggi dan aktivitas lain dalam tanah, yang disebut dengan humus (Sutanto, 2002). Dekomposisi bahan jerami padi sangat tergantung dari kandungan karbon dan nitrogennya. Kandungan unsur karbon dan nitrogen bahan-bahan ini sangat bervariasi sehingga imbangan unsur tersebut menjadi sangat penting dalam mempertahankan dan memperbaiki kesuburan tanah.
Nisbah karbon nitrogen
harus selalu tetap dipertahankan setiap waktu. Karena nisbah C/N setiap jenis tanah relatif konstan, maka untuk mempertahankan kandungan bahan organik tanah sangat tergantung pada jumlah nitrogen.
Apabila bahan organik yang
diberikan ke dalam tanah mempunyai nisbah C/N tinggi, maka mikroba tanah memanfaatkan nitrogen sehingga N dalam tanah akan terimmobilisasi oleh mikroba menjadi tidak tersedia dan sebaliknya akan terjadi mineralisasi ketika nisbah C/N rendah,seperti digambarkan oleh Havlin et al. (1999) pada Gambar 5.
Ra si o C/ N
Immobilisasi
Mineralisasi
4-8 minggu Ju ml ah
Level NO3-
Evolusi CO2
Level NO3-
Level CO2 Waktu
Gambar 5. Perubahan level nitrat tanah selama proses dekomposisi sisa tanaman (Havlin et al. 1999)
18 Penambahan bahan organik dengan C/N tinggi mengakibatkan tanah mengalami perubahan imbangan C dan N dengan cepat.
Mikroorganisme
menggunakan nitrogen dalam bentuk nitrat sebagai sumber energi untuk berkembang, dan cukup banyak senyawa karbon dalam bentuk CO 2 ke udara. Selama proses dekomposisi akan terjadi pelepasan CO 2 ke udara dan pengikatan N oleh tanah sehingga nisbah C/N turun. Jerami padi merupakan sumber pupuk organik yang tersedia langsung di lahan usaha tani. Hampir semua K dan sepertiga N, P dan S terserap dalam jerami padi. Selain itu jerami padi mengandung sekitar 40% unsur karbon, Senyawa karbon seperti gula, pati, selulosa, hemiselulosa, pektin dan lignin berfungsi sebagai substrat metabolisme mikroba tanah (Sutanto, 2002). Seperti dijelaskan oleh Alexander (1961) bahwa secara umum bahan organik terdiri dari selulolsa (15-60%), hemi selulosa (10-30%), lignin (5-30%), gula sederhana, asam-asam amino dan asam alifatik (5-30%), lemak, minyak, wax, resin dan sejumlah pigmen dan protein-protein yang pada strukturnya mengandung nitrogen dan sulfur. Selulosa Selulosa
(C 6 H 10 O 5 ) n
adalah
polisakaridakarbohidrat, dari beta-glukosa.
polimer
berantai
panjang
Selulosa merupakan komponen
struktural utama dari tumbuhan dan tidak dapat dicerna oleh manusia. Senyawa organik merupakan karbohidrat utama yang disintesis oleh tanaman dan menempati hampir 60% komponen penyusun struktur tanaman. Alexander (1961) menyebutkan bahwa kuantitas dari kandungan selulosa yang menyusun senyawa organik bervariasi dari 15 hingga 60% berat kering.
Selulosa merupakan
komponen utama penyusun dinding sel tanaman. Kandungan selulosa pada dinding sel tanaman tingkat tinggi sekitar 35-50% dari berat kering tanaman (Lynd et al. 2002).
Selulosa merupakan polimer glukosa dengan ikatan β-1,4
glukosidadalam rantai lurus. Bangun dasar selulosa berupa suatu selobiosa yaitu dimer dari glukosa. Rantai panjang selulosa terhubung secara bersama melalui ikatan hidrogen dan gaya van der Waals (Perez et al. 2002).
Selulosa
mengandung sekitar 50-90% bagian berkristal dan sisanya bagian amorf. Ikatan β
19 -1,4 glukosida pada serat selulosa dapat dipecah menjadi monomer glukosa dengan cara hidrolisis asam atau enzimatis. Jumlah selulosa di alam sangat berlimpah sebagai sisa tanaman atau dalam bentuk limbah pertanian seperti jerami padi, berangkasan jagung, gandum, dan kedelai. Nilai ekonomi senyawa selulosa pada limbah tersebut sangat rendah karena tidak dapat langsung dimanfaatkan oleh manusia. Sulitnya mendegradasi limbah tersebut menyebabkan petani lebih suka membakar jeraminya di lahan pertanian daripada memanfaatkannya kembali melalui pengomposan. Kebiasaan membakar ini sulit untuk dihindari karena petani mempunyai waktu bera yang singkat. Dalam pertanian intensif, waktu bera biasanya 1-2 bulan saja. Di beberapa tempat yang sumber airnya hanya bergantung pada curah hujan waktu bera kurang dari satu bulan. Degradasi Selulosa Degradasi selulosa oleh mikrob merupakan hasil kerja sekelompok enzim selulolitik yang bekerja secara sinergis. Sistem enzim selulolitik terdiri dari tiga kelompok utama yaitu (a) endoglukanase atau 1,4-β-D-glukan-4-glukanohidrolase (EC 3.2.1.4); (b) eksoglukanase, yang meliputi 1,4-β-D-glukan glukanohidrolase atau sellodekstrinase (EC 3.2.1.74) dan 1,4-β-D-glukan sellobiohidrolase atau sellobiohidrolase (EC 3.2.1.91) dan (c) β-glukosidase atau β-glukoside glukohidrolase (EC 3.2.1.21) (Lymar et al. 1995; Lynd et al. 2002 dan Perez et al. 2002). Salma&Gunarto (1999) menjelaskan bahwa ketiga komponen enzim tersebut secara sinergis memecahkan selulosa di alam. Kapang P.chrysosporium menghasilkan enzim selulase dengan aktivitas menyerupai endoglukonase (EGs) dan eksoselobiohidrolase (CBHs) dan β-glukosidase tergantung sumber karbon yang tersedia (Lymar et al. 1995). Skema hidrolisis selulosa oleh enzim selulase dapat dilihat pada Gambar 6. Enzim endoglukanase menghidrolisis secara acak bagian amorf selulosa serat menghasilkan oligosakarida dengan panjang yang berbeda dan terbentuknya unjung rantai baru. Enzim eksoglukanase bekerja terhadap ujung pereduksi dan nonpereduksi rantai polisakarida selulosa dan membebaskan glukosa yang dilakukan oleh enzim glukanohidrolase atau selobiose yang dilakukan oleh enzim
20 selobiohidrolase sebagai produk utama (Lynd et al. 2002). Hidrolisis bagian berkristal selulosa hanya dapat dilakukan secara efiesien oleh enzim eksoglukanase (Perez et al. 2002; Lynd et al. 2002). Hasil kerja sinergis endoglukanase dan eksoglukanase menghasilkan molekul selobiosa. Hidrolisis selulosa secara efektif memerlukan enzim β-glukosidase yang memecah selobiosa menjadi 2 molekul glukosa.
kristalin amorfus kristalin
glukosa
selobiosa
Selo-oligosakaridabiosa Endoglukanase β-glukosidase
Eksoglukanase (CBHI)
kristalin amorfus kristalin
Endoglukanase dgn dekstrin
Eksoglukanase (CoF/CoS dgn dekstrin
Bagian kohesi
Eksoglukanase (CoF) dgn dekstrin
Selobiosa karboksilase fosforilase Eksoglukanase (CBHII)
Modul ikatan karbohidrat
Keterangan: A = aktivitas endoglukanase, B= aktivitas eksoglukanase
Gambar 6. Skema hidrolisis selulosa menjadi glukosa(Lymar et al. 1995) Azotobacterspp. di Persawahan Pasang Surut Kalimantan Selatan Kajian awal Azotobacter spp pada berbagai rizosfer varietas padi dari tipologi lahan pasang surut
dapat dilihat pada Tabel 2.
Perbedaan jumlah
populasi mikrob tersebut dipengaruhi oleh penggaraman akibat intrusi air laut. Azotobacter yang ditemukan di desa Balandean (0.20 μS/cm) dan Tambak Sirang Baru (0.17 μS/cm) lebih sedikit dibanding tanah desa Handil Manarap (0.15 μS/cm) dan Handil Malintang (0.12 μS/cm).
Kompos jerami padi yang
disebarkan ke lahan masih diterapkan di lahan sawah desa Handil Malintang dan Handil Manarap menyebabkan keragaman isolat-isolat kedua lokasi tersebut relatif lebih tinggi dibanding desa-desa lainnya. Sementara desa lainnya tidak menerapkan pengomposan. Roper &Ladha (1995) menjelaskan bahwa bakteribakteri diazotrof asimbiotik memanfaatkan karbohidrat dengan berat molekul
21 tinggi seperti xylan (komponen utama hemiselulosa) dari jerami padi sebagai sumber karbon dan penggunaan komponen ini mampu meningkatkan penambatan N2. Perbedaan banyaknya sumber isolat yang mengandung Azotobacterspp. pada tiap varietasdisebabkan adanya perbedaan masing-masing varietas dalam menghasilkan asam-asam organik sebagai sumber karbon dan energi. Nursyamsi (2000) menunjukkan bahwa padi dengan varietas berbeda menghasilkan jumlah asam-asam organik yang berbeda. IR66 menghasilkan asam malat (2 532±167 nmol/g tanah kering) lebih tinggi dibanding Cisadane (1 793±153 nmol/g tanah kering). Sementara IR66 menghasilkan asam suksinat (535±153 nmol/g tanah kering), tetapi padi Cisadane tidak menghasilkan asam tersebut. Asam malat lebih banyak dihasilkan tanaman padi pada pH 3.9 dan 4.7 dan menurun tajam pada kondisi pH yang agak asam.
Tabel 2. Jumlah isolat Azotobacterspp. dari bahan rizosfer menurut lokasi dan varietas padi di daerah pasang surut Kalimantan Selatan (Razie 2003) Asal sumber isolat
Lokasi/ tipologi
Varietas Padi
Desa/tipologi Balandean / A/B Handil Manarap / C Handil Malintang / B T. Sirang Baru B Jumlah Bayar Pahit IR64 Margasari Siam Pandak Siam Unus Jumlah
Σ sumber isolat 24 24 24 24 96 24 12 12 24 24 96
Azotobacterspp. Sumber isolata 7 12 8 7 34 10 4 4 9 7 34
Σ Isolat b 8 12 14 8 42 12 4 5 13 8 42
Efektivitas Azotobacterspp. dari persawahan pasang surut Kalimantan Selatan dalam menambat N 2 lebih tinggi lebih dari 0.25 (secara teoritik). Beberapa percobaan menunjukkan ragam perbandingan efektivitas penambatan N 2 oleh penambat dari 0.04 hingga 0.67 (Zuberer 1998). Pada Tabel 3 terlihat bahwa Azotobacterspp.
dari persawahan pasang surut Kalimantan Selatan
memiliki 1.62–7.56 nmol N/nmol C 2 H 4 .
Azotobacter07.1/TNH/II memiliki
efektivitas yang paling tinggi (7.56 nmol N/nmol C 2 H 4 ) dibanding isolat lainnya.Efektivitas AzotobacterT.B.BPMT dan T.B.PDST.2b masing-masing 4.07
22 dan
2.92
nmol
N/nmol
C 2 H 4 relatif
masih
lebih
rendah
dibanding
Azotobacter07.1/TNH/II, tetapi relatif lebih tinggi efektif dibanding isolat lainnya (Razie 2003). Tabel 3. Efektivitas Azotobacterspp. dalam menambat N 2 di daerah pasang surut Kalimantan Selatan (Razie 2003) Isolat
Efektifitas (nmol N /nmol C 2 H 4 )
07.1/TNH/II B.BPMT.1 B.MGSR.1 B.PDST.2b HM.BPMT.2b M.UNST.3 Keterangan : Efektivitas = jumlah N 2
7.56 4.07 1.78 2.92 1.95 1.62 tertambat / nilai ARA
Azotobactersp. yang diisolasi pada di persawahan lahan pasang surut Kalimantan Selatan setelah ditumbuhkan tiga hari pada media bebas N mampu menambat N mencapai 0.21-025%N media (Razie 2003).
Kemampuan
Azotobactersp. dalam menambat N 2 berdasarkan lokasi, bagian ekosistem dan varietas padi ditemukannya dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Kemampuan Azotobacterspp. dalam menambat N 2 pada media berdasarkan lokasi, bagian ekosistem dan varietas padidi daerah pasang surut Kalimantan Selatan (Razie 2003) Lokasi Aluh-aluh / A Barambai / B Gambut / C Kompos sawah Bagian ekosistem Rizosfer Lapisan oksidasi Siam Unus Varietas Siam Pandak Bayar Pahit Keterangan: SE = standar error, α = 0.05 Kecamatan / Tipologi Lahan
Jumlah isolat Murni 60 36 36 48 42 42 12 36 24
%N media (rata-rata±SE) 0.23 ± 0.03 0.22 ± 0.03 0.21 ± 0.03 0.23 ± 0.05 0.22 ± 0.03 0.24 ± 0.03 0.29 ± 0.11 0.22 ± 0.04 0.20 ± 0.02
Peranan Azotobacter dalam Menambat dan Memasok N Padi Keberadaan Azotobacter di lahan pasang surut memiliki peranan dalam memasok sumber hara N untuk padi. Kemampuan Azotobacterdari rizosfer padi dalam menambat N 2 atmosfer sebesar 1743.52-5788.01 mg N/pot, dan kemampuannyadalam
memasok
N
sebesar
1.49-2.74%N
jaringan
pada
pertumbuhan awal padi IR64. Kondisi tersebut bersesuaian dengan keberadaan
23 dari populasi Azotobacterdi daerah perakaran padi IR64, dimana peningkatan jumlah N yang ditambat dan dipasokuntuk tanaman sejalan dengan peningkatan populasi Azotobacter(Razie 2003). Keberadaan populasi Azotobacter RG.3.18 yang tinggi pada rizosfer padi Margasari berdampak dengan peningkatan jumlah N tertambat yaitu 5838 mg N/pot (Razie & Haris 2004). Hal ini menunjukkan bahwa jumlah N yang ditambat oleh Azotobacterdan di pasok untuk padi yang tumbuh berhubungan erat positif dengan jumlah populasi Azotobacter, dapat dilihat pada Gambar 7.
Semakin meningkat total populasi Azotobacter pada
lingkungan rizosfer padi, maka semakin meningkat jumlah N yang ditambat.
Gambar 7. Hubungan populasi Azotobacter dengan N-tertambat (Razie& Haris 2004) Keberadaan Azotobacterpada jumlah yang banyak tidak selalu diikuti dengan semakin tingginya kemampuan Azotobacter dalam menambat N 2 atmosfer dan memasok N untuk padi IR64. Razieet al. (2005) menunjukan pola semakin menurunnya jumlah N yang tertambat dengan semakin meningkatnya jumlah populasi Azotobacter RG.3.62 dan TB.PDST.2b daerah pasang surut Kalimantan Selatan seperti Gambar 8. Gas nitrogen yang ditambat oleh Azotobacter dan dilepaskan kelingkungan dalam bentuk N-ammonium yang tidak hilang atau diambil tanaman akan jadi penghambat (feedback inhibitor) bagi enzim nitrogenase.
Selain itu, proses fotosentesa, keberadaan oksigen, kemasaman,
kelembaban dan temperatur lingkungan akanmenghambat enzim nitrogenase. Seperti dijelaskan Sylva et al. (2005) bahwa pada tanaman rumputan, enzim nitrogenase dalam menambat N ditentukan oleh potensial fotosentesa, temperatur
24 udara, kelembaban, temperatur tanah, kondisi redoks, pH, ammonium, nitrat dan
%N tertambat per sel
jumlah dan jenis diazotrof.
Sel RG.3.62/g
Sel TB.PDST.2b/g
Gambar 8. Perubahan jumlah N tertambat per sel Azotobacter(Razie et al. 2005) Jumlah N yang ditambat dan dipasok tidak hanya ditentukan oleh total populasi dari Azotobacter tetapi juga adanya hubungan spesifik antara Azotobacterdengan varietas padi tempat bakteri tersebut berasosiasi. Azotobacter yang diinokulasikan pada berbagai varietaas padi menunjukkan pengaruh yang berbeda terhadap jumlah N yang di pasok untuk tanaman. Kandungan N pada Siam Pandak yang diinokulasi dengan Azotobacter RG.3.62 (1.3%N) lebih tinggi dibanding kontrol, sedangkan Azotobacter lainnya tidak berbeda dengan kontrol(Razie& Haris 2004).
Azotobacter TB.PDST.2b memiliki kemampuan
yang sama dengan Azotobacter RG.3.18 dalam menambat N 2 atmosfer yaitu sebesar 4682 mg N, tetapi kemampuan Azotobacter TB.PDST.2b dalam memasok N untuk padi Margasari (1.48%N) lebih tinggi dibanding Azotobacter RG.3.18. Keberadaan berbagai isolat Azotobacter pada padi Bayar Pahit tidak berbeda jumlahnya seperti halnya padi IR64, tetapi hanya Azotobacter 07.1/TNH/II yang memiliki kemampuan tertinggi dalam menambat N 2 atmosfer dan memasok N untuk padi Bayar Pahit (yaitu sebesar 1.54-1.68%N jaringan).Malarvizhi & Ladha (1999) mengemukakan bahwa selain tergantung pada kebutuhan N oleh tanaman dan N yang tersedia dalam tanah, serapan N jaringan ditentukan oleh perbedaan kemampuan antar varietas dalam kecepatan pengambilan hara spesifik, perbedaan metobolisme akar yang memodifikasi rizosfer dan perbedaan eksudasi yang mendorong asosiasi N di rizosfer.
25
26 Peranan Azotobacter sp. dalam mendukung pertumbuhan akar padi Selain kemampuan dalam menambat dan memasok N untuk pertumbuhan padi, Azotobacterjuga memproduksi hormon yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan akar.
Hormon pertumbuhan tersebut terdapat dalam bentuk
senyawa metabolit seperti auxin, sitokinin dan gibberelin. El-khawas &Adachi (1999) menunjukkan bahwa semakin bertambahnya panjang akar, luas permukaan akar, bobot kering dan basah akar dan ditemukannya rambut akar dan akar lateral (pada pengamatan secara mikroskopik) pada padi varietas Chiyonishiki yang diinokulasi dengan A. Brasilense dan Klebsiella pneumoniae yang ditambahkan triptopan sehingga menghasilkan IAA. Adanya perbedaan pertumbuhan panjang akar, luas permukaan rambut akar pada akar sekunder menunjukkan adanya peranan Azotobacter spp. dalam menghasilkan IAA yang menstimulasi pertumbuhan akar IR64 dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5.
Pupuk N
Tanpa pupuk N
Isolat
Produksi IAA dari Azotobacterspp. dan peranannya terhadap perkembangan akar padi IR64(Razie 2003; Razie & Haris 2004) IAA * (ppm)
% kenaikan Luas Permukaan Akar
% kenaikan bobot kering akar
Rambut akar
33.89 174 100 T.B.MGSR.1 Pangkal - tengah 36.67 190 77 T.B.PDST.2b Pangkal - ujung 42.01 330 123 T.M.UNST.3 Pangkal - tengah 0.00 100 100 Kontrol Tidak ditemukan 35.54 209 102 RG 3. 17 Pangkal 32.41 193 123 RG 3. 18 Pangkal - ujung 19.78 201 111 RG 3. 35 Pangkal 18.29 249 117 RG 3. 62 Pangkal - ujung 25.57 126 98 T.B.BDST. 2b Pangkal - ujung 28.98 181 103 07.1/TNH/II Tidak ditemukan 0.00 100 100 Kontrol Tidak ditemukan Keterangan : * Azotobacter ditumbuhkan pada media cair NFM diukur setelah diinkubasi 72 jam.
Pada Tabel 5 terlihat bahwa AzotobacterT.B.PDST.2b yang ditumbuhkan media yang sudah mengandung hara N produksi IAA relatif menjadi lebih rendah dibanding dengan yang ditumbuhkan pada media tanpa hara N, dan besarnya IAA yang dihasilkan tidak selalu sejalan dengan penambahan luas permukaan akar ataupun bobot kering akar. Demikian juga kemampuan membentuk rambut akar pada akar sekunder (dari pangkal hingga ujung akar) maka AzotobacterRG.3.62;
27 RG3.18 dan T.B. PDST.2b lebih efektif dibanding isolat lainnya walaupun produksi IAA isolat tersebut relatif tidak lebih tinggi dibanding isolat lain. Kondisi tersebut sangat tergantung dari keefektifan isolat-isolat tersebut berasosiasi dengan akar padi. Produksi Padi di Persawahan Pasang Surut Kalimantan Selatan Substitusi Azotobacterspp. terhadap pemupukan urea di lahan pasang surut tipe A di desa Balimau Kecamatan Sungai Tabuk Kabupaten Banjar menunjukan bahwa substitusi Azotobacter terhadap urea menunjukan pengaruhnya terhadap produksi padi (Razie et al. 2008) dapat dilihat pada Gambar 9.Pemberian Azotobacter spp. nyata meningkatkan produksi gabah Siam pandak dan potensi produksi tertinggi diperoleh pada substitusi AzotobacterRG3.62 dengan urea 25% yaitu 4.42 ton/ha, namun nilai produksi ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan inokulasi Azotobacter RG.3.62 tanpa urea.
Keterangan: Huruf yang sama mengikuti diagram batang tidak berbeda menurut uji Duncan pada taraf nyata 5%
Gambar 9. Produksi padi Siam Pandak yang diinokulasi Azotobacterspp. untuk mensubstitusi urea di lahan pasang surut tipe A(Razie et al. 2008) Substitusi Azotobacter spp terhadap urea mampu meningkatkan produksi padi Ciherang di lahan pasang surut tipe B di desa Sungai Rangas (Razie et al. 2008).
Pada Gambar 10 terlihat bahwa produksi Ciherang pada substitusi
Azotobacter spp dengan urea 50% lebih tinggi dibanding kontrol, pemberian urea
28 lebih dari 50% tidak menunjukkan peningkatan produksi padi dan ada kecenderungan mengalami penurunan. Seperti halnya pada padi Siam Pandak di lahan pasang surut tipe A, terlihat bahwa inokulasi Azotobacter tanpa pemupukkan urea sudah menyamai pemberian urea 100% tanpa inokulasi Azotobacter. Hal ini menunjukkan bahwa Azotobacter mampu menggantikan kedudukan urea sebagai pemasok N untuk padi varietas Ciherang ataupun padi lokal Siam Pandak.
Keterangan: Huruf yang sama mengikuti diagram batang tidak berbeda menurut uji Duncan pada taraf nyata 5%
Gambar 10. Produksi padi Ciherang diinokulasi Azotobacterspp untuk mensubstitusi urea di lahan pasang surut tipe B(Razie et al. 2008)
PERCOBAAN 2:
PENGARUH KOMPOS JERAMI DIPERKAYA AZOTOBACTERTERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI PADA BUDIDAYA PADI SRI DAN KONVENSIONAL Pendahuluan Kalimantan Selatan merupakan salah satu penyangga produksi pangan nasional, dimana surplus beras mencapai 550.000 – 600.000 ton beras per tahun. Untuk mempertahankan pencapaian tersebut, kebijakan pembangunan pangan daerah ini diarahkan pada peningkatan produksi, produktivitas dan mutu produksi tanaman pangan untuk mendukung swasembada pangan berkelanjutan (Taufik 2011).Kurang lebih 16.23% dari produksi beras Kalimantan Selatan disumbang oleh Kabupaten Barito Kuala dan sebagian besar lahan persawahan Barito Kuala merupakan lahan pasang surut.Dari luasan 655.765 ha lahan sawah diKalimantan Selatan,seluas 210.072 ha merupakan lahan sawah pasang surutdan seluas 101.424 ha terletak di wilayah Kabupaten Barito Kuala (Diperta, 2004). Namun demikian produktivitas lahan ini pada umumnya rendah, Usaha untuk mengatasi masalah biofisik lahan dengan memperhatikan cara budidaya tanaman yang tepat dapat meningkatkan produktivitas lahan pasang surut.
Secara umum hal ini dilakukan dengan menggunakan teknologi yang
sesuai dengan kondisi lahan, dan pengaturan ketersediaan air sesuai dengan kebutuhan tanaman. Cara budidaya padi SRI merupakan alternatif budidaya yang memperhatikan secara menyeluruh antara biofisik lahan dan kondisi optimum pertumbuhan padi. Budidaya padi SRI (System of Rice Intensification) banyak diterapkan daerah-daerah beririgasi atau kekurangan air, karena sistem ini lebih menekankan pada penghematan air yang didasarkan bahwa padi merupakan tanaman butuh air.Budidaya padi ini memiliki prinsip dasar yang bertujuan memberikan kondisi pertumbuhan optimal sistem pertunasan dan perakaran untuk mempercepat pertumbuhan dan meningkatkan produksi.
Pada budidaya SRI tidak hanya
memperbaiki kesuburan biofisik dan kimia tanah, tetapi juga memperbaiki cara bercocok tanam padi mulai dari memilih bibit berkualitas, cara menanam,
50 pemeliharaan, pencegahan hama dan penyakit, penanganan gulma hingga panen.Penerapan budidaya SRI di lahan pasang surut di Kabupaten Barito Kuala dapat dilakukan pada lahan pasang surut tipe B (lahan yang tidak tergenang pada saat pasang kecil) yang memiliki sistem Tata Air Mikro terutama pada tanam musim kering dan pada lahan pasang surut tipe C dan D (lahan yang tidak tergenang baik pada pasang besar maupun kecil). Peningkatan kelarutan Al, Fe dan Mn serta kemasaman tanah yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan produksi padi dapat dikurangi dengan penggunaan amelioran baik pemberian kapur ataupun bahan organik. Persawahan pasang surut menghasilkan bahan jerami padi yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan organik tanah.Pemanfaat jerami secara langsung selain proses dekomposisi yang lambat karena kondisi anaerob tanah, juga berdampak negatif terhadap lahan persawahan pasang surut.Muhrizal et al. (2006) dan Fahmi (2010) menunjukkan bahwa pemberian jerami segar pada lahan pasang surut menyebabkan meningkatnya kemasaman tanah dan konsentrasi Fe2+ pada keadaan tergenang. Sehingga pengomposan jerami padi diperlukan sebelum memanfaatkan ke lahan persawahan pasang surut. Pemberian kompos jerami padi selain untuk menekan kelarut Fe, Al dan Mn dan mengurangi proses pemasaman tanah, bahan ini juga mensuplai hara N, P dan K meningkatkan tapak jerapan sehingga dapat meningkatkan efesiensi penggunaan pupuk N, P dan K. Hara K dapat dipasok oleh bahan jerami setara dengan 120 kg K 2 0 setiap 5 ton jerami, dan hara P yang umumnya terikat kuat logam-logam seperti Al, Fe dan Al.
Ketersediaan hara P dapat ditingkatkan
dengan pengikatan logam-logam tersebut oleh kompos jerami. Sedangkan hara N merupakan hara yang dinamis, secara umum dipengaruhi oleh kondisi oksidasi reduksi dan kemasaman sehingga mudah hilang dari lingkungan pertanaman baik melalui pencucian, denitrifikasi maupun volatilisasi (penguapan). Pemanfaatan bakteri penambat N 2 atmosfer dari persawahan pasang surut merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan pasokan hara N padi. Pemanfaatan Azotobacter sebagai penyedia hara N untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi padi Ciherang di persawahan pasang surut Kalimantan Selatan (Razie et al.2008).
51 Dari uraian di atas maka penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh kompos diperkaya terhadap ketersediaan hara N, P dan K, , serapan dan efesiensi serapan hara, serta pertumbuhan dan produksi padi pada budidaya SRI dan konvensinal di persawahan pasang surut. Penelitian ini juga mempelajari potensi keracunan Fe, Al dan Mn dan viabilitas mikrob selulolitik dan Azotobacter pada budidaya padi SRI dan Konvensional Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Percobaan lapangan dilaksanakan di lahan pasang surut di desa Danda Jaya Kecamatan Rantau Badauh Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan. Analisis biologi tanah dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Tanah Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,Universitas Lambung mangkurat dan analisis sifat kimia tanah dilaksanakan di Laboratorium
Kimia Tanah,Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya
Lahan,Institut Pertanian Bogordan Laboratorium Kesuburan Tanah, Jurusan Tanah Fakultas Pertanian, Universitas Lambung Mangkurat.
Penelitian
dilaksanakan mulai bulan Januari hingga Desember 2011. Bahan dan Alat Bahan jerami
padi Inpara 2 untuk membuat kompos diambil dari
persawahan pasang surut di Desa Danda Jaya Kecamatan Rantau Badauh Kabupaten Barito Kuala. varietas Ciherang.
Benih padi yang dipergunakan adalah benih padi
Isolat Azotobacter RG.3.62 dari persawahan pasang surut
Kalimantan Selatandipergunakan untuk memperkaya kompos jerami padi. Penelitian ini juga menggunakan pupuk kimia buatan yaitu urea, SP36 dan KCl. Alat yang dipergunakan adalah selain alat yang dibutuhkan di lapangan seperti untuk pembuatan kompos khususnya alat pengukur suhu (termometer), dan juga alat-alat yang diperlukan di lapangan untuk mengukur kemasaman (pH) yaitu pH Testr 3+ Double Junction merek OACTON, USAdan potensial reduksi (Eh meter) yaitu ORPT Testr ®10 merek OACTON, USA.
52 Metode Penelitian Peneltian ini merupakan percobaan kedua yang mempelajari pengaruh kompos jerami diperkaya pada sistem budidaya padi SRI dan konvensional dalam mendukung pertumbuhan padi sawah pasang surut Kalimantan Selatan. Adapun urutan dari penelitian yang dilaksanakan dapat dilihat diagram alir Gambar 18. PRODUKSI KOMPOS DIPERKAYA Azotobacter
Aplikasi di Persawahan Pasang Surut SRI
Konvensional
Pertumbuhan dan Produksi Padi
Gambar 18. Diagram alir penelitian percobaan kedua Pelaksanaan Penelitian Penyiapan lahan. Lahan di daerah pasang surut dengan jenis tanah sulfat masam potensial seluas ± 2000 m2 yang disiapkan dibagi menjadi empat kelompok dan pada setiap kelompok dibagi dua bagian sebagai petak utama (main plot) dan pada masing-masing petak utama dibagi menjadi 8 petak berukuran 4 m x 5 m sebagai anak petak (subplot). Jumlah petak kecil berukuran 4 m x 5 m tersebut adalah 64 buah. Rancangan Percobaan.
Rancangan lingkungan dan perlakuan yang
digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) dan rancangan faktorial petak terbagi (split plot factorial designs), dimana budidaya padi SRI dan konvensional sebagai petak utama (main plot), dan perlakuan pemupukan yang terdiri dari delapan taraf sebagai anak petak (subplot), yaitu 1. Kontrol (K) yaitu tanpa pemberian kompos dan tanpa pupuk NPK; 2. Pupuk kimia N, P dan K, yaitu 100% dosis pupuk N, P dan K (NPK) 3. Kompos jerami diperkaya Azotobacter (JA0);
53 4. Kompos jerami diperkaya Azotobacter + 25% dosis pupuk N, P dan K (JA25); 5. Kompos jerami diperkaya Azotobacter + 50% dosis pupuk N, P dan K (JA50); 6. Kompos jerami diperkaya Azotobacter + 75% dosis pupuk N, P dan K (JA75); 7. Kompos jerami diperkaya Azotobacter + 100% dosis pupuk N, P dan K (JA100); 8. Kompos jerami + 100% pupuk N, P dan K (J100); Kombinasi dari petak utama dan anak petak diperoleh 16 kombinasi perlakuan.
Setiap kombinasi perlakuan diulang dalam 4 kelompok sehingga
terdapat 64 satuan percobaan. Bagan percobaan lapang disajikan pada Gambar 19. I
II
III
IV
JA100 JA75 JA25 JA0 JA50 K J100 NPK
JA25 JA75 JA0 JA50 K J100 NPK JA100
JA0 K JA50 J100 JA100 NPK JA25 JA75
J100 JA75 K JA25 JA50 NPK JA0 JA100
NPK K JA100 JA0 J100 JA25 JA75 JA50
JA0 JA75 K JA100 JA25 NPK J100 JA50
JA50 JA0 JA100 J25 NPK JA75 J100 K
JA75 JA25 J100 K NPK JA100 JA0 JA50
Konven sional
SRI
Konven sional
SRI
SRI
Konven sional
SRI
Konven sional
Gambar 19. Bagan petak percobaan di persawahan pasang surut Kalimantan Selatan Penyiapan dan aplikasi kompos dan pupuk anorganik. Kompos jerami dan pupuk anorganik merupakan satu paket perlakuan pemupukan. Kompos jerami padi dibuat menggunakan campuran mikrob selulolitik GA22, ST22, SN123 dan C52 pada percobaan 1.Kompos jerami padi yang dibuat terlebih dahulu dianalisis kandungan C-organik, N, P dan K total bahan. Selanjutnya sebagian dari kompos jerami padi tersebut diperkaya Azotobacter
RG.3.62
sebanyak 107 sel/g dan sebagiannya lagi tidak diperkaya sesuai dengan perlakuan pada penelitian ini.Kompos jerami diberikan sebanyak 5 ton/ha (10 kg/petak) dan diberikan seminggu sebelum tanam. Pupuk anorganik diberikan dengan berbagai dosis pemupukan sebagai perlakuan kombinasi.
Pemberian 100% dosis pupuk N, P dan K sesuai
rekomendasi yaitu 250 kg urea/ha (0.5 kg Urea/petak atau 0.225 kg N/petak), 100 kg SP36/ha (200 g SP36/petak atau 72 g P 2 O 5 /petak) dan 75 kg KCl/ha (150 g KCl/petak atau 90 kg K 2 O/petak);
Perlakuan pupuk anorganik diberikan
54 seminggu setelah tanam, pupuk urea diberikan bertahap tiga kali, yaitu pada umur 7HST (pemupukan I) sebanyak 40% dosis, pada umur 30 HST (pemupukan II) sebanyak 30% dosis, pada umur 45 HST (pemupukan III) sebanyak 30% dosis sesuai dengan perlakuan. Sedangkan pupuk SP36 dan KCl diberikan sekaligus pada umur 7HST. Penyemaian dan pindah tanam. Sebelum dilakukan penyemaian, benih padi untuk budidaya SRI terlebih dahulu direndam dalam larutan garam untuk mendapatkan benih berkualitas, benih bermutu baik tenggelam pada larutan garam. Selanjutnya benih tersebut dicuci dengan air hingga bersih dan direndam selama 12 jam dan diperam selama 24 jam pada karung goni basah. Persemaian untuk budidaya SRI dilakukan pada nampan. Benih padi disebar merata pada nampan dengan media tanah subur bercampur kompos (1:1) dengan tinggi sekitar 4 cm untuk memudahkan dalam pencabutan tanaman tanpa merusak akar saat benih berumur 10 hari untuk dipindahtanamkan. Bibit ditanam satu batang per titik dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm dan selanjutnya diairi maksimum sedalam 2 cm secara terputus (intermittent). Benih padi untuk budidaya padi konvensional tidak diseleksiseperti benih padi budidaya SRI, benih langsung direndam selama 12 jam dan diperam selama 24 jam pada karung goni. Selanjutnya disemai di lapang selama 25 hari dicabut dengan
bagian
atas
batang
dan
akarnya
sebagian
dipotong
untuk
dipindahtanamkan, bibit ditanam 3-4 batang per lubang dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm, dan diairi maksimum sedalam 5 cm secara terputus (intermittent). Pemeliharaan terutama pada plot utama SRI dengan cara penyiangan untuk menghilangkan gulmapada awal-awal pertumbuhan padi. Pengamatan Sifat-sifat kimia tanah.Satu minggu setelah perlakuan pemupukan(14 HST) dilakukan pengukuran Eh dan pH tanah di lapang, dan pengambilan sampel tanah secara komposit pada setiap petak perlakuan untuk menetapkan kandungan N total (ekstraksi H 2 SO 4 dan H 2 O 2 ), N-NH 4 + dan N-NO 3 - (ekstraksi KCl 1N), P tersedia (metode Bray I) dan K tersedia, Fe-tersedia (ekstraksi NH 4 -Asetat 1N pH 4.8)dan Kandungan C-organik (metode Walkley and Black).
55 Pada saat 49 HST (awal fase primordial) dilakukan pengambilan sampel tanah kedua secara komposit pada setiap petak perlakuan untuk menetapkan pengukuran Fe, Mn dan Al tersedia (ekstraksi NH 4 -Asetat 1N pH 4.8) dan Fe, Mn dan Al terikat bahan organik(ekstraksi NaOCl 0,7M). Perlakuan yang diamati hanya pada perlakuan K (kontrol), NPK (100% dosis pupuk N, P dan K), JA0 (kompos diperkaya Azotobacter tanpa pupuk N, P dan K) dan JA100 (kompos diperkaya Azotobacter + 100% dosis pupuk N, P dan K) Pada saat panen dilakukan pengambilan sampel tanah secara komposit terakhir dilakukan untuk menetapkan kandungan N total (ekstraksi H 2 SO 4 dan H 2 O 2 ), N-NH 4 + dan N-NO 3 - (ekstraksi KCl 2N), P tersedia (ekstrak Bray I), K dapat dipertukarkan (ekstraksi NH 4 -Asetat 1N pH7), dan Fe tersedia (ekstraksi NH 4 -Asetat 1N pH 4.8). Sifat Biologi tanah.
Pada saat panen dilakukan pengambilan tanah
komposit dari masing-masing petak dan dilakukan secara aseptik untuk menetapkan total populasi mikrob selulolitik dan Azotobacter dengan metode cawan hitung (plate count). Agronomis.
Setelah penanaman dipilih dan diberi tanda lima tanaman
contoh secara acak pada setiap petak perlakuan untuk mengukur jumlah anakan dan tinggi tanaman dengan interval 2 minggu dari sejak tanam hingga panen. Pada saat panen, komponen hasil lainnya yang diukur adalah jumlah gabah per malai, gabah hampa, panjang malai dan berat 1000 butir. Pada saat panen juga dilakukan pengamatan pada ubinan 2.5 m x 2.5 m pada setiap petak perlakuan, meliputi:pengukuran produksi gabah, bobot kering jerami dan jumlah anakan produktif per ubinan. Selanjutnya, dari lima tanaman contoh pada setiap petak perlakuan dianalisis kandungan N, P dan K jerami dan gabah (ekstraksi H 2 SO 4 dan H 2 O 2 ) serta Al, Fe dan Mn jaringan (ekstraksi HNO 3 dan HClO 4 ). Dari data pengukuran kandungan N, P dan K jerami dan gabah dilakukan perhitungan serapan dan efisiensi serapan hara N, P dan K, dengan rumus sebagai berikut : 1. Serapan hara = (% hara jerami x bobot kering jerami)+(% hara gabah x berat gabah kering giling)
56 2. Efesiensi serapan hara = (total serapan hara-kontrol)/total kandungan hara dari pupuk yang diberikan. Analisis Data Untuk
mengetahui
pengaruh
perlakuan
pertumbuhan tanaman dilakukan analisis ragam.
terhadap
peubah-peubah
Selanjutnya jika perlakuan
berpengaruh terhadap peubah yang diukur dilakukan uji beda nilai tengah menggunakan uji jarak berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5%. Hasil dan Pembahasan Pengaruh kompos diperkaya terhadap kandungan N, P dan K tanah Hasil analisa beberapa sifat kimia tanah awal persawahan pasang surut di Desa Danda Jaya Kabupaten Barito Kuala, kompos jerami padi dan pupuk yang dipergunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 13. Kandungan hara N, P dan K total tanah awal yaitu 0.23%N; 145.1 ppm P dan 439.1 ppm K. Kompos jerami yang digunakan mengandung hara N, P dan K yaitu 1.43 %N, 0.29 %P dan 4.88 %K. Tabel 13. Kandungan C, N, P dan K total tanah awal, dan kompos jerami yang dipergunakan pada penelitian Sifat Kimia C N-total P-total K-total pH H 2 O
Sampel Tanah 2.12% 0.23% 145.1 ppm P 439.1 ppm K 3.93
Kompos 19.36% 1.43% 0.29% 4.88% 6.50
Nilai rata-rata potensial reduksi dan pH tanah di lapang dan hasil analisa kandungan hara N, P dan K tanah dapat dilihat pada Tabel Lampiran 6. Hasil analisis ragam pada Tabel Lampiran 7 terlihat bahwa perlakuan budidaya padi berpengaruh nyata terhadap Eh, pH, N-NH 4 , dan K-tersedia tanah. Sedangkan perlakuan pemupukan berpengaruh nyata terhadap kandungan hara N-NH 4 , NNO 3 , dan K-tersedia. Interaksi antar perlakuan budidaya padi dan pemupukan berpengaruh nyata terhadap kandungan P tersedia tanah. Perbedaan taraf masing-
57 masing perlakuan sistem budidaya padi dan pemupukan terhadap Eh, pH dan kandungan hara N, P dan K yang diukur seminggu setelah pemupukan menurut uji Duncan pada kepercayaan 95% dapat dilihat pada Tabel 14. Nilai potensial reduksi tanah pada budidaya padi konvensional (-82.7 mVolt) lebih reduktif dibanding dengan tanah pada budidaya SRI (125.5 mVolt).Penggenangan
pada
lahan
budidaya
konvensional
menyebabkan
terdesaknya oksigen dari ruang pori tanah oleh air, sehingga tanah kekurangan oksigen dan menjadi lebih reduktif jika dibandingkan dengan pada lahan budidaya padi SRI. Pada kondisi reduktif akan terjadi pelepasan ion-ion OH- oleh sistem redoks dari unsur-unsur yang tereduksi (terutama Fe) sehingga pH tanah mengalami peningkatan.
Pada kondisi yang lebih oksidatif, unsur-unsur
mengalami proses oksidasi akan lebih banyak mengikat ion-ion OH-atau melepaskan ion-ion H+sehingga pH menjadi rendah. Hal ini yang menyebabkan pH tanah pada budidaya padi konvensional yaitu 4.60 lebih tinggi dibanding dengan budidaya SRI yaitu 3.82 pada saat seminggu setelah pemupukan. Tabel 14. Pengaruh budidaya padi dan pemupukan terhadap beberapa sifat kimia tanahsaat seminggu setelah pemupukan
Budidaya padi Konvensional SRI Pemupukan Kompos Jerami NPK 0 0 0 100 ++ 0 ++ 25 ++ 50 ++ 75 ++ 100 + 100 KK (%)
Eh (mVolt)
pH
N-total (%)
N-NH 4 (ppm N)
N-NO 3 (ppm N)
K-tersedia (ppm K)
-82.7 b 125.5 a
4.60 a 3.82 b
0.28 0.30
114.6 b 187.3 a
354.6 371.9
264.9 b 480.1 a
-12.4 18.1 36.9 6.6 28.8 18.0 57.4 18.2 21.0*
4.28 4.11 4.17 4.24 4.37 4.24 4.08 4.17 7.13
0.24 0.24 0.31 0.31 0.32 0.28 0.31 0.30 27.83
101.8 c 198.5 a 140.2 abc 121.5 bc 155.4 abc 144.1 abc 160.6 abc 185.7 a 7.4*
345.4 b 192.5 bc 435.7 a 326.6 bc 138.2 c 363.3 b 204.2 bc 421.1 ab 19.3*
203.0 b 476.1 a 285.4 b 280.9 b 401.4 a 423.6 a 471.9 a 476.1 a 5.74*
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan dari perlakuan yang diberikan menurut uji Duncan pada taraf nyata 5%. 0 = tanpa pemberian pupuk atau kompos; ++ = kompos diperkaya Azotobacter; + = kompos tidak diperkaya Azotobacter; 25, 50, 75 dan 100 = persen dosis pupuk N, P dan K; 100% dosis pupuk = 250 kg Urea/ha; 100 kg SP36/ha dan 75 kg KCl/ha. KK = Koefisien keragaman; * = data transformasi
58 Pada Tabel 14 terlihat bahwa kandungan N-NH 4 dan K tersedia pada budidaya SRI (187.3 ppm N dan 480.1 ppm K) lebih tinggi dibandingkan dengan budidaya padi konvensional (114.6 ppm N dan 264.9 ppm K). Kondisi lahan budidaya SRI tidak tergenang mengurangi pergerakan/pencucian N-NH 4 dan K meninggalkan areal pertanaman. Sementara penggenangan di lahan budidaya konvensional mendorong pergerakan/pencucian dari areal pertanaman sehingga kandungan N-NH 4 dn K tersedia menjadi lebih rendah. Kandungan K tersedia pada budidaya SRI (480.1 ppm K) pada Tabel 13 terlihat cenderung lebih tinggi dibanding dengan kandungan K total bahan tanah (439.1 ppm K) pada analisis pendahuluan pada Tabel 12.
Selain pencucian hara K yang rendah, hal ini
menunjukkan bahwa saat satu minggu setelah pemupukan, K dalam tanah berada dalam bentuk tersedia dan tidak terfiksasi pada kisi-kisi mineral liat. Pengaruh perlakuan pemupukan terhadap sifat kimia tanah dapat dilihat pada Tabel 14. Kandungan hara N-NH 4 tanah pada pemberian kompos jerami diperkaya Azotobacterdengan berbagai dosis pupuk N, P dan K (121.5-160.6 ppm N) tidak berbeda dibanding dengan kontrol (101.8 ppm N).Kandungan hara NNH 4 tanah pada pemberian 100% dosis pupuk N, P dan K, baik yang menggunakan kompos ataupun tidak (185.7 dan 198.5 ppm N) lebih tinggi dibanding kontrol. Sementara kandungan hara N-NO 3 tanah pada pemberian kompos jerami diperkaya Azotobacter tanpa pemberian pupuk N, P dan K (435.7 ppm N) lebih tinggi dibanding kontrol (345.4 ppm N) dan tidak berbeda dengan pemberian 100% dosis pupuk N, P dan K, baik yang menggunakan kompos ataupun tidak (185.7 dan 198.5 ppm N). Kalium merupakan unsur yang mudah hilangtercuci dari lingkungan tanaman. Mobilitas hara K dalam tanah dapat dikurangi dengan pemberian bahan organik. Keadaan ini tergambar dari ketersediaan hara K tanah pada perlakuan pemberian kompos diperkaya Azotobacterdengan 50% dosis pupuk N, P dan K (401.4 ppm K) lebih tinggi dibanding kontrol (203.0 ppm K)dan tidak menunjukkan berbeda dengan pemberian 100% dosis pupuk N, P dan K. Meskipun terlihat ketersediaan K dalam tanah cenderung semakin meningkat dengan meningkat dosis pupuk N, P dan K yang diberikan.
59 Pada Tabel 15 terlihat bahwa kandungan P tersedia tanah budidaya padi konvensional pada pemberian kompos jerami diperkaya Azotobacter dengan 25% dosis pupuk N, P dan K (21.0 ppm P) lebih tinggi dIbandingkan dengan kontrol (5.0 ppm P), tetapi tidak berbeda dengan pemberian 50-100% dosis pupuk N, P dan K (15.0-13.2 ppm P). Pada budidaya SRI,ketersediaan hara P tanah pada pemberian kompos jerami diperkaya Azotobacter dengan75% dosis pupuk N, P dan K (27.9 ppm P) tidak berbeda dengan pemberian kompos dengan 100% dosis pupuk N, P dan K (27.9 ppm P) dan lebih tinggi dibanding perlakuan lainnya.Ketersediaan hara P pada pemberian kompos jerami diperkaya Azotobacter dengan 75-100% dosis pupuk N, P dan K pada budidaya SRI (24.027.9 ppm P)lebih tinggi dibanding budidaya padi konvensional (10.0-13.2 ppm P). Tabel 15. Pengaruh interaksi budidaya padi dan pemupukan terhadapkandungan P tersedia tanah saat seminggu setelah pemupukan Pemupukan Kompos Jerami NPK 0 0 0 100 ++ 0 ++ 25 ++ 50 ++ 75 ++ 100 + 100
P-tersedia (ppm P) Konvensional SRI 5.0 d 6.6 d 10.5 cd 13.8 bcd 3.9 d 12.7 bcd 21.0 bc 12.3 bcd 15.0 bcd 10.7 cd 10.0 cd 27.9 a 10.5 cd 24.0 ab 13.2 bcd 27.9 a
Keterangan: Koefisien Keragaman = 2.84 % (data transformasi). Angka-angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan dari perlakuan yang diberikan menurut uji Duncan pada taraf nyata 5%. 0 = tanpa pemberian pupuk atau kompos; ++ = kompos diperkaya Azotobacter; + = kompos tidak diperkaya Azotobacter; 25, 50, 75 dan 100 = persen dosis pupuk N, P dan K; 100% dosis pupuk = 250 kg Urea/ha; 100 kg SP36/ha dan 75 kg KCl/ha.
Pertumbuhan dan produksi tanaman Jumlah anakan per ubinan (6.25 m2) dan tinggi tanaman sejak awal tanam hingga minggu ke 10 setelah tanam pada budidaya padi SRI dan konvensional di persawahan pasang surut Kalimantan Selatan dapat dilihat pada Tabel Lampiran 8.
Analisis ragam untuk mengetahui pengaruh dari budidaya padi terhadap
jumlah anakan dan tinggi tanaman dapat dilihat pada Tabel Lampiran 9. Grafik
60 jumlah anakan dan tinggi tanaman selama pertumbuhan disajikan pada Gambar 20. Jumlah anakan padi budidaya SRI mulai tanam dan minggu ke dua lebih rendah dibanding dengan budidaya padi konvensional.Pada minggu ke empat dan ke enam, jumlah anakan padi budidaya padi konvensional dan SRI tidak berbeda dan mulai minggu ke delapan jumlah anakan padi budidaya SRI lebih tinggi dibanding dengan budidaya padi konvensional. Sedangkan tinggi tanaman pada budidaya SRI dari awal tanam hingga minggu ke 8 lebih rendah dibanding tanaman pada budidaya konvensional. Pada minggu ke 10 terlihat tinggi tanaman
3500 3000
a
(A) a
2500
1500 1000 500
a
b
90,00
a
(B)
80,00
a
a a
2000
a
a
b
b
Konvensional SRI
60,00 40,00
a
30,00 10,00
0
b b
20,00
b
a b
a
50,00
a
a
70,00 a
Tinggi (cm)
Jumlah anakan per ubinan (6,25 m2)
budidaya padi SRI tidak berbeda budidaya padi konvensional.
b
Konvensional SRI
b
0,00 0
2
4 6 Umur (MST)
8
10
0
2
4 (MST) 6 Umur
8
10
Gambar 20. Jumlah anakan (A) dan tinggi tanaman padi (B) selama pertumbuhan Komponen hasil. Komponen hasil yaitu jumlah anakan produktif, tinggi, jumlah gabah permalai, persen gabah hampa permalai, panjang malai, bobot 1000 butir gabah pada budidaya padi SRI dan konvensional di persawahan pasang surut Kalimantan Selatan dapat dilihat pada Tabel Lampiran 10. Analisis ragam dari masing-masing komponen hasil tanaman dapat dilihat pada Tabel Lampiran 11. Perlakuan budidaya padi berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan produktif, tinggi tanaman, jumlah gabah permalai, dan gabah hampa.
Pemupukan
berpengaruh terhadap jumlah anakan produktif, tinggi tanaman, jumlah gabah permalai, panjang malai dan bobot 1000 butir gabah. Tetapi interaksi antara perlakuan budidaya padi dan pemupukan tidak berpengaruh terhadap komponen hasil. Perbedaan antara taraf pada masing-masing perlakuan menurut uji Duncan pada taraf nyata 5% dapat dilihat pada Tabel 16.Jumlah anakan produktif, tinggi tanaman, jumlah gabah permalai dan gabah hampa pada budidaya SRI nyata lebih
61 tinggi dibandingkan dengan budidaya padi konvensional. Hal ini bersesuaian dengan tingginya ketersediaan N (N-NH 4 +), P dan K pada budidaya SRI jika dibandingkan dengan budidaya padi konvensional. Tabel 16.
Pertumbuhan padi Ciherang pada perlakuan budidaya padi dan pemupukan di persawahan pasang surut Kalimantan Selatan
Budidaya/pemupukan Budidaya padi Konvensional SRI Pemupukan Kompos Jerami 0 0 ++ ++ ++ ++ ++ + KK (%)
Anakan produktif/ ubinan
Tinggi tanaman (cm)
Gabah/ malai
Gabah hampa (%)
Panjang Bobot malai 1000 (cm) butir(g)
1377 b 1575 a
97.9 b 101.5 a
76 b 88 a
11.0 b 23.2 a
21.3 20.9
25.3 23.4
1296 c 1575 a 1267 c 1519 ab 1465 bc 1460 bc 1548 a 1680 a 15.9
89.4 e 102.7 bc 89.9 e 97.1 d 100.2 dc 103.5 abc 108.4 a 106.7 ab 5.1
67 cd 87 ab 65 d 82 b 78 bc 97 a 90 ab 91 ab 14.5
16.8 19.4 18.2 15.3 16.6 16.6 20.7 14.8 13.4
18.4 b 20.9 ab 18.3 b 20.1 ab 20.4 ab 22.4 ab 24.0 a 24.2 a 17.8
19.5 b 23.0 ab 19.7b 20.9b 22.8b 35.1 a 24.6 ab 25.1 ab 7.2*
NPK 0 100 0 25 50 75 100 100
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan dari perlakuan yang diberikan menurut uji Duncan pada taraf nyata 5%. 0 = tanpa pemberian pupuk atau kompos; ++ = kompos diperkaya Azotobacter; + = kompos tidak diperkaya Azotobacter; 25, 50, 75 dan 100 = persen dosis pupuk N, P dan K; 100% dosis pupuk = 250 kg Urea/ha; 100 kg SP36/ha dan 75 kg KCl/ha. KK = Koefisien keragaman; * = data transformasi
Pada Tabel 16 terlihat bahwa pemberian kompos jerami diperkaya Azotobacter menunjukkan kemampuannya dalam mengurangi penggunaan pupuk N, P dan K hingga 25% dosis pupuk rekomendasi. Hal ini diperlihatkan dari respon tinggi tanaman, jumlah gabah per malai dan bobot 1000 butirterhadap pemberian kompos jerami diperkaya Azotobacterdengan 75% dosis pupuk N, P dan K yang tidak berbeda dengan pemberian 100% dosis pupuk N, P dan K. Jumlah anakan produktif pada pemberian kompos diperkaya Azotobacter dengan 25% dosis pupuk N, P dan K adalah 1519 anakan per ubinan nyata lebih banyak dibandingkan dengan kontrol yaitu 1296 anakan per ubinan, dan tidak berbeda dengan pemberian kompos dengan 50 hingga 100% dosis pupuk N, P dan
62 K (1 460-1 680 anakan per ubinan) dan 100% dosis pupuk N, P dan K tanpa pemberian kompos (1 575 anakan per ubinan). Padi Ciherang cenderung semakin tinggi dengan meningkatnya pemberian dosis pupuk N, P dan K. Tinggi tanaman pada pemberian kompos diperkaya Azotobacterdengan 75% pupuk N, P dan K (103.5 cm) nyata lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (89.4 cm), dan tidak berbeda dengan pemberian kompos diperkaya Azotobacter dengan 100% dosis pupuk N, P dan K (108.4 cm). Tinggi tanaman pada pemberian kompos diperkaya Azotobacterdengan 100% dosis pupuk N, P dan K (108.4 cm)nyata lebih tinggi dibandingkan dengan hanya pemberian 100% dosis pupuk N, P dan K tanpa kompos (102.7 cm).Hal ini menunjukan adanya peranan kompos jerami diperkaya Azotobacter dalam mendukung pertumbuhan tinggi tanaman. Selain memasok hara yang dibutuhkan tanaman, kompos jerami yang diperkaya Azotobacter diduga memperbaiki kondisi fisik dan biologi tanah. Azotobacter RG.3.62 yang diinokulasi pada kompos jerami memiliki kemampuan menghasilkan senyawa aktif Indole Acetic Acid (IAA) sehingga mendukung pertumbuhan tanaman. Jumlah gabah per malai dan bobot 1000 butir gabah pada pemberian kompos jerami diperkaya Azotobacter dengan 75% dosis pupuk N, P dan K (97 gabah/malai dan 35.1 g) nyata lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (67 gabah/malai dan 19.5 g),dan tidak berbeda dengan pemberian kompos jerami dengan 100% dosis pupuk N, P dan K (90-91 gabah/malai dan 23.0-25.1 g). Semakin tinggi dosis pupuk N, P dan K cenderung menambah panjang malai padi Ciherang, namun secara nyata terlihat peningkatan panjang malai setelah pemberian kompos jerami dengan 100% dosis pupukN, P dan K. Panjang malai padi pada pemberian kompos diperkaya Azotobacter dengan 100% dosis pupuk N, P dan K (24.0 cm) tidak berbeda dengan pemberian 100% dosis pupuk N, P dan K dengan kompos jerami ataupun tidak (masing-masing 24.2 dan 20.9 cm).
Pemberian kompos jerami menunjukan peranannya dalam menambah
panjang malai terlihat pada pemberian 100% dosis pupuk N, P dan K, dimana panjang malai pada perlakuan tanpa pemberian kompos jerami dengan hanya 100% dosis pupuk N, P dan K tidak menunjukkan perbedaan dengan kontrol, tetapi dengan pemberian kompos jerami baik yang diperkaya Azotobacter atau
63 pun tidak dengan 100% dosis pupuk N, P dan K nyata lebih tinggi dibanding dengan kontrol. Pada Tabel 16 juga terlihat bahwa gabah hampa pada budidaya SRI (23.2%) lebih tinggi dibanding dengan pada budidaya padi konvensional. Hal ini dapat disebabkan adanya serangan hama atau tidak terjadinya pembuahan (tidak bertemunnya sebuk sari pada kepala putik) akibat kondisi lingkungan yang tidak mendukung. Waktu tanam yang tidak serentak dengan kegiatan penanaman padi di lokasi penelitian, sehinggaketika padi di sekitar lokasi penelitian panen, padi budidaya SRI baru memasuki fase primordia.
Kondisi ini menyebabkan
berpindahnya serangan hama ke padi budidaya SRI dan menyebabkan meningkatnya gabah hampa pada budidaya SRI. Produksi dan bobot kering jerami padi. Produksi gabah kering giling (kadar air 14%) dan bobot kering jerami padi Ciherang pada perlakuan budidaya padi dan pemupukan dapat dilihat pada Tabel Lampiran 12dan Analisis ragam untuk mengetahui pengaruh dari perlakuan terhadap produksi gabah kering giling dan bobot kering jerami dapat dilihat pada Tabel Lampiran 13.
Perlakuan
budidaya padi dan pemupukan masing-masing berpengaruh nyata terhadap produksi gabah kering giling dan bobot kering jerami, tetapi interaksi dari kedua perlakuan tersebut tidak berpengaruh terhadap produksi gabah kering giling dan bobot kering jerami. Perbedaan antar taraf dari perlakuan budidaya padi dan pemupukan menurut uji beda nilai tengah Duncan pada taraf nyata 5% disajikan pada Tabel 17.
Produksi gabah kering giling dan bobot kering jerami pada
budidaya SRI masing-masing sebesar 4.34 ton GKG/ha dan 4.55 ton/ha nyata lebih tinggi dibandingkan dengan budidaya padi konvensional yang menghasilkan masing-masing sebesar 3.56 ton GKG/ha dan 2.44 ton/ha. Kemampuan
kompos
jerami
diperkaya
Azotobacterdalam
menekan
menekan penggunaan pupuk N, P dan K hingga 25% dari dosis pupuk yang diberikan juga terlihat dari produksi gabah dan bobot kering jerami.Produksi gabah kering giling pada pemberian kompos diperkaya Azotobacter dengan berbagai dosis pupuk N, P dan K (3.18-5.18 ton GKG/ha) lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (2.59 ton GKG/ha), dan pemberian kompos
64 diperkaya Azotobacter tanpa pupuk N, P dan K (3.99 ton GKG/ha) tidak berbeda dengan 75-100% dosis pupuk N, P dan K (3.45-5.18 ton GKG/ha). Kompos diperkaya Azotobacter dengan 75% dosis pupuk N, P dan K menghasilkan bobot kering jerami sebesar 3.81 ton/ha nyata lebih tinggi dibandingkan dengan
kontrol sebesar 2.75 ton/ha, dan tidak berbeda dengan
pemberian kompos diperkaya Azotobacter dengan 100% dosis pupuk N, P dan K (4.02 ton/ha) atau kompos tanpa Azotobacter dengan 100% dosis pupuk N, P dan K (3.84 ton/ha) ataupun hanya dengan pemberian 100% dosis pupuk N, P dan K tanpa kompos. Tabel 17. Produksi gabah dan bobot kering jerami pada perlakuan budidaya padi dan pemupukan di persawahan pasang surut Kalimantan Selatan. Budidaya/pemupukan Budidaya padi Konvensional SRI Pemupukan Kompos Jerami NPK 0 0 0 100 ++ 0 ++ 25 ++ 50 ++ 75 ++ 100 + 100 KK (%)
Produksi (ton GKG/ha)
Bobot kering jerami (ton/ha)
3.56 b 4.34 a
2.44 b 4.55 a
2.59 c 4.92 a 3.99 ab 3.28 b 3.18 b 3.45 ab 5.18 a 4.43 a 3.67*
2.75 c 4.02 a 3.16 bc 3.24 abc 3.15 bc 3.81ab 4.02 a 3.84 ab 20.41
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan dari perlakuan yang diberikan menurut uji Duncan pada taraf nyata 5%. 0 = tanpa pemberian pupuk atau kompos; ++ = kompos diperkaya Azotobacter; + = kompos tidak diperkaya Azotobacter; 25, 50, 75 dan 100 = persen dosis pupuk N, P dan K; 100% dosis pupuk = 250 kg Urea/ha; 100 kg SP36/ha dan 75 kg KCl/ha. KK = Koefisien keragaman; * = data transformasi
Kandungan hara dan efesiensi penyerapan N, P dan K Kandungan hara N, P dan K jerami dan gabah. Kandungan hara N, P dan K jerami dan gabah tanaman pada perlakuan budidaya padi dan pemupukan dapat dilihat pada Tabel Lampiran 14. Kandungan hara N jerami sebesar 0.550.99%N dan hara N gabah sebesar 0.90-1.54%N,kandungan hara P jerami berkisar 0.10-0.61%P dan hara P gabah berkisar 0.28-0.40%P,dan kandungan hara
65 K jerami berkisar 0.58-1.49%K dan hara K gabah berkisar 0.24-0.33%K. Dobermann & Fairhurts (2000) menjelaskan bahwa kandungan hara pada jerami padi varietas baru
adalah 0.51-0.76%N,0.07-0.12%P dan 1.17-1.68%K, dan
kandungan hara gabah adalah 0.93-1.20%N, 0.18-0.26%P dan 0.22-0.31%K. Analisis ragam untuk mengetahui pengaruh dari perlakuan budidaya padi dan pemupukan terhadap kandungan hara N, P, K jerami dan gabah dapat dilihat pada Tabel Lampiran 15. Perlakuan budidaya padi berpengaruh nyata terhadap kandungan hara N, P dan K jerami dan hara K gabah, dan perlakuan pemupukan berpengaruh nyata terhadap kandungan hara K jerami dan hara N gabah. Interaksi antar kedua perlakuan tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap kandungan hara N, P dan K jerami maupun gabah.Perbedaan antar taraf pada perlakuan budidaya padi dan pemupukan menurut uji Duncan pada kepercayaan 95% (Tabel 18). Tabel 18.
Kandungan hara N, P dan K jerami dan gabah tanaman pada budidayapadi dan pemupukan di persawahan pasang surut Kalimantan Selatan
Budidaya/pemupukan Budidaya padi Konvensional SRI Pemupukan Kompos Jerami 0 0 ++ ++ ++ ++ ++ + KK (%)
NPK 0 100 0 25 50 75 100 100
%N jerami gabah
%P jerami gabah
%K jerami gabah
0.67 b 0.81 a
1.16 1.18
0.12 b 0.15 a
0.30 0.32
1.02 b 1.21 a
0.25 b 0.32a
0.68 0.78 0.64 0.87 0.66 0.83 0.73 0.74 1.11*
1.03 bc 1.27 ab 0.93 c 1.14 bc 1.14 bc 1.42 a 1.28 ab 1.18 abc 19.84
0.14 0.15 0.14 0.12 0.14 0.13 0.14 0.13 18.32
0.31 0.31 0.29 0.31 0.34 0.30 0.33 0.30 15.23
0.67 c 1.23 ab 1.04 b 1.06 b 1.14 ab 1.17 ab 1.31 a 1.32 a 15.85
0.28 0.29 0.28 0.28 0.28 0.29 0.29 0.29 6.60
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan dari perlakuan yang diberikan menurut uji Duncan pada taraf nyata 5%. 0 = tanpa pemberian pupuk atau kompos; ++ = kompos diperkaya Azotobacter; + = kompos tidakdiperkaya Azotobacter; 25, 50, 75 dan 100 = persen dosis pupuk N, P dan K; 100% dosis pupuk = 250 kg Urea/ha; 100 kg SP36/ha dan 75 kg KCl/ha. KK = Koefisien keragaman; * = data transformasi
Pada Tabel 18 terlihat bahwa kandungan hara N, P dan K jerami serta K gabahbudidaya SRI masing-masing sebesar 0.81% N, 0.15%P, 1.21% K jerami
66 dan 0.32% K gabahnyata lebih tinggi dibandingkan dengan budidaya padi konvensional masing-masing sebesar 0.67%N, 0.12%P, 1.02%K jerami dan 0.25% K gabah. Selain disebabkan oleh ketersediaan hara N, P dan K pada budidaya SRI lebih tinggi dibanding dengan budidaya padi konvensional, diduga perkembangan akar budidaya SRI yang lebih baik dibanding dengan budidaya padi konvensional sehingga unsur-unsur tersebut lebih mudah terserap oleh tanaman pada budidaya SRI dibanding dengan budidaya konvensional. Sama halnya dengan ketersediaan hara K dalam tanah, kandungan hara K jerami cenderung mengalami peningkatan dengan semakin meningkatnya dosis pemupukkan pada kompos jerami diperkaya Azotobacter (1.04-1.31% K), dan pemberian kompos jerami diperkaya Azotobacterdengan 50% dosis pupuk N, P dan K (1.14%K) nyata lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (0.67%K) serta tidak berbeda dengan kompos jerami diperkaya Azotobacterataupun tidak dengan 100% dosis pupuk N, P dan K (1.31-1.32%K). Kemampuan kompos jerami dalam meningkatkan kandungan hara K jerami terlihat pada pemberian 100% dosis pupuk N, P dan K; dimana pemberian kompos jerami yang diperkaya Azotobacter ataupun tidak secara nyata lebih tinggi dibanding kontrol, sedangkan tanpa pemberian kompos jerami tidak menunjukan perbedaannya dengan kontrol. Kandungan hara N gabah pada pemberian kompos jerami diperkaya Azotobacter dengan 75% dosis pupuk N, P dan K (1.42%N) tidak berbeda dengan kompos jerami diperkaya Azotobacter ataupun tidak dengan 100% dosis pupuk N, P dan K (1.28 dan 1.18% N), tetapi nyata lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol dan pemberian kompos diperkaya Azotobacter0-50% dosis pupuk N, P dan K (0.93-1.14%N). Kemampuan Azotobacter dalam memasok hara N tanaman dapat terlihat pada pemberian 100% dosis pupuk N, P dan K, dimana pemberian kompos jerami diperkaya Azotobacter cenderung lebih kuat pengaruhnya terhadap peningkatan kandungan N gabah terhadap kontrol dibanding dengan kompos jerami yang tidak diperkaya. Serapan hara N, P dan K padi Ciherang. Jumlah hara yang diambil oleh tanaman dihitung berdasarkan penjumlahan dari persen kandungan hara pada jerami dikalikan dengan bobot kering jerami ditambah dengan persen hara pada gabah dikalikan dengan bobot gabah kering giling dalam luasan satu hektar. Hasil
67 perhitungan serapan hara N, P dan K pada tanaman dapat dilihat pada Tabel Lampiran 16. Analisis ragam untuk mengetahui pengaruh budidaya padi dan pemupukan terhadap serapan hara tanaman dapat dilihat pada Tabel Lampiran 17. Perlakuan budidaya padi dan pemupukan masing-masing berpengaruh nyata terhadap serapan hara N, P dan K tanaman, tetapi interaksi antara budidaya padi dan pemupukan tidak menunjukkan pengaruhnya terhadap serapan hara N, P dan K tanaman. Perbedaan antar taraf pada masing-masing perlakuan menurut uji Duncan pada kepercayaan 95% dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19. Serapan hara N, P dan K tanaman pada perlakuan budidaya padi dan pemupukan di persawahan pasang surut Kalimantan Selatan. Budidaya/pemupukan Budidaya padi Konvensional SRI Pemupukan Kompos Jerami 0 0 ++ ++ ++ ++ ++ + KK (%)
NPK 0 100 0 25 50 75 100 100
N
Serapan hara (Kg/ha) P K
57.4 b 92.2 a
13.7 b 20.7 a
34.2 b 71.9 a
46.3 c 95.3 a 59.5 bc 70.9 abc 59.5 bc 82.1 ab 98.5 a 79.4 ab 7.2*
12.0 d 21.1 ab 16.3 bcd 14.3 cd 15.1 bcd 15.4 bcd 23.3 a 18.5 abc 10.0*
26.8 c 65.0 a 44.5 b 50.3 b 46.6 b 50.3 ab 68.0 a 66.2 a 26.48*
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan dari perlakuan yang diberikan menurut uji Duncan pada taraf nyata 5%. 0 = tanpa pemberian pupuk atau kompos; ++ = kompos diperkaya Azotobacter; + = kompos tidak diperkaya Azotobacter; 25, 50, 75 dan 100 = persen dosis pupuk N, P dan K; 100% dosis pupuk = 250 kg Urea/ha; 100 kg SP36/ha dan 75 kg KCl/ha. KK = Koefisien keragaman; * = data transformasi
Tingginya kandungan hara N, P dan K jerami serta K gabah pada budidaya SRI dibanding dengan budidaya padi konvensional diikuti oleh serapan hara N, P dan K pada budidaya SRI yang lebih tinggi dibanding dengan budidaya padi konvensional. Serapan hara N, P dan K padi Ciherang pada budidaya SRI yaitu sebesar 92.2 kgN/ha, 20.7 kgP/ha dan 71.9 kgK/ha nyata lebih besar dibandingkan dengan budidaya padi konvensional yaitu sebesar 57.4 kgN/ha, 13.7kgP/ha dan
68 34.2 kgK/ha. Dobermann & Fairhurst (2000) mengemukakan bahwa serapan hara N, P dan K padi varietas baru berkisar 15-20 kgN/ton, 2.5-3.5 kgP/ton dan 14-20 kgK/ton gabah.
Serapan hara N, P dan K pada budidaya SRI adalah 21.25
kgN/ton, 4.77 kgP/ton dan 16.57 kgK/ton gabah, dan pada budidaya konvensional masing-masing sebesar 16.11 kgN/ton, 3.84 kgP/ton dan 9.59 kgK/ton gabah. Pemberian kompos jerami padi yang diperkaya mampu menekan penggunaan pupuk N, P dan K hingga 25% pada serapan hara N dan K, tetapi belum terlihat pada serapan hara P. Pada Tabel 18 terlihat bahwa serapan hara N dan K tanaman pada pemberian kompos diperkaya Azotobacter dengan 75% dosis pupuk N, P dan K (82.1 kgN/ha dan 50.3 kgK/ha) lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (46.3 kgN/ha dan 26.8 kgK/ha), dan tidak berbeda dengan pemberian kompos jerami yang diperkaya Azotobacter ataupun tidak dengan 100% dosis pupuk N, P dan K (79.4-98.5 kgN/ha dan 66.2-68.0 kgK/ha) ataupun pemberian 100% pupuk N, P dan K tanpa kompos (95.3 kgN/ha dan 65 kgK/ha). Azotobacter menunjukkan peranannya dalam memasok hara N tanaman, dimana pada 100% dosis pupuk N, P dan K terlihat bahwapemberian kompos diperkaya Azotobacter (98.5 kgN/ha) cenderung lebih tinggi dibanding dengan kompos tidak diperkaya (79.4 kgN/ha). Pemberian kompos jerami diperkaya Azotobacter belum mampu menekan penggunaan pupuk N, P dan K terhadap serapan P tanaman, dimana hanya pada pemberian kompos diperkaya Azotobacteratau tidak dan 100% dosis pupuk N, P dan K (23.3 dan 18.5kgP/ha)yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (12.0kgP/ha), sedangkan pemberian kompos diperkaya Azotobacter dengan 075% dosis pupuk N, P dan K (14.3-16.3 kgP/ha) tidak menunjukkan perbedaan dengan kontrol.Namun demikian, seperti halnya serapan hara N tanaman, Azotobacter cenderung menunjukkan pengaruhnya terhadap serapan hara P tanaman. Pada pemberian 100% dosis pupuk N, P dan K, kompos jerami diperkaya Azotobacter(23.3kgP/ha) cenderung lebih tinggi pemberian kompos jerami tidak diperkaya (18.5kgP/ha).
Kemampuan Azotobacter RG.3.62
menghasilkan senyawa aktif IAA diduga mendorong pertumbuhan akar sehingga meningkatkan serapan hara P tanaman.
69 Efisiensi serapan hara N, P dan K tanaman.
Efisiensi serapan hara N, P
dan K tanaman pada perlakuan budidaya padi dan pemupukan dapat dilihat pada Tabel Lampiran 18. Analisis ragam pengaruh dari perlakuan budidaya padi dan pemupukan terhadap efesiensi serapan hara N, P dan K tanaman dapat dilihat pada Tabel Lampiran 19.
Perlakuan budidaya padi berpengaruh nyata terhadap
efisiensi serapan hara N, P dan K, dan perlakuan pemupukan berpengaruh nyataterhadap efisiensi hara N, P dan K. Interaksi antara perlakuan budidaya padi dan pemupukan tidak berpengaruh terhadap efisiensi serapan hara N, P dan K tanaman. Perbedaan antara taraf pada kedua perlakuan tersebut berdasarkan uji Duncan pada kepercayaan 95% disajikan pada Tabel 20. Tabel 20. Efisiensi serapan hara N, P dan K tanaman pada perlakuan budidaya padi dan pemupukan di persawahan pasang surut Kalimantan Selatan Budidaya/pemupukan Budidaya padi Konvensional SRI Pemupukan Kompos Jerami 0 0 ++ ++ ++ ++ ++ + KK (%)
NPK 0 100 0 25 50 75 100 100
Efesiensi serapan hara (%) N P K 19.9 b 36.4 a
11.5b 28.4 a
21.8 b 33.5 a
43.6a 23.8 ab 4.8b 33.7 a 39.9 a 17.7 ab 24.1
36.5 a 7.9bc 14.5b 15.7b 22.7 ab 15.9b 3.9*
29.1ab 34.3 a 10.7 c 17.6 bc 35.1 a 16.6 b 1.8*
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan dari perlakuan yang diberikan menurut uji Duncan pada taraf nyata 5%. 0 = tanpa pemberian pupuk atau kompos; ++ = kompos diperkaya Azotobacter; + = kompos tidak diperkaya Azotobacter; 25, 50, 75 dan 100 = persen dosis pupuk N, P dan K; 100% dosis pupuk = 250 kg Urea/ha; 100 kg SP36/ha dan 75 kg KCl/ha. KK = Koefisien keragaman; * = data transformasi
Pada Tabel 20 terlihat bahwa serapan hara N, P dan K tanaman pada budidaya SRI lebih efisiensi dibandingkandengan budidaya padi konvensional. Efisiensi serapan hara N, P dan K pada budidaya SRI masing-masing sebesar 36.4% N, 28.4% P dan 33.5%K nyata lebih tinggi dibanding dengan budidaya
70 padi konvensional masing-masing sebesar 19.9% N, 11.5% P dan 21.8% K. Selain ketersediaan hara yang lebih tinggi, perbaikan sistem parakaran tanaman dan kurangnya persaingan pengambilan hara dengan jarak tanam jarang pada budidaya SRI meningkatkan serapan hara tanaman. Pemberian kompos jerami diperkaya mampu menekan penggunaan pupuk N, P dan K sebesar 25% terhadap peningkatan efisiensi serapan hara N dan K. efisiensi serapan hara Npada pemberian kompos diperkaya Azotobacter dengan 25dan 75 % dosis pupuk N, P dan K yaitu 23.8dan 33.7% tidak berbeda dengan pemberian 100% dosis pupuk N, P dan Ktanpa kompos jerami (43.6%). Demikian juga halnya dengan efisiensi serapan hara K, pemberian kompos diperkaya Azotobacter dengan 25 dan 75% dosis pupuk N, P dan K (34.3 dan 17.6%) tidak berbeda dengan pemberian 100% dosisi pupuk N, P dan K tanpa kompos jerami (29.1%).Meskipun demikian, efisiensi serapan hara N dan K pada pemberian kompos diperkaya Azotobacter dengan 50% dosis pupuk N, P dan K masing-masing sebesar 4.8% dan 10.7% lebih rendah dibanding efisiensi serapan perlakuan lainnya. Efisiensi serapan hara P tanaman pada pemberian kompos diperkaya Azotobacter dengan 25, 50 dan 75% dosis pupuk N, P dan K (masing-masing sebesar 9.7, 14.5 dan 15.7%) nyatalebih rendah dibandingkan dengan pemberian 100% dosis pupuk N, P dan Ktanpa kompos (36.5%). Efisiensi serapan hara P tanaman pada pemberian kompos diperkaya Azotobacter dengan 100% dosis pupuk N, P dan K tidak berbeda dengan dengan pemberian 100% dosis pupuk N, P dan K tanpa kompos. Hal ini menunjukan bahwa kompos jerami diperkaya Azotobacterbelum mampu mengefisienkan serapan hara P tanaman. Peranan Azotobacter dalam memasok N dan menghasilkan senyawa aktif IAA sehingga mampu meningkatkan efisiensi serapan hara.
Pada Tabel 19
terlihat bahwa pada pemberian 100% dosis pupuk N, P dan K, efisiensi serapan hara N, P dan K pada pemberian kompos diperkaya Azotobactercenderung lebih tinggi dibanding permberian kompos tidak diperkaya. Potensi keracunan Fe, Al dan Mn pada budidaya padi SRI dan konvensional Kelebihan besi yang diserap menyebabkan keracunan besi,akibat dari tingginyakelarutan Fe tanah. Kelarutan Fe dalam tanah yang dapat meracuni
71 tanaman adalah lebih dari 300 ppm (Dobermann & Fairhurst 2000). Pada Tabel Lampiran 20 terlihat bahwa kisaran Fe tersedia terekstrak NH 4 -asetat pH 4.8 pada awal tanam (14 HST) dari 368.2 hingga 939.4 ppm Fe, dan pada saat panen berkisar antara 308.5 hingga 502.0 ppm Fe.Tetapi seperti jugadikemukakan Kasno (2009) bahwa keracunan besi pada padi terjadi jika kadar Fe larut tanah lebih dari 2000 ppm Fe, hal ini dapat terjadi di persawahan pasang surut ketika besi terekspos ke permukaan tanah. Analisis ragam untuk mengetahui pengaruh dari perlakuan budidaya padi dan pemupukan terhadap Fe tersedia terekstrak NH 4 -asetat 1N pH 4.8 dapat dilihat pada Tabel Lampiran 21. Perlakuan budidaya padi tidak berpengaruh nyata terhadap Fe tersedia pada 14 HSTdan saat panen. Perlakuan pemupukan berpengaruh nyata terhadap Fe tersedia tanah saat 14 HST, tetapi tidak berpengaruh terhadap Fe tersedia tanah pada saat panen.
Interaksi antara
perlakuan budidaya padi dan pemupukan tidak menunjukkan pengaruhnya terhadap Fe tersedia tanah, pada saat 14 HST maupun saat panen. Uji Duncan pada taraf nyata 5% untuk mengetahui perbedaan antar taraf perlakuan pemupukan terhadap kelarutan Fe tanah dapat dilihat pada Tabel 21.Pemberian kompos jerami diperkaya Azotobacter mampu menekan kandungan Fe tersedia sehingga nyata lebih rendah jika dibanding kontrol. Kandungan Fe tersedia tanah saat 14 HST pada kompos jerami diperkaya Azotobactertanpa pupuk N, P dan K sebesar 557.7 ppm Fe sedangkan kandungan K tersedia tanah pada kontrol sebesar 867.1 ppm Fe. Pada Tabel 21 terlihat bahwa kandungan Fe tersedia terekstrak NH 4 -asetat 1N pH 4.8 cenderung mengalami peningkatan dengan semakin meningkatnya pemberian dosis pupuk N, P dan K pada kompos diperkaya Azotobacter. Meskipun demikian, Fe tersedia tanah saat 14 HST pada pemberian kompos diperkaya Azotobacter dengan 25% dosis pupuk N, P dan K sebesar 510.1 ppm Fe cenderung lebih rendah dibanding perlakuan lainnya.
Peningkatan
ketersediaan Fe tanah dapat terjadi ketika terjadi penurunan potensial reduksi dan peningkatan pemasaman tanah sehingga Fe menjadi terlarut dan menjadi tersedia pada tapak jerapan.
72 Tabel 21.
Fe tersedia tanah terekstrak NH 4 -asetat pH 4.8 pada perlakuan budidaya padi dan pemupukan di persawahan pasang surut Kalimantan Selatan Budidaya/pemupukan Budidaya padi Konvensional SRI Pemupukan Kompos Jerami NPK 0 0 0 100 ++ 0 ++ 25 ++ 50 ++ 75 ++ 100 + 100 KK (%)
Fe tersedia (ppm Fe) 14 HST Saat panen 636.3 675.5
389.1 381.8
867.1 a 773.9 ab 557.7 bc 510.1 c 567.2 bc 712.2 ab 646.4 ab 612.4 bc 3.2*
403.6 436.1 366.6 388.7 508.7 348.0 379.4 360.0 26.7
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan dari perlakuan yang diberikan menurut uji Duncan pada taraf nyata 5%. 0 = tanpa pemberian pupuk atau kompos; ++ = kompos diperkaya Azotobacter; + = kompos tidak diperkaya Azotobacter; 25, 50, 75 dan 100 = persen dosis pupuk N, P dan K; 100% dosis pupuk = 250 kg Urea/ha; 100 kg SP36/ha dan 75 kg KCl/ha. KK = Koefisien keragaman; * = data transformasi
Kandungan Fe, Al dan Mn tersedia terekstrak NH 4 -Asetat pH 4.8 yang diukur pada 49 HST (awal fase primordia)dapat dilihat pada Tabel Lampiran 22. Kandungan Fe tersedia tanah berkisar antara 226.0 hingga 533.5 ppm Fe, kandungan Al tersedia tanah berkisar 1.8 hingga 8.1 ppm Al dan kandungan Mn tersedia tanah dari 3.2 hingga 8.4 ppm Mn. Dobermann & Fairhurst (2000) mengemukakan bahwa kelarutan Al tanah berpotensi meracun dalam tanah berkisar 1-2 ppm Al. Sedangkan konsentrasi optimum Mn larutan dalam tanah berkisar 3-30 ppm Mn.
Analisis ragam untuk mengetahui pengaruh dari
perlakuan budidaya padi dan pemupukan terhadap ketersediaan Fe, Al dan Mn tanah disajikan pada Tabel Lampiran 23. Perlakuan budidaya padi berpengaruh nyata terhadap kandungan Fe dan Mn tersedia tanah, dan perlakuan pemupukan hanya berpengaruh Fe tersedia tanah.
Sedangkan interaksi antara perlakuan
budidaya padi dan pemupukan tidak berpengaruh nyata terhadap kelarutan Fe, Al dan Mn tanah.Perbedaan antar taraf dari masing-masing perlakuan
terhadap
73 kelarutan Fe, Al dan Mn menurut uji Duncan pada tingkat kepercayaan 95% pada Tabel 22. Budidaya padi SRI mampu menekan kandungan Fe dan Mn tersedia terekstrak NH 4 -Asetat pH 4.8 saat 49 HST.Pada Tabel 21 dapat dilihat bahwa kandungan Fe dan Mn tersedia pada budidaya SRI masing-masing 286.2 ppm Fe dan 3.8 ppm Mn nyata lebih rendah dibandingkan dengan budidaya padi konvensional masing-masing sebesar 472.9 ppm Fe dan 6.6 ppm Mn. Kondisi tanah pada budidaya SRI yang lebih oksidatif, bentuk Fe3+ lebih stabil berikatan dengan bahan organik atau berikatan dengan ion hidroksida sehingga mengurangi ketersediaannya dalam tanah.
Kertersediaan Fe tanah pada fase primordia padi
pada kontrol sebesar 458.4 ppm Fe adalah lebih tinggi dibanding dengan pada pemberian kompos jerami diperkaya Azotobacter dengan 100% dosis pupuk N, P dan K. Tabel 22. Kandungan Fe, Al dan Mn tersedia terekstrak NH 4 -Asetat pH 4.8 saat 49 HST pada perlakuan budidaya padi dan pemupukan di persawahan pasang surut Kalimantan Selatan Budidaya/pemupukan Budidaya padi Konvensional SRI Pemupukan Kompos Jerami 0 0 ++ ++ KK (%)
NPK 0 100 0 100
Fe
Unsur tersedia (ppm) Al Mn
472.9 a 286.2 b
4.4 2.7
6.6 a 3.8 b
458.4 a 409.0 ab 390.9 ab 259.8 b 13.3*
3.3 5.4 3.2 2.1 13.4*
5.2 4.1 5.8 5.6 28.2
Keterangan: Terekstrak dengan NH 4 -asetat 1N pH 4.8 Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan dari perlakuan yang diberikan menurut uji Duncan pada taraf nyata 5%. 0 = tanpa pemberian pupuk atau kompos; ++ = kompos diperkaya Azotobacter; + = kompos tidak diperkaya Azotobacter; 100 = persen dosis pupuk N, P dan K; 100% dosis pupuk = 250 kg Urea/ha; 100 kg SP36/ha dan 75 kg KCl/ha. KK = Koefisien keragaman; * = data transformasi
Kandungan Fe, Al dan Mn terikat bahan organik pada fase primordia dapat dilihat pada Tabel Lampiran 24. Kandungan Fe terikat bahan organik berkisar antara 662.7 hingga 728.8 ppm Fe, kandungan Al terikat bahan organik berkisar antara 4.3 hingga 7.3 ppm Al dan Kandungan Mn terikat bahan organik berkisar
74 70.5 hingga 355.7 ppm Mn. Analisis ragam untuk mengetahui pengaruh dari perlakuan budidaya padi dan pemupukan terhadap kandungan Fe, Al dan Mn terikat bahan organik dapat dilihat pada Tabel Lampiran 25.
Perlakuan
pemupukan hanya berpengaruh nyata terhadap kandungan Al terikat bahan organik, sedangkan perlakuan budidaya padi ataupun interkasi perlakuan budidaya padi dan pemupukan tidak berpengaruh terhadap kandungan Fe, Al dan Mn yang terikat bahan organik. Perbedaan taraf perlakuan pemupukan terhadap kandungan Al terikat bahan organik dapat dilihat pada Tabel 23.
Pengikatan kandungan Al oleh bahan
organik mengalami peningkatan dengan pemberian kompos jerami. Hal ini dapat dilihat bahwa pemberian kompos
diperkaya Azotobacter dengan 100% dosis
pupuk N, P dan K sebesar 6.6 ppm Al adalah lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa pemberian pupuk N, P dan K (4.4 ppm Al) dan kontrol (4.6 ppm Al). Tabel 23. Kandungan Fe, Al dan Mn tanah terikat bahan organik pada perlakuan budidadya padi dan pemupukan di persawahan pasang surut Kalimantan Selatan Budidaya/pemupukan Budidaya padi Konvensional SRI Pemupukan Kompos Jerami 0 0 ++ ++ KK (%)
NPK 0 100 0 100
Bentuk terikat bahan organik (ppm) Fe Al Mn 671.4 695.3
5.3 5.6
131.3 164.8
681 656.6 699.9 695.9 13.3*
4.5b 4.4 b 6.1 ab 6.6 a 25.4
.98.8 131.2 253.1 109.1 16.4*
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan dari perlakuan yang diberikan menurut uji Duncan pada taraf nyata 5%. 0 = tanpa pemberian pupuk atau kompos; ++ = kompos diperkaya Azotobacter; + = kompos tidak diperkaya Azotobacter; 100 = persen dosis pupuk N, P dan K; 100% dosis pupuk = 250 kg Urea/ha; 100 kg SP36/ha dan 75 kg KCl/ha. KK = Koefisien keragaman; * = data transformasi
Kandungan Fe, Al dan Mn jaringan. Kandungan Fe, Al dan Mn jaringan pada perlakuan budidaya padi dan pemupukan dapat dilihat pada Tabel Lampiran 26. Keracunan Fe akan terlihat langsung dari kandungan Fe jaringan tanaman.
75 Kandungan Fe jaringan pada budidaya padi dan pemupukan disajikan dalam bentuk grafik pada Gambar 21. Kandungan Fe jaringan pada budidaya padi SRI berada pada kisaran sedang yaitu di bawah 100 ppm Fe, kecuali perlakuan 100% pupuk N, P dan K tanpa kompos yang sudah berada pada kisaran kecukupan sedang (≥ 100 ppm Fe).
Sedangkan budidaya padi konvensional sudah berada
pada kisaran kecukupan sedang (150-200 ppm Fe) hingga tinggi (> 200 ppm Fe). Kandungan Fe jaringan pada pemberian 100% dosis pupuk N, P dan K tanpa kompos pada budidaya konvensional sebesar 342.2 ppm Fe.
Seperti
dikemukakan oleh Dobermann & Fairhurt (2000) bahwa batas optimum kandungan Fe pada padi adalah 100-150 ppm Fe dan batas kritis keracunan Fe adalah 300-500 ppm Fe. 550,0
konvensional
500,0
SRI
Fe jaringan (ppm Fe)
450,0 400,0 350,0 300,0 250,0 200,0 150,0 100,0 50,0 0,0 K
NPK
JA0
JA25 JA50 Pemupukan
JA75
JA100
J100
Keterangan: K= Kontrol; JA0 = Kompos jerami diperkaya Azotobacter; NPK = 100% dosis pupuk kimia N, P dan K; JA25 = Kompos jerami diperkaya Azotobacter + 25% dosis pupuk kimia N, P dan K; JA50 = Kompos jerami diperkaya Azotobacter + 50% dosis pupuk kimia N, P dan K; JA75 = Kompos jerami diperkaya Azotobacter + 75% dosis pupuk kimia N, P dan K; JA100 = Kompos jerami diperkaya Azotobacter + 100% dosis pupuk kimia N, P dan K; J100 = Kompos jerami + 100% pupuk kimia N, P dan K (J100); 100% dosis pupuk = 250 kg Urea/ha; 100 kg SP36/ha dan 75 kg KCl/ha
Gambar 21.
Kandungan Fe jaringan padi Ciherang pada budidaya padi dan pemupukan di persawahan pasang surut Kalimantan Selatan
Analisis ragam untuk mengetahui pengaruh dari perlakuan budidaya padi SRI dan pemupukan terhadap kandungan Fe, Al dan Mn jaringan dapat dilihat pada Tabel Lampiran 27. Perlakuan budidaya padi berpengaruh nyata terhadap kandungan Fe jaringan padi, dan tidak berpengaruh nyata terhadap kandungan Al
76 dan Mn jaringan. Sedangkan perlakuan pemupukan ataupun interaksi perlakuan budidaya padi dan pemupukan tidak menunjukkan pengaruhnya terhadap kandungan Fe, Al dan Mn jaringan. Pada Tabel 24disajikan perbedaan antar tarap perlakuan budidaya padi terhadap kelarutan Fe jaringan menurut uji Duncan pada tingkat kepercayaan 95%. Kandungan Fe jaringan padi Ciherang pada budidaya padi SRI (87.8 ppm Fe) lebih rendah dibanding budidaya padi konvensional (241.8 ppm Fe). Kandungan Fe jaringan cara budidaya konvensional sudah berada dalam jumlah yang tinggi dari batas kecukupan Fe jaringan. Leiwakabessy dan &Sutandi (1998) menyebutkan batas kecukupan tinggi kandungan Fe jaringan adalah lebih dari 200 ppm Fe jaringan. Tabel 24. Kandungan Fe jaringan jerami padi Ciherang pada perlakuan budidaya padi di persawahan pasang surut Kalimantan Selatan Budidaya
Fe jaringan (ppm Fe)
Konvensional SRI
241.83 a 87.75 b
KK =18.92* Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada masing-masing faktor menunjukkan tidak ada perbedaan dari perlakuan yang diberikan menurut uji Duncan pada taraf nyata 5%. * = data transformasi
Kandungan Al jaringan pada budidaya padi SRI dan konvensional masingmasing 0.6 dan 0.7 ppm Al, dan kandungan Mn jaringan dari kedua budidaya padi tersebut 60.5 dan 51.0 ppm Mn. Sementara Kandungan Al dan Mn jaringan pada perlakuan pemupukan adalah 0.4-1.0 ppm Al; dan 53.7-64.0 ppm Mn. Kandungan Al jaringan yang diperoleh dari dua budidaya padi tersebut masih berada dibawah kisaran yang dapat meracuni tanaman, dan kandungan Mn jaringan yang diperoleh masih berada pada batas optimum jaringan tanaman, sehingga tidak berbahaya bagi tanaman.
Dobermann & Fairhurst (2000)
menyebutkan bahwa batas optimum kandungan Al jaringan optimum padi antara 15-18 ppm Al dan lebih dari 100 ppm unsur ini sudah meracuni tanaman. Sementara batas optimum kandungan Mn jaringan berkisar antara 50 hingga 150 ppm Mn.
77 Viabilitas mikrob selulolitik dan Azotobacter pada budidaya padi SRI dan Konvensional Keberadaan mikrob selulolitik yang diinokulasikan pada kompos jerami dan Azotobacter untuk memperkaya kompos jerami pada pemupukan merupakan aspek penting mendukung keberlanjutan pertanian di lahan pasang surut. Total populasi mikrob selulolitik dan Azotobacterpada perlakuan budidaya padi dan pemupukandapat dilihat pada Tabel Lampiran 28.
Total populasi mikrob
selulolitik berkisar antara 1.45 x 101 dan 3.89 x 107sel/g tanah dan total populasi Azotobacterberkisar antara 1.12 x 101 dan 7.59 x 105sel/g tanah. Total populasi mikrob selulolitik pada budidaya padi konvensional 6.59 x 106 sel/g tanah dan pada budidaya SRI 8.84 x 106sel/g tanah.Total populasi Azotobacter pada budidaya SRI 2.12 x 105 sel/g tanah cenderung lebih tinggi dibanding pada budidaya konvensional yaitu 5.56 x 104 sel/g tanah. Total populasi kedua mikrob tersebut pada masing-masing perlakuan disajikan dalam bentuk grafik pada Gambar 22. 800000
45000000 konvensional SRI
700000
35000000
600000
30000000
500000
25000000
400000
20000000
300000
15000000 10000000
200000
5000000
100000
sel Azotobacter / g tanah
Sel Selulolitik/g tanah
40000000
0 J100
JA100
JA75
JA50
JA25
JA0
K
NPK
J100
JA100
JA75
JA50
JA25
JA0
K
NPK
0
Keterangan: K= Kontrol; JA0 = Kompos jerami diperkaya Azotobacter; JA25 = Kompos jerami diperkaya Azotobacter + 25% dosis pupuk kimia N, P dan K; JA50 = Kompos jerami diperkaya Azotobacter + 50% dosis pupuk kimia N, P dan K; JA75 = Kompos jerami diperkaya Azotobacter + 75% dosis pupuk kimia N, P dan K; JA100 = Kompos jerami diperkaya Azotobacter + 100% dosis pupuk kimia N, P dan K; J100 = Kompos jerami + 100% pupuk kimia N, P dan K (J100); 100% dosis pupuk = 250 kg Urea/ha; 100 kg SP36/ha dan 75 kg KCl/ha
Gambar 22. Populasi mikrob selulolitik dan Azotobcter pada budidaya padi dan pemupukan pada saat panen
78 Pada Gambar 22 terlihat bahwa populasi mikrob selulolitik pada budidaya padi konvensional banyak ditemukan pada pemberian kompos diperkaya Azotobacter dengan 50% dosis pupuk N, P dan K yaitu 2.24 x 107 sel/g bahan dan Azotobacter pada pemberian 25% dosis pupuk N, P dan K yaitu 3.31 x 105 sel/g bahan. Sedangkan pada budidaya padi SRI, populasi mikrob selulolitik dan Azotobacter banyak ditemukan pada pemberian kompos diperkaya Azotobacter dengan 75% dosis pupuk N, P dan K masing-masing sebanyak 3.89 x 107 sel/g bahan dan 7.59 x 105 sel/g bahan. Berdasarkan jumlah populasi yang paling banyak ditemukan, populasi mikrob selulolitik dan Azotobacter pada budidaya padi SRI lebih tinggi dibanding budidaya padi konvensional pada saat panen. Total populasi selulolitik pada budidaya SRI hampir 2 kali dibanding dengan budidaya padi konvensional dan total populasi Azotobacter pada budidaya SRI hampir 4 kali dibandingkan dengan budidaya padi konvensional Kandungan hara N, P dan K total dan tersedia setelah panen dapat dilihat pada Tabel Lampiran 29, dan hasil analisis ragam pada Tabel Lampiran 30 menunjukkan bahwa perlakuan budidaya padi berpengaruh nyata terhadap kandungan hara K total dan tersedia tanah. Perlakuan pempukkan berpengaruh nyata terhadap kandungan hara N total dan N-mineral (NH 4 dan NO 3 ). Sedangkan interaksi dari kedua perlakuan tidak berpengaruh terhadap kandungan hara N, P dan K total dan tersedia.Perbedaan antar taraf masing-masing perlakuan terhadap kandungan N dan K total dan tersedia tanah menurut uji Duncan pada tingkat kepercayaan 95% dapat dilihat pada Tabel 25. Kandungan hara K tersedia pada budidaya SRI sebesar 133.3 ppm K lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan hara tersebut pada budidaya padi konvensional yaitu sebesar 90.2 ppm K. Kandungan hara N total pada pemberian kompos diperkaya Azotobacter tanpa pupuk N, P dan K atau dengan 75% dosis pupuk N, P dan K masing-masing sebesar 0,12 %N lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol yaitu sebsar 0,08 %N dan kedua perlakuan tersebut tidak berbeda dengan pemberain 100% dosis pupuk N, P dan K. Kandungan N-NH 4 tanah pada pemberian kompos diperkaya Azotobacter tanpa pupuk N, P dan K sebesar 15.42 ppm N adalah lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol dan pemberian kompos diperkaya Azotobacter dengan 25 hingga 100% dosis pupuk N, P dan K sebesar
79 `1.6 hingga 8.7 ppm N.
Kandungan hara N-NO 3 pada pemberian kompos
diperkaya Azotobacter dengan 25% dosis pupuk N, P dan K sebesar 76.1 ppm N lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (61.46 ppm N) dan tidak berbeda dengan pemberian 100% dosis pupuk N, P dan K yang diberi kompos tanpa Azotobacter ataupun tanpa kompos (65.1 dan 60.0 ppm N). Tabel 25. Kandungan hara N, P dan K tanah saat panen pada perlakuan budidaya padi dan pemupukan di persawahan pasang surut Kalimantan Selatan Budidaya/pemupukan Budidaya padi Konvensional SRI Pemupukan Kompos Jerami 0 0 ++ ++ ++ ++ ++ + KK (%)
NPK 0 100 0 25 50 75 100 100
N total (%)
N-NH 4 N-NO 3 (ppm N) (ppm N)
P-tersedia K-tersedia (ppm P) (ppm K)
0.11 0.11
6.85 6.72
48.85 48.81
11.9 13.3
90.26 b 133.34 a
0.08 c 0.10 bc 0.12 ab 0.10 bc 0.10 bc 0.12 ab 0.14 a 0.13 a 22.98
1.61 c 4.25 bc 15.42 a 8.74 b 6.22 b 7.14 b 4.61 bc 6.30 b 9.98*
43.63 bc 65.08 ab 61.46 ab 76.06 a 18.86 d 24.64 dc 40.92 b 60.01 ab 9.88*
10.1 16.0 7.8 10.1 12.8 13.5 15.0 15.7 2.61*
88.43 114.54 82.55 110.83 113.47 110.37 133.52 140.69 8.28
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan dari perlakuan yang diberikan menurut uji Duncan pada taraf nyata 5%. 0 = tanpa pemberian pupuk atau kompos; ++ = kompos diperkaya Azotobacter; + = kompos tidak diperkaya Azotobacter; 25, 50, 75 dan 100 = persen dosis pupuk N, P dan K; 100% dosis pupuk = 250 kg Urea/ha; 100 kg SP36/ha dan 75 kg KCl/ha. KK = Koefisien keragaman; * = data transformasi
Kesimpulan 1. Kompos jerami diperkaya Azotobacter mampu menekan penggunaan pupuk N, P dan K sebesar 25% dosis pupuk yang direkomendasikan, dimana a. Kertersediaan hara N-NH 4 dan N-NO 3 pada pemberian kompos diperkaya Azotobacter tanpa pupuk N, P dan K dan ketersediaan hara K pada kompos diperkaya Azotobacterdengan 50% dosis pupuk N, P dan K lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol dan tidak berbeda dengan pemberian 100% dosis pupuk N, P dan K.
80 b. Kandungan P-tersedia tanah budidaya SRI pada pemberian kompos diperkaya Azotobacter dengan 75% dosis pupuk N, P dan K lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol dan K tidak berbeda dengan pemberian 100% dosis pupuk N, P dan K. c. Tinggi tanaman, jumlah gabah per malai, bobot 100 butir, dan produksi padi pada pemberian kompos jerami diperkaya Azotobacterdan 75% dosis pupuk N, P dan K tidak berbeda dengan pemberian 100% dosis pupuk N, P dan K. d. Jumlah anakan produktif, panjang malai, bobot kering jerami, serapan dan efisiensi serapan N dan K pada pemberian kompos jerami diperkaya Azotobacterdan 25% dosis pupuk N, P dan K tidak berbeda dengan pemberian 100% dosis pupuk N, P dan K. 2. Budidaya padi SRI dapat diterapkan
di persawahan pasang surut tipe B
Kalimantan Selatan pada musim kemarau, dimana a. Kandungan hara N-NH 4 dan K-tersedia tanah pada budidaya SRI pada awal tanam lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan hara N-NH 4 dan K-tersedia tanah pada budidaya padi konvensional. b. Kandungan
P-tersedia
tanah
pada
pemberian
kompos
diperkaya
Azotobacter dengan 75-100% dosis pupuk N, P dan K pada budidaya SRI lebih tinggi dibandingkan budidaya padi konvensional. c. Anakan produktif, tinggi tanaman, jumlah gabah dan bobot kering jerami pada budidaya SRI lebih tinggi dibanding budidaya padi konvensional. d. Produksi padi Ciherang pada budidaya padi SRI (4.34 ton GKG/ha) hampir 22% lebih tinggi dibanding dengan budidaya konvensional (3.56 ton GKG/ha). e. Serapan dan efisiensi serapan hara N, P dan K tanaman pada budidaya SRI lebih tinggi dibanding pada budidaya padi konvensional. 3. Penerapan budidaya padi SRI di persawahan pasang surut mampu menekan potensi keracunan Fe terhadap padi, dimana a. Pada saat 49 HST, kandungan Fe tersedia tanah pada budidaya SRI lebih rendah dibandingkan dengan budidaya padi konvensional.
81 b. Pada saat panen, kandungan Fe jaringan padi Ciherang pada budidaya padi SRI lebih rendah dibanding budidaya padi konvensional. c. Pada saat 14 HST, pemberian kompos diperkaya Azotobacter mampu menekan kelarutan Fe tanah terekstrak NH 4 -asetat pH 4.8. 4. Berdasarkan total populasi tertinggi dari masing-masing budidaya padi, total populasi selulolitik pada budidaya SRI hampir 2 kali dibanding dengan budidaya padi konvensional dan total populasi Azotobacter pada budidaya SRI hampir 4 kali dibandingkan dengan budidaya padi konvensional.
PEMBAHASAN UMUM Mikrob Selulolitik di Persawahan Pasang Surut Kalimantan Selatan Lahan pasang surut adalah lahan yang menempati posisi peralihan antara wilayah daratan dan perairan.Lahan ini ada yang selalu terluapi air sepanjang tahun, beberapa bulan atau periodik kurang dari sebulan, selalu jenuh air atau mempunyai air tanah dangkal.Bentuk wilayah lahan pasang surut adalah sangat rata (flat) sejauh mata memandang, dengan ketinggian 0-0.5 m dpl di pinggir laut hingga5 m dpl di wilayah lebih ke pedalaman (Subagjo. 2006).Wilayah lahan pasang surut dipengaruhi intrusi dan endapan dari laut atau sungai yang bercampur dengan bahan endapan dari dataran lebih tinggi, menjadikan daerah ini memiliki kekhasan, yakni kombinasi akumulasi bahan organik, usur-unsur logam dan bahan mineral. Penggunaan lahan di daerah ini umumnya untuk pertanian tanaman pangan khususnya untuk tanaman padi seperti halnya di wilayah pasang surut di Kalimantan Selatan. Sistem tepulikamparadalah caramemanfaatkan jerami yang terdekomposisi secara alami di persawahan pasang surut Kalimantan Selatan.
Walaupun
membutuhkan waktu 2-3 bulan,proses dekomposisi tersebut melibatkan aktivitas mikrob selulolitik.Kondisi fisik lahan pasang surut bervariasi yang selalu tergenang, periodik tergenang atau tidak tergenang dengan sifat-sifat kimia yang bervariasi, yakni potensial redoks (aerob-anaerob), kemasaman (masam-netral), kelarutan
Fe,
Al
dan
Mn
serta
kandungan
hara
tanah(rendah-tinggi)
mempengaruhi keberadaan dan aktivitas mikrob selulolitik di lahan pasang surut. Mikrob selulolitik yang diisolasi dari persawahan lahan pasang surut di Kalimantan Selatan ini adalah mikrob yang hidupnya membutuhkan oksigen, dari kelompok mikrob aerob obligat, mikroaerofilik atau anaerob fakultatif. Dari 45 sumber isolat dari lahan pasang surut tipe A diperoleh 43 isolat fungi dan 25 isolat bakteri selulolitik, dari 42 sumber isolat dari lahan tipe B diperoleh 28 isolat fungi dan 31 isolat bakteri selulolitik, dan dari 13 sumber isolat dari lahan tipe C diperoleh 4 isolat fungi dan 12 isolat bakteri selulolitik. Sumber isolat dari lahan tipe A, yaitu daerah Beringin Kencana, Jelapat, Koanda, Purwosari I, Rumpiang, Simpang Nungki dan Tinggiran Baru Mekarsari, isolat
fungi
selulolitik
lebih
banyak
dibandingkan
dengan
bakteri
84 selulolitik.Kondisi lahan tipe A yang selalu tergenang pada sepanjang musim sehingga lahan dalam keadaan kekurangan oksigen lebih membatasi keberadaan bakteri selulolitik dibandingkan dengan fungi selulolitik.Berbeda dengan lahan tipe A, isolat fungi selulolitik lebih sedikit dibanding isolat bakteri selulolitik pada sumber isolat lahan tipe C di lokasi Sungai Tabuk dan Sungai Rangas, Kondisi lingkungan yang selalu aerob mendorong perkembangan dan keberadaan bakteri selulolitik di lahan ini. Pada lahan tipe B, isolat bakteri selulolitik pada lokasi Cerbon, Gambah Asahi, Marabahan dan Sungai Bamban lebih banyak dibandingkan pada fungi selulolitik, tetapi isolat fungi selulolitik di lokasi Beringin Kencana, Penggalaman dan Tinggiran baru lebih banyak dibandingkan bakteri selulolitik. Pasang surut air di lahan tipe B yang menyebabkan adanya penggenangan lahan pada beberapa bulan atau periodik penggenangan dalam satu bulan menimbulkan perubahan kondisi aerob dan anaerob tanah.Keberadaan dan keterbatasan oksigen tanah mempengaruhi keberadaan bakteri dan fungi selulolitik. Aktivitas Enzim Selulase Enzim selulaseterdiri dari tiga enzim ekstraselular yang bekerja secara sinergis dalam mendegredasi selulosa yakni endoglukonase, eksoglukanase dan β-glukosidase.Analisis ragam untuk mengetahui kemampuan isolat mikrob selulolitik yang berdasarkan lokasi dari sumber isolat terhadap kemampuannya dalam mengekskresikan tiga enzim tersebut dapat dilihat pada Tabel Lampiran 31. Kemampuan isolat-isolat dalam mengekskresikan endoglukanaseberdasarkan nilai indeks selulolitiknya berdasarkan lokasi sumber isolat dapat dilihat pada Gambar 23. Kemampuanmembentuk zonabening pada media CMC menunjukkan adanyaendoglukanaseyangmemutuskan ikatan β-1,4 glikosida pada selulosa amorf secaraacak dan banyaknyadaerah amorf pada CMC dapat menunjukkan aktivitas endoglukanase dalam menghidrolisis selulosa.Mikrob selulolitik memiliki endoglukonase (nilai indeks seluloliitik) tertinggi ditemukan di lahan tipe B lokasi Berambai yaitu 5.41 dan yang terendah ditemukan di lahan tipe C lokasi Sungai Tabuk yaitu 1.84. Kisaran nilai indeks selulolitik di lahan tipe A
85 berkisar antara 2.29 dan 3.72; lahan tipe B berkisar antara 2.66 dan 5.41, dan pada lahan tipe C berkisar antara 1.84 dan 3.34. Namun demikian dari kisaran nilai indeks selulolitik hanya pada lahan tipe B yang memiliki kenaikan nilai indeks secara nyata meningkat. Kondisi lingkungan pada lahan tipe A yang selalu anaerob dan lahan tipe Cyang selalu aerob menyebabkan kemampuan mikrob selulolitik pada kedua tipe tersebut relatif homogen sehingga tidak menunjukan peningkatan secara nyata aktivitas endoglukanase. Berbeda dengan lahan tipe A dan B, kondisi lahan tipe B yang berubah-rubah antara aerob dan anaerob diduga menyebabkan kemampuan mikrob selulolitik dari lahan ini lebih bervariasi kemampuannya
Lokasi (tipologi lahan)
dalam mengekskresikan endoglukanase. Berambai (tipe B) Beringin Kencana (tipe A) Cerbon (tipe B) Gambah Asahi (tipe B) Jelapat (tipe A) Koanda (tipe A) Marabahan (tipe B) Penggalaman (tipe B) Purwosari I (tipe A) Rumpiang (tipe A) Simpang Nungki (tipe A) Sungai Bamban (tipe B) Sungai Rangas (tipe C) Sungai Tabuk (tipe C) Tinggiran Baru mekarsari… Tinggiran Dalam (tipe B)
5,41 a 2,29 de 3,95 bc 2,66 cde 4,02 bc 3,08 cde 3,34 cde 5,03 ab 2,36 de 3,72 bcd 2,85 cde 2,87 cde 3,34 cde 1,84 e 3,81 bcd 2,72 cde indeks selulolitik
Keterangan: Koefisien Keragaman = 6.11. Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak menunjukkan perbedaan menurut uji Duncan pada taraf nyata 5%
Gambar23. Nilai indeks selulolitik dari isolat-isolat yang dimurnikanberdasarkan lokasi sumber isolat diperoleh Aktivitas enzim selulase pada substrat avicel memotong ujung substrat selulosa kristalin menunjukkan adanya aktivitas enzim ekso-1,4-β-glukanase atau eksoglukanase, dimana ujung rantai oligo-sakarida tersebut menjadi selobiosa, yaitu dua molekul glukosa yang berikatan secara β-1,4-glikosidik (Meryandini et al. 2009).
Selanjutnya, pemutusan β-1,4-glikosida dari dua molekul glukosa
dilakukan oleh glukosidase menjadi gula-gula reduksi sederhana. Analisis ragam
86 aktivitas eksoglukanase dan glukosidasemikrob selulolitik dari persawahan pasang surut Kalimantan Selatan berdasarkan lokasi sumber isolat dapat dilihat pada Tabel Lampiran 30 dan perbedaan masing-masing lokasi disajikan pada Tabel 26. Aktivitas eksoglukanase tertinggi ditemukan pada lahan tipe B Tinggiran Dalam sebesar 1.85 nkat/ml dan yang rendah ditemukan pada lahan tipe A simpang Nungki sebesar 0.27 nkat/ml. Kisaran aktivitas enzim eksoglukanase di persawahan pasang surut tipe A berkisar antara 0.27 dan 1.65 nkat/ml; lahan tipe B berkisar antara 0.37 dan 1.85 nkat/ml; dan lahan tipe C berkisar antara 0.31 dan 1.85 nkat/ml. Aktivitas enzim eksoglukanase mikrob selulolitik di lahan tipe A dan B secara nyata mengalami peningkatan dari aktivitas terendah hingga tertinggi. Tabel 26. Aktivitas enzim eksoglukanase dan gluloksidase dari 40 isolat selulolitikterseleksi berdasarkan lokasi sumber isolat Lokasi
Eksoglukanase
β-glukosidase
nkat/ml Berambai (tipe B) 0.61c 0.19 b Beringin Kencana (tipe A) 1.00 abc 0.13 b Cerbon (tipe B) 1.25 abc 0.20 b Gambah Asahi (tipe B) 0.47 c 0.16 b Jelapat (tipe A) 1.58 ab 1.52 a Koanda (tipe A) 0.56 c 0.02 b Marabahan (tipe B) 0.50 c 0.10 b Penggalaman (tipe B) 0.75 abc 0.06 b Purwosari I (tipe A) 0.52 c 0.23 b Rumpiang (tipe A) 1.65 ab 0.32 b Simpang Nungki (tipe A) 0.27 c 0.05 b Sungai Bamban (tipe B) 0.37 c 0.09 b Sungai Rangas (tipe C) 0.31 c 0.05 b Sungai Tabuk (tipe C) 1.10 bc 0.92 b Tinggiran Baru mekarsari (tipe A) 0.41c 0.27 b Tinggiran Dalam (tipe B) 1.85 a 0.06 b KK 2.09 1.79 Keterangan: KK = koefisien keragaman Angka-angka yang diikuti hurup yang sama pada masing-masing kolom menunjukkan tidak ada perbedaan dari lokasi menurut uji Duncan pada taraf nyata 5%.
Penetapan aktivitas selulase dilakukan menggunakan bufer fosfat pH 7, pada kondisi demikian, bersesuaian dengan umumnya lingkungan di lahan tipe A yang selalu tergenang cenderung memiliki pH netral, sehingga enzim yang dihasilkan lebih efektif.
Aktivitas enzim dipengaruhi oleh pH, karena sifat
87 ionikgugus karboksil dan gugus amino mudah dipengaruhioleh pH. Perubahan pH yang
tidak
enzimberubah.
sesuai
akanmenyebabkan
Perubahan
pH
juga
daerah
katalitik
dan
menyebabkandenaturasi
konformasi enzim
dan
mengakibatkan hilangnyaaktivitas enzim.Meryandini et al. (2009) mengemukakan bahwa Mikrob selulolitik memiliki keragaman pH optimum. Mikrob selulolitik dari lingkungan masam akan memiliki pH optimum bersifat asam, dari lingkungan pH netral dan basa umumnya memiliki pH optimum netral dan alkali. Pada Tabel 25 dapat dilihat bahwa aktivitas β-glukosidase dalam menghasilkan gula reduksi sederhana. Isolat-isolat mikrob selulolitik pada tipe A lokasi Jelapat memiliki aktivitas β-glukosidaselebih tinggi dari yang lainnya yaitu sebesar 1.52 nkat/ml.Aktivitas β-glukosidase dari mikrob selulolitik dari persawahan pasang surut Kalimantan Selatan berkisar antara 0.05 dan 1.52 nkat/ml.
Aktivitas enzim β-glukosidase dari lahan tipe A Jelapat merupakan
aktivitas enzim tertinggi 1.52 nkat/ml.
Keadaan lahan yang tergenang di
persawahan pasang surut tipe A dan adanya periodik penggenangan di tipe B perubahan oksidasi-reduksi tanah menimbulkan perubahan terhadap kemasaman tanah dari kondisi yang masam/sangat masam hingga mendekati netral. Sehingga beberapa mikrob selulolitik yang ditemukan di daerah ini mampu beraktivitas dengan baik ketika berada di lingkungan pH tanah mendekati netral. Ketahanan terhadap perubahan pH Cara mikrob dalam menghadapi perubahan pH ekstrim (kondisi yang sangat masam atau alkalis) secara morfologi dengan pembentukan spora.Pada beberapa jenis bakteri membentuk endospora dengan mengubah sel vegetatif menjadi spora (sporulasi). Sporulasi terjadi ketika merespon perubahan lingkungan yang ekstrim dan dimulai ketika sel memasuki fase stasioner. Sel berubah secara morfologi maupun fisiologi untuk melakukan autolisis sel vegetatif. Struktur endospora yang terbentuk merupakan lapisan korteks yang tebal dibungkus oleh spora sehingga sel terlindungi terhadap perubahan lingkungan yang ekstrim (Yang 2010). Beberapa kelompok bakteri dalam menghadapi berbagai perubahan lingkungan ekstrim dengan menghasilkan eksopolisakarida.
Eksopolisakarida
melindungi beberapa bakteri terhadap perubahan pH yang ekstrim (Gunarto
88 1990).
Penyusun eksopolisakarida bervariasi,terdiri atas polisakarida, protein,
asam nukleat, glikoprotein dan fosfolipid tergantung dari lingkungan yang mempengaruhinya. Struktur fisik eksopolisakarida menyelimuti bagian luar sel membran bakteri berupa kapsul polisakarida dan berbentuk lendir (slime) dan masif, dengan ketebalan 0.2-1.0 μm. Pada beberapa spesies, ketebalan lapisan eksopolisakarida tidak lebih dari 10-30 nm(Santi 2011). Mikrob memiliki mekanisme yang sangat efektif untuk memelihara kontrol regulasi pH intrasel pada sitoplasmanya.
Stabilitas nilai pH intrasel sangat
penting, karena aktivitas metabolisme pada umumnya bekerja maksimal pada lingkungan dengan pH netral. Untuk menjaga stabilitas nilai pH intrasel, sel prokariota harus dapat menjaga gradien pH antara eksternal dan intrasel semaksimal mungkin. Mekanisme mempertahankan kestabilan nilai pH intrasel terhadap perubahan nilai pH eksternal disebut homeostasis pH (Slonczewskiet al. 2009). Kapasitas bufer sitoplasma dan metabolisme produksi asam dan basa merupakan faktor penting yang mempengaruhi pH intrasel untuk mengurangi gradien pH dengan. Slonczewskiet al.
(2009) menjelaskan bahwa pada
homeostasis pH terjadi pengaturan keluar-masuknya proton. Nilai pH intrasel menjadi asam akibat perubahan nilai pH eksternal menjadi asam, maka proton akan dipompa keluar yang dinetralisirdengan pengambilan K+. Sebaliknya ketika nilai pH intrasel menjadi alkali, sel melakukan pengambilan proton dan memompa keluar Na+ atau K+, sehingga gradien pH menjadi kecil. Total populasi bakteri dan fungsi selulolitik berbagai perubahan pH tanah tersebut setelah diinkubasi 14 hari disajikan pada Gambar 24. Setiap isolat memiliki respon pertumbuhan yang berbeda-beda terhadap perubahan pH tanah. Isolat-isolat bakteri selulolitik yang tumbuh lebih banyak pada pH 3,5 adalah PI52, GA22 dan TD11, pada pH 4,5 hanya isolat B52, dan pada pH 6,5 adalah M72, P31, ST22, GA31 dan ST33. Sementara isolat-isolat fungi yang tumbuh banyak pada pH 3,5 adalah BK12, SN123, C52, TB41 dan J43, pada pH 4,5 adalah R23 dan B82, dan pada pH 6,5 adalah TB103, SN21 dan J11. Total populasi isolat fungi selulolitik TB103 dan SN21 mencapai ≥ 10 sel/g bahan dan cenderung lebih tinggi dari isolat lainnya.
9.5
89 2,50E+09 pH 3,5
2,25E+09
pH 4,5 2,00E+09
pH 6,5
CFU/g bahan
1,75E+09 1,50E+09 1,25E+09 1,00E+09 7,50E+08 5,00E+08 2,50E+08 TB41
TB103
SN21
SN123
R23
J43
J11
C52
BK12
B82
TD11
TB31
ST33
ST22
PI52
P31
M72
GA31
GA22
B52
0,00E+00
Gambar 24. Populasi bakteri dan fungi selulolitik setelah diinkubasi 14 hari pada perubahan pH tanah Perubahan aktivitas mikrob selulolitik pada berbagai pH tanah diamati berdasarkan CO 2 yang dievolusikan, semakin besar CO 2 yang dievolusikan maka aktivitas dari mikrob tersebut semakin besar.Hasil pengukuran evolusi CO 2 dari mikrob selulolitik disajikan pada Gambar 25.Evolusi CO 2 bakteri selulolitik pada pH 6.5 tidak lebih tinggi dibanding pH 3.5 dan 4.5.Isolat-isolat bakteri selulolitik yang memiliki aktivitas cenderung lebih tinggi pada pH 3.5 yaitu isolat TD11, ST22, P31, PI52 dan TB31; dan yang memiliki aktivitas cenderung lebih tinggi pada pH 4.5 adalah B52, GA22, GA31, M72 dan ST33. Sedangkan pada isolatisolat fungi selulolitik yang memiliki aktivitas cenderung lebih tinggi pada pH 3,5, yaitu B82 dan J11,yang memiliki aktivitas cenderung tinggi pada pH 6.5 adalah C52, SN123, TB103, TB41. Perubahan pH tanah mempengaruhi aktivitas dari mikrob selulolitik yang ditunjukkan dari evolusi CO 2
dan pertambahan populasi dari mikrob
selulolitik.Mikrob selulolitik dari persawahan pasang surut Kalimantan Selatan yang pada umumnya memiliki pH tanah yang masam hingga sangat masam, dan pada kondisi tergenang dapat meningkatkan nilai pH tanah mendekati netral.Sehingga beberapa isolat bakteri dan fungi selulolitik yang beraktivitas dengan baik pada pH tanah 3.5 hingga 6.5. Mikrob selulolitik yang memiliki kemampuan beraktivitas pada pH tanah dari asam hingga netral berperanan
90 penting dalam proses pengomposan. Aktivitas dari enzim selulaseakan semakin meningkat dengan semakin meningkatnya nilai pH.
Seperti dikemukakan
Immanuel et al. (2006) aktivitas beberapa bakteri selulolitik (Cellulomonas, Bacillus dan Microccoccus spp.) mengalami peningkatan aktivitasnya dari 0,19 nkat/ml pada pH 5 menjadi 0.24 nkat/ml pada pH netral. Meryandini et al. (2009) menemukan bahwa aktivitas enzim selulase dari tanah pertanian ekstrim masam (C5-1) memiliki aktivitas tertinggi pada pH 3.5 (3.74 nkat/ml) dan mengalami penurunan dengan meningkat pH, dan dari tanah yang alkalis (C11-1) memiliki aktivitas tertinggi pada pH 8 (3.01 nkat/ml) dan mengalami penurunan dengan semakin rendah nilai pH. 20,00
pH 3,5
18,00
pH 4,5
μg CO2/g bahan
16,00
pH 6,5
14,00 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 TB41
TB103
SN21
SN123
R23
J43
J11
C52
BK12
B82
TD11
TB31
ST33
ST22
PI52
P31
M72
GA31
GA22
B52
0,00
Gambar 25. Evolusi CO 2 oleh mikrob selulolitik pada berbagai pH tanah setelah diinkubasi selama 14 hari Penetapan kemasaman tanah dari masam menjadi netral (pH 3.5 menjadi pH 4.5 dan 6.5) dilakukan dengan penambahan kapur (CaCO 3 ).Perubahan pH tersebut menyebabkan terjadinya perubahan reaksi kimia pada tanah.
Hasil
pengukuran ketersediaan hara N, P dan K serta kelarutan Fe tanah pada masingmasing pH dapat dilihat pada Gambar 26. Penepatan pH tanah hingga 6.5 menyebabkan terjadinya penurunan kelarutan Fe tanah dan terjadi peningkatan ketersediaan hara K tanah, akan tetapi juga terjadi penurunan ketersediaan hara P tanah. Penurunan ini terjadi ketika tanah berada pada pH 6.5, sebagian P tersedia terikat oleh kalsium (Ca) sehingga menjadi tidak tersedia. Sementara Kandungan N mineral (N-NH 4 +NO 3 ), jika
91 pada pH tanah 4.5 terlihat mengalami peningkatan pada pH 6.5 tidak terjadi peningkatan, Hal ini dapat terjadi akibat proses volatilisasi dari NH 4 + menjadi NH 3 sehingga kandungan N mineral ini tidak mengalami peningkatan. Mikrobmikrob selulolitik yang beraktivitas dengan baik pada pH tanah 3.5-4.5 adalah mikrob-mikrob yang juga bisa beraktivitas pada kandungan Fe larut tanah yang tergolong tinggi. 25,00
ppm
20,00 15,00 10,00 5,00 0,00
pH 3,5
N-NO3+NH4
K-dd (x10)
Fe larut (x10)
P2O5-Bray I
11,09
10,34
18,61
13,49
pH 4,5
16,38
12,36
20,00
12,55
pH 6,5
16,33
19,77
12,38
4,70
Gambar 26. Hasil pengukuran N, P dan K tersedia serta kelarutan Fe tanah pada perlakuan perubahan pH tanah Kemampuan dalam mempercepat proses pengomposan Kemampuan isolat-isolat mikrob selulolitik dalam mempercepat proses pengomposan dilihat dari persen penyusutan bobot dan volume jerami yang diiokulasi dengan isolat-isolat tersebut, dan perubahan nilai C/N selama proses pengomposan. Penyusutan bobot selama proses pengomposan jerami padi setelah diinkubasi 14 hari sebesar 59.45-73.16% dan 55.75-68.79% bobot, dan penyusutan volume sebesar 29.74-37.91% dan 26.43-32.76% oleh bakteri dan fungi selulolitik dari persawahan pasang surut Kalimantan Selatan. Penelitian yang dilakukan Nur (2007) mendapatkan persen penyusutan bobot jerami padi yang didekomposisi oleh bakteri lignoselulolitik selama 42 hari sebesar 34.44 hingga 51.11%;dan Michel et al. (2003) mendapatkan penyusutan berat dan volume dari serbuk jerami yang di campur dengan pupuk kandang (C/N = 32.9) yang dikomposkan secara alami selama 60 hari sebesar 54 hingga 76%.
92 Analisis ragam untuk mengetahui pengaruh isolat-isolat mikrob selulolitik dari persawahan pasang surut Kalimantan Selatan terhadap penyusutan bobot kering dan volume jerami dapat dilihat pada Tabel Lampiran 32 dan perbedaan isolat-isolat terhadap penyusutan bobot kering dan volume jerami disajikan pada Gambar 27. Pada Gambar 27 terlihat bahwa persen penyusutan volume bahan jerami padi oleh isolat-isolat mikrob selulolitik (26.43-37.91%) secara nyata lebih besar dibanding dengankontrol (23.54%), kecuali isolat bakteri selulolitik TD11 dan fungi selulolitik SN21 masing-masing sebesar 29.74 dan 26.43% tidak berbeda nyata dengan kontrol. Isolat bakteri selulolitik ST22 dan TB31 yang secara nyata menghilangkan volume bahan jerami padi masing-masing sebesar 37.91 dan 35.48% lebih besar dibanding dengan bahan dekomposer Promi (27.76%). 80,00
a
persen penyusutan
70,00
abc
60,00
volume bobot kering abc abcd bcd
ab
ab
ab
abc bcd cd
d
50,00 40,00
abc
abc
30,00
ab
a abc
bcd
abc
cd
abc
abc d
cd
20,00 10,00 Promi
Kontrol
BK12
C52
J11
SN123
SN21
ST22
TB31
TD11
GA31
GA22
0,00
Keterangan: Batang-batang dengan huruf yang sama pada masing-masing peubah menunjukkan tidak berbeda menurut uji Duncan pada taraf nyata 5%.
Gambar 27. Persen penyusutan bobot kering dan volume bahan jerami setelah diinkubasi 14 hari Dekomposisi bahan jerami padi sangat tergantung dari kandungan karbon dan nitrogennya.Nilai C/N berperanan penting untuk memasok hara yang diperlukan mikroba selama pengomposan berlangsung.
Bahan organik yang
memiliki nilai C/N 20-35 ideal untuk dikomposkan, jika nilai C/N>35 atau <20 akan mengganggu kegiatan biologis proses dekomposisi (Sutanto 2002).
93 Ketersediaan karbon terbatas (nisbah C/N terlalu rendah) maka mikrob perombak akan kekurangan sumber energi yang dibutuhkan untuk mengikat seluruh nitrogen bebas. Sebaliknya karbon berlebihan (C/N >35) jumlah nitrogen sangat terbatas akanmenjadikan faktor pembatas pertumbuhan mikroorganisme. C/N Bahan jerami yang digunakan sebesar 39.1 Hasil pengukuran C/N bahan jerami setelah diinkubasi selama 14 hari dilakukan analisis ragam untuk mengetahui pengaruh dari isolat mikrob selulolitik dapat dilihat pada Tabel Lampiran 32. Isolat mikrob selulolitik yang diinokulasi pada bahan jerami berpengaruh nyata terhadap nilai C/N bahan jerami setelah diinkubasi selama 14 hari.Perbedaan nilai C/N bahan jerami pada masing-masing isolat mikrob selulolitik, bahan dekomposer pembanding dan kontrol dapat dilihat pada Gambar 28. 30,00 a ab
25,00 bc
bc
c c
c
bc
bc
bc
J11
bc
SN21
C/N
20,00
abc
15,00 10,00 5,00
Bakteri
Fungi
Promi
Kontrol
BK12
C52
SN123
TD11
TB31
GA31
ST22
GA22
0,00
Pem-banding
Keterangan: Batang-batang dengan huruf yang sama pada masing-masing peubah menunjukkan tidak berbeda menurut uji Duncan pada taraf nyata 5%.
Gambar 28. Nilai C/N bahan jerami setelah diinokulasi dengan mikrob selulolitik dan diinkubasi selama 14 hari Secara umum terlihat bahwa isolat-isolat mikrob selulolitik mampu menurunkan nilai C/N bahan jerami hingga kurang dari 20 dan secara nyata lebih rendah dari kontrol dan bahan dekomposer Promi, kecuali nilai C/N bahan yang diinokulasi dengan isolat bakteri selulolitik TB31 dan ST22. Nilai C/N bahan jerami isolat-isolat mikrob selulolitik tidak berbeda dengan bahan dekomposer Promi, kecuali nilai C/N bahan jerami yang diinokulasi isolatbakteri TD11 dan
94 fungi SN123 dan C52 secara nyata lebih rendah dibanding bahan dekomposer Promi. Hal ini dapat disimpulkan bahwa dari 10 isolat mikrob selulolitik dari persawahan pasang surut Kalimantan Selatan yang memiliki kemampuan dalam proses pengomposan tiga diantara lebih baik dari dekomposer pembanding. Perubahan nilai C/N bahan selama inkubasi pada gabungan isolat-isolat bakteri dan fungi selulolitik, bahan dekomposer dan kontrol disajikan dalam bentuk persamaan regresi linear dapat dilihat pada Gambar 29.Dari hasil analisis regresi terlihat bahwa nilai C/N bahan jerami yang diinokulasi isolat fungi, bakteri dan Promi berkorelasi negatif dengan semakin lama waktu inkubasi, dimana semakin lama waktu inkubasi maka semakin menurun nilai C/N bahan jerami. Bahan jerami yang diinokulasi dengan isolat fungi menunjukkan penurunan C/N lebih cepat dibanding yang lainnya, dimana setiap pertambahan waktu satu hari akan terjadi penurunan nilai C/N bahan jerami sebesar 0.65 kali. Pada jerami padi yang diinkubasi dengan bakteri selulolitik
akan terjadi penurunan nilai C/N
jerami padi sebesar 0.61 kali. Pada bahan dekomposer Promi terjadi penurunan nilai C/N jerami sebesar 0.45 kali.Pada nilai C/N jerami padi yang kurang dari 20 bahan tersebut dalam keadaan termineralisasi, dimana hara-hara yang terkandung pada jerami padi dalam bentuk tersedia, tidak terikat pada senyawa organik ataupun terfiksasi oleh mikrob. y = -0.65x + 26.41 R² = 0.82 (Fungi)
28
y = -0.02x + 23.3 R² = 0.00 (Kontrol)
26
C/N
24 y = -0.45x + 26.23 R² = 0.42 (promi)
22 20 y = -0.61x + 25.88 R² = 0.70 (Bakteri)
18 16 14 0
1
2
3
4
5
6
7 8 9 10 11 12 13 14 15 Hari ke -
Gambar 29. Kecepatan penurunan nilai C/N bahan jerami yang diinokulasi dengan bakteri dan fungi selulolitik Pada Gambar 29 terlihat bahwa kompos jerami yang dihasilkan dari oleh bakteri dan fungi selulolitik dari persawahan pasang surut Kalimantan Selatan
95 memiliki nilai C/N kurang dari 20 pada hari ke 10 pengomposan. Penurunan nilai C/N tersebut seperti dikemukakan oleh Michel et al. (2003) disebabkan oleh adanya evolusi CO 2 bahan jerami yang lebih tinggi dibanding kehilangan N melalui proses volatilisasi dan denitrifikasi. Penurunan nilai C/N selama proses pengomposan sejalan dengan penyusutan bobot dan volume bahan jerami dapat dilihat pada Gambar 30. Setiap penyusutan 1% bobot kering dan volume jerami maka akan terjadi penurunan nilai C/N rasio sebesar 21.31 kali ln persen penyusutan bobot dan 13.03 kali ln penyusutan volume. Penurunan nilai C/N hingga mencapai perlandaian, dimana nilai C/N kontan. 35
35 y = -21,3ln(x) + 107,4 R² = 0,738
30 C/N
C/N
25 20
25 20
15
15
10
10 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 % penyusutan bobot
y = -13,0ln(x) + 64,42 R² = 0,667
30
10
15
20 25 30 35 % penyusutan volume
40
Gambar 30. Perubahan nilai C/N terhadap peningkatan persen penyusutanbobot dan volume bahan jerami yang dikomposkan Isolat-Isolat mikrob selulolitik terseleksi dalam mempercepat proses pengomposan Ada empat isolat mikrob seluloltik yang terseleksi dalam mempercepat proses pengomposan yang terdiri dari dua isolat bakteri, yakni GA22dan ST22 dan dua isolat fungi selulolitik, yakni SN123 dan C52. Isolat GA22 berasal dari desa Gambah Asahi persawahan pasang surut tipe B.Isolat ST22 berasal dari desa Sungai Tabuk persawahan pasang surut tipe C. Isolat SN123 berasal dari desa Simpang Nungki tipe A dan Isolat C52 berasal dari desa Cerbon persawahan pasang surut tipe B. Isolat bakteri selulolitik GA22 memiliki nilai indeks selulolitik (enzim endoglukanase) mencapai 10.50, aktivitas enzim eksoglukanasedan β-glukosidase masing-masing sebesar 0.52 dan 0.32 nkat/ml dengan waktu generasi sebesar 2.64
96 jam. Kurva pertumbuhan isolat ini dapat dilihat pada Gambar 31.Isolat ini dapat tumbuh dengan baik pada pH tanah 3.5 yaitu 3.08 x 108 sel/g dan memiliki aktivitas tertinggi pada pH 4,5 yaitu 13.05 μg CO 2 /g. Kemampuan isolat ini dalam mempercepat proses pengomposan berdasarkan persen penyusutan bobot dan volume jerami selama 14 hari masing masing sebesar 73.15%bobot dan 32.34%volume, dengan penurunan nilai C/N dari 29.10 menjadi 18.96. 1,8e+8 1,6e+8
populasi GA22 (sel/ml)
1,4e+8 1,2e+8 1,0e+8 8,0e+7 6,0e+7 4,0e+7 2,0e+7 0,0 0
10
20
30
40
50
60
waktu (jam)
Gambar 31. Kurva tumbuh bakteri selulolitik GA22 Isolat bakteri selulolitik ST22 memiliki nilai indeks selulolitik mencapai 4.07, aktivitas enzimeksoglukanase dan β-glukosidase masing-masing sebesar 0.63 dan 0.31 nkat/ml dengan waktu generasi sebesar 3.36 jam. Kurva tumbuh dari isolat ini dapat dilihat pada Gambar 32. 1,8e+8 1,6e+8
populasi ST22 (sel/ml)
1,4e+8 1,2e+8 1,0e+8 8,0e+7 6,0e+7 4,0e+7 2,0e+7 0,0 0
10
20
30
waktu (jam)
Gambar 32. Kurva tumbuh bakteri selulolitik ST22 Bakteri selulolitik ST22 dapat tumbuh dengan baik pada pH tanah 6.5 yaitu 4.27 x 108 sel/g dan beraktivitas dengan baik pada pH tanah 4.5 yaitu 13.22 μg
97 CO 2 /g.
Kemampuan bakteri ini
dalam mempercepat proses pengomposan,
berdasarkan persen penyusutan bobot dan volume jerami selama 14 hari masingmasing sebesar 59.45%bobot dan 37.91%volume dengan penurunan nilai C/N jerami dari 39.10 menjadi 20.21. Isolat fungi selulolitik SN123 memiliki nilai indeks selulolitik mencapai 8.55, aktivitas enzimeksoglukanase dan β-glukosidase masing-masing sebesar 0.62 dan 0.13 nkat/ml dengan waktu generasi sebesar 4.57 jam. Kurva tumbuh dari isolat ini dapat dilihat pada Gambar 33. Fungi selulolitik SN123 dapat tumbuh dengan baik pada pH tanah 3.5 yaitu 2.48 x 108 sel/g dan beraktivitas dengan baik pada pH tanah 6.5 yaitu 13.30 μg CO 2 /g. Kemampuan bakteri ini dalam mempercepat proses pengomposan, berdasarkan persen penyusutan bobot dan volume jerami selama 14 hari masing-masing sebesar 68.79%bobot dan 32.76%volume dengan penurunan nilai C/N jerami dari 39.10 menjadi 16.14.
populasi SN12.3 (spora/ml)
500x103
400x103
300x103
200x103
100x103
0 0
20
40
60
80
waktu (jam)
Gambar 33. Kurva tumbuh fungi selulolitik SN123 Isolat fungi selulolitik C52 memiliki nilai indeks selulolitik
mencapai
13,30; aktivitas enzimeksoglukanase dan β-glukosidase masing-masing sebesar 0.88 dan 0.38 nkat/m dengan waktu generasi sebesar 5,43 jam. Kurva tumbuh dari isolat ini adapat dilihat pada Gambar 34. Fungi selulolitik C52 dapat tumbuh dengan baik pada pH tanah 4.5 yaitu 9.84 x 108 sel/g dan beraktivitas dengan baik pada pH tanah 6.5 yaitu 14.08 μg CO 2 /g.
Kemampuan bakteri ini
dalammempercepat proses pengomposan, berdasarkan persen penyusutan bobot
98 dan volume jerami selama 14 hari masing-masing sebesar 67.19%bobot dan 30.97%volume dengan penurunan nilai C/N jerami dari 39.10 menjadi 16.14. 600x103
populasi C52 (spora/ml)
500x103
400x103
300x103
200x103
100x103
0 0
20
40
60
80
waktu (jam)
Gambar 34. Kurva tumbuh fungi selulolitik C52 Pada pembuatan kompos yang dilakukan di lapang menggunakan mikrob selulolitik yang terseleksi selama proses dekomposisi, suhu bahan jerami yang dikomposkan mencapai 75oC, sehingga untuk memastikan bahwa mikrob yang diinokulasikan tersebut aktif dalam proses perombakan maka dilakukan pengujian dari empat isolat yang terseleksi terhadap perubahan suhu lingkungan. Hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 27. Hasil pengujian menunjukkan bahwa isolat mikrob selulolitik GA22 dan SN123 masih dapat tumbuh pada suhu mencapai 80oC, dan mikrrob selulolitik ST22 dan C52 hanya dapat tumbuh pada suhu 70oC. Tabel 27. Ketahanan isolat terhadap suhu No
Isolat
1 2 4 5
GA22 ST22 SN123 C52
37
Suhu (oC) 50 70
80
++ ++ ++ ++
++ ++ ++ ++
++ -+--
++ ++ ++ +-
Keterangan: menggunakan media cair Lurial Bertani + = tumbuh, - = tidak tumbuh
99 Pertumbuhan dan Produksi Padi Ciherang pada Budidaya Padi SRI dan Konvensional di Persawahan Pasang Surut Kalimantan Selatan Perubahan sifat kimia tanah Potensial reduksi (Eh) lahan budidaya SRI lebih oksidatif dibandingkan dengan lahan budidaya konvensional.Oksigen dari ruang pori tanah pada budidaya SRI dalam kondisi yang tidak selalu tergenang lebih banyak dibanding dengan budidaya padi konvensional.
Hal ini ditunjukan dengan nilai Eh tanah pada
budidaya SRI yang positif.Sementara penggenangan pada budidaya konvensional menyebabkan terdesaknya oksigen dari ruang pori tanah oleh air, sehingga tanah kekurangan oksigen dan menjadi lebih reduktif ditunjukkan dengan nilai Eh yang rendah. Perubahan kondisi tanah yang menjadi oksidatif menyebabkanperubahan sistem redoks tanah,
di mana unsur-unsur ferro (Fe2+) dan mangano
(Mn2+)berubah menjadi ferri (Fe3+) dan mangani (Mn4+) yang lebih stabil mengikat ion hidroksida (OH-) dan melepaskan ion hidrogen (H+) sehingga pH tanah budidaya SRI lebih rendah dibandingkan dengan budidaya konvensional. Penggenangan menyebabkan N-NH 4 dan K tersedia tercuci meninggalkan areal pertanaman, sehingga N-NH 4 , dan K tersedia pada budidaya padi konvensional lebih rendah dibandingkan dengan budidaya SRI. Pada pH tanah yang rendah bentuk N-NH 4 lebih stabil, namun penggenangan pada budidaya padi konvensional akan meningkatkan pH tanah diduga dapat menyebabkan terjadinya penguapan (volatilisasi) dari kation tersebut, meskipun pH tanah sendiri masih berada pada pH masam. Pemberian kompos jerami diperkaya Azotobacter belum mampu meningkatkan kandungan N-NH 4 + tanah saat 14 HST (tidak berbeda dengan kontrol) pada pemupukan pertama urea (40% dosis rekomendasi) selain disebabkan adanya serapan tanaman, juga disebabkan adanya pemanfaatan N oleh Azotobacter dan perubahan bentuk ammonium menjadi nitrat. Keberadaan NNH 4 + dalam tanah dari pemupukan urea merupakan penghambatan balik (feedback inhibition) bagi Azotobacter, sehingga mikrob ini tidak melakukan penambatan N 2 dari atmosfer dan hanya memanfaatkan N tersebut untuk mencukupi kebutuhannya.
Mandelstam et al. (1986) menjelaskan bahwa
keberadaan NH 4 + di lingkungan sebagai hasil dari penambatan N 2 atmosfer oleh
100 mikrob merupakan inhibitor dari enzim nitrogenase dari mikrob tersebut. Hal tersebut tergambar pada kandungan N-NH 4 + pada pemberian 100% dosis pupuk N, P dan K yang dikombinasikan dengan kompos jerami diperkaya Azotobacter cenderung lebih rendah dibanding dengan kompos yang tidak diperkaya. Adanya
perubahan
ammonium
menjadi
nitrat
ditunjukan
oleh
+
kecenderungan kandungan N-NH 4 lebih rendah dibandingkan dengan N-NO 3 -. Kondisi yang lebih oksidatif pada musim kemarau dan lingkungan rizosfer tanaman menyebabkan perubahan tersebut, Hardjowigeno dan Rayes (2005) mengemukakan bahwa Kondisi lingkungan perakaran tanaman yang lebih oksidatif menyebabkan perubahan N dalam bentuk ammonium menjadi nitrat. Peranan kompos jerami diperkaya Azotobacter tanpa pemberian pupuk N, P dan K mampu meningkatkan kandungan hara N-NO 3 , tetapi dengan pemberian dosis pupuk N, P dan K cenderung mengalami penurunan. Selain ditentukan oleh keberadaan N-NH 4 +, kemasaman, mikrob nitrifikasi dan keadaan aerasi tanah, nitrifikasi juga dipengaruhi oleh keberadaan mikrob lain dan adanya proses pencucian N-NO 3 -.
Penggunaan N-NH 4 + oleh mikrob lainnya untuk
kebutuhannya akan mengurangi proses nitrifikasi (Paul& Clarck 1989) dan pasang surut air menyebabkan terjadinya pencucian N-NO 3 -meninggalkanlingkungan pertanaman, sehingga kandungan nitrat cenderung mengalami penurunan. Kompos
jerami
diperkaya
Azotobactermampu
menyediakan
pada
kandungan K tersedia pada pemberian 50% dosis pupuk N, P dan K tidak berbeda dengan pemberian 100% dosis pupuk N, P dan K. Kompos jerami meningkatkan kemampuan tanah menahan hara K dalam bentuk tersedia dan secara langsung kompos jerami sebagai sumber hara K sehingga meningkatkan kandungan K tersedia tanah.Havlin et al. (1998) mengemukakan bahwa bahan organik meningkatkan tapak muatan negatif tanah di mana kation-kation seperti NH 4 +, H, K, Ca dan Mg terjerap dan mengurangi penyusutan melalui proses pencucian. Kompos jerami diperkaya Azotobacterpada budidaya padi konvensional mampu meningkatkan ketersediaan P tanah 25% dosis pupuk N, P dan K, tetapi tidak mengalami peningkatan pada pemberian 50-100% dosis pupuk N, P dan K. Kondisi reduktif pada budidaya padi konvensional menurunkan muatan positif dari sistem redoks tanah sehingga anion-anion fosfor berada dalam kondisi larut
101 dan pergerakan pasang surut air di lahan menyebabkan pencucian bentuk P tersedia. Hardjowigeno & Rayes (2005) mengemukakan bahwa pembebasan P lebih banyak terjadi pada tanah sawah anaeob disebabkan perubahan Fe3+ menjadi Fe2+ yang labil dalam mengikat P. Pada budidaya SRI dengan kondisi lahan yang lebih oksidatif dan lebih masam, meskipun muatan positif sistem redoks lebih banyak namun diduga lebih terikat kuat pada bahan organik tanah sementara pengaruh pergerakan air pasang surut lebih sedikit sehingga kandungan P tersedia lebih tinggi. Hal ini dapat dilihat bahwa pada budidaya SRI, ketersediaan hara P tanah pada pemberian kompos jerami diperkaya Azotobacter dengan75 dan 100%% dosis pupuk N, P dan K lebih tinggi dibanding pada pemberian dosis pupuk yang sama pada budidaya padi konvensional. Ketersediaan hara P pada pemberian kompos jerami diperkaya Azotobacter dengan 75-100% dosis pupuk N, P dan K pada budidaya SRI (24.0-27.9 ppm P) lebih tinggi dibanding budidaya padi konvensional (10.013.2 ppm P). Pada kondisi tanah yang lebih oksidatif sepertipada budidaya SRI, unsur Fe akan lebih stabil terikat dengan senyawa organik dibanding dengan terikat pada fosfor. Ammari (2005) mengungkapkan bahwa pada kondisi oksidatif ion-ion Fe3+ dan Mn4+ lebih stabil berikatan dengan bahan organik pada tanah sawah.Sehingga ketersediaan unsur-unsur hara seperti kandungan N-NO3- dan P tersedia menjadi lebih tinggi. Serapan dan efesiensi serapan N, P dan K tanaman. Kandungan N, P dan K jerami dan kandungan K gabah pada budidaya SRI lebih tinggi dibanding budidaya padi konvensional.Hal ini sejalan dengan tingginya kandungan hara N, P dan K tersedia pada budidaya SRI yang lebih tinggi dibanding pada budidaya padi konvensional.Pasokan hara yang tinggi dari dalam tanah dan sistem perakaran padi yang lebih baik pada budidaya SRI meningkatkan serapan hara-hara tersebut sehingga kandungan hara N, P dan K jaringan lebih tinggi.Sama seperti halnya kandungan hara tanah dan jaringan tanaman, serapan dan efesiensi serapan hara N, P dan K tanaman pada budidaya SRI lebih tinggi dibanding budidaya padi konvensional. Dobermann & Fairhurst (2000) mengemukakan bahwa serapan hara N, P dan K padi varietas baru berkisar
102 15-20 kgN/ton, 2.5-3.5 kgP/ton dan 14-20 kgK/ton gabah, maka serapan hara N, P dan K pada SRI sebesar 21.3 kgN/ton, 4.8 kgP/ton dan 16.6 kgK/ton gabah, sedangkan pada konvensional sebesar 16.1kgN/ton, 3.8 kgP/ton dan 9.6 kgK/ton gabah. Rendahnya efesiensi serapan hara N, P dan K pada budidaya konvensional jika dibanding budidaya SRI dapat disebabkan terkonsentrasinya Fe pada rizosfer atau tanaman dalam keadaan keracunan Fe sehingga serapan hara menjadi rendah.Zhao et al. (2011) mengemukakan bahwa penurunan potensial redoks meningkatkan kelarutan Fe2+ menyebabkan terhambatnya pertumbuhan akar dan mengganggu serapan hara. Efisiensi serapan hara N dan K pada pemberian kompos diperkaya Azotobacter dengan 25 dan 75% pupuk N, P dan K yang tidak berbeda dengan pemberian100% dosis pupuk N, P dan K tanpa kompos adalah menunjukkan bahwa kompos diperkaya Azotobacter mampu menekan penggunaan pupuk N dan K sebanyak 25-75% untuk pupuk N dan K yang diberikan. Selanjutnya adanya kecenderungan perbedaan serapan dan efisiensi serapan antara kompos diperkaya Azotobacter dengan tidak diperkaya dengan 100% dosis pupuk N, P dan K adalah menunjukan adanya peranan dari Azotobacter dalam memasok N ataupun dalam menghasilkan hormon pertumbuhan yang dapat meningkatkan serapan hara. Selain penambat N 2 atmosfer, Azotobacter RG.3.62.yang dipergunakan memiliki kemampuan menghasilkan senyawa aktif hormon pertumbuhan tanaman yaitu Indole Acetic Acid (IAA) yang efektif dalam mendukung pertumbuhan akar (Razie, 2009). Pertumbuhan akar tanaman meningkatkan penyerapan hara N dan K yang dipasok oleh bahan organik ataupun pupuk anorganik mengalami peningkatan.Hal ini terlihat pada pemberian 100% pupuk NPK,
meskipun
kandungan N, P dan K tersedia pada kompos diperkaya Azotobacter terlihat lebih rendah dibanding kompos tidak diperkaya, tetapi efisiensi serapan N, P dan K pada kompos diperkaya cenderung lebih tinggi dibanding kompos yang tidak diperkaya.
103 Potensi keracunan Fe pada budidaya padi SRI dan konvensional Kisaran Ketersediaan Fe tanah menggunakan ekstraksi NH 4 -Asetat pH 4.8 saat 14 HST dari 368.2 hingga 939.4 ppm Fe dan saat panen antara 308.5 hingga 502.0 ppm Fe.
Pemberian kompos jerami diperkaya mampu menekan
ketersediaan Fe tanahsaat 14 HST, tetapi semakin meningkatnya dosis pupuk N, P dan K cenderung meningkatkan kandungan Fe tersedia tanah terekstrak NH 4 Asetat pH 4.8. Hal ini disebabkan penggunaan pupuk urea yang bereaksi masam menyebabkan peningkatan ion hidrogen yang mengakibatkan terlepasnya ikatanikatan Fe stabil dalam bentuk Fe(OH) 3 . dengan reaksi: Fe(OH) 3 + 3H+ Fe3+ + 3H 2 O. Pada saat 14 HST, pemberian kompos jerami diperkaya Azotobacterdengan 25% dosis pupuk N, P dan K
cenderung lebih rendah dibanding perlakuan
lainnya dan ketersediaan Fe tanah pada kompos dengan 100% dosis pupuk N, P dan K lebih rendah dibandingkan dengan 100% dosis pupuk N, P dan K. Selanjutnya pada saat panen, meskipun pemupukkan tidak berpengaruh secara nyata, namun terlihat ada kecenderungan peningkatan ketersediaan Fe pada pemberian kompos diperkaya Azotobacter dengan 50% dosis pupuk N, P dan K. Pola ketersediaan Fe tanah yang tidak beraturan dengan pemberian kompos jerami diperkaya dengan berbagai dosis pupuk N,P dan K in diduga karena adanya pergerakan muka air tanah variabilitas lahan yang disebabkan oleh kedalaman pirit. Pergerakan air ketika pasang akan mengangkat ion-ion dari bawah seperti halnya Fe2+, PO 4 3- dan K+. Hal ini ditunjukan adanya hubungan positif antara Fe tersedia dengan K tersedia dengan nilai r = 0.25* (α = 0.05). Kandungan Fe jaringan pada SRI berada pada kisaran sedang yaitu sekitar 100 ppm Fe.Sedangkan budidaya padi konvensional pada kisaran kecukupan sedang (150-200 ppm Fe) hingga tinggi (> 200 ppm Fe).Penerapan budidaya padi SRI di persawahan pasang surut mampu menekan serapan Fe oleh tanaman padi Ciherang, dimana kandungan Fe jaringan padi Ciherang pada budidaya padi SRI (87.8 ppm Fe) secara nyata lebih rendah dibandingkan dengan konvensional (241.8 ppm Fe). Kandungan Fe jaringan cara budidaya konvensional melebihi batas kecukupan Fe jaringan. Batas kecukupan tinggi kandungan Fe jaringan lebih dari 200 ppm Fe (Leiwakabessy & Sutandi 1998).
Pada kondisi oksidatif,
104 Fe3+lebih stabil dalam tanah berikatan dengan bahan organik sehingga mengurangi serapan oleh tanaman. Kandungan Al jaringan padi Ciherang pada budidaya SRI sebesar 0.24-0.98 ppm Al dan pada budidaya padi konvensional 0.44-1.02 ppm Al masih jauh berada di bawah batas keracunan tanaman yaitu > 100 ppm Al, dan pemberian kompos jerami mampu meningkatkan pengikatan Al oleh bahan organik dalam tanah, tetapi jika dilihat dari kandungan Al-tersedia terekstrak NH 4 -asetat pH 4.8 menunjukan tingginya kandungan Al-tersedia di lahan tersebut, dimana pada budidaya SRI berkisar 1.8-4.1 ppm Al dan pada budidaya padi konvensional berkisar 2.2-8.1 ppm Al. Meskipun Al-tersedia pada budidaya SRI cenderung lebih rendah dibanding dengan budidaya padi konvensional, kandungan Altersedia pada kedua budidaya tersebut sudah berada pada batas berpotensi meracuni tanaman.
Seperti dikemukan oleh Doberman dan Fairhurst (2000)
bahwa kelarutan Al > 1-2 ppm Al berpotensi meracuni tanaman.
Penyebab
tingginya kandungan Al dalam tanah di lahan pasang surut, seperti dikemukakan Djayusman (1993) bahwa tingginya kemasaman tanah akan merusak kisi-kisi mineral liat sehingga Al terlepas ke dalam larutan tanah. Berbeda dengan Potensi Fe dan Al, meskipun ketersediaan Mn tanah pada budidaya SRI lebih rendah dibanding dengan budidaya padi konvensional, ketersediaan unsur ini pada budidaya padi konvensional tidak berada dalam jumlah yang dapat meracuni tanaman yaitu 6.6 ppm Mn sehingga jumlah yang terserap oleh tanaman masih berada di bawah batas optimum kandungan Mn jaringan.
Hal ini dapat disimpulkan bahwa ketersediaan Mn tanah tidak
berpotensi meracuni tanaman padi. Pertumbuhan dan produksi tanaman Jumlah anakan produktif,tinggi tanaman, jumlah gabah permalai, gabah hampa, produksi gabah dan bobot kering jerami pada budidaya SRI lebih tinggi dibandingkan dengan konvensional.Kondisi ini sesuai dengan tingginya serapan hara pada budidaya SRI.Tingginya hasil dan komponen hasil pada budidaya padi SRI ini sejalan dengan tingginya tingginya ketersediaan hara N, P dan K tanah.
105 Jumlah anakan produktif, tinggi tanaman, jumlah gabah permalai dan bobot kering jerami pada kompos diperkaya Azotobacter dengan 25% dosis pupuk N, P dan K lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Jumlah anakan produktif pada perlakuan tersebut lebih rendah dibanding dengan pemberian 100% pupuk N, P dan K, sedangkan tinggi tanaman dan jumlah gabah permalai pada perlakuan tersebut lebih rendah dari 75 dan 100% dosis pupuk N, P dan K. Panjang malai pada kompos jerami diperkaya Azotobacter dengan 100% dosis pupuk N, P dan K lebih panjang dibanding dengan kontrol, tetapi tidak berbeda dengan 25 hingga 75% dosis pupuk N, P dan K. Bobot 1000 butir dan produksi gabah pada kompos jerami diperkaya Azotobacter tanpa pupuk N, P dan K lebih berat dibanding dengan kontrol, dan tidak berbeda dengan 25 hingga 100% dosis pupuk N, P dan K. Sedangkan produksi gabah pada perlakuan tersebut lebih berat dibandingkan dengan pemberian 25 dan 50% dosis pupuk N, P dan K dan tidak berbeda dengan 100% dosis pupuk N, P dan K. Bobot kering jerami pada kompos jerami diperkaya Azotobacter dengan 100% dosis pupuk N, P dan K lebih berat dibanding dengan kontrol, tetapi tidak berbeda dengan kompos dengan 25, 50 dan 100% dosis pupuk N, P dan K.
Produksi padi Ciherang pada kompos diperkaya Azotobacter 25
dan 50% dosis pupuk N, P dan K mengalami penurunan, hal serupa terlihat kecenderungan penurunan bobot 1000 butir gabah. pengikatan
Hal ini diduga adanya
P oleh Fe dengan tingginya Fe jaringan tanaman terutama pada
budidaya padi konvensional dan rendahnya serapan P tanaman. Percepatan pertumbuhan jumlah anakan pada budidaya padi SRI hingga melebihi jumlah anakan budidaya padi konvensional,
demikian juga semua
peubah pertumbuhan dan produksi padi pada budidaya padi SRI lebih tinggi dibanding budidaya konvensional, ini menunjukkan bahwa penerapan budidaya SRI di lahan pasang surut pada tipe B pada musim kering dapat diterapkan untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi. Peningkatan produksi padi tersebut sejalan dengan peningkatan jumlah serapan hara N, P dan K tanaman, dimana semakin meningkat serapan hara maka semakin tinggi produksi tanaman, dapat dilihat pada Gambar 35.
Peningkatan produksi padi tersebut juga nyata
berhubungan erat dengan peningkatan N-NH 4 + dengan nilai koefisien korelasi
106 pearson (r) sebesar 0.27 pada α=0.02 dan berhubungan erat dengan peningkatan K tersedia dengan nilai r=0.42 pada α = 0.00. Budidaya padi SRI mulai dari pemilihan benih yang berkualitas, cara penanaman, pengelolaan tanah dan air yang mengarah pada penggunaan bahan organik dan hayati serta mengefisienkan penggunaan air (ketika musim kering), serta pemeliharaan hingga panen ternyata mampu meningkatkan produksi padi varietas Ciherang di daerah pasang surut (4.34 ton GKG/ha) lebih tinggi dibanding cara konvensional (3.56 ton GKG/ha). Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Noor et al. (2007) bahwa produksi gabah padi Ciherang yang dilaksanakan di lahan pasang surut Desa Sungai Puntik Kabupaten Barito Kuala sebesar 3.75 ton GKG/ha.Sulaiman et al. (1998) menjelaskan bahwa dari beberapa percobaan yang dilaksanakan di lahan pasang surut sulfat masam, produksi padi varietas unggul bervariasi antara 3.0-5.1 ton/ha.
6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 y = 0.03x + 1.39 R² = 0.53
0,00 0,00
100,00
200,00
7,00
y = 0.20x + 0.45 R² = 0.76
0,00
20,00
Produksi (ton GKG.ha-1)
7,00
1,00
8,00
9,00 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00
Produksi (ton GKG.ha-1)
Produksi (kg GKG.ha-1)
8,00
6,00 5,00 4,00 3,00 2,00
y = 0.03x + 1.94 R² = 0.34
1,00 0,00 0,00
40,00
Serapan P (kh P.ha-1)
Serapan N (kg N.ha-1)
50,00
100,00
150,00
Serapan K (KgK.Ha-1)
Gambar 35. Hubungan serapan hara N, P dan K terhadap produksi Viabilitas mikrob selulolitik dan Azotobacter Keberadaan mikrob selulolitik dan Azotobacter pada lahan budidaya padi pasang surut yang diberikan melalui kompos jerami padi yang dipergunakan menunjukkan
kemampuan
asalnya.Selain
adanya
adaptasi
sumber
dari
nutrisi
mikrob
dan
ini
karbon
pada yang
lingkungan berasal
dari
kompos.Pemberian pupuk anorganik N, P dan K memberikan dukungan nutrisi terhadap populasi kedua mikrob tersebut dalam tanah. Perkembangan populasi mikrob selulolitik dan Azotobacter pada budidaya SRI cenderung semakin meningkat hingga pada pemberian 75% pupuk N, P dan K dan mengalami penurunan pada pemberian 100% pupuk N, P dan K. Sedangkan total populasi mikrob selulolitik dan Azotobacter tertinggi pada
107 budidaya padi konvensional pada pemberian kompos diperkaya dengan 50 dan 25% dosis pupuk N, P dan K dan selanjutnya mengalami penurunan.
Total
populasi mikrob selulolitik dan Azotobacter pada budidaya SRI cenderung lebih tinggi dibanding pada budidaya padi konvensional. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi aerob dan dosis pupuk N, P dan K mendorong perkembangan populasi kedua mikrob ini lebih baik jika dibandingkan dengan perkembangan populasi dari mikrob selulolitik dan Azotobacter pada budidaya konvensional. Anas et al. (2011) mengemukakan bahwa budidaya SRI secara nyata meningkatkan populasi mikrob tanah dan aktivitas enzim pada rizosfer tanaman karena adanya peningkatan ketersediaan N dan P. Kondisi tanah yang lebih aerobik dan bahan organik
tanahmeningkatkan
pertumbuhan
populasi
organisme
tanah
menguntungkan. Lebih jauh dikemukakan bahwa penggunaan pupuk anorganik dan hayati (biofertilizer Fertismart) mampu meningkatkan populasi Azotobacter tanah pada budidaya SRI sebesar 4.4 x 103 sel/g lebih tinggi dibanding tanpa pemberian pupuk hayati (2.4 x 103 sel/g) maupun pada budidaya konvensional (1.9 x 103 sel/g). Populasi mikrob selulolitik dan Azotobacter pada dua cara budidaya yang diaplikasikan menunjukkan adanya penurunan pada pemberian 50% dosis pupuk N, P dan K.
Adanya penurunan juga terlihat pada produksi dan beberapa
komponen pertumbuhan, kandungan dan serapan hara dari N dan K tanaman, dan kandungan hara N total dan N-NH 4 dan N-NO 3 , serta ketersediaan Fe tanah pada saat panen. Uji korelasi menunjukan bahwa kandungan N-NH 4 setelah panen berkorelasi positif terhadap kedua populasi mikrob tersebut, dengan nilai r = 0.33** (α = 0.01) untuk hubungan mikrob selulolitik dan N-NH 4 dan r= 0.29** (α=0.02) untuk hubungan azotobacter dan N-NH 4 , dapat disimpulkan bahwa peningkatan kandungan N-NH 4 tanah sejalan dengan peningkatanpopulasi kedua mikrob tersebut. Keberadaan mikrob selulolitik pada kedua budidaya padi tersebut cenderung mengikuti ketersediaan Fe tanah, dimana semakin meningkat ketersediaan Fe tanah akan menurunkan populasi dari kedua mikrob tersebut, namun demikian dari hasil uji korelasi menunjukkan hanya mikrob selulolitik yang berkorelasi negatif dengan peningkatan ketersediaan Fe tanah, dengan nilai r
108 = -0.37** (α = 0.003) sedangkan pada mikrob Azotobacter tidak nyata berkorelasi nyata terhadap ketersediaan Fe,dengan nilai r = -0,15tn (α = 0.24). Pergerakan air bawah tanah ke permukaan ketika air pasang memindahkan sejumlah Fe larut dari bawah permukaan tanah sehingga mempengaruhi aktivitas mikro tersebut.
109
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kegiatanisolasidanseleksi
mikrobselulolitik
di
persawahanpasangsurut
Kalimantan Selatan telahmenemukanempat isolatbakteridan fungi selulolitikyang memiliki
kemampuan
mengeksresikan
tiga
dan
(endoglukanase,eksoglukanase
enzim
selulase
β-glukosidase)
yang
mampuberkembangdanberaktivitaspada pH tanahmasam (3.5) ataupuntanahnetral (6.5). Kemampuandalam mendekomposisibahanjeramipadi, berdasarkanbobotdan volume bahanjeramipaditerjadipenyusutan bobot sebesar 59.5-73.2% danvolume sebesar 31.0-47.9%, danterjadi penurunan nilai C/N bahanjeramidari 30.1 menjadi 16.1-20.2selama 14 hari.
Kemampuan mikrobseluloliitik tersebut dalam
mempercepat pengomposan jerami padi dengan nilai C/N sebesar 39.1 menjadi≤ 20 membutuhkan waktu hanya 10 hari. termofilik (tumbuh
pada suhu ≥ 70
Isolat-isolatinimerupakan mikrob
o
C)dan
menunjukkan
padalingkunganpersawahanpasang
viabilitasnya
surut
yang
diberikomposjeramihasildaridekomposisiolehmikrobtersebut pada saat panen. Pemberian kompos jerami diperkaya Azotobacter mampu menekan penggunaan pupuk N, P dan K sebanyak 25% dari dosis pupuk yang direkomendasikan. PemberiankomposjeramipadidiperkayaAzotobactertanpapupukbuatan mampumeningkatkan N-NO 3 dan N-NH 4 tanah, dengan 50% dosispupuk N, P dan K mampumeningkatkankandungan P tersediatanah, dandengan75% dosispupuk N, P
dan
K
mampumeningkatkanketersediaan
P
dan
K.
Selanjutnya,
PemberiankomposjeramipadidiperkayaAzotobacterpadapersawahanpasangsurut di Kalimantan Selatan mampumengefisienkanserapanharaN dan K tanamansebesar 25% daridosisrekomendasipupuk yang diberikan. Aplikasi kompos jerami diperkaya Azotobacterdengan 100% pupuk N, P dan K mampu meningkatkan hasil gabah kering panen Padi Ciheranglebih tinggi dibandingkan pemberian 100% dosis pupuk N, P dan K tanpa kompos jerami dan keberadaan
Azotobacter
dalam
memperkaya
meningkatkan efisiensi serapan hara N, P dan K
kompos
jerami
mampu
110 Penerapanbudidaya dilaksanakanpadalahantipe
SRI
di B
persawahanpasangsurut
yang
pada
2011
MK
secaranyatamampumeningkatkanproduksipadiCiheranghampir
22%
lebih
tinggidibandingkandenganbudidayapadikonvensional, yaitu dari 3.56 ton GKG/ha pada bididayapadikonvensional menjadi sebesar 4.34 ton GKG/ha pada budidaya SRI. Penerapan budidaya padi SRI di persawahan pasang surut mampu menekan potensi keracunan Fe dan Al, serta menekan serapan Fe padi Ciherang, dimana kandungan Fe jaringanpadiCiherangpadabudidayapadi SRI (87.8 ppm Fe) secaranyatalebihrendahdibandingkandenganbudidaya
padikonvensional
(241.8
ppm Fe). Saran Dari kegiatan penelitian ini ditemukan empat isolatmikrobselulolitikunggul, yaitu bakteri selulolitik GA22 dan ST22, dan fungi selulolitik SN123 dan C52, dapat dipergunakan sebagai dekomposer untuk mempercepat dekomposisi bahan jerami padi untuk penyediaan kompos pada setiap musim tanam di persawahan. Penerapan budidayaSystem of RiceIntensification (SRI) dapat direkomendasikan sebagai alternatif budidaya padi di lahan pasang surut, terutama untuk di persawahan pasang surut tipe B pada musim kemarau. Kedalamanjelajah akar di daerahpasangsurutdibatasiolehkedalamanfluktuasi air pasangsurutdanlapisanpirit.Sehinggadiperlukankajiantentangpengaruhkedalamanfl uktuasi air danlapisanpiritterhadappertumbuhandanproduksipadibudidaya SRI di daerahpasangsurut.
DAFTAR PUSTAKA Adney B, Baker J. 2008. Measurement of Cellulase Activities. LaboratoryAnalyticalProcedurs. Issuedate: 08/12/1996. National Renewable Energy Laboratory. Colorado. Alexander M. 1961. IntroductiontoSoilMicrobiology. John Wiley& Sons, Inc. Publisher. New York and London Ammari TG. 2005. Total Soluble Iron in The Soil Solution of Physically, Chemically and Biologically Different Soils. A thesis of the doctoral degree.Justus Liebig University Giessen. Germany. Anas I, Rupela OP, Thiyagarrajan TM, Uphoff N. 2011. Areview of studies on SRI effects on beneficial organisms in rice soil rhizospheres. Paddy Water Environm 9:53-64. Anas I. 2008. Penurunanemisi gas metan (CH 4 ) melaluipenerapanbudidayapadi SRI (System of Rice Intensification). Workshop Nasional SRI. Jakarta, 21 Oktober 2008. Anas I, Megasari NK, Suprihati,Ohta H. 2007. Can (Indonesia) farmers contribute significantly to reduce GHG emission? In seminar The Value of the System of Rice Intensification (SRI) resulted from 5 years ExperienceUnder Japanese Loan Project in Indonesia. Ibaraki University, AMI. Japan. Anas
I. 1989.Biologi dalamPraktek.DepartemenPendidikandanKebudayaan.Dirjen PusatAntarUniversitasBioteknologi. IPB.
Tanah DIKTI.
Chew I, Obbard JP, Stanforth RR. 2001. Microbial cellulose decomposition in soils from a rifle range contaminate with heavy metals. Environ. Pollut. 111: 367-375. Darwis AA, Sailah I, Irawadi TT, Safriani.1997. KajianKondisiFermentasipadaProduksiSelulasedariLimbahKelapaSawit (TandanKosongdanSabut) olehNeurosporasitophila. J. Teknol. Ind. Pert. 5(3): 199-207. Diperta.2004. LaporanTahunanDinasPertanianTanamanPanganPropinsi Kalimantan Selatan 2004.Banjarbaru. Dobermann A. 2004. Acriticalassesment of the System of Rice Intensification (SRI). Agric. Sys. 79:261-281. Dobermann A, Fairhurst T. 2000. Rice.Nutrient disorders & nutrient management.Handbook series. Potash & Phosphate Institute (PPI), Potash & Phosphate Institute of Canada (PPIC) and International Rice Research Institute (IRRI). 191 p. Dybkaer R. 2001. Unit “katal” for catalytic activity. 73(6):927–931.
Pure Appl. Chem.,
112 El-Khawas, L. and H. Adachi. 1999. Identification and quantification of auxins in culture media of Azospirillum and Klebsiella and their effect on rice roots. BiolFertil Soils 28:377-381 Fahmi A. Pengaruhpemberianjeramipaditerhadappertumbuhantanamanpadi sativa) di tanahsulfatmasam. BeritaBiologi 10(1): 7-14.
2010. (Oriza
Fernandes ECM,Uphoff N. 2002. Summary from conference reports. In: Uphoff N, Fernandes ECM, Yuan LP, Peng JM, Rafaralahy S, Rabenandrasana J. (Ed.) Assessment of the system for rice intensification (SRI). Proceedings of an International Conference, Sanya, China, April 1–4, 2002. http://ciifad.cornell.edu/sri/proccontents.html Galletti AMR, Antonetti C. 2011. Biomasspre-treatment: separation of cellulose, hemicelluloseand lignin. http://www.eurobioref.org/Summer_School /Lectures_Slides/day2 /Lectures /L04_AG%20Raspolli.pdf Gunarto L. 1990. ExopolysaccharideProduction of BradyrhizobiumJaponicum Jordan 1982 inRelationtoItsSymbioticPerformancewithSoybean[Glycine Max (L.) Merr]andPersistencein The Soil. University of The Philippines. Los Banos. Hardjowigeno S, Rayes L. 2005. Tanah Sawah: Karakteristik, Kondisi, dan Permasalahan Tanah Sawah di Indonesia. Bayu Media. Malang, Jawa Timur. Havlin JL, Beaton JD, Tisdale SL, Nelson WL. 1998. Soil Fertility and Fertilizers. An Introduction Nutrient Management. Prentice-Hall, Inc. New Jersey. pp 246-255. Ilmen MA, Saloheimo, Maija-Leena O, Penttila ME. 1997. Regulation of CellulaseGene Expression In The FilamentousFungusTrichodermareesei. ApplEnvironMicrobiol 63(4): 1208-1306. Djayusman M. 1993. Pengaruh residu kapur, fosfat dan bahan organik terhadap hasil kacang tanah pada tanah sulfat masam aktual Karang Agung Ulu. Hasil Penelitian Proyek Penelitian Pertanian Lahan Pasang Surut dan Rawa Swamps-II. Pusat penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. Hal 147-154. KalsimDK,Yushar, Subari, Deon M, Hanhan A. 2007. Rancangan Operasional Irigasi untuk Pengembangan SRI. Seminar KNIICID. Pada tanggal 24 November 2007. Bandung. Kasno A. 2009. Keracunan besi sawah bukaan baru dan penanggulangannya. Informasi Ringkas Bank Pengetahuan Padi Indonesia. Balai Penelitian Tanah. Bogor. Kuswara.2003. DasarGagasandanPraktekTanamPadiMetode SRI (System of Rice Intensification)-PertanianEkologis.Yayasan FIELD Indonesia. Leiwakabessy FM, Sutandi A. 1998. PupukdanPemupukkan. Jurusan Tanah FakultasPertanianInstitutPertanian Bogor. Bogor. 210 hal.
113 LemlitUnlam. 2004. Penyusunan Master Plan Kawasan AgropolitanTerantang Kabupaten Barito Kuala. Laporan Penelitian. Kerjasama Universitas Lambung mangkurat dengan Pemerintah Kabupaten Barito Kuala. Banjarmasin. Lymar ES, Bin Li, Renganathan V. 1995. Purification and characterization of a cellulose-binding β-glucosidase from cellulose degrading culture of Phanerochaetechrysosporium. Appl. Environ. Microbiol.61:2976- 2980. Lynd LR, Weimer PJ, ZylWH van, Pretorius IS. 2002. Microbial Cellulose Utilization: Fundamentals and Biotechnology. Microbiol. Mol. Biol. Rev. 66(3):506-577. Makarim AK, Sumarno, Suyamto. 2007. JeramiPadi: PengelolaandanPemanfaatan. PusatPenelitiandanPengembanganTanamanPangan.BadanPenelitiandanPeng embanganPertanian. Bogor. Malarvizhi P, Ladha JK. 1999. Influence of available nitrogen and rice genotype on associative dinitrogen fixation. Soil Sci. Soc.Am. J. 63:93-99. Mandelstam J, McQuillen K, Dawes I. 1986. Biochemistry of BacterialGrowth. BlackwellScientific Publication. London. Meryandini A, Widosari W, Maranatha B, Sunarti TC, Rachmania N, Satria H. 2009. Isolasibakteriselulolitikdankarakterisasienzimnya. MakaraSains. 13(1): 33-38 Michel FC,Pecchia JA, Rigot J, Keener HM. 2003. Mass and nutrient losses during composting of dairy manure with sawdust versus straw amendment. Compost SciUtilizJ. 32: 265-273. Minh LQ, Tuong TP, Mensvoort MEF van, Bouna J. 1998. Soil and Water Tabel Management effects on Aluminium Dynamic in an Acid Sulphate soil in Vietnam. AgricEcosysEnv. 68: 255-262. Muhrizal S, Shamshuddin J, Fauziah I, Husni MAH. 2006. Changes in iron-poor acid sulfate soil upon submergence. Geoderma 131: 110-122 Noor M. 1996. PadiLahan Marginal. PenebarSwadaya. Jakarta. Notohadiprawiro T. 1996. Mengenalihakekatrawasebagaidasarpengembangannyauntukbudidayatanam anpangan, dalamdiskusi Panel “KilasBalikProyekpembukaanPersawahanPasangSurut (P4S) di Kalimantan. UGM. Nur
HS.2007. AplikasiEnzimBakteriSelulolitikdanXilanolitikdalamDekomposisiSubstratL imbahTanamanPadi.Tesis.InstitutPertanian Bogor.
Nursyamsi D. 2000. Aluminium tolerance of tropical food crops. Division of Bioresources and Bioproduction. Thesis.Hokkaido University. Hokkaido. (unpublished).
114 PaulEA, Clarck FE. 1989. SoilMicrobiologyandBiochemistry.Academic Press, Inc. Perez J, Munoz-Dorado J, de la Rubia T, Martinez J. 2002. Biodegradation and biological treatments of cellulose, hemicellulose and lignin: an overview. Int. Microbiol. 5:53-63. Poerwanto AS. 2008. PengaruhPolaIrigasiterputus (Intermittent) MetodeSystem of Rice Intensification (SRI) terhadap Usaha Tani.Workshop Nasional SRI. Jakarta, 21 Oktober 2008. Purwasasmita.2008. Olah Tanah sebagaiBioreaktor, LandasanUtamaSystem of Rice Intensification (SRI).Workshop Nasional SRI. Jakarta, 21 Oktober 2008. Razie
F. 2003. KarakteristikAzotobacterspp. danAzospirillum spp. daririzosferpadisawah di daerahdataranbanjir Kalimantan Selatan danpengaruhnyaterhadappertumbuhanawaltanamanpadi.Tesis (tidak dipublikasikan). Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Razie F, Haris A. 2004. Karakteristik Lingkungan Mikroba Penambat N 2 (Azotobacter spp.) pada Persawahan Daerah Dataran Banjir Kalimantan Selatan dan Kemampuannya Mendukung Pertumbuhan Padi. Laporan Penelitian Research Grant (tidak dipublikasikan). Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru. Razie F,Mariana ZT, Syarbini M. 2005. Penggunaan Azotobacter sebagai Biokatalisator Pemasok Hara N pada Jerami dan Sekam Padi untuk Pertumbuhan Padi di Lahan Pasang Surut Kalimantan Selatan, Laporan Penelitian Research Grant (tidak dipublikasikan). Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru Razie
F, Ifansyah H, Jumar. 2008. PemanfaatanAzotobactersebagaiBiokatalisatorPenyedia Hara N untukMensubsitusiPupuk N BuatanpadaPersawahanPasangSurut Kalimantan Selatan.LaporanHibahBersaingke XIV tahun ke 3.UniversitasLambungMangkurat. Banjarbaru.
Razie
F, Ifansyah H, Jumar. 2009. Pertumbuhandanproduksipadi didaerahpasangsurutKalimantanSelatandenganpemberianAzotobacterspp. Seminar NasionalIlmuTanah .Yogyakarta.20-22 Nopember 2009.
Roper MM, Ladha JK. 1995. Biological N 2 fixation by heterotrophic and phototrophic bacteria in association with straw. Plant Soil. 174:211-224. Salma S, Gunarto L. 1999. Enzim Selulase dari http://www.indobiogen.or.id. [30 Agustus 2010]
Trichoderma
spp.
Santi LP. 2011. Peran Bakteri Penghasil Eksopolisakarida dalam Agregasi Tanah Tekstur Berpasir. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
115 Santoso D, Karama S, Adiningsih S, Wigena IGP, Purnomo J, Widodo S. 1995. The management of sloping lands for sustainable agriculture in Indonesia. p. 53-86. In Sajjapongse, A. (Ed.). 1995. Asia land: The Management of Sloping Lands for Sustainable Agriculture in Asia. Phase 2, 1992-1994. Network Document No. 12. IBSRAM, Bangkok. Sato
S. 2007. SRI mampu Tingkatkan Produksi Padi http://www.kapan lagi.com/h/0000182474.html [4 Mei 2009]
Nasional.
Silva RD, ES Lago, Carolina WM, Mariana MM, Yong KP, Gomes E. 2005. Production of XylanaseandCMC-ase On Solid State FermentationinDifferentResiduesbyThermoascuseurantiacusmiehe. Brazilian J of Microbiol. 36: 235-241. SirisenaDM,Manamendra TP.1995. Isolationandcharacterization of cellulolyticbacteriafromdecomposingricestraw. J. Nat. Sci. Country SriLanka, 23: 25-30. Skinner FA. 1960. The Isolation of anaerobiccellulosedecomposingbacteriafromsoil. J . gen. Microbiol. 22: 539-554 Slonczewski1 JL, Fujisawa M, Dopson M. Krulwich TA. 2009. CytoplasmicpHMeasurementandHomeostasis inBacteriaandArchaea. AdvancesinMicrobialPhysiology.Vol. 55. Elsevier Ltd. SoilSurveyStaff. 1996. KeysSoilTaxonomy. NinthEdition. Natural Resources Conservation Service-USDA.Staff UGM. 2009. Tata air di lahan rawa pasang surut. http://bws.staff.ugm.ac.id/wp-content [4 Mei 2009]. Stoop WA, Uphoff N,Kassam A. 2002. A review of agricultural research issues raised by the System of Rice Intensification (SRI) from Madagascar: Oppotunities for improving farming systems for resource-poor farmers. Agric. Sys. 71:249-274 Subagjo H. 2006. Lahan RawaPasang Surut dalam Karakteristik Pengelolaan Lahan Rawa. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian Subagjo H, Widjaja-Adhi IPG. 1998. Peluangdankendalapenggunaanlahanrawauntukpengembanganpertanian di Indonesia. Kasus: Sumatera Selatan dan Kalimantan TengahdalamProsidingPertemuanPembahasandanKomunikasiHasilPenelitia n Tanah danAgroklimat. MakalahUtama. PusatPenelitian Tanah danAgroklimat.Bogor, 10-12 Februari 1998. Suriadikarta DA,Sutriadi MT. 2007. jenislahanberpotensiuntukpengembanganpertanian di
Jenislahanrawa.
116 JurnalLitbangPertanian 26 (3). 115-1122 Susilowati DN, Rosmimik, Saraswati R, Simanungkalit RDM, Gunarto L. 2003. Koleksi, Karakterisasi, dan Preservasi Mikroba Penyubur Tanah dan Perombak Bahan Organik dalamProsiding Seminar Hasil Penelitian Rintisan dan Bioteknologi Tanaman, Bogor, 23-24 September 2003. http://biogen.litbang.deptan.go.id/terbitan/prosiding/fulltext_pdf/prosiding2 003_84-96_susi.pdf [30 Agustus 2010] Sumarno. 2006. Pertanian organik vs revolusi hijau dalam konteks ketahanan pangan nasional dalam Seminar Bulanan Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. 11 Agustus 2006 Sumarno. 2006a. PerananTeknologidalamMendukungKetahananPangannasional. Seminar NasionalSumberDayaLahanPertanian.BBPSDL.Bogor. Supriyo A, Jumberi A. 2007.Kearifan lokal dalam budidaya padi di lahan pasang surut.Di dalam: Kearifan Lokal Pertanian di Lahan Rawa. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. 12-14 Juli 2007. Banjarbaru. Kalimantan Selatan.hlm 13-17 Sutanto R. 2002. PenerapanPertanianOrganik. PemasyarakatandanPengembangan.Kanisius.Jokjakarta. Sulaiman S, Khairullah I, Imberan I. 1998. Hasil penelitian padi rawa. Seminar Nasional Penunjang Akselerasi Pengembangan Lahan pasang Surut. Balitra. Banjarbaru, 21-22 Maret 1998. Sylva DM, Fuhrmann JJ, Hartel PG, Zuberer DA.2005. andApplications of SoilMicrobiology. Prentice Hall, Inc.
Principles
Taufik M. 2011. Provinsi Kalimantan Selatan MenjadiPenyanggaProduksi.(DinasPertanian TPH Kalimantan Selatan).http://distan.kalselprov.go.id/ [19 Pebruari 2012]. Thurmel M, Espinosa J, Franco L, Perez C, Hernandez H, Gonzales E, Rojas C, Sanchez D, Fernades N, Barrios M, Whalen JK, Turner BL. 2011. On-farm evaluation of a low-input rice production system in Panama. Paddy Water Environ 9:155-161. Toriyama K, Ando H. 2011. Towards an understanding of the the high productivity of rice with System of Rice Intensification (SRI) management from the perspectives of Soil and plant physiological processes. Japanese Soc. Soil Sci Plant Nutr. P. 236-649 WangSH, Cao W, Jiang D, Dai T, Zhu Y. 2002. Physiological characteristics and high-yieldtechniques with SRI. In: Uphoff N, Fernandes ECM, Yuan, LP, Peng JM, Rafaralahy S,Rabenandrasana J. (Ed.)y Assessment of the System for Rice Intensification (SRI). Proceedings of anInternational Conference, Sanya, China, April 1–4, 2002.
117 Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2007. Konservasi Lahan Pasang Surut dengan Teknologi Tradisional ”Tepulikampar”. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Banjarbaru. hlm 10. Yang
W. 2010. Fast ViabilityAssessment of ClostridiumsporesSurvivalinExtremeEnvironments. California Institute of Technology. Pasadena, California. http://thesis.library.caltech.edu/5501/1 [29Juni 2011]
Zhao L, Wu L, Wu M, Li Y. 2011. Nutrient uptake and water use efficiency as affected by modified rice cultivation methods with reduced irrigation. Paddy Water Environ 9:25-32 Zuberer DA. 1998. Biological Dinitrogen Fixation: Introduction and Nonsymbiotic. In Sylva, D.M., J.J. Fuhrmann, P.G. Hartel and D.A. Zuberer (Eds).Principles and Applications of Soil Microbiology. Prentice Hall, Inc. p. 295-321.