PROSIDING FORUM TAHUNAN PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN TEKNOLOGI DAN INOVASI NASIONAL 2012
INOVASI FRUGAL: TANTANGAN DAN PELUANG PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SERTA BISNIS DI INDONESIA
PUSAT PENELITIAN PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA
PROSIDING FORUM TAHUNAN PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN, TEKNOLOGI DAN INOVASI NASIONAL
INOVASI FRUGAL: TANTANGAN DAN PELUANG PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SERTA BISNIS DI INDONESIA
Semua makalah yang terdapat dalam prosiding ini telah melalui proses seleksi oleh tim seleksi, perbaikan berdasarkan hasil diskusi, dan editing oleh tim editor. Editor 1. Drs. Budi Triyono, M.Si. (Pappiptek LIPI) 2. Dra. Wati Hermawati, MBA. (Pappiptek LIPI) 3. Karlina Sari, SE., MA. (Pappiptek LIPI) 4. Kusnandar, STP., MT. (Pappiptek LIPI) 5. Lutfah Ariana, STP., MPP. (Pappiptek LIPI) 6. Setiowiji Handoyo, SE. (Pappiptek LIPI) Tim Seleksi Makalah 1. Prof. Dr Erman Aminullah (Pappiptek LIPI) 2. Dr. Trina Fizzanty (Pappiptek LIPI) 3. Ir. Dudi Hidayat, M.Sc. (Pappiptek LIPI) 4. Dra. Wati Hermawati, MBA. (Pappiptek LIPI) 5. Prof. Dr. Ir. E. Gumbira Said, M.A.Dev. (Fakultas Teknologi Pertanian – IPB) 6. Prof. Dr. Martani Huseini (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik – UI) 7. Dr. Meuthia Ganie-Rochman (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik – UI) 8. Dr. Ir. Dian Vidyatmoko, M.Sc. (BPPT) 9. Marcelino Pandin, Ph.D. (Sekolah Bisnis Manajemen–ITB) 10. Prof. Togar M. Simatupang, M.Tech., Ph.D. (Sekolah Bisnis Manajemen–ITB) 11. Mohammed Ali Berawi, M.Eng. Sc., Ph.D. (Fakultas Teknik – UI) 12. Avanti Fontana, Ph.D. (Fakultas Ekonomi – UI) 13. Dr. Ir. Sony Yuliar (Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan–ITB) Desain sampul: Purnama Alamsyah
PUSAT PENELITIAN PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA Jl. Jend. Gatot Subroto No. 10, Widya Graha LIPI Lt.8, Jakarta 12710 Telepon 021-5201602, 5225206, 5251542 ext. 704 Faximile 021-5201602 Email
[email protected] Website http://www.pappiptek.lipi.go.id
KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Allah SWT, Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Inovasi (Iptekin) Nasional yang diadakan oleh Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (PAPPIPTEK) LIPI pada tanggal 10 Oktober 2012 di Gedung Widya Graha LIPI ini akhirnya dapat diselesaikan. Forum tahunan ini merupakan kegiatan yang menghimpun para pelaku serta pemerhati iptek dari berbagai lembaga litbang, akademisi dan industri untuk membahas isu-isu kebijakan dan manajemen perkembangan iptekin baik dalam lingkup nasional maupun global. Ini merupakan seminar kedua yang kami laksanakan dengan mengambil tema “Inovasi Frugal: Tantangan dan Peluang Penelitian dan Pengembangan (Litbang) serta Bisnis di Indonesia”. Seminar ini diawali dengan pengarahan oleh Bapak Prof. Dr. Ir. H. Gusti Muhammad Hatta, MS (Menteri Riset dan Teknologi) dan dibuka secara resmi oleh Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Prof. Dr. Lukman Hakim, MSc. Pada kesempatan ini, kami mengundang Prof. Rishikesha T. Krishnan, Professor of Corporate Strategy & Policy, Indian Institute of Management, dari Bangalore, India sebagai pembicara kunci dan Dr. Warsito P. Taruno, penemu tomografi volumetric 4D, sebagai panelis utama. Dalam prosiding ini dimuat makalah dari pembicara kunci dan dua makalah dari persidangan utama yang dimoderatori oleh Dr. Ninok Leksono. Makalah dalam persidangan utama ditulis oleh Dr. Warsito P. Taruno dan peneliti-peneliti PAPPIPTEK-LIPI, yakni Dr. Trina Fizzanty, Dra. Nani Grace Simamora, M.Hum., dan Ir. Dudi Hidayat, M.Sc. Prosiding ini juga menampilkan 24 makalah yang telah dipresentasikan secara oral dan dua makalah yang dipresentasikan dalam bentuk poster. Adapun makalah presentasi oral dibagi menjadi empat sesi dengan tema berbeda, yaitu Kebijakan dan Kondisi Makro, Pengembangan Inovasi Teknologi, Pemanfaatan Inovasi Teknologi, serta Litbang dan Inovasi. Semua makalah ini telah melalui proses seleksi oleh tim seleksi dan telah dikoreksi berdasarkan hasil diskusi, yang kemudian dilakukan proses editing oleh tim editor. Pada bagian lampiran, ditampilkan pula jadwal acara, daftar pemakalah, dan daftar panitia. Penyusunan prosiding ini melibatkan banyak pihak, mulai dari tim penyeleksi makalah, tim persidangan yang mengumpulkan seluruh bahan untuk persiapan prosiding, dan tim editor. Kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan prosiding ini kami ucapkan terima kasih. Jakarta, 14 Januari 2012 Ketua Panitia
Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
i
DAFTAR ISI Kata Pengantar ......................................................................................................................I Daftar Isi ................................................................................................................................II Sambutan Kepala Pappiptek-LIPI ...................................................................................... IV Sambutan Kepala LIPI ........................................................................................................ VI Sambutan Menteri Negara Riset dan Teknologi ............................................................. VIII
Persidangan Utama ..............................................................................................................1 Management of Frugal Innovation: Lessons from Indian Experiences ..............................2 Strategi Memacu Inovasi Frugal di Indonesia: Kajian Permintaan Efektif, Kemampuan Teknologi dan Kewirausahaan Inovatif ........................................................................... 12
Kebijakan dan Kondisi Makro ............................................................................................ 32 Proses Pengembangan Inovasi Frugal Dilihat dari Perspektif Ekonomi Institusional Berparadigma Realisme Kritis ........................................................................................ 33 Pengembangan Kelembagaan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek) Ke Arah Indonesian Science And Technology Park (Istp) dalam Mendukung Sistem Inovasi Nasional (Sinas) Untuk Menghasilkan Inovasi Frugal ............................. 55 Strategi Lembaga Litbang Daerah dalam Mengembangkan Inovasi Frugal di Kabupaten Pati ................................................................................................................................. 69 Peran Lembaga Riset dalam Sistem Inovasi Frugal Sektor Pertanian: Analisis Berpikir Sistem ............................................................................................................................ 77 Faktor-Faktor yang Mendorong Inovasi Frugal: Kondisi di India dan Prospek di Indonesia ....................................................................................................................................... 89 Implementasi Program Krenova Pemerintah Kota Magelang Tahun 2012 (Studi Pada Tiga Produk Unggulan Kota Magelang Kategori Kreatif-Inovatif-Aplikatif Dengan Biaya Kompetitif) .................................................................................................................... 104 Pengembangan Mobil Komodo di Tengah Ketidakpastian Kebijakan ........................... 115
Pengembangan Inovasi Teknologi .................................................................................. 125 Teknologi Frugal Mengunakan Enkas yang Dimodifikasi: Untuk Pengembangan Kentang Tahan Terhadap Penyakit Layu Fusarium .................................................................... 126 Application of Pulp Modification for Automotive Brake Lining ........................................ 133 Budaya Kreatif Desainer Graphic Fashion dalam Inovasi Frugal Patchwork Bandung .. 142 Pengembangan Prototipe Pegas Ulir (Coil Spring) Kereta Api Sebagai Upaya Mengurangi Unscheduled Downtime di PT. KAI ........................................................... 147
Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
ii
Alih Teknologi Litbang LPPM UPNVY Pada Petani Bunga Krisan Di Kawasan Terdampak Bencana Gunung Merapi: Mendukung Inovasi Frugal Menggunakan Amelioran Dan PGPR untuk Meningkatkan Pendapatan Masyarakat ................................................... 159
Pemanfaatan Inovasi Teknologi ...................................................................................... 167 Pupuk Organomineral dan Anorganik untuk Meningkatkan Produksi Jagung Manis dan Kualitas Jerami di Tanah Masam ................................................................................. 168 Studi Pemanfaatan Energi Air untuk Menunjang Program Peningkatan Rasio Elektrifikasi Daerah Terpencil .......................................................................................................... 175 Pengembangan Sistem Konversi Energi Angin untuk Meningkatkan Kesejahteraan di Kabupaten Indramayu .................................................................................................. 182 Penghematan Biaya (Cost Reduction) Melalui Teknik Baru Finishing Bangunan dalam Mendukung Pengembangan Budaya Kreatif dalam Mendukung Inovasi Frugal........... 190 Pemanfaatan Membran (Webs) Gelatin/Polivinil Alkohol Berskala Mikro Hingga Nano Sebagai Pembalut Luka Primer .................................................................................... 196 Rehabilitasi Suara Penderita Tuna Laring Menggunakan Electrolarynx Berbasis Microcontroller .............................................................................................................. 207
Litbang Dan Inovasi ......................................................................................................... 219 Senjang Adopsi Teknologi Pada Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Organik dan Pandan Wangi di Kabupaten Tasikmalaya dan Cianjur ................................................ 220 Open Source Sebagai Driver Inovasi Frugal ................................................................. 231 Kajian Kasus Eko-Inovasi Pertanian Organik Melalui Lensa Teori Strukturasi dan Pendekatan Praktik....................................................................................................... 240 Model Agribisnis Pedesaan Lahan Kering Yang Ramah Lingkungan (Kasus Sistem Integrasi Tanaman dan Ternak (Sitt) Di Kabupaten Blora) ............................................ 250 Aplikasi Teknologi Berbasis Sistem Informasi Manajemen untuk Mengefisienkan Kualitas Layanan Logistik di PT DMK Surabaya......................................................................... 258 Strategi Inovasi Frugal Pada Usaha Batik Keluarga di Sentra Sentra Industri Kreatif Batik Jawa Timur ................................................................................................................... 268
Makalah Poster ................................................................................................................. 283 Kajian Awal Pemanfaatan Energi Terbarukan Untuk Meningkatkan Nilai Ekonomi Kawasan Hutan Lindung: Studi Kasus Kuta Malaka, Kabupaten Aceh Besar ............... 284 Rancang Bangun Alat Uji Seal Dinamik untuk Aplikasi Pengujian Seal Mekanis, Seal Oli, Dan Paking Tambang ................................................................................................... 292
Lampiran ........................................................................................................................... 301
Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
iii
SAMBUTAN KEPALA PAPPIPTEK-LIPI
Bismillaahirrohmaanirohiim Yang kami hormati : Bapak Prof. Dr .Ir .H. Gusti Muhammad Hatta, MS, Menteri Riset dan Teknologi Bapak Prof. Dr. Lukman Hakim, MSc., Kepala LIPI Prof. Rishikesha T. Krishnan, Professor of Corporate Strategy & Policy, Indian Institute of Management, Bangalore Dr. Ninok Leksono, Rektor Universitas Multimedia Nusantara Dr. Warsito P. Taruno, Pembicara Ibu dan Bapak Pemakalah, Peserta, dan Undangan yang kami hormati. Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Selamat pagi dan salam sejahtera. Marilah kita panjatkan puji syukur kepada Allah SWT di pagi ini kita dapat berkumpul pada acara Forum Tahunan Pengembangan Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Inovasi Nasional kedua. Dewasa ini ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat dan diyakini menjadi faktor penentu daya saing suatu bangsa. Hanya bangsa yang menguasai yang iptek dapat bersaing di dunia global. Sementara itu di Indonesia berdasarkan laporan IndikatorIptek Indonesia 2009, hampir dalam tiga puluh tahun terakhir Indonesia hanya berhasil mengekspor industri manufaktur dengan intensitas teknologi yang rendah. Sejak dekade 1990 sampai sekarang, pembiayaan iptek dan litbang oleh pemerintah cenderung terus menurun menuju keadaan terabaikan. Sudahkan kebijakan dan manajemen iptek di berbagai sektor di negara ini tepat? Pemikiran dan pertanyaan semacam ini telah mendorong PAPPIPTEK-LIPI untuk memfasilitasi dan menghimpun para pelaku serta pemerhati iptek dari berbagai lembaga litbang, akademisi dan industri untuk melakukan urun rembuk melalui suatu forum pengembangan iptek nasional. Diharapkan pertemuan semacam ini dapat membahas secara komprehensif isu-isu kebijakan, manajemen dan pengukuran pengembangan iptek nasional dan internasional yang pada gilirannya dapat melahirkan saran serta rekomendasi kebijakan iptek yang tepat. Sejak awal tahun ini, kami menyampaikan call for papers guna mengundang para pemakalah dari berbagai institusi baik pemerintah maupun organisasi swadaya masyarakat, perguruan tinggi negeri dan swasta, litbang pemerintah dan di industri yang mungkin tertarik dengan penelitian, pengkajian, serta analisis yang terkait dengan kebijakan publik di bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi. Masuk sebanyak 53 makalah setelah diseleksi yang memenuhi persyaratan dari segi lingkup substansi dan pemenuhan kriteria publikasi makalah, tersaring sebanyak 26 makalah: 2 dipresentasikan melalui poster dan 24 dipresentasikan secara oral. Yang dipresentasikan secara oral dilakukan pada sesi siang secara paralel. Secara garis besar, substansi yang dimuat dalam makalah-makalah tersebut terbagi pada empat ruang lingkup. Untuk lingkup “Kebijakan dan Kondisi Makro” terdapat 7 makalah, “Pengembangan Inovasi Teknologi” terdiri dari 5 makalah, “Pemanfaatan Inovasi Teknologi” terdapat 6 makalah, serta “Litbang dan Inovasi” terdiri dari 6 makalah. Sesi di pagi hari ini setelah nanti dibuka secara resmi oleh Prof. Dr. Lukman Hakim dan mendapatkan pengarahan dari Prof. Gusti Muhammad Hatta, kemudian kita sama-sama mendengarkan ”Keynote Address” yang akan disampaikan oleh Prof. Rishikesha T. Krishnan. Setelah itu kita langsung di ruangan ini mengikuti paparan panelis utama Dr. Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
iv
Warsito mengenai perangkat pengobatan kanker dan paparan dari Dr. Trina Fizzanti, Dra. Nani Grace Berliana, M.Hum., serta Ir. Dudi Hidayat yang akan berbicara mengenai inovasi frugal di Indonesia. Ketiga paparan dari para panelis tersebut akan dipandu oleh seorang wartawan senior yang sudah tidak asing lagi bagi kita yaitu Dr. Ninok Leksono. Kami mohon dengan hormat kepada Prof. Lukman Hakim, M.Sc., Kepala lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, untuk berkenan membuka secara resmi kegiatan “Forum Tahunan Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Inovasi Nasional Ke-2” ini. Kami penyelenggara mengucapkan terima kasih yang sebesar-besanya kepada Bapak Prof. Gusti Muhammad Hatta, Menteri Riset dan Teknologi atas kesediaannya untuk hadir dan menyampaikan sambutan, serta Prof. Rishikesha T. Krishnan atas kesediaannya dalam memberikan “keynote address”. Kepada seluruh hadirin, pemakalah, peserta, dan para undangan, kami tidak lupa menyampaikan permohonan maaf sekiranya terdapat kekurangan serta terdapat hal-hal yang membuat ibu dan bapak kurang nyaman selama penyelenggaraan seminar ini. Billahi Taufik Wal Hidayah, Wassalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh.
Jakarta, 10 Oktober 2012 Kepala Pusat Penelitian Perkembangan Iptek Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Prof. Dr. Ir. Husein Avicenna Akil, M.Sc.
Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
v
SAMBUTAN KEPALA LIPI Bismillaahirrohmaanirohiim Yang kami hormati : Bapak Prof. Dr .Ir .H. Gusti Muhammad Hatta, MS, Menteri Riset dan Teknologi Prof. Rishikesha T. Krishnan, Professor of Corporate Strategy & Policy, Indian Institute of Management, Bangalore Dr. Ninok Leksono, Rektor Universitas Multimedia Nusantara Dr. Warsito P. Taruno, Pembicara Ibu dan Bapak Pemakalah, Peserta, dan Undangan yang kami hormati. Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Selamat pagi dan salam sejahtera. Pertama-tama, kami mengucapkan selamat datang di Gedung LIPI dan terima kasih kami ucapkan atas kesediaan waktu Bapak dan Ibu sekalian untuk berpartisipasi dalam acara yang penting ini. Seminar Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional dengan tema “Inovasi Frugal: Tantangan dan Peluang Penelitian dan Pengembangan (Litbang) serta Bisnis di Indonesia” digagas oleh PAPPIPTEK-LIPI dengan maksud untuk memberikan kontribusi kepada seluruh pemangku kepentingan iptek terutama pihak pemerintah, universitas, industri, media, dan masyarakat pemerhati iptek dalam mempercepat perkembangan dan implementasi inovasi iptek di Indonesia. Hal ini dilakukan terutama untuk menjawab tantangan kemajuan iptek dan inovasi dunia. “Inovasi Frugal” merupakan kata kunci dalam seminar tahun ini. Inovasi frugal merupakan serangkaian kegiatan desain rekayasa kreatif yang menghasilkan produk teknologi inovasi yang sangat murah (ultra-low-cost), kuat, dan mudah digunakan yang memenuhi kebutuhan pasar dengan kemampuan ekonomi rendah. Tidak hanya itu, inovasi frugal hadir dengan memahami persoalan dan kondisi lingkungan di negara berkembang dengan mengaitkan antara sumber daya yang dimiliki, teknologi kreatif, dan keahlian kewirausahaan. Kesuksesan India dan Cina memprakarsai inovasi frugal ini kembali membuka mata kita bersama bahwa ada potensi yang sama dengan yang kita miliki, seperti memiliki pangsa pasar yang luas namun sangat peka terhadap harga produk; adanya peluang ketidakmampuan negara-negara Barat untuk beradaptasi dengan perubahan pasar, kesulitan dalam mengembangkan produk berteknologi tinggi dengan biaya sangat rendah serta; kebutuhan pasar yang lebih mengutamakan fungsi dari suatu produk atau alat untuk menyelesaikan pekerjaan, dan banyaknya pembeli yang tergolong dalam price leadership market. Bahkan melalui inovasi frugal, tiga dimensi pembangunan yang berkelanjutan yaitu environmental protection, economic development, dan social equity dapat diwujudkan. Hadirin yang saya hormati, Hari ini kita akan mendengarkan bersama paparan Prof. Rishi dari India, yang telah berhasil dengan berbagai teknologi inovasi frugalnya dalam menjawab berbagai permasalahan masyarakat di India. Dari semua pengalaman tersebut, salah satu hal yang penting untuk dapat mendorong inovasi dan kinerja ekonomi khususnya dalam meningkatkan daya saing bangsa di berbagai bidang adalah melalui peningkatan peran iptek. Pada inovasi frugal, wajib disadari bersama bahwa inovasi ini memerlukan keahlian bidang desain teknologi, aplikasi teknologi, manajemen dan pemasaran, dan kesemuanya itu memerlukan keterlibatan iptek. Peran iptek tidak hanya terbatas pada penciptaan hasil inovasi saja, tetapi Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
vi
juga peningkatan kualitas sumber daya penelitian untuk lebih berpihak pada kebutuhan masyarakat dan pemecahan masalah bangsa, terlebih jika merujuk pada pendekatan inovasi frugal. Selain itu, interaksi antar aktor sistem iptek dan sistem produksi menjadi kunci kesuksesan dalam aktivitas inovasi. Salah satu hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan interaksi tersebut antara lain melalui forum komunikasi dan kerjasama antara ilmuwan, perekayasa, praktisi di industri, serta masyarakat, dan meningkatkan keterlibatan mereka dalam merumuskan kebijakan iptek. Beberapa produk pilot atau skala lab telah dihasilkan oleh LIPI. Produk hasil penemuan ini mengarah kepada efisensi biaya dan efektifitas penggunaannya, seperti LIPIPRISM@ dan Pupuk Organik Hayati. Keberhasilan skala laboratorium ini masih memerlukan waktu panjang untuk sampai pada konsumen. LIPI tidak dapat bekerja sendiri. Oleh karena itu, LIPI melalui berbagai pusat penelitian yang ada, termasuk PAPPIPTEK-LIPI, berperan penting dalam intermediasi melalui aktivitas penelitian dan pengembangan iptek. LIPI dapat memfasilitasi hubungan, keterkaitan, jejaring, dan kemitraan antara dua pihak atau lebih dalam rangka kemajuan litbang iptek dan advokasi ilmiah dalam kebijakan terkait. Perkembangan atau kemajuan iptek, inovasi, dan difusinya dalam masyarakat memerlukan dukungan berbagai pemangku kepentingan (stakeholders). Interaksi yang saling mendukung antara banyak pihak sangat diperlukan. LIPI sebagai lembaga yang memiliki fungsi tanggung jawab terhadap masyarakat turut berperan dalam menstimulasi terciptanya hubungan antara Akademisi, Pengusaha dan Pemerintah sehingga menghasilkan sinergi yang dapat mendukung Sistem Inovasi Nasional. Ibu, Bapak serta undangan yang saya muliakan, Melalui Seminar Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional: Inovasi Frugal: Tantangan dan Peluang Penelitian dan Pengembangan (Litbang) serta Bisnis di Indonesia, LIPI mengajak semua pemangku kepentingan bidang iptek untuk mempercepat dan memperkuat terbentuknya sinergi untuk mengembangkan inovasi dan kemajuan iptek di Indonesia. Kami berharap forum ini menjadi ajang dalam memfasilitasi dan menghimpun hasil penelitian, pengalaman atau praktek yang dilakukan para bapak/ibu para peneliti, praktisi/pelaku serta pemerhati iptekin dari berbagai lembaga litbang, akademisi, LSM, industri, media, dan para pemerhati iptek untuk bersama-sama urun rembuk serta membahas isu-isu tentang tantangan dan peluang membangun inovasi frugal sebagai salah satu opsi dalam mengembangkan kegiatan litbang dan bisnis di Indonesia serta merumuskan alternatif kebijakan iptek yang mendukung berkembangnya inovasi frugal. Di samping itu, saya secara pribadi berharap forum ini dapat meningkatkan komunikasi dan kerjasama antara ilmuwan, perekayasa, dan praktisi di industri serta masyarakat, dan meningkatkan keterlibatan mereka dalam merumuskan kebijakan iptek. Akhirnya, kami mengucapkan selamat berseminar, semoga menghasilkan rumusan dan usulan yang akan mempercepat terbentuknya sinergi untuk mengembangkan inovasi dan daya saing bangsa Indonesia. Wabillahitaufik Wal hidayah. Wassalamualaikum Wr. Wb. Jakarta, 10 Oktober 2012 Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Prof. Dr. Lukman Hakim, M.Sc. Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
vii
SAMBUTAN MENTERI NEGARA RISET DAN TEKNOLOGI Yang saya hormati,
Kepala LIPI – Prof. Dr. Lukman Hakim, M.Sc., beserta seluruh pejabat dan LIPI lainnya; Keynote Speaker – Prof. Rishikesha T. Krishnan (Indian Institute of Management, Bangalore) Seluruh pembicara, peserta, dan undangan yang berbahagia.
Assalamualaikum wr. wb., salam sejahtera bagi kita semua, Dalam suasana yang penuh kebahagiaan ini, marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, Alhamdulillah kita masih diberikan waktu dan kesempatan untuk menghadiri acara yang penting bagi kita semua yaitu Forum Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Inovasi (Iptekin) Nasional Kedua pada hari ini. Saya berkeyakinan bahwa forum ini akan menjadi ajang untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam pengembangan dan pemanfaatan produk dan/atau proses inovasi, terutama untuk inovasi frugal. Bagi sebagian peserta, forum ini dapat pula bermanfaat sebagai sumber pembelajaran atau pencerahan tentang apa yang yagn dikategorikan sebagai inovasi frugal. Hadirin yang saya muliakan Program utama Kementerian Riset dan Teknologi 2010-2014 adalah memperkuat Sistem Inovasi Nasional (SINas), yang secara operasional diarahkan melalui pengembangan teknologi yang berorientasi pada kebutuhan (demand-driven) dan/atau persoalan nyata yang dihadapi Indonesia dengan alternatif solusi yang lebih berbasis pada sumberdaya domestik. Ada dua isu strategis yang terkandung di dalamnya, yakni: [1] memperbesar peluang agar teknologi nasional dapat dimanfaatkan oleh para pengguna teknologi di dalam negeri, karena teknologi yang dikembangkan telah sesuai/relevan dengan kebutuhan; dan [2] meningkatkan kemandirian bangsa, karena teknologi yang dikembangkan relevan untuk pengelolaan sumber daya domestik, serta dapat diadopsi dan mampu diterapkan oleh pengguna teknologi di dalam negeri. Inovasi frugal yang lebih berorientasi pada upaya menyediakan teknologi yang secara ekonomi lebih terjangkau (affordable) bagi para pengguna teknologi dengan kapasitas finansial terbatas, dapat menjadi pilihan yang realistis bagi Indonesia pada saat ini; terutama untuk sektor perekonomian yang terkait dengan pengelolaan hasil bumi, seperti pertanian, perikanan, dan peternakan. Sektor pertanian saat ini merupakan sektor perekonomian yang penting bagi Indonesia dan kemungkinan akan menjadi sektor yang semakin penting di masa yang akan datang, terutama jika dikaitkan dengan kecenderungan peningkatan harga pangan dunia dan harga komoditas pertanian lainnya. Keinginan untuk mendorong inovasi frugal tak harus berbenturan dengan semangat untuk mengembangkan teknologi maju. Teknologi maju dan super canggih perlu juga dikembangkan sesuai dengan kebutuhannya, misalnya untuk mendukung kemajuan di sektor informasi dan telekomunikasi atau pertahanan dan keamanan. Potensi sumber daya manusia Indonesia yang besar, yakni 237.641.326 juta jiwa berdasarkan Sensus Penduduk 2010 dengan jumlah angkatan kerja pada Februari 2010 mencapai 120,4 juta orang (BPS, 2012), dapat menjadi tenaga penggerak pembangunan yang kuat atau sebaliknya dapat menjadi beban pembangunan yang berat, tergantung pada kebijakan, strategi, dan upaya pemberdayaannya. Langkah strategis untuk pemberdayaan Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
viii
sumber daya manusia adalah dengan memberikan kesempatan yang luas bagi semua pihak untuk berperan aktif dalam pembangunan, sebagaimana makna hakiki dari pembangunan yang inklusif. Upaya mendorong inovasi frugal, program penguatan SINas, dan kebijakan nasional untuk mewujudkan pembangunan yang bersifat inklusif diyakini akan saling berkesesuaian satu sama lain (compatible). Simpul pengaitnya adalah semua konsepsi di atas diniatkan untuk: [1] memperbesar peluang adopsi teknologi; [2] melibatkan semaksimal mungkin semua pihak yang terkait; dan [3] meningkatkan intensitas komunikasi dan interaksi antara para aktor yang terlibat. Konsepsi inovasi frugal bukan merupakan sesuatu yang asing dan baru. Konsepsi pembangunan teknologi tepat guna (TTG) yang telah diintroduksikan di Indonesia sejak lama, sesungguhnya juga mengandung prinsip dasar yang sama dengan inovasi frugal, yakni untuk mengembangkan teknologi yang lebih berpeluang untuk diadopsi oleh pengguna dengan kemampuan teknis dan finansial yang terbatas. Pengguna teknologi dengan kemampuan finansial yang terbatas (baik berdasarkan kemampuan finansial langsung maupun akses ke sumber pembiayaan), umumnya juga membutuhkan teknologi yang secara teknis sederhana untuk mendukung kegiatan ekonomi skala mikro, kecil, atau menengah. Kegiatan ekonomi dengan karakteristik seperti ini antara lain adalah kegiatan usaha tani tanaman, ternak dan ikan; energi pedesaan; industri pangan dan obat tradisional; industri furniture berbahan baku alam dan kerajinan tradisional; serta beberapa jenis industri kreatif. Walaupun unit kegiatan ekonomi ini berskala kecil, namun kontribusinya secara kumulatif terhadap perekonomian nasional sangat signifikan dan mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Oleh sebab itu, perlu didukung dengan penyediaan teknologi yang relevan, yakni relevan dengan kebutuhan usaha dan kemampuan teknis, serta sepadan dengan kapasitas adopsi kelompok pengguna teknologi ini. Hadirin dan undangan yang saya muliakan, Tantangan terbesar dalam mendorong inovasi frugal diyakini bukan terkait dengan kemampuan/kapasitas teknis para pengembang teknologi nasional, baik akademisi di perguruan tinggi maupun para peneliti dan perekayasa di lembaga riset non-perguruan tinggi; tetapi sangat mungkin berkaitan dengan tantangan dalam mengintensifkan komunikasi dan interaksi antara pengembang dan pengguna teknologi, sehingga terbangun sinergi yang produktif dalam menyediakan teknologi yang relevan untuk mendorong pertumbuhan dan perluasan ekonomi nasional. Tantangan yang sesungguhnya sangat berat dalam membangun sinergi pengembangpengguna teknologi ini sering tidak disikapi secara serius atau mungkin juga tidak sepenuhnya dipahami, sehingga banyak upaya dalam membangun sinergi ini walaupun memang telah menyentuh kedua sisi (pengembang dan pengguna teknologi) tetapi umumnya hanya menyentuh masing-masing sisi dengan berbasis pada konsepsi yang takpadu. Kekeliruan yang umum terjadi adalah: pertama, di satu sisi para pengembang teknologi didorong untuk meningkatkan kemampuan penguasaan teknologi yang semaju-majunya, dengan indikator ukuran kemajuan yang mengabaikan relevansi teknologi yang didorong untuk dikuasai tersebut dengan realita kebutuhan pengguna potensial atau problema yang dihadapi masyarakat dan bangsa sehingga akibatnya hanya akan memperlebar kesenjangan Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
ix
antara penguasaan teknologi para pengembang dengan kebutuhan teknologi para pengguna. Kedua, di sisi lainnya, para pengguna teknologi sering dihimbau (dengan insentif yang sering tidak terlalu menarik bagi pengguna), digiring, atau setengah dipaksa (melalui regulasi dan/atau kebijakan publik) agar memanfaatkan teknologi atau produk teknologi dalam negeri. Upaya yang kedua ini sayangnya sering tidak dibarengi dengan upaya yang sungguhsungguh untuk terlebih dahulu memahami kebutuhan dan persoalan yang dihadapi para pengguna teknologi tersebut. Upaya mendorong inovasi frugal di Indonesia akan berhasil jika prasyaratnya dipenuhi terlebih dahulu, yakni perubahan mindset para pengembang teknologi dan pembuat kebijakan terkait dapat diwujudkan terlebih dahulu. Pengembang teknologi perlu bergeser prioritasnya dari melaksanakan riset dan pengembangan (kegiatan litbang) yang menyenangkan hasrat akademiknya semata, menjadi lebih fokus pada upaya menyediakan teknologi yang relevan dengan kebutuhan para pengguna dan sepadan dengan kapasitas adopsi dari para pengguna potensial tersebut. Jika pengembangan teknologi telah secara konsisten diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan dan menjadi solusi persoalan masyarakat dan bangsa, apalagi jika teknologi yang dihasilkan telah secara nyata berkontribusi terhadap berbagai sektor pembangunan, terutama sektor-sektor perekonmian; maka jargon bahwa teknologi mutlak dibutuhkan untuk kemajuan bangsa akan menjelma menjadi sebuah pernyataan yang lebih rasional dan mudah dipahami publik. Jika kontribusi teknologi terhadap pembangunan ini mampu secara nyata diwujudkan, maka menjadi aneh jika masih ada pihak-pihak pembuat kebijakan publik yang tidak secara utuh mendukung upaya kolektif ini. Kebijakan yang terlalu bersifat ego-sektoral diharapkan akan semakin tergerus dan kebijakan-kebijakan publik yang diinisiasi oleh berbagai sektor (sesuai ruang lingkup tugas dan fungsinya masing-masing) akan semakin mudah untuk diintegrasikan. Undangan dan hadirin yang saya hormati, Konstitusi UUD 1945 telah sejak lama mengamanahkan bahwa pembangunan iptek harus diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan umat dan memajukan peradaban bangsa. Iptek hanya akan secara nyata memenuhi amanah ini jika dan hanya jika ia dimanfaatkan terlebih dahulu dalam berbagai sektor pembangunan. Untuk dimanfaatkan maka iptek tersebut harus relevan dengan kebutuhan dan/atau persoalan yang dihadapi rakyat dan bangsa. Berbagai konsepsi yang telah disinggung sebelumnya, yakni SINas, inovasi frugal, pembangunan yang inklusif, dan TTG; serta dapat pula ditambahkan lagi konsep kerjasama A-B-G atau triple helix dengan berbagai variannya; pada dasarnya semua konsepsi tersebut sangat sejalan dengan amanah konstitusi Indonesia. Lalu persoalannya apa? Persoalannya adalah kita terlalu sibuk berkelana menjelajah belantara konsepsi tersebut, tetapi belum secara sungguh-sungguh menjadikannya ruh dalam setiap tahap riset dan pengembangan teknologi yang kita lakukan. Namun demikian, banyak di antara kita yang berani bermimpi bahwa suatu saat iptek menjadi mainstream pembangunan nasional. Hadirin yang saya hormati, Demikian hal-hal yang dapat saya sampaikan dalam Forum Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Inovasi (Iptekin) Nasional Kedua ini. Saya berharap forum ini dapat berjalan dengan lancar, terjadi pertukaran pengetahuan dan pengalaman yang intensif dan produktif; serta mampu mengidentifikasi hal-hal yang bermanfaat untuk Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
x
diimplementasikan dalam pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia. Semoga upaya kita bersama mendapat ridho dari Tuhan YME. Amin ya robbal alamin. Wassalamualaikum wr. wb. Palembang, 10 Oktober 2012 Menteri Negara Riset dan Teknologi Gusti Muhammad Hatta
Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
xi
PERSIDANGAN UTAMA
Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
1
MANAGEMENT OF FRUGAL INNOVATION: LESSONS FROM INDIAN EXPERIENCES Rishikesha T. Krishnan Professor of Corporate Strategy & Policy, Indian Institute of Management Bangalore, India Email:
[email protected]
In recent years, India has gained a reputation as a hub of frugal innovation (Bound & Thornton, 2012). India offers some of the lowest priced mobile phone services in the world, yet, until recently, Indian mobile services companies made healthy profits. Carlos Ghosn, CEO of Renault/Nissan coined the term “frugal engineering” after he found that an engineering team in India was able to develop an engineering solution for a problem at onefifth the cost at which a French team was able to do it (Radjou, Prabhu and Ahuja, 2012). But, perhaps the defining moment for frugal innovation in India was the announcement of the launch of the Tata Nano, a car with a price tag of Rs. 100,000 (at that time, approximately USD 2,200) in January 2008. This phenomenon raises several important questions that are relevant to India and other emerging economies. (1) How significant is frugal innovation in the overall innovation paradigm in India? (2) What are the factors supporting frugal innovation in India? (3) Are there any lessons we can learn from the Indian experience as to how frugal innovation can be managed effectively? (4) In particular, are there any lessons we can learn from India as to how an innovation system can be shaped to support frugal innovation? These questions are the subject of investigation of this paper. To answer these questions, we need to place the recent attention to frugal innovation in the broader context of the evolution of innovation in India. We therefore start with a brief history of innovation in India. 1. INNOVATION IN INDIA: A HISTORICAL PERSPECTIVE 1.1. Strong Heritage but Missed the Industrial Revolution As an ancient civilization with a rich intellectual and cultural heritage, India was known for seminal contributions to the development of algebra, geometry, and mechanics. This rich heritage was built upon over the centuries with India being a major contributor to the global economy. Some estimates suggest that India accounted for as much as 24% of the world’s GDP in 1700 (Maddison, 2007). However, after the entry of the British East India Company into India in the 17th century, and the subsequent formal annexation of India as a part of the British Empire in the early 19th century, India was effectively under colonial rule for a few hundred years till its independence in 1947. India became a part of the traditional colonial economic model – a supplier of raw materials and other resources, and a recipient of finished goods from the British. As a result, India largely missed out on the industrial revolution and instead became a supplier of inputs to the British industrial machine. The country became increasingly impoverished and its share of world GDP declined to 4% by 1950 (Maddison, 2007). At independence in 1947, India was one of the poorest countries in the world. In addition to missing out on the industrial revolution, India also missed out on the major strides taken in science and technology in the late 19th and early 20th centuries, a very fertile period for global science and technology (Krishnan, 2010). There were very few scientific or research institutions in India at the time of independence, and the university system was also restricted to a few pockets. 1.2. Post-independence Efforts to Create S&T Capabilities India’s political leadership, particularly India’s first Prime Minister Jawaharlal Nehru who led India from 1947 to 1964, was keen to make up for lost time. Nehru, who had studied at Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
2
Cambridge, was aware of the advancements of science and technology in the west. He believed that science and technology could transform India, and was determined that India should join the ranks of the world scientific community. Therefore, in spite of India’s precarious financial position, India invested in creating science and technology institutions in the years after independence. The formal innovation system in India grew around these national laboratories set up by the government in different networks – a civilian network around the Council of Scientific & Industrial Research; a defence network around the Defence R&D Organization; an agriculture research network around the Indian Council of Agricultural Research; the Indian Space Research Organization; and the Department of Atomic Energy. On the academic research front, prominent institutions including five Indian Institutes of Technology were set up in the 1950s and 1960s.Thanks to the establishment of these networks of institutions, India developed a sizeable science and technology workforce. 1.3. Role of Industrial Policy For the fruits of science and technology to percolate into society, R&D has to be translated into improved processes, products or services. Firms play a prominent role in linking invention and discovery to economic outcomes. Some choices made by India in terms of industrial policy had an impact on the extent to which this translation of R&D into economic benefits happened. While India adopted a mixed economy framework, the public sector was seen as the bulwark of the Indian economy. Under the Nehruvian development model, the emphasis was on setting up capital intensive, mother industries such as steel, machine tools and other capital goods, and these were set up under public ownership. As the technologies required to set up these industries were not available locally, the technologies had to be sourced from outside the country. Due to geopolitical reasons, the principal source was the Soviet Union and other east European countries (Tyabji, 2000). However, none of the local R&D institutions were involved in the technology transfer process. The public sector companies themselves enjoyed a high degree of protection, and were therefore under little pressure to improve productivity or expand their range of products. Hence they lacked an incentive to work with the R&D system (Krishnan, 2010). Even in those industries in which the private sector was present, due to high levels of effective protection for the local economy, and an elaborate licensing system, firms were under little pressure to make improvements or add on new products (Krishnan & Prabhu, 1999). Symptomatic of this was the production of motor cars in India by two private players whose models remained largely the same for about twenty years after they licensed the designs from European companies. While India developed good science and technology capabilities, particularly by developing country standards, the translation of these capabilities into benefits to the larger economy remained limited. Formal innovation in the industrial sector remained limited with most Indian firms remaining dependent on foreign sources of technology. 1.4. Innovation Outside the Formal Innovation System Amidst this trajectory of the formal innovation system, however, local ingenuity did find expression. Traditional medicine systems that had been handed down through oral communication across generations continued to thrive. Farmers in different parts of the country improvised methods and tools to enhance their own productivity or make farming easier. Businessmen focused their ingenuity on finding ways to circumvent the complex controls that governed their existence. Perhaps the most prominent arena in which local ingenuity got displayed with positive societal impact was in the social sector. Two examples stand out – the Jaipur Foot, and Aravind Eyecare. The Jaipur Foot, a low-cost prosthetic limb that could be custom-fit for persons who had lost their limbs due to accidents or birth defects got diffused across the country thanks to the Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
3
Bhagwan Mahaveer Viklang Sahayata Samiti, a charitable organization that took upon itself the task of training technicians and sharing its know-how. The Jaipur Foot uses local materials, is easy to fit and replace, and costs only around USD35 (See, for example, Prahalad, 2009). The Aravind Eye Hospital was set up by Dr. G. Venkataswamy (“Dr. V.), an ophthalmologist who had just retired from the government health service, in 1978. Dr. V. believed that many people had lost their vision due to untreated cataracts over their eyes, and that removal of this cataract at low cost could lead to the elimination of “needless blindness.” Over the next two decades, he and his team at the Aravind Eye Hospital in Madurai, worked on improving the efficiency of the cataract removal process by focusing on using expensive doctor time only for the most critical parts of the cataract surgery, and training para medical staff to take care of the other steps in the cataract removal process. Thanks to these changes, they were able to streamline cataract surgery into an “assemblyline” process which drastically-reduced the cost of surgery. This cost benefit was used to do thousands of free cataract surgeries for poor patients, with the cost of the surgeries essentially borne by paying patients who “subsidized” the free surgeries (Kasturi Rangan & Thulasiraj, 2007). 1.5. Innovation Policy Framework Prior to 1991, innovation policy support in India was largely focused on funding R&D in the government-owned and operated R&D system, and on supporting academic research in government-funded institutions. There was some financial support available for technology development and commercialization in public sector enterprises, but no such support offered to private enterprises. The only significant public fiscal support for private sector innovation was through accelerated deductions of R&D expenditure from income for the purpose of computation of taxable income for income tax purposes. However, the government did support one kind of low-cost innovation explicitly – by excluding product patents on drugs from the intellectual property rights regime, the government encouraged the creation of an indigenous drug industry with advanced capabilities in developing low-cost drug development processes (Krishnan, 2010). 2. INNOVATION IN INDIA: THE LAST TWO DECADES 2.1. Role of Economic Reforms The environment for innovation in India changed with the economic reforms process that started in the early 1990s. The complex licensing system and controls were dismantled, so the creative energy of entrepreneurs was now freed up. Restrictions on the import of technology were also eased. Foreign investment was welcomed, and the local business environment became more competitive. Initially, the release in pent-up demand thanks to the removal of controls meant that most players in the economy could grow without too much effort. But, in recent years, as some categories of products and services became more saturated, the need to meet either the replacement demand of customers who already own products, or meet the needs of un-served or under-served markets (the so-called “bottom of the pyramid”) has propelled firms to take innovation more seriously. 2.2. Innovation in Industry: Large Industrial Groups In a study of Indian market leaders across five industries (Krishnan & Jha, 2011), we found that innovation has played an important role in their attaining a leadership position. While these firms tap external sources for knowledge and ideas, this learning is integrated with internal innovation. Market exploration, particularly the development of products, services and business models that allow the companies to meet the affordability criteria of the mass market, has played an important role in the innovation strategy of these companies. Strong core capabilities built by these companies over time provide a powerful platform for innovation. Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
4
Innovation in large Indian firms has been driven by the aspiration of their leaders. The Chairman of the Tata Group, Ratan Tata, has encouraged the members of his conglomerate to demonstrate their innovation capabilities. He was personally involved in the development of the Tata Nano, and it was his decision and insistence that led to the Rs. 100,000 price target for the Nano. The Nano has acted as a role model and inspiration for serious innovation efforts in other Tata group companies. Similarly, Anand Mahindra, earlier Vice Chairman and now Chairman of Mahindra & Mahindra, a leading producer of tractors and utility vehicles has encouraged his company to develop new products including the Scorpio (a Sports Utility Vehicle) and Xylo (a Multi Utility Vehicle) which have won awards as well as been successful in the market. Overall, we have seen a higher level of technology-oriented innovation in groups led by technically-qualified entrepreneurs, or in groups where the group leaders have been willing to get themselves immersed in the innovation process (Krishnan, 2010). 2.3. Multinational Corporations and their R&D Centres Another push for innovation has come from multinational corporations (MNCs). About 850 MNCs have set up research and development centres in India (Basant & Mani, 2012). These centres were initially set up to tap into the relatively low-cost technical talent available in India, and functioned as extensions to the parent company’s global R&D network with a focus on working on products and services for the global market (Dhanaraj, Jha, and Krishnan, 2012). As a result, much of the innovation done by the Indian R&D centres was “invisible,” with the final product not traceable to Indian R&D (Kumar and Puranam, 2011). MNCs are now shifting a part of their attention to developing products for the local market in India, and other emerging economies. This phenomenon is driven by the need to meet the aspirations of their Indian employees (Krishnan, 2006) and the new opportunities opening up in emerging markets that are seen as the future growth engines of the global economy. Since, these markets are more price-sensitive than their traditional markets (the triad of North America, Europe and Japan), the emphasis is on low-cost products. With the slow growth and financial woes of the western world, there is also a belief that some of these new “lowcost” products may find a market back in their home markets as well, constituting a phenomenon that is being called “reverse innovation” (Govindarajan and Trimble, 2012). Under cost pressures globally, and facing recessionary conditions in their home countries, MNCs are also concerned about lowering the cost of the innovation process itself. They seek to reduce their R&D costs, and make their R&D more effective, i.e., enhance the conversion efficiency of ideas and funding into new products and services (Radjou, Prabhu and Ahuja, 2012). MNCs with a strong presence in the Indian market are also being forced to consider lowcost or frugal innovation because of competitive pressure and demand from their customers. Bosch, an automobile component manufacturer has been in India for decades. When Tata Motors initiated their Nano project, they approached all the major vendors of components to develop low-cost components that could help them meet their ambitious cost targets. One of the vendors they approached was Bosch. They asked Bosch to design a Common Rail Direct Injection system for the Nano at a very challenging price point. When the R&D team at Bosch headquarters in Germany expressed skepticism about achieving the required performance and quality at the price point specified by Tata Motors, the then head of Bosch in India put together a team of relatively inexperienced engineers in India to develop the system. They were successful, and this is one of the important ingredients in lowering the cost of the Tata Nano. It appears that the lack of experience of the Indian team of Bosch helped rather than hindered their ability to meet Tata Motors’ challenging target; they were able to design the system ground up without the pre-conceived notions embedded in the standard Bosch development process (Hieronimus, 2007). While Bosch’s efforts at frugal innovation for the Nano have been successful, the commercial outcomes of MNC efforts in low-cost innovation in the end-product market in India are not as clear. For example, in the healthcare sector where leading MNCs have Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
5
developed low-cost devices specifically for the Indian market, sales volumes have been below expectations, apparently due to their failure to create appropriate low-cost distribution and service networks, and inherent distrust of low-cost devices among the medical fraternity (Duray and Avinash, 2012). 2.4. Grassroots Innovations A third driver of innovation has been the grassroots innovation movement. An effort to identify and document local innovations (particularly by farmers) and traditional knowledge in use in rural settings was launched in Gujarat in the late 1980s by Professor Anil Gupta at the Indian Institute of Management Ahmedabad. This subsequently evolved into a national “Honey Bee” network that has its own publications, website, etc. Impressed by the wealth of knowledge available with these grassroots innovators, systematic efforts to support them and make their knowledge widely available were started through the creation of non-profit organizations called Sristi and GIAN (Grassroot Innovations Augmentation Network) (Krishnan, 2005). In 2000, the Government of India set up the National Innovation Foundation (NIF) under the umbrella of the Ministry of Science & Technology. The NIF’s mission is to encourage and support innovation in the country by identifying, categorizing, and documenting grassroot innovations; to give awards to outstanding innovators; and to provide support for the scalingup and diffusion of promising innovations (Krishnan, 2005). Recently, the NIF has announced awards for inventors who can solve socially-relevant grand challenges. In a related initiative, the government has supported the creation of a Traditional Knowledge Digital Library (TKDL) that acts as a repository for traditional knowledge and prevents the appropriation of Indian traditional knowledge by inventors in other countries by documenting and sharing information on “prior art”(Krishnan, 2011). Most of the grassroot innovators lack formal education. Much of their innovation is aimed at solving problems they have themselves faced on their farms, or in daily life. Since they work under tight resource constraints, their solutions are usually based on locally-available materials and clever improvisation. The innovations are frugal thanks to the context in which they were created. 2.5. Environmental Sustainability Concerns Another driver of frugality is environmental sustainability. Products that can be manufactured more efficiently (use less inputs per unit of output) or that themselves perform more efficiently (e.g. use less energy) have a smaller environmental footprint and are thus more environment-friendly. Most MNCs are under pressure from their stakeholders to embrace a higher level of sustainability, and this prompts them to look at frugality more seriously. However, consumer demand in India has not yet evolved to the level that sustainability concerns drive consumer purchase decision. At this stage of economic development, environmental sustainability does not seem to be a demand-side driver of frugal innovation in India. 2.6. Innovation Policy and Resulting Changes in the Innovation System Subsequent to the commencement of the economic reforms process, while the government financial support for the government R&D system continued, some significant new initiatives were taken to support industry-related R&D. These included low-cost loans for technology commercialization through the Technology Development Board, the Technopreneur Promotion Programme (TePP) that provides small financial grants to help individual inventors build prototypes, schemes to support scaling-up of locally-developed technologies (such as HGT and PATSER), and sector-specific programmes such as the New Drug Development Programme of the Department of Science & Technology and the Small Business Innovation Research Initiative of the Department of Biotechnology (Krishnan, 2010). However, in the context of this paper it should be noted that none of these were directed at low-cost or frugal innovation per se. Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
6
On the pharmaceutical front, the picture is mixed. While on the one hand, the government has provided excise duty concessions for drugs discovered in India and covered by patents, on the other hand through the re-introduction of product patents on drugs in the 2005 Patents Act, it has potentially made new drugs more expensive and prevented Indian pharmaceutical companies from re-engineering patented molecules. However, through compulsory licensing, it retains the right to make patented molecules available to the public at lower prices as it did recently in the case of a Bayer cancer drug. In 2010, the Government signaled its intent to support innovation that is beneficial on the social front by declaring 2000-2010 as the “Decade of Innovation,” and setting up a high level National Innovation Council (NIC). The NIC has a focus on supporting and diffusing innovation that can solve the myriad social problems of the country. Given the government’s financial constraints, this essentially means through low-cost innovation. The NIC plans to set up a USD 1 billion venture fund and innovation clusters around universities in different regions. The first such “Cluster Innovation Centre” was set up at Presidency University in Kolkata. The NIC also brought together national innovation czars from around the world to Delhi in December 2011 to brainstorm on how the country can support social innovation better. 3. LESSONS FROM THE INDIAN EXPERIENCE IN FRUGAL INNOVATION AND SOME QUESTIONS A list of impactful frugal innovations from India is given in Table 1. Table 1. Major Frugal Innovations Emerging from India Innovation Type of Innovation 1 Aakash Low-cost Tablet computer
2
Aravind Eyecare
Low-cost cataract surgery
3
Bharti
Low-cost mobile services
4
GE MAC 400
Portable ECG Machine
5
Hole in the Wall
6
Husk Power Systems
Demonstrates that children can learn to use computers on their own with little support. Energy from waste
7
Jaipur Foot
Low-cost, customized prosthetic
8
Jaipur Knee
Low-cost artificial knee
Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
Comment Based on effort by government of India to procure low-cost computer to enhance access to education; actually developed outside India Based on innovation in process of cataract surgery and change in business model Based on change in business model Part of a family of medical devices built with basic functionality for emerging markets Social innovation
Primarily a business model innovation of how to use waste to supply energy to rural communities Made with basic technology and materials; appropriate for Indian social and cultural conditions Collaborative effort of Jaipur foot team with US-based 7
Innovation
Type of Innovation
9
Kerala Palliative Care
10
Nano
Community-based palliative care for seriously ill patients World’s lowest cost car
11
Narayana Hrudayalaya – Heart Surgery Open Source Drug Discovery
Low-cost open heart surgery
13
Reverse-engineered Vaccines
Low-cost vaccines
14
Selco
Solar energy devices
15
Swach
Low-cost, high technology water filter
16
Vortex ATM
Low-cost rural automated teller machines
12
Collaborative platform for drug discovery to treat tropical diseases
Comment research laboratories Social innovation Rigorous optimization of design and engineering of car Process and business model innovation Alternate model to intellectual property-based framework of large drug firms Based on strong technological capabilities of Indian firms Innovation is primarily in the business model of how solar energy devices are made available to consumers with limited purchasing power Collaborative effort by group of companies from within the Tata group Rugged product designed for use in challenging conditions
Source: of Innovations: Bound & Thornton, 2012, Figure 1, p. 15
Some broad trends are visible from the innovations listed in this table: Many of the innovations are based on process or business model innovations. Though some of them use high technology, technological advancement is not the main driver of the impactful frugal innovations that have emerged from India so far. Government or formal innovation system inputs have not played a significant direct role in a majority of these innovations. The Indian experience with frugal innovation offers some learning on the frugal innovation process and what it takes to enhance it, but raises several questions as well:
3.1. What is Frugal Innovation? There have been some efforts by scholars to identify the defining elements of frugal innovation, based on the Indian experience, but there is a lack of unanimity as to what it constitutes. Kumar and Puranam (2011) identified six elements that constitute frugal engineering, a term that is very close in meaning to frugal innovation. These are robustness, portability, defeaturing, leapfrog technology, megascale production and service ecosystems. Radjou, Prabhu and Ahuja (2012) see what they call Jugaad innovation (which is conceptually similar to frugal innovation) as low-cost, flexible and inclusive compared to the expensive, rigid and elitist R&D-based innovation model of most western companies. In their process perspective, companies can develop frugal innovation capabilities by seeking opportunity in adversity, doing more with less, thinking and acting flexibly, keeping it simple, including the margin, and following their heart. Given that the labour cost advantages of a country like India are fast eroding, for frugal innovation to be sustainable, it has to be more than reducing the cost of the innovation process through labour-cost arbitrage. Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
8
Again, taking a process perspective, Simanis and Hart (2009) advocate, on the basis of the failure of many bottom-of-the-pyramid initiatives, moving from a structural innovation paradigm to an embedded innovation paradigm where companies build partnerships with relevant communities to co-create for the community. Though frugal does not necessarily mean low -tech, and some of the relatively successful frugal innovations do involve using contemporary (if not cutting edge) technology [e.g. the Tata Swach water filter that uses nanotechnology to improve its filtration effectiveness], combining high tech with frugality remains a serious challenge for innovators, particularly in an environment where high technology skills, and infrastructure are in short supply. 3.2.
Is there anything to suggest that India is especially supportive of frugal innovation? Many years of deprivation made Indians improvise within limited resources and constraints to solve their problems. This infused a frugal mindset within Indian enterprises, non-profits, and entrepreneurs. However, it is not clear whether this is an embedded and enduring cultural trait or whether this frugality will be eroded as the country becomes more prosperous. Already, there are signs that consumerism is expanding in India as reflected at one end by the penetration of consumer appliances across the economy, and at the other in the rapidly increasing sales of luxury car makers such as Mercedes, BMW, and Audi. More research is needed to establish whether frugal innovation is due to the environment or the innovator. In the developed world, some of the most successful low-cost (frugal in their context) innovations came about due to innovators like Henry Ford (the automobile), Herb Kelleher (air travel), Sam Walton (discount retail) and Ingvar Kamprad (easy-to-assemble, inexpensive furniture). Within India, the innovators who have been most successful in scaling up their frugal innovations are not grassroot innovators, but members of India’s educated professional class – people like Dr. Devi Shetty of Narayana Hrudayalaya, Harish Hande of Selco, and the legendary Dr V of Aravind Eyecare. By Indian standards, at least, none of these individuals faced extreme deprivation, so where did the frugal mindset come from? 3.3.
How do you create a formal innovation system/institutional structure to support frugal innovation? From a political perspective, Indian innovation policy has gone through distinct phases. In the 1950s and 1960s, under Nehru’s leadership, it was broadly aspirational without seeking anything distinct in return. It was enough if India was seen as one of the countries participating in the adventure of science and technology. By the late 1960s, as India faced fiscal constraints, there was a more distinct expectation of tangible results and outcomes in return for the government’s investments. More recently, as we entered the new millennium, tangible outcomes were sought through demonstrable contributions to solving knotty social problems. Building an innovation system focused on social innovation is not an easy task. The experience of the NIF in commercializing its innovations is instructive in this context. The NIF and its network organizations have taken several steps towards commercialization. Grassroot innovators who have the interest and potential to take their inventions forward have been nominated for government support under the Technopreneur Promotion Programme (TePP). The NIF has worked with the innovators to obtain patent protection wherever possible as a precursor to licensing the inventions to others. To enhance the effectiveness of the inventions, remove any rough edges, and supplement the technology where needed, formal scientific institutions such as the CSIR laboratories have been sought out as partners. Engineering students have been encouraged to work with and on these grassroot inventions with a similar objective. Laboratories have been set up within the NIF’s broader network to facilitate testing and standardization. And, corporate partners have been sought to take the products of grassroot innovators to the market. Big Bazaar, a prominent Indian retail chain, is working with the NIF, and some products are already being sold in Big Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
9
Bazaar stores in Ahmedabad. While all these efforts have yielded some results, they have fallen short of what was expected, and few innovations have been successfully commercialized. It has been particularly difficult to get the formal and informal systems to work together on a sustained basis because they often don’t speak the same language, and their priorities are different. In spite of the stated emphasis on supporting social innovation, India’s formal innovation investments continue to be concentrated on the traditional modes of support like funding academic research and national laboratories. We noted above the challenges in making the formal innovation system and grassroot innovators work together. The ability of government policy to support innovation (as opposed to scientific research) on a sustained and systematic basis has been mixed in most parts of the world. Even in a country like Israel which is often lauded for its proactive innovation support policies, questions are asked about the effectiveness and efficiency of government intervention. Relatively speaking, the support of directed, frugal innovation is unknown terrain, and India’s efforts in this regard will be watched closely. To quote Bound & Thornton (2012), “whether the government’s far-reaching policies can create a more supportive environment for frugal innovation in the first place, and even if it can, whether frugal innovation ultimately offers a way to resolve the tension between excellence and equity in Indian science and innovation, or merely perpetuate it, remains to be seen.” References Basant, R., & S. Mani., 2012. “Foreign R&D Centres in India: An Analysis of their Size, Structure and Implications,” Indian Institute of Management Ahmedabad Working Paper No. 2012-01-06, January. Bound, K., & I. Thornton., 2012.”Our Frugal Future: Lessons from India’s Innovation System,” NESTA Report, July. Duray, A., and K. Avinash., 2012. “Commercialization of Low Cost Healthcare Products & Technologies,” Contemporary Concerns Study Final Report, Indian Institute of Management Bangalore, August 22. Govindarajan, V. & C. Trimble., 2012. Reverse Innovation: Create Far From Home, Win Everywhere Harvard Business Review Press. Hieronimus, A., 2007. “India: Success Factors & Challenges – A Perspective of an European Supplier,” Talk at Indian Institute of Management, Bangalore, September 14. Dhanaraj, C., Jha, S. K., and R. T. Krishnan., 2012 “Evolution of Global Innovation Network in MNEs,” Paper presented at the Academy of International Business Annual Conference, Washington DC, July 2. Kasturi Rangan, V., & R.D. Thulasi Raj., 2007. “The Aravind Eye Care System: Making Sight Affordable,” Innovations, Vol. 2, No. 4, Fall, pp. 35-49. Krishnan, R.T., 2005. “Transforming Grassroots Innovators and Traditional Knowledge into a Formal Innovation System: A Critique of the Indian Experience,” Paper presented at the Globelics 2005 conference, Pretoria, South Africa, November 2. Krishnan, R.T., 2006. “Subsidiary Initiative in Indian Software Subsidiaries of MNCs,” Vikalpa, Vol. 31, No. 1, January-March, pp. 61-71. Krishnan, R.T., 2010. From Jugaad to Systematic Innovation: The Challenge for India. Bangalore: The Utpreraka Foundation. Krishnan, R.T., 2011 “CII Decade of Innovation Event: Innovation with Social Impact,” blog post http://jugaadtoinnovation.blogspot.in/2011/12/cii-decade-of-innovation-event.html December 3. Krishnan, R.T., & G.N. Prabhu., 1999. “Creating Successful New Products: Challenges for Indian Industry,” Economic & Political Weekly, July 31, pp. M-114 – M-120. Krishnan, R.T. & S.K. Jha., 2011. “Innovation Strategies in Emerging Markets: What can we learn from Indian Market Leaders,” ASCI Journal of Management, Vol. 41, No. 1, pp. 21-45. Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
10
Kumar, N., & P. Puranam., 2011. India Inside: The Emerging Innovation Challenge to the West Harvard Business Review Press. Maddison, A., 2007. Contours of the World Economy 1-2030 AD: Essays in Macroeconomic History. Oxford University Press. Prahalad, C.K., 2009. The Fortune at the Bottom of the Pyramid: Eradicating Poverty through Profits, 5th edition, Wharton School Publishing. Radjou, N., Prabhu, J., and S. Ahuja., 2012. Jugaad Innovation: Think Frugal, Be Flexible, Generate Breakthrough Growth Jossey-Bass. Simanis, E. & S. Hart., 2009. “Innovation from the Inside Out,” MIT Sloan Management Review, Summer, pp. 77-86. Tyabji, N., 2000. Industrialisation & Innovation: The Indian Experience. New Delhi: Sage.
Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
11
STRATEGI MEMACU INOVASI FRUGAL DI INDONESIA: KAJIAN PERMINTAAN EFEKTIF, KEMAMPUAN TEKNOLOGI DAN KEWIRAUSAHAAN INOVATIF 1
2
3
Trina Fizzanty , Nani Grace Simamora , Dudi Hidayat 1,2,3 Pusat Penelitian Perkembangan Iptek-LIPI Jl. Jend. Gatot Subroto No 10 Telp 021-5225206, Fax 021-5201602 1 2 3 Email:
[email protected],
[email protected],
[email protected]
ABSTRAK Tulisan ini bertujuan untuk memetakan tiga pra-kondisi Indonesia saat ini, yakni permintaan efektif, kemampuan teknologi dan kewirausahaan inovatif, sebagai dasar pemikiran untuk memacu inovasi frugal di Indonesia. Hasil pemetaan menunjukkan bahwa ada potensi inovasi frugal di Indonesia ditinjau dari permintaan efektif, kemampuan teknologi dan kewirausahaan. Permintaan efektif ditunjang oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan karakteristik sosial ekonomi sebagian besar rumah tangga di Indonesia yang masih membutuhkan teknologi yang murah (affordable) dan dapat diterima (acceptable). Kemampuan teknologi industri masih terbatas akan tetapi ada sejumlah perusahaan yang potensial memanfaatkan kemampuan teknologi tersebut untuk melayani segmen rumah tangga terbesar di Indonesia. Sebagian besar wirausahawan Indonesia masih banyak mengandalkan penguasaan kapital, sumber daya alam dan tenaga kerja, dan baru sejumlah perusahaan yang sudah memanfaatkan kemampuan inovasinya atau kekayaaan intelektualnya. Berdasarkan gambaran tentang ketiga pra-kondisi tersebut, ada peluang bagi Indonesia untuk memacu inovasi frugal kedepan. Tulisan ini mengajukan beberapa gagasan untuk memacu inovasi frugal di Indonesia. Kata Kunci: inovasi frugal, permintaan efektif, kemampuan teknologi, kewirausahaan inovatif, Indonesia
1. PENDAHULUAN
Saat ini dunia memandang Indonesia sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia setelah negara-negara raksasa seperti Cina dan India. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terus tinggi selama satu dekade terakhir telah menjadikan Indonesia berada pada peringkat 20 negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia. Bahkan diperkirakan pada tahun 2025, Indonesia akan menempati posisi nomor tujuh perekonomian dunia, seperti yang disampaikan dalam Laporan McKinsey akhir-akhir ini (Oberman et al, 2012). Pada tahun 2025 tersebut Indonesia mentargetkan pendapatan per kapita akan tumbuh menjadi US$ 14.250-15.500, dari kondisi sekarang US$ 3000 per kapita per tahun, sehingga Indonesia masuk dalam kategori negara berpendapatan tinggi (Dokumen MP3EI, 2011). Melalui pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut, Indonesia diharapkan akan menjadi negara maju dengan hasil pembangunan dan kesejahteraan yang dapat dinikmati secara merata oleh masyarakat banyak (society), didukung oleh kemampuan teknologi dan inovasi (Dokumen MP3EI, 2011). Kata kunci di sini adalah pembangunan, iptek dan inovasi, serta kesejahteraan dan pemerataan. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan haruslah bersifat inklusif (inclusive), bernilai tambah tinggi (high added value), dan berkesinambungan (sustainable). Aspek pembangunan yang inklusif ini juga menjadi catatan penting di dalam laporan McKinsey 2012, karena ketimpangan pendapatan antar kelompok rumah tangga masih cukup besar. Dengan demikian, pembangunan iptek ke depan haruslah mampu mendorong munculnya inovasi yang memberdayakan sekaligus memberikan kesejahteraan bagi masyarakat banyak. Pencapaian visi ini mendorong munculnya cara pandang baru dalam memposisikan iptek dan inovasi. Dalam perspektif sistem inovasi yang umumnya berasal dari negara maju, inovasi bukan saja didorong oleh kemajuan iptek saja, tetapi juga didorong oleh kebutuhan pelanggan, informasi pengguna, analisis pasar, bukan saja aktivitas litbang di laboratorium. Bagi negara berkembang, muncul perspektif yang agak berbeda, yang memandang penting Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
12
membangun model bisnis baru sebagai sebuah respon terhadap situasi dan kondisi negara berkembang yang serba terbatas (Krishnan, 2010). Perspektif ini muncul dalam konteks pengurangan kemiskinan rakyat, dengan mengedepankan pendekatan pasar daripada sekedar pendekatan sosial. Strategi yang berakar pada filosofi memberdayakan masyarakat (society empowering) ini dijalankan dengan menghubungkan pelaku bisnis dengan kelompok rumah tangga di piramida terbawah ini (Prahalad, 2004). Belajar dari negara India maupun Cina, inovasi yang mendukung kesejahteraan masyarakat secara luas dengan kondisi serba terbatas tersebut dikenal sebagai inovasi frugal (low cost innovation). Berbeda dengan prinsip tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility), inovasi frugal bukan saja berdimensi sosial tetapi juga berdimensi bisnis. Pendekatan ini muncul dari filosofi gelas terisi setengah penuh, bukan dari gelas setengah kosong, yang memandang optimis kemampuan kelompok masyarakat di piramida terbawah tersebut. Hal ini yang ditegaskan Prahalad (2004) dalam bukunya ‘The Fortune at the Bottom of the Pyramid: Eradicating Poverty through Profits’. Akan tetapi, Prahalad mengingatkan bahwa memasuki area bisnis seperti ini diperlukan perubahan proses dan mental serta praktek-praktek bisnis (good corporate practices) bukan sebuah filantropi. Saatnya cara pandang demikian juga muncul di kelompok penghasil Ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memberikan kesempatan dan memberdayakan masyarakat di kelompok piramida terbawah ini termampukan dalam menjawab kebutuhan hidupnya. Disisi lain, pengembangan inovasi frugal tersebut akan memacu kelompok penghasil iptek ini semakin terasah kreativitas dan kewirausahaan inovatifnya. Upaya ini memerlukan kajian mendalam tentang berbagai kondisi awal yang dapat memacu tumbuh dan berkembangnya inovasi frugal. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji pra-kondisi di Indonesia yang berpotensi memacu inovasi frugal. Di bagian pertama dikemukakan terlebih dahulu kerangka pikir yang melandasi analisis terhadap situasi dan kondisi ini. Selanjutnya dipetakan pra-kondisi berdasarkan kerangka pikir tersebut, yakni permintaan efektif masyarakat Indonesia, kemampuan teknologi, dan kewirausahaan inovatif. Hasil pemetaan ini menjadi bahan bagi merumuskan gagasan untuk memacu inovasi frugal di Indonesia. 2.
KERANGKA KERJA: KONDISI PENDORONG INOVASI
Schumpeter mengingatkan bahwa pengurangan kemiskinan, pertumbuhan dan distribusi di negara berpendapatan rendah mungkin dicapai, jika produsen mempunyai akses terhadap teknologi padat tenaga kerja dan berskala kecil, dan menghasilkan produk dengan biaya rendah serta dapat diakses bagi konsumen berpenghasilan rendah (Kaplinsky, 2011). Berdasarkan hal tersebutlah rasional munculnya inovasi frugal di negara berkembang. Pada umumnya inovasi frugal merupakan inovasi yang berkembang di negara yang memiliki jumlah penduduk yang besar dengan distribusi pendapatan yang belum seimbang, seperti India dan China. Penduduk yang besar ini menjadi dasar bagi inovasi frugal karena berskala besar (scallability) sehingga dapat menekan harga produk. Terdapat empat karakteristik inovasi frugal (Krishnan, 2010): (1) bertujuan menghasilkan sesuatu yang lebih baik, bukan hanya sesuatu yang lebih murah; (2) Inovasi frugal juga memberikan pelayanan bukan hanya produk; (3) inovasi frugal menyangkut memodelkan kembali bukan hanya menyederhanakan; (4) biaya rendah bukan berarti teknologi rendah, inovasi frugal dapat memenuhi atau dikombinasikan dengan iptek terdepan. Inovasi frugal unggul dalam memahami pasar dan kondisi negara berkembang. Berbeda dengan inovasi pada umumnnya, inovasi frugal diciptakan untuk melayani kebutuhan masyarakat luas, mengandalkan sumberdaya yang ada dengan disain dan pengembangan produk yang murah sehingga produk inovatif tersebut dapat terjangkau harganya oleh masyarakat luas. Untuk mencapai tujuan efisiensi tersebut, inovasi frugal menjadi adalah inovasi yang menghubungkan antara teknologi kreatif dan keahlian wirausahawan dalam mengelola kebutuhan masyarakat umum. Dalam penciptaannya, inovasi frugal memerlukan beberapa keahlian seperti ahli dalam bidang desain teknologi, aplikasi teknologi, manajemen dan Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
13
pemasaran. Produk yang dihasilkan juga memiliki intensitas teknologi tinggi seperti kendaraan bermotor, alat kesehatan, mesin dan lain-lain. Upaya mendorong munculnya inovasi frugal seperti juga inovasi lainnya dapat dilakukan melalui (Krishnan, 2010): (1) insentif untuk melakukan inovasi; dan (2) perubahan kemampuan inovasi terus-menerus (evolution of innovation capability). Kemampuan inovasi ini harus didukung oleh perubahan peraturan, kondisi permintaan, kekuatan bersaing, dan inisiatif wirausaha. Pendapat yang hampir sama juga disampaikan Kaplinsky (2011). Ia menemukan tiga faktor kritikal yang harus dipertimbangkan untuk mendorong inovasi frugal di negara berkembang, yakni: (1) terbatasnya kewirausahaan, yakni kelompok aktor yang melakukan inovasi secara sistematis yang menerapkan ide baru ke sektor produksi, daripada hanya memperoleh teknologi dari aktor lain; (2) kemampuan yang diperlukan untuk mengembangkan ide baru untuk inovasi; (3) ketiadaan permintaan efektif di negara berkembang secara umum, maupun konsumen miskin secara status ekonomi (Gambar 1). Tulisan ini menggunakan pemikiran Kaplinsky tersebut untuk mengkaji pra-kondisi yang dibutuhkan untuk mendorong inovasi frugal.
Sumber: Diadopsi dari Kaplinsky (2011)
Gambar 1. Kondisi Yang Diperlukan Untuk Munculnya Inovasi Frugal Kebutuhan yang unik dari rumah tangga pada piramida sosial ekonomi terbawah (BOP = bottom of pyramid) mendorong inovator menghasilkan produk dengan karakteristik berbeda. Inovasi produk bagi BOP ini lebih sederhana dan lebih murah, yang berbeda dengan produk pada umumnya, kemudian dikenal sebagai inovasi frugal. Inovasi ini muncul dari disruptive technology yang memerlukan disain produk, penggunaan dan kombinasi teknologi, serta praktek-praktek yang mendorong pengembangan produk baru. Ray dan Ray (2011) berpendapat bahwa untuk mendorong munculnya teknologi dengan karakteristik demikian, diperlukan kombinasi tiga faktor berikut ini, yaitu: (i) inovasi arsitektural yang mengkombinasikan teknologi-teknologi yang ada saat ini; (ii) modularity yakni menghasilkan produk yang memungkinan inovatornya berkreasi terus menerus; dan (iii) kemitraan yang kolaboratif dengan pemasok (Gambar 2). Teknologi yang dihasilkan seharusnya memenuhi dua parameter kunci, yakni terjangkau harganya (affordability) dan dapat diterima (acceptability).
Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
14
Sumber: Ray dan Ray (2011: figure-1: p. 219)
Gambar 2. Inovasi Produk Bagi Rumah Tangga Pada Piramida Sosial Ekonomi Terbawah Disamping dua parameter frugal tersebut, terdapat 12 prinsip inovasi bagi pasar BOP, yakni (Prahalad, 2004): (1) menciptakan harga dan kinerja baru; (2) inovasi dengan berbagai solusi butuh teknologi yang maju dan berkembang; (3) solusi inovasi haruslah berskala besar dan dapat dipakai antar negara, budaya, dan bahasa; (4) inovasi haruslah mengurangi penggunaan sumber daya; (5) memahami fungsi bukan saja bentuk inovasi yang dihasilkan; (6) inovasi proses untuk meningkatkan kemudahan akses; (7) disain produk atau jasa harus mempertimbangkan tingkat keterampilan, infrastruktur sumberdaya; dan lingkungan di daerah pedalaman; (8) mengedukasi konsumen; (9) inovasi produk punya daya tahan dalam jangka waktu lama; (10) keragaman konsumen perlu dikaji; (11) inovasi didukung metode distribusi dengan tingkat harga rendah; (12) produk harus cukup luas dalam sistem arsitekturnya, karena perubahan karakteristik dan fungsi di pasar BOP yang terkadang cepat. Untuk memenuhi berbagai parameter dan prinsip tersebut, Ray dan Ray (2011) mengingatkan bahwa inovasi frugal seharusnya dipimpin oleh perusahaan lokal yang mempunyai sumber daya dan kapasitas tertentu, sehingga tidak semua perusahaan lokal dapat melakukan inovasi semacam ini. Konsep champion tampaknya menjadi pilihan yang sesuai, yakni dengan mendorong munculnya beberapa perusahaan lokal yang kompeten menghasilkan inovasi frugal tersebut. 3.
PERMINTAAN EFEKTIF MASYARAKAT INDONESIA Keunikan kondisi sosial-ekonomi, lingkungan dan kelembagaan di pasar massal (massmarket) membentuk permintaan tersendiri. Inovasi frugal lahir dari pemahaman perusahaan akan permintaan di tingkat piramida sosial ekonomi terbawah ini. Permintaan efektif berbeda dengan permintaan pada umumnya dalam hal paramater daya beli (purchasing power parity). Permintaan yang diikuti oleh kemampuan beli (daya beli) akan menjadi permintaan efektif. Daya beli ini dipengaruhi oleh kondisi perekonomian negara dan karakteristik sosial ekonomi rumah tangga. Oleh karena itu, pada bagian ini akan dikaji terlebih dahulu konteks perekonomian Indonesia pada tingkat makro, kemudian dikaji karakteristik sosial-ekonomi rumah tangga Indonesia di piramida sosial ekonomi terbawah. 3.1 Perekonomian Indonesia Dalam Konteks Negara Berpertumbuhan Tinggi
Perekonomian Indonesia ditandai oleh tingkat pertumbuhan tinggi yakni pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) riil riel rata-rata mencapai 6.2% pada tahun 2000-2010. Kondisi pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut menjadikan Indonesia berada di Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
15
peringkat 16 dunia (Oberman et al, 2012). PDB Indonesia pada tahun 2011 (pada tingkat harga konstan tahun 2005) mencapai Rp 2,463 trilyun atau sekitar US$ 845.7 miliar, dimana sektor industri bukan migas menjadi penyumbang terbesar yakni Rp 587 trilyun, diikuti oleh sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan sebesar Rp 314 trilyun. Dalam empat tahun terakhir (2007-2011) PDB per kapita Indonesia terus menunjukkan peningkatan, dari US$ 1859 atau Rp 8,631,410 menjadi US$ 3495 atau Rp 10,219,230 (Gambar 3). Pertumbuhan PDB per kapita Indonesia rata-rata selama periode 2007-2011 tersebut mencapai 17.4%. Fakta ini menunjukkan telah terjadi peningkatan pendapatan per kapita Indonesia hampir dua kali lipat selama empat tahun tersebut.
Sumber: Badan Pusat Statistik untuk data PDB/Kapita (dalam Rupiah), World Bank untuk data PDB/kapita (dalam US$) Gambar 3. Produk Domestik Bruto per Kapita Indonesia Tahun 2007-2011 (dalam Rp dan US$)
Namun demikian, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi tersebut ternyata didorong oleh perilaku konsumsi rumah tangga. Konsumsi rumah tangga merupakan penyumbang terbesar dalam PDB Indonesia, dibandingkan dengan sektor produksi dan perdagangan internasional (Gambar 4). Tingkat pengeluaran konsumsi rumah tangga (harga konstan tahun 2000) mencapai 37.69% dari total PDB, sedangkan kemampuan ekspor baru menyumbang 17% terhadap total PDB.
Sumber: diolah dari Statistik Indonesia Tahun 2012. BPS RI.
Gambar 4. Produk Domestik Bruto Indonesia Menurut Pengeluaran (2010-2012) Kondisi demikian, di satu sisi, menunjukkan masih lemahnya daya saing Indonesia terhadap pasar internasional sehingga lebih mengandalkan pasar domestik. Di sisi lain, kondisi ini sekaligus menunjukkan bahwa daya beli domestik cukup tinggi sehingga wajarlah pasar Indonesia yang besar ini menjadi magnet terbesar bagi negara lain untuk berinvestasi. Kondisi ini diungkapkan pula dari laporan McKinsey (Oberman et al, 2012) yang memperkirakan bahwa 45 juta rakyat Indonesia adalah kelas yang punya kemampuan Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
16
konsumsi (pendapatan per kapita per tahun di atas US$ 3600 atau sekitar Rp 3,500,000 atau sekitar US$ 9.8 per kapita per hari). Fenomena magnet pasar ini juga diperkuat oleh World Competitiveness Report 2012, dimana pasar domestik Indonesia yang berada di urutan enam belas besar dunia adalah salah satu faktor yang berkontribusi nyata terhadap daya saing Indonesia. 3.2 Karakteristik Sosial Ekonomi Rumah Tangga di Indonesia Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2012 mencapai 244,215,983 juta orang pada tahun 2012 (SDDS Bank Indonesia, 2012)1, daya beli masyarakat menempati nomor 124 dunia dengan pendapatan per kapita US$ 3,716 pada harga konstan tahun 2005 (UNDP Human Development Report, 2011). Ketimpangan ekonomi perkotaan dan perdesaan masih terlihat, dimana perkotaan merupakan sumber pertumbuhan, sementara kontribusi perdesaan terhadap pertumbuhan relatif masih rendah. Laporan Mc Kinsey 2012 menyimpulkan bahwa sebagian besar pendapatan nasional yakni 74% PDB merupakan kontribusi dari setengah penduduk perkotaan (54%). Kondisi ini didukung pula oleh fakta bahwa proporsi penduduk miskin perdesaan pada tahun 2011 mencapai 15.72% atau 18.,972.,180 orang, jauh lebih tinggi daripada kelompok penduduk miskin perkotaan (Tabel 1). Tabel 1. Jumlah Penduduk Miskin dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia 2007-2011 Tahun
Persentase Penduduk Miskin
Jumlah Penduduk Miskin (000)
(%)
Kota
Desa
Kota+Desa
Kota
Desa
Kota+Desa
2011
11 046.75
18 972.18
30 018.93
9.23
15.72
12.49
2010
11 097.80
19 925.60
31 023.40
9.87
16.56
13.33
2009
11 910.5
20 619.4
32 530.0
10.72
17.35
14.15
2008
12 768.5
22 194.8
34 963.3
11.65
18.93
15.42
2007
13 559.3
23 609.0
37 168.3
12.52
20.37
16.58
Sumber: Data SUSENAS (Badan Pusat Statistik)
Tingkat kemiskinan di Indonesia telah menunjukkan penurunan selama satu dekade terakhir, akan tetapi angka kemiskinan tersebut masih di atas 29 juta penduduk Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik2, terjadi penurunan jumlah dan persentase penduduk miskin selama periode 2003-2012, yakni dari 37,300 orang (17.5%) menjadi 29,100 orang (12%) seperti ditunjukkan pada Gambar 5 dan 6.
1
Sumber: SDDS Bank Indonesia (2012) diakses dari http://www.bi.go.id/sdds/
2
rata-rata pengeluaran per kapita per bulan penduduk dibawah garis kemiskinan
Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
17
Sumber: diolah dari Statistik Indonesia (BPS, 2012) Gambar 5. Penduduk Miskin Indonesia Menurut Rata-tata Pengeluaran per Kapita Sebulan
Sumber: diolah dari Statistik Indonesia (BPS, 2012) Gambar 6. Proporsi dan Jumlah Penduduk Miskin dan Tidak Miskin di Indonesia
Kondisi di atas sedikit lebih rendah dibandingkan dengan ukuran kemiskinan yang mengacu pada daya beli penduduk yang dipakai dalam Human Development Indeks. Rumah tangga yang mempunyai pendapatan di bawah US 1.25 per kapita hari, maka rumah tangga tersebut termasuk kategori miskin. Pada tahun 2011 proporsi kepala keluarga yang masuk kategori tersebut mencapai 20,8% atau sebesar 18.7% penduduk. Hal ini berarti masih terdapat sekitar 44,88 juta orang di Indonesia yang masuk kategori miskin (UNDP Report, 2011). Kondisi ini salah satunya akibat tingkat pengangguran di Indonesia pada Februari 2012 masih sekitar 6,3% dari total angkatan kerja. Sementara itu, berdasarkan kriteria kelompok konsumsi yang digunakan McKinsey (US$ 3600/kapita/tahun atau US$ 9.8/kapita/hari), terdapat sekitar 45 juta rakyat Indonesia pada tahun 2011 yang sudah masuk kelompok ini. Hal ini berarti, masih terdapat sekitar 195 juta rakyat Indonesia (81.,2%) yang tidak masuk dalam kelompok konsumsi3 dari total 240 juta penduduk. Fakta ini menunjukkan bahwa upaya mengurangi kemiskinan tetap harus menjadi prioritas utama bangsa Indonesia ke depan. Kebutuhan penduduk miskin tersebut untuk hidup lebih layak dan dapat menikmati hasil pembangunan merupakan permasalahan yang perlu dicarikan solusi kreatifnya. Mengacu pada kriteria UNDP dan McKinsey tersebut, maka distribusi penduduk pada tahun 2011 menurut kelompok pendapatannya dapat digambarkan sebagai berikut: (1) Kelompok berpendapatan
pendapatan bersih per kapita dibawah US$ 3600 per tahun pada harga konstan tahun 2005 atau US$ 9.8/kapita/hari
Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
18
Kelompok berpendapatan >US$ 9.8 per hari yang masuk dalam kelompok konsumsi sebanyak 45 juta orang (Gambar 7). Gambaran ini menunjukkan bahwa ada kelompok terendah (sangat jauh dari kelompok konsumsi) masih 45 juta orang, dan 150 juta penduduk Indonesia yang sudah di atas garis kemiskinan dan potensial kedepan memasuki kelompok konsumsi.
45 Juta orang (> US$ 9.8/kap/hari)
152 juta orang (US$ 1.25 – 9.8/kapita/hari)
45 juta orang (<1.25 US$/kapita/hari)
Sumber: diolah dari Laporan Mc Kinsey (2012) dan Laporan UNDP (2012)
Gambar 7 Piramida Penduduk Indonesia Menurut Kelompok Penghasilan Penurunan tingkat kemiskinan tetapi dengan tingkat ketimpangan pendapatan yang semkian meningkat juga didukung oleh fakta yang disampaikan BPS. Menurut data SUSENAS, proporsi penduduk di tingkat pendapatan terendah semakin berkurang dari 21.66% (tahun 1999) menjadi 16.85% (tahun 2011), diikuti oleh peningkatan proporsi penduduk yang masuk kategori berpendapatan tinggi (40.57% menjadi 48.42% pada periode yang sama), seperti ditunjukkan Tabel-2. Meskipun proporsi penduduk berpendapatan rendah menurun, akan tetapi indeks Gini meningkat dari 0.31 menjadi 0.41, yang menunjukkan tingkat ketimpangan pendapatan antar penduduk semakin besar. Dalam kondisi demikian, inovasi frugal menjadi strategis untuk dikembangkan. Tabel 2. Pendapatan per Kapita dan Distribusi Pendapatan di Indonesia Indikator Terpilih
1999
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Rata-rata Pendapatan per Kapita - Persentase pengeluaran rumahtangga untuk makanan - Persentase pengeluaran rumahtangga untuk bukan makanan
62.94 58.47 56.89 54.59 51.37 53.01 49.24 50.17 50.62 51.43 49.45 37.06 41.53 43.11 45.42 48.63 46.99 50.76 49.83 49.38 48.57 50.55
Distribusi pendapatan - 40 % penduduk dengan pendapatan terendah
21.66 20.92 20.57
- 40 % penduduk dengan pendapatan menengah
37.77 36.89
- 20 % penduduk dengan pendapatan tertinggi
40.57 42.19 42.33 42.07 44.78 42.15 44.79 44.77 41.24* 45.47* 48.42*
Gini Indeks
0.31
0.33
20.8 18.81 19.75
37.1 37.13
0.32
0.32
36.4
0.36
19.1 19.56 21.22* 18.05* 16.85*
38.1 36.11 35.67 37.54* 36.48* 34.73*
0.33
0.36
0.35
0.37* 0.38* 0.41*
Sumber: Data SUSENAS (Badan Pusat Statistik)
Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
19
3.3 Pola Pendapatan Dan Kebutuhan Inovasi Di Rumah Tangga BOP Untuk menjawab kebutuhan inovasi yang diperlukan rumah tangga di piramida terbawah (BOP) dari perspektif permintaan efektif, maka tulisan ini mengkaji pola pendapatan rumah tangga menurut profesi dan pengeluarannya. Pertama, rumah tangga dengan profesi apakah yang paling berada di piramida teratas dan terbawah? Hasil olahan terhadap data Statistik Indonesia menunjukkan bahwa penduduk yang bekerja sebagai profesional di luar sektor pertanian baik di kota maupun di desa, merupakan kelompok yang berada di kelompok teratas piramida (Gambar 8). Sementara kelompok yang paling berada di piramida terbawah adalah penduduk berprofesi sebagai buruh tani dan petani gurem (dengan luasan lahan kurang 0.1 hektar). Pola tersebut tidak menunjukkan perubahan selama lima tahun (tahun 2000-2005). Kondisi ini menunjukkan bahwa inovasi di sektor pertanian yang mempunyai produktivitas tinggi dan hemat penggunaan lahan, mendesak untuk dikembangkan di Indonesia.
Sumber: Diolah dari Statistik Indonesia 2012 (BPS, 2012) Gambar 8. Distribusi Pendapatan Per Kapita (setelah pajak) Menurut Profesi (2011) Keterangan: Bukan Pertanian Golongan Rendah: tata usaha rendahan, pedagang keliling, supir bis, pekerja kasar, dll Bukan Pertanian Golongan Atas: manager, professional, akuntan, dosen, guru, dll Bukan Angkatan Kerja: rumah tangga dengan Kepala Keluarga sudah pension, menerima kiriman dana dari luar keluarga
Kedua, bagaimana pola pengeluaran rumah tangga di berbagai kelompok pendapatan? Gambar-9 dan 10 berikut menunjukkan pola pengeluaran rumah tangga di Indonesia menurut beberapa kelompok pengeluaran. Rata-rata rumah tangga mengalokasikan sebagian besar pendapatannya untuk makanan (50.6%) dan sisanya untuk non makanan (49.4%). Semakin besar pendapatan yang diterima, semakin banyak yang dialokasikan untuk non makanan (Gambar 9). Rumah tangga berpendapatan 100-149 ribu/kapita/bulan hanya mengalokasikan 32.1% untuk non makanan, sedangkan rumah tangga dengan pendapatan per kapita/bulan lebih dari satu juta rupiah, mengalokasikan 66.5% pendapatannya untuk non makanan. Jika demikian, maka inovasi untuk makanan akan meningkatkan kemampuan rumah tangga lapisan terbawah untuk lebih mengalokasikan pendapatannya ke produk non makanan.
Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
20
Sumber: Diolah dari Statistik Indonesia 2012 (BPS, 2012) Gambar 9. Distribusi Rumah Tangga Menurut Pengeluaran Rumah Tangga dan Kelompok Pendapatan di Desa dan Kota (2011)
Produk non makanan apakah yang perlu ditingkatkan inovasinya? Data BPS menunjukkan bahwa rumah tangga di Indonesia paling banyak membelanjakan untuk empat kelompok pengeluaran berikut: (1) perumahan, bahan bakar, dan air; (2) aneka barang dan jasa; (3) barang tahan lama, serta (4) biaya pendidikan dan kesehatan. Rumah tangga di kota mengeluarkan 40% pendapatan per kapita sebulan dan di desa 38.1% per kapita sebulan untuk perumahan, bahan bakar dan air (Gambar 10).
Sumber: diolah dari Statistik Indonesia (BPS RI, 2012) Gambar 10. Proporsi Pengeluaran per Kapita Sebulan di Kota dan Desa Tahun 2011
Pola pengeluaran menunjukkan perbedaan pada tingkat pendapatan berbeda (Gambar 11). Seluruh kelompok rumah tangga berpendapatan kurang dari 1 juta per kapita per bulan lebih banyak mengalokasikan pendapatannya untuk perumahan, aneka barang dan jasa serta biaya pendidikan. Sebaliknya, kelompok rumah tangga berpendapatan lebih dari 1 juta rupiah/kapita/bulan lebih banyak mengalokasikan untuk barang tahan lama (durable goods), kemudian diikuti oleh aneka barang dan jasa, serta biaya kesehatan dan pendidikan.
Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
21
Sumber: Diolah dari Statistik Indonesia 2012 (BPS RI, 2012) Gambar 11. Distribusi Pendapatan per Kapita untuk Non Makanan Tahun 2011
4.
KEMAMPUAN TEKNOLOGI Indonesia mempunyai sekitar 27,000 perusahaan manufaktur (BPS, 2010). Sebagian besar perusahaan (90%) masuk dalam kelompok industri dengan kandungan teknologi rendah dan menengah rendah4, seperti kelompok industri makanan dan minuman, tekstil, pakaian jadi, furnitur dan barang galian bukan logam. (Gambar 12.). Berdasarkan luaran dan nilai tambahnya didominasi oleh industri dengan intensitas teknologi rendah (Simamora, 2012). Keadaan ini menunjukkan bahwa karakteristik industri manufaktur Indonesia terbanyak adalah yang tidak memiliki intensitas riset yang tinggi. Secara makro kemampuan teknologi sektor industri di Indonesia relatif masih rendah, akibat intensitas riset yang masih rendah. Aminullah (2011) menyatakan bahwa terdapat tiga kondisi rendahnya intensitas riset Indonesia, yakni perhatian pemerintah terhadap kegiatan riset, investasi riset di sektor swasta dan karakteristik industri manufaktur di Indonesia.
Sumber: Direktori Industri Manufaktur Indonesia, 2010
Gambar 12. Sebaran Industri Manufaktur Berdasarkan Kelompok Industri Perhatian pemerintah terhadap kegiatan riset tergambar dalam besarnya dana yang dialokasikan untuk kegiatan riset. Selama kurun waktu 40 tahun, ternyata rasio anggaran riset terhadap Aanggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terus menurun. Rasio 4
Mengacu kepada definisi dari OECD, industri manufaktur dapat dikategorikan berdasarkan intensitas atau kandungan teknologinya. Dalam hal ini, terdapat 4 pemilahan kategori industri, yaitu industri dengan kandungan teknologi rendah (low technology), industri dengan kandungan teknologi menengah-rendah (medium-low technology), industri dengan kandungan teknologi menengah-tinggi (medium-high technology), dan industri dengan kandungan teknologi tinggi (high technology).
Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
22
tertinggi pernah terjadi pada tahun 1975, saat pemerintah mengalokasikan sebesar 3% dari seluruh total anggaran pemerintah (Gambar 13). Hanya saja rasio tersebut turun secara signifikan hingga mencapai 0.,2% di tahun 2009. Rendahnya perhatian pemerintah terhadap kegiatan riset memengaruhi luaran yang dihasilkan, sebagai contoh kegiatan riset pemerintah jarang sekali menghasilkan inovasi komersial (Aminullah, 201). Keadaan ini memperlihatkan kekurangpedulian pemerintah terhadap kegiatan riset di Indonesia. Dalam kondisi dukungan sumberdaya yang masih terbatas tersebut, sejumlah invensi telah dihasilkan lembaga-lembaga penelitian publik. Studi kasus di salah satu unit litbang di LIPI yang telah berhasil menghasilkan invensi untuk menunjang sektor pangan, adalah contoh potensi litbang yang dapat didorong untuk melayani petani yang membutuhkan teknologi untuk meningkatkan produktivitas pertanian mereka (Box-1).
Sumber : Data potensi iptek tahunan Pappiptek-LIPI, 1969-2006; Laporan Keuangan Pemerintah Pusat, 2007-2010
Gambar 13. Rasio Anggaran Litbang terhadap Anggaran Pendapatan Belanja Negara Box-1. Studi Kasus Inovasi Frugal- Pengembangan Pupuk Organik Hayati (Pusat Penelitian Biologi-LIPI) Kegiatan penelitian Pupuk Organik Hayati (POH) dilakukan oleh Pusat Penelitian Biologi-LIPI. Tujuannya adalah untuk mengurangi penggunaan pupuk kimia (30-50% urea), meningkatkan masukan N ke dalam tanah melalui proses penambatan N dan perombakan biomassa, meningkatkan ketersediaan nutrisi bagi tanaman. POH ini dibuat dalam berbagai bentuk, seperti padat, cair dan compost tea. POH ini telah dicoba dan diujikan pada berbagai jenis tanaman, seperti padi, buahbuahan, palawija, sayur-sayuran dan pembibitan tanaman hutan bukan kayu di Malinau. Uji coba dilakukan di Demo-plot di Cibinong dan Farm –plot di Malinau. Hasil pengujian ini telah menunjukkan peningkatan hasil panen berkisar 20-30% jika dibandingkan dengan penggunaan pupuk kimia, serta meningkatkan ketahanan tanaman terhadap penyakit dan stres lingkungan. POH telah terpilih sebagai prioritas nasional pupuk organik untuk pengembangan bio-village. Sumber: Triyono dkk (2011) Laporan Analisis Relevansi Hasil-Hasil Riset Ilmiah
LIPI untuk Relevansi Kebijakan. Pappiptek-LIPI Selain sektor pemerintah, kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang) juga dilakukan oleh sektor industri. Meskipun masih sedikit jumlah perusahaan industri manufaktur yang melakukan kegiatan riset, akan tetapi secara absolut jumlah perusahaan yang telah melakukan litbang tersebut cukup banyak. Hasil survei litbang di sektor Industri manufaktur tahun 2010 menunjukkan bahwa dari 1,581 perusahaan sampel di seluruh Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
23
kelompok industri, sudah 24% yang menyatakan melakukan kegiatan riset, artinya terdapat 379 perusahaan. Akan tetapi, belanja perusahaan tersebut untuk kegiatan riset relatif masih kecil. Dibandingkan dengan pengeluaran perusahaan untuk belanja riset yang baru 4%, ternyata alokasi pengeluaran untuk belanja promosi mencapai 46% dan belanja lisensi sebesar 50% (Gambar 14). Fakta ini menunjukkan bahwa ada potensi perusahaan melakukan inovasi, yakni 379 perusahaan dengan total pengeluaran riset 4% tersebut. Belajar dari negara lain, Cina dan India, hanya sejumlah perusahaan yang mampu menghasilkan inovasi frugal tersebut. Dengan demikian, perusahaan dengan dukungan riset tersebut dapat didukung dan diarahkan untuk menghasilkan inovasi yang dibutuhkan masyarakat banyak (BOP). Namun demikian, masih diperlukan pemberian insentif anggaran riset bagi 379 perusahaan tersebut untuk melakukan riset, khususnya yang mengarah pada inovasi frugal, yang akan dinikmati oleh masyarakat dikelompok piramida terbawah tersebut. Sementara sebagian perusahaan atau 790 perusahaan yang telah membeli lisensi teknologi, juga berpotensi melakukan inovasi frugal jika didukung oleh kemampuan untuk mengkombinasikan berbagai teknologi tersebut. Dalam posisi ini, maka peningkatan kemampuan para insinyur dan perekayasa menjadi penting untuk mendorong munculnya inovasi frugal bagi kelompok industri ini.
Sumber: Indikator Iptek: Hasil Survei Litbang Industri Manufaktur, 2010 Gambar 14. Perbandingan Antara Belanja Litbang, Belanja Promosi dan Belanja Lisensi
5.
KEWIRAUSAHAAN INOVATIF Potensi kewirausahaan di Indonesia cukup besar, akan tetapi sebagian besar mengandalkan pada investasi kapital, sumberdaya alam dan tenaga kerja. Jenis kewirausahaan semacam ini umum ditemui di Indonesia. Jumlah perusahaan industri besar dan sedang di Indonesia cukup besar bahkan menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan selama tujuh tahun terakhir. Selama periode 2001 hingga 2008 telah terjadi peningkatan jumlah perusahaan kategori industri pengolahan besar dan sedang di Indonesia, dari 21,396 perusahaan pada tahun 2001 menjadi 25,694 perusahaan pada tahun 2008 (Gambar 15).
Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
24
Sumber: Badan Pusat Statistik. (2012) Statistik Indonesia Tahun 2012.
Gambar 15. Jumlah Industri Pengolahan Besar dan Sedang di Indonesia (Tahun 2001-2008) Akan tetapi, konsep kewirausahaan yang menjadi bahasan di sini adalah konsep kewirausahaan inovatif-nya Schumpeter. Konsep kewirausahaan Schumpeter ini digali kembali oleh Hagedorn (1996) yang sampai pada pemahaman bahwa kewirausahaan menurut Schumpeter tersebut merupakan perorangan yang menghasilkan kombinasi baru (personifikasi dari inovasi) dan dipandang sebagai faktor produksi ketiga disamping tenaga kerja dan lahan. Dalam definisinya, kewirausahaan bukanlah inventor (penemu), kapitalis atau kelas sosial, bisa saja kombinasi ketiganya. Berbeda dengan wirausahawan, penemu dipandang Schumpeter sebagai faktor eksogenus, hanya inovasi kongkrit dan kapasitas inovatif dari wirausahawan-lah yang dapat dikatakan sebagai faktor endogen dalam pembangunan ekonomi. Seorang wirausahawan yang sukses dalam pandangan Schumpeter bisa menjadi pemilik modal, akan tetapi sekali ia gagal berinovasi, maka ia kembali menjadi wirausahawan yang rutin saja, seperti yang dinyatakannya: ‘According to Schumpeter, successful entrepreneurs might become capitalist but they stop being entrepreneurs once they fail to continue to innovate and (re)turn to capitalitst routines (Schumpeter, 1934 in Hagedorn, 1996: p.890)
Dengan demikian, kewirausahaan inovatif itu akan muncul ketika para wirausahawan tersebut selalu mengembangkan kemampuan inovasinya dengan berinvestasi dalam kegiatan inovasi untuk meningkatkan kinerja bisnisnya, dan bukan hanya mengandalkan dari investasi kapital dan tenaga kerja. Hal ini didukung pula oleh hasil survei inovasi sektor industri manufaktur tahun 2011 yang dilakukan Pappiptek-LIPI menunjukkan bahwa sebagian besar perusahaan (77% dari 1,223 perusahaan sampel-industri pengolahan skala besar dan sedang) menyatakan bahwa perusahaan didirikan atas dasar pengalaman kerja pemilik usaha dan sebagai kelanjutan usaha keluarga, yang umumnya didukung sumber daya kapital/finansial (Wijayanti, 2012). Perusahaan yang didukung oleh kemampuan intelektual pemilik usaha dan kemampuan teknologi cukup banyak yakni sekitar 32.92% (Gambar 16). Secara absolut jumlah perusahaan yang dipimpin wirausahawan inovatif ini cukup besar yakni kurang lebih 403 perusahaan dari total 1,223 perusahaan. Kondisi ini tidak dapat diabaikan, karena dari perusahaan inilah potensial munculnya inovasi frugal di Indonesia.
Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
25
Sumber: Indikator Iptek:Potret Inovasi Industri Manufaktur, 2012 Gambar 16. Latar Belakang Berdirinya Perusahaan dan Faktor Penentu Berkembangnya Perusahaan
Seiring dengan kondisi perusahaan industri manufaktur tersebut, maka wajarlah kalau kemudian kurang dari 10 persen perusahaan untuk kelompok industri dengan intensitas teknologi berbeda mampu menghasilkan produk yang benar-benar baru di pasar (Gambar 17). Meskipun demikian, secara absolut jumlah perusahaan yang paling inovatif ini cukup besar yakni 123 perusahaan. Jika potensi ini diperkuat, maka tidak mustahil akan muncul wirausahawan-wirausahawan yang inovatif di Indonesia ke depan. Diantara empat kelompok intensitas teknologi tersebut, tampaknya industri teknologi rendah dan industri teknologi menengah-tinggi akan berpotensi menghasilkan inovasi ke depan, karena telah menunjukkan kemampuannya dalam memenangi pasar (pemimpin pasar) melalui inovasinya maupun perusahaan yang mencoba menjadi penantang perusahaan yang lebih dulu berinovasi.
Sumber: Indikator Iptek:Potret Inovasi Industri Manufaktur, 2012 Gambar 17. Tingkat Inovasi Produk yang Dihasilkan Perusahaan
6. STRATEGI MEMACU INOVASI FRUGAL DI INDONESIA: BEBERAPA GAGASAN Sebagaimana telah diuraikan dalam bagian terdahulu, perkembangan inovasi frugal didorong oleh tiga faktor utama: kemampuan teknologi, kewirausahaan dan peningkatan daya beli masyarakat lapis bawah. Dari perspektif kebijakan publik, kita perlu memahami di mana ketiga faktor tersebut berada dalam sistem sosial ekonomi. Kemampuan teknologi adalah kemampuan yang berada di dan dimiliki oleh sektor industri, khususnya industri manufaktur. Kewirausahaan yang dimaksud di sini adalah kewirausahaan schumpetarian di sektor industri (Kaplinsky, 2011), yakni kewirausahaan yang secara sistematik menerapkan pengetahuan dan teknologi dalam sistem produksi, tidak hanya menerapkan pengetahuan dan teknologi yang diimpor. Peningkatan pendapatan masyarakat lapis bawah merupakan dampak dari pertumbuhan ekonomi yang positif dan stabil dalam jangka waktu yang cukup lama, yang pada dasarnya sangat ditentukan oleh Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
26
kemajuan sektor industri. Dengan demikian, ketiga faktor pendorong inovasi frugal terutama berada di sektor industri. Terkait dengan kebijakan iptek, maka perlu dipahami betul bahwa jika sektor iptek dan litbang ingin turut mendorong perkembangan inovasi frugal, maka sektor iptek perlu menempatkan diri pada posisi mendukung sektor industri untuk mengembangkan kemampuan teknologi. Di sinilah letak arti penting pernyataan bahwa litbang dan iptek tidak bisa lagi hanya mengejar perkembangan iptek semata, tanpa memberikan dampak pada sektor industri. Kesadaran bahwa faktor pendorong utama bagi inovasi frugal adalah kemampuan teknologi industri membawa kita pada kesimpulan bahwa kebijakan industri merupakan sektor kebijakan yang sangat penting dan berprioritas tinggi bagi pengembangan inovasi frugal. Konsekuensinya, kebijakan iptek yang hendak berkontribusi pada pengembangan industri frugal harus terintegrasi dengan kebijakan industri. Sejatinya, kebijakan inovasi merupakan integrasi kebijakan industri dan kebijakan iptek serta kebijakan lainnya yang terkait seperti kebijakan pendidikan dan perdagangan. Berbagai indikator yang telah dikemukakan menunjukkan bahwa kemampuan teknologi industri di Indonesia, khususnya industri manufaktur, masih rendah. Hal ini juga berarti bahwa kebijakan industri selama ini, dan juga kebijakan iptek, belum cukup efektif memainkan peran mendukung pengembangan kemampuan teknologi industri. Untuk dapat mengidentifikasi intervensi kebijakan yang diperlukan, kita perlu memahami mekanisme yang mendorong penciptaan ketiga faktor utama. Dengan mengambil pelajaran dari India, menurut kajian Hidayat (paper dalam NSTD forum ini), dari mana ketiga faktor utama berasal, secara garis besar dapat digambarkan dalam gambar 18. Dalam konteks negara berkembang seperti Indonesia, mekanisme pembalajaran teknologi adalah mekanisme yang mendorong peningkatan kemampuan teknologi. Oleh karena itu, kebijakan industri dan kebijakan iptek yang diintegrasikan dalam kebijakan inovasi perlu berfokus pada penciptaan iklim dan fasilitasi yang membantu industri untuk melakukan pembelajaran teknologi. Sementara itu, kewirausahaan dapat dikembangkan dengan dasar budaya (seperti budaya Ghandian) dan pendidikan.
Gambar 18 Mekanisme Penciptaan Tiga Pra-Kondisi Pendorong Inovasi Frugal Berdasarkan paparan di atas, kebijakan pengembangan inovasi frugal pada akhirnya bermuara pada kebijakan pengembangan kemampuan teknologi industri. Kesimpulan ini dapat dimengerti jika melihat berbagai kasus inovasi frugal di India maupun Cina yang sebagian besar didorong oleh sektor industri tanpa campur tangan pemerintah langsung. Peran pemerintah adalah menciptakan iklim yang mendorong inovasi dan peningkatan kemampuan teknologi secara umum, tidak spesifik tertuju pada inovasi frugal. Terkait dengan kebijakan iptek dalam konteks seperti ini, perlu ditekankan bahwa kebijakan iptek perlu diintegrasikan ke dalam kebijakan industri. Pada tataran program litbang, maka selain Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
27
program litbang yang dimaksudkan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, perlu dikembangkan berbagai program pengembangan teknologi yang ditujukan untuk membnatu industri mengembangkan kemampuan teknologinya. Isu pengembangan kemampuan teknologi adalah isu fundamental dalam kebijakan industri di negara-negara berkembang dan telah mendapat perhatian para peneliti sejak negara-negara industri baru seperti Korea Selatan, Taiwan dan Singapura berhasil mengembangkan kemampuan teknologi industrinya (Amsden, 1989). Kajian dan penelitian yang dilakukan para peneliti dengan negara industri baru sebagai kasus telah menghasilkan kesimpulan penting bahwa bagi negara berkembang, strategi yang paling penting adalah pengembangan kemampuan teknologi industri melalui proses absorpsi teknologi asing yang juga sering disebut pembalajaran teknologi (IBRD, 2010). Strategi ini dapat dirangkum dalam gambar 19.
Sumber: International Bank of Reconstruction and Development (IBRD), 2010
Gambar 19 Strategi Pengembangan Kemampuan Teknologi Tesis awal dari strategi ini adalah bahwasanya bagi negara berkembang, peningkatan kemampuan teknologi berawal dari arus masuk teknologi dari luar melalui beberapa saluran: perdagangan internasional, investasi asing langsung dan diaspora atau jaringan internasional lainnya (termasuk jaringan litbang). Negara berkembang perlu memanfaatkan arus masuk teknologi sebagai kesempatan untuk melakukan pembelajaran teknologi. Untuk dapat melakukan absorpsi teknologi, diperlukan Kapasitas Absorpsi Teknologi yang sangat ditentukan oleh iklim bisnis, penguasaan basis teknologi, pendanaan perusahaan inovatif dan kebijakan yang pro-aktif. Untuk membangun kapasitas ini diperlukan kebijakan yang berfokus pada pembangunan kompetensi industri nasional dan pembangunan infrastruktur, serta kebijakan pembangunan iklim bisnis yang mendorong inovasi. Kapasitas absorpsi teknologi yang terbangun dengan baik, diharapkan dapat membuat proses absorpsi teknologi berjalan dengan baik sehingga kemampuan teknologi domestik meningkat. Proses absorpsi teknologi yang didukung oleh kemampuan absorpsi teknologi tidak lain adalah proses pembelajaran teknologi. Keberhasilan atau kegagalan melakukan proses pembelajaran teknologi telah melahirkan dua tipe negara berkembang. Pertama adalah negara berkembang yang berhasil mengembangkan kemampuan teknologi industrinya dan kemudian mengejar ketertinggalan dari negara maju yang disebut negara fast-follower. Kedua, negara berkembang yang belum berhasil mengembangkan kemampuan teknologi industrinya yang disebut negara latecomer (Oyeyalaran-Oyeyinka dan Sampath, 2010). Menurut kajian Oyelaran-Oyeyinka (2011), Indonesia termasuk negara latecomer. Kebijakan apa yang perlu diperbaiki di Indonesia? Hal ini dapat diidentifikasi dengan melihat perbedaan antara negara fast-follower dan latecomer yang dapat dilihat dalam Tabel 3. Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
28
Bagi Indonesia yang termasuk negara latecomer, hal-hal yang perlu diperhatikan dan diperbaiki adalah visi yang jelas bagi pengembangan industri berdasarkan inovasi. Indonesia perlu memiliki kejelasan industri berbasis inovasi yang akan menjadi fokus pengembangan dan diproyeksikan akan menjadi industri yang kuat. Di samping itu, infrastruktur pengetahuan seperti lembaga litbang dan perguruan tinggi perlu diperkuat dengan penekanan pada kontribusi pengembangan industri melalui penguatan kemampuan teknologi industri. Lembaga litbang perlu dirancang dan didorong untuk meningkatkan interaksi dengan industri secara lebih produktif. Yang juga tidak kalah penting adalah perbaikan birokrasi iptekin. Lembaga pemerintah yang menangani sektor iptekin perlu memiliki birokrasi yang kuat, yang memiliki kemampuan untuk merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan. Tabel 3. Kebijakan Pengembangan Kemampuan Teknologi Pada Dua Kelompok Negara Negara Fast-follower
Negara Latecomer
Berhasil mengartikulasikan visi inovasi dan teknologi dalam industrialisasi dengan fokus pada daya saing dan pertumbuhan sektor terpilih (elektronika di Korea Selatan, Taiwan dan Cina)
Tidak memiliki visi yang jelas industrialisasi yang didorong inovasi
Berhasil membangun secara sistematik infrastruktur pengetahuan yang diperlukan bagi pengembangan kemampuan teknologi
Infrastruktur pengetahuan seperti lembaga litbang mengalami deteriorisasi, tidak terkait dengan sektor industri
Berhasil mengatasi dikotomi public vs private dan pasar vs pemerintah, dan membangun koordinasi antar aktor dalam sistem. Evans: Embedded Autonomy
Perusahaan berinteraksi.
Membangun kapasitas birokrasi Iptekin yang kuat, lihat Amsden (1989)
Birokrasi iptekin lemah
dan
lembaga
litbang
tentang
tidak
Lebih memilih proyek turn-key di mana pembuat kebijakan menjadi perpanpanjangan tangan Multinasional Corporation (MNC) untuk mencari rent,
Sumber: Dirangkum dari Oyelaran-Oyeyinka (2011). 7.
KESIMPULAN
Hasil kajian ini berhasil memetakan beberapa ciri umum tentang permintaan masyarakat, kemampuan teknologi dan kewirausahaan inovatif yang berpotensi mendukung pengembangan inovasi frugal di Indonesia. Ketiga pra-kondisi tersebut dapat disimpulkna sebagai berikut: (1) Permintaan sebagian besar rakyat Indonesia secara umum ditandai oleh beberapa ciri umum berikut: a) peningkatan pendapatan per kapita cenderung meningkat akan tetapi distribusi pendapatan makin timpang dan masih besarnya kelompok masyarakat berpenghasilan rendah (di bawah garis kemiskinan dan bukan termasuk kelompok konsumsi); b) rumah tangga pedesaan yang bertumpu pada sektor pertanian dan minim kepemilikan lahan adalah kelompok paling marginal dan berada di piramida terbawah; c) semakin kecil tingkat pendapatan rumah tangga, semakin besar alokasi pendapatan yang dialokasikan untuk pangan dan semakin minim untuk non pangan, seperti pengeluaran untuk barang dan jasa serta kesehatan; d) rumah tangga pada kelompok berpendapatan rendah baik di kota maupun di desa mengalokasikan sebagian besar pendapatannya untuk perumahan, bahan bakar dan air. (2) Ciri umum kemampuan teknologi Indonesia adalah terdiri atas tiga rendahnya kondisi intensitas riset yang pada akhirnya mempengaruhi kemampuan teknologi Indonesia. Ketiga kondisi tersebut adalah kurangnya perhatian pemerintah terhadap kegiatan Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
29
riset yang terlihat dari kecenderungan menurunnya anggaran riset pemerintah, rendahnya investasi riset di sektor swasta dan karakteristik industri manufaktur di Indonesia. Pada kasus tertentu terdapat lembaga litbang pemerintah atau swasta yang telah berhasil memiliki produk riset unggulan yang dihasilkan dengan kemampuan teknologi dan memiliki nilai tambah yang tinggi (contoh: pupuk organik haryati). Sejumlah perusahaan telah mengembangkan kemampuan teknologinya melalui investasi riset dan pembelian lisensi teknologi, namun investasi tersebut relatif masih rendah daripada pengeluaran promosi, menunjukkan bahwa produk yang dikembangkan berupa produk konsumsi missal. (3) Ciri umum kewirausahaan yang berkembang di Indonesia adalah sebagian besar perusahaan berkembang karena dukungan sumber daya capital dan tenaga kerja, bersifat perusahaan turun-temurun, namun demikian masih ada sejumlah perusahaan yang juga sudah mengandalkan dukungan pendidikan dan sumber daya intelektual atau kemampuan teknologinya. (4) Mengacu pada indikator sosial-ekonomi dan iptek (kemampuan teknologi dan wirausahawan), maka pengembangan inovasi frugal di Indonesia haruslah bertumpu pada realita permintaan masyarakat yang umumnya masih berpenghasilan rendah, didukung oleh kelompok kecil perusahaan yang potensial kemampuan teknologinya dan mempunyai karakter wirausahawan yang inovatif. Dengan demikian, pengembangan inovasi frugal di Indonesia yang paling mungkin dilakukan adalah dengan dua strategi: (i) pengembangan inovasi frugal untuk kebutuhan dasar yakni perumahan, bahan bakar dan air, pangan dan kesehatan bagi semua rumah tangga bukan kelompok konsumsi; dan (ii) pengembangan inovasi frugal untuk barang tahan lama dan aneka barang bagi masyarakat kelompok di atas garis kemiskinan tetapi bukan kelompok konsumsi. Secara rinci dapat diuraikan sebagai berikut: a) Inovasi frugal untuk produk bahan perumahan, bahan bakar (energi) dan air adalah yang paling dibutuhkan di semua kelompok berpendapatan rendah. Inovasi frugal bagi masyarakat bawah garis kemiskinan diarahkan pada upaya memenuhi kebutuhan dasar yakni papan, energi, air dan pangan serta kesehatan. Sedangkan inovasi frugal untuk masyarakat di atas garis kemiskinan dan bukan kelompok konsumsi diarahkan pada barang tahan lama dan aneka barang dan jasa. Inovasi yang dapat meningkatkan produktivitas pertanian dan menurunkan biaya input serta efisien dalam penggunaaan lahan adalah prioritas utama. Disamping itu diperlukan terobosan dalam solusi kesehatan masyarakat berpenghasilan rendah-menengah yang mampu menekan biaya kesehatan. Inovasi yang dapat menurunkan biaya obat-obatan dan peralatan medis tetapi berkualitas standar sangat dibutuhkan, sehingga semakin banyak masyarakat di kelompok lapisan tersebut mampu meng-akses pada pelayanan kesehatan. b) Tidak semua perusahaan dapat melakukan inovasi frugal tersebut (Ray and Ray, 2011), oleh karena itu insentif perlu diarahkan pada kelompok perusahaan yang nyata mempunyai kemampuan teknologi (didukung oleh riset dan/atau mampu membeli lisensi teknologi dan mengembangkannya) serta mempunyai keinginan dan inisiatif untuk melayani kelompok lapisan piramida terbawah tersebut. Konsep champion yakni memilih perusahaan yang masuk dalam kategori tersebut adalah yang paling mungkin dilakukan dalam jangka pendek untuk mendorong munculnya wirausahawan yang inovatif dan mampu menghasilkan produk inovasi yang dibutuhkan kelompok masyarakat terbawah itu. (5) Strategi mendorong inovasi frugal di Indonesia seharusnya difokuskan pada pengembangan kemampuan teknologi (melalui peningkatan kemampuan absorpsi yang memerlukan literasi dan keahlian SDMnya, contoh: vocational education), disamping penciptaan iklim yang kondusif (contoh: government procurement).
Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
30
PUSTAKA Aminullah, E., 2011. “Dinamika Dana Riset Nasional dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Jangka Panjang”. Proceeding Seminar Pengembangan Iptek Nasional, Jakarta: LIPI, tanggal 10 Oktober, 2011. Amsden, A.H., 1989. Asia’s Next Giant: South Korea and Late Industrialisation. Oxford University Press. Oxford, New York. Hagedorn, H., 1996. Innovation and Enterpreneurship: Schumpeter Revisited. Industrial and Corporate Change, vol. 5, no. 3: Pp. 883-896 IBRD, 2010. Innovation Policy: A Guide for Developing Countries. The World Bank, Washington DC. Kaplinsky, R., 2011. Schumacher meets Schumpeter: Appropriatetechnology below the radar. Research Policy vol. 40, Issue 2: pp. 193-203 Krishnan, R. T., 2010. From Jugaad to Systematic Innovation. The Utpreraka Foundation. Bangalore. Mathews, J. A., 2006. “Catch-up Strategies and the Latacomer Effect in Industrial Development”. New Political Economy 11(3):313-335. MP3EI, 2011. Masterplan Percepatan Pertumbuhan dan Perluasan Ekonomi Indonesia. Oberman, R., Dobbs, R., Budiman, A., Fraser, T., and M. Rosse., 2012. The archipelago economy: unleasing Indonesia’s potential. Mc Kinsey Global Institute. Oyelaran-Oyeyinka, B and Rasiah, R., 2009. Uneven Paths of Development: Innovation and Learning in Asia and Africa. Cheltenham, UK. Edward Elgar Publishing Limited. Prahalad, C.K., 2004. The Fortune at the Bottom of the Pyramid: Eradicating Poverty through Profits. Wharton School Publishing. Ray, S and P.K. Ray., 2011. Product innovation for the people’s car in emerging economy. Technovation vol. 31. Pp. 216-227 Schwab, K., and X. Sala-i-Martin. (editor), 2012. The Global Competitiveness Report 20122013. The World Economic Forum Simamora, N. et.al., 2012. Indikator Iptek Indonesia, 2011. Jakarta: Perpustakaan Nasional Triyono, B. Dkk., 2011. Laporan Analisis Relevansi Hasil-Hasil Riset Ilmiah LIPI untuk Relevansi Kebijakan. Pappiptek-LIPI UNDP, 2011. Sustainability and Equity: A better future for all. United Nations Development Programme Warner OFM, K.D., 2012. What is frugal innovation? Center for Science, Technology & Society, SCU March 25 2011. Wijayanti, R. Irene, N., 2012. Indikator Iptek: Potret Inovasi sektor Industri Manufaktur. Jakarta: Perpustakaan Nasional World Economic Forum, 2012. Global Competitiveness Index.
Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
31
KEBIJAKAN DAN KONDISI MAKRO
Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
32
PROSES PENGEMBANGAN INOVASI FRUGAL DILIHAT DARI PERSPEKTIF EKONOMI INSTITUSIONAL BERPARADIGMA REALISME KRITIS Dudi Hidayat Pusat Penelitian Perkembangan Iptek-LIPI Jl. Jend. Gatot Subroto No 10 Telp. (021) 5201602 Fax. (021) 5201602 E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Inovasi frugal yang banyak berkembang di India kini telah mendapatkan perhatian luas baik di negara berkembang maupun di negara maju. Ia diyakini dapat menawarkan solusi bagi masalah yang dihadapi oleh masyarakat lapisan bawah berdaya beli rendah di negara-negara berkembang. Inovasi frugal adalah inovasi proses atau produk yang mampu memberikan solusi masalah dengan harga terjangkau di tengah-tengah keterbatasan sumber daya dan keterbatasan institusional. Ia dapat terjadi di area irisan antara inovasi teknologi, institusional dan sosial. Makalah ini mengkaji literatur yang telah berkembang saat ini untuk menjawab pertanyaan apa sebetulnya yang dimaksud dengan inovasi frugal. Dalam konteks apa dan bagaimana ia dapat berkembang? Siapa yang telah banyak mengembangkan inovasi frugal? Persyaratan kemampuan apa yang diperlukan untuk dapat mengembangkan inovasi frugal? Bagaimana pemerintah dapat mendorong perkembangan inovasi frugal? Kajian terhadap literatur dilakukan dengan menggunakan perspektif Ekonomi Institusional berparadigma ontologis realisme kritis yang memandang fenomena kemunculan inovasi frugal sebagai sebuah fenomena sosial ekonomi dalam sebuah sistem sosial ekonomi. Sistem sosial dipandang sebagai sesuatu yang terstruktur dan terstratifikasi di mana fenomena inovasi frugal dilihat sebagai fenomena yang terjadi pada strata empiris teramati dan teralami. Untuk dapat menjelaskan kemunculan fenomena inovasi frugal, analisis perlu dilakukan untuk memahami struktur dan mekanisme pada strata yang lebih dalam daripada strata empiris. Hasil kajian menyimpulkan bahwa inovasi frugal adalah inovasi khas yang menuntut ketersediaan aransemen institusional tertentu serta budaya dan lingkungan tertentu. Terdapat tiga pra-kondisi utama: entrepreneur, kemampuan teknologi dan permintaan efektif dari masyarakat lapis bawah. Pemahaman akan hal ini sangat diperlukan jika negara berkembang seperti Indonesia ingin mengembangkan inovasi frugal. Kata kunci: Inovasi Frugal, Ekonomi Institusional, Realisme Kritis, Tata Nano
1. PENDAHULUAN Sejak Schumpeter (1949) menekankan pentingnya inovasi dan entrepreneurship dalam perekonomian, maka peran inovasi dalam pertumbuhan dan perkembangan ekonomi tidak terbantahkan lagi, meskipun masih terdapat perdebatan tentang dari mana sumber inovasi, apakah berasal dari luar sistem ekonomi (eksogenus) atau berasal dari dalam sistem ekonomi (endogenus) (Arvanitidis, 2006). Dewasa ini, perdebatan ini berakhir dengan kesimpulan bahwa inovasi melalui perubahan teknologi harus dipandang sebagai bagian dari proses ekonomi dan karenanya harus dipandang bersifat endogenus dalam sistem ekonomi sendiri (Lipsey et.al, 2006). Sejarah perekonomian dunia pun sarat dengan bukti-bukti empiris yang menunjukkan bahwa negara-negara yang memiliki kemampuan inovasi yang tinggi memiliki pertumbuhan ekonomi yang pesat dengan bersandar pada kemampuan daya saing tinggi di pasar internasional (Fu et.al, 2010). Sejak Revolusi Industri di Inggris pada akhir abad ke-18 sampai dengan saat ini, telah terjadi kemunculan negara-negara berdayasaing tinggi bersandar pada kemampuan inovasi. Inggris di abad ke-18 merupakan negara pertama yang menjadi pelopor, diikuti oleh Jerman dan Amerika di abad berikutnya. Pada abad ke-20 muncul negara berkemampuan inovasi dan berdayasaing tinggi dari Asia Timur seperti Jepang, Korea, Taiwan dan Singapura. Pada awal abad ke-21 muncullah negara-negara yang tergabung dalam kelompok BRICS (Brazil, Russia, India, China, South Africa) yang memiliki kemampuan inovasi tinggi. (Fu et.al, 2010). Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
33
Semua negara-negara yang disebutkan di atas memiliki kemampuan inovasi di sektor manufaktur. Sektor ini memiliki peran penting dalam sistem ekonomi suatu bangsa karena mampu menjadi pendorong sektor lain (Popov, 2011; Kattel, 2009). Sektor manufaktur memiliki kemampuan menciptakan berbagai alat produksi yang diperlukan oleh sektor lain. Jerman maju dengan kemampuannya di sektor industri kimia dan farmasi serta permesinan. Jepang, Korea dan Taiwan mengandalkan kemampuan di sektor elektronika dan teknologi informasi. Jepang dan Korea di sektor otomotif. Demikian pula Cina dan India memiliki kemampuan inovasi yang tinggi di sektor elektronika dan teknologi informasi. Kemampuan di sektor manufaktur yang dimiliki oleh negara-negara tersebut diarahkan untuk memproduksi barang-barang manufaktur yang dikonsumsi oleh konsumen kalangan menengah atas dengan kemampuan daya beli yang cukup tinggi. Daya beli masyarakat di negara-negara tersebut meningkat setelah ekspor produk manufaktur berhasil ditingkatkan, begitu pula jasa yang terkait dengannya, dan meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB). Dibandingkan dengan negara-negara lainnya, Cina memiliki PDB paling besar ($11,29 trilyun), begitu pula dengan India ($4,46 trilyun). Namun kedua negara ini memiliki jumlah penduduk sangat besar (Cina 1,343 milyar; India 1,205 milyar) sehingga peningkatan PDB harus dibagi dengan jumlah tersebut. Akibatnya, PDB per kapita mereka relatif kecil dibanding dengan negara lainnya (India $3.700; Cina $8.400). Distribusi PDB kepada jumlah penduduk yang besar juga tidak selalu merata. Hal ini mengakibatkan terdapatnya sejumlah penduduk yang berdayabeli rendah. Muncullah tantangan untuk berinovasi guna memenuhi kebutuhan masyarakat lapis bawah yang berdayabeli rendah. Proses inovasi yang melahirkan produk inovasi murah yang terjangkau oleh masyarakat lapis bawah disebut inovasi frugal. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila India dan Cina adalah tempat di mana inovasi frugal berkembang. Dengan kemampuan manufaktur yang cukup tinggi, mereka berupaya menghadirkan produk-produk inovatif yang tidak terlalu mahal dan terjangkau oleh masyarakat lapisan bawah. Umumnya, produk inovasi frugal tidak memiliki fitur yang serba mewah, tetapi cukup memiliki fitur yang diperlukan oleh masyarakat lapis bawah. Mobil Nano yang diproduksi oleh TATA di India merupakan contoh ikonik dari produk inovasi frugal, meskipun saat ini dinilai kurang berhasil penjualannya (MacDuffie, 2011). Dengan harga hanya Rs 1 juta (US$2.500), masyarakat lapis bawah yang sebelumnya banyak menggunakan kendaraan roda dua dapat menjangkaunya. Meskipun tidak memiliki pendingin udara (kecuali pada model terbarunya), Nano masih lebih nyaman daripada kendaraan roda dua. Nano juga memiliki daya tahan tinggi untuk berjalan di atas infrastruktur jalan yang kurang bagus. Bahkan, Nano ini memiliki rancangan cassis khusus yang sangat kuat di atas medan jalan yang kurang bersahabat. Di samping mobil Nano, telah banyak lahir pula produk inovasi frugal seperti Electrocardiogram (ECG) genggam yang berukuran kecil. Jika jumlah tombol pada ECG biasa jumlahnya banyak, ECG genggam ini hanya memiliki empat tombol dengan printer yang bisa digunakan untuk mencetak tiket. ECG genggam dan semua perangkatnya dapat dimasukkan ke dalam sebuah tas punggung kecil dan dapat dioperasikan dengan menggunakan baterai. Perangkat ini dijual dengan harga 800 dolar. Alat serupa biasa dijual 2000 dolar. Penggunaan electrocardiogram genggam telah menurunkan biaya test ECG menjadi 1 dolar untuk setiap pasien. Di Chennai, Tata Chemicals telah memproduksi penyaring air untuk memenuhi kebutuhan air bersih bagi masyarakat lapis bawah. Penyaring ini menggunakan kulit padi sebagai bahan utamanya, yang biasanya merupakan bahan terbuang dalam proses pengolahan beras. Dengan bentuk yang kompak dan portabel, produk penyaring air ini dapat memenuhi kebutuhan air bebas bakteri bagi keluarga lapis bawah dengan investasi awal sebesar 24 dolar dan biaya penggantian filter baru sebesar 4 dolar untuk setiap beberapa bulan. Tata Chemicals berencana untuk memproduksi lebih dari 1 juta penyaring air dengan target seluruh India mencapai 100 juta unit. Kelompok usaha Godrej & Boyce Manufacturing, salah satu kelompok usaha tertua di India, telah mengembangkan sebuah lemari es seharga 70 dolar yang dioperasikan dengan Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
34
baterai. Sebuah perusahaan start-up telah membuat tungku berbahan bakar kayu yang hemat dan menghasilkan sedikit asap. Seorang entrepreneur, Anurag Gupta, telah berhasil mengkonversi kantor cabang bank ke dalam sebuah telepon genggam lengkap dengan scanner sidik jari. Dengan produk ini, mesin ATM berada dalam jangkauan orang-orang yang tinggal di pelosok pedesaan. Demikianlah, berbagai produk inovasi frugal terus bermunculan di pasaran di India sehingga mendapatkan perhatian para pebisnis internasional termasuk perusahaan multinasional. Mereka menaruh minat untuk mengembangkan produk inovasi frugal untuk menjangkau pasar masyarakat lapis bawah. Ketertarikan perusahaan multinasional menunjukkan bahwa produk inovasi frugal adalah produk yang menguntungkan. Meskipun dijual dengan harga murah dan margin keuntungan tidak besar, pasar yang besar membuat keuntungan yang dapat diperoleh cukup menjanjikan (Tiwari dan Herstatt, 2012). Sementara itu, pengalaman India dalam mengembangkan inovasi frugal juga telah menarik perhatian negara berkembang lainnya yang juga memiliki pasar masyarakat lapis bawah yang cukup besar. Inovasi frugal dipandang sebagai solusi bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat lapis bawah (NIC, National Innovation Council India, 2010). Agar dapat berhasil mengembangkan inovasi frugal, kemunculan fenomena inovasi frugal perlu dikaji lebih jauh. Apakah yang dimaksud dengan inovasi frugal? Apa faktor-faktor yang mendorong kemunculan inovasi frugal? Makalah ini berupaya memberikan gambaran tentang kemunculan fenomena inovasi frugal dengan menggunakan perspektif ekonomi institusional yang berlandaskan pada filosofi Realisme Kritis. Untuk mencapai tujuan ini, pertama kali akan diuraikan apa yang dimaksud dengan inovasi frugal. Pembahasan dilanjutkan dengan perspektif ekonomi institusional dan realisme kritis. Kemudian berdasarkan perspektif ini, akan dibangun sebuah kerangka pikir untuk menganalisa kemunculan inovasi frugal dengan menggunakan studi kasus Tata Nano. Dari analisis kasus ini, akan ditarik kesimpulan tentang fenomena kemunculan inovasi frugal. 2. PENGERTIAN INOVASI FRUGAL Sebelum lebih jauh membahas fenomena inovasi frugal, terlebih dahulu perlu diuraikan pengertian inovasi frugal yang penulis pahami dari berbagai literatur. Secara bahasa, frugal berarti murah. Kamus Oxford Advance Learner mendefinisikan kata frugal sebagai sesuatu yang kecil dan murah: "small, plain and not costing very much". Di samping itu, frugal juga dapat berarti proses yang menggunakan biaya semurah mungkin, "using only as much money as is necessary". Secara istilah, inovasi frugal adalah inovasi produk atau proses yang jauh lebih murah daripada produk yang ada sebagai respon terhadap keterbatasan sumber daya (Zeschky et.al, 2011). Produk inovasi frugal juga seringkali memiliki fitur yang lebih inferior daripada produk yang ada, namun fitur yang inferior ini dipandang cukup memadai oleh pengguna masyarakat lapis bawah. Jadi, ciri utama inovasi frugal adalah harganya yang sangat murah dibandingkan produk serupa. Murahnya produk inovasi frugal mutlak diperlukan di tengahtengah keterbatasan sumberdaya yang dimiliki masayarakat lapis bawah. Namun di samping harga konsumsi yang murah, inovasi frugal juga menuntut adanya beberapa karakteristik lain (Tiwari dan Herstatt, 2012, Bhatti, 2012). Menghasilkan produk inovasi frugal seringkali memerlukan model bisnis yang baru sama sekali (den Ouden, 2012; Bhatti, 2012). Karena harganya yang murah, produk inovasi frugal menghasilkan margin keuntungan yang kecil, tetapi karena volume pasar yang besar, ia dapat menghasilkan keuntungan yang memadai bagi produsennya (Prahalad, 2005). Di samping itu, proses produksi inovasi frugal menuntut kerjasama intensif dengan pihak lain di luar perusahaan yang memiliki pengetahuan teknis dan pengetahuan pasar yang diperlukan (Tiwari and Herstatt, 2012, Ray dan Ray, 2011). Mempertimbangkan beberapa karakteristik di atas, maka beberapa peneliti menekankan bahwa inovasi frugal tidak hanya tentang harga murah, tetapi mencakup karakteristik lainnya. Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
35
Tiwari dan Herstatt (2012) mendefinisikan inovasi frugal sebagai produk yang lebih murah dengan meminimalisasi penggunaan material dan sumberdaya keuangan yang diperlukan sepanjang rantai nilai, yakni sepanjang proses pengembangan, perakitan, distribusi, konsumsi dan pembuangan. We define frugal innovations as new or significantly improved products (both goods and services), processes, or marketing and organizational methods that seek to minimize the use of material and financial resources in the complete value chain (development, manufacturing, distribution, consumption, and disposal) with the objective of reducing the cost of ownership while fulfilling or even exceeding certain pre-defined criteria of acceptable quality standards. Demikian pula Bhatti (2012) mendefinisikan inovasi frugal dengan dua karakteristik utama, tidak hanya harganya yang murah. Menurutnya, suatu produk (barang atau layanan), praktik, atau proses dapat disebut inovasi frugal jika memenuhi dua karakteristik utama: pertama, memenuhi kebutuhan tanpa terhambat oleh masalah keterbatasan daya beli, sumber daya dan keterbatasan institusional; dan kedua, inovasi frugal seringkali mencakup inovasi di bidang irisan atau campuran antara inovasi teknologi, institusi dan sosial. Perlu ditekankan di sini bahwa proses inovasi frugal tidak selalu murah, meskipun menghasilkan produk inovasi frugal yang sangat murah. Bahkan dalam banyak kasus produk inovasi frugal seperti mobil Tata Nano, proses pembuatan inovasi frugal membutuhkan akumulasi pengetahuan, pengalaman yang cukup lama dan kemampuan teknologi yang tinggi5,yang seringkali, semua ini hanya dapat diperoleh melalui pengalaman produksi yang lama dan upaya litbang yang cukup lama dan tidak murah (Ray dan Ray, 2011; Tiwari dan Herstatt, 2012). Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa produk inovasi frugal dicirikan terutama oleh harga konsumsi yang murah dan kualitas produk yang memenuhi atau bahkan melebihi standar (minimal) tertentu, diproduksi dengan proses yang mengefisienkan penggunaan material dan dana yang seringkali menuntut perubahahan model bisnis dan tidak jarang menuntut kemampuan manufaktur yang tinggi. Pada titik ini perlu disinggung keterkaitan konsep inovasi frugal dengan teknologi tepat guna. Kedua konsep ini sama-sama berkenaan dengan penyelesaian masalah dengan inovasi atau teknologi baru yang menggunakan sumberdaya yang ada. Kaplinsky (2011) menyimpulkan bahwa teknologi tepat guna yang mulai berkembang sejak tahun 1960-an di negara-negara berkembang merupakan gerakan pemanfaatan teknologi sederhana bagi konteks negara berkembang. Hal yang membedakan teknologi tepat guna dengan inovasi frugal terutama adalah karena teknologi tepat guna banyak dikembangkan oleh organisasi nirlaba (Kaplinsky, 2011). Sementara itu, inovasi frugal banyak dikembangkan oleh industri swasta yang dimotivasi oleh dorongan memperluas pasar di kalangan masyarakat lapis bawah6 (Bhatti dan Ventresca, 2012). Sambil mengutip Kaplinsky yang menyatakan bahwa gerakan teknologi tepat guna lebih banyak diwarnai dengan kegagalan dan ketidakberlanjutan, Bhatti dan Ventresca (2012) memprediksi bahwa di masa mendatang, sejalan dengan peningkatan pendapatan masyarakat lapis bawah, inovasi frugal akan lebih banyak berkembang daripada teknologi tepat guna. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa keberlanjutan inovasi frugal didukung oleh orientasi keuntungan yang dikejar oleh para produsen inovasi frugal dan peningkatan tingkat pendapatan masyarakat lapis bawah.
5
Pada tahun 2010, Tata berada pada rangking 17 dalam kelompok perusahaan paling inovatif menurut Business Week. Sementara GE divisi India yang memproduksi electrocardiogram genggam yang sangat frugal berada pada rangking 9 (Bloomberg BusinessWeek, 2010) 6 Perbedaan ini tersirat dari penggunaan istilah: teknologi tepat guna dan inovasi frugal. Yang satu menggunakan istilah teknologi, yang kedua menggunakan istilah inovasi. Inovasi secara definisi mengandung pengertian komersial dan merujuk pada aktivitas yang berlangsung di bawah mekanisme pasar. Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
36
3. PERSPEKTIF EKONOMI INSTITUSIONAL UNTUK MENJELASKAN FENOMENA INOVASI FRUGAL Pada bagian terdahulu telah dinyatakan bahwa meskipun inovasi frugal mengandung muatan sosial berupa pemenuhan kebutuhan masyarakat lapis bawah, namun ia merupakan fenomena yang berlangsung di bawah mekanisme pasar dan karenanya terjadi dalam sebuah sistem sosial-ekonomi. Sebagaimana halnya dengan fenomena sosial-ekonomi lainnya, upaya untuk memahami fenomena tersebut dapat dilakukan melalui lensa ekonomi neoklasik atau ekonomi instisusi. Menurut Chavance (2009), berbeda dengan ekonomi neoklasik yang mengabaikan aspek institusi dalam aktivitas ekonomi, ekonomi institusional berpandangan bahwa karena aktivitas ekonomi terjadi dalam sistem sosial, maka aspek institusi yang dipahami sebagai “aturan main” (North, 1989) menjadi sangat penting untuk dikaji dalam ekonomi. Aturan main memberikan pedoman kepada aktor untuk bertindak dalam situasi tertentu dan aktor dapat memprediksi apa yang akan dilakukan oleh aktor lain sebagai respon atas pilihan tindakannya. Jika aktor lain merespon dengan tindakan yang tidak sesuai dengan aturan main, maka ia akan mendapatkan sanksi legal jika aturan tersebut merupakan regulasi atau hukum formal, atau sanksi sosial jika aturan tersebut merupakan norma sosial. Institusi membatasi dan mengarahkan pilihan tindakan agen ekonomi dan karenanya membatasi rasionalitasnya. Di samping itu, ekonomi institusional menaruh perhatian besar pada fenomena perubahan institusional sebagai pendorong gerak aktivitas ekonomi. Hal ini berbeda dengan ekonomi neoklasik yang mengarahkan analisisnya pada keseimbangan statis. Karena perhatiannya pada perubahan institusional, maka dibandingkan ekonomi neoklasik, ekonomi institusional lebih tepat digunakan untuk menganalisis fenomena ekonomi yang dinamis seperti fenomena kewirausahaan dan banyak fenomena ekonomi lainnya. Ekonomi institusional juga memandang proses emergence sebagai sebagai proses yang memunculkan fenomena ekonomi (Chavance, 2009). Tindakan individual maupun kolektif dari agen ekonomi sering memunculkan fenomena baru yang tidak terduga yang tidak bisa dijelaskan dengan agregrasi fenomena elemen pembentuknya. Suatu fenomena merupakan fenomena emergence jika fenomena tersebut memiliki karakteristik yang bukan merupakan penjumlahan dari karakteristik dari elemen pembentuknya. Barangkali, konsep “the invisible hand” nya Adam Smith lebih tepat disebut sebagai proses emergence. Karena cara kerjanya yang tidak terlihat, invisible hand ini menghasilkan fenomena atau aktivitas ekonomi yang tidak dapat dipahami hanya dengan melihat aktivitas individu atau kelompok pembentuk sistem ekonomi. Schumpeter sudah sejak awal mengindikasikan bahwa pendekatan ekonomi neoklasik tidak dapat menjelaskan fenomena ekonomi secara utuh, terlebih fenomena kewirausahaan (Coursivanos dan Mackenzie, 2011). Pendekatan ekonomi neoklasik terlalu bersifat individualistik dan berpandangan bahwa fenomena ekonomi hanya merupakan agregat dari individu. Padahal menurut Schumpeter, fenomena ekonomi merupakan hasil interaksi antar pelaku ekonomi termasuk entrepreneur dan interaksi antara pelaku dengan faktor ekonomi lainnya yang seringkali bersifat kompleks dan tidak linear. Yang dimaksud oleh Schumpeter adalah bahwa fenoma ekonomi bukan merupakan hasil agregasi, tetapi merupakan hasil emergence (kemunculan). Oleh karena itu, perspektif ekonomi institusi memandang munculnya fenomena inovasi frugal bukan merupakan hasil agregrasi dari sekumpulan aktor pelaku ekonomi dan lingkungannya. Tetapi merupakan hasil interaksi yang kompleks yang memunculkan fenomena emergence. Pendekatan ekonomi yang lebih tepat digunakan untuk analisis sistem yang kompleks adalah pendekatan ekonomi institusional (EI) yang memandang sistem ekonomi sebagai sebuah sistem kompleks yang terbuka dan karenanya memilih pendekatan yang holistik (Arvanitidis, 2006). Dalam pandangan EI, sistem sosial bukan merupakan penjumlahan agregat dari individu dan karenanya EI menolak metodologi individualistik. EI juga menolak model pelaku ekonomi sebagai makhluk rasional (Rational Economic Man) dan lebih menekankan pada pentingnya institusi atau rutinitas dalam perilaku manusia. Menurut EI, Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
37
manusia lebih sering bertindak atau mengambil pilihan berdasarkan rutinitas yang biasa dilakukan, bukan dengan hitung-hitungan rasional saja. 4. REALISME KRITIS: SETELAH POSITIVISME DAN KONSTRUKTIVISME Ekonomi institusional mendefinisikan institusi sebagai aturan main (rules, norms) yang mengarahkan sekaligus membatasi perilaku aktor ekonomi (Ostrom, 2005). Cara pandang seperti ini bersesuaian dengan paradigma realisme kritis7 yang juga memandang bahwa semua fenomena sosial dan juga fenomena ekonomi, termasuk perilaku aktor, merupakan hasil dari sebuah struktur sosial (Cheng, 2005; Lawson, 2003, Fleetwood, 1999). Dalam hal ini, struktur sosial didefinisikan sebagai serangkaian sistem institusional (Tang, 2011). Jadi, struktur sosial dalam realisme kritis tiada lain adalah institusi dalam pemahaman ekonomi institusional. Oleh karena itu, kerangka analisis institusional dalam ekonomi institusional dapat didefinisikan kembali melalui paradigma realisme kritis (Cheng 2005; Arvanitidis, 2006), atau dengan kata lain, realisme kritis dapat menjadi landasan paradigmatik atau metateori bagi teori ekonomi institusional. Namun, apakah manfaatnya bagi ekonomi institusional jika ia mengadopsi realisme kritis sebagai landasan metateorinya? Untuk menjawab pertanyaan ini, dalam bagian ini akan diuraikan secara singkat paradigma realisme kritis melalui perbandingan antara paradigma positivisme dan konstruktivisme. 4.1. Positivisme Sejarah ilmu pengetahuan menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan alam (fisika dan kimia) telah lebih dahulu berkembang sebelum ilmu pengetahuan sosial berkembang. Ilmu pengetahuan alam didasarkan pada paradigma positivisme yang meyakini bahwa realitas yang menjadi kajian ilmu sudah ada "di luar sana" terpisah dan tidak terkait dengan peneliti yang mengkajinya. Realitas ada dalam bentuknya tersendiri terlepas dari ada atau tidak adanya peneliti yang mengkaji. Dengan demikian, positivisme menganut paham realisme: realitas ada dan terpisah dari kita, peneliti yang mengkajinya. Positivisme juga meyakini objektivitas dari peneliti. Karena realitas terpisah dari peneliti dan tidak saling mempengaruhi, maka peneliti dapat dipandang sebagai pengamat yang objektif, tidak memberikan pengaruh pada realitas, apalagi membangun atau mengkonstruksi realitas. Yang terakhir ini merupakan keyakinan paradigma konstruktivisme. Lebih jauh, positivisme meyakini adanya hukum alam yang bersifat umum dan berlaku di mana saja dalam keadaan apapun. Semua objek yang tercakup dalam hukum tersebut akan tunduk pada hukum tersebut. Karenanya, apabila kita tahu keadaan suatu objek pada waktu tertentu, kita akan mampu memprediksi keadaan objek tersebut di masa mendatang. Hukum gravitasi misalnya. Hukum ini mampu memprediksi gerak suatu benda dengan berat tertentu asal diketahui posisi, arah dan kecepatan awal gerak benda tersebut. Di awal perkembangan ilmu sosial, terutama sosiologi, para ilmuwan sosial mengadopsi paradima positivistik dalam melakukan penelitian sosial. Hal ini terutama didorong oleh keberhasilan ilmu alam dengan paradigma postivistiknya dalam mengkaji alam kebendaan dan menghasilkan pengetahuan alam yang sangat bermanfaat bagi perkembangan teknologi dan pada gilirannya teknologi memberikan manfaat besar pada manusia. Peletak dasar ilmu sosiologi, Auguste Comte, secara eksplisit menyebut sosiologi sebagai "the Physics of society". Dalam hal kausalitas, positivisme terutama dicirikan dengan keyakinan akan adanya hukum kausalitas Humean8 "jika A maka B" yang mengatur perilaku benda. Demikian pula para ilmuwan sosial yang berparadigma positivistik meyakini dan mencari hukum yang 7
Realisme kritis adalah paradigma alternatif antara (neo)positivisme dan konstruktivisme yang digagas dan dikembangkan oleh Roy Bhaskar (1979) dan beberapa peneliti lain di Inggris (Sayer, 2000; Archer, 1995) dan negara Skandinavia (Darnermark, 2002). Penerapan paradigma realisme kritis dalam ilmu ekonomi sudah cukup maju (Lawson, 2003). 8 David Hume adalah filosof ilmu yang mengembangkan hukum kausalitas ini. Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
38
mengatur perilaku aktor sosial. Emile Durkheim meneliti fenomena bunuh diri dengan pendekatan positivistik. Demikian pula, Karl Marx meyakini adanya hukum sosial yang mengatur perilaku aktor sosial, dan karenanya sejarah diatur oleh hukum tersebut. Pandangan positivisme terhadap hukum sebab akibat, atau kausalitas, merujuk pada kausalitas dalam hukum alam: jika A maka B. Hubungan kausalitas seperti ini disebut "Covering Law" yang berlaku di mana saja dan kapan saja sepanjang terdapat kondisi yang disyaratkan oleh hukum tersebut. Karena asumsi seperti ini, maka metode inferensi untuk mencapai kesimpulan dalam penelitian adalah metode deduktif. Metode ini dimulai dengan formulasi hubungan antar variabel menurut hukum yang akan dibuktikan kebenarannya. Dilanjutkan dengan operasionalisasi dari variabel-variabel tersebut menjadi indikator terukur (secara kuantitatif) yang dapat diobservasi melalui kajian empiris. Bukti empiris yang diperoleh dengan penelitian akan mengkonfirmasi atau menyanggah kebenaran hukum yang mengatur relasi antar variabel. Penelitian pun diakhiri dengan kesimpulan apakah hubungan kausalitas antar variabel seperti yang dinyatakan dalam hukum terbukti atau tidak. 4.2. Konstruktivisme Dalam perkembangannya, para ilmuwan sosial mengkritisi pendekatan positivistik dalam penelitian sosial. Objek penelitian ilmu sosial tidak sama dengan objek penelitian ilmu alam. Objek penelitian ilmu sosial adalah manusia yang dapat berpikir mengevaluasi keadaan dan memiliki kebebasan dan kemampuan untuk menentukan pilihan tindakan dari serangkaian pilihan yang terbentang di depannya. Oleh karena itu, perilaku manusia sangat sulit untuk diprediksi. Lebih jauh, para pengkritik positivisme meyakini bahwa realitas sosial dapat dipengaruhi oleh persepsi dan tindakan aktor sosial, termasuk peneliti sosial di dalamnya. Karenanya, tidak ada realitas sosial yang berdiri sendiri, tidak terpengaruh. Bahkan mereka meyakini bahwa realitas sosial merupakan konstruksi dari manusia, termasuk peneliti. Realitas tidak tunggal namun beragam, sebagaimana beragamnya pandangan manusia. Setiap kelompok manusia tertentu dapat mengkonstruksi realitas. Konstruksi realitas yang beragam ini tidak dapat dikatakan bahwa yang satu benar dan lainnya salah, tetapi semua konstruksi realitas tersebut adalah sah dan benar. Oleh karena itu, seringkali dikatakan bahwa mereka meyakini adanya multi realitas, atau bahkan anti realisme (Potter dan Lopez, 2001). Dapat dikatakan bahwa mereka menganut paham relativisme: realitas dapat sangat beragam dan tidak ada cara untuk mengatakan bahwa yang satu benar dan yang lainnya salah, atau yang satu lebih benar daripada yang lainnya. Dalam hal ini, aliran konstruktivisme yang kuat seperti postmodernisme tidak meyakini adanya ilmu pengetahuan sosial, karena semua pemahaman terhadap realitas bersifat relatif (Potter dan Lopez, 2001). Dengan demikian, peneliti yang mengkaji masalah sosial tidak dapat dikatakan objektif mengkaji realitas, tetapi senantiasa subjektif dan mempengaruhi realitas sosial. Pengetahuan yang dihasilkan dari penelitian sosial juga hanya merupakan pengetahuan relatif yang tidak dapat dikatakan sepenuhnya benar atau lebih benar daripada yang lainnya. Jika metode yang banyak digunakan oleh positivisme adalah metode deduktif-kuantitatif, maka metode yang banyak digunakan oleh konstrutivisme adalah metode induktif-kualitatif. Dalam sejarah penelitian sosial, bahkan sampai hari ini, terjadi perdebatan antara positivisme dan konstruktivisme, atau perdebatan antara metode kuantitatif dan metode kualitatif. Atau bahkan jika dilihat dari ontologinya, perdebatan anta realisme dan anti realisme. Dalam hal kausalitas, konstruktivisme memiliki kesamaan dengan positivisme. Sebagaimana positivisme, konstruktivisme memandang kausalitas sebagai hubungan konsekutif antara sebab dan akibat. Pandangan ini sama dengan pandangan kausalitas Humean yang dianut oleh positivisme. 4.3. Realisme Kritis Menyikapi perdebatan antara positivisme dan konstruktivisme, atau antara realis dan anti-realisme, beberapa peneliti mencari jalan tengah, yaitu realisme kritis. Secara singkat Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
39
paradigma ini menggabungkan pemahaman critical naturalisme (naturalisme yang kritis) dengan transcendental realism (realisme transendental melampaui observasi pengalaman empiris). Secara bahasa kemudian digabungkan menjadi critical realism (Danermark et.al, 2002). Sejak awal tahun 80-an sampai dengan saat ini, di Eropa dan Skandinavia, paradigma realisme kritis telah mendapatkan banyak perhatian di berbagai bidang ilmu sosial: sosiologi (Archer, 1995; Elder-vaas, 2010), ekonomi (Lawson, 2003; Castellaci, 2006), geografi (Yeung, 1997) hubungan internasional (Joseph dan Wight, 2010), politik (Lewis, 2002), manajemen (Mingers, 2007; Fleetwood dan Ackroyd, 2004), dan kebijakan publik (Owens, 2011; Pawson, 2006). Di Amerika, jalan tengah antara positivisme dan konstruktivisme adalah pragmatisme. Namun terdapat pula beberapa ilmuwan sosial di Amerika yang mendorong paradigma realisme kritis seperti Little (2010), Smith (2010), Shaleh (2009) dan Gorsky (2009). Dalam banyak hal, pragmatisme dan realisme kritis memiliki banyak kesamaan. Pertama, keduanya merupakan jalan tengah dalam perdebatan positivisme vs konstruktivisme. Kedua, baik pragmatisme maupun realisme kritis menggunakan metodologi kuantitatif dan kualitatif (mix-methods). Ketiga, keduanya berontogi realisme. Namun, berbeda dengan pragmatisme, realisme kritis memandang realitas sosial sebagai terstruktur dan bahwa realitas dilahirkan dari mekanisme sosial. Pendiri utama dari paradigma ini adalah Roy Bhaskar (2008 [1978]). Dalam bukunya Realist Theory of Science (RTS), Bhaskar membahas perdebatan antara realisme dan antirealisme. Untuk membahas perdebatan ini, Bhaskar memulai dengan pertanyaan: "Agar memungkinkan terdapatnya ilmu sosial sebagai sebuah ilmu, realitas sosial harus bersifat seperti apa?". Dengan kata lain, Bhaskar memulai pembahasan tentang realisme dan antirealisme dengan berangkat dari ontologi sosial, bukan dari epistemologi. Menurut Bhaskar (2008), realitas sosial haruslah merupakan sesuatu yang terstruktur dan memiliki keteraturan perilaku. Jika tidak memiliki sifat keteraturan, maka tidak mungkin akan terdapat ilmu sosial. Keteraturan ini berasal dari keberadaan mekanisme yang menyebabkan lahirnya sebuah realitas sosial. Jadi, menurut pemahaman realisme kritis, di balik setiap realitas sosial terdapat struktur sosial dan mekanisme sosial yang mendukung struktur tersebut dan menyebabkan terwujudnya suatu realitas sosial. Realitas atau dunia sosial terdiri dari objek atau entitas yang terstruktur dan bersifat instransitif. Terstruktur dalam pengertian bahwa realitas tidak dapat direduksi menjadi kejadian empiris yang dialami. Intransitif artinya bahwa realitas sosial eksis atau mewujud dan bertindak secara independen terbebas dari identifikasi dan pengetahuan tentang realitas tersebut. Jadi realitas bukan hanya terdiri dari keadaan dan pengalaman yang dialami, tapi juga mencakup struktur mendalam di balik pengalaman empiris, mekanisme, kecenderungan dan relasinya, yang meskipun tidak dapat dideteksi secara langsung namun ia betul-betul eksis dan menyebabkan terjadinya kejadian empiris yang kita alami dan amati. Tugas ilmu sosial adalah melakukan penelitian untuk menemukan struktur dan mekanisme sosial ini (Bhaskar, 2008). Realisme kritis tidak memahami keteraturan sebagai sebuah hukum sosial yang berlaku rigid kapan pun dan di manapun (Covering Law), tetapi keteraturan ini bersumber dari adanya mekanisme sosial. Hubungan sebab akibat tidak dalam bentuk "jika A maka B", karena keberadaan A belum tentu menyebabkan terjadinya B, jika tidak ada yang memicu terjadinya mekanisme yang menyebabkan B. Sebagai contoh, keberadaan sebuah granat peledak tidak secara otomatis menyebabkan ledakan jika tidak ada mekanisme yang memicu pelatuk granat. Dikatakan bahwa sebuah granat memiliki potensi kekuatan untuk meledak, tetapi agar granat tersebut meledak diperlukan terjadinya sebuah mekanisme (Danermark et.al, 2002), dalam hal ini adalah mekanisme menarik pelatuk granat. Dengan demikian, hukum sosial tidak dapat dikatakan sebagai hukum seperti halnya hukum alam, hukum sosial hanya dapat dikatakan sebagai kecenderungan (tendencies) (Sayer, 2000). Sebagaimana disebutkan, tugas ilmu sosial adalah mengkaji realitas sosial untuk menemukan mekanisme sosial dan struktur sosial yang melahirkan fenomena tersebut. Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
40
Meskipun realisme kritis berlandaskan realisme sebagaimana positivisme, namun berbeda dengan positivisme yang menganut realisme naif9, realisme yang dianut realisme kritis adalah realisme transendental yang meyakini bahwa realitas juga terdiri dari hal-hal yang tidak dapat diobservasi. Karenanya realisme kritis mengakui subjektivitas peneliti dalam memahami realitas. Dalam hal ini, realisme kritis sependapat dengan konstruktivisme bahwa pengetahuan yang dihasilkan dari penelitian dipengaruhi oleh latar belakang pengetahuan sang peneliti. Pengetahuan yang dihasilkan tidak bisa lepas dari subjektivitas peneliti. Namun demikian, realisme kritis tidak sependapat dengan relativisme kaum konstruktivisme. Sekalipun pengetahuan yang dihasilkan bersifat subyektif, namun realisme kritis meyakini bahwa terdapat cara untuk menilai dan mengevaluasi kebenaran pengetahuan tersebut. Dengan kata lain, berbeda dengan konstruktivisme yang mengakui judgmental relativity, realisme kritis meyakini judgmental rationality. Dengan cara pandang seperti ini, realisme kritis tidak terjebak pada relativitas ilmu. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa paradigma realisme kritis memiliki 3 prinsip yang sering disebut prinsip trinitas, yaitu objective realism: meyakini adanya realitas objektif; subjective epistomologi: pengetahuan subyektif tentang realitas objektif; dan judgemental rationality: keberadaan rasionalitas untuk menilai kebenaran pengetahuan (Danermark et.al, 2002). Dapat dikatakan bahwa objective realism dan jugdemental rationality berasal dari positivisme, dan subjective epistemology berasal dari konstruktivisme. Berkenaan dengan struktur realitas, realisme kritis meyakini bahwa realitas terstratifikasi menjadi tiga domain, yaitu empiris, faktual dan riil (Sayer, 2000). Domain empiris adalah bagian dari realitas sosial yang kita alami secara empiris. Domain faktual adalah bagian dari realitas baik yang kita alami maupun yang tidak kita alami. Sementara domain riil adalah bagian dari realitas di mana terletak struktur dan mekanisme yang menghasilkan realitas pada domain faktual dan empiris. Tabel 1. Kedalaman Ontologis dari Realisme Kritis Dibandingkan Positivisme dan Konstruktivisme Empiris Faktual Real
Positivisme √
Konstruktivisme √
Realisme kritis √ √ √
Positivisme dan konstruktivisme, menurut realisme kritis, menyatukan domain empiris dengan domain faktual dan real. Sebuah penyatuan yang disebut penyatuan ontologis (ontological conflation), dan karenanya positivisme disebut melakukan kekeliruan epistemologis (epistemic fallacy). Kekeliruan epistemologis yang dimaksud adalah menyatukan domain yang berbeda (empiris dan real) dalam satu domain: Positivisme mencari penjelasan realitas domain empiris pada domain empiris juga, padahal penjelasannya ada pada domain real. Secara ringkas, realisme kritis mengajukan enam premis utama berkenaan dengan realitas sosial (Arvanitidis, 2006; Darnermark, 2002): 1. Struktur sosial bersifat instransitif: struktur, institusi dan mekanisme ada mewujud dalam realitas tidak bergantung pada pengetahuan pengamat tentangnya. 2. Stratifikasi realitas sosial: realitas terdiferensiasi menjadi beberapa domain yang berbeda yang saling berkaitan dan berpengaruh; 3. Mekanisme generatif bersifat transfaktual: mekanisme dalam domain real selalu aktif sekalipun tidak selalu termanifestasikan dalam domain aktual atau empiris,
9
Disebut realisme naif karena aliran realisme ini betul-betul hanya menganggap realitas adalah hal-hal yang dapat dialami atau diobservasi. Segala hal yang tidak dapat dialami atau diobservasi dalam dunia empiris bukan merupakan bagian dari realita. Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
41
4. Setiap objek dalam ilmu sosial bersifat relasional: semua entitas sosial ada dalam konteks sosial yang mendahuluinya dan membatasinya, dan menuntut keterkaitan dengan entitas lain bagi keberadaannya, 5. Model transformasional dari aktivitas sosial: struktur sosial mempengaruhi agen, namun agen melalui interaksi dengan struktur dan agen lainnya juga dapat mentransformasi struktur, 6. Terdapat urutan temporal dan keterpisahan antara agen dan struktur sosial: struktur sosial lebih dahulu ada dan mempengaruhi dan membatasi agen sosial dan keduanya dapat dianalisis terpisah. Keyakinan ontologis akan adanya domain real di bawah domain empiris, menyebabkan realisme kritis menempuh metode abduktif yang berbeda dengan deduktif maupun induktif. Menurut realisme kritis, metode deduktif dan induktif sama-sama hanya berkenaan dengan domain empiris, padahal penyebab fenomena sosial ada pada domain real. Dalam metode abduktif, pengamatan empiris harus dilanjutkan dengan proses abstraksi untuk memformulasikan struktur dan mekanisme dalam domain real yang sekiranya patut dipahami sebagai penyebab fenomena empiris yang teramati. Proses abstraksi ini harus selalu dipandu oleh teori yang telah ada dalam disiplin ilmu yang berkenaan dengan fenomena yang sedang diamati. Oleh karena itu, paradigma realisme kritis mengkritik secara mendasar penelitian yang ateoretis seperti yang sering dilakukan oleh peneliti yang menggunakan pendekatan Grounded Theory10. Ketika seorang peneliti realisme kritis telah mengkonstruksikan (melalui conjecture) struktur dan mekanisme yang melahirkan fenomena empiris, timbul pertanyaan: atas dasar apa dia meyakini bahwa fenomena empiris yang dia amati betul-betul disebabkan oleh struktur dan mekanisme yang tiada lain merupakan hasil proses abstraksi? Menjawab pertanyaan ini, paradigma realisme kritis berpegang pada pemahaman pragmatisme yang menyatakan bahwa kebenaran ilmu pengetahuan terutama diukur dengan kemampuannya menjelaskan fenomena dan bahwa penjelasan itu bersifat sementara yang perlu terus menerus disempurnakan; ilmu pengetahuan bersifat kumulatif. Oleh karena itu, paradigma realisme kritis juga disebut realisme kritis pragmatis (Johnson dan Duberley, 2000). 5. KERANGKA KERJA EKONOMI INSTITUSIONAL BERPARADIGMA REALISME KRITIS Sebagaimana telah dijelaskan, salah satu kekuatan realisme kritis dibanding positivisme dan konstruktivisme terutama terletak pada kedalaman ontologisnya. Yakni berupaya mencari penjelasan fenomena empiris dengan struktur dan mekanisme yang ada pada domain riil yang lebih dalam daripada domain empiris. Cara pandang realisme kritis seperti inilah yang dapat membantu ekonomi institusional dalam menganalisis fenomena sosial ekonomi (Arvanitidis, 2006). Berangkat dari sifat realita yang terstruktur menurut realisme kritis dan beberapa prinsip dalam ekonomi institusional (Commons, Veblen, North), Arvanitidis mengembangkan sebuah kerangka kerja (framework) yang dapat digunakan untuk menganalisis fenomena sosial ekonomi. Kerangka kerja dalam hal ini harus sipahami sebagaimana yang didefinisikan oleh Ostrom (2011). Ostrom membagi pandangan teoritis menjadi tiga perspektif, yaitu kerangka kerja, teori dan model. Ketiga hal ini berlaku seperti hierarki. Kerangka kerja adalah bentuk yang paling umum dari analisa teoretis. Kerangka kerja mengidentifikasi komponen atau elemen dan antar-relasinya yang perlu dianalisa untuk menjelaskan fenomena yang menjadi perhatian. Ia memberikan arahan tentang hal-hal yang perlu dianalisis sekaligus dapat memberikan landasan metateori untuk membandingkan beberapa teori yang terkait dengan fenomena. Sementara itu, teori mengidentifikasi komponen mana dalam kerangka kerja yang paling relevan tekait dan menjelaskan fenomena tertentu. Teori juga mengandung asumsi tentang mekanisme dan proses antar 10
Darnermark dkk (2002) membahas panjang lebar kritik realisme kritis terhadap metodologi Grounded Theory dan menawarkan penyempurnaan bagi metode tersebut. Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
42
komponen sehingga menghasilkan fenomena yang dikaji. Untuk sebuah kerangka kerja, beberapa teori dapat menjelaskan fenomena yang dikaji. Misalnya, untuk kerangka kerja Institusional Analysis and Design (IAD) yang dikembangkan oleh Ostrom, terdapat beberapa teori yang saling kompatibel, yaitu teori permainan, teori biaya transaksi, teori pilihan sosial, teori barang publik dan teori sumberdaya bersama. Semua teori ini dapat digunakan sebagai alat analisis dalam satu kerangka kerja IAD. Pada gilirannya, teori diturunkan menjadi model yang mengasumsikan parameter dan variabel yang lebih detail daripada asumsi teoretis untuk memprediksi hal-hal yang lebih spesifik. Beberapa model dapat kompatibel dengan satu teori. Dengan demikian, terdapat hubungan hierarki antara ketiga hal ini. Kerangka kerja dapat didetailkan dengan beberapa teori dan suatu teori dapat didetailkan menjadi beberapa model untuk melakukan analisis mendetail. Dalam makalah ini, kerangka kerja yang dikembangkan oleh Arvanitidis dapat dipandang sebagai kerangka kerja yang memuat komponen atau elemen yang perlu diidentifikasi dan dianalisis untuk memahami fenomena sosial ekonomi yang menjadi perhatian. Namun pembahasan dalam makalah ini hanya sampai pada kerangka kerja dan teori yang kompatibel dengannya, tanpa lebih jauh mendiskusikan model. Hal ini dipandang cukup memadai untuk memahami fenomena kemunculan inovasi frugal. Kerangka kerja yang dikembangkan oleh Arvanitidis meletakkan fenomena atau realitas empiris sosial ekonomi pada domain empiris yang dihasilkan dari realitas yang terdapat pada domain struktur, dan pada gilirannya, realitas pada domain struktur merupakan hasil emergence dari realitas pada domain riil (lihat gambar 1). Dengan demikian, untuk dapat memahami fenomena pada domain empiris, kita perlu memahami realitas pada domain struktur yang membentuk fenomena empiris dan juga memahami realitas pada domain riil yang membentuk realitas pada domain struktural. Selanjutnya, dengan menggunakan konsep dan pemahaman dari ekonomi institusional, Arvanitidis mengidentifikasi komponen atau elemen utama pada setiap domain. Pada domain riil terdapat tiga komponen yang merupakan sifat dasar manusia, yaitu kreativitas, emulasi dan kultur atau budaya. Pada domain struktural, Arvanitidis mengidentifikasi empat komponen, yaitu sosial, politik, ekonomi dan hukum.
Sumber: Arvinitidis (2006)
Gambar 1. Kerangka kerja Ekonomi Institusional berlandas Realisme Kritis
Berikut adalah penjelasan singkat tentang komponen-komponen tersebut. Domain riil: o Kreativitas: sifat dasar manusia yangmendorong untuk sesalu mencari solusi o Emulasi: dorongan untuk meniru yang berhasil dan bahkan melampauinya o Kultur (culture): ekstensi dari pengetahuan manusia; menentukan kreativitas dan emulasi Domain struktur (kerangka institusional):
Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
43
o o
Institusi: aturan, hak, kewajiban, rutin, relasi, praktik, konvensi, kerangka kognitif Ekonomi: pengorganisasi dan mekanisme pasar dan non-pasar untuk alokasi sumberdaya yang terbatas; termasuk lingkungan yang membentuk harapan dan perilaku ekonomi o Politik: Struktur politik; struktur kognitif dan pengambilan keputusan o Legal: Kerangka hukum, mekanisme interpretasi hukum dan mekanisme penegakkannnya o Sosial: Institusi yang terbangun secara sosial yang diperlukan untuk menyelasaikan konflik dan meningkatkan koordinasi dan workability dari sosial ekonomi. Domain empiris: o Sub-domain aktor dan pengorganisasiannya o Sub-domain kejadian dan peristiwa konkrit serta bagiamana aktor mengaktualisakan dan menginterpretasikan dan meahami peristiwa tersebut
6. TAHAPAN ANALISIS Cara pandang ontologis dan epistemologis dari realisme kritis membawa peneliti realisme kritis untuk menempuh tahapan penelitian dalam 6 tahap (Bygstad dan Munkvold, 2011; Danermark, 2002, Sayer, 1992): a) Deskripsi peristiwa. Dalam konteks realisme kritis, deskripsi kejadian atau peristiwa adalah observasi tentang fenomena yang menjadi perhatian, baik dilakukan sendiri oleh peneliti maupun oleh peneliti lain yang telah lebih dahulu melakukan observasi (Sayer, 1992). Dalam makalah ini, peristiwa-peristiwa sekitar fenomena inovasi frugal diambil dari berbagai literatur yang telah mengkaji fenomena inovasi frugal. b) Identifikasi komponen-komponen utama. Komponen utama adalah objek yang membentuk struktur (jejaring objek) dengan daya atau kemampuan untuk menyebabkan peristiwa (daya kausal). Komponen dapat berupa orang, organisasi, gagasan/ide atau sistem. c) Redeskripsi teoretikal (abduksi). Agar dapat melakukan retroduksi pada tahap keempat, kita perlu melakukan abstraksi dari peristiwa yang ada pada domain empiris melalui perspektif lensa teoretis tertentu (Danermark, 2002) d) Retroduksi. Identifikasi kandidat mekanisme. Tahap ini adalah tahap yang sangat penting. Identifikasi dilakukan dengan melihat saling keterkaitan antar komponen dan mekanisme mikro-makro dan makro-mikro. e) Analisis mekanisme dan peristiwa yang dihasilkannya. Dalam sebuah sistem terbuka terdapat sejumlah mekanisme. Sekali menngidentifikasi sebuah mekanisme, perlu diidentifikasi pula konteks (mekanisme lain) yang dapat menjadi pemicu mekanisme. f) Validasi 6.1. Deskripsi Peristiwa (Fokus ke Tata Nano) 6.1.1. Kondisi Makroekonomi Sebagai salah satu ekonomi terbesar di dunia dengan sistem politik yang demokratis, selama dua dekade terakhir, India telah berusaha keras untuk memajukan ekonomi dan meningkatkan kondisi sosial masyarakatnya. Setelah tumbuh dengan laju 3,5% sejak tahun 1950-an sampai dengan 1970-an (dengan rezim ekonomi yang berbasis sosialisme), ekonomi India terus berkembang sepanjang tahun 1980-an dengan laju pertumbuhan 5,5% pada akhir dekade 1980-an. Pada tahun 1991, India memasuki babak baru dengan merancang strategi baru yang lebih liberal untuk meningkatkan pertumbuhan ekonominya dan meningkatkan integrasi ekonomi India ke dalam ekonomi global. Menyadari bahwa keuntungan komparatif akan segera digantikan oleh keuntungan kompetitif dalam menggunakan pengetahuan untuk mendorong inovasi dan pertumbuhan ekonomi, India melakukan program reformasi kebijakan ekonomi sejak tahun 1990-an dengan membuka lebih banyak sektor bagi investasi swasta, mendorong masuknya investasi asing langsung, mengurangi praktek korupsi secara signifikan, liberalisasi kebijakan Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
44
perdagangan dan rezim nilai tukar mata uang, dan reformasi pasar modal. Kontrol pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah dikurangi sehingga memberikan ruang yang lebih leluasa bagi pemerintah daerah untuk melakukan berbagai manuver untuk mengundang investasi masuk ke daerahnya. Semua ini mendorong terwujudnya iklim investasi yang lebih baik. Gambar 2 memperlihatkan perkembangan arus masuk investasi yang meningkat pesat. Perlu juga dicatat bahwa gambar ini memperlihatkan arus ke luar investasi dari India mengalami peningkatan. Hal ini berarti bahwa jumlah perusahaan India yang “go internasional” semakin banyak.
Sumber: Cappeli et.al. (2010)
Gambar 2. Pertumbuhan Investasi Langsung Keluar dan Masuk Melalui program reformasi yang dijalankan sejak tahun 1991 ini, India telah berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan standar hidup masyarakat. Gambar 3 menunjukkan peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) yang cukup pesat. Tingkat kemiskinan turun dari 44,5% pada tahun 1980-an menjadi 26% pada tahun 2000, dan tingkat melek huruf meningkat dari 44% menjadi 65% pada periode yang sama. Laju masuk investasi asing langsung meningkat dari hampir tidak ada pada awal tahun 1990-an menjadi 4,26 milyar dolar AS pada tahun 2003, meskipun jauh lebih kecil dari investasi asing di Cina yang mencapai 53,5 milyar dolar AS pada tahun yang sama. Sepanjang tahun 1990-an, India juga berhasil meningkatkan pencapaian tujuan milenium (MDGs) di bidang pengurangan tingkat kemiskinan dan kelaparan, peningkatan angka partisipasi sekolah dasar, peningkatan kesetaraan gender, pengurangan mortalitas anak, dan peningkatan akses pada air dan sanitasi (UNDP, 2003).
Sumber: Cappeli et.al. (2010)
Gambar 3. Perbandingan Pertumbuhan PDB India dan Amerika Serikat Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
45
Sementara itu, ekonomi juga menunjukkan pertumbuhan yang menggembirakan. Selama periode 1992-1997, ekonomi tumbuh dengan laju 6,7%; turun menjadi 5,5% pada periode 1997-2001 dan 4,4% pada periode 2001-2002 sebagai akibat penurunan curah hujan yang mempengaruhi sektor pertanian. Namun perbaikan cuaca telah menyebabkan peningkatan kembali laju ekonomi pada level 8,2% pada periode 2002-2003. Setelah periode ini sampai pada tahun 2007, ekonomi tumbuh dengan laju rata-rata lebih kurang 7%. Tingkat pendapatan masyarakat, terutama para pekerja di sektor teknologi informasi dan pegawai pemerintah, mengalami peningkatan. Bisnis teknologi informasi terus mengalami peningkatan, terutama karena sifat bisnisnya yang sangat terkait dengan bisnis global. Pegawai pemerintah terus mengalami peningkatan pendapatan sebagai akibat dari skema kebijakan pemerintah yang berkomitmen untuk meningkatkan penghasilan pegawai pemerintah secara berkala. 6.1.2. Tata Nano sebagai Inovasi Frugal Dalam konteks pertumbuhan ekonomi yang sangat positif seperti diuraikan di atas, inovasi frugal mulai muncul di India. Salah satu produk inovasi frugal yang paling ikonik adalah mobil Tata Nano yang diluncurkan pada bulan Januari 2008 dan mulai dipasarkan pada bulan Juni 2009. Mobil Tata Nano adalah mobil yang murah tetapi tidak “murahan”. Nano memiliki berbagai fitur yang cukup canggih. Mesin Nano adalah mesin canggih 643 cc yang dioptimasi dengan sistem manajemen mesin yang canggih, yaitu Engine Management System (EMS). Di dalam EMS tertanam Engine Control Unit (ECU) yang menghasilkan efisiensi mesin tinggi sehingga hanya menghabiskan 20 liter bensin untuk setiap kilometer yang ditempuh. Nano dapat mencapai kecepatan 60 km/jam dalam waktu 4 detik dan kecepatan maksimum 90 km/jam. Mesin Nano adalah mesin yang ramah lingkungan yang memenuhi standar emisi dari Bharat Stage III dan Euro 4. Nano telah lulus tes uji tabrakan sehingga dijamin memiliki tingkat keamanan yang sesuai standar. Kursi duduk dirancang dengan baik, dengan sabuk pengaman di kursi depan. Semua bagian badan Nano terbuat dari logam. Ban Nano adalah ban tubeless. Semua ini dapat diperoleh dengan harga Rs 1 juta (2.500 dolar AS). Yang sangat penting untuk dikemukakan, di dalam mobil Nano terkandung 40 paten internasional yang menunjukkan bahwa Nano adalah mobil dengan kandungan intelektual yang cukup tinggi. 6.1.3. Tata Motors sebagai Produsen Tata Nano Tata Motors sebagai produsen mobil Tata Nano adalah produsen otomotif yang cukup terkemuka dengan pengalaman produksi yang panjang. Salah satu bukti kuat dari pertumbuhannya adalah sejumlah joint ventures dan akuisisi perusahaan asing yang dilakukan oleh TATA sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2008. Pada tahun 2004, Tata Motors mengakuisisi Daewoo Commercial Vehicle dari Korea Selatan. Pada tahun 2005, Tata Motors mengakuisisi sebuah perusahaan produsen bis dari Spanyol, Hispano Carrocera. Pada tahun 2006, Tata menjalin kerjasama joint venture (51:49) dengan Marcopolo, sebuah perusahaan terkemuka dalam pembuatan rangka bis. Joint venture dengan Fiat dijalin pada tahun 2007. Pada tahun 2008, Tata mengakusisi British jaguar dan Land rover. Rangkaian joint venture dan akuisisi ini menunjukkan kekuatan Tata dalam bisnis otomotif internasional. Total merger dan akuisisi selama periode 1990-2007 dapat dilihat dalam Gambar 4. Tampak peningkatan yang sangat signifikan.
Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
46
Sumber: Cappeli et.al. (2010)
Gambar 4. Pertumbuhan jumlah merger dan akuisisi di dan dari India Sebelum Tata meluncurkan Tata Nano ke pasaran pada bulan Juni 2009, Tata telah memproduksi berbagai jenis mobil. Dalam kategori mobil penumpang dan utilitas, pada tahun 1992, Tata telah meluncurkan mobil sports yang diberi nama Tata Sierra. Di samping itu berbagai mobil penumpang telah diproduksi dan cukup suskes di pasar: Tata Sumo, Tata Safari, Tata Indica, Tata Indigo, Tata Winger, Tata Magic, Tata Xenon XT, Tata Xover (2009) dan Tata Manza (2009). Dalam kategori mobil komersial, Tata telah memproduksi Tata Ace, Tata Starbus, Tata Globus, Tata Marcopolo Bus, Tata Novus dan tata 407X. Tata juga memproduksi kendaraan untuk keperluan militer: Tata LSV, Tata 407 Troop Carrier dan Tata Winger Passenger Mini Bus. Semua ini menunjukkan bahwa Tata Motors telah memiliki pengalaman manufaktur yang cukup lama dengan pabrik yang tersebar di India, Thailand, Argentina, Brazil, Korea Selatan dan Spanyol. Tata Motors betul-betul telah menjadi pemain global di industri otomotif. 6.1.4. Cikal Bakal Gagasan Pembuatan Tata Nano Di India, pemandangan keluarga India yang menaiki sepeda motor roda dua dengan empat orang menjadi pemandangan biasa. Di bawah terik matahari dan semburan debu dan asap kendaraan, seorang bapak dari masyarakat lapis bawah mengemudikan sepeda motor dengan satu anak di depan, istri dan satu anaknya yang masih kecil duduk di belakang. Ketika melihat pemandangan seperti ini pada tahun 2003, pimpinan kelompok usaha TATA, Ratan Tata berpikir bahwa alangkah baiknya jika tersedia kendaraan roda empat murah yang dapat dinaiki oleh empat orang dengan nyaman (tidak berdesakan dan terlindung dari panas dan debu) bagi keluarga masyarakat lapis bawah. Tentu jika kendaraan seperti ini tersedia dalam jangkauan keluarga kelas bawah, orang tua dan keluarganya di India tidak perlu lagi bersusah payah mengendarai sepeda motor yang tidak nyaman. Di sini perlu dikemukakan bahwa salah satu karakteristik para pemimpin perusahaan di India adalah kepedulian yang tinggi akan lingkungannya (Capelli at.al., 2010). Dimulai dengan visi kepedulian akan masyarakat lapis bawah, Rattan Tata membentuk tim perekayasa yang dipimpin oleh seorang perkeyasa senior dari Tata Motors yang bernama Girish Wagh, seorang perekayasa yang berhasil memimpin pengembangan Tata Ace. Jumlah perekayasa yang terlibat dalam proyek pengembangan Nano mencapai 600 orang dengan rata-rata usia sekitar 30 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa India memiliki cukup tenaga ahli. Pada titik ini perlu dikemukakan bahwa kebijakan pendidikan India sangat menekankan sektor perguruan tinggi (Singh, 2008). Tidak mengherankan jika India memiliki beberapa perguruan tinggi berkualitas tinggi, bahkan berkualitas dunia seperti Indian Institue of Technology. Setiap tahun, perguruan tinggi ini menghasilkan lulusan berkualitas tinggi mulai dari tingkat S1 sampai dengan S3. Menarik untuk dicatat bahwa kebijakan pendidikan Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
47
di negara berkembang seperti India yang menekankan pendidikan tinggi, bertentangan dengan resep kebijakan pendidikan yang biasa ditawarkan oleh lembaga internasional seperti UNESCO ataupun Bank Dunia. Biasanya, resep kebijakan pendidikan yang mereka sarankan kepada negara berkembang menekankan penguatan pendidikan dasar dan menengah (Singh, 2008). Kepada tim perekayasa, Rattan Tata menularkan visinya dan membangkitkan semangat para perekayasa muda agar menggunakan semua kemampuan terbaik mereka untuk menunjukkan kepada dunia apa yang dapat diperbuat oleh para perekayasa India sekaligus menunjukkan kepedulian kepada masyarakat lapis bawah. 6.1.5. Outsourcing dan Modularitas Rattan Tata juga secara aktif menjalin komunikasi dengan jaringan pemasok komponen yang dimiliki oleh Tata Motors. Dengan pengalaman produksi yang cukup lama dan mapan, Tata Motors memiliki jaringan yang luas. Proyek pengembangan Nano melibatkan sejumlah perusahaan multinasional dan beberapa perusahaan domestik. Untuk pengembangan sistem manajemen mesin, Tata Motors menggandeng Bosch dari Jerman; IDEA dan Trilix dari Italia untuk desain eksterior dan styling; Sona Koyo dari India untuk sistem kemudi yang ringan; Toyo dari Jepang untuk pengembangan modul pendinginan mesin; Behr dari Jerman untuk sistem pendingin udara, ventilasi dan pemanas udara; dan Madras Rubber Factory dari India untuk pengembangan ban belakang yang lebih kuat daripada ban belakang biasa. Tata Motors perlu menjalin komunikasi intensif dengan para vendor untuk memastikan bahwa spesifikasi yang sepenuhnya didesain oleh tim perekayasa dari Tata Motors dapat dipenuhi oleh para vendor. Di samping itu, Tata Motors juga perlu meyakinkan para vendor bahwa meskipun Tata Nano akan dijual murah, ia akan mendatangkan keuntungan bagi para vendors ketika dapat terjual dalam volume besar. Proyek pengembangan Tata Nano adalah proyek yang kompleks, melibatkan tim yang sangat besar dan tersebar di berbagai tempat. Untuk ini semua diperlukan manajemen proyek yang handal yang berdasarkan pada prinsip modularitas. Pola manajemen yang dikembangkan oleh Tata dalam proyek Nano ini dapat dikatakan merupakan model bisnis yang baru (Prahalad dan Mashelkar, 2010). Tampaknya, tenaga perekayasa di Tata Motors telah memiliki kemampuan manajemen proyek yang cukup tinggi. Yang menarik untuk dikemukakan adalah bahwa Ratan Tata senantiasa hadir dalam setiap tahapan pengujian dan ia mengambil keputusan untuk langkah selanjutnya. 6.2. Identifikasi Komponen Struktur Berdasarkan deskripsi terdahulu, beberapa komponen utama dalam pengembangan inovasi frugal, dalam hal ini mobil Tata Nano, dapat diidentifikasi. Komponen struktur tersebut dapat dikelompokkan ke dalam makro dan mikro. Pada tataran makro, sistem ekonomi terbuka yang dimulai pada tahun 1991 merupakan prakondisi bagi terbentuknya iklim usaha yang kompetitif dan kondusif bagi perkembangan inovasi. Sistem ekonomi yang terbuka juga telah mendorong masuknya arus investasi asing langsung ke India dan memungkinkan terjadinya proses pembelajaran teknologi yang diperlukan untuk meningkatkan kemampuan teknologi perusahaan domestik. Namun perlu dicatat bahwa ekonomi tertutup pada periode sebelumnya telah menyediakan basis kemampuan teknologi yang diperoleh dari dorongan untuk memenuhi kebutuhan sendiri (Prahalad dan Mashelkar, 2010). Dalam hal ini, Prahalad dan Mashelkaar mengemukakan bahwa budaya Ghandian (ajaran Mahatma Ghandi) yang menekankan kemampuan berdiri sendiri menyediakan modal utama bagi para pengusaha India untuk berupaya keras memenuhi kebutuhan bangsa secara mandiri. Pada level mikro, komponen utama dari struktur yang mendorong munculnya inovasi frugal adalah perusahaan domestik dengan kemampuan teknologi yang cukup tinggi sebagai hasil akumulasi peningkatan kemampuan dalam jangka waktu yang cukup panjang; dalam kasus yang menjadi perhatian makalah ini adalah Tata Motors. Seperti telah dikemukakan terdahulu, pada saat Rattan Tata mengemukakan gagasan pembuatan mobil murah, Tata Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
48
Motors merupakan perusahaan otomotif yang mengglobal dengan pengalaman manufakturing yang panjang dan karenanya memiliki kemampuan teknologi yang cukup tinggi. Namun Tata Motors tidak dapat melakukan pengembangan Tata Nano seorang diri. Ia memerlukan beberapa pemasok komponen yang memiliki kemampuan teknologi yang diperlukan untuk memproduksi berbagai komponen mobil Nano. Meskipun keseluruhan desain mobil Nano dirancang oleh tim dari Tata Motors, namun Tata Motors tidak bisa memproduksi semua komponen Nano. Oleh karena itu, bagian dari struktur adalah keberadaan beberapa pemasok komponen. Relasi antara Tata Motors dengan para vendor adalah relasi yang dinamis dalam kerangka manajemen proyek yang kompleks (Ray dan Ray, 2011). Hal ini tidak dapat terjadi kecuali jika Nano dirancang secara modular. Oleh karena itu, modularitas merupakan karakteristik mobil Nano. 6.3. Abduksi (Redeskripsi Teoretikal) Proses kemunculan inovasi frugal di India yang direpresentasikan oleh Tata Nano seperti diuraikan dalam bagian terdahulu dapat diringkas sebagai berikut. Sejak liberalisasi ekonomi pada tahun 1991, ekonomi India mengalami pertumbuhan yang sangat baik. PDB terus menerus mengalami peningkatan. Jumlah penduduk yang mengalami peningkatan pendapatan dan daya beli juga meningkat. Arus masuk investasi asing meningkat. Basis kemampuan teknologi yang telah dibangun pada masa sebelumnya yang bersifat tertutup dengan kebijakan substitusi impor, juga mengalami peningkatan sebagai hasil interaksi pembelajaran dengan investasi asing. Pembelajaran teknologi didukung oleh pasokan tenaga kerja terampil dan ahli dari perguruan tinggi yang berkualitas yang dihasilkan oleh kebijakan pendidikan yang menekankan pendidikan tinggi, di samping lulusan luar negeri yang jumlahnya cukup banyak. Peningkatan kemampuan teknologi perusahaan-perusahaan India telah melahirkan perusahaan manufaktur yang kuat dan mampu bermain di pasar global. Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan arus investasi keluar India. Arus investasi ke luar India juga mengindikasikan kualitas entrepreneurship11 yang dimiliki oleh para pengusaha dan manajer. Sementara itu, karakter pemimpin perusahaan di India yang sangat peduli dengan masyarakat di sekitarnya dan warisan budaya semangat Ghandi untuk selalu berusaha mandiri, telah mendorong pengusaha seperti Rattan Tata untuk mengembangkan sebuah mobil murah bagi masyarakat lapis bawah (Prahalad dan Mashelkaar; The India Way). Visi ini pada akhirnya dapat diwujudkan dengan kerja keras mengerahkan sumber daya yang dimiliki oleh Tata Motors: kemampuan teknologi yang sudah cukup tinggi, tenaga ahli, tim perekayasa dan jaringan vendor yang luas. Deskripsi di atas bersesuaian dengan teori inovasi terinduksi (induced innovation). Berangkat dari teori inovasi terinduksi yang dikemukakan oleh Vernon Ruttan, Kaplisnky (2011) menyimpulkan bahwa terdapat tiga kondisi yang telah memungkinkan tumbuhnya produk inovasi murah12 bagi konsumen lapis bawah. Pertama adalah tersedianya entrepreneur, yakni aktor yang mampu menerapkan ide baru secara sistematis dalam produksi, tidak hanya menggunakan teknologi dari luar. Kedua, tersedianya kemampuan teknologi yang cukup tinggi. Kemampuan teknologi yang cukup tinggi ini diperoleh dengan memanfaatkan mekanisme difusi kemampuan teknologi secara global, terutama melalui arus masuk teknologi dari luar. Ketiga, jumlah konsumen lapis bawah dengan daya beli meningkat sampai ke tingkat mampu membeli barang-barang sekunder. 11
Entrepreneur yang yang dimaksud di sini adalah entrepreneur dalam pengertian Schumpeterian, yakni aktor inovator yang secara sistematik menerapkan ide baru yang orisinil dalam produksi, tidak dengan mengambil teknologi dari luar dan menerapkannya dalam produksi (Kaplinsky, 2011). 12 Kaplinsky tidak menggunakan istilah frugal. Namun yang dia maksud dengan inovasi murah dengan target konsumen lapis bawah yang berpendapatan rendah, adalah sama dengan inovasi frugal yang dimaksud dalam makalah ini. Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
49
Kondisi India pada saat gagasan pengembangan Tata Nano pada tahun 2003 memiliki tiga karakteristik di atas. Seperti diuraikan terdahulu, India memiliki banyak entrepreneur yang mendirikan perusahaan manufaktur dan jasa dengan kemampuan teknologi cukup tinggi yang diperoleh melalui pengalaman produksi yang cukup panjang dan interaksi dengan teknologi dari luar. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang meningkat cukup tajam sejak tahun 1991, terjadi peningkatan pendapatan masyarakat lapis bawah. Jumlah masyarakat lapis bawah dengan pendapatan yang meningkat telah menimbulkan permintaan efektif bagi produk-produk inovasi frugal. 6.4. Retroduksi Apabila struktur ini diproyeksikan ke dalam kerangka kerja yang dikembangkan oleh Arvinitidis, maka diperoleh struktur sebagaimana terlihat pada Gambar 5. Faktor-faktor yang berperan penting pada domain riil adalah entrepreneur Schumpetarian, budaya Ghandian/jugaad dan budaya tanggung jawab sosial yang kuat pada eksekutif perusahaan di India. Pada domain struktural, faktor yang sangat penting adalah keterbukaan ekonomi dan integrasi ekonomi India dengan ekonomi global; pada gilirannya hal ini mengakibatkan arus masuk dan keluar teknologi yang meningkatkan kemampuan teknologi perusahaan domestik. Bahkan perusahaan domestik di India sudah banyak yang menjadi perusahaan multinasional yang beroperasi di berbagai negara di berbagai benua. Yang tidak kalah penting pada domain ini adalah kemunculan permintaan efektif akan inovasi frugal yang didorong oleh peningkatan pendapatan sebagai akibat dari pertumbuhan ekonomi yang positif selama beberapa tahun.
Sumber: Konstruksi penulis dengan kerangka dari Arvinitidis (2006)
Gambar 5. Struktur yang Memunculkan Inovasi Frugal (Tata Nano) Pada domain empiris yang kita lihat, keberadaan perusahaan berkemampuan tinggi dan mengglobal seperti Tata Motors menjadi modal utama bagi kemunculan inovasi frugal (Tata Nano). Namun Tata Motors tidak dapat melakukan sendiri; ia harus menggunakan jaringan bisnisnya untuk memasok komponen yang diperlukan. Jaringan luas yang dimiliki Tata Motors telah memungkinkan ia untuk mendapatkan pemasok komponen dengan kemampuan teknologi yang diperlukan, untuk memastikan bahwa setiap komponen sesuai dengan spesifikasi yang diperlukan. Dalam hal ini, modularitas menjadi prasyarat utama untuk keberhasilan produksi Tata Nano.
Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
50
6.5. Analisis Mekanisme dan Validasi Meskipun belum dapat diuraikan secara detail, analisis dalam kajian ini telah mengidentifikasi beberapa mekanisme yang diperlukan agar inovasi frugal seperti Tata Nano dapat dikembangkan. Pada dasarnya mekanisme yang diperlukan adalah mekanisme yang dapat meningkatkan kemampuan teknologi, entrepreneurship, dan permintaan efektif. Dalam kasus Tata Motors sebagai produsen Tata Nano, peningkatan kemampuan teknologi diperoleh melalui mekanisme pembelajaran teknologi dengan memanfaatkan arus teknologi yang masuk ke India melalui investasi asing langsung. Tentunya hal ini tidak dapat terjadi tanpa keterbukaan ekonomi India dan kebijakan untuk mengintegrasikan ekonomi India ke dalam ekonomi global. Termasuk dalam integrasi ekonomi adalah upaya India memposisikan secara strategis peran India dalam rantai nilai global. Proses ini juga didukung oleh mekanisme difusi kemampuan teknologi secara global dari negara-negara maju ke negara-negara berkembang, yang didorong oleh kebutuhan negara-negara maju untuk menurunkan biaya produksi dan memasuki pasar di negara berkembang. Tampaknya, mekanisme pembelajaran teknologi untuk meningkatkan kemampuan teknologi dan difusi kemampuan teknologi global menjadi mekanisme utama yang mendorong pengembangan inovasi frugal, sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 6.
Sumber: Konstruksi penulis
Gambar 6. Mekanisme Pengembangan Inovasi Frugal Sementara itu, mekanisme yang mendorong pembentukan entrepreneur Schumpeterian perlu dikaji lebih jauh. Hal ini tentu menyangkut proses budaya dan sosial yang membutuhkan penelitian sosial lebih lanjut. Model mekanisme seperti disebutkan di atas yang dikembangkan berdasarkan kasus Tata Nano, tentu membutuhkan validasi lebih lanjut untuk menunjukkan keberlakuannya bagi kasus inovasi frugal lainnya. 7. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI PERAN PEMERINTAH DALAM MENDORONG INOVASI FRUGAL Inovasi frugal di negara seperti India dan Cina sudah menjadi fenomena yang tidak bisa diabaikan. Inovasi masa depan akan banyak diwarnai dengan inovasi frugal. Namun inovasi frugal menuntut struktur dan kondisi ekonomi sosial tertentu. Tiga komponen utama dari struktur yang mendorong inovasi frugal adalah peningkatan kemampuan teknologi, entrepreneurship dan peningkatan permintaan efektif. Semuanya berawal dari keterbukaan ekonomi nasional dan upaya integrasinya ke dalam ekonomi global. Keterbukaan ekonomi secara strategis memungkinkan peningkatan kemampuan teknologi dengan memanfaatkan arus masuk investasi langsung dalam proses pembelajaran teknologi. Kemampuan teknologi yang meningkat dikombinasikan dengan Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
51
entrepreneurship Schumpeterian dan permintaan efektif dari masyarakat lapisan bawah, mendorong pengembangan produk-produk inovasi frugal oleh para entrepreneur di perusahaan-perusahaan domestik. Jika melihat proses yang demikian, lantas apa peran pemerintah? Salah satu peran utama pemerintah adalah mendorong dan mendukung proses pembelajaran teknologi di perusahaan domestik. Hal ini berkenaan dengan kebijakan industri nasional yang terkandung di dalam kebijakan iptek. Bagaimana pemerintah mendorong peningkatan kemampuan teknologi melalui proses pembelajaran teknologi? Makalah ini tentunya tidak dimaksudkan untuk membahas hal ini. Cukup bagi makalah ini untuk menunjukkan betapa pentingnya pembelajaran teknologi di perusahaan domestik bagi pengembangan inovasi frugal. Mengenai bagaimana pemerintah melalui kebijakan industri mengembangkan kemampuan teknologi perusahaan domestik telah banyak dikaji dalam berbagai literatur. Salah satu pesan utama dari literatur ini adalah bahwasanya bagi negara berkembang, strategi pengembangan kemampuan teknologi di industri domestik adalah: Linkage, Leverage dan Learning (Mathews, 2006). Linkage maksudnya terhubung dengan rantai nilai global; leverage adalah memanfaatkan linkage bagi pertumbuhan ekonomi termasuk untuk learning; learning ialah belajar untuk meningkatkan kemampuan teknologi atau yang sering disebut pembelajaran teknologi. Dalam kaitan ini, perlu ditekankan bahwa kebijakan pengembangan iptek perlu diarahkan pada membantu perusahaan untuk mengembangkan kemampuan teknologi, di samping tentu saja pengembangan iptek itu sendiri. Peran utama kedua yang pemerintah perlu ambil adalah menumbuhkembangkan entrepreneurship dan terus menerus mendorong jumlah entrepreneur yang bersifat Schumpeterian, yakni entrepreneur yang mampu menggunakan pengetahuan secara sistematis dalam proses produksi dan bisnisnya. Hal ini dapat ditempuh melalui berbagai kebijakan, termasuk di dalamnya kebijakan pendidikan, terutama pendidikan tinggi. Melihat kondisi Indonesia sekarang, tampaknya pemerintah masih perlu terus bekerja keras mengembangkan kebijakan industri yang terintegrasi dengan kebijakan inovasi dan iptek, serta perguruan tinggi. Harmonisasi dan integrasi antara arena kebijakan ini mutlak diperlukan jika Indonesia ingin melihat tumbuh kembangnya inovasi frugal.
PUSTAKA Archer, M. S., 1995. Realist social theory: the morphogenentic approach. Cambridge, Cambridge University Press Arvanitidis, P. A., 2006. A framework of socioeconomic organisation: redefining original institutional economics along critical realist philosiphical lines. 46th Congress of the European Regional Science Association (ERSA), Volos, 30 August - 3 September. Bhaskar, R., 2008. A Realist Theory of Science. London, Verso. Bhatti, Y. A. and Ventresca, M., 2012. The Emerging Market for Frugal Innovation: Fad, Fashion, or Fit? (15 Januari 2012). Dapat diakses di SSRN: http://ssrn.com/abstract=2005983 Bhatti, Y.A., 2012. What is Frugal, What is Innovation? Towards a Theory of Frugal Innovation (1 Februari 2012). Dapat diakses di SSRN: http://ssrn.com/abstract=2005910 Bygstad, B. dan B. E. Munkvold, 2011. In Search Of Mechanism: Conducting a Critical Realist Data Analysis. Thirty Second International Conference on Information Systems, Shanghai. Cappelli, P., H. Singh, et al., 2010. The India way: how India's top business leaders are revolutionizing management. Boston, Massachusetts, Harvard Business Press. Castellacci, F., 2006. "A critical realist interpretation of evolutionary growth theorising." Cambridge Journal of Economics 30: 861-880. Cheng, C.-P., 2005. "Critical Realism and Institutionalism: Integrating the Scientific Method of John R. Commons and Douglass C. North." Soochow Journal of Economics and Business 51: 297-318. Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
52
Courvisanos, J. and S. Mackenzie, 2011. Addressing Schumpeter's Plea: Critical Realism in Entrepreneurial History. AGSE International Entrepreneurship Research Exchange 2011, Melbourne, australia, Swinsburne University of Technology. Danermark, B., M. Ekström, et al., 2002. Explaining Society: Critical realism in the social sciences. London and New York, Routledge. Elder-Vass, D., 2010. The Causal Power of Social Structure: Emergence, Structure and Agency. New York, Cambridge University Press. Fleetwood, S., Ed., 1999. Critical realism in Economics: Development and Debate. Economics as Social Theory. London, Routledge. Fleetwood, S. and S. Ackroyd, Eds., 2004. Critical Realist Applications in Organisation and Management Studies. Critical Realism: Intervention. London and New York, Routledge. Fu, X., L. Soete and L. Sonne, 2010. Conclussion: Science, Technology and Development Emerging Concepts and Vision. The Rise of Technological Power in the South. X. Fu and L. Soete. Chippenham and Eastbourne, UK, Palgrave macmillan. Gorsky, P., 2009. Social Mechanism and Comparative-Historical Sociology: A Critical Realist Proposal. Frontiers of Sociology. P. Hedstrom and B. Wittrock. Leiden - Boston, BRILL. Johnson, P. and J. Duberley, 2000. Understanding Management Research: An Introduction to Epistemology. London, Sage Publication Ltd. Joseph, J. and C. Wight, Eds., 2010. Scientific Realism and International Relation. Hampshire, Palgrave MacMillan. Kaplinsky, R., 2011. "Schumacher meets Schumpeter: Appropriate Technology below the radar." Research Policy 40 (2011): 193-303. Kattel, R., 2009. The Economics of Failed, Failing and Fragile States: Productive Structure as the Missing Link, Working papers in Technology Governance and Economic Development no. 18. Tallin University of Technology, Talllin, Estonia: 38. Lawson, T., 2003. Reorienting Economics. London, Routledge. Lewis, P. A., 2002. "Agency, Structure and Causality in Political Science: a Comment on Sibeon." Politics 22(1): 17-23. Lipsey, R. G., K. I. Carlaw and C. T. Bekar, 2006. Economic Transformations General Purpose Technologies and Long-Term Economic Growth. New York, Oxford University Press Inc. Little, D., 2010. Philosophy of Sociology. Philosophies of the Sciences: A Guide. F. Allhoff. West sussex, Wiley-Blackwell. MacDuffie, J. P., 2011. "Whartons’s John Paul MacDuffie on the Nano and Tata Motors’ ‘Real Test’." Diakses pada tanggal 12 Agustus 2012, dari http://knowledge.waharton.upenn.edu/india/article.cfm?articleid=4561. Manicas, P. T., 2006. A Realist Philosophy of Social Science: Explanation and Understanding. New York, Cambridge University Press. Mathews, J. A., 2006. "Catch-up Strategies and the Latecomer Effect in Industrial Development." New Political Economy 11(3): 313-335. Mingers, J., 2006. Realising Systems Thinking: Knowledge and Action in Management Science. New York, Springer Science+Business Media, Inc. NIC, 2010. Toward a more inclusive and innovative India, National Innovation Council India Ostrom, E., 2005. Understanding Institutional Diversity. Princeton and Oxford, Princeton University Press. Ostrom, E., 2011. "Background on Institutional Analysis and Development Framework." Policy Studies Journal 39(1): 7-27. Owens, J., 2011. An Introduction to Critical Realism as a Meta-Theoretical Research Perspective, Center for Public Policy Research, King's College London. Pawson, R., 2006. Evidence-based Policy: a Realist Perspective. London, Sage Publication. Popov, V., 2011. "Development Theories and Development Experience: Half a Century Journey." HISTÓRIA E ECONOMIA - revista interdisciplinar 8(1): 40-57. Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
53
Prahalad, C. K. and R. A. Mashelkar, 2010. Innovation's Holy Grail. Harvard Business Review, July-August 2010. Ray, S. and P. K. Ray, 2011. "Product Innovation for the people's car in an emerging economy." Technovation 31 (2011): 216-227. Saleh, V., 2009. "Philosophical Pitfalls: The Methods Debate in American Plotiical Science." Journal on Integrated Social Sciences 1(1): 141-176. Sayer, A., 1992. Method in Social Science: A realist approach. New York, Routledge. Sayer, A., 2000. Realism and Social Science. London, Sage Publication Ltd. Singh, A., 2008. The Past, Present and Future of Industrial Policy in India: Adapting to the Changing Domestic and International Environment, Working paper No. 376, Center for Business Research, University of Cambridge. Smith, C., 2010. What is a Person?: Rethinking Humanity, Social Life, and the Moral Good from the Person Up. Chicago and London, The University of Schicago Press. Tang, S., 2011. A General Theory of Institutional Change. New York, Routledge. Tiwari, R. and C. Herstatt, 2012. Frugal Innovations for the 'Unserved' Customer: An Assessment of India's Atractiveness as a Lead Market for Cost-effective Products, Hamburg University of Technology. Yeung, H. W.-c., 1997. "Critical realism and realist research in human geography: a method or a philosophy in search of a method?" Progress in Human Geoigraphy 21(1): 5174. Zeschky, M., B. Widenmayer and O. Gassmann, 2011. "Frugal Innovation in Emerging Markets." Research Technology Management July-August 2011: 38-45.
Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
54
PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PUSAT PENELITIAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI (PUSPIPTEK) KE ARAH INDONESIAN SCIENCE AND TECHNOLOGY PARK (ISTP) DALAM MENDUKUNG SISTEM INOVASI NASIONAL (SINAS) UNTUK MENGHASILKAN INOVASI FRUGAL 1
2
Fajar Suprapto , Sadono Sriharjo Kementerian Riset dan Teknologi, Jakarta 2 Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Jl. MH. Thamrin No. 8 Jakarta E-mail:
[email protected] 1
ABSTRAK Kebijakan pengembangan Puspiptek menjadi lembaga Indonesian Science and Technology Park (ISTP) sebagai lembaga publik dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) yang spesifik, diharapkan mampu mendukung terwujudnya implementasi kebijakan pengembangan kelembagaan Puspiptek. Hal ini terkait dengan pengembangan sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dan pembentukan jejaring kerja iptek yang kondusif antar unsur-unsur kelembagaan Iptek, baik dalam tataran kebijakan makro maupun teknis operasional di masa mendatang. Tupoksi ISTP diarahkan untuk mendorong sinergi antara pengelolaan dan penyelenggaraan penelitian, pengembangan, perekayasaan, dan difusi teknologi dalam mendukung terwujudnya iklim kondusif pada jejaring kerja antar pemangku kepentingan Sistem Inovasi Nasional (SINas), baik pemerintah, perguruan tinggi, industri, maupun masyarakat. Di samping itu, lembaga ISTP juga diharapkan dapat berperan dalam memberikan kontribusi nyata pada pengelolaan sumber daya iptek nasional yang mencakup keahlian, kepakaran, kompetensi manusia dan pengorganisasiannya, kekayaan intelektual dan informasi, serta sarana dan prasarana iptek sehingga mampu mendorong berjalannya proses inovasi kearah inovasi frugal. Pengembangan lembaga ISTP dimulai dengan menghimpun fungsi dan peran yang diharapkan dalam mendukung SINas dan membuat prioritas fungsi dan peran dalam pengembangan lembaga ISTP (roadmap pengembangan kelembagaan ISTP). Selanjutnya diturunkan proses pelaksanaan urusan (internal bussines process) dalam lembaga ISTP dan dirumuskan organisasi yang mampu menjalankan urusan tersebut pada level makro, meso dan mikro. Pengembangan kelembagaan ISTP tersebut diharapkan mampu mengatasi berbagai isu fundamental dalam penguatan SINas, baik permasalahan yang dihadapi oleh lembaga penghasil teknologi maupun pengguna teknologi (swasta, pemerintah, masyarakat). Kata Kunci: Pengembangan Kelembagaan, Puspitek, ISTP, SINas, Inovasi Frugal
1. PENDAHULUAN Penguatan SINas dimaksudkan agar proses inovasi teknologi dapat berlangsung pada kegiatan sosial-ekonomi yang berujung pada kemakmuran masyarakat. Berlangsungnya proses inovasi teknologi dalam SINas dengan sistem kelembagaan yang dikenal dengan tripple helix memerlukan kontribusi dari segenap sumber daya Iptek sehingga inovasi proses dan produk pada dunia industri dapat berjalan secara optimal. Pendayagunaan sumber daya iptek tersebut sangat bergantung pada kinerja dan sinergi yang terjadi dalam jejaring kerja antar pemangku kepentingan SINas dengan fokus kegiatan pada penguasaan, pengembangan, serta pemanfaatan iptek dalam kegiatan ekonomi. Salah satu permasalahan utama yang dihadapi dalam penguatan SINas adalah distorsi kompetensi SDM, baik lembaga penghasil teknologi yang berkiprah dalam penelitian, pengembangan, rekayasa, dan operasional (RDEO--Research, Design, Engineering, Operation) selaku penyedia jasa dan informasi teknologi, lembaga pengguna teknologi selaku pemanfaat yang mentransformasikan teknologi menjadi produk (barang dan jasa), lembaga pendidikan sebagai penyedia SDM dan teknologi, maupun lembaga pendanaan. Oleh karena itu, diperlukan sebuah lembaga yang dapat berperan untuk mengurangi distorsi kompetensi SDM yang terjadi dengan memperkuat kinerja dan sinergi yang terjadi dalam jejaring kerja antar pemangku kepentingan SINas. Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
55
Permasalahan lain yang dihadapi dalam penguatan SINas adalah kecenderungan industri nasional untuk melakukan inovasi proses dan produk dalam proses produksi dengan mengandalkan lisensi impor sehingga kemampuan litbang industri menjadi kurang berkembang karena ketergantungan yang sangat besar pada pemberi lisensi. Hal ini menyebabkan partisipasi swasta dalam pengembangan, penguasaan, serta pemanfaatan Iptek menjadi relatif kecil, sehingga pembiayaan untuk tujuan tersebut menjadi beban dari dana publik. Pembiayaan yang bersumber dari dana publik untuk mendukung kegiatan pengalihan teknologi (technology transfer), adaptasi teknologi (technology adaption), integrasi teknologi (technology integration), inovasi teknologi (technology innovation), perekaan teknologi (technology invention) maupun penemuan teknologi (technology discovery) masih menempati porsi yang relatif besar dibandingkan dengan negara-negara lain, termasuk negara-negara tetangga di ASEAN. Untuk meningkatkan kontribusi swasta dalam penguasaan, pengembangan, serta pemanfaatan Iptek maka perlu ditingkatkan kemitraan berbasis sinergi program dengan melakukan penjajaran antara kebutuhan industri dengan kegiatan litbang yang dilakukan oleh lembaga penghasil teknologi. Berbagai permasalahan penguatan SINas, baik yang terkait dengan SDM, jejaring kerja antar pemangku kepentingan SINas, maupun permasalahan yang terjadi karena dinamika perubahan lingkungan internal maupun eksternal SINas, merupakan masukan bagi pengembangan kelembagaan Puspiptek kearah lembaga ISTP. Pengembangan lembaga ini dilakukan dengan melihat posisi kelembagaan terhadap penyelesaian permasalahan penguatan SINas secara komprehensif sehingga positioning dari masing-masing lembaga dapat diidentifikasi dan dipetakan. Pengembangan lembaga ISTP memainkan peran yang strategis untuk mendukung penguatan SINas sehingga mampu memberikan sinergi bagi tercapainya tujuan pembangunan nasional serta tujuan berbangsa dan bernegara sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi. Berbagai kendala yang dihadapi dalam penguatan SINas perlu dicarikan solusinya dengan implementasi kebijakan yang konsisten dan simultan sehingga pendekatanpendekatan yang dilakukan dalam pelaksanaan kebijakan pengembangan kelembagaan iptek dapat mencapai target yang ditetapkan. Berkaitan dengan kendala yang terjadi dalam penguatan SINas, maka pengembangan lembaga ISTP dimaksudkan untuk menjalankan fungsi-fungsi yang diperlukan untuk menyelesaikan isu publik yang belum terakomodasi secara optimal oleh berbagai lembaga publik yang telah ada. 2. PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL Kontribusi pemangku kepentingan dalam mendukung tercapainya tujuan SINas hingga saat ini masih belum optimal karena berbagai kendala yang terjadi. Hal ini merupakan kondisi faktual yang terjadi hingga saat ini, sehingga diperlukan intervensi pemerintah dalam bentuk dukungan kebijakan untuk mendorong penguatan SINas. Kebijakan penguatan SINas merupakan langkah strategis untuk mengakselerasi terwujudnya daya saing industri nasional maupun kemandirian bangsa di berbagai bidang kehidupan. Penguatan SINas difokuskan pada tiga permasalahan mendasar, yakni: (1) pengembangan kelembagaan Iptek; (2) pengembangan sumber daya iptek; serta (3) pembentukan jejaring kerja iptek yang kondusif antar unsur-unsur kelembagaan Iptek. Pengembangan kelembagaan iptek yang terdiri atas unsur perguruan tinggi, lembaga litbang, badan usaha, dan lembaga penunjang dimaksudkan untuk mengatasi kendala yang terkait dengan belum optimalnya pengelolaan dan penyelenggaraan terhadap pembentukan sumber daya manusia, penelitian, pengembangan, perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi. Pengembangan kelembagaan iptek diharapkan mampu mewujudkan iklim kondusif pada jejaring kerja antar pemangku kepentingan SINas, baik pemerintah, perguruan tinggi, maupun industri. Sedangkan pengembangan sumber daya Iptek yang terdiri atas keahlian, kepakaran, kompetensi manusia dan pengorganisasiannya, kekayaan intelektual dan informasi, serta sarana dan prasarana iptek perlu dilakukan sebagai faktor krusial untuk mendukung berjalannya proses inovasi dalam SINas. Kunci keberhasilan dalam jejaring kerja yang kondusif adalah terwujudnya sinergi untuk menghasilkan kinerja dan manfaat Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
56
yang lebih besar dari keseluruhan yang dapat dihasilkan oleh masing-masing unsur kelembagaan secara sendiri-sendiri. Pembangunan kemampuan iptek nasional diarahkan untuk meningkatkan kapasitas dalam penguasaan, pengembangan dan pemanfaatan iptek yang dibutuhkan bagi peningkatan daya saing industri nasional dan kesejahteraan bangsa. Pengembangan kelembagaan iptek untuk mendukung industrialisasi dalam rangka peningkatan nilai tambah (added value) dari sumber daya nasional perlu diselaraskan dengan strategi pembangunan pemerintah saat ini, yakni pro growth, pro poor, pro job, dan pro environment, yang telah dicanangkan pencapaiannya dalam 12 fokus pembangunan nasional. Keberhasilan industrialisasi mutlak memerlukan dukungan teknologi terutama berkaitan dengan kegiatan inovasi proses dan inovasi produk yang dilakukan oleh dunia industri nasional. Keberhasilan inovasi proses dan inovasi produk akan secara langsung memicu peningkatan daya saing industri nasional dalam kompetisi global. Keberhasilan produk industri nasional dalam berkompetisi pada pasar global akan memicu pertumbuhan industri lainnya, baik industri pemasok, industri terkait, maupun industri jasa sehingga prospektif sebagai sumber pertumbuhan perekonomian nasional. Kemampuan produk industri nasional berkompetisi di pasar global secara langsung akan meningkatkan penerimaan devisa dan kesempatan kerja dengan jumlah yang signifikan, sehingga memberikan solusi terhadap salah satu permasalahan nasional, yakni tingginya angka pengangguran yang terjadi. Di samping itu, keberhasilan inovasi produk atau proses dari dunia industri yang menghasilkan barang yang lebih murah dari barang yang ada dan memiliki fitur yang dipandang memadai oleh pengguna golongan bawah, akan memicu tumbuhnya industri penghasil inovasi frugal. Produk inovasi frugal dari industri berbasis teknologi, dicirikan terutama oleh harga konsumsi yang murah dan kualitas produk yang memenuhi atau bahkan melebihi standard (minimal) tertentu, diproduksi dengan proses yang mengefisienkan penggunaan material dan dana yang seringkali menuntut perubahan model bisnis dan tidak jarang menuntut kemampuan manufakturing yang tinggi. Murahnya produk inovasi frugal mutlak diperlukan di tengah-tengah keterbatasan sumberdaya yang dimiliki masyarakat lapis bawah. Salah satu faktor penentu terwujudnya peningkatan daya saing industri nasional adalah tingkat adopsi teknologi yang tinggi dari dunia industri sebagai pengguna teknologi. Salah satu penentu daya saing produk industri nasional adalah kemampuan teknologi, yang dalam arti luas tidak hanya menyangkut rekayasa teknologi, tetapi juga sistem dan manajemennya. Hal ini dapat dipahami karena teknologi sendiri merupakan kesatuan (embodied) dengan barang modal (capital goods), sistem produksi yang diterapkan dalam proses-proses industri, serta barang jadi (consumer goods). Pengembangan kelembagaan iptek yang diselaraskan dengan pengembangan industri nasional merupakan kegiatan yang strategis karena akan mendorong pengembangan industri yang berbasis pada peningkatan kemampuan adopsi teknologi. Kemampuan adopsi teknologi dari dunia industri nasional belum dapat dilakukan secara optimal karena komunikasi antara lembaga penghasil teknologi dengan lembaga pengguna teknologi masih belum kondusif karena berbagai hambatan yang terjadi. Lembaga penghasil teknologi masih terkungkung di dalam entitasnya masing-masing, baik di lingkungan lembaga pemerintah kementerian, lembaga pemerintah non kementerian, perguruan tinggi maupun lembaga intermediasinya, sehingga belum mampu mendorong barang modal yang dihasilkannya dalam peningkatan nilai tambah melalui proses produksi di dunia industri. Pada sisi lain, pelaku industri melakukan inovasi proses dan inovasi produk secara mandiri karena tuntutan pasar yang dinamis dengan siklus hidup produk (consumer’s goods) yang semakin pendek karena tuntutan perkembangan teknologi informasi yang semakin menguat. Perkembangan teknologi informasi mempunyai kontribusi yang signifikan pada dinamika pasar dengan menipisnya ukuran-ukuran batas negara yang dapat dilihat secara transparan. Pengembangan kelembagaan yang dilakukan pemerintah perlu melihat kedua kutub permasalahan tersebut, sehingga dapat dilakukan sinergi agar memberikan kontribusi yang optimal pada pembangunan ekonomi nasional dan daerah. Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
57
Berangkat dari kondisi kelembagaan Iptek yang telah ada serta permasalahan faktual yang dihadapi dalam mendukung interaksi yang lebih intensif antara lembaga penghasil teknologi dengan lembaga pengguna, maka perlu dikembangkan kebijakan untuk menumbuhkan lembaga yang mampu menjadi katalisator agar sinergi kelembagaan dalam SINas dapat diwujudkan di masa mendatang. Pengembangan kelembagaan Puspiptek kearah ISTP merupakan alternatif solusi untuk mengatasi kendala yang terjadi dalam mewujudkan sinergi antara lembaga penghasil teknologi dan pengguna teknologi guna mendongkrak peningkatan daya saing produk industri nasional maupun kemandirian bangsa di bidang iptek. Disamping itu, pembentukan lembaga ISTP juga akan memainkan peran strategis bagi terwujudnya pengembangan kebijakan yang mampu mewujudkan iklim kondusif bagi interaksi kelembagaan yang intensif pada jejaring kerja sehingga mampu mendukung tercapainya tujuan SINas yang telah ditetapkan. Terwujudnya iklim kondusif selanjutnya akan memicu terwujudnya komunikasi antar pemangku kepentingan SINas yang lebih baik sehingga mampu meningkatkan sinergi kelembagaan iptek dalam pelaksanaan penguasaan, pengembangan, serta pemanfaatan Iptek. Sinergi antar kelembagaan iptek ini sangat penting agar penguasaan, pengembangan, serta pemanfaatan iptek tersebut mampu meningkatkan daya saing dan kemandirian bangsa secara berkelanjutan. Namun demikian, sinergi antar kelembagaan iptek tersebut dirasakan belum optimal karena berbagai kendala yang dihadapi oleh masing-masing lembaga, baik lembaga litbang, lembaga penunjang, serta perguruan tinggi yang relasinya dikenal dengan model ‘tripple helix’ dalam SINas. Pengembangan lembaga ISTP dimaksudkan menjadi lembaga intermediasi yang mampu memberikan alternatif solusi terhadap kendala dalam penguatan SINas, terutama menjembatani (bridging) kebutuhan antara penghasil teknologi dengan pengguna teknologi agar dapat bekerjasama dan bersinergi. Dengan demikian, lembaga penghasil teknologi dapat mendukung dunia industri baik dalam inovasi produk, pengembangan pasar, pengembangan teknologi dan pengembangan SDM. Interaksi antar pemangku kepentingan pada SINas yang belum intensif pada jejaring kerja yang telah terbentuk memerlukan peningkatan peran lembaga intermediasi yang mampu mendorong berjalannya proses inovasi dalam SINas. Peningkatan peran lembaga ISTP sebagai lembaga intermediasi merupakan salah satu strategi untuk mengoptimalkan tata kelola sistem kelembagaan Iptek yang telah terbentuk dalam SINas. Pengembangan jejaring kerja yang kondusif antar pemangku kepentingan SINas perlu dilakukan secara sistematik dan berkelanjutan sehingga interaksinya dalam Sistem Triple Helix ABG pada SINas dapat semakin intensif. Salah satu strategi untuk mewujudkan iklim kondusif dalam jejaring kerja antar pemangku kepentingan tersebut adalah mendukung pengembangan lembaga intermediasi yang difokuskan untuk mendukung utilisasi sumber daya iptek yang telah ada, terutama yang berada di Kawasan Puspiptek Serpong. Lembaga intermediasi iptek menjalankan peran intermediasi yang terkait dengan pelaksanaan proses inovasi pada SINas, terutama untuk mewujudkan interaksi yang intensif dan komunikatif pada jejaring kerja antar pemangku kepentingan. 3. PERAN DAN KONSTELASI LEMBAGA ISTP DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL Salah satu kendala yang umum dihadapi untuk mewujudkan jejaring kerja kondusif antar pemangku kepentingan sebagaimana juga dihadapi oleh berbagai negara adalah relevansi antara prioritas kegiatan litbang dengan kebijakan pemerintah lintas sektor serta kebutuhan industri. Kondisi tersebut terjadi karena pengaturan lembaga penelitian dan pengembangan (lemlitbang) publik yang dilakukan hingga saat ini masih dalam bentuk tupoksi yang diatur dalam regulasi nasional berupa peraturan perundangan terkait tanpa ada rincian lebih lanjut dalam sistem organisasi. Kegiatan litbang yang dilakukan oleh lemlitbang sebagai wujud pelaksanaan tupoksi yang diberikan oleh regulasi terkait dilakukan berdasarkan persepsi masing-masing pengelola lemlitbang, bahkan seringkali tidak berorientasi pada kebutuhan pasar/publik, terutama kebutuhan pelaku industri nasional. Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
58
Interpretasi terhadap tupoksi dalam pelaksanaan kegiatan litbang yang dilakukan masih bersifat sektoral sesuai dengan regulasi nasional yang memayunginya, dengan fokus kegiatan yang berbeda-beda. Pengaturan nasional yang demikian terbukti telah memberikan peluang terjadinya interpretasi yang berbeda terhadap bagaimana seharusnya pelaksanaan litbang dilakukan oleh masing-masing lemlitbang publik. Perlu ditekankan bahwa yang dimaksud dengan lembaga penghasil teknologi adalah lemlitbang pemerintah dan swasta mencakup lemlitbang LPK (lembaga pemerintah kementerian) dan LPNK (lembaga pemerintah non kementerian), perguruan tinggi, serta industri. Sedangkan lembaga pengguna teknologi mencakup instansi pemerintah di pusat dan daerah, pelaku pada dunia usaha/industri, dan masyarakat. Namun demikian, dalam kebijakan pengembangan kelembagaan ISTP Puspiptek sebagai lembaga publik, pembahasan lebih lanjut difokuskan pada lemlitbang publik serta lembaga pengguna teknologinya adalah pelaku dunia industri nasional. Hal ini perlu disampaikan karena pengembangan lembaga ISTP Puspiptek diharapkan mampu berperan sebagai katalisator untuk peningkatan relevansi lembaga penghasil teknologi dalam rangka proses transformasi menjadi negara industri maju yang berbasis pada kemandirian teknologi secara berkesinambungan. Lemlitbang publik (lemlitbang pemerintah) yang ada saat ini dapat berupa lemlitbang yang berada di lingkungan perguruan tinggi, LPK dan LPNK dengan acuan regulasi nasional yang berbeda-beda sebagai dasar pelaksanaan litbang yang dilakukan. Kondisi tersebut telah menyebabkan lemahnya jejaring kerja nasional antar lemlitbang karena tidak ada target bersama sebagai tujuan yang akan dicapai. Bagi lemlitbang publik dan perguruan tinggi, pelaksanaan litbang yang dilakukan tidak lebih pada pelaksanaan tupoksi secara sektoral, belum berorientasi pada bagaimana sinergi pelaksanaan tupoksi lemlitbang sebagai lembaga penghasil teknologi (teknologi produk dan teknologi proses) dilakukan. Dengan kondisi lemlitbang nasional yang demikian, maka intervensi pemerintah berupa kebijakan publik untuk meningkatkan koordinasi dan sinkronisasi antar lemlitbang dalam sebuah jejaring kerja nasional yang kondusif perlu dilakukan. Jejaring kerja nasional yang kondusif akan memberikan sinergi terwujudnya produk yang dihasilkan oleh lembaga penghasil teknologi mempunyai relevansi yang optimal sesuai dengan kebutuhan lembaga pengguna, khususnya pelaku dunia industri nasional. Peran lembaga ISTP secara garis besar dapat dibagi ke dalam tiga tingkatan, yakni: a) Tingkatan makro, dimana peran lembaga lebih difokuskan untuk menetapkan regulasi/kebijakan nasional terkait dengan pengembangan sistem pendukung (supporting system) sehingga proses inovasi dan difusi teknologi dapat berlangsung dalan SINas. b) Tingkatan meso, dimana peran lembaga difokuskan untuk menetapkan kebijakan level korporasi terkait dengan peran ISTP sesuai dengan visi, misi, tujuan yang telah ditetapkan. c) Tingkatan mikro, dimana peran lembaga difokuskan untuk merencanakan, mengembangkan, melaksanakan, serta mengevaluasi, program kegiatan terkait dengan peran ISTP sesuai dengan kebijakan pada level korporasi. Advokasi kebijakan tersebut dapat berhasil bilamana proses inovasi yang berupa pemanfaatan iptek yang dihasilkan lembaga penghasil teknologi oleh lembaga pengguna teknologi dapat dilakukan secara berkesinambungan. Output dari kebijakan yang dilakukan berupa jumlah produk litbang yang dimanfaatkan terus bertambah dari waktu ke waktu sehingga secara langsung akan meningkatkan relevansi lemlitbang sebagai lembaga penghasil teknologi. Peningkatan relevansi tersebut dapat dilihat pada pemanfaatan produk lemlitbang ke dalam proses inovasi pada dunia industri. Pemanfaatan produk lemlitbang sebagai barang modal (capital goods) dapat secara langsung digunakan untuk mendukung industrialisasi industri penghasil barang modal atau dalam proses produksi secara langsung ke dalam proses bisnis dunia industri. Pengembangan industri penghasil barang modal nasional ini menjadi salah satu kata kunci bagi berhasilnya tujuan pengembangan iptek nasional yakni kemandirian teknologi industri nasional. Produk lemlitbang berupa blueprint paket teknologi dapat didorong lebih lanjut dalam skala komersial untuk menghasilkan barang modal bagi dunia industri yang Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
59
sebagian besar hingga saat ini masih impor. Pemanfaatan produk lemlitbang secara langsung ke dalam proses bisnis pelaku industri dapat dilakukan untuk beberapa tujuan, antara lain pengembangan proses produksi (peningkatan efisiensi/yield pada proses produksi), peningkatan daya saing produk (peningkatan nilai produk sehingga menambah siklus hidup produk), optimalisasi pada proses distribusi produk (lebih efektif dan efisien), serta produk baru dengan nilai tambah produk yang tinggi serta siklus hidup produk yang lebih baik. Kendala peningkatan relevansi lembaga penghasil teknologi tersebut menghadapi tantangan yang berat karena acuan regulasi yang berbeda dalam pelaksanaan litbang dari masing-masing lemlitbang publik, baik yang berada di lingkungan LPK maupun LPNK, termasuk perguruan tinggi di dalamnya. Sebagai ilustrasi, dalam persepsi perguruan tinggi konsep litbang relatif masih dimaknai sebagai suatu kegiatan yang lebih berorientasi kepada ‘pengetahuan untuk pengetahuan’ (knowledge for the sake of knowledge) serta dilakukan dalam kerangka Tridarma Perguruan Tinggi (pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat) berdasarkan adanya kebutuhan pengembangan ilmu sesuai dengan agenda otonomi perguruan tinggi dan kebebasan akademik (academic freedom) untuk kepentingan akademisi (dosen dan mahasiswa) dalam peningkatan jabatan fungsionalnya bagi para dosen atau pemenuhan persyaratan untuk memperoleh gelar akademis bagi para mahasiswa di perguruan tinggi. Sedangkan dalam persepsi lemlitbang LPK dan LPNK, secara konseptual riset lebih ditujukan untuk pembangunan dan pengembangan iptek, kemajuan ekonomi, memberikan kemanfaatan bagi kesejahteraan masyarakat dan kehidupan umat manusia, dan menjadi referensi dan menghasilkan Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Pengembangan kebijakan dalam tataran operasional perlu dilakukan untuk mengatasi berbagai kendala yang terjadi karena payung regulasi yang berbeda tersebut. Fokus kebijakan diarahkan pada pengembangan kebijakan pada tingkat operasional yang mampu mengakomodasikan kepentingan bersama dari pemangku kepentingan untuk mendukung berlangsungnya proses inovasi yang berkesinambungan. Hal ini perlu dilakukan karena pada tingkatan operasional pelaksanaan litbang akan dihasilkan produk litbang yang secara langsung berpengaruh pada tingkat relevansi lemlitbang publik sebagai lembaga penghasil teknologi. Dalam mendukung peningkatan relevansi antara lembaga penghasil teknologi (lemlitbang) dengan lembaga pengguna teknologi (industri nasional), maka konstelasi peran lembaga ISTP Puspiptek difokuskan pada peningkatan relevansi produk barang modal yang secara langsung dibutuhkan oleh pelaku dunia industri. Peran lembaga ISTP Puspiptek difokuskan pada intermediasi dan koordinasi antar pemangku kepentingan sehingga mempunyai kepentingan yang sama terhadap pelaksanaan litbang barang modal yang dilakukan. Adanya kepentingan bersama ini merupakan langkah awal yang diperlukan untuk pembentukan jejaring kerja yang intensif, misalkan dalam bentuk konsorsium. Pelaksanaan kegiatan litbang sebagai kebijakan pada tataran operasional dilakukan dengan memberikan tugas khusus kepada lemlitbang yang terlibat dalam konsorsium untuk melakukan “imitation” atau “reverse engineering” untuk substitusi teknologi impor yang telah ditetapkan dalam konsorsium sebagai kebijakan yang bersifat meso. Kebijakan pada tingkatan meso ini sangat strategis karena target-target bersama sebagai tujuan dari pembentukan konsorsium ditetapkan dengan mengakomodasikan kepentingan pemangku kepentingan. Bila tahapan penguasaan teknologi inti melalui “imitation” atau “reverse engineering” telah berhasil yang dibuktikan dengan pengembangan industri penghasil barang modal tertentu, maka kegiatan litbang di lingkungan lembaga ISTP Puspiptek difokuskan pada tahapan selanjutnya yakni pengembangan teknologi inti untuk menghasilkan produk baru atau inovasi produk dalam rangka peningkatan daya saing produk untuk penguasaan pasar. Untuk mendukung tahapan tersebut perlu dukungan berbagai lemlitbang yang berada di Kawasan Puspiptek untuk melakukan litbang dasar dalam rangka mendukung pengembangan teknologi inti tertentu yang dilakukan di lembaga ISTP Puspiptek. Dukungan litbang dasar bagi pengembangan teknologi inti merupakan kata kunci untuk mewujudkan Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
60
kemandirian teknologi secara berkesinambungan sehingga pengembangan industri yang berorientasi pada penguasaan pasar atau pengembangan pasar baru secara mandiri dapat direalisasikan.13. Peningkatan koordinasi dan sinkronisasi untuk mendukung penguatan peran dari berbagai lembaga terkait sehingga mampu mendukung berlangsungnya proses inovasi secara berkesinambungan perlu dilakukan secara konsisten mengingat kendala-kendala pada kondisi eksisting yang mengindikasikan kontribusi lembaga penghasil teknologi serta lembaga penunjang pada proses inovasi masih relatif rendah. Kondisi saat ini menunjukkan bahwa kualitas lemlitbang, perguruan tinggi, badan usaha, dan lembaga penunjang masih belum optimal dalam mendukung berlangsungnya proses inovasi pada SINas. Sebagai gambaran, peningkatan kinerja lembaga pengguna teknologi selain ditentukan oleh kapasitas adopsinya, juga akan secara langsung ditentukan oleh relevansi teknologi yang dihasilkan oleh lembaga penghasil teknologi. Peningkatan produksi barang/jasa yang dibutuhkan konsumen secara faktual akan ditentukan pula oleh prospek keuntungan yang menjadi insentif bagi industri atau masyarakat yang melakukan proses produksi dan daya beli konsumen. Kebijakan baik pada tingkatan operasional maupun meso yang dilakukan untuk mendukung peran lembaga ISTP Puspiptek dalam meningkatkan relevansi lembaga penghasil dengan lembaga pengguna teknologi perlu dukungan kebijakan pada tingkatan yang lebih makro, berupa peraturan-perundangan yang mendukung keseluruhan proses bisnis lembaga ISTP Puspiptek atau dukungan dari sistem politik. Kebijakan pemerintah pada tingkatan makro ini sangat penting sebagai acuan dalam perumusan kebijakan pada tataran meso (di tingkat konsorsium) maupun operasional untuk mengatasi berbagai kendala yang selama ini menghadang laju peningkatan relevansi. Trickling down mechanism implementasi kebijakan mulai dari kebijakan yang bersifat makro, meso, kemudian operasional merupakan langkah awal untuk mencapai peningkatan relevansi secara optimal. Kebijakan tingkatan operasional akan menghasilkan output berupa barang modal yang sesuai dengan kebutuhan pelaku industri nasional. Pemanfaatan output berupa pengembangan industri penghasil barang modal untuk mendukung industri tertentu (daya saing produk) atau industrialisasi komoditas tertentu (hilirisasi industri/industry deepening) maupun pemanfaatan langsung dalam proses bisnis industri merupakan ukuran kinerja implementasi kebijakan pada tingkatan meso tersebut. Pengembangan industri penghasil barang modal nasional tersebut akan memberikan kontribusi yang signifikan bagi tercapainya kemandirian bangsa (self reliance) di bidang teknologi bagi pengembangan industri dalam negeri. Namun demikian, meskipun berbagai kebijakan pengembangan iptek telah dilakukan dengan tujuan mencapai kemandirian bangsa di bidang teknologi tetapi advokasi kebijakan yang terjadi seringkali dilaksanakan secara tidak konsisten. Inkonsistensi advokasi kebijakan pengembangan iptek ini dapat diamati secara transparan, terutama terjadinya ketergantungan yang tinggi pada kebijakan pemerintah yang lebih bersifat politis dibandingkan dengan pencapaian dari target-target yang telah ditetapkan pada tujuan pengembangan iptek secara sistemik. Inkonsistensi dalam advokasi kebijakan pengembangan iptek telah menimbulkan berbagai kendala bagi peningkatan relevansi antara lembaga pengembang dengan lembaga pengguna teknologi (pelaku industri) karena sinergi fungsional antar lembaga tidak dapat terlaksana secara optimal. Lemahnya sinergi fungsional tersebut kurang mendukung terwujudnya ‘link and match’ dengan mempertemukan kepentingan bersama dari pemangku kepentingan. Hal ini merupakan kata kunci yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan advokasi kebijakan yang dilakukan untuk mendukung sinergi litbang sehingga menghasilkan produk yang dapat didorong lebih lanjut ke dalam proses inovasi. Kebijakan penguatan sinergi litbang yang berorientasi pada program kegiatan litbang yang menghasilkan berbagai 13
B. J. Habibie, Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pembangunan Bangsa: Beberapa Pemikiran Tentang Strategi Transformasi Industri Suatu Negara Sedang Berkembang, Pidato pada Sidang Deutche Gesellschaft Fur Luftund Raumfahrt Bonn
Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
61
produk yang dapat dimanfaatkan oleh lembaga pengguna teknologi perlu dilakukan secara sistematik berdasarkan payung regulasi yang jelas sesuai dengan kapasitas (kapasitas litbang, outsourcing, dan diseminasi) dari masing-masing lembaga. Pengembangan lembaga ISTP Puspiptek sebagai lembaga publik mempunyai peran strategis dalam memberikan kontribusi peningkatan relevansi lemlitbang sebagai lembaga penghasil teknologi. Agar peran lembaga ISTP Puspiptek dapat dilakukan secara optimal maka perlu diidentifikasi berbagai kendala terkait sehingga lemlitbang nasional belum mampu berkontribusi atas isu publik yang terjadi yakni tingginya impor barang modal serta terjadinya stagnansi pertumbuhan industri penghasil barang modal yang pada gilirannya akan menyebabkan keterpurukan dunia industri nasional. Pengembangan lembaga ISTP Puspiptek sebagai lembaga publik terdapat kunci sukses yang terletak pada perumusan kebijakan pada tingkatan meso di konsorsium yakni penetapan target-target yang akan dicapai dari pembentukan konsorsium itu sendiri. Bila target yang ingin dicapai berupa pendirian industri penghasil barang modal baru, maka perlu dipastikan pemilihan barang modal berangkat dari kebutuhan barang modal serta sesuai dengan kapasitas adopsi teknologi pengguna teknologi. Hal ini dapat dicapai dengan komunikasi kondusif dalam jejaring kerja antar pemangku kepentingan konsorsium dimana lembaga pengguna teknologi merupakan salah satu anggota dalam konsorsium tersebut. Bila mengacu pada peran strategis lembaga ISTP Puspiptek. sebagaimana telah disampaikan, maka fungsi utama konsorsium yang dibentuk dengan fasilitasi lembaga ISTP Puspiptek adalah menentukan teknologi inti asing (barang modal impor) yang strategis untuk dikuasai demi keberlangsungan pengembangan industri nasional. Inilah target yang menjadi tujuan dari kebijakan di tingkat meso yang perlu didukung dengan komitmen pemanfaatan sumber daya dari masing-masing anggota konsorsium dalam implementasi program kegiatan yang bersinergi. Implementasi benchmarking terhadap transformasi industri sebagaimana yang telah dilakukan Korea untuk semua tahapan transformasi menuju negara industri maju, maka lembaga ISTP Puspiptek memfasilitasi pelaksanaan litbang yang dilakukan oleh lemlitbang publik yang merupakan lembaga penghasil teknologi untuk melaksanakan kebijakan meso tersebut pada tingkatan operasional dengan melakukan: (1) “imitation” atau “reverse engineering” untuk substitusi teknologi inti impor yang telah ditetapkan; dan (2) pengembangan teknologi inti untuk menghasilkan produk baru atau inovasi produk. Di samping itu, pelaksanaan litbang dasar dalam rangka mendukung pengembangan terhadap teknologi inti tertentu yang diperlukan untuk mendukung kegiatan litbang di lingkungan lembaga ISTP Puspiptek dapat dikoordinasikan dengan berbagai lemlitbang publik terkait, terutama lemlitbang yang berada di Kawasan Puspiptek. Berbagai produk yang dihasilkan dari pelaksanaan litbang oleh lemlitbang dalam konsorsium yang dibentuk di lembaga ISTP Puspiptek perlu didorong lebih lanjut, sehingga dapat mendukung tujuan pembentukan konsorsium berupa pengembangan industri penghasil barang modal untuk mendukung kebutuhan industri nasional tertentu yang diprioritaskan. Beberapa tahapan yang perlu difasilitasi antara lain pelaksanaan inkubasi teknis dan bisnis serta dukungan operasional proses bisnis sebagai industri penghasil barang modal baru. Dalam rangka mendukung keberhasilan peran lembaga ISTP Puspiptek sebagai lembaga publik dalam memberikan solusi terhadap isu publik yang berkembang, terutama terkait dengan ketergantungan secara sistemik industri nasional terhadap barang modal impor serta ketidakmampuan industri penghasil barang modal nasional dalam memenuhi kebutuhan industri dalam negeri, maka perlu diidentifikasi isu strategis bagi peningkatan relevansi lembaga penghasil teknologi. Dalam konteks Indonesia, setidaknya terdapat tiga isu strategis yang memicu terjadinya berbagai kendala dalam peningkatan relevansi lembaga penghasil teknologi, yakni: (1) kendala regulasi/kebijakan, berupa inkonsistensi advokasi kebijakan serta perumusan regulasi yang seringkali bersifat sektoral; (2) kendala kualitas tatakelola lemlitbang publik, sehingga kontribusi terhadap penyelesaian berbagai isu publik masih relatif rendah; dan (3) kendala terlaksananya sinergi fungsional program kegiatan litbang karena pengembangan Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
62
iptek belum didasarkan pada sebuah sistem yang bercirikan: (a) adanya tujuan bersama yang ingin dicapai yang ditransformasikan dalam bentuk roadmap program kegiatan sehingga terjadi sinkronisasi dan integrasi program kegiatan dalam sebuah jejaring kerja yang kondusif, serta (b) adanya awareness dari segenap pemangku kepentingan dalam mencapai tujuan bersama yang telah ditetapkan sehingga alokasi sumber daya dapat dilakukan secara optimal dan berkesinambungan. Pengembangan konsorsium untuk mewujudkan kemandirian teknologi industri nasional melalui pengembangan industri penghasil barang modal yang difasilitasi oleh lembaga ISTP Puspiptek merupakan jawaban atas berbagai isu stategis tersebut. Perumusan roadmap program kegiatan sebagai elaborasi dari tujuan bersama dari pemangku kepentingan konsorsium merupakan acuan pelaksanaan litbang yang dilakukan oleh lemlitbang di lingkungan lembaga ISTP Puspiptek dengan berbagai produk litbang yang sesuai dengan kebutuhan industri tertentu sehingga kontribusi terhadap peningkatan relevansi lemlitbang sebagai lembaga penghasil teknologi dapat dilakukan secara optimal. Pemangku kepentingan konsorsium yang terdiri dari berbagai unsur seperti perguruan tinggi, lemlitbang LPK dan LPNK, badan usaha, LPNK dimaksudkan untuk mengatasi berbagai kendala faktual seperti belum optimalnya pengelolaan dan penyelenggaraan terhadap pembentukan SDM, penelitian, pengembangan, perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi, standar nasional, dll. Pengembangan konsorsium dengan tujuan bersama yang telah ditetapkan dalam roadmap program kegiatan diharapkan mampu mewujudkan iklim kondusif pada jejaring kerja antar pemangku kepentingan dengan sinkronisasi dan integrasi pelaksanaan pengembangan iptek dengan pemanfaatan sumber daya iptek yang dilakukan secara optimal. 4. PERUMUSAN PENGEMBANGAN LEMBAGA ISTP Perumusan sistem manajemen dan sistem organisasi dari lembaga ISTP yang akan dibentuk perlu dilakukan berdasarkan pada kebutuhan nyata terhadap peran yang akan dijalankan oleh lembaga dalam konteks penguatan SINas. Secara lengkap perumusan sistem manajemen dan sistem organisasi dari lembaga ISTP dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah.
Gambar 1. Desain Pengembangan Sistem Manajemen dan Sistem Organisasi Lembaga ISTP
Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
63
Selanjutnya penetapan visi, misi dan tujuan lembaga menjadi strategis untuk memformulasikan sistem manajemen dan sistem organisasi yang tepat. Lembaga ISTP adalah sebuah organisasi yang dikelola oleh profesional khusus, visi, misi dan tujuan utamanya adalah: Visi lembaga: adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menguatkan peran iptek dalam pembangunan ekonomi dengan mempromosikan budaya inovasi dan daya saing usaha terkait serta lembaga-lembaga berbasis pengetahuan Misi lembaga untuk mewujudkan visi tersebut adalah: 1. merangsang dan mengatur arus pengetahuan dan teknologi antar universitas, lembaga R&D, dan industri; 2. memfasilitasi penciptaan dan pertumbuhan perusahaan berbasis inovasi melalui inkubasi dan proses spin-off; 3. menyediakan layanan nilai tambah lainnya melalui layanan data informasi (Keahlian SDM, Infrastruktur Iptek, Status Teknologi pada S-curve, Status Produk pada S-curve, dll.); 4. menyediakan ruang dan fasilitas berkualitas tinggi untuk mendukung inkubasi bisnis teknologi; 5. memfasilitasi pelaksanaan adopsi teknologi ke industri nasional. Sedangkan tujuan pembentukan lembaga ISTP adalah: 1. mendukung perumusan kebijakan yang terkait dengan penguatan SINas dengan memberikan masukan-masukan kepada pembuat kebijakan (Pemerintah) berupa permasalahan aktual yang dihadapi oleh pemangku kepentingan ISTP dalam pelaksanaan proses inovasi dalam SINas. 2. mendukung upaya penguatan sistem technology clearing house sangat strategis bagi kepentingan nasional. Pengembangan sistem dilakukan dengan penetapan sebagai salah satu peran lembaga sehingga dapat menjadi katalis bagi terwujudnya peningkatan koordinasi antar LPNK di lingkungan Puspiptek dengan lembaga-lembaga yang secara parsial juga melakukan clearing house seperti BSN (Proses Standarisasi Produk), Balai POM – Kementerian Kesehatan (pengujian obat dan makanan), Puskim PU (pembangunan gedung), KLH (Balai Kliring Keamanan Hayati - untuk sumber daya hayati). 3. mendukung upaya penguatan sistem audit teknologi bagi peningkatan daya saing industri nasional serta kepentingan nasional, terutama terkait dengan keamanan nasional, keselamatan, keamanan, serta kelestarian lingkungan. 4. mendukung penguatan sistem HKI untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat internasional terhadap Indonesia dalam sistem perdagangan bebas WTO yang terkait dengan TRIPs. 5. mendukung terwujudnya kemitraan antara lembaga penghasil teknologi, lembaga intermediasi, lembaga pengguna teknologi, serta lembaga pendanaan yang berbasis pada sinergi program dengan mekanisme supply-demand sehingga mampu meningkatkan kontribusi swasta dalam pelaksanaan penguasaan, pengembangan, serta pemanfaatan Iptek untuk mendukung daya saing industri nasional. 6. mengurangi distorsi kompetensi SDM yang terjadi antara lembaga penghasil teknologi dan lembaga pengguna teknologi dengan memperkuat kinerja dan sinergi yang terjadi dalam jejaring kerja antar pemangku kepentingan SINas terutama dalam pemanfatan kompetensi SDM. 7. memfasilitasi diseminasi produk teknologi yang dihasilkan oleh lembaga penghasil teknologi sehingga secara optimal dapat dimanfaatkan oleh lembaga pengguna teknologi untuk menghasilkan produk yang berdaya saing sebagai sumber bagi pertumbuhan perekonomian nasional dan kesejahteraan masyarakat. 8. mendukung tersedianya data/informasi Iptek secara meluas serta kemudahan akses dari segenap pemangku kepentingan terhadap terhadap data/informasi tersebut. Berdasarkan visi, misi, serta tujuan lembaga ISTP tersebut, maka perlu dilakukan pengembangan program kegiatan sesuai dengan peran lembaga yang telah disampaikan di depan. Berdasarkan analisa Metode AHP terhadap pendapat pakar dengan memperhatikan Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
64
faktor-faktor: (1) Kesiapan SDM Pelaksana; (2) Kesiapan Biaya Operasional; (3) Kesiapan Infrastruktur Pendukung; (4) Kesesuaian dengan Kebutuhan Customer I-STP; serta (5) Dukungan pada Program Prioritas Pemerintah, maka prioritas program kegiatan ISTP adalah sebagai berikut: 1. Milestone I: Periode 2012 – 2014: Program kegiatan yang mendukung pelaksanaan Peran ISTP dalam: (1) Inkubasi Bisnis Teknologi ; (2) Inovasi Produk Industri ; serta (3) Koordinator Pemangku kepentingan ISTP; 2. Milestone II: Periode 2014 – 2017: Program kegiatan yang mendukung pelaksanaan Peran ISTP dalam: (1) Sumber Data/Informasi Iptek; (2) Pemasaran Bersama; serta (3) Intermediator Teknologi dan Pendanaan; dan 3. Milestone III: Periode 2017 – 20120: Program kegiatan yang mendukung pelaksanaan Peran ISTP dalam: (1) Penguatan Sistem Standardisasi Nasional; (2) Komersialisasi HKI; serta (3) Technology Clearing House. Dalam rangka mencapai visi, misi, dan tujuan dari lembaga ISTP yang telah ditetapkan maka disusun organisasi lembaga seperti pada Gambar 2 sebagai berikut:
SISTEM ORGANISASI I-STP DEWAN PENGARAH NASIONAL
DEWAN KONSORSIUM
DEWAN PENGAWAS
DIREKTUR
MANAJER PERENCANAAN & PENGEMBANGAN
MANAJER INTERMEDIASI
MANAJER KERJASAMA
MANAJER
PENDANAAN & TEKNOLOGI
& PERTUKARAN INFORMASI
ADMINISTRASI UMUM & ASET
STAF
STAF
STAF
MANAJER DISEMINASI HAKI
STAF
STAF
STAF
STAF
MANAJER PENGEMBANGAN KOMPETENSI SDM IPTEK
STAF
STAF
STAF
Gambar 2. Struktur Organisasi ISTP Berdasarkan identifikasi isu strategis yang penelitian, pengembangan, dan penerapan iptek dilakukan untuk memberikan kontribusi terhadap perlu dirumuskan strategi implementasi kebijakan
menjadi kendala dalam pelaksanaan serta peran lembaga ISTP yang perlu penyelesaian kendala yang ada, maka pengembangan lembaga ISTP tersebut.
Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
65
Strategi implementasi kebijakan pengembangan lembaga ISTP tersebut dilakukan berdasarkan tahapan-tahapan yang ditunjukkan pada Gambar 3 sebagai berikut:
Gambar 3. Strategi Implementasi Kebijakan Pengembangan Lembaga ISTP Strategi implementasi pengembangan lembaga ISTP dimulai dengan penyusunan Naskah Akademik Lembaga ISTP yang umum dilakukan dalam pembentukan sebuah lembaga publik. Berdasarkan SK Organisasi ISTP yang dikeluarkan oleh Kementerian PAN & RB selanjutnya dilakukan penyusunan SK Struktur Organisasi dan Tatakerja lembaga ISTP yang dikeluarkan oleh Kementerian Riset dan Teknologi. Selanjutnya dilakukan penyusunan SK Menristek untuk menetapkan personil yang duduk dalam Dewan Pengarah Nasional dengan melakukan koordinasi lintas sektoral pada kementerian terkait. Dewan Pengarah Nasional yang telah terbentuk menetapkan personil-personil yang duduk dalam Dewan Pengawas sesuai dengan kewenangan yang diberikan. Dewan Pengawas yang telah terbentuk akan melakukan seleksi personil, baik dari kalangan pemerintah, pelaku bisnis, maupun profesional, untuk diusulkan sebagai Direktur Lembaga ISTP kepada Dewan Pengarah Nasional. Dewan Pengarah Nasional memilih dan menetapkan Direktur Lembaga ISTP berdasarkan usulan personil yang diajukan oleh Dewan Pengawas. Selanjutnya Direktur terpilih akan melengkapi personil-personil yang duduk dalam jajaran Dewan Direksi (para Manajer Bidang) sesuai dengan SK Organisasi dan Tatakerja Lembaga ISTP. Dewan Direksi akan menyusun dan menetapkan roadmap program kegiatan yang akan dilaksanakan oleh lembaga ISTP sesuai dengan daya dukung sumberdaya pada kondisi eksisting yang tersedia. Pelaksanaan program kegiatan lembaga ISTP dan diseminasi output yang dihasilkan diukur kinerjanya berdasarkan kontribusi yang diberikan dalam mendukung perkuatan SINas dalam siklus PDCA (plan-do-check-action) untuk mendukung terwujudnya perbaikan berkelanjutan serta pelayanan prima pada customer lembaga ISTP. Pelaksanaan proses dalam Siklus PDCA ini memperhatikan beberapa hal, antara lain: (1) pelaksanaan program kegiatan yang dilakukan oleh lembaga ISTP; (2) proses diseminasi hasil-hasil kegiatan (barang/jasa) lembaga ISTP; (3) umpan balik customer dan pemangku kepentingan dalam Sistem Inovasi Nasional. Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
66
5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN 5.1. Kesimpulan: Pembentukan lembaga ISTP berpotensi untuk memberikan kontribusi secara signifikan pada upaya-upaya penyelesaian secara sistemik terhadap berbagai kendala yang terjadi dalam pelaksanaan penguatan SINas. Komitmen sumber daya pendukung bagi pembentukan lembaga ISTP berupa dukungan SDM dan infrastruktur fisik yang berada di Kawasan Puspiptek sangat mendukung lembaga untuk menjalankan perannya sesuai dengan tugas pokok dan fungsi yang diberikan sebagai lembaga publik. Lembaga ISTP akan dibentuk sebagai satker non struktural dengan menerapkan sistem pengelolaan keuangan BLU untuk mendukung terwujudnya layanan prima kepada pelanggannya. Layanan yang diberikan lembaga tidak berorientasi pada profit tetapi lebih difokuskan pada peningkatan produktifitas, efektifitas, dan efisiensi dalam menunjang terwujudnya pelayanan prima. Peran yang akan dilakukan oleh lembaga ISTP sebagai pelaksanaan tupoksi dan positioning lembaga terhadap lembaga-lembaga yang telah eksis dalam kelembagaan Iptek pada SINas, terutama yang berada di Kawasan Puspiptek, bersifat komplementer dan bersinergi dengan peran yang telah dilakukan oleh masing-masing lembaga yang ada sehingga mampu secara signifikan berkontribusi terhadap berbagai kendala faktual dalam pelaksanaan penguatan SINas yang dilakukan. Proses bisnis yang dijalankan lembaga terbagi atas level makro, meso, dan mikro. Proses bisnis pada level makro difokuskan pada penetapan sistem pendukung (supporting system) bagi keberhasilan pelaksanaan peran ISTP berupa regulasi/kebijakan, infrastruktur, SDM dengan lingkup nasional. Untuk proses bisnis pada level meso difokuskan pada penetapan kebijakan level korporasi terkait dengan peran ISTP sesuai dengan visi, misi, tujuan yang telah ditetapkan. Sedangkan proses bisnis pada level mikro merupakan proses bisnis yang terkait dengan kegiatan untuk merencanakan, mengembangkan, melaksanakan, mengevaluasi, program kegiatan terkait dengan peran ISTP sesuai dengan kebijakan pada level korporasi. 5.2. Rekomendasi Kebijakan Perlu dikembangkan sistem pendukung internal ISTP agar mampu memberikan kepercayaan bagi pelaku bisnis untuk menjalin kerjasama dalam pengembangan bisnisnya, dimana ada jaminan terhadap kerahasiaan terhadap kepentingan bisnis yang akan dikembangkan. Salah satu hal yang perlu dikembangkan adalah implementasi Hukum Tata Niaga dalam setiap perselisihan yang terkait dengan kerjasama pengembangan bisnis yang dilakukan antara pelaku bisnis dengan ISTP. Perlindungan ide-ide bisnis dari kemungkinan pemanfaatan oleh pihak ketiga selama pelaksanaan kerjasama berlangsung perlu menjadi perhatian bagi manajemen ISTP. Personil yang duduk dalam lembaga ISTP berorientasi pada profesionalisme dengan keterwakilan dari unsur-unsur ABG (akademisi, pelaku bisnis, dan pemerintah), sehingga permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan lembaga dapat dilihat secara komprehensif dari berbagai sudut kepentingan pemangku kepentingan SINas. Pengembangan program kegiatan ISTP perlu dilakukan berdasarkan roadmap program yang jelas guna mencapai tujuan dari pendirian lembaga yang telah ditetapkan. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dudi Hidayat dari Pappiptek-LIPI yang telah memberikan saran perbaikan makalah ini.
Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
67
PUSTAKA Bell, M and K. Pavitt, 1993. Technological Accumulation And Industrial Growth: Contrast Between Developed And Developtment Countries” Industrial And Corporate Change, Vol. 2, No 2, pp 157-211. Habibie, B.J., 1984. Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pembangunan Bangsa, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta, Indonesia. Hackett, E.J., Olga A., Michael L., and Judy W., 2007. The Handbook of Science and Technology Studies, Third Edition, The MIT Press, USA. Lakitan, M., 2010. Revitalisasi Kelembagaan Riset dan Pengembangan untuk Mendukung Sistim Inovasi Nasional. Keynote Speech pada Seminar Revitalisasi Kelembagaan Litbang, Pasca Sarjana Universitas Sahid, Jakarta. Lakitan, M., 2009. Kebijakan Pengembangan dan Implementasi Sistim Inovasi Nasional: Pendidikan, Riset, Industri dan Konsumen, Jurnal Dinamika Masyarakat, Vol. VIII, No. 1, Juli 2009. OECD, 1977. National Innovation System, Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). Smits, R.E., Stefan K and Philip S., 2010. The Theory and Practice of Innovation Policy, Edward Elgard Publishing Limited, The Malcolm Baldrige National Quality Award Program, Criteria for Performance Excellence. Baldrige National Quality Program National Institute of Standards and Technology Technology Administration United States Department of Commerce Administration Building, Room A600 100 Bureau Drive, Stop 1020 Gaithersburg, MD 20899. Wessner, C.W., 2009. Understanding Research, Science and Technology Parks: Global Best Practice: Report of a Symposium ; Comparative Innovation Policy: Best Practice for the 21st Century;. National Research Council-USA, Washington DC.
Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
68
STRATEGI LEMBAGA LITBANG DAERAH DALAM MENGEMBANGKAN INOVASI FRUGAL DI KABUPATEN PATI Jatmiko Wahyudi Kantor Penelitian dan Pengembangan Kabupaten Pati Jl. Panglima Sudirman No. 26 Pati Jawa Tengah E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa faktor-faktor internal dan eksternal yang memeengaruhi penurunan jumlah produk inovasi yang dihasilkan oleh masyarakat Kabupaten Pati yang ditinjau dalam lomba “Pati Innovation Award” serta merumuskan strategi yang harus dijalankan oleh lembaga litbang daerah di Kabupaten Pati dalam meningkatkan munculnya produk-produk inovasi. Selama ini kesuksesan “Pati Innovation Award” merupakan faktor kunci keberhasilan lembaga litbang daerah di Pati dalam mengembangkan inovasi frugal sebab event ini mampu memetakan permasalahan di lapangan dan merupakan sarana efektif dalam menjaring inovator serta produk inovasi yang ada di masyarakat. Secara umum, produk yang dihasilkan para inovator di Kabupaten Pati memiliki karakteristik antara lain: 1) produk dengan biaya rendah (low cost); 2) tepat guna sebab ide berangkat dari permasalahan-permasalahan yang ditemui di masyarakat; 3) menggunakan sumber daya lokal. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Dari evaluasi faktor internal (EFI) dan eksternal (EFE) serta rumusan strategi-strategi yang dihasilkan melalui analisis SWOT, diperoleh strategi yang paling diprioritaskan melalui analisis QSPM. Strategi yang paling diprioritaskan yaitu dengan meningkatkan efektifitas dan pemberdayaan komunitas inventor yang telah dibentuk dengan efektifitas penggunaan anggaran, pemilihan personel yang kompeten, dan pengawasan terhadap perencanaan dan pelaksanaan program kerja. Kata Kunci: Pati innovation award, SWOT, QSPM
1. PENDAHULUAN Pelaksanaan otonomi daerah memberikan implikasi yang besar terhadap pembangunan di daerah, termasuk juga pelaksanaan kegiatan penelitian dan pengembangan. Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, daerah otonom mempunyai hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat. Dalam kaitannya dengan pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), telah diterbitkan UU Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Pasal 21 UU Nomor 18 Tahun 2002 menyatakan pemerintah daerah berperan mengembangkan instrumen kebijakan untuk mendukung pertumbuhan dan sinergi semua unsur sistem nasional penelitian, pengembangan dan penerapan iptek. Instrumen kebijakan yang dimaksud antara lain dapat berupa dukungan sumber daya manusia, sarana dan prasarana, anggaran, penghargaan bagi para inventor dan penyelenggaraan program iptek (Mulatsih dan Putera, 2009). Kantor Penelitian dan Pengembangan Kabupaten Pati sebagai lembaga litbang daerah memiliki tugas pokok dan fungsi yang terkait dengan pelaksanaan UU Nomor 18 Tahun 2002. Salah satu bentuk pelaksanaan dari instrumen kebijakan yang dilakukan oleh Kantor Litbang Kabupaten Pati adalah melalui pelaksanaan kegiatan lomba Pati Innovation Award. Sejak digulirkan pada tahun 2005, Pati Innovation Award telah berhasil menjaring produkproduk inovasi yang berasal dari masyarakat Kabupaten Pati. Dari empat kali penyelenggaraan Pati Innovation Award, secara umum produk yang dihasilkan para inovator di Kabupaten Pati memiliki karakteristik antara lain sebagai berikut: 1) produk dengan biaya rendah (low cost); 2) tepat guna sebab ide berangkat dari permasalahan-permasalahan yang ditemui di masyarakat; dan 3) menggunakan sumber daya lokal. Dilihat dari karakteristiknya, produk inovasi yang muncul dapat dikategorikan sebagai produk inovasi frugal. Menurut Bound dan Thornthon (2012), pada awalnya inovasi frugal disamakan dengan inovasi untuk Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
69
menciptakan produk yang murah dengan teknologi rendah. Namun selanjutnya inovasi frugal dimaknai tidak hanya menghasilkan produk yang murah namun mampu membuat produk yang lebih baik dari sebelumnya dan bisa dikembangkan dalam produksi skala besar. Inovasi frugal merupakan suatu respon terhadap adanya keterbatasan seperti pembiayaan, material maupun dukungan lembaga. Inovasi frugal mampu mengubah keterbatasanketerbatasan ini menjadi sebesar-besarnya manfaat. Walaupun memiliki manfaat yang besar bagi masyarakat serta ditambah adanya dukungan pemerintah yang cukup memadai, empat kali penyelenggaraan Pati Innovation Award mengalami penurunan jumlah peserta dan produk yang dilombakan secara signifikan. Tren penurunan tersebut bisa dilihat pada Gambar 1 dan 2.
Gambar 1. Jumlah Peserta Pati Innovation Award I-IV
Gambar 2. Jumlah Produk yang Dilombakan di Pati Innovation Award I-IV Berdasarkan Gambar 1, terlihat jumlah peserta yang berasal dari masyarakat umum maupun dari institusi pendidikan mengalami penurunan. Sementara berdasarkan gambar 2, jumlah produk yang dilombakan dalam Pati Innovation Award juga mengalami penurunan. Kondisi ini sangat disayangkan sebab kesuksesan Pati Innovation Award merupakan faktor kunci keberhasilan lembaga litbang daerah di Pati dalam mengembangkan inovasi frugal. Selama ini event Pati Innovation Award telah mampu memetakan permasalahan di lapangan dan merupakan sarana efektif dalam menjaring serta mengembangkan inovator serta produk inovasi yang ada di masyarakat. Tindak lanjut kegiatan Pati Innovation Award antara lain: 1) terbentuknya komunitas inventor yang awalnya merupakan para peserta lomba yang Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
70
memiliki kepedulian dalam pengembangan iptek; 2) pengiriman pemenang lomba serta produk-produk unggulan ke kompetisi inovasi teknologi di tingkat propinsi dan nasional; dan 3) pendaftaran produk inventor untuk memiliki hak atas kekayaan intelektual (HKI). Tujuan penelitian ini adalah untuk merumuskan prioritas strategi yang harus dilakukan oleh lembaga litbang daerah dalam mengembangkan inovasi frugal khususnya strategi dalam mengatasi semakin menurunnya minat masyarakat dalam mengikuti lomba Pati Innovation Award. Diharapkan penelitian ini dapat digunakan oleh pihak terkait dalam mengembangkan inovasi frugal di Kabupaten Pati. 2. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2012 di Kabupaten Pati. Jenis data yang digunakan meliputi data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara mendalam. Narasumber yang dipilih yaitu dari para peserta lomba Pati Innovation Award sejak penyelenggaraan yang pertama yaitu pada tahun 2005 sampai penyelenggaraan yang keempat tahun 2012. Wawancara juga dilakukan dengan pimpinan dan karyawan Kantor Penelitian dan Pengembangan Kabupaten Pati yang selama ini terlibat dalam penyelenggaraan Pati Innovation Award. Data sekunder diperoleh melalui sumber pustaka dan data dari instansi terkait. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Metode deskriptif bertujuan untuk membuat gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki (Nasir, 2003). Hasil wawancara dianalisa secara kualitatif. Perhitungan pengaruh faktor eksternal dan internal dilakukan secara kuantitatif. Penetapan faktor internal dan eksternal yang berhubungan dengan penyelenggaraan Pati Innovation Award disajikan dengan matriks evaluasi strategi Internal (IFE) dan evaluasi strategi eksternal (EFE). Analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats) digunakan untuk menghasilkan alternatif-alternatif strategi yang harus dilakukan oleh para stakeholder. Untuk menentukan prioritas strategi yang direkomendasikan, penelitian ini menggunakan Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM) (David, 2009). 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Identifikasi Faktor Internal Dan Eksternal Hasil penilaian terhadap faktor internal meliputi faktor kekuatan dan kelemahan serta hasilnya disajikan pada Tabel 1. Nilai pembobotan diatas 0,1 menunjukkan faktor tersebut memiliki peranan yang dominan. Nilai rating faktor kekuatan yang semakin besar menunjukkan pihak yang terkait telah mampu memanfaatkan kekuatan yang ada. Nilai rating kecil pada faktor kelemahan menunjukkan pihak terkait belum mampu mengatasi kelemahan yang muncul. Tabel 1. Matriks Evaluasi Faktor Internal No
Faktor Penentu Internal Kekuatan
1 2 3 4 5
Ketersediaan anggaran dari pemerintah Keberadaan komunitas inventor Pengalaman penyelenggaraan Ketersediaan sumber daya manusia Penggunaan media untuk penyebaran informasi
Bobot
Rating
Skor
0,20 0,10 0,10 0,15 0,05
3 4 4 4 3
0,60 0,40 0,40 0,60 0,15
0,05 0,15 0,05 0,05 0,10
1 1 2 2 2
0,05 0,15 0,10 0,10 0,20
Kelemahan 1 2 3 4 5
Pendeknya waktu penyebaran informasi lomba Kurang optimalnya kinerja komunitas inventor Lemahnya dukungan dan pembinaan yang berkelanjutan Penghargaan pemenang yang rendah Permasalahan birokrasi yang menghambat
Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
71
Total
1,00
2,75
Hasil penilaian terhadap faktor lingkungan eksternal meliputi faktor peluang dan ancaman disajikan pada Tabel 2. Rating yang semakin besar menunjukkan pihak terkait mampu mengantisipasi ancaman dengan memanfaatkan peluang yang ada, sedangkan nilai rating kecil menunjukkan pihak terkait belum mampu mengatasi ancaman yang muncul. Tabel 2. Matriks Evaluasi Faktor Eksternal No
Faktor Penentu Internal
1 2 3 4
Peluang Berkembangnya sekolah kejuruan teknik Keberadaan lomba inovasi di tingkat propinsi/nasional Pelibatan mahasiswa sebagai inovator Peningkatan anggaran pemerintah untuk pengembangan iptek Peningkatan penghargaan bagi inventor
5
Bobot
Rating
Skor
0,10 0,05 0,10 0,15
4 3 3 4
0,40 0,15 0,30 0,60
0,10
4
0,40
Ketidakpercayaan peserta terhadap sistem penilaian Ketidakpedulian stakeholder Pengaruh situasi sosial politik Perubahan kebijakan sekolah kejuruan teknik Adanya lomba inovasi setingkat yang lebih menarik
0,05 0,20 0,10 0,10 0,05
1 2 1 2 2
0,05 0,40 0,10 0,20 0,10
Total
1,00
Ancaman 1 2 3 4 5
2,70
Dari Tabel 1 dapat dilihat faktor – faktor lingkungan internal yang menjadi kekuatan utama adalah ketersediaan anggaran dari pemerintah dengan bobot 0,2. Kegiatan Pati Innovation Award merupakan kegiatan tetap dua tahunan dan menjadi salah satu program unggulan dari Kantor Litbang Pati. Pelaksanaan Pati Innovation Award dalam 3 periode selalu tepat waktu dan mendapat dukungan anggaran yang memadai. Hanya pada tahun 2011, pelaksanaan Pati Innovation Award terpaksa diundur satu tahun karena Kabupaten Pati mengalami permasalahan terkait pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada). Kurang lebih selama satu tahun Kabupaten Pati tidak memiliki kepala daerah definitif akibat adanya keputusan Mahkamah Konstitusi untuk mengulang pelaksanaan pilkada. Pada tahun 2011, perhatian pemerintah Kabupaten Pati terfokus pada penyelesaian permasalahan pilkada. Kekuatan lain yang dominan yaitu ketersediaan sumber daya manusia dengan bobot 0,15. Sumber daya manusia (SDM) yang ada di Kantor litbang Pati meliputi fungsional peneliti dan struktural sangat memadai dalam hal kuantitas maupun kualitas. Tugas pokok dan fungsi lembaga yang memang terkait dengan pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi memudahkan SDM kantor litbang dalam memahami dinamika permasalahan yang terkait dengan pelaksanaan lomba Pati Innovation Award. Kelemahan utama adalah kurang optimalnya kinerja komunitas inventor dengan bobot 0,15. Komunitas inventor telah dibentuk sejak tahun 2009, dengan anggota komunitas berasal dari masyarakat umum dan staf pengajar pada sekolah kejuruan. Anggota komunitas dipilih dari beberapa peserta lomba Pati Innovation Award I – III dan memiliki komitmen dalam hal inovasi teknologi. Komunitas inventor mendapat fasilitas dari Kantor Litbang Pati dalam bentuk anggaran, sarana dan prasarana serta dukungan sumber daya manusia. Diharapkan anggota komunitas ini mampu menjadi duta Kantor Litbang dalam memantau potensi masyarakat dalam bidang iptek serta menyebarluaskan informasi mengenai kebijakan di Kantor Litbang khususnya dalam bidang pengembangan dan pemanfaatan iptek. Namun keberadaan komunitas ini dinilai kurang efektif kinerjanya. Kinerja komunitas ini masih sangat tergantung pada instansi pemerintah termasuk dalam hal koordinasi. Kondisi ini masih ditambah dengan kurang aktifnya beberapa anggota komunitas. Kurang
Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
72
efektifnya komunitas khususnya dalam mendukung kegiatan Pati Innovation Award tampak dari ketidakmampuan dalam menyerap potensi masyarakat. Dari Tabel 2 dapat dilihat faktor lingkungan eksternal yang menjadi peluang utama adalah peningkatan anggaran pemerintah untuk pengembangan iptek dengan bobot 0,15. Anggaran pemerintah dibedakan menjadi dua yaitu yang dikelola oleh Kantor Litbang dan anggaran yang dikelola oleh instansi di luar kantor litbang misalnya instansi teknis dan institusi pendidikan. Peningkatan anggaran pemerintah disebabkan oleh meningkatnya kesadaran akan pentingnya produk inovatif yang murah serta tepat guna untuk mengatasi permasalahan di masyarakat. Bisa dirasakan besarnya perhatian pemerintah pada sektor pendidikan kejuruan. Hal ini turut mendukung proses pemanfaatan dan pengembangan iptek. Ancaman utama adalah ketidakpedulian stakeholder dengan bobot 0,20. Proses pengembangan teknologi yang tepat guna, murah serta mengandalkan sumberdaya lokal merupakan sebuah rangkaian panjang. Stakeholder yang terkait antara lain pemerintahan desa, institusi pendidikan, instansi teknis, litbang dan masyarakat. Pelaksanaan Pati Innovation Award hanyalah suatu ajang sebagai bentuk pemacu dan penghargaan kepada para inovator. Hal yang lebih penting yaitu kemampuan para stakeholder dalam memantau keberadaan dan potensi para inovator lokal. Dari wawancara yang dilakukan pada para peserta lomba, terutama yang berasal dari masyarakat umum, tidak ditemukan peran pemerintah desa dan kecamatan dalam hal pemantauan dan pembinaan bagi para inovator. 3.2 Analisa SWOT Analisa SWOT merupakan suatu metode analisa berdasarkan faktor-faktor internal dan eksternal untuk menghasilkan strategi–strategi yang layak untuk dipertimbangkan (David, 2009). Pada tabel 3 disajikan hasil analisa dalam bentuk matriks SWOT. Tabel 3. Matriks SWOT Pati Innovation Award FAKTOR INTERNAL EKSTERNAL
DAN
KEKUATAN (STRENGTH) 1. Ketersediaan anggaran dari pemerintah 2. Keberadaan komunitas inventor. 3. Pengalaman penyelenggaraan. 4. Ketersediaan Sumber Daya Manusia 5. Penggunaan media untuk penyebaran informasi
KELEMAHAN (WEAKNESS) 1. Pendeknya waktu penyebaran informasi lomba 2. Kurang optimalnya kinerja komunitas inventor 3. Lemahnya dukungan dan pembinaan yang berkelanjutan 4. Penghargaan pemenang yang rendah. 5. Permasalahan birokrasi yang menghambat STRATEGI W-O
PELUANG (OPPORTUNITY)
STRATEGI S-O
1. Bertambahnya sekolah kejuruan 2. Keberadaan lomba inovasi di tingkat propinsi/nasional 3. Pelibatan mahasiswa sebagai inovator 4. Peningkatan anggaran pemerintah untuk pengembangan iptek 5. Peningkatan penghargaan bagi inventor
Meningkatkan efektifitas dan pemberdayaan komunitas inventor yang telah dibentuk
ANCAMAN (THREAT)
STRATEGI S-T
Memberikan rekomendasi mengenai pengembangan dan pemanfaatan produk inovator kepada instansi terkait. STRATEGI W-T
1. Ketidakpercayaan peserta
Intensifikasi dan ekstensifikasi promosi kegiatan.
Pelibatan swasta dan perguruan tinggi dalam penyelenggaraan lomba.
terhadap sistem penilaian 2. Ketidakpedulian
Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
Meningkatkan penghargaan kepada para inovator utamanya pemenang lomba dengan cara 1) penambahan nilai hadiah; 2) ekspos profil inovator dan produknya pada media lokal dan nasional.
73
stakeholder
3. Pengaruh situasi sosial politik.
4. Perubahan kebijakan sekolah kejuruan.
5. Adanya lomba inovasi setingkat yang lebih menarik
Dari hasil analisa SWOT, diperoleh strategi S-O (Strength-Opportunity) yaitu meningkatkan efektifitas dan pemberdayaan komunitas inventor yang telah dibentuk. Strategi ini dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain: 1) mengefektifkan anggaran; 2) pemilihan personel yang kompeten; dan 3) pengawasan terhadap perencanaan dan pelaksanaan program kerja komunitas inventor. Keberadaan para inventor yang tergabung dalam komunitas inventor merupakan aset yang berharga dalam upaya mengembangkan semangat berinovasi di masyarakat Kabupaten Pati. Kurang berkembangnya komunitas inventor perlu segera dievaluasi dan mendapatkan solusi. Strategi W-O 1 (Weakness – Opportunity) yaitu meningkatkan penghargaan kepada para inovator utamanya pemenang lomba dengan cara penambahan nilai hadiah dan ekspos profil inovator dan produknya pada media lokal dan nasional. Beberapa peserta yang diwawancarai mengungkapkan bahwa nilai hadiah masih terlalu kecil. Biaya yang dikeluarkan para inovator dalam menciptakan produk termasuk proses uji coba (trial and error) cukup tinggi sehingga hadiah yang diterima tidak terlalu dirasakan manfaatnya. Tidak jarang para inovator yang produknya tidak memenangkan lomba harus merugi. Strategi ekspos ke media massa dimaksudkan agar ide kreatif para inovator dapat ditangkap oleh masyarakat sehingga produk yang dihasilkan dapat diproduksi secara masal dan memberikan keuntungan bagi inovator. Pengupayaan produk inovatif untuk mendapatkan hak atas kekayaan intelektual harus terus dilakukan sebagai salah satu bentuk penghargaan kepada inventor. Sampai saat ini upaya tersebut baru sampai pada proses pendaftaran namun pada akhirnya produk masyarakat Pati mengalami kegagalan dalam mendapatkan HKI. Oleh karena itu, perlu dilakukan kerjasama dengan pihak-pihak yang berpengalaman dalam menangani HKI, misalnya perguruan tinggi maupun lembaga litbang lain yang menjadi sentra HKI. Strategi W-O 2 (Weakness – Opportunity) yaitu memberikan rekomendasi mengenai pengembangan dan pemanfaatan produk inovator kepada instansi terkait. Sebagai contoh, inovator yang tertarik di bidang teknologi perikanan akan lebih berkembang tatkala mendapatkan bimbingan dari instansi pemerintah yang menangani masalah perikanan. Dalam tugas kesehariannya, seringkali instansi terkait mendapatkan keluhan masyarakat mengenai permasalahan yang membutuhkan solusi di bidang rekayasa teknologi yang murah dan tepat guna. Strategi S-T (Strength – Threat) yaitu intensifikasi dan ekstensifikasi promosi kegiatan. Intensifikasi yang dimaksud adalah mengoptimalkan kegiatan promosi yang sebelumnya telah dilakukan seperti lewat media massa, poster, komunitas inventor, dan lainnya. Sedangkan ekstensifikasi yaitu melakukan promosi kegiatan melalui cara dan media yang baru seperti penggunaan jejaring sosial dan promosi ke perguruan tinggi. Mahasiswa asal Kabupaten Pati yang belajar di perguruan tinggi berpotensi untuk berpartisipasi sebagai peserta lomba. Penggunaan jejaring sosial efektif untuk mengatasi kendala jarak dan biaya promosi. Strategi W-T (Weakness – Threat) yaitu pelibatan swasta dan perguruan tinggi dalam penyelenggaraan lomba. Pelibatan swasta dapat berupa sponsorship kegiatan sehingga alokasi anggaran untuk operasional dapat dialihkan untuk meningkatkan hadiah bagi pemenang. Pelibatan swasta dan perguruan tinggi dapat berupa konsultan kegiatan maupun sebagai dewan juri lomba. Strategi ini merupakan respon terhadap keluhan para peserta mengenai objektivitas penilaian dewan juri yang berasal dari lokal Kabupaten Pati yang dikhawatirkan memiliki kedekatan dengan peserta lomba. Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
74
3.3 Analisa QSPM QSPM memberikan pendekatan sistematik untuk mengevaluasi alternatif-alternatif strategi yang ada dan menentukan strategi terbaik untuk diimplementasikan. Tujuan QSPM adalah untuk menetapkan kemenarikan relatif (relatif attractiveness). Strategi dengan nilai TAS (Total Attractiveness Score) tertinggi merupakan strategi yang paling diprioritaskan. (Amini, 2009). Hasil analisa QSPM disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. QSPM Pati Innovation Award Uraian Strategi
Nilai TAS
Prioritas
Meningkatkan efektifitas dan pemberdayaan komunitas inventor yang telah dibentuk.
5,45
1
Meningkatkan penghargaan kepada para inovator, utamanya pemenang lomba dengan cara 1) penambahan nilai hadiah; 2) ekspos profil inovator dan produknya pada media lokal dan nasional.
5,00
2
Pelibatan swasta dan perguruan tinggi dalam penyelenggaraan lomba.
4,65
3
Memberikan rekomendasi mengenai pengembangan pemanfaatan produk inovator kepada instansi terkait.
4,60
4
3,55
5
Intensifikasi dan ekstensifikasi promosi kegiatan.
dan
Berdasarkan analisa QSPM, strategi “meningkatkan efektifitas dan pemberdayaan komunitas inventor yang telah dibentuk” merupakan strategi dengan prioritas tertinggi. Komunitas inventor harus tetap diberdayakan sebagai komunitas yang mandiri dan tidak tergantung sepenuhnya pada instansi pemerintah. Fungsi pemerintah lebih ditekankan sebagai fasilitator dan katalisator sehingga keberadaan komunitas lebih berkembang. Permasalahan birokrasi yang kadang membatasi gerak instansi pemerintah dalam mengembangkan iptek diharapkan dapat dijembatani oleh keberadaan komunitas inventor. Pelibatan pemerintah misalnya dalam hal pemberian anggaran dan pengawasan lebih bertujuan agar komunitas inventor bisa bersinergi dengan tujuan-tujuan pemerintah. 4. KESIMPULAN Keberadaan lembaga litbang daerah dalam mendorong inovasi frugal di Kabupaten Pati dirasakan sangat strategis. Pelaksanaan kegiatan Pati Innovation Award terbukti efektif dalam menjaring inovator dan menggairahkan masyarakat dalam menghasilkan produk inovatif. Penurunan minat masyarakat dalam mengikuti Pati Innovation Award perlu segera mendapatkan solusi yang efektif. Strategi untuk meningkatkan efektifitas dan pemberdayaan komunitas inventor dapat diartikan sebagai bentuk sinergi masyarakat dengan pemerintah. Dukungan kebijakan dari pemerintah dalam bentuk anggaran, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia terbukti menjadi kurang efektif tanpa keterlibatan masyarakat. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Ir. Sutrisno, MM, peneliti madya pada Kantor Litbang Pati yang telah memberikan masukan dalam kegiatan penelitian ini. PUSTAKA Amini, M. T., 2009. Strategy Compiling Case Study : ZTE (A Chinesse Telecommuniccation Co.). International Journal Humanities. 16(1): 15 – 29. Bound, K and Thornthon, I., 2012. Our Frugal Future: Lessons From India’s Innovation System. Nesta Operating Company. London. United Kingdom Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
75
David, M. E., David, F. R. and David, Fred. R., 2009. The Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM) Applied To A Retail Computer Store. The Coastal Business Journal. 8(1). Nasir, M. 2003., Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Bogor Mulatsih, S dan Putera, P. B., 2009. Analisis Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Dalam Bingkai Ekonomi Berlandaskan Iptek. PAPPIPTEK-LIPI. Jakarta. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
76
PERAN LEMBAGA RISET DALAM SISTEM INOVASI FRUGAL SEKTOR PERTANIAN: ANALISIS BERPIKIR SISTEM 1
2
Mahra Arari Heryanto , Dika Supyandi Laboratorium Sosiologi dan Penyuluhan Pertanian Universitas Padjadjaran Jl. Raya Bandung-Sumedang Km.21 Gd. Sosek Lt.2 Faperta Unpad Jatinangor Telp/Fax. 022-7796318 1 2 E-mail:
[email protected];
[email protected] 1,2
ABSTRAK Sebagai suatu sistem, sektor pertanian merupakan mesin pertumbuhan yang berperan dalam peningkatan pendapatan petani. Sampai saat ini, inovasi yang dilakukan dalam sistem usahatani sebagian besar masih bersifat konvensional yang didasarkan pada pengalaman petani. Pengalaman yang berasal dari kegagalan usahatani merupakan pembelajaran yang berakumulasi menjadi pengetahuan bagi petani. Namun perlu dicermati bahwa kegagalan usahatani merupakan biaya yang dikeluarkan oleh petani dan dalam waktu lama, kegagalan yang berulang-ulang menghabiskan biaya yang besar (biaya pembelajaran). Pola tersebut mengakibatkan produk pertanian yang dihasilkan tidak kompetitif dari aspek biaya maupun kualitas. Lembaga riset yang terkait dengan sektor pertanian sampai saat ini masih belum dapat menghasilkan inovasi yang signifikan bagi petani. Kegagalan idealnya berada di lembaga riset, sehingga biaya pembelajaran petani berada di lembaga riset. Kompleksitas dalam sistem inovasi tersebut dijelaskan dengan menggunakan analisis berpikir sistem (system thinking). Model konsepsi dan adopsi iptek pertanian menjadi struktur utama dalam sistem inovasi frugal guna menghasilkan produk pertanian yang kompetitif dan berkualitas. Hasil analisis menunjukan bahwa lembaga riset dalam sistem inovasi frugal sektor pertanian memiliki peran sebagai akselerator konsepsi dan adopsi iptek pertanian yang efisien dan inovatif. Pada tataran praktis, diperlukan sarana komunikasi antar pelaku usahatani dengan lembaga riset untuk menyelesaikan berbagai persoalan dan membahas pengembangan inovasi iptek pertanian. Kata Kunci: sistem inovasi, berpikir sistem (system thinking), iptek pertanian, riset pertanian, sistem usahatani
1. PENDAHULUAN Sektor pertanian di Indonesia merupakan mesin pertumbuhan yang berperan cukup signifikan bagi pembangunan desa karena berkontribusi sebagai pencipta nilai tambah bagi masyarakat di perdesaan dalam bentuk pendapatan usahatani. Siklus kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat desa tidak terlepas dari sektor pertanian yang menjadi andalan. Sebagai negara agraris, Indonesia dikenal sebagai negara dengan jumlah petani yang banyak. Bahkan untuk sektor tanaman pangan, komoditas padi atau beras telah menjadi sektor pertanian andalan yang banyak diusahakan di Indonesia, terutama di Pulau Jawa. Ironisnya sebagian besar dari petani yang mengusahakan padi palawija (53% dari 17,8 juta rumah tangga petani) tersebut adalah para petani kecil. Lebih miris lagi dari 30 juta (12,5 persen) masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan, sekitar 19 juta di antaranya adalah penduduk pedesaan dengan segala keterbatasan, terutama dalam hal penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi atau dikenal dengan iptek di pertanian. Pada kasus ini, kenaikan harga gabah yang tinggi dan pemanfaatan teknologi dalam skala besar menguntungkan petani berlahan luas secara signifikan bila dibandingkan dengan petani kecil. Petani berlahan luas dapat meningkatkan kesejahteraannya berlipat-lipat, sementara petani kecil walau terjadi peningkatan kesejahteraan tetapi masih jauh di bawah petani berlahan luas (Heryanto, 2010; Arifin, 2012). Bagi petani yang memiliki keterbatasan dalam mengakses iptek pertanian, pengalaman tentunya menjadi satu-satunya sarana pembelajaran yang ada. Mau tidak mau dan suka atau tidak pengalaman merupakan guru yang digunakan sebagai pedoman. Pengalaman kegagalan usahatani sering kali menjadi pembelajaran yang lebih efektif dibandingkan Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
77
dengan pengalaman berhasil. Efek dari kegagalan usahatani lebih berbekas dari pada keberhasilan usahatani karena pengalaman yang kurang menyenangkan akan lebih mudah disimpan dalam ingatan. Terlebih lagi secara ekonomi pengalaman gagal berusahatani menghabiskan banyak materi dan kerugian yang tidak sedikit, berbeda dengan keberhasilan usahatani yang secara ekonomi justru mendatangkan banyak uang. Kondisi psikologis memiliki peran dalam merekam peristiwa yang terjadi dalam pengalaman usahatani. Apabila kondisi seperti itu dibiarkan dalam waktu yang lama, maka secara ekonomi banyak biaya yang dihabiskan untuk proses pembelajaran tersebut. Suatu proses belajar konvensional yang dilakukan tanpa desain yang baik maka hasilnya pun akan tidak terarah. Hasil belajar dari pengalaman (otodidak) seperti ini memerlukan waktu yang sangat lama untuk menghasilkan inovasi (konsepsi iptek). Alih-alih menghasilkan hal baru yang bermanfaat, untuk menciptakan kreasi yang baru (sektor pertanian) saja sudah menghabiskan waktu yang lama dan biaya yang mahal. Pola tersebut mengakibatkan produk pertanian yang dihasilkan tidak kompetitif dari aspek biaya maupun kualitas. Sistem inovasi frugal dalam menciptakan produk pertanian menjadi suatu kajian yang penting. Produk yang kompetitif akan memberikan nilai tambah yang besar bagi pelaku usaha di dalamnya, termasuk petani sebagai pelaku di hulu yang melakukan aktivitas mengolah sumberdaya hayati. Lembaga riset idealnya mengambil peran sebagai sumber (konsepsi) iptek pertanian guna mereduksi biaya pembelajaran yang ditanggung oleh petani sehingga produktivitas sektor pertanian dapat ditingkatkan. Konsepsi iptek pertanian dihasilkan dengan cara yang direncanakan (by desain) dan dapat dijelaskan secara ilmiah, bukan dengan cara untung-untungan berdasarkan pengalaman semata. 2. ANALISIS BERPIKIR SISTEM (SYSTEM THINKING) Sistem inovasi sebagai suatu sistem dibentuk oleh banyak unsur yang saling terkait satu sama lain sehingga terbentuk struktur sistem inovasi. Beberapa sub model (sub sistem) utama yang saling terkait di antaranya adalah sub model sistem usahatani, sub model konsepsi dan riset pertanian, serta sub model adopsi iptek pertanian. Ketiga sub model tersebut membentuk kompleksitas yang tinggi dari unsur-unsur yang membentuknya. Diperlukan suatu cara yang mampu menjelaskan kompleksitas dari sistem inovasi pertanian. Bagaimana iptek sangat dipengaruhi oleh interaksi antara petani sebagai pelaku sekaligus pencipta inovasi dengan lembaga riset yang selama ini ada (perguruan tinggi, lembaga pemerintah). Untuk memahami dan mempengaruhi sistem yang kompleks tersebut diperlukan cara berpikir sistem (system thinking) di mana realitas menjadi dasar utama dalam analisis berpikir sistem. Selain itu, cara berpikir sistem analisis lebih fokus kepada keseluruhan bagian dari struktur yang terbentuk, tidak hanya bagian tertentu dari sistem. Pendekatan Systems Thinking merupakan pendekatan yang mengenali hubungan saling bergantung (interdependent) dan berkaitan (interrelated) dari unsur-unsur dalam suatu sistem. Pada awalnya, pendekatan ini digunakan dalam ilmu biologi (1950–1960), yang kemudian diadaptasi oleh ilmu sosial sebagai metode dalam memahami fenomena di dunia nyata. Dalam pendekatan berpikir sistem dikenal adanya paradigma yang menyatakan bahwa suatu perubahan (perilaku atau dinamika) dimunculkan oleh suatu struktur (unsurunsur pembentuk yang saling bergantung/interdependen). Selanjutnya, hubungan unsurunsur yang saling bergantung itu merupakan hubungan sebab akibat umpan balik, bukan hubungan sebab akibat searah dan merupakan proses yang berlanjut (on going process), bukan potret-potret sesaat. (Senge, 1990 dalam Tasrif, 2004). Dalam paradigma berpikir sistem, hubungan sebab akibat yang mempunyai polarisasi digambarkan dengan menggunakan anak panah yang di bagian sebelah kiri atau kanan ujung runcingnya diberi tanda positif (+) atau negatif (-). Anak panah bertanda positif dapat berarti sebab akan menambah akibat atau sebab akan mempengaruhi akibat dalam arah perubahan yang sama (pengaruh variabel yang lain terhadap akibat, jika ada, dianggap tidak ada). Arah perubahan yang sama berarti bahwa jika sebab meningkat (atau menurun), pengaruhnya terhadap akibat akan menyebabkan akibat yang meningkat (atau menurun pula). Sedangkan anak panah bertanda negatif dapat berarti sebab akan mengurangi akibat Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
78
atau sebab mempengaruhi akibat dalam arah perubahan yang berlawanan (pengaruh variabel yang lain, jika ada, dianggap tidak ada). Arah perubahan yang berawanan berarti bahwa jika sebab meningkat (atau menurun), pengaruhnya terhadap akibat akan sebaliknya yaitu menyebabkan akibat yang menurun (atau meningkat). Pendekatan berpikir sistem memiliki alat (tools) yang dikenal dengan nama sistem archetype yang berguna untuk mengenali pola tingkah laku sistem. Tiap archetype menggambarkan garis cerita dengan tema tersendiri, pola tingkah laku secara khusus dapat digambarkan dan struktur sistem yang unik dapat dilukiskan dengan diagram sebab akibat (causal loop diagram/CLD). Dalam paradigma berpikir sistem, struktur (sekumpulan lingkar sebab-akibat) ini menentukan perilaku (behaviour atau dinamika) suatu fenomena. Lingkar sebab-akibat positif akan menghasilkan suatu perilaku pertumbuhan (growth) atau penurunan (peluruhan). Lingkar sebab-akibat positif dikenal juga sebagai tipe loop reinforcing atau digunakan notasi “R”. Sedangkan lingkar sebab-akibat negatif akan menghasilkan suatu perilaku pencapaian tujuan (goal seeking) walaupun terkadang goal atau tujuan dalam lingkar itu tidak tampak secara eksplisit. Lingkar sebab-akibat negatif merupakan pula suatu proses penyeimbangan (balancing process) dengan menggunakan notasi ”B”. 3. MODEL SISTEM INOVASI FRUGAL SEKTOR PERTANIAN Model sistem inovasi, sesuai dengan kondisi nyata pada saat ini di sektor pertanian, dibangun oleh beberapa sub model utama yang telah disebutkan di atas, yaitu sub model sistem usahatani, sub model konsepsi dan riset pertanian, dan sub model adopsi iptek pertanian. Selain sub model utama, terdapat sub model pendukung yang tidak kalah pentingnya berperan dalam jejaring sistem inovasi yakni sub model permintaan produk pertanian dan sub model pembiayaan riset untuk menghasilkan iptek sektor pertanian (Gambar 1). Sub Model Adopsi Iptek Pertanian
Sub Model Sistem Usahatani
Sub Model Konsepsi dan Riset Iptek Pertanian
Sub Model Permintaan Produk Pertanian
Sub Model Pembiayaan Riset Iptek Pertanian
Sumber: Hasil olahan penulis (2012)
Gambar 1. Model Sistem Inovasi Sektor Pertanian Saat Ini Untuk kondisi sekarang, ketiga sub model utama saat ini memiliki keterkaitan timbal balik, sementara itu dua sub model lainnya yang bersifat pendukung hanya bersifat satu arah saja. Unsur-unsur yang dibangun dalam struktur merupakan indikator-indikator yang ada dalam sistem inovasi pertanian. Indikator-indikator yang terkait dengan petani sebagai pelaku utama sektor pertanian berada di ketiga sub model utama (sistem usahatani, konsepsi Iptek pertanian dan adopsi Iptek pertanian). Sementara itu, indikator yang terkait dengan lembaga riset (perguruan tinggi dan pemerintah) banyak terdapat pada sub model riset iptek pertanian dan adopsi iptek pertanian.
Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
79
3.1. Sub Model Sistem Usahatani Sistem usahatani adalah suatu kegiatan yang secara rutin dijalankan oleh petani yang dalam konteks waktu dijalankan secara berulang-ulang. Lingkar R1 (pada Gambar 2) merupakan pusat pertumbuhan utama sektor pertanian, di mana produksi hasil pertanian menjadi indikator sistem yang memberikan dampak besar dalam sub model ini. Peningkatan produksi pertanian yang dihasilkan akan berdampak pada peningkatan pendapatan petani yang kemudian dari pendapatan tersebut akan kembail digunakan sebagai modal usahatani untuk musim tanam berikutnya. Kegagalan usahatani yang terjadi pada tingkat petani memberikan efek yang kurang baik kepada petani karena menimbulkan kerugian yang akan mengurangi tingkat pendapatan yang diterima oleh petani (lingkar B1). Apabila ini terjadi dengan frekuensi yang tinggi, maka pendapatan petani tidak akan pernah meningkat dan lebih jauh dampaknya adalah menurunnya tingkat kesejahteraan petani. Selain lingkar R1, lingkar positif (positif feeback) juga terdapat pada lingkar R2 di mana aspek psikologis petani mempunyai peranan penting dalam penggunaan teknologi pertanian. Keberhasilan usahatani yang dilakukan oleh petani akan memberikan dampak kepada menurunnya resistensi penggunaan teknologi di kalangan masyarakat petani. Hal tersebut didukung oleh pengalaman petani dalam menggunakan teknologi. Keberhasilan dalam meningkatkan produksinya memberikan efek psikologis yang positif untuk terus menggunakan teknologi. Berkebalikan dengan lingkar R1, kegagalan usahatani (lingkar B2) selain merugikan petani secara psikologis akan meningkatkan resistensi terhadap penggunaan teknologi di kalangan petani. Akibatnya, tingkat penggunaan teknologi oleh petani akan menurun karena produksi hasil pertanian tidak mampu ditingkatkan sebagaimana yang diharapkan oleh semua petani. Namun demikian, perlu dicermati bahwa pada kenyatannya rendahnya tingkat penggunaan teknologi tidak hanya disebabkan oleh resistensi atau keengganan petani untuk menggunakan teknologi., tetapi bisa juga dipengaruhi oleh proses adopsi atau difusi inovasi iptek yang rendah. Tidak semua petani mendapatkan penyuluhan dan mampu mengakses teknologi, terutama petani gurem dengan penguasaan luas lahan yang sempit. Petani berlahan luas (petani besar) lebih mampu mengakses teknologi daripada petani kecil (Heryanto, 2010). Risiko dan kegagalan berusahatani bertambah kompleks setelah revolusi hijau dan perubahan iklim. Munculnya hama penyakit baru akibat kerusakan lingkungan sangat nyata terlihat akibat dari penggunaan bahan kimia yang berlebihan (Setiawan, 2012). Resiko tersebut memperparah beban petani yang sudah dibuat repot dengan perubahan iklim (Boer, 2008 dalam Setiawan 2012) yang cukup signifikan akhir-akhir ini. Sistem usahatani merupakan sub model utama yang memegang peranan penting dalam sistem inovasi frugal. Berhasil atau tidaknya kolaborasi antar aktor dalam sistem inovasi pertanian dapat dilihat dari indikator biaya usahatani yang dibandingkan dengan jumlah produksi pertanian yang dihasilkan. Semakin rendah biaya pokok produksi per satuan produk, maka sistem inovasi yang frugal di sektor pertanian dapat dikatakan berjalan dengan baik. Dampaknya adalah pendapatan petani akan semakin meningkat karena biaya input produksi yang dikeluarkan sebagai pengurang penerimaan petani akan semakin rendah sebagai dampak efisiensi yang dilakukan dalam kegiatan usahatani.
Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
80
Sub Model Adopsi Iptek Pertanian
Penggunaan Teknologi
Resistensi +
-
+ B3
+ Kebutuhan Biaya Usahatani
Produktivitas Hasil R2 Penggunaan Input Produksi
-
B2
+ Produksi Pertanian
+
+
Usahatani yg Berhasil +
Usahatani yg Gagal
+
+ Kecukupan Biaya Usahatani
R1
Penjualan Produk Pertanian
+ Pendapatan Petani +
Penerimaan Petani
+
Sub Model Konsepsi dan Riset Iptek Pertanian
Kerugian Petani
+
-
B1
-
Sub Model Permintaan Produk Pertanian
Sumber: Hasil olahan penulis (2012)
Gambar 2. Sub Model Sistem Usahatani Sub model sistem usahatani memiliki keterkaitan dengan permintaan produk pertanian dan konsepsi iptek pertanian. Selain itu, sub model ini memiliki keterkaitan dengan sub model adopsi iptek pertanian. Ketiga sub model lainnya memiliki peran terhadap keberhasilan usahatani yang dilakukan oleh petani baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Sebagai suatu sistem yang saling terhubung dalam satu struktur, perubahan yang terjadi pada suatu unsur baik secara struktur maupun perilaku, berakibat pada perubahan perilaku atau perubahan struktur pada bagian lain dalam struktur. 3.2. Sub Model Konsepsi, Riset dan Pembiayaan Iptek Pertanian Model konsepsi dan adopsi suatu inovasi merupakan bagian dari tatakelola teknologi yang secara khusus menaruh perhatian pada keterlibatan objek-objek teknis dan bendabenda alamiah dalam tatakelola. Dinamika perubahan yang terjadi dalam tatakelola memerlukan upaya untuk mengadaptasinya. Perubahan-perubahan sosial, ekonomi, politik, teknologi dan lingkungan direspon secara berbeda oleh petani. Fase konsepsi berawal dari problematisasi atas situasi praktis tertentu dan bermuara pada suatu konsepsi atas konfigurasi yang spesifik – konsepsi teknologi (Yuliar, 2009; Setiawan, 2012). Konsepsi iptek di sektor pertanian sebagian besar di Indonesia masih bersifat konvensional dengan proses yang sangat lama. Pengalaman usahatani dengan kemungkinan peluang berhasil atau gagal merupakan rujukan utama sebagian besar petani dalam menkonsepsi iptek yang berakumulasi yang kemudian diterapkan dalam usahatani yang dilakukannya. Pola ini sudah berlangsung lama dan dalam jangka panjang telah banyak menghasilkan inovasi-inovasi lokal yang sangat adaptif dengan lingkungan. Keberhasilan usahatani akan memberikan efek positif terhadap pembelajaran petani yang terus tumbuh meningkatkan pengetahuan dan teknologi yang dimiliki oleh petani (lingkar R3). Akan tetapi berbeda dengan pengalaman usaha tani yang gagal, proses pembelajaran akan terhenti ketika telah mencapai tujuan yang diinginkan, yaitu keberhasilan usaha tani Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
81
(lingkar B5). Para petani di Indonesia pada umumnya berperilaku seperti yang dijelaskan pada pola kedua, proses pembelajaran baru akan terjadi ketika terjadi kegagalan usaha tani. Kondisi ini kemudian diperparah dengan perilaku lembaga riset yang seharusnya menjadi akselerator konsepsi iptek, tidak mampu berbicara banyak pada tataran praktis. Selama ini peneliti melakukan riset cenderung hanya dari pengalaman kegagalan yang dialami oleh petani saja (lingkar B4). Masih sangat jarang suatu riset di sektor pertanian dibuat berdasarkan pada pengalaman keberhasilan. Persoalan yang tidak muncul ke permukaan pada saat suatu usahatani berhasil mengakibatkan sangat sedikit pelaku riset pertanian yang terjun langsung berinteraksi dengan pelaku usahatani atau petani (lingkar R4). Pola pembentukan kebutuhan riset berdasarkan keberhasilan usaha tani memberikan akselerasi yang baik bagi konsepsi iptek pertanian karena tidak akan berhenti pada saat keberhasilan usahatani tercapai. Idealnya, kegagalan-kegagalan yang dialami oleh petani terjadi hanya pada tataran eksperimen riset yang dilakukan oleh peneliti saja sehingga tidak menimbulkan kerugian yang mengurangi pendapatan petani. Pola perilaku konsepsi melalui riset ini secara prinsip sama dengan pola perilaku konsepsi iptek yang terbentuk secara konvensional atau otodidak. Kebutuhan riset yang merujuk kepada keberhasilan usahatani masih sangat jarang ditemukan, para peneliti baru tergerak untuk melakukan penelitian pada saat terjadi masalah saja seperti kegagalan usahatani. Akibatnya, keberlanjutan akselerasi konsepsi iptek oleh lembaga riset tidak berlangsung lama karena percepatan konsepsi iptek baru terjadi ketika ditemukan persoalan usahatani.
Pengetahuan Petani + Keterampilan Usahatani
+
Sub Model Adopsi Iptek Pertanian Pertambahan Pengetahuan
+
+
R3
Potensi Usahatani Gagal
Sub Model Sistem Usahatani
Pengalaman Usahatani
-
+ Usahatani yg Gagal
+ +
Usahatani yg Berhasil
B5
Frekuensi Kegiatan Sosialisasi dan Diseminasi
+ +
Tingkat Pembelajaran Petani
Lamanya Usahatani
+
Kegiatan Riset PT
B4 R4
+
+
+ +
Frekuensi Interaksi Petani dgn Peneliti
+ Kebutuhan Riset
+ Produk pertanian Berkualitas
B6
Realisasi Anggaran Riset
+ Gap Kualitas Produk Pertanian +
+
Kebutuhan Biaya Riset
Permintaan Industri Produk Pertanian
-
Kecukupan Biaya Riset
R5
+
+ Alokasi Anggaran
Sumber: Hasil olahan penulis (2012)
Gambar 3. Sub Model Konsepsi, Riset dan Pembiayaan Iptek Pertanian Kegiatan riset di perguruan tinggi maupun lembaga riset pemerintah atau swasta sebagai salah satu aktivitas vital dalam proses konsepsi iptek tidak dapat berdiri sendiri tanpa dukungan biaya yang memadai. Kecukupan biaya riset yang dilihat dari perbandingan antara Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
82
kebutuhan biaya riset dengan alokasi anggaran adalah faktor pendukung terselenggaranya kegiatan riset (lingkar B6). Apabila alokasi anggaran yang diajukan sesuai dengan kebutuhan biaya riset yang diperlukan, maka struktur pengalokasian anggaran ini merupakan mekanisme yang sangat penting dalam membentuk sistem yang kondusif dalam konsepsi iptek pertanian (lingkar R5). Faktanya sampai saat ini sering kali dasar penentuan alokasi anggaran bukan saja hanya merujuk kebutuhan biaya riset, tetapi kepentingan lain yang menurut pengambil keputusan lebih penting, sehingga relasi antara alokasi anggaran riset dengan kebutuhan biaya riset menjadi tidak kuat (garis patah-patah) dan cenderung lemah. 3.3. Sub Model Permintaan Produk Pertanian dan Sub Model Adopsi Iptek Pertanian Menurut Yuliar (2009), berbagai sumber sosial dan teknis dikerahkan pada fase adopsi. Aktor-aktor sosial dan objek-objek teknis terlibat dan suatu konfigurasi sosioteknis yang baru terbentuk pada fase adopsi teknologi. Aktivitas adopsi akan menentukan apakah teknologi yang dikembangkan akan digunakan atau tidak. Indikator utama yang digunakan untuk melihat sejauh mana proses adopsi iptek berhasil adalah tingkat penggunaan teknologi yang diterapkan oleh petani. Sasmojo (2004) menyatakan bahwa yang dikatakan dengan iptek terdiri dari dua aspek, yaitu ilmu pengetahuan dan teknologi. Keduanya adalah pengetahuan ilmiah dan merupakan bagian sub-set dari pengetahuan ilmiah. Perbedaannya, ilmu pengetahuan berisikan informasi yang memberikan gambaran tentang struktur dari sistem-sistem serta penjelasan tentang polalaku sistem tersebut, sementara teknologi berisikan informasi preskriptif mengenai penciptaan sistem-sistem dan pengoperasian sistem-sistem ciptaan tersebut. Teknologi pada kondisi nyata yang tampak pada sektor pertanian sejalan dengan yang dikatakan oleh Yuliar (2009), bahwa teknologi berkenaan dengan objek-objek (artefak, mesin, sistem), aktivitas (penerapan sarana, metode, dan pengetahuan teknis) dan pengetahuan (pengetahuan praktis, penalaran). Penggunaan teknologi yang dibahas dalam tulisan ini lebih menitikberatkan pada perpaduan dari objek-objek, aktivitas, dan pengetahuan praktis yang bersumber dari pengetahuan, baik secara ilmiah berasal dari lembaga riset maupun pengetahuan alam yang berasal dari petani atau masyarakat. Penggunaan teknologi dalam model adopsi iptek pertanian ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu seberapa banyak introduksi teknologi yang disosialisasikan kepada petani dan sejauh mana keterampilan petani yang dimiliki untuk menerapkan teknologi tersebut. Apabila salah satu faktor tersebut tidak terpenuhi, maka penggunaan teknologi tidak terjadi di sektor pertanian (Gambar 4). Keterampilan usahatani yang dimiliki oleh petani dalam perjalanannya bertumpu kepada pengetahuan petani itu sendiri yang bertambah melalui beberapa cara. Pertama melalui pendidikan dan pelatihan (lingkar R8) dan yang kedua melalui cara konvensional, yaitu pengalaman usahatani (lingkar R6). Selama ini sektor pertanian sangat mengandalkan pertambahan pengetahuan dari cara konvensional (pengalaman usahatani) (lingkar R6). Kelemahan dari cara ini adalah kecepatan proses konsepsi pengetahuan, sebagaimana dijelaskan pada sub bab sebelumnya, memerlukan waktu yang lama dan biaya yang besar karena terjadi berulang-ulang. Tetapi kelebihan pola konvensional adalah proses adopsi menjadi lebih mudah diterima oleh petani. Internalisasi proses pencarian, penemuan, penjelasan, sampai kepada penerapan ada di petani itu sendiri sehingga iptek yang dihasilkan lebih adaptif sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam kelembagaan petani itu sendiri. Berbeda dengan pola pertambahan pengetahuan melalui pendidikan dan pelatihan (R8), cara ini dari aspek waktu berjalan lebih singkat dan efisien secara ekonomi karena kegagalan hanya terjadi pada skala eksperimen yang tidak semua petani mengalaminya. Namun demikian, perlu dicermati bahwa adaptasi dari iptek yang dihasilkan oleh kelembagaan luar akan berjalan lebih lambat karena iptek yang dihasilkan bisa saja dan sangat besar peluangnya berbeda dengan nilai-nilai sosial yang dianut oleh masyarakat petani. Sebagai contoh adalah penggunaan teknologi mesin perontok padi (threser) yang ditolak di beberapa tempat di daerah Pantai Utara Jawa Barat (Heryanto, 2010). Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
83
Penyebabnya adalah penggunaan teknologi mengurangi penggunaan tenaga kerja buruh tani dalam pemanenan padi (lingkar B7).
Introduksi + Teknologi + Gap Pengetahuan
+
Waktu Pendampingan
B8
Keterampilan Usahatani
+
+
Pengetahuan Petani
Penggunaan Teknologi
+
+
+
Frekuensi Kegiatan Sosialisasi dan Diseminasi
-
Produktivitas Hasil
Pemakaian TK
+
+
+
Tingkat Pembelajaran Petani
+
Kebutuhan Teknologi + +
+
Pengalaman Usahatani +
Usahatani yg Berhasil
Produksi Pertanian + Penjualan Produk Pertanian
B9
R8
R6
-
B7
Penyuluhan +
+
+ Resistensi
-
+
Pendidikan dan Pelatihan + + Intensitas Program Pertambahan Pengetahuan
+
Sub Model Sisem Usahatani
+ Kebutuhan Pendidikan dan Pelatihan +
R9
+
+ Pengetahuan yg Diperlukan Petani
Lamanya Usahatani
R7
+
+ Usahatani yg Gagal
Kegiatan Riset PT
+ +
R10
Frekuensi Interaksi Petani dgn Peneliti +
+ + Kebutuhan Riset
+ Produk pertanian Berkualitas
B10
Sub Model Pembiayaat Riset Iptek Pertanian
Permintaan Industri Produk Pertanian
Gap Kualitas Produk Pertanian +
Sumber: Hasil olahan penulis (2012)
Gambar 4. Struktur Sub Model Permintaan Produk Pertanian dan Sub Model Adopsi Iptek Pertanian Apabila tidak diperhatikan secara serius, hal tersebut akan berdampak pada resistensi petani dalam menggunakan (adopsi) teknologi (lingkar B8). Walaupun tujuannya baik secara ekonomi (meningkatkan produksi hasil pertanian), tetapi karena teknologi yang diperkenalkan mengganggu tatanan sosial maupun pada masyarakat dan ada sebagian masyarakat yang tidak menerima atas perubahan tersebut, masuknya teknologi yang semula tujuannya baik bergeser menjadi gangguan atau ancaman bagi masyarakat. Akhirnya terjadi penolakan atau keengganan petani dalam menggunakan teknologi tersebut. Pengenalan teknologi yang berasal dari luar masyarakat itu sendiri memerlukan waktu yang lebih lama dalam proses penerapannya. Proses internalisasi sangat diperlukan agar nilai-nilai sosial masyarakat dapat beradaptasi menerima teknologi yang diperkenalkan, bahkan apabila perlu dilakukan suatu intervensi terhadap kelembagaan masyarakat tersebut agar nilai-nilai sosial yang ada bersifat lebih elastis tanpa mengubah prinsip-prinsip yang diyakini. Proses internalisasi juga bisa berlaku sebaliknya, teknologi yang diperkenalkan dimodifikasi sedemikian rupa sehingga dalam penerapannya tidak dapat menekan seminimal mungkin gangguan terhadap nilai-nilai sosial dan ekonomi masyarakat. Sebagai penengah dari konflik tersebut diperlukan waktu pendampingan selama dalam proses adopsi. Pendampingan yang dimaksud untuk sektor pertanian sudah dijalankan di Indonesia sejak lama, yaitu melalui program Penyuluhan Pertanian dan telah dibuktikan keberhasilannya melaui Revolusi Hijau yang berdampak kepada swasembada beras nasional. Lamanya waktu pendampingan mampu mengurangi resistensi petani terhadap penerapan teknologi yang baru yang bukan berasal dari kebiasaan masyarakat petani sendiri Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
84
(lingkar R9). Sangat disayangkan program semacam itu pada era reformasi sekarang ini dianggap tidak begitu penting ditunjukkan dengan menurunnya jumlah tenaga penyuluh di perdesaan. Akibatnya, banyak terjadi introduksi teknologi berujung kepada teknologi yang mangkrak (tidak terpakai). Persoalan lain yang tidak kalah penting menjadi penghambat proses adopsi iptek pertanian adalah minimnya aktivitas sosialisasi dan diseminasi hasil riset yang dilakukan oleh lembaga riset kepada para pelaku sektor pertanian. Banyak hasil riset yang dihasilkan oleh lembaga riset baik di perguruan tinggi maupun pemerintah yang hasilnya hanya berakhir pada laporan saja. Tidak ada tindak lanjut untuk menyampaikan hasil riset tersebut kepada sektor riil (pertanian) untuk kemudian dapat diadopsi dan digunakan (lingkar R7). Frekuensi interaksi antara pelaku usahatani dengan peneliti merupakan jejaring yang harus dibangun agar terbentuk suatu media komunikasi untuk saling mendengarkan baik dari petani ke peneliti maupun sebaliknya dari peneliti ke petani. Pola-pola jejaring dalam sistem inovasi tersebut juga bisa digunakan sebagai media untuk mensosialisasikan dan diseminasi hasil riset dari lembaga riset kepada para pelaku di sektor pertanian. Aktivitas sosialisasi dan diseminasi hasil riset merupakan langkah penting dengan efek yang besar dalam mempengaruhi sistem. Selain dengan pelaku usahatani, para peneliti di lembaga riset dalam jejaring tersebut juga idealnya berinteraksi dengan industri dan konsumen sebagai pengguna produk pertanian. Selama ini, interaksi antara peneliti dengan pelaku industri yang menggunakan produk pertanian dilakukan hanya pada saat diperlukan untuk mengantisipasi persoalan seperti adanya gap kualitas antara permintaan dengan produksi yang dihasilkan oleh petani (lingkar B10). Ketika persoalan selesai, maka tidak ada riset yang dilakukan oleh peneliti. Pola-pola seperti ini harus diubah supaya inovasi yang dihasilkan dapat terus berkembang (lingkar R10). Interaksi antara pelaku dengan peneliti hendaknya tetap dilakukan dalam rangka mengembangkan produk pertanian guna mengantisipasi permintaan pasar yang begitu dinamis. 3.4. Rekayasa Struktur Model Sistem Inovasi Frugal Sektor Pertanian Rekayasa model sistem inovasi di sektor pertanian didasarkan kepada pembahasan pada sub-bab sebelumnya. Rekayasa model bertujuan untuk menyelesaikan persoalan bagaimana produk pertanian dihasilkan secara murah. Walaupun secara ekonomi para pelaku di sektor pertanian jarang sekali menghitung besarnya kerugian akibat kegagalan usahatani dan memasukannya kepada biaya pokok produksi, proses pembelajaran dari pengalaman yang dialami petani (terutama kegagalan usahatani) menghabiskan biaya yang tidak sedikit dan memerlukan waktu yang lama. Sub-model permintaan produk pertanian (industri) yang sebelumnya tidak terhubung dengan sub model konsepsi dan riset iptek pertanian menjadi berhubungan. Peneliti di lembaga riset dalam mengidentifikasi kebutuhan riset harus mampu mengakomodasi permintaan pasar akan produk pertanian. Hal ini perlu dilakukan agar konsepsi yang dihasilkan oleh lembaga riset untuk kemudian diadopsi oleh pelaku usahatani sesuai dengan kebutuhan teknologi yang akan diterapkan oleh petani guna menghasilkan produk pertanian yang mampu memenuhi permintaan pasar. Selama ini, konsepsi iptek pertanian yang dilakukan oleh lembaga riset masih sangat jarang memperhatikan permintaan pasar (industri dan konsumen).
Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
85
Sub Model Adopsi Iptek Pertanian
Sub Model Sistem Usahatani
Sub Model Konsepsi dan Riset Iptek Pertanian
Sub Model Permintaan Produk Pertanian (Industri)
Sub Model Pembiayaan Riset Iptek Pertanian
Sumber: Hasil olahan penulis (2012)
Gambar 5. Desain Rekayasa Struktur Model Sistem Inovasi Sektor Pertanian Perubahan struktur secara makro juga terjadi pada sub model pembiayaan riset iptek pertanian. Pada kenyatannya, sub model ini tidak memiliki keterkaitan dengan sub model sistem usahatani. Penganggaran biaya untuk keperluan riset di lembaga pemerintah maupun perguruan tinggi masih dibatasi oleh kecukupan anggaran yang dimiliki oleh pemerintah. Semakin tinggi kecukupan anggaran biaya untuk riset, maka konsepsi iptek yang dihasilkan akan semakin banyak pula. Bahkan untuk pembiayaan riset idealnya tidak hanya berhenti sampai pada fase konsepsi, tetapi juga dianggarkan sampai pada tahap adopsi berupa sosialisasi dan diseminasi. 4. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 4.1. Kesimpulan 1. Peran lembaga riset dalam sistem inovasi frugal sektor pertanian adalah sebagai akselerator konsepsi dan adopsi iptek pertanian yang efisien dan inovatif. Lembaga riset dengan cara yang ilmiah mampu melakukan konsepsi iptek secara lebih efisien dan inovatif dibandingkan cara konvensional, sehingga “biaya pembelajaran petani” tidak menjadi beban bagi petani. 2. Pola konsepsi dan adopsi iptek pertanian menentukan bagaimana suatu teknologi diterapkan dalam sistem usahatani. Konsepsi iptek yang berasal dari pengalaman petani akan lebih mudah untuk diadopsi oleh mereka, tetapi memerlukan waktu yang lama dalam prosesnya. Sementara itu, konsepsi iptek yang berasal dari lembaga riset, dalam proses adopsinya memerlukan waktu yang lama untuk proses internalisasi terlebih dahulu guna mengurangi resistensi di kalangan petani, tetapi dari aspek biaya akan lebih efisien dibandingkan dengan kerugian materi yang dialami oleh petani. 3. Frekuensi kegiatan sosialisasi dan diseminasi hasil riset iptek pertanian adalah indikator sistem yang apabila diintervensi akan memberikan dampak besar kepada proses adopsi teknologi dan produktivitas. Banyaknya konsepsi iptek yang dihasilkan oleh lembaga riset akan menentukan tingkat frekuensi kegiatan sosialisasi dan diseminasi hasil riset. 4. Frekuensi interaksi antara pelaku usaha tani dan industri (pasar) dengan lembaga riset dan pemerintah akan membentuk suatu jejaring sistem inovasi yang menghasilkan banyak konsepsi iptek untuk kemudian dapat dengan mudah diadopsi oleh pelaku usaha tani karena iptek yang dihasilkan relatif sesuai dengan nilai-nilai sosial yang dimiliki oleh pelaku usahatani. Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
86
5. Riset dan konsepsi iptek pertanian baik secara konvensional (pengalaman usahatani) maupun riset akan lebih menjadi lebih inovatif apabila didasarkan pada keberhasilan usahatani dibandingkan dengan riset dan konsepsi iptek yang didasarkan pada kegagalan atau persoalan kualitas produk pertanian. 4.2. Rekomendasi 1. Lembaga riset di sektor pertanian baik di perguruan tinggi maupun lembaga pemerintah hendaknya memperhatikan proses konsepsi-adopsi iptek pertanian. Pada proses konsepsi, diperlukan suatu media di mana antara pelaku usahatani, industri (pasar), swasta, pemerintah, dan lembaga riset dapat saling berkomunikasi untuk menyelesaikan berbagai persoalan dan membahas pengembangan inovasi iptek yang dapat diterapkan oleh petani serta memberikan manfaat bagi seluruh pelaku usahatani dari hulu sampai ke hilir. 2. Kecukupan pembiayaan riset yang sesuai kebutuhan biaya riset akan memperlancar proses konsepsi dan adopsi iptek pertanian. Oleh karena itu, sebaiknya biaya riset diusahakan untuk dapat memenuhi kebutuhan yang diperlukan. Sumber biaya riset tidak harus sepenuhnya bersumber dari pemerintah. Sektor swasta diharapkan untuk berperan aktif untuk melakukan riset yang hasil konsepsinya bisa diadopsi oleh petani untuk mengembangkan produk pertanian. PUSTAKA Arifin, Bustanul, 2012. BBM, Ekspektasi Inflasi, dan Kesejahteraan Petani. Kompas.com, Analisis Ekonomi, Senin, 2 April 2012 | 03:42 WIB; http://nasional.kompas.com/read/2012/04/02/03422023/BBM.Ekspektasi.Inflasi.dan.Kesej ahteraan.Petani; diakses tanggal 30 Agustus 2012 Heryanto, Mahra Arari, 2010. Kajian Distribusi Pendapatan Petani Padi dengan Pendekatan Dinamika Sistem. Tesis Program Magister. Institut Teknologi Bandung. Sasmojo, Saswinadi, 2004. Sains, Teknologi, Masyarakat dan Pembangunan. Program Pascasarjana, Studi Pembangunan ITB, Bandung. Setiawan, Iwan, 2012. Dinamika Pemberdayaan Petani. Sebuah Refleksi dan Generalisasi Kasus di Jawa Barat. Widya Padjadjaran, Bandung. Tasrif, Muhammad, 2004. Analisis Kebijakan Menggunakan System Dynamics. Program Magister Studi Pembangunan Intitut Teknologi Bandung, Bandung. Yuliar, Sonny, 2009. Tata Kelola Teknologi. Perspektif Teori Jaringan Aktor. Penerbit ITB, Bandung.
Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
87
LAMPIRAN
Introduksi + Teknologi
Gap Pengetahuan -
+
B8
-
Pengetahuan + Petani
B7 + Keterampilan Usahatani + Penggunaan + Teknologi -
- + Resistensi +
+
B3
+ + Kebutuhan Biaya Usahatani
Produktivitas Hasil
-
+
+ Kecukupan Biaya Usahatani +
R1
Produksi Pertanian + Penjualan Produk Pertanian
+
+
+ Penerimaan Petani -
B9
R8
+
R6 Potensi Usahatani Gagal
R3
Frekuensi Kegiatan Sosialisasi dan Diseminasi
+ Usahatani yg Gagal
Usahatani yg Berhasil
B5
+
+
Tingkat Pembelajaran Petani
+
Pengalaman Usahatani + +
R7 Lamanya Usahatani
+
R4 +
+
+
Kegiatan Riset PT
+
Frekuensi Interaksi Petani dgn Peneliti
Kerugian Petani
Pendapatan Petani
+ Pendidikan dan + Pelatihan + Intensitas Program Penyuluhan Pertambahan Pengetahuan +
B4 B1
+
R2
B2
+ Penggunaan Input Produksi
+
Kebutuhan Pendidikan dan Pelatihan
R9
+ Waktu Pendampingan
Pemakaian TK
+
+ Pengetahuan yg Diperlukan Petani
+
+ Kebutuhan Riset
B6
R10 + + Produk pertanian Berkualitas
Kebutuhan Biaya Riset B10 + -
Permintaan Industri Produk Pertanian
+
Kecukupan Biaya Riset -
R5
Alokasi Anggaran
Gap Kualitas Produk Pertanian +
Sumber: Hasil olahan penulis (2012)
Gambar 6. Struktur Model Sistem Inovasi Frugal Sektor Pertanian
Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
+
+
88
Realisasi Anggaran Riset +
Kebutuhan Teknologi + +
FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG INOVASI FRUGAL: KONDISI DI INDIA DAN PROSPEK DI INDONESIA 1
2
Karlina Sari , Kusnandar Peneliti, Pusat Penelitian Perkembangan Iptek, LIPI Jl. Jend. Gatot Subroto No. 10 Telp. 021 5201602, Fax. 021 5201602 1 2 E-mail:
[email protected],
[email protected]
1,2
ABSTRAK Semakin tingginya tingkat persaingan pasar global mendorong setiap perusahaan untuk berinovasi menghasilkan produk dengan kualitas tinggi, tetapi dengan harga yang terjangkau oleh sebagian besar kalangan konsumen. Beberapa perusahaan lokal India, yaitu Tata Motor, Tata Chemical, dan anak perusahaan asing di negara tersebut, seperti General Electric dan Hindustan Unilever Ltd, telah berhasil melakukan inovasi yang menghasilkan produk berbasis teknologi dalam bentuk lebih sederhana dan harga lebih murah dibanding produk sejenis. Dalam dunia akademisi, jenis inovasi ini dikenal dengan istilah inovasi frugal. Pada prinsipnya, frugal memiliki arti tidak hanya biaya yang murah tetapi juga bagaimana suatu produk dirancang, diproduksi, didistribusikan, dan dipelihara sesuai dengan fungsi yang dibutuhkan oleh konsumen, dengan memperhatikan batasan sumber daya. Mengingat inovasi di Indonesia sering terganjal oleh faktor biaya, inovasi frugal dipandang cocok untuk dikembangkan oleh perusahaan di negara ini. Tentunya kondisi dan kebijakan negara sangat mempengaruhi berlangsungnya aktivitas inovasi frugal. Studi ini bertujuan untuk menggali faktor-faktor pendukung pelaksanaan inovasi frugal di India dan melihat prospek pengaplikasiannya di Indonesia dengan membandingkan faktor-faktor pendukung yang dimiliki oleh kedua negara tersebut. Analisis yang digunakan adalah analisis komparatif. Tinjauan literatur menunjukkan bahwa faktorfaktor yang mendorong inovasi frugal di India adalah entrepreneurship dan budaya jugaad, industri berbasis teknologi dan inovasi, pasar domestik yang luas, populasi berpendapatan menengah ke bawah yang dominan, keterbukaan terhadap perusahaan PMA, dan dukungan pemerintah. Membandingkan kondisi India dan Indonesia, inovasi frugal sangat prospektif untuk diimplementasikan di Indonesia jika industri berbasis teknologi dan inovasi diperkuat serta didukung oleh implementasi kebijakan pemerintah yang tepat sasaran. Kata Kunci: inovasi frugal, faktor pendorong, teknologi, India, Indonesia
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kemajuan perekonomian suatu negara kini tidak lagi bergantung pada sumber daya alam maupun sumber daya manusia semata. Teknologi telah menjadi faktor vital dalam menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Hal ini dibuktikan oleh Cina dan India, yang pada dekade lalu dipandang sebelah mata oleh dunia, kini menjadi dua negara dengan pertumbuhan ekonomi paling pesat dibandingkan Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Pada tahun 2011 pertumbuhan ekonomi China mencapai 9,3% dan India 7,6%, sementara negara maju seperti Amerika Serikat hanya 1.7%, Uni Eropa 1.6%, bahkan Jepang menurun 0,5% (United Nations, 2012). Tingginya pertumbuhan ekonomi di China dan India tidak terlepas dari keberhasilan industrinya dalam menghasilkan produk berbasis teknologi dengan strategi bisnis yang inovatif. Sebelum industri di China dan India tumbuh pesat dalam beberapa tahun terakhir ini, pasar produk berbasis teknologi hanya dikuasai oleh negara-negara maju seperi Amerika Serikat, Uni-Eropa dan Jepang. Mulai dari produk elektronik, otomotif, obat-obatan, makanan, dan produk lain yang mengandung teknologi selalu dipelopori dan dikuasai oleh negara-negara maju. Walaupun ada beberapa perusahaan multinasional dari negara maju yang didirikan di negara berkembang, tetapi sebagian besar teknologi intinya tetap dikuasai oleh perusahaan induk. Berdasarkan kondisi tersebut, sulit bagi perusahaan di negara berkembang untuk dapat bersaing dengan perusahaan negara maju yang sudah lebih dulu menguasai teknologi. 89
Diperlukan kerja keras dari perusahaan di negara berkembang untuk menghasilkan inovasi agar dapat bersaing dengan perusahaan di negara maju. Inovasi tersebut tidak hanya terbatas pada pengembangan produk dan teknologi yang selama ini dipahami oleh sebagian besar manajer atau pimpinan perusahaan, akan tetapi meliputi juga pengembangan pelayanan, model bisnis, perencanaan harga dan pemilihan pasar, serta praktek manajerial (MIT Sloan Management Review, 2011). Inovasi yang dilakukan oleh perusahaan maju selama ini lebih menekankan pada teknologi tinggi yang memerlukan biaya tidak rendah, sehingga sebagian besar produk yang dihasilkan ditargetkan untuk masyarakat golongan ekonomi menengah ke atas. Kondisi tersebut mendorong China dan India untuk berstrategi menarik pangsa pasar yang selama ini tidak terlalu disentuh oleh negara maju. Perusahaan di China dan India didorong untuk berinovasi menghasilkan produk dengan kualitas tinggi, tetapi dengan harga yang terjangkau oleh sebagian besar kalangan konsumen. Saat ini perusahan-perusahaan lokal di China dan India telah berhasil melakukan inovasi yang menghasilkan produk berbasis teknologi dalam bentuk lebih sederhana dan harga lebih murah dibanding produk sejenis. Dalam dunia akademisi, jenis inovasi ini dikenal dengan istilah inovasi frugal. Dalam makalah ini akan dibahas kondisi di India sebagai perbandingan untuk melihat prospek penerapan inovasi frugal di Indonesia. Perusahaan di India yang dianggap berhasil menerapkan inovasi frugal diantaranya adalah Tata Motor, Tata Chemical, Hindustan Unilever, dan beberapa perusahaan lainnya. Perusahaan tersebut telah berhasil mewujudkan inovasi yang berbiaya rendah dan lebih praktis daripada inovasi konvensional yang umumnya dilakukan oleh negara-negara maju. Tata Motor behasil memproduksi mobil yang tidak hanya harganya yang murah tetapi juga biaya operasionalnya, seperti kebutuhan bahan bakar, pemeliharaan, dan daya tahan (Ray and Ray, 2011). Pembelajaran dari budaya masyarakat khususnya di India yang menjadi target pasar, serta kolaborasi dengan pemasok bahan baku menjadi salah satu kunci sukses dari Tata Motor (Ray and Ray, 2011). Tata Chemical, salah satu produsen soda ash terbesar di dunia yang salah satu unit bisnisnya di sektor pertanian, berinovasi menghasilkan customized-fertilizer yang disesuaikan dengan jenis tanaman dan jenis tanah. Bahkan selain inovasi produk Tata Chemical juga melakuan inovasi jasa dengan mendirikan toko input di wilayah pedesaan yang menyediakan jasa konsultasi bagi petani. Untuk jasa tersebut disediakan teknisi dan fasilitas komputer (Pray and Nagarajan, 2012). Perusahaan lain yang berhasil mengembangkan inovasi untuk pasar masyarakat kelas menengah ke bawah adalah Hindustan Lever, salah satu perusahaan multinasional di bawah Unilever. Perusahaan tersebut berhasil mengembangkan produk kebutuhan sehari-hari seperti sabun, sampo, pasta gigi, dan lain-lain dengan harga murah dan berhasil mengangkat image merek produk murah tersebut dengan kepercayaan kualitas baik (Anderson and Markides, 2006). Keberhasilan perusahaan-perusahaan di India dalam menerapkan inovasi frugal, tidak hanya dipengaruhi oleh kemampuan di dalam perusahaanya tetapi juga dukungan lingkungan. Rijnsoever, et al. (2012) menyatakan salah satu faktor penggerak perilaku inovasi dalam suatu organisasi adalah perubahan lingkungannya. Faktor lingkungan yang dapat berpengaruh terhadap perilaku inovasi perusahaan di antaranya seperti kondisi sosialekonomi, politik, kebijakan pemerintah, dan lain-lain. Kondisi tersebut dapat menjadi pendukung ataupun penghambat dari penerapan inovasi perusahaan di suatu negara. Sampai saat ini belum ada studi yang membandingkan faktor-faktor pendorong inovasi frugal antara India dan Indonesia. Oleh karena itu, kajian ini akan menguraikan faktor-faktor yang mendukung penerapan inovasi frugal di India dan bagaimana prospek penerapannya di Indonesia. 1.2. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari faktor-faktor pendukung inovasi frugal di India, membandingkan faktor-fakor tersebut dengan kondisi Indonesia, dan untuk melihat prospek aplikasi inovasi frugal di negara Indonesia. Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
90
2. TINJAUAN LITERATUR 2.1. Konsep Inovasi Frugal Istilah inovasi frugal dipopulerkan oleh The Economist pada tahun 2010. Selain inovasi frugal, orang-orang juga mengenal istilah Gandhian innovation, constraint-based innovation (Tiwari dan Herstatt, 2011), resource-constrained innovation (Ray dan Ray, 2012), dan cost innovations (Williams dan van Triest, 2009; Williamson, 2010 dari Zeschky dkk., 2011). Di India, inovasi frugal dikenal dengan nama “jugaad”, sedangkan di Cina populer disebut “shanzaai”. Inovasi frugal menghasilkan produk yang memiliki cost advantage jauh lebih besar dari pada produk yang sudah ada, sebagai solusi untuk mengatasi hambatan sumber daya. Bhatti (2011) mendefinisikan inovasi frugal sebagai membangun kembali model bisnis, mengkonfigurasi kembali rantai nilai (value chains), dan mendesain kembali suatu produk agar sumber daya dapat digunakan dengan cara yang berbeda serta menciptakan lebih banyak pasar dengan menyentuh kalangan yang terhambat akses ke sumber dayanya. Menurut The Economist, inovasi frugal tidak hanya sekedar eksploitasi tenaga kerja murah, tetapi juga tentang mendesain kembali produk dan proses produksi untuk mengurangi biaya yang kurang perlu. Inovasi ini menghasilkan produk, jasa, atau proses yang penggunaan energi dan bahan mentahnya lebih efisien daripada inovasi tradisional, juga memiliki efek positif terhadap lingkungan (Gupta dan Wang, 2009 dari Bhatti dan Ventresca, 2012). Produk inovasi frugal terkesan inferior dibandingkan produk sejenis karena fungsinya yang terbatas dan seringkali terbuat dari bahan baku yang lebih sederhana dan murah (Zeschky dkk., 2011). Tetapi tidak semua produk inovasi frugal merupakan produk kelas dua. Contohnya produk ECG untuk jantung yang diproduksi oleh General Electric India yang menggunakan teknologi terbaru. Banyak juga telepon seluler murah yang menawarkan fitur permainan virtual dan internet (The Economist, 2010). Inovasi frugal memungkinkan pasar yang tidak terlayani oleh produk konvensional untuk memiliki produk-produk yang sebelumnya tidak dapat mereka jangkau. Bukan hanya karena harga yang murah, tetapi juga karena peningkatan daya beli yang diwujudkan melalui penciptaan sumber pendapatan, tabungan, atau skema pembayaran lain. Selain itu, inovasi frugal menciptakan nilai dan membawa manfaat sosial bagi pasar kalangan menengah ke bawah seperti membangun kewirausahaan lokal, pengembangan kapasitas, dan kesinambungan (Bhatti, 2012). Inovasi frugal merupakan kombinasi antara inovasi sosial dan inovasi Schumpeterian, kombinasi antara inovasi sosial dan inovasi institusional, kombinasi antara inovasi Shumpeterian dan inovasi institusional, maupun kombinasi dari ketiganya (Bhatti, 2012), seperti yang terlihat pada Gambar 1. Inovasi sosial menempatkan nilai sosial sebagai pertimbangan utama sementara inovasi Schumpeterian atau biasa diasosiasikan dengan inovasi bisnis atau teknologi, fokus pada profit. Inovasi institusional adalah perubahan bentuk, kualitas, ataupun posisi suatu institusi (Hargrave and Van de Ven, 2006 dalam Bhatti, 2012).
Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
91
Sumber: Bhatti (2012)
Gambar 7. Model Teoritis Inovasi Frugal Mobil Tata Nano yang diproduksi oleh Tata Motors di India merupakan salah satu bentuk inovasi frugal yang mengkombinasikan inovasi sosial dengan inovasi teknologi. Kendaraan ini diproduksi untuk memenuhi kebutuhan pasar menengah ke bawah yang daya belinya di bawah harga mobil-mobil biasa, namun keinginan memperoleh profit pun tetap tidak dilupakan oleh Tata Motors. Mobil ini dikenakan harga 2.200 dolar AS sementara harga produk sejenis ketika baru masuk pasar (entry level price) adalah 6.500 dolar AS. Bukan hanya harga murah yang menjadi fitur menarik kendaraan ini, tetapi juga berat yang lebih ringan dari mobil lain. Walaupun harganya murah, kualitas tetap dipertahankan oleh Tata Motors. Pengurangan biaya dilakukan melalui pendesainan kembali dan teknik perakitan (Ray dan Ray, 2011). Salah satu perubahan desain yang signifikan mengurangi biaya produksi adalah penempatan mesin di bagian belakang mobil dan di bawah kursi penumpang. Salah satu perusahaan yang berinovasi dengan mengkombinasikan inovasi insitusional dan inovasi Schumpeterian adalah Easypaisa, sebuah perusahaan di Pakistan yang merupakan gabungan dari perusahaan telekomunikasi Telenor Pakistan dan lembaga keuangan Tameer Micro Finance Bank. Easypaisa memungkinkan seluruh pelanggannya, baik yang memiliki telepon seluler maupun tidak, untuk melakukan transaksi keuangan seperti transfer, membayar tagihan, maupun berdonasi melalui telepon genggam ataupun dengan mendatangi kounter Easypaisa, Telenor Pakistan, dan Tameer Micro Finance Bank. Easypaisa melakukan inovasi pada sistem transaksi keuangan konvensional menjadi dapat dilakukan di mana saja, tidak hanya bank atau kantor pos. Grameen Bank yang dirintis oleh Muhamad Yunus di Bangladesh populer dengan inovasi sosial dan inovasi institusionalnya. Yunus menciptakan skema peminjaman uang yang berbeda dari bank, di mana tidak dibutuhkan jaminan dan tidak dikenakan bunga. Dalam membangun Grameen Bank, motif sosial Yunus sangat kuat dan dia tidak mengambil profit dari transaksi ini. Satu contoh inovasi frugal yang mengkombinasikan ketiga jenis inovasi, yaitu inovasi sosial, inovasi teknologi, dan inovasi institusional, adalah Rickshaw Bank di India. Rickshaw Bank membantu pengendara rickshaw (sejenis becak) untuk memiliki rickshaw-nya sendiri Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
92
dengan skema pembiayaan tertentu. Inovasi teknologi yang dilakukan adalah mendesain kembali kendaraan tersebut; inovasi sosial termasuk di dalamnya karena motifnya adalah menolong para imigran di area pedesaan untuk memiliki rickshaw sebagai properti pribadi, dan inovasi institusional digunakan untuk memberikan lisensi atau hak kepemilikan rickshaw kepada para pengendara sehingga mereka menjadi pelaku ekonomi formal (Bhatti, 2012). Dari ketiga contoh di atas, tampak bahwa inovasi frugal bukan sekedar biaya murah, tetapi juga menawarkan kepraktisan dan kesederhanaan tanpa mengurangi fungsi produk yang sudah ada sebelumnya. Selain itu, inovasi frugal juga memungkinkan masyarakat menengah ke bawah untuk ikut menikmati jenis produk berteknologi yang selama ini kebanyakan hanya dapat dikonsumsi oleh kalangan menengah ke atas. 2.2. Faktor-faktor yang Mendorong Inovasi Frugal Inovasi frugal telah sukses dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di India. Banyak faktor yang mendorong mereka mendobrak pakem-pakem tradisional dan mengabaikan aturan konservatif yang dianggap justru merugikan sebagian kalangan masyarakat. Penulis merangkum penelitian-penelitian yang mempelajari praktek inovasi frugal di India dari Singh dkk. (2012), Tiwari dan Hershtatt (2011), serta Bound dan Thornton (2012). 2.2.1. Singh dkk. (2012) Singh dkk. (2012) mengulas praktek inovasi frugal di India dan hal-hal yang dapat dipelajari dari pengalaman para perusahaan pelaku. Entrepreneurship atau kewirausahaan merupakan karakter dasar yang melandasi inisiatif pelaku untuk melakukan inovasi frugal. Ketika menghadapi suatu kendala, seorang entrepreneur akan mencari cara untuk mengatasinya dan saat itulah ia melakukan inovasi. Seorang entrepreneur juga tidak pernah berhenti untuk mengeksplorasi ide-ide baru agar usahanya tetap berjalan dan produknya tetap memiliki daya saing. Sangat penting bagi perusahaan untuk mencapai kondisi economies of scale dalam melakukan inovasi frugal. Economies of scale adalah faktor yang menyebabkan biaya ratarata produksi berkurang seiring dengan peningkatan volume output. Selain itu, pelaku usaha di India cerdas dalam memanfaatkan sumber daya manusia. Keterbatasan tenaga kerja terdidik tidak menghalangi mereka dalam mendapatkan pegawai handal. Perusahaanperusahaan yang kebanyakan beroperasi di daerah pedesaan itu tidak ragu untuk merekrut penduduk lokal dan menginvestasikan dananya untuk memberikan in-house training. Tingkat upah yang harus dibayar lebih rendah daripada upah untuk membayar lulusan universitas, namun berkat training yang kontinu, keterampilan yang dimiliki oleh pegawai tetap sesuai ekspektasi. Economies of scale dan pemanfaatan sumber daya manusia tersebut menunjukkan efisiensi dalam proses produksi. Mayoritas perusahaan India yang berinovasi frugal merupakan perusahaan yang berbasis teknologi, seperti Tata Motors, Husk Power System, Vortex Engineering, dan Shantha Biotech. Berawal dari penelitian bertahun-tahun, perusahaan-perusahaan ini pada akhirnya dapat menghasilkan produk inovatif seperti mobil Tata Nano, mesin pembangkit listrik tenaga sekam, mesin ATM rendah panas dan hemat listrik, dan vaksin hepatitis-B murah. Untuk menghasilkan produk-produk tersebut, tentunya dibutuhkan inovasi teknologi yang berintensitas tinggi. Berkaitan dengan pasar, perusahaan-perusahaan di India memiliki dua strategi, yaitu mengadopsi sistem franchise dan mengidentifikasi target pasar dengan jeli. Keterbatasan modal yang lazimnya dihadapi oleh perusahaan kecil membuat mereka sulit untuk membuka cabang. Dengan franchise, masalah finansial dapat teratasi dan tujuan memperluas area operasional tercapai. Fokus pada target pasar yang sesuai membuat produsen dapat berkonsentrasi memproduksi produk yang fungsinya benar-benar dibutuhkan oleh pelanggan kalangan tertentu. Hal ini berperan dalam meminimumkan biaya produksi. Untuk memaksimumkan pendapatan, beberapa perusahaan menetapkan tiered pricing atau subsidi silang, yaitu penetapan harga yang berbeda atas produk yang sama untuk tiap kategori pelanggan yang berbeda. Strategi tiered pricing umumnya digunakan oleh maskapai Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
93
penerbangan, di mana harga tiket penerbangan berbeda untuk kelas ekonomi dan bisnis. Strategi yang sama diterapkan oleh inovator frugal (umumnya perusahaan jasa) dengan menetapkan harga rendah bagi pelanggan dengan kemampuan ekonomi lemah dan harga lebih tinggi bagi pelanggan dengan kemampuan ekonomi lebih kuat. Ada kalanya kondisi ekonomi kurang bersahabat bagi perusahaan-perusahaan, terutama yang sedikit mengambil profit. Demi melayani masyarakat menengah ke bawah secara kontinu, strategi yang harus ditempuh adalah dengan mencari alternatif sumber pendapatan lain agar perusahaan tetap berjalan di tengah-tengah masa keterpurukan. 2.2.2. Tiwari dan Hershtatt (2011) India dapat dikatakan sebagai pemimpin pasar karena inovasinya di berbagai bidang, terutama teknologi. Hal ini menarik Tiwari dan Hershtatt (2011) untuk mempelajari kondisi perusahaan-perusahaan India yang telah berhasil mempraktekkan inovasi frugal. Salah satu keunggulan kompetitif India adalah pasar yang luas dengan populasi usia muda yang tinggi. Kategori pasar ini merupakan sasaran tepat bagi produk gadget berteknologi tinggi namun dengan harga moderat. Ditemukan bahwa produk-produk yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan ini sedari awal ditargetkan untuk memenuhi kebutuhan, preferensi, dan selera masyarakat lokal. Pada umumnya, produk-produk tersebut didesain agar dapat beradaptasi dengan masalah keterbatasan infrastruktur seperti voltase listrik yang berfluktuasi, mudah digunakan oleh masyarakat tuna aksara, dan terjangkau oleh mayoritas masyarakat lokal agar perusahaan pun dapat mencapai titik economies of scale. Walaupun berorientasi lokal, perusahaan-perusahaan inovatif ini juga membangun kemitraan dengan supplier asing. Kemitraan ini merupakan salah satu strategi untuk mengefektifkan biaya produksi. Contohnya Tata Motors dengan Bosch, perusahaan Jerman. Keterbukaan terhadap perusahaan penanaman modal asing (PMA) juga berperan dalam meningkatkan intensitas inovasi frugal di India. Beberapa anak perusahaan asing yang telah menghasilkan produk inovatif frugal misalnya Hindustan Unilever Ltd. dengan pemurni air “Pureit”, General Electric dengan mesin electrocardiogram (ECG) portable “Mac 400”, dan Godrej & Boyce dengan produk kulkas berbaterai kecil “Chhotu Kool”. Keberhasilan inovasi frugal di India pun tidak lepas dari peran pemerintah. Pemerintah mendukung aktivitas inovasi dan kapabilitas penelitian dan pengembangan (litbang) serta fokus pada segmen produk tertentu agar perusahaan-perusahaan India dapat menjadi pemimpin pasar di sektor yang ditargetkan. Contoh program pemerintah India adalah mengurangi pajak kendaraan bermotor agar kepemilikan mobil dan kendaraan roda dua meningkat. Dengan meningkatnya omset, akan menciptakan kondisi economies of scale dan economies of scope bagi perusahaan produsen kendaraan bermotor sehingga daya saing mereka di pasar global akan berkembang. 2.2.3. Bound dan Thornton (2012) Bound dan Thornton (2012) mengobservasi perusahaan, industri, dan kebijakan yang terkait inovasi frugal di India. Hasil observasinya menunjukkan bahwa India memiliki dan memelihara budaya “jugaad”, yaitu “mengatasi kendala berat dengan menemukan solusi efektif dan menggunakan sumberdaya terbatas”. Masyarakat India dengan segala keterbatasannya sudah terbiasa berimprovisasi “menciptakan” produk yang mereka butuhkan dengan bahan dan peralatan seadanya. Contohnya merakit mesin diesel ke gerobak untuk membuat truk mini dan membuat sistem irigasi dengan mesin motor. Kelompok masyarakat golongan menengah (middle class society) India berperan besar sebagai pasar domestik produk inovasi frugal. Walaupun daya beli individunya masih rendah, daya beli keseluruhan pasar golongan menengah jika ditotalkan sangat tinggi. Mengutip analisa Rama Bijapurkar, total daya beli golongan menengah mencapai 65 persen dari daya beli golongan pendapatan paling tinggi. Selain jumlah yang besar, konsumen India juga sangat sensitif dengan perubahan harga. Jika terjadi sedikit saja kenaikan harga, Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
94
pelanggan akan cepat berpaling ke produk lain yang lebih murah. Hal ini menuntut produsen untuk harus selalu bereksperimen, menjaga agar jumlah permintaan tidak berubah. Adanya ketimpangan dalam mengakses pelayanan publik menyebabkan permintaan akan pelayanan kesehatan, pendidikan, dan energi yang murah sangat tinggi. Masyarakat golongan ekonomi lemah, terutama yang tinggal di pedesaan India, sulit mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak, pendidikan yang murah, bahkan beberapa di antaranya sama sekali tidak dapat mengakses jaringan listrik. Kondisi memprihatinkan ini menggerakkan sejumlah golongan masyarakat yang peduli akan nasib kaum terpinggirkan untuk berinovasi agar dapat menyediakan pelayanan di ketiga sektor tersebut dengan biaya rendah tanpa mengabaikan kualitas. Dukungan dari pemerintah juga ikut berperan, walaupun kecil, dalam mendorong inovasi frugal di India. Pemerintah India merencanakan investasi 20 juta dollar AS untuk “dana inovasi inklusif”, untuk menarik perhatian investor privat maupun institusional. Perusahaanperusahaan sosial di India juga mendapatkan sumber dana dari perusahaan modal ventura sosial yang khusus menghimpun dana untuk mendukung kegiatan inovasi frugal di bidang sosial. Selain itu, pemerintah juga melakukan pendekatan baru untuk platform inovasi teknologi, konektivitas, dan kolaborasi (melalui Komisi Inovasi Nasional), yaitu kebijakan inovasi inklusif sehingga menurut salah satu Direktur USAID, kini India menjadi “laboratorium pengembangan inovasi”. Kunci keberhasilan program ini adalah kesadaran pemerintah akan pentingnya lembaga non pemerintah yang disebut “Aadhar” dalam mendukung inovasi. Tak dapat dipungkiri bahwa lembaga-lembaga non pemerintah ini mengisi kekosongan peran pemerintah dalam menyediakan produk atau jasa publik bagi masyarakat golongan menengah ke bawah. 3. DATA DAN METODOLOGI Studi ini menggunakan data sekunder, antara lain bersumber dari Global Entrepreneurship Monitor, Global Innovation Index, World Development Indicator, International Patent Organization, dan literatur-literatur yang telah disebutkan pada bagian 2. Metodologi yang digunakan metode kualitatif. Analisis deskriptif digunakan untuk menjabarkan faktor-faktor pendorong inovasi frugal di India dan analisis komparatif dipakai untuk membandingkan kondisi yang mendorong inovasi frugal di negara India dan Indonesia. 4. PEMBAHASAN India, negara berpopulasi lebih dari 1,2 milyar jiwa (World Development Indicator, 2011), bersama Brazil, Rusia, dan Cina, disebut sebagai negara berkembang yang kini berada dalam transisi menuju negara maju dari sisi perekonomian. Seperti terlihat pada Gambar 2, sejak tahun 2003-2011 India mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat, di atas Brazil, Rusia, dan Indonesia, walaupun masih kalah dari Cina. Pada tahun 2005, 2006, dan 2010, pertumbuhan ekonomi India nyaris mencapai 10 persen. Pertumbuhan ini sebagian besar didukung oleh industri manufaktur dan jasa, seperti industri otomotif, tekstil, dan teknologi informasi. Kontribusi India terhadap perekonomian dunia tidak dapat dipandang sebelah mata. Seperti yang dapat dilihat pada Gambar 3, pada tahun 2001, nilai ekspor India, Brazil, dan Indonesia berada pada posisi yang sama, yaitu sekitar 60-70 milyar dolar AS. Mulai tahun 2004, pertumbuhan nilai ekspor India naik dengan pesat, kecuali pada tahun 2009 ketika terjadi krisis keuangan global. Selepas tahun 2009, nilai ekspor India bahkan dapat melampaui Rusia dan semakin jauh meninggalkan Brazil serta Indonesia. Kemajuan perekonomian yang dialami India ini tidak lepas dari peran inovasi frugal. Tidak hanya memenuhi kebutuhan domestik, perusahaan-perusahaan India tersebut juga berhasil memasuki pasar internasional, baik negara maju maupun negara berkembang.
Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
95
Sumber: World Development Indicator (2012)
Gambar 8. Perkembangan PDB Negara BRIC dan Indonesia 2001-2011
Sumber: World Development Indicator (2012)
Gambar 9. Perkembangan Nilai Ekspor (2000=100) Negara BRI dan Indonesia Tahun 2001-2011 Ketika menyebut istilah “inovasi frugal”, publik sering mengasosiasikannya dengan Tata Nano sebagai salah satu produk frugal. Di India, inovasi frugal tidak hanya monopoli industri otomotif atau industri teknologi tinggi lainnya, tetapi juga pelayanan kesehatan, energi dan jasa keuangan. Selain Tata Motors seperti yang sudah disebutkan pada bagian awal studi ini, perusahaan-perusahaan India yang mempraktekkan inovasi frugal antara lain Aravind Eye Hospital- rumah sakit khusus mata, Narayana Hrudayalaya- rumah sakit bedah jantung, The Sammaan Foundation- lembaga yang menyediakan pinjaman untuk penarik rickshaw, dan Husk Power System- penyedia listrik tenaga sekam.
Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
96
Sumber: Bound dan Thornton (2012)
Gambar 10. Perusahaan-Perusahaan yang Melakukan Inovasi Frugal di India Efisiensi yang berhasil dilakukan oleh perusahaan-perusahaan India melalui inovasi frugal ditunjukkan oleh Gambar 4. Produk Tata Nano berhasil diproduksi melalui biaya inovasi yang efisien dan dijual dengan harga dua per tiga lebih murah dari pada mobil lain. Satu produk yang melakukan efisiensi baik pada proses inovasi maupun biaya produknya adalah OSDD. OSDD atau Open Source Drug Discovery merupakan sebuah platform pelayanan kesehatan yang dibuat oleh CSIR (Council of Scientific and Industrial Research) bekerja sama dengan mitra-mitra internasional. Melalui OSDD, seluruh ilmuwan, dokter, teknokrat, maupun pelajar di seluruh dunia dapat berkontribusi menemukan obat untuk suatu penyakit seperti malaria dan tuberkulosis. Hal ini tentunya menghemat biaya dibandingkan jika hanya satu lembaga penelitian melakukan sendiri seluruh rangkaian penelitiannya. Pada akhirnya, harga obat yang ditemukan akan lebih murah dan terjangkau oleh semua orang. Aravind Eye Care System melayani operasi mata dengan harga lebih murah 1/100 dari harga normal. Dalam 12 jam, seorang dokter dapat melakukan 100 operasi atau 10 kali lipat lebih banyak dari biasanya. Hal ini dapat dilakukan karena dua pasien dapat berada di dalam satu ruangan operasi di mana satu pasien dioperasi dan yang lain dipersiapkan untuk operasi. Selain itu, satu mikroskop dapat digunakan untuk dua pasien sekaligus sehingga menghemat peralatan. Jumlah operasi yang luar biasa banyak ini sangat menghemat biaya operasi dan Aravind Eye Hospital dapat mencapai kondisi economies of scale. Berdasarkan tinjauan literatur, faktor-faktor yang mendorong terjadinya inovasi frugal di India adalah: 1) Karakter entrepreneurship yang mendorong pelaku usaha India menghasilkan ide-ide baru untuk mengatasi hambatan. Selain itu, masyarakat India tumbuh dengan budaya “jugaad” yang kuat. 2) Perusahaan-perusahaan di India sudah memiliki basis inovasi teknologi yang kuat. 3) India memiliki pasar domestik yang besar, populasi usia produktif yang tinggi, dan golongan menengah yang berpotensi besar. 4) India sangat terbuka dengan perusahaan PMA dan perusahaan-perusahaan lokal memiliki interaksi yang baik dengan mitra perusahaan asing. Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
97
5) Kebijakan pemerintah India mendukung perusahaan-perusahaan yang berinovasi. Selanjutnya dalam studi ini akan dibandingkan kondisi antara India dan Indonesia berdasarkan faktor-faktor di atas. 4.1. Entrepreneurship dan Budaya “Jugaad” Aktivitas inovasi tidak dapat dilepaskan dari entrepreneurship karena syarat untuk menjadi seorang entrepreneur adalah selalu menciptakan ide baru dan berani mendobrak konsep-konsep tradisional agar tetap memiliki daya saing. Atribut entrepreneurship seperti kepemimpinan dan insting bisnis sangat penting dalam praktek inovasi frugal. Seperti yang dinyatakan oleh Faustino (2006), entrepreneurship menjadi bagian penting dalam menciptakan aktivitas-aktivitas, produk-produk baru, maupun tumbuhnya value added dari sebuah aktivitas produksi. Para pelaku inovasi frugal di India hampir 100 persen adalah seorang entrepreneur. Mereka tidak sekedar mengoperasikan usaha untuk memperoleh profit, tetapi juga untuk memberikan pelayanan bagi konsumen yang selama ini tidak tersentuh oleh produk-produk yang sudah eksis lebih dulu. Berdasarkan data dari Global Entrepreneurship Monitor, pada tahun 2006 terdapat 5,6 persen dari total populasi usia 18-64 tahun yang memiliki atau mengelola bisnis berusia lebih dari 42 bulan di India. Sedangkan di tahun yang sama di Indonesia, terdapat 18 persen dari populasi usia produktif yang memiliki atau mengelola usaha berusia lebih dari 42 bulan. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia juga memiliki jiwa entrepreneurship, bahkan lebih banyak daripada India. Namun terdapat perbedaan karakteristik entrepreneurship di India dan Indonesia. Usaha-usaha di India lebih banyak berbasis pengetahuan dan litbang (Bound dan Thornton, 2012), sedangkan di Indonesia lebih banyak berbasis perdagangan. Masyarakat India yang akrab dengan kemiskinan juga akrab dengan budaya jugaad. Keadaan yang serba terbatas memaksa mereka untuk kreatif berinovasi menggunakan sumberdaya yang ada untuk memenuhi kebutuhan mereka. Contoh hasil jugaad yang terkenal di India adalah kendaraan rakitan yang menggunakan mesin alat pertanian. Badan kendaraan berasal dari lempengan besi-besi bekas serta papan-papan kayu dan ban kendaraan menggunakan ban bekas. Kendaraan rakitan ini merupakan hasil dari lemahnya pelayanan transportasi publik di pedesaan India. Sebenarnya budaya jugaad juga akrab dengan masyarakat Indonesia. Contohnya rakit yang terbuat dari gelondongan kayu dan diikat seadanya untuk digunakan menyusuri atau menyeberang sungai karena tidak tersedia jembatan. Contoh dalam bentuk lain adalah menggunakan spare part merk Cina untuk motor merk Jepang karena harga spare part merk Cina lebih murah. 4.2. Basis Inovasi Teknologi Pada satu dekade terakhir, perekonomian India melesat karena kemajuan industri yang berbasis teknologi, seperti industri komunikasi dan teknologi informasi serta industri otomotif. Hal tersebut terbukti dari nilai ekspor produk manufaktur India yang sebagian besar merupakan produk engineering seperti alat transportasi, mesin dan peralatan industri, barang dari logam dan produk elektronik. Ekspor produk dari sektor enginnering dan elektronik India meningkat tajam dalam tiga tahun terakhir. Total nilai ekspor produk engineering dan elektronik india pada periode 2010-2011 mencapai US$ 67,53 Miliar meningkat sekitar 80% dari tiga tahun sebelumnya (2007-2008) yang baru mencapai US$ 37,07 Milyar. Nilai ekspor dari sektor tersebut pada periode 20102011 menyumbang sekitar 44,7% dari total ekspor industri manufaktur, meningkat dari tiga tahun sebelumnya (2007-2008) yang mencapai 26.5%. Sementara itu untuk ekspor produk manufaktur dengan intensitas teknologi rendah seperti produk karpet, kerajinan tangan, dan produk kulit pada periode 2010-2011 hanya mencapai 3.6% dari total ekspor industri manufaktur India, menurun dari tiga tahun sebelumya yang mencapai 14.2% (Ministry of Commerce and Industry of India, 2012). Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
98
Di Indonesia, belum tampak tanda-tanda kemajuan industri yang berbasis teknologi. Rata-rata industri berbasis teknologi yang berukuran menengah dan besar merupakan anak perusahaan asing, sedangkan industri berbasis teknologi yang lokal rata-rata berukuran mikro atau kecil. Gambar 5 menunjukkan komposisi output industri manufaktur di Indonesia berdasarkan intensitas teknologinya. Industri manufaktur dengan intensitas teknologi rendah masih mendominasi komposisi output yang dihasilkan oleh seluruh industri manufaktur, yaitu 53 persen. Sedangkan industri manufaktur dengan intensitas teknologi tinggi hanya berkontribusi sebesar 5 persen dalam komposisi output. Artinya basis teknologi industri manufaktur di Indonesia belum kuat karena masih didominasi oleh industri berteknologi rendah.
Sumber: Indikator Iptek Indonesia, PAPPIPTEK LIPI (2009)
Gambar 11. Komposisi Output Industri Manufaktur Menurut Intensitas Teknologi Berdasarkan Global Innovation Index, India menduduki rangking 62 dalam indeks inovasi, sedangkan Indonesia hanya menduduki rangking 99. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia masih tertinggal dalam inovasi dibandingkan India. Jumlah paten India yang didaftarkan di berbagai negara pun jauh lebih banyak daripada Indonesia. Pada tahun 2010, India telah mendaftarkan 5.720 paten di 39 negara, antara lain Amerika Serikat (3.789 paten), Kantor Paten Eropa (423 paten), Cina (168 paten), dan Jepang (162 paten). Sedangkan pada tahun yang sama Indonesia hanya mendaftarkan 53 paten di 14 negara, antara lain Amerika Serikat (23 paten), Kantor Paten Eropa (9 paten), dan Cina (6 paten) (International Patent Organization, 2012). 4.3. Pasar Domestik dan Penduduk Miskin India merupakan negara dengan populasi terbanyak kedua di dunia setelah Cina, dengan jumlah penduduk sebanyak 1.241.491.960 jiwa pada tahun 2011. Jumlah penduduk yang sangat besar ini merupakan pasar domestik yang potensial bagi industri India. Penduduk miskin (penghasilan kurang dari 2 dolar AS per hari) merupakan golongan mayoritas di India dengan komposisi 68,7 persen dari populasi pada tahun 2010. Persentase penduduk golongan ekonomi lemah yang dominan ini menyebabkan kebutuhan produk dan pelayanan publik yang terjangkau sangat tinggi. Kondisi inilah yang menstimulasi munculnya aktivitas inovasi frugal oleh perusahaan-perusahaan India. Indonesia dengan luas wilayah 1.904.569 km2 memiliki penduduk sejumlah 242.325.638 jiwa, hampir 20 persen jumlah penduduk India, juga memiliki potensi pasar domestik yang sungguh besar. Persentase penduduk dengan pendapatan di bawah 2 dolar AS per hari sebesar 46,1 persen. Jumlah ini tidak sebesar persentase di India, namun masih Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
99
mendominasi populasi Indonesia. Kelompok masyarakat ini masih sulit mendapatkan pelayanan kesehatan, pendidikan, transportasi dan energi yang layak serta terjangkau, baik masyarakat yang tinggal di perkotaan maupun pedesaan. Hanya 64,1 persen penduduk yang memiliki akses terhadap listrik dan 67 persen yang mampu meneruskan sekolah ke jenjang pendidikan menengah. Pelayanan kesehatan publik pun masih terkendala biaya dan tenaga medis, terutama di daerah pelosok desa. 4.4. Keterbukaan terhadap Perusahaan PMA dan Interaksi dengan Mitra Asing Inovasi frugal yang bertujuan memberdayakan kearifan lokal bukan berarti mengharamkan keterlibatan pihak asing. Perusahaan-perusahaan yang melakukan inovasi frugal di India tidak hanya perusahaan lokal, tetapi juga perusahaan PMA. Beberapa perusahaan lokal juga menjalin kemitraan dengan perusahaan luar negeri untuk melakukan efisiensi biaya. Pada tahun 2010, jumlah PMA yang mengalir ke India sebesar 24 miliar dolar AS (World Development Indicator, 2012). Perusahaan PMA yang menghasilkan produk frugal antara lain Hindustan Unilever, Ltd. (pemurni air Pureit), General Electric (electric cardiogram portable), dan Bajaj Allianz (asuransi mikro). India menyadari bahwa perusahaan asing melihat populasi yang tinggi di negaranya sebagai pasar potensial. Oleh karena itu, mereka memanfaatkan peluang dengan membuka pintu selebar-lebarnya bagi investor asing. Indonesia menerima aliran dana PMA sejumlah 13 miliar dolar AS pada tahun 2010 (World Development Indicator, 2012). Jumlah ini masih setengah dari jumlah dana PMA yang diterima oleh India. Sektor industri yang banyak diminati oleh perusahaan PMA adalah pengangkutan, gudang, dan komunikasi dengan realisasi investasi 19,37 miliar dolar AS dalam kurun waktu tahun 2002-2008, diikuti oleh industri kimia dasar, barang kimia, dan farmasi (5,08 miliar dolar AS); serta industri logam dasar, barang logam, mesin, dan elektronika (4,57 miliar dolar AS) (Pappiptek-LIPI, 2009). 4.5. Dukungan Pemerintah Hingga saat ini, baik di India maupun Indonesia, belum ada kebijakan yang secaar spesifik mendukung inovasi frugal. Namun kebijakan inovasi secara umum ikut mendorong berjalannya inovasi frugal di India. Kegiatan inovasi frugal di India diawali oleh inisiatif individu-individu yang peduli dengan kebutuhan masyarakat golongan menengah ke bawah. Pemerintah ikut memberikan kontribusi secara tidak langsung melalui kebijakankebijakannya yang mendukung inovasi dan kegiatan litbang yang kondusif. Programprogram yang dijalankan oleh pemerintah India untuk mendukung inovasi adalah e-NMITLI (New Millennium India Technology Leadership Initiative), TePP (Techno-Entrepreneurs Promotion Program), the National Innovation Foundation, TDB (Technology Development Board), dan HGT (Home Grown Technology Program). Pemerintah juga menjalin kemitraan dengan 22 persen perusahaan manufaktur besar dan 8 persen perusahaan manufaktur kecil-menengah (National Knowledge Commission, 2007). Pemerintah India juga melindungi industri lokal, salah satunya dengan keringanan pajak bagi industri kendaraan bermotor agar permintaan terhadap produk kendaraan bermotor lokal meningkat. Selain membuka peluang bagi perusahaan PMA untuk berinvestasi, pemerintah pun tidak lupa untuk memperkuat industri lokal agar tidak tergerus oleh perusahaan asing. Pemerintah Indonesia juga memiliki kebijakan-kebijakan untuk mendukung inovasi, yang terbaru tertuang dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indoneisa (MP3EI) 2011-2025. Dalam masterplan tersebut dijelaskan bahwa kemampuan ekonomi Indonesia akan ditingkatkan secara bertahap dari berbasis sumber daya alam menjadi berbasis inovasi dengan peningkatan sumberdaya manusia. Untuk mencapai tujuan tersebut disusun usulan inisiatif inovasi sebagai pendorong utama terjadinya proses transformasi sistem ekonomi berbasis inovasi melalui penguatan sistem pendidikan (human capital) dan kesiapan teknologi (technological readiness) (MP3EI 2011-2015). Inisiatif inovasi tersebut dikenal dengan istilah 1-747 yang dapat dilihat pada Gambar 6. Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
100
Sumber: MP3EI 2011-2025
Gambar 12. Inisiatif Inovasi 1-747 4.6. Prospek Inovasi Frugal di Indonesia Setelah membandingkan beberapa faktor yang dipandang mendorong inovasi frugal di India dan Indonesia, inovasi frugal sangat prospektif untuk diterapkan di Indonesia. Indonesia memiliki entrepreneur-entrepreneur baik pemula maupun yang sudah lama berkecimpung di dunia usaha, dan penduduk Indonesia memiliki kreativitas untuk memenuhi kebutuhannya sendiri di luar cara konvensional. Indonesia memiliki pasar domestik yang luas serta jumlah populasi golongan menengah ke bawah yang masih dominan, artinya permintaan akan produk inovasi frugal sangat luas. Walaupun Indonesia tidak seatraktif India dalam menarik investor asing, trend aliran dana PMA menunjukkan pergerakan positif setiap tahunnya. Pada tahun 2007, Indonesia menerima investasi asing senilai 6 miliar dolar AS sedangkan pada tahun 2011 nilainya meningkat menjadi 18 miliar dolar AS. Jika iklim investasi asing yang sehat tetap dipelihara, akan semakin banyak aliran dana PMA yang masuk ke Indonesia. Namun sebelum membuka pintu lebih lebar bagi investor asing, kekuatan industri lokal harus lebih dulu dibangun. Pekerjaan berat yang masih harus ditempuh oleh Indonesia adalah meningkatkan aktivitas inovasi dan mengembangkan industri berbasis teknologi. Kedua faktor ini sangat vital dalam mewujudkan inovasi frugal. Hal ini tentunya perlu didukung oleh kebijakan pemerintah dalam menciptakan iklim kondusif bagi industri lokal untuk berinovasi dan mengembangkan teknologi. Dalam mendorong inovasi dan pengembangan teknologi, Indonesia telah memiliki kebijakan yang tertuang dalam MP3EI. Upaya peningkatan inovasi dimulai dari penelitian dan pengembangan sampai pada percepatan pertumbuhan industri. Pekerjaan selanjutnya adalah bagaimana realisasi kebijakan tersebut dapat diimplementasikan dengan baik. Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah penguatan linkage antara pengembangan iptek di litbang dengan penerapannya di industri. Sampai saat ini sinergi antara litbang dengan industri masih belum maksimal. Oleh karena itu diperlukan mediator yang dapat menghubungkan antara kebutuhan industri dengan pengembangan iptek dan didukung oleh kebijakan pemerintah. Selain antara industri dan litbang, diperlukan juga kondisi yang saling mendukung diantara industri sendiri. Salah satu faktor keberhasilan inovasi frugal yang dilakukan perusahaan-perusahaan di India adalah terbentuknya sistem rantai pasok dari hulu sampai hilir. Dalam memproduksi suatu produk inovatif dibutuhkan bahan baku yang spesifik dengan jaminan kualitas dan kontinyuitas. Oleh karena itu, diperlukan ketersediaan pemasok-pemasok yang menguasai teknologi dan dapat bekerjasama untuk menjamin pasokan. Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
101
5. KESIMPULAN Berdasarkan literatur-literatur yang mendasari studi ini, inovasi frugal di India didorong oleh entrepreneurship dan budaya jugaad, industri berbasis teknologi dan inovasi, pasar domestik yang luas, populasi berpendapatan menengah ke bawah yang dominan, keterbukaan terhadap perusahaan PMA, dan dukungan pemerintah. India dan Indonesia memiliki kesamaan dalam hal entrepreneurship, populasi yang tinggi, dan dominasi jumlah masyarakat golongan menengah ke bawah. Namun Indonesia masih perlu waktu untuk mewujudkan industri berbasis teknologi dan inovasi sebagai tonggak perekonomian dan mengundang lebih banyak investor asing. Hal yang juga masih perlu dikembangkan di Indonesia adalah implementasi kebijakan pemerintah mengenai inovasi dan industri berbasis teknologi. Belajar dari India, kunci sukses inovasi frugal adalah menemukan target pasar (niche). Perusahaan harus jeli melihat kebutuhan konsumen yang selama ini tidak tersentuh oleh produk konvensional ataupun pelayanan publik. Selain itu, pemerintah Indonesia perlu memfokuskan industri berbasis teknologi yang akan menjadi spesialisasi negara ini, seperti teknologi informasi dan otomotif yang menjadi spesialisasi India. Walaupun linkage antara akademisi dan industri di India juga belum kuat, namun hubungan pemerintah dan industri sudah terjalin cukup baik. Hal ini secara signifikan mendukung aktivitas inovasi frugal di India. Pemerintah Indonesia perlu memperkuat hubungan dengan industri agar inovasi frugal dapat diimplementasikan dengan baik di negara ini.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Purnama Alamsyah dan Ibu Dini Oktaviyanti yang telah memberikan kritik dan masukan untuk perbaikan makalah ini.
PUSTAKA Anonim. 2010. First break all rules: the charms of frugal innovation. Diakses tanggal 28 Agustus 2012, dari The Economist: http://www.economist.com/node/15879359 Bhatti, Y. 2012. What is frugal, what is innovation? Towards a theory of frugal innovation. Working Paper. Bhatti, Y., & Ventresca, M. 2011. The emerging market for frugal innovation: fad, fashion, or fit? Working Paper. Bound, Kirsten; Thornton, Ian;. 2012. Our frugal future: lessons from india's innovation system. London: Nesta Operating Company. Global Entrepreneurship Monitor, http://www.gemconsortium.org/key-indicators diakses tanggal 4 September 2012 Global Entrepreneurship Monitor, http://www.gemconsortium.org/key-indicators diakses tanggal 4 September 2012 Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2011. Masterplan Perluasan dan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian MIT Sloan Management Review, 2011. Top 10 Lessons on The New Business of Innovation. MIT Sloan Management Review. Ministry of Commerce and Industry, Departement of Commerce, 2012. Report of The Working Group on Boosting Indias Manufacturing Exports: Twelfth Five Years Plan (2012-2017). Ministry of Commerce and Industry, Departement of Commerce. Pappiptek-LIPI, . 2009. Indikator Iptek Indonesia 2009. Jakarta: LIPI Press. National Knowledge Commission. 2007. Innovation in India. New Delhi: National Knowledge Commission. Pray, C. E., & L. Nagarajan, 2012. Innovation and Research by Private Agribusiness in India. International Food Policy Research Institute. Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
102
Ray, S., & Ray, P. K. 2011. Product innovation for the people's car in an emerging economy. Technovation , 216-227. Rijnsoever, F. J. V., M. T. H. Meeus., A. R. T. Donders, 2012. The Effect of Economic Status and Recent Experience on Innovative Behaviour Under Environmental Variability: An Experimental Approach. Research Policy 41 (2012): 833-847. Sharma, Arun; Iyer, Gopalkrishnan R.;. 2012. Resource-constrained product development: Implications for green marketing and green supply chains. Industrial Marketing Management , 599-608. Singh, Shalabh Kumar; Sotiropoulos, Alexis; Gambhir, Ashish;. 2012 Frugal innovation: learning from social entrepreneurs in India. The Serco Institute. Tiwari, Rajnish; Herstatt, Cornelius;. 2011. Role of "lead market" factors in globalization of innovation: emerging evidence from India & its implications. Working Paper no. 64/Technologie- und Innovationsmanagement . United Nations, 2012. World Economic Situation and Prospects. United Nations Publication World Bank, http://data.worldbank.org/indicator/SI.POV.2DAY diakses tanggal 4 September 2012 World Bank, http://data.worldbank.org/indicator/BX.KLT.DINV.CD.WD/countries diakses tanggal 4 September 2012 World Bank, http://data.worldbank.org/indicator/SP.POP.TOTL diakses tanggal 4 September 2012 World Intellectual Property Organization http://www.wipo.int/ipstats/en/statistics/patents/ diakses tanggal 4 September 2012 Zeschky, Marco; Widenmayer, Bastian; Gassmann, Oliver;. 2011. Frugal innovation in emerging markets. Research Technology Management , 38-45.
Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
103
IMPLEMENTASI PROGRAM KRENOVA PEMERINTAH KOTA MAGELANG TAHUN 2012 (STUDI PADA TIGA PRODUK UNGGULAN KOTA MAGELANG KATEGORI KREATIF-INOVATIF-APLIKATIF DENGAN BIAYA KOMPETITIF) 1
2
Anugerah Yuka Asmara dan Andjar Prasetyo Pusat Penelitian Perkembangan Iptek-LIPI Jakarta 2 Kantor Litbang dan Statistik Kota Magelang 1 2 Email:
[email protected];
[email protected] 1
ABSTRAK Di tahun 2012, Pemerintah Kota Magelang telah mengembangkan sejumlah produk unggulan nonmakanan, tiga diantaranya berkategori kreatif-inovatif-aplikatif dengan biaya kompetitif. Ketiga produk tersebut ialah 1) Mesin pembelah tahu, 2) Sludge substitusi bahan paving block, dan 3) Pupuk cair Bio Qita. Produk pertama dan kedua telah mendapat paten dari Direktorat Jenderal HAKI Kementerian Hukum dan HAM, sementara produk ketiga masih dalam proses pengajuan paten. Ketiga produk tersebut dihasilkan dengan biaya terjangkau oleh penemunya, warga Kota Magelang. Prakteknya, ketiga produk tersebut telah digunakan oleh beberapa konsumen di Kota Magelang dan sekitarnya dalam mendukung usaha mereka. Keberhasilan Kota Magelang menumbuhkan produk-produk kreatifinovatif-aplikatif dengan biaya kompetitif tidak terlepas dari kerja keras para staf di Kantor Litbang dan Statistik Kota Magelang dengan dukungan penuh dari Walikota Magelang dalam merespon program Krenova (Kreatif-Inovatif) yang diinisiasi oleh Kementerian Riset dan Teknologi. Uniknya, permulaan penjaringan masyarakat Krenova di Kota Magelang dilakukan secara informal oleh para staf dari Kantor Litbang dan Statistik Kota Magelang. Kata Kunci : Produk unggulan, Kreatif-Inovatif-Aplikatif, Biaya kompetitif
1. PENDAHULUAN Di Indonesia, secara nasional upaya-upaya untuk mendorong inovasi perusahaan telah dilakukan oleh instansi publik terkait, khususnya oleh Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) dan beberapa lembaga non kementerian di bawah koordinasinya yang didukung oleh beberapa kementerian lain seperti Kementerian Perindustrian, Kementerian UKM dan Koperasi, dan lainnya. Di tingkat lokal, Pemerintah Kota Magelang Provinsi Jawa Tengah yang menjadi objek studi ini merupakan salah satu pemerintah kota yang patut dijadikan contoh dalam pengembangan produk-produk kreatif-inovatifnya melalui pemanfaatan program Krenova (Kreatif dan Inovatif) yang awalnya diinisiasi oleh Kemenristek. Bahkan program Krenova yang telah dijalankan oleh Pemerintah Kota ini telah mendapat penghargaan Anugerah Ristek dari Kemenristek untuk ke-3 kalinya dari tahun 2009, 2010, dan 2011. Masyarakat Kota Gethuk ini mampu mengembangkan produk-produk kreatif-inovatifaplikatif dengan biaya kompetitif dari segi non makanan-minuman yaitu: 1) mesin pembelah tahu; 2) sludge substitusi bahan paving block; dan 3) pupuk cair News-Qita. Ketiga produk tersebut merupakan karya asli dari putra Kota Magelang sendiri yang sudah dimanfaatkan oleh konsumen. Ditambah lagi, dua diantaranya sudah mendaftarkan Hak Kekayaan Intelektual berupa paten dari Direktorat Jenderal HAKI Kementerian Hukum dan HAM RI, sementara satu produk masih dalam proses pengajuan. Kesuksesan Pemerintah Kota Magelang dalam mendapatkan penghargaan Anugerah Ristek serta memiliki produk-produk unggulan kreatif-inovatif-aplikatif tersebut tidak terlepas dari peran Pemerintah Kota sendiri melalui kerja keras para staf di Kantor Litbang dan Statistik Kota Magelang yang didukung penuh oleh Walikota Magelang agar daerah ini mampu menjadi sentra pertumbuhan ekonomi berbasis inovasi produk di Provinsi Jateng, khususnya di wilayah Kedu dan sekitarnya. Program Krenova dijalankan dengan sungguhsungguh agar mampu mencapai hasil yang diinginkan, yaitu munculnya produk-produk inovatif di Kota Magelang. Kantor Litbang dan Statistik kota Magelang memiliki tugas khusus dalam menjaring para kreator dan inovator di wilayahnya agar mereka mau mendaftarkan Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
104
produk-produk mereka ke Kementerian Riset dan Teknologi dan juga Dirjen HAKI di Kemnhukam RI. Salah satu cara Kantor Litbang dan Statistik Kota Magelang menjaring para inovator di wilayahnya ialah melalui pendekatan komunikasi informal yang dilakukan oleh staf litbang. Prakteknya, komunikasi informal memiliki banyak sistem inter-relasi (Lucy and Busch, 1983). Pendekatan ini mampu memanfaatkan potensi nilai-nilai lokal yang ada di sana agar masyarakat inovator mau berpartisipasi dalam menunjukkan hasil temuan produk mereka sekaligus mendaftarkan produk mereka agar dinilai menjadi produk inovatif. Suatu terobosan baru yang patut menjadi teladan bagi pemerintah daerah lain dalam menumbuhkan orangorang inovatif di daerahnya agar dapat membantu menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada di sekitarnya. 2. RUMUSAN MASALAH DAN PERTANYAAN PENELITIAN Implementasi program Krenova yang telah dinilai berhasil bukan serta merta tidak menemui hambatan. Ada beberapa hambatan yang dihadapi oleh Kantor Litbang dan Statistik Kota Magelang dalam menjalankan program ini. Oleh karena itu, studi ini mencoba menelusuri lebih jauh upaya-upaya konkrit yang telah dilakukan oleh Kantor Litbang dan Statistik Kota Magelang dalam menjaring masyarakat inovatif melalui program Krenova. Pertanyaan penelitian dalam studi ini ialah: 1) apa saja produk-produk kategori kreatifinovatif-aplikatif dengan biaya kompetitif tersebut dan 2) apa saja hambatan dalam implementasi program Krenova serta bagaimana Kantor Litbang dan Statistik Kota Magelang dapat mengurai hambatan-hambatan tersebut ? 3. LANDASAN KONSEPTUAL 3.1. Komunikasi Komunikasi didefinisikan sebagai transimisi infromasi untuk mendapatkan sebuah jawaban (Barne r-Berry & Rosenwein dalam Rose, 2004). Komunikasi sebagai keseimbangan dari kreativitas dan hambatan ialah momen-momen yang bekerja di luar tekanan di antara kebutuhan untuk mempertahankan aturan (hambatan) dan kebutuhan untuk mendorong perubahan (kreativitas). Sebagaimana halnya, komunikasi adalah materi manfestasi dari hambatan-hambatan kelembagaan, potensi kreatif, dan konteks interpretasi (Eisenberg et al, 2010).
Sumber : Eisenberg et al (2010)
Gambar 1. Komunikasi sebagai Keseimbangan dari Kreativitas dan Hambatan 3.2. Komunikasi Informal Ciri-ciri komunikasi informal biasanya berupa: 1) hubungan pribadi dengan audiens yang terbatas; 2) secara tipikal tidak tersimpan permanen maupun dapat diperoleh kembali; 3) relatif terjadi sementara atau saat ini; dan 4) kemungkinan besar memberikan umpan balik ke pembicara awal. Saluran informal biasanya oral dan termasuk percakapan antar muka (face to face), pertukaran info telepon, mengunjungi kolega-kolega laboratorium, korespondensi personal (Lacy and Busch, 1983). Jaringan informal memunculkan organisasi karena struktur formal yang ditingkatkan untuk merefleksikan pertimbangan rasional terkait administrasi formal, sementara gagal untuk mengatasi dimensi non-rasional dari perilaku organisasi (Selznick dalam Rank, 2008). 4. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan kualitatif-deksriptif. Menurut Mukhtar (2000), penelitian deskriptif dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu variabel atau Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
105
tema, gejala atau keadaan yang ada pada saat penelitian dilakukan. Sumber data ialah data primer hasil wawancara di lapangan serta data sekunder berupa buku, jurnal/artikel ilmiah, working paper, media massa, dan beberapa dokumen lain pendukung. Teknik analisis data yang digunakan ialah dengan skema analisis data interaktif oleh Miles and Huberman (1992) yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. 5. HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS 5.1. Tiga Produk Kreatif-Inovatif Dengan Biaya Kompetitif 5.1.1. Mesin Pembelah Tahu14 Ide awal pembuatan produk Salah satu UKM pada bagian pembelahan tahu masih menggunakan proses produksi manual yang mempergunakan banyak pekerja, peralatan sederhana, dengan hasil produksi setiap menitnya hanya mampu membelah tahu sebanyak 50-70 potong. Tim dari Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Magelang menciptakan alat pembelah tahu mekanis. Spesifikasi produk Alat pembelah tahu pong ini dirancang sesuai dengan prinsip-prinsip ergonomis dengan daya motor sebesar ¾ hp dan mampu bergerak dengan kecepatan putar motor 1430 rpm, putaran roller 50 rpm, dan putaran pisau 50 rpm dengan ukuran 70 x 60 x 80 cm, tidak membutuhkan banyak tempat. Bagian-bagiannya adalah corong penampung tahu, pengarah tahu, roller, dan pisau yang masing-masing berjumlah 4 buah, serta motor dan pully. Selain itu pisau dapat dimodifikasi, sehingga dapat digunakan untuk memotong bahan-bahan pangan lain. Cara pengoperasiannya sangat mudah, tidak banyak membutuhkan tenaga kerja (maksimal 2 orang), dan mampu membelah tahu sebanyak 200-400 per menitnya. Biaya pembuatan produk Mesin ini menggunakan bahan lokal dengan total biaya Rp 4.558.000 (siap pakai). Manfaat dan penerapan produk Alat ini dirancang sesuai dengan prinsip-prinsip ergonomis, sehingga tidak mudah menimbulkan kelelahan dan mampu menciptakan kenyamanan kerja. Dampaknya akan meningkatkan kapasitas produksi jauh lebih besar daripada proses manual sehingga IKM tidak perlu mengeluarkan banyak biaya. Alat ini sudah diterapkan di dalam proses produksi kripik tahu IKM Cahaya Tidar Kota Magelang. Status paten produk Produk ini sudah dipatenkan di Dirjen HAKI Kementerian Hukum dan HAM RI. 5.1.2. Paving Block15 Ide awal pembuatan produk Proses produksi genteng mutiara menghasilkan limbah cair (sludge). Jumlah limbah Pabrik Genteng Mutiara adalah 4-6 m3/minggu. Karakteristik sludge memiliki kandungan SiO2, Al2O3, Fe2O3, SO3, serta memilki tekstur lembut dan mengandung minyak. Peneliti memanfaatkan sludge sebagai substitusi bahan untuk pembuatan paving block (bata beton). Spesifikasi produk Sludge IPAL produk pertama dari Pabrik Genteng Mutiara. Bahan baku paving block adalah semen, fly-ash, dan agregat. Pemanfaatan limbah IPAL menjadi paving block bermutu menggunakan teknologi vibrasi mesin pencetak paving block. Biaya pembuatan produk Biaya tetap pembuatan alat pencetak paving block adalah Rp 6.886.500. Selain itu, ada tambahan biaya bahan yang berubah sewaktu-waktu seperti semen, pasir halus, dll. Manfaat dan penerapan produk Keuntungan mesin yang dibuat sendiri oleh peneliti yaitu lebih ringan dari mesin aslinya sehingga dapat melakukan pencetakan di mana saja dan lebih irit bahan bakar bensin karena hanya menggunakan vibrator yang sederhana serta lebih detail dalam pencetakan 14
Lihat dalam Rusdjijati, Retno dkk. 2012. Alat Pembelah Tahu. Magelang: Universitas Muhammadiyah Magelang Lihat dalam Aji, Awaluddin Setya; Prasetyo, Andjar. 2012. Pemanfaatan Limbah IPAL menjadi Paving Blok bermutu dengan teknologi vibrasi mesin pencetak paving blok. Magelang : Kantor Litbang dan Statistik Kota Magelang. 15
Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
106
karena dalam satu kali produksi hanya memproduksi satu produk. Mesin ini sudah diterapkan di IKM Genteng Mutiara Kota Magelang. Status paten produk Produk ini sudah dipatenkan di Dirjen HAKI Kementerian Hukum dan HAM RI. 5.1.3. Pupuk Cair News-Qita16 Ide awal pembuatan produk Bercermin dari persoalan pengelolaan lingkungan, teknologi tepat guna, pertanian, peternakan, limbah industri, pemberdayaan perempuan, pendidikan dan perikanan, maka dikembangkan teknologi News-Qita yang menggunakan mikroba guna membantu peningkatan kesadaran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan, kapasitas produksi petani dan peternak, minimalisasi limbah yang merugikan dari industri, pemberdayaan perempuan, kesadaran siswa dalam pemberdayaan lingkungan serta menjaga kelestarian lahan. Spesifikasi produk Mikroba yang digunakan adalah mikroba lokal. Dikhawatirkan mikroba asing dapat merusak ekosistem lokal lantaran karakter fisiologisnya berbeda dengan mikroba lokal. Fungsi mikroba lokal (News-qita) digunakan untuk membantu pertumbuhan tanaman, pertumbuhan ternak dan kesehatan ekosistem, serta melarutkan unsur hara makro dan mikro tanah. Teknologi untuk memperbanyak mikroba ini adalah fermentor dan teknologi inokulasi mikroba. Biaya pembuatan produk Tabel 1. Biaya Pembuatan Pupuk Cair News-Qita No Uraian 1 Bahan baku 1 (satu) liter 2 Belanja Produksi 3 Tenaga kerja 4 Packing 5 Marginal Total
Harga (Rp) 4.000 2.000 4.000 4.000 2.000 16.000
Manfaat dan penerapan produk News-Qita merupakan teknologi berbasis pemanfaatan mikroorganisme (mikroba) untuk meningkatkan produksi pertanian, menurunkan toksitas limbah beracun, dan meningkatkan kesehatan tanaman, meningkatkan unsur hara tanah. News-Qita merupakan teknologi yang menjadikan pupuk organik sebagai pupuk penyubur tanaman. Hal ini akan menuju pemanfaatan ekosistem yang berkelanjutan. Pupuk cair News-Qita sudah diterapkan di sekitar 23 kabupaten/kota seluruh Indonesia baik oleh kalangan masyarakat umum, para petani, sektor pendidikan, serta industri pertanian, termasuk pemulihan lahan di lereng Merapi akibat letusan gunung berapi ini pada tahun 2010 kemarin. Ini mengindikasikan bahwa pupuk News-Qita tidak hanya diterapkan di wilayah Kota Magelang dan sekitarnya, tetapi juga untuk kemajuan bersama bangsa Indonesia. Status paten produk Pada tahun 2011, terapan News-Qita mendapatkan pengakuan nasional sebagai salah satu dari 103 Inovasi Nasional (penemunya masuk dalam penilaian 103 inovator) kategori ketahanan pangan yang dikeluarkan oleh Bussiness Innovation Center di bawah naungan Kemenristek. Untuk paten, masih dalam pengajuan ke Dirjen HAKI (Kemenhukam RI), terkait paten nama produk. 16
Lihat dalam Ohoilulin, Fence. 2012. Bio-Qita. Alternatif Suplemen dan Pupuk Organik Lokal yang Murah, Mudah & Efisien. Magelang : Unpublished Working Paper.
Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012
107
5.2. Upaya-Upaya Kantor Litbang dan Statistik Kota Magelang dalam Mengimplementasikan Program Krenova
Gambar 2. Skema Penyelenggaraan Program Krenova Kota Magelang
108
Berdasarkan gambar di atas, dapat dijelaskan bahwa ada lima tahap yang dilakukan oleh Kantor Litbang dan Statistik Kota Magelang dalam mengimplementasikan program Krenova yaitu, pra pelaksanaan, sosialisasi, penjaringan, pelaksanaan, dan hasil. Untuk tahap kesatu dan kedua dilakukan secara formal, sementara tahap penjaringan atau tahap ketiga dilakukan secara informal. Selanjutnya, tahap keempat dan kelima kembali dilakukan secara formal. Studi ini akan menguraikan kelima tahap tersebut, terutama akan lebih ditekankan pada tahap ketiga yaitu penjaringan masyarakat Krenova melalui pendekatan informal. 5.2.1. Tahap Pertama (Pra Pelaksanaan) Para staf Kantor Litbang dan Statistik Kota Magelang melakukan persiapan dokumen seperti menyiapkan poster, leafleat, panduan kegiatan, formulir peserta, dan jadwal pelaksanaan. Selain itu, pembentukan tim panitia sebagai organizing committe dilakukan dengan melibatkan beberapa staf di kantor ini dan juga staf di dinas/instansi lain di lingkungan Kota Magelang. Sedangkan tim penilai diambil dari akademisi dari berbagai perguruan tinggi di Kota Magelang, serta praktisi/konsultan yang ahli di bidangnya. Pembebanan biaya penyusunan program dan pembentukan tim tersebut dianggarkan melalui Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kota Magelang. Menurut konsep Triple Helix, hal ini sudah menandakan bahwa Kota Magelang sudah memenuhi elemen kerjasama di ketiga sektor, yaitu government, private sector/industry, and academician. Triple Helix adalah konsep sinergi antara aktor-aktor yang mempengaruhi keberhasilan inovasi iptek, yaitu dari kalangan Academicians-Business-Governments (ABG). Untuk implementasi di Indonesia, diharapkan Society – masyarakat dapat turut dilibatkan dalam proses harmonisasi ABG-S untuk menghasilkan inovasi (Kemenristek, 2012). 5.2.2. Tahap Kedua (Sosialisasi) Para staf Kantor Litbang dan Statistik Kota Magelang melakukan pengiriman informasi Krenova berupa brosur, leaflet, dan poster ke tempat-tempat umum atau kepada masyarakat secara langsung dan tidak langsung, serta menyiarkan iklan di radio dan surat kabar. Selain beberapa pengumuman Krenova yang dipampang di tempat/papan pengumuman publik, informasi dikirim ke satuan kerja perangkat daerah (SKPD) lain di lingkungan Pemkot Magelang dan beberapa pelaku usaha yang memiliki probabilita besar keterlibatannya dalam program Krenova ini, baik sebagai peserta maupun penyandang dana/fasilitas. Hingga saat ini, Pemkot Magelang selalu menampilkan pengumuman program Krenova terbaru yang lengkap beserta panduan program dan jadwalnya melalui website www.magelangkota.go.id atau www.litbang.magelangkota.go.id yang dapat diakses langsung oleh masyarakat umum secara gratis. Rose (2004) menguatkan bahwa informasi merupakan unsur penting untuk membangun komunikasi yang baik antara pemerintah dengan masyarakat, terlebih lagi jika masyarakat dapat mengakses informasi dari pemerintah yang didapat dari berbagai media seperti media massa atau media elektronik. 5.2.3. Tahap Ketiga (Penjaringan) Tahap ini dibagi menjadi lima bagian, yaitu penerimaan pendaftaran peserta Krenova melalui surat, email, dan SMS; penyempurnaan proposal melalui pendekatan informal; penyesuaian tim penilai terhadap materi peserta yang mendaftar; pengumpulan proposal peserta untuk persiapan penilaian; dan penentuan aturan penilaian peserta melalui pembahasan dengan penilai secara informal. Semua kegiatan di tahap ketiga ini dilakukan secara informal oleh tim panitia Krenova, khususnya organizing committee dari Kantor Litbang dan Statistik Kota Magelang. Beberapa aktor di dalam organisasi dalam berkomunikasi/berhubungan dengan pelanggan guna mencapai tujuan organisasi, umumnya membangun dan mempertahankan ikatan informal mereka di samping juga struktur formal (tidak mengganti struktur formal dengan ikatan informal). Hal ini seharusnya memberikan hasil kerjasama lebih besar daripada struktur formal bagi tiap aktor. Dengan kata lain, menumbuhkan dan mempertahankan hubungan langsung dari tiap aktor dapat menempuh cara lebih 109
pendek/singkat yang pada akhirnya dapat meminimalisir jarak antar aktor (Brass dalam Rank, 2008). Sebagaimana studi Brass tersebut, penjaringan masyarakat Krenova Kota Magelang juga didominasi oleh ikatan informal antara staf litbang dan statistik, akademisi dari Universitas Muhammadiyah Magelang, serta pelaku inovasi. Proses penjaringan masyarakat inovator oleh para staf litbang bukanlah hal mudah. Studi menemukan bahwa beberapa kendala yang dihadapi antara lain jumlah dan jarak masyarakat inovator yang sporadis, masyarakat inovator masih tertutup (tidak mau membuka diri dengan pemerintah lokal), serta minat masyarakat Kota Magelang masih rendah terhadap produk buatan lokal. Beberapa pendekatan informal penjaringan masyarakat Krenova dilakukan dengan memanfaatkan nilai-nilai lokal masyarakat Kota Magelang. Hal ini menguatkan studi Wilbur and Ing (1996) bahwa kelompok-kelompok kecil justru sering menggunakan komunikasi informal untuk meningkatkan kinerja kelompoknya. Beberapa komunikasi informal yang dilakukan oleh para staf litbang dan statistik Kota Magelang antara lain: 1. Kunjungan langsung staf kantor litbang ke rumah warga penemu (face to face) di luar jam kantor. Cara ini ditempuh agar warga penemu tersebut lebih dapat berkomunikasi tanpa dibebani rasa segan untuk mengungkapkan secara terbuka hasil temuan produk inovatifnya kepada salah satu staf Pemkot Magelang. Hal ini merupakan nilai-nilai Jawa yang mana jika seseorang menemui orang lain secara langsung di rumahnya merupakan suatu kehormatan/penghargaan tersendiri. 2. Ajakan untuk makan sambil berdiskusi bersama tentang industri kecil menengah (IKM) serta kontribusi apa yang bisa diberikan untuk pengembangan IKM di Kota Magelang melalui produk-produk inovatif yang dihasilkan. Karena budaya masyarakat di sana melalui “makan bersama” akan menjadikan hubungan antar pihak akan mencair, sehingga beberapa permasalahan dapat didiskusikan dan dicari jalan keluarnya. 3. Mengajak masyarakat innovator ke acara-acara seminar IKM, iptek, dan sebagainya dengan pembiayaan ditanggung oleh Pemerintah Kota Magelang atau dengan pembiayaan yang ditanggung bersama. Upaya pelibatan ini dilakukan agar masyarakat innovator merasa dirinya juga ikut dilibatkan dan bertanggungjawab terhadap produkproduk inovatif mereka. Sistem pembiayaan seperti ini di masyarakat Jawa akan menumbuhkan rasa kepercayaan kepada pemerintah, meminimalisir kerugian bagi masyarakat sendiri, dan menguatkan arti bahwa tanggung jawab pengembangan produk inovatif mereka akan dipikul bersama yaitu oleh Pemerintah Kota Magelang dan oleh masyarakat sebagai penemu. Meminjam konsep Eisenberg et al (2010), fase momen ke momen untuk bekerja di luar tekanan merujuk secara spesifik pada keseimbangan kreativitas (berpikir secara inovatif, memiliki kemauan untuk menguji kembali kegiatan dan rutinitas yang dianggap taken for granted, mendorong ide-ide baru dan lainnya) dan berbagai hambatan (pembentukan realitas yang menghambat pilihan respon strategis individu, seperti deadline, batas finansial, aturan organisasi dan lainnya). Upaya yang dilakukan oleh para staf litbang Kota Magelang melalui pendekatan informal dalam penjaringan masyarakat Krenova memang berbeda dari tatanan sistem formal pemerintah, namun tidak sepenuhnya mengabaikan tatanan formal tersebut. Menguatkan hal ini, Janowicz and Noordehaven (2008) mengemukakan bahwa perilaku di dalam suatu organisasi tidak sepenuhnya dilakukan secara terprogram/formal, tetapi juga secara informal untuk mencapai suatu tujuan. Berbagai upaya penjaringan yang dilakukan secara informal tersebut didukung oleh beberapa potensi yang ada dan telah berkembang di Kota Magelang antara lain : 1. Sumber daya manusia kreatif di Kota Magelang yang telah menemukan berbagai produk inovatif yang telah memberikan nilai tambah ekonomi di Kota Magelang dan sekitarnya. 2. Beberapa fasilitas pendidikan tinggi di Kota Magelang seperti Universitas Muhammadiyah Magelang, Universitas Tidar, Akademi Teknik Tirta Wiyata, dan lainnya merupakan institusi pendukung munculnya ide-ide kreatif-inovatif yang dapat membantu
110
masyarakat inovator mengembangkan produk mereka, bahkan memunculkan inovator baru. 3. Kesempatan dan dukungan dari Pemerintah Kota Magelang berbentuk fasilitas tempat, bantuan dana untuk pengembangan produk inovatif. Dukungan fasilitas misalnya diberikan dalam bentuk penyediaan tempat Sosialisasi Sentra Magelang Hak Kekayaan Intelektual dan Seminar Nasional HAKI yang bekerjasama dengan Kemenristek serta Universitas Muhammadiyah Magelang. 4. Dukungan dana berupa bantuan modal pengembangan sebesar Rp 15.000.000 kepada masyarakat paling inovatif dalam program Krenova Kota Magelang. Akses informasi yang terbuka luas telah diberikan oleh Kantor Litbang dan Statistik Kota Magelang dan dapat diakses oleh masyarakat umum baik secara online, melalui media massa, radio, pengumuman, maupun datang langsung ke kantor litbang. Dalam perspektif hubungan nasional-daerah, koherensi kebijakan inovasi dalam penguatan SIN (Sistem Inovasi Nasional) di Indonesia perlu dibangun melalui kerangka kebijakan inovasi (innovation policy framework) yang sejalan, dengan sasaran dan milestones terukur serta komitmen sumberdaya yang memadai baik pada tataran pembangunan nasional maupun daerah sebagai platform bersama (Taufik, 2012). Aplikasi konsep ini, sebagaimana dukungan penuh dari Walikota Magelang terhadap produk-produk kreatif-inovatif di Kota Magelang, terus ditingkatkan. Hal ini sesuai dengan salah satu misi Walikota Magelang yaitu memperkuat dan meningkatkan pertumbuhan perekonomian kerakyatan dengan mengoptimalkan potensi daerah yang didukung oleh kemandirian masyarakat (Bappeda Kota Malang, 2012). Meskipun demikian, Pemkot Magelang yang diwakili oleh Kantor Litbang dan Statistik Kota Magelang memberi kebebasan kepada masyarakat inovator terhadap produk-produknya untuk disosialisasikan, didesiminasikan, dan diaplikasikan di mana saja yang mereka mau. Hal ini agar produk-produk tersebut dapat berkembang lebih maju tidak hanya di wilayah Kota Magelang dan sekitarnya, akan tetapi juga di wilayah Indonesia bahkan lintas negara. 5.2.4. Tahap Keempat (Pelaksanaan) Di sesi ini dibagi menjadi dua bagian yaitu paparan peserta Krenova dan peninjauan lapangan terhadap temuan peserta Krenova. Beberapa bagian di tahap keempat ini sudah dilakukan secara informal pula saat tahap penjaringan. Pada bagian pertama, pihak Kantor Litbang dan Statistik Kota Magelang memberikan kesempatan langsung dan terbuka kepada peserta yang lolos dalam penjaringan program Krenova dengan memaparkan hasil temuannya kepada tim panitia dan tim penilai baik di kantor litbang atau di tempat lain yang ditunjuk. Pemberian kesempatan ini merupakan bentuk partisipasi masyarakat Kota Magelang dalam program Krenova. Menguatkan hal ini, partisipasi tidak hanya menjadi cermin konkrit peluang ekspresi aspirasi dan jalan memperjuangkannya, tetapi yang lebih penting lagi bahwa partisipasi menjadi semacam garansi tidak akan diabaikannya kepentingan masyarakat (Juliantara dalam Purnamasari, 2008). Selanjutnya di bagian kedua, tim panitia dan tim penilai akan membuktikan secara langsung hasil pemaparan produk unggulan milik peserta ke tempat/lapangan di mana para inovator tersebut mengkreasikan dan menciptakan produk kreatif-inovatif yang mereka ciptakan. Cara ini merupakan suatu bentuk “pembuktian” oleh tim penilai bahwa produkproduk inovatif yang dihasilkan tersebut benar-benar hasil karya mereka, khususnya produkproduk yang belum ada di wilayah lain di Indonesia dan bahkan dunia. Upaya kantor litbang Kota Magelang ini merupakan salah satu ciri upaya pemerintah di negara maju dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Edes (2000) menguatkan hal ini bahwa di negara-negara Eropa, pihak pemerintah telah memberikan informasi kepada publik secara langsung serta melakukan riset dan penilaian terhadap opini dan kegiatan masyarakat.
111
5.2.5. Tahap Kelima (Hasil) Tahap ini ialah seleksi produk inovatif sekaligus penentuan, pengumuman, dan penyerahan nominasi Krenova setelah paparan, peninjauan ke lapangan langsung, dan sidang penilai. Tim penilai akan menentukan bobot penilaian terhadap produk-produk unggulan yang telah ditemukan oleh penemu di Kota Magelang berdasarkan panduan Krenova yang telah ditetapkan oleh Kantor Litbang dan Statistik Kota Magelang seperti spesifikasi produk, potensi produk, manfaat produk, kualitas produk, dan biaya produksi. Produk-produk yang dinilai adalah yang kreatif-inovatif dan aplikatif dengan biaya kompetitif (info lanjut unsur penilaian produk Krenova dapat di lihat di www.litbang.magelangkota.go.id). Setelah memenuhi unsur penilaian/pembobotan oleh tim penilai, tim panitia selanjutnya akan menyusun nominasi produk-produk apa saja yang tergolong inovatif. Produk-produk yang masuk nominasi akan diumumkan secara langsung baik melalui surat resmi, website, maupun media pengumuman lain. Bagi produk yang telah masuk penilaian Krenova, pihak Kantor Litbang dan Statistik Kota Magelang akan memfasilitasi produk tersebut untuk diajukan melalui fasilitas Sentra MAHAKI untuk mendapat pengakuan Hak Kekayaan Intelektual dari Direktorat Jenderal Hak dan Kekayaan Intelektual di Kementerian Hukum dan HAM RI serta untuk mendapatkan penghargaan Anugerah Ristek Labdhakretya dari Kemenristek. Upaya Pemerintah Kota Magelang ini merupakan kewajiban pemerintah dalam mendorong munculnya inovasi dengan memberikan dukungan kepada hasil temuan tersebut serta berupaya untuk mempertahankannya agar tidak diklaim oleh orang/pihak lain. Mendukung hal ini, Romadoni (2011) mengungkapkan bahwa peran pemerintah pada tahap inovasi ini adalah dengan menstimulasi pihak industri/entitas usaha untuk tergerak menyambut hasil-hasil penemuan, menetapkan kebijakan pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah yang mendorong pemanfaatan produk inovasi dalam negeri, menerapkan produk perpajakan yang dapat mendorong tumbuhnya industri berbasis invensi, menjamin penegakan HAKI jika terjadi pelanggaran HAKI terhadap produk inovasi, menyelenggarakan birokrasi perizinan usaha dan investasi yang efisien, dan lain-lain. Apa yang dikemukakan oleh Romadoni dan upaya yang telah dilakukan Pemerintah Kota Magelang merupakan keharusan bagi suatu pemerintah untuk menumbuhkan suatu inovasi melalui kebijakannya (innovation policy) (Taufik, 2005; World Bank, 2010). 6. PENUTUP 6.1. Kesimpulan Pemerintah Kota Magelang melalui Kantor Statistik dan Litbang-nya telah membuktikan kemampuan kelembagaannya untuk menjalankan program Krenova dari Kemenristek dengan baik, terlihat dari penghargaan Anugerah Ristek yang berhasil diperoleh selama tiga tahun berturut-turut. Magelang memiliki sumber daya manusia unggulan dengan produkproduk kreatif-inovatif yang telah mendapatkan hak kekayaan intelektual berupa hak paten dari Dirjen HAKI Kementerian Hukum dan HAM RI. Hal terpenting dari penciptaan produkproduk tersebut ialah aplikasi yang telah dirasakan oleh masyarakat dan pengguna di Kota Magelang dan Indonesia. Kantor Litbang dan Statistik Kota Magelang telah melakukan terobosan baru dalam menjaring masyarakat Krenova, yaitu dengan pendekatan komunikasi informal. Pendekatan ini telah mampu menjaring inovator yang semula tersebar, tertutup, dan tidak dihargai oleh masyarakat dapat menjadi terbuka kepada Pemerintah Kota Magelang. Cara yang ditempuh oleh institusi ini merupakan cerminan salah satu upaya yang dilakukan di beberapa negaranegara maju, bahwasanya pemerintah dapat mendorong inovasi dengan memberikan fasilitas dan bantuan untuk menumbuhkan produk-produk inovatif di wilayahnya. 6.2. Saran 1. Meningkatkan jumlah peneliti di Kantor Litbang dan Statistik Kota Magelang. 2. Meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat akan pentingnya produk-produk kreatif-inovatif yang ada di Kota Magelang serta kontribusinya bagi pembangunan Kota 112
Magelang melalui sosialisasi bersama antara pihak Pemerintah Kota Magelang, perguruan tinggi, pelaku IKM/industri, serta asosiasi masyarakat yang terbentuk di Kota Magelang. 3. Menggalang kerjasama pemerintah-industri-akademisi tidak hanya di Kota Magelang, melainkan juga di tingkat provinsi dan nasional. 4. Menguatkan kelembagaan riset dan pengembangan, yang semula kantor menjadi dinas. 5. Meningkatkan anggaran kegiatan riset dan pengembangan agar dapat menjaring lebih banyak lagi masyarakat inovator serta menumbuhkan inovator-inovator baru. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih pada Bapak Fence Ohoilulin yang telah membaca dan mengkritisi tulisan ini sehingga mendapat masukan yang berguna bagi pengembangan tulisan ini. Masukan yang amat penting di dalam tulisan ini ialah bagaimana agar tulisan ini mudah dibaca dan diadopsi oleh masyarakat lain agar mereka termotivasi sebagai masyarakat inovator. Fence Ohoilulin, S.Sos ialah penemu pupuk cair News-Qita yang berdomisili di Kota Magelang, Jawa Tengah. Beliau merupakan salah satu yang mendapatkan nominasi inovator nomor 103 tahun 2011 versi Bussiness Innovation Centre. Saat ini beliau sering diundang oleh pemerintahpemerintah daerah dan Kementerian Lingkungan Hidup untuk menjadi pembicara/narasumber dalam pengelolaan lingkungan hidup di seluruh wilayah Indonesia. PUSTAKA Aji, Awaluddin Setya dan Prasetyo, Andjar, 2012. Pemanfaatan Limbah IPAL menjadi Paving Blok bermutu dengan teknologi vibrasi mesin pencetak paving blok. Magelang : Kantor Litbang dan Statistik Kota Magelang. Bappeda Kota Magelang, 2010. Visi dan Misi Walikota Magelang terpilih 2011-2015. Diakses dari http://bappeda.magelangkota.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id= 111:visi-dan-misi-walikota-magelang-terpilih-2011-2015 diakses tanggal 2 September 2012. Edes, Bart W., 2000. The Role of Government Information Officers. Journal of Government Information 23 (2000) Pages: 455-469. Eisenberg, Eric M; Goodall, Jr. H. L; Trethewey, Anglea, 2010. Organizational Communication : Balancing Creativity and Constraint. Boston-US : Bedford. Janowicz-Panjaitan, Martyna dan Noorderhaven, Niels G., 2008. Formal and Informal Interorganizational Learning Within Strategic Alliances. Journal of Research Policy 37 (2008). Pages 1337–1355. Kementerian Riset dan Teknologi, 2012. ABG-S Kunci Inovasi Iptek. Diakses dari http://www.ristek.go.id/index.php/module/News+News/id/11781 diakses tanggal 2 September 2012. Lacy, William B. And Busch Lawrence, 1983. Informal Scientific Communication in The Agricultural Sciences. Journal of Information Processing and Management Vol (19) No. 4. Pages (193-202). Miles, Matthew B Dan Maichael A. Huberman, 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press. Ohoilulin, Fence, 2012. News-Qita: Alternatif Suplemen dan Pupuk Organik Lokal yang Murah, Mudah & Efisien. Magelang : Unpublished Working Paper. Paudel, Narendra Raj, 2009. A Critical Account of Policy Implementation Theories : Status and Reconsideration. Nepalese Journal of Public Policy and Governance, Vol XXV, No. 2 December 2009. Pemerintah Kota Magelang, 2012. Ribuan Warga Magelang Saksikan Grebeg Gethuk. Diakses dari http://www.magelangkota.go.id/publikasi/berita-magelang/ribuan-wargamagelang-saksikan-grebeg-gethuk diakses tanggal 2 September 2012 113
Purnamasari, Irma, 2008. Studi Partisipasi Masyarakat Dalam Perencanaan Pembangunan di Kecamatan Cibadak Kabupaten Sukabumi. Tesis: Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang. Rank, Olaf N., 2008. Formal Structures and Informal Networks: Structural Analysis in Organizations. Journal of Scand. J. Mgmt. (2008) 24, pages: 145–161. Romadoni, Ahdiar, 2011. Sistem Insentif untuk Mendorong Inovasi Berdampak Pada Kegiatan Ekonomi Nasional. Diakses dari http://lpik.itb.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=138&Itemid=81 pada tanggal 2 September 2012 Rose, Meithya, 2004. Democratizing information and communication by implementing egovernment in Indonesian regional government . Journal of The International Information & Library Review (2004) 36, 219–226. Rusdjijati, Retno dkk., 2012. Alat Pembelah Tahu. Magelang: Universitas Muhammadiyah Magelang. Taufik, Tatang A., 2012. Kebijakan BPPT Dalam Mendukung Penguatan Sistem Inovasi Daerah. Disampaikan dalam Rakornas Litbang Pemerintahan Dalam Negeri Tahun 2012 dengan tema “Pemantapan Kebijakan Dalam Penguatan Program Kelitbangan untuk Meningkatkan Kualitas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah” di Makassar tanggal 4 Juli 2012. Wilbur, Sylvia dan Ing, Sarom, 1996. Real-Time Video for Informal Workgroup Communication: a survey of recent advances. Journal of Computer Networks and ISDN Systems 28 (1996). Pages: 491-497.
114
PENGEMBANGAN MOBIL KOMODO DITENGAH KETIDAKPASTIAN KEBIJAKAN 1
2
3
Kusnandar , Galuh Syahbana Indraprahasta , Anugerah Yuka Asmara , 1,2,3 Pusat Penelitian Perkembangan Iptek - LIPI Jl. Jend. Gatot Subroto No. 10 Jakarta Telp. (021) 5201602, Fax. (021) 5201602 1 Email:
[email protected]
ABSTRAK Indonesia memiliki beberapa produsen otomotif (mobil) skala kecil-menengah dengan kualitas produk yang menjanjikan. Salah satu dari produsen ini adalah PT Fin Komodo yang mempunyai spesialisasi produk mobil mini off-road dengan nama Komodo. PT Fin Komodo berlokasi di Kota Cimahi Jawa Barat yang saat ini mempekerjakan sekitar 50 pegawai. Tujuan dari studi adalah untuk melihat sejauh mana potensi Komodo untuk dapat dikembangkan lebih lanjut. Untuk menjawab ini maka kerangka kebijakan (sebagai faktor eksternal) dan sistem rantai pasok (sebagai faktor internal) digunakan. Studi ini menunjukkan bahwa dukungan kebijakan, baik di level Daerah maupun Pusat masih minim. Adapun, sistem rantai pasok yang ada menunjukkan bahwa pengembangan Komodo didukung oleh keseriusan dalam menjaga kualitas penelitian dan pengembangan. Mobil Komodo dapat menjadi produk otomotif lokal yang potensial untuk dikembangkan lebih lanjut jika intervensi kebijakan dapat diperbaiki. Kata Kunci: Komodo, kebijakan, rantai pasok
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada tahun 2012, isu mobil nasional menjadi kembali menghangat, terutama ketika Walikota Surakarta, Joko Widodo, menginginkan agar mobil Esemka yang diproduksi di bengkel milik Sukiyat menjadi mobil dinas dirinya dan wakilnya (Detik Oto, 2012a)17. Meski sempat menimbulkan sinisme dari beberapa kalangan, setelah melalui beberapa persyaratan, seperti uji emisi selama sekitar 6 bulan akhirnya mobil ini resmi menjadi mobil dinas Walikota dan Wakil Walikota Surakarta (Detik Oto, 2012b)18. Kejadian yang timbul di Kota Surakarta menjadi pembuka bagi produsen mobil dengan merk lokal lainnya di Indonesia. Sebenarnya, tidak hanya mobil Esemka yang saat ini sedang dikembangkan oleh para produsen lokal. Beberapa nama lain seperti Komodo, GEA, AG-Tawon, Wakaba, Arina, Nuri, dan Boneo merupakan beberapa pemain yang sedang mengembangkan mobil dengan merk lokal. Jika menelusuri dari sejarah, upaya pengembangan mobil nasional sudah dimulai sejak lama; namun menghilang sejak Indonesia ditimpa krisis ekonomi 1997-1998. Pada periode sebelum 1998, sempat bermunculan beberapa merk seperti Gang Car, MR 90, Texmaco Macan hingga yang paling politis adalah Timor dan Bimantara. Upaya pengembangan mobil nasional ini tampaknya belum surut, meski secara kasat mata sangat terlihat bahwa dominasi merk mobil Jepang (8 peringkat share pasar teratas dikuasai oleh merk Jepang dengan persentase total 94,2%) sudah sangat menggurita di kalangan masyarakat Indonesia (Business Motor International, 2011) Kondisi ini membuat para pengembang mobil nasional harus cermat dalam melihat ceruk pasar (niche) yang ada. Mobil Komodo yang diproduksi oleh PT Fin Komodo dapat menjadi salah satu kasus menarik dalam konteks upayanya untuk mengembangkan mobil nasional dengan strategi samudera biru atau blue ocean strategy (Kim and Mauborgne, 2005). PT Fin Komodo yang memfokuskan diri pada pengembangan mobil mini off-road telah berdiri sejak 2006 dan mulai memproduksi purwarupa (prototype) yang pertama pada tahun 2008. Pengembangan mobil ini diawali dengan penelitian yang kemudian dikombinasikan dengan 17
Jokowi Puji Mobil Dinas Esemka, Diunduh dari http://oto.detik.com/read/2012/01/02/145744/1804742/1207/jokowi-puji-mobildinas-esemka, pada tanggal 16 September 2012 18 Resmi Jadi Mobil Dinas Jokowi, Warga Solo Serahkan Kunci Esemka, http://oto.detik.com/read/2012/08/16/170742/1993545/ 1207/resmi-jadi-mobil-dinas-jokowi-warga-solo-serahkan-kunci-esemka
115
peluang bisnis dan nasionalisme, menghasilkan produk mobil Komodo yang saat ini sudah sampai generasi ke-empat. Bukan menjadi rahasia umum jika pengembangan mobil nasional (dengan merk lokal dan kemampuan teknologi inti yang dapat dikembangkan di lokal) tidak menjadi perhatian nasional (sebagai rujukan: Perpres 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional memprioritaskan pengembangan industri otomotif nasional sebagai basis produksi komponen mobil merk asing). Dengan demikian, sangat menarik menelaah bagaimana PT Fin Komodo dapat berkembang, termasuk upayanya yang terus melakukan penelitian dan pengembangan, di tengah kebijakan yang tidak menentu.
Gambar 1. Direktur PT Fin Komodo dan mobil Komodo
19
1.2. Tujuan dan Sasaran Tujuan dari studi ini adalah untuk mengidentifikasi sejauh mana potensi Komodo untuk dapat dikembangkan lebih lanjut. Untuk menjawab tujuan ini, ada dua sasaran yang ingin dicapai, yaitu: 1. Teridentifikasinya kebijakan pemerintah terkait pengembangan mobil Komodo 2. Teridentifikasinya sistem rantai pasok mobil Komodo 1.3. Metode Metode pengumpulan data studi ini, utamanya berasal dari wawancara mendalam dan pencarian data sekunder khususnya terkait dengan kebijakan dan literatur pendukung. Adapun pengolahan data dan analisis yang dilakukan bersifat deskriptif kualitatif. 2. TINJAUAN TEORI Ada 2 tinjauan teori yang digunakan dalam makalah ini yang juga menjadi dasar bagi analisis dan pembahasan, yaitu terkait dengan kebijakan dan sistem rantai pasok (supplychain). Analisis kebijakan diperlukan untuk lebih mengetahui dukungan pemerintah Pusat dan Daerah (utamanya Provinsi Jawa Barat dan Kota Cimahi) sebagai fasilitator utama aktivitas ekonomi di wilayahnya. Analisis sistem rantai pasok dilakukan untuk mengetahui pemetaan awal jejaring yang telah dikembangkan oleh PT Fin Komodo dalam pengembangan bisnisnya. Aspek kebijakan lebih menjadi refleksi dari kondisi eksternal, adapun sistem rantai pasok menjadi refleksi dari kondisi internal. Asumsi yang dibangun adalah jika kondisi eksternal dan internal ini dapat saling mendukung secara komplementer, maka pengembangan industri (dalam kasus ini adalah PT Fin Komodo) menjadi lebih prospektif. 19
Diunduh dari http://2.bp.blogspot.com, pada tanggal 16 September 2012
116
2.1. Kebijakan Kebijakan merupakan hasil keputusan atau perbuatan yang mempunyai sifat untuk dilaksanakan. Kebijakan, karena merupakan hasil perbuatan atau pemikiran seseorang, mengandung berbagai macam kegiatan dan keputusan lainnya yang berkaitan dengan terealisirnya tujuan kebijakan itu. Oleh karena itu, kebijakan memiliki sifat yang dinamis (Setyodarmodjo, 2005). Kebijakan adalah arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, yang memberikan hambatan-hambatan atau kesempatan-kesempatan dalam rangka mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu sasaran atau maksud tertentu (Friedrich dalam Wibawa, 2011). Ketidakpastian diartikan sebagai 3 (tiga) hal yaitu: a) kekurangan informasi terkait faktorfaktor lingkungan yang dihubungkan dengan situasi pengambilan keputusan yang disepakati; b) tidak mengetahui outcome dari keputusan spesifik dalam hal seberapa banyak organisasi akan kehilangan jika keputusan tidak benar, dan c) ketidakmampuan untuk menempatkan kepercayaan bagaimana faktor-faktor lingkungan akan mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan dari suatu unit keputusan dalam menjalankan fungsinya (Lawrence, Lorsch, and Duncan dalam Wong and Boon-itt, 2008). Dalam studi ini, kebijakan otomotif diartikan sebagai upaya-upaya pemerintah dalam menumbuhkan berbagai industri otomotif yang belum ada serta mendorong industri-industri otomotif yang telah ada di dalam negeri untuk terus berkembang guna memenuhi kebutuhan mobil nasional dan internasional. Sementara itu, ketidakpastian kebijakan diartikan sebagai kekurangan informasi dalam pengambilan kebijakan otomotif yang mempengaruhi pada outcome suatu kebijakan otomotif tersebut yang pada akhirnya memunculkan ketidakmampuan pemerintah dalam menyelesaiakan berbagai isu otomotif saat ini dan masa depan. 2.2. Sistem Rantai Pasok Semakin tingginya tingkat persaingan bisnis menuntut setiap perusahaan memiliki daya saing. Saat ini perusahaan tidak hanya dituntut untuk menghasilkan produk dengan kualitas tinggi, tetapi bagaimana produk tersebut dapat bernilai guna dengan harga yang terjangkau oleh sebagian besar konsumen. Oleh karena itu diperlukan perencanaan yang tepat dari setiap aktivitas produksi dari mulai penentuan desain sampai distribusi ke konsumen. Proses tersebut meliputi berbagai macam aktivitas dan melibatkan banyak pelaku dengan fungsi dan aturannya masing-masing, yang dikenal dengan istilah sistem rantai pasok. Rantai pasok adalah jaringan dari fasilitas dan distribusi yang berfungsi dalam pengadaan bahan mentah, perubahan bahan mentah menjadi barang setengah jadi dan barang jadi, dan pendistribusian barang jadi pada konsumen (Hugos, 2003). Sistem rantai pasok melibatkan seluruh pelaku, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam memenuhi kebutuhan konsumen. Dalam sistem rantai pasok terdapat tiga aliran utama yaitu, produk, informasi dan uang (Ayers, 2000). Agar sistem rantai pasok dapat berjalan dengan baik maka diperlukan pengaturan yang dikenal dengan istilah manajemen rantai pasok. Manajemen rantai pasokan adalah koordinasi dari proses produksi, penyimpanan, dan transportasi diantara pelaku dalam rantai pasokan untuk mencapai efektivitas dan efisiensi dalam pelayanan konsumen (Hugos, 2003). Prinsip dari manajemen rantai pasok adalah hubungan dan koordinasi proses antar pelaku (misalnya: supplier-manufaktur) juga didalam organisasi pelaku itu sendiri (Christoper, 2005). Dari sisi mikro, setiap perusahaan harus dapat memiliki strategi agar dapat mencapai kinerja rantai pasok yang efektif dan efisien. Terdapat lima area utama dalam rantai pasokan (Gambar 2) yang harus diperhatikan oleh setiap perusahaan (Hugos, 2003).
117
Produksi
Penyimpanan
Informasi
Transportasi
Lokasi
Gambar 2. Lima area utama dalam rantai pasok (Hugos, 2003) 1. Produksi Area produksi tidak hanya menyangkut proses produksi saja, tetapi meliputi mulai dari bagaimana menentukan jenis produk, desain, kebutuhan bahan baku, pemilihan supplier, sampai proses produksi. Dalam proses tersebut juga terdapat perencanaan jumlah produksi yang disesuaikan dengan kapasitas produksi yang ada. 2. Penyimpanan Penyimpanan meliputi penyimpanan bahan baku dan produk jadi. Fungsi penyimpanan ada karena ada faktor ketidakpastian (fluktuasi) baik dari sisi supply (pasokan bahan baku) ataupun demand (permintaan konsumen). Akan tetapi penyimpanan menjadi salah satu faktor utama pemborosan dalam sistem produksi, oleh karena itu perusahaan harus dapat menentukan berapa banyak bahan baku, barang setengah jadi, dan produk yang menjadi stok agar efisien. 3. Lokasi Area lokasi meliputi keputusan penempatan lokasi produksi, gudang penyimpanan bahan baku, gudang penyimpanan produk yang dapat mempengaruhi efisiensi biaya. Dalam penetuan lokasi tersebut harus diperhitungkan factor ketersedian bahan baku dan pasar. 4. Transportasi Dalam transportasi harus ditentukan bagaimana pengangkutan yang dilakukan, baik bahan baku dari supplier ke pabrik ataupun produk dari pabrik ke konsumen. Bahkan untuk perusahaan besar dengan tingkat kompleksitas tinggi, penentuan transportasi sampai pada penentuan rute dengan menggunakan algoritma matematika yang kompleks. 5. Informasi Informasi menjadi faktor utama dari suksesnya perusahaan dalam menjalankan aktivitas rantai pasoknya. Salah satu kunci keberhasilan Toyota menjaga pasokan komponen tetap mengalir lancar sesuai dengan konsep just in time adalah terletak pada sistem aliran informasi yang dibangun dari hilir (pasar) sampai hulu (supplier) (Kusnandar, 2011). Setiap aktivitas dalam rantai pasok memerlukan koordinasi, sehingga kelancaran informasi menjadi syarat utamanya. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Kebijakan Pengembangan Mobil Komodo 3.1.1. Status Kebijakan untuk Komodo Status kebijakan dalam hal ini terdiri dari kebijakan Pusat dan Daerah. Adapun makna kebijakan sendiri adalah yang mempunyai status hukum jelas (regulasi). Oltra and Jean (2009) menyebutkan bahwa regulasi dapat menjadi suatu driver perubahan teknologi, termasuk teknologi mobil nasional. Kebijakan otomotif nasional di Indonesia saat ini cenderung memberikan kepastian lebih besar bagi pemain otomotif yang sudah lama mapan (yaitu merk asing melalui jaringan ATPM-nya). Iklim globalisasi dan pasar bebas telah menempatkan semua pemain industri pada posisi yang sama sehingga kebijakan seperti ini cenderung kurang pasti bagi pengembangan mobil nasional. Dirjen Industri Alat Transportasi dan Telematika (IATT) 118
Kementerian Perindustrian, Budi Darmadi (2010), menegaskan regulasi yang dibangun adalah agar semua investor merasa nyaman berinvestasi di Indonesia. Berbagai insentif terus dilakukan demi bertumbuhnya industri otomotif nasional. Kebijakan yang merugikan investor segera diselesaikan dengan tujuan agar investasi terus bertumbuh. Sebuah komitmen yang hasilnya sudah terlihat di sektor otomotif. Kebijakan yang ada saat ini tidak mengarah pada upaya memproduksi mobil nasional, tapi pada pengembangan industri otomotif yang dapat menggunakan komponen buatan lokal dan menyerap tenaga kerja Indonesia. Persaingan dunia otomotif di Indonesia yang semakin ketat dan cenderung sudah mapan bagi perusahaan-perusahaan otomotif asal Jepang (dengan persentase pasar total 94,2%), menjadikan pengembangan mobil Komodo menemui tantangan yang berat. Minimnya dukungan Pusat dapat dilihat dari tidak adanya arahan untuk memproduksi mobil merk lokal; termasuk tidak adanya dana penelitian dan pengembangan (litbang) sebagai basis penguasan kemampuan teknologi. Pada sisi pembelian, bahan baku mobil Komodo yang diimpor dari luar negeri masih dikenakan bea/pajak tinggi, meskipun bahan baku tersebut digunakan untuk kegiatan litbang mobil ini. Munculnya draf kebijakan tentang mobil murah hemat energi (low cost green car) ternyata lebih menguntungkan bagi produsen asing (sebagai contoh: munculnya Agya dan Ayla belum lama ini) karena kemampuan teknologi lokal yang belum banyak mengarah pada efisiensi energi. Kondisi kebijakan yang saat ini ada telah membuat Komodo untuk lebih aktif secara mandiri. Salah satu caranya adalah dengan melakukan penetapan segmen pasar dan upaya pemasaran yang sangat spesifik sehingga terpilihlah jenis mobil mini off-road. Keberadaan unit litbang dalam PT Fin Komodo sendiri dengan beberapa sumber daya manusia yang diperoleh secara outsourcing merupakan salah satu indikasi bahwa perusahaan ini juga memberikan perhatian pada pengembangan teknologi, selain bisnis seperti biasa. Pada tataran lokal, dukungan Pemerintah Kota Cimahi dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat belum tampak signifikan, meskipun salah satu prioritas kerja Pemerintah Provinsi Jawa Barat adalah pengembangan kendaraan penjelajah alam Komodo. Perhatian dari Pemerintah Kota Cimahi dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat cenderung meningkat di saat kampanye atau sebagai pencitraan politis kepala daerah. Adapun dukungan secara formal dalam bentuk dana, fasilitas, dan regulasi tidak tampak. 3.1.2. Langkah Kedepan Beberapa negara maju atau bahkan negara tetangga seperti Malaysia, dengan Proton sebagai produknya, dapat dijadikan rujukan dalam pengembangan industri otomotif di Indonesia. Mobil Proton yang telah mampu merebut pasar dalam negeri sendiri dan bahkan telah diekspor termasuk ke Indonesia, menjadi suatu cermin bahwa negara yang umurnya lebih muda dari Indonesia mampu lebih unggul dalam bidang otomotif. Kebijakan Pemerintah Malaysia yang pragmatis merupakan salah satu daya tarik investor untuk menanamkan investasi di negeri ini, termasuk investasi otomotif. Meskipun Malaysia mendatangkan investasi asing, pembentukan proyek mobil nasional seperti merk Proton dan Perodua tetap berjalan. Hal ini telah membuat Malaysia yang semula perakit mobil menjadi pembuat mobil. Kebijakan otomotif nasional Malaysia yang diperkenalkan kembali di tahun 2006 mempermudah transformasi yang dibutuhkan dan integrasi optimal dari industri otomotif lokal ke jaringan industri regional dan global di tengah lingkungan kompetisi global yang semakin meningkat. Hal ini dilakukan melalui upaya peningkatan teknologi pabrik mobil lokal, peningkatan daya saing pabrik mobil lokal melalui kemitraan, pengembangan instrumen kebijakan otomotif nasional, dan lainnya (MIDA, 2010). Lebih lanjut, kebijakan otomotif nasional Malaysia berfokus pada peningkatan daya saing otomotif Malaysia melalui upaya protektif pada perusahaan domestik, ekpansi industri, partisipasi bumiputera ke industri, dan diperhatikannya kepentingan pelanggan (Jawi et al., 2012). Kebijakan pembangunan industri otomotif nasional terkesan tidak jelas arahnya sejak era reformasi 1998. Meskipun demikian, dalam rangka pengembangan mobil nasional, idealnya ada sisi-sisi yang tetap dijaga dan dilanjutkan kembali. Misalnya dengan membangun tim 119
lintas kementerian yang dipimpin langsung oleh Menteri Perindustrian. Dengan partner Kementerian Perhubungan, BPPT, BKPM, Kementerian Perdagangan, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Keuangan. Dukungan yang diberikan tentu perlu disesuaikan dengan tahapan pengembangan industri mobil nasional saat ini. Sebagai produk pendatang baru, Komodo masih berada dalam tahap infant dalam pengembangannya. Tahap ini ditandai masih minimnya fitur kendaraan dibandingkan dengan mobil pabrikan Jepang. Berbagai aktivitas litbang terus dilakukan oleh PT Fin Komodo untuk membenahi desain dan fitur kendaraannya agar semakin baik dari waktu ke waktu. Hal ini telah terbukti dengan diluncurkannya empat generasi Komodo sejak PT Fin Komodo berdiri. Di Thailand sendiri, upaya untuk memperkuat factor internal seperti integrasi rantai pasok industri otomotif masih membutuhkan peran penting mediator dari pemerintah (Duncan dalam Wong and Boon-itt, 2008). Mengacu pada temuan ini, berbagai dukungan politis, pembinaan, pendampingan, serta pemberian fasilitas sudah menjadi kewajiban utama pemerintah agar produk ini dapat eksis dan menjadi unggulan teknologi Indonesia. Penguasan terhadap teknologi otomotif dapat berdampak terhadap meningkatnya posisi tawar Indonesia dengan negara-negara lain di dunia internasional khususnya dalam isu otomotif dan transportasi. 3.2. Sistem Rantai Pasok PT Fin Komodo Pada bagian ini akan dibahas sistem rantai pasok PT Fin Komodo berdasarkan lima area utama yang dikemukakan oleh Hugos (2003). PT Fin Komodo merupakan perusahaan yang masih kecil sehingga pembahasan lebih detail pada area produksi dan pengelolaan informasi, sementara tiga area lainnya yaitu penyimpanan, transportasi dan lokasi hanya digambarkan sekilas.. 3.1.1. Produksi Produksi tidak hanya menyangkut aktivitas produksi di pabrik, tetapi meliput mulai dari identifikasi pasar sampai distribusi produk. Lingkup aktivitas produksi PT Fin Komodo disajikan pada Gambar 3 berikut ini. Input untuk redesign Identifikasi Kebutuhan Komponen
Identifikasi Pemasok
Mobil offroad dengan harga terjangkau
Design moda transportasi
Penentuan komponen yang dibeli di pemasok lokal, luar kota, dan impor
Identifikasi kebtuhan moda transportasi
Perencanaan produksi
Pasar wilayah pedalaman
Aktifitas Produksi
Penyimpanan dan Distribusi
Gambar 3. Lingkup aktivitas produksi Fin Komodo Sistem produksi di PT Fin Komodo dimulai dari penentuan pangsa pasar yang akan dibidik. Berdasarkan kondisi wilayah Indonesia dan kondisi persaingan pasar mobil saat ini, maka pimpinan sekaligus pemilik PT Fin Komodo memutuskan untuk memenuhi kebutuhan moda transportasi untuk masyarakan wilayah pedalaman. Wilayah pedalaman memiliki karakteristik infrastruktur transpotasi yang buruk, bahkan banyak yang belum memiliki jalan beraspal. Karakteristik lainnya adalah tingkat perekonomian di wilayah tersebut masih rendah. Oleh karena itu perlu didesain moda transportasi yang cocok untuk kondisi tersebut. Berdasarkan hasil analisis pasar, maka ditentukan untuk memproduksi mobil off-road yang dapat digunakan dengan aman dan kuat untuk kondisi jalan terjal dan tidak beraspal. Selain itu mobil yang diproduksi harus dapat dijual dengan harga yang cukup terjangkau oleh penduduk yang tinggal dan/atau bekerja di kawasan pedalaman. 120
Setelah ditentukan jenis mobil yang akan diproduksi, kemudian dilakukan desain rincinya. Desain awal dilakukan oleh pemilik yang merupakan engineer pensiunan PT DI, kemudian dibantu oleh rekan-rekannya dari PT DI baik yang sudah pensiun maupun yang masih aktif bekerja di sana. Proses desain pertama menghasilkan produk generasi pertama di tahun 2008. Berdasarkan desain tersebut kemudian diidentifikasi kebutuhan komponen yang cocok, baik dari sisi engineering maupun ekonomi. Setelah teridentifikasi kemudian ditentukan komponen-komponen mana saja yang dapat dipasok dari pemasok lokal, luar kota (Jabodetabek) dan impor. Karena desain mobil original dari Fin Komodo, sehingga banyak komponen-komponen yang harus didesain secara khusus. Dalam strategi pemenuhan kebutuhan komponen, PT Fin Komodo melakukan kemitraan dengan pemasok-pemasok lokal yang sebagian besar merupakan industri kecil menengah. Untuk komponen-komponen yang harus didesain khusus, PT Fin Komodo memberikan desainnya pada pemasok, kemudian pemasok memproduksinya. Dalam proses tersebut PT Fin Komodo juga melakukan pembinaan dalam proses produksinya. Saat ini Fin Komodo telah melibatkan sekitar 120 pemasok lokal. Komponen yang diperlukan untuk mobil Komodo tidak semuanya dapat dipenuhi dari pemasok lokal binaan, oleh karena itu sebagian dibeli dari pemasok luar kota, bahkan ada yang harus dipenuhi dari impor. Pemasok luar kota yang biasa memenuhi sebagian kebutuhan komponen PT Fin Komodo adalah pemasok dari wilayah Jabodetabek. Untuk pemasok tersebut PT Fin Komodo hanya kerjasama bisnis tanpa pembinaan, karena sebagian besar merupakan industri yang sudah cukup besar. Komponen yang masih dipenuhi dari impor adalah mesin dan ban. Pemenuhan mesin masih impor karena sulitnya memproduksi mesin dengan tingkat presisi tinggi karena keterbatasan teknologi peralatan yang dimiliki, baik oleh PT Fin Komodo maupun oleh pemasoknya. Sementara impor ban dikarenakan pemasok lokal mensyaratkan jumlah minimal pemesanan yang terlalu banyak bagi PT Fin Komodo yang volume produksinya masih rendah. Tahap berikutnya dari lingkup sistem produksi di PT Fin Komodo adalah perencanaan produksi dan aktivitas produksi. Perencanaan produksi di PT Fin Komodo masih berdasarkan kapasitas yang dimiliki. Hal tersebut dikarenakan sumberdaya yang dimiliki masih sangat terbatas. Luas lokasi pabrik masih terbatas sehingga banyak operasi yang dilakukan dalam satu tempat.Jumlah tenaga kerja yang dimiliki adalah sekitar 30 orang. Saat ini kemampuan produksi mobil Komodo adalah 8 unit/bulan. Setelah produksi mobil Komodo selesai diproduksi, mobil dikirim ke pengguna. Untuk terus meningkatkan kualitas produk, PT Fin Komodo menerima feedback berupa keluhankeluhan kekurangan mobil serta masukan-masukan dari pengguna. Masukan-masukan tersebut dijadikan dasar bagi PT Fin Komodo untuk terus berinovasi melakukan perbaikan pada produk mobilnya. Dari pertama produksi tahun 2008 sampai saat ini sudah ada 4 generasi mobil komodo, yaitu: generasi I tahun 2008, generasi II tahun 2009, generasi III tahun 2010, dan generasi IV tahun 2011. Saat ini PT Fin Komodo masih terus melakukan riset untuk menyempurnakan desain produknya. 3.1.2. Penyimpanan Penyimpanan di PT Fin Komodo terbagi dua yaitu untuk komponen dan mobil yang belum terkirim ke konsumen. Walaupun kecil, PT Fin Komodo memiliki gudang penyimpanan untuk komponen terutama komponen yang berasal dari pemasok luar kota dan impor. Karena lokasinya jauh dan biaya transportasinya lebih tinggi dari komponen yang dipasok supplier lokal, PT Fin Komodo harus memperhitungkan efisiensi dalam memesan komponen dari pemasok luar kota dan impor. Untuk penyimpanan mobil hasil produksi, terdapat tempat yang menyerupai garasi dengan kapasitas sekitar 8-10 unit. Penyimpanan produk masih belum menjadi masalah untuk PT Fin Komodo karena produksinya yang masih rendah. Meskipun demikian,
121
permintaan saat ini sudah cukup tinggi sehingga banyak pesanan yang harus menunggu. Sebagai catatan, kapasitas produksi PT Fin Komodo baru sekitar 8 unit/bulan. 3.1.3. Lokasi Lokasi pabrik PT Fin Komodo berada diantara Kota Cimahi dan pinggiran Kabupaten Bandung. Kantor manajemen, gudang dan pabrik saat ini masih berada di satu tempat. Lokasi di Kota Cimahi cukup menguntungkan dalam beberapa hal. Seperti telah disebutkan, sebagian engineer PT Fin Komodo adalah karyawan PT DI yang lokasinya dekat dengan wilayah Kota Cimahi, sehingga masih memungkinkan untuk bekerja sama. Keuntungan lainnya adalah dari sisi pasokan komponen. Di sekitar wilayah Kota Cimahi dan Kota/Kabupaten Bandung banyak industri-industri kecil pengolahan logam. Industriindustri tersebut sudah terbiasa memenuhi kebutuhan perusahan-perusahaan baik besar maupun kecil, bahkan ada yang sudah memasok ke PT Pindad. 3.1.4. Transportasi Sampai saat ini sistem transportasi masih belum berpengaruh besar dalam efisiensi sistem rantai pasok PT Fin Komodo. Hal tersebut dikarenakan kapasitas produksi PT Fin Komodo masih sangat kecil untuk ukuran pabirk mobil. Selain itu juga sebagian besar komponen merupakan hasil produksi pemasok lokal, hanya sebagian kecil yang dipenuhi dari pemasok luar kota dan impor. 3.1.5. Informasi Perusahaan PT Fin Komodo memang belum dilengkapi dengan infrastruktur sistem infromasi yang canggih, akan tetapi aliran informasi mengalir lancar baik antara perusahaan dengan pemasok maupun antara perusahaan dengan pasar, bahkan antar perusahaan produsen mobil nasional. Aliran informasi antara perusahaan dengan pasar dapat dilihat dari masukan-masukan dari konsumen sebagai dasar perusahaan untuk melakukan inovasi produk sehingga muncul beberapa generasi produk PT Fin Komodo, dimana setiap generasi merupakan perbaikan dari generasi sebelumnya. Aliran informasi dari perusahaan ke pemasok terbukti dengan adanya pembinaan dari PT Fin Komodo kepada pemasok-pemasok lokal di sekitar wilayah Cimahi dan Bandung. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa sebagian besar pemasok PT Fin Komodo merupakan industri kecil menengah, sehingga diperlukan pembinaan untuk dapat memproduksi komponen yang sesuai dengan rancangan perusahaan. Aliran informasi antar perusahaan produsen mobil adalah melalui organisasi mobil nasional yaitu AsiaNusa. Organisasi tersebut merupakan wadah tempat bertukar pikiran dan informasi serta kerja sama diantara para prodsusen mobil nasional yang saat ini masih kurang perhatiannya dari pemerintah. Saat ini, pemilik PT Fin Komodo merupakan ketua dari organisasi tersebut. Secara sederhana sisem rantai pasok PT Fin Komodo disajikan pada Gambar 4 berikut ini.
122
Design mobil Input untuk redesign Karakteristik Pemasok
Perencanaan Produksi
Pemesanan Komponen
Feedback mengenai kekurangan mobil
Kebutuhan moda transportasi dengan harga terjangkau
Kapasitas Produksi Perencanaan Komponen
Pemasok Impor
Pemasok Luar Wilayah Cimahi dan Bandung
Penyimpanan Komponen Transportasi Komponen
Infrastruktur tidak baik
Penyimpanan Produk Pasar
Transportasi Produk
Kedatangan komponen
Pemasok Lokal
aliran produk
Produksi
Wilayah Pedalaman
Fin Komodo
aliran informasi
pelaku rantai pasok
informasi
aktivitas
Gambar 4. Sistem rantai pasok PT Fin Komodo 4. KESIMPULAN Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa mobil Komodo dapat berkembang lebih lanjut dengan catatan adanya upaya peningkatan dukungan kebijakan. Pada hakikatnya, peningkatan kualitas sistem rantai pasok dipengaruhi oleh kebijakan dan dukungan dari pemerintah sesuai tahapan pengembangan industri, yang dalam kasus Indonesia masih pada tahap infant.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis ingin mengucapkan terima kasih pada Corinthias Pamatang Morgana Sianipar dari Tokyo University of Science atas saran dan masukan pada versi awal makalah ini. PUSTAKA Ayers, J. B. 2001. Handbook of Supply Chain Management. CRC Press, Florida. Business Motor International. 2011. Indonesia Autos Report Q4 2011. Business Motor International, London. Christopher, M. 2005. Logistics and Supply Chain Management: Creating Value-Adding Network. Pearson Education Limited, Harlow. Darmadi, Budi. 2010. Costumer satisfaction: Itulah moto Kementerian Perindustrian, Buletin Karya Indonesia (KINA) Kementerien Perindustrian 1: 5-7 Hugos, M. 2003. Essential of Supply Chain Management. John Wiley and Sons, New Jersey. Jawi, Zulhaidi Mohd et al. 2012. Review of the National Automotive Policy on Car Maintenance Issues: Malaysia’s Automotive Ecosystem Explained. Malaysian Institute of Road Safety Research, Selangor. Kim, W. Chan and Mauborgne Renée. 2005. Blue Ocean Strategy: How to Create Uncontested Market Space and Make Competition Irrelevant. Harvard Business Review Press, Massachusetts. Kusnandar, 2011. Manajemen rantai pasok Toyota, Warta Kebijakan Iptek dan Manajemen Litbang 9(1):93-102. MIDA (Malaysian Industrial Development Authority). 2010. Malaysia’s Industri Automotive. Malaysian Industrial Development Authority, Kuala Lumpur. Oltra, Vanessa and Jean, Maider Saint. 2009. Sectoral systems of environmental innovation: An application to the French automotive industry, Journal of Technological Forecasting and Social Change 76: 567-583. Sargo, Soehari. 2010. Tujuh kunci pengembangan industri otomotif nasional, Buletin Karya Indonesia (KINA) Kementerien Perindustrian 1: 50-51. 123
Setyodarmodjo, Soenarko. 2005. Public Policy: Pengertian Pokok Untuk Memahami dan Analisa Kebijaksanaan Pemerintah. Airlangga University Press, Surabaya. Wahab, Solichin Abdul. 2008. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. UMM Press, Malang. Wibawa, Samodra. 2011. Politik Perumusan Kebijakan Publik. Graha Ilmu, Yogyakarta. Wong, Chee Yew and Boon-itt, Sakun. 2008. The influence of institutional norms and environmental uncertainty on supply chain integration in the Thai automotive industry, International Journal of Production Economics 115: 400-410.
124
PENGEMBANGAN INOVASI TEKNOLOGI
125
TEKNOLOGI FRUGAL MENGUNAKAN ENKAS YANG DIMODIFIKASI: UNTUK PENGEMBANGAN KENTANG TAHAN TERHADAP PENYAKIT LAYU FUSARIUM 1
2
3
Ari Wijayani , Rina Srilestari , Tutut Wirawati Fakultas Pertanian UPN “Veteran” Yogyakarta Jl SWK 104 Ringroad Utara Condongcatur, Yogyakarta Telp. 0274 486733, Fax. 0274 486400 1 E-mail :
[email protected] 1,2,3
ABSTRAK Kentang merupakan salah satu komoditas hortikultura yang semakin menurun produksi dan luas areal pertanamannya, khususnya di Wonosobo. Penurunan tersebut dikarenakan tanaman tersebut terserang penyakit layu fusarium. Cendawan fusarium akan menular secara cepat dan menghancurkan areal pertanaman dalam sekejap. Dibutuhkan suatu teknologi untuk mendapatkan varietas kentang yang tahan layu fusarium. Oleh karena itu, perlu adanya dukungan teknologi frugal agar bibit kentang bisa diperbanyak secara cepat dan dalam jumlah banyak. Kegiatan penelitian yang sekaligus alih teknologi telah dilakukan tim peneliti di laboratorium kultur jaringan UPNVY. Petani dilatih cara perbanyakan (mikrostek) kentang menggunakan enkas, alat penaburan eksplan yang telah dimodifikasi. Sedangkan penelitian yang dilakukan terdiri 3 tahap, yaitu iradiasi menggunakan sinar gamma, pengujian ketahanan layu fusarium dengan asam fusarat dan penumbuhan tanaman tahan dalam media MS. Pada tahap III dilakukan pengujian pada 2 alat penaburan, yaitu enkas dan LAF. Media induksi yang diuji adalah M1 (MS+2 ppm NAA + 0,1 ppm Kinetin), M2 (MS+2 ppm NAA + 0,2 ppm Kinetin), M3(MS+2 ppm NAA + 0,3 ppm Kinetin) dan M4 ((MS+2 ppm NAA + 0,4 ppm Kinetin). Hasil penelitian menunjukkan penggunaan enkas dan laminair air flow (LAF) tidak signifikan, artinya enkas sama bagusnya dengan LAF untuk penaburan eksplan. Kata kunci: in vitro kentang, tahan layu fusarium, teknologi frugal, enkas
1. PENDAHULUAN Kentang adalah salah satu komoditas andalan sektor pertanian di Indonesia dan semakin meningkat permintaannya akhir-akhir ini. Peningkatan ini untuk mencukupi kebutuhan bahan pengganti makanan pokok (beras) maupun sebagai bahan baku industri, selain itu untuk mengatasi harga beras yang semakin tinggi serta mengurangi impor bahan pangan beras yang telah menghabiskan devisa negara dalam jumlah besar (Anonim, 2002). Pendekatan ekstensifikasi budidaya kentang lebih ditekankan ke arah perluasan/pengembangan area produksi diluar Jawa. Lahan pertanaman kentang menempati area yang sangat luas di dataran tinggi di Indonesia dan berpotensi dalam upaya peningkatan produksi pertanian. Salah satu prioritas pengembangan agribisnis kentang di Indonesia adalah di Jawa Tengah (Wonosobo), namun produksinya masih rendah oleh serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) khususnya Fusarium sp. penyebab busuk daun dan umbi tanaman kentang (Rukmana, 1997). Secara bertahap dan berkesinambungan penelitian intensif terhadap komoditas kentang mendapat perhatian dan prioritas. Pengembangan agribisnis kentang diprioritaskan antara lain di provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatra Utara, Sumatra Barat dan Sulawesi Selatan. Penyakit merupakan salah satu faktor pembatas penting pada budidaya tanaman kentang. Penyakit busuk umbi tanaman kentang merupakan penyakit yang paling serius di antara penyakit dan hama yang menyerang tanaman kentang di Indonesia (Zazali, 2004). Fusarium ini dapat menurunkan produksi kentang hingga 90% dari total produksi kentang dalam waktu yang amat singkat. Sampai saat ini Fusarium sp. penyebab penyakit busuk umbi kentang tersebut masih merupakan masalah krusial dan belum ada varietas kentang yang benar-benar tahan terhadap penyakit tersebut (Cholil, 1991). Keberhasilan program pemuliaan tanaman sangat tergantung dari karakter yang dapat diwariskan dan kemampuan memilah genotype- genotype unggul dalam proses seleksi (Satoto & Suprihatno, 1996). Keragaman genetik dapat diamati secara morfologi maupun 126
secara molekuler. Hal ini terjadi karena perubahan segmen ataupun adanya sisipan segmen pada kromosom lain tidak dapat teramati dengan penggunaan mikroskop Penelitian dalam rangka menindaklanjuti permasalahan ketersediaan bibit kentang yang tahan terhadap layu fusarium masih terus saja berlangsung hingga saat ini dan fokus perhatian para peneliti tersebut adalah ke arah seleksi secara konvensional dengan persilangan. Cara lain adalah dengan rekayasa genetika, bahkan beberapa peneliti meningkatkan ketahanan tanaman menggunakan teknik budidaya (Wirawati, 2007; Nagata et al., 2004). Secara garis besar metode tersebut bisa dilakukan, tetapi sering menimbulkan dampak lain seperti waktu yang terlalu lama atau terhadap lingkungan. Selain itu perlu dicari alternatif lain dalam mencari tanaman yang tahan terhadap layu fusarium yang sulit apabila akan diperlakukan dengan metode tersebut. Dalam hal ini digunakan iradiasi sinar gamma sebagai bahan yang mampu mengionisasi sel sehingga menghasilkan gen mutan yang mempunyai ketahanan terhadap layu fusarium. Selain itu, menggunakan asam fusarat sebagai bahan seleksi terhadap layu fusarium secara in vitro (Lestari et al,2006) Bibit tanaman kentang yang dihasilkan harus diperbanyak secara cepat dan dalam jumlah yang banyak dengan memakai teknologi kultur jaringan. Salah satu alat utama dalam kultur jaringan adalah LAF (Laminar Air Flow). LAF adalah suatu alat yang digunakan dalam pekerjaan persiapan bahan tanaman,penanaman dan pemindahan tanaman dari satu botol ke botol yang lain dalam kultur in vitro. Alat ini diberi nama Laminar Air Flow karena meniupkan udara steril secara terus menerus melewati tempat kerja sehingga tempat kerja bebas dari debu dan spora-spora yang mungkin jatuh kedalam media, dan waktu pelaksanaan penanaman dimana kita bisa membandingkan hasil dari parameter-parameter yang kita amati. Harga alat ini masih sangat mahal, sehingga untuk diterapkan pada petani tidak terjangkau. Alat penanaman yang sederhana dan murah telah dicoba sebagai pengganti LAF, yaitu enkas. Di laboratorium kultur jaringan UPN Yogyakarta telah dicoba pembuatan enkas menggunakan bahan terbuat dari fiber glass yang dimodifikasi sedemikian rupa menyerupai Laminar Air Flow dan diharapkan alat ini dapat digunakan sebagai pengganti LAF yang harganya cukup mahal (Gunawan, 1992). 2.
METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi, Jurusan Agronomi, Fakultas Pertanian, UPN “Veteran” Yogyakarta. Untuk irradiasi sinar gamma dilakukan di Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi (PATIR) BATAN Jakarta. Bahan yang digunakan adalah kalus yang mengandung bakal tunas kentang, media padat Murashige dan Skoog, akuades, NAA (Naphtaline Acetic Acid), kinetin, asam fusarat, spiritus, alkohol 96%, kertas pH, KOH (0,1 N), HCL (0,1 N), clorox 25 % dan clorox 15%. Peralatan yang digunakan adalah Gamma chamber 4000 A dengan sumber cobalt 60 pada berbagai dosis yang telah ditentukan Laminair air flow (LAF) dan enkas serta peralatan kultur jaringan Penelitian meliputi empat tahapan yaitu : (a) Tahap I: induksi mutasi dengan irradiasi sinar gamma. Bibit kentang yang digunakan adalah umbi berukuran 1-2 cm dan mempunyai nodul-nodul bakal tunas. Irradiasi menggunakan sinar gamma dengan dosis yang berbeda yaitu G1= 15 Gy, G2 = 20 Gy, G3= 25 Gy, dan G4 = 30 Gy. Percobaan laboratorium disusun menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 ulangan. Setiap perlakuan terdiri atas 10 botol dan tiap botol berisi 2 eksplan. Kalus yang telah diirradiasi kemudian disubkultur pada media yang sama untuk induksi kalus. Peubah yang diamati adalah persentase eksplan hidup dan waktu pembentukan kalus. (b) Tahap II: seleksi in vitro menggunakan asam fusarat. Kalus yang sudah disubkultur selanjutnya dipindahkan ke dalam media regenerasi dengan ditambah asam fusarat sebagai penyaringan ketahanan terhadap layu fusarium dengan konsentrasi asam fusarat yang berbeda yaitu P0 = 0%, P1 = 15% dan P2 = 30%. Percobaan dilakukan di laboratorium menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), diulang sebanyak 3 kali
127
dengan masing-masing terdiri atas 10 botol tanaman, setiap botol terdiri atas dua eksplan. Pengamatan dilakukan terhadap persentase eksplan hidup dan warna kalus. (c) Tahap III: penanaman di enkas dan laminar air flow (LAF) pada media induksi. M1 (MS+2 ppm NAA + 0,1 ppm Kinetin), M2 ( MS +2 ppm NAA + 0,2 ppm Kinetin), M3 (MS + 2 ppm NAA + 0,3 ppm Kinetin), dan M4 (MS+2 ppm NAA + 0,4 ppm Kinetin). Pengamatan dilakukan terhadap saat tumbuh tunas, persentase tumbuh tunas, jumlah tunas, jumlah akar dan tinggi tunas.
Sumber: Dokumentasi pribadi (2012)
Gambar 1. Enkas yang Dimodifikasi dengan Bahan Fiber-glass dan Bukaan Depan yang Memudahkan untuk Memasukkan dan Mengeluarkan Barang (d) Tahap IV: praktek uji coba kepada petani di laboratorium kultur jaringan 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian tahap I, peneliti mengharapkan mendapatkan bibit kentang hasil rekayasa berupa mutan kentang yang bebas dari penyakit layu fusarium. Radiasi berpengaruh terhadap daya regenerasi kalus. Semakin tinggi dosis radiasi, semakin rendah kemampuan kalus untuk melakukan regenerasi membentuk tunas adventif. Hal ini terjadi karena radiasi dapat menyebabkan rusaknya dna sehingga proses sintesis protein atau enzim terganggu. Gangguan pada sintesis protein menyebabkan gangguan metabolisme sehingga proses morfogenesis pada kalus embriogenik terganggu yang menyebabkan proses regenerasinya terganggu. Tabel 1. Saat Muncul Kalus (Hst) dan Persentase Kalus Hidup (%) Dosis Irradiasi Saat muncul kalus Persentase kalus hidup (hst) (%) G1 = 15 Gy
13 b
50 b
G2 = 20 Gy
15 b
40 b
G3 = 25 Gy
7a
100 c
G4 = 30 Gy
20 c
10 a
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT (α = 5%). Sumber: Hasil pengamatan (2012)
Tabel 1 menunjukkan bahwa dosis irradiasi 25 gy, memunculkan kalus paling cepat yaitu 7 hari setelah tanam (hst) dengan persentase kalus hidup paling tinggi yaitu 100 %. Penggunaan sinar gamma pada 25 gy ternyata juga merupakan dosis yang tepat untuk 128
menghambat regenerasi pathogen yang terdapat dalam bahan. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan kimia yang terjadi cukup menyebabkan terjadinya efek biologis yaitu menghambat sintesis dna pada patogen (mokroorganisme) yang terbawa pada jaringan kentang, terutama pada bagian lingkaran coklat pada kentang yang disebabkan gula pereduksi yang pembentukannya sangat aktif pada kentang yang akan bertunas. Terhambatnya sintesis dna pada pathogen menyebabkan proses pembelahan sel terhambat sehingga proses kehidupan normal dalam sel pathogen akan terganggu. Pada penelitian tahap II dengan perlakuan asam fusarat 30 ppm menghasilkan persentase kalus yang hidup paling tinggi (80%) dengan warna kalus putih susu kekuningan. Pada konsentrasi asam fusarat 15 ppm ternyata kalus yang hidup hanya 30 % dan kalus berwarna coklat gelap. Selanjutnya kalus akan menjadi hitam secara keseluruhan dan mengalami kematian. Kematian tersebut merupakan reaksi sel dan jaringan kelompok kalus dalam proses ketahanan terimbas. Reaksi tersebut berhubungan zat fungitoksisitas didalamnya (Agrios,1996). Pada kontrol tidak terdapat bahan pengimbas yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan kalus kentang. Pada asam fusarat 30 ppm warna kalus putih susu kekuningan yang menunjukkan kalus embrionik (Sulistianingsih, 1999). Tabel 2. Persentase Kalus Hidup (%) dan Warna Kalus Konsentrasi asam fusarat Persentase kalus hidup Warna kalus (ppm) (%) 50 b Po = 0 Coklat 30 a P1 = 15 Coklat gelap 80 c P2 = 30 Putih susu kekuningan Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT (α = 5%). Sumber: Hasil pengamatan (2012)
Hasil penelitian tahap III, menunjukkan bahwa penaburan eksplan yang dilakukan pada enkas maupun Laminair Air Flow (LAF) tidak berbeda nyata untuk semua parameter penting pertumbuhan kalus yang diamati, disajikan pada Tabel 3. Hal ini mengartikan bahwa peralatan enkas meskipun bentuknya sederhana, mudah penggunaannya, murah harganya tetapi menghasilkan produk yang sama bagusnya jika dibandingkan dengan Laminair Air Flow (LAF) yang bentuknya lebih rumit dan mahal harganya, Tabel 3. Saat Tumbuh Tunas, Persentase Tumbuh Tunas, Tinggi Tunas, Jumlah Tunas dan Jumlah Akar Perlakuan Saat Persentase Tinggi Jumlah Jumlah tumbuh tumbuh tunas (cm) tunas akar tunas (hari ) tunas (%) Laminair Air Flow M1 9 a 60 c 4,6 b 3 b 5 b (MS + 2 ppm NAA + 0,1 ppm Kinetin)
M2
12 b
65 b
5,0 b
4 b
6 b
12 b
80 a
6,9 a
11 a
10 a
13 b
70 b
4,2 b
3 b
5 b
10 a
60 c
5,3 ab
4 b
3 b
(MS+2 ppm NAA + 0,2 ppm Kinetin)
M3 (MS+2 ppm NAA + 0,3 ppm Kinetin)
M4 (MS+2 ppm NAA + 0,4 ppm Kinetin)
Enkas M1 (MS + 2 ppm NAA + 0,1 ppm
129
Perlakuan
Saat tumbuh tunas (hari )
Persentase tumbuh tunas (%)
Tinggi tunas (cm)
Jumlah tunas
Jumlah akar
Kinetin)
M2
14 b
75 b
4,7 b
8 a
9 a
9 a
90 a
6,5 a
8 a
12 a
16 c
45 d
4,9 b
5 b
4 b
(MS+2 ppm NAA + 0,2 ppm Kinetin)
M3 (MS+2 ppm NAA + 0,3 ppm Kinetin)
M4 (MS+2 ppm NAA + 0,4 ppm Kinetin)
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT (α = 5%). Tanda (-) menunjukkan tidak signifikan antara LAF dan enkas
Gamb ar 2. g
Sumber: Dokumentasi pribadi (2012)
Gambar 2. Planlet yang dihasilkan menggunakan LAF (T4) dan Enkas (T5) Pada tabel 3 terlihat saat tumbuh tunas antara perlakuan enkas dan LAF tidak ada beda nyata sedangkan antara keempat macam media ternyata media M1 tunas muncul lebih cepat dibanding media yang lain. Respon awal yang terjadi pada sebagian besar eksplan yang telah ditanam adalah terjadinya pembengkakan jaringan eksplan. Menurut Andrini (1993) perubahan pada eksplan ini terkait dengan tingkat osmolaritas dari media yang digunakan. Media culture merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan perbanyakan tanaman secara in vitro. Dalam media kultur jaringan diperlukan penambahan zat pengatur tumbuh yang cepat untuk mendukung pertumbuhan eksplan. Hal ini sejalan dengan pendapat Hoesen (1998) yang menyatakan bahwa semakin meningkat konsentrasi sitokinin maka saat muncul tunas akan semakin lama. Hal tersebut juga berpengaruh terhadap persentase tumbuh tunas dimana pengaruh kinetin terhadap sel adalah peranannya dalam menstimulasi proses pembelahan sel dan differensiasi sel. Pengaruh utamanya dalam penggandaan DNA.sehingga akan berpengaruh terhadap pertumbuhan tunas. Media tanam yang digunakan juga sangat menentukan pertumbuhannya, pada media M3 (MS+2 ppm NAA + 0,3 ppm Kinetin) mampu memacu pertumbuhan tunas sehingga lebih tinggi dan lebih banyak, demikian juga jumlah akarnya. Perakaran pada planlet penting bagi pertumbuhan selanjutnya, karena jumlah akar yang semakin banyak bagus untuk penyerapan nutrisi bagi media. Hal itu disebabkan karena semakin banyak maka bidang penyerapan nutrisi dari media akar semakin luas pula. Jumlah akar akan berguna untuk aklimatisasi tanaman dirumah kaca, sehingga dengan meningkatnya jumlah akar akan meningkatkan pula bidang serapan hara (Srilestari, 2003) Penerapan di tingkat petani menunjukkan bahwa petani tidak kesulitan dalam menggunakan enkas, meskipun untuk tingkat keberhasilannya perlu pelatihan lebih lanjut dan perlu keberlanjutan pendampingan. Penggunaan enkas dan LAF ternyata dapat 130
memberikan hasil yang sama-sama bagus untuk pengembangan kentang secara in vitro, meskipun masih perlu ketrampilan agar lebih luwes dalam penggunaannya.
Sumber: Dokumentasi pribadi (2012)
Gambar 3. Petani yang Dilatih Khusus di Laboratorium Kultur Jaringan 4. KESIMPULAN 1. Dosis irradiasi 25 Gy, dapat menumbuhkan kalus paling cepat yaitu 7 hari setelah tanam (hst) dengan persentase kalus hidup paling tinggi yaitu 100 %. 2. Konsentrasi asam fusarat 30 ppm untuk uji ketahanan terhadap layu fusarium menghasilkan eksplan hidup paling banyak yang ditandai dengan kalus tetap berwarna hijau. 3. Pertumbuhan plan let kentang tahan terhadap layu fusarium sangat bagus pada media MS+2 ppm NAA + 0,3 ppm Kinetin 4. Enkas merupakan produk inovasi alat penaburan eksplan yang dapat digunakan untuk pengembangan kentang tahan terhadap layu fusarium. UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ditlitabmas Ditjen Dikti yang telah memberikan dana penelitian melalui skim Strategis Nasional dengan surat perjanjian pelaksanaan penelitian nomor : 0318/E5.2/PL/2012 tanggal 23 Februari 2012. Terima kasih juga kami sampaikan kepada Ibu Prof. Nurpilihan dari Universitas Padjadjaran yang telah memberikan masukan pada makalah ini saat monev. Terima kasih juga kami sampaikan kepada Ibu Dr. Sri Wuryani, M.Agr. dari UPN “Veteran” Yogyakarta yang telah merevisi makalah ini. PUSTAKA Agrios, G.N., 1996. Plant Pathology (Ilmu Penyakit Tumbuhan, alih bahasa: M. Busnia) Edisi ketiga. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Fahmi, N. T. Wardiati dan S. Lamadji., 2000. Variasi somaklonal Kentang Hasil Induksi Sinar Gamma. Agrivet 4. (1): 1-14 Gunawan,L.W., 1992. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. IPB. Bogor. Hoesen, D.S.H., 1998. Kultur Jaringan Kunir Putih. Berita Biologi 4(4): 175-181 Lestari, E.G., R. Purnamaningsih, I. Mariska, S. Hutami, M. Kosmiatin dan I. Roostika, 2008. Mutasi Induksi dan seleksi in vitro pisang raja bulu untuk ketahanan terhadap penyakit layu. Prosiding Simposium Teknologi Aplikasi Teknologi isotop dan Radiasi di BATAN.
131
Lestari, E.G., Mariska, I., Roostika dan Kosmiatin, M., 2006. Induksi Mutasi dan seleksi in vitro menggunakan asam fusarat untuk ketahanan penyakit layu pisang ambon hijau. Berita Biologi 8(1) : 27-35. Molla, M.M.H., M.D.Khanam, M.M. Khatun, M. Al-Amin and M.A. Malek, 2004. In vitro Rooting and Ex vitro Planlet Establishment of BARI Banana 1 (Musa sp.) as Influenced by Defferent Concentration of IBA. Asian Journal of Plant Sciences 3 (2): 196-199. Nagata, Tosshifumi, Setsuko Todoriki and Shoshi Kikuchi. 2004. Radial Expansion of root cells and elongation of root hairs of Arabidopsis thaliana Induced by Massive Doses of Gamma Irradiation. Plant Cell Physiology 45 (11): 1557-1565. Purwati, D.U. Setyobudi dan Sudarsono, 2007. Penggunaan asam fusarat dalam seleksi in vitro untuk resistensi abaka terhadap Fusarium oxysporum f. Sp. Cubense. Jurnal Litri 13 (2): 64-72 Santosa, DDS dan Human, S., 2007. Pengaruh kondisi persiapan analisa karakteristik pati hidroksipropilasi galur mutan sorghum ZH-30. Risalah seminar ilmiah Aplikasi Isotop dan radiasi. Badan Tenaga Nuklir Nasional. Jakarta. Sisworo, E.L., K. Idris, A., Citraresmi dan Sugoro, I., 2006. Teknik Nuklir untuk Penelitian Hubungan Tanah-tanaman: Perhitungan dan Interpretasi Data. Badan Tenaga Nuklir Nasional. P.130. Simon P.G., Sisworo, E.L. dan Rasjid, 2005. Use of a Netron Probe to Determine Water Characteristics on Sandy Soil in The South Coastal Areas of Special Provience Yogyakarta. Jurnal stigma XIII (3): 177-183. Srilestari, R., 2003. Pengaruh konsentrasi BAP dan NAA terhadap induksi kalus pepaya. Agrivet Vol 2(2): 123-126. Sulistyaningsih, R., 1999. Penyaringan in vitro kalus padi terhadap layu fusarium dengan PEG 6000. Agrosains 12(3) Widiastoety, D., 2000. Pengaruh Naungan Terhadap Produksi Tiga Kultivar Bunga Anggrek Dendrobium. Dalam: Jurnal Hortikultura 9.(4): 302-306 Wirawati, T., 2007. Usaha Peningkatan Daun Iles-iles sebagai Bahan Stek Tanaman Melalui Pemacu ZPT. Jurnal Agronomi PGRI 1(1): 12-17
132
APPLICATION OF PULP MODIFICATION FOR AUTOMOTIVE BRAKE LINING 1
Wawan Kartiwa Haroen , Posma Reginald Panggabean 1,2, Center for Pulp and Paper, Ministry of Industry Jl. Raya Dayeuhkolot 132, Bandung, INDONESIA 1 Email:
[email protected]
2
ABSTRACT Mechanical and/ or chemical pulp fiber is usually used for papermaking and other kind of paper products. In fact, physical properties of chemical and or mechanical pulp showed that it can be utilized as filler of automotive brake lining. Pulp fiber is non-asbestos cellulosic fiber with high heat absorption rate which can fit into criterion of good quality brake lining. Mixture of pulp fiber with some other composites materials can create high fiber bonding with some hardness, friction materials, clutching, heat and dust retainer fiber which is free of asbestos fiber. Current automotive brake lining uses asbestos fiber as main filler, which is in fact known as cancer triggers. A series of study and assessment in using of pulp fiber in a specified composition as brake lining filler have been carried out. The research and field experiment revealed that a mixture of pulp fiber can be further examined and feasible for brake lining proto type filler application which is ready for automotive vehicles operation. The development and application of fiber pulp as brake lining filler has been tested on two wheeled vehicles with considerable result. Keywords: chemical and mechanical pulp, automotive brake lining, non-asbestos cellulosic fiber, brake lining filler
1. INTRODUCTION Using pulp fiber material for paper or paperboard industry is common and typical of pulp and paper industry. However, the using of pulp as other raw material functions such as filler is a breakthrough which is still promising. The use of pulp from something unusual is one of a breakthrough in efforts to diversify the products that are useful and have a competitive economic value. One of the components of vehicles that are needed and have a broad market ranging from urban to the rural areas is canvas motorcycle brakes. In fact, brake lining material is still much use of materials originating from imported components in the form of finished goods. While the percentage use of these products is huge and still rely on imported components. Based on visual observations on the brake lining there is a range of filler that can be engineered as needed and still consider the factor of safety of the wearer. Empty oil-palm fruit bunches (EOFB) which are by products of oil palm plantation are fiber sources of chemical, mechanical, and semi-chemical pulp. The pulp can be used as fillers or a mixture of motor vehicle brake components. One of the particular type of pulp is expected to qualify technically and economically as a brake through manufacturing engineering efforts such as the process of mixing with the composite that results can produce a strong power fiber bundle with a high frictional resistance and to produce accurate grip. Various stages of the process to be considered in the making is the type of pulp that is suitable and can be mixed with the additive as a binder composite materials through the stages of pressing using a particular temperature variations. Manufacturing a motorcycle brake for medium-scale industries in the future is a great business opportunity given the number of motorcycle users in Indonesia showed a very sharp increase to 10 times each year. At this time the use of pulp as raw material for brake no one has studied and examined it, in fact, pulp structure when viewed from the components, it is possible to use. However, in the process of mixing is required other ingredients like hardeners and composites to increase the frictional resistance and resistant to heat. Thoughts and ideas for diversification of products from pulp sparked efforts to research the use of pulp as raw mixture motorcycle brake components.
133
The series of this research are expected to answer the challenges of technological process of making motorcycle brake made from natural cellulose fiber empty fruit bunch. The combination of optimal composition of various materials can reduce the component of imported materials currently used. Progressively in accordance with the process of running the motor vehicle brake pads made from a mixture of pulp biomechanical/ mechanical oilpalm empty fruit bunches or wood low mass species can be produced in Indonesia. Method of manufacturing technology and research results can then be applied to small-medium industries (SMI) and the production of reference materials that have been tested through the technical and economic studies. 1.1. Non-asbestos brake lining Brake lining made from non asbestos material usually consists of 4 to 5 types of fiber such as Kevlar, steel fiber, rock wool, cellulose and carbon fiber which has a long fiber. Asbestos brake material has only 1 type of asbestos fiber which is a component that can cause carcinogenic fibers. Due to this difference of asbestos-containing brake has a disadvantage in wet conditions. Asbestos consists of only 1 type of fibers, on wet conditions the material will experience the effects of slippery like swiping a finger on the wet glass (slippery/no grip). Non-asbestos brake lining material that has some kind of fiber is slick effects can be resolved. Given the asbestos brake use only raw materials up to 6 types of non asbestos material and using more than 12 types of material, asbestos can only be maintained until the temperature of 200oC. Medium non-asbestos material can withstand temperatures up to 360oC. This means that the asbestos will be free from tension brake (fading) at temperatures of 250oC, while the non-asbestos tends to be stable (no tension). Asbestos brake lining prices are relatively cheap, because it only consists of 6 kinds of materials and with low quality. Brake dust contains asbestos tend to be mild and easily attached to the rim and cleaned hard nonasbestos dust is heavy so do not tend to stick to the rim and easy to clean. The weightlessness of asbestos dust is what causes asbestos dust easily inhaled, and easy to stick to the hands so easily fit in our digestive tract with food, hence the non-asbestos brake known as environmentally friendly. 1.2. Metal Based Composite Brake Blocks Containing Lead and Asbestos On the use of composite products in industry, Safety issues are often received less attention both from users and management of the company due to limited knowledge of the dangers in its use. One example of canvas brake metal-based composite had a researcher check the composition of the field and found the content of Lead, Chromium, and Zinc, where the technical specifications during the tender material should be free of the compound Cr, Pb, and Zn. Levels of Pb contained in metal-based composite brake blocks containing more than 100 ppm Pb. It is very dangerous for passengers and people who happened to be passing by around the train when "braking" performed by railway train drivers Canvas-based metal composite brake lining contain heavy metals and asbestos since the main raw materials/ fillers are made in the form of mineral fibers and asbestos-containing material follow-ferrous (inert) and in the form of metal oxide-containing compounds PbO2, and Cr2O3 and ZnO. 2. EXPERIMENTAL METHODS The research was conducted in three places/ institutions competent in their field i.e.: the Center for Pulp and Paper (CPP) Bandung for biomechanical pulping process, PT. Inti Bagas Perkasa for the process of making and printing specimens brakes lining, and other testing agencies that support such as the Indonesian Institute of Science (LIPI), Institute of Technology Bandung (ITB), Center for Material and Technical Products (B4T) and others. The research is planned for 2 years starting from January 2008, while research scope includes the process stages of the suitable biomechanical pulping, and seeking for mixing
134
variations in accordance with the physical properties. The work includes the binding of materials, resin and the pulp as filler on canvas brakes are carried out as follows: o Selection of mechanical pulp fiber/ reconditioning o Selection of material mixing o Tests for chemical properties and other materials o Pulp and composite blending technique o Evaluation and improvement of the mixing method o Report progress pulp manufacture brake Canvas Tests on the parameters observed using ASTM standard equipment available in research institutions, such as: disintegrator, chemical analysis equipment, test equipment fracture strength, tensile strength tester, wear test, hardness test and test the grip of moving objects. The procedures for the testing of test samples made with a method applicable standards such as: SCAN (Scandinavian), ASTM (United States), SNI (Indonesian National Standard). Data quality test results are compared to national/ international standard brake canvas quality as well as of commercial materials on the market that has the cheapest price to the most expensive. From the data comparison results can be evaluated by considering the best and optimum product quality control. Analysis of research data for each parameter is carried out by testing the relationship between one parameter with other parameters using correlation research design, such as: o composition of the pulp mixture to a standard power brake canvas o type of pulp used to quality canvas brakes o relationships with other filler materials of pulp on the quality of brake canvas 2.1. Materials Pulp non wood, NaOH, Aquadest, Phenolphthalein, KJ, Fiber glass, Friction dust, NBR Powder, Barium sulfat, Calcium hydroxider, Grafit, Stell fiber, Phenoic resin. Rockwool, Carbon black, Glue hardener . 2.2. Equipments Digester, Refiner, Beater, Jhonson Screen, Beaker Glass, Compressor, Vacum Pump, Buster Pump, Pulp Physical Testing Instruments, Friction Tester, Press Test Equipment, Mixer, Blender, Hot Pressure, Desintegrator, Oven, Thickener, Caliper, Power Friction and Friction Coefficient Tester, Hardness Brake Lining. 2.3. Methods Fiber or similar material mixed in a special instrument (mixing chest) with 2 different rotation and motion between the outer and inner. Fiber material is stirred until uniform and then added another component to 6 species or more. The whole homogeneous blend of brake lining raw materials mixture is ready to be fabricated. 2.4. Experimental Stages The process or stages of research can be seen in Figure 1.below.
135
Non-wood Fiber material Visual, chemical, and microscopical analysis of physical properties
Non-wood Pulping Mechanical Pulp
Pulp yield and Kappa Number
Pulp chemical analysis Resin, Additives and Composite Mixing Brake lining physical properties testing of mechanical pulp
Pressing process of Brake lining pad
Application for two wheels vehicles/ motor cycles
Mechanical pulp Brake lining specimen
Figure 1. Research Flow Chart of Mechanical Pulp for Motorcycle Brake Lining 3. RESULTS AND DISCUSSION 3.1. Organic Brake Lining Type or kind of brake lining that is made in this study lead to brake lining organic, i.e brake lining produced from cellulose bind together with other materials using heat-resistant phenolic resin. Organic pad at first uses asbestos to get resistance of higher temperatures. However, since asbestos known to cause cancer, then kevlar, fiber glass and mineral fillers are eventually selected as a replacement. Organic pads have a coefficient of friction (COF) which is good for lighter pedal effort, work well at low temperatures and not noisy. Organic pad does not work well on the high performance use which will fast run out, fading at high temperature, easily oxidized and destroyed, and pad does not create a worn rotor. Brake test results from the first stage of pulp (first base line) against the friction and the friction coefficient from 1 to 20 times usage, the brake lining brake type A and type B showed nearly the same strength. This shows that the friction strength and the friction coefficient is almost equal to the amount of pulp which is added to the type A or type B. Although there are differences of both types, its value has no effect on the performance of the brake lining. Table 1. Pulp Brake Lining Test Results of Phase 1 Force Friction Force Temp Coefficient of First Hard ness (N) (N) (oC) Friction (CoF) base line HRS Type A Type B Type A Type B Type A Type B Type A Type B 1 584 587 296 256 90 67 0,51 0.49 5 579 518 287 291 88 68 0,50 0.47 Dispad 94 10 578 564 291 274 111 92 0.50 0.49 brake shoe 75 15 585 549 310 289 90 91 0,53 0.53 20 590 540 319 293 95 92 0,54 0.53
136
Figure 2. Pulp Brake Lining Specimen Disc Type
Figure 3. Specimen of Pulp Fiber Brake Lining Testing, Brake Shoe Type
Brake lining testing are carried out after the first stage and then tested in the second stages. The results show that using the 1st to the 8th power differences in friction, the friction power for the type A is better than type B. The temperature usage is higher in type B with a coefficient of friction decreases. Tabel 2 Pulp Fiber Brake Lining Testing, Brake Shoe Type
NO
PROPERTIES
BRAKE SHOE 1
BRAKE SHOE 2
BRAKE SHOE 3
SNI 09-0143-1987
0.26
0.22
0.2
0.30 - 0.60 ± 0.10
0.25
0.27
0.24
0.25 - 0.60 ± 0.10
1
CoF, 100 oC
2
CoF, 150 C
3
Wear Degree, 100 C
0.32
0.84
0.84
1.02 ± 0.10
4
Wear Degree, 150 oC
0.44
0.12
0.12
0.30 - 0.60 ± 0.10
5
Characteristics Classification
Type 1
Type 1
Type 1
Type 1
6
Using Classification
Class 1B
Class 1B
Class 1B
Class 1B
7
Hardness, HRS
7.8
7.5
7.6
-
o
o
137
Table 3. Brake Lining Testing Result Phase 2 Force Coefficient of Friction Force (N) Temperature (oC) Hard ness (N) Friction HRS Type A Type B Type A Type B Type A Type B Type A Type B 505 572 297 325 94 94 0,50 0.48 485 554 288 332 122 120 0,60 0.51 472 564 299 328 150 150 0,63 0.49 Dispad 94 460 560 334 343 178 170 0.73 0.52 brake 463 559 316 348 200 206 0.68 0.53 shoe 75 472 561 328 349 234 234 0,68 0.53 480 557 344 328 202 262 0,72 0.50 470 559 337 300 200 290 0.72 0.46
First fade 1 2 3 4 5 6 7 8
Tabel 4 Pulp Fiber Brake lining Testing, Brake Shoe Type NO
PARAMETERS
Disk B
0.3
0.24
0.25
0.30 - 0.60 ± 0.10
0.27
0.23
0.21
0.25 - 0.60 ± 0.10
0.48
1.95
0.84
1.02 ± 0.10
0.41
0.00
0.00
2.04 ± 0.10
Type 1
Type 1
Type 1
Type 1
Class 1B
Class 1B
Class 1B
Class 1B
10.2
9.5
8.7
-
1 CoF, 100 oC 2 CoF, 150 oC 3 Wear Degree, 100 oC 4 Wear Degree, 150 oC 5 Characteristics Classification 6 Using Classification 7 Hardness, HRS
Commercial SNI 09-0143-1987 Disk (Average)
Disk A
Physical testing of pulp material with canvas brakes after moving away then conducted a second test, and so on with the results shown in Table 5. Tabel 5. Testing Result of Fiber Pulp Brake Lining Phase 3 Force Temp Coefficient of Friction Force (N) Phase 3 (N) (oC) Friction (First Hardness reco HRS Type A Type B Type A. Type B Type A. Type B Type A. Type B very) 1 2 3 4
547 535 538 529
518 510 546 570
317 219 285 280
204 208 237 277
200 193 148 94
260 203 148 94
0,58 0,54 0,53 0,53
0.39 0.41 0.43 049
Dis pad 94 brake shoe 75
Pulp fiber brakes lining test on the first use until the usage to 100 show friction strength, friction coefficient, and temperature during friction the same value. This indicates that the 138
composition of the pulp in type A and type B have good braking performance up to 100 times use. Table 6: Result of The Brake Test Pulp Use Force Temp Coefficient of Friction Force (N) Hardness (N) (oC) Friction Wear test (HRS) Type A Type B Type A. Type B Type A. Type B Type A. Type B 1 662 639 388 338 212 209 0,59 0,53 19 652 654 364 357 205 200 0,56 0,55 20 594 653 356 372 222 201 0,60 0,57 30 616 655 344 362 213 203 0.56 0,55 Disc 40 652 656 333 357 198 198 0,51 0,54 pad 94 50 652 642 350 350 218 200 0,54 0,55 brake 60 650 652 348 652 213 203 0,54 0,54 shoe 75 70 651 661 353 661 198 198 0,54 0,55 80 653 661 353 661 199 202 0,54 0,55 90 664 651 350 651 217 208 0,53 0,55 100 665 651 364 651 213 213 0,55 0,56 The next testing phase is carried out on pulp brake lining after a recovery phase 1 and then conducted tests on the recovery phase 2 with 5 times experiment. The results showed that the friction on type A and B still has the power of friction above 250 and the temperature reaches 300oC due to friction with friction coefficient 0.4 to 0.5.
Figure 4: SEM Testing of Pulp Fiber Brake Lining A
Figure 5: SEM Testing of Pulp Fiber Brake Lining B
139
Table 7: Result of recovery test brake pulp phase 2 Force (N) Second recovery 1 2 3 4 5
Type A 525 484 523 503 501
Friction Force (N)
Temp (oC)
Coefficient of Friction
Type B Type A. Type B Type A. Type B Type A. Type B 543 533 527 516 560
251 275 292 274 291
179 228 244 247 280
312 258 202 149 94
311 256 202 147 92
0,48 0,57 0,56 0,54 0,58
0,33 0,43 0,46 0,48 0,50
Hardness (HRS)
Dispad 94 brake shoe 75
Figure 6: SEM Testing of Pulp Fiber Brake Lining A1 3.2. Using of Lower Resin and Process Positive Moulds The study on the use of low resin with a “positive mold” on disc brake pads show that fading does not occur when using the brake lining. This is due to positive mold process is the best way to produce the disc pad and this process is widely used by brake manufacturers 'original equipment manufacturer"(OEM).During the process of positive mold hot press, the brake lining material placed into the cavity of the dies hot press and then pressed so that the average density occurs on the brake. Brake product that uses the system process "mold flash" with resins and brake material content must be excessive so that the resin can flow out. High resin content can easily lead to tension brake due to high temperatures (fading) when braking occurs. Due to this fading can cause increased braking distances of 50% or more, resulting in an unavoidable accident due to tension brake. This can happen on the brake canvas made from raw asbestos brakes with high resin consumption between 15 20%. Non-asbestos brake canvas which only added to the resin content of 9-10%, high temperature braking can anticipate of tension brake problems or canvas fading brakes.
4. CONCLUSION 1. The addition of non-wood pulp fiber as a substitute for asbestos in vehicle brake canvas obtained the optimum composition of pulp fiber . 140
2. Pulp fiber brake for two wheeled vehicles produce good friction power quality and has a heat resistance up to 300oC braking effect on the optimum composition of the pulp. 3. Optimization of fiber pulp manufacture brake lining can be implemented with the addition of a number of other filler materials in accordance with the composition of the pulp. Pulp fiber brake lining type A and type B is the experimental result that has been applied to the automotive industry scale. 4. Nonwood pulp fibers can be used as a filler canvas brakes as a replacement of asbestos fibers. Trial results on an industrial scale by making 1000 pairs of brake drum type and disc type has been implemented in the automotive industry. 5. Test results of pulp fiber brake canvas products for two-wheeled vehicles, in compliance with SNI 09-0143-1987 and meet the commercial brake canvas. Patents canvas pulp fiber brake for vehicles have been registered as a Patent No.ID. P0029623 in Indonesia. 6. Socialization and installation of fiber pulp canvas brakes on two wheels vehicles in the community such as students, households, workers and taxi motor has been implemented with encouraging results. ACKNOWLEDGMENTS We would like to thank the Center for Pulp and Paper Ministry of Industry, Ministry of Research and Technology, and PT. Inti Bagas Perkasa whom have helped us a lot by giving facilities and advices so that this research can be accomplished effectively. REFERENCES Adelmann, May 1975. Less Abrasive Composition Raillroad Btake Shoe Material, United State Patent No. 575306. Kaminski, Sigmund, S., Evans, Ellsworth R., 1999. Method for Manufacturing Friction Materials Containing Blends of Organic Fibrous and Particulate Components. Sterling Chemical International, Inc. Houston. TX. Kabul Paimin; Darnoko; Purboyo, 1995. Waste Management Strategies Oil Palm Plantations in Indonesia (in Bahasa Indonesia), Warta PPKS, vol.3 No.2 June 1995. page 47. Masmui, 2003. Development and Application of Composite Materials as Scratch Materials (in Bahasa Indonesia). PPTM-BPPT. Niu MCY, 1992. Composite Airframe Structures. Conmilit Press Ltd. Hongkong. Strong, AB., 1989. Fundamental of Composite Manufacturing. Society of manufacturing. Engineers Dearbon, MI. Non Asbestos Brake Linings NA 107 Masu Auto. All Rights Reserved. Site Developed by IndiaMART InterMESH Limited.
141
BUDAYA KREATIF DESAINER GRAPHIC FASHION DALAM INOVASI FRUGAL PATCHWORK BANDUNG Wanda Listiani Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung Jl. Buahbatu No. 212 Bandung HP. 0818221151 E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Pemanfaatan kembali sisa kain (perca) menjadi produk fashion bernilai seni (patchwork aesthetic) dengan teknik patchwork kembali marak di Kota Bandung dan berbagai kota kreatif lainnya di Indonesia. Teknik penggabungan perca bukan hal yang baru, namun tidak semua orang mampu membuat motif produk perca bernilai seni (patchwork aesthetic). Perlu budaya kreatif dalam menggabungkan potongan kain menjadi motif tertentu yang bernilai ekonomi. Selain mengurangi limbah kain, produk fashion patchwork ini membuka lapangan kerja padat karya, sumber pendapatan dan ekspresi seni pembuatnya bahkan sebagian orang menggunakannya untuk terapi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik wawancara pada desainer graphic fashion yang memiliki bisnis patchwork di Bandung. Pembuatan produk secara eksklusif dengan satu motif dan satu warna untuk satu barang dengan lama pengerjaan dari satu minggu hingga 3 bulan tergantung pada tingkat kesulitan motif dan ukuran. Kisaran harga dari Rp. 75.000,- s.d Rp. 3.000.000,- membuktikan bahwa inovasi frugal bekerja pada limbah kain sehingga bernilai ekonomi kreatif. Kata Kunci: budaya kreatif, inovasi frugal, Kota Bandung, kriya tekstil
1. PENDAHULUAN Pembuatan kain di Bandung bermula dari Majalaya. Saat itu, hasil produksi tekstil Majalaya masih terbatas pada konsumsi rumah tangga atau lokal. Usaha yang dilakukan secara turun temurun ini (Darmaprawira, 1974: 172) berupa pembuatan alat tenun (tinun kentreung, sunda), penanaman kapas, pemintalan benang, pencelupan dengan celup alam hingga menenun. Semua dilakukan sendiri sebagai pekerjaan biasa. Hasil tenunnya mulanya sangat kasar, menyerupai kain kafan (boeh, sunda). Pada tahun 1920 oleh isteri bupati Wiranatakusumah beberapa orang wanita dianjurkan untuk mengikuti kursus tenun di Textiel Inrichting Bandung (Institut Tekstil Bandung) yang diketuai pertama kali oleh Dalenoord. Textiel Inrichting Bandung (TIB) berdiri pada tahun 1921 yang mendorong berkembangnya industri tekstil di Majalaya. TIB merupakan proyek percontohan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) sebagai awal modernisasi pertenunan di Majalaya. Para wanita peserta pendidikan kursus TIB menerapkan hasil pendidikan dalam lingkungan keluarganya dengan membuat sarong kotak-kotak. Corak kotak-kotak ini telah disetel di TIB. Para pembeli benang tenun yang akan memproduksi kain sarong harus membeli alatnya (batang lusi) sehingga pembeli hanya mengerjakan saja (Darmaprawira, 1974: 175).
Sumber : Tropenmuseum Belanda
Gambar 1. Pembuatan Sarung di Bandung Tahun 1900—1940
142
Pemasaran kain sarong meluas ke Yogyakarta, Solo dan Surabaya. Pengusaha Tionghoa muncul dengan menggunakan ATM sebanyak 100 buah. Munculnya pengusaha ini menyebabkan pengusaha pribumi terdesak. Pengusaha pribumi menerapkan cara baru yaitu sistem memesan (maakloon), pengusaha Tionghoa sebagai pemilik benang dan pengusaha pribumi yang mengerjakan tenunan dengan upah pengerjaannya. Hasilnya disetorkan pada pemilik benang (Darmaprawira, 1974: 176). Pada tahun 1937 pemerintah Belanda memperluas penerapan Ordinance for Regulation of Enterprises (Setiawati, 2005:35) agar menjangkau seluruh produk seperti pakaian yang berbahan katun, rayon atau sebagian sarung rayon dan kain panjang. Menurut hasil studi Belanda, Bandung dan daerah lainnya merupakan pendorong terjadinya overproduction. Tahun 1938 industri sarung berkembang pesat meninggalkan industri katun domestik lainnnya dan menguasai 47% keseluruhan suplai sarung, Daerah Jawa Barat khususnya priangan (termasuk Majalaya) menjadi konsentrasi terbesar usaha pertenunan skala kecil dan daerah industri sarung.
Sumber : Tropenmuseum Belanda
Gambar 2. Industri Tekstil Majalaya, Tahun 1900—1940 Pada masa pemerintahan Jepang, industri tenun berhenti karena tidak adanya bahan baku. Mesin-mesin sebagian diungsikan ke daerah pedalaman dan sisanya dijual ke kota (Bandung). Pengusaha Tionghoa mengungsikan mesin mereka ke Bandung yang kemudian menjadi awal mula industri tekstil di Bandung. Industri tekstil di Majalaya mulai hidup lagi pada tahun 1959/60 dengan adanya sistem iden dan jatah dari pemerintah. Tahun 1965 jumlah mesin tenun di Majalaya mencapai 4.000–5.000 buah dan ATBM puluhan ribu buah (Darmaprawira, 1974: 177). Mesin yang sempat diungsikan oleh pengusaha Tionghoa umumnya mesin tenun sehingga produksi terbatas pada kain tenun sarong, kain drill, bahan tirai, kain putih. Perusahaan kain cap yang berdiri sekitar tahun 1950 adalah Ling-ling (PT. Lonceng di Jl. Letjen Ahmad Yani Bandung) dengan usaha pencapan tangan (hand silk screen printing). Perusahaan kain cap ini berkembang bersama industri rumahan hingga sekarang dan menyisakan limbah atau kain perca yang dijual dengan harga murah atau di buang begitu saja. Limbah ini yang kemudian dimanfaatkan oleh pelaku kreatif di Bandung untuk menghasilkan produk baru dengan teknik patchwork dan quilting. 2. HASIL DAN PEMBAHASAN Teknik patchwork sudah ada di Jawa pada tahun 1855 yang dikenakan pada Jaket pada masa Sultan Hamengku Buwana V. Jaket yang bernama Kyai Antakusuma dibuat oleh Louisa Wieseman-Dom. Teknik ini juga dikenal dengan istilah teknik tambal sulam yang dikenakan sebagai motif batik “tambal-patroon”. Tambalan motif batik seperti grinsing, kawung, dan lain sebagainya.
143
Sumber : Tropenmuseum Belanda
Gambar 3. Jaket Kyai Antakusuma Honey Patchwork (http://honeybedding.blogspot.com/) merupakan merek untuk bedding dan accessories dengan menggunakan teknik Patchwork dan quilting. Studio kerja Honey Patchwork berada di Jalan Babakan Ciamis N0. 96/1b Bandung. Pengerjaan dengan memadukan antara jahitan tangan dan mesin dengan teknik menyambung potonganpotongan kain (patchwork) menjadi motif dan dijahit menjadi satu dengan bedding (quilting). Lama pengerjaan satu produk berkisar mulai dari satu minggu hingga 2 bulan, tergantung pada tingkat kesulitan, motif serta ukuran. Selain sebagai penutup tempat tidur (bed cover), hiasan dinding maupun sarung bantal. Ukuran bed cover bervariasi untuk bayi sampai 300 x 300 cm. Pembuatan dengan satu motif dan satu warna untuk satu barang membuat produk menjadi eksklusif. Harga mulai dari Rp. 75.000,00 sampai dengan Rp. 3.000.000,00 tergantung pada motif dan ukuran. Tabel 1. Produk Patchwork No. Nama Produk Deskripsi 1 Toraja Flower Toraja menjadi inspirasi dalam memadukan keindahan dan ketenangan
Gambar
Harga Rp. 1.250.000
2
Sunset Block
Keindahan ruangan akan terasa lebih bergairah dan lebih sejuk
Rp. 2.650.000
3
Split Lavender
Harum, sejuk dan tenang menjadikan hunian lebih berarti
Rp. 185.000
144
No. 4
Nama Produk Sogan Flower Batik
Deskripsi Bunga menjadi inspirasi, dengan kombinasi kecoklatan menginspirasikan ketenangan dan keindahan.
5
Oriental Block
Motif kotak, dari jaman dulu sampai sekarang menjadi tren, dimaksudkan agar lebih nyaman dan lebih praktis.
6
Green Flower Batik
7
Geo Red Batik
8
Geo Blue Batik
9
Blue of Pink Block
Untuk jiwa yang tenang, dan rendah hati. Nuansa hijau memberikan warna tersendiri agar lebih tenang, teduh dan penuh dengan oksigen yang beraroma. Kecerahan nuansa pin dan merah menjadi pilihan tersendiri, sumringah, bahagia dan penuh cita, itulah yang dihasilkan dari pancaran warna ini. Biru masih menjadi primadona dalam memanjakan tempat tidur anda. Ukuran yang sesuai untuk satu orang menjadikan anda sebagai raja. Berbalut warna biru, menjadikan pink sebagai sebuah kenyamanan tersendiri dengan ukuran 290 x 290 cm diharapkan akan memberikan kenyamanan dalam tidur.
Gambar
Harga Rp. 1.450.000
Rp. 1.975.000
Rp. 895.000
Rp. 835.000
Rp. 835.000
Rp. 1.975.000
145
No. 10
Nama Produk Blue in Baby
Deskripsi Bernuansa untuk anak-anak dengan ukuran 150 x 110 cm, membuat anak anda semakin lelap dalam mimpi.
Gambar
Harga Rp. 235.000
Sumber : http://honeybedding.blogspot.com/
Contoh produk patchwork di atas merupakan produk kreatif yang dihasilkan dari budaya kreatif dengan sisa kain (perca). Pelaku bisnis patchwork ini tidak hanya menjual produk melainkan pertama, eksklusivitas (hanya dibuat 1 motif 1 warna) sehingga tidak akan sama dengan orang lain (tidak pasaran). Kedua, makna sosial yang akan melekat pada pemilik produk ini seperti tenang, indah, nyaman, bahagia, bergairah dan membuat pemiliknya seolah-olah raja jika mereka membeli produk ini. 3. PENUTUP Inovasi frugal patchwork Bandung terdapat pada tindakan pengulangan dan perpaduan yang membentuk keharmonisan motif dan warna pada produk. Pengulangan yang membentuk keteraturan geometris. Inovasi frugal akan menjadi budaya kreatif jika desainer melakukan tindakan pengulangan dengan mengambil pola/simbol budaya yang sedang trend di pasar global dan memadukan dengan pola/simbol budaya kejayaan masa lalu nusantara seperti motif batik, toraja, sogan menjadi produk kreatif yang baru. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra, M.A, M.Phil (UGM), Dr. GR Lono Lastoro Simatupang, M.A (UGM), Dr. Yasraf Amir Piliang, M.A (ITB) dan semua pihak atas bantuannya selama proses penelitian dan penulisan dalam rangkaian keseluruhan penelitian Graphics Fashion Bandung. PUSTAKA Darmaprawira, S., 1974. Disain Tekstil Cap Bandung, Skripsi, Bandung : ITB. Setiawati, R. S. M., 2005. Gali Tutup Lubang Itu Biasa : Strategi Buruh Menanggulangi Persoalan dari Waktu ke Waktu, Bandung : Akatiga. http://honeybedding.blogspot.com, diakses tanggal 6 Agustus 2012. http://collectie.tropenmuseum.nl, diakses tanggal 6 Agustus 2012.
146
PENGEMBANGAN PROTOTIPE PEGAS ULIR (COIL SPRING) KERETA API SEBAGAI UPAYA MENGURANGI UNSCHEDULED DOWNTIME DI PT. KAI 1
2
3
Fuad Abdilah , Sugondo , Herman Saputro dan Joko Suwignyo 1,2,3,4 Pendidikan Teknik Mesin Otomotif IKIP Veteran Semarang Jalan Pawiyatan Luhur IV/17 Semarang 50233 Telp (024) 8316105, Fax (024 8316105 1 E-mail:
[email protected]
4
ABSTRAK Masalah yang dihadapi oleh PT. KAI saat ini adalah gangguan operasional akibat adanya breakdown atau unscheduled down time khususnya pada komponen pegas. Akibat unscheduled down time menyebabkan kerugian di PT. KAI dan terancamnya keselamatan penumpang kereta api. Mulai tahun 2006 pegas ulir buatan Balai Yasa Manggarai menunjukan performance yang kurang memuaskan dan sering mengalami kegagalan sehingga mengakibatkan unscheduled down time. Bertolak dari permasalahan unscheduled down time dan dalam rangka meningkatkatan pelayanan serta keselamatan pengguna jasa transportasi massal kereta api perlu dilakukan penelitian tentang “pembuatan dan pengembangan prototipe pegas ulir (spring coil) kereta api sebagai upaya mengurangi unscheduled down time di PT. KAI. Hasil penelitian ini ditemukanbeberapa hal, anatara lain: 1) terdapat bentuk patahan yang kecenderungan masuk dalam kategori bentuk patahan tipe getas. Setelah dianalisis didapatkan bahwa beberapa sampel dijumpai pegas ulir luar memiliki kekerasan diatas standar (35 – 45 HRC), 2) Dari simulasi desain dan pembebanan menunjukkan bahwa material yang biasa digunakan untuk pegas ulir luar kereta api memenuhi standar dan material riquirement, yaitu beban pegas 3435,92 kg dan kemampuan material SUP 9 adalah 3520 kg, 3) 0 Dengan modifikasi perlakuan panas yaitu pemanasan material hingga temperatur 850 C kemudian 0 diquenching dengan media oli Sabana dan ditempering pada suhu konstan 450 C dengan variasi waktu penahanan 15, 30, 45, 60, 90 dan 180 menit, didapatkan prototipe pegas ulir baru yang ulet dan memenuhi standar. Kata kunci:, pegas ulir, analisis kegagalan dan prototipe pegas ulir
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kereta api merupakan alat angkutan transportasi massal yang memiliki keunggulan terutama dalam hal kapasitas angkut yang besar. Menurut Undang-undang RI No.23 Tahun 2007 tentang perkeretaapian yang di maksud dengan “Sarana Perkeretaapian” adalah lokomotif, kereta, gerbong dan beberapa peralatan khusus, misalnya bogie. Dari semua sarana tersebut unsur yang paling penting adalah bogie. Bogie berfungsi untuk meningkatkan kapasitas muatan, memudahkan perjalanan melalui tikungan, dan meningkatkan kecepatan dan kenyamanan. Agar bogie dapat berfungsi dengan baik, maka dibutuhkan komponen pendukung yaitu sistem suspensi. Sistem suspensi terdiri dari tiga jenis pegas yaitu pegas dukung, pegas ayun dalam dan pegas ayun luar. Jika secara tibatiba tanpa direncanakan pegas mengalami kegagalan (breakdown atau unscheduled down time), maka akan dapat menjadi pemicu terjadinya gerbong anjlok (kecelakaan kereta). Armada kereta api di Indonesia saat ini berjumlah sekitar 1476 unit, dimana 1332 unit dioperasikan di pulau Jawa dan 144 unit di pulau Sumatra (Direktorat Perkeretaapian, 2006). Untuk setiap kereta terdapat 8 buah pegas dukung (journal spring), 4 buah pegas ayun luar (outer bolster spring) dan 4 buah pegas ayun dalam (inner bolster spring), sehingga dibutuhkan pegas ulir sebanyak 23.616 buah. Jika kualitas pegas ulir yang digunakan kurang baik, maka tentunya akan semakin banyak pegas ulir yang dibutuhkan. Akibatnya biaya operasional transportasi kereta api akan menjadi sangat tinggi dengan tingkat keamanan yang relatif rendah. Menurut Undang-undang RI No.23 Tahun 2007 tentang perkeretaapian yang di maksud dengan “Sarana Perkeretaapian” adalah lokomotif, kereta, gerbong dan peralatan khusus. Dari semua sarana tersebut unsur yang paling penting adalah Bogie. Bogie berfungsi untuk 147
meningkatkan kapasitas muatan, memudahkan perjalanan melalui tikungan, dan meningkatkan kecepatan dan kenyamanan. Agar Bogie dapat berfungsi dengan baik maka dibutuhkan komponen pendukung yaitu sistem suspensi. Sistem suspensi terdiri dari tiga jenis pegas yaitu pegas dukung, pegas ayun dalam dan pegas ayun luar Kondisi yang dihadapai oleh PT. KAI saat ini adalah gangguan operasional akibat adanya breakdown atau unscheduled down time khususnya pada komponen pegas ulir. Kegagalan pegas ulir biasanya timbul retak – retak hingga patah. Hal ini bisa dilihat seperti pada Gambar 1 berikut ini:
Pegas Ulir Bogie Kereta Api Gambar 1. Kegagalan Pada Pegas Ulir Kereta Api Keberanian PT. KAI dalam memutuskan untuk memakai 99 % komponen lokal dalam penyediaan suku cadang kereta api merupakan kebijakan yang luar bisa. Kebijakan ini perlu mendapat dukungan karena secara tidak langsung program tersebut mendukung keberadaan industri manufaktur di Indonesia dan alih teknologi. Akan tetapi satu hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana produk suku cadang lokal tersebut memiliki kualitas yang sama, handal dan aman dipakai di kereta api. Salah satu komponen kereta api yang mulai dibuat di Balai Yasa Manggarai adalah pegas ulir. Mulai tahun 2006 pegas ulir buatan Balai Yasa Manggarai menunjukan performance yang kurang memuaskan dan sering mengalami kegagalan sehingga mengakibatkan unscheduled down time, karena banyak ditemukannya kasus pegas retak dan patah. Hal ini diduga disebabkan oleh beberapa aspek diantaranya : pemilihan material pegas yang belum tepat, desain pegas, proses pembuatan pegas ulir yang belum tepat, kondisi pemakaian, pembebanan dll. Bertolak dari permasalahan unscheduled down time dan dalam rangka meningkatkatan pelayanan serta keselamatan pengguna jasa transportasi masal kereta api perlu dilakukan penelitian tentang “pengembangan prototipe pegas ulir (spring coil) kereta api sebagai upaya mengurangi unscheduled down time di PT. KAI”. Diharapakan dari penelitian ini dihasilkan pegas ulir yang berkualitas, handal dan aman digunakan. 1.2. Perumusan Masalah Agar penelitian dapat dilakukan secara terarah dan mengena sasaran yang ingin dicapai, maka perumusan masalah penelitian ini adalah: a. Bagaimana menentuan material yang cocok untuk pegas ulir b. Bagaimana cara membuatan prototipe pegas ulir. c. Bagaimana menentuan teknik fabrikasi dan langkah – langkah pembuatan pegas ulir yang berkualitas dan handal.
148
2. TINJAUAAN PUSTAKA 2.1. Baja Pegas Kereta Api Pegas adalah suatu komponen elastis yang berfungsi untuk menahan ketika ada beban dan memulihkan lagi ke bentuk semula ketika beban dilepas. Berbagai macam penggunaan pegas diantaranya adalah untuk aplikasi gaya (Gopinath dan Mayuram, 2006). Baja untuk pembuatan per dan pegas harus memiliki elastisitas (batas lumen) dan batas lelah yang tinggi dengan kekuatan serta kekenyalan cukup. Untuk mendapatkan sifat seperti ini baja per harus mengandung C (karbon) tidak kurang dari 0,5% serta menjalani penyepuhan dan tempering pada suhu 200 – 9000C untuk mendapatkan struktur yang berupa troostite. Pegas pada kereta api berfungsi menyerap kejutan dari rel dan getaran roda-roda agar tidak diteruskan ke bodi secara langsung, juga untuk mencegah daya cengkeram roda kereta terhadap permukaan rel. Pegas pada kereta api terdapat pada komponen yang bernama bogie. Bogie berfungsi untuk meningkatkan kapasitas muatan, memudahkan perjalanan melalui tikungan, dan meningkatkan kecepatan dan kenyamanan. Bagian –bagian bogie dan macam-macam pegas dapat dilihat pada Gambar 2 dan 3 berikut ini.
Gambar 2. Bagian-bagian Gerbong
(Sumber: http://www.websters-dictionary-online.com/definitions/bogie )
Gambar 3. Bagian – bagian Bogie Kereta Api
149
Pada umumnya sistem pemegasan bogie yang terdiri dari sistem pemegasan primer dari sistem pemegasan sekunder. Pemegasan yang dimaksud adalah terdiri dari pegas dan peredam. Pegas dapat berupa pegas ulir, pegas daun (leaf spring), pegas torsi (torsion spring), pegas karet (rubber spring) atau pegas udara (air spring) sedangkan peredam dapat berupa peredam hidraulis atau peredam gesek. 2.2. Sistem pemegasan primer Sistem pemegasan primer adalah pemegasan antara perangkat roda dan rangka bogie. Fungsi dari sistem pemegasan primer adalah untuk menampung kejutan-kejutan, gaya-gaya impak langsung akibat ketidak rataan rel, sambungan rel, wesel dan gangguan lain, karena perangkat roda adalah bagian yang langsung berinteraksi dengan jalan rel. Pada pemegasan primer terdapat alas pembatas gerak (stooper) yang di usahakan dalam tingkat desain agar tidak saling bersentuhan. Namun bila terjadi gaya impak yang berlebihan atau ketidakrataan yang berlebihan (overload) dari yang direncanakan maka alat pembatas bisa saling bersentuhan. 2.3. Sistem pemegasan sekunder Sistem pemegasan sekunder adalah sistem pemegasan antara badan kendaraan dengan rangka bogie. Pemegasan sekunder berperan penting dalam menentukan kualitas kenyamanan sarana, disamping dilengkapi oleh pemegasan primer. Pada sistem pemegasan sekunder dilengkapi dengan peredam kejut baik pada arah vertikal maupun arah lateral. Gangguan-gangguan dari ketidakrataan rel, kejutan-kejutan, impak, gerakan, dan gaya-gaya di tikungan, serta gerakan sinusoida (snake motion) pada jalan lurus akan diredam oleh sistem pemegasan sekunder untuk kemudian baru dirasakan oleh badan kendaraan. Walaupun demikian, bila gaya impak atau ketidakrataan rel yang dapat menimbulkan beban berlebih (overload) dari yang direncanakan, sehingga berakibat alas pembatas (stooper) bersentuhan. Meskipun demikian menyentuhnya stooper harus diusahakan sejarang mungkin. Selain dari sistem pemegasan, maka gangguan juga dapat diatasi dengan konstruksi ayunan, konstruksi pendulum atau konstruksi tilting. 2.4. Material Pegas Ulir Baja pegas sebenarnya tidak mempunyai kekerasan yang tinggi sebagai sifat utamanya. Sifat utama dari baja pegas adalah modulus elastik dan batas elastik. Baja pegas perlu memiliki batas elastik yang tinggi setelah dikeraskan dan ditemper. Untuk keperluan ini standar disetiap negara mempunyai pita H yang menyatakan batas tertinggi dan terendah dari hasil uji mampu keras (Surdia, 1992). Jenis dan komposisi kimia material pegas berdasarkan standar baja pegas JIS G 4801 (spring steels) dapat terlihat seperti pada Tabel 1. Material pegas standart JIS G 4801 jika dilihat berdasarkan kandungan C (karbon) termasuk dalam golongan baja karbon menengah dan juga masuk dalam golongan baja hipoeutektoid karena kandungan karbonnya kurang dari 0,83 %. Material baja pegas standart JIS G 4801 jika dikonversikan ke beberapa standar baja pegas dapat dilihat seperti pada Tabel 1.
150
Tabel 1. Jenis dan Komposisi Kimia Baja Pegas JIS G 4801
Sumber : Yamada, 2007 Tabel 2. Konversi Baja Pegas JIS G 4801
Baja pegas standar JIS G 4801 memiliki sifat mekanik (material properties) seperti ditunjukkan pada Tabel 3 dibawah ini Tabel 3. Sifat Mekanik (material properties) Baja Pegas JIS G 4801
Sumber: Yamada, 2007: 90 Secara pengamatan struktur mikro baja pegas memiliki struktur ferrit, perlite dan martensit. Hal ini seperti terlihat pada Gambar 4. Struktur mikro yang berwarna terang merupakan proeutektoida (ferrit proeutektoid), struktur mikro yang berwarna gelap adalah perlit dan struktur mikro yang berbentuk jarum adalah martensit.
151
Sumber : Yamada, 2007
Gambar 4. Foto Struktur Mikro Baja Pegas JIS G 4801 SUP 9 3. METODE PENELITIAN Pada penelitian ini diharapkan dihasilkan prototipe pegas ulir kereta api yang handal dan aman yang diperoleh dari hasil anlisis kegagalan pegas, inovasi material pegas dan analisis desain dan pembebanan dengan bantuan software. Rancangan penelitian dan capaian yang diharapkan pada penelitian ini dapat dilihat pada diagram alir penelitian Gambar 5 di bawah ini.
152
Spring Requirements (berdasar hasil analisis kegagalan) Karakterisasi dan Inovasi Material Pegas Desain pegas ulir 1. 2.
Analisis desain pegas dengan Software
Diameter wire Jumlah lilitan
Static Base Simple Calculation
No
Hasil analisis desain pegas Yes Pembuatan prototipe pegas 1. 2.
Temperature pemanasan Heat treatmen
Pengujian Prototipe pegas 1. 2. 3.
No
Uji komposisi Uji struktur mikro Uji tekan
Hasil pengujian Yes Prototipe pegas ulir baru yang handal dan aman
Analisis dan Kesimpulan
Gambar 5. Diagram Alir Penelitian 153
4. HASIL PENELITIAN 4.1. Analisi Kegagalan pegas . Hasil pengamatan terhadap bentuk patahan pegas secara makro dapat dilihat pada Gambar 6 dibawah ini:
Gambar 6. Pengamatan Makro Bentuk Patahan Pegas Ulir Luar Kereta Api Untuk mendapatkan informasi lebih dalam mengenai penyebab kegagalan pada pegas ulir luar K5, dilakukan uji Dye Penetrant (penetran cair) merupakan inspeksi pada cacat yang menggunakan prinsip kapilaritas pada cairan. Hasil uji dye penetrant terhadap bentuk patahan dapat dilihat pada Gambar 7 dibawah ini:
Gambar 7. Hasil Uji Dye Penetrant (penetran cair) Dari fenomena hasil pengujian tersebut, sangat mendukung pada hasil pengamatan bentuk patahan secara makro. Dimana dari pengamatan bentuk patahan secara makro ditemukan bentuk patahan yang cenderung masuk pada patahan tipe getas. Pada umumnya untuk material pegas bentuk patahan yang terjadi adalah tipe ulet. Temuan ini menunjukkan bahwa pada material pegas ulir K5 yang memiliki kekerasan yang relatif besar dibandingkan dengan ketentuan yang disyaratkan, maka bentuk patahan yang dihasilkan adalah tipe patahan getas. Sehingga jika dikategorikan dalam bentuk kegagalan komponen, maka tipe kegagalan seperti ini sangat barbahaya sekali. 4.2. Karakterisasi material pegas ulir kereta api 4.2.1. Uji komposisi kimia Untuk mengetahui unsur penyusun material pegas ulir dan pengelompokkan jenis material maka dilakukan pengujian komposisi dengan hasilpengujian seperti Tabel 4 berikut: Tabel 4. Hasil Pengujian Komposisi Materil Pegas Ulir Kereta K5 Spesimen
Fe C Si Pegas Ulir K5 96,2 0,51 0,59 Dibandingkan dengan material pegas standar JIS G 4801 SUP 9 0,56 0,25 SUP 9A 0,60 0,25
Unsur Paduan Mn Cr 0,89 0,0,92 0,80 0,85
Unsur lain
0,80 0,85
4.2.2. Uji kekerasan Dari uji kekerasan terhadap 3 spesimen pegas ulir luar K5 yang mengalami patah, didapatkan nilai kekerasan rata-rata seperti pada Tabel 5 berikut ini: 154
Tabel 5. Hasil Pengujian Kekerasan Pada Patahan Pegas Rata-rata nilai kekerasan Spesimen (HRC) Patahan 1. Patahan 2. Patahan 3.
Standar kekerasan baja SUP 9 (HRC)
48,8 HRC 54,0 HRC 49,5 HRC
35 – 45 HRC
Dari pengujian komposisi dapat diketahui bahwa material pegas yang digunakan untuk pegas ulir luar K5 merupakan material jenis Baja Pegas SUP 9 / SUP 9A, DIN 5155 atau DIN 55Cr3. Sehingga secara komposisi material pegas ulir luar K5 sedah memenuhi standar. Sedangkan dari pengujian kekerasan material pegas luar K5 dapat diketahui bahwa nilai kekerasan material pegas K5 jauh lebih besar dari standar kekerasan material pegas baik SUP 9 / SUP 9A, DIN 5155 atau DIN 55Cr3. 4.3. Desain pegas ulir kereta api 4.3.1. Pembebanan pada bogi Pada satu gerbong terdapat 8 pasang pegas ulir bogie, yang setiap pasangnya terdiri atas satu pegas ulir bogie dalam dan satu pegas ulir bogie luar (Tabel 6). Tabel 6. Data Pegas Ulir Pada Bogie Kereta Data Pegas Ulir Pegas ulir luar Diameter ulir 226 mm Diameter material 35 mm Tinggi pegas 296 mm Jumlah ulir 5,25
Pegas ulir dalam 140 mm 23 mm 296 mm 7.50
Adapun data pembebanan yang diterima oleh bogi kereta secara detai dapat digambarkan sebagai berikut, (Tabel 7): Tabel 7. Data Pembebanan Bogi Kereta Jenis beban Gerbong kosong Penumpang (64 tempat duduk) Barang/bagasi Jumlah beban Safety factor = 1,2
Beban 30 000 kg 65 kg x 64 = 4160 kg 20 kg x 64 = 1280 kg 35440 kg 42528 kg
Dari Tabel 7 tersebut diatas dapat diketahui bahwa total berat yang diterima bogi atau 8 pasang pegas adalah 42.528 kg, sehingga beban (W) yang diterima oleh tiap pasang pegas yaitu 5322,75. Sedangkan baban untuk pegas ulir luar (W1) dan beban untuk pegas ulir dalam (W2) dapat diturunkan dari persamaan defleksi sebagai berikut:
Perbandingan antara beban pegas ulir luar (W1) dan pegas ulir dalam (W2) dihasilkan persamaan sebagai berikut:
155
Dengan data beban yang diterima oleh pegas ulir luar W1= 3435,92 kg kemudian dilakukan pemilihan materila yaitu Baja SUP 9 dan dilakukan perhitungan dengan bantuan software dengan hasil seperti Gambar 8 dan 9 sebagai berikut:
Gambar 8. Perhitungan Pegas
Gambar 9. Simulasi Pembebanan Pegas Dengan Software Scan&Solve™ Dari perhitungan diatas bahwa material pegas SUP 9 mampu menahan beban W max = 3520 kg, sedangkan beban yang diterima pegas (W1) = 3435,92 kg, sehingga secara hitungan material SUP 9 mampu digunakan sebagai bahan pegas ulir luar pada kereta api. 4.4. Hasil pengujian performance 4.4.1. Pembuatan prototipe pegas ulir Setelah didapatkan rancangan desain dan material untuk pegas ulir luar kereta api, selanjutnya dilakukan pembuatan prototipe pegas dengan mengkombinasikan proses finishing dengan penyempurnaan proses heat treatment. Sehingga dari temua tentang kegagalan pegas ulir luar yang cenderung pada bentuk kegagalan patah getas dapat ditingkatkan atau diperbaiki. Adapun proses pembuatan prototipe dilakukan di Balai Yasa Manggarai (Gambar 10).
156
Gambar 10. Proses Pembuatan Prototipe Pegas Ulir Luar 4.5. Hasil pengujian prototipe pegas ulir kereta api Pengujian kekerasan material setelah mengalami proses perlakuan panas melalui cara pemanasan material hingga temperatur 850 0C kemudian diquenching dengan media oli Sabana dan ditempering pada suhu konstan 4500C dengan variasi waktu penahanan 15, 30, 45, 60, 90 dan 180 menit. pada Tabel 8 berikut ini: Tabel 8. Hasil Uji Kekerasan Material Pegas Setelah Perlakuan Panas Tahap Tempering (HRC) Kekerasan setelah tempering (HRC) Kelompok spesimen 15 mnt 30 mnt 45mnt 60 mnt 90mnt 180mnt 1. 2. 3.
46,0 46,5 47,7
44,5 45,0 45,0
45,0 45,9 46,2
43,0 44,5 43,5
42,7 43,6 44,0
41,8 41,8 42,0
Hasil pengujian foto struktur mikro terhadap pegas hasil perlakuan panas adalah sebagai berikut Gambar 11.
Gambar 11. Struktur Mikro Pegas JIS G 4801 SUP 9 Setelah Dilakukan Temper pada Suhu 4500C dan Waktu Tahan 15 Menit dengan Pembesaran 200X Untuk menguji kekuatan pegas dilakukan uji tekan. Pada tekan ini pegas ditest sesuai petunjuk dan toleransi maksimum 18 mm, langkah pengujian 1). Po: Tinggi pegas tanpa beban yaitu 286 mm. 2). P1: Tinggi pegas setelah dibebani dengan beban uji sebesar 10 ton, yaitu 183,75 cm, dan 3). P2: Tinggi pegas ketika dibebani dengan beban percobaan, yaitu sebesar 5,25 ton, benda mengalami perubahan yaitu dari 286 mm menjadi 183,75 mm. Pegas yang memenuhi syarat kelulusan pada saat pemberian beban adalah pegas yang 157
mampu kembali kebentuk seperti semula dan tidak melewati batas maksimum toleransi yaitu 18 mm. Dari pengujian prototipe pegas ulir tidak ada yang melampaui batas toleransi 18 mm. 5. KESIMPULAN Hasil studi pembuatan prototipe pegas ulir luar kereta api dapat disimpulkan beberapa hal seperti: a. Ditemukan bentuk patahan yang kecenderungan masuk dalam kategori bentuk patahan tipe getas. Setelah dilakukan analisis, diperoleh beberapa sampel yaitu pegas ulir luar yang memiliki kekerasan diatas standar (35 – 45 HRC). b. Dari simulasi desain dan pembebanan menunjukkan bahwa material yang biasa digunakan untuk pegas ulir luar kereta api memenuhi standar dan material requirement, yaitu beban pegas 3435,92 kg dan kemampuan material SUP 9 adalah 3520 kg. c. Dengan modifikasi perlakuan panas yaitu pemanasan material hingga temperatur 850 0C kemudian diquenching dengan media oli Sabana dan ditempering pada suhu konstan 4500C dengan variasi waktu penahanan 15, 30, 45, 60, 90 dan 180 menit, diperoleh tingkat kekerasan material yang cenderung sesuai dengan standar material pegas yaitu (35 – 45 HRC). Hasil ini diperkuat dengan hasil pengamatan struktur mikro yang menunjukkan bahwa dengan perlakuan panas tersebut menyebabkan berdifusinya atom karbon (C) menjadi fasa sementit, sehingga menyebabkan fasa martensit berkurang. Berkurangnya fasa martensit menjadikan baja pegas JIS G 4801 SUP 9 menjadi ulet dan tangguh. d. Dari pengujian prototipe pegas ulir tidak ada yang melampaui batas toleransi 18 mm, sehingga dapat disimpulkan perlakuan panas yang dilakukan mampu memperbaiki keuletan pegas ulir luar.
UCAPAN TERIMAKASIH Terima kasih kepada Danar Susilo Wijayanto, M.Eng, (Pendidikan Teknik Mesin, Universitas Sebelas Maret) yang telah memberi kritik dan saran perbaikan makalah ini. Trimakasih kepada Pimpinan Balai Yasa Maggarai Jakarta atas ijin penelitian yang diberikan dan terimakasih kepada Pimpinan Kopertis VI Jawa Tengah atas Hibah penelitian yang diberikan kepada peneliti. PUSTAKA Frédéric, R., et. al., 2010. Multi-Objective Optimization of a Composite Material Spring Design Using an Evolutionary Algorithm. Canada. Froehlke, et. al., 2003. Innovative Induction Heating Process Line For Hardening and Tempering Spring Steel Wire. http://www.ate.it/pdf/ATE07_new.pdf, diakses tanggal 12 April 2011. Gopinath K. dan.Mayuram M. 2006. Mechanical Springs. Indian Institute of Technology Madras. Komite Nasional Keselamatan Transportasi, 2003. Laporan Kecelakaan Kereta Api Anjlok Ka 1365 di Km 344 + 418 Emplasemen Karanggandul, Purwokerto, Jawa Tengah. Jakarta. Min, S., H.T.U.N, et. al. 2008-2009. Effect of Heat Treatment on Microstructures and Mechanical Properties of Spring Steel. Journal of Metals, Materials and Minerals, 18(2):191-197. Nasrul, 1998. Sifat-Sifat Mekanik Baja Pegas Akibat Proses Tempering. Prawoto, Y., et. al., 2008, Failure Analysis of Automotive Suspension Coil Springs. NHK Spring Co. Ltd., Yokohama, Japan. Sugimoto. et. al, 2002. Journal De Physique Colloque C5, supplgment au n '10, Tome 42. Shinichi, N. and Tadashi, S., 2009. Reverse Engineering Based Coil Spring Design Method.
158
Shinichi, N. dan Tadashi, S. 2003. Reverse Engineering Based Coil Spring Design Method NHK International Corp., 50706 Varsity Court, Wixom, MI 48393, USA. Slingsby,R.G., 2003. A new heat-treatment process overcomes temperature relaxation problems for spring users. Surdia, T & Saito, S.,1992. Pengetahuan Bahan Teknik. (edisi kedua). Pradnya Paramita, Jakarta. Undang-Undang RI No.23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian. Yamada, Y., 2007. Materials of Springs. (Translated from the Japanese original edition published by JSSE). Springer, Berlin Heidelberg New York. Wahl, A.W. , 2009. Mechanical Springs. 2nd Edition. (SMI) Webster’s Dictionary Online, 2012. http://www.websters-dictionaryonline.com/definitions/bogie (Diakses 19 Mei 2011). Zain, Nasrul, ..... Sifat-Sifat Mekanik Baja Pegas Akibat Pengaruh Tempering. Tesis. Universitas Indonesia. http://www.lontar.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=81457&lokasi=lokal (Diakses, 1 Mei 2011) .
159
ALIH TEKNOLOGI LITBANG LPPM UPNVY PADA PETANI BUNGA KRISAN DI KAWASAN TERDAMPAK BENCANA GUNUNG MERAPI: MENDUKUNG INOVASI FRUGAL MENGGUNAKAN AMELIORAN DAN PGPR UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT 1
2
Ari Wijayani , Mofit Eko poerwanto , Siwi Hardiastuti 1,2,3 Fakultas Pertanian UPN “Veteran” Yogyakarta Jl SWK 104 Ringroad utara Condongcatur, Yogyakarta 1 E-mail:
[email protected]
3
ABSTRAK Bunga krisan dari Hargobinangun menjadi andalan perekonomian masyarakat sekitar, selain itu produksi bunga potong disini menjadi pemasok utama di DIY pada saat sebelum erupsi. Akan tetapi saat ini kebutuhan bunga potong di DIY harus mengambil dari daerah lain seperti Cipanas, Pasuruan dan Malang karena produksi di Hargobinangun tidak mencukupi. Salah satu penyebab menurunnya produksi bunga adalah rusaknya lingkungan, tanah di lokasi pertanaman tertutup pasir dan abu vulkanik cukup tebal akibat erupsi gunung Merapi. Kegiatan alih teknologi yang sekaligus penelitian telah dilakukan tim peneliti Litbang LPPM UPNVY di Hargobinangun Sleman Yogyakarta. Kawasan yang menjadi sentra bunga krisan sejak tahun 2005 ini berjarak 5-10 km dari puncak gunung Merapi, sehingga pada tahun 2010 daerah tersebut hancur akibat erupsi Merapi. Teknologi pemberian amelioran pada tanah di daerah terdampak bencana menggunakan teknik yang sederhana dan menggunakan bahan-bahan yang murah dan ada disekitar lokasi petani, yaitu berupa pupuk kandang, kascing, seresah daun bambu dan kompos kebun. Bahan-bahan tersebut terlebih dahulu difermentasi menggunakan PGPR hasil penelitian litbang LPPM UPNVY. Petani dilatih cara pembuatan PGPR dari bahan-bahan alami yang diambil dari daerah sekitarnya dan bagaimana cara fermentasi dan penerapannya di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan tingkat kesuburan tanah meningkat setelah diberi amelioran, pertumbuhan tanaman yang berupa tinggi tanaman, diameter batang, luas daun juga signifikan dibanding kontrol. Produksi bunga potong yang berupa diameter bunga, jumlah bunga pita dan warna bunga juga lebih bagus dibandingkan kontrol. Kata Kunci: Krisan, amelioran, PGPR
ABSTRACT Chrysanthemum flowers are the main income sources of people surrounding Hargobinangun village. Hargobinangun became the main cut flower's supplier to the province of Yogyakarta before the Merapi’s eruption. However, due to the shortage of cut flower production, those flowers have to be imported from other areas such as Cipanas, Pasuruan and Malang. One of the production’s obstacles is the environmental damage. Soil in planting area was covered by thick sand and volcanic ash from Mount Merapi eruption. Research and transfer of technology has been carried out by R & D team of LPPM UPNVY Yogyakarta. This team aims to carry out a research activity and technology transfer in Hargobinangun, Sleman. This area is a center of chrysanthemum flower since 2005. It is located only 5-10 km from Mount Merapi, however, by 2010 the area was devastated by the eruption of Merapi. The technologies of amelioran's addition to the soil in the disaster areas was using simple techniques, inexpensive and available materials from surrounding farmers site, such as manure, kascing, bamboo leaf litter and garden’s compost. The materials were initially fermented by using PGPR that were produced by R & D LPPM UPNVY. Farmers were trained to produce PGPR from natural ingredients taken from the surrounding area and its application in the field. The results showed the increase of soil fertility and plant growth significantly which is expressed by the increase of plant height, stem diameter, and leaf area after application of amelioran. The quality of cut flowers was also increase, in the form of the increase of flower diameter, numbers of ribbon flower and brightness of flower color. Keywords : Crysanthemum, ameliorant, PGPR, technology transfer
160
1. PENDAHULUAN Bencana erupsi Merapi tahun 2010 membawa dampak yang sangat luar biasa dalam bidang kerusakan lingkungan, sosial ekonomi masyarakat,dan pertanian. Salah satu kawasan yang terkena dampaknya adalah kecamatan Pakem karena terkena siraman abu dan pasir secara langsung. Desa yang berada di lereng Merapi yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai sentra tanaman hias adalah Hargobinangun kecamatan Pakem dan sejak tahun 2005 kawasan ini telah ditunjuk menjadi sentra budidaya bunga krisan Provinsi DIY mengingat ketinggian tempat daerah tersebut (500-800 m dpl) memenuhi syarat untuk pertumbuhan bunga krisan. Selama ini kegiatan budidaya bunga krisan telah dilakukan oleh lebih dari 100 petani setempat yang tergabung dalam 13 kelompok tani dengan mengelola lahan seluas 10.000 m2 dengan kapasitas produksi 15.000 bunga potong per minggu (Bappeda DIY, 2003). Pasca erupsi Merapi pada pada tanggal 5 November 2010 kegiatan budidaya bunga potong krisan di desa Hargobinangun menjadi stagnan. Sebagian besar petani tidak tahu harus berbuat apa karena kondisi pertanaman bunga krisan hancur. Hal itu dikarenakan kawasan tersebut merupakan kawasan yang sangat dekat dengan gunung Merapi, dusun Kaliurang barat yang merupakan lokasi pembibitan hanya berjarak 4 km dari puncak Merapi, sedangkan dusun Wonokerso berjarak 10 km dari puncak Merapi. Akibatnya pasca bencana kondisi pertanaman sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi, lahan tertutup debu abu vulkanik dan pasir, kubung bunga roboh, tanaman mati akibat tidak dirawat. Krisan dalam bentuk bunga potong yang dihasilkan petani di Wonokerso sangat menurun kualitasnya, sehingga konsumen banyak beralih pada krisan yang didatangkan dari daerah lain, seperti Jawa barat dan Jawa timur. Di lapangan menunjukkan rendahnya kualitas bunga disebabkan akar tanaman krisan tidak berkembang dengan baik, berwarna coklat dan ukurannya pendek-pendek. Material vulkanik yang menutupi lahan di wilayah Wonokerso dengan ketebalan 5-15 cm berukuran halus, bersifat mampat (compact), keras, kedap air, akan tetapi potensi kimia bagus. Untuk mengembalikan kondisi lahan sehingga strukturnya lebih remah adalah dengan penambahan amelioran. Wijayani, et al. (2011) melaporkan bahwa material vulkanik yang diberi amelioran kascing dan pupuk kandang sapi sangat bagus untuk pertumbuhan tanaman dahlia di kawasan Kinahrejo. Pada dasarnya dahlia dan krisan hampir sama, sehingga untuk perbaikan lahan di areal pertanaman krisan dapat dicoba dengan amelioran yang sama. Menurut Levitt (1980) kepekaan pertumbuhan krisan terhadap panjang hari tidak tetap. Berdasarkan tanggap tanaman terhadap panjang hari, krisan tergolong tanaman hari pendek fakultatif. Pada kondisi hari panjang dengan suhu siang sekitar 22 oC dan suhu malam 16 oC, penambahan tinggi tanaman dan pembentukan daun berjalan optimal. Induksi ke fase generatif akan terjadi bila suhu pada siang hari turun kurang dari 18 oC dan suhu malam naik hingga lebih dari 25 oC (Masswinkel, & Sulyo, 2004). Namun kondisi ini sangat jarang ditemukan pada dataran medium hingga tinggi di Indonesia. Dengan demikian, masalah pokok yang menjadi urgensi (keutamaan) melakukan penelitian ini adalah kajian lengkap berbagai aspek tentang teknik budidaya tanaman krisan yang mampu memperbaiki kondisi pertumbuhan, khususnya kondisi perakaran yang disebabkan ketidakmampuan akar berkembang karena struktur tanah yang tidak mendukung. Material volkanik halus menutupi lahan dengan ketebalan 5-15 cm, bersifat mampat (compact), keras, kedap air. Selanjutnya juga diperlukan penambahan PGPR agar pertumbuhan tanaman merata di seluruh area pertanaman krisan. Dalam kajian ini, apabila teknik budidaya dengan penambahan amelioran dan pemberian PGPR cukup efektif dalam meningkatkan kualitas bunga krisan maka dapat dipertimbangkan untuk dijadikan acuan bagi area pertanaman krisan yang lain. 2. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di dusun Wonokerso, Pakem, Sleman Yogyakarta dengan dengan rancangan acak kelompok lengkap (RAKL) terdiri atas dua faktor, yaitu macam amelioran dan PGPR. Faktor pertama adalah macam bahan amelioran yang terdiri empat 161
aras, yaitu: kascing, kompos pakis, pupuk kandang sapi, dan seresah tanaman bambu. Faktor kedua adalah PGPR yang terdiri tiga aras, yaitu: 50, 100, dan 150. Sebagai kontrol ditanam krisan pada media tanpa amelioran dan tanpa PGPR. Dari kedua faktor tersebut masing-masing diulang tiga kali dan masing-masing petak berisi 50 tanaman dengan lima tanaman sampel, sehingga jumlah tanaman keseluruhan adalah 1800 tanaman plus tanaman kontrol 150. Penelitian didalam rumah naungan beratap plastik UV dan net disekelilingnya, menghadap ke timur dengan bentuk atap kubah setengah lingkaran. Pengolahan lahan dilakukan sedalam 30 cm dan dilakukan pencampuran dengan bahan amelioran sesuai perlakuan, kemudian dibuat bedengan setinggi 10-20 cm. Bibit krisan diambil dari Balithi Cipanas, Jawa barat ditanam pada bedengan yang telah diberi jarring. Jarring tanaman berfungsi untuk membantu agar tanaman tumbuh tegak. Tanaman dirawat selama tiga bulan yang meliputi penyiraman, pemupukan dan pengendalian hama serta penyakit. Penyiraman tanaman dilakukan dua kali sehari dengan jumlah air secukupnya. Pemupukan dilakukan di awal penelitian menggunakan pupuk N 75 gram, P 75 gram dan K 25 gram per tanaman dan pupuk daun seminggu sekali. Pengendalian hama dan penyakit menggunakan pestisida (insektisida dan fungisida) dua minggu sekali. Penerapan alih teknologi juga dilakukan pada petani setempat dengan FGD dan praktek langsung menggunakan bahan-bahan ameliorant dan PGPR hasil riset LPPM UPN Veteran Yogyakarta. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis data pengamatan menunjukkan bahwa PGPR berpengaruh terhadap diameter bunga, jumlah bunga pita, tinggi tanaman dan diameter batang. PGPR 100 paling baik dalam memperlebar diameter bunga krisan (Gambar 1.A.), diameter batang tanaman (Gambar 2.B.) dan luas daun (Gambar 5.A.). Diameter bunga pada PGPR 50, 100, dan 150 berturut-turut 4,524, 7,683, dan 5,758 cm, dengan diameter batang berturut-turut 6,33, 7,00, dan 6,50 mm serta luas daun berturut-turut 590,21, 758,78 dan 758,78 mm2. Sedangkan jumlah bunga pita (Gambar 1.B.) dan tinggi tanaman (Gambar 2.A.) pada PGPR 100 dan 150 lebih tinggi dibandingkan PGPR 50. Jumlah bunga pita pada PGPR 50, 100, dan 150 berturut-turut 21,50, 41,00, dan 38,58, dengan tinggi tanaman berturut-turut 84,17, 92,50, dan 90,50 cm. Macam bahan ameliorant tidak berpengaruh terhadap parameter diameter bunga (Gambar 1.A.), jumlah bunga pita (Gambar 1.B.), tinggi tanaman (Gambar 2.A.), dan diameter batang (Gambar 2.B.) serta tidak ada interaksi antara jenis ameliorant dengan PGPR, namun nyata lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Kascing paling baik dalam memperlebar luas daun dibandingkan bahan ameliorant lainnya (Gambar 5.B.). Diameter bunga, jumlah bunga pita, tinggi tanaman diameter batang dan luas daun pada perlakuan ameliorant berturut-turut berkisar: 5,76-6,18 cm, 30,33-36,67, 87,55-90,44 cm, 6,33-7,00 mm dan 550,60-808,90 mm2. Sedangkan pada kontrol diameter bunga, jumlah bunga pita, tinggi tanaman dan diameter batang berturut-turut hanya sebesar: 4,17 mm, 23,00, 84,67 cm, dan 5,15 mm. Batas kritis panjang hari (Critical Daylenght-CDL) krisan sekitar 13,5-16 jam tergantung genotip (Martini et al., 2007). Krisan akan tetap tumbuh vegetatif bila panjang hari yang diterimanya lebih dari batas kritisnya dan akan terinduksi untuk masuk ke fase generatif (inisiasi bunga) bilamana panjang hari yang diterimanya kurang dari batas kritisnya. Penambahan cahaya dengan lampu tidak efektif apabila jumlahnya kurang, seperti yang terlihat di lapangan. Krisan tumbuh tidak maksimal, banyak kenop bunga yang muncul meskipun tanaman baru berumur 3 minggu dan tinggi tanaman baru 30 cm. Pengaruh panjang hari terhadap fisiologi pembungaan krisan seringkali berinteraksi dengan suhu harian. Akibat suhu tinggi akan berpengaruh terhadap ukuran daun yang kecil, sehingga akan berpengaruh terhadap proses fotosintesis. Pengaruh yang terlihat secara mikroskopis adalah anatomi daun terlihat sel-sel yang ukurannya kecil (Salisbury & Ross, 1992). 162
Jaringan anatomi daun pada monocotil tersusun atas sekumpulan sel yang memiliki bentuk hampir sama. Jaringan tersebut tersusun atas jaringan epidermis atas dan bawah, jaringan mesofil (daging daun) yang tersusun atas jaringan pallisade dan jaringan bunga karang (spons). Epidermis menutupi permukaan atas dan bawah daun dilanjutkan ke epidermis batang (Salisbury & Ross, 1992). Sedangkan lapisan mesofil merupakan daerah paling utama untuk proses fotosintesis. Lapisan palisade merupakan bagian daun yang paling banyak mengandung kloroplas, dan merupakan bagian yang paling banyak mempengaruhi produk fotosintesis. Kerusakan yang terjadi pada mesofil daun terutama pada jaringan palisade oleh suhu tinggi akan memberi dampak paling besar terhadap kegiatan fotosintesis yang dilakukan oleh tumbuhan. Perubahan histologis yang paling umum dalam kerusakan daun oleh suhu tinggi adalah plasmolisis, granulasi atau disorganisasi penyusun sel, rusaknya sel atau disintegrasi dan pigmentasi jaringan (Wijayani, 1999). Marschner (1986) menyebutkan bahwa bahan pencemar dapat menyebabkan terjadinya kerusakan fisiologis didalam tanaman jauh sebelum terjadinya kerusakan fisik. Para ahli lain mengatakan hal itu sebagai kerusakan tersembunyi. Kerusakan tersembunyi dapat berupa penurunan kemampuan tanaman dalam menyerap air, pertumbuhan sel yang lambat atau pembukaan stomata yang tidak sempurna. Menurut Salisbury and Ross (1992) mekanisme membuka dan menutupnya stomata sangat tergantung perubahan turgor dari sel-sel penutup. Sel penutup yang mengandung amilum berkonsentrasi tinggi akan menutup, terutama pada malam hari. Seiring berjalannya waktu hingga sinar matahari mampu membangkitkan klorofil untuk mengadakan fotosintesis maka kadar CO 2 akan menurun, mengalami reduksi menjadi CH2O. Peristiwa ini diikuti kenaikan pH yang akan meningkatkan kerja enzim posporilase guna mengubah amilum menjadi glukosa. Pembentukan glukosa ini akan meningkatkan nilai osmosis sel penutup, sehingga menyebabkan masuknya air dari sel tetangga. Kondisi ini menyebabkan turgor dan stomata akan membuka. Kawasan yang dijadikan sebagai sentra budidaya krisan ini akan dijadikan sebagai “pilot project” atau sebagai percontohan bagi daerah lain yang ingin membudidayakan bunga krisan. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa penutupan material vulkanik dengan ketebalan 5-15 cm di permukaan tanah dapat menyebabkan terhambatnya masuknya udara ke dalam tanah. Hal ini dapat menyebabkan penurunan kualitas tanah sebagai ekosistem bagi flora dan fauna yang dapat mendukung dalam penumbuhan tanaman yang diusahakan para petani sebagai sumber penghidupan.
A
B
a
a
a
b b
b
Sumber: Hasil pengamatan (2012)
Gambar 1. Diameter Bunga (A) dan Jumlah Bunga Pita (B) pada Tanaman Krisan pada Berbagai PGPR. Keterangan: Kolom dengan huruf yang sama, tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%
163
a
A
a
B
a
b b
b
Sumber: Hasil pengamatan (2012)
Gambar 2. Tinggi Tanaman (A) dan Diameter Batang (B) Tanaman Krisan pada Berbagai PGPR. Keterangan: Kolom dengan huruf yang sama, tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%
a
a
a
a
a a b
A
a a b
B
Sumber: Hasil pengamatan (2012)
Gambar 3. Diameter Bunga (A) dan Jumlah Bunga Pita (B) pada Tanaman Krisan pada Berbagai Jenis Ameliorant. Keterangan: Kolom dengan huruf yang sama, tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%
164
a
a
a
a
a
a
a
a
b b
A
B Sumber: Hasil pengamatan (2012)
Gambar 4. Tinggi Tanaman (A) dan Diameter Batang (B) Tanaman Krisan pada Berbagai Jenis Ameliorant. Keterangan: Kolom dengan huruf yang sama, tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%
a
a b
A
b b
b
b
c
B
Sumber: Hasil pengamatan (2012)
Gambar 5. Luas Daun Krisan Pada Berbagai PGPR (A) Dan Pada Berbagai Jenis Ameliorant (B) Keterangan: Kolom dengan huruf yang sama, tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%
4. KESIMPULAN Tingkat kesuburan tanah meningkat dengan adanya penambahan amelioran. Pertumbuhan tanaman yang berupa tinggi tanaman, diameter batang, dan luas daun lebih tinggi dibanding kontrol. Produksi bunga potong yang berupa diameter bunga, jumlah bunga pita dan warna bunga juga lebih bagus dibandingkan kontrol. UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ditlitabmas Ditjen Dikti yang telah memberikan dana penelitian melalui skim Hibah Bersaing dengan surat perjanjian pelaksanaan penelitian nomor: 560.10/K5/PL/2012 tanggal 10 Februari 2012. Terima kasih kami sampaikan kepada Ibu Dr. Ani Andayani, M.Agr., Direktur Tanaman Hias Ditjen 165
Hortikultura yang banyak memberikan masukan, juga kami sampaikan kepada Bapak Dr. Azis Purwantoro dari Universitas Gadjah Mada atas masukannya.
PUSTAKA BAPPEDA D.I. Yogyakarta, 2003. Rencana Strategis Daerah (RENSTRADA) Provinsi DIY Tahun 2004-2008. Perda Provinsi DIY Nomor 6 Tahun 2003. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 71 pp. Levitt, J., 1980. Responses of plants to environmental stresses. Academic Press. Harcourt Brace Jovanovich Publishers. London Orlando San Diego New York Austin Boston Sydney Tokyo Toronto. 434-488 Marschner, H., 1986 Mineral nutrition in higher plants. Academic Press. Harcourt Brace Jovanovich Publishers. London Orlando San Diego New York Austin Boston Sydney Tokyo Toronto. 391-477 Martini T, Masyhudi, MF, Hanafi, H., dan Hendrata, R., 2007. Teknologi Perbenihan Krisan di DIY. Makalah Bahan Rekomendasi Teknologi Pertanian. Komisi Teknologi Pertanian Provinsi DIY. 16 pp. Masswinkel, R dan Sulyo, Y., 2004. Chrysanthemum physiologie in training on Chrysanthemum cultivation I. Balai Penelitian Tanaman Hias. 24 Oktober 2004. (tidak diterbitkan) Salisbury, F.B and Ross, CW., 1992. Fisiologi tumbuhan. Penerbit ITB Bandung Wijayani, A.,1999. Pengaruh konsentrasi nitrogen terhadap perubahan ultrastruktur jaringan akar paprika. Agrivet 3: 17-25 Wijayani, A., Effendi, I., Nusanto, G., Gusaptono, H., Susilastuti, Amiadji, E., 2011. Restructuring of Kinahrejo area based on Agro-tourism after the eruption of Merapi using ornamental plants. Proc. Int. sem. on Agro-tourism development 2011, Yogyakarta, Indonesia.
166
PEMANFAATAN INOVASI TEKNOLOGI
167
PUPUK ORGANOMINERAL DAN ANORGANIK UNTUK MENINGKATKAN PRODUKSI JAGUNG MANIS DAN KUALITAS JERAMI DI TANAH MASAM Dwi Retno Lukiwati Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro Kampus UNDIP, Tembalang – Semarang Telp. 024 7474750, Fax. 024 7474750 E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Sistem integrasi tanaman dan ternak (SITT) telah lama diterapkan di Indonesia dan hal ini dicirikan oleh hasil utama untuk pangan, jerami untuk pakan dan limbah peternakan sebagai pupuk kandang (pukan). Tanah masam pada umumnyamengalami defisiensi unsur hara fosfor, dan dapat diatasi dengan pemupukan SP. Namun, kelangkaan dan mahalnya harga SP mendorong petani menggunakan batuan fosfat (BP) dengan harga yang lebih murah. Batuan fosfat lebih sesuai diterapkan pada tanah masam, dengan kombinasi amonium sulfat (AS) atau ditambahkan bersamaan dengan proses pembuatan pupuk kandang (organomineral). Tujuan penelitian ini adalah menguji pengaruh pupuk organomineral (pukan+BP) kombinasi dengan pupuk anorganik dari sumber pupuk berbeda terhadap produksi jagung manis dan kualitas jerami. Percobaan lapangan dilakukan pada tanah masam dengan rancangan acak kelompok dan 3 ulangan sebagai kelompok. Dosis pupuk P (SP, BP) dan N (amonium sulfat, urea) masing-masing 66 kg P/ha dan 200 kg N/ha. Pupuk organik (pukan, organomineral, pupuk super petro organik / SPO) masing-masing 5 ton/ha. Semua petak mendapat pemupukan KCl (125 kg K/ha). Perlakuan yang diberikan antara lain: T0 (kontrol), T1 (pukan), T2 (SPO), T3 (BP+AS), T4 (SP+urea), T5 (organomineral+AS), T6 (pukan+SP+urea), T7 (SPO+BP+AS), T8 (SPO+SP+urea). Jagung manis dipanen pada umur 70 hari sesudah tanam, jerami dipotong dan ditimbang untuk selanjutnya dianalisis nutrisinya. Data produksi jagung dan kualitas jerami dianalisis ragam dan dilanjutkan uji DMRT untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi jagung dan kualitas jerami dengan perlakuan pupuk organomineral (T5) nyata lebih tinggi dibanding T0 dan T2, serta tidak berbeda dibanding dengan perlakuan lainnya. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa harga pupuk organomineral lebih murah untuk menghasilkan produksi jagung dan kualitas jerami tidak berbeda dibanding dengan pemupukan anorganik di tanah masam. Kata kunci: Zea mays saccharata, organik, anorganik, jerami
1. PENDAHULUAN Produksi dan kualitas pakan merupakan salah satu faktor pembatas produksi ternak ruminansia di daerah tropika. Namun, karena keterbatasan lahan, kekurangan hijauan pakan terutama di musim kemarau diatasi dengan pemberian limbah pertanian (jerami) untuk ternak (Lukiwati & Muryani, 2006). Sehubungan dengan hal tersebut, sistem integrasi tanaman – ternak (SITT) telah lama dilaksanakan oleh sebagian besar petani di Jawa Tengah. Ciri khas SITT adalah adanya keterkaitan antara tanaman dan ternak dengan hasil utama berupa tanaman sebagai pangan, jerami untuk pakan dan limbah ternak (feses bercampur urin dan sisa pakan) yang dimanfaatkan sebagai pupuk kandang (pukan). Penggunaan pukan dapat dimaksimalkan setelah dilakukan pengomposan (dekomposisi) agar ratio C/N dibawah 20. Pukan selain mengandung unsur-unsur hara, juga mengandung asam-asam humat dan fulfat, yang berperan dalam meningkatkan kelarutan pupuk yang larut dalam asam misalnya pupuk batuan fosfat (BP). Pupuk BP berasal dari fosfat alam yang digiling halus, mengandung trikalsium fosfat atau Ca3 (PO4)2 (Young et al. 1985). Pupuk BP (12-27% P2O5) tidak larut dalam air, tetapi larut dalam asam (Dierolf et al. 2001; Nassir 2001; Lukiwati et al. 2001). Oleh karena pupuk BP mengandung mineral Ca dan P, hasil penambahan BP dalam proses dekomposisi dapat meningkatkan kualitas pukan dan disebut sebagai pupuk organomineral dan merupakan inovasi teknologi pembuatan pukan. Kandungan unsur hara N, P, dan K dalam pupuk kandang (pupuk organik) termasuk rendah dan bersifat ‘slow release’. Oleh karena itu, pemupukan di lapang, selain menggunakan 168
pupuk kandang (pukan), masih memerlukan penambahan pupuk anorganik, misalnya pupuk P (superfosfat), nitrogen (urea, amonium sulfat) dan K (KCl). Jagung manis (Zea mays saccharata) sebagai salah satu varietas jagung, jeraminya beserta klobot dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak ruminansia. Jerami jagung manis masih hijau segar, karena umur panen lebih awal yaitu 70 hari dibanding jenis jagung lainnya. Defisiensi unsur hara P dan N pada media tanam jagung, selama ini masing-masing diatasi dengan pemupukan SP-36 dan urea atau amonium sulfat (Lukiwati, 2002; Kasno et al., 2006). Pupuk SP-36 mudah larut dalam air dan cepat tersedia bagi akar tanaman. Namun ketika harga pupuk SP sangat mahal, bahkan langka ketika dibutuhkan, diperlukan solusi penggantinya yaitu dengan pemanfaatan pupuk fosfat alam atau batuan fosfat (BP) hasil tambang dan harga lebih murah. Pupuk BP lebih sesuai diterapkan pada tanah masam (pH <5,5) dengan dosis 1-1,5 ton BP/ha atau 300-450 kg P2O5/ha (Dierolf et al. 2001). Pemupukan amonium sulfat (AS) atau ZA dapat berpengaruh pada kemasaman tanah. Oleh karena itu, BP dapat menggantikan pupuk SP sebagai salah satu sumber unsur hara P apabila dalam aplikasinya dikombinasikan dengan amonium sulfat (Lukiwati et al., 2001). Dosis pupuk BP yang digunakan oleh Sharma et al. (2001) dengan sekali pemberian sebanyak 500 kg P2O5/ha untuk masa tanam 5 tahun, dan menghasilkan produksi jagung rata-rata meningkat 50 % lebih tinggi dibanding tanpa pemupukan P. Nassir (2001) juga melaporkan bahwa satu kali pemberian pupuk BP dengan dosis 80-360 kg P2O5/ha, dapat meningkatkan produksi jagung setara dengan pemupukan SP. Efisiensi pemupukan P untuk produksi biji tertinggi dicapai pada dosis 66 kg P/ha atau 150 kg P2O5/ha (Lukiwati, 2002). Tambang batuan fosfat di Jawa Tengah antara lain terdapat di Kabupaten Magelang dan Pati. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh pupuk organomineral dan pupuk anorganik serta kombinasinya terhadap produksi jagung manis dan kualitas jerami. 2. RUANG LINGKUP DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan dengan metode eksperimental di Dusun Soko, Desa Lerep, Kecamatan Ungaran Barat - Kabupaten Semarang. Analisis kimia dan fisik tanah awal dilakukan sebelum penelitian dimulai, dengan mengambil sampel tanah secara komposit masing-masing kelompok ulangan. Percobaan lapang pada tanah masam telah dilaksanakan selama 70 hari, dengan menggunakan rancangan acak kelompok dan 3 kali ulangan sebagai kelompok. Dosis pupuk P (SP, BP) dan N (urea, amonium sulfat), masingmasing 66 kg P/ha dan 200 kg /ha. Pupuk organik yang digunakan adalah pukan (organomineral) dan super petro organik (SPO), masing-masing dengan dosis 5 ton/ha. Semua petak mendapat pemupukan KCl. Perlakuan pemupukan yang diberikan adalah T0 (kontrol), T1 (organomineral),T2 (SPO), T3 (BP+amonium sulfat), T4 (SP+urea), T5 (organomineral+amonium sulfat), T6 (pukan + SP+urea), T7 (SPO+ BP+amonium sulfat),T8 (SPO+SP+urea). Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok dengan 9 perlakuan dan 3 kali ulangan sebagai kelompok, sehingga terdapat 27 petak percobaan. Pembuatan pukan (pupuk kandang) dilakukan dengan pengomposan (dekomposisi) campuran feses dan urin ternak serta sisa pakan, sedangkan penambahan BP pada bahan yang sama untuk pembuatan pupuk organomineral. Mikroba dekomposer ditambahkan untuk mempercepat proses dekomposisi selama 1 bulan, kemudian hasilnya di analisis di laboratorium. Pengolahan tanah dan pemetakan sebanyak 27 petak masing-masing ukuran 2,5 m x 3 m, terbagi dalam 3 kelompok sebagai ulangan. Pupuk organik (pukan, organomineral, dan SPO) diberikan secara sebar dan aduk rata sehari sebelum tanam. Pupuk KCl (150 kg K2O/ha), BP (150 kg P2O5/ha) diberikan bersamaan waktu tanam, dan 200 kg N/ha (amonium sulfat, urea) diberikan 2/3 dosis, kemudian 1/3 dosis pada umur 1 bulan. Jarak tanam jagung manis 70 x 40 cm (2 biji per lubang), dan diberi insektisida granul kedalam lubang tanam dosis 6 kg/ha. Penyiangan dilakukan pada saat tanaman berumur 2 minggu, dan diulang bersamaan waktu pembumbunan umur 1 bulan. Produksi jagung (berklobot dan tanpa klobot) diperoleh pada saat panen umur 70 hari, ditimbang tiap petak sampel dan dikonversikan menjadi produksi per hektar. Produksi 169
klobot dan jerami jagung tiap petak sampel ditimbang berat segarnya, dan masing-masing diambil sub sampel dan dianalisis di laboratorium dengan pengeringan oven pada suhu 700C selama 48 jam hingga berat konstan.untuk mendapatkan kadar bahan kering. Produksi BK jerami dan klobot masing-masing dihitung dari hasil perkalian produksi segar dengan kadar BK. Kualitas jerami dapat diketahui dari kadar protein kasar dan dan serat kasar masingmasing menurut metoda Islam et al. (1992). Semua data hasil pengamatan dianalisis ragam untuk mengetahui pengaruh perlakuan, kemudian dilanjutkan uji Duncan untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan terhadap parameter yang diamati. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Produksi Jagung Manis Produksi jagung manis nyata dipengaruhi oleh perlakuan yang diberikan (P< 0,05). Tabel 1 menunjukkan data produksi jagung berklobot (jagung dengan klobot) dan produksi jagung (tanpa klobot) dengan berbagai perlakuan yang diberikan. Hasil uji DMRT menunjukkan bahwa pemberian pupuk organomineral dikombinasikan dengan pupuk amonium sulfat (T5) menghasilkan produksi jagung dengan klobot maupun produksi jagung tanpa klobot berbeda tidak nyata dibanding T6, T7 dan T8. Namun menghasilkan produksi jagung klobot maupun produksi jagung tanpa klobot cenderung lebih tinggi dibanding T1, T3 dan T4, serta nyata lebih tinggi dibanding T2 (produksi jagung berklobot) dan T0 (Tabel 1). Tabel 1. Produksi Jagung Manis dengan Berbagai Perlakuan Pemupukan Perlakuan Produksi jagung Produksi jagung dengan klobot (ton/ha) tanpa klobot (ton/ha) T0 (kontrol) 12.557 c 8.537 c* T1 (pukan) 15.667 bc 10.387 abc T2 (SPO) 14.200 c 9.887 bc T3 (BP+AS) 16.813 abc 11.683 abc T4 (SP+urea) 15.850 bc 10.427 abc T5 (Organomineral+AS) 19.947 ab 12.297 ab T6(Pukan+SP+urea) 20.830 a 13.627 a T7 (SPO + BP+AS) 20.257 ab 13.463 a T8 (SPO+SP+urea) 19.407 ab 12.220 ab Keterangan: * Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) Secara umum pemberian pupuk organik (pukan, organomineral, SPO) dengan berbagai kombinasi perlakuan P (SP, BP) dan N (amonium sulfat, urea), mampu meningkatkan produksi jagung. Menurut Noor (2003), ketersediaan unsur hara P meningkat dengan penambahan bahan organik kedalam tanah dan mampu menghasilkan humus yang berperan dalam menekan jerapan P. Pupuk kandang termasuk pupuk organik yang berperan terutama dalam memperbaiki sifat fisik atau kesuburan fisik tanah, dan bersifat lambat tersedia. Mayadewi (2007) menyatakan bahwa unsur-unsur hara yang terkandung dalam pupuk kandang tersedia sedikit demi sedikit, dan dalam jangka waktu lama. Pengaruh pemberian pupuk kandang umumnya terlihat terutama pada musim tanam kedua. Smithson dan Giller (2002) menyatakan bahwa kombinasi pupuk organik – anorganik diperlukan untuk meningkatkan produktivitas tanaman pangan di daerah tropis. Kombinasi pemupukan SP+urea tidak berbeda nyata dibanding kombinasi BP+amonium sulfat dalam menghasilkan produksi jagung. Pupuk SP-36 merupakan hasil reaksi antara batuan fosfat dengan asam sulfat sehingga mudah larut dalam air dan cepat tersedia bagi akar tanaman. Sedangkan pupuk BP lebih sesuai untuk tanah masam (pH <5,5) (Dierolf et 170
al. 2001). Dilain pihak, pupuk amonium sulfat (AS) bereaksi masam, sehingga dapat meningkatkan kelarutan P dari pupuk BP. Hasil penelitian ini didukung oleh pernyataan Lukiwati et al. (2001) bahwa kombinasi pemupukan BP+amonium sulfat menghasilkan produksi dan kualitas rumput setaria setara dengan perlakuan kombinasi pemupukan SP+urea. Efektivitas pupuk BP meningkat pada kondisi asam (Hasanudin et al., 2007; Bationo & Kumar, 2002). Pupuk organik dapat meningkatkan produksi jagung dan jerami apabila dikombinasikan dengan pupuk anorganik (Lukiwati et al., 2010). Kombinasi pupuk organik dan anorganik dengan berbagai jenis sumber pupuk menghasilkan produksi jagung cenderung tidak berbeda. Namun, khususnya ‘biaya’ perlakuan T5 lebih murah dibanding kombinasi lainnya karena menggunakan bahan baku lokal dan terjangkau oleh petani. 3.2. Produksi Bahan Kering Jerami dan Klobot Jagung Produksi jerami jagung manis dan klobot nyata dipengaruhi oleh perlakuan yang diberikan (P< 0,05). Berdasarkan hasil uji jarak berganda Duncan, diketahui terdapat perbedaan yang nyata (P< 0,05) antar perlakuan yang diberikan terhadap produksi bahan kering jerami jagung manis dan klobot. Tabel 2 menunjukkan data produksi jerami dan klobot jagung manis. dengan berbagai kombinasi perlakuan pemupukan yang diberikan. Kombinasi antara pupuk organik dan anorganik, masing-masing menghasilkan produksi jerami dan klobot berbeda tidak nyata. Dekomposisi bahan organik menghasilkan asamasam organik, menurunkan pH dan potensi reduksi oksidasi ditingkatkan sehingga meningkatkan ketersediaan unsur hara yang kelarutannya tinggi pada kondisi asam (Sumida & Yamamoto, 1997). Jerami dipotong setelah panen jagung manis pada umur 70 hari setelah tanam. Disamping itu, dosis pupuk N, P maupun pupuk kandang yang diberikan masingmasing tidak berbeda. Oleh karena itu, antar perlakuan pupuk organik (T1 dan T2) dan anorganik (T3 dan T4) yang diberikan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dalam menghasilkan produksi jerami dan klobot jagung manis, namun cenderung lebih tinggi dibanding tanpa pemupukan. Lukiwati (2002) menegaskan bahwa produksi jerami jagung lebih tinggi dengan pemupukan 150 kg P2O5/ha (66 kg P/ha) dibanding tanpa pemupukan. Tabel 2. Produksi Bahan Kering Jerami dan Klobot Jagung Manis Perlakuan Produksi BK Jerami Produksi BK Klobot (ton/ha) (ton/ha) T0 (kontrol) 4,213 b 1,087 b* T1 (pukan) 5,613 ab 1,717 ab T2 (SPO) 4,790 ab 1,167 b T3 (BP+AS) 4,680 b 1,427 ab T4 (SP+urea) 4,630 b 1,407 ab T5 (Organomineral+AS) 5,527 ab 1,847 ab T6 (Pukan+SP+urea) 5,893 ab 2,137 a T7 (SPO + BP+AS) 6,600 a 1,837 ab T8 (SPO+SP+urea) 5,357 ab 2,010 a Keterangan: * Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) 3.3. Kadar Protein Kasar dan Serat Kasar Jerami Jagung Manis Kadar protein kasar (PK) dan serat kasar (SK) jerami jagung manis dan klobot nyata dipengaruhi oleh perlakuan yang diberikan (P< 0,05). Berdasarkan hasil uji jarak berganda Duncan, diketahui terdapat perbedaan yang nyata (P< 0,05) antar perlakuan yang diberikan terhadap produksi bahan kering jerami jagung manis dan klobot. Tabel 3 menunjukkan data kadar PK dan SK jerami jagung manis dengan berbagai kombinasi perlakuan pemupukan yang diberikan. 171
Kadar PK jerami jagung pada perlakuan T4 (SP+urea) dan T8 (SPO+SP+urea) nyata lebih tinggi dibanding T0 dan T2, tetapi tidak berbeda terhadap perlakuan lainnya. Konsentrasi nitrogen pada umumnya lebih tinggi pada bagian daun dibanding batang (Noggle & Fritz 1976). Diduga rasio daun pada T4 (kombinasi NP) dan T8 (kombinasi SPO dan NP) lebih tinggi dibanding pada perlakuan lainnya, karena pupuk SP larut dalam air dan lebih mudah diabsorbsi oleh akar tanaman. Kombinasi pupuk organomineral, pukan maupun pupuk SPO masing-masing dengan pupuk N dan P dari jenis pupuk berbeda, menghasilkan kadar PK tidak berbeda. Demikian juga pupuk organik dan anorganik yang berbeda, masingmasing menghasilkan kadar PK tidak berbeda. Dalam penelitian ini, dosis pupuk N dan P maupun pupuk kandang yang diberikan masing-masing tidak berbeda. Oleh karena itu, antara kombinasi perlakuan pupuk organik dan anorganik maupun tanpa kombinasi, masingmasing tidak menunjukkan perbedaan dalam menghasilkan kadar PK jerami jagung manis. Biaya pupuk pada perlakuan T5 lebih murah dengan hasil produksi jagung maupun kualitas jerami tidak berbeda dibanding perlakuan kombinasi pupuk organik dan anorganik(T6, T7, T8) maupun pupuk anorganik NP (T3, T4). Jerami dipotong setelah panen jagung manis pada umur 70 hari. Dengan demikian kondisi ini sudah masuk pada fase generatif, sehingga sebagian besar hasil fotosintesis telah digunakan untuk pengisian dan pemasakan biji jagung. Kadar serat kasar jerami pada perlakuan T4 (SP+urea) nyata paling rendah dibanding perlakuan lainnya. Hal ini konsisten dengan teori yang menyatakan bahwa kadar protein kasar hijauan pakan berbanding terbalik dengan kadar serat kasar (Whiteman, 1980). Tabel 3. Kadar Protein Kasar dan Serat Kasar Jerami Jagung Manis Perlakuan Kadar Protein Kasar Kadar Serat Kasar (%) (%) T0 (kontrol) 8,477 b 72,637 bcd* T1 (pukan) 9,787 ab 73,263 ab T2 (SPO) 8,790 b 70,957 d T3 (BP+AS) 9,560 ab 71,660 bcd T4 (SP+urea) 12,063 a 67,703 e T5 (Organomineral+AS) 9,770 ab 71,443 cd T6(Pukan+SP+urea) 10,643 ab 74,437 a T7 (SPO + BP+AS) 10,387 ab 72,900 abc T8 (SPO+SP+urea) 11,913 a 73,140 abc Keterangan: * Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) 4. KESIMPULAN Pupuk organik (pukan, organomineral, SPO) apabila dikombinasikan dengan pupuk P (SP, BP) maupun N (urea, ZA) menghasilkan produksi jagung manis dan kualitas jerami yang sama dan lebih tinggi dibanding pupuk organik atau anorganik saja. Selain itu, biaya produksi perlakuan kombinasi organomineral + amonium sulfat lebih murah dalam menghasilkan produksi jagung dan kualitas jerami dibanding pemupukan kombinasi lainnya, maupun pemupukan anorganik saja. Kombinasi pemupukan BP+amonium sulfat menghasilkan produksi jagung dan jerami serta kualitasnya setara dengan pemupukan SP+urea, maupun dengan pemupukan SPO+BP+amonium sulfat.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kepada Dirjen DP2M Dikti atas dukungan dana Hibah Penelitian Strategis Nasional, sehingga penelitian ini dapat terlaksana dan diselesaikan dengan baik. Terima kasih kepada Kepala Dusun dan Kelompok Tani Ternak Dusun Soko, Desa Lerep Kecamatan Ungaran Barat-Kabupaten Semarang, yang telah mendukung terlaksananya 172
penelitian ini. Terima kasih kepada Ir. Maulana Nasution, MS atas bantuannya dalam pengolahan data penelitian. Terima kasih kepada Sdr. Muchammad Muzayyin, SP yang telah membantu dalam analisis kimia tanah dan jaringan tanaman di laboratorium. Terima kasih kepada Sdr. Gunawan Sodiq, Amd yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini. PUSTAKA Bationo, A. and Kumar, A.K., 2002. Phosphorus use efficiency as related to sources of P fertilizers, rainfall, soil, crop management, and genotypes in the West African semiarid tropics. Proc.of Food Security in Nutrient –Stressed Environments: Exploiting Plant’s Genetic Capabilities. International Crops Research Institute for Semi-Arid Tropics (ICRISAT) Patancheru, India. Dierolf, T., Fairhurst, T. and Mutert, E., 2001. Soil Fertility Kit. A toolkit for acid, upland soil fertility management in Southeast Asia. First edition. Printed by Oxford Graphic Printers. 149 p. Hasanudin, Mitriani dan Barchia, F., 2007. Pengaruh pengapuran dan pupuk kandang terhadap ketersediaan hara P pada timbunan tanah pasca tambang batubara. J. Akta Agrosia. Edisi Khusus. 1: 1-4 Islam, A.K.M.S., Kerven, G., and Oweczkin., 1992. Methods of Plant Analysis. ACIAR 8904 IBSRAM QC. Kasno, A., Setyorini, D., dan Tuberkih, E., 2006. Pengaruh pemupukan fosfat terhadap produktivitas tanah Inceptisol dan Ultisol. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. 8(2):91-98. Lukiwati, D.R., Agustini, T.W., Kristanto, B.A., and Surahmanto., 2010. Production and nutrient uptake improvement of sweet corn by manure ‘plus’ combined with inorganic fertilizers. Proc. of the 15th World Fertilizer Congress of the International Scientific Center for Fertilizers (CIEC). Bucharest, Romania Lukiwati, D.R., Ekowati, R., dan Karno., 2001. Produksi bahan kering dan kadar protein kasar rumput setaria gajah dengan pemupukan N dan P. Abstr.hlm.167. Seminar Nasional ”Pengembangan Peternakan Berbasis Sumberdaya Lokal. Fakultas Peternakan IPB, Bogor 8-9 Agustus. (tidak diterbitkan) Lukiwati, D.R., 2002. Effect of rock phosphate and superphosphate fertilizer on the productivity of maize var. Bisma. Proc.of International Workshop Food Security in Nutrient-Stressed Environments: Exploiting Plant’s Genetic Capabilities. International Crops Research Institute for Semi-Arid Tropics (ICRISAT) Patancheru, India. Lukiwati, D.R., dan Muryani, R., 2006. Potensi jerami padi sebagai pakan sapi potong di Kabupaten Rembang. Jurnal Litbang Provinsi Jawa Tengah. 4(1): 7-12. Mayadewi, N.N.A., 2007. Pengaruh jenis pupuk kandang dan jarak tanam terhadap pertumbuhan gulma dan hasil jagung manis. J. Agritrop. 26(4): 153-159 Nassir, A., 2001. IMPHOS experience on direct application of phosphate rock in Asia. In: Proc.of an International Meeting “Direct Application of Phosphate Rock and Related Appropriate Technology – Latest Developments and Practical Experiences. Kuala Lumpur. Noggle, G.R., and Fritz, G.J., 1976. Introductory Plant Physiology. Second Ed. PrenticeHall., Inc., Englewood Cliffs, New Jersey. 627pp. Noor, A., 2003. Pengaruh fosfat alam dan kombinasi bakteri pelarut fosfat dengan pupuk kandang terhadap P tersedia dan pertumbuhan kedelai pada Ultisol. Bul. Agron. 31(3): 100-106. Sharma, P.K., Bhardwaj, S.K., and Sharma, H.L., 2001. Long-term a studies on agronomic effectiveness of African and Indian phosphate rocks in relaton to productivity of maize and wheat crops in mountaint acid soils of Western Himalayas (India). Proc.of International Meeting “Direct Application of Phosphate Rock and Related Appropriate
173
Technology-Latest Developments and Practical Experiences. IFDC/MSSS/ESEAP. Kuala Lumpur, Malaysia. Smithson, P.C., and Giller, K.E., 2002. Appropriate farm management practices for alleviating N and P deficirnciesin low-nutrient soils of the tropics. Plant and Soil. 245:169-180. Sumida, H. and Yamamoto, K., 1997. Effect of decomposition of city refuse compost on the behaviour of organic compounds in the particle size fractions. Proc. of the XIII International Plant Nutrition Colloquium, Tokyo-Japan. Whiteman, P.C., 1980. Tropical Pasture Science. Oxford University Press.392pp. Young, R.D., Weatfall, D.G., and Colliver, G.W., 1985. Production, Marketing, and Use of Phosphorus Fertilizers. In: O.P. Engestad (Ed.). Fertilizer Technology and Use. Third Ed. Published by Soil Soc.of Am., Inc. Madison, Wisconsin. 323-376.
174
STUDI PEMANFAATAN ENERGI AIR UNTUK MENUNJANG PROGRAM PENINGKATAN RASIO ELEKTRIFIKASI DAERAH TERPENCIL Ridwan Arief Subekti Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik - LIPI Komp. LIPI Bandung, Jl. Sangkuriang, Gd. 20. Lt. 2 Bandung 40135 Telp.: 022-2503055, Fax: 022-2504773 E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Program Pembangunan Listrik Perdesaan Kementerian ESDM telah meningkatkan rasio elektrifikasi Indonesia dari 67,2% pada tahun 2010 menjadi 72,95% pada tahun 2011. Namun demikian, di daerah terpencil terutama daerah pegunungan masih banyak yang belum teraliri listrik seperti di Kabupaten Aceh Besar Provinsi NAD. Sebenarnya daerah tersebut potensial untuk dikembangkan pembangkit listrik mandiri dengan memanfaatkan energi air. Perlu dilakukan studi potensi dan pemanfaatan energi air untuk mendapatkan data awal dalam pengembangan pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH). Studi dilakukan melalui survei lapangan dengan mengukur beda ketinggian air menggunakan altimeter dan mengukur kecepatan air menggunakan current meters. Dari hasil studi terdapat 3 lokasi yang potensial untuk dikembangkan PLTMH dengan daya keluaran 3,7 sampai 9,1 kW. Saat ini, LIPI telah menguasai teknologi rancang bangun PLTMH seperti turbin Crossflow, turbin Propeller, turbin arus sungai (head sangat rendah), generator putaran rendah dan singkronisasi. Bila dibandingkan dengan teknologi yang ada saat ini khususnya teknologi yang berasal dari luar negeri, teknologi yang kita kuasai tidaklah kalah. Bahkan dari segi harga, komponen PLTMH buatan LIPI dapat lebih murah dari komponen import. Selain itu, layanan perawatan tentu lebih mudah karena komponennya disuplai dari dalam negeri. Dengan bekal kemampuan tersebut, diharapkan LIPI dapat berperan lebih besar guna menunjang program pembangunan listrik perdesaan. Kata Kunci: daerah terpencil, energi air, rasio elektrifikasi ABSTRACT Rural Electricity Development Program of Ministry of ESDM has increase Indonesia electrification ratio from 67.2% in 2010 to 72.95% in 2011. Otherwise, in remote areas, especially in remote mountainous areas are still many who have not been powered, like in Aceh Besar, NAD. Actually that area is potential to be developed independent power plant using hydro energy. It required study of the potential and utilization of hydro energy to get beginning data as reference to develop PLTMH. The study was conducted through a survey of the field by measuring head using altimeter and water velocity using current meters. From the results of the study, there are 3 potential locations able to be developed as PLTMH with output power 3.7 until 9.1 kW. Currently LIPI has mastered PLTMH engineering technologies such as Cross flow turbine, Propeller turbine, very low head turbine, low rotation generator and synchronizer. When compared to existing technologies in particular technologies from abroad, technological which we mastered is not fail. Even in terms of price, LIPI’s PLTMH components can be cheaper than imported. In addition, maintenance would be easier because the component is supplied from domestic. By these capabilities, LIPI is expected to play a larger role to support the development of rural electricity program. Keywords: remote area, hydro energy, electrification ratio, the study
1. PENDAHULUAN Program pembangunan listrik perdesaan Kementerian ESDM telah meningkatkan rasio elektrifikasi di Indonesia dari 67,2% pada tahun 2010 menjadi 72,95% pada tahun 2011 (Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia, 2012). Namun demikian, daerah terpencil terutama di daerah pegunungan masih banyak yang belum terjangkau listrik padahal daerah tersebut sangat potensial untuk dikembangkan pembangkit listrik mandiri dengan memanfaatkan sumber energi air atau dikenal dengan nama pembangkit listrik tenaga air. Pembangkit listrik tenaga air adalah salah satu pembangkit listrik non fosil yang bersifat terbarukan yang cocok dikembangkan di Indonesia mengingat potensinya yang sangat besar 175
dan tersebar hampir di seluruh Indonesia. Seperti yang terdapat pada Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2006 – 2025 Kementrian ESDM (Tabel 1), kapasitas terpasang sumber energi non fosil yang berasal dari tenaga air skala mini/mikro hidro baru sekitar 206 MW atau sekitar 45 % dari potensi yang ada yang mencapai 450 MW. Hal ini tentu masih berpeluang untuk terus dikembangkannya pembangkit listrik skala mini/mikro hidro. Tabel 1. Potensi Energi Nasional 2005 Energi non fosil Sumber daya Tenaga air 75,67 GW Panas bumi 27,00 GW Mini/mikro hidro 0,45 GW Biomass 49,81 GW Tenaga surya 4,80 kWh/m2/hari Tenaga angin 9,92 GW Uranium (Nuklir) 24.112 ton* e.q. 3 GW untuk 11 tahun
Kapasitas terpasang 4,2 GW 0,8 GW 0,206 GW 0,3 GW 0,001 GW 0,0006 GW
% terpasang 5,55 2,96 45,78 0,6 0,0065
* hanya di daerah Kalan – Kalbar Sumber: Kementerian ESDM (2006)
Potensi pembangkit listrik tenaga air skala mikrohidro biasanya terdapat di daerah pegunungan. Namun demikian, masih banyak sumber energi air di daerah tersebut yang belum dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik. Salah satu wilayah pegunungan yang belum teraliri listrik namun memiliki sumber energi air adalah Kabupaten Aceh Besar Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Untuk mencukupi kebutuhan listrik, masyarakat sekitar masih menggunakan genset sehingga hal ini menjadi tidak efisien dan boros padahal di daerah pegunungan tersebut terdapat aliran sungai yang cukup deras sehingga sangat potensial untuk dikembangkannya pembangkit listrik tenaga mikrohidro. Dari latar belakang tersebut, maka perlu dilakukan studi pemanfaatan energi air sehingga secara umum dapat meningkatkan rasio elektrifikasi dan secara khusus dapat memenuhi kebutuhan energi listrik di wilayah tersebut. Studi ini dilakukan untuk mendapatkan data awal potensi energi air yang dapat digunakan sebagai acuan dalam pengembangan pembangkit listrik skala mikrohidro. Pembangkit listrik tenaga mikrohidro adalah suatu bentuk perubahan energi air dengan ketinggian dan debit tertentu menjadi energi listrik dengan menggunakan turbin air dan generator dengan kapasitas sistem maksimal 120 kW (Kusdiana, dkk., 2008; Arismunandar & Kuwahara, 1974). Sebagian besar literatur tentang pembangkit listrik tenaga mikrohidro lebih fokus membahas masalah perancangan peralatan mekanik, peralatan listrik serta implementasinya (Subagja, dkk., 2009; Warsito dkk., 2009; Susatyo & Subekti, 2009). Tujuan paper ini adalah memberikan gambaran dan informasi awal mengenai potensi energi air yang terdapat di wilayah pegunungan di Kabupaten Aceh Besar, sehingga dapat dijadikan sebagai dasar dalam perencanaan dan pembangunan pembangkit listrik tenaga mikrohidro. Dalam paper ini akan dijelaskan mengenai tahapan survei, lokasi dan potensi daya, spesifikasi peralatan mekanikal elektrikal serta komponen sipilnya. 2. METODOLOGI PENELITIAN Kajian potensi energi listrik skala mikrohidro ini dilaksanakan melalui survei lokasi di salah satu pegunungan yang terdapat di Kabupaten Aceh Besar Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada bulan Desember 2009 seperti yang terlihat pada Gambar 1. Survei lapangan yang ditujukan untuk mengetahui besarnya potensi energi air sebagai dasar dalam perencanaan dan pembangunan pembangkit listrik skala mikrohidro ini dilakukan melalui empat tahapan yaitu: 1) penentuan lokasi; 2) pengukuran head atau tinggi jatuh air; 3) perhitungan debit air; dan 4) perhitungan potensi energi listrik yang dapat dibangkitkan.
176
Lokasi Studi
Sumber: Peta Garmin (2006)
Gambar 1. Lokasi Studi Pemanfaatan Potensi Energi Air 2.1. Penentuan Lokasi Untuk mengetahui lokasi yang potensial untuk dikembangkannya pembangkit listrik skala mikrohidro, maka dilakukan dengan cara menyusuri aliran sungai yang berada di daerah pegunungan di Kabupaten Aceh Besar. Survei lapangan dilakukan guna mengetahui lokasilokasi mana yang berpotensi untuk dapat dikembangkan sebagai pembangkit listrik skala mikrohidro. Setelah didapat lokasi yang memiliki potensi, dilakukan penandaan lokasi menggunakan global positioning system (GPS). Tipe GPS yang digunakan adalah GPSMAP 76CSx merek Garmin. Fitur tracks yang terdapat pada GPS dapat digunakan untuk merekam jalur saluran pembawa dan jalur pipa pesat. Fitur tracks tersebut menciptakan catatan jejak elektronik yang berisi informasi tentang poin-poin sepanjang jalur (Garmin, 2006). 2.2. Pengukuran Head Altimeter yang terdapat pada GPS dapat digunakan untuk mengukur head atau tinggi jatuh air antara sumber air dengan lokasi turbin. Namun demikian, altimeter sangat mudah terpengaruh oleh perubahan suhu, tekanan atmosfir dan kelembaban sehingga altimeter sebaiknya digunakan untuk pengukuran beda ketinggian dalam jangka waktu yang cepat. Untuk pengukuran head yang tinggi, altimeter cukup dapat diandalkan. Sebagai pembanding, pengukuran beda ketinggian juga dilakukan dengan cara manual menggunakan meteran yang diukur secara vertikal. 2.3. Perhitungan Debit Air Sumber air untuk pembangkit listrik skala mikrohidro ini memanfaatkan aliran sungai yang mengalir di area pegunungan di Kabupaten Aceh Besar, yang mana menurut penduduk sekitar debit airnya relatif stabil sepanjang tahun. Untuk mengetahui debit air sungai yang mengalir maka dilakukan pengukuran debit sesaat. Pengukuran debit air sesaat di lokasi memiliki tiga tujuan yaitu: 1) untuk mengetahui debit air sepanjang musim kemarau dimana studi hidrologi dilakukan guna mengetahui debit air terkecil; 2) untuk memverifikasi data yang diperoleh dari dokumen pengairan apakah sesuai dengan data yang diperoleh dari pengukuran; dan 3) karena diperlukan dalam aplikasi dari metode korelasi aliran (Havey, dkk., 2002). Pengukuran debit air dilakukan dengan terlebih dahulu mengukur kecepatan air yang mengalir menggunakan alat propeller devices atau sering juga disebut current meters. current meters adalah sebuah batang dengan propeler atau baling-baling yang dapat bergerak bebas berputar dan dihubungkan dengan layar monitor menggunakan kabel untuk membaca kecepatan aliran air. Selanjutnya dilakukan perhitungan luas penampang sungai dengan mengukur lebar melintang dan kedalaman sungai. Bila kecepatan air dan luas penampang melintang sungai sudah diketahui, maka debit air dapat dihitung menggunakan persamaan (1). 177
(1) di mana Q adalah debit air (m3/s), v adalah kecepatan air (m/s), dan A adalah luas penampang melintang sungai (m2) (Streeter & Wylie, 1985). 2.4. Perhitungan Potensi Energi Listrik Dari data yang telah diperoleh melalui survei lapangan, selanjutnya diolah untuk mengetahui besarnya potensi energi listrik yang dapat dibangkitkan oleh pembangkit listrik skala mikrohidro ini. Besarnya daya terbangkitkan dapat dihitung menggunakan persamaan (2). (2) dimana P adalah daya terbangkitkan (watt), ρ adalah massa jenis air (kg/m3), g adalah gravitasi (m2/s), dan Hnet adalah tinggi netto (m) (Dietzel, 1990). 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Potensi Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro Kegiatan studi pemanfaatan energi air ini dilakukan melalui survei lapangan dan penentuan lokasi dilakukan dengan beberapa pertimbangan seperti masukan dari masyarakat sekitar mengenai lokasi air terjun, letak lokasi yang dekat dengan jalan dan jarak antara lokasi dengan konsumen. Dari hasil survei lapangan dapat diketahui bahwa terdapat tiga lokasi yang potensial untuk dikembangkan sebagai pembangkit listrik skala mikrohidro dengan head efektif 5 dan 16 meter. Potensi pembangkit listrik skala mikrohidro pertama terletak di daerah Taeyeun dengan ketinggian 112 meter di atas permukaan laut. Lokasi ini berada pada koordinat N5 24’ 20,1” E95 22’ 34,9”. Di lokasi ini, head effektif yang dapat dimanfaatkan adalah 5 meter dengan debit 0,2 m3/s. Dengan memperhitungkan effisiensi sistem, maka daya listrik yang dapat dibangkitkan adalah sebesar 5,7 kW. Lokasi potensial kedua terletak di dekat kolam pemancingan yang memiliki ketinggian 177 meter di atas permukaan laut. Lokasi ini berada pada koordinat N5 23’ 56,2” E95 22’ 15,5”. Di lokasi dekat kolam pemancingan ini, head effektif yang dapat dimanfaatkan sama dengan lokasi kesatu yaitu 5 meter namun memiliki debit yang lebih kecil yaitu 0,13 m 3/s sehingga daya listrik yang dapat dibangkitkan juga lebih kecil bila dibandingkan dengan lokasi kesatu yaitu hanya 3,7 kW. Lokasi terakhir yang potensial untuk dikembangkan sebagai pembangkit listrik skala mikrohidro yaitu sebuah air terjun yang berada pada koordinat N5 23’ 09,7” E95 21’ 53,9” dengan ketinggian 465 meter di atas permukaan laut. Dibandingkan dengan dua lokasi sebelumnya, lokasi ketiga ini memiliki head paling tinggi mencapai 16 meter. Namun demikian, lokasi ketiga ini debitnya paling kecil yaitu 0,1 m 3/s. Sama seperti dua lokasi yang lainnya, dengan memperhitungkan effisiensi sistem sebesar 58%, maka lokasi ketiga ini dapat membangkitkan daya listrik sebesar 9,1 kW. Ketiga lokasi yang potensial untuk dikembangkan sebagai pembangkit listrik skala mikrohidro diperlihatkan seperti yang terdapat pada Gambar 2.
178
(a) lokasi kesatu
(b) lokasi kedua
(c) lokasi ketiga
Sumber: dokumentasi survei lokasi (2009)
Gambar 2. Aliran Sungai yang Potensial untuk Dikembangkan PLTMH Selanjutnya data-data potensi energi air tiap lokasi dan spesifikasi teknik sistem pembangkit listrik skala mikrohidro ditampilkan dalam bentuk tabel berikut ini. Tabel 2. Potensi Energi Air dan Spesifikasi Sistem Pembangkit Listrik Skala Mikrohidro Lokasi Parameter 1 2 3 Head net (Hnet), (m) 5,0 5,0 16 3 Debit (Q), (m /s) 0,20 0,13 0,10 Effisiensi total ( total), (%) 58 58 58 Daya listrik terbangkitkan (P), (kW) 5,7 3,7 9,1 0,5 x 0,4 x 0,4 x Dimensi pipa pesat (Ø x L), (m) 30 30 36 Panjang waterway (m) 130 10 10 Headpond (P x L x T), (m) 9,2 x 3,5 x 3,5 Tipe turbin Propele Propel Cross r er Flow Diameter runner turbin (mm) 125 110 100 Efisiensi turbin (%) 80 80 80 Jenis generator 3 fasa, syncronous generator, 380/220 V Rating power generator (kVA) 10 7,5 20 Efisiensi generator (%) 85 85 85 Sistem kontrol ELC (electronic load controller) Rating power kontrol (kW) 10 10 15 Ballast load air heater Rating power ballast load (kW) 12 12 15
3.2. Peran LIPI dalam Menunjang Program Peningkatkan Rasio Elektrifikasi Daerah Terpencil Kementerian ESDM melalui program pembangunan listrik perdesaan telah meningkatkan rasio elektrifikasi sekitar 5% pada tahun 2011 dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia, 2012). Untuk terus meningkatkan rasio elektrifikasi nasional yang besarnya sekitar 5% per tahun terutama di pedesaan dan daerah terpencil, pengembangan pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) perlu ditingkatkan. Selain dapat meningkatkan rasio elektrifikasi, manfaat PLTMH lainnya adalah dapat mendorong peningkatan kegiatan ekonomi melalui pemanfatan penyediaan listrik, mengurangi konsumsi bahan bakar minyak dalam negeri, memanfaatkan sumber energi ramah lingkungan yang berdampak pada penurunan emisi karbon, serta dapat memberdayakan masyarakat luas. LIPI sebagai institusi penelitian pemerintah, memiliki kemampuan dalam rancang bangun berbagai jenis turbin air dan komponen PLTMH lainnya seperti rancang bangun turbin Cross Flow 100 W sampai 100 kW, rancang bangun turbin Propeller 100 W sampai 300 kW, rancang bangun turbin arus sungai/head sangat rendah, rancang bangun generator putaran rendah dan rancang bangun singkronisasi. Bila dibandingkan dengan teknologi yang ada saat ini khususnya teknologi yang berasal dari luar negeri, teknologi yang dikuasai tidaklah kalah. Bahkan dari segi harga, komponen PLTMH buatan LIPI dapat lebih murah dari komponen import. Mahalnya biaya investasi yang harus dikeluarkan dalam membangun suatu PLTMH biasanya menjadi faktor kendala utama pembangunannya. Namun demikian, 179
kendala tersebut dapat diatasi dengan adanya produk komponen PLTMH dalam negeri seperti dari LIPI maupun produk dalam negeri lainnya dimana harganya yang lebih murah dan terjangkau. Harga komponen PLTMH impor yang dapat mencapai ratusan juta rupiah dapat ditekan menjadi puluhan juta rupiah saja dengan menggunakan komponen PLTMH dalam negeri (Zakaria, 2012). Selain itu, kelebihan lainnya dari komponen PLTMH dalam negeri adalah pada layanan perawatan yang lebih mudah dan murah karena teknologinya disuplai dari dalam negeri. Peran serta LIPI dalam menunjang program pembangunan listrik pedesaan dapat dilihat dari diimplementasi teknologi PLTMH yang telah diterapkan oleh LIPI di beberapa daerah seperti: 1) pembangkit listrik tenaga mikrohidro kapasitas 30 kW di Kampung Cibunar Desa Sukapada Kabupaten Tasikmalaya Jawa Barat; 2) pembangkit listrik tenaga mikrohidro kapasitas 20 kW di Dusun Camaul Desa Cikadu Kabupaten Cianjur Jawa Barat; 3) pembangkit listrik tenaga mikrohidro kapasitas 7,5 kW di Dusun Margahayu, Desa Sukajaya, Kecamatan Cisewu, Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat; dan 4) pembangkit listrik tenaga pikohidro kapasitas 500 W menggunakan turbin head sangat rendah, di Kebun Raya Cibodas, Cianjur Jawa Barat serta beberapa lokasi lainnya dimana pendanaannya berasal dari APBN, APBD maupun pendanaan asing. Dengan berbekal kemampuan dan pengalaman tersebut, diharapkan LIPI dapat berperan lebih besar guna menunjang program “Pembangunan Listrik Perdesaan” Kementerian ESDM. 4. KESIMPULAN Melalui survei potensi energi air yang dilakukan di Kabupaten Aceh Besar Nanggroe Aceh Darussalam, dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga lokasi yang potensial untuk dikembangkan sebagai pembangkit listrik skala mikrohidro yaitu: 1) lokasi Taeyeun yang berada pada ketinggian 112 meter di atas permukaan laut (mdpl); 2) lokasi dekat kolam pemancingan dengan ketinggian 177 mdpl; dan 3) lokasi air terjun dengan ketinggian 465 mdpl. Dari pengukuran tinggi jatuh dan debit air sungai, maka besarnya potensi daya listrik yang dapat dibangkitkan di tiap lokasi tersebut adalah 5,7 kW, 3,7 kW, dan 9,1 kW dengan head 5 sampai 16 meter. Dengan teknologi rancang bangun PLTMH yang telah dikuasai, LIPI dapat berperan serta aktif dalam menunjang program pembangunan listrik perdesaan sehingga dapat meningkatkan rasio elektrifikasi nasional yang besarnya sekitar 5% per tahun. Penguasaan teknologi ini sangat penting agar kita tidak tergantung pada teknologi luar negeri karena komponen PLTMH dapat dibuat di dalam negeri sehingga harganya lebih murah bila dibandingkan dengan komponen impor.
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Hendri Maja Saputra, peneliti Bidang Mekatronik, Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik – LIPI yang telah bersedia mereview tulisan ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu pada kegiatan penelitian dan penyusunan karya tulis ilmiah ini. PUSTAKA Arismunandar, A., dan Kuwahara, S., 1974. Buku Pegangan Teknik Tenaga Listrik - Jilid 1: Pembangkitan dengan Tenaga Air (Cetakan keenam. utg.). Jakarta, Indonesia: Pradnya Paramita. Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia, 2012. Hentet Juni 11, 2012 fra Lisdes Tingkatkan Rasio Elektrifikasi Nasional Menjadi 72,95%: http://www.akli.org/?content=informasi&kategori=001&kode=20120515034056, diakses 11 Juni 2012 Dietzel, F., 1990. Turbin Pompa dan kompresor (Kedua. utg.). (D. Sriyono, Overs.) Jakarta, Indonesia: Erlangga. 180
Garmin, 2006. Manual Book GPSMAP 76CSx. Kansas: Garmin International Ltd. Havey, A., et al., 2002. Micro Hydro Design Manual – A Guide to small scale water power schemes. London, UK: ITDG Publishing. Kementerian ESDM, 2006. Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2006 - 2025. Hentet Agustus 29, 2012 fra. http://www.esdm.go.id/: http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=cadangan%20dan%20produksi%20energi&sour ce=web&cd=2&cad=rja&ved=0CCYQFjAB&url=http%3A%2F%2Fwww.esdm.go.id%2Fbat ubara%2Fdoc_download%2F714-blue-print-pengelolaan-energi-nasionalpen.html&ei=Y889UJnYCYaurAe_wYHADA&usg Kusdiana, D. dan Sitompul, A., 2008. Pedoman Teknis Standardisasi Peralatan dan Komponen Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH). Jakarta, Indonesia: Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi - Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Streeter, V. L., and Wylie, E. B., 1985. Mekanika Fluida - Jilid 1 (Delapan. utg.). (A. Prijono, Overs.) Jakarta, Indonesia: Erlangga. Subagja, Ardiyanti, T., dan Faisal, A., 2009. Studi Potensi dan Perancangan Awal Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro di Bendung Tegal Kabupaten Bantul Propinsi D.I Yogyakarta. Seminar Nasional Astechnova, (ss. I-101 - I-115). Yokyakarta. Susatyo, A., dan Subekti, R. A., 2009. Implementasi Teknologi Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro Kapasitas 30 kW di Desa Cibunar Kabupaten Tasikmalaya Jawa Barat. Seminar Nasional Daur Bahan Bakar, (ss. C-22 – C-26). Serpong. Warsito, S., Syakur, A., dan Nugroho, A. A., 2005. Studi Awal Perencanaan Sistem Mekanikal dan Kelistrikan Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro. Seminar Nasional Teknik Ketenagalistrikan, (ss. A-62 – A-66). Semarang. Zakaria, A., 2012. Jawa Barat Targetkan Pembangunan 3 PLTMH. (Green Radio) Hentet Agustus 27, 2012 fra Green Radio: http://www.greenradio.fm/technology/energy/hydroenergy/7599-2012-jawa-barat-targetkan-pembangunan-3-pltmh.
181
PENGEMBANGAN SISTEM KONVERSI ENERGI ANGIN UNTUK MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN DI KABUPATEN INDRAMAYU 1
2
Henny Sudibyo , Ridwan Arief Subekti Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik - LIPI Komplek LIPI Jl. Sangkuriang Bandung Telp. 022 2503055, Fax 022 2504773 1 2 E-mail:
[email protected];
[email protected] 1,2
ABSTRAK Pemanfaatan potensi energi angin di Kabupaten Indramayu sampai saat ini belum banyak dilakukan. Penelitian potensi energi angin yang tersebar di kabupaten Indramayu Jawa Barat telah dilakukan, dan data potensi angin rata rata di Kabupaten Indramayu telah diperoleh beserta estimasi daya yang dapat dibangkitkan. Agar potensi energi angin dapat dimanfaatkan nyata dalam kehidupan sehari-hari maka perlu dirancang Sistem Konversi Energi Angin. Agar sistem ini dapat memberikan dampak yang nyata untuk masyarakat di Kabupaten Indramayu maka perlu analisis perancangan sistem teknologi yang akan digunakan serta aspek yang memperhatikan kondisi potensi lokasi maupun kebutuhan masyarakat pengguna. Berdasarkan data potensi kecepatan dan daya estimasi yang dibangkitkan 2 diperoleh rata-rata kecepatan angin sebesar 11,64 m/s dengan daya estimasi 1230,47 W/m . Pemilihan sistem konversi energi angin ini digunakan untuk sistem pemompaan air, ini didasarkan hasil survei kondisi masyarakat di kabupaten Indramayu terutama digunakan untuk pendukung sarana pertanian dan peternakan. Teknologi kincir yang akan dikembangkan ini didasarkan pada parameter kapasitas, daya maksimum, kontrol kecepatan serta pemanfaatan optimum energi yang tersedia di Kapubaten Indramayu. Peran pemerintah daerah dalam pengembangan potensi energi angin ini sangat diperlukan untuk mempercepat pelaksanaan pembangunan sistem konversi energi angin ini hingga mampu dimanfaatkan optimal menuju kesejahteraan bersama. Kata Kunci : kincir angin, kabupaten Indramayu, pengembangan sistem, pemompaan
1. PENDAHULUAN Indramayu merupakan salah satu kabupaten di Jawa Barat yang wilayahnya sebagian ada di pesisir pantai utara Pulau Jawa. Indramayu memiliki potensi energi yang besar. Luas wilayah Kabupaten Indramayu 204.011 Ha yang didalamnya terdapat areal sawah seluas 118.513 Ha, areal tambak dan kolam seluas 16.239 Ha, areal perkebunan seluas 6.058 Ha serta areal hutan seluas 34.307 Ha. Dengan panjang pantai 114 Km yang membentang sepanjang Pantai Utara antara Cirebon - Subang, dimana sejauh 4 mil dari pantai merupakan kewenangan Kabupaten (sesuai Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999). Sebagai daerah yang dikenal sebagai lumbung padi Jawa Barat, Kabupaten Indramayu merupakan daerah sentra pertanian yang sangat luas, dengan luas sawah 118.513 Ha, dan luas tanaman padi setahun 204.727 Ha dengan produksi padi 1.216.219,13 Ton gabah kering pungut. Sektor pertanian lain yang menjadi unggulan adalah pengembangan komoditi mangga. Sehingga menjadikan kota Indramayu dikenal sebagai kota penghasil mangga. Salah satu potensi energi terbarukan di Indramayu adalah energi angin. Angin merupakan salah satu sumber energi baru dan terbarukan yang dapat dikembangkan dan dimanfaatkan langsung oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan energi. Energi angin bisa dimanfaatkan khususnya di daerah-daerah pedesaan dan daerah terpencil. Energi angin merupakan salah satu sumber daya alam yang bisa dimanfaatkan secara cuma-cuma dan bisa kita temukan di mana saja dengan kapasitas yang berbeda-beda. Undang-Undang NO. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional mengamanatkan pemanfaatan energi terbarukan sebesar lebih dari 5% dari energi nasional. Pemerintah dalam hal ini adalah Menteri Energi dan sumber Daya Mineral dapat memberikan kemudahan dan insentif kepada pelaksana Sumber Energi Terbarukan tersebut. Keputusan Menteri Energi & Sumber Daya Mineral Nomor 0002 tahun 2004 tentang Kebijakan pengembangan energi terbarukan dan konservasi energi menjelaskan peluang optimasi pemanfaatan sumber energi terbarukan (DESDM, 2005). Sebagai salah satu potensi energi berlimpah yang belum dimanfaatkan di 182
Indramayu adalah energi angin. Energi angin akan sangat bernilai pada lokasi minim sumber energi primer atau tiada deposit energi mineral fosil. Sebagaimana diketahui bahwa sebagian besar penduduk miskin Indonesia berada di desa-desa nelayan yang justru berada di daerah yang kaya energi angin. Berbeda dengan sumber energi lainnya, sumber energi yang satu ini tidak banyak menimbulkan gangguan karena tidak mengeluarkan gas buang atau semacamnya yang dapat menimbulkan polusi. Akan tetapi, sumber energi angin ini juga memiliki kelemahan yaitu investasi awalnya yang cukup mahal dan juga dipengaruhi oleh pola hembusan angin. Dan sebagian besar wilayah Kabupaten Indramayu ada di daerah pesisir pantai utara Pulau Jawa, yang tentunya potensi angin akan lebih besar. Tujuan penulisan makalah ini yaitu pemaparan berapa potensi angin di Kabupaten Indramayu serta pemanfaatan potensi angin tersebut untuk dapat dimanfaatkan di bidang pertanian serta bidang lainnya. Sistem Konversi Energi Angin merupakan salah satu sistem teknologi yang dapat diterapkan untuk merancang kincir angin yang dapat menghasilkan energi. Sistem Konversi Energi Angin di Kabupaten Indramayu ini dirancang untuk dapat menggerakkan pompa untuk pengairan persawahan. 2. METODOLOGI Metode yang digunakan yaitu mengumpulkan data sekunder dan primer. Data primer dikumpulkan dari kegiatan observasi melalui survey lapangan. Pengukuran kecepatan angin dilakukan di areal persawahan menggunakan alat ukur kecepatan angin (Anemometer) dengan ketinggian tiang 10 m selama 13 jam/hari dari pukul 06.00 WIB – 19.00 WIB selama tiga hari berturut-turut. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran objek studi, sehingga lokasi studi dan lingkup wilayah yang akan diobservasi dapat diperkirakan. Pengumpulan data sekunder meliputi pengumpulan data angin dari Badan Metereologi dan Geofisika di Wilayah Provinsi Jawa Barat kabupaten Indramayu, data kondisi geografis dan wilayah serta data –data referensi Sistem Konversi Energi Angin. Pengambilan data kecepatan angin dilakukan lokasi yang berada di daerah Pantai Utara Jawa (Pantura) Kabupaten Indramayu di desa Sukamelang, Kecamatan Kroya.
Sumber: Dokumentasi pribadi (2012)
Gambar 1. Pemasangan Alat Ukur Kecepatan Angin di Areal Persawahan Desa Sukamelang, Kecamatan Kroya, Kabupaten Indramayu 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Kecepatan Angin Harian Kabupaten Indramayu terletak pada 107°51' - 108°36' Bujur Timur, dan 6°15' - 6°40' Lintang Selatan, dengan ketinggian 0 - 100 m diatas permukaan laut (www.indramayukab.go.id). Pengukuran dilakukan menggunakan cup anemometer dengan 183
tinggi tiang 10 m. Pada saat pengukuran, suhu lingkungan sebesar 30o C. Dari Grafik pada Gambar 2 diketahui bahwa kecepatan angin rata-rata hasil pengukuran adalah 11.63 m/s, kecepatan maksimum 18.13 m/s dan kecepatan angin yang paling sering muncul adalah 10 m/s. Tabel 1. Data Pengukuran Kecepatan Angin Kabupaten Indramayu 14 -9- 2006 Waktu
15-9-2006
Kecepatan angin (m/s)
6.00 7.00 8.00 9.00 10.00 11.00 12.00 13.00 14.00 15.00 16.00 17.00 18.00 19.00
16-9- 2006
Kecepatan angin (m/s) 7.93 10.99 12.54 12.91 10.25 9.56 12.16 13.37 12.24 16.6 17.29 10.94 9.82 16.29
12.22 13.66 11.77 9.7 8.11
Kecepatan angin (m/s) 6.43 6.47 8.69 8.63 7.68 8.75 15.85 15.84 15.97 18.13 16.26 9.94 8.83 8.1
Sumber: Hasil pengamatan (2012)
Data Kecepatan Angin Indramayu 20 18
Kecepatan Angin (m/s)
16 14 12 14-Sep
10
15-Sep 8
16-Sep
6 4 2 0 6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
Waktu
Sumber: Hasil pengamatan (2012)
Gambar 2. Distribusi Waktu Pengukuran Kecepatan Angin Kabupaten Indramayu Setelah kecepatan rata-rata angin harian diketahui, langkah selanjutnya adalah menghitung estimasi kecepatan rencana pemasangan kincir angin menggunakan persamaan (1) dan estimasi daya angin lokasi menggunakan persamaan (Bruce, 1997):
184
V ( Z hub ) V ( Z anem ) x P
ln( Z hub / Z 0 ) ln( Z anem / Z 0 )
(Vz ) 3 ( FPE ) 2
(1) (2)
di mana: V(Zhub) = kecepatan angin pada ketinggian rencana (m/s), V(ZAnem) = kecepatan angin pada titik pengukuran (m/s), Zhub = ketinggian rencana kincir angin (m), ZAnem = ketinggian pengukuran kecepatan angin (m), Zo = Tinggi kekasaran permukaan, dari tabel (m), P = Daya angin rata-rata (W/m2), ρ = Kerapatan udara di lokasi, dari tabel (kg/m3), Vz = Kecepatan angin lokasi pada ketinggian tertentu (m/s), dan FPE = Faktor pola energi (dari tabel). Hasil perhitungan kecepatan rencana pemasangan kincir angin dan estimasi daya angin di Kabupaten Indramayu V(Zanem)rata-rata =12.44 m/s, Zanem =10 m, Zhub = 12 m, Z0=0.1m, V(Zhub)=12.93 m/s, ρ=1.116, FPE 1.4, P=1689.70 W/m2. Jadi potensi energi angin di Kabupaten Indramayu berdasarkan analisis ini sebesar 1689,7 W/m2 Dari perhitungan daya angin rata-rata, daya dan kecepatan angin rencana dapat dihitung. Dari nilai-nilai tersebut maka kapasitas sistem dapat ditentukan. Kecepatan angin rata-rata pada saat pengukuran berkisar antara 6,22 m/s sampai 12,44 m/s. Dengan mempertimbangkan data kecepatan angin rata-rata yang bersumber dari Badan Meteorologi dan Geofisika Jawa Barat, maka untuk perancangan sistem SKEA, kecepatan angin yang digunakan adalah 3 m/s sampai 5 m/s. 3.2. Perancangan Sistem Konversi Energi Angin untuk Pemompaan Air Berdasarkan hasil pengukuran data angin yang telah dilakukan di kabupaten Indramayu, Sistem Konversi Energi Angin untuk pemompaan merupakan sistem yang cocok untuk dierapakan didaerah ini. SKEA untuk pemompaan bermanfaat untuk pengairan persawahan dan kebun mangga di kabupaten Indramayu. SKEA merupakan suatu sistem/peralatan untuk mengubah energi angin menjadi energi yang dapat dimanfaatkan oleh manusia baik dalam bentuk mekanik maupun listrik, dan dalam konteks pemanfaatan bentuk pengubahan yang dimaksudkan adalah sebagai pembangkit listrik dan penggerak mekanik (Irasari, 2004). Dari cara pemanfaatannya SKEA dapat dibagi dua jenis, yaitu: a) SKEA listrik, disebut juga turbin angin. b) SKEA penggerak mekanik, disebut juga kincir angin. SKEA ditentukan oleh berbagai karakteristik (parameter) yang menunjukkan prestasi/kemampuan, yakni: Kapasitas Kecepatan “cut in” dan “cut out” Daya maksimum Kecepatan angin maksimum Kontrol kecepatan Kecepatan rencana Dengan demikian dalam pemilihan sistem ini, besaran-besaran tersebut harus diperhatikan agar pemanfaatannya dapat semaksimal mungkin sesuai dengan energi yang tersedia di lokasi. Pemanfaatan sebuah SKEA baik sebagai pembangkit listrik maupun pompa mekanik harus memenuhi pada dua aspek pokok, yaitu potensi energi angin di lokasi dan potensi pengguna. Adapun spesifikasi rancangan sistem pompa tenaga angin sebagai berikut: 185
Tabel 2. Spesifikasi Sistem Pompa Air Tenaga Angin Kincir Angin Kecepatan Angin - Sumbu - Start = 3 m/s horisontal - 18 blade - Operasi = 5 m/s - Diameter 4,5 m - Stop =25 m/s Spesifikasi - Tinggi menara 10 m dengan kaki 3
Pompa - reciprocating - Diameter 88mm - Head static operasi 3-80 m - Kapasitas 80 m3/hari
Perhitungan daya hidrolik pada sistem ini dilakukan untuk menentukan kapasitas dan dimensi pompa yang sesuai dengan kondisi lokasi dengan mengacu pada referensi (Bruce, 1997). Dari data referensi sistem SKEA yang telah terpasang, secara teknis maupun sosial dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk aplikasi pemanfaatan kincir angin untuk pompa air, yang paling cocok adalah tipe piston. Hal ini mengingat pompa piston secara konstruksi sangat sederhana dan mudah pemeliharaanya. Tetapi ada beberapa masalah yang sering terjadi yaitu pada kondisi angin berhenti, maka kincir berhenti sehingga pada konstruksi pompa piston di atas permukaan air, perlu dilakukan pancingan (memasukkan air ke dalam pompa). Hal ini dikarenakan konstruksi pompa pada sistem katupnya terjadi kebocoran. Untuk mengatasi kendala tersebut, diperlukan perbaikan pada desain sistem katup sehingga tidak terjadi pengosongan pada pompa pada waktu berhenti. Selain itu diutamakan posisi pompa berada di bawah permukaan air. Sehingga ruang piston selalu terisi air. Konstruksi sistem pompa ini, sebaiknya air dipompa ke dalam sebuah tanki atau bak penampung dengan ketinggian tertentu. Dengan cara ini tekanan yang cukup besar dapat diperoleh untuk mendistribusikan air dengan gravitasi. Gambar 3. merupakan desain umum untuk sistem pompa tenaga angin yang di rancang berdasarkan hasil perhitungan dan analisis dari survei yang telah dilakukan. Pada gambar merupakan sistem kincir angin poros horizontal dengan multi sudu. Kincir ini sangat cocok untuk daerah terbuka seperti kondisi di Kabupaten Indramayu. Kincir ini dapat dipasang di areal persawahan terbuka untuk pemompaan air, kemudian air yang telah tertampung dialirkan menuju area perkebunan yaitu perkebunan mangga. Kincir air ini dirancang memiliki tinggi menara 10 m dan dapat mengangkat air dengan kapasitas 80 m3/hari. Kapasitas tersebut dapat mencukupi untuk pengairan baik untuk pertanian maupun untuk perkebunan.
186
Gambar 3. Rancangan Desain Sistem Konversi Energi Angin Untuk Pemompaan Komponen utama sebuah turbin angin seperti pada gambar 3 terdiri atas: Rotor, terdiri atas naf dan sudu. Transmisi, umumnya ada dua jenis, yaitu roda gigi dan sabuk. Unit transmisi berfungsi untuk memperbesar putaran rotor menjadi putaran generator. Unit pengaturan mekanis maupun listrik, mencakup: Distribusi (penyaluran), yang digunakan untuk penyaluran listrik ke pemakai beban. Proteksi (pengaman), berupa fuse baik fuse biasa maupun fuse thermal. Panel kontrol (kotak kontrol) yang dilengkapi dengan lampu indikator, tombol, sakelar dan alat pencatat arus, tegangan dan frekuensi. Ekor pengarah (sub sistem orientasi), berfungsi untuk mengendalikan rotor agar tetap mengarah ke angin. Platform, sering didapat pada nasel dan menara yang berfungsi untuk tempat berdiri misalnya untuk pemeliharaan dan perbaikan (Alfa, 2002). Menara, berfungsi untuk menopang komponen-komponen turbin angin yakni, transmisi, generator, ekor pengarah dan sub sistem pengontrol pada ketinggian tertentu Bantalan orientasi (meja putar), terpasang di atas menara di bawah nasel yang berfungsi sebagai bantalan putar bagi komponen-komponen di atas menara sehingga keseluruhan komponen tersebut dapat berputar mengikuti arah angin. Pengatur kecepatan, berfungsi untuk mengatur putaran rotor agar menjadi konstan atau mendekati konstan. Pengaman putaran lebih, pengasutan (starting) dan pengereman secara otomatis bila kecepatan angin atau 187
putaran rotor melampaui batas dan mengasut kembali jika kecepatan angin atau putaran rotor tersebut telah memenuhi persyaratan . Faktor utama yang harus di pertimbangkan dalam penggunaan sistem pemompaan tenaga angin adalah aspek teknis dan ekonomis/finansial. Dari aspek teknis, diperlukan data yang berhubungan dengan sistem konversi energi angin yang paling cocok dengan potensi lokasi, demand atau kebutuhan kosumen, teknologi yang tersedia dipasaran, biaya operasional pemasangan dan lain-lain. Sedangkan dari aspek ekonomi/finansial, diperlukan data dan informasi mengenai harga sistem, investasi, payback period (periode pengembalian), NPV (Net Present Value), Profitability Indeks (PI) dan lain-lain. Untuk mendapatkan manfaat yang maksimal dan dapat memberikan nilai ekonomis yang lebih tinggi dari sistem SKEA ini maka kedua aspek tersebut diatas harus seimbang. 3.3. Peran Pemerintah dalam Pengembangan SKEA Pemerintah dapat berperan dalam mengembangkan skema investasi dan pendanaan sistem SKEA yaitu pemberian prioritas dan kemudahan untuk investasi SKEA dan mendorong investasi swasta baik dari dalam maupun luar negeri. Partisipasi pemerintah daerah dalam upaya pengembangan SKEA diantaranya memfasilitasi pemgembangan PLTMH dalam rencana pembangunan daerah dan penyediaan dana SKEA bersumber dari APBD. Pemda diharapkan juga dapat mengkoordinasi lembaga – lembaga terkait (BAPPEDA, Dinas ESDM, PLN Daerah) untuk perencanaan, dan pengembangan dan pemanfaatan listrik hasil SKEA. Peran serta pemerintah ini diharapkan akan mempercepat kemajuan pembangunan di daerah dengan memanfaatkan sistem konversi energi angin.
4. KESIMPULAN Dari hasil analisis dan pengolahan data mengenai pengembangan sistem konversi energi untuk pemompaan di Kabupaten Indramayu yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan yaitu Indramayu memiliki potensi energi angin berkisar 18.13 m/s. Potensi energi angin tersebut secara teknis dapat dimanfaatkan sebagai sistem pompa air tenaga angin yang dapat digunakan untuk mengairi lahan pertanian terutama untuk pengairan perkebunan mangga. Dasar pemanfaatan sebuah SKEA ditentukan oleh berbagai karakteristik (parameter) yang menunjukkan prestasi/kemampuan, antara lain: kapasitas, daya maksimum, kecepatan angin maksimum, kontrol kecepatan dan kecepatan rencana. Selain faktor teknis perlu dipertimbangkan aspek ekonomis SKEA untuk memaksimalkan rancangan yang mendatangkan keuntungan. Peran pemerintah daerah dalam pengembangan potensi energi angin ini sangat diperlukan untuk mempercepat pelaksanaan pembangunan sistem konversi energi angin ini hingga mampu dimanfaatkan optimal menuju kesejahteraan bersama. . UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih yang sebesar-besarnya kami ucapkan kepada Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Jawa Barat dan PT. Gelar Buana Persada yang telah memfasilitasi kegiatan survey potensi energi angin ini. Terima kasih kami ucapkan kepada Bapak Ir. Anjar Susatyo selaku ketua dan anggota tim survey atas bantuan dan kerjasamanya sehingga kegiatan ini dapat berjalan sesuai rencana. Terima kasih kami ucapkan kepada aparat desa dan masyarakat sekitar lokasi survey. Terima kasih juga kami sampaikan kepada Arini Wresta, M.Eng. peneliti di P2 TELIMEK LIPI yang telah memberikan saran dan arahan agar makalah ini lebih baik.
188
PUSTAKA Alfa, A., 2002. Sistem Kerja Pembangkit Listrik Tenaga Angin Tipe Sistem Konversi Energi Angin (Skea) 2500 W, Studi Kasus Di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Rumpin-Bogor, Jawa Barat. Bruce, H., B. and Scott, L., M., 1997. Wind Resource Assessment Handbook, Fundamental for Conducting a Successful Monitoting Program. AWS Scientific, Inc: New York. DESDM. 2003. Kebijakan Energi Terbarukan Dan Konservasi Energi (Energi Hijau). Direktorat Energi dan Sumber Daya Mineral: Jakarta. DESDM. 2005. Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005-2025. Direktorat Energi dan Sumber Daya Mineral: Jakarta. Irasari, P., 2004. Laporan Teknis Program Kompetitif Energi Baru dan Terbarukan - Panduan Studi Kelayakan. Bandung. ____________. 2006. Laporan Akhir Studi Potensi Pemanfaatan Energi Angin untuk Pemompaan Air. PT. Gelar Buana Persada: Bandung. ____________. 2005. Pengembangan Energi Angin. Buletin Energi Hijau, edisi IX, Juli 2005. -------------------. www.indramayukab.go.id diakses tanggal 2 September 2012
189
PENGHEMATAN BIAYA (COST REDUCTION) MELALUI TEKNIK BARU FINISHING BANGUNAN DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN BUDAYA KREATIF DALAM MENDUKUNG INOVASI FRUGAL Lia Yuldinawati Institut Manajemen Telkom Jl.Telekomunikasi no 1, Bandung E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Masih banyaknya masyarakat Indonesia yang hidup dibawah garis kemiskinan,yang melatarbelakangi pemenuhan kebutuhan akan sandang,pangan dan papan menjadi suatu hal yang sulit untuk dipenuhi. Pemenuhan kebutuhan manusia ini menciptakan budaya kreatif di lingkungan masyarakat umum maupun pengembang dalam menghasilkan sebuah produk kreatif yang mempunyai nilai ekonomis dan bermanfaat bagi masyarakat banyak. Arsitektur adalah salah satu bidang didalam industri kreatif yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan untuk menciptakan inovasi dalam upaya mengeksploitasi daya kreasi dan daya cipta dalam pemenuhan kesejahteraan masyarakat.Penelitian ini menghasilkan penciptaan teknik baru material finishing konstruksi bangunan,baik berupa finishing dinding,lantai maupun plafond yang diolah sedemikian rupa dengan harga yang murah,biaya material yang jauh lebih efisien dan teknik pelaksanaan yang mudah sehingga dapat dilakukan baik oleh masyarakat umum ataupun oleh tenaga professional tanpa mengesampingkan nilai estetika. Penghematan biaya yang merupakan bagian dari manajemen proyek sangat dibutuhkan agar mendapatkan hasil yang optimal dalam hal kinerja, waktu,sumber daya manusia dan mutu.Cost reduction/penghematan biaya adalah sebuah strategi dan langkah baru di masa depan sehingga apabila strategi dan teknik ini dapat dilaksanakan diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia dalam memenuhi kebutuhan akan papan yang menjadi salah satu faktor penting dalam kehidupan manusia. Kata Kunci: cost reduction, finishing bangunan,inovasi frugal
1. PENDAHULUAN Kebutuhan masyarakat akan perumahan dan pemukiman menyebabkan pengguna maupun penyedia jasa berupaya memenuhi kebutuhan dengan melakukan berbagai upaya perbaikan, perubahan, dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Rumah sebagai tempat tinggal adalah sebuah hunian tempat menampung seluruh aktifitas keluarga. Rumah merupakan kebutuhan dasar manusia, Kebutuhan dasar terdiri dari sandang,pangan dan papan.Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya dalam memenuhi kebutuhan dasar masyarakat tersebut. Upaya pemerintah adalah dalam rangka pemerataan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. yang hidup dalam taraf kemiskinan. Bagi masyarakat Indonesia yang telah berada pada status sosial menengah ke atas rumah adalah merupakan investasi jangka panjang, Hal ini yang membuat rentang berpedaan yang sangat mencolok antara si kaya dan si miskin dimana kebutuhan dasar manusia tersebut yang harusnya dimiliki sama oleh semua manusia pada kenyataannya sangatlah berbeda. Menurut Lewis (1984 dalam Suparlan) masyarakat berpenghasilan rendah adalah kelompok masyarakat yang mengalami tekanan ekonomi, sosial, budaya dan politik yang cukup lama dan dapat menimbulkan budaya miskin. Si kaya akan memiliki rumah lebih dari satu sedangkan si miskin satupun tempat berlindung tidak dapat dipunyai olehnya. Akibat hal tersebut maka masyarakat kelas menengah kebawah banyak memiliki rumah tinggal yang tidak layak huni hanya sekedar sebagai upaya pemenuhan kebutuhan mereka saja. Oleh karena itu, pemenuhan kebutuhan akan perumahan yang memenuhi sarana dan prasarana yang dapat menunjang kehidupan manusia tidak dapat dipenuhi dengan baik.
190
Rumah yang memenuhi syarat bukan hanya rumah yang memenuhi standar konstruksi tetapi juga rumah yang sehat . 1.1. Perumahan Dan Pemukiman Menurut Turner (dalam Raharjo, 2010), ada tiga prinsip pokok pembangunan perumahan yaitu : a. Hal terpenting dari perumahan bukanlah rumah itu sendiri tetapi apa yang ditimbulkan rumah itu terhadap penghuninya. b. Rumah bukanlah produk akhir, tetapi proses yang berkembang. c. Kekurangan dalam pembangunan rumah dapat ditolerir oleh penghuninya apabila penghuni terlibat dalam proses pembangunan. Dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa rumah tinggal walaupun sebagai kebutuhan dasar tetapi dalam penggunaannya dinamis sesuai dengan kebutuhan dan aktifitas dari penghuninya. Kebutuhan manusia terhadap rumah menurut Maslow (Raharjo, 2010) berjenjang sesuai dengan tingkat penghasilannya, yaitu : a. Kebutuhan Fisiologis (tempat berlindung, tempat istirahat dll) b. Rasa aman (beribadah, menyimpan barang dll) c. Kebutuhan Sosial (sebagai sarana berinteraksi sosial) d. Harga diri, kehormatan dan ego e. Aktualisasi diri Berdasarkan Undang-undang No. 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman terdapat pengertian-pengertian sebagai berikut: a. Pengertian rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal/hunian dan sarana pembinaan keluarga. b. Yang dimaksud dengan perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal/hunian yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana lingkungan. c. Sedangkan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung (kota dan desa) yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal/hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. 1.2. Inovasi Frugal Pemenuhan kebutuhan rumah tinggal membuat beberapa pihak melakukan inovasi. Definisi Inovasi adalah kaedah mencari jalan untuk menghasilkan produk yang lebih baik. Inovasi juga dapat dipahami sebagai hasil ide yang kreatif dan inovatif kerja yang dapat meningkatkan kualitas dan produktivitas organisasi atau perusahaan. Ide ini meliputi perubahan dalam bentuk sistem dan prosedur, kaedah dan cara bekerja maupun pengenalan teknologi. Definisi Frugal adalah “Economical in the use or appropriation of resources; not wasteful or lavish; wise in the expenditure or application of force, materials, time, etc.; characterized by frugality; sparing; economical; saving; as, a frugal housekeeper; frugal of time.” Inovasi Frugal adalah sebuah ide dan perubahan baru yang berkaitan dengan peningkatan nilai ekonomi dalam pemanfaatan sumber daya,tenaga, dan material. 1.3. Cost Reduction Menurut (Kotler,2012) pada chapter 20 tentang Introducing New Market Offering, ada beberapa kategori produk baru, yaitu: a. New to the world b. New product lines c. Addition d. Improvement e. Repositioning f. Cost Reduction 191
Cost reduction adalah upaya dari individu atau perusahaan dalam mengurangi biaya sehingga dapat meningkatkan pendapatan/menghemat pendapatan. Dalam penelitian ini digunakan cost reduction/pengurangan biaya dalam penggunaan alternatif material dalam finishing bangunan rumah tinggal. 1.4. Customer Gap Pemenuhan kebutuhan masyarakat dalam pelaksanaannya tidak semua diterima dengan sebagaimana mestinya oleh pengguna/masyarakat itu sendiri. Antara apa yang diharapkan dengan yang diterima itu berbeda sehingga terjadi gap.
Gambar 1. Customer Gap 2. PEMBAHASAN Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif dengan studi kasus membandingkan finishing bangunan rumah tinggal dengan menggunakan plesteran dan cat dengan bata ekspos. Dinding yang digunakan adalah ukuran 2 m x 3 m.Penelitian ini membandingkan 3 macam finishing dinding,yaitu : a. Biaya finishing dinding dengan cat dan plesteran b. Biaya finishing dinding dengan menggunakan bata ekspos c. Biaya finishing dinding dengan menggunakan alternatif material baru 2.1. Biaya Finishing Dinding Dengan Cat Dan Plesteran Finishing dinding dengan cat dan plesteran menggunakan bahan baku yang menggunakan biaya cukup besar,dimana material yang digunakan mencakup bata,semen,pasir dan cat. Finishing dinding dengan sistem ini adalah teknik umum yang digunakan dalam penyelesaian sebuah konstruksi bangunan. Dengan menggunakan teknik ini maka tidak semua kalangan masyarakat mampu untuk membuat rumah dengan konstruksi yang layak karena akan memakan biaya yang relatif besar.
Sumber: Dokumentasi pribadi (2012)
Gambar 2. Dinding Dengan Finishing Plesteran Dan Cat 192
Finishing dengan teknik plesteran dan cat maka biaya yang dikeluarkan untuk ukuran 2x3 m memakan biaya diatas satu juta rupiah. Perincian biaya dapat dilihat dalam tabel dibawah ini : Tabel 1. Biaya Finishing Dinding Dengan Cat dan Plesteran NO 1 2 3 4
Material Bata Semen Pasir Cat
Volume M2 70 buah/m 50kg 1:3 2,5 kg
Volume (2x3m) 420 bh 150 kg 1,5m3 5 kg
Harga satuan 500 60.000 200.000 Total Biaya
2
Harga (2x3m ) 210.000 180.000 150.000 500.000 1.040.000
2.2. Biaya Finishing Dinding Dengan Menggunakan Bata Ekspos Finishing dinding dengan bata ekspos menggunakan bahan baku yang relatif lebih sedikit dibandingkan dengan plesteran dan cat, dimana material yang digunakan mencakup bata, semen, pasir tanpa adanya cat. Finishing dinding dengan sistem ini adalah teknik alternatif yang sudah biasa digunakan oleh umum .Dengan menggunakan teknik ini maka terdapat pengurangan biaya konstruksi hampir 15% dari biaya semula.
Sumber: Dokumentasi pribadi (2012)
Gambar 3.Finishing Dinding Bata Ekspos Finishing dengan teknik plesteran dan cat maka biaya yang dikeluarkan untuk ukuran 2x3 m memakan biaya sekitar delapan ratus ribu rupiah. Perincian biaya dapat dilihat dalam tabel dibawah ini : Tabel 2. Biaya Finishing Dinding dengan Menggunakan Bata Ekspos NO
Material
1 2
Bata ekspos Semen+Pasir (Nat)
Volume M2 7 buah/m -
Volume (2x3m) 420 bh -
Harga satuan 1700 60.000 Total Biaya
Harga (2x3m2) 714.000 165.000 879.000
Sumber: Hasil pengamatan (2012)
2.3. Biaya Finishing Dinding dengan Menggunakan Alternatif Material Baru Finishing dinding dengan alternatif material baru menggunakan bahan baku yang paling ekonomis, dimana material yang digunakan mencakup bata, semen, pasir tanpa adanya cat digantikan dengan lem kayu dan bata tumbuk. Finishing dinding dengan sistem ini adalah teknik alternatif yang belum biasa digunakan oleh umum. Dengan menggunakan teknik ini maka terdapat pengurangan biaya konstruksi hampir 40% dari biaya semula.
193
Sumber: Dokumentasi pribadi (2012)
Gambar 4. Finishing Dinding Alternatif Finishing dengan teknik plesteran dan cat maka biaya yang dikeluarkan untuk ukuran 2x3m memakan biaya sekitar tiga ratus ribu rupiah.Perincian biaya dapat dilihat dalam tabel dibawah ini: Tabel 3. Biaya Finishing Dinding dengan Menggunakan Alternatif Material Baru NO 1 2 3 4
Material Bata Semen+Pasir (nat) Lem kayu Bata tumbuk
Volume M2 70 buah/m 450 gram 4 bh
Volume (2x3m)
Harga satuan
Harga (2x3m2)
420 bh -
500 60.000
210.000 165.000
0,25kg 4 bh
12000 500 Total Biaya
12.000 2000 389.000
Sumber: Hasil pengamatan (2012)
Dari ketiga hasil penelitian diatas dapat dilihat bahwa penggunaan finishing dinding dengan menggunakan bata tumbuk adalah finishing dengan biaya yang paling rendah.Hampir 40% biaya dapat dikurangi/cost reduction jika finishing dengan plesteran dan cat juga dengan menggunakan bata ekspos dirubah menjadi dinding ekspos bata alternatif. Adapun cara penggunaannya adalah dengan cara paling sederhana,yaitu: untuk dinding 2x3 m2 cukup dengan menggunakan 4 buah bata untuk hasil warna bata alaminya, dengan mencampurkannya dengan lem kayu. Setelah kekentalan dan warnanya dianggap cukup maka bata bisa diolesi dengan campuran material tadi sehingga tampaklah hasil akhir bata ekspos hasil sendiri. 3. KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat dilihat beberapa hal. Pertama, inovasi frugal ini harus diidentifikasi terlebih dahulu sebelum melakukan pengembangan lebih lanjut dan mensosialisasikannya kepada masyarakat banyak bahkan mengimplementasikannya masih harus melakukan penelitian terlebih dahulu. Kedua, inovasi frugal dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak karena pemenuhan kebutuhan dasar manusia dalam memiliki rumah tinggal dapat dipenuhi dengan baik. Jika hal ini dapat dilakukan dan dikaji lebih lanjut maka inovasi frugal hasil dari partisipasi masyarakat dapat dikembangkan. Ketiga, masyarakat menjadi sangat kreatif dalam upaya pemenuhan kebutuhan dasar ini,sehingga ide-ide dan penemuan-penemuan baru yang muncul sangat berguna dalam menciptakan inovasi-inovasi frugal lainnya. Keempat, apabila yang dilakukan ini sudah berhasil maka inovasi frugal ini telah membantu melakukan pengembangan kesejahteraan masyarakat,pemberdayaan kemampuan masyarakat serta pengelolaan masyarakat sebagai sebuah aset bangsa dan negara.
194
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada Ibu Wanda Listiani, M.Ds dari STSI Bandung yang telah mengkritisi tulisan ini. PUSTAKA Kotler, P., 2012. Marketing Management: 14th ed. Pearson International Edition, Prentice Hall, New Jersey. Lovelock C.H, Wright, L.K., 2007. Manajemen Pemasaran Jasa, PT.Indeks, Jakarta. Raharjo, N.P., 2010. Dinamika Pemenuhan Kebutuhan Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah.Tesis Program Pasca Sarjana Magister Teknik Pembangunan Wilayah dan Kota Universitas Diponegoro, Semarang. Sukawi. 2008. Pembangunan Perumahan Melalui Partisipasi Masyarakat. Sugiono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D cetakan ke-10. Alfabeta, Bandung.
195
PEMANFAATAN MEMBRAN (WEBS) GELATIN/POLIVINIL ALKOHOL BERSKALA MIKRO HINGGA NANO SEBAGAI PEMBALUT LUKA PRIMER Theresia Mutia Balai Besar Pulp dan Kertas Jalan Raya Dayeuh Kolot No. 132 Bandung Telp. (022) 5202980; 081802203663 E-mail :
[email protected]
ABSTRAK Biomaterial yang banyak digunakan di bidang medis, antara lain alginat, chitosan, dan gelatin, misalnya untuk pembalut luka primer (kontak langsung dengan luka), karena sifatnya yang nontoksik, biodegradable, biocompatible dan dapat mempercepat pertumbuhan sel baru. Gelatin merupakan protein yang diperoleh dari hidrolisis parsial kolagen yang terdapat dalam struktur jaringan tubuh dan terdapat pada kulit, otot, dan tulang. Sumber bahan baku gelatin dapat berasal dari sapi (tulang dan kulit jangat), babi (kulit) dan ikan/ayam (tulang dan kulit). Gelatin banyak digunakan di berbagai bidang, termasuk bidang medis, misalnya untuk pembalut luka atau scafold (untuk tissue engineering). Namun, sampai saat ini gelatin belum dimanfaatkan sebagai bahan baku tekstil medis melalui proses electrospinning. Padahal, produk akhirnya akan mempunyai kualitas yang lebih tinggi dibanding produk konvensional, karena memiliki luas permukaan yang sangat besar dan berpori. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan webs (lembaran tipis) atau membran yang terdiri dari serat gelatin/polivinil alkohol (PVA) sebagai pembalut luka primer berskala mikro hingga nano dengan metoda electrospinning. Pengujian yang dilakukan terhadap produk akhirnya meliputi analisa gugus fungsi, analisa struktur mikro, dan uji pre klinis. Dari hasil uji diketahui bahwa membran didominasi oleh serat dengan diameter sekitar 100--–300 nm. Adapun serat nano merupakan serat yang berukuran kurang dari 100--500 nm, sehingga produk akhir tersebut dapat digolongkan sebagai pembalut luka berkualitas nano. Selain itu, produk tersebut dapat mempercepat penyembuhan luka dan lolos uji praklinis, karena tidak menyebabkan iritasi, sehingga sesuai untuk digunakan sebagai pembalut luka primer. Kata kunci : gelatin, biomaterial, pembalut luka primer, membran nano (nano webs), electrospinning. ABSTRACT Biomaterial such as alginate, chitosan and gelatin are commonly used for medical application, i.e. primary wound dressing (contact directly to wound), due to nontoxic, biodegradable, biocompatible and can accelerate new cell regeneration. Gelatin is a protein substance derived from collagen, a natural protein present in the tendons, ligaments, and tissues of mammals. Raw material of gelatin can come from the connective tissues, bones and skins of animals, i.e. cows and pigs. Gelatin is widely uses in many kind of industries, including medical application, such as wound dressing or scaffold (for tissue engineering). However, up to this momment gelatin has not been used as raw material for medical textile application by electrospinning process. Whereas with electrospinning method will be produced a higher quality membran due to its high surface area and porous. This study was aimed to get micro to nano webs for primary wound dressing of gelatin/polivinyl alcohol (PVA) fibers by electrospinning technology Testing on the final product included chemical function analysis, micro structure analysis and pre clinical test. From the test results known that membrane was dominated by fibers that have the average diameter’s size from 100 nm to 300 nm which can be classified as a nano wound dressing. Besides, the product can accelerate wound healing and passes pre clinically test because it does not cause irritation, so it is suitable to be used as a primary wound dressing. Key words: gelatin, biomaterial, primary wound dressing, nano webs (membrane), electrospinning
1. PENDAHULUAN Tekstil medis adalah kombinasi antara teknologi tekstil dan pengetahuan di bidang medis untuk menghasilkan produk baru dalam upaya memenuhi tuntutan konsumen yang semakin tinggi terhadap kualitas suatu produk. Oleh karenanya hari-hari yang menyakitkan bagi para penderita berubah menjadi hari-hari yang nyaman. Persyaratan polimer bio-medis, yaitu 196
harus bersifat nontoksik, tidak menyebabkan alergi, mudah disterilkan, mempunyai sifat mekanik yang memadai, kuat, elastis, awet dan biocompatibile. Serat yang digunakanpun bervariasi, baik yang berasal dari alam (kapas, sutera, rayon, alginat, chitosan, kolagen, dsb.) maupun serat buatan (poliester, poliamida, polietilena, serat gelas, dsb.). Pangsa pasar tekstil medis diperkirakan akan berkembang lebih pesat lagi, diantaranya adalah pembalut luka (wound dressing) [1]. Biomaterial, seperti alginat dan gelatin, digunakan sebagai bahan baku untuk beberapa pembalut luka moderen, karena dapat mendorong pertumbuhan jaringan sel baru dan mengurangi peradangan, sehingga mempercepat penyembuhan luka. Dari bahan tersebut akan dihasilkan produk pembalut luka yang bersifat non toksik dan biodegradable, berdaya serap tinggi, mudah digunakan dan dilepas, elastis, dapat menutup luka dan mempertahankan kelembaban pada sekitar luka [2,3,4,5]. Gelatin merupakan protein hasil hidrolisis kolagen yang ada pada kulit, tulang, dan tulang rawan. Kandungan kolagen pada tulang berkisar antara 15—20%. Gelatin larut dalam air, sehingga diaplikasikan di berbagai keperluan industri, baik pangan maupun non-pangan, karena memiliki sifat yang khas, yaitu dapat berubah secara reversibel dari bentuk sol ke gel, mengembang dalam air dingin, dapat membentuk film, mempengaruhi viskositas suatu bahan, dan dapat melindungi sistem koloid. Di bidang farmasi, gelatin digunakan sebagai bahan pembuat kapsul, pengikat tablet, pembalut luka, gelatin sponge, surgical powder, mikroenkapsulasi, dll. Susunan asam amino gelatin yang paling banyak antara lain glisin (21,4%), prolin (12,4%), hidroksiprolin (11,9%), asam glutamat (10%), dan alanin (8,9%). Gelatin dapat menyerap air 5—10 kali beratnya, larut dalam air panas dan jika didinginkan akan membentuk gel. Berat molekul gelatin rata-rata berkisar antara 15.000, dan untuk komersial berkisar antara 20.000 – 70.000 [6,7]. Sifat fisik, kimia, dan fungsional gelatin merupakan sifat yang sangat penting menentukan mutu gelatin. Sifat yang dapat dijadikan parameter dalam menentukan mutu gelatin, antara lain adalah kekuatan gel, viskositas, dan rendemen. Indonesia telah memiliki pabrik pengolah gelatin antara lain di Bandung, Bogor, Bekasi, Tangerang, Jakarta dan Pasuruan namun untuk kebutuhan dalam negeri, masih mengimpor yang jumlahnya berkisar 2.000 - 3.000 ton/tahun dari beberapa negara seperti Cina, Australia, dan beberapa negara Eropa. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2007, jumlah impor gelatin mencapai 2.715.782 kg dengan nilai 9.535.128 dolar AS [8].
Glysin
Prolin
Glisin
Hidroksiprolin
Gambar 1. Struktur Kimia Gelatin Polivinil alkohol (C2H4OH)x, merupakan polimer sintetis yang larut dalam air. Produk ini berbentuk powder berwarna putih yang tidak berbau dan tidak beracun, stabil pada suhu normal dan memiliki sifat fisika yang baik, sehingga banyak digunakan diberbagai industri, seperti industri medis, farmasi, makanan, tekstil, kertas dan pengepakan. Selain itu digunakan juga sebagai zat pengelmusi pada polimer dan kosmetika, dan pengikat tanah untuk pengontrol erosi Polyvinyl alcohol [9]. Teknologi nano merupakan teknologi yang bertujuan mengendalikan molekul dan atom individu untuk menciptakan bahan dan peralatan yang beribu kali lebih kecil dibanding kondisi teknologi sebelumnya [10,11]. Keunggulan serat nano (Gambar 2) adalah memiliki 197
luas permukaan yang lebih besar dan jarak antar serat yang sangat kecil, sehingga memungkinkan untuk diaplikasikan dalam berbagai bidang, diantaranya tekstil militer (protective clothing), farmasi, kesehatan (tekstil medis), kedokteran, pertanian, automotif, elektronika, optik, kosmetik, olahraga, dan lain-lain. Selama satu dekade, electrospinning telah diketahui sebagai suatu proses untuk mendapatkan serat berukuran mikro hingga nano. Serat nano dan electrospinning merupakan material dan teknologi yang sangat penting untuk menunjang perkembangan nanoteknologi pada berbagai bidang untuk mencari bahan yang bersifat kompetitif, strategis dan ramah lingkungan, sehingga dapat memenuhi kebutuhan manusia di masa yang akan datang [10]. Serat-serat nano dapat dihasilkan dari berbagai material (logam, keramik maupun polimer). Di bidang biomedispun serat dengan ukuran nano berperanan penting, terutama untuk pembuatan pembalut luka [1,2,10].. Electrospinning adalah teknik pembuatan serat nano dengan memanfaatkan gaya elektrostatik sebagai pendorong larutan polimer ketika disuntikan dari sebuah jarum (spineret) ke suatu kolektor (Gambar 3). Pancaran larutan polimer berakselarasi ke arah kolektor memanjang dan menyebar secara tidak beraturan dari spineret ke kolektor. Pancaran larutan tersebut akan menipis dan mengering seiring dengan menguapnya pelarut, meninggalkan serat-serat nano yang saling berhubungan satu dengan lainnya membentuk jaring-jaring yang solid berupa webs [2,10,11]. Dalam dunia perdagangan serat nano adalah serat yang mempunyai diameter kurang dari 0,5 mikron (500 nm), sedangkan serat yang telah diproduksi dan diperdagangkan mempunyai diameter antara 50 nm sampai 300 nm [12]. Serat nano akhir-akhir ini mulai popular dan dibuat dalam bentuk non-woven /webs atau membran, sehingga tidak melalui proses pertenunan atau perajutan [10,11,12,13].
Gambar 2. Perbandingan Serat Nano terhadap Serat Rambut Manusia
Gambar 3. Pembuatan Serat NanoDengan Metoda Electrospinning [11,12]
Pembuatan serat mikro hingga nano dari larutan polimer alami, misalnya chitosan, alginat dan gelatin tidak mungkin dilakukan, karena sifat mekaniknya memiliki banyak kekurangan dibanding polimer sintetik, sehingga sukar untuk diproses menggunakan electrospinning. Oleh karenanya larutan pintal/polimernya harus dicampur dengan polimer sintetik, seperti PVA atau PEO (polietilena oksida) [12,14,15,16]. Melalui metoda electrospinning, dapat diperoleh membran atau webs dari serat chitosan/PVA untuk pembalut luka [12] dan dari serat alginat/PVA yang dapat digunakan sebagai pembalut luka dan scaffold pada rekayasa jaringan (tissue engineering) [14, 16]. Serat-serat dari biomaterial termasuk gelatin sampai saat ini belum dimanfaatkan sepenuhnya. Padahal diketahui bahwa melalui proses electrospinning terhadap gelatin 198
dapat dihasilkan membran yang terdiri dari serat mikro hingga nano yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan di bidang farmasi, medis dan tekstil medis [15,17]. Studi mengenai pemanfaatan produk tersebut untuk keperluan tekstil medis, yaitu pembalut luka primer belum dilakukan. Oleh karenanya, dengan melihat potensi yang tinggi tersebut dan untuk melanjutkan penelitian sebelumnya [16], maka dilakukan pembuatan membran serat gelatin/PVA dengan pelarut air sebagai media utamanya. Tujuannya adalah untuk memanfaatkan gelatin sebagai bahan baku tekstil medis melalui proses electrospinning dan untuk mendapatkan kondisi proses yang optimal serta karakteristik produknya. Hal ini perlu dilakukan dalam upaya melakukan diversifikasi produk, karena bahan bakunya banyak tersedia dengan harga yang relatif murah dan produk akhirnya mempunyai nilai tambah yang cukup tinggi. Penelitian tersebut meliputi karakterisasi larutan pintal dan pembuatan membran dengan alat elektrospinning, sedangkan pengujiannya meliputi analisa gugus fungsi dengan alat FTIR, analisa struktur mikro dengan alat Scanning Electron Microscope (SEM), dan uji pre klinis. Selanjutnya diharapkan produk akhirnya dapat digunakan sebagai alternatif tekstil medis pembalut luka, karena gelatin dapat meningkatkan pertumbuhan jaringan baru [4]. Adapun perbedaannya dengan penelitian terdahulu [2,15,17], yaitu kopolimernya berbeda dan dilengkapi dengan uji pre klinis. 2. METODA PENELITIAN Bahan yang digunakan adalah PVA, asam asetat glasial, alkohol (p.a. grade) dan aquades, serta gelatin komersial (ekstraksi kulit kaki sapi, produk dari PT X di Jawa Barat dan telah diuji kekuatan gel, kadar logam, uji mikroba dan bersertifikat halal seperti disajikan pada Tabel 1). Tabel 1. Hasil Uji Mutu Gelatin No.lot : 11430 Parameter
Uji kimia . . . . .
1 Kekuatan gel 2 Kadar abu MC 3 pH 5% Kromium 4 Logam berat 5 Warna
Tipe : Halal Edible Continue 5.
6.
SNI 3735-1995 7.
Satuan
Hasil
Persyaratan
Bloom % % ppm mg/kg -
250 1,0 11,2 6,5 0,02 10 Tidak berwarna Normal (dapat diterima konsumen) 9. < 1,0 < 1,5 Negatif Negatif Negatif
3,25 maks 16 %, maks 50, maks Tidak berwarna Normal (dapat diterima konsumen) 10. -
Bau/rasa
Uji mikroba 1 Total Plate . Count 2 Yeast Salmonela . 3sp S. Aureus .
No.Test :15-04-2011 Tgl. produk 04-04 2011
8. koloni/g koloni/g
Peralatan yang digunakan adalah electrospinning (Gambar 4), stirrer magnetik, oven, timbangan digital 4 desimal, peralatan gelas lengkap, viskometer Brookfield, conductivity meter (HACH – German), FTIR (Fourier Transform Infra Red), SEM (Scanning Electron Microscope), Ionizer (untuk sterilisasi). Adapun pada uji pre klinis digunakan jarum suntik biasa dari syringe 5 ml dan 10 ml, Laminar Airflow dan restrainer (kandang untuk kelinci percobaan). 199
Alat Electrospinning
Tabung Larutan Spinning
Sample Collector
Gambar 4. Alat Electrospinning Larutan pintal merupakan kombinasi dari gelatin dan PVA. Sebagai pelarut gelatin digunakan asam asetat glasial dan air, sedangkan PVA adalah air. Larutan pintal yang telah diberi tegangan listrik tinggi dipompa hingga membentuk tetesan larutan pada ujung kapiler spineret yang sekaligus bertindak sebagai elektroda. Selanjutnya, tetesan larutan yang terinduksi muatan listrik dan dipengaruhi medan listrik tersebut akan bergerak/meloncat ke arah elektroda (kolektor) yang bermuatan berlawanan, disertai proses penguapan pelarutnya, sehingga terbentuk serat pada permukaan kolektor. Pengujian : Pengujian yang dilakukan meliputi analisa gugus fungsi (Perkin Elmer Spectrum One - FTIR - Spectrometer) [18], analisa struktur mikro (SEM Jeol, JSM 6360 LA), dan uji pre klinis melalui uji iritasi pada kulit kelinci albino jantan [19,20]. Uji praklinis : Uji praklinis dimulai dari persiapan kelinci yang akan diuji, persiapan peralatan yang diperlukan, pelaksanaan percobaan dan pemeliharaan setelah proses pendedahan (melukai kulit dengan cara menggoresnya dengan syringe 5 ml). Pendedahan dilakukan sesuai dengan standar yang berlaku dan dilaksanakan di dalam ruangan steril (Laminar air flow) yang sesuai dengan persyaratan [19,20]. Adapun evaluasi terhadap adanya eritema (pemerahan) dan edema (pembengkakan) dilakukan dengan menggunakan skala pada Tabel 2. Tabel 2. Sistem Skor Draize-FHSA Reaksi kulit Pembentukan eritema dan luka dalam Tidak terbentuk eritema Eritema yang sangat ringan Eritema tampak jelas Eritema sedang sampai parah Eritema parah (warna merah keunguan) sampai pembentukan eschar ringan (luka dalam) Pembentukan edema Tidak terbentuk edema Edema yang sangat ringan Edema ringan (bagian tepi area edema sangat jelas meninggi) Edema sedang (tinggi tepi area edema naik 1 mm) Edema parah (tinggi tepi area edema naik > 1 mm dan meluas ke bagian yang lebih luar dari area pendedahan) eritema* (pemerahan), eschar** (luka goresan) dan edema** (pembengkakkan)
Skor 0 1 2 3 4
0 1 2 3 4
Uji ini dilakukan dengan cara mencukur rambut pada punggung kelinci bagian kiri dan kanan. Proses pendedahan dilakukan dengan digores sepanjang 2 cm; 3 goresan pada 2 tempat punggung kiri dan kanan. Punggung kanan digunakan untuk sediaan uji dengan menempelkan contoh uji berupa membran berukuran 2 x 3 cm, punggung kiri digunakan 200
sebagai kontrol. Selanjutnya membran tersebut ditutupi kain kasa, kemudian kain kasa diberi plester untuk mencegah terlepasnya kain kasa dari kulit. Seluruh badan kelinci kemudian dibungkus dengan kain pembalut untuk menutupi punggung kiri dan kanan. Satu jam setelah perlakuan, pembalut dibuka dan membran diangkat lalu dilakukan pengamatan terhadap adanya eritema dan edema. Pengamatan tersebut diulangi pada jam ke-24; 48 dan 72; serta dievaluasi dengan menggunakan skala pada Tabel 2. Selama uji coba kelinci percobaan disimpan di ruang pemeliharan dengan pakan konvensional dan air minum diberikan secara ad libitum (secukupnya), pada suhu 24 2C dengan kelembaban relatif 70-80%. Pencahayaan adalah 12 jam terang dan 12 jam gelap. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Gelatin Hasil analisis FTIR terhadap gelatin menunjukkan adanya gugus - gugus fungsi OH, C-H, C=O, N-H dan C-H aromatis, pada panjang gelombang 3434 cm -1, 2355 cm -1, 1642 cm -1 dan 1078 cm -1 . Gugus tersebut merupakan gugus hidrofil, sehingga gelatin dapat mudah larut dalam air. 3.2. Polivinil Alkohol (PVA) Dari hasil uji analisa gugus fungsi dengan menggunakan alat FTIR, diketahui bahwa PVA mempunyai puncak pada beberapa panjang gelombang yaitu : antara 1605 – 1466 cm-1 yang menunjukkan adanya gugus C – C antara 2900 - 3000 cm-1 dan 900 – 675 cm-1 yang menunjukkan adanya gugus C-H ”stretching” dan C-H ”bending” antara 3600 - 3200 cm-1 dan 1420 - 1330 cm-1 yang menunjukkan adanya gugus OH”’streching” dan O-H ”bending” antara 1260 – 1000 cm-1 yang menunjukkan adanya gugus - C=O 3.3. Pembuatan Membran (Webs) Dengan Alat Electrospinning Dalam proses ini, terdapat beberapa variabel yang berpengaruh untuk terbentuknya serat tersebut. Parameter tersebut terbagi menjadi tiga bagian yaitu sifat larutan, variabel terkendali dan parameter ambien. Sifat-sifat larutan termasuk kekentalan, daya hantar listrik (konduktivitas), tegangan permukaan, berat molekul polimer, momen dipol dan konstanta dielektrik. Variabel terkendali termasuk laju alir larutan polimer, kuat medan listrik, jarak antara ujung spineret dan kolektor, bentuk jarum spineret, komposisi kolektor dan geometri. Adapun yang termasuk ke dalam parameter ambien adalah suhu dan kelembaban ruangan serta kecepatan udara dalam ruang electrospinning. Laju alir larutan polimer berpengaruh terhadap ukuran diameter nanofiber. Semakin rendah laju alir larutan, maka ukuran diameter serat yang diperoleh akan semakin kecil, sedangkan laju alir yang terlalu tinggi hanya akan banyak menghasilkan beads (butiranbutiran larutan polimer bukan serat) karena serat tidak sempat mengering sebelum mencapai kolektor. Variasi jarak antara ujung spineret dan kolektor adalah salah satu cara untuk mengatur diameter serat dan morfologinya. Jarak minimum diantara keduanya dibutuhkan untuk memberikan waktu yang cukup bagi serat untuk mengering sebelum mencapai kolektor. Jarak antara spineret dan kolektor yang terlalu jauh ataupun terlalu dekat hanya akan memberikan hasil spining yang tidak sempurna, dimana biasanya yang didapat hanya beads . Variasi dari salah satu atau lebih parameter ambien semisal suhu, kelembaban dan kecepatan udara dalam ruangan dapat menghasilkan serat-serat elektrospun dari berbagai jenis polimer, termasuk polimer-polimer yang larut dalam air, biopolimer-biopolimer dan polimer-polimer kristalin cair. Dalam beberapa kasus, kenaikan suhu berpengaruh terhadap mengecilnya diameter serat. Peningkatan kelembaban udara berpengaruh terhadap kenampakan pori-pori pada permukaan serat, dan lebih jauh lagi menyebabkan pori-pori tersebut bersatu. 201
Pemilihan pelarut yang tepat sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pembuatan nanofiber pada electrospinning. Volatilitas pelarut memiliki peranan penting dalam pembentukan serat nano, dimana penggunaan pelarut polimer yang memiliki volatilitas tinggi dapat menghasilkan serat nano dengan morfologi yang lebih baik. 3.4. Analisa Larutan Pintal dan Struktur Mikro Membran Salah satu parameter yang paling banyak dipelajari dalam proses pembuatan serat nano melalui electrospinning adalah tegangan listrik. Tegangan listrik berpengaruh terhadap morfologi serat nano yang dihasilkan. Tegangan listrik yang semakin tinggi akan menyebabkan laju proses spining berlangsung lebih cepat dikarenakan laju massa polimer yang keluar dari ujung spineret meningkat dan diameter serat yang terbentuk akan semakin kecil, namun demikian kondisi tersebut pun dapat menyebabkan pembentukan beads pada nanofiber semakin banyak. Adapun kapasitas tegangan listrik pada alat yang tersedia maksimal adalah 22 KVA, sehingga perlu dilakukan beberapa penyesuaian, antara lain dengan memvariasikan komposisi larutan pintal, pelarut, jarak antara ujung spineret dan kolektor, serta laju alir larutan polimer. Dari penelitian terdahulu diketahui beberapa parameter yang berpengaruh terhadap pembentukan serat mikro hingga nano [16], sehingga pada penelitian ini dilakukan pula serangkaian percobaan awal agar diperoleh kondisi proses yang optimal. Selanjutnya untuk mendapatkan membran (Gambar 5) yang terdiri dari serat berskala mikro hingga nano, maka percobaan dilanjutkan dengan menggunakan variasi komposisi polimer yang digunakan, seperti tercantum pada Tabel 3. Viskositas larutan, daya hantar listrik dan kestabilan larutan tersebut diuji dan disajikan pada Gambar 6 dan 7. Adapun hasil analisa struktur mikro membran dari beberapa hasil percobaan dengan menggunakan alat SEM disajikan pada Gambar 8. Tabel 3. Komposisi Larutan Pintal (Spining) Kode larutan pintal 1 2 3 4 5
Membran Collector
Komposisi larutan pintal Gelatin 30% PVA 10% 80 60 50 40 20
20 40 50 60 80
Gambar 5 Membran Hasil Proses (aluminium voil) Electrospinning
40
Daya hantar Listrik (mS)
viskositas (cps)
500 450 400
350 300 1
2
3
Kode larutan spining
4
5
35 30 25 20 15
1
2 3 4 Kode larutan spining
5
a.Viskositas b. Daya hantar Listrik Gambar 6 Viskositas dan Daya Hantar Listrik Gelatin/PVA Pada Berbagai Komposisi 202
Gambar 7 Kestabilan Larutan Pintal
a. Gelatin/PVA 80/20 b. Gelatin/PVA 40/60 Gambar 8 Struktur Mikro Membran Gelatin /PVA (SEM, 4.000 x) Dari Gambar 6 diketahui bahwa semakin besar kandungan gelatin dalam larutan pintal, maka viskositasnya semakin rendah, namun daya hantar listriknya semakin tinggi. Atau dengan perkataan lain penambahan PVA akan meningkatkan viskositas larutan, namun menurunkan daya hantar listriknya. Dari Gambar 7 terlihat bahwa larutan pintal tersebut di atas relatif cukup stabil setelah disimpan selama satu hari dan dapat disimpan sampai sekitar lima hari, sehingga larutan induk tersebut dapat diproses maksimal selama lima hari. Dari hasil analisa struktur mikro dengan menggunakan alat SEM, terlihat bahwa konsentrasi gelatin yang terlalu tinggi menyebabkan terbentuknya banyak beads (Gambar 8a). Beads tersebut merupakan larutan pintal yang tidak berhasil ditarik oleh medan listrik. Hal tersebut mungkin disebabkan karena kurang seimbangnya antara laju alir larutan polimer dengan tegangan listrik yang digunakan [11,15,16] atau mungkin pula karena tegangan listrik yang digunakan kurang optimal. Larutan pintal gelatin/PVA dengan komposisi 50/50 sampai 20/80 dapat diproses dan hasilnya cenderung membaik dengan menaikknya konsentrasi PVA. Menurunnya konsentrasi gelatin atau menaiknya konsentrasi PVA selanjutnya akan menghasilkan membran yang didominasi oleh serat mikro hingga nano. Akan tetapi dalam upaya memaksimalkan penggunaan sumber daya alam, maka larutan gelatin/PVA dengan komposisi 40/60 (gambar 8b) dianggap cukup memadai, sehingga untuk pelaksanaan uji selanjutnya, yaitu uji pre klinis, maka dilakukan percobaan lanjutan pada kondisi tersebut, sehingga dihasilkan membran yang memiliki ketebalan sekitar 0,4 mm. Nano webs untuk pembalut luka pada umumnya memiliki ukuran pori antara 500 nm s/d 1 m, cukup kecil untuk melindungi luka dari penetrasi bakteri dan juga memiliki luas 203
permukaan tinggi pada kisaran 5 - 100 m2/g yang sangat efisien untuk penyerapan cairan [1,11]. Adapun proses electrospinning dengan larutan gelatin/PVA 40/60 tersebut akan menghasilkan webs yang didominasi oleh serat berukuran 100 nm - < 300 nm, sehingga produk akhirnya dapat dimanfaatkan sebagai pembalut luka dengan kualitas nano. 3.5. Analisa Gugus Fungsi Untuk untuk mengetahui gugus fungsi yang terdapat dalam webs yang berasal dari larutan polimer gelatin/PVA hasil percobaan dengan alat electrospinning, maka dilakukan analisa dengan alat FTIR dan hasilnya disajikan pada Gambar 9. 0.660 0.65 0.64 3442.02 0.63 0.62 0.61 0.60 0.59 0.58 A0.57 0.56 0.55 0.54 0.533833.33 3731.88 0.52 2927.53 0.51 0.50 0.49 2297.10 0.480 4000.0 3000 2000
1635.08 1056.99 1533.91 1403.84 1241.25 cm-1
1500
100 0
471.67 450.0
Gambar 9 Spektra FTIR Membran (Webs) Gelatin/PVA Dari gambar tersebut terlihat adanya puncak serapan pada beberapa panjang gelombang, yaitu : antara 3600 - 3200 cm-1 dan 1420 - 1330 cm-1 yang menunjukkan adanya gugus OH”’streching” dan O-H ”bending” antara 3100-3000 cm-1 yang menunjukkan adanya pita uluran C – H aromatik antara 1400 – 1600 cm-1 dan 1000 - 1100 cm-1 yang menunjukkan adanya gugus aromatik antara 1466 - 1605 cm-1 yang menunjukkan adanya gugus C = O antara 2900 - 3000 cm-1 yang menunjukkan adanya gugus C-H ”stretching” antara 1260 – 1000 cm-1 yang menunjukkan adanya gugus C-O sekitar 1400 cm-1 yang menunjukkan adanya gugus aromatik (R - O- R) Dengan membandingkan hasil analisa FTIR terhadap gelatin dan PVA, maka terlihat bahwa spektra membran tersebut merupakan gabungan antara spektra dari gelatin dan PVA. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa produk akhirnya memiliki kandungan senyawa organik yang sama pula dan menunjuk kepada struktur kimia gelatin dan PVA.
204
3.6. Uji PraKlinis Uji praklinis dilakukan terhadap membran gelatin/PVA 40/60 (yang telah disterilkan dengan alat Ionizer), melalui uji iritasi yang dilakukan terhadap 3 ekor kelinci albino jantan untuk mengetahui keamanan topikal, yaitu apakah membran tersebut dapat mengiritasi kulit atau tidak, melalui evaluasi terhadap adanya eritema dan edema dengan menggunakan Tabel 2. Melalui uji tersebut dapat diketahui pula kemampuan produk tersebut untuk berfungsi sebagai pembalut luka. Adapun hasilnya disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Pengamatan Iritasi Kulit Kelinci Kelinci No :
Pengamatan
Pembentukan eritema dan Eschar 1 Pembentukan edema Pembentukan eritema dan Eschar 2 Pembentukan edema Pembentukan eritema dan Eschar 3 Pembentukan edema Keterangan : n = 3 ekor kelinci dan nilai kontrol =
Waktu Pengamatan (jam) 1
24
48
72
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0 0
0
0
0
Dari hasil uji diketahui bahwa punggung ketiga kelinci pada bagian uji tidak memperlihatkan terbentuknya eritema maupun edema dan sebanding dengan kontrol (dilukai tetapi tidak ditempeli membran), bahkan pada bagian yang ditempeli dengan membran, setelah 1 jam menunjukkan perbaikan pada bekas goresan, jaringan lebih menutup yang menunjukkan adanya efek membran terhadap penyembuhan luka. Kondisi tersebut akan semakin membaik pada pengamatan ke-24, 48 dan 72 jam setelah perlakuan, bahkan setelah 72 jam (3 hari) diketahui luka terlihat sembuh secara sempurna. Oleh karena itu berdasarkan percobaan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa produk tersebut tidak menyebabkan iritasi kulit, bahkan mampu mempercepat penyembuhan luka dibandingkan dengan kontrol. Selain itu apabila dibandingkan dengan penelitian terdahulu dengan menggunakan membran alginat/PVA hasil electrospinning [16], ternyata mempunyai kecepatan penyembuhan yang relatif sama. Dari uraian di atas diketahui bahwa dengan metoda electrospinning, larutan polimer gelatin/PVA dapat menghasilkan membran yang terdiri dari serat berukuran mikro hingga nano yang tidak menyebabkan iritasi kulit, bahkan mampu mempercepat penyembuhan luka, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pembalut luka primer. Diharapkan, dimasa yang akan datang membran tersebut selain dapat dimanfaatkan sebagai pembalut luka primer, dapat digunakan pula untuk keperluan medis lainnya, antara lain sebagai media penyampaian obat topikal, guide bone regeneration, dan scafold pada rekayasa jaringan, karena juga bersifat non-toksik, non-karsinogenik, biocompatible dan biodegradable (1,2,4,5). 4. KESIMPULAN Dari hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa proses electrospinning menggunakan larutan gelatin/PVA berkomposisi 40/60, pada tegangan 22 KVA akan menghasilkan webs yang mayoritas terdiri dari serat berukuran 100 nm - 300 nm, sehingga dapat digolongkan sebagai produk pembalut luka berkualitas mikro hingga nano. Produk tersebut lolos uji pre klinis, karena tidak menyebabkan iritasi serta dapat berfungsi sebagai pembalut luka dengan kualitas yang sama dengan pembalut luka alginat/PVA hasil proses electrospinning terdahulu, yaitu dapat mempercepat penyembuhan luka dan efek penyembuhan terlihat pada pengamatan setelah 1 jam. 205
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada Ibu Rifaida Eriningsih dari Balai Besar Tekstil yang telah memberikan kritik dan saran untuk memperbaiki makalah ini. PUSTAKA Edward, J.V., 2006, “et.al., “The Future of Modified Fibers”, Southern Regional Research Center, New Orleans. Yanga, C. et.al., 2010. “A Green Fabrication Approach of Gelatin/CM-Chitosan Hybrid Hydrogel for Wound Healing”, Journal of Carbohydrate Polymer, Vol. 82, 1297 -1305 Elvin, C.M., et. Al., 2010, “A Highly Elastic Tissue Sealant Based on Photo Polymerized Gelatin”, Journal of Biomaterial, Vol. 31, p. 8323 – 8331. Xin Yan, et.al., 2010, “Acceleration of Diabetic Wound Healing by Collagen-Binding Vascular Endhothelial Growth Factor in Diabetic Rat Model”, Journal of Diabetes Research and Clinical Practice, Vol. 90., p. 66 – 72. R. Judith, et al., 2010, ”Application of PDGF-Containing Novel Gel for Coetaneous Wound Healing, Journal of Life Sciences, Vol 87, p.1 – 8. Junianto, dkk., 2006, “Produksi Gelatin Dari Tulang Ikan dan Pemanfaatannya Sebagai Bahan Dasar Pembuatan Cangkang Kapsul”, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran, Oktober. Grobben, A.H, et.al., 2004.,‘‘Inactivation of The Bovine-Spongiform -Encephapopathy (BSE) Agent by The Acid and Alkali Processes Used the Manufacture of Bone Gelatin’’, Biotech. and Applied Biochemistry, 39, 329-338. (Republika on line, Jumat, 15 Mei 2009, 02:54 WIB) Gessner, G.H., 1981, “The Condensed Chemical Dictionary”, Tenth ed., Van Nostrand Reinhold Co., N.Y. Brown, P. J., et.al., 2007, “Nanofibers and Nanotechnology in Textiles’, The Textile Institute, Woodhead Pub. Ltd., Cambridge, Peter P. Tsai, et. all., 2004, Investigation of Fiber, Bulk and Surface Properties of Meltblown and Electrospun Polymeric fabrics, Textile and nonwoven Development Center, INJ Fall. Panboon, M.S.S, 2005 , “Electro- spinning of PVA/chitosan Fibers for Wound Dressing Application”, King Mongkut’s Institute of Technology North Bangkong. Seungsin Lee, et al., 2007, “Use Electrospun Nanofiber Web for Protective Textile Material As Barriers to Liquid Penetration”, Textile Research Journal, Vol. 77, No. 9. Sun Ing Jeong, 2010 “ Electrospun Alginate Nanofibers with Controlled Cell Adhesion for Tissue Engineering”, J. of Macromolecular Bioscience, 10, p.934-943 Nuanchan, C., et .al., 2007,,”Electrospun Gelatin Fibers: Effect of Solvent System on Morphology and Fibers Diameters”, Polymer J., Vol. 39., No. 6., p. 622-631. Theresia Mutia, dkk., 2012, “Penggunaan Webs Serat Alginat/PVA Hasil Proses Electrospinning Untuk Pembalut Luka Primer”, Jurnal Riset Industri. Panida S., et.al., 2008, ”Extraction and Electrospinning of Gelatin from Fish Skin”, International Journal of Biological Macromolecules, Vol. 42, P.247-255. Silverstein, R.M., et. al., 1975, “Spectrometric Identification of Organic Compound”, Third Edition, John Willey & Sons, New York, Anonymous, 2002, “OECD Guidelines for the Testing of Chemiscals, 404 :Acute Skin Irritation/ Corrosion”, April. Hayes, A.W., 1989, “Principles and Methods of Toxicology”, Second Ed., Raven Press Ltd., New York.
206
REHABILITASI SUARA PENDERITA TUNA LARING MENGGUNAKAN ELECTROLARYNX BERBASIS MICROCONTROLLER 1
1,2
2
3
Alan Novi Tompunu , Irma Salamah , Tri Arief Sardjono Jurusan Teknik Komputer, Politeknik Negeri Sriwijaya Palembang Jl. Srijaya Negara Bukit Besar, Palembang 30139 1 2 E-mail:
[email protected],
[email protected] 3 Jurusan Teknik Elektro, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111 3 E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Sampai saat ini kanker laring merupakan salah satu penyakit yang ditakuti. Salah satu langkah untuk menghindari penyebaran kanker laring ke seluruh bagian tubuh adalah dengan operasi pengangkatan laring. Operasi ini akan memisahkan rongga pernafasan (trakea) dengan rongga makanan (esofagus). Hal ini akan mengakibatkan pasien pasca operasi pengangkatan laring tidak mampu berkomunikasi kembali. Permasalahan ini mengakibatkan beban psikis yang sangat berat bagi pasien pasca operasi. Ada tiga usaha yang dilakukan untuk rehabilitasi suara tersebut yaitu dengan Esophageal Speech, Tracheoesophageal dan Eletrolarynx. Pembangkitan suara dengan electrolarynx paling sering diadopsi untuk phonation. Penggunaan electrolarynx lebih mudah menghasilkan kalimat panjang tanpa perawatan khusus, dan lebih efektif untuk komunikasi dalam berbagai situasi. Namun, alat tersebut sangat mahal sehingga tidak terjangkau oleh pasien tuna laring, selain itu permasalahan ketersediaan alat masih sangat jarang di Indonesia. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan perancangan alat berupa electrolarynx, yang dapat membantu membangkitkan suara bagi penderita tuna laring dengan biaya yang terjangkau. Sistem ini terdiri dari beberapa bagian, yaitu: generator spektrum frekuensi suara, mikrokontroler, solenoid dan membran vibrasi. Generator spektrum suara yang dibangkitkan oleh mikrokontroler digunakan untuk menghasilkan getaran pada membran. Hasil yang telah dicapai berupa prototipe electrolarynx yang bekerja pada frekuensi 72 Hz hingga 250 Hz. Kata Kunci : Penderita tuna laring, Electrolarynx, Microcontroller
1. PENDAHULUAN Laryngitis adalah peradangan yang terjadi pada pita suara anda (larynx) karena terlalu banyak digunakan, karena iritasi atau karena adanya infeksi. Bagian utama yang menghasilkan suara manusia adalah pita suara, tulang rawan, serta otot dan membran mukosa yang membungkus otot dan tulang rawan. Pita suara adalah 2 buah pita otot elastis yang terletak di dalam laring, tepat diatas trakea (saluran udara). Pita suara menghasilkan suara jika udara yang tertahan di paru-paru dilepaskan dan melewati pita suara yang menutup sehingga pita suara bergetar. Jika kita tidak sedang berbicara, pita suara terpisah satu sama lain sehingga kita bisa bernafas. Kanker laring adalah penyakit kanker pada pita suara, laring atau daerah lainnya di tenggorokan. Kanker laring lebih banyak ditemukan pada pria yang berhubungan dengan rokok serta pemakaian alkohol walaupun juga ditemukan pada beberapa wanita tanpa sebab yang dapat dijelaskan secara spesifik. Di Indonesia kasus kanker laring tiap tahun meningkat sekitar 30%, meskipun paling banyak terjadi para pria, namun kanker pita suara ini juga bisa menyerang kaum wanita. Menurut data Poli Audiologi THT-KL RSU dr Soetomo, dari 2001 hingga 2011 tercatat 150 pasien penderita kanker laring yang telah menjalani operasi pengangkatan pita suara. Dari data departemen rehabilitasi medik RS. Cipto Mangunkusumo Jakarta rata-rata 25 orang pertahun kehilangan pita suara diakibatkan virus pada laring, 90% di antaranya ditenggarai berhubungan dengan rokok dan alkohol. Namun, bagi penderita kanker laring yang harus mengalami pengangkatan laring total, operasi pengangkatan laring akan meliputi sistem penghasil suara termasuk pita suara dan kartilogo tiroid. Dampak pengangkatan laring tersebut mengakibatkan orang tersebut tidak dapat melakukan pernafasan melalui mulut maupun hidung. Pernafasan dilakukan melalui lubang yang disebut tracheostoma yaitu lubang pada batang 207
tenggorokan. Untuk membangkitkan suara penderita pasca operasi, perlu dilakukan rehabilitasi medik. Saat ini, telah dikenal tiga macam cara rehabilitasi medik, antara lain: 1. Tracheoesophageal (TE), yaitu alat bantu yang di tanam (shunt), 2. Esophageal Speech (SE), yaitu wicara esophagus (suara perut), dan 3. Electrolaryngeal (EL), Electrolarynx Speech. Dalam rehabilitasi medik ini, penderita yang sudah tidak mempunyai laring atau disebut dengan tuna laring diberikan motivasi dan latihan bicara melalui pernafasan abdominal. Proses ini membutuhkan waktu yang lama dan ketekunan berlatih. Suara yang dihasilkan cenderung tidak jelas sehingga kadang-kadang menyulitkan lawan bicara untuk memahami maksud yang disampaikan. Pembangkitan suara dengan elektrolarynx paling sering diadopsi untuk phonation. Elektrolarynx mampu mengasilkan suara, hanya dengan menempelkan alat tersebut pada pada bagian leher yang dekat dengan kerongkongan lalu menggerakkan otototot tersebut sesuai dengan apa yang akan kita ucapkan, maka gerakan otot-otot tersebut akan menggetarkan komponen getar pada elektrolarynx sehingga dapat menghasilkan suara, walaupun suara yang dihasilkan elektrolarynx mirip suara robot. Penggunaan elektrolarynx lebih mudah, menghasilkan kalimat tanpa perawatan khusus, dan lebih efektif untuk komunikasi dalam banyak situasi. Alat tersebut memang sangat praktis tanpa melalui rehab medik, tapi harganya sangat mahal, itupun harus indent terlebih dahulu karena di Indonesia tidak ada di pasaran. Untuk itu diperlukan suatu sistem yang mampu menghasilkan spektrum frekuensi yang dibangkitkan secara eksternal oleh elektrolarynx yang dirancang. 2. TEORI PENUNJANG 2.1. Proses Pembentukan Suara Proses pembentukan suara terjadi ketika mengeluarkan nafas, udara kembali ke atas melalui tenggorokan atau trakea saat diafragma naik, maka terjadi tekanan yang akan menggetarkan pita suara. Getaran pita suara selanjutnya diartikulasikan dengan komponenkomponen pendukung seperti bibir, lidah dan gigi untuk mengeluarkan suara tertentu misalnya vokal dan konsonan. Gambar 1 menunjukkan sistem yang terkait dengan pernafasan dan pembentukan suara manusia. Secara normal orang melakukan pernafasan mulai dari menghirup udara yang bisa dilakukan melalui mulut maupun melalui hidung selanjutnya masuk ke dalam paru-paru.
Gambar 1. Sistem yang Terkait dengan Pernafasan dan Pembentukan Suara 2.2. Laring Laring dibentuk oleh sebuah tulang di bagian atas dan beberapa tulang rawan yang saling berhubungan satu sama lain dan diikat oleh otot intrinsik dan ekstrinsik serta dilapisi oleh mukosa. Laring mengandung pita suara (vocal cord) dan berada pada daerah di mana rongga atas terpisah menjadi trakea dan esofagus. Struktur laring umumnya terdiri dari tulang rawan yang diikat oleh ligamen dan otot. H
H
H
208
Gambar 2. Anatomi Laring 2.3. Pita Suara Pita suara atau yang dalam bahasa inggrisnya disebut vocal cord adalah dua buah pita otot elastis yang terletak di dalam larynx (kotak suara), tepat diatas trachea (saluran udara). Pita suara menghasilkan suara jika udara yang tertahan di paru-paru dilepaskan dan melewati pita suara yang menutup sehingga pita suara bergetar. Untuk menghasilkan suara, pita suara harus bergetar ratusan bahkan ribuan kali per detiknya, tergantung nada atau frekuensi yang kita ucapkan. Jika kita tidak sedang berbicara, pita suara terpisah satu sama lain sehingga kita bisa bernafas.
Gambar 3. Anatomi Pita Suara 2.4. Wicara Pasca Laringektomi Pada penderita pasca laringektomi total, pasien tidak mampu lagi berkomunikasi seperti sedia kala, namun melalui rehabilitasi medis pasien pasca laringektomi dapat berbicara kembali walaupun tanpa pita suara. Secara umum wicara pasca laringektomi total ada 3 macam, yaitu: Voice prosthesis (TracheEsophageal puncture - TEP), Esophageal speech dan dengan elektrolaring.
209
Gambar 4. Wicara Pasca Laringektomi 2.5. Solenoid Solenoid merupakan kumparan yang mengelilingi inti besi yang dapat menghasilkan medan magnet ketika kumparan tersebut dilewati arus listrik. Dalam dunia teknik, solenoid terdapat dalam berbagai macam transducer yang dapat mengkonversi energi. Penggunaan solenoid umumnya pada solenoid valve, yang berupa divais terintegrasi antara solenoid elektro mekanik dengan valve pneumatic atau hidrolik.
Gambar 5. Solenoid
2.6. Penguat Transistor Secara umum penguat (amplifier) dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu penguat tegangan, penguat arus dan penguat transresistansi. Pada dasarnya kerja sebuah penguat adalah mengambil masukan (input), mengolahnya dan menghasilkan keluaran (output) yang besarnya sebanding dengan masukan. 2.7. Mikrokontroller AVR AVR adalah kependekan dari Alv and Vegard Risc processor. Merupakan penemu penemu teknologi RISC pada mikrokontroler buatan ATMEL. Atmel yang berarsitekturkan RISC (reduced instruction set computer) memiliki kebutuhan daya yang rendah. Mikrokontroler ini merupakan teknologi terbaru dari Atmel. Karena sebelumnya Atmel memproduksi mikrokontroler 8 bit berarsitektur CISC (complex instruction set computer) seperti AT89S52. Untuk pemrograman mikrokontroler ATmega 8L digunakan bahasa C dengan compiler Code Vision. Komponen ini dikemas dalam bentuk TQFP (Thin Quad Flat Pack) 32 pin. Spesifikasi teknik dari mikrokontroler ATmega 8L adalah sebagai berikut: o 8-bit Central Processing Unit, o 32 x 8 General Purpose Working Register, o 16 MIPS (million instruction per second) per 16 MHz, untuk satu instruksi memerlukan satu clock, o 8KBytes of In-system reprogammable flash program memory yang dapat diisi hingga 1000kali, o 512 bytes EEPROM yang dapat diisi hingga 100.000 kali, o 1 KBytes internal SRAM, 210
o 23 jalur masukan dan data keluaran yang bersifat dua arah. o Clock operasi hingga 8MHz, o Full duplex serial port, o 2 buah pewaktu 8-bit, o 1 buah pewaktu 16-bit, o Real Time Counter dengan osilator yang terpisah, o 8 kanal 10-bit ADC, o Master/slave antar muka SPI serial, o Analog comparator, o Membutuhkan tegangan suplai sebesar 2.7 – 5.5 V Pada Gambar 2.7 diperlihatkan konfigurasi pin-pin dari mikrokontroler ATmega 8L dari Atmel ini:
Gambar 6. Konfigurasi Pin ATmega 8L 3. PERANCANGAN ALAT 3.1. Perancangan Hardware Bagian elektrik terdiri dari pembangkit frekuensi dengan memanfaatkan timer 2 pada mikrokontroler, setvalue yang diinginkan disimpan pada EEPROM guna membangkitkan frekuensi yang telah di disetting sebelumnya. Gambar 7 merupakan blok diagram elektronik dari elektrolarynx.
Increment Button
INT 0
Decrement Button
INT 1
Eeprom
Start Button
I/O 1
TIMER 2
I/O 2
Transistor
Gambar 7. Blok Diagram Elektrolaring
211
Gambar 8. Hardware Tampak dari Atas
Gambar 9. Hardware Tampak dari Bawah Pada perancangan hardware menggunakan komponen SMT (Surface Mount Technology), penggunaan SMT ini bertujuan untuk mendapatkan dimensi yang sesuai pada prototipe. Minimum sistem terdapat sebuah mikrokontroler dengan tipe AT Mega8L. AT Mega8L berfungsi sebagai pembangkit frekuensi dalam range 72 Hz hingga 250 Hz. Frekuensi yang dibangkitkan memanfaatkan timer yang terdapat pada mikrokontroler. 3.2. Perancangan Mekanik Pada perancangan mekanik dibagi dalam beberapa bagian, antara lain: membran top head, stand solenoid, stand hardware,dan stand baterai. Rancangan mekanik ditunjukkan pada Gambar 10. Stand baterai
Stand hardware
Membran top head
Stand solenoid
Gambar 10. Rancangan mekanik 3.3. Perancangan Software Perancangan software dilakukan secara bertahap, dengan melakukan berbagai pengujian setiap blok hardware setelah hardware siap dijalankan. Langkah-langkah dalam perancangan software adalah sebagai berikut: 1. uji mikrokontroler dengan menggunakan internal RC oscilator pada 1MHz, 2MHz, 4Mhz dan 8Mhz. 2. uji dan kalibrasi pembangkit frekuensi dengan menggunakan timer 3. uji rangkaian driver solenoid. 4. pembuatan persamaan pembangkit frekuensi 100Hz hingga 300 Hz. Dalam merancang software digunakan compiler Code Vision AVR yang digunakan untuk meng-compile dan meng-generate code hexa yang akan didownload ke mikrokontroler. Bahasa pemrograman yang digunakan oleh CodeVision AVR adalah bahasa pemrograman C.
212
4. PENGUJIAN ALAT DAN PENGAMBILAN DATA 4.1. Pengujian Generator Frekuensi Pengujian yang pertama kali adalah dengan melakukan uji frekuensi yang dibangkitkan oleh mikrokontroler. Hal ini sangat diperlukan karena keakuratan frekuensi yang dibangkitkan akan mempengaruhi frekuensi fundamental yang akan dihasilkan oleh pasien tuna laring. Dalam pengujian ini mikrokontroler akan menghasilkan frekuensi 72 Hz hingga 100 Hz dengan memnfaatkan interupsi timer 2. Kemudian hasilnya akan dibandingkan dengan pembacaan frekuensi pada osciloscope. 1
Gambar 11. Pengujian Generator Frekuensi
(a) (b) Gambar 12. Perbandingan Frekuensi pada Mikrokontroler(a) dan Pada Solenoid(b) Dari pengujian tersebut didapat data pembacaan ADC sebagai berikut: Tabel 1. Hasil Pengujian Generator Frekuensi f_set f_out f_out (Hz) (Hz) f_set 72 72.68 0.68 73 73.53 0.53 74 74.85 0.85 75 75.53 0.53 76 76.56 0.56 77 77.52 0.52 78 78.12 0.12 79 79.49 0.49 80 80.26 0.26 81 80.91 -0.09 82 82.37 0.37 83 83.06 0.06 84 84.46 0.46 85 85.15 0.15 86 86.06 0.06 87 87.57 0.57 88 88.18 0.18 89 89.77 0.77 90 90.58 0.58
Error (%) 0.94% 0.73% 1.15% 0.71% 0.74% 0.68% 0.15% 0.62% 0.33% -0.11% 0.45% 0.07% 0.55% 0.18% 0.07% 0.66% 0.20% 0.87% 0.64% 213
f_set (Hz) 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100
f_out (Hz) 91.24 92.25 92.94 93.81 95.6 96.35 97.09 98.04 99.6 100.4
f_out f_set 0.24 0.25 -0.06 -0.19 0.6 0.35 0.09 0.04 0.6 0.4
Error (%) 0.26% 0.27% -0.06% -0.20% 0.63% 0.36% 0.09% 0.04% 0.61% 0.40%
Sumber: Hasil pengujian (2012)
Gambar 13. Grafik Error Generator Frekuensi 4.2. Pengujian Electrolarynx dengan Servox Pengujian yang selanjutnya adalah pengujian hasil keluaran dari electrolarynx yang telah dirancang dibandingkan dengan servox. Pada pengujian ini menggunakan 2 frekuensi yang dibangkitkan, yaitu 72 Hz dan 90 Hz. Sinyal pengujian direkam dengan menggunakan sound recorder kemudian disimpan dalam format *.wav, kemudian diplot ulang melalui ProgramDelphi.
Sumber: Hasil pengujian (2012)
Gambar 14. Sinyal Dasar yang Dihasilkan Prototipe pada Frekuensi 72Hz
Sumber: Hasil pengujian (2012)
Gambar 15. Frekuensi Hasil FFT pada Sinyal Dasar yang Dihasilkan Prototype 214
Sumber: Hasil pengujian (2012)
Gambar 16. Sinyal Dasar yang Dihasilkan Servox pada Frekuensi 72Hz
Sumber: Hasil pengujian (2012)
Gambar 17. Frekuensi Hasil FFT pada Sinyal Dasar yang Dihasilkan Servox Gambar 14 menunjukkan sinyal dasar yang dibangkitkan oleh prototipe pada frekuensi 72 Hz dan Gambar 15 menunjukkan spektrum frekuensi hasil FFT sebesar 138 Hz. Sedangkan Gambar 16 menunjukkan sinyal dasar yang dibangkitkan oleh servox dan Gambar 16 menunjukkan spektrum frekuensi servox hasil FFT sebesar 136 Hz. Pada pengujian didapatkan spektrum frekuensi sinyal dasar prototipe tidak terlalu berbeda dengan spektrum frekuensi dari servox.
Sumber: Hasil pengujian (2012)
Gambar 18. Sinyal Pengucapan Vokal ‘A’ yang Dihasilkan Prototipe pada Frekuensi 72Hz
Sumber: Hasil pengujian (2012)
Gambar 19. Frekuensi Hasil FFT pada Sinyal Pengucapan Vokal ‘A’ yang Dihasilkan Prototipe
215
Sumber: Hasil pengujian (2012)
Gambar 20. Sinyal Pengucapan Vokal ‘A’ yang Dihasilkan Servox pada Frekuensi 72Hz
Sumber: Hasil pengujian (2012)
Gambar 21. Frekuensi Hasil FFT pada Sinyal Pengucapan Vokal ‘A’ yang Dihasilkan Servox Pada pengujian pengucapan vokal ‘A’ terdapat perbedaan spektrum frekuensi hasil FFT antara yang dihasilkan prototipe sebesar 100 Hz sesuai Gambar 19, sedangkan yang dihasilkan servox sebesar 93 Hz sesuai Gambar 21. 4.3. Pengujian Low Cost Electrolarynx di RSUD dr. Soetomo dan RS Cipto Mangunkusumo) Pengujian selanjutnya dilakukan secara langsung pada pasien pasca laryngectomy atau pasien tuna laring. Pengujian low cost electrolarynx pertama kali dilakukan kepada pasien tuna laring di Poli Audiologi RSUD dr.Soetomo. Sedangkan pengujian yang kedua dilakukan di departemen rehabilitasi medis RSCM. Pengujian ini bertujuan untuk mendapatkan data implementasi prototipe pada pasien secara langsung. 1
Sumber: Dokumentasi pribadi (2012)
Gambar 21. Pengujian Low Cost Electrolarynx pada Pasien Tuna Laring di Poli Audiologi RSUD dr.Soetomo dan di Departemen Rehabilitasi Medis RSCM
216
5. PENUTUP 5.1. Kesimpulan Sampai dengan saat ini, kesimpulan yang dapat disampaikan terkait dengan low cost electrolarynx yang dihasilkan bagi pasien tuna laring adalah: 1. Frekuensi vibrasi yang dibangkitkan oleh prototipe electrolarynx serta frekuensi suara yang dihasilkan oleh penderita tuna laring dengan bantuan prototipe ini menyerupai suara yang dihasilkan dengan bantuan electrolarynx servox. 2. Prototipe low cost electrolarynx ini dapat digunakan sebagai salah satu metode berkomunikasi kembali pada pasien pasca laryngectomy atau pasien tuna laring. 3. Hasil pengujian frekuensi yang dibangkitkan didapatkan rata-rata error frekuensi sebesar 0,34Hz atau sebesar 0,41%. 4. Pada hasil pengujian secara klinis didapatkan beberapa perbedaan spektrum frekuensi hasil FFT. Hal ini dipengaruhi oleh usia pasien serta adanya interferensi suara esophagus yang dihasilkan oleh pasien tersebut. 5.2 Saran Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik pada penelitian selanjutnya, maka saran-saran yang dapat disampaikan adalah: 1. Pengambilan sampel suara dapat melibatkan lebih banyak pasien tuna laring sehingga dapat melakukan analisa yang lebih akurat terhadap variasi yang terjadi antara pasien tuna laring yang satu dengan lainnya. 2. Ditentukan sampel suara yang lebih banyak untuk melihat apakah ada perbedaan karakteristik yang signifikan antara bunyi yang satu dengan lainnya. 3. Pengambilan sampel suara hendaknya juga melibatkan sampel suara normal, bukan hanya dari pasien tuna laring. UCAPAN TERIMA KASIH Alhamdulillah berkat bantuan dari berbagai pihak, kami dapat menyelesaikan laporan penelitian ini telah selesai seluruhnya. Izinkan kami mengucapkan terimakasih sebesarbesarnya kepada: 1. Bapak Wahyu Setyo Pambudi, S.T, M.T dari Universitas Internasional Batam atas koreksi serta perbaikan pada laporan penelitian ini. 2. Para panelis dan/atau moderator atas kritik, saran serta masukan yang membangun untuk perbaikan laporan penelitian kami kini dan yang akan datang. 3. Dr.dr. Nyilo Purnami., SP. THT-KL (RSUD dr. Sutomo Surabaya), Dr. dr Nury Nusdwinuringtyas., Sp.KFR (K), M. Epid (RSCM Jakarta), Bpk. Joko Waluyo, selaku ketua Perhimpunan Wicara Esophagus (PWE) cabang Surabaya, terima kasih atas kesempatan yang diberikan untuk menguji sistem pada para penderita tuna laring.
PUSTAKA Herliyanto,T., Rancang Bangun Low Cost Electro Larynx Berbasis AVR ATMega 8 Untuk Pasien Tuna Laring. Tugas Akhir. ITS Surabaya (belum diterbitkan). Hirokazu, S dan Takahashi, H., 2008. Voice generation system using an intra mouth vibrator for the laryngectome. MS Thesis, The University of Tokyo. Japan. Liu, H dan L. N Manwa, 2007. Electrolarynx in voice rehabilitation. Elsevier vol. 34 pp. 327332. Nusdwinuringtyas, N., 2007. Panduan Latihan Wicara Esofagus. Departemen Rehabilitasi Medik RS.Cipto M. Jakarta. Tompunu, A.N., 2012. Real Time Adaptive Filter Untuk Peningkatan Kualitas Suara Penderita Tuna Laring Menggunakan Electrolarynx Berbasis Processor TMS320C6713. Tesis MS. ITS Surabaya. 217
Tompunu, A.N., Kusumanto, RD, Sardjono, TA., 2012. Implementasi Algoritma Least Mean Square Untuk Peningkatan Kualitas Suara Penderita Tuna Laring Berbasis Processor TMS320C6713. Proc. SEMANTIK. Semarang. Indonesia Sardjono, TA, Hidayati, R., Purnami, N., Noortjahja, A. GJ Verkerke, Purnomo, MH., 2010. A Preliminary Result of Voice Spectrum Analysis from laryngectomised patients with and without Electro Larynx: A Case Study in Indonesian Laryngectomised Patients. IEEE, hal.1-5.
218
LITBANG DAN INOVASI
219
SENJANG ADOPSI TEKNOLOGI PADA PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU PADI ORGANIK DAN PANDAN WANGI DI KABUPATEN TASIKMALAYA DAN CIANJUR 1
1,23
2
3
Wasito , Siti Sehat Tan , Kasdi Subagyono Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BBP2TP) Jl. Tentara Pelajar no. 10 Bogor 1 E-mail :
[email protected]
ABSTRAK Introduksi teknologi pada Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi, salah satu terobosan Badan Litbang Pertanian, mampu meningkatkan hasil padi dan pendapatan.Paket atau komponen teknologi pada PTT padi sebagai inovasi frugal, merupakan inovasi yang hemat dan ramah lingkungan. Untuk mengetahui senjang adopsi teknologi PTT padi pada usahatani padi organik dan pandan wangi telah dilakukan pengkajian secara crossectional di wilayah pengembanganya, yaitu Kabupaten Tasikmalaya dan Cianjur (purposive) pada September 2011. Kajian data primer melalui pengamatan lapang, diskusi kelompok terfokus, dan wawancara mendalam, dengan pengurus kelompok tani, Gapoktan, petani perintis dan adopter, serta instansi terkait. Analisis Cohran, uji kategori, dan himpunan digunakan untuk mengukur senjang adopsi teknologi PTT. Hasil kajian, terjadi kesenjangan sangat nyata adopsi teknologi PTT padi pada usahatani padi organik dibandingkan padi pandan wangi, namun kurang nyata pada usahatani padi organik. Teknologi non PTT padi nyata diadopsi pada usahatani padi pandan wangi. Inovasi PTT yang frugal merupakan inovasi proses yang mampu memberikan solusi masalah dengan harga terjangkau di tengah keterbatasan sumberdaya, dan akses terhadap institusional. Faktor biofisik, cekaman abiotik, iklim, penghambat adopsi teknologi pada PTT padi. Namun inovasi pada PTT padi yang frugal memberikan dampak menguntungkan bagi lingkungan secara langsung (jangka pendek), tidak langsung (jangka menengah, panjang). Inovasi PTT padi yang frugal ini terkait dengan inovasi yang mengarah pada tiga dimensi pembangunan berkelanjutan, mengedepankan dimensi perlindungan lingkungan. Kata kunci : adopsi PTT padi, padi organik, padi pandan wangi.
1. PENDAHULUAN Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) adalah salah satu inovasi Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian yang telah menjadi andalan untuk peningkatan produksi komoditas tanaman pangan utama di Kementerian Pertanian (Las et al., 2003). Sejak tahun 2007 pada Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN), PTT padi telah diadopsi oleh Ditjentan (Ditjentan, 2007). PTT merupakan pendekatan untuk intergrasi pengelolaan lahan, air, tanaman, OPT, dan iklim secara terpadu dan berkelanjutan dalam upaya peningkatan produktivitas, efisiensi, dan kelestarian lingkungan, selaras dengan inovasi frugal. PTT menekankan 4 (empat) prinsip yang saling memengaruhi, yaitu prinsip terintegrasi, sinergis, dinamis, dan partisipatif (Las et al., 2003; Badan Litbangtan, 2010). Komponen teknologi dasar yang diterapkan dalam PTT (Zaini, et.al., 2009), yaitu VUB, benih bermutu/berlabel, bahan organik, populasi tanaman optimum, pemupukan berimbang, dan PHT, sedangkan komponen teknologi pilihan, meliputi pengolahan tanah, bibit muda (< 21 hari), tanam bibit 1—3 batang, pengairan intermiten, penyiangan, panen tepat waktu, dan gabah segera dirontok. Adopsi teknologi PTT yang frugal disesuaikan dengan kondisi sumberdaya lahan, kemauan, kemampuan, sikap, dan tindakan petani. Kajian adopsi teknologi PTT dikaitkan dengan sikap dan tindakan petani belum dilakukan. Pendekatan PTT mengalami perkembangan yang sangat dinamis sejak dari fase awal dikembangkan pada kebun-percobaan, kemudian dilanjutkan dengan replikasi PTT oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) pada lahan petani melalui jaringan penelitian dan pengkajian (Litkaji). Kemudian dilanjutkan pada Program Peningkatan Produksi Padi Terpadu (P3T) di 30 lokasi pada musim tanam 2002-2003 (Las et al., 2003), dikembangkan pada lahan dua juta ha tahun 2007. Kemudian, PTT diimplementasikan seiring dengan 220
dicanangkannya Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) pada musim tanam sejak 2007 (Ditjentan, 2007). Upaya mempercepat adopsi ivovasi PTT diselenggarakan Sekolah Lapang PTT (SLPTT) sejak tahun 2008 (Ditjentan, 2012). Dalam pola SL-PTT, lahan petani yang digunakan untuk PTT disebut areal SL-PTT. Satu unit areal SL-PTT terdiri atas 24 ha dan 1 ha dalam bentuk laboratorium lapang (LL). Petani menerapkan teknologi PTT dengan melihat contoh langsung pada LL yang dibimbing oleh pemandu. Program ini diperlukan untuk memperkecil perbedaan nyata antara produktivitas padi di tingkat petani dengan potensi yang ada. Komponen teknologi utama yang diintroduksikan dalam kegiatan SL-PTT padi adalah penggunaan benih bersertifikat, penggunaan pupuk sesuai dengan rekomendasi, pengendalian hama terpadu, dan lain-lain sesuai dengan kondisi wilayahnya. SL-PTT. Hal ini diharapkan mampu meningkatkan produktivitas dan produksi padi dalam mempercepat pencapaian swasembada beras berkelanjutan, meningkatkan pendapatan petani, dan kesejahteraan petani Hasil implementasi PTT sebelumnya dalam kerangka SL-PTT masih belum sesuai dengan harapan Panduan Pelaksanaan SL-PTT (Ditjentan, 2008). Maka perlu evaluasi adopsi PTT melalui SL-PTT dalam kaitannya dengan P2BN. Senjang adopsi teknologi PTT padi organik dan pandan wangi artikel ini, merupakan hasil pengkajian secara crossectional di wilayah pengembanganya di Kab. Tasikmalaya dan Cianjur dilakukan pada September 2011. 2. METODOLOGI 2.1. Metode pengkajian Format pengkajian bersifat cross-sectional dengan metode survei lapangan. Kajian dilakukan di wilayah pengembangan usahatani padi organik dan padi pandan wangi, yaitu Kabupaten Tasikmalaya dan Cianjur (purposive) pada bulan September 2011. Kajian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer diawali dengan mengamati dan melibatkan diri pada komunitas masyarakat petani secara alami (natural setting) (Denzin dan Lincoln, 1994). Tahap selanjutnya menentukan sampel responden secara sengaja (purposive), yaitu pada 20 petani perintis, atau pelopor (innovator or early adopter) dan pengurus kelompok tani, gabungan kelompok tani (Gapoktan) di setiap wilayah (Tasikmalaya, Cinajur). Pengumpulan data melalui diskusi kelompok terfokus (focus group discussion, FGD), dan wawancara mendalam (indepth interview). Data sekunder dari Gapoktan, penyuluh pertanian lapangan (PPL), instansi terkait, hasil dan laporan penelitian sistem usahatani padi organik (Kab. Tasikmalaya) dan padi pandan wangi (Kab. Cianjur). 2.2. Karakteristik Responden Karakteristik petani yang dianggap penting, meliputi status usaha, status kepemilikan lahan, tingkat pendidikan, usia, pengalaman usahatani padi, dan sumber modal. Umumnya bertani sebagai mata pencaharian utama, sedangkan sampingannya berdagang, beternak, dan kuli bangunan. Secara total usahatani padi organik dan pandan wangi sebagai mata pencaharian utama. Rata-rata status kepemilikan lahan sebagian penggarap dan sebagian pemilik. Luas lahan kepemilikan mayoritas (60 persen) yang digarap petani ± 0,21 – 0,40 hektar, ± 0,41 – 0,60 hektar (30 persen), ± di bawah 0,20 hektar (5 persen), dan ± di atas 0,61 hektar (5 persen). Jumlah petani yang menyelesaikan pendidikan setingkat SD ± 80 persen, sisanya pendidikan SLTP (20 persen). Profesi sebagai petani, merupakan usaha turun-temurun. Rata-rata berprofesi sebagai petani ± 22—32 tahun, lebih paham terhadap usahatani padi. Pemahaman petani semakin bertambah karena dibantu petugas PPL melalui demplot. Petani yang memiliki pengalaman lebih 30 tahun (35,30 persen), ± 25—30 tahun (29,42 persen), sisanya 22—25 tahun. Umumnya, para petani berusia 27—50 tahun, banyak generasi muda yang tidak ingin terjun pertanian, karena lebih tertarik menjadi tukang ojek, sopir angkot, atau bekerja di kota. Sebagian besar sumber modal usahatani padi (input produksi – tenaga kerja) dari modal pribadi. Selain itu, modal awal dari pemilik dan dibayarkan dengan cara bagi hasil dari total produksi, 50 persen untuk petani penggarap : 50 persen untuk pemilik modal awal. 221
2.3. Pengukuran Senjang Adopsi Teknologi pada PTT Padi Senjang adopsi teknologi pada PTT padi merupakan perbedaan antara proses penentuan dan penerapan (adopsi) teknologi oleh petani dibandingkan dengan proses penentuan dan penerapan teknologi yang ditawarkan PTT. Komponen teknologi dasar pada PTT padi meliputi: (a) varietas unggul baru (VUB); (b) benih bermutu dan berlabel; (c) pemberian bahan organik (rekomendasi); (d) populasi tanaman optimum; (e) pemupukan sesuai kebutuhan dan status hara tanah (rekomendasi); (f) pengendalian hama terpadu (PHT). Komponen teknologi pilihan, meliputi (a) pengolahan tanah sesuai musim tanam dan pola tanam; (b) penggunaan bibit muda (< 21 hari); (c) tanam bibit 1—3 batang per rumpun; (d) pengairan secara efektif dan efisien (intermitten); (e) penyiangan dengan landak, gasrok; (f) panen tepat waktu, dan gabah segera dirontok. 2.4. Analisis Data Analisis deskriptif untuk menganalisis metode pendekatan secara kualitatif, untuk menemukan makna yang melandasi kajian (Bungin 2003). Adopsi teknologi : analisis Cochran dengan pilihan ”ya” : 1 = adopsi, dan ”tidak” : 0 = non adopsi. Jika nilai Q hitung (Cochran-test) < X² (chi-square) tabel, maka item-item yang telah diuji dapat diterima. Nilai Q dapat dihitung dengan rumus:
Senjang adopsi teknologi dengan teori himpunan dan kategori. Teori probabilitas (Hasan, 2003) mengadaptasi teori himpunan dimana operasi irisan (interseksi) dari himpunan A (adopsi paket teknologi rekomendasi pada PTT) dan himpunan B (adopsi komponen teknologi pada PTT) = A п B = (X : x є A dan x є B), A dan B tidak saling lepas, peristiwa bersamaan (Gambar 1).
A
B
Irisan/Interseksi Gambar 1. Operasi Irisan Himpunan A dan B 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Adopsi Teknologi pada PTT padi Hasil analisis Cochran terhadap item-item adopsi komponen teknologi PTT padi pada usahatani padi organik di Kabupaten Tasikmalaya, di mana H0: semua item yang diuji memiliki proporsi jawaban ya yang sama (adopsi kolektif ~ asosiasi). Sedangkan H1: proporsi jawaban ya yang berbeda (non adopsi kolektif ~ non asosiasi) (Tabel 1). Pada tabel 1, pada pengujian tahap ke-3 diperoleh hasil Q tabel 16,92 dan Q hitung 10,28, keputusan adalah terima Ho, karena Q tabel lebih besar dari Q hitung.
222
Tabel 1. Adopsi Kolektif Teknologi Usahatani Padi Organik atau Padi Pandan Wangi T– uji 1 2 3
Teknologi usahatani padi organik**) 2 Adopsi kolektif ~ asosiasi Qhit X (α,db) Semua asosiasi (SA) 71,92 21,03 SA, 3 dikeluarkan 44,91 19,68 SA, 4,5 dikeluarkan 10,28 16,92
Teknologi usahatani padi pandan wangi*) 2 Adopsi kolektif ~ asosiasi Qhit X (α,db) Semua asosiasi (SA) 106,86 22,36 SA, 2.3 dikeluarkan 37,97 21,03 SA, 2.4; 2.5 dikeluarkan 0,34 18,31
Ket : **) Adopsi kolektif teknologi usahatani padi organik : 1,2,6,7,8,9,10,11,12,13 PTT padi : 1. Olah tanah optimal, 2. VUB label, 7. Bibit < 10 hr, 8. Bibit 1-2 btg, 9. Pestisida Org. 12. Rumput >4 x, 13. Panen tepat waktu. Non PTT padi : 6. Tapin, 10. Non PHT, 11. Non Intermitten, Non adopsi kolektif : 3. VUB petani/jabal, 4. Pupuk Org. rek. 5. Pupuk Org Non Rek, *) Adopsi kolektif teknologi usahatani padi pandan wangi : 2.1;2.2;2.6;2.7;2.8;2.9;2.10;2.11;2.12;2.13;2.14 PTT padi : 2.1. Olah tanah optimal, 2.2. VUB penangkar, 2.11. Intermitten, 2.12. Rumput > 2 x Non PTT padi : 2.6. Pupuk Anorg. Non spe. 2.7. Tapin, 2.8. Bibit > 21 hr, 2.9. Bibit > 3 btg, 2.10. Non PHT, 2.13. Panen tepat waktu -, 2.14. Panen: Ani2 Non adopsi kolektif : 2.3. VUB petani/jabal, 2.4. Pupuk Org. rek.; 2.5. Pupuk Org Non rek,
Adopsi kolektif (asosiasi) komponen teknologi pada PTT padi, meliputi : (1) pengolahan tanah sesuai musim tanam, (2) VUB berlabel, (7) tanam bibit umur < 10 hari, (8) tanam bibit 1- 2 batang per lubang, (9) penggunaan pestisida organik, (12) merumput dengan menggunakan landak > 4 kali per musim tanam, dan (13) panen tepat waktu dan gabah segera dirontok. Sedangkan adopsi kolektif non PTT, meliputi : (6) tanam pindah (tapin) beraturan, (10) PHT non rekomendasi, (11) sistem pengairan non intermitten. Hasil analisis Cochran terhadap item-item adopsi komponen teknologi non PTT padi pada usahatani padi pandan wangi di Kabupaten Cianjur. Pada pengujian tahap ke-3 diperoleh hasil Q tabel 18,31 dan Q hitung 0,34, keputusan adalah terima Ho (Q tabel > Q hitung). Adopsi kolektif (asosiasi) komponen teknologi non PTT padi, meliputi : (2.5) penggunaan pupuk organik non rekomendasi, (2.6) penggunaan pupuk anorganik non rekomendasi, (2.7) tanam pindah (tapin) beraturan, (2.8) tanam bibit umur > 21 hari, (2.9) tanam bibit > 3 batang per lubang, (2.10) PHT non rekomendasi, dan (2.13) panen tepat waktu tetapi gabah tidak segera dirontok, (2.14) pemanenan dengan ani-ani. Sedangkan adopsi kolektif komponen teknologi PTT padi, meliputi : (2.1) pengolahan tanah sempurna, (2.11) sistem pengairan intermitten, (2.12) merumput dengan menggunakan landak > 2 kali per musim tanam. Tabel 2. Adopsi Kolektif Teknologi Usahatani Padi Organik atau Padi Pandan Wangi Berdasarkan Kepemilikan Sertifikasi Tuji 1 2
Teknologi usahatani padi organik**) 2 Adopsi kolektif ~ asosiasi Qhit X (α,db) Semua asosiasi (SA) 83,66 20,03 SA, 3,5 dikeluarkan 0,0 18,31
Pandan wangi (Teknologi non PTT)*) 2 Adopsi kolektif Qhit X (α,db) Semua asosiasi (SA) 72,73 22,36 SA, 2.3 dikeluarkan 31,34 21,03 SA, 2.4 dikeluarkan 0,68 19,67
Ket : **) Adopsi kolektif teknologi usahatani padi organik : 1,2,4,6,7,8,9,10,11,12,13 PTT padi : 1. Olah tanah optimal, 2. VUB label, 4. Pupuk Org. rek. 7. Bibit < 10 hr, 8. Bibit 1-2 btg, 9. Pestisida Org. 12. Rumput >4 x, 13. Panen tepat waktu. Non PTT padi : 6. Tapin, 10. Non PHT, 11. Non Intermitten, Non adopsi kolektif : 3. VUB petani/jabal, 5. Pupuk Org Non Rek, *) Adopsi kolektif teknologi usahatani padi pandan wangi : 2.1;2.2;2.5;2.6;2.7;2.8;2.9;2.10;2.11;2.12;2.13;2.14 PTT padi : 2.1. Olah tanah optimal, 2.2. VUB penangkar, 2.11. Intermitten, 2.12. Rumput > 2 x Non PTT padi : 2.5. Pupuk Org Non rek, 2.6. Pupuk Anorg. Non spe. 2.7. Tapin, 2.8. Bibit > 21 hr, 2.9. Bibit > 3 btg, 2.10. Non PHT, 2.13. Panen tepat waktu -, 2.14. Panen: Ani2, Non adopsi kolektif : 2.3. VUB petani/jabal, 2.4. Pupuk Org. rek.;
Hasil analisis Cochran berdasarkan kepemilikan sertifikasi, adopsi kolektif komponen teknologi PTT padi pada usahatani padi organik tertera pada Tabel 2 di atas. Pada pengujian tahap ke-2 diperoleh hasil Q tabel 18,31 dan Q hitung 0, keputusan terima Ho. Adopsi kolektif komponen teknologi PTT padi, meliputi : 1, 2, 4, 7, 8, 9, 12, dan 13, sedangkan non PTT padi, yaitu 6, 10, dan 11. Hal yang sama pada usahatani padi pandan wangi, keputusan terima Ho pada pengujian tahap ke-3 diperoleh hasil Q tabel 19,68 dan Q hitung 0,68. Adopsi kolektif komponen teknologi non PTT padi, meliputi : 2.5, 2.6, 2.7, 2.8, 2.9, 2.10, 2.13, dan 2.14, sedangkan adopsi kolektif PTT padi, yaitu 2.1, 2.2, 2.11, dan 2.12. Hasil analisis Cochran berdasarkan kepemilikan non sertifikasi, adopsi kolektif komponen teknologi PTT padi pada usahatani padi organik tertera pada Tabel 3. Pada pengujian tahap 223
ke-3 diperoleh hasil Q tabel 18,31 dan Q hitung 2,73, keputusan terima Ho. Adopsi kolektif komponen teknologi PTT padi, meliputi : 1, 6, 7, 8, 9, 12, dan 13; sedangkan adopsi non PTT padi yaitu 3, 5, 10, 11. Hal yang sama pada usahatani padi pandan wangi, keputusan terima Ho pada pengujian tahap ke-3 diperoleh hasil Q tabel 19,68 dan Q hitung 0,68. Adopsi kolektif komponen teknologi non PTT padi, meliputi 2.3, 2.5, 2.6, 2.7, 2.8, 2.9, 2.10, 2.13, dan 2.14, sedangkan adopsi kolektif PTT padi, yaitu 2.1, 2.11, dan 2.12. Petani padi organik di Kabupaten Tasikmalaya dominan (rataan: 66,67 persen) mengadopsi komponen teknologi dasar, atau pilihan PTT padi. Petani padi pandan wangi di Kabupaten Cianjur secara dominan (rataan: 66,67 persen) belum mengadopsi komponen teknologi tersebut pada saat pengkajian. Hal ini bukan berarti seluruh petani dari masyarakat memiliki tingkat adopsi yang konsisten, dan tidak menjadi pilihan mengadopsi pada periode waktu mendatang karena kajian ini bersifat cross-sectional. Tindakan adopsi mereka memiliki peluang akan beradaptasi terhadap perilaku dan budaya yang berlaku pada waktu atau periode mendatang, namun perlu kajian bersifat longitudinal. Penerapan komponen teknologi pada PTT padi sawah ini menurut Fishbein dan Ajzen (1976), hubungan antara pengetahuan, sikap, dan perilaku dalam suatu kegiatan tidak dapat dipisahkan. Perubahan sikap tergantung dari kebutuhan, dan menurut teori fungsional Kazt (1960), Smith, Buner, dan White (1954) dalam Gunawardani (2002), sikap memiliki suatu fungsi untuk menghadapi dunia luar, agar individu senantiasa menyesuaikan dengan lingkungan, dan menurut kebutuhan, sehingga perubahan sikap dan perilaku akan terjadi terus-menerus. Tabel 3. Adopsi Kolektif Teknologi Usahatani Padi Organik atau Padi Pandan Wangi Berdasarkan Kepemilikan Non Sertifikasi T-uji 1 2 3
Teknologi usahatani padi organik**) 2 Adopsi kolektif ~ asosiasi Qhit X (α,db) Semua asosiasi (SA) 64,31 21,03 SA, 4 dikeluarkan 23,82 19,68 SA, 2 dikeluarkan 2,73 18,31
Teknologi usahatani padi pandan wangi*) 2 Adopsi kolektif ~ asosiasi Qhit X (α,db) Semua asosiasi (SA) 72,73 22,36 SA, 2.3 dikeluarkan 31,34 21,03 SA, 2.4; 2.5 dikeluarkan 0,68 19,68
Ket : **) Adopsi kolektif teknologi usahatani padi organik : 1,3,5,6,7,8,9,10,11,12,13 PTT padi : 1. Olah tanah optimal, 7. Bibit < 10 hr, 8. Bibit 1-2 btg, 9. Pestisida Org. 12. Rumput >4 x, 13. Panen tepat waktu. Non PTT padi : 3. VUB petani/jabal, 5. Pupuk Org Non Rek, 6. Tapin, 10. Non PHT, 11. Non Intermitten, Non adopsi kolektif : 2. VUB label, 4. Pupuk Org. rek. , *) Adopsi kolektif teknologi usahatani padi pandan wangi : 2.1;2.2;2.6;2.7;2.8;2.9;2.10;2.11;2.12;2.13;2.14 PTT padi : 2.1. Olah tanah optimal, 2.2. VUB penangkar, 2.11. Intermitten, 2.12. Rumput > 2 x Non PTT padi : 2.6. Pupuk Anorg. Non spe. 2.7. Tapin, 2.8. Bibit > 21 hr, 2.9. Bibit > 3 btg, 2.10. Non PHT, 2.13. Panen tepat waktu -, 2.14. Panen: Ani2 Non adopsi kolektif : 2.3. VUB petani/jabal, 2.4. Pupuk Org. rek.; 2.5. Pupuk Org Non rek,
Agar sikap dan tindakan konsisten, terdapat satu faktor psikologis lain yang harus ada, yaitu niat, dan menurut teori Fishbein dan Azjen (1975), tanpa ada niat suatu perbuatan tidak akan muncul, meskipun sikapnya sangat kuat. Dapat diprediksikan akan terjadi konsistensi antara sikap dengan perbuatan petani dalam mengadopsi komponen teknologi PTT, apabila antara sikap dengan niat, dan antara niat dengan perbuatan tidak terjadi hambatan. Sikap dan perilaku akan konsisten apabila ada kondisi: (a) spesifikasi sikap dan perilaku, (b) relevansi sikap terhadap perilaku, (c) tekanan normatif, dan (d) pengalaman, perlu pengkajian lebih lanjut. Pengetahuan sebagai domain yang sangat penting untuk tindakan seseorang, dan perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada yang tidak didasari pengetahuan, senada Notoatmodjo (2003). Pada kajian ini kami tidak mengukur pembentukan sikap dan tindakan yang dipengaruhi faktor sosial, akses terhadap informasi dan pengetahuan, sehingga sikap itu sendiri secara langsung mempengaruhi tindakan, perlu kajian lanjutan. 3.2. Senjang Adopsi Teknologi pada PTT padi Hasil analisis Cohran dan kategori (Gambar 2), terjadi kesenjangan sangat nyata (p < 0,01) adopsi teknologi PTT padi pada usahatani padi organik dibandingkan padi pandan wangi.
224
PTT
%
non PTT
70 60 50 40 30 20 10 0
Wilayah Tasikmalaya
Cianjur
Gambar 2. Adopsi teknologi pada PTT padi
Gambar 2. Adopsi Teknologi Pada PTT Padi
Namun kurang nyata terjadi kesenjangan adopsi teknologi PTT padi pada usahatani padi organik. Komponen teknologi dasar dan pilihan PTT padi dominan (rataan : 66,67 persen) diadopsi pada usahatani padi organik. Sedangkan teknologi non PTT padi dominan (rataan : 66,67 persen) diadopsi pada usahatani padi pandan wangi. Adopsi varietas padi mempengaruhi adopsi teknologi PTT. Komponen teknologi PTT padi (olah tanah, intermiten, gastrok) di wilayah Cianjur masuk ke dalam himpunan besar paket teknologi PTT padi, peristiwanya tidak saling “lepas (nonexclusive) dan bebas (dependen)” (Gambar 3). Sedangkan VUB berlabel atau penangkar masih terjadi irisan, pergiliran varietas, benih berlabel, pengendalian OPT dengan PHT, dan legowo 2 : 1, 4 : 1 dan lainnya tidak terjadi irisan dari himpunan paket teknologi (dasar dan pilihan) PTT padi berdasarkan teori himpunan. Artinya tingkat adopsi kolektif sangat dominan hanya pada pengolahan tanah sesuai musim tanam, pengairan intermiten, merumput pakai gastrok, dan lainnya kurang dominan, bahkan tidak diadopsi. Sebaliknya teknologi penggunaan benih muda (< 15 hari); tanam bibit 1 – 3 batang per rumpun; pestisida organik; yang merupakan teknologi baru menjadi keunggulan untuk diterapkan pada usahatani padi organik di wilayah Tasikmalaya (Gambar 4). Pergiliran varietas
Benih
Olah tanah MT
Non PHT
labelIntermi
ten
Merumput Gastrok
Bahan organik, pupuk berimbang (rekomendasi),benih muda; bibit 1 – 3 batang;
Paket Teknologi Gambar 3. Operasi PTT Padi Irisan Adopsi Teknologi PTT Padi di Cianjur Inovasi pada PTT sebagai inovasi frugal memberikan dampak menguntungkan bagi lingkungan terlepas dari dampak yang dapat ditunjukkan secara langsung (dampak jangka pendek), atau tidak langsung (dampak jangka menengah atau panjang). Inovasi pada PTT yang frugal ini terkait dengan inovasi yang mengarah pada tiga dimensi pembangunan yang berkelanjutan, dimana inovasi mengedepankan dimensi perlindungan lingkungan.
225
Olah tanah MT, Panen tepat waktu
VUB berlabe l
Pupuk organik
Merumput Gastrok
Pengairan intermitten, pupuk rekomendasi
Benih muda, 1-3 btg/rum pun, pestisida organik
Paket Teknologi Gambar 4. Operasi Irisan Adopsi Teknologi PTT Padi di Tasikmalaya PTT Padi 3.2.1. VUB dan Benih Pemilihan VUB yang tahan hama penyakit endemik belum menjadi pilihan dan kebiasaan bertindak. Pilihan utama VUB adalah produktivitas tinggi, memenuhi permintaan pasar, harga mahal, umur panen pendek, bentuk gabah dan rendeman, kebeningan beras, rasa nasi pulen dan enak, selaras Zaini et.al. (2009). Adopsi varietas berlabel dominan di wilayah Cianjur, berkat program benih pemerintah melalui Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN), dan Sekolah Lapang (SL) - PTT. Andaikata petani membeli benih berlabel dari kios, pada musim tanam kedua dan ketiga masih menggunakan benih petani sendiri. Benih berlabel hanya digunakan petani sekali untuk 3 musim tanam, selaras Zaini et al. (2009). Pengujian mutu benih padi dengan teknik pengapungan, menggunakan larutan garam 2–3%, atau pupuk ZA 20–30 gram/liter. Benih yang tenggelam dipakai, yang terapung dibuang (Zaini et.al, 2009), belum menjadi kebiasaan bertindak masyarakat petani. Pergiliran VUB dalam setahun hanya sebagian (± 20%) diterapkan, belum menjadi pilihan tindakan. Penggunaan sumber benih dari petani, atau petani sekitarnya tidak berpengaruh terhadap produktivitas padi. Petani belum punya pilihan varietas yang sesuai untuk pertanaman MK, atau MH. Penanaman varietas yang sama secara terus menerus pada jangka waktu panjang pada satu wilayah, menyebabkan serangan hama dan penyakit (Wasito, et.al. 2006), dan belum menjadi pilihan tindakan. 3.2.2. Tanam bibit Tanam pindah dengan teknis lebih baik, legowo 6 : 1 atau botis telah menjadi kebiasaan bertindak petani di Cianjur dan Tasikmalaya. Legowo 2 : 1 dan 4 : 1 menurut Zaini et.al, (2009) berpeluang menaikan produksi, salah satu cara untuk mengurangi serangan hama tikus dan keong emas, belum menjadi pilihan bertindak. Tanam bibit umur muda (< 15 hari), 1–3 batang/rumpun diadopsi di Tasikmalaya, tidak di Cianjur. Kondisi agroekosistem, faktor sulitnya mengontrol air saat kemarau tiba (minim), pada musim hujan air berlebihan, sehingga mempersulit tujuan bertindak. Pengetahuan : (a) tanaman tidak stres akibat pencabutan bibit di persemaian sampai penanaman di sawah, tanam bibit muda lebih untung, (b) gunakan bibit berumur lebih tua pada daerah endemis keong emas, (c) tanam bibit 1–3 batang/rumpun, jika lebih akan meningkatkan persaingan antar bibit dalam rumpun yang sama (Zaini et.al, 2009), bukan menjadi pilihan bertindak. Pemahaman yang keliru, jika tanam bibit 4–7 batang umur > 21 hari dimakan keong emas akan ada sisa, lalu beranak. 3.2.3. Pemupukan dan Pengendalian OPT Penggunaan pupuk urea secara teknis tidak berpedoman alat bagan warna daun (BWD) (sesuai rekomendasi IRRI, setiap 7 hari sekali) tidak diadopsi. Karena ketersediaan alat BWD, sulit mendapatkan. Penguasaan secara non teknis, melihat warna kehijauan daun padi tanpa alat BWD. Pemupukan P dan K berdasar analisa tanah, analisis tanah ke laboratorium belum dilakukan di Cianjur. Pemupukan N, P, dan K belum sesuai rekomendasi PerMentan nomor 40/2007. Penggunaan pupuk anorganik tidak berimbang pada usahatani padi (dosis N berlebihan) dapat menimbulkan kahat unsur S, atau Zn, tanaman padi peka terhadap HPT, mudah rebah (Arsana, 2006), meningkatkan kerusakan, dan memperpanjang umur tanaman (Stevens et.al, 1999 dalam Wahid, 2003). Menurut Zaini et.al. (2009), waktu 226
pemberian pupuk lebih ditentukan oleh ketersediaan uang tunai yang ada pada petani, lebih mempertimbangkan jumlah pupuk yang diberikan dibandingkan kadar hara dalam pupuk. Pengembalian jerami ke lahan sawah sebagai sumber bahan organik belum dilakukan petani. Menurut mereka pengembalian jerami tanpa dekomposer mengganggu tanaman, atau aktivitas petani dalam berusahatani. Faktor sulitnya mencari dekomposer, harga kurang terjangkau, serta tekad dan keyakinan petani yang belum konsisten sebagai penyebab belum menjadi kebiasaan bertindak. Pemberian kompos jerami padi (KJP) dapat meningkatkan produksi padi dan efisiensi pupuk. Pemberian KJP 2 ton/ha meningkatkan produksi padi 765 kg/ha, KPJ 2 – 3 ton akan produksi padi naik 1 – 1,5 ton/ha; 3 ton KJP – produksi padi naik 2 kali lipat) (Mala 1998). Penggunaan bahan organik sesuai anjuran, belum dilaksanakan petani. Menurut Thamrin (2000), pemberian bahan organik mampu meningkatkan hasil gabah padi kering panen secara nyata. Teknis PHT yang benar, yaitu melakukan pengamatan lapangan secara rutin setiap 2–3 hari sekali, menjadi kebiasaan bertindak petani perintis dan pelopor. Sebagian besar penerapan tergantung waktu luang, karena petani mencari usaha sambilan. Selain itu, pembagian kerja anggota kelompok, dinamika kelompok yang kolektif belum ada. Umumnya petani tidak melakukan monitoring tingkat serangan hama dan infeksi penyakit. Teknis pengendalian dengan ambang ekonomi, atau ambang tindakan (Zaini et.al, 2009) belum menjadi kebiasaan bertindak. 3.2.4. Olah Tanah dan Pengairan Penerapan pengolahan tanah sesuai MT/maksimal, dengan traktor, ternak + bajak singkal dengan kedalaman > 20 cm, agar mampu meningkatkan produksi padi, telah menjadi kebiasaan tindakan. Hal ini untuk menyediakan media pertumbuhan yang baik dan seragam bagi tanaman padi, serta mengendalikan gulma, selaras Zaini et.al. (2009). Sumberdaya air, infrastruktur pengairan, dan sistem ekologi yang kurang baik mengakibatkan teknis pengairan yang efektif dan efisien, atau intermitten sulit diterapkan di Tasikmalaya. Selaras dengan Zaini et.al. (2009a), karena tidak adanya jaminan air irigasi, petani di Kabupaten Serang, Pandeglang, dan Lebak (Propinsi Banten) tidak menerapkan metode pengairan irigasi berselang. Air sebagai dominan faktor pada usahatani padi, teknis pengairan secara efektif dan efisien, seperti teknik berselang, gilir giring, gilir glontor, dan basah – kering, dapat menghemat pemakaian air « 30% (Zaini et.al, 2009a). Analisis berpikir sistem (system thinking) digunakan untuk menjelaskan kompleksitas inovasi PTT yang merupakan paket teknologi sistem usahatani padi terpadu. Model konsepsi, adopsi, dan difusi inovasi PTT menjadi struktur utama dalam sistem inovasi frugal guna menghasilkan produktivitas dan produk padi, beras yang kompetitif dan berkualitas guna mendukung program peningkatan produksi beras nasional (P2BN). Pada tataran praktis, pengembangan inovasi PTT yang frugal masih diperlukan untuk penyelesaian berbagai kendala biofisik dan kendala lainnya. Karena inovasi pada PTT meliputi 12 – 14 komponen teknologi usahatani padi, yang dalam penerapannya harus memperhatikan sumberdaya alam (sawah irigasi teknis, irigasi semi teknis, sawah tadah hujan, lahan kering) dan sumberdaya manusia (strata sosial ekonomi petani kelas atas, menengah, bawah). Artinya konsep inovasi PTT yang frugal akan merespon terhadap keterbatasan sumberdaya (alam, manusia), baik keuangan, material maupun institusional, dan menggunakan berbagai metode yang merubah hambatan menjadi keuntungan. Inovasi PTT yang frugal meminimalkan penggunaan sumber daya dalam pengembangan dan produktivitas, dengan memanfaatkan cara-cara baru sehingga dapat menghasilkan produk yang lebih murah. 3.3. Fenomena Adopsi Kolektif Teknologi pada PTT Padi Hasil diskusi, adopsi kolektif teknologi PTT padi, sebagian selaras dengan hasil kajian Kushartanti (2002) yang mengkaji tingkat adopsi teknologi jagung Bisma (TJB). Motivasi petani, ketersediaan modal, dan ketersediaan input produksi sebagai faktor sangat berpengaruh. Perbedaan kajian ini dengan kajian Kushartanti (2002), sikap petani pada kajian ini cenderung sangat berperanan, yang berbeda juga intensitas 227
pertemuan/penyuluhan dan pengalaman berusahatani tidak berpengaruh. Semakin meningkat motivasi petani, pengalaman berusahatani, intensitas ikut pertemuan, ketersediaan modal, dukungan kondisi agroekosistem, ketersediaan input produksi, serta sikap dan tindakan petani yang konsisten, akan semakin meningkatkan tingkat penerapan inovasi usahatani padi. Faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi teknologi oleh petani dari yang tertinggi ke terendah berturut-turut (1) daya dukung agroekosistem, (2) ketersediaan modal, (3) motivasi, sikap, tindakan konsisten, dan pengalaman berusahatani, (4) ketersediaan input produksi, dan (5) intensitas ikut pertemuan dan peran ketua kelompok tani. Faktor (1) secara tidak langsung menjadi titik tolak berperannya faktor (2, 3, 4, 5). Faktor (3) yang dapat digunakan untuk mengembang-kan faktor (1) adalah faktor (2, 4, 5). Kajian lebih lanjut terhadap sistem perembesan (difusi) teknologi perlu dilakukan dengan menggunakan analisis regresi berganda atau analisis jalur; serta hubungan jumlah komponen teknologi yang diterapkan dengan produktivitas. Hasil diskusi, bahwa introduksi komponen teknologi unggul, atau beberapa komponen teknologi yang sinergis cenderung lebih disetujui, dilakukan, dan lebih efektif dibandingkan paket teknologi yang kurang sinergis. Hasil pengamatan di lapangan, menunjukan selama ini umumnya petani menerapkan teknologi usahatani padi yang diintroduksikan tidak secara utuh, namun hanya secara parsial, disesuaikan dengan kemampuan modal dan tenaga yang dimilikinya. Kebijakan ketersediaan input produksi, pasar dan harga, merupakan faktor pendukung yang berpengaruh terhadap penerapan teknologi usahatani padi. Input produksi atau sarana produksi yang sesuai dengan keinginan petani yaitu secara teknis efektif, mutunya dapat dipercaya, harga tidak mahal, tersedia saat petani memerlukan, dan dijual dengan ukuran/takaran yang cocok dan akurat. Kajian lebih lanjut, perlu dilakukan untuk mengetahui hubungan peningkatan produksi padi apakah selaras dengan peningkatan pendapatan, atau kesejahteraan petani. Menurut Adnyana et.al. (2004), model PTT relatif memiliki keunggulan teknologi, dilihat dari indikator Marginal Benefit Cost Ratio (MBCR) > 1, artinya setiap Rp.1,- tambahan biaya yang dikeluarkan akibat merubah teknologi eksisting ke teknologi PTT mampu memberikan tambahan manfaat ± 2,1—5,3 rupiah {lebih efisien, karena nilai Benefit Cost Ratio (BCR) lebih besar, sebaliknya nilai Cost Price Ratio (CPR) lebih kecil. Penghematan biaya (cost reduction) adalah sebuah strategi dan langkah baru di masa depan, sehingga apabila strategi dan paket atau komponen teknologi PTT dapat diterapkan secara luas, diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan masyarakat petani, khususnya dalam memenuhi kebutuhan pokok (pangan, sandang, papan) yang menjadi salah satu faktor penting dalam kehidupan. Produk yang dihasilkan inovasi PTT sebagai inovasi frugal memiliki karakteristik antara lain : (1) produk dengan biaya rendah (low cost), (2) tepat guna sebab inovasi berangkat dari permasalahan-permasalahan yang ditemui di masyarakat petani, (3) menggunakan sumberdaya lokal. Pada prinsipnya, inovasi PTT yang frugal memiliki arti tidak hanya biaya yang murah tetapi juga bagaimana suatu inovasi dirancang, diaplikasikan, didistribusikan, dan dipelihara sesuai dengan fungsi yang dibutuhkan oleh petani, dengan memperhatikan batasan sumberdaya (alam dan manusia). Pada petani lapisan bawah sering terganjal oleh faktor biaya produksi usahatani, PTT sebagai inovasi frugal dipandang cocok untuk dikembangkan. Hasil diskusi, selaras penelitian Gunawardani (2002), dimana ada empat kategori utama yang berbeda satu sama lain dalam menilai tindakan sosial masyarakat petani. Sebagian masyarakat menerapkan komponen dasar dan pilihan PTT padi, karena dengan pertimbangan efektif dan efisien. Hal ini memiliki (a) rasionalitas instrumental (tingkat rasionalitas paling tinggi, meliputi pertimbangan dan pilihan yang sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan dan pertimbangan). Selain itu, (b) rasionalitas yang berorientasi nilai (tipe tindakan yang mengutamakan nilai-nilai individu yang bersifat absolut, dan tidak jadi masalah jika ternyata nilai akhir malah tidak rasional). Atau (c) tindakan tradisional (tipe tindakan sosial ini non rasional, tanpa refleksi yang sadar atau perencanaan, bertindak sesuai kebiasaan, atau seperti nenek moyang mereka sebelumnya). Atau dengan pertimbangan (d) tindakan afektif (tipe tindakan sosial didominasi perasaan, emosi tanpa 228
refleksi intelektual, atau perencanaan sadar, tindakan ini benar-benar non rasional, kurang pertimbangan logis, ideologis, dan keriteria rasionalitas lainnya). Keberhasilan inovasi frugal tidak hanya ditentukan oleh biaya yang rendah, tetapi juga memberikan keunggulan alternatif dan dapat dibuat dalam skala kecil, menengah, atau skala besar. Selain itu, walaupun tidak selalu, inovasi frugal secara eksplisit memiliki misi sosial. Namun secara kuantitatif kajian ini belum kami lakukan, sehingga memerlukan pengkajian lebih lanjut. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Komponen teknologi dasar dan pilihan pada PTT padi dominan (± 66,67 persen) selaras penerapan pada usahatani padi organik. Sedangkan teknologi non PTT padi dominan (± 66,67 persen) diadopsi pada usahatani padi pandan wangi. Terjadi kesenjangan sangat nyata adopsi teknologi pada PTT padi pada usahatani padi organik dibandingkan padi pandan wangi, dan tidak terjadi kesenjangan atau selaras penerapan teknologi pada PTT padi pada usahatani padi organik. Penghambat adopsi paket atau komponen teknologi PTT padi antara lain biofisik, cekaman abiotik, iklim. Namun inovasi pada PTT padi yang frugal memberikan dampak menguntungkan bagi lingkungan, mengarah pada tiga dimensi pembangunan berkelanjutan, mengedepankan dimensi perlindungan lingkungan. 5.2. Saran Tindak Lanjut Kajian ini perlu dilanjutkan dengan analisis regresi berganda, atau analisis jalur, agar diketahui faktor-faktor yang nyata berpengaruh. Hubungan adopsi teknologi PTT dengan peningkatan produksi padi, pendapatan, dan kesejahteraan petani. PUSTAKA Arsana, IGK, D., 2006. Pengkajian Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah di Subak Rijase, Tabanan, Bali. Dalam Suprihatno et.al. Inovasi Teknologi Padi Menuju Swasembada Beras Berkelanjutan. Buku 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. p. 489 – 498. Badan Litbangtan, 2010. Pedoman Umum PTT Padi.Kementan-Badan Litbangtan Badan Litbangtan, 2008. Panduan Pelaksanaan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi. Deptan. Bungin, B., 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. PT. Raja Grafindo Persada. Denzin, N. K. dan Y.S. Lincoln., 1994. Introduction, Entering the Field of Qualitative Research dalam Denzin, Norman K. dan Y.S. Lincoln (ed.) 1994. Handbook of Qualitative Research. SAGE Publication. Ditjentan (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan), 2007. Pedoman Gerakan Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN). Ditjentan-Deptan Ditjentan (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan), 2012. Buku kerja Kelembgaan/organisasi Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) menuju surplus beras (SB) 10 juta ton beras. Ditjentan, Kementan. Fishbein, M. dan I. Ajzen., 1975. Belief, Attitude, Intention, and Behaviour : an Introduction to Theory and Research. Massachusetts. Publishing Co. Gunawardhani, Y.S., 2002. Sikap, perilaku, dan 229ocial-faktor 229ocial pemilik hewan rentan Rabies dalam upaya pengendalian Rabies (Suatu studi sosiologis di Jakarta Selatan). Tesis Prog. Studi Sosiologi, Pascasarjana, Univ. Indonesia. Tidak dipublikasi. P. 168. Hasan, M.I., 2003. Pokok-pokok Materi Statistik 2 (Statistik Inferensif). Ed. 2. Bumi Aksara. Jakarta. p. 1 – 35. Sembiring, H. dan S. Abdulrachman, 2008. Potensi Penerapan dan Pengembangan PTT dalam Upaya Peningkatan Produksi Padi. Iptek Tanaman Pangan, Puslitbang Tanaman Pangan, vol. 3 nomor 2 : p 145 - 155. 229
Kushartanti, E., 2002. Analisis Jalur Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Adopsi Teknologi Jagung Bisma (TJB). Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Palawija (Buku 2). Puslitbang Sosek Pertanian, Bogor. Hal. 470 – 479. Las, I., A.K. Makarim, H.M. Toha, A.Gani, H. Pane dan S. Abdulrachman, 2003. Panduan teknis pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu padi sawah irigasi. Departemen Pertanian, Jakarta. Mala, Y., 1998. Peningkatan Produksi Sawah Bukaan Baru Dengan Penggunaan Kompos Jerami Padi. Pros. Seminar Peningkatan Produksi Padi Nasional, B. Lam-pung 9 – 10 Desember 1998. HIGI – PERAGI – Univ. Lampung. Hal. 401 – 405. Notoatmodjo, S., 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. PT. Rineka Cipta. Jakarta. Thamrin. 2000. Perbaikan Beberapa Sifat Fisik dan Typic Kanhapludults dengan Pemberi-an Bahan Organik Pada Tanaman Padi Sawah. Makalah Seminar Skripsi, Faperta Universitas Pajajaran, Bandung. Tidak Publikasi. Wahid, A.S., 2003. Peningkatan Efisiensi Pupuk Nitrogen Pada Padi Sawah Dengan Metode Bagan Warna Daun. Jurnal Litbang Pertanian 22 (4), Pustaka Bogor. P. 156 – 161. Wasito, T. Sembiring, N. Primawati, D. Harahap, Rinaldi, dan H. Sembiring, 2006. Diseminasi dan Adopsi Model Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi di Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Inovasi Teknologi Padi Menuju Swasembada Beras Berkelanjutan, Buku 2. Puslitbangtan, Balitbangtan. Bogor. p. 437 – 447. Zaini, Z., S. Abdurrahman, N. Widiarta, P. Wardana, D. Setyorini, S. Kartaatmadja, dan M. Yamin, 2009. Pedoman Umum PTT Padi Sawah. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta. p. 30. Zaini, Z., U.G. Kartasasmita, dan L. Hakim, 2009a. Senjang Hasil dan Senjang Adopsi Teknologi Padi Sawah. Makalah Seminar Puslitbangtan. Tidak publikasi.
230
OPEN SOURCE SEBAGAI DRIVER INOVASI FRUGAL 1
2
Dini Oktaviyanti , Purnama Alamsyah Pusat Penelitian Perkembangan Iptek - LIPI Jl. Jend. Gatot Subroto No. 10 Jakarta Telp. (021) 5201602, Fax. (021) 5201602 1 2 E-mail:
[email protected];
[email protected] 1,2
ABSTRAK Perkembangan jaman menuntut manusia untuk dapat berpikir kreatif dan inovatif. Manusia dituntut tidak hanya sebagai pengguna barang, namun juga sebagai pencipta barang. Manusia dituntut untuk dapat berpikir kreatif untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat namun tetap pada kaidah efektif dan efisien. Salah satu yang sejalan dengan tuntutan efektif dan efisien tersebut adalah open source. Open source merangsang inovasi dan memastikan bahwa ide-ide dapat menjalar dengan cepat untuk terciptanya suatu produk baru. Open source dapat mendorong inovasi untuk memastikan nilai yang berkelanjutan bagi berbagai perusahaan dengan model bisnis yang berbeda. Open source merupakan salah satu solusi yang paling murah dan paling efektif dalam transfer teknologi dan pengetahuan khususnya untuk negara berkembang. Open source tidak hanya menawarkan alternatif berupa biaya yang rendah untuk mengakuisisi teknologi, tetapi juga jejaring yang berdasarkan pada kerja sama. Karakteristik dari open source tersebut cocok dengan konsep inovasi frugal. Konsep dari inovasi frugal itu sendiri merespon terhadap keterbatasan sumber daya, baik keuangan, material ataupun institusional, dan menggunakan berbagai metode yang mengubah hambatan menjadi keuntungan. Inovasi frugal meminimalkan penggunaan sumber daya dalam pengembangan, produksi dan pengiriman, atau dengan memanfaatkan cara-cara baru sehingga secara dramatis dapat menghasilkan produk dan jasa yang lebih murah. Keberhasilan inovasi frugal tidak hanya ditentukan oleh biaya yang rendah tetapi juga memberikan keunggulan alternatif dan dapat dibuat dalam skala besar. Di samping itu, walaupun tidak selalu, inovasi frugal secara eksplisit memiliki misi sosial. Melalui tulisan ini penulis bertujuan untuk mengeksplorasi open source sebagai driver dari inovasi frugal. Spirit dari open source seiring dengan konsep inovasi frugal. Tulisan ini mencoba mengeksplorasi peranan open source sebagai driver dari inovasi frugal dan untuk menjelaskan bahwa spirit dari open source seiring dengan konsep dari inovasi frugal. Kata Kunci: Open source, inovasi frugal, driver
1. PENDAHULUAN Perkembangan jaman terus menuntut perubahan seiring dengan bergulirnya waktu. Banyak perubahan yang terjadi dalam berbagai bidang tanpa terkecuali. Hal inilah yang menuntut manusia untuk dapat berpikir kreatif dan inovatif. Manusia dituntut tidak hanya sebagai pengguna barang (user) namun juga sebagai pencipta barang. Manusia dituntut untuk dapat berpikir kreatif untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat, namun tetap pada kaidah efektif dan efisien. Perubahan yang terjadi termasuk pada tatanan teknologi beserta elemen-elemen yang terkait di dalamnya. Perubahan yang ada tersebut tetap dituntut agar dapat memenuhi kaidah efektif dan efisien. Salah satu yang sejalan dengan tuntutan efektif dan efisien tersebut adalah open source. Mengapa open source? Sebab definisi dari open source menyatakan bahwa open source dapat berguna untuk merangsang inovasi dan memastikan bahwa setiap ide-ide yang ada dapat menjalar dengan cepat untuk terciptanya suatu produk baru, sehingga dapat dikatakan bahwa open source mendukung terciptanya hal-hal baru ataupun ide-ide baru untuk terus dikembangkan. Tidak hanya itu saja, open source dapat pula mendorong model lisensi ekslusif pada batas tertentu, sampai tekanan pada pasar melahirkan model bisnis baru seperti kemasan atau nilai tambah layanan (value added). Selain itu, open source dapat mendorong inovasi untuk memastikan nilai yang berkelanjutan untuk berbagai perusahaan dengan model bisnis yang berbeda. Sifat fleksibel seperti inilah yang membuat open source dapat dijadikan sebagai pendorong model bisnis menjadi lebih mudah. Open source merupakan salah satu solusi yang paling murah dan paling efektif 231
dalam transfer teknologi dan pengetahuan khususnya untuk negara berkembang, seperti Indonesia. Open source tidak hanya menawarkan alternatif berupa biaya yang rendah untuk mengakuisisi teknologi, tetapi juga jejaring yang berdasarkan pada kerja sama. Karakteristik dari open source tersebut cocok dengan konsep inovasi frugal yang mengedepankan konsep efektif dan efisien. Konsep dari inovasi frugal itu sendiri turut merespon pula keterbatasan sumber daya, baik keuangan, material ataupun institusional dan menggunakan berbagai metode yang mengubah hambatan menjadi keuntungan. Pengertian dari inovasi frugal lebih kepada meminimalkan penggunaan sumber daya dalam pengembangan, produksi dan pengiriman, atau dengan memanfaatkan cara-cara baru sehingga secara signifikan dapat menghasilkan produk dan jasa yang lebih murah. Hal ini tentunya dapat membuat sesuatu menjadi lebih efektif dan efisien. Keberhasilan inovasi frugal tidak hanya ditentukan oleh biaya yang rendah tetapi juga memberikan keunggulan alternatif dan dapat dibuat dalam skala besar. Di samping itu, walaupun tidak selalu, inovasi frugal secara eksplisit memiliki misi sosial. Satu pemahaman penting mengenai inovasi frugal adalah bahwa kinerja/performa yang lebih tinggi tidak selalu berarti harus memiliki spesifikasi yang lebih tinggi pula. Open source merupakan salah satu solusi yang paling murah dan paling efektif dalam transfer teknologi dan pengetahuan untuk negara berkembang. Konsep ini menyebar ke beberapa area seperti software, hardware dan konten. Open source tidak hanya menawarkan alternatif berupa biaya yang rendah untuk mengakuisisi teknologi tetapi juga jejaring yang berdasarkan pada kerja sama. Selain itu, biaya transaksi untuk berkomunikasi, lisensi, dan negoisasi diminimalkan serta membebaskan dana untuk pengembangan. Hal yang harus diperhatikan bahwa, produk atau jasa yang dikeluarkan harus lebih sesuai dan efisien dengan konteks dan pemanfaatannya. Lalu mengapa open source dapat dikatakan sebagai driver bagi inovasi frugal? Salah satu keterkaitannya yakni spirit dari open source seiring dengan konsep dari inovasi frugal yang efektif dan efisien. Penulis melihat Open source sangat sesuai untuk diterapkan di negara berkembang seperti Indonesia sebagai driver bagi inovasi frugal. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, tulisan ini bertujuan untuk bertujuan untuk mengeksplorasi peranan open source sebagai driver dari inovasi frugal dan untuk menjelaskan bahwa spirit dari open source seiring dengan konsep dari inovasi frugal. 2. INOVASI FRUGAL Inovasi merupakan keberhasilan dari implementasi ide-ide baru. Kegiatan inovasi meliputi semua sektor, bukan hanya kegiatan pengembangan dan penelitian iptek saja atau hanya berhubungan dengan produk tetapi juga berhubungan dengan jasa, proses, desain, dan inovasi sosial. Inovasi frugal merupakan salah satu pendekatan khusus dalam inovasi, baik dalam hal sarana sampai produk akhirnya. Inovasi frugal muncul pada awalnya bukan berasal dari tulisan akademisi atau para ahli melainkan sebagai tanggapan dari para praktisi terhadap tantangan ekonomi, sosial, dan kompetisi yang dihadapi oleh perusahaanperusahaan di negara berkembang. Inovasi frugal populer setelah laporan khusus mengenai inovasi di negara berkembang oleh The Economist (Wooldridge, 2010). Setelah publikasi ini muncul, terjadi peningkatan tajam dalam berbagai laporan baik akademis maupun media mengenai inovasi frugal (Bhatti & Ventressca, 2012). Pada awalnya tidak ada pedoman yang berlaku secara umum bagaimana wujud dari inovasi frugal sebagai suatu bentuk inovasi yang dirasakan oleh penggunanya. Namun dalam perkembangannya, inovasi frugal tampaknya menjadi semakin kompleks dan beragam serta ditafsirkan dan diterapkan dengan berbagai cara yang berbeda dalam bisnis. The Economist mendefinisikan inovasi frugal sebagai inovasi berbasis keterbatasan yang tidak hanya fokus pada masalah mengeksploitasi tenaga kerja murah meskipun tenaga kerja murah membantu menurunkan biaya produksi. Inovasi frugal terkait dengan masalah mendesain ulang produk dan jasa untuk memotong biaya yang tidak perlu (Woolridge, 2010). Gupta & Wang (2009) mengartikan inovasi frugal sebagai inovasi yang berusaha 232
menciptakan produk, jasa, proses dan model bisnis yang hemat atau frugal dalam tiga hal: hemat dalam penggunaan bahan baku, berdampak frugal terhadap lingkungan dan biaya yang sangat rendah. Senada dengan Gupta & Wang (2009), Tiwani & Herstatt (2012) mendefinisikan inovasi frugal sebagai produk baru atau produk yang mengalami peningkatan secara signifikan, proses, atau pemasaran dan metode organisasi yang berusaha meminimalkan penggunaan sumber daya material dan keuangan dalam suatu rantai nilai yang lengkap (pengembangan, manufaktur, distribusi, konsumsi dan pembuangan) dengan tujuan mengurangi biaya kepemilikan meskipun dapat melebihi kriteria tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya sesuai standar kualitas yang dapat diterima. Zeschky, dkk. (2011) secara khusus mendefinisikan inovasi frugal sebagai inovasi yang menghasilkan produk yang terjangkau dan memenuhi kebutuhan konsumen dengan sumber daya yang terbatas. Secara sederhana, Bhatti (2012) menyatakan bahwa filosofi frugal mengandung arti “melakukan lebih banyak dengan sedikit”. Hal ini berlaku baik pada tingkat pembeli dan penjual. Dari perspektif konsumen, solusi frugal adalah biaya rendah dan terjangkau. Frugalitas berarti tidak hanya menurunkan biaya produk, tetapi juga bagaimana itu dirancang untuk beroperasi dalam konteks sumber daya yang terbatas. Zeschky (2011) menjelaskan bahwa terdapat tiga faktor penting yang harus diupayakan oleh suatu perusahaan untuk mencapai biaya rendah dan terjangkau pada konsumen dengan sumber daya yang terbatas: biaya produksi rendah produk yang dibuat sederhana, biaya material dan desain yang rendah fokus pada fungsi dasar dan fitur yang minimalis Isu mengenai inovasi frugal diusulkan sebagai bentuk baru dari strategi inovasi dan kewirausahaan yang dimaksudkan sebagai respon untuk mengurangi kemiskinan di negaranegara berkembang dengan cara meningkatkan penetrasi pasar dan pengalaman konsumen. Inovasi frugal ditujukan tidak hanya bagi perusahaan swasta yang berorientasi profit tetapi juga bagi usaha non-profit, pemerintah, LSM dan masyarakat untuk bekerja sama dalam mengatasi keprihatinan global yang meliputi kemiskinan, ketimpangan sosialekonomi-politik dan perubahan iklim (Bhatti & Ventressca, 2012). Secara eksplisit, inovasi frugal dapat memberikan keuntungan bagi konsumen akhir dan perusahaan secara bersamaan. Bagi konsumen, solusi frugal meluas dari faktor biaya hingga faktor fungsi dengan segala keterbatasan sumber daya dan infrastruktur. Dari perspektif perusahaan, solusi frugal harus dirancang, diproduksi, dikirim, dan dipelihara untuk mencapai kebutuhan konsumen yang tidak terlayani dalam lingkungan yang terbatas (Bhatti, 2012). 3. OPEN SOURCE Open cource dipahami oleh banyak orang sebagai perangkat lunak atau program komputer di mana source code didistribusikan dan dapat dimodifikasi tanpa membayar programmer lain serta disebarkan melalui kelompok pengguna ataupun komunitas. Secara sederhana, open source mengacu pada perangkat lunak yang dikembangkan oleh para relawan dan komunitas, yang berbagi pengetahuan, ide, perangkat lunak, yang menginvestasikan waktu mereka dalam suatu komunitas offline maupun online. Istilah open source pertama kali digunakan pada tahun 1998 dan dikaitkan dengan Eric Raymond (Feller & Fitzgerald, 2002). Pengembangan open source muncul sebagai alternatif model pengembangan produk yang dominan dibandingkan dengan model tradisional yang ada sebelumnya di sektor teknologi informasi (von Hippel & von Krogh, 2003). Open source pertama kali dikembangkan pada jurusan ilmu komputer pada beberapa perguruan tinggi di Amerika Serikat (Stanford, Barkeley, Carnegie Mellon, MIT) pada tahun 1960-an dan 1970-an (Rasch, 2000) ketika para programmer bebas bekerja sama di antara mereka dan ketika perusahaan komputer mendistribusikan perangkat lunak gratis. Pada tahun 1980-an, perangkat lunak menjadi berbayar dan karenanya industri perangkat lunak mencegah programmer untuk berbagi dan secara kolektif mengembangkan source code dari perangkat lunak (Stallman, 2009). Sebagai respon terhadap perubahan dalam pengembangan perangkat lunak, Richard Stallman, mantan peneliti di laboratorium Artificial Intelligence MIT, memulai gerakan open 233
source dengan beberapa rekan-rekannya dengan mengumumkan proyek GNU yang bertujuan mengembangkan sistem operasi gratis yang kompatibel dengan Unix pada tahun 1983. Tujuan dari inisiatif ini adalah untuk membawa kembali semangat kerja sama dalam komunitas komputasi dengan menghapus hambatan untuk bekerja sama yang diterapkan oleh produsen berbayar. Proyek GNU dimulai pada tahun 1984 dan pada tahun 1985 Free Software Foundation (FSF) didirikan untuk menggalang dana untuk mengembangkan GNU (Stallman, 2009). Konsep open source ditandai dengan biaya rendah (atau bahkan gratis), kerja sukarela, dan terus diuji oleh banyak pengembang, termasuk pengguna. Selain itu, open source dianggap sebagai public goods yang diciptakan dan digunakan oleh masyarakat (Alkhatib, dkk, 2008). Von Krogh & Spaeth (2007) menyatakan bahwa fenomena open source memiliki dampak sosial dan ekonomi seperti ditunjukkan sebagai berikut: Fenomena open source disamakan dengan sebuah gerakan sosial yang besar di mana kontributor, pengembang, pemerintah dan perusahaan berkolaborasi untuk menciptakan public goods yang digunakan oleh masyarakat. Open source telah mengubah persaingan global dalam industri perangkat lunak dan perangkat keras komputer di mana perusahaan-perusahaan secara tradisional berkompetisi pada software yang berbayar, perangkat lunak ‘‘closed source’’. Open source juga telah mengubah persaingan di industri yang berdekatan dan berkaitan. Semakin bertambahnya perusahaan yang mengapalkan dan melengkapi perangkat keras komputer mereka dengan menggunakan produk open source. Di area seperti teknologi elektronik dan manufaktur, perangkat lunak yang tertanam merepresentasikan peningkatan biaya penelitian dan pengembangan. Banyak negara telah mengadopsi kebijakan eksplisit terhadap open source Alasan penggunaannya adalah pengurangan biaya pengadaan, posisi tawar yang lebih baik, kebutuhan untuk mendukung perusahaan perangkat lunak lokal dan perusahaan jasa, adaptasi dari perangkat lunak untuk kebutuhan pemerintah, transparansi perangkat lunak, dan masalah keamanan. Open source dianjurkan oleh banyak negara sebagai solusi untuk menutupi kesenjangan digital dengan membantu negara-negara berkembang dalam upaya mereka menerapkan teknologi informasi. Karena open source gratis dan mudah diakses secara online, hal tersebut menarik banyak pengguna termasuk pemerintah, pengguna rumahan, sekolah, dan bisnis. Selain itu, akses terhadap source code merupakan transparansi proses pembangunan yang juga memungkinkan pendidikan dan pelatihan lokal mengakses teknologi informasi yang profesional. Pengembangan open source dilakukan melalui kerja sama antara pengembang, memungkinkan interaksi langsung dengan pemegang pengetahuan tanpa hambatan birokrasi atau pembatasan hukum yang pada gilirannya akan mempercepat akuisisi pengetahuan. Selain itu, kualitas pengetahuan yang ditransfer akan meningkatkan saluran komunikasi yang tidak terpengaruh oleh kebisingan yang disebabkan oleh masalah hukum (Alkhatib, dkk, 2008). Pengembangan open source menghindari inefisiensi rezim kekayaan intelektual yang kuat (Feller & Fitzgerald, 2002) dan dapat menciptakan kesejahteraan setidaknya sama dengan lisensi tertutup (Parker & van Alstyne, 2005). Lisensi open source memungkinkan perangkat lunak untuk bebas dimodifikasi dan didistribusikan kembali, dan membedakan perangkat lunak open source dengan perangkat lunak jenis lain dan membutuhkan perhatian yang lebih besar. Karena lisensi open source mendefinisikan kondisi untuk menggunakan, memodifikasi, memperbaharui, dan mendistribusikan perangkat lunak, lisensi open source memberikan sinyal utilitas keseluruhan perangkat lunak bagi pengguna potensial (Sen dkk, 2011). Keberhasilan open source dapat dikaitkan sebagian dengan masalah lisensi yang tidak mengekang. Tidak seperti lisensi perangkat lunak komersial, lisensi open source memungkinkan pengguna untuk mengakses source code, dan memberikan kebebasan bagi siapa saja untuk memodifikasi perangkat lunak dan membuat produk turunannya, dan 234
mendistribusikan perangkat lunak turunan yang dimodifikasi secara gratis (Sen dkk, 2011). Open source menunjukkan model baru yang lebih menarik dalam mengalokasikan sumber daya yang menggabungkan sumber pengetahuan dalam dan pengetahuan dari luar. Melalui open source, perusahaan dapat meningkatkan penciptaan pengetahuan yang lebih bernilai dengan memasuki aset-aset pengetahuan di luar batas-batas perusahaan yang pada saat yang sama membawa resiko dan tantangan dan tertentu (Meyer, 2007). Lingkungan open source secara unik ditandai melalui model pengembangan kolaboratif produk dalam lingkungan berjejaring. Tidak seperti proses koordinasi dalam organisasi tradisional, proses dalam model kolaboratif telah berevolusi akibat interaksi terus menerus antara pengembang melalui keanggotaan mereka dalam proyek-proyek open source. Selain itu, para pengembang bebas untuk bergabung dan meninggalkan proyek open source berdasarkan preferensi mereka dan dengan demikian menciptakan sebuah ekosistem di mana beberapa proyek open source berakhir karena kurangnya minat masyarakat dan di lain pihak ada beberapa proyek yang berkembang aktif (Mallapragada, 2007). 4. OPEN SOURCE SEBAGAI DRIVER INOVASI FRUGAL Terdapat beberapa perdebatan dalam literatur mengenai implikasi open source terhadap inovasi (Bonaccorsi & Rossi, 2006). Meskipun terdapat beberapa kekhawatiran bahwa open source merupakan imitasi dari perangkat lunak berbayar, dampak positif open source pada inovasi tampaknya telah mendapat dukungan lebih banyak. Raymond (1999) dan Dahlander & Magnusson (2005) melihat bahwa pengembangan open source sangat cocok untuk inovasi. Terkait dengan inovasi frugal, open source dapat dilihat dari beberapa hal berikut. 4.1. Isu Sumber Daya dalam Open Source Isu keterbatasan sumber daya merupakan salah satu hal yang menjadi pertimbangan utama inovasi frugal. The Economist mendefinisikan inovasi frugal sebagai inovasi berbasis keterbatasan yang tidak hanya fokus pada masalah mengeksploitasi tenaga kerja murah meskipun tenaga kerja murah membantu menurunkan biaya produksi. Inovasi frugal fokus pada biaya produksi rendah, produk yang dibuat sederhana, biaya material dan desain yang rendah, serta berkonsentrasi pada fungsi dasar dan fitur yang minimalis. Terkait dengan isu sumber daya, open source mengakomodasi keterbatasan sumber daya. Dalam pandangan kami, open source telah menjadi gerakan yang menunjukkan model bisnis baru untuk mengalokasikan sumber daya dengan menggabungkan sumber yang berasal dari dalam perusahaan dan luar perusahaan. Dengan open source, perusahaan yang melakukan inovasi memperoleh pengetahuan yang berharga dengan mengakses aset pengetahuan di luar batas-batas perusahaan, yang pada saat yang sama mendatangkan resiko dan tantangan tertentu. Open source merupakan sarana untuk mengurangi biaya lisensi dan mempromosikan pengembangan teknologi yang memiliki akses ke source code dari produk tersebut. Sifat yang dapat dimodifikasi dari open source membuatnya dapat mudah beradaptasi dengan kebutuhan lokal tanpa harus melakukan negosiasi dengan vendor perangkat lunak. Namun demikian, bukan berarti produk yang dihasilkan open source merupakan produk kelas kedua atau murahan. Produk yang dihasilkan oleh open source merupakan produk yang dijaga kualitasnya oleh komunitas open source. Hal ini bahkan lebih baik dari konsep inovasi frugal yang dinyatakan oleh Zeschky dkk (2011) sebagai produk yang sering terlihat lebih inferior dibandingkan dengan solusi atau produk yang ada selama ini dikarenakan mereka menyediakan fungsionalitas yang terbatas dan sering terbuat dari bahan yang sederhana atau material yang lebih murah. Open source tidak hanya menawarkan alternatif berupa biaya yang rendah untuk mengakuisisi teknologi, tetapi juga jejaring yang berdasarkan pada kerja sama. Karakteristik dari open source tersebut cocok dengan konsep inovasi frugal yang mengedepankan konsep efektif dan efisien. Open source, yang melibatkan pengembangan dan distribusi suatu perangkat lunak yang bebas dan terbuka melalui jaringan pengembang dan pengguna, menciptakan kesempatan bagi perusahaan untuk mencapai daya saing dalam teknologi 235
informasi melalui penurunan biaya kepemilikan, meningkatkan akses ke sumber daya teknologi informasi dan kemudahan berdaptasi terhadap kebutuhan lokal (Ghosh, 2004). Dengan demikian, open source bergantung pada keahlian dan kolaborasi dari pengembang di seluruh dunia yang berbagai pengetahuan dan pekerjaan, dan karenanya meningkatkan dan menghasilkan perangkat lunak secara bersama-sama, menciptakan lingkungan eksperimen dan berpikir yang tidak terbatas (Rajani et al., 2003). Di samping itu, inovasi pada pengguna menjadi komponen penting open source yang akan menggerakkan inovasi, khususnya inovasi frugal. Dalam open source, inovasi juga ditemukan sebagai kegiatan yang relatif sering dilakukan di antara pengguna yang memiliki minat yang kuat di bidang produk atau proses. Pengguna memiliki insentif yang cukup untuk berinovasi ketika mengharapkan manfaatnya melebihi apa yang mereka bayarkan. Biaya akses yang rendah untuk memperoleh informasi mengenai open source dan kemudahan untuk mengakses open source menjadi faktor penting yang memungkinkan pengguna melakukan inovasi. Dengan demikian, informasi yang penting untuk kesuksesan inovasi, seperti kebutuhan dan konteks penggunaan informasi yang dihasilkan di lokasi pengguna, dapat diakses secara alami dan mudah. Konsentrasi kegiatan inovasi di antara pengguna utama pada populasi pengguna juga dapat dipahami dari perspektif ekonomi. Mengingat bahwa inovasi adalah kegiatan yang termotivasi secara ekonomi, pengguna mengharapkan nilai ekonomi lebih tinggi atau keuntungan personal yang signifikan dengan mengembangkan sebuah inovasi yang akan memberikan insentif lebih tinggi. 4.2. Open Source Sebagai Gerakan Sosial Perlu dipahami bahwa open source tidak hanya terfokus pada perangkat lunak namun juga dianggap sebagai gerakan sosial agar suatu produk seperti perangkat lunak dapat diakses dan dijangkau oleh siapa saja dengan biaya akusisi yang minimal, bahkan gratis. Pemahaman ini juga yang ditangkap oleh inovasi frugal. Bhatti & Ventressca (2012) menjelaskan bahwa inovasi frugal muncul sebagai sebuah gerakan sosial di mana para aktor secara aktif membangun wacana dan agenda yang andal serta mendemonstrasikan inovasi ini dalam pasar di negara berkembang. Bhatti & Ventressca (2012) berpendapat bahwa pasar untuk inovasi frugal masih belum terlihat pertumbuhannya secara signifikan, namun telah ada ruang di mana fokus pada pengurangan biaya, ruang untuk mendesain ulang rantai nilai serta untuk memusatkan perhatian pada pembangunan kapasitas lokal. Inovasi frugal diharapkan sebagai gerakan untuk menyatukan beberapa aktor menuju misi yang berorientasi menangani masalah moralitas, ekonomi dan sosial. Ruang untuk inovasi frugal dipetakan sebagai sebuah konteks sosial-politik oleh berbagai aktor seperti pemimpin politik, elit bisnis, akademisi, bahkan kalangan agama seperti pendeta, untuk menghadapi lingkungan ekonomi dan sosial yang luar biasa terbatas yang ditandai dengan meningkatnya tuntutan untuk memenuhi permintaan atau kebutuhan dasar. 4.3. Open Source di Negara Berkembang Open source memberikan kesempatan bagi negara berkembang untuk mencari solusi dengan biaya yang efektif di banyak area. Namun manfaat lebih besar dari open source bagi negara-negara berkembang adalah menjadi wahana transfer teknologi dan keterampilan pengembangan perangkat lunak, membangun kapasitas teknologi informasi lokal, dan menstimulasi inovasi (Camara & Fonseca, 2006). Karena biaya gratis dan kebebasannya, open source menjadi pilihan yang jelas untuk digunakan secara luas di negara-negara berkembang Bagi negara berkembang, open source tidak hanya sebagai sebuah perangkat lunak pilihan, tetapi juga sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan. Negara-negara berkembang harus menggunakan open source sebagai cara untuk mendapatkan pengetahuan mengenai teknologi itu sendiri dan sebagai cara untuk menciptakan produk teknologi yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Open source dapat membantu negaranegara berkembang menguasai teknologi pengembangan perangkat lunak dan memungkinkan membuat aplikasi yang memanfaatkan pengetahuan lokal. Open source 236
merupakan sebagai salah satu strategi bagi negara berkembang untuk membangun pengetahuan dan kapabilitas teknologi yang berkelanjutan dengan menggabungkan keterampilan dan pengetahuan lokal. Dengan penggunaan open source, negara-negara berkembang akan mendapatkan pengetahuan emansipatoris yang membawa mereka untuk berusaha sejajar dengan negara-negara maju. Open source memiliki peran ganda bagi negara berkembang. Pertama, open source membuat negara-negara berkembang belajar tentang teknologi informasi, tentang teknologi itu sendiri dan tentang proses pengembangan perangkat lunak. Kedua, negara-negara berkembang dapat mempelajari lebih lanjut tentang diri mereka sendiri serta belajar bagaimana mereka menggunakan teknologi. Kedua peran tersebut membantu negaranegara berkembang untuk memecahkan kebutuhan informasi dan mengembangkan kemampuan teknologi mereka. Sifat ganda open source tersebut membuka peluang bagi negara-negara berkembang untuk mengeksplorasi lingkungan di mana ia akan digunakan. Sistem terbuka dari open source akan menyesuaikan diri dengan kondisi setempat dan mengoptimalkan pengetahuan lokal. Singkatnya, open source akan membiarkan negara-negara berkembang membuat jembatan antara teknologi asing dan penerapannya dengan kondisi setempat atau lokal. Sifat terbuka dari open source memungkinkan negara-negara berkembang untuk menguasai teknologi dan mengembangkannya sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Arsitektur terbuka dari open source memungkinkan partisipasi dan akan membuat negara-negara berkembang untuk belajar mengenai kondisi nyata di mana sistem perlu diterapkan. Produk dari penggunaan open source adalah perangkat lunak yang mencakup pengetahuan lokal yang disesuaikan dengan kondisi setempat. 5. KESIMPULAN Dari berbagai sudut pandang mengenai keunggulan open source, dapat dikatakan bahwa open source bisa menjadi solusi di masa krisis karena bisa membantu penghematan finansial. Selain karena unsur penghematan tadi, lisensi untuk mendapatkan open source pun cenderung lebih mudah. Hal ini sejalan dengan karakteristik inovasi frugal yang mengedepankan hal-hal yang berbau penghematan serta dapat dilakukan dengan sumber daya yang minim. Melalui open source pula diharapkan inovasi frugal dapat berkembang dan menjadi spirit serta salah satu driver bagi kemunculan dan kekuatan inovasi frugal. Open source di negara berkembang memerlukan kebijakan yang kuat dan bijaksana agar bisa sukses. Hal tersebut merupakan kombinasi dari visi kelembagaan, personel yang berkualitas, dan hubungan yang kuat dengan komunitas pengguna. Open source di negara berkembang perlu didanai oleh pemerintah dalam tahap awal pengembangannya agar lebih mudah dalam pengembangannya.
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada Ibu Karlina Sari, MA., peneliti pada Pusat Penelitian dan Perkembangan Iptek LIPI yang telah memberikan kritik dan saran perbaikan pada makalah kami. PUSTAKA Alkhatib, Jamil., Anis, Mohab., & Noori., Hamid, 2008. Open source: The Next Big Thing in Technology Transfer to Developing Nations. International Association for Management of Technology. IAMOT 2008 Proceedings Bhatti, Yasser, 2012. What is Frugal, What is Innovation? Towards a Theory of Frugal Innovation. SSRN Working Paper Series Bhatti, Yasser & Ventresca, Marc, 2012. The Emerging Market for Frugal Innovation: Fad, Fashion, Fit ? SSRN Working Paper Series.
237
Camara, G., & Fonseca, F., 2006. Information policies and open source software in developing Open source Software: A Developing Country View countries. Journal of the American Society for Information Science and Technology (JASIST). Diakses pada tanggal 1 Agustus 2012 di http://www.dpi.inpe.br/gilberto/papers/camara_fonseca_jasist.pdf Dahlander, L., & Magnusson, M. G., 2005. Relationships between open source software companies and communities: Observations from Nordic firms. Research Policy, 34(4): 481-493. Dalle, J.-M., & Jullien, N., 2003. ‘Libre’ software: turning fads into institutions? Research Policy, 32(1): 1-11. Economist, 2011. The Economist announces Chetan Maini as the Energy and Environment category award winner for 2011, The Economist. 5 Oktober 2011. Feller, Joseph & Fitzgerald, Brian, 2002. Understanding Open source Software Development. Addison–Wesley, Boston Fitzgerald, B., 2006. The transformation of open source software. MIS Quarterly, 30(3): 587598. Goldman, R., & Gabriel, R., 2005. Innovation happens elsewhere: open source as business strategy. San Francisco, CA: Morgan Kaufmann Publishers. Grand, Simon., von Krogh, Georg., Leonard, Dorothy., and Swap, Walter, 2004. Resource allocation beyond firm boundaries: A multi–level model for open source innovation. Long Range Planning, 37 Ghosh, R.A., 2004. The opportunities of Free/Libre/Open source Software for developing countries, UNCTAD-ICTSD: Preserving Public Goods in Health, Education and Learning. 29 November–3 December 2004, Bellagio. Gupta, A. & Wang, H., 2009. Getting China and India right: strategies for leveraging the world's fastest-growing economies for global advantage. John Wiley and Sons. Mallapragada, Girish., 2007. Being Open in A Closed World: Essays on Innovation in Open source Networks. Thesis. The Pennsylvania State University Meyer, Peter B., 2007. Network of Tinkerers: A Model of Open-Source Technology Innovation. Working Paper 413. Dapat diakses di at: http://ssrn.com/abstract=1071991 Parker, Geoffrey & van Alstyne, Marshal W., 2005. Innovation through optimal licensing in freemarkets and free software. Dapat didownload di http://ssrn.com/abstract=639165 Potdar, Vidyasagar & Chang, Elizabeth Chang, 2004. Open source and closed source software development methodologies. Proceeding of the 4th Workshop on Open source Software Engineering, pages 105–109, Edinburgh, Scotland, May 25 2004. Raymond, E., 1999. The Cathedral & the Bazaar: Musings on Linux and Open source by an Accidental Revolutionary. Cambridge, MA: O’Reilly. Rajani, N., Rekola, J., MieloneT., 2003. Freeasin Education: Significance of the Free/Libre and Open source Software for Developing Countries, Report for Ministry ofForeign Affairs, Finland. Diakses pada tanggal 15 Agustus 2012 di http://www.maailma.kaapeli.fi/FLOSSReport1.0.htm Sen, Ravi., Subramaniam, Chandrasekar., & Nelson, Matthew L., 2011. Open source software licenses: Strong-copyleft, non-copyleft, or somewhere in between? Decision Support Systems 52 (2011) 199–206 Tiwani, Rajnish & Herstatt, Cornelius, 2012. India – A Lead Market for Frugal Innovation? Extending the Lead Market Theory to Emerging Economies. Technology and Innovation Management, Working Paper No.67, Hamburg University of Technology. Tiwani, Rajnish & Herstatt, Cornelius, 2012b. Frugal Innovation for the “Unserved” Customer: An Assessment of India’s Attractiveness as a Lead Market for Cost-effective Product. Technology and Innovation Management, Working Paper No.69, Hamburg University of Technology. van den Waeyenberg, Sofie & Hens, Luc, 2008. Crossing the Bridge to Poverty, with LowCost Cars. Journal of Consumer Marketing 25(7), 439-445. 238
van Wendel de Joode, Ruben, 2004. Innovation in Open source Communities through Processes of Variation and Selection. Knowledge, Technology, & Policy, Winter 2004, Vol. 16, No. 4, pp. 30-45. von Hippel, E., & von Krogh, G., 2003. Open source software and the 'private-collective' innovation model: Issues for organization science. Organization Science, 14(2): 209223. von Krogh, Georg & Spaeth, Sebastian, 2007. The open source software phenomenon: Characteristics that promote research. Journal of Strategic Information Systems 16 (2007) 236–253 Woolridge, Adrian, 2010. The world turned upside down. A special report on innovation in emerging markets. The Economist, April 15. Dapat didownload di http://www.economist.com/node/15879369 (Diakses pada tanggal 1 September 2012).
Zeschky, Marco., Widenmayer, Bastian., & Gassman, Oliver, 2011. Frugal Innovation in Emerging Markets. Research-Technology Management, 54(2), 38-45
239
KAJIAN KASUS EKO-INOVASI PERTANIAN ORGANIK MELALUI LENSA TEORI STRUKTURASI DAN PENDEKATAN PRAKTIK 1
1,2
2
Intan Savitri Wahyoe , Togar M. Simatupang Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha No. 10 Bandung 40132 1 E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Eko-Inovasi didefinisikan sebagai penerapan produk (barang atau jasa), atau proses yang baru atau secara signifikan lebih baik, metode pemasaran baru, atau metode keorganisasian baru dalam praktikpraktik bisnis, organisasi kerja atau hubungan-hubungan eksternal, yang memberikan dampak menguntungkan bagi lingkungan terlepas dari dampak ini ditujukan atau tidak. Eko-inovasi terkait dengan konsep inovasi frugal yang mengarah pada tiga dimensi pembangunan berkelanjutan, di mana eko-inovasi mengedepankan dimensi perlindungan lingkungan. Tulisan ini bertujuan untuk memetakan bentuk-bentuk, dampak-dampak dan penelusuran keberhasilan eko-inovasi yang ada di Indonesia melalui studi kasus sebuah organisasi bisnis yang melakukan eko-inovasi. Kajian dilakukan dengan menggunakan lensa teori strukturasi dan pendekatan praktik untuk melihat bagaimana agensi aktor pelaku berinteraksi dengan struktur-struktur yang memampukan keberhasilan eko-inovasi. Pengambilan data empiris dilakukan dengan melakukan wawancara mendalam dengan pertanyaanpertanyaan semi terstruktur. Hasil penelusuran menunjukkan bahwa eko-inovasi didorong oleh beragam motivasi non keregulasian seperti dorongan intrinsik dan motivasi ekonomi yang diterjemahkan ke dalam kebertujuan dan rasionalisasi tindakan yang terus menerus mengacu pada dimensi-dimensi pemampu dalam struktur, yang terpetakan dalam fase penghasilan ide eko-inovasi, pengembangan ide dan difusi ide melalui pengembangan kewirausahaan dan pengembangan peluang bisnis secara terus menerus. Unsur-unsur agensi yang berkontribusi untuk keberhasilan ekoinovasi adalah kompetensi produksi, pemasaran, pengembangan bisnis dan keorganisasian. Ragam dampak eko-inovasi berkisar mulai dari dampak positif terhadap lingkungan sampai dengan perubahan norma-norma praktik bisnis dan interaksi dengan konsumen. Kata kunci: eko-inovasi, strukturasi, agensi, struktur.
1. PENDAHULUAN Tulisan ini bermaksud untuk menyampaikan rangkuman penelitian tentang kasus ekoinovasi yang dilakukan di Indonesia. Eko-inovasi sendiri didefinisikan oleh OECD (2005, 2008, 2009a, 2009b) sebagai penerapan produk (barang atau jasa), atau proses, yang baru atau yang secara signifikan lebih baik, metode pemasaran baru, metode keorganisasian baru dalam praktik-praktik bisnis, organisasi tempat kerja atau hubungan-hubungan eksternal, yang memberikan dampak menguntungkan bagi lingkungan terlepas dari apakah dampak ini ditujukan atau tidak. Ruang lingkup eko-inovasi mungkin melampaui batas-batas konvensional keorganisasian organisasi yang berinovasi dan melibatkan tatanan-tatanan sosial yang lebih luas serta memicu perubahan-perubahan norma sosio-budaya dan struktur kelembagaan yang ada. Eko-inovasi terkait dengan konsep inovasi frugal yang mengarah pada tiga dimensi pembangunan berkelanjutan, di mana eko-inovasi mengedepankan dimensi perlindungan lingkungan. Eko-inovasi sendiri masih tergolong bidang kajian yang baru dan mulai berkembang. Studi kasus ini dipandu oleh tiga pertanyaan penelitian utama: 1. Apa bentuk dan dampak dari eko-inovasi yang dilakukan oleh organisasi? Pertanyaan penelitian ini ditujukan untuk mendeskripsikan bentuk eko-inovasi yang dilakukan oleh perusahaan dan dampak-dampak eko-inovasi, berdasarkan karakterisasi dan tipologi eko-inovasi yang telah dikembangkan oleh beberapa peneliti lain dan penemuanpenemuan di lapangan. 2. Bagaimana organisasi berhasil melakukan eko-inovasinya? Pertanyaan penelitian ini ditujukan untuk mendeskripsikan fitur-fitur keberhasilan eko-inovasi suatu organisasi 240
atau perusahaan dan menjelaskan bagaimana perusahaan dapat berhasil melakukan atau mengeksekusi eko-inovasinya di pasar. 3. Apa yang menjadi pendorong organisasi dalam melakukan eko-inovasi? Pertanyaan penelitian ini ditujukan untuk mendeskripsikan hal-hal yang mendorong perusahaan untuk melakukan eko-inovasi dan menjelaskan bagaimana ‘kerja’ pendorong ini. Kajian ini mengambil posisi konstruktivisme/interpretivisme. Smith et al (2010) menyarankan perlunya sensitivitas sosiologis akan makna-makna subjektif inovasi berkelanjutan, eko-inovasi yang beragam, serta peran kekuatan ekonomi dan politik yang menguntungkan perspektif-perspektif tertentu dibandingkan dengan yang lainnya. Kajian ini dilakukan dengan menggunakan lensa teori sosial, teori strukturasi dan pendekatan praktik untuk mengkonstruksikan bagaimana suatu eko-inovasi terjadi dan berhasil. Giddens (1984) mengkonseptualisasi ulang hubungan antara agensi (tindakan manusia) dan struktur. Struktur didefinisikan secara abstrak sebagai serangkaian aturan-aturan dan sumber dayasumber daya, agen adalah manusia berdaya pengetahuan yang secara aktif mengacu dan mengekspresikan struktur dalan interaksi nyata yang disebut Giddens sebagai relasi atau praktik sosial. Aktor-aktor menerjemahkan dan memodifikasi struktur untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan kontekstual. Sementara pendekatan praktik dikembangkan dari penempatan Wittgenstein akan inteligibilitas dan pemahaman manusia dalam aliran praksis, bukan sebagai yang terpisah dalam benak manusia. Intelegibilitas dan pemahaman ini menstruktur tindakan manusia (Schatzki, 1996). Dalam pendekatan praktik, keterampilanketerampilan yang menubuh dan tahu bagaimana (know-how) dianggap penting dan suatu pengalaman dipahami bukan hanya sebagai hasil kejadian-kejadian dan tindakan-tindakan yang ditujukan, namun sebagai suatu proses berkelanjutan atau aliran di mana kebiasaankebiasaan dan rutinitas-rutinitas secara terus menerus ditantang dan ditransformasikan (Shove et al., 2012). Tulisan ini akan dibagi ke dalam beberapa bagian. Bagian pertama akan menyampaikan tentang konsep eko-inovasi. Bagian kedua akan menyampaikan tentang metodologi penelitian. Analisis dan pembahasan akan disampaikan pada bagian tiga. Pada bagian terakhir akan disampaikan kesimpulan penelitian. 2. EKO-INOVASI Eko-inovasi juga dikenal dengan istilah-istilah lain, seperti: inovasi lingkungan (environmental innovation), inovasi hijau (green innovation) dan inovasi keberlanjutan (sustainability innovation). Eko-inovasi telah dikaji dalam ragam perspektif dan bidang, terutama bidang ekonomi, kebijakan dan manajemen. Beberapa peneliti kebijakan mendasarkan konseptualisasi eko-inovasi pada konsep pembangunan berkelanjutan (CarilloHermosilla et al. 2010, Geels, 2010, Smith et al., 2010) atau untuk seterusnya dalam tulisan ini akan disebut sebagai konsep keberlanjutan. Beberapa peneliti telah menyusun klasifikasi jenis-jenis eko-inovasi yang bermanfaat untuk mendefinisikan kasus-kasus eko-inovasi yang ditemui. Penelitian ini mengacu pada klasifikasi atau taksonomi yang telah disusun oleh Andersen (2008) sebagai berikut: 1. Eko-inovasi tambahan (add-on) (teknologi dan jasa penanganan polusi dan sumber daya). Kategori ini adalah kelompok yang paling mapan, terdiri dari produk-produk (artefak-artefak atau jasa-jasa) yang meningkatkan kinerja lingkungan pelanggan. Produknya sendiri tidak harus dengan sendirinya ramah lingkungan. Mereka menangani solusi-solusi lingkungan di sisi hilir (banyak teknologi dan jasa yang membersihkan, melarutkan, mendaur ulang, mengukur, mengontrol dan memindahkan emisi-emisi) dan di sisi sumber/hulu (ekstraksi dan suplai sumber daya alam dan energi). Konservasi alam, dipengaruhi oleh kegiatan di hilir dan hulu, harus disertakan di sini. Teknologi dan jasa ini dikembangkan oleh apa yang secara umum dipahami sebagai industri lingkungan. Teknologi dan jasa biasanya memiliki dampak sistemis yang terbatas sebagaimana mereka secara umum ditambahkan kepada praktek produksi dan konsumsi yang ada (yang secara biaya terhitung efektif) tanpa mempengaruhi praktek-praktek ini secara signifikan. Namun teknologi tambahan (add241
2.
3.
4.
5.
on) yang sangat radikal dapat memiliki dampak sistemis yang lebih luas, tapi insentifinsentif untuk mengembangkan mereka masih kecil. Eko-inovasi yang terintegrasi (proses teknologi yang lebih bersih dan produk yang lebih bersih). Inovasi ini membuat proses produksi atau produk lebih eko-efisien (“lebih bersih”) dibandingkan dengan proses atau produk yang mirip. Karena itu perusahaan yang berinvestasi dalam inovasi terintegrasi (dengan membeli dan/atau mengembangkannya) terlihat lebih eko-efisien dibandingkan dengan pesaing yang mirip, baik dalam keseluruhan kinerja lingkungan perusahaan atau dalam dampak lingkungan produk tertentu. Inovasi ini mungkin juga diperkenalkan dengan tujuan lain seperti tujuan produktivitas. Mereka berkontribusi terhadap solusi masalah lingkungan organisasi di dalam perusahaan atau organisasi-organisasi lain (lembaga publik, keluarga), dalam pemahaman ini mereka terintegrasi. Mereka adalah inovasi-inovasi yang berkontribusi terhadap perubahan praktik produksi dan konsumsi dalam organisasi-organisasi, terutama dalam perusahaan. Inovasi-inovasi ini memungkinkan efisiensi sumber daya dan energi, meningkatkan pendaurulangan atau memungkinkan substitusi material beracun. Inovasi-inovasi ini kebanyakan bersifat teknis, namun bisa juga bersifat keorganisasian, misal, perubahan dalam pengaturan produksi dan manajemen di dalam organisasi. “Kehijauan” produk-produk ini relatif (terhadap kehijauan produk-produk yang sama) dan karena itu berubah sepanjang waktu. Kategori menekankan pada penghijauan sebagai sasaran yang bergerak. Mereka merepresentasikan kontinuitas teknologi. Eko-inovasi produk alternatif (jejak-jejak teknologi baru). Inovasi-inovasi ini merepresentasikan keterputusan teknologi yang radikal. Mereka tidak selalu lebih bersih dari produk yang sama namun lebih pada menawarkan solusi ramah lingkungan yang sangat berbeda (trayek teknologi yang baru) dibandingkan dengan produk-produk yang ada. Inovasi produk radikal ini memiliki dampak-dampak sistemis yang luas; mereka dibangun di atas teori-teori baru, kapabilitas yang baru, praktikpraktik yang baru dan mungkin membutuhkan perubahan pola produksi dan konsumsi sekaligus. Dimensi lingkungan terletak pada produksi/desain produk itu sendiri, yang (seharusnya) per se lebih hijau dibandingkan dengan alternatif (yang tidak sama). Contohnya adalah teknologi energi terbarukan (sebagai lawan dari teknologi berbasis bahan bakar fosil) dan pertanian organik (berlawanan dengan pertanian konvensional). Eko-inovasi makro-keorganisasian (struktur-struktur keorganisasian yang baru). Inovasi-inovasi ini mencakup solusi-solusi baru bagi cara yang eko-efisien dalam mengatur masyarakat. Hal ini berarti cara-cara baru mengorganisasi produksi dan konsumsi kita di tingkatan yang lebih sistemis, mencakup interaksi saling mempengaruhi fungsional yang baru antar organisasi-organisasi, e.g. antara perusahaan-perusahaan (“simbiosis keindustrian”), antara keluarga-keluarga dan tempat kerja, dan cara-cara baru mengorganisasi kota dan insfrastruktur teknis mereka (“ekologi urban”). Inovasi-inovasi ini mengimplikasikan perubahan dalam perencanaan kewilayahan dan fisik serta infrastruktur teknis dalam beragam cara. Inovasi-inovasi ini bersifat keorganisasian namun mungkin juga menyertakan inovasiinovasi teknis. Mereka mungkin secara konseptual sangat radikal, karena itu merepresentasikan keterputusan pencarian, namun tidak selalu secara teknis radikal. Inovasi ini menekankan pentingnya dimensi spasial bagi eko-inovasi dan kebutuhan akan perubahan keorganisasian dan kelembagaan. Inovasi-inovasi ini banyak terjadi dalam wilayah otoritas publik yang perlu bekerja sama dengan perusahaan untuk mengembangkan solusi-solusi yang baru. Eko-inovasi dengan tujuan umum. Beberapa teknologi bertujuan umum mempengaruhi ekonomi dengan mendalam dan proses inovasi sebagaimana mereka terletak dalam latar belakang dan dimasukkan ke dalam beragam inovasi-inovasi teknologi yang lain. Peneliti-peneliti inovasi menyebutkan bagaimana teknologiteknologi ini mendefinisikan paradigma tekno-ekonomi yang mendominasi pada waktu 242
tertentu. Perubahan-perubahan dalam teknologi-teknologi bertujuan umum sangatlah mendasar sehingga mereka akan memberikan dampak yang besar terhadap ekoinovasi dan karena itu perhatian khusus harus diberikan terhadap perkembanganperkembangan pada teknologi-teknologi ini. Pemampu dampak-dampak positif dan negatif teknologi-teknologi seperti ICT, bioteknologi dan belakangan adalah nanoteknologi terhadap eko-inovasi perlu diteliti lebih lanjut. 3. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini bermaksud untuk memunculkan dan memetakan ragam eko-inovasi yang dilakukan oleh aktor-aktor yang berbeda-beda, di mana aktor-aktor ataupun eko-inovasi – eko-inovasi ini memiliki makna tersendiri dari segi fitur ekonomi, sosial dan lingkungan. Penelitian ini mengambil pendekatan studi kasus. Menurut Yin (2003), studi kasus adalah pencarian empiris yang bermanfaat dalam menginvestigasi sebuah fenomena kontemporer di dalam konteks kehidupan nyata. Teori strukturasi dan pendekatan praktik digunakan untuk mengkonstruksikan proses eko-inovasi. Berikut adalah rangkuman tentang teori strukturasi dan pendekatan praktik. Menurut teori strukturasi, wilayah dasar kajian ilmu-ilmu sosial bukanlah pengalaman masing-masing aktor ataupun keberadaan setiap bentuk totalitas kemasyarakatan, melainkan praktik-praktik sosial yang terjadi di sepanjang ruang dan waktu (Giddens, 1984: 3). Bagi Giddens, ketika kita menganalisis relas-relasi sosial, kita harus mengakui keberadaan suatu dimensi sintagmatik, penciptaan pola relasi-relasi sosial dalam ruang dan waktu yang melibatkan reproduksi praktik-praktik tertentu dan suatu dimensi paradigmatik yang melibatkan tatanan sesungguhnya dari cara-cara pengstrukturan yang terus menerus dilibatkan dalam reproduksi semacam itu. Konsep-konsep inti dalam teori strukturasi adalah konseptualisasi Giddens tentang agensi dan struktur. Manusia dilihat sebagai agen yang berdaya pengetahuan. Bentuk refleksif daya pengetahuan dan kesadaran diskursif merupakan butir-butir penting dalam konsepsi Giddens. Keberadaan struktur diasumsikan tidak terpisah dari pengetahuan para agen tentang apa yang mereka lakukan dalam kegiatan kegiatan mereka. Para agen manusia selalu mengetahui apa yang sedang mereka lakukan pada tataran kesadaran diskursif melalui sebuah deskripsi (Giddens, 1984: 43) Struktur dilihat sebagai kelengkapan-kelengkapan struktural. Kelengkapan-kelengkapan struktural ini yang memungkinkan keberadaan praktik-praktik sosial yang serupa dalam kisaran waktu dan ruang yang sangat beragam dan memberi bentuk-bentuk sistemis pada praktik sosial. Menurut Giddens (1984), sistem sosial sebagai praktik-praktik sosial yang direproduksi, tidak memiliki ‘struktur’, namun secara lebih tepat menampakkan kelengkapankelengkapan struktural. Kelengkapan-kelengkapan struktural ini hanya ada sebagai yang terwujud dalam tindakan-tindakan sosial, praktik-praktik sosial yang direproduksi secara terus menerus sepanjang ruang dan waktu. Pada saat yang bersamaan, praktik-praktik sosial ini menciptakan dan mereproduksi kelengkapan-kelengkapan struktural tingkat mikro dan makro sistem sosial. Struktur hadir sebagai jejak-jejak ingatan agen-agen yang berpengetahuan, karena itu tidak berada di luar agen-agen dan ketika terekspresikan dalam praktik-praktik sosial, dalam pengertian tertentu, struktur berada di dalam agen. Struktur dapat berperan sebagai pemampu atau penghambat suatu agensi bertujuan. Struktur terdiri dari aturan-aturan dan sumber daya-sumber daya atau seperangkat relasi tranformasi yang terorganisasi sebagai kelengkapan-kelengkapan struktural suatu sistem sosial. Aturan terdiri dari dua dimensi, dimensi signifikasi atau disebut juga sebagai aspek konstitutif yang mengambil bentuk medium tindakan sebagai bangunan makna dan elemen-elemen normatif (legitimasi) atau aspek regulatif yang mengambil bentuk medium tindakan relasi moral dan sanksi. Sumber daya dibagi ke dalam dua dimensi, yaitu sumber daya alokatif, yang mengambil medium tindakan kekuatan tatanan material dan sumber daya otoritatif. Sementara teori strukturasi membantu dalam memetakan struktur dan memahami kondisi transformasi struktur dalam konteks proses inovasi, teori praktik bermanfaat dalam mengamati praktik sosial, hal-hal apa saja yang terjadi dalam suatu praktik. Para penganjur utama teori atau pendekatan praktik menyatakan konseptualisasi masing-masing tentang 243
apa itu praktik. Reckwitz (2002) mendeskripsikan praktik sebagai sebuah bangunan atau pola yang dapat disusun dari sejumlah tindakan-tindakan tunggal dan seringkali unik. Praktik terdiri dari salingketergantungan elemen-elemen yang beragam, seperti bentuk-bentuk kegiatan yang menubuh, bentuk-bentuk aktivitas mental, benda-benda dan penggunaannya, serta sebuah pengetahuan yang melatarbelakangi dalam bentuk pemahaman, tahubagaimana, kondisi emosi dan pengetahuan yang memotivasi. Schatzki (2012) menyatakan bahwa praktik sebagai nexus yang terdiri dari serangkaian doing (melakukan) dan serangkaian saying (mengatakan) yang diorganisasi oleh pemahaman praktis, aturan-aturan, struktur-struktur teleoafektif dan pemahaman umum. Menurut Schatzki (2012), kebanyakan praktik tidak akan berada tanpa keberadaan materialitas (di mana praktik ini terkait dengan materialitas itu), karena itu konsep sekumpulan praktik dan tatanan-tatanan materialitas sangat penting untuk menganalisis kehidupan manusia. Shove et al. (2012) mengembangkan konsep praktik yang terdiri dari material, kompetensi dan makna. Dalam konteks penelitian ini, teori praktik digunakan untuk memetakan bentuk-bentuk praktik manajerial dan keorganisasian yang terjadi dalam proses eko-inovasi dan dampak ekoinovasi terhadap praktik-praktik lain. Pengambilan data empiris dilakukan melalui wawancara mendalam dan pengamatan lapangan. Schatzki (2012) menamakan metode wawancara mendalam ini sebagai sejarah oral. Sejarah oral mendokumentasikan refleksi perjalanan-perjalanan temporal para responden. Sebuah kasus eko-inovasi dipilih menjadi objek studi kasus, yaitu: FAM Organic, sebuah organisasi bisnis yang bergerak di bidang pertanian organik. Menurut Williander (2005), ciri lain suatu eko-inovasi adalah keberhasilan, yaitu: (1) berdaya saing di ruang pasar dan (2) menghasilkan keuntungan bagi perusahaan yang berinovasi. FAM Organic telah berhasil menghantarkan produk dan jasa eko-inovatif yang berdaya saing di ruang pasar dan memperoleh keuntungan dari eko-inovasinya. Eko-inovasi FAM Organic diwujudkan dalam proses kewirausahaan. Analisis penelusuran empiris dilakukan dengan mengkonstruksikan narasi strukturasi proses eko-inovasi. Konstruksi narasi ini disebut sebagai strategi naratif oleh Langley (1999), yang mengusulkan strategi naratif sebagai salah satu dari tujuh strategi sensemaking (penyusunan pemahaman) dalam penelitian proses. Sensemaking akan dipandu oleh teori strukturasi dan pendekatan praktik dengan menyusun sebuah episode strukturasi proses eko-inovasi yang terjadi di setiap organisasi dan mendiskusikan hal-hal yang terjadi pada episode strukturasi ini. 4. ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1. FAM Organic: Eko-Inovasi Pertanian Organik FAM Organic didirikan pada tahun 2009 oleh sepasang suami istri pewirausaha, Soeparwan Soeleman dan Donor Rahayu (selanjutnya akan disebut sebagai Pak Soeparwan dan Bu Donor) dan berlokasi di Kota Bandung. Berdasarkan hasil penelusuran empiris, berikut adalah episode strukturasi eko-inovasi dalam kewirausahaan FAM Organic.
Pemindaian peluang bisnis dan pemilihan pertanian organik
Pembangunan kompetensi pertanian organik di kebun
Pemantapan pertanian organik di Pengembangan kebun lini bisnis baru: halaman organik, ekosuvenir, konsultasi dan kemitraan
Pengembangan lini bisnis baru: (1) Area suburb: Pertanian organik, ekokuliner, loka karya, eko-villa, ekopertemuan, penelitian dan pengembangan, eko-edutainment
(2)Area urban (perkotaan): halaman organik, toko FAM Organic, bahan pangan dan makanan sehat, loka karya, eko-suvenir.
Gambar 1. Episode Strukturasi Proses Eko-Inovasi FAM Organic 244
Sebelum membahas tentang proses strukturasi proses eko-inovasi FAM Organic, akan disampaikan beberapa hal tentang praktik pertanian organik. Secara ekonomi, praktik pertanian organik sendiri, secara umum telah cukup melembaga di dunia dan secara khusus di Indonesia. Struktur pasar atau struktur komersial produk pertanian organik mulai dapat ditemui di beberapa kota di Indonesia. Struktur pasar ini dapat terdiri dari: (1) petanidistributor-pengecer-konsumen, (2) petani-pengecer-konsumen dan (3) petani-konsumen. Terkait dengan praktik konsumsi, produk organik dibeli oleh konsumen karena konsumen percaya terhadap integritas produk, bahwa produk ini betul-betul dihasilkan melalui proses produksi secara organik. Rasa percaya terhadap integritas produk dapat dibangun melalui sertifikasi atau melalui interaksi langsung antara konsumen dengan petani, di mana konsumen membuktikan sendiri bagaimana proses pertanian atau produksi organik dilakukan di lahan budidaya. Praktik pertanian organik diatur oleh tatanan pengetahuan, wacana khusus yang juga merupakan norma (struktur signifikasi dan legitimasi). Saat ini, telah terbentuk organisasi pertanian organik tingkat dunia, International Federation of Organic Agricultural Movements (IFOAM) yang menaungi sekitar 870 afiliasi di 108 negara. Organisasi ini telah merangkum prinsip-prinsip pertanian organik yang bersifat universal dan dijadikan sebagai acuan tatanan pengetahuan yang memandu tatanan praktik pertanian organik mulai dari produksi sampai dengan konsumsi. Prinsip-prinsip ini disusun dari wacana lingkungan atau ekologi serta standar-standar etika tertentu yang ditetapkan sebagai standar dasar praktik pertanian organik. Secara singkat karakteristik-karakteristik praktik pertanian organik di suatu lahan pertanian, dirangkum sebagai berikut oleh Freyer dan Bingen (2012): sistem dengan masukan (input) yang rendah (masukan pupuk yang dibatasi, kontrol tanaman pengganggu dilakukan secara mekanis, kendali hama dilakukan secara biologis; rotasi tanaman, secara biotop kaya; pupuk dan kompos hijau (organik); integrasi perlindungan lingkungan terhadap sistem pertanian. Berikut adalah pembahasan tentang strukturasi proses eko-inovasi FAM Organic. 4.1.1. Pemindaian Peluang Bisnis dan Pemilihan Pertanian Organik FAM Organic secara mendasar melakukan kegiatan kewirausahaan yang mewujudkan eko-inovasi berupa proses produksi organik dan produk bahan pangan organik. Kewirausahaan didorong motivasi intrinsik yang bersifat personal dan pengenalan peluang ekonomi atau bisnis. Hal-hal yang bersifat intrinsik atau personal yang melatarbelakangi pilihan kewirausahaan adalah keinginan pasangan ini untuk memperoleh kualitas hidup yang lebih baik dan mempersiapkan masa pensiun, di mana sebelumnya keduanya memiliki karir tersendiri di bidang-bidang yang sangat berbeda dari pertanian organik (sebelumnya Pak Soeparwan berkarir di IBM). Pertanian organik dipilih dari serangkaian pilihan jenis agribisnis lain. Struktur internal (faktor-faktor pribadi diri aktor) yang mempengaruhi pilihan ini adalah kesukaan pasangan ini terhadap dunia bercocok tanam, di mana sebelumnya mereka telah mengembangkan hobi tanaman dan juga bisnis tanaman Anterium. Secara diskursif, pertanian organik dipilih karena memiliki biaya start-up yang lebih rendah dari pilihan agribisnis dan memberikan peluang untuk berkreasi menciptakan produk dan jasa yang bernilai tinggi. Dorongan untuk berkreasi menciptakan bisnis yang bernilai tinggi, diakui oleh Pak Soeparwan merupakan bagian dari struktur internal dirinya yang terbentuk oleh pengalaman berkarirnya di IBM. Pada dasarnya, aktor telah memiliki dasar kompetensi bisnis tersendiri yang terbentuk oleh karakter dan pengalaman hidupnya. 4.1.2. Pembangunan Kompetensi Pertanian Organik Pengambilan keputusan untuk melakukan usaha pertanian organik dengan fokus produk sayuran organik dimulai dengan menyiapkan infrastruktur berupa lahan tanah, yang disebut sebagai kebun oleh pasangan pendiri FAM Organic. Kebun seluas 3500 m2 ini terletak di daerah Parongpong, Bandung. Kemudian pasangan ini melakukan pengembangan kompetensi pertanian organik di lahan budidaya ini. Pengembangan kompetensi ini menghabiskan waktu selama setahun, dipenuhi dengan serangkaian trials and errors 245
(percobaan dan kesalahan) terkait dengan tatanan infrastruktur pertanian organik di kebun dan praktik pertanian organik. Pengetahuan praktik pertanian organik diperoleh terutama melalui internet dan buku. FAM Organic mengacu pada prinsip-prinsip pertanian organik sebagai struktur signifikasi praktik bertani yang dikembangkan oleh IFOAM. Secara finansial, FAM Organic menyatakan bahwa masa pengembangan kompetensi ini membutuhkan biaya yang cukup besar, terutama terkait dengan pengembangan tatanan infrastruktur lahan budidaya yang paling optimal. Pada masa ini, FAM Organic juga memperoleh kontrak untuk menyuplai sayuran organik pada sebuah distributor besar di Jakarta. Masa kontrak ini dimanfaatkan FAM Organic untuk mempelajari secara langsung seluk beluk penanganan pasca panen. 4.1.3. Pemantapan Pertanian Organik dan Pengembangan Lini Bisnis Baru Setelah masa kontrak dengan distributor habis, FAM Organic melakukan penjualan secara langsung melalui situs daring, penyediaan produk di kediaman pasangan pendiri FAM Organic dan memasok secara langsung beberapa pengecer premium di Kota Bandung. Harga sayuran organik yang dipatok oleh FAM Organic mencapai 2-3 kali harga sayuran produk pertanian konvensional. Saat ini FAM Organic telah berhasil mengembangkan empat lini produk utama. Pertama, sayuran organik yang terdiri dari beberapa diferensiasi produk sayuran, berupa ragam sayuran yang dipanen sebelum usia matang, ragam sayuran yang dapat ditanam di ruang media tanam yang relatif sempit dan makanan siap saji salad. Sayuran dipanen sebelum usia matang untuk menghindari risiko serangan hama. Sayuran ini dijual berdasarkan berat tertentu dan FAM Organic menerapkan mekanisme harga yang berbeda-beda bagi pembeli reseller, hotel/restauran dan konsumen. FAM Organic juga menerapkan mekanisme perjanjian pembelian rutin yang bertujuan untuk memastikan pelanggan mendapatkan suplai yang terandalkan apabila menginginkan pembelian jenis sayuran tertentu secara rutin sehubungan dengan mekanisme rotasi tanaman dan polikultur, serta risiko terjadinya pergeseran keseimbangan ekologi lokal lahan budidaya dan pengaruh faktor-faktor alamiah eksternal lahan budidaya, seperti cuaca yang menimbulkan risiko pengurangan produktivitas tanaman. FAM Organic tidak melakukan sertifikasi dan membangun rasa percaya konsumen terhadap integrasi produk melalui pembuktian konsumen secara langsung dengan melihat proses produksi di kebun dan halaman rumah pemilik FAM Organic serta interaksi langsung. FAM Organic mengedepankan edukasi produk terhadap konsumen melalui interaksi secara langsung antara konsumen. Interaksi edukatif yang seringkali informal ini terjadi dalam pertemuan langsung antara konsumen dengan FAM Organic. Pertemuan langsung ini terjadi dalam proses transaksi jual beli yang bertempat di kediaman pasangan pendiri FAM Organic dan kegiatan pelatihan halaman organik. Selain itu FAM Organic juga giat mengikuti kegiatan-kegiatan pameran dan pertemuan yang terutama bertemakan lingkungan hidup dan gaya hidup organik. FAM Organic juga sering terlibat dalam kegiatan komunitas gaya hidup organik Ruang pertemuan yang dijadikan ajang penyebarluasan pengetahuan praktik organik ini sangat beragam, mulai dari acara arisan sampai dengan acara persiapan paripurna kerja yang disiapkan oleh perusahaan-perusahaan, di mana FAM Organic merupakan nara sumber. FAM Organic juga sudah sering diminta menjadi pembicara tentang kegiatan bisnisnya di media elektronik, seperti radio dan televisi. Interaksi juga terjadi melalui situs daring mereka yang dikemas dengan apik, sangat informatif dan interaktif. Interaksi edukatif dan informatif ini menjadi salah satu kunci kekuatan pemasaran produk FAM Organic. Interaksi yang terjadi mendorong tumbuhnya relasi FAM Organic dengan beragam jenis konsumen, yang pada akhirnya menguntungkan pemasaran produk itu sendiri. Interaksi ini seringkali juga memunculkan peluang bisnis baru dan kerja sama bisnis. Kecakapan berkomunikasi dan kepiawaian mengawal interaksi menjadi salah satu kunci keberhasilan pemasaran produk berdasarkan relasi langsung produsen dan konsumen. Salah satu misi FAM Organic adalah menyebarluaskan pengetahuan tentang praktik pertanian organik. Misi ini telah diwujudkan dalam beragam cara dan media.
246
Kedua, pelatihan halaman organik dan pengembangan toko FAM Organic. Pelatihan ini bertujuan untuk menyebarluaskan praktik berkebun organik di halaman rumah yang bertujuan meningkatkan kesehatan keluarga dan kesehatan lingkungan. Pelatihan ini telah diadakan sebanyak 26 kali, setiap pelatihan diikuti rata-rata 20 peserta. FAM Organic juga mendirikan komunitas halaman organik yang ditujukan sebagai wadah pertemuan dan saling bertukar informasi para penggiat halaman organik. Saat ini FAM Organic telah berhasil mengembangkan bisnis penjualan produk-produk yang terkait dengan halaman organik, seperti bibit tanaman, media tanam, pupuk organik, peralatan berkebun dan lain sebagainya. Ketiga, eko-suvenir. Lini bisnis ini menawarkan produk berupa benih dan bibit tanaman (tanaman yang telah melalui proses pembenihan dan siap untuk ditanam lebih lanjut) untuk dijadikan suvenir pada acara pernikahan, kegiatan-kegiatan lingkungan dan lain sebagainya. Pembibitan tanaman dilakukan secara organik. Berbeda dengan eko-suvenir kebanyakan, FAM Organic menyertakan petunjuk bagaimana cara bercocok tanam secara organik dengan benih dan bibit yang dijadikan eko-suvenir. FAM Organic ingin memastikan keberlanjutan penggunaan eko-suvenir ini dan mengarahkan penerima eko-suvenir untuk mencari informasi tambahan pada situs FAM Organic, sehingga penerima suvenir dapat teredukasi lebih jauh dan sekaligus juga mengenal pertanian organik, jasa, produk serta bisnis FAM Organic. Terakhir, FAM Organic menyediakan jasa konsultasi bagi yang ingin mengembangkan pertanian organik. Untuk kemitraan, yang disebut oleh FAM Organic sebagai kemitraan ecopreneur, FAM Organic menetapkan syarat-syarat tersendiri. Syarat yang pertama, calon mitra harus mengedepankan integritas pertanian organiknya, mengedepankan sisi ekologi dengan tujuan menyehatkan lingkungan terlebih dahulu baru sisi bisnis setelahnya. Kemitraan terbuka untuk ragam jenis lini bisnis. 4.1.4. Pengembangan Bisnis Terkait dengan pengembangan bisnis FAM Organic telah memiliki rencana pengembangan bisnis lebih jauh lagi setelah berhasil memantapkan lini-lini bisnis di atas. Strategi pengembangan bisnis ke depan terbagi menjadi tiga orientasi ide atau konsep utama, yaitu: konsep suburb (pinggiran kota), konsep urban (kota) sebagaimana digambarkan di gambar episode strukturasi FAM Organic di atas dan dan konsep penyelenggaraan presentasi bisnis pertanian organik. Konsep suburb akan mengembangkan sejenis kawasan organik terintegrasi dengan prasyarat utama keberadaan kebun atau pertanian organik. Kawasan ini akan mencakup pertanian organik, eco-edutainment, eko-kuliner, lokakarya, villa peristirahatan, ekopertemuan serta penelitian dan pengembangan. Pengembangan konsep ini telah dimulai di lahan kebun di Parongpong. Sementara Toko FAM Organic adalah toko terintegrasi yang menawarkan jasa dan produk ‘dari a sampai z’ tentang halaman organik, mulai dari jasa pelatihan/konsultan/landscaping sampai dengan produk-produk yang terdiri dari benih, bibit, pupuk organik, media tanah, aneka macam peralatan berkebun yang sebagian dirancang dan diproduksi sendiri untuk memudahkan orang untuk bercocok tanam secara organik di halaman rumah. Di toko ini akan dibuat halaman organik, yang ditujukan sebagai contoh atau model halaman organik, sekaligus alat edukasi bagi pengunjung, di mana di halaman ini akan diperagakan cara-cara bercocok tanam organik aneka ragam tanaman. Bisnis ini berkembang dari pembangunan kompetensi pertanian organik yang diikuti dengan keberhasilan melakukan proses pertanian organik, penghantaran produk pertanian (komoditas), penghantaran jasa pelatihan halaman organik dan penjualan produk-produk yang terkait dengan berkebun. FAM Organic dalam pengembangan pemasaran dan bisnisnya telah menyebarluaskan norma-norma, nilai-nilai dan tatanan pengetahuan seputar pertanian organik. Terkait dengan kinerja bisnis, FAM Organic menyatakan bahwa volume penjualan komoditas (sayuran organik) berfluktuasi secara dinamis, ada masa di mana volume penjualan naik dan juga turun. Fluktuasi ini salah satunya disebabkan oleh faktor alam, yaitu pergeseran keseimbangan ekosistem dan cuaca. Pergeseran keseimbangan ini terjadi 247
secara terus menerus dan terkadang kondisi anomali cuaca mempengaruhi pengembalian keseimbangan ekosistem ini. Pengembalian keseimbangan ekosistem membutuhkan waktu untuk berproses, sehingga dalam kondisi ini ‘kerugian’ mungkin terjadi, yaitu berkurangnya volume produksi. Untuk meningkatkan nilai tambah yang lebih tinggi lagi di lini sayuran, FAM Organic mengembangkan produk salad dan bibit tanaman herbal di pot yang eksklusif. FAM Organic tidak melakukan pengambilan produk dari produsen lain untuk memenuhi permintaan. Kinerja penjualan eko-suvenir terus meningkat demikian juga dengan produkproduk yang dijual di lini halaman organik. Nilai halaman organik sebagai ruang belajar mendorong konsumen untuk membeli produk-produk yang ditawarkan seperti bibit, peralatan berkebun dan media tanam. Kinerja penjualan produk dan jasa selain sayuran organik terus meningkat. Menurut Pak Soeparwan, profit secara keseluruhan meningkat secara terus menerus. Pertanian organik menurut tipologi eko-inovasi yang dikembangkan Andersen (2008) termasuk ke dalam jenis eko-inovasi produk alternatif. Dalam konteks praktik pertanian organik, keterputusan radikal terjadi bila dibandingkan dengan praktik pertanian konvensional, hidroponik, aeroponik, GMO (genetically modified organism) dan praktek pertanian yang baik (good agricultural practice, GAP). Keterputusan radikal teknologi ini berakar dari prinsip-prinsip pertanian organik yang dimanifestasikan dalam praktik pertanian yang sehubungan dengan prinsip-prinsip yang mendasarinya, menerapkan cara, metode bertani yang berbeda dari praktik-praktik pertanian lain. Dampak-dampak eko-inovasi pertanian organik dibagi ke dalam dimensi lingkungan, kesehatan manusia dan ekonomi. Dalam konteks dimensi lingkungan, beberapa penelitian telah mencatat bahwa pertanian organik meningkatkan kesuburan dan kegemburan tanah (struktur tanah). Kesuburan tanah disebabkan oleh kandungan dan kegiatan materi organik yang lebih besar, seperti mikroba dan cacing tanah (Nemes, 2009). Struktur tanah yang lebih gembur memungkinkan penyerapan air, sehingga mengurangi kemungkinan banjir dan erosi. Meningkatnya kesuburan dan kegemburan tanah memberikan efek balik terhadap produktivitas lahan dan pertanian organik itu sendiri. Kesinambungan kondisi lahan akan mendukung kesinambungan pertanian organik. Pernyataan ini didukung oleh FAM Organic, namun tetap diperlukan adanya pengukuran dan perbandingan kuantitatif antara tingkat kesuburan dan kegemburan tanah lahan pertanian organik dan non-organik. Beberapa penelitian yang dirangkum dalam Laporan FAO (2009) mencatat ragam dampak positif produk pertanian organik bagi kesehatan manusia. Secara ekonomi, harga premium produk organik memberikan keuntungan terutama bagi para petani. Dalam konteks FAM Organic, penetapan harga produk yang lebih tinggi daripada produk pertanian konvensional dilakukan karena biaya pengembangan infrastruktur pertanian organik relatif besar. 5. KESIMPULAN Keberhasilan eko-inovasi FAM Organic terjadi karena agensi aktor yang berupa gabungan dorongan intrinsik atau motivasi aktor, kekuatan (power) aktor dalam mengembangkan kompetensi pertanian organik dan keberadaan permintaan konsumen serta struktur pasar (saluran pemasaran tradisional dan alternatif) yang dapat diakses, seperti keberadaan distributor, pengecer, saluran pemasaran langsung melalui online, komunitas organik, pameran-pameran khusus dan lain sebagainya. Unsur agensi berupa kreativitas aktor Fam Organic mendorong terjadi pengembangan produk, jasa dan bisnis secara terus menerus. Karakter kewirausahaan yang terus menerus mengenali elemen-elemen peluang bisnis dan membuat peluang (Ardichvilli, Cardozo dan Ray, 2003 dalam Paloniemi, 2010) juga terlihat. Dalam konteks strukturasi, peluang dilihat sebagai pertemuan antara kebertujuan aktor (intentionality) dengan faktor-faktor pemampu (enabler) dalam struktur realitas kehidupan sosial yang memungkinkan peluang terwujud. Kebertujuan aktor atau agensi melibatkan kecakapan kognitif mental (unsur diskursif) juga penubuhan praktik yang dipengaruhi unsur struktur masa lalu. Unsur-unsur kreativitas ini terwujud dalam karakteristik atau atribut produk, jasa dan kapabilitas manajerial (mulai dari produksi sampai pemasaran) yang khas dan membentuk daya saing tersendiri. Keberhasilan 248
FAM Organic dicirikan dengan hal-hal berikut: Penguasaan kompetensi pertanian organik (proses produksi); penguasaan kompetensi pengembangan produk dan jasa serta kompetensi dalam mengelola proses produksi dari beragam jenis produk sayuran organik dan eko-suvenir serta kompetensi dalam mengelola penghantaran jasa lain seperti jasa pelatihan halaman organik dan jasa konsultasi; penguasaan cara-cara pemasaran, terutama dengan menetapkan mekanisme pembelian rutin yang dapat mengurangi risiko pihak produsen dan juga konsumen dan kecakapan berkomunikasi dalam pemasaran dan mempromosikan pertanian organik. Saat ini FAM Organic aktif mempromosikan pertanian organik dan bisnis pertanian organik. Eko-inovasi pertanian organik FAM Organic lebih bersifat ‘technology push’ pada awalnya dan seiring dengan pembentukan pasar, FAM Organic mulai mempertimbangkan umpan balik dari konsumen untuk inovasi-inovasi lebih lanjut.
PUSTAKA Andersen, M., 2008. Eco-Innovation - Towards a Taxonomy and A Theory. 25th Celebration Druid Conference. Copenhagen, Denmark. Carillo-Hermosilla, J., del Rio, P., & Koennoela, T., 2010. Policy Strategies to Promote EcoInnovations - An Integrated Framework. Journal of Industrial Ecology, 14, 541-557. Freyer, B., & Bingen, J., 2012. The Transformation to Organic : Insight from Practice Theory. Organic Food and Agriculture - New Trends and Developments in the Social Sciences, pp. 169-197. Geels, F., 2010. Ontologies, Socio-Technical Transitions (to Sustainability), and the MultiLevel Perpective. Research Policy, 39, 495-510. Giddens, A., 1984. Teori Strukturasi. Indonesia: Penerbit Balai Pustaka. Grin, J., Smith, A., & Voss , J., 2010. Innovation Studies and Sustainability Transitions : The Allure of the Multi-Level Perpective and Its Challanges. Research Policy, 39, 435-448. Nemes, N., 2009. Comparative Analysis of Organic and Non Organic Farming Systems : A Critical Assessment of Farm Profitability. USA: Food and Agriculture Organization of the United Nations. OECD., 2005. Oslo Manual: Guidelines for Collecting and Interpreting Innovation Data. Third Edition. Paris: OECD. OECD., 2008a. Environmental Innovation and Global Markets. Paris: OECD. OECD., 2008b. Environmental Innovation and Global Markets, Working Party on Global and Structural Policies. OECD. OECD., 2009a. Sustainable Manufacturing and Eco-Innovation. Framework, Practices and Measurement. Paris: Synthesis Report. OECD., 2009b. Sustainable Manufacturing and Eco-Innovation: Towards a Green Economy. Policy Brief. Paloniemi, K., 2010. Creating Business Opportunities - A Critical Realist Perspective. University of Oulu, Department of Management, Faculty of Economics and Business Administration. Oulu, Finland: University of Oulu. Schatzki, R., 2012. A Primer on Practices : Theory and Research. United States of America: Sense Publishers. Shove, E., Pantzar, M., & Watson, M., 2012. The Dynamics of Social Practice: Everyday Life and How It Changes. Sage Publications. Yin, R. K., 2003. Case Study Research: Design and Methods. United States of America: Sage Publications.
249
MODEL AGRIBISNIS PEDESAAN LAHAN KERING YANG RAMAH LINGKUNGAN (Kasus Sistem Integrasi Tanaman dan Ternak (SITT) di Kabupaten Blora) 1
1,2
2
Wasito , Andriati Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BBP2TP) Jl. Tentara Pelajar no. 10 Bogor, 1 Email:
[email protected]
ABSTRAK Kabupaten Blora, salah satu wilayah lahan kering dan marginal di Propinsi Jawa Tengah. Keluarga petani miskin menyebar secara merata, berdasarkan 11 indikator Bantuan Langsung Tunai (BLT) (39,5 persen), keluarga pra sejahtera (> 50 persen). Adopsi dan pengembangan Sistem Integrasi Tanaman dan Ternak (SITT) (pangan dan sapi) telah terjadi secara berkelanjutan. Untuk mengetahui SITT sebagai inovasi frugal, inovasi yang hemat dan ramah lingkungan telah dilakukan kajian dan pengumpulan data primer secara cross-sectional. Kajian diawali dengan mengamati dan melibatkan diri pada komunitas petani (innovator, adopter, petani miskin) dalam konteks yang alami (natural setting), diskusi kelompok terfokus dan wawancara mendalam pada petani dan petugas lapangan. Hasil kajian, inovasi SITT yang frugal merupakan inovasi proses yang mampu memberikan solusi masalah dengan harga terjangkau pada petani lapisan bawah di tengah-tengah keterbatasan sumberdaya, dan akses terhadap institusional. Keunggulan dampak penerapan teknologi SITT bisa diamati, tidak bertentangan kondisi sosial budaya, mudah diaplikasikan tanpa pendampingan, dan menguntungkan. Tolok ukur sifat inovasi SITT dari tingkat: (a) kerumitan, (b) mudah dicobakan, (c) mudah diamati, (d) kesesuaian dengan lingkungan, (e) dan keuntungan relatif. Persepsi keberlanjutan SITT dengan indikator (a) pengelolaan SITT, (b) SITT dan pemenuhan kebutuhan pokok, (c) keberlanjutan SITT, (d) pengaturan fungsi kelembagaan SITT. Hasilnya harus ada peningkatan usaha SITT sekitar 37,60 persen. SITT sebagai inovasi pertanian yang frugal (hemat dan ramah lingkungan), serta berwawasan agribisnis dan berpihak pada petani miskin, serta dapat mewujudkan pembangunan pertanian yang berkelanjutan. Kata kunci : SITT, agribisnis, Blora.
1. PENDAHULUAN Kabupaten Blora terbagi dalam 16 kecamatan, 271 desa, dan 24 kelurahan, 941 dusun, 1.204 rukun warga dan 5.429 rukun tetangga. Menurut luas penggunaan lahan, lahan terbesar adalah hutan (49,51%), lahan sawah (25,33%) dan tegalan (14,43%). Padi sawah merupakan komoditas unggulan tanaman pangan, juga jagung yang sumber pakan ternak sapi. Produksi jagung mengalami kenaikan 69,62% diakibatkan adanya luas panen jagung yang cukup tinggi dari 44.998 hektar menjadi 62.666 hektar. Secara umum, ekonomi Kab. Blora masih didominasi sektor pertanian (pangan, perkebunan, peternakan, kehutanan, perikanan), besar sumbangan terhadap PDRB sebesar 54,90 persen (BPS Blora, 2009). Penguasaan lahan sempit dan tipologi lahan kering, curah hujan rendah di Kab. Blora merupakan kendala dalam peningkatan pendapatan keluarga petani. Selain itu, pembangunan pertanian di lahan marjinal ini umumnya masih tertinggal, dan kurang mendapat prioritas oleh pemerintah dimasa lalu. Sistem bertani dengan tujuan utama masih untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga, inilah yang biasanya menjadi kantongkantong wilayah kemiskinan. Blora merupakan kabupaten dengan jumlah ternak terbanyak terutama sapi potong di tingkat Propinsi Jawa Tengah. Sistem integrasi tanaman ternak (SITT) (pangan dan sapi potong) telah diadopsi dan memasyarakat, tetapi terbatas hanya penggunaan jerami tanpa fermentasi sebagai pakan ternak sapi. Sistem manajemen kelompok yang belum memadai diduga mengakibatkan anggota belum menerapkan bahan organik secara optimal. Pengetahuan tentang jerami perlu dikembalikan ke lahan sawah, dengan cara dibenamkan atau diolah menjadi kompos, atau dijadikan pakan ternak setelah melalui proses fermentasi jerami, sehingga kotoran ternak minimal telah mengalami proses dekomposer belum menjadi pilihan masyarakat petani. Untuk memberi gambaran yang lebih seksama tentang SITT 250
sebagai inovasi frugal dalam sistem agribisnis pedesaan lahan kering yang ramah lingkungan di Kabupaten Blora, telah dilakukan kajian pada tahun 2008 dan 2011. Hasil kajian dipaparkan secara sederhana pada artikel ini. 2. METODOLOGI 2.1. Sampel Lokasi Pemilihan lokasi kajian dilakukan secara purposive sampling untuk mengetahui potensi sistem integrasi ternak dan tanaman (sapi dan tanaman pangan) di desa Nglengkir dan Tempurejo (Kec. Bogorejo); Bogorejo dan Ngiyono (Kec. Japah); Ngeliron dan Kalisari (Kec. Randublatung). 2.2. Metode Pengkajian Kajian lapang, telah dilakukan survei pada tahun 2008 dan 2011. Kajian bersifat crosssectional, pengambilan data primer diawali pengamatan partisipatif dalam konteks yang alami (natural setting) (Denzin, dan Lincoln, 1994), diskusi kelompok terfokus (focus group discussion, FGD), dan wawancara mendalam, serta kajian penelitian terdahulu. Kajian data primer dilakukan secara berjenjang di tingkat kecamatan dengan kordinator penyuluh kecamatan, penyuluh lapangan, dan kepala/staf UPT dinas pertanian kecamatan (8—10 responden). Selanjutnya, di desa dengan pengurus poktan, Gapoktan, petani perintis dan adopter, serta petani miskin (10—15 responden). 2.3. Metode Pengukuran 2.3.1. Pengukuran terhadap sifat inovasi SITT Tolok ukur terhadap sifat inovasi (Rogers dan Shoemaker, 1971; Rogers, 1983) SITT dari keunggulan teknis, ekonomis, sosial-budaya, yang meliputi (a) tingkat kerumitan inovasi, (b) kemudahan inovasi dicobakan, (c) kemudahan inovasi diamati, (d) kesesuaian inovasi dengan lingkungan, (e) tingkat keunggulan relatif inovasi. 2.3.2. Pengukuran Persepsi Terhadap Keberlanjutan SITT Pengukuran persepsi mengacu pada Azwar (1995), dalam bentuk skala Likert dan Semantik differentials, dengan pemberian skor 5 : sangat .. ; 4 : cukup sekali.. ; 3 : cukup .....; 2 : kurang ..; 1 : tidak ... Persepsi dasar pembentukan sikap dan perilaku. Analisis persepsi SITT berdimensi keberlanjutan (bobot : bt : 1,00), mengadaptasi pemberdayaan LMDH (Awang et.al., 2008) dan Proses Hirarki Analitik, AHP Saaty (1993), meliputi aspek : Z1 : sosial : persepsi pengelolaan SITT (bt : 0,30); Z2 : ekonomi = persepsi pemenuhan kebutuhan pokok (bt : 0,50); Z3 : ekologi = persepsi keberlanjutan SITT (bt : 0,10); Z4 : kelembagaan : persepsi pengaturan fungsi kelembagaan (bt : 0,10). Nilai bobot untuk masing-masing aspek menunjukan tingkat kepentingan. Penilaian dimensi, indikator, bobot, dan skor berdasarkan kesepakatan peneliti dengan responden. Nilai akhir setiap aspek merupakan bobot x skor. 2.3.3. Analisis Data Analisis deskriptif untuk menganalisis metode pendekatan secara kualitatif, untuk menemukan makna yang melandasi kajian (Bungin 2003, Siegal, 1988). Prinsipnya dengan menyusun dalam kelompok yang setara, mentabulasi, dideskripsikan, dan diintrepretasikan. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Potensi Wilayah dan Sosial Ekonomi Petani Kecamatan Randublatung dan Japah dominan daerah kawasan hutan jati (65,69% dan 54,33%) masih produktif. Areal pertanian (sawah, lahan kering) di Bogorejo dominan (63,36%), di Japah (39,52) (Tabel 1).
251
Tabel 1. Penggunaan Utama/Kecamatan Kecamatan Bogorejo Randublatung Japah
Sawah 26,28 16,59 20,41
Sumber : BPS Kab. Blora (2010)
Lahan Tegalan 37,08 9,59 19,11
(%),
Populasi
Hutan 24,13 65,69 54,33
Sapi 20.026 20.178 20.243
Ternak Kado 8.133 18.784 7.424
(Ekor), Unggas 189.140 144.678 133.324
Produksi Padi 5.845 17.116 17.166
Pangan Jagung 20.942 36.951 16.740
kado = kambing/domba
Komoditas sapi, unggas, padi dan jagung berpotensi di seluruh kecamatan, beras jagung juga menjadi makanan pokok masyarakat. Tanaman jagung toleran terhadap kekeringan, sesuai dengan kondisi rata-rata hari hujan di Blora atau daerah kajian pada tahun 2001— 2005, yaitu 64 hari (44–-74 hari), curah hujan 1.268 mm (809–-1.566 mm), daerah lahan kering. Sebagian besar masyarakat mengandalkan mata pencaharian di sektor pertanian. Mayoritas tamatan SD, dan minoritas pendidikan SMP dan SMA. Namun semangat dan motivasi warga Blora dalam bekerja cukup tinggi (bekerja dengan ikhlas dan perwujudan ibadah). Rintangan dan cobaan dalam hidup harus dihadapi dengan pasrah dan nrimo, menjadi satu pemicu masyarakat desa dalam menghadapi berbagai cobaan berat. Mereka menganggap tanah tidak saja bernilai tinggi dari berbagai aspek, juga mempunyai nilai sosial dan ekonomi. Secara sosial, tanah mempunyai makna sebagai tempat tinggal dan tempat berkumpulnya sanak saudara. Hanya sedikit sekali warga menyewa lahan atau melakukan pengolahan lahan dengan sistim bagi hasil; meskipun rata-rata kepemilikan lahan mereka terbatas namun lahan tersebut tetap digarap. Luas penguasaan lahan umumnya mencapai 60 – 65% dengan luasan hanya kurang dari 0,5 ha/KK. 3.2. Ternak Sapi Sebagai Tabungan Keluarga Miskin Ternak sapi dan unggas merupakan ternak dominan, sekitar 85% setiap keluarga memiliki sapi, hampir 100% memiliki ayam buras. Ternak sapi sebagai tabungan masa depan untuk hal-hal yang memerlukan biaya besar pada keluarga tidak miskin, dan keluarga miskin. Sedangkan ayam buras sebagai tabungan tidak terduga (Wasito, 2010). Angka kemiskinan berdasarkan keluarga miskin penerima bantuan langsung tunai (BLT) (BPS Kab. Blora, 2006) di Kecamatan Bogorejo (38,76%), Randublatung (43,24) dan Japah (43,75) tinggi (Tabel 5), demikian halnya berdasarkan tingkat kemiskinan (keluarga pra sejahtera) cukup tinggi (63,02%; 62,59%; dan 52,85%) (2003 – 2005).
3.3. SITT : Sapi dan Tanaman Pangan Usaha ternak sapi di Kabupaten Blora sangat potensial (posisi 1, nilai 3) di tingkat mikro, juga usahatani padi, ayam buras, dan kambing. Usaha ternak sapi potensial (posisi 2), nilai 2,25 di Randublatung, Japah (2,25), Bogorejo (2,13) di tingkat makro, sedangkan ayam buras dan kambing pada posisi 3 dan 4 di Randublatung dan Japah, serta 2 dan 3 di Bogorejo (Wasito, 2010). Hal ini berdasarkan penilaian posisi komoditas potensial di tingkat makro (kecamatan) dengan indikator: (a) peluang pasar (besarnya peluang komoditi dalam mengembangkan usaha berdasarkan permintaan); (b) kondisi iklim (kondisi tanah cocok, iklim, suhu, kelembaban, dan curah hujan sangat mendukung perkembangan komoditi); (c) 252
tingkat keuntungan usaha (besarnya keuntungan dari usahatani komoditi yang dikelola); (d) preferensi petani (tingkat kesukaan dan budaya petani terhadap komoditi); (e) arah kebijakan pemerintah (kesesuaian komoditas dengan kebijakan untuk pengembangan); (f) penyerapan tenaga kerja (usahatani komoditi dapat menyerap tenaga kerja). SITT telah diadopsi dan memasyarakat di wilayah kajian, walaupun terbatas hanya penggunaan jerami tanpa fermentasi sebagai pakan ternak, atau kotoran ternak tanpa dekomposer sebagai pupuk. Bahan fermentasi dan dekomposer yang tidak mudah memperolehnya, dan sistem manajemen kelompok yang belum optimal, diduga sebagai sebab tidak diadopsinya kedua bahan tersebut. Selain itu, pengetahuan tentang jerami perlu dikembalikan ke lahan sawah sebagai kompos, dengan cara dibenamkan atau diolah menjadi kompos, atau dijadikan pakan ternak melalui proses fermentasi, kotoran ternak yang mengalami proses dekomposer belum menjadi pilihan bertindak masyarakat petani. Inovasi frugal pada SITT ini bekerja pada pemanfaatan limbah pertanian, ternak sehingga bernilai ekonomi kreatif. Pemenuhan kebutuhan limbah pertanian sebagai pakan ternak, dan limbah ternak untuk kesuburan lahan menciptakan budaya kreatif di lingkungan masyarakat petani maupun pengembang dalam menghasilkan sebuah produk kreatif yang mempunyai nilai ekonomis dan bermanfaat bagi masyarakat petani berbagai lapisan di wilayah kajian. Strategi pengembangan SITT yang frugal ini, sebagai inovasi yang murah dan mampu meningkatkan kualitas hidup sebagian besar masyarakat petani, juga yang masih berada pada kelompok sosial ekonomi bawah. Inovasi SITT diyakini dapat menawarkan solusi bagi masalah yang dihadapi oleh masyarakat lapisan bawah sampai atas dengan input produksi pertanian rendah. Artinya inovasi SITT yang frugal merupakan inovasi proses yang mampu memberikan solusi masalah dengan harga terjangkau oleh petani lapisan bawah di tengahtengah keterbatasan sumberdaya, dan akses terhadap institusional. Inovasi SITT yang diadopsi dan telah terjadi difusi inovasi, baik pada berbagai lapisan masyarakat petani di Kabupaten Blora ini dalam pengembangannya sebagai sebuah fenomena sosial ekonomi dalam sebuah sistem kemasyarakatan. 3.4. Sifat Inovasi SITT Komponen teknologi SITT yang dikaji adalah (a) pakan, pemanfaatan limbah tanaman pangan; (b) bahan organik kotoran sapi untuk tanaman; dan (c) tatalaksana pemeliharaan sapi. Sifat inovasi SITT, salah satu faktor yang mempengaruhi difusi inovasi yang berujung pada proses adopsi teknologi SITT. Hal ini dipengaruhi beberapa faktor selain saluran komunikasi, waktu dan sistem sosial (Rogers, 1983). Bagi petani penerima inovasi (”adopter”), keputusan untuk menerima atau menolak suatu inovasi baru, sesuai Rogers dan Shoemaker (1971); Rogers (1983) dalam teori Diffusion of Innovasion-nya akan dipengaruhi lima atribut inovasi yang diintroduksikan, yaitu: (a) tingkat kerumitan (compleksity) inovasi, (b) kemudahan inovasi dicobakan (trialability), (c) kemudahan inovasi diamati (observability), maupun sifat eksterinsik (d) kesesuaian (compatibility) inovasi dengan lingkungan, (e) tingkat keunggulan atau keuntungan relatif (relative advantage) dari inovasi yang ditawarkan. Sifat inovasinya sendiri, baik sifat intrinsik, memiliki keunggulan teknis/ekonomis/sosial-budaya/politik yang melekat pada inovasi.
253
adopsi 80 70 60 50 40 30 20 10 Sifat inovasi
0 Dampak, diamati
Sesuai sosbud
Aplikatif
Untungkan
Gambar 1. Sifat-sifat inovasi SITT dan adopsi
Sifat inovasi SITT sebagai inovasi frugal yang paling mempengaruhi petani mengadopsi adalah dampak dari penerapan teknologi bisa diamati (± 80 persen), berikutnya tidak bertentangan dengan kondisi sosial budaya petani setempat (± 70 persen), mudah diaplikasikan tanpa memerlukan pendampingan peneliti/penyuluh (± 60 persen), serta menguntugkan (± 60 persen) karena menekan biaya produksi dan meningkatkan produktivitas (Gambar 1). Lima sifat inovasi juga telah dikaji Mundy (2000). Menurut Rogers (1995) bahwa sifat inovasi merupakan bagian penting dari sebuah proses adopsi karena faktor tersebut nantinya akan berfungsi sebagai alat (tool) dalam tahapan persuasif sebelum penerima inovasi mengambil keputusan untuk mengadopsi atau menolak suatu inovasi. Selain itu, faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan mengadopsi sistem pertanian organik adalah (1) kondisi sistem pertanian intensif, (2) sifat-sifat teknologi sistem pertanian organik, (3) kondisi sosial ekonomi petani pengadopsi, dan (4) pengalaman petani dalam bereksperimen (Purwanto, 2003). Artinya konsep inovasi SITT yang frugal tersebut akan merespon terhadap keterbatasan sumberdaya (alam, manusia), baik keuangan, material maupun institusional, dan menggunakan berbagai metode yang merubah hambatan menjadi keuntungan. Inovasi SITT yang frugal ini meminimalkan penggunaan sumber daya dalam pengembangan dan produktivitas, dengan memanfaatkan cara-cara baru sehingga dapat menghasilkan produk yang lebih murah. 3.5. Persepsi Terhadap Keberlanjutan SITT Persepsi terhadap keberlanjutan SITT (adaptasi Awang et.al, 2008), meliputi indikator (a) pengelolaan SITT, (b) SITT dan pemenuhan kebutuhan pokok, (c) keberlanjutan SITT, (d) pengaturan fungsi kelembagaan SITT. Pemberian skor untuk pengukuran persepsi terhadap SITT adalah 1 - 5, skor ideal = 5. Sehingga, nilai ideal (bobot x skor ideal) pada aspek sosial (1,50), ekonomi (1,50 dan 1,00), ekologi (0,50), dan kelembagaan (0,50), nilai total adalah 5,00 (Tabel 2). Rincian penilaian persepsi terhadap SITT (nilai evaluasi = bobot x nilai kriteria) pada aspek sosial (0,97), ekonomi (0,90 dan 0,60), ekologi (0,35), dan kelembagaan (0,30). Nilai evaluasi total adalah 3,12, sedangkan nilai ideal total adalah 5,00, sehingga perlu mengejar ketertinggalan sebesar 1,88. Hasil analisis persepsi terhadap SITT berdimensi keberlanjutan berdasarkan aspek sosial, ekonomi, ekologi, kelembagaan (indikator A – Y), menghasilkan nilai total adalah 3,12, sementara nilai ideal yang harus dicapai adalah 5,00. Untuk mengejar ketertinggalan sebesar 1,88 perlu upaya pembenahan pelaksanaan SITT. Artinya harus ada peningkatan usaha SITT sekitar 37,60 persen agar mencapai nilai yang tertinggi (100%) dalam pengelolaan potensi ternak sapi sebagai sistem nafkah keluarga, terutama petani miskin dalam memenuhi kebutuhan pokok.
254
Tabel 2. Persepsi terhadap SITT dan keberlanjutanya Aspek Indikator (X) Bobot (Y) Nilai (Z = X x Y) Prinsip Kriteria Evaluasi Sosial A, B, C 0,30 3,25 0,97 Ekonomi D, E, 0,30 3,00 0,90 F, G 0,20 3,00 0,60 Ekologi H, I 0,10 3,50 0,35 Lembaga Y 0,10 3,00 0,30 1,00 5.1.1. 3,12
(P) Nilai Ideal 1,50 1,50 1,00 0,50 0,50 5,00
(P – Z) Nilai selisih 0,53 0,60 0,40 0,15 0,20 1,88
Keterangan : A = Penguatan kesadaran dan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan SITT, B = Partisipasi petani untuk pengelolaan SITT, C = Menurunnya konflik antara pemerintah dengan masyarakat D = Masyarakat terlibat kegiatan SITT berbasis agribisnis, E = Poktan/gapoktan mendapatkan bagi hasil yang sesuai untuk pembangunan desa, F = Tersedia bahan pangan/non pangan tiap musim, atau pakan ternak di musim kemarau, G = Pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat terjamin, H = Keseimbangan dan keberlanjutan SITT, I = Keamanan SITT terjaga dari gangguan, Y = Kerjasama Poktan/gapoktan, masyarakat, hubungan sejajar, & pengaturan fungsi internal lembaga,
SITT sebagai inovasi pertanian terpadu yang hemat dan ramah lingkungan. Selain itu berwawasan agribisnis, berpihak pada petani miskin (Wasito, 2010, 2011), dan berguna mewujudkan pembangunan pertanian yang berkelanjutan (Pamungkaswati, 2005). Ternak yang diintegrasikan dengan tanaman pangan untuk mencapai kombinasi yang optimal, dimana dengan kombinasi tersebut diharapkan input produksi menjadi lebih rendah (zero waste/low input). Sedangkan produksi ternak dan pangan didorong menjadi setinggitingginya. Titik perhatian dan prinsip dalam SITT ini menekan resiko usaha karena adanya diversifikasi usaha dan kelestarian sumberdaya lahan. Selain itu, dalam SITT komponen agroekosistem disusun dalam suatu bentuk kombinasi yang memiliki sifat saling melengkapi (komplementer) dan berhubungan dengan interaksi yang bersifat sinergis (positif), selaras Diwyanto dan Handiwirawan (2004). Pilihan teknologi yang tepat untuk dikembangkan harus mempertim-bangkan aspek-aspek keberlanjutan, ramah lingkungan, secara ekonomi layak, secara sosial diterima, dan diterima secara politis (Diwyanto, 2002). Oleh karena itu, agar akses terhadap ketersediaan input produksi, inovasi/teknologi, dan pasar optimal diperlukan Poktan/Gapoktan yang memiliki kompetensi khusus, untuk menunjang keberhasilan SITT secara berkelanjutan. Selain itu guna menghasilkan produksi yang meningkat, diperlukan inovasi yang bisa diadopsi oleh petani, Poktan/Gapoktan (Gambar 2).
Usaha ternak : Inovasi SITT Balitbangtan
Peningkatan Produksi
POKTAN/GAPOKTAN
Modal kuat, Mandiri, LKM, F. kelembagaan kuat Perilaku agribisnis Penguatan Peningkatan SITT meningkat, Modal pendapatan Kesempatan kerja, pengangguran turun Angka kemiskinan berkurang Gambar 2. Konsep Dasar Usaha Produktif SITT Berkelanjutan Poktan/Gapoktan
Poktan Gapoktan
Usahatani padi
KKerja/LKM
PASAR
255
Inovasi SITT sebagai inovasi yang frugal memberikan dampak menguntungkan bagi lingkungan, terlepas dari dampak yang dapat ditunjukkan secara langsung (dampak jangka pendek), atau tidak langsung (dampak jangka menengah atau panjang). Inovasi SITT yang frugal ini cenderung terkait dengan inovasi yang mengarah pada tiga dimensi pembangunan berkelanjutan (environmental protection, economic development dan social equity), dimana inovasi mengedepankan dimensi perlindungan lingkungan. Pada prinsipnya, inovasi SITT yang frugal ini memiliki arti tidak hanya biaya yang murah tetapi juga bagaimana suatu produk dirancang, diproduksi, didistribusikan, dan dipelihara sesuai dengan fungsi yang dibutuhkan oleh petani, dengan memperhatikan batasan sumberdaya (alam dan manusia). Selain itu, pada petani berbagai lapisan yang sering terganjal oleh faktor biaya produksi usahatani yang mahal, tetapi SITT sebagai inovasi frugal dipandang cocok untuk dikembangkan. Kondisi sumberdaya alam dan manusia serta kebijakan pemerintah sangat mempengaruhi berlangsungnya aktivitas pelaksana SITT sebagai inovasi frugal. Selain itu, secara umum produk yang dihasilkan inovasi SITT sebagai inovasi frugal memiliki karakteristik antara lain : (1) produk dengan biaya rendah (low cost), (2) tepat guna sebab inovasi berangkat dari permasalahan-permasalahan yang ditemui di masyarakat petani, (3) menggunakan sumber daya lokal. Keberhasilan inovasi SITT tidak hanya ditentukan oleh biaya yang rendah, memberikan keunggulan alternatif dan dapat dibuat dalam skala kecil, menengah, atau skala besar. Walaupun tidak selalu, inovasi SITT yang frugal secara eksplisit memiliki misi sosial. 4. KESIMPULAN Ternak sapi sebagai tabungan masa depan. SITT yang telah diadopsi masih terbatas penggunaan jerami dan pupuk kandang tanpa fermentasi dan dekomposer sebagai pakan ternak sapi dan pupuk tanaman. Kedua bahan tersebut tidak mudah memperolehnya. Selain itu sistem manajemen kelompok yang belum optimal. Inovasi SITT yang frugal ini mampu memberikan solusi masalah dengan harga terjangkau pada petani lapisan bawah di tengah keterbatasan sumberdaya, dan akses terhadap institusional. Sifat inovasi SITT yang frugal mempengaruhi petani mengadopsi dengan dampak dari penerapan teknologi bisa diamati, tidak bertentangan dengan kondisi sosial budaya, mudah diaplikasikan, serta menguntungkan. Inovasi SITT yang frugal diadopsi dan telah mendifusi pada berbagai lapisan masyarakat petani di Kab. Blora sebagai sebuah fenomena dalam sebuah sistem sosial ekonomi petani. Persepsi terhadap inovasi SITT berdimensi keberlanjutan (aspek sosial, ekonomi, ekologi, kelembagaan) menghasilkan nilai total 3,12, sementara nilai ideal adalah 5,00. Untuk mengejar ketertinggalan 37,60 persen perlu upaya pembenahan pelaksanaan SITT. Inovasi SITT yang frugal memberikan dampak menguntungkan bagi lingkungan secara langsung (jangka pendek), namun masih memerlukan pembenahan agar dampak tidak langsung (jangka menengah, panjang) lebih baik. Inovasi SITT yang frugal ini terkait dengan inovasi yang mengarah pada tiga dimensi pembangunan berkelanjutan, mengedepankan dimensi perlindungan lingkungan. PUSTAKA Bungin, B., 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. PT. Raja Grafindo Persada. BPS (Badan Pusat Statistik) dan Bappeda Kabupaten Blora, 2009. Blora dalam Angka 2009. Kerjasama BPS – Bappeda Kab. Blora. p. 268. Badan Pusat Statistik Kab. Blora, 2006. Data PSE 05, Bantuan Tunai Langsung (BLT) Blora. BPS (Badan Pusat Statistik) Kab. Blora, 2003. Profil Pertanian Kab. Blora Tahun 2003. BPS (Badan Pusat Statistik) dan Bappeda Kab. Blora, 2009. Kecamatan Randublatung, Bogorejo, Japah dalam Angka 2009. Kerjasama BPS – Bappeda Blora. p.69.
256
Denzin, Norman K. dan Y.S. Lincoln, 1994. Introduction, Entering the Field of Qualitative Research dalam Denzin, Norman K. dan Y.S. Lincoln (ed.) 1994. Handbook of Qualitative Research. SAGE Publication. Diwyanto, K dan Eko H., 2004. Peran Litbang Dalam Mendukung Usaha Agribisnis Pola Integrasi Tanaman – Ternak. Prosiding Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman – Ternak. Puslitbangnak bekerjasama dengan BPTP Bali dan Casren. p. 63 – 73. Diwyanto, K., 2002. Pemanfaatan Sumberdaya Lokal dan Inovasi Teknologi dalam Mendukung Pengembangan Sapi Potong di Indonesia. Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama. Puslitbangnak Bogor. Pamungkaswati, A., 2005. Posisi Ternak Dalam Komoditas Budidaya Pertanian di Kabupaten Blora, Jawa Tengah (Studi Kasus di Kecamatan Randublatung, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Skripsi Departemen Sosial Ekonomi Industri Peternakan, Fak. Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Tidak publikasi. Purwanto, A., 2003. Proses Adopsi dan Difusi Teknologi Sistem Pertanian Organik. Stdui Kasus Usahatani Padi Organik di Desa Kutogirang, Kecamatan Ngoro dan Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Seloliman Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto: Undergraduate Theses from JIPTUMM. Mundy, P., 2000. Adopsi dan Adaptasi Teknologi Baru. Training and Communication Specialist. PAATP3. November 2000. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. Rogers, E. M., 1983. Diffussion of Innovation. Canada: The Free Press of Mac. Publishing Co. Rogers, E.M., 1995. Diffusion of Innovations (Fourth Edition), New York, Free Press. Rogers, E.M. dan F.F. Shoemaker, 1971. Communication of Inovation. New York. Rogers, E.M dan L. Kincaid, 1981. Communication Network to ward a New Paradigm For Research. The Free Press. New York. Siegal, S., 1988. Statistik Non Parametrik Untuk Ilmu-ilmu Sosial. PT. Gramedia, Jakarta Wasito, 2011. Sistem Integrasi Padi dan Ternak Sapi Kelompok Tani Mawar di Perbaungan (Kab. Serdang Bedagai) Menuju Peningkatan Ketahanan Pangan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, 3 – 4 Agustus 2010. Puslitbang Peternakan. 2011. Wasito, 2010. Potensi Ternak Sapi pada Usaha Pertanian di Kabupaten Blora (Kasus : Kecamatan Bogorejo, Japah, dan Randublatung, Kabupaten Blora). Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010. Puslitbangnak, Badan Litbang Pertanian. p.428 – 437.
257
APLIKASI TEKNOLOGI BERBASIS SISTEM INFORMASI MANAJEMEN UNTUK MENGEFISIENKAN KUALITAS LAYANAN LOGISTIK DI PT DMK SURABAYA 1
1,2
2
Fitri Novika Widjaja , Siti Rahayu Jurusan Manajemen, Fakultas Bisnis dan Ekonomika, Universitas Surabaya Jl. Raya Kalirungkut Surabaya 1 2 E-mail:
[email protected],
[email protected]
ABSTRAK Semakin meningkatnya aktivitas ekonomi baik nasional maupun global mendorong pergerakan arus barang yang semakin meningkat. Untuk itu, perusahaan yang bergerak di bidang logistik juga semakin bertambah banyak. Meningkatnya persaingan antar perusahaan logistik membuat perusahaan yang bergerak dalam bidang tersebut harus meningkatkan layanannya dari waktu ke waktu. PT DMK merupakan perusahaan logistik yang melihat adanya berbagai kelemahan dan ketidakefisienan pada layanan logistik yang dilakukan saat ini. Untuk itu, perusahaan ini berusaha meningkatkan kualitas layanan logistiknya dengan aplikasi teknologi dari elemen: personel contact quality, order release quantities, information quality, ordering procedures, order accuracy, order condition, order quality, order discrepancy handling dan timeliness. Aplikasi teknologi di PT DMK ini berhasil meningkatkan efisiensi perusahaan yang diukur berdasarkan elemen-elemen dari kualitas layanan logistik. Kata Kunci: logistik, kualitas layanan, sistem informasi manajemen
1. PENDAHULUAN 1.1. Pertumbuhan Ekonomi dan Industri Logistik Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2012 diperkirakan masih tetap stabil dan mampu bertahan dari gejolak ekonomi yang melanda Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Pertumbuhan diprediksi tetap membaik sampai akhir 2011 dan sepanjang 2012 karena didukung oleh konsumsi dan investasi swasta. Basis konsumsi domestik yang didukung demografi penduduk merupakan salah satu pemicu investor untuk berinvestasi di Indonesia. Untuk menarik investor, pemerintah juga perlu menyelesaikan beberapa hal yang berkaitan dengan reformasi struktural, seperti UU ketenagakerjaan, kebijakan yang memudahkan untuk melakukan bisnis dan melakukan pembenahan infrastruktur. Bisnis yang terkait kegiatan ekspor impor, pengiriman, dan pengangkutan udara akan tetap kuat karena kegiatan perdagangan eksternal terus berkelanjutan dan tumbuh. Diperkirakan barang konsumsi harian dan ritel (consumer goods) serta jasa logistik suku cadang akan menjadi sentra pertumbuhan sektor logistik di Indonesia. Apalagi dengan populasi lebih dari 230 juta jiwa dan wilayah geografis luas akan membuat pertumbuhan pangsa pasar logistik lebih besar. Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) menargetkan pendapatan industri logistik diperkirakan tumbuh 14,2% hingga Rp 1,408 triliun, setara US$ 153,54 miliar tahun ini dari realisasi tahun lalu Rp 1,233 triliun, setara US$ 134,46 miliar. Pertumbuhan bisnis logistik dipicu tingginya konsumsi domestik yang diperkirakan terjadi pada 2012 ini. Jika pemerintah bisa menyiapkan kebutuhan setiap bidang industri, diperkirakan industri logistik tahun ini bisa tumbuh 20% bahkan 30%. Seiring dengan pertumbuhan industri logistik, kinerja perdagangan Indonesia juga diperkirakan meningkat. Kinerja perdagangan tersebut diperkirakan akan tumbuh 32,5% menjadi US$ 514,2 miliar tahun ini. Tidak hanya perdagangan domestik, tetapi juga perdagangan internasional. Pertumbuhan penanaman modal asing (PMA) pada 2012 diperkirakan US$ 21,5 miliar. Sampai 2016, diprediksi industri transportasi dan logistik akan tumbuh rata-rata sebesar 14,7% mencapai Rp 2,442 triliun atau setara dengan US$ 266,3 miliar pada 2016. Pertumbuhan ekonomi yang pesat juga dialami oleh Jawa Timur. Pertumbuhan ekonomi Jawa Timur pada semester I 2012 mencapai 7,2% (yoy) atau lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional (6,4%). Pesatnya laju perekonomian di berbagai sektor di Jawa Timur, turut mendorong perputaran roda bisnis logistik dan forwarding, terutama kota Surabaya yang menjadi salah satu pintu perdagangan di kawasan Indonesia Timur. 258
Surabaya sebagai pusat pertumbuhan ekonomi Jawa Timur berpeluang menjadi kota investasi yang sangat prospektif. Kejenuhan pasar di Jakarta membuat Surabaya punya peluang untuk tumbuh lebih cepat sekaligus mengerek perekonomian Jatim. Perkembangan yang pesat di Indonesia timur membuat Surabaya menjadi pintu bagi pasar Indonesia timur. Surabaya sebagai kota yang didesain menjadi pusat jasa dan perdagangan telah terbukti bisa menjadi tempat yang layak untuk berinvestasi PT DMK merupakan salah satu perusahaan yang bergerak di bidang logistik yang berlokasi di Cargo area Bandara Juanda Surabaya. Selain itu, perusahaan ini tergolong badan usaha yang berbadan hukum perseroan terbatas. Dalam bidang usahanya, perusahaan ini memberikan pelayanan jasa ekspedisi pengangkutan barang melalui udara dari Port to Port, Port to Door, Door to Door, dan juga memberikan pelayanan jasa pengangkutan barang dengan menggunakan Kapal Laut serta Trucking. Layanan perusahaan ini meliputi: (1) Pengiriman barang Via Udara: Pengiriman barang via udara dilayani dengan beberapa maskapai penerbangan lokal, antara lain Garuda Indonesia, Lion Air, Batavia Air, Mandala Airlines, Sriwijaya Air, Merpati Airlines, Air Asia, dan Citilink, (2) Penerimaan barang Via Udara (Incoming Handling): Incoming Handling semua kargo Garuda Indonesia dan Batavia Air di bandara udara Internasional Juanda Surabaya. Selain itu, PT. DMK juga menerima Incoming Handling oleh maskapai penerbangan lain, walaupun dengan kuantitas yang lebih kecil, (3) Melayani Carter pesawat udara penumpang atau kargo: Menggunakan pesawat Boeing 737- 200, Boeing 737- 300 by Cardig Air, CN 235, Foker 28, Hercules C-130, (4) Pengiriman barang via Laut: Menggunakan kapal Pelni, kapal Kontainer dan kapal Ferry cepat tujuan Kupang, Ujung Pandang, Balikpapan, Banjarmasin, Ambon, Manado, Jayapura, Sorong, dan Timika, dan (5) Pengiriman barang via Darat yang terdiri dari: trucking Surabaya-Jakarta, Surabaya-Medan, Surabaya-Bali, serta jasa pengiriman seluruh Jawa Timur. PT DMK menjalankan aktivitas operasionalnya dengan cara manual, baik untuk pengelolaan data maupun pelayanan konsumen. Sistem manual ini telah berjalan dari awal badan usaha berdiri. Tidak ada standar tertentu mengenai bagaimana petugas harus melayani konsumen, atau bagaimana prosedur penerimaan barang dari konsumen hingga dikirimkan. Petugas menjalankan aktivitas operasional tanpa memperhatikan prosedur pelayanan yang baik, yang menyebabkan seringnya terjadi kesalahan pada pengiriman (outgoing) ataupun penerimaan (incoming). Aktivitas operasional PT DMK secara umum terbagi atas dua jenis, yaitu aktivitas Outgoing dan Incoming. Pada aktivitas Outgoing, petugas melayani konsumen yang hendak mengirimkan barangnya. Proses yang terjadi adalah konsumen membawa barang yang akan dikirimkan ke PT DMK, diterima oleh petugas operasional, hingga siap dikirimkan. Sedangkan aktivitas Incoming merupakan proses masuknya barang dari kota lain ke PT DMK. Proses dimulai dari pesawat yang membawa barang tiba di bandara Juanda, barang PT DMK disortir, hingga masuk ke gudang PT DMK dan dicatat. Beberapa hal penting yang dapat diamati dari aktivitas operasional PT DMK antara lain : (1) Aktivitas operasional dijalankan secara manual: Seluruh aktivitas operasional di PT DMK dilakukan secara manual, dengan keterlibatan komputerisasi yang minimal. Hal ini dapat terlihat pada cara pencatatan data incoming dan outgoing secara manual. Data barang yang dikirim dicatat di buku, dan pembuatan tanda terima juga ditulis secara manual. Sedangkan SMU dibuat dengan cara diketik. Data incoming juga dicatat di buku, sehingga sering terjadi kesalahan penulisan yang mengakibatkan pencarian barang menjadi lebih sulit. Komputer hanya digunakan untuk menyimpan data outgoing, dengan mengacu pada tanda terima yang sudah dibuat. Input data outgoing ke komputer hanya digunakan sebagai cadangan. Komputer baru terlibat maksimal saat melakukan cross-check data outgoing dengan pihak Gapura; (2) data keeping dilakukan PT DMK dengan mencatat di buku sehingga beberapa data-data lama yang penting ada yang hilang. Jika buku tersebut habis, maka harus diganti dengan buku baru. Cara ini menghabiskan banyak waktu untuk mencari data lama dan melelahkan. Hal ini dikarenakan, tidak diketahui data tersebut dicatat di buku mana, dan untuk mencari di buku pun dibutuhkan waktu yang cukup lama; (3) Belum ada prosedur tetap 259
untuk aktivitas operasional (Outgoing dan Incoming): Petugas operasional cenderung menjalankan tugasnya tanpa memperhatikan prosedur kerja yang seharusnya dilakukan. Hal ini dapat diamati dari berbedanya cara petugas menangani tiap klien yang datang. Hal ini menyebabkan seringnya terjadi kesalahan dalam aktivitas Outgoing, seperti salah membuat SMU, salah menulis tanda terima, adanya barang-barang yang seharusnya tidak boleh dikirimkan, dan lambatnya proses pengiriman barang. Perlu dibuat sebuah prosedur yang sesuai agar proses pengiriman bisa berjalan dengan baik, sehingga kesalahan yang tidak diperlukan bisa dicegah. 2. KAJIAN PUSTAKA 2.1. Manajemen Logistik Council of Supply Chain Management Professionals’, sebuah asosiasi dari para praktisi dalam bidang manajemen rantai pasok mendefinisikan manajemen logistik sebagai berikut “Logistics management is that part of supply chain management that plans, implements, and controls the efficient,effective forward and reverses flow and storage of goods, services and related information between the point of origin and the point of consumption in order to meet customers' requirements.” Manajemen logistik, sebagai sebuah bagian dari rantai pasok, menjalankan fungsi manajerial, yang memungkinkan perusahaan untuk mencapai efisiensi dalam aktivitas operasionalnya, sehingga dapat memenuhi kebutuhan konsumennya. Aktivitas logistik meliputi integrasi informasi, transportasi, sediaan, pergudangan, penanganan bahan baku, dan pengemasan. Dalam penerapannya, logistik yang dulunya dianggap sebagai pelengkap dalam sebuah perusahaan, mengalami perubahan peran. (Gustin, 1993) menyatakan, dewasa ini logistik telah dianggap memiliki potensi untuk menjadi elemen penting dalam strategi perusahaan untuk menciptakan nilai baru bagi pelanggan, meningkatkan penghematan biaya, menekankan disiplin dalam kinerja marketing dan menambah fleksibilitas produksi. Pernyataan tersebut didukung oleh Sum et al. (2001) bahwa logistik tidak lagi menjadi pemeran pendukung dalam bagian fungsional, ataupun hanya terbatas pada pengaturan transportasi atau pergudangan. Logistik kini telah menjadi elemen kunci untuk fungsi strategis perusahaan. Dengan manajemen logistik yang baik, perusahaan dapat mencapai efisiensi, dan memberikan value added pada konsumennya. Dengan logistik, perusahaan akan mendapatkan posisi competitive advantage yang lebih baik dibandingkan pesaingnya. Aktivitas manajemen logistik meliputi manajemen transportasi inbound dan outbound, pergudangan, material handling, desain jaringan logistik, memenuhi pesanan, manajemen sediaan, perencanaan tingkat permintaan dan penawaran, serta manajemen penyedia jasa Third Party Logistic. Dalam pendekatan yang berbeda, fungsi logistik juga mencakup pembelian, perencanaan jadwal produksi, pengemasan, dan juga layanan konsumen. Manajemen logistik adalah sebuah fungsi yang terintegrasi, yang mengkoordinasikan dan mengoptimalkan seluruh aktivitas logistik, juga mengintegrasikan aktivitas logistik dengan fungsi lainnya, seperti pemasaran, manufaktur, keuangan, dan teknologi informasi. 2.2. Logistic Service Quality Layanan logistik yang baik dari sebuah perusahaan kepada konsumen, akan menciptakan nilai tambah. Perusahaan akan memiliki keunggulan kompetitif dibandingkan para pesaingnya, jika mampu mempertahankan kinerja layanan logistiknya. Kualitas layanan logistik didefinisikan oleh Bienstock, et.al. (1997) sebagai, “the quality of logistics service performance is a ket marketing component that helps create customer satisfaction”, bahwa kualitas layanan logistik merupakan komponen utama yang membantu menciptakan kepuasan konsumen. Ada 9 dimensi kualitas layanan logistic menurut Mentzer, et.al. (1999), yaitu : (1) Personnel Contact Quality: Kontak personel adalah orientasi pelanggan terhadap karyawan di bagian yang berhadapan langsung dengan konsumen. Orientasi pelanggan secara spesifik memperdulikan apakah karyawan memiliki pengetahuan yang memadai, berempati pada kondisi pelanggan, dan mampu membantu mengatasi permasalahan konsumen. Karyawan perusahaan harus bisa memberikan informasi sejelas mungkin kepada 260
konsumen yang membutuhkan; (2) Order Release Quantities: Kuantitas pemenuhan pesanan terkait dengan konsep ketersediaan produk. Ketersediaan produk telah lama dianggap sebagai komponen penting dari kesempurnaan logistik sehingga pelanggan merasa puas dan tidak perlu menunggu lama untuk membeli atau menggunakan suatu produk. Perusahaan harus bisa memenuhi permintaan konsumen saat itu juga; (3) Information Quality: Kualitas informasi adalah persepsi dari informasi yang diberikan pemasok tentang produk yang mungkin akan dipilih konsumen. Karyawan dapat memberikan informasi tentang produk yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan; (4) Ordering Procedures: Prosedur pemesanan adalah efisiensi dan efektivitas dari prosedur yang dijalankan pemasok. Prosedur adalah tahap kegiatan untuk menyelesaikan suatu aktivitas; (5) Order Accuracy: Keakuratan pemesanan adalah bagaimana pemasok mampu menyampaikan produk sesuai dengan pesanan pelanggan. Hal ini dinilai oleh pelanggan setelah barang sampai ke tangannya. Ketepatan pemesanan mencakup ketepatan jenis barang yang dipesan dan jumlah pesanan; (6) Order Condition: Kondisi pemesanan berkaitan dengan adanya kekurangan pada pesanan. Barang yang diterima konsumen harus sesuai dengan kondisi awal pada saat barang diserahkan di awal pengiriman; (7) Order Quality: Kualitas pesanan ditunjukkan dari seberapa baik produk bekerja. Termasuk untuk layanan, bagaimana kualitas layanan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan dan ekspektasi pelanggan; (8) Order Disrepancy Handling: Penanganan ketidaksesuaian pesanan ditunjukkan dengan sebaik apa penanganan yang dilakukan jika terjadi ketidaksesuaian pada pengiriman pesanan, ataupun setelah pengiriman tiba di konsumen. Contoh dari penanganan ini adalah tanggapan pada keluhan konsumen, dan (9) Timeliness: timeliness terlihat pada apakah pesanan tiba di lokasi konsumen seperti yang telah dijanjikan sebelumnya. Secara lebih luas, timeliness juga mengacu pada rentang waktu antara saat pesanan dilakukan hingga pesanan diterima. 2.3. Logistic System Components Untuk membangun sebuah sistem logistik, dibutuhkan beberapa komponen yang membentuk sebuah paduan sistem. Tanpa adanya komponen-komponen tersebut, sistem logistik tidak akan bisa beroperasi secara optimal. Berdasarkan pada jurnal yang disusun oleh Sreenivas dan Srinivas (2005), ada 3 komponen yang bergabung untuk membentuk sistem logistik, yang meliputi: (1) Struktur Fasilitas: Infrastruktur mencakup sumberdaya manusia, gudang, transportasi, dan komunikasi. Biaya tetap awal adalah membangun infrastruktur tersebut, karena infrastruktur adalah dasar utama dari sebuah sistem logistik; (2) Sistem Informasi: mencakup model dan cara pengambilan keputusan secara manajerial. Sistem informasi juga menjadi penting perannya, karena digunakan untuk tracking and tracing. Sistem informasi menyediakan data dan konsultasi dalam setiap langkah interaksi antara layanan logistik dan tujuannya, dan (3) Layanan Logistik: mencakup pergerakan barang dari input, ke proses produksi, hingga sampai ke konsumen, termasuk di dalamnya pembuangan barang yang tidak digunakan dan aliran balik. Aktivitas yang ada didalamnya termasuk aktivitas fisik maupun non-fisik (desain transportasi, rantai pasok, dan penyimpanan, pemilihan kontraktor, serta negosisasi tarif). 2.4. Standard Operating Procedure Sebuah organisasi yang baik memiliki prosedur yang tetap, dan konsisten dalam menjalankan aktivitas operasionalnya. Untuk menjalankan aktivitas secara konsisten, organisasi perlu menyusun Standard Operating Procedure (SOP). Standard Operating Procedure yang baik akan menyediakan panduan, meningkatkan intensitas komunikasi, mengurangi waktu pelatihan, dan meningkatkan konsistensi pekerjaan. Proses pengembangan SOP adalah salah satu cara yang baik bagi manajer, pekerja, dan penasihat teknis untuk bekerja bersama untuk mencapai tujuan semua pihak. Dalam menyusun sebuah SOP, organisasi perlu mempertimbangkan beberapa hal, dan menyusun SOP yang sesuai dengan kebutuhan organisasinya. Ada dua faktor yang menentukan jenis SOP yang digunakan: (1) banyaknya keputusan yang perlu diambil selama 261
prosedur berjalan; dan (2) banyaknya langkah dan tahapan dalam prosedur? Prosedur rutin yang singkat dan hanya membutuhkan sedikit keputusan bisa menggunakan format simple steps. Prosedur yang lebih panjang, dengan keputusan yang sedikit, sebaiknya menggunakan format hierarchical steps format atau graphic format. Sedangkan prosedur yang membutuhkan banyak keputusan sebaiknya disusun dalam bentuk flowchart. Proses pengembangan SOP sangat berpengaruh dalam sukses tidaknya implementasi dari SOP. Proses ini sebaiknya melibatkan semua pihak yang berkepentingan dalam kesuksesan prosedur tersebut. Tujuh langkah penyusunan SOP menurut Stup (2001): (1) Plan For Results: membuat perencanaan dengan mengacu pada tujuan perusahaan. SOP akan menjadi sangat efektif bila didesain untuk mencapai tujuan tertentu secara spesifik. Tentukan tujuan bisnis yang ingin dicapai melalui manajemen yang lebih baik dengan SOP dan bagaimana tujuan tersebut bisa dicapai; (2) First Draft: pilih format yang akan digunakan untuk SOP. Format yang digunakan bisa simple steps, hierarchical steps, atau graphic format; (3) Internal Review: berikan kopian dari rancangan SOP kepada semua pekerja yang akan menjalankan prosedur tersebut. Minta karyawan untuk melakukan tinjau ulang dan memberikan saran perubahan yang lebih mudah dipahami, lebih akurat, atau yang dapat meningkatkan kinerja; (4) External Review: berikan kopian rancangan SOP kepada penasehat teknis, atau konsultan yang dipercaya. Konsultan bisa memberikan masukan untuk perubahan yang perlu dilakukan, terutama mengenai hal yang bersifat teknis; (5) Testing: untuk membuktikan apakah sebuah prosedur sudah efektif atau belum, perlu dilakukan pengujian di lokasi kerja. Jika ada langkah yang menimbulkan kebingungan atau keraguan, maka langkah tersebut perlu direvisi; (6) Post: Buatlah rancangan SOP yang sudah melewati tahapan sebelumnya, dan tempatkan di lokasi-lokasi yang strategis; (7) Train: langkah terakhir dalam SOP yaitu mengadakan pelatihan atau melatih ulang seluruh karyawan agar dapat menjalankan prosedur sesuai dengan yang tercantum pada SOP. 3. METODOLOGI Studi kasus dalam paper ini merupakan implementasi logistic system dalam penyelesaian masalah kualitas layanan di perusahaan yang bergerak di bidang kargo yaitu PT DMK di Surabaya. Langkah yang dilakukan dalam implementasi sistem logistik ini adalah sebagai berikut: (1) mengidentifikasi masalah layanan logistik yang dialami perusahaan; (2) mengidentifikasi proses yang dilakukan saat ini; (3) membuat SOP; (4) mengimplementasikan teknologi informasi dalam layanan logistik. 4. PEMBAHASAN Manajemen PT DMK menyadari bahwa permasalahan yang selama ini dihadapi perusahaan harus diselesaikan dengan mencari penyebab masalah tersebut. Dan perbaikan yang harus segera dilakukan adalah menyusun Standard Operational Procedure (SOP). Proses perancangan SOP dimulai dengan mengidentifikasi kegiatan dasar yang dilakukan dalam aktivitas operasional. Dari proses ini, seluruh aktivitas dasar yang dijalankan telah diidentifikasi, dan dimasukkan ke dalam prosedur. Proses selanjutnya adalah identifikasi aliran pekerjaan. Dalam proses ini, dilakukan pengamatan bagaimana aliran pekerjaan berjalan setiap harinya, dan aliran pekerjaan yang paling efisien. Sesuai dengan panduan menyusun SOP, perusahaan menentukan tujuan yang ingin dicapai dengan SOP. Dengan adanya tujuan, SOP akan dibuat sesuai dengan tujuan tersebut. Dalam penyusunan SOP selalu berusaha melibatkan semua karyawan, beberapa kali diperoleh masukan dari karyawan untuk perbaikan SOP. Setelah itu PT DMK juga meminta masukan rancangan SOP dengan penasehat yang merupakan konsultan bisnis PT DMK. Manajemen PT DMK menyadari bahwa menyusunan SOP adalah perbaikan awal yang telah dilakukan. Melalui budaya diskusi dengan manager dan karyawan operasional serta berkonsultasi kepada penasehat teknis, maka pihak manajemen menyadari suatu kebutuhan perbaikan selanjutnya yaitu penerapan sistem informasi logistik Sistem ini telah menjadi syarat mutlak bagi sebuah perusahaan logistik untuk bisa berkembang. Dibutuhkan sebuah sistem yang mampu mengatur aktivitas operasional dari PT DMK, agar lebih teratur dan bisa 262
terintegrasi dengan para pelanggan, maskapai penerbangan, maupun dengan bandara Juanda. Penerapan sistem yang baik dapat meningkatkan performa PT DMK, untuk bersaing di tingkat internasional. Untuk membangun sebuah sistem, dibutuhkan komponen-komponen tertentu, yang saat ini belum dipenuhi oleh PT DMK. Standard Operational Procedure PT DMK meliputi Proses Outgoing dimulai dengan konsumen datang membawa barang yang akan dikirimkan. Konsumen akan menginformasikan tujuan pengiriman barang kepada petugas operasional. Petugas Operasional PT DMK akan menyambut dan menanyakan apakah konsumen mau mengambil atau mengirim barang. Jika konsumen mau mengambil barang, maka lanjutkan ke flowchart Proses Pengambilan Barang. Jika konsumen ingin mengirim barang, petugas PT DMK akan menanyakan tujuan pengiriman barang. Konsumen akan diminta untuk memilih antara paket Reguler atau Ekspres. Jika konsumen memilih pengiriman reguler, maka petugas akan memberikan alternatif pengiriman dengan tarif yang lebih murah, disesuaikan dengan maskapai penerbangan yang melayani. Sedangkan jika konsumen memilih jasa ekspress, petugas akan mengirimkan barang menggunakan penerbangan berikutnya, tanpa mempertimbangkan harga ataupun maskapai penerbangan yang melayani. Petugas kemudian akan menawarkan jasa pengiriman port-to-door atau port-to-port kepada konsumen. Jika konsumen memilih port-to-door delivery, petugas akan memberikan perhitungan tambahan tarif yang dikenakan untuk pengiriman sampai ke tempat tujuan. Sedangkan jika konsumen memilih metode port-to-port, petugas akan menginformasikan biaya yang dikenakan untuk pengiriman menuju ke bandara tujuan. Setelah konsumen menerima informasi tarif dan waktu pengiriman, konsumen bisa memilih untuk menyetujui biaya serta waktu pengiriman. Jika konsumen setuju, konsumen akan menyerahkan barang yang akan dikirim. Petugas yang menerima akan melakukan pengecekan barang. Barang akan ditimbang untuk memastikan barang tidak terlalu berat (overweight). Jika berat bisa diterima, maka petugas akan lanjut memeriksa kemasan. Jika kemasan kurang baik, petugas akan mengemas ulang barang, dan mengenakan biaya kepada konsumen. Jika kemasan sudah baik, petugas akan menanyakan isi barang kepada konsumen untuk memastikan barang yang akan dikirim bukan kategori barang yang dilarang. Setelah konsumen bersedia membayar sesuai tarif yang ditetapkan maka petugas akan membuatkan Surat Muatan Udara (SMU). Kasir akan membuatkan Tanda Terima Outgoing 4 rangkap. Rangkap pertama (putih) diberikan untuk konsumen, rangkap kedua (merah) menjadi arsip bagi kasir/pembayaran, rangkap ketiga (kuning) jika pembayaran dilakukan secara kredit, dan rangkap terakhir (hijau) menjadi arsip PT DMK. Petugas juga akan membuatkan Surat Muatan Udara (SMU) sesuai dengan maskapai penerbangan yang dipilih konsumen. Lembar pertama SMU akan diberikan kepada konsumen sebagai bukti pengiriman, sedangkan petugas operasional mengambil 2 lembar terakhir SMU untuk arsip PT DMK. Konsumen akan menerima lembar rangkap pertama SMU dan 4 rangkap Tanda Terima. Konsumen akan menandatangani Tanda Terima dan membayar biaya sesuai yang tercantum di Tanda Terima. Kasir akan menerima pembayaran dari konsumen dan menandatangi Tanda Terima. Lembar rangkap pertama Tanda Terima akan diberikan kepada konsumen, dan konsumen pulang. Petugas akan membuat Pernyataan Tentang Isi (PTI) sesuai dengan isi barang. Barang yang telah siap dikirimkan bersama 6 lembar SMU yang tersisa dan PTI akan dibawa petugas operasional ke gudang outgoing. Sebelum masuk ke gudang, barang harus melewati pemeriksaan X-Ray terlebih dahulu, untuk memeriksa isi barang, apakah sudah sesuai dengan yang tercantum di SMU dan PTI. Jika barang tidak sesuai dengan PTI dan SMU, barang akan dibawa kembali ke gudang PT DMK, dan dikembalikan kepada konsumen karena tidak boleh dikirim. Jika isi barang sudah sesuai dengan SMU dan PTI, barang akan dibawa ke penimbangan. Barang akan ditimbang kembali untuk diperiksa apakah sesuai dengan yang tercantum di SMU. Jika berat barang tidak sesuai, barang akan dibawa kembali ke gudang PT DMK untuk ditimbang ulang. Jika berat barang sudah sesuai, maka petugas operasional bisa membawa barang ke gudang outgoing maskapai penerbangan yang bersangkutan. Petugas operasional kembali ke 263
gudang PT DMK. Barang akan dibawa ke pesawat, dan diangkut pesawat ke tempat tujuan. Barang tiba di tempat tujuan. Jika barang adalah pengiriman Port-to-port, konsumen akan datang ke bandara untuk mengambil barang. Petugas bandara akan memeriksa nomor SMU. Jika nomor SMU tidak sesuai, konsumen bisa melakukan cross-check dengan petugas DMK. Jika nomor SMU sesuai, konsumen bisa mengambil barang dan pulang. Jika barang adalah pengiriman Port-to-door, agen DMK yang ada di kota tersebut akan datang ke bandara untuk mengambil barang. Petugas bandara akan memeriksa nomor SMU. Jika nomor SMU tidak sesuai, agen bisa melakukan cross-check dengan petugas DMK. Jika nomor SMU sesuai, agen DMK akan mengambil barang, dan mengantar barang ke alamat konsumen. Barang akan diterima konsumen. Sedangkan SOP pada Proses Incoming dimulai dengan tibanya pesawat pengangkut barang di bandara Juanda. Petugas bandara akan menurunkan muatan dari pesawat, dan disimpan di gudang Incoming bandara Juanda. Petugas operasional yang bertugas di Incoming akan memilah barang mana yang akan dibawa ke gudang PT DMK. Semua muatan kargo dari pesawat Garuda Indonesia dan Batavia Air akan masuk ke gudang DMK. Selanjutnya, petugas bandara akan melakukan input data, barang apa saja yang masuk ke gudang PT DMK. Sedangkan petugas operasional akan mencatat semua SMU barang yang masuk ke gudang sebelum diangkut ke truk. Setelah pencatatan selesai dilakukan, barang dimasukkan ke dalam truk pengangkut, bersama dengan SMU nya. Petugas operasional di gudang akan menerima barang, dan menatanya sesuai dengan waktu masuknya barang. Barang dalam jumlah banyak milik konsumen yang sama juga akan dikelompokkan di tempat tertentu. Pada saat barang ditata, petugas operasional melakukan pencatatan di buku jurnal untuk barang yang masuk (nomor SMU, pengirim dan penerima, jenis barang, berat dan jumlah, serta paraf penerima jika barang sudah diambil). Setelah barang selesai ditata, petugas akan melakukan pemeriksaan ulang untuk cross-check dengan SMU. Proses pengambilan barang dilakukan dengan cara konsumen bisa menanyakan apakah barang miliknya sudah tiba via telepon ataupun langsung datang ke gudang. Konsumen bisa mencari barang dengan menunjukkan nomor SMU yang diinformasikan oleh pengirim. Jika barang sudah tiba, petugas operasional akan memeriksa apakah barang tersebut benar ditujukan kepada konsumen, dicocokkan dengan nomor SMU dan nama pengirim. Jika barang sudah sesuai, maka konsumen akan diminta untuk membayar biaya pengiriman. Konsumen harus menandatangani buku jurnal catatan Incoming, sebagai tanda terima, kemudian konsumen akan diberikan Tanda Terima lembar kedua (merah) untuk melakukan pembayaran di kasir, beserta 1 lembar SMU. Konsumen juga bisa membayar secara kredit (tanda terima disimpan kasir untuk melakukan tagihan kemudian). Setelah pembayaran selesai dilakukan, dan barang siap dibawa, konsumen bisa pulang membawa barang. Keputusan berikutnya adalah melakukan investasi dalam penerapan sistem informasi logistik di PT DMK. Sistem informasi logistik dirancang untuk mempermudah implementasi pembuatan software program logistik. Namun demikian perlu kesiapan sumber daya manusia untuk menjalankan sistem informasi logistik secara tepat. Berbagai pelatihan dilakukan bahkan penambahan karyawan yang kompeten juga telah dilakukan. Semua proses peralihan dari sistem manual menjadi sistem informasi logistik membutuhkan kesiapan semua pihak didalam perusahaan untuk selalu belajar dan menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan. Dalam proses ini dibutuhkan pendekatan kepada setiap karyawan, agar dapat memahami pentingnya perubahan. Perbaikan membutuhkan upaya untuk belajar dan mungkin hal tersebut akan membuat ketidaknyamanan. PT DMK juga menambah jumlah karyawan sesuai dengan kebutuhan peningkatan kapasitas layanan logistik. Semula karyawan operasional berjumlah 22 orang sekarang bertambah menjadi 37 orang. Penambahan karyawan ini khususnya untuk bagian sistem database dan penambahan layanan darat dan laut. Perubahan proses manual menjadi sistem informasi logistik memberikan manfaat bagi PT DMK antara lain: (1) mengetahui status barang yang dikirim dengan cepat, (2) melihat status tagihan, nilai tagihan, waktu jatuh tempo dengan cepat, (3) mengetahui laporan keuangan harian dengan cepat, (4) memiliki database pelanggan yang dikelompokkan 264
antara pelanggan perorangan dan perusahaan, dan (5) mengurangi kertas kerja yang meliputi buku catatan barang pada proses incoming dan outgoing serta kertas kerja SMU, dan tanda terima. Sedangkan hasil perbaikan terhadap kualitas layanan logistik di PT DMK dilihat dari 9 elemen, meliputi : (1) Personnel Contact Quality: Karyawan PT DMK memberikan informasi sesuai dengan kebutuhan konsumen. Informasi yang sering ditanyakan konsumen antara lain adalah jadwal penerbangan, tarif pengangkutan barang, status pengiriman barang. Karyawan PT DMK juga selalu mengingatkan konsumen untuk menginformasikan isi barang yang dikirimkan dengan jujur, karena bisa jadi barang tersebut tidak boleh dikirimkan. Setelah adanya perbaikan sistem layanan logistik, maka karyawan harus melayani dengan prosedur yang standar dan memberikan informasi dengan lebih lengkap dan cepat; (2) Order Release Quantities: PT DMK melayani pengiriman ke berbagai daerah, ke hampir semua propinsi di Indonesia. PT DMK menerima pengiriman barang setiap jam, sesuai dengan jadwal dari maskapai penerbangan yang melayani. PT DMK juga beroperasi selama 24 jam, sehingga konsumen bisa membawa barang untuk dikirimkan setiap saat. PT DMK mampu menampung ±11 ton barang setiap harinya, dengan kapasitas gudangnya yang berukuran 8x2 meter untuk Incoming, dan 3x1,5 meter untuk barang Outgoing. Setelah dilakukan berbagai perbaikan kualitas layanan, maka jumlah barang yang dapat dikirim dapat meningkat mencapai hampir 20 ton setiap hari, dilihat dari vole barang yang dikirim telah mengalami peningkatan, untuk pelanggan perorangan meningkat sekitar 20% sedangkan pelanggan perusahaan meningkat lebih dari 50%; (3) Information Quality: PT DMK memiliki paket dan metode pengiriman yang berbeda, yang bisa dipilih oleh konsumen sesuai dengan kebutuhannya. Namun, karyawan PT DMK seringkali tidak menyampaikan adanya paket dan metode pengiriman ini jika tidak ditanyakan oleh konsumen. Selain kepada pelanggan, PT DMK juga terus berhubungan dengan pemasoknya, yaitu maskapai penerbangan untuk menjaga hubungan baik. Manajemen PT DMK mengadakan pertemuan secara berkala dengan pihak maskapai penerbangan untuk bertukar informasi. Informasi yang biasanya dibahas dalam pertemuan adalah mengenai jadwal jumlah pengiriman setiap bulan, promo yang disediakan, perubahan tarif angkutan barang, perubahan jadwal penerbangan, dan pembukaan rute baru. Setelah dilakukan perbaikan, setiap karyawan harus memberikan informasi selengkap mungkin kepada pelanggan sesuai dengan SOP; (4) Ordering Procedures: Setelah SOP dibuat maka prosedur pelayanan kepada pelanggan menjadi standar, hal ini dapat menyelesaikan masalah kesalahan issue SMU, pembuatan tanda terima, dan kesalahan informasi barang. Pelayanan dengan prosedur yang standar juga mengurangi jumlah komplain dari pelanggan karena kegiatan operasional seharusnya dilakukan dengan benar sejak awal. Dengan sistem informasi logistik memungkinkan memberikan informasi tentang berbagai keadaan selama pengiriman barang sehingga sebelum pelanggan komplain telah diinformasikan kondisi saat pengiriman, misal terjadi delay atau embargo; (5) Order Accuracy: PT DMK mengirimkan barang dari konsumen sesuai dengan tujuannya. Tujuan pengiriman beserta kode penerbangan maskapai yang mengangkut tercantum di dalam SMU, sebagai bukti bahwa PT DMK telah mengirimkan barang ke tujuan yang diminta konsumen. Jika terjadi kesalahan pengiriman, maka konsumen bisa menyampaikan keluhan kepada maskapai penerbangan yang bersangkutan, atau menyampaikan kepada PT DMK untuk disampaikan ke maskapai penerbangan tersebut. Kesalahan kirim pernah terjadi karena kesalahan penulisan kode daerah tujuan. Dengan adanya sistem informasi logistik maka penyebab kesalahan kirim dapat dengan mudah dan cepat diketahui sehingga penangannya menjadi lebih cepat; (6) Order Condition: PT DMK menggunakan peralatan seperti hand pallet dan trolley untuk mengangkut barang, untuk menjaga kondisi barang tetap baik. Untuk barang-barang yang butuh penanganan khusus (mudah pecah, makhluk hidup, bahan kimia), diberikan penanganan khusus seperti pengemasan yang lebih kedap, dan stiker tanda mudah pecah. Untuk makhluk hidup, PT DMK langsung mengurus karantina ke kantor Gapura. PT DMK menjadi pilihan utama salah satu perusahaan farmasi untuk mengirimkan obat yang butuh perhatian khusus saat dikirimkan. Sebelum barang dikirim petugas akan menanyakan kebutuhan akan asuransi, 265
apabila diperlukan PT DMK akan menguruskan ke asuransi Lippo sebagai mitra bisnis, tetapi dapat juga asuransi dari PT DMK sendiri senilai Rp 100,-/kg dan maksimal Rp 1.000.000,Namun demikian prosedure standar PT DMK telah memberikan pencegahan terhadap resiko tersebut seperti pengecekan kemasan dan jenis barang yang dikirim; (7) Order Quality: PT DMK mengirimkan barang dalam rentang waktu seperti yang telah dijanjikan kepada konsumen. PT DMK berusaha untuk memberikan rute alternatif untuk mengirimkan barang jika terjadi embargo, ataupun mencarikan jadwal penerbangan yang tercepat agar barang bisa sampai di tujuan sesuai permintaan konsumen. Embargo dapat terjadi jika, landas pacu rusak, landas pacu pendek, cuaca buruk di bandara tujuan, jumlah penumpang meningkat sehingga volume kargo dikurangi, jumlah pesawat dikurangi karena low session. Semua informasi tersebut dapat diketahui dengan cepat sehingga memungkin memberikan solusi kepada pelanggan; (8) Order Discrepancy Handling: PT DMK selalu berusaha memberikan solusi bagi keluhan konsumen. Beberapa keluhan yang muncul seperti adanya barang yang belum tiba, atau lamanya waktu pengiriman barang. PT DMK akan melakukan konfirmasi ulang kepada maskapai penerbangan yang mengangkut jika barang tidak ditemukan, untuk menelusuri keberadaan barang tersebut. Setelah adanya perbaikan maka terjadi penurunan jumlah komplain dalam satu bulan, semula rata-rata 10 komplain sekarang dapat dikurangi menjadi sekitar 5-6 komplain. Penurunan jumlah komplain karena PT DMK mampu memberikan informasi dengan lengkap lebih awal kepada pelanggan sehingga dapat dipahami kondisi barang saat dikirim terutama saat kondisi tidak normal, seperti: terjadi embargo, kerusakan barang karena packaging yang kurang baik oleh pelanggan, terdapat pembatalan terbang atau delay. Pelanggan perorangan lebih banyak komplain, sementara pelanggan perusahaan lebih memahami proses pengiriman barang dan biasanya pelanggan perusahaan menggunakan tambahan layanan asuransi; dan (9) Timeliness: PT DMK bekerjasama dengan maskapai penerbangan yang ada di Indonesia untuk mengirimkan barang di rute domestik. Karyawan PT DMK juga selalu memberikan informasi yang mengenai lamanya waktu pengiriman, sehingga bisa memenuhi ekspektasi konsumen. PT DMK bisa mengirimkan barang secara cepat jika konsumen memilih paket ekspress. Pengiriman ke daerah-daerah terpencil juga selalu diusahakan secepat mungkin, dengan mencari rute atau maskapai penerbangan alternatif jika terjadi embargo atau tidak terbangnya pesawat dari maskapai tertentu. Perbaikan yang dilakukan PT DMK telah memberikan hasil berupa kecepatan dalam proses melayani pelanggan sehingga dapat dicapai efisiensi dalam aspek waktu layanan. Selain itu juga terjadi peningkatan jumlah pelanggan perorangan sebanyak 30%, pelanggan perusahaan sebanyak 10%. Apabila dilihat dari pendapatan juga diperoleh peningkatan sekitar 30%. Apabila dilihat dari 9 elemen kualitas layanan logistik maka nampak adanya peningkatan kualitas layanan secara keseluruhan. Pihak PT DMK yakin apabila proses perbaikan selalu dilakukan walaupun secara bertahap, dari hal-hal yang kecil maka suatu saat PT DMK akan menjadi perusahaan logistik yang terdepan. Perbaikan yang sedang rencanakan adalah menyusun database pelanggan. Salah satu cara untuk lebih mengenal pelanggan adalah dengan memiliki database. Pelanggan akan dikelompokkan menjadi 2 kategori, yaitu pelanggan perusahaan dan pelanggan perorangan. Kemudian pada tiap kelompok juga akan dikategorikan berdasarkan aspek demografi dan jenis layanan yang dibutuhkan. Dengan adanya database, dapat dipelajari profil dan kebutuhan pelanggan sehingga pengambilan keputusan untuk tahap perbaikan berikutnya dapat sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pelanggan. 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Sistem informasi logistik yang telah diterapkan PT DMK telah memberikan banyak manfaat bagi efisiensi waktu proses layanan dan di masa yang akan datang PT DMK memiliki rencana untuk terus melakukan perbaikan dalam sistem informasi logistik, seperti sistem informasi secara online yang dapat diakses lewat internet, kemudian jaringan tiap cabang dapat terkoneksi, kemudian melakukan mendataan setiap komplain dari pelanggan, 266
terkoneksi dengan semua maskapai penerbangan sehingga dapat melakukan crossceck keberangkatan barang, memiliki sistem barcode pada setiap barang yang dikirim, dan memiliki website PT DMK yang dilengkapi tracking system sehingga memungkinkan pelanggan dapat secara langsung memantau keberadaan barang yang dikirim. Saat ini baru maskapai penerbangan Garuda yang memiliki sistem online, ke depan diharapkan maskapai penerbangan lainnya juga dapat menerapkan sistem layanan online, sehingga akan membuat rantai pasok semakin efisien. Karena terjadi kesesuaian kecepatan informasi, baik dari PT DMK sebagai penyedia jasa logistik dan maskapai penerbangan sebagai moda transportasi barang. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada Ibu Veny Megawati (dosen dan peneliti di Jurusan Manajemen FBE Universitas Surabaya, Jl Raya Kalirungkut, Surabaya) yang telah memberikan kritik dan saran untuk perbaikan makalah. PUSTAKA Hamdali, A., 2011. Kualitas Layanan Logistik di PT DMK Surabaya, Skripsi, Universitas Surabaya. Harrison, A., & Hoek, V., R., 2002. Logistics Management and strategy, Pearson Education Limited, p 1-28. Mentzer, J.T., Flint, D.J., Hult, G.T., 2001. Logistics Service Quality as a SegmentCustomized Process. Journal of Marketing. 65:82-104. Stank, T.P., Goldsby, T.J., Vickery, S.K., Savitskie, K, 2003. Logisctic Service Performance: estimating its influence on Market Share. Journal of Business Logistics. 12:165-180. Saura, I.G., frances, D.S., Contri, G.B., Blasco, M.F., 2008. Logistic Service Quality: A New Way To Loyalty. Industrial Management & Data System, 108(5): 243. Stup, R., 2001. Standard Operation Procedures: A Writing Guide. The Pennsylvania State University. _____, 2012, Resourcing, 4 PR Bagi SDM Logistik Indonesia. http://www.portalhr.com/people-management/resourcing/4-pr-bagi-sdm-logistik indonesia/, diakses tanggal 13 Agustus 2012. _____, 2012, INFRASTRUKTUR—Indonesia Terhambat Infrastruktur Jelang MEA 2015. Newswire on Monday. http://www.bisnis-kti.com/index.php/2012/07/infrastrukturindonesia-terhambat-infrastrukturjelang-mea-2015/, diakses tanggal 13 Agustus 2012. Hidayat, S., N., 2011. Biaya logistik industri di Indonesia mencapai 15%-17%. http://industri.kontan.co.id/news/biaya-logistik-industri-di-indonesia-mencapai-15-171/2011/06/13, diakses tanggal 13 Agustus 2012. _____, 2011. Pertumbuhan ekonomi Indonesia 2012 diperkirakan stabil http://www.pajak.go.id/content/pertumbuhan-ekonomi-indonesia-2012-diperkirakanstabil, diakses tanggal 14 Agustus 2012.
267
STRATEGI INOVASI FRUGAL PADA USAHA BATIK KELUARGA DI SENTRA SENTRA INDUSTRI KREATIF BATIK JAWA TIMUR Puji Wahono Kampus FISIP Universitas Jember Jl Kalimantan No 37, Tegal Boto, Jember 68121 Telp. (0331) 335586; Fax. (0331) 335586 Email:
[email protected]
ABSTRAK Inovasi adalah bagian terpenting perekonmian karena kemampuannya memicu temuan dan kebaruan (novelty). Pandangan lama menganggap inovasi hanya dilakukan usaha besar karena biayanya mahal. Kini inovasi bisa dilakukan semua skala usaha dan dengan biaya yang super hemat (ultra-lowcost). Itulah inovasi frugal, mudah, murah namun menjangkau kebutuhan pasar berkemampuan ekonomi rendah. Inovasi frugal cocok untuk negara berkembang karena mengaitkan sumberdaya berlimpah, teknologi kreatif, dan keahlian entrepreneurial. Dimensi inovasi frugal adalah pembangunan berkelanjutan, perlindungan lingkungan, peningkatan dan pemerataan kesejahteraan, sekaligus berkeadilan sosial. Industri kreatif batik adalah salah satu contohnya. Perpaduan sumberdaya lokal, teknologi, kreatifitas, dan seni tingkat tinggi adalah modal utamanya. Industri kreatif batik dengan demikian masuk kategori knowledge-based industry.Untuk itu, transfer pengetahuan (knowledge) pada masa alih generasi menjadi krusial. Lemahnya model transfer pengetahuan dapat menyebabkan pendangkalan pengetahuan dan inovasi akan mengalami hambatan. Kajian ini dipotret dari hasil penelitian di industri kreatif batik di Jawa Timur. Kata Kunci: inovasi frugal, transfer pengetahuan, usaha batik, industri kreatif, Jawa Timur
1. LATAR BELAKANG Inovasi menjadi persoalan paling penting dalam setiap pembahasan tentang bisnis dan ekonomi belakangan ini. Penyebabnya sebagaimana dikatakan Fonseca (2002), melalui inovasi organisasi menciptakan kebaruan (novelty) produk yang bentuknya lebih bagus, lebih dapat diandalkan, lebih menarik, dan lebih bermanfaat sebagai suatu produk dan jasa. Konsumen pun kemudian menjadi kecanduan dengan kebaruan yang dihasilkan tersebut sehingga mereka terus menuntut lebih kepada organisasi. Pada saat yang bersamaan, organisasi sekarang ini dihadapkan pada pasar dunia yang penuh persaiangan maupun ancaman yang semakin kompetitif, di mana para pelanggan terus menuntut perbaikanperbaikan sehingga tidak ada alternatif lain bagi organisasi kecuali terus berinovasi. Di bidang ekonomi dan industri yang kompetitif sekarang ini, inovasi telah berubah menjadi suatu keniscayaan. Sebab ekonomi dan industri butuh daya saing yang tangguh agar mereka mampu terus bertahan menghadapi tantangan dari para pesaingnya untuk berkembang dan memenangi ketatnya persaingan. Clarke dan Clegg (1998) sepakat dengan hal tersebut dan secara tegas mengatakan inovasi merupakan suatu kebutuhan bagi perusahaan agar dapat terus bertahan hidup dalam industri di berbagai pasar. Dunia usaha yang merupakan bagian dari satu industri tak pelak lagi menjadi ujung tombak dalam memenangi persaingan tersebut. Dunia usaha, baik skala besar, menengah, dan kecil, harus berinovasi secara terus-menerus agar mampu merespon tuntutan kebutuhan konsumen dan pasar yang berkembang sangat cepat. Oleh karena itu, inovasi berkelanjutan sangat dibutuhkan oleh organisasi dan juga perusahaan untuk menjaga kelangsungan hidupnya dalam berbagai pasar yang mereka masuki. Menurut Nonaka dan Takeuchi (1995), inovasi ini dihasilkan oleh perusahaan melalui suatu penciptaan pengetahuan. Perusahaan mengakumulasikan pengetahuan dari luar kemudian disebarluaskan kedalam organisasi, disimpan sebagai bagian pengetahuan perusahaan dan selanjutnya digunakan untuk pengembangan teknologi dan produk serta sistem baru mereka. Proses interaksi internal dan eksternal inilah yang menurut mereka
268
menjadi motor bagi penciptaan pengetahuan dan inovasi secara berkelanjutan dalam perusahaan dan yang pada gilirannya dapat menghasilkan keunggulan bersaing. Meski tidak disangkal arti pentingnya inovasi, selama ini inovasi dianggap hanya dapat dilakukan oleh perusahaan skala besar semata. Ini tejadi karena inovasi masih dianggap sebagai ‘barang mewah’ yang dapat dilakukan dengan modal besar dan teknologi tinggi. Selain itu, inovasi juga butuh dukungan lingkungan yang kondusif di perusahaan, selain kebijakan pemerintah yang memadai. Berdasarkan alasan itu, maka inovasi menjadi urusan yang rumit dan sangat jarang dihasilkan oleh kalangan industri. Kondisi ini semakin memprihatinkan bila dikaitkan dengan keberadaan usaha skala mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang jumlahnya sangat besar di negeri ini. Kenyataan tersebut menyebabkan para pelaku inovasi di dunia selama ini hanya didominasi oleh perusahaan-perusahaan besar yang berasal dari negara-negara yang secara ekonomi sudah maju. Ini mengingat bahwa inovasi butuh pengorbanan besar, berbiaya tinggi, dan tidak didukung oleh pasar yang luas karena sifatnya yang mahal. Pandangan demikian mengakibatkan dunia usaha di negara-negara berkembang hanya menjadi penonton dan pasar, bahkan menjadi sekadar buangan bagi produk hasil inovasi dari negara-negara maju yang sudah tidak laku lagi. Negara-negara maju terutama Eropa dan Amerika Serikat (AS) baru tersentak ketika konglemerasi usaha mereka di tingkat global mulai terusik oleh kehadiran perusahaanperusahaan Jepang di pasar dunia yang semakin agresif merebut pangsa pasar konglomerasi mereka di era 1970-an. Keberhasilan perusahaan-perusahaan Jepang tersebut mengejutkan mengejutkan banyak pihak dan mulai mengubah cara pandang secara umum tentang sumber pembentukan daya saing perusahaan yang berbasis inovasi. Kekuatan perusahaan-perusahaan Jepang ketika itu didukung oleh kemampuannya dalam menciptakan pengetahuan yang menjadi sumber utama bagi inovasi. Seperti dikatakan oleh Nonaka dan Takeuchi (1995), fenomena ini kemudian menjadi model bagi sebagian besar industri dan perusahaan lain di dunia. Sejak itu, inovasi menjadi kunci dalam memenangi kompetisi dan menyediakan pasar baru yang masih ada pesaingnya, atau disebut dengan istilah strategi lautan biru (blue ocean strategy) (Kim dan Mauborgnee, 2005). Nokia, salah satu produsen telepon seluler terbesar dunia, menjadi perusahaan yang mampu secara terus menerus berinovasi dan menjadikan inovasi sebagai strategi dalam memenangi kompetisi. Karena itu, Drucker (2005) menyatakan bahwa inovasi dikatakan berhasil bukan karena mereka menjawab apa yang dibutuhkan oleh pasar, akan tetapi mereka menciptakan kebutuhan yang belum dirasakan oleh konsumen. Sejalan dengan itu, dalam beberapa tahun perusahaan Nokia yang berbasis di Finlandia ini mampu menjadi pemimpin pasar melalui berbagai inovasi produk telepon genggamnya. Nokia juga berhasil menikmati teduhnya “lautan biru” pasar selular dunia dengan mengalahkan para pesaing-pesaing utamanya seperti Sony dan Motorolla dengan strategi inovasinya. Namun memasuki tahun 2012 ini, Nokia mulai tertinggal dari para pesaingnya dalam berinovasi sehingga pabrik ponsel terbesar di dunia ini direncanakan untuk ditutup pada bulan September 2012 (http://www.inilah.com, 2012). Kini dengan semakin merebaknya sistem ekonomi pasar, persaingan menjadi tidak lagi terelakkan. Perusahaan-perusahaan dituntut untuk terus berinovasi apabila tidak ingin tertinggal oleh pesaing dan konsumennya untuk kemudian mati. Inovasi telah menjadi mantra baru dalam memenangi kompetisi. Inovasi tidak hanya dilakukan perusahaanperusahaan di negara-negara yang secara ekonomi telah maju, tetapi juga perusaanperusahaan yang berasal dan berada di negara-negara dengan ekonomi yang masih berkembang, seperti Cina, India, Indonesia, dan lainnya. Di Indonesia, inovasi bukan lagi sesuatu yang asing bagi industri. Usaha besar, menengah, dan usaha kecil terus melakukan berbagai inovasi. Selain itu, kemajuan pesat di bidang teknologi dan komunikasi membuat inovasi tidak mengenal batasan geografi. Inovasi dapat terjadi di pusat-pusat ekonomi di perkotaan, namun dapat pula dilakukan di pelosokpelosok pedesaan. Inovasi juga tidak mengenal skala usaha; usaha besar, menengah, kecil, 269
serta mikro, semua harus melakukan inovasi. Inovasi juga tidak lagi mengenal modern dan tradisional karena dapat dilakukan oleh siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Usaha batik sebagai bagian dari industri pakaian yang pada pertengahan 2000-an yang sangat dikhawatirkan akan segera tergusur oleh tekstil modern dan gempuran produk serupa dari Cina, ternyata kemudian mampu bangkit dan kini telah menjadi salah satu produk unggulan di berbagai daerah di Indonesia. Keberadaan industri batik nasional sebagai produk kreatif dan inovatif warisan bangsa Indonesia bahkan berhasil diakui oleh badan dunia UNESCO sebagai warisan non-benda Bangsa Indonesia pada bulan Oktober 2009. Menurut Wahono (2006) dan Wahono dkk. (2010), keberhasilan usaha batik yang kebanyakan usaha keluarga dan dikelola secara tradisional tersebut dapat tetap eksis dan mampu bersaing dengan produk tekstil lainnya berkat kemampuannya dalam berinovasi. Inovasi di industri batik memiliki karakter yang berbeda dengan inovasi yang terjadi pada industri lainnya. Industri batik memiliki karakteristik yang khas, baik dari sisi skala usaha maupun dari aspek sumberdayanya. Usaha batik yang merupakan usaha tradisonal ini merupakan produk budaya kreatif yang banyak memanfaatkan kearifan lokal sekaligus berdimensi ekonomi dan pemerataan sosial. Selain itu, modal usaha batik lebih bersifat tidak berwujud, yakni pengetahuan tidak nyata (tacit knowledge) yang sangat penting artinya bagi penciptaan pengetahuan, kreativitas, inovasi serta daya saing usaha. Karena itu, usaha batik memiliki keunikan dan cara tersendiri dalam berinovasi yang berbeda dengan inovasi pada usaha besar. Industri batik lebih banyak menggunakan strategi inovasi berbiaya murah (frugal innovation). Bagaimana strategi yang ditempuh oleh usaha batik yang berbasiskan budaya kreatif dan merupakan satu dari 15 industri kreatif di Indonesia tersebut melakukan inovasi frugal secara berkesinambungan akan dipaparkan dalam makalah ini. Inovasi hemat ini dipotret dari penelitian pada industri batik di Jawa Timur sejak tahun 2010 sampai dengan tahun 2012 yang mencakup beberapa sentra industri batik di Jawa Timur seperti Pacitan, Tuban, Bangkalan, Lumajang, dan Banyuwangi. 2. INOVASI DAN INOVASI FRUGAL Inovasi sebagaimana dikatakan oleh Clarke dan Clegg (1998) dapat ditelusuri kembali ke belakang ketika Adam Smith menjadikannya sebagai bahasan utama dalam bukunya The Wealth of Nation (1776). Dalam beberapa dekade belakangan ini, inovasi banyak dijadikan bahasan kembali karena dianggap sebagai kunci utama dalam memenangi kompetisi. Inovasi mencakup berbagai upaya kreatif yang tidak terprediksi dan organisasi inovatif cenderung dicirikan dengan adanya dukungan terhadap budaya kreatif, organisasi organik, fleksibel, dan memberdayakan anggotanya. Inovasi bahkan diakui dalam lingkup yang lebih luas, sebagaimana dikatakan oleh Porter (1990), menjadi penopang utama daya saing suatu bangsa. Selanjutnya Porter mengaitkan kemajuan pengetahuan (knowledge), capaian inovasi, dan keunggulan kompetisi secara nasional. Di sini Porter melihat kompetisi bersifat dinamis dan terus berkembang. Ini sangat berbeda dengan pandangan tradisional, melihat keunggulan kompetisi bersifat statis, yakni tentang efisiensi biaya yang diakibatkan oleh keunggulan skala ekonomis. Efisiensi statis selalu disusul dengan tingkat kemajuan perubahan produk, pemasaran, proses produksi yang baru dan juga pasar yang baru. Sebaliknya, paradigma baru melihat inovasi metode dan teknologi sebagai hal yang utama sehingga keberadaan pengetahuan menjadi sangat penting. Lebih jauh Porter menyebutkan bahwa problema perusahaan atau bahkan bangsa adalah bagaimana meningkatkan kualitas faktor produksi, produktivitas, serta menciptakan pengetahuan baru, mengingat basis kompetisi itu sendiri telah berubah menjadi penciptaan dan asimilasi pengetahuan. Oleh karena itu keunggulan kompetisi secara berkelanjutan dicapai melalui inovasi dalam wujud desain produk baru, proses baru, pendekatan pemasaran baru, dan juga pelatihan-pelatihan. Menurut Naiman (2010), inovasi terkait erat dengan kreativitas, yakni tindakan mengubah sesuatu, terutama ide-ide baru dan imajinatif, menjadi kenyataan. Kreativitas sendiri 270
melibatkan dua tahapan proses, yakni berpikir dan kemudian berproduksi. Inovasi dengan begitu merupakan hasil dari penerapan ide ke dalam suatu produk. Jika seseorang memiliki ide tapi tidak bertindak, mereka disebut imajinatif tetapi tidak kreatif. Inovasi itu sendiri tidak dapat dipisahkan dari kreativitas karena keduanya ibarat sekeping dari mata uang yang sama. Inovasi dengan demikian adalah kreasi yang lebih baik dari sebuah produk, proses, jasa teknologi, atau gagasan-gagasan yang siap digunakan oleh pasar, pemerintah, dan masayarakat. Selanjutnya banyak ahli yang membedakan inovasi dengan invensi. Dikatakan bahwa inovasi merujuk pada penggunaan cara-cara yang lebih baik dan sebagai hasil dari metode, sedangkan invensi (temuan) lebih langsung tekait dengan penciptaan gagasan atau metode itu sendiri. Begitu pula lanjut Naiman (2910), inovasi dibedakan dengan improvement, di mana inovasi merujuk gagasan untuk melakukan sesuatu yang berbeda, bukan sekadar mengerjakan sesuatu yang lebih baik. Sejalan dengan Naiman, Zimmerer et.al. (1995) mengakui penggunaan istilah kreativitas dan inovasi sering dipertukarkan, namun kreativitas terkait dengan kemampuan mengembangkan ide-ide baru dan menemukan cara-cara baru dalam melihat masalah dan peluang. Sedangkan inovasi adalah kemampuan menerapkan solusi kreatif terhadap masalah dan peluang meningkatkan atau memperkaya kehidupan orang-orang. Menurut Levitt sebagaimana dikutip oleh Zimmerer (1995), kreativitas merupakan kegiatan memikirkan hal-hal baru, sedangkan inovasi adalah mengerjakan hal-hal baru. Dengan demikian, kreatif adalah sifat yang selalu mencari cara-cara baru. Inovatif merupakan sifat yang menerapkan solusi kreatif. Adalah kreatif namun tidak inovatif apabila ide hanya sebatas dalam pemikiran namun tanpa disertai tindakan. Menurut Zuhal (2010), inovasi berawal dari lahirnya gagasan baru. Gagasan baru itu sendiri dibangkitkan oleh kreativitas. Karena itu, seseorang disebut kreatif jika ia menghasilkan sesuatu yang bukan kelanjutan dari solusi yang pernah ada. Nilai kreativitas ini dapat dinilai dari seberapa besar sesuatu itu beda dari yang sudah ada. Proses kreativitas untuk melahirkan inovasi itu terbentuk melalui tahapan “mencari” (search), “membenturkan” (collision), “memutuskan” (decision), dan “mencoba” (trial). Inovasi dengan demikian butuh kegigihan, eksperimentasi, analisis cermat dalam menangani kompleksitas peluang masa depan yang diperlukan oleh pasar. Inovasi dalam kaitan ini merupakan upaya membuat perubahan dalam rangka peningkatan kualitas produk, layanan, proses, dan model bisnis dalam menciptakan nilai baru bagi para pemangku kepentingan organisasi (stakeholders). Inovasi tidak hanya sebatas atau menjadi domain bagian penelitian dan pengembangan (R&D) saja karena inovasi sangat penting untuk semua bagian operasi, sistem kerja, dan proses kerja. Dengan demikian, inovasi harus dikelola sehingga agar menjadi bagian dari budaya belajar organisasi (learning organization), sebagaimana dijelaskan oleh Senge (1998). Inovasi harus diintegrasikan lebih jauh ke dalam strategi organisasi dan pekerjaan sehari-hari serta harus didukung oleh sistem peningkatan kinerja yang memadai. Proses yang sistematis untuk inovasi harus mencapai keseluruhan organisasi. Inovasi dibangun di atas akumulasi pengetahuan organisasi dan orang-orangnya. Kemampuan secara cepat menyebarkan dan memanfaatkan pengetahuan ini, menurut Baldrige (2012), sangat penting artinya dalam rangka mendorong inovasi organisasi. Agar inovasi berkembang, menurut Nonaka dan Takeuchi (1995), organisasi harus menciptakan lingkungan yang menumbuhkan kreativitas, menyatukan berbagai keahlian (multi-talented) kelompok orang yang bekerjasama erat untuk bertukar pengetahuan, ide dan membentuk arah masa depan. Para pakar telah mengidentifikasi berbagai jenis inovasi seperti “inovasi produk” yang memerlukan pengenalan produk baru atau layanan yang baru. “Proses inovasi” yang terdiri dari penerapan metode baru atau produksi secara signifikan dapat meningkatkan kinerja organisasi. Inovasi supply chain adalah inovasi yang mengubah sumber dari produk masukan dari pasar dan pengiriman produk ke pelanggan. Inovasi pemasaran adalah
271
perubahan yang menghasilkan evolusi metode baru pemasaran dengan perangkat tambahan dalam desain produk atau kemasan, promosi atau harga. Menurut Schilling (2005), inovasi digolongkan dalam dua jenis yang berbeda, yakni inovasi radikal dan inovasi incremental. Inovasi radikal ditandai dengan adanya perubahan yang mendasar sangat berbeda dan baru sebagai solusi utama dalam sebuah industri. Sedangkan inovasi incremental ditandai dengan adanya perubahan-perubahan yang tidak terlalu signifikan dan lebih banyak merupakan penyesuaian dari praktik yang sedang berlangsung. Inovasi dengan demikian memiliki arti yang penting bagi organisasi karena merupakan kunci dalam rangka menjaga survivalitas usaha. Perusahaan terus berinovasi sebagai bagian dari organisasi dan inovasi berkontribusi bagi kemajuan perusahaan. Inovasi sangat penting di mana perusahaan sering melihat kreativitas karyawan mereka sebagai solusi. Mereka mendatangkan ahli dan memberikan pelatihan kepada karyawan untuk memotivasi karyawan agar menciptakan sesuatu yang baru dan bernilai bagi orang lain dan yang pada gilirannya akan mendatangkan keuntungan finansial bagi perusahaan. Inovasi menghasilkan ide-ide bisnis baru dan revolusi teknologi. Agar inovasi berharga, produk dan jasa baru harus cukup kuat untuk mendorong kemajuan organisasi melalui proses komersialisasi dengan jalan penetrasi ke pasar. Peter Drucker (2006) mengatakan bahwa jika sebuah organisasi yang didirikan tidak mampu berinovasi, organisasi tersebut akan menghadapi penurunan dan kepunahan. Banyak organisasi yang mengadopsi langkahlangkah untuk memperkuat kemampuan mereka untuk berinovasi. Zuhal (2010) melihat bahwa inovasi tidak terjadi dalam ruang yang hampa. Inovasi berkembang dari interaksi antara tiga pendorong perubahan kreatif yang saling mempengaruhi, yakni riset, pengambangan, dan aplikasi. Untuk itu terdapat ekosistem inovasi, di mana dunia akademis sebagai produsen knowledge bekerjasama dengan pengguna knowledge, yaitu dunia bisnis atau industri, serta didukung oleh pemerintah melalui kebijakan yang kondusif. Peran pemerintah di sini sangat ditekankan dalam rangka menciptakan iklim yang kondusif bagi terjadinya inovasi tersebut. Lebih lanjut juga dikatakan oleh Zuhal (2010) bahwa inovasi tidak berasal dari “satu penjuru mata angin”, melainkan dari pelbagai jurusan keilmuan. Ketika berbicara landasan keilmuan, lazimnya kita berbicara tentang aspek ilmiah dan teknis di laboratorium yang berpijak pada ilmu-ilmu dasar (matematika, kimia, fisika, biologi). Namun tidak semua industri dan inovasi secara sempit berasal dari fondasi keilmuan tersebut. Industri kreatif misalnya, lebih berpijak pada seni dan hiburan. Oleh karena itu, industri kreatif butuh pemahaman sains kreativitas yang dikombinasikan dengan aspek kognitif dan psikososial. Mengingat efeknya yang luas, maka inovasi menjadi topik penting dalam studi ekonomi, bisnis, kewirausahaan, desain, teknologi, sosiologi, dan juga rekayasa. Dalam masyarakat, inovasi berperan penting membantu dalam kenyamanan, kemudahan, dan efisiensi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam bisnis dan ekonomi, inovasi adalah katalis untuk pertumbuhan. Ekonom Schumpeter (2012) yang memberikan kontribusi besar untuk mempelajari inovasi berpendapat bahwa industri harus terus-menerus merevolusi struktur ekonomi dari dalam, berinovasi dengan produk, dan proses yang lebih baik atau lebih efektif, seperti pergeseran dari toko kerajinan ke pabrik. Dia terkenal dengan penegasannya bahwa "destruksi kreatif merupakan fakta penting tentang kapitalisme". Selain itu, pengusaha terus mencari cara yang lebih baik untuk memuaskan basis konsumen mereka dengan peningkatan kualitas, daya tahan, layanan, dan harga yang murah sebagai hasil dari inovasi dengan teknologi canggih dan strategi organisasi (Schumpeter, 1943).. Drucker (2012) menyatakan bahwa inovasi dapat bersumber dari perubahan yang berbeda dalam struktur industri, struktur pasar, demografi lokal dan global, pada diri manusia, pada mood persepsi dan makna, dan dalam jumlah pengetahuan ilmiah yang sudah tersedia. Dalam model linear sederhana, inovasi tradisional adalah adalah inovasi produsen. Di sinilah agen (orang atau bisnis) berinovasi untuk menjual inovasi. Sumber lain inovasi yang sekarang baru secara luas diakui adalah pengguna akhir inovasi. Di sinilah agen(orang atau perusahaan), mengembangkan inovasi untuk mereka sendiri (penggunaan 272
pribadi atau di rumah) karena produk yang sudah ada tidak lagi memenuhi kebutuhan mereka. Organisasi bisnis melakukan inovasi dengan berbagai cara. Secara formal pada umumnya dengan memberikan perhatian pada divisi R&D. Divisi R&D membantu memacu tentang perolehan paten dan inovasi ilmiah yang mengarah pada pertumbuhan yang produktif di berbagai bidang seperti industri, kedokteran, teknik, dan pemerintah. Secara informal, inovasi dapat dikembangkan melalui berbagai cara antara lain on-the-job modifikasi praktek, melalui pertukaran, dan kombinasi dari pengalaman profesional serta oleh rute lain. Inovasi lebih radikal dan revolusioner cenderung muncul dari R&D, sedangkan inovasi incremental lebih mungkin muncul dari praktek. Namun demikian, ada banyak pengecualian untuk masing-masing tren. Setelah inovasi terjadi, inovasi dapat menyebar dari inovator ke individu lain dan kelompok. Proses ini telah diusulkan bahwa siklus hidup inovasi dapat digambarkan dengan menggunakan kurva S (s-curve) yang juga disebut kurva difusi. Pada tahap awal inovasi tertentu, pertumbuhan relatif lambat ketika produk baru menetapkan dirinya. Di beberapa titik, pelanggan mulai menuntut dan pertumbuhan produk meningkat lebih cepat. Inovasi tambahan baru atau perubahan produk memungkinkan pertumbuhan untuk berlanjut. Menjelang akhir pertumbuhan, siklus hidup melambat dan bahkan mungkin mulai menurun. Dalam tahap selanjutnya, tidak ada jumlah investasi baru dalam produk yang akan menghasilkan tingkat normal kembali. Kurva S berasal dari asumsi bahwa produk baru cenderung memiliki "siklus hidup produk", yaitu fase start-up, peningkatan pesat dalam pendapatan, dan akhirnya penurunan. Bahkan sebagian besar inovasi tidak pernah turun ke bawah kurva dan tidak pernah menghasilkan keuntungan normal.
Gambar 1. Difusi Inovasi Perusahaan yang inovatif biasanya akan bekerja pada inovasi baru yang pada akhirnya akan menggantikan yang lebih tua. Berturut-turut kurva S akan datang untuk menggantikan yang lebih tua dan terus mendorong pertumbuhanke atas. Pada gambar di atas, kurva pertama menunjukkan teknologi saat ini. Kurva kedua menunjukkan sebuah teknologi baru yang saat ini menghasilkan pertumbuhan yang lebih rendah, tetapi akhirnya akan menyalip teknologi saat ini dan mengarah ke tingkat yang lebih besar dari pertumbuhan. Panjang hidup akan tergantung pada banyak faktor. Selanjutnya dikatakan oleh Zimmerer (1996: 53) bahwa dalam menghadapi persaingan global yang semakin kompleks dewasa ini, kreativitas tidak hanya penting untuk menciptakan keunggulan kompetitif, tetapi juga sangat penting bagi kelangsungan perusahaan. Semua organisasi bisnis yang mampu bertahan dan terus berkembang sekarang ini tidak lain adalah berangkat dari upaya kreatif dan inovatif yang mereka kembangkan. Kreativitas dan inovasi dengan demikian dapat dilihat sebagai upaya 273
yang mengganggu kondisi keseimbangan yang telah tercipta menuju kondisi keseimbangan baru. Sementara itu, berbeda dari kesan yang ada selama ini bahwa inovasi harus disertai biaya yang mahal dan teknologi canggih. Seperti dikutip dari situs LIPI (2012), sejatinya inovasi bisa dilakukan dengan cara yang sangat hemat dan teknologi yang sederhana, serta oleh usaha kecil, termasuk yang berada dalam kategori informal atau usaha rumah tangga. Inovasi ini dikenal sebaai inovasi frugal, yakni inovasi yang sangat penting bagi perekonomian negara-negara sedang berkembang karena alasan sebagai berikut. Pertama, inovasi frugal merupakan serangkaian kegiatan desain rekayasa kreatif yang menghasilkan produk inovasi yang sangat murah (ultra-low-cost), kuat, dan mudah digunakan yang memenuhi kebutuhan pasar dengan kemampuan ekonomi rendah. Kedua, inovasi frugal memahami kondisi lingkungan di negara berkembang dengan mengaitkan antara sumberdaya yang dimiliki, teknologi kreatif, dan keahlian entrepreneurial. India dan Cina merupakan dua negara sedang berkembang yang memprakarsai inovasi frugal ini dengan alasan: memiliki pangsa pasar yang luas namun sangat peka terhadap harga produk; adanya peluang ketidakmampuan negara-negara maju, terutama yang ada di belahan dunia Barat, untuk beradaptasi dengan perubahan pasar dan kesulitan dalam mengembangkan produk dengan biaya sangat rendah; serta kebutuhan pasar yang lebih mengutamakan fungsi dari suatu produk atau alat untuk menyelesaikan pekerjaan. Ketiga, inovasi frugal mengarah pada tiga dimensi pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang berdimensi memberikan perlindungan atau tidak merusak lingkungan (environmental protection), berdimensi pembangunan ekonomi (economic development), dalam artian memberikan manfaat pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan juga berdimensi pemerataan dan berkeadilan sosial (social equity). Inovasi frugal ini tentu membutuhkan keahlian bidang desain teknologi, aplikasi teknologi, manajemen, dan pemasaran yang inovatif dan kreatif sejalan dengan tuntutan pasar dan jamannya. Sebagaimana dikatakan oleh Bhatti (2011), inovasi frugal berbeda dengan inovasi pada umumnya dalam dua hal, yakni pasar yang sangat luas dan harga produk yang sangat murah untuk melayani pasar dengan daya beli yang rendah, yang umumnya ada di negaranegara dengan ekonomi sedang berkembang. Untuk memenuhi kebutuhan itu, inovasi frugal merancang ulang produk untuk menghasilkan produk yang sangat murah, me-rekonfigurasi rantai nilai (value chain), serta menemukan model bisnis baru. Lebih lanjut dikatakan bahwa terdapat tiga kunci utama untuk itu: melakukan alih sumberaya (outsourcing) terhadap seluruh kegiatan non-inti, menggunakan teknologi secara imajinatif, serta menerapkan teknik-teknik produk massal di area yang tidak terduga. Sebaliknya, negara-negara maju pada umumnya menerapkan model bisnis dan distribusi konvensional, mengembangkan desain dan produk dengan harga yang mahal, mengandalkan sumberdaya berlimpah namun tidak berkelanjutan, serta membidik pasar dengan daya beli yang tinggi. Kondisi ini tentu sangat sulit bagi negara-negara berkembang untuk mengikutinya. Inovasi frugal membutuhkan pasar dan kondisi lingkungan yang lebih cocok dengan negara-negara berkembang. Sebagaimana dikatakan Warner (2011), inovasi frugal ini menghubungkan keterampilan teknologi dan kewirausahaan kreatif seperti yang ada di Silicon Valley dengan kebutuhan orang-orang yang ada di negara-negara berkembang. Ini merupakan pengejawantahan dimensi pembangunan berkelanjutan: perlindungan pembangunan, lingkungan ekonomi, dan keadilan sosial. Namun demikian, inovasi frugal tidak dapat dilepaskan dari keberadaan kepemimpinan sosial di negara berkembang dan lebih dari sekedar rekayasa sosial. Untuk lebih efektif mengatasi kebutuhan masyarakat di negara-negara berkembang ini memang dibutuhkan keterampilan bisnis secara umum, seperti keterampilan dalam manajemen organisasi, keuangan perusahaan, dan juga pemasaran produk. Inovasi frugal sebagaimana dikutip dari Pappiptek LIPI (2012) terdiri dari delapan strategi desain, yaitu: 274
Ruggedization: kegiatan penciptaan inovasi frugal untuk menghasilkan sebuah peralatan/teknologi yang kuat dan dapat digunakan untuk lingkungan yang keras. Contohnya alat medis yang dapat dibawa di dalam ransel. Affordability: kegiatan penciptaan inovasi frugal untuk menghasilkan sebuah peralatan yang dapat dimiliki oleh siapa saja (terjangkau bagi semua kalangan, termasuk komunitas masyarakat kurang mampu). Simplification: kegiatan penyederhanaan fitur pada sebuah teknologi atau peralatan dengan mengimplementasikan inovasi frugal. Teknologi yg dirancang tanpa fitur dan fungsi tambahan, seperti sebuah pemurni air yang menggunakan produk limbah pertanian diresapi dengan nano-partikel perak sehingga tidak memerlukan tenaga listrik atau air yang mengalir. Adaptation: kegiatan menciptakan teknologi yang diadopsi dari produk yang sudah ada dengan mengimplementasikan inovasi frugal. Contohnya sebuah dinamo sepeda bertenaga awalnya digunakan untuk mengisi lampu depan yang dimodifikasi untuk mengisi baterai ponsel. Reliance on local materials, manufacturing: kegiatan menciptakan teknologi yang dirancang dan diproduksi melalui material dan peralatan lokal dengan memanfaatkan inovasi frugal. Contohnya adalah anggota tubuh palsu yang menggunakan sumber daya lokal yang tersedia dan keterampilan pengrajin lokal. Renewability: kegiatan penciptaan inovasi frugal untuk menghasilkan teknologi yang diperoleh dari sumber daya terbarukan. Contohnya tenaga surya ATM dan ponsel; turbin angin untuk masyarakat tanpa jaringan listrik. User-centric design: kegiatan menghasilkan teknologi yang dapat digunakan oleh masyarakat semi-literate (dengan tingkat pendidikan rendah) melalui cara mengimplementasikan inovasi frugal, seperti teknologi informasi mobile kesehatan yang menggunakan simbol dan warna bukan teks. Lightweight: kegiatan menghasilkan sebuah teknologi yang dapat dibawa oleh manusia melalui sistem transportasi yang dapat diandalkan seperti peralatan bantuan bencana yang dapat dibawa dalam sebuah tas. Sementara itu untuk mengetahui apakah satu perusahaan atau industri telah melakukan inovasi, Appleby dan Marvin (2000) serta Janszen (2000) mengajukan ukuran yang dapat digunakan, yakni dilihat dari banyaknya jumlah produk baru yang dihasilkan, kemasan baru dari produk, cara baru memproduksi barang dan jasa, serta perubahan-perubahan positif dalam kualitas produk, yaitu Q (quality), biaya produksi atau C (cost), kecepatan pengiriman atau D (delivery), keamanan produksi atau S (safety) serta semangat para karyawan dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya sebagai pekerja atau M (morale). Sejalan dengan ukuran inovasi ini, Joseph Schumpeter sebagaimana dikutip oleh Rogers (1998) menyebutkan cakupan inovasi yang antara lain dapat dilihat dari adanya: (i) produk baru atau modifikasi yang dilakukan perusahaan terhadap produk yang telah ada; (ii) proses produksi yang baru dikenal atau baru digunakan di dalam industri; (iii) pengembangan pasar yang baru; (iv) pengembangan input-input baru; serta (v) pengembangan cara-cara baru pengelolaan organisasi. Tidak terlalu jauh berbeda dengan Rogers, selanjutnya Organisasi Kerjasasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) menyebutkan pula cakupan inovasi yang menurut mereka adalah: (i) inovasi teknologi produk, yakni produk dimodifikasi dengan teknologi sehingga karakternya berbeda dari sebelumnya, akibat penggunaan teknologi baru, bahan baku baru, penerapan pengetahuan baru; (ii) inovasi teknologi proses, mencakup proses baru atau juga hasil modifikasi; (iii) inovasi organisasi, yakni mencakup desain baru organisasi, mekanisme pengelolaan organisasi yang baru, serta strategi baru. Kemudian ditambahkan oleh Gaynor (2002) bahwa cakupan inovasi lebih dari sekadar untuk mendapatkan pengetahuan, memajukan belajar secara berkesinambungan, atau berpikir secara mendalam, lebih dari itu yakni mencakup penerjemahan pengetahuan dan gagasan ke dalam tindakan. Diingatkan pula memang semua itu penting, tetapi perorangan tidak akan mencukupi. Inovasi harus melibatkan seluruh bagian organisasi dan tidak ada 275
satu kelompok atau fungsi tertentu dalam organisasi yang memonopoli inovasi. Namun begitu, Gaynor mengutip Drucker bahwa tidak semua anggota organisasi harus menjadi inovator karena inovator tanpa cukup dukungan staf akan menyebabkan kekacauan. Gaynor (2002) kemudian memberikan standar inovasi yang menurutnya adalah: (i) incremental meliputi modifikasi, penyederhanaan, perbaikan, konsolidasi dan peningkatan produk, proses, dan kualitas produksi dan distribusi; (ii) inovasi yang diskontinu seperti kereta kuda menjadi otomobil; (iii) inovasi arsitektural bila terjadi rekonfigurasi sistem komponen yang digunakan produk, proses, atau jasa; (iv) inovasi sistem, mencakup kegiatan yang butuh sinergi sumberdaya penting dari berbagai disiplin dan melibatkan pebisnis, akademisi, dan pemerintah,serta butuh waktu; (v) inovasi radikal, melibatkan pengenalan produk barang dan jasa baru yang berkembang menjadi bisnis besar yang baru atau menghasilkan industri baru, atau perubahan signifikan dalam keseluruhan industri dan cenderung menghasilkan nilai baru; dan (vi) inovasi yang mengacaukan (disruptive), yakni inovasi yang menunjuk pada teknologi yang mengacaukan kondisi pasar. Seakan ingin menyimpulkan, Weir (1984) menyatakan inovasi dapat dilihat dari outputnya atau prosesnya. Berdasarkan outputnya, inovasi merupakan aplikasi dari gagasan baru apakah melekat pada produk, proses, jasa, sistem, pemasaran dalam mana organisasi itu beroperasi. Berdasarkan prosesnya, inovasi dilihat sebagai proses kreatif di mana nilai tambah ekonomi diperoleh dari pengetahuan; nilai tambah ekonomi diperoleh melalui transformasi pengetahuan ke dalam produk-produk baru, proses-proses, dan jasa-jasa baru sebagaimana disebutkan oleh OECD. 3. INOVASI (FRUGAL) USAHA BATIK Batik, usaha batik, dan industri batik merupakan produk dari usaha kreatif serta inovatif para pelakunya. Menurut Wahono (2006), batik dan usaha batik termasuk satu dari 15 kategori industri kreatif di Indonesia. Kreativitas dan inovasi batik sudah dikenal luas, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga sudah diakui di tingkat internasional. Badan dunia PBB untuk masalah pendidikan dan budaya serta kemasyarakatan UNESCO sejak tahun 2009 secara resmi mengakui batik sebagai warisan non-benda Bangsa Indonesia yang memiliki tingkat kreativitas dan inovasi tinggi. Dari selembar kain batik terangkum berbagai dimensi baik pendidikan, budaya, sosial, dan sekaligus ekonomi serta kesejahteraan. Dimensi pendidikan, di mana satu keluarga mengajarkan kepada anggota keluarga lainnya atau anggota usaha lainnya untuk mulai turut serta membuat batik dari tingkatan paling rendah yakni membuat patron dengan menyalin (ngeblat) dari gambar yang telah ada ke dalam kain yang masih kosong, kemudian meningkat kepada menggoreskan canting yang berisi lilin (malam) di atas kain, pewarnaan, dan proses berikutnya sampai menjadi sebuah produk. Selain itu, batik merupakan produk pengetahuan (knowledge) sekaligus teknologi dalam mengatasi masalah pakaian dan tekstil yang dimiliki dan dikembangkan oleh nenek moyang bangsa Indonesia. Unsur sosial juga dapat dilihat dari kenyataan bahwa selembar kain batik pada umumnya jarang sekali dibuat sendiri oleh seorang pembatik, akan tetapi merupakan hasil kerjasama dari sejumlah orang mulai dari proses paling awal yakni membuat patron sampai pada pewarnaan. Sedikitnya tiga orang terlibat dalam proses pengerjaan selembar produk batik tersebut mulai awal sampai akhir menjadi sebuah produk. Batik sangat cocok dengan budaya leluhur bangsa Indonesia di masa lampau dengan adanya dimensi gotong royong atau dimensi sosial dan kebersamaan yang menjadi dasar filsafar hidup nenek moyang bangsa Indonesia dan bukan dimensi induvidual yang merupakan warisan filosofi bangsa Barat yang kemudian berkembang luas ke berbagai negara termasuk negara-negara berkembang belakangan ini. Dimensi selanjutnya adalah budaya, di mana batik merupakan warisan budaya luhur bangsa Indonesia. Dari selembar kain kosong kemudian digoreskan berbagai motif, gambar, dan desain penuh makna yang kemudian memenuhi lembaran kosong kain yang menjadi media batik tersebut. Pada awalnya, batik memiliki pakem-pakem (semacam ketentuan dengan maknanya) tertentu dan untuk memakai lembaran kain tersebut sebagai busana juga 276
terdapat syarat-syarat yang harus terpenuhi. Misalnya batik yang bermakna kewibawaan, kekayaan, peperangan, dan lain-lain. Selembar kain batik juga dapat membedakan strata sosial pemakainya. Batik tidak hanya sekadar busana yang berfungsi menutup tubuh, tetapi juga menjadi cerminan strata, kondisi dan emosi pemakainya. Di sinilah cerminan dimensi sosial batik melekat erat. Dimensi sosial yang lebih luas juga dapat dilihat dari keterlibatan masyarakat dalam pembuatan batik tersebut yang senantiasa dikerjakan secara gotong royong dan menjadi cermin dari interaksi masyarakat dan lingkungannya. Motif-motif batik terus berkembang mulai dari pakem-pakem yang ketat dan berasal dari lingkungan keraton terus sampai ke masyarakat dan lingkungan strata sosial biasa atau masyarakat umum. Motif-motif batik di masyarakat lebih dinamis lagi berkembang sesuai dengan kondisi, keadaan lingkungan, emosi, harapan, dan juga angan-angan yang ada di benak para pembuatnya. Motif-motif batik di masyarakat terus berkembang dengan mengambil tema-tema lingkugan sekitar, seperti buah pace di Pacitan, ikan, nelayan di Tuban, gajah dan oling (sejenis belut besar) yang ada maupun mitos-mitos yang berkembang dalam masyarakat. Karena itu batik merupakan produk kreatif, inovatif, dan dinamis yang akan terus berkembang dari waktu dan berwawasan lingkungan. Batik menjadi produk yang berwawasan lingkungan karena dimulai dari motif-motifnya senantiasa bertutur dan bercerita tentang kondisi lingkungan sekitarnya. Pembuatan batik menggunakan bahan-bahan pewarna alami yang berasal dari tumbuh-tumbuhan yang ada di sekitar masyarakat pembatik tersebut. Masyarakat pembatik, terutama dengan pewarna alami ini, sangat menghormati dan menghargai kelestarian lingkungan karena pohon-pohon menjadi sumber kehidupan dalam artian ekonomi. Kerusakan alam yang akan mengakibatkan hilangnya pepohonan sebagai bahan pewarna alam, merupakan hal yang tidak diinginkan oleh para pelaku usaha batik. Dari sisi ekonomi dan kesejahteraan serta keadilan sosial, batik sudah sangat jelas karena diteknuni dan digeluti sebagai kegiatan usaha oleh masyarakat lapisan bawah, menengah, sampai di keraton (elite). Kalangan atas biasanya bertindak sebagai pemilik modal, kemudian kalangan masyarakat lapisan menengah bertindak sebagai pengusaha atau juga pedagang, dan kalangan masyarakat lapisan bawah umumnya memberikan tenaganya untuk menjadi pekerja dalam pembuatan batik. Pembuatan batik dengan demikian merupakan kerjasama sinergis dari pemerintah, atau keraton ketika itu, pedagang, dan pembatik atau masyarakat. Dimensi sinergi dan pemerataan ekonomi tercermin dari pembuatan selembar kain batik tersebut secara proporsional. Meski harus diakui bahwa pada praktiknya terdapat berbagai penyimpangan termasuk yang berdimensi pada ketimpangan ekonomi dan kesejahteraan. Namun kalau itu terjadi tentu bukan menjadi tujuan dari pembuatan batik dan usaha batik, akan tetapi lebih merupakan efek negatif yang timbul dan dapat terjadi sebagaimana yang terjadi pada semua aspek kehidupan manusia. Melihat luasnya dimensi keterlibatan pelaku dalam industri batik ini dan juga terjadinya globalisasi belakangan ini, batik juga terus mengalami perkembangan yang pesat. Pada pertengahan tahun 2000-an, kondisi batik dan usaha serta industri batik sangat memprihatinkan. Di daerah-daerah yang secara tradisional dikenal sebagai pusat-pusat batik terutama Yogyakarta dan Solo, kondisi industri batik sangat memprihatinkan karena tidak mudah menemukan para pengrajin batik. Sebagaimana hasil temuan Wahono (2006), pelaku pekerja yang menekuni pembuatan batik umumnya sudah tergolong usia lanjut. Sedangkan para pekerja muda lebih memilih bekerja di kota-kota dan di sektor-sektor modern seperti pertokoan dan mal-mal yang terus berkembang pesat. Usaha batik yang masih bertahan juga terus mengalami penurunan dari segi omset dan bahkan di kedua pusat industri batik di Jawa ini banyak usaha batik yang gulung tikar alias tutup. Sejalan dengan terus berkembangnya ekonomi pasar dan globalisasi serta serbuan produk-produk asing ke pasar Indonesia, batik ternyata telah menggugah kesadaran bangsa Indonesia untuk melihat kembali warisan produk budaya yang sangat tidak mudah ditiru dan memiliki kekhasan ini, menjadi produk yang harus dikembangkan sebagai kebanggaan nasional. Karakteristik batik sangat cocok sebagai produk yang memiliki keunggulan 277
kompetitif sebagaimana dikatakan oleh Barney (1985). Sejak itu, pemerintah dan masyarakat bahu-membahu menggiatkan kembali dan mengangkat harkat batik ke pentas nasional sebagai tuan rumah di negeri sendiri dan juga sebagai produk yang dapat diekspor ke manca negara. Kegigihan dalam menghadapi tantangan global tersebut menghasilkan penhargaan UNESCO pada tahun 2009 dan batik terus berkembang secara kreatif dan inovatif di berbagai daerah di Indonesia. Inovasi di usaha batik ini juga berbeda dengan inovasi pada industri besar yang umumnya padat modal dan teknologi tinggi. Inovasi di usaha batik lebih bersifat hemat (frugal) sesuai dengan kondisi usaha batik yang pada umumnya dimiliki oleh keluarga dan berskala kecil. Usaha batik juga lebih banyak bersifat manual atau dikerjakan dengan tangan dan tidak sarat dengan teknologi tinggi. Inilah mengapa inovasi yang berkembang di industri batik merupakan inovasi hemat, berdimensi lingkungan, serta memperhatikan pemerataan kesejahteraan dan sosial. Inovasi hemat di industri batik ini dilakukan dalam rangka merespon permintaan pasar yang masih terbuka luas, terutama dalam negeri. Selain itu, inovasi di industri batik juga lebih banyak ditujukan untuk memenuhi segmen pasar yang berada di lapisan bawah meskipun tetap tidak melupakan segmen pasar menengah dan atas yang juga membutuhkan sentuhan-sentuhan baru dalam produk dan usaha batik. Perkembangan usaha batik dan sentra-sentra usaha batik yang semakin pesat di berbagai daerah tersebut telah memungkinkan berbagai inovasi hemat dikembangkan dan terjadi sesuai dengan tingkatan dan lingkungan yang ada pada industri batik tersebut. Di kawasan industri batik di Jawa Timur misalnya, inovasi hemat yang dapat dicatat antara lain adalah sebagai berikut: Tabel 1. Beberapa Inovasi Hemat (Frugal) yang Dilakukan Usaha Batik NO
JENIS
CARA LAMA
1
Jenis Motif
2
Pembuatan Motif
3
Warna
4
Pewarnaan
5
Media batik
dasar
CARA BARU
Tradisional dan tertutup karena dengan pakem yang tertentu yang sudah ada Patron/Ngeblat Gambar langsung dengan canting Sketsa Cenderung gelap/sogan Kurang selera muda Diblok/ditembok dengan lilin (malam) dan kemudian dicelup ke warna
Kain mori Kain tenun
Modern terbuka dan banyak diantaranya dikaitkan dengan alam sekitar dan ciri khas daerah masing-masing Majalah Televisi Internet Menggunakan bantuan komputer Menggunakan rumus (fraktal)
Warna-warni tidak mengingat ciri khas daerah tertentu Warna-warna trendy Menggunakan berbagai metode baru seperti pewarnaan dengan kuas (colet) diantara motif-motif yang sudah ada warnanya Pewarnaan dengan cara pencelupan kemudian medua (bahan) ditenun kembali, dan kemudian diwarnai lagi. Berbagai media seperti Sutera Lycra 278
NO
JENIS
6
Teknologi Pembatikan
7
Pemasaran
8
Transfer knowledge
9
Pembiayaan
10
Peran pemerintah
CARA LAMA
CARA BARU
Serat nanas Kaos Kayu Manual (tangan) dengan Bisa menggunakan mesin canting pembatik Canting Cap Secara konvensional : Melalui berbagai media: Ke pasar Pameran Pedagang Internet Pemasaran komunitas Pameran Tertutup Terbuka Turun-temurun Kepada semua orang yang mau belajar Keluarga Umum Informal Formal menjadi bagian dari kurikulum sekolah Hutang kepada teman, Kredit/perbankan rentenir, tetangga. Bantuan pemerintah Tidak banyak berperan Pelatihan Penyediaan kawasan dan pengembangan kawasan industri dan usaha batik Penyediaan bantuan modal Bantuan pelatihan Penyediaan lokasi usaha/ dagang/tempat pemasaran
Sumber: Wahono dkk. (2011-2012)
Inovasi frugal di usaha batik di Jawa Timur menyiratkan inovasi, sebagaimana dikatakan oleh Zuhal (2010), berawal dari lahirnya gagasan baru yang dibangkitkan oleh kreativitas dari para pembatik dan juga para pengelola batik. Kreativitas di usaha batik ini terjadi melalui proses dan tahapan yang tentu saja tidak berurutan tapi saling melengkapi. Proses kreativitas itulah yang kemudian melahirkan inovasi batik yang dimulai dari pencarian ide-ide dan gagasan dari berbagai media kemudian dicoba untuk kemudian diterapkan dalam produk batik. Inovasi batik dengan demikian butuh kegigihan, eksperimentasi, serta uji coba dan juga trial and error yang siap dites oleh pasar. Inovasi di usaha batik Jawa Timur ini dilakukan dalam rangka perubahan dan peningkatan kualitas produk, layanan, proses, dan juga model bisnis mereka guna memberikan nilai baru bagi para pelanggan. Inovasi di usaha batik tidak hanya sebatas atau menjadi dominasi pemilik atau pembatik saja, tetapi juga seluruh sumberdaya manuasia dalam industri batik tersebut. Inovasi di industri batik Jawa Timur dengan demikian harus dikelola sehingga inovasi menjadi bagian dari budaya belajar organisasi (learning organization) bagi keseluruhan usaha batik yang ada di sentra industri batik Jawa Timur. Inovasi juga diintegrasikan ke dalam strategi usaha dan pekerjaan sehari-hari mereka yang didukung oleh sistem kinerja yang memadai. Inovasi di usaha batik Jawa Timur juga mencakup inovasi produk yang memerlukan pengenalan produk baru atau pelayanan yang baru. Inovasi proses yang terdiri dari penerapan metode baru atau produksi secara signifikan dapat meningkatkan kinerja organisasi mereka. Kemudian inovasi dalam distribusi dilakukan dengan mengubah sumber 279
input produk dan juga pasar mereka melalui pengiriman produk ke pelanggan melalui berbagai media pemasaran. Inovasi pemasaran dilakukan terkait dengan model-model pemasaran baru berupa pameran dan juga pemasaran secara online. Sebagaimana dikatakan oleh Schilling (2005), inovasi batik Jawa Timur dapat digolongkan sebagai inovasi incremental. Ini ditandai dengan adanya improvisasi secara perlahan atau bertahap dari perubahan-perubahan yang tidak terlalu signifikan dan lebih banyak merupakan penyesuaian dari praktik yang sedang berlangsung. Motif ini terus dilakukan perubahan dan disesuaikan dengan lingkungan dan permintaan pasar. Selain itu, alat-alat produksi berupa canting atau kain juga berubah secara bertahap mulai kain tenun, primis yang sederhana, sampai dengan kain sutera. Hal yang sama terjadi pada hal-hal lainnya sebagaimana dijelaskan dalam Tabel 1. Inovasi batik di Jawa Timur secara keseluruhan dapat dikategorikan pula sebagai inovasi yang affordable, yakni kegiatan penciptaan inovasi yang sifatnya masih incremental dan juga sangat sederhana serta dapat dijangkau bagi semua kalangan, termasuk komunitas masyarakat kurang mampu. Meski demikian, produk batik juga telah berkembang menjadi produk yang eksklusif dan bahkan dipakai oleh sebagian kepala pemerintahan dari berbagai negara, kalangan artis dunia, serta digunakan dalam peragaan busana pada tingkat internasional. Secara keseluruhan, inovasi yang berlangsung di industri batik Jawa Timur sangat sejalan dengan karakteristik inovasi frugal sebagaimana telah dijelaskan dalam teori inovasi frugal pada bagian awal makalah ini. 4. KESIMPULAN Hasil temuan menunjukkan bahwa inovasi hemat (frugal) yang terjadi pada industri batik di Jawa Timur terus berlangsung dari waktu ke waktu, terutama dari aspek motif atau desain, proses atau cara pembuatan, dan juga aspek pendukungnya yakni aspek manajemen dan pemasarannya. Inovasi hemat yang terjadi di industri batik Jawa Timur merupakan inovasi yang sifatnya incremental dan bukan bersifat radikal. Ini berarti bahwa cara-cara dan juga teknologi serta proses lama masih dimungkinkan untuk digunakan dalam industri batik di Jawa Timur ini meskipun cara-cara dan teknologi baru sudah ditemukan dan dikenalkan, karena alasan yang sangat khas dari kondisi dan perkembangan masing-masing usaha batik tersebut. Inovasi hemat di industri batik Jawa Timur ini berdampak positif terhadap perkembangan industri batik di Jawa Timur karena dapat meningkatkan keragaman dari segi motif, desain, warna, dan juga bahan baku, serta dari sisi kualitas yakni dengan semakin baiknya proses dan juga manajemen usaha batik sehingga dapat diproduksi lebih banyak, lebih cepat, dan juga lebih murah serta dapat dikirimkan ke pasar dalam waktu yang relatif cepat dengan bantuan sarana pemasaran yang modern dan distribusi yang baru. Inovasi hemat di industri batik Jawa Timur mulai dari motif, desain, proses, dan manajemen serta pemasarannya masih dapat dikembangkan lagi secara lebih optimal agar dapat menghasilkan produk yang berkualitas lebih tinggi dalam rangka memenuhi tuntutan pasar yang terus berkembang dan sekaligus dalam rangka menghadapi persaingan usaha di industri batik yang kian kompetitif. Penelitian ini perlu dilanjutkan lagi baik kedalaman maupun cakupannya sehingga dapat memotret lebih lengkap dan lebih komprehensif berbagai kondisi dan permasalahan yang dihadapi serta dapat memberikan solusi yang lebih tepat dalam rangka peningkatan dan penguatan industri batik sebagai industri yang kreatif dan inovatif, khususnya di Jawa Timur. PUSTAKA Appleby, A dan Marvin, S., 2000. “Innovation not Immitation: Human Resource Strategy and the Impact on World-Class Status”. Total Quality Management Vol. 11.4-6. (tahun 2000 halaman 554-560).
280
Baldrige, 2012. Creativity and Innovation http://bethesdablog.wordpress.com/2012/07/23/ creativity-and-innovation-in-human-services-some-things-to-think-about/ (Diunduh pada 12 Agustus 2012). Barney, J.B., and Tyson B. Mackey, 2005. Testing Resource-Based Theory, Emerald Group Publishing Limited. Bhatti.Y.A., 2011.The Emerging Market for Frugal Innovation: Fad, Fashion, or Fit?.Yasser Ahmad Bhatti University of Oxford - Said Business School - Oxford Centre. Clarke, T and Steward Clegg,1995. Changing Paradigms: The Transformation of Management Knowledge for the 21st Century. Harper Collins Publishers. London. Douglass, K. Warner OFM., 2011. What is frugal innovation? Overview for ENGR 338, Center for Science, Technology & Society, SCU.,(25 Maret 2011). Drucker, P.F., 2005. On Creativity, Innovation, and Renewal tentang Kreativitas, Inovasi, dan Pembaruan. Elekmedia Komputindo. Jakarta. _______, 2006. Innovation and Entrepreneurship, (Paper back) Butterworth-Heinemann; Revised edition 30 September 2006. Fonseca, J., 2002. Complexity and Innovation in Organization. Routledge.London and New York. Gaynor, G.H., 2002. Innovation by Design: What It Takes to Keep Your Company on the Cuting Edge, New York, USA: Gaynor and Associate. Inilah.com, 2012. Nokia berencana menutup pabriknya di Salo-Finlandia. Dalam Inilah.com: 20 Juli 2012 , diunduh pada Mei 2012. Janszen, F., 2000. The Age of Innovation: Making Business Creativity a Competence, Not A Coincidence,London: Pearson Education Ltd. Kim, W.C dan Renee Mauborgnee, 2005. Blue Ocean Strategy: How to Create Uncontested Market Space and Make Competition Irrelevant, Harvard Business School Publihsing Corporation, USA. Naiman, L., 2010, “Creativity at work” dalam http://www.creativityatwork.com/author/admin/ (Diunduh pada 15 Agustus 2012). Nonaka, I dan Horotaka Takeuchi, 1995. Organizational Knowledge Creating Company: How Japanese Companies Create the Dynamics of Invovation, Oxford University Press. OECD, 1996. “Knowledge Based Economy”. Working Paper. Paris. _____, 1998. diambil dari http://www.ecom. unimelb. edu.au/iaesrwww/ wp/ wp98n10.pdf.halaman, 1.OECD 1997 dalam Rogers, Ibid.Rogers, M. 1998. “The Definition and Measurement of Innovation”, Melbourne Institute of Applied Economic and Social Research, The University of Melbourne, Parkville, Victoria 3052 Australia. Pappiptek-LIPI, 2012. http://nstdforum.pappiptek.lipi.go.id/index.php?option=com_content & view=article&id=18:topik&catid=29:the-cms&Itemid=86#_ftnref1. Diunduh pada Agustus 2012. Porter, M., 1990. The Competitive Advantage of Nations. New York: The Free Press, 1990. Rogers, M., 1998. “The Definition and Measurement of Innovation”, Melbourne Institute of Applied Economic and Social Research, The University of Melbourne, Parkville, Victoria 3052 Australia. Schilling, M.A., 2005.Strategic Management of Technological Innovation, Irwin/McGraw-Hill (ISE Educations). Schumpeter, J. A., 1943. “Capitalism, Socialism, and Democracy” (6 ed.). Routledge. pp. 81– 84. ISBN 0-415-10762-8. Dalam Wikipedia diunduh pada 12 Agustus 2012. Senge, P. 1998. ‘The Practice of Innovation’, Leader to Leader 9 http://pfdf.org/leaderbooks/l2l/ summer98/senge.html. Diunduh pada 12 Agustus 2012. Zimmerer, W.T, Norman M.S., 1995.Entrepreneurahip and New Venture Formation, New Jersey: Prentice Hall International Inc. Zuhal, 2010. Knowledge and Innovation: Platform Kekuatan Daya Saing, Gramedia Pustaka Utama dan Kompas, Jakarta, 2010. 281
Wahono, P., 2006. “Penciptaan Pengetahuan pada Industri Batik di Daerah-daerah Industri Batik Utama di Jawa: Pekalongan, Cirebon, Yogyakarta, Solo, Disertasi, Universitas Indonesia. Jakarta. _______ dkk., 2010. Tahun I. Kreasi Pengetahuan di Industri Batik Jawa Timur, Studi di Banyuwangi, Tuban, dan Bangkalan. Laporan Penelitian Fundamental, DP2M-DiktiUniversitas Jember. ________.,dkk., 2011. Tahun II. Kreasi Pengetahuan di Industri Batik Jawa Timur, Studi di Bangkalan, Tuban, dan Banywangi. Laporan Penelitian Fundamental, DP2M-DiktiUniversitas Jember. _______,.dkk., 2012. Tahun I. Model Transfer Pengetahuan Batik dalam Rangka Alih Generasi pada Usaha Batik Keluarga di Industri Kreatif Batik Jawa Timur. Weir T., 2012.dalam http://ngsm.anu.edu.au/research/tony weir. pdf
282
MAKALAH POSTER
283
KAJIAN AWAL PEMANFAATAN ENERGI TERBARUKAN UNTUK MENINGKATKAN NILAI EKONOMI KAWASAN HUTAN LINDUNG: STUDI KASUS KUTA MALAKA, KABUPATEN ACEH BESAR 1
2
Ridwan Arief Subekti , Pudji Irasari Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik - LIPI Komp. LIPI Bandung, Jl. Sangkuriang, Gd. 20. Lt. 2 Bandung 40135 Telp.: 022-2503055, Fax: 022-2504773 1 E-mail:
[email protected] 1,2
ABSTRAK Kajian awal pemanfaatan energi terbarukan sebagai suplai energi listrik di kawasan hutan lindung Kuta Malaka dimaksudkan untuk menjadikan kawasan hutan lebih bernilai ekonomi tanpa mengganggu kelestarian lingkungan. Daya listrik yang dibangkitkan rencananya akan disalurkan ke beberapa bangunan antara lain beberapa tempat makan (semacam kedai kopi), kantor administrasi, dan penginapan pengunjung. Sumber energi terbarukan yang dikaji adalah angin dan air. Potensi energi angin diperoleh melalui pengukuran kecepatan angin menggunakan cup anemometer yang dilengkapi dengan data logger. Pengukuran dilakukan selama dua hari pada dua titik lokasi yang berbeda. Untuk potensi energi air, pengukuran dilakukan pada tiga titik yang dinilai potensial serta mempertimbangkan aksesibilitas agar mudah dalam pengerjaan pembangunannya. Hasil pengukuran memperlihatkan bahwa kecepatan angin rata-rata per jam sangat kecil yaitu berkisar antara 0,5 – 2,08 m/s yang berarti masih di bawah kecepatan start-up wind speed turbin angin pada umumnya yaitu 2 – 3,8 m/s. Sementara itu, potensi daya air terukur sebesar 7.063 W, 11.281 W, dan 17.265 W. Dari hasil kajian awal tersebut dapat direkomendasikan bahwa potensi energi air dapat dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik skala mikrohidro, sedangkan untuk energi angin diperlukan studi yang lebih mendalam karena memerlukan data angin yang lebih lama setidaknya selama satu tahun. Kata Kunci : energi air, energi angin, energi terbarukan, kajian potensi ABSTRACT Preliminary study of renewable energy utilization as electrical energy supply in the conservation forest in Kuta Malaka is intended to make the forest more economically valuable without damaging the environment. Generated electric power is planned to be distributed to several buildings including a few of stalls (sort of café), administration offices and lodgments. The observed renewable energy sources are wind and hydro. Wind energy potential is obtained by measuring wind speed using a cup anemometer equipped with a data logger. Two-day measurement is conducted at two different locations. For hydro energy potential, the measurements are carried out at three points, which are considered to be potential by considering accessibility factor in order to facilitate the construction process. The measurement results show that hourly average wind speed is very small ranging from 0.5 to 2.08 m/s, which means that it is still below the start-up wind speed of wind turbines in general, i.e. from 2 to 3.8 m/s. Meanwhile, the hydro potential is measured as 7,063 W, 11,281 W, and 17,265 W. From the earlier study results, it might be recommended that the hydro potential can be utilized as micro hydro scale power plant; while for wind energy, further study is needed because it would take a longer time to collect data for at least one year. Keywords: hydro energy, wind energy, renewable energy, potential study
1.
PENDAHULUAN Beberapa sistem kelistrikan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sudah terintegrasi dengan jaringan listrik Sumatra Utara melalui jaringan 150 kV. Untuk wilayah NAD, desa yang telah teraliri listrik sudah mencapai 94% dengan rasio elektrifikasi sebesar 67% (Sutrisna, 2011). Namun demikian, pemanfaatan pembangkit listrik tenaga diesel masih digunakan di beberapa daerah di provinsi tersebut terutama di daerah yang belum terhubung dengan jaringan listrik PLN. Sebagai salah satu contoh wilayah di NAD yang belum teraliri listrik adalah di kawasan hutan lindung Kuta Malaka Kabupaten Aceh Besar. Di kawasan hutan lindung dengan luas kurang lebih 2000 hektar tersebut saat ini sedang digarap untuk 284
menjadi daerah wisata yang operasionalnya direncanakan akan didukung oleh pembangkit listrik tenaga ramah lingkungan. Di bawah binaan Koperasi Tata Rimba telah dikelola beberapa kegiatan produktif, antara lain kebun stroberi, buah naga, pisang, pohon jati, dll. Selain itu terdapat pula kolam ikan serta peternakan ayam dan sapi. Beberapa bangunan juga telah didirikan meskipun belum selesai pembangunannya, antara lain gedung administrasi koperasi dan dua pondok kafe. Saat ini seluruh operasional di kawasan Kuta Malaka didukung oleh tenaga listrik yang dibangkitkan dari genset. Untuk menjaga kelestarian lingkungan terutama dari dampak polusi penggunaan genset, pengelola merencanakan untuk mengeksplorasi semua potensi energi terbarukan yang ada dalam kawasan tersebut. Berdasarkan hasil observasi pengelola selama ini, diyakini bahwa sungai-sungai yang ada memiliki debit yang relatif stabil sepanjang tahun. Kecepatan angin di beberapa titik pada bulan-bulan tertentu juga sangat besar, yang diindikasikan dengan terbangnya atap pondok pekerja dan tumbangnya pohonpohon kecil. Bertolak pada kondisi tersebut di atas, pengelola menganggap perlu dilakukannya kajian awal berupa survei lapangan. Dari kegiatan survei tersebut diharapkan akan diperoleh data yang lebih terukur mengenai potensi energi terbarukan yang dapat dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik. Jenis energi yang disurvei diprioritaskan pada energi angin dan energi air. Kajian pemanfaatan energi terbarukan untuk pembangkit listrik di kawasan hutan lindung Kuta Malaka, Kabupaten Aceh Besar dilakukan untuk: (1) mendapatkan data dan informasi khususnya mengenai potensi energi angin dan energi air, dan (2) memberikan rekomendasi kepada pengelola hutan lindung mengenai jenis energi mana yang sebaiknya dimanfaatkan di antara kedua jenis sumber energi tersebut. Rekomendasi hasil kajian ini dapat dijadikan pengelola hutan lindung sebagai dasar pengembangan kawasan secara menyeluruh dan terpadu untuk meningkatkan produktifitas masyarakat tanpa mengabaikan kelestarian lingkungan. 2.
METODOLOGI Pada kajian pemanfaatan energi terbarukan ini, difokuskan dua kegiatan utama yaitu pengukuran potensi energi angin dan pengukuran potensi energi air. Kegiatan studi dan survei lapangan dilakukan di kawasan pegunungan Kuta Malaka Kabupaten Aceh Besar selama 3 hari, yaitu dari tanggal 17 sampai 19 Desember 2009. Metodologi kajian ini akan dijabarkan berikut ini. 2.1
Pengukuran Potensi Energi Angin Pada pengukuran potensi energi air, data yang diolah merupakan data primer yang dikumpulkan dari kegiatan observasi langsung melalui kegiatan survei lapangan. Adapun metoda pengukuran angin dilakukan dengan cara sebagai berikut: (1) Mencari dan mendatangi beberapa titik sasaran yang diperkirakan anginnya relatif besar dengan memperhatikan jenis-jenis obstacle yang terdapat di sekitarnya, misalnya banyaknya pepohonan, jenis rumput atau tanaman perdu dan perbukitan yang mengelilingi titik sasaran. (2) Di lokasi yang telah ditentukan, dilakukan pengukuran besarnya kecepatan angin. Pengukuran dilakukan menggunakan wind data logger yang dilengkapi dengan cup anemometer, display dan perekam data. Cup anemometer dipasang pada tiang dengan ketinggian ± 8 m. (3) Pencatatan data setiap dua detik pada wind data logger kemudian dihitung kecepatan angin rata-rata per jam. 2.2
Pengukuran Potensi Energi Air Sama halnya seperti pengukuran potensi energi angin, pengukuran potensi energi air dilakukan melalui melalui kegiatan survei lapangan dengan metode sebagai berikut:
285
(1) Mengidentifikasi dan penentuan lokasi dengan cara menyusuri aliran sungai guna mencari lokasi yang potensial yang dilanjutkan dengan penandaan lokasi menggunakan global positioning system (GPS). (2) Pengukuran tinggi jatuh air secara manual menggunakan meteran dan menggunakan GPS. (3) Pengukuran debit air dengan cara mengukur kecepatan aliran air menggunakan currentmeter dan perhitungan luas penampang sungai. 2.3 (a)
Metoda Analisis dan Perhitungan Energi angin Dari kegiatan survei awal energi angin ini hanya dapat memberikan informasi mengenai rencana penempatan turbin angin dan kecepatan angin rata-rata per jam. Untuk mendapatkan data yang lebih akurat diperlukan survei yang lebih komprehensif dengan terlebih dahulu melakukan pemetaan angin regional. Dari peta tersebut baru dapat diketahui wilayah mana yang memiliki kecepatan angin rata-rata paling tinggi dalam satu tahun. Selanjutnya di lokasi tersebut dipasang anemometer untuk mendapatkan karakteristik angin yang paling spesifik di tempat turbin angin atau wind farm akan dipasang. (b)
Energi air Dari data hasil survei potensi air berupa head dan debit air, selanjutnya dilakukan perhitungan untuk mengetahui besarnya potensi daya yang dapat dibangkitkan (P) dengan menggunakan persamaan (1) (Havey, et al., 2002): ………………. (1) di mana = massa jenis air (kg/m3), g = gravitasi (m2/s), Q = debit (m3/s), H = head atau beda ketinggian air (m). 3.
PROFIL DAERAH Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terletak paling ujung dari provinsi tersebut dengan koordinat 5,2˚ - 5,8˚ LU dan 9,50˚ - 95,8˚ BT. Kabupaten Aceh Besar memiliki batas wilayah sebelah utara yaitu Selat Malaka/Kota Banda Aceh, sebelah selatan yaitu Kabupaten Aceh Jaya, sebelah timur yaitu Kabupaten Pidie dan sebelah barat berbatasan dengan Samudera Indonesia. Kabupaten Aceh Besar terdiri dari 23 kecamatan, 68 pemukiman, 5 kelurahan dan 559 desa (Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Besar, 2007). Peta Kabupaten Aceh Besar diperlihatkan pada Gambar 1.
286
Gambar 1. Peta Kabupaten Aceh Besar Sumber: Google Maps (2012) dan Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Besar (2007) 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Potensi Energi Angin Pengukuran kecepatan angin dilakukan di 2 lokasi berbeda yang diperoleh dari informasi masyarakat sekitar di mana pada lokasi tersebut diperkirakan anginnya cukup kencang. Hasil pengukuran kecepatan angin di lokasi 1 yang berada di puncak bukit (Gambar 2) dan lokasi 2 yang berada di sekitar bangunan kantor administrasi koperasi (Gambar 3) ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1. Kecepatan Angin Rata-rata di Lokasi Waktu Tanggal 17/12/2009
18/12/2009
Jam 10.00 11.00 12.00 13.00 14.00 15.00 16.00 17.00 18.00 19.00 20.00 21.00 22.00 23.00 24.00 01.00 02.00 03.00 04.00
Lokasi 1 Kecepatan Angin rata-rata m/s 1,10 1,36 2,05 2,08 1,27 1,31 1,73 1,71 1,26 1,46 1,44 1,31 1,22 0,97 0,63 1,05 0,98 0,92 0,50
Lokasi 2 Kecepatan Angin rata-rata m/s
287
Waktu Tanggal
Jam 05.00 06.00 07.00 08.00 09.00 10.00 11.00 12.00 13.00 14.00 15.00 16.00 17.00 18.00 19.00
Lokasi 1 Kecepatan Angin rata-rata m/s 0,52 0,81 1,06 0,95 1,14
Lokasi 2 Kecepatan Angin rata-rata m/s
1,53 1,72 1,29 1,43 1,09 0,96 0,86 1,26 1,90 2,05
Gambar 2. Pengukuran kecepatan angin di lokasi 1 (sumber: dokumentasi saat survei lapangan)
Gambar 3. Pengukuran Kecepatan Angin di Lokasi 2 (Sumber: dokumentasi saat survei lapangan) Tabel 1 menunjukkan bahwa kecepatan angin rata-rata per jam pada lokasi 1 dan lokasi 2 sangat kecil, yaitu berkisar antara 0,5–2,08 m/s. Dari studi literatur yang dilakukan terhadap 10 unit produk turbin angin komersial yang dipublikasikan di internet, dengan daya berkisar antara 400 W–50 kW, diperoleh informasi bahwa start-up wind speed-nya berkisar antara 2–3,8 m/s dan rated wind speed 7–13 m/s. Hal ini berarti bahwa kecepatan angin 288
rata-rata per jam di lokasi 1 dan 2 tergolong rendah. Namun demikian terlalu dini untuk menyatakan bahwa kedua lokasi tersebut tidak layak untuk dipasang turbin angin. Kajian kecepatan angin untuk satu titik yang telah ditentukan sebagai tempat turbin angin memerlukan data angin setidaknya selama satu tahun. 4.2
Potensi Energi Air Pengukuran potensi energi air dilakukan dengan terlebih dahulu mencari lokasi yang potensial. Namun demikian karena waktu survei yang terbatas, maka tidak memungkinkan dilakukan penelusuran seluruh aliran sungai sehingga lokasi ditentukan dengan mempertimbangkan faktor keekonomian dan aksesibilitas yaitu jarak lokasi dengan jalan dan jarak lokasi dengan konsumen. Pada kajian ini akan dipaparkan beberapa lokasi yang potensial untuk dikembangkan sebagai pembangkit listrik tenaga air skala mikro hidro atau lebih dikenal dengan istilah PLTMH (pembangkit listrik tenaga mikro hidro). PLTMH adalah suatu pembangkit listrik tenaga air dengan daya maksimal 120 kW (Kusdiana, et al., 2008). Selanjutnya data survei potensi air untuk setiap lokasi dibuat dalam bentuk tabel seperti yang terlihat pada Tabel 2 berikut ini. Tabel 2. Potensi Energi Air No
Uraian
Simbol
1
Koordinat
2 3 4 5 6
Head (m) Kecepatan aliran air (m/s) Debit terukur (m3/s) Potensi daya hidrolis (W) Turbin yang digunakan
H v Q Ph
1 5,41 LU 95,38 BT 5,0 0,4 0,23 11.281 Propeler
Lokasi 2 5,40 LU 95,37 BT 5,0 0,3 0,144 7.063 Propeler
3 5,39 LU 95,36 BT 16 0,2 0,11 17.265 Crossflow
289
Gambar 4. Air Terjun Sebagai Sumber Tenaga Air (Sumber: dokumentasi saat survei lapangan) Lokasi kesatu berada pada koordinat 5,41 LU dan 95,38 BT dan berjarak sekitar 6 km dari jalan raya utama Provinsi NAD. Di lokasi ini head terukur tidak terlalu tinggi yaitu hanya 5 meter dengan debit sesaat 0,23 m3/s. Dengan dua parameter yang telah diketahui tersebut, yaitu head dan debit, maka potensi daya hidrolis di lokasi ini dapat diketahui yaitu sekitar 11.281 W. Lokasi kedua berada pada koordinat 5,40 LU dan 95,37 BT. Lokasi kedua ini berjarak sekitar 1 km dari lokasi kesatu dan memiliki head 5 meter dengan debit sesaat 0,144 m3/s. Potensi daya hidrolis yang dimiliki pada lokasi kedua ini adalah 7.063 W. Sekitar 2,5 km dari lokasi kedua, terdapat terjunan air yang potensial untuk pengembangan pembangkit listrik skala mikro hidro karena memiliki head yang cukup tinggi yaitu 16 m. Di lokasi yang berada pada koordinat 5,39 LU dan 95,36 BT ini, debit sesaat hasil pengukuran adalah 0,11 m3/s sehingga potensi daya yang dapat dibangkitkan adalah sebesar 17.265 W. Untuk lokasi kesatu dan kedua, turbin yang dapat digunakan untuk pembangkit listrik tenaga air adalah turbin jenis Propeler sedangkan pada lokasi ketiga menggunakan jenis turbin yang berbeda yaitu turbin Crossflow. Dari kajian awal pemanfaatan energi terbarukan yang telah dilakukan di kawasan hutan lindung Kuta Malaka, Kabupaten Aceh Besar, dapat direkomendasikan pemanfaatan sumber energi air sebagai pembangkit listrik skala mikro hidro. Sedangkan untuk energi angin, diperlukan studi yang lebih mendalam karena memerlukan data angin yang lebih lama, setidaknya selama satu tahun. 5.
KESIMPULAN Kajian awal pemanfaatan energi terbarukan di kawasan hutan lindung Kuta Malaka, Kabupaten Aceh Besar yang dilakukan melalui kegiatan survei lapangan mencakup dua sumber energi terbarukan yaitu energi angin dan energi air. Potensi kelayakan energi angin untuk dapat dimanfaatkan sebagai penggerak turbin angin masih belum dapat disimpulkan karena hasil pengukuran menunjukkan kecepatan angin rata-rata per jam sangat rendah, yaitu kurang dari 2,5 m/s, berarti belum bisa dimanfaatkan untuk memutar turbin dengan start-up wind speed 2,5 m/s. Perlu dilakukan pemetaan angin regional terlebih dahulu untuk menentukan lokasi anemometer atau titik yang paling optimum untuk memasang turbin angin. Sedangkan aliran sungai yang terdapat di kawasan hutan lindung Kuta Malaka Kabupaten Aceh Besar dapat dimanfaatkan sebagai sumber pembangkit listrik tenaga air skala mikro hidro dengan kapasitas daya 7.000 sampai 17.000 W. Potensi pembangkit listrik tenaga air skala mikro hidro masih dapat dieksplorasi lebih banyak lagi melalui survei lanjutan terutama untuk memanfaatkan potensi head rendah atau aliran sungai datar dengan head sekitar 1 m. Dengan adanya kajian ini diharapkan dapat dibangun pembangkit listrik skala mikro hidro di lokasi-lokasi yang memiliki potensi energi air guna meningkatkan nilai ekonomi kawasan hutan lindung Kuta Malaka. 290
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik – LIPI yang telah menfasilitasi kegiatan ini. Terima kasih juga kepada Bapak Tinton Dwi Atmaja, peneliti Bidang Mekatronik, Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik – LIPI yang telah bersedia me-review tulisan ini.
PUSTAKA Google, 2012. Google Maps. Diakses pada tanggal 14 Mei 2012. http://maps.google.co.id/. Havey, Adam, et al., 2002. Micro Hydro Design Manual – A Guide to small scale water power schemes. London : ITDG Publishing. Kusdiana, Dadan, et al., 2008. Pedoman Teknis Standardisasi Peralatan dan Komponen Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH). Jakarta : Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi - Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Besar, 2007. Geografis - Peta Wilayah Aceh Besar. Diakses pada tanggal 14 Mei 2012. http://www.acehbesarkab.go.id/acehbesar/index.php?option=isi&task=view&id=27&It emid=76. Sutrisna, Kadek Fendy, 17 Desember 2011. Kondisi Kelistrikan di Beberapa Wilayah Indonesia. Indone5ia. Diakses pada tanggal 10 Mei 2012. http://indone5ia.wordpress.com/2011/12/17/kondisi-kelistrikan-di-beberapa-wilayahdi-indonesia/.
291
RANCANG BANGUN ALAT UJI SEAL DINAMIK UNTUK APLIKASI PENGUJIAN SEAL MEKANIS, SEAL OLI, DAN PAKING TAMBANG Ridwan Arief Subekti Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik - LIPI Kompleks LIPI, Jalan Sangkuriang, Gedung 20 Lantai 2 Bandung 40135 Telp. (022) 2503055 E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Paper ini membahas tentang perancangan alat uji seal yang memiliki kelebihan yaitu dapat menguji beberapa jenis seal dinamik dengan mengganti pelat yang berfungsi sebagai dudukan seal sesuai dengan tipe seal yang akan diuji. Metode perancangan alat uji seal dinamik ini adalah dengan melakukan perhitungan dimensi dan material poros, perancangan bearing, perhitungan umur bearing dan perancangan bagian-bagian pendukung lainnya. Hasil rancangan adalah sebuah alat uji seal dinamik menggunakan poros dengan material S 45 C yang memiliki tegangan tarik maksimal 58 2 kg/mm . Alat uji seal dinamik ini dapat menguji seal dengan diameter dalam 30 mm dengan kondisi operasi berupa tekanan dan putaran yang dapat divariasikan. Beberapa jenis seal yang dapat diuji adalah seal mekanis, seal oli, dan paking tambang. Sebagai motor penggerak digunakan motor induksi tiga fasa dengan daya 4 kW dan putaran 945 rpm. Kata Kunci: alat uji, seal dinamik, seal mekanis, seal oli, paking tambang ABSTRACT This paper discusses the design of seal testing device which has the advantage that it can test several types of dynamic seals to replace the plate that serves as a seal holder in accordance with the type of seal to be tested. Methodology used in designing the dynamic seal test equipment were to calculate dimensions and material of shaft, to design the bearing, to calculate the bearing life and to design other supporting parts. The result of the design is the dynamic seal testing device using shaft from S 2 45 C material which has a maximum tensile stress of 58 kg/mm . This dynamic seal testing device is capable in testing seal with inner diameter of 30 mm under various pressures and rotations operating conditions. Seals that are able to be tested using this device are mechanical seal, oli seal, and gland packing. Activator motor used was three phase induction motor with 4 kW power and 945 rpm. Keywords : testing device, dynamic seal, mechanical seal, oil seal, gland packing
1. PENDAHULUAN Seal merupakan bagian dari suatu mesin yang berfungsi sebagai penghalang keluar atau masuknya cairan melalui poros, baik itu fluida proses maupun pelumas. Ada dua jenis seal yaitu seal dinamik dan seal statis. Seal dinamik adalah suatu penyegelan pada permukaan yang bergerak rotasi maupun permukaan yang bergerak meluncur, sedangkan seal statis adalah suatu penyegelan yang terdapat antara permukaan yang tidak saling bergerak satu sama lainnya (Neale, 1994). Ada beberapa jenis seal dinamik, antara lain paking tambang atau gland packing, O-ring seal, seal mekanis atau mechanical seal, dan seal oli atau oil seal atau rotary lip seal. Paking tambang biasanya dibuat dengan sistem jalinan atau anyaman dengan bentuk penampang kotak. Bahan penyusunnya bisa berupa graphite, acrilic, PTFE, asbestos dan sebagainya. Oring awalnya merujuk pada karet berbentuk bundar yang berfungsi sebagai seal. Sedangkan seal mekanis adalah suatu alat pengeblok fluida yang merupakan kombinasi menyatu antara sealface yang melekat pada poros yang berputar dan sealface yang diam dan melekat pada dinding statis casing/housing. Beberapa alat uji seal yang ada saat ini dikhususkan hanya untuk menguji satu jenis seal saja misalnya alat uji khusus seal mekanis (Monk, dkk., 2004; A-Tech Instruments Ltd, 2010) dan alat uji khusus untuk seal tipe cincin/oil seal (Whitney Systems Inc, 2010; Wu, 2012). Alat uji seal tersebut dapat digunakan untuk beberapa kondisi operasi yang berbeda seperti 292
variasi tekanan, suhu, putaran, beban serta kondisi operasi tertentu lainnya. Salah satu contoh alat uji seal mekanis diperlihatkan pada Gambar 1.
Sumber: Monk, dkk. (2004)
Gambar 1. Alat Uji Seal Mekanis Dengan latar belakang tersebut, kiranya perlu dilakukan perancangan alat uji seal yang dapat menguji berbagai jenis seal dinamik. Kelebihan dari alat uji seal hasil rancangan ini adalah dapat menguji beberapa jenis seal antara lain seal mekanis, seal oli, dan paking tambang dengan mengganti pelat yang berfungsi sebagai dudukan seal sesuai dengan tipe seal yang akan diuji. Tujuan makalah ini adalah menjelaskan proses perancangan alat uji seal dinamik yang dapat menguji seal dengan diameter dalam 30 mm. Perhitungan alat uji seal dinamik ini meliputi perhitungan dimensi dan material poros, perhitungan umur bearing, perancangan rumah seal, rumah bearing dan bagian-bagian pendukung alat uji seal lainnya. 2. METODE PERANCANGAN 2.1. Prinsip Kerja Alat Uji Seal Dinamik Hasil Rancangan Alat uji seal terdiri dari sebuah tabung silinder yang berfungsi sebagai tabung pengujian yang dilengkapi dengan nepel untuk pengisian air sampai sebatas setengah poros. Dengan menggunakan nepel yang sama, udara bertekanan dimasukkan ke dalam silinder sampai tekanan yang ditentukan dengan melihat alat pengukur tekanan udara atau pressure gauge yang terdapat di atas silinder. Variasi tekanan udara dapat dilakukan sesuai dengan tekanan kerja yang dibutuhkan saat pengujian. Pada alat uji seal ini terdapat suatu pelat yang dapat diganti-ganti menyesuaikan jenis seal yang akan diuji. Beberapa komponen utama alat uji seal dinamik terdapat pada Gambar 2.
Gambar 2. Alat Uji Seal Dinamik 293
Poros alat uji seal dinamik ini ditumpu oleh dua buah bearing serta baling-baling pada bagian ujungnya yang berfungsi memutar air dan udara bertekanan. Poros diputar mengunakan motor AC 3 fasa berdaya 4 kW dan putaran 945 rpm di mana perbandingan diameter pulli alat uji seal dengan pulli motor adalah 1:2. Dengan menggunakan variable speed control, pengujian seal dapat dilakukan dengan beberapa variasi kecepatan mulai dari 0 sampai 1890 rpm. Dengan berputarnya poros tersebut, kita dapat melihat ada tidaknya kebocoran pada seal dengan melihat alat pengukur tekanan di mana bila terjadi kebocoran pada seal maka tekanan akan berkurang. Selain itu kita juga dapat melihat rembesan air pada poros bila terdapat suatu kobocoran. 2.2. Perancangan Poros Poros adalah salah satu komponen utama yang sangat penting pada alat uji seal dinamik ini. Pada umumnya poros dibuat dari baja batang yang ditarik dingin dan difinis atau juga baja karbon konstruksi mesin (disebut bahan S-C). Tegangan geser yang diijinkan ( ) dan diameter poros minimum yang diperlukan (dp) dihitung menggunakan persamaan: (N/mm2)
(1)
(mm)
(2)
Di mana = tegangan tarik maksimal (N/mm2), SF = faktor keamanan, dan T = torsi (Nmm) (Sularso & Suga, 1997; Khurmi & Gupta, 1991). 2.3. Perancangan Bearing Bearing adalah elemen mesin yang menumpu poros berbeban, sehingga putaran atau gerak bolak-baliknya dapat berlangsung secara halus, aman, dan baik. Sebuah bearing membawa beban radial dan beban aksial. Beban ekivalen dinamis (P), faktor kecepatan (fn), faktor umur (fh) dan umur nominal bearing aksial (Lh) dihitung menggunakan persamaan (Sularso & Suga, 1997): (kg)
(3) (4) (5)
(jam)
(6)
Di mana X dan Y = faktor yang nilainya diambil dari Tabel “Faktor-faktor V, X, Y, Xo dan Yo”, Fr = beban radial (kg), Fa = beban aksial (kg), n = putaran (rpm), dan C = beban nominal dinamis spesifik (kg). 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Poros Poros merupakan bagian yang memegang peranan penting dalam menunjang unjuk kerja atau performa suatu mesin. Untuk itu diperlukan perhitungan yang matang dalam menentukan jenis dan dimensi poros agar alat uji seal ini dapat dapat berfungsi sebagaimana yang diinginkan. Data awal yang digunakan dalam perancangan alat uji seal dinamik ini adalah sebagai berikut: Daya motor (P) Putaran (n) Torsi (T)
= 5,5 HP (4 kW) = 945 rpm = 40.417,2 Nmm (Tatung, 2006) 294
Pada perancangan alat uji seal dinamik ini, material poros yang digunakan adalah baja karbon yaitu S 45 C dengan tegangan tarik maksimal ( ) = 58 kg/mm2 atau 568,98 N/mm2. Pemilihan bahan poros ini didasarkan pada kekuatan dan keekonomisannya karena bahan jenis S 45 C cukup kuat dan murah. Dengan menggunakan Persamaan (1) dan faktor keamanan yang digunakan adalah 7, maka tegangan geser yang diijinkan ( ) adalah sebesar:
Setelah tegangan geser yang diijinkan diketahui, selanjutnya diameter poros minimal dihitung menggunakan Persamaan (2). Pada Persamaan (2), torsi (T) yang dimaksud adalah torsi maksimal yang dapat disalurkan oleh poros di mana torsi tersebut sama dengan torsi yang tertera pada spesifikasi motor penggerak yaitu 40.417,2 Nmm sehingga diperoleh diameter poros (dp) minimal adalah sebesar:
Dari perhitungan di atas didapat bahwa diameter poros minimal adalah 16,37 mm, namun demikian dengan mempertimbangkan faktor keamanan maka diambil diameter poros minimal (Ø min) adalah 20 mm. Pada perancangan dimensi poros ini diameter poros maksimal (Ø mak) adalah 48 mm dan panjang poros 586 mm. Detail dimensi poros hasil rancangan digambarkan seperti yang terdapat pada Gambar 3.
Gambar 3. Poros Alat Uji Seal Dinamik 3.2
Gaya-gaya yang Bekerja pada Poros Sebelum melakukan perhitungan bearing, maka perlu diketahui dahulu besanya gayagaya yang bekerja pada poros tersebut. Pada alat uji seal dinamik ini, air yang dimasukan ke dalam tabung pengujian adalah sebatas setengah poros. Dimensi poros, tabung pengujian dan berat beberapa komponen alat uji seal dinamik diperlihatkan seperti yang terdapat pada Tabel 1. Tabel 1. Dimensi dan Berat Beberapa Komponen Alat Uji Seal Dinamik Simbol Nilai Keterangan 20 mm diameter poros minimal poros min poros mak
Lporos Øtabung Ltabung
48 mm diameter poros maksimal 586 mm panjang poros 250 mm diameter tabung 240 mm panjang tabung 295
Simbol Wporos Wimpeller Wpulli
Nilai
Keterangan 20 kg berat poros 10 kg berat impeller 10 kg berat pulli
Sumber: Hasil pengamatan
Pada perhitungan ini, udara bertekanan dimasukan pada tabung pengujian sebesar 3 bar atau setara dengan 3x105 N/m2. Karena air yang dimasukan ke dalam tabung pengujian adalah sebatas setengah poros, maka gaya yang diakibatkan oleh tekanan udara pada setengah penampang poros yang tidak terendam air dapat dihitung dan difinisikan menjadi dua bagian yaitu gaya yang searah sumbu X (Fr) yang besarnya 2.402 N dan gaya yang searah sumbu Y (Fa) yang besarnya 106 N. Gaya-gaya yang bekerja pada poros alat uji seal diperlihatkan sebagaimana pada Gambar 4. Gaya yang sejajar sumbu X terdiri dari gaya akibat tekanan udara dan gaya aksial yang diterima oleh bearing 1 dan bearing 2. Gaya yang sejajar sumbu Y terdiri dari gaya yang diakibatkan oleh berat pulli, poros, impeller, gaya akibat tekanan udara, dan gaya radial masing-masing bearing. Selain gaya yang searah sumbu X dan sumbu Y, terdapat juga torsi yang transmisikan oleh poros motor penggerak.
Sumber: Hasil pengamatan
Gambar 4. Gaya-Gaya yang Bekerja pada Poros Alat Uji Seal Setelah gaya-gaya yang bekerja pada poros diketahui, selanjutnya dilakukan perhitungan statika struktur sehingga diperoleh besarnya gaya aksial dan radial yang ditanggung oleh bearing 1 (titik B) dan bearing 2 (titik D) (Popov & Tanisan, 1996). Σ Fx = 0 ; FaB + FaD = 106 N Dianggap FaB = 0 maka FaD = 106 N Σ Fy = 0 ; -98,1+FrB-196,2+FrD-2.402-98,1= 0 FrB + FrD = 2.794,4 N
(7)
ΣMA=0; 40.417,2 - (FrB * 103,5) + (196,2 * 212) -(FrD*320,5)+(2.402*502)+(98,1*586)= 0 103,5 FrB + 320,5 FrD = 1.345.302,2 N (8) Untuk menyamakan Persamaan (7) dan Persamaan (8) maka Persamaan (7) dikali 103,5, dan Persamaan (8) dikali 1 sehingga didapat: 296
103,5FrB+103,5FrD = 289.220,4 103,5FrB+320,5 FrD = 1.345.302,2 -217 FrD = - 1.056.081,8 FrD = 4.866,7 N
(9) (8)
103,5 FrB + 320,5 FrD = 1.345.302,2 FrB = -2.072,2 N Dari perhitungan di atas, didapat bahwa besarnya gaya aksial bearing 1 (FaB) dan bearing 2 (FaD) masing-masing adalah 0 dan 106 N, sedangkan gaya radial bearing 1 (FrB) dan bearing 2 (FrD) masing-masing adalah 2.072,2 N arah sumbu Y negatif (ke bawah) dan 4.866,7 N. 3.3
Analisa Bearing 1 (Dekat Pulli) Pada perancangan ini, ukuran dimensi bearing disesuaikan dengan dimensi poros dan dimensi dudukan pelat yang juga berfungsi sebagai dudukan rumah bearing. Dengan mempertimbangkan ruang yang ada dan gaya yang bekerja pada bearing tersebut, maka bearing yang digunakan adalah deep groeve ball bearing nomor 6308. Deep groeve ball bearing nomor 6308 memiliki dimensi diameter dalam (Ø1) = 40 mm, diameter luar (Ø2) = 90 mm, tebal (B) = 23 mm dan dynamic basic load ratings (C) = 41.000 N (SKF, 1994). Dengan menggunakan Persamaan (3) – (6) dan dari tabel diketahui besarnya nilai X = 0,56 dan Y = 1,00, dan putaran pulli (n) = 1.890 rpm atau 2 x putaran motor (diameter pulli motor adalah 2 kali diameter pulli alat uji seal), maka didapat beban ekivalen dinamis (P) adalah 2.072,2 N, faktor kecepatan (fn) adalah 0,26, faktor umur (fh) adalah 5,1, dan umur nominal (Lh) dari bearing 1 adalah 68.235 jam. 3.4
Analisa Bearing 2 (dekat impeler) Tipe dan nomor bearing yang digunakan pada poros dekat impeler sama dengan bearing dekat pulli yaitu deep groeve ball bearing nomor 6308. Dengan menggunakan Persamaan (3) – (6), maka didapat beban ekivalen dinamis (P) adalah 2.831,4 N, faktor kecepatan (fn) adalah 0,26, faktor umur (fh) adalah 3,77, dan umur nominal (Lh) dari bearing 2 adalah 26.750 jam. Dari perhitungan analisa terhadap bearing 1 dan bearing 2 diketahui bahwa umur bearing 1 adalah 68.235 jam dan umur bearing 2 adalah 26.750 jam. Dalam merancang suatu mesin yang bekerja secara terus–menerus seperti pompa, poros transmisi, mesin perkakas dan lainnya, umur bearing didesain dapat beroperasi selama 20.000 sampai 30.000 jam, sehingga pada perancangan alat uji seal dinamik ini umur bearing telah memenuhi persyaratan yang ditentukan (Sularso & Suga, 1997). 3.5
Hasil Perancangan Hasil perancangan alat uji seal dinamik selanjutnya dapat digambarkan seperti pada Gambar 5 dan 6.
297
Sumber: Hasil pengamatan
Gambar 5. Pelat Dudukan Seal; (a) Pengujian Seal Mekanis, (b) Pengujian Seal Oli, (c) Pengujian Paking Tambang
298
Sumber: Hasil pengamatan
Gambar 6. Rangkaian Alat Uji Seal Dinamik; (a) Sebelum Terasembling, (b) Terasembling Gambar 5 memperlihatkan pelat dudukan seal yang akan dipasang pada alat uji seal dinamik menyesuaikan jenis seal yang akan diuji. Dengan mengganti pelat dudukan seal tersebut, maka pengujian berbagai jenis seal dapat dilakukan. Hal ini berbeda dengan alat uji seal yang ada saat ini di mana alat tersebut dikhususkan untuk menguji satu jenis seal saja (Monk, dkk., 2004; A-Tech Instruments Ltd, 2010; Whitney Systems Inc, 2010; Wu, 2012). Gambar 6 memperlihatkan rangkaian salah satu jenis seal yang diuji yaitu seal mekanis. Pelat dudukan seal mekanis dipasang di antara “Dudukan Pelat” dan “Tabung Pengujian” (Gambar 6 (a)), sedangkan Gambar 6 (b) memperlihatkan dimensi alat uji seal mekanis yang telah terasembling.
Gambar 7. Prototipe alat uji seal dinamik 299
Gambar 7 memperlihatkan prototipe alat uji seal dinamik hasil rancangan yang dapat digunakan untuk menguji berbagai jenis seal seperti seal mekanis, seal oli, dan paking tambang. 4. KESIMPULAN Dari perancangan alat uji seal dinamik ini dapat diambil kesimpulan yaitu untuk menguji seal yang ukurannya tidak sesuai dengan standar di pasaran, dibutuhkan suatu alat uji seal yang dapat dioperasikan sesuai kondisi kerja yang kita inginkan. Hasil perancangan alat uji seal ini menggunakan poros dengan material S 45 C yang memiliki tegangan tarik maksimal 58 kg/mm2. Berbeda dengan alat uji seal yang ada di pasaran saat ini di mana alat uji tersebut hanya dapat menguji satu jenis seal saja, maka alat uji seal dinamik hasil rancangan ini memiliki kelebihan yaitu dapat menguji berbagai jenis seal dinamik dengan diameter dalam seal 30 mm. Alat uji seal dinamik ini dapat digunakan untuk kondisi operasi tekanan mulai dari 0 sampai 3 bar dan variasi putaran poros mulai dari 0 sampai 1.890 rpm. Untuk selanjutnya, kiranya dapat dilakukan penelitian lanjutan guna menyempurnakan alat uji seal dinamik ini agar dapat menguji seal dengan berbagai ukuran dan juga perlu adanya perangkat lunak yang dapat menyimpan data-data selama pengujian.
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik – LIPI yang telah mendanai kegiatan penelitian ini. Terima kasih juga kepada Bapak Anjar Susatyo yang telah menfasilitasi kegiatan penelitian, Bapak Hendri Maja Saputra, peneliti Bidang Mekatronik, Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik – LIPI yang telah bersedia me-review tulisan ini, Ibu Naili Huda yang telah membantu dalam penulisan dan kepada semua pihak yang telah membantu pada kegiatan penelitian ini . PUSTAKA A-Tech Instruments Ltd., 2010. Mechanical Seal Quality Tester. Dipetik Desember 16, 2010, dari Mechanical Seal Quality Tester: http://www.atech.ca/doc_application/AppNote_31_Slip_ring_tester_ATI.pdf Khurmi, R., & Gupta, J., 1991. A Text Book of Machine Design (Third ed.). New Delhi, India: Eurosia Publising House (Pvt.) LTD. Monk, J., Tanguis, F., Speer, S., & Brown, S., 2004. Mechanical Seal Test Stand. (D. M. murphy, Penyunt.) Dipetik Desember 16, 2010, dari Mechanical Seal Test Stand: http://appl003.lsu.edu/mech/mechweb.nsf/$Content/Spring+04/$file/ME4202S04_Tea m2.pdf Neale, M. J., 1994. Drives & Seals : A Tribology Handbook. (M. J. Neale, Penyunt.) Oxford: Butterworth-Heinemann Ltd. Popov, E., & Tanisan, Z. A., 1996. Mekanika Teknik (Mechanics of Materials) (Kedua ed.). (B. Daniel siregar, B. Edi Harjadi Tjahjana, Penyunt., & Z. A. Tanisan, Penerj.) Jakarta, Indonesia: Erlangga. SKF, 1994. General Catalogue. Sweden: SKF. Sularso, & Suga, K., 1997. Dasar Perencanaan dan Pemilihan Elemen Mesin (Kesembilan ed.). Jakarta, Indonesia: PT Pradnya Paramita. Tatung, 2006. Tatung Motor Name Plate. China. Whitney Systems Inc., 2010. Seal Ring Tester. (Whitney Systems Inc) Dipetik Desember 16, 2010, dari Seal Ring Tester: http://www.whitneysystems.com/Seal-Ring-Tester74.htm Wu, W., 2012. Oil Seal Dynamic Ratation Durability Tester. (Chun Yen Testing Machines Co., Ltd) Dipetik Desember 16, 2010, dari Oil Seal Dynamic Ratation Durability Tester: http://www.allproducts.com/machine/chunyen/Product-200772119919.html
300
LAMPIRAN
301
Lampiran 1. Innovation in Developing Country: Experiences in Developing and Commercializing ECVT&ECCT Technologies for Cancer Diagnosis and Therapy. Warsito P Taruno
302
303
304
305
306
307
308
309
310
LAMPIRAN 2.
SUSUNAN ACARA
08.00 – 09.00
Registrasi dan Kopi Pagi
09.00 – 09.15
Menyanyikan Lagu Kebangsaan “Indonesia Raya”
09.15 – 09.30
Kata Sambutan Prof. Dr.Ir. Husein Avicenna Akil M.Sc. (Kepala Pusat Penelitian Perkembangan Iptek, LIPI)
09.30 – 09.45
Pengarahan Prof. Dr.Ir .H. Gusti Muhammad Hatta, MS. (Menteri Negara Riset dan Teknologi, Republik Indonesia)
09.45 – 10.00
Pembukaan Prof. Dr. Lukman Hakim, MSc. (Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)
10.00 – 11.15
Pembicara Kunci Prof. Rishikesha T. Krishnan (Professor of Corporate Strategy & Policy, Indian Institute of Management, Bangalore) “Management of Frugal Innovation, Lessons from India Experiences” Moderator: Dr. Ninok Leksono
Sesi Utama Tempat
:
Ruang Seminar Lantai 1 Gedung Widya Graha
Waktu
:
Pukul 11.15 – 12.30
Moderator
:
Dr. Ninok Leksono (Rektor Universitas Multimedia Nusantara)
11.15 – 11.40
Dr. Warsito P. Taruno (Penemu) Produk Inovatif Terjangkau dan Terpercaya: Kisah Sukses Perangkat Pengobatan Kanker
11.40– 12.05
Dr. Trina Fizzanty, Dra. Nani Grace Simamora, M.Hum, Ir. Dudi Hidayat, M.Sc (Peneliti Senior, Pusat Penelitian Perkembangan Iptek, LIPI) Inovasi Frugal di Indonesia: Kajian terhadap Permintaan Efektif, Kemampuan Teknologi, dan Kewirausahaan
12.05 – 12.30
Diskusi
12.30 – 13.30
Ishoma
Sesi Paralel 1 Tema
Kebijakan dan Kondisi Makro
Tempat
:
Ruang Seminar Lantai 1 Gedung Widya Graha
Waktu
:
13.30 – 15.20
Moderator
:
Ir. Dudi Hidayat, M.Sc.
13.30 – 13.40
Dudi Hidayat Proses Pengembangan Inovasi Frugal Dilihat dari Perspektif 311
Ekonomi Institusional Berparadigma Realisme Kritis 13.40 – 13.50
Fajar Suprapto Pengembangan Kelembagaan: Indonesian Science and Technology Park (ISTP)
13.50 – 14.00
Jatmiko Wahyudi Strategi Lembaga Litbang Daerah dalam Mengembangkan Inovasi Frugal di Kabupaten Pati
14.00 – 14.20
Diskusi
14.20 – 14.30
Mahra Arari Heryanto, Dika Supyandi Peran Lembaga Riset dalam Sistem Inovasi Frugal Sektor Pertanian: Analisis Berpikir Sistem
14.30 – 14.40
Karlina Sari, Kusnandar Faktor-Faktor yang Mendukung Inovasi Frugal: Kondisi di India dan Prospek di Indonesia
14.40 – 14.50
Anugerah Yuka Asmara, Andjar Prasetyo Implementation of The Krenova Program of Magelang Municipality in 2012 (Study on Three Prominent Products of Magelang Municipality in The Category of Creative-Innovative-Applied at a Competitive Cost)
14.50 – 15.00
Kusnandar, Galuh Syahbana Indraprahasta, Anugerah Yuka Asmara Komodo Car Development In The Midst Of Policy Uncertanty
15.00 – 15.20
Diskusi
Sesi Paralel 2 Tema
Pengembangan Inovasi Teknologi
Tempat
: Ruang Seminar Lantai 5 Gedung Widya Graha
Waktu
: 13.30 – 15.10
Moderator
: Dr. Trina Fizzanty
13.30 – 13.40
Ari Wijayani, Rina Srilestari, Tutut Wirawati Teknologi Frugal Menggunakan Enkas yang Dimodifikasi : untuk Pengembangan Kentang Tahan Terhadap Penyakit Layu Fusarium
13.40 – 13.50
Wawan Kartiwa Haroen, Posma Reginald Panggabean Application Of Pulp Modification for Automotive Breake Lining
13.50 – 14.00
Wanda Listiani Budaya Kreatif Desainer Graphic Fashion dalam Inovasi Frugal Patchwork Bandung
14.00 – 14.20
Diskusi
14.20 – 14.30
Fuad Abdilah Pengembangan Prototipe Pegas Ulir (Spring Coil) Kereta Api Sebagai Upaya Mengurangi Unscheduled Downtime di PT. KAI
312
14.30 – 14.40
Ari Wijayani, Mofit Eko Poerwanto, Siwi Hardiastuti Alih Teknologi Litbang LPPM UPN Veteran Yogyakarta Pada Petani Bunga Krisan di Kawasan Terdampak Bencana Gunung Merapi: Mendukung Inovasi Frugal Menggunakan Amelioran dan PGPR untuk Meningkatkan Pendapatan Masyarakat
14.50 – 15.10
Diskusi
Sesi Paralel 3 Tema
Pemanfaatan Inovasi Teknologi
Tempat
:
Ruang Perpustakaan Lantai 1 Gedung Widya Graha
Waktu
:
13.30 – 15.10
Moderator
:
Dra. Wati Hermawati, MBA.
13.30 – 13.40
Dwi Retno Lukiwati Pupuk Organomineral dan Anorganik untuk Meningkatkan Produksi Jagung Manis dan Kualitas Jerami di Tanah Masam
13.40 – 13.50
Ridwan Arief Subekti Studi Pemanfaatan Energi Air untuk Meningkatkan Rasio Elektrifikasi Daerah Terpencil
13.50 – 14.00
Henny Sudibyo, Ridwan Arief Subekti Pengembangan Sistem Konversi Energi Angin untuk Meningkatkan Kesejahteraan di Kabupaten Indramayu
14.00 – 14.20
Diskusi
14.20 – 14.30
Lia Yuldinawati Cost Reduction/Penghematan Biaya Melalui Teknik Baru Finishing Bangunan dalam Mendukung Pengembangan Budaya Kreatif dalam Mendukung Inovasi Frugal
14.30 – 14.40
Theresia Mutia Pemanfaatan Membran Gelatin/Polivinil Alkohol Berskala Mikro Hingga Nano sebagai Pembalut Luka Primer
14.40 – 14.50
Alan Novi Tompunu, Irma Salamah, Tri Arief Sardjono Rehabilitasi Suara Penderita Tuna Laring Menggunakan Electrolarynx Berbasis Microcontroller
14.50 – 15.10
Diskusi
Sesi Paralel 4 Tema
Litbang dan Inovasi
Tempat
:
Ruang Rapat Pappiptek Lantai 8, Gedung Widya Graha
Waktu
:
13.30 – 15.20
Moderator
:
Drs. Budi Triyono, M.Si
13.30 – 13.40
Wasito, Siti Sehat Tan, Kasdi Subagyono Senjang Adopsi Teknologi Pada Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Organik dan Pandan Wangi di Kabupaten Tasikmalaya dan Cianjur 313
13.40 – 13.50
Purnama Alamsyah, Dini Oktaviyanti Open Source sebagai Driver Inovasi Frugal
13.50 – 14.00
Intan Savitri Wahyoe, Togar M. Simatupang Kajian Kasus Eko-Inovasi Pertanian Organik melalui Lensa Teori Strukturasi dan Pendekatan Praktik
14.00 – 14.20
Diskusi
14.30 – 14.40
Wasito, E. Eko Ananto, dan Vyta W. Hanifah Model Agribisnis Pedesaan Lahan Kering Yang Ramah Lingkungan: Kasus Sistem Integrasi Tanaman dan Ternak (SITT) di Kabupaten Blora
14.40 – 14.50
Fitri Novika Widjaja, Siti Rahayu Aplikasi Teknologi Berbasis Sistem Informasi Manajemen Untuk Mengefisienkan Kualitas Layanan Logistik di PT DMK Surabaya
14.50 – 15.00
Puji Wahono Strategi Inovasi Frugal Pada Industri Batik Berbasis Budaya Kreatif dan Berdimensi Pembangunan Berkelanjutan: Studi Kasus Pada Industri Kreatif Batik di Jawa Timur
15.00 – 15.20
Diskusi
15.30 – 16.00
Kesimpulan Pengumuman “Makalah terbaik” Disampaikan oleh: Ir. Dudi Hidayat, M.Sc.
16.00 - 16.15
Penutupan Dr. Ir. Djusman Sajuti (Sekretaris Utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)
314
Lampiran 3. Daftar Pemakalah
No 1
2 3 4 5
6
7
Nama Lengkap Alan Novi Tompunu, Irma Salamah, Tri Arief Sardjono Dwi Retno Lukiwati Henny Sudibyo, Ridwan Arief Subekti Lia Yuldinawati Wasito, Siti Sehat Tan, Kasdi Subagyono Wasito, E. Eko Ananto, dan Vyta W. Hanifah Jatmiko Wahyudi
8 9 10
Puji Wahono Ridwan Arief Subekti Fitri Novika Widjaja, Siti Rahayu
11
Wanda Listiani
12
Anugerah Yuka Asmara, Andjar Prasetyo Ari Wijayani, Rina Srilestari, Tutut Wirawati Ari Wijayani, Mofit Eko Purwanto, Siwi Hardiastuti Mahra Arari Heryanto, Dika Supyandi
13
14
15
16
18
Kusnandar, Galuh Syahbana Indraprahasta, Anugerah Yuka Asmara Wawan Kartiwa Haroen, Posma Reginald Panggabean Theresia Mutia
19 20 21
Fuad Abdilah Dudi Hidayat Fajar Suprapto
17
Institusi Jurusan Teknik Komputer, Politeknik Negeri Sriwijaya, Jurusan Teknik Elektro, ITS Fak. Peternakan UNDIP Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik-LIPI Institut Manajemen Telkom Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Kantor Litbang Kabupaten Pati FISIP Universitas Jember Puslit Telimek - LIPI Jurusan Manajemen, Fakultas Bisnis dan Ekonomika, Universitas Surabaya Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung PAPPIPTEK LIPI Kantor Litbang dan Statistik Kota Magelang Fak. Pertanian UPN Veteran Yogyakarta
Email
[email protected],
[email protected]
Fak. Pertanian UPN Veteran Yogyakarta
[email protected]
Laboratorium Sosiologi dan Penyuluhan Pertanian UNPAD PAPPIPTEK LIPI
[email protected],
[email protected]
Center For Pulp And Paper, Ministry of Industry
[email protected]
Center For Pulp And Paper, Ministry of Industry IKIP Veteran Semarang PAPPIPTEK Ristek
[email protected]
315
[email protected] [email protected] [email protected] [email protected]
[email protected]
[email protected] [email protected] [email protected] [email protected],
[email protected]
[email protected] [email protected],
[email protected] [email protected]
[email protected] [email protected] [email protected]
[email protected] [email protected] [email protected]
No 22
Nama Lengkap Karlina Sari, Kusnandar
Institusi PAPPIPTEK
Email
[email protected],
[email protected]
23
Purnama Alamsyah, Dini Oktaviyanti Intan Savitri Wahyoe, Togar M. Simatupang
PAPPIPTEK
[email protected] [email protected] [email protected]
24
SBM-ITB
316
Lampiran 4. Susunan Panitia
Panitia Pengarah Prof. Dr. Lukman Hakim Dr. Ir. Djusman Sajuti Prof. Dr. Erman Aminullah, M.Sc. Ir. Dudi Hidayat, M.Sc. Panitia Pelaksana Penanggung jawab: Prof. Dr. Ir. Husein Avicenna Akil, M.Sc. Ketua Panitia: Dra. Nani Grace Simamora, M.Hum. Tim Panitia: Prof. Erman Aminullah, M.Sc. Dr. Trina Fizzanty Ir. Dudi Hidayat, M.Sc. Drs. Budi Triyono, M.Si. Dra. Wati Hermawati, M.B.A. Zarnita, A.Md. Ummi Aslamah, A.Md. Erna Mardiana, S.Kom. Warkim, S.Kom. Purnama Alamsyah, S.E. Setiowiji Handoyo, S.E. Irene Muflikh Nadhiroh, S.Si. Kusnandar, M.T. Dini Oktaviyanti, M.Si. Galuh Syahbana Indraprahasta, M.Si. Anugerah Yuka Asmara, S.A.P. Karlina Sari, M.A. Lutfah Ariana, S.T.P., M.P.P. Elmi Achelia, M.TI. Jarot Sumardi Abdul Malik Wiyono, S.E. Sobari
Opan Supandi, M.TI. Tri Handayani, S.Kom. Prakoso Bhairawa P., S.IP., M.A. Rini Wijayanti M.Kom. Indri Juwita Asmara, M.TI. Rizka Rahmaida, S.Si. Endang Mardiningsih, A.Md. Adzan Sofyawan, S.Sos. Vetti Rina Prasetyas, S.H.
317
PUSAT PENELITIAN PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA Jl. Jend. Gatot Subroto No. 10, Widya Graha LIPI Lt.8, Jakarta 12710 Telepon 021-5201602, 5225206, 5251542 ext. 704 Faximile 021-5201602, Email
[email protected] Website http://www.pappiptek.lipi.go.id