INOVASI BIROKRASI SEBAGAI SYARAT PELAYANAN PUBLIK
Andhyka Muttaqin Dosen Tetap Jurusan Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Email :
[email protected]
ABSTACT Bureaucracy is a central or a spearhead in the public service, but what if that the bureaucratic tendencies in the community rumor "complicated or intricate." In this paper tries to intoduce innovative bureaucracy in public services. Key words: Innovation Bureaucracy, Public Service
Pendahuluan
politik ke dalam berbagai kebijakan publik dan berfungsi melakukan pengelolaan atas pelaksanaan berbagai kebijakan tersebut secara operasional. Sebab itu disadari bahwa birokrasi merupakan faktor penentu keberhasilan keseluruhan agenda pemerintahan. Berikut di ditampilkan metode dari birokrasi:
Dalam kehidupan berbagai negara bangsa di berbagai belahan dunia, birokrasi berkembang merupakan wahana utama dalam penyelenggaraan negara dalam berbagai bidang kehidupan bangsa dan dalam hubungan antar bangsa. Disamping melakukan pengelolaan pelayanan, birokrasi juga bertugas menerjemahkan berbagai keputusan
Tabel1 ; Metode Kinerja Birokrasi Metode Lama
Metode Baru
Unskilled work (pekerjaan tanpa keahlian)
Knowledge work (pekerjaan dengan keahlian)
Meaningless repetitive task (pekerjaan berulang tak bermakna)
Innovation and caring (menemukan cara baru dan punya kepedulian)
Individual work (pekerjaan perorangan)
Team work (pekerjaan kelompok)
Functional-based work (pekerjaan berbasis fungsional)
Project-based work (pekerjaan berbasis proyek)
Single skilled (satu bidang keahlian)
Multiskilled (Beragam keahlian)
194
Andhyka M ; Inovasi Birokrasi Sebagai Syarat Pelayanan Publik 195
Power of bosses (Atasan berkuasa)
Power of customers/public/stakeholder (Konsumen/publik berkuasa)
Coordination from above Coordination among peers (Koordinasi dari atas) (Kordinasi antar rekan kerja) Sumber: Gifford and Pinchot, 1993. Dalam Jurnal Model Reformasi Birokrasi, Syafuan Rozi, PPW LIPI, th. 2000 Cukup banyak permasalahan dalam birokrasi pemerintah yang menjadi isu publik di Indonesia dewasa ini. Beberapa dari permasalahan tersebut antara lain meliputi : tigginya penyalahgunaan kewenangan dan penyimpangan; rendahnya kinerja sumberdaya aparatur; belum memadainya sistem kelembagaan (organisasi) dan ketatalaksanaan (manajemen) pemerintahan; rendahnya kesejahteraan PNS; serta banyaknya peraturan perundang-undangan yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan dan tuntutan pembangunan. tidak mudah memahami fenomena birokrasi di Indonesia. Para ahli administrasi publik di Indonesia juga berselisih pendapat dalam memahami fenomena yang ada. Beberapa ahli menilai persoalan utama birokrasi di Indonesia adalah masalah sumber daya manusia, baik menyangkut komitmen pimpinan, maupun kualitas dan moralitas PNS pada umumnya. Sementara sebagian ahli lain lebih menyoroti sistem sebagai faktor penentu kinerja birokrasi. Strategi reformasi pemerintah pada kenyataannya juga diarahkan untuk melakukan perbaikan terhadap kedua aspek tersebut. Akan tetapi, fakta tentang kinerja reformasi birokrasi hingga waktu sekarang ini belum memuaskan. Fenomena tersebut mengindikasikan adanya faktor penentu kinerja reformasi yang selama ini belum mendapat perhatian para ahli dan pengambil kebijakan dalam birokrasi pemerintah. Caiden (1969) sudah mengingatkan kuatnya pengaruh faktor ini terhadap kinerja reformasi, demikian pula Peters
ADMINISTRATIO
(1994) dan Farazmand (2002). Faktor dimaksud adalah budaya. Budaya memberikan pengaruh yang besar terhadap kinerja reformasi, karena reformasi sangat terkait dengan kepercayaan, nilai-nilai dan sikap yang diadaptasi dan dikembangkan dalam birokrasi (Abueva, 1970). Salah satu budaya birokrasi yang sangat penting bagi reformasi birokrasi adalah berkembangnya inovasi dalam instansi pemerintah. Inovasi sangat penting, karena memungkinkan birokrasi untuk berfungsi lebih dinamis dan melakukan improvement. Tulisan ini dimaksudkan untuk melihat reformasi birokrasi dalam kaitannya dengan budaya inovasi dalam birokrasi. Konsep Inovasi Birokrasi dan Pelayanan Publik Inovasi merupakan konsep yang relatif baru dalam literatur administrasi publik (public administration). Hasil penelitian David Mars (dalam Lee, 1970) mengungkapkan bahwa sampai tahun 1966 tidak ditemukan publikasi dari tulisan administrasi publik yang mengulas tentang inovasi. Adapun literatur klasik yang memuat konsep inovasi dalam konteks reformasi antara lain adalah artikel “Innovation in Bureaucratic Institutions” tulisan Alfred Diamant yang dimuat dalam jurnal Public Administration Review (PAR) pada tahun 1967. Selain itu, adalah buku karya Caiden yang berjudul “Administrative Reform”, diterbitkan pada tahun 1969. Dalam bukunya tersebut, Caiden menguraikan inovasi sebagai bagian dari
ISSN : 2087-0825
196 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.2, No.1, Januari-Juni 2011
reformasi administrasi (administrative reform). Beberapa tulisan tersebut menandai mulai diperhatikannya inovasi oleh para pakar administrasi publik. Hanya saja, konsep inovasi kemudian masih belum cukup popular dalam ranah administrasi publik dan reformasi administrasi. Inovasi popular dalam bidang tersebut baru pada dekade terakhir. Kurang populernya konsep inovasi pada masa lalu dapat difahami karena karakter reformasi yang lebih didasarkan pada prinsip-prinsip birokrasi weber. Dalam konsepsi weber, birokrasi memerlukan aturan yang jelas, hirarki, spesialisasi dan lingkungan yang relatif stabil. Dalam konteks ini, inovasi dipandang tidak banyak diperlukan bagi aparatur birokrasi pemerintah (Kelman, 2005). Kewajiban aparatur birokrasi pemerintah adalah menjalankan aturan yang telah ditetapkan (rule driven). Jika kemudian inovasi dilaksankan, hanya dalam intensitas yang kecil dan dilakukan terbatas pada level pimpinan puncak. Inovasi, dalam hal ini sebagaimana reformasi administrasi didekati melalui mekanisme top down (Caiden, 1969). Pada tahun 90 an, new public management (NPM) mulai menggeser hegemoni konsepsi weber dalam reformasi administrasi. Reformasi kemudian mengalami pembelokan arah menuju birokrasi yang mengedepankan hasil, partisipasi, berorientasi pelanggan, digerakan oleh misi, dan desentralisasi (Osborne, 1992). Pada era baru ini, inovasi justru sangat dihargai oleh pendukung gerakan reformasi. Perkembangan terakhir menunjukan kemajuan pada penggunaan istilah inovasi dalam bidang administrasi publik. Pada negara seperti Korea, konsep inovasi bahkan telah “menggantikan” konsep reformasi. Pengalaman Korea menunjukan bahwa penerapan inovasi pada negara tersebut telah meningkatkan
ADMINISTRATIO
kualitas penyelenggaraan pemerintahan di tingkat lokal (Yoo, 2002). Keberhasilan sebagaimana Korea ini juga terjadi pada penerapan inovasi di kanada (Robertson and Ball, 2002). Sementara di China, inovasi telah dianggap sebagai bagian dari tradisi China (Shenkar, 2006). Inovasi atas birokrasi sangat medukung bagi berkembangnya ekonomi dan teknologi China dewasa ini. Semua ini menunjukan nilai penting inovasi bagi perubahan yang dinginkan. Evers (1987) mengelompokkan birokrasi ke dalam 3 pola, (a) Weberisasi yang memandang birokratisasi sebagai proses rasionalisasi prosedur pemerintah dan aparat; (b) Parkinsonisasi yang melihat birokratisasi sebagai pertumbuhan atau membengkaknya jumlah pegawai negeri dan (c) Orwelisasi yang memandang birokratisasi sebagai proses memperluas kekuasaan pemerintah dengan maksud mengontrol kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat dengan regulasi dan kalau perlu dengan paksaan (Soesilo Zauhar, 2006). Ada beberapa alasan kenapa bentuk ideal birokrasi rasional jarang (tidak) nampak dalam praktek sehari-hari. Pertama, manusia maujud tidak hanya untuk organisasi, kedua, birokrasi tidak kebal terhadap perubahan, Ketiga, birokrasi dirancang memang untuk untuk orang "rasional", sehingga dalam realitas mereka tidak dapat saling dipertukarkan untuk fungsi keseharian organisasi (Perrow, 1979). Atas dasar itu maka Bendix (1957) berkesimpulan bahwa birokrasi rasional lebih cocok dan dapat hidup di negeri barat daripada di negeri timur (Soesilo Zauhar, 2006), Eisenstadt (1959) telah mengelompokkan gagasan birokrasi ke dalam 2 pandangan, yaitu: 1). Gagasan tentang birokrasi sebagai alat yang efisien dan efektif untuk mewujudkan lesan-lesan tertentu; 2). Gagasan tentang birokrasi sebagai alat
ISSN : 2087-0825
Andhyka M ; Inovasi Birokrasi Sebagai Syarat Pelayanan Publik 197
untuk mempeoleh, mempertahankan dan melaksanakan kekuasaan. Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan, birokrasi sebagai ujung tombak pelaksana pelayanan publik mencakup berbagai program-program pembangunan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Tetapi dalam kenyataannya, birokrasi yang dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan tersebut, seringkali diartikulasikan berbeda oleh masyarakat. Birokrasi di dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan (termasuk di dalamnya penyelenggaraan pelayanan publik) diberi kesan adanya proses panjang dan berbelit-belit apabila masyarakat menyelesaikan urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur pemerintahan. Akibatnya, birokrasi selalu mendapatkan citra negatif yang tidak menguntungkan bagi perkembangan birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal pelayanan publik). Oleh karena itu, guna menanggulangi kesan buruk birokrasi seperti itu, birokrasi perlu melakukan beberapa perubahan sikap dan perilakunya antara lain : a. Birokrasi harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada hal pengayoman dan pelayanan masyarakat; dan menghindarkan kesan pendekatan kekuasaan dan kewenangan b. Birokrasi perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang bercirikan organisasi modern, ramping, efektif dan efesien yang mampu membedakan antara tugas-tugas yang perlu ditangani dan yang tidak perlu ditangani (termasuk membagi tugastugas yang dapat diserahkan kepada masyarakat) c. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem dan prosedur kerjanya yang lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi
ADMINISTRATIO
modern yakni: pelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka dengan tetap mempertahankan kualitas, efesiensi biaya dan ketepatan waktu. d. Birokrasi harus memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik dari pada sebagai agen pembaharu (change of agent ) pembangunan e. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari birokrasi yang kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi yang strukturnya lebih desentralistis, inovatif, flrksibel dan responsive (Agus Suryono, 2005) Dari pandangan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam upaya mewujudkan birokrasi yang baik dan efisien perlu dipersiapkan tenaga kerja atau aparat yang benar-benar memiliki kemampuan (capabelity), memiliki loyalitas kepentingan (competency), dan memiliki keterkaitan kepentingan (consistency atau coherency). Pelayanan umum adalah hak masyarakat dan merupakan tanggungjawab negara, guna memenuhi kebutuhan masyarakat. Dari konsep tersebut, dapat dirumuskan bahwa ada hak yang dimiliki masyarakat untuk mendapat pelayanan terus menerus, secara efisien dan membayar dengan harga pantas. Selanjutnya hak tersebut harus terwujud dengan tersedianya pelayanan kepada semua lapisan masyarakat. Bahkan hak itu dapat dituntut dengan paksa secara hukum untuk dilaksanakan. Sebaliknya pemberi pelayanan umum diberi kewenangan menjual jasa dengan mempergunakan sarana milik umum. Jadi prinsip dan hakekat pemberian kewenangan dimaksudkan untuk diabdikan demi kepentingan umum, (Sedarmayanti, 1999:198). Selanjutnya demensi kualitas pelayanan yang terpenting menurut Fitzsimmonns (1994 :190), ada lima demensi sebagai berikut :
ISSN : 2087-0825
198 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.2, No.1, Januari-Juni 2011
a. Reliability, yakni kemampuan untuk memberikan secara tepat dan benar, jenis pelayanan yang telah dijanjikan kepada konsumen/pelanggan. b. Responsiveness, kesadaran atau keinginan untuk membantu konsumen dan memberikan pelayanan yang cepat. c. Assurance, pengetahuan atau wawasan, kesopan-santunan, kepercayaan diri dari pemberi layanan, serta respek terhadap konsumen. d. Empathy, kemauan pemberi layanan untuk melakukan pendekatan, memberi perlindungan, serta berusaha untuk mengetahui keinginan dan kebutuhan konsumen. e. Tangibles, penampilan para pegawai dan fasilitas fisik lain seperti peralatan yang menunjang pelayanan publik. Menurut Terziovski (2007), kemampuan inovasi suatu lembaga ditentukan oleh sejumlah faktor yang disebutnya sebagai dimensi kemampuan inovasi. Dimensi kemampuan inovasi tersebut antara lain meliputi: visi dan strategi, perekatan dasar kompetensi, penguatan informasi dan kecerdasan organisasi, orientasi pasar dan pelanggan, kreativitas dan manajemen gagasan, sistem dan struktur organisasi, dan manajemen teknologi. Dalam praktek penyelenggaran pemerintahan di Gorontalo, Pare-pare, dan Sragen, berbagai dimensi dari kemampuan inovasi tersebut juga tampak jelas mempengaruhi keberhasilan inovasi yang diterapkan oleh ketiga daerah tersebut. Beberapa Contoh Daerah Inovasi dalam Pelayanan Kabupaten Jembrana sering disebut sebagai juara yang mempelopori pendidikan dan kesehatan gratis. Sejak 2001 Jembrana menyediakan pelayanan publik yang terjangkau dan merata bagi rakyat,
ADMINISTRATIO
misalnya melalui skema “sekolah gratis” dan “kesehatan gratis”. Sejak 2003, Jembrana melakukan relokasi subsidi kesehatan, yakni mengalihkan subsidi yang semula diberikan untuk biaya obatobatan RSUD dan Puskesmas, kemudian digunakan untuk membayar premi (iuran) asuransi bagi seluruh rakyat. Semua penduduk yang punya KTP Jembrana langsung mendapat kartu anggota JKJ, yang diperoleh secara gratis. Untuk mendanai “sekolah gratis”, Jembrana telah mensubsidi Rp. 14,7 miliar, atau hampir Rp. 3,7 miliar per tahun, dalam kurun waktu 2001-2004. Dengan perhitungan sekitar 44 ribu siswa SD sampai SMU negeri, maka tiap siswa ratarata disubsidi sebesar Rp. 85 ribu per tahun. Siswa sejumlah 44 ribu orang ini merupakan 19% dari total penduduk Jembrana. Sejak tahun 2003 Jembrana juga menyediakan beasiswa untuk siswa sekolah swasta yang membutuhkan. Beasiswa telah diberikan kepada sekitar 3.800 siswa dengan total dana sebesar Rp. 437 juta. Dengan demikian, besar beasiswa mencapai Rp. 115 ribu per siswa per tahun. Reformasi sosial berhasil menekan angka kemiskinan dari 19,4% (2001) menjadi 10,9% (2003); kematian bayi (per 1000 lahir hidup) dari 15,25 (2001) menjadi 8,39 (2003); dan tingkat drop out sekolah dasar dari 0,08% menjadi 0,02% pada tahun yang sama. Upaya pendidikan dan kesehatan gratis juga ditempuh Belitung Timur. Minahasa baru menggratiskan biaya pendidikan. Kota Balikpapan mempromosikan program penanggulangan kemiskinan yang berkelanjutan, alokasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBD (2006); pengurangan beban masyarakat dalam pembiayaan pendidikan (2006); maupun program pelayanan kesehatan dasar gratis (2006). Tanah Datar, 2000-2005, bekerja keras memperbaiki kualitas pendidikan dan meningkatkan akses pendidikan bagi
ISSN : 2087-0825
Andhyka M ; Inovasi Birokrasi Sebagai Syarat Pelayanan Publik 199
keluarga miskin. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dianggarkan Rp 600 juta untuk beasiswa anak cerdas dari keluarga tidak mampu. Mengingat pentingnya pendidikan, di Tanah Datar, 54 persen dari APBD (Rp 251 miliar) dianggarkan bagi pembangunan pendidikan, 57 persen di antaranya adalah untuk gaji guru. Dengan programprogram ini, selain kualitas pendidikan meningkat, juga ada sekitar 9.000 anak dari keluarga tak mampu dibebaskan dari kewajiban membayar SPP. Pemerintah Kota Blitar telah menjalankan sebuah kebijakan untuk menangani salah satu permasalahan kemiskinan dengan cara membangkitkan kembali semangat kegotongroyongan dalam kultur hidup masyarakat yang akhir-akhir ini memudar karena perkembangan zaman. Bentuk konkret kebijakan dimaksud adalah melancarkan kegiatan rehabilitasi secara gotong royong rumah milik warga masyarakat miskin yang oleh masyarakat sekitar dinyatakan kumuh. Secara formal, kebijakan ini diformulasikan dengan nomenklatur Bantuan Revitalisasi Rumah Kumuh (BR2K). Purbalingga, yang belum banyak didengar, melakukan inovasi kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan dengan mengusung empat program utama: Program Stimulan Pemugaran Rumah Keluarga Miskin (PSPR Gakin); Program Padat Karya Pangan (PPKP); Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat, serta Alokasi Dana Desa (ADD). PSPR Gakin, misalnya, hendak memugar rumah gakin sejumlah 14.325 rumah sejak 2003 dan ditargetkan selesai tahun 2010. Pemerintah daerah menyedian stimulan 2 juta rupiah per rumah gakin, yang kemudian disokong oleh modal sosial (swadaya masyarakat dan gotong royong). Sampai tahun 2007, rumah miskin yang berhasil dipuhar sudah mencapai sekitar 60%. Kebijakan
ADMINISTRATIO
Purbalingga pro miskin yang radikal tersebut memang menghasilkan prestasi yang cukup menggembirakan. Usia harapan hidup meningkat dari 65,6 (2001) menjadi 68,7 (2004); angka kematian ibu melahirkan menurun dari 143 (2001) menjadi 110 (2004), prevalensi balita gizi kurang menurun dari 13,8 menjadi 2,25 pada periode tahun yang sama, cakupan air bersih meningkat dari 46,24% (2001) menjadi 67,3% (2004), cakupan penduduk peserja jaminan perawatan kesehatan meningkat dari 35% (2001) menjadi 65% (2004), penduduk miskin berkurang dari 39,73% (2001) menjadi 34,78%. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Purbalingga pada tahun 1999 sebesar 63.0, yang menempati ranking 33 dari 35 kabupaten/kota di seluruh Jawa Tengah pada tahun 2001, kemudian meningkat menjadi 64,5 (ranking 30) pada tahun 2002, meningkat drastis menjadi 65,9 (ranking 18) pada tahun 2003, dan pada tahun 2004 menjadi 67 dengan ranking 15 di Jawa Tengah. Praktek inovasi dalam penyelenggaraan birokrasi pemerintah di Indonesia telah diungkapkan dalam sejumlah literatur. Beberapa daerah yang sering menjadi rujukan sebagai best practices penerapan inovasi antara lain adalah Propinsi Gorontalo, Kabupaten Sragen, dan Kabupaten Jembrana. Menilik kinerja ketiga daerah tersebut, terbukti inovasi sangat diperlukan bagi birokrasi pemerintah dalam proses reformasi. Bagi pemerintah daerah pada umumnya, fenomena Propinsi Gorontalo, Kabupaten Sragen, dan Kabupaten Jembrana adalah pelajaran yang sangat bernilai. Pada daerah-daerah tersebut, kapasitas pemerintah daerah dalam melakukan inovasi di daerah tampak berkorelasi positif dengan dukungan masyarakat terhadap pemerintah daerah masingmasing. Adapun bentuk dukungan masyarakat yang paling nyata adalah terpilihnya kembali pemangku jabatan
ISSN : 2087-0825
200 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.2, No.1, Januari-Juni 2011
Gubernur, Bupati atau Walikota untuk periode kedua dalam kepemimpinannya, dan hal ini merupakan refleksi dari kepuasan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Fenomena pada ketiga daerah tersebut bisa jadi hal yang lumrah jika terjadi pada masa-masa sebelum sistem Pemilihan Kepala Daerah Langsung (PILKADAL) diberlakukan pada tahun 2005. Namun pada masa sekarang ini, apa yang terjadi pada ketiga daerah tersebut adalah bagian dari pembelajaran untuk para pemimpin di daerah-daerah lain, khususnya yang ingin mempertahankan jabatannya selama dua periode. Hal ini karena dalam mekanisme PILKADAL terdapat ruang yang cukup luas bagi msyarakat untuk menentukan nasib kepemimpinan pejabat publik di daerah. Pada ketiga daerah tersebut, dukungan publik terhadap pemangku jabatan kepala daerah sangat besar yang ditunjukkan oleh tingginya prosentase masyarakat yang memilih mereka untuk kembali menjadi pemimpin daerah, yang diatas 80 % dari total partisipan dalam PLKADAL. Hasil PILKADAL di Propinsi Gorontalo, 81 % suara mendukung Fadel Muhamad untuk kembali memimpin Provinsi Gorotalo hingga tahun 2011. Sedangkan di Kabupaten Sragen, Untung Sarono Wiyono Sukarno, mendapatkan dukungan 87,34 % suara untuk kembali menjabat Bupati Sragen periode 20062011. Sementara I Gede Winasa mendapatkan dukungan masyarakat untuk menjadi Bupati Jembrana yang kedua kalinya, dengan prosentase suara mencapai 88,56 %. Semua ini menunjukan bahwa masyarakat memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap para pemimpin tersebut, dan menaruh harapan yang cukup besar bagi perbaikan kehidupan mereka dimasa kepemimpinan berikutnya. Tidak dipungkiri bahwa keberhasilan para pemimpin daerah tersebut dalam meraih dukungan dan
ADMINISTRATIO
kepercayaan publik adalah karena strategi dan kebijakan yang mereka kebangkan selama masa kepemimpinan periode pertama telah memberikan hasil yang dapat dinikmati oleh masyarakat. Kunci dari kinerja ini adalah inovasi. Melalui inovasi mereka mampu meningkatkan kinerja daerah yang dipimpinnya secara signifikan. Pada tahun 2006, Gorontalo telah berubah menjadi provinsi dengan pertumbuhan ekonomi 7,3 %; PDRB per kapita atas dasar harga konstan mencapai Rp. 2.351.715; dan angka kemiskinan menurun dari 32,12 % pada Tahun 2002 menjadi 29 %. Kondisi yang sama juga terjadi pada Kabupaten Sragen dan Jembrana. Tahun 2006, pertumbuhan ekonomi Kabupaten Sragen mencapai 6,8 % dan PDRB meningkat 57,48 % dibandingkan dengan PDRB tahun 2002. Sedangkan Kabupaten Jembrana, di tahun akhir periode pertama kepemimpinan Gede Winasa, laju pertumbuhan ekonomi mencapai 5,29 %; PDRB perkapita meningkat dari Rp 5.480.000 pada Tahun 2001 menjadi Rp 7.403.000; dan angka kemiskinan menurun dari 19,4 % pada tahun 2002 menjadi 8,85 %. Kisah keberhasilan inovasi Gorontalo, Sragen dan Jembrana ini sebenarnya telah banyak dikemukakan dalam berbagai tulisan di jurnal, surat kabar, dan seminar-seminar. Seiring dengan hal tersebut, inovasi kemudian menjadi kata yang populer di lidah dan telinga penyelenggara pemerintahan di Indonesia. Dalam perkembangan sekarang ini, inovasi bahkan diyakini sebagai keharusan bagi pemerintah daerah. Dasar pemikirannya adalah bahwa inovasi telah terbukti meningkatkan efektivitas pemeritah daerah, yang telah ditunjukan terutama oleh ketiga daerah yang telah disebutkan dalam tulisan ini. Lebih dari itu, inovasi diperlukan dalam menghadapi kondisi lingkungan pemerintah daerah dewasa ini. Sejak otonomi daerah digulirkan tahun 1999, pemerintah daerah
ISSN : 2087-0825
Andhyka M ; Inovasi Birokrasi Sebagai Syarat Pelayanan Publik 201
selain memiliki kewenangan yang luas dalam mengelola pemerintahan di tingkat daerah, juga memiliki kewajiban yang besar untuk memberikan pelayanan yang baik bagi masyarakatnya. Dalam konteks ini inovasi diperlukan agar kualitas pelayanan yang diberikan pemerintah daerah lebih dekat dengan kebutuhan nyata masyarakat. Diskusi Inovasi Birokrasi VS Stagnisasi Birokrasi Berbicara masalah birokrasi sangat menarik untuk didiskusikan apalagi menyakut tentang progres dari kinerja birokrasi. Menurut Evers (1987) birokrasi di Indonesia masuk ke dalam 3 pola yaitu (a) Weberisasi yang memandang birokratisasi sebagai proses rasionalisasi prosedur pemerintah dan aparat; (b) Parkinsonisasi yang melihat birokratisasi sebagai pertumbuhan atau membengkaknya jumlah pegawai negeri dan (c) Orwelisasi yang memandang birokratisasi sebagai proses memperluas kekuasaan pemerintah dengan maksud mengontrol kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat dengan regulasi dan kalau
perlu dengan paksaan (Soesilo Zauhar, 2006). Dari pandangan tersebut menjadi sebuah acuan kritis bahwa birokrasi di Indonesia perlu adanya perintah dari atasan atau pimpinan, kalau pimpinan yang diatansnya tidak mau berubah secara otomatis bawahannya tidak akan berubah selamanya Banyaknya pegawai bisa jadi tidak efektif dan tidak tahu apa yang akan dikerjakan dikrenakan pekerjaan yang seharusnya bisa dikerjakan 1 orang bisa jadi 3-s orang, oleh karena itu inovasi akan mustahil akan digerakkan pada suatu birokrasi. Disamping itu sangatlah “lucu” didalam sebuah peraturan pegawai negeri tidak boleh terlibat politik praktis akan tetapi pucuk kepemimpinan berasal dari orangorang parpol, secara otomatis misi-yang dibawanya akan bermuatan politik sesuai dengan gagasannya Eisenstadt (1959) gagasan tentang birokrasi sebagai alat untuk mempeoleh, mempertahankan dan melaksanakan kekuasaan.. Berikut ini bagan yang menggambarkan tentang bagaimana cara untuk mengintegrasikan didalam inovasi birokrasi
BIROKRASI YANG INOVASI
ADMINISTRATIO
ISSN : 2087-0825
202 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.2, No.1, Januari-Juni 2011
Penutup
Referensi
Dari bagan bisa diambil kesimpulan bahwa didalam inovasi birokrasi perlu adanya integrasi di semua lini, tidak hanya pada individu yang ada di dalam birokrasi tetapi system, lembaga maupun masyarakat perlu ada persamaan persepsi apakah perlu birokrasi di inovasi ataukah tidak? Pertanyaan mendasar yang perlu di lontarkan apabila akan melaksanakan inovasi birokrasi. Meskipun kesadaran perlunya inovasi birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia tampaknya makin menguat, namun kenyataannya sekarang ini yang menerapkan inovasi dalam proses penyelenggaraan pemerintahannya. Dari keseluruhan jumlah pemerintah daerah yang terdiri dari 33 provinsi dan 472 Kabupaten/Kota, diperkirakan tidak lebih dari 5 % yang menonjol dalam inovasi. Pada umumnya, pemerintah daerah memberlakukan penyelenggaraan pemerintahan sebagai rutinitas,yang tidak punya targetan yang jelas khususnya dalam melayani kebutuhan masyarakat, jadi bisa di katakana birokrasi di Indonesia pada umumnya masi stagnisasi dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Inovasi birokrasi bukan mustahil untuk diterapkan akan tetapi perlu adanya sinergisitas dari semua pihak. Berbagai upaya pemerintah untuk mendorong inovasi pada birokrasi melalui berbagai penghargaan, juga tidak banyak menunjukan hasil sebagaimana yang diharapkan. Inovasi, dengan demikian belum menjadi unsur penting dari budaya birokrasi pemerintah. Hal demikian ini juga mengindikasikan bahwa birokrasi pemerintah sekarang belum mampu menyerap dan mengembangkan nilai-nilai manajemen yang lebih maju.
Albraw, Martin, 2007. Birokrasi. Diterjemahkan oleh M.Rusli Karim dan Totok Daryanto. Yogyakarta: Tiara Wacana. Albrow, Martin, 1970, Bureaucracy, New York: Praeger Publisher. Almond, Gabriel, dan Bingham Powel, 1996. Comparative Politics Development Approach. Bombai, India: Little Company. Bendix, Reinhard, 1977, Bureaucracy, International Encyclopedia of the Social Sciences, New York: Free Press. Blau, Peter M.,1956, Bureaucracy in Modern Society, New York: Random House. Budiman, Arief; dan Ph. Quarles van Ufford (eds); 1988. Krisis Tersembunyi dalam Pembangunan: Birokrasi-birokrasi Pembangunan. Jakarta: Penerbit PT Gramedia. Donellon, eds., 1994, Post- Bureaucratic Organization, Thousands Oaks: Sage Publications. Downs, Anthony, 1967, Inside Bureaucracy, Boston: A Rand Corporation Research Study, Little, Brown and Company. Duto, Sosialismanto, 2001. Hegemoni Negara: Ekonomi Politik Pedesaan Jawa. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama. Dwiyanto, Agus (ed), 2006. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. ---------------, 2002. Perspektif Perilaku Birokrasi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. --------------, 2006. “Strategi Melakukan Reformasi Birokrasi Pemeirntah di Indonesia”, dalam Agus Dwiyanto (ed), Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik.
ADMINISTRATIO
ISSN : 2087-0825
Andhyka M ; Inovasi Birokrasi Sebagai Syarat Pelayanan Publik 203
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Evers, Hans Dieter, 1987, "The Bureaucratization of Southeast Asia", dalam Comparative Studies in Society and History, Volume 29, Number 4, 1997. Heckscher, C., 1994, Defining the PostBureaucratic Type, dalam Heckscher, C., and a. Kumorotomo, Wahyudi, 1999. Etika Administrasi Negara. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Machiavelli, Niccolo, 1991. Sang Penguasa: Surat Seorang Negarawan Kepada Pemimpin Republik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Makmur, H., 2007. Patologi Serta Terapinya dalam Ilmu Administrasi dan Organisasi. Bandung: PT Refika Aditama. Osborne, David; dan Peter Plastrik, 2000. Memangkas Birokrasi: Lima Strategi Menuju Pemerintahan Wirausaha. Edisi Revisi. Diterjemahkan oleh Abdul Rosyid dan Ramelan. Jakarta: Penerbit PPM. Osborne, David; dan Ted Gaebler, 1996. Mewirausahakan Birokrasi: Mentransformasi Semangat Wirausaha ke dalam Sektor Publik. Diterjemahkan oleh Abdul Rosyid. Jakarta: PT Pustaka Binaman Pressindo. Raadschelders, Jos C.N., 2003. Government: A Public Administration Perspective. New York: M.E. Sharpe. Riggs, Fred W. (ed), 1996. Administrasi Pembangunan: Sistem Administrasi dan Birokrasi. Diterjemahkan oleh Luqman Hakim. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Rourke, Francis, 1992, American Exceptionalism: Government Without Bureaucracy, dalam L.B. Hill, ed., The State of Public
ADMINISTRATIO
Bureaucracy, M.E. Sharpe, Inc., New york. Said, M.Ma’ud, 2007. Birokrasi di Negara Birokratis. Malang: UPT Penerbitan Universitas Muhammadyah Malang. Siagian, S.P., 1996. Patologi Birokrasi. Jakarta: Bumi Aksara. Sinambela, Lijan Poltak, et al., 2006. Reformasi Pelayanan Publik: Teori, Kebijakan, dan Implementasi. Jakarta: PT Bumi Aksara. Syafiie, Inu Kencana, 2004. Birokrasi Pemerintahan Indonesia. Bandung: Mandar Madju. Tangkilisan, Hessel Nogi S., n.d. Penataan Birokrasi Publik Memasuki Era Millenium. Yogyakarta: Penerbit YPAPI. Thoha, Miftah, 2007. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Thomson, Dennis F., 2002. Etika Politik Pejabat Negara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Tjiptoherijanto, Prijono, 2004. Kependudukan Birokrasi dan Reformasi Ekonomi. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Tjokrowinoto, Moeljarto, et al., 2001. Birokrasi dalam Polemik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Utomo, Warsito, 2006. Administrasi Publik Baru di Indonesia: Perubahan Paradigma dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Vroom, C.W., 1982, Pembangunan Organisasi: Sebuah Telaah ulang tentang Tesis Birokrasi PatrimonialRasional di Asia, Prisma, 6 Juni 1982, 28-39. Weber, Max, 1946, The Theory of Social and Economic Organization, Ed. and Trans A.M. Henderson and Talcott Parson, Macmillan, New York. Wicaksono, Kristian Widya, 2006. Administrasi dan Birokrasi
ISSN : 2087-0825
204 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.2, No.1, Januari-Juni 2011
Pemerintah. Yogyakarta: Graha Ilmu. Widodo, Joko, 2001. Good Governance: Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Surabaya: Penerbit Insan Cendekia. Wilson, James Q., 1989. Bureaucracy: What Government Agencies Do and Why They Do It. USA: Basic Book, Inc.
ADMINISTRATIO
Yates, Douglas, 1982, Bureaucratic Democracy: The Search for Democracy and Efficiency in American Government, Harvard University Press., Cambridge. Asropi, Jurnal Ilmu Administrasi, Volume V, Nomor 3, September 2008, hal. 246-255 Budaya Inovasi dan Reformasi Birokrasi Jurnal Model Reformasi Birokrasi, Syafuan Rozi, PPW LIPI, th. 2000
ISSN : 2087-0825