ingin bicara sebentar mengenai MicroCon." Kemudian ia berputar sedikit dan memperlihatkan lencananya. Greiman meledak. "Oh, demi Tuhan. Lagi? Rupanya kalian tidak bosan-bosannya menteror saya."
"Menteror?" "Saya sudah didatangi anggota staf Kongres, saya sudah didatangi FBI. Dan sekarang polisi L.A.? Kami bukan penjahat. Kami pemilik sebuah perusahaan dan kami berhak menjualnya. Mana Louis?" Si resepsionis berkata, "Mr. Enders sedang menuju ke sini." Connor berkata dengan tenang, "Mr. Greiman, maaf kalau kami terpaksa mengganggu Anda. Kami hanya ingin mengajukan satu pertanyaan. Takkan makan waktu lama." Greiman melotot. "Apa pertanyaan Anda?" "Berapa banyak penawaran yang Anda terima untuk MicroCon?" "Itu bukan urusan Anda," balas Greiman. "Lagi pula, kesepakatan kami dengan Akai menetapkan bahwa penjualan itu tidak boleh dibahas dengan pihak luar." Connor berkata, "Apakah calon pembelinya lebih dari satu?" "Begini, kalau Anda mau bertanya, bertanyalah pada Enders. Saya sibuk." Ia berpaling pada wanita dengan gulungan blueprint tadi. "Beverly? Coba lihat apa yang kaubawa." "Saya membawa revisi denah ruang rapat, Mr. Greiman, dan contoh-contoh tegel untuk kamar kecil. Ada warna abu-abu yang bagus sekali. Saya pikir Anda akan suka." "Bagus, bagus." Greiman dan wanita itu menyusuri
selasar, menjauhi kami. Connor memperhatikan mereka pergi, lalu tiba-tiba berbalik ke arah elevator. "Ayo, Kohai. Lebih baik kita cari
udara segar saja."
Bab 33
"KENAPA Anda menanyakan apakah ada peminat lain?" ujarku, ketika kami kembali ke mobil. "Apakah ada pengaruhnya?" "Ini berkaitan dengan pertanyaan awal,” kata Connor. "Siapa berniat mempermalukan Nakamoto? Kita tahu bahwa penjualan MicroCon punya arti strategis. Itulah sebabnya Kongres keberatan. Tapi itu hampir pasti berarti bahwa masih ada pihak-pihak lain yang juga keberatan." "Di Jepang?" "Persis." "Tapi siapa yang bisa memberi informasi mengenai ini.” "Akai."
Resepsionis Jepang itu tertawa gelisah ketika melihat lencana Connor. Connor berkata, "Kami ingin bertemu dengan Mr. Yoshida." Yoshida merupakan pimpinan perusahaan. "Mohon tunggu sebentar." Ia berdiri dan bergegas, nyaris berlari, pergi. Akai Ceramics menempati lantai lima sebuah gedung perkantoran yang tidak mencolok di El Segundo. Penataan interiornya sederhana bergaya industri. Dari meja resepsionis, kami melihat sebuah ruangan besar yang tidak disekat-sekat: banyak meja logam dan orang yang sedang
menelepon. Sayup-sayup terdengar suara keyboard komputer. Aku mengamati ruangan itu, "Kosong sekali." "Seperlunya saja," ujar Connor. "Di Jepang, sifat suka pamer tidak disukai. Anda akan dianggap tidak serius. Waktu Mr. Matsushita masih menjabat sebagai pimpinan perusahaan ketiga terbesar di Jepang, dia tetap menggunakan pesawat komersial biasa untuk mondar-mandir antara kantor-kantor pusatnya di Osaka dan Tokyo. Padahal dia pimpinan perusahaan bernilai 50 miliar dolar. Tapi dia tidak memakai jet pribadi." Sambil menunggu, aku mengamati orang-orang yang sedang bekerja. Hanya segelintir orang Jepang, sebagian besar orang kulit putih. Semuanya mengenakan setelan jas warna biru. Dan hampir tidak ada wanita. "Di Jepang," Connor melanjutkan, "jika sebuah perusahaan mengalami kesulitan, tindakan pertama yang diambil oleh para eksekutif adalah memotong gaji mereka sendiri. Mereka merasa bertanggung jawab atas sukses perusahaan, dan mereka menganggap waJar bahwa keberuntungan mereka mengikuti keberhasilan atau kegagalan perusahaan." Resepsionis tadi kembali, dan duduk di balik mejanya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Hampir seketika, seorang pria Jepang dengan setelan jas biru berjalan ke arah kami. Ia berambut kelabu, memakai kacamata berbingkai tebal, dan bersikap serius. Ia berkata,
"Selamat pagi. Saya Mr. Yoshida." Connor memperkenalkan kami. Kami semua membungkuk dan saling menukar kartu nama. Mr. Yoshida menerima kartu nama kami dengan kedua tangannya, dan
setiap kali ia kembali membungkuk. Kami melakukan hal yang sama. Aku memperhatikan bahwa Connor tidak berbahasa Jepang ketika berbicara dengannya. Yoshida mengajak kami ke ruang kerjanya. Jendelanya menghadap ke bandara. Perabotnya seadanya saja. "Anda ingin minum kopi atau teh?" "Tidak, terima kasih," kata Connor. "Kedatangan kami untuk urusan resmi." "Begitu." Yoshida mempersilakan kami duduk. "Kami ingin membicarakan pembelian MicroCon dengan Anda." "Ah, ya. Masalah yang menyusahkan. Tapi saya baru tahu bahwa hal ini juga melibatkan polisi." "Mungkin tidak perlu," ujar Connor. "Apakah Anda dapat memberi keterangan mengenai penjualan itu, atau kesepakatannya bersifat tertutup?" Mr. Yoshida tampak terkejut. "Tertutup? Sama sekali tidak. Semuanya sangat terbuka, sejak awal. Kami dihubungi oleh Mr. Kobayashi, wakil Darley-Higgins di Tokyo, bulan September tahun lalu. Waktu itu kami mula-mula mengetahui bahwa perusahaan tersebut hendak dijual. Terus terang, kami tidak menyangkanya. Proses negosiasi dimulai bulan Oktober. Sekitar pertengahan
November, kedua tim perunding berhasil mencapai kesepakatan secara garis besar. Kami berlanjut ke tahap akhir negosiasi. Tetapi kemudian Kongres menyatakan keberatan pada tanggal enam belas November." Connor berkata, "Anda terkejut bahwa perusahaan itu hendak dijual'?"
"Ya. Tentu." "Kenapa begitu?" Mr. Yoshida meletakkan kedua tangannya di atas meja dan berkata pelan-pelan, "Kami mengetahui bahwa MicroCon merupakan perusahaan milik Pemerintah, yang dibiayai sebagian dengan dana dari Pemerintah Amerika. Tiga belas persen dari modal keseluruhan, kalau saya tidak salah. Di Jepang, ini berarti perusahaan tersebut merupakan perusahaan milik Pemerintah. Jadi, dengan sendirinya kami bersikap hati-hati ketika memasuki perundingan. Kami tidak ingin menyinggung perasaan pihak lain. Tetapi kami memperoleh jaminan dari wakil-wakil kami di Washington bahwa takkan ada masalah dengan pembelian ini." Connor mengangguk-angguk. "Tapi sekarang timbul kesulitan, seperti yang kami khawatirkan sejak semula. Rupanya ada pihak-pihak di Washington yang merasa keberatan. Kami tak ingin hal ini terjadi." "Anda tidak menduga bahwa Washington akan menyatakan keberatan?" Mr. Yoshida mengangkat bahu dengan malu-malu. "Kedua negara kita berbeda. Di Jepang, kami dapat menduga apa yang akan terjadi. Di sini, selalu ada seseorang yang mempunyai pandangan lain, dan
membeberkannya kepada umum. Tapi Akai Ceramics tidak ingin mencolok. Situasinya serba salah sekarang." Connor kembali mengangguk-angguk. "Sepertinya Anda ingin menarik diri." "Banyak orang di kantor pusat mengkritik saya karena
saya tidak tahu apa yang akan terjadi. Tapi saya berkata kepada mereka, memang tidak mungkin mengetahuinya. Washington tidak mempunyai kebijaksanaan yang tegas. Setiap hari ada perubahan, tergantung situasi politik." Ia tersenyum dan menambahkan, "Atau, lebih tepatnya, begitulah kesan yang kami peroleh." "Tapi menurut Anda, penjualan ini akan berjalan terus?” "Ini tidak bisa saya katakan. Barangkali kritik-kritik dari Washington terlalu gencar. Dan Anda tahu bahwa pemerintah di Tokyo ingin bersahabat dengan Amerika. Mereka menekankan pada dunia bisnis, jangan melakukan pembelian yang akan memancing kemarahan Amerika. Rockefeller Center dan Universal Studios, pembelian-pembelian itu menimbulkan kritik pedas. Kami disuruh bersikap yojinbukai. Artinya..." "Bijaksana." "Berhati-hati. Ya. Waspada," Ia menatap Connor. "Anda bisa berbahasa Jepang?" "Sedikit." Yoshida mengangguk. Sejenak
ia seakan-akan mempertimbangkan untuk beralih ke bahasa Jepang, tapi kemudian ja membatalkan niatnya. "Kami ingin membina hubungan baik," katanya. "Kritik yang ditujukan kepada kami, kami anggap kritik itu tidak adil. Perusahaan Darley-Higgins mengalami banyak masalah keuangan. Mungkin karena manajemen yang buruk, mungkin karena alasan lain. Saya tidak tahu. Tapi itu bukan kesalahan kami. Bukan kami yang bertanggung jawab atas itu. Dan kami tidak mengejar MicroCon. Kami memperoleh tawaran Sekarang kami dicela karena ingin membantu." Ia mendesah.
Di luar, sebuah pesawat besar lepas landas dari bandara. Jendela-jendela bergetar. Connor berkata, "Bagaimana dengan pihak-pihak lain yang berminat pada MicroCon? Kapan mereka mengundurkan diri?" Mr. Yoshida mengerutkan kening. "Tidak ada peminat lain. Perusahaan itu ditawarkan hanya kepada kami. Darley-Higgins tidak ingin kesulitan keuangan mereka diketahui umum. Jadi, kami bekerja sama dengan mereka. Tapi sekarang... pihak pers banyak memutarbalikkan fakta mengenai kami. Kami merasa sangat... kizutsuita. Sakit hati?" “Ya."
Ia mengangkat bahu. "Begitulah perasaan saya. Moga-moga Anda memaklumi bahasa Inggris saya yang buruk." Semuanya terdiam. Selama satu menit berikutnya tak ada yang angkat bicara. Connor duduk menghadapi Yoshida. Aku duduk di samping Connor. Sekali lagi ada pesawat yang lepas landas, dan jendela-jendela kembali bergetar. Belum juga ada yang memecahkan keheningan. Yoshida menarik napas panjang. Connor mengangguk. Yoshida bergeser di kursinya, melipat tangan di depan perut. Connor mendesah, dan berdehem. Yoshida mendesah. Kedua-duanya tampak sedang memusatkan pikiran. Sesuatu tengah terjadi, tapi aku tidak tahu apa. Aku menyimpulkan bahwa inilah komunikasi tanpa kata-kata yang dimaksud Connor. Akhirnya Yoshida berkata, "Kapten, saya ingin mencegah salah paham. Akai Ceramics perusahaan terhormat. Kami tidak terlibat dalam... komplikasi apa pun yang terjadi.
Kami berada dalam posisi sulit. Tapi saya akan membantu Anda semampu saya." Connor berkata, "Saya berterima kasih." "Tidak apa-apa." Kemudian Yoshida berdiri. Connor berdiri. Aku berdiri. Kami semua membungkuk, dan setelah itu bersalaman. "Saya harap Anda tidak segan-segan menghubungi saya, bila ada yang dapat saya bantu." "Terima kasih," ujar Connor. Yoshida mengantar kami sampai ke pintu ruang kerjanya. Kami membungkuk sekali lagi, dan ia membukakan pintu. Di luar berdiri pria Amerika berwajah segar, berusia
empat puluhan. Aku segera mengenalinya. Pria pirang yang berada di mobil bersama Senator Rowe semalam. Pria yang tidak memperkenalkan diri. “Ah, Richmond-san," kata Yoshida. "Beruntung sekali Anda ada di sini. Tuan-tuan ini mencari informasi mengenai baisha MicroCon." Ia berpaling kepada kami. "Barangkali Anda ingin bicara dengan Mr. Richmond. Bahasa Inggris-nya jauh lebih baik dibandingkan saya. Dia bisa memberikan lebih banyak detail yang mungkin ingin Anda ketahui."
"Bob Richmond. Myers, Lawson, dan Richmond." Jabatan tangannya mantap. Kulitnya kecoklat-coklatan akibat matahari, dan sepertinya ia sering bermain tenis. Ia tersenyum cerah. "Dunia memang kecil, bukan?" Connor dan aku memperkenalkan diri. Aku berkata,
"Apakah Senator Rowe selamat sampai di hotelnya semalam?" “Oh, ya," jawab Richmond. "Terima kasih atas bantuan Anda." Ia tersenyum. "Saya tidak mau membayangkan perasaannya pagi ini. Tapi saya rasa ini bukan pertama kali.” Ia berayun maju mundur, seperti pemain tenis yang sedang bersiap-siap menerima servis. Ia tampak agak cemas. "Terus terang, saya tak menyangka akan bertemu Anda berdua di sini. Apakah ada sesuatu yang perlu saya ketahui? Saya mewakili Akai dalam negosiasi MicroCon " "Tidak ada," jawab Connor. "Kami hanya mencari informasi latar belakang." "Apakah ada hubungan dengan kejadian di Nakamoto semalam?" Connor berkata, "Tidak juga. Sekadar latar belakang
saja." "Kalau Anda mau, kita bisa bicara di ruang rapat." "Sayangnya," ujar Connor, "kami sudah terlambat untuk janji lain. Tapi barangkali nanti." "Boleh saja," kata Richmond. "Dengan senang hati. Satu jam lagi saya sudah kembali ke kantor." Ia menyerahkan kartu namanya. "Baiklah," balas Connor. Tapi Richmond masih tampak cemas. Ia menemani kami ke lift. "Mr. Yoshida pengusaha gaya lama," ia menjelaskan. "Saya percaya bahwa dia bersikap ramah. Tapi sebenarnya dia marah sekali karena urusan MicroCon ini. Sekarang dia dicecar oleh Akai Tokyo. Padahal ini bukan kesalahannya Dia benar-benar dikerjai oleh Washington. Dia sudah memperoleh jaminan bahwa takkan ada masalah dengan
penjualan itu, dan kemudian Morton menjegalnya." Connor berkata, "Begitukah kejadiannya?" Richmond mengangguk. "Saya tidak tahu kenapa Johnny Morton begitu gencar menyerang kami. Kami telah mengikuti prosedur permohonan izin. CFIUS tidak menyatakan keberatan sampai lama setelah negosiasi selesai. Kita tidak bisa menjalankan bisnis seperti ini. Saya hanya bisa berharap agar Johnny menyadarinya, dan mengakhiri kontroversi ini. Sebab sekarang ini masalahnya sangat berbau rasial." "Rasial? Masa?" "Tentu. Persis seperti kasus Fairchild. Anda masih ingat? Fujitsu ingin membeli Fairchild Semiconductor pada tahun 86, tapi Kongres mencegah penjualan itu dengan alasan keamanan nasional. Pihak Kongres keberatan Fairchild dijual kepada perusahaan asing. Beberapa tahun kemudian,
Fairchild hendak dijual kepada perusahaan Prancis, dan kali ini Kongres diam saja. Rupanya tidak apa-apa menjual kepada perusahaan asing-asal bukan perusahaan Jepang. Menurut saya, ini prakiek rasialisme." Kami tiba di lift. "Pokoknya, silakan hubungi saya. Saya akan menyediakan waktu." "Terima kasih," ujar Connor. Kami masuk ke lift. Pintu menutup. "Dasar bajingan," kata Connor.
Bab 34
KAMI sedang mengarah ke utara, menuju pintu keluar
Wilshire, untuk menemui Senator Morton. Aku berkata, "Kenapa Anda menyebutnya bajingan?” "Bob Richmond bertugas sebagai asisten juru runding perdagangan untuk Jepang di bawah Amanda Marden sampai tahun lalu. Satu tahun kemudian, dia berbalik dan mulai bekerja untuk orang-orang Jepang. Sekarang dia dibayar 500.000 setahun, ditambah bonus untuk menutup transaksi ini. Dan dia pantas dibayar setinggi itu, sebab dia mengetahui segala sesuatu yang bisa diketahui." "Apakah itu diperbolehkan oleh undang-undang?" "Tentu. Itu sudah menjadi prosedur standar. Semua orang berbuat begitu. Seandainya Richmond bekerja untuk perusahaan high-tech seperti MIcroCon, dia wajib menandatangani surat pernyataan bahwa dia takkan bekerja untuk perusahaan saingan selama lima tahun. Sebab tidak seharusnya kita membeberkan rahasia perusahaan kepada para pesaing. Tapi pemerintah kita punya aturan main yang lebih longgar."
"Kenapa Anda menyebutnya bajingan?" "Masalah rasialisme itu," balas Connor. "Dia tahu itu tidak benar. Richmond tahu persis apa yang terjadi dalam penjualan Fairchild. Itu tidak ada hubungannya dengan rasialisme." "Tidak?" "Dan ada satu hal lagi yang diketahui Richmond. Orang Jepang orang paling rasialis di seluruh dunia." "Masa?" "Benar. Bahkan kalau diplomat-diplomat Jepang ...” Telepon mobil berdering. Aku menekan tombol pengeras
suara. "Letnan Smith." Lewat pengeras suara, seseorang berkata, "Oh, akhirnya. Kemana saja kalian? Kalau begini caranya, kapan aku bisa tidur?" Aku mengenali suara itu: Fred Hoffmann. Petlugas piket semalam. Connor berkata, "Terima kasih kau mau menelepon kami, Fred." "Kalian ada perlu apa?" "Ehm, aku masih penasaran," ujar Connor, "mengenai telepon-telepon dari Nakamoto yang kauterima semalam." "Kau dan semua orang di kota ini," balas Hoffmann. "Aku diuber-uber separo Departemen gara-gara ini. Jim Olson sampai berkemah di mejaku. Dia sibuk memeriksa semua catatan. Padahal waktu itu semuanya cuma tugas rutin." "Barangkali kau bisa mengulangi apa yang terjadi?" "Tentu Mula-mula aku dihubungi Metro, mengenai telepon yang pertama. Mereka kurang paham apa yang dimaksud si penelepon, karena dia berlogat Asia dan sepertinya sedang bingung. Atau di bawah pengaruh obat
bius. Dia terus bicara tentang 'mayat yang harus diurus'. Kukirim mobil patroli ke sana, sekitar jam setengah sembilan. Lalu, setelah pasti bahwa ada pembunuhan, kutugaskan Tom Graham dan Roddy Merino - dan gara-gara ini, aku dapat segala macam masalah." "He-eh." "Habis, bagaimana lagi. Aku sudah mengamati jadwal tugas, dan memang mereka yang mendapat giliran berikut. Kalian tahu, kami wajib memakai sistem rotasi untuk
penugasan detektif. Untuk mencegah kesan pilih kasih. Perintah dari atas. Aku cuma menjalankannya." "He-eh." "Oke. Lalu Graham menelepon sekitar jam sembilan, untuk melaporkan bahwa ada masalah di tempat kejadian. Dia minta bantuan petugas penghubung dari Special Services. Sekali lagi kupelajari jadwal tugas. Ternyata Pete yang lagi standby. Kuberikan nomor telepon rumahnya kepada Graham. Dan kurasa dia lalu meneleponmu, Pete." "Ya," kataku. "Dia memang meneleponku." "Oke," ujar Connor. "Apa yang terjadi sesudah itu?" "Kira-kira dua menit setelah Graham menelepon, mungkin jam sembilan lewat lima, aku terima telepon dari seseorang berlogat kental. Seperti logat Asia, tapi aku tidak pasti. Dan orang itu bilang bahwa atas nama Nakamoto, dia minta agar Kapten Connor ditugaskan untuk menangani kasus itu." "Dia tidak menyebutkan namanya?" "Tentu. Kupaksa dia. Dan aku sempat mencatat namanya. Koichi Nishi." "Dan dia bekerja di Nakamoto?" "Itu yang dikatakannya," ujar Hoffmann. "Aku cuma
duduk di sana, menerima telepon, jadi mana kutahu. Nah, tadi pagi Nakamoto menyampaikan protes resmi tentang penugasan Connor dan mengaku bahwa mereka tidak punya pegawai bernama Koichi Nishi. Menurut mereka, semuanya itu hanya akal-akalan saja. Tapi percayalah, aku ditelepon seseorang. Aku tidak mengada-ada." "Aku percaya," kata Connor. "Kaubilang si penelepon
berlogat kental?" “Yeah. Bahasa Inggrisnya cukup baik, tapi dengan logat asing. Satu-satunya hal yang kuanggap aneh adalah bahwa dia rupanya tahu banyak mengenaimu." "Oh?" "Yeah. Hal pertama yang dikatakannya padaku adalah apakah aku tahu nomor teleponmu, ataukah dia perlu menyebutkannya. Aku bilang bahwa aku tahu nomormu. Dalam hati aku berkata, aku tidak butuh bantuan orang Jepang untuk mendapatkan nomor telepon sesama anggota kepolisian. Lalu dia bilang, 'Anda perlu tahu, Kapten Connor tidak selalu mengangkat telepon. Sebaiknya Anda kirim orang ke sana untuk menjemputnya."' "Menarik," Connor berkomentar. "Jadi kutelepon Pete Smith, dan minta agar dia ke rumahmu untuk menjemputmu. Cuma itu yang kuketahui. Ini semua pasti berkaitan dengan masalah politik di Nakamoto. Aku tahu bahwa Graham kesal. Aku menduga bahwa ada orang lain yang juga kesal. Dan semua orang tahu bahwa Connor punya hubungan khusus dengan orangorang Jepang, jadi permintaan itu kusampaikan saja. Dan sekarang aku yang menghadapi masalah. Aku benar-benar tidak mengerti." "Masalah apa?" tanya Connor.
"Kira-kira jam sebelas semalam, aku ditelepon Komandan. Kenapa aku menugaskan Graham. Aku memberitahunya kenapa. Tapi dia tetap marah-marah. Lalu menjelang akhir shift, munkin sekitar jam lima pagi, timbul pertanyaan bagaimana sampai Connor dilibatkan. Kapan, dan kenapa. Dan sekarang ada artikel di Times, mengenai rasialisme di dinas kepolisian. Aku tidak tahu ke mana
harus berpaling. Aku sudah capek menjelaskan bahwa aku cuma mengikuti prosedur standar. Sesuai peraturan. Tak ada yang percaya. Tapi itu memang benar." "Aku percaya," kata Connor. "Satu hal lagi, Fred. Kau sempat mendengar telepon pertama yang diterima oleh Metro?" "Yeah, tentu. Sejam lalu. Kenapa?" "Apakah suara si penelepon mirip suara Mr. Nishi?" Hoffmann tertawa. "Astaga. Mana kutahu, Kapten? Mungkin. Kalau aku ditanya apakah suara orang Asia mirip suara orang Asia yang kudengar sebelumnya, terus terang aku tidak tahu. Suara si penelepon pertama bernada gelisah. Barangkali karena bingung. Barangkali karena obat bius. Aku tidak bisa memastikannya. Aku cuma tahu bahwa siapa pun Mr. Nishi, dia tahu cukup banyak mengenaimu." "Oke, informasi ini sangat membantu. Beristirahatlah dulu." Connor mengucapkan terima kasih, dan aku memutuskan hubungan. Aku keluar dari freeway dan menyusuri Wilshire, untuk pertemuan kami dengan Senator Morton.
Bab 35
"OKE, Senator, tolong lihat ke sini... sedikit lagi... ya,
tahan, sangat kuat, sangat jantan, saya suka sekali. Ya, bagus sekali. Sekarang saya butuh tiga menit lagi." Si sutradara, seorang pria tegang dengan jaket penerbang dan topi baseball, menjauhi kamera dan menyerukan perintah-perintah. Lafalnya berlogat Inggris. "Jerry, bawa
penghalang matahari ke sini. Cahayanya terlalu terang. Dan tolong tangani matanya. Tambahkan sedikit cahaya ke matanya. Ellen? Kaulihat pantulan di pundaknya itu? Hilangkan. Rapikan kerahnya. Mikrofon di dasinya kelihatan. Dan warna kelabu di rambutnya kurang mencolok. Tambahkan sedikit. Dan tarik karpet di lantai, supaya dia jangan tersandung waktu jalan nanti. Ayo, semuanya, cepat sedikit. Kita bisa kehilangan cahaya yang indah ini." Connor dan aku berdiri di pinggir, bersama asisten produksi yang cantik bernama Debbie, yang membawa papan catatan dan berkata dengan bangga, "Sutradara itu Edgar Lynn." "Siapa itu?" tanya Connor. "Dia sutradara iklan paling mahal dan paling dicari di dunia. Dia seniman luar biasa. Edgar membuat iklan Apple tahun 1984 yang fantastis, dan... oh, masih banyak lagi. Dan dia juga menyutradarai film-film terkenal. Edgar sutradara terbaik." Ia terdiam sejenak. "Dan tidak terlalu sintling. Sungguh." Di seberang kamera, Senator Morton berdiri dengan sabar sementara empat orang mengotak-atik dasi, jas, rambut, serta rias wajahnya. Morton mengenakan setelan jas. Ia berdiri di bawah pohon, dengan lapangan golf yang berbukit-bukit dan gedung-gedung pencakar langit Beverly Hills di latar belakang. Kru produksi telah menggelar sepotong karpet, tempat ia akan berjalan menuju kamera.
Aku berkata, "Dan bagaimana Senator Morton?" Debbie mengangguk. "Lumayan. Kelihatannya dia punya peluang."
Connor berkata, "Maksud Anda, untuk memenangkan
pemilihan presiden?" "Yeah. Terutama kalau Edgar mengerahkan seluruh kemampuannya. Senator Morton bukan Mel Gibson, Anda tahu maksud saya, bukan? Hidungnya besar, rambutnya sudah menipis, dan dia punya masalah dengan bintik-bintik di wajahnya, karena kelihatan jelas di kamera. Bintik-bintik itu mengalihkan perhatian pemirsa dari matanya. Padahal mata merupakan senjata utama untuk menjual seorang calon." “Mata," Connor mengulangi. "Oh, ya. Orang dipilih berkat matanya." Debbie mengangkat bahu, seakan-akan hal itu diketahui semua orang. "Tapi jika Senator Morton mempercayakan kampanye TV-nya kepada Edgar... Edgar seniman hebat. Dia bisa mengusahakannya." Edgar Lynn berjalan melewati kami, berdua dengan juru kamera. "Ya ampun, bereskan daerah di bawah matanya," ujar Lynn. "Dan tonjolkan dagunya. Tambahkan makeup agar dagunya kelihatan lebih tegas. " Si asisten produksi berpamitan, dan kami menunggu sambil menonton. Senator Morton masih berdiri agak jauh dari kami. Ia sedang ditangani oleh para juru rias dan penata busana. "Mr. Connor? Mr. Smith?" Aku berbalik. Seorang pria muda dengan jas biru bermotif garis-garis berdiri di samping kami. Ia tampak seperti anggota staf Senat:
berpendidikan, penuh perhatian, sopan. "Saya Bob Woodson. Dari kantor Senator Morton. Terima kasih atas kedatangan Anda." "Sama-sama," ujar Connor.
"Saya tahu bahwa Senator Morton ingin sekali bicara dengan Anda," kata Woodson. "Tapi saya minta maaf, kelihatannya kami agak terlambat dari jadwal. Seharusnya pengambilan gambar sudah selesai pukul satu." Ia melirik jam tangannya. "Mungkin masih makan waktu agak lama. Tapi saya tahu Senator Morton ingin bicara dengan Anda." Connor berkata, "Anda tahu mengenai apa?" Seseorang berseru, "Tes! Tes suara dan kamera. Semuanya harap tenang!" Kerumunan orang di sekeliling Senator Morto bubar, dan perhatian Woodson beralih ke kamera. Edgar Lynn kembali mengintip melalui kamera. "Warna kelabunya tetap kurang menonjol. Ellen Tambahkan warna kelabu ke rambutnya. Masih kurang kelihatan." Woodson berkata, "Mudah,mudahan dia tidak kelihatan tua nanti." Debbie, si asisten produksi, menjelaskan, "Ini hanya untuk pengambilan gambar. Warna kelabunya kurang kelihatan lewat kamera, jadi kami tambahkan sedikit. Lihat. Ellen hanya menambahkan warna kelabu di sekitar pelipis. Senator Morton akan tampak lebih berwibawa.” "Saya tidak mau dia tampak tua. Terutama kalfau lagi lelah, dia kadang-kadang tampak tua." "Jangan khawatir," ujar si asisten. “Oke," kata Lynn. "Cukup sekian. Senator? Bagaimana kalau kita melakukan uji coba sekarang?" Senator Morton bertanya, "Dari mana saya harus
mulai'?" "Naskah?"
Petugas naskah menjawab, "Anda tentu sependapat dengan saya..."
Morton berkata, "Kalau begitu, bagian pertama sudah selesai?" "Sudah," ujar Lynn. "Kita mulai dari sini: Anda berpaling ke arah kamera, tatapan Anda lurus ke arah kamera, mantap, jantan. Lalu Anda berkata, 'Anda tentu sependapat dengan saya.' Oke?" "Oke," kata Morton. "Ingat. Jantan. Mantap. Memegang kendali." Morton bertanya, "Apakah bisa direkam?" "Lynn bakal marah-marah," bisik Woodson. Edgar Lynn berkata, "Oke. Kamera, siap! Kita mulai."
Senator Morton berjalan ke arah kamera. "Anda tentu sependapat dengan saya," katanya, "bahwa erosi posisi nasional dalam tahun-tahun terakhir ini telah mencapai tingkat yang memprihatinkan. Amerika masih merupakan kekuatan militer nomor satu, tetapi keamanan kita tergantung pada kemampuan membela diri secara militer dan ekonomi. Dan justru dari segi ekonomi, Amerika kini telah tertinggal. Seberapa jauh? Well, selama dua masa pemerintahan terakhir, posisi Amerika telah merosot dari negara pemberi kredit terbesar menjadi negara pengutang terbesar di dunia. Industri kita tertinggal jauh. Tingkat pendidikan para pekerja kita lebih rendah dibandingkan dengan para pekerja di negara-negara lain. Para penanam
modal kita menginginkan laba jangka pendek, dan mereka menghancurkan kemampuan industri kita untuk menyusun rencana jangka panjang. Akibatnya taraf hidup kita
menurun dengan cepat. Masa depan anak-anak kita tampak suram." Connor bergumam, "Akhirnya ada juga yang mau mengakuinya." "Dan di tengah krisis nasional ini," Morton melanjutkan, "banyak warga Amerika mulai menyadari ancaman lain. Seiring dengan semakin berkurangnya kekuatan ekonomi kita, kita menjadi sasaran invasi model baru. Banyak warga Amerika cemas bahwa kita akan menjadi koloni ekonomi Jepang, atau Eropa. Tapi terutama Jepang. Banyak warga Amerika berpendapat bahwa orang Jepang mengambil alih industri, lahan rekreasi, bahkan kota-kota kita." Ia menunjuk ke lapangan golf dengan gedung-gedung pencakar langit di latar belakang. "Akibat praktek ini, banyak warga khawatir bahwa Jepang kini memiliki kemampuan untuk membentuk serta menentukan masa depan Amerika. “ Morton berhenti sejenak di bawah pohon. Ia memberi kesan seolah-olah sedang berpikir. "Berdasarkah kekhawatiran akan masa depan Amerika ini? Haruskah kita merasa prihatin? Sementara pihak berkilah bahwa penanaman modal asing merupakan berkah yang membantu kita. Pihak-pihak lain mengambil sikap berlawanan, dan merasa bahwa kita sedang menjual hak asasi yang sangat berharga. Pandangan mana yang benar? Pandangan mana yang harus... yang sebaiknya... yang... oh, sialan! Bagaimana kelanjutannya?" . " Cut, cut!" seru Edgar Lynn. "Istirahat dulu, semuanya.
Saya perlu membereskan beberapa hal. Setelah itu kita mulai dengan pengambilan gambar sesungguhnya. Bagus sekali, Senator. Saya suka sekali."
Si petugas naskah berkata, "'Pandangan mana yang harus kita yakini demi masa depan Amerika,' Senator." Senator Morton mengulangi, "Pandangan mana yang harus kita yakini demi masa depan..." Ia menggelengkan kepala. "Pantas saja saya tidak b isa mengingatnya. Baris itu diubah saja. Margie? Tolong ubah baris itu. Ah, sudahlah. Tolong ambilkan naskah. Biar saya saja yang mengubahnya." Dan ia kembali dikerumuni para juru rias dan penata busana. Woodson berkata, “Tunggu di sini, barangkali dia bisa meluangkan beberapa menit untuk Anda."
Kami berdiri di samping trailer generator yang berdengung-dengung. Begitu Morton menghampiri kami, dua pembantunya mengejarnya sambil menyodorkan printout komputer yang tebal. "John, ini ada yang perlu dipelajari." "John, ada baiknya kalau kau
memperhatikan angka-angka ini." Morton berkata, "Apa itu?" "John, ini hasil pengumpulan pendapat Gallup dan Fielding yang terakhir." "John, ini analisis referensi silang berdasarkan kelompok umur pemilih." "Lantas?" "Kesimpulannya, Presiden benar." "Aku tidak mau dengar itu. Aku mencalonkan diri untuk menantang dia." "Tapi, John, dia benar mengenai kata-K itu. Kau tidak
bisa mengucapkan kata-K dalam iklan televisi." "Aku tidak bisa bilang 'konservasi'?" "Jangan, John." "Jangan cari perkara "Angka-angka ini membuktikannya." "Kau ingin melihat angka-angkanya?" "Tidak," ujar Morton. Ia melirik kepada Connor dan aku. "Sebentar," katanya sambil tersenyum. "Coba perhatikan ini duiu, John." "Semuanya sudah jelas, John. Konservasi berarti kemerosotan gaya hidup. Sekarang saja orang-orang sudah mengalami kemerosotan. Mereka tidak menginginkannya." "Tapi itu salah," kata Morton. "Bukan begitu duduk perkaranya." "John, itulah yang ada dalam pikiran para pemilih." "Tapi mereka keliru." "John, kalau kau berniat menggurui, silakan." "Ya, aku berniat mendidik mereka. Konservasi tidak sama dengan kemerosotan gaya hidup. Konservasi berarti peningkatan kesejahteraan, kekuasa an, dan kebebasan.
Intinya, kita mencapai hasil yang lebih besar dengan modal yang lebih kecil. Kita tetap melakukan hal-hal yang kita lakukan sekarang - menghangatkan rumah, mengemudi kendaraan - dengan menggunakan lebih sedikit bahan bakar minyak. Kita butuh alat-alat pemanas yang lebih efisien di rumah-rumah kita, dan mobil-mobil yang lebih efisien di jalanan. Kita butuh udara yang lebih bersih, kesehatan yang lebih baik. Dan kita bisa berhasil.
Negara-negara lain telah melakukannya. Jepang telah melakukannya." "John, yang benar saja." "Jangan sebut-sebut Jepang." "Dalam dua puluh tahun terakhir," kata Morton, "Jepang telah memotong biaya energi untuk barang-barang jadi sebanyak enam puluh persen. Jepang kini sanggup membuat barang-barang dengan biaya lebih rendah dibandingkan kita, karena Jepang telah mengarahkan penanaman modal untuk pengembangan teknologi hemat energi. Konservasi meningkatkan daya saing. Dan kalau kita tidak mampu bersaing..." "Bagus, John. Konservasi dan statist. Benar-benar menjemukan." "Tak ada yang peduli, John." "Para warga Amerika peduli," balas Morton. "John, mereka sama sekali tidak peduli." "Dan mereka takkan mendengarkanmu. Begini, John. Coba perhatikan pendapat rata-rata untuk berbagai kelompok umur ini, terutama untuk kelompok di atas 55 tahun, yang merupakan kelompok pemilih yang paling berpengaruh. Semuanya sependapat: mereka tidak menginginkan pengurangan. Mereka tidak menginginkan
konservasi. Orang-orang Amerika berusia lanjut tidak menginginkannya." "Tapi orang-orang itu punya anak dan cucu. Mereka pasti peduli pada masa depan." "Mereka tidak peduli sedikit pun, John. Lihat ini, hitam atas putih. Mereka beranggapan bahwa anak-anak mereka
tidak peduli pada mereka, dan mereka benar. Jadi mereka juga tidak peduli pada anak-anak mereka. Sederhana saja." "Tapi tentunya anak-anak itu..." "Anak-anak tidak ikut memilih, John." "Percayalah, John. Ikuti saran kami." “Jangan singgung isu konservasi. Daya saing, oke. Menatap masa depan, oke. Menghadapi masalah, oke. Semangat baru, oke. Tapi jangan bawa-bawa konservasi. Perhatikan saja angka-angka ini. Jangan lakukan itu." Morton berkata, "Nanti kupertimbangkan lagi." Kedua pembantunya rupanya menyadari bahwa mereka takkan berhasil meyakinkan Morton. Mereka langsung menutup laporan-laporan yang mereka bawa. "Apa Margie perlu ke sini untuk menyesuaikan naskah?" "Tidak. Biar kupikirkan dulu." "Barangkali Margie bisa menyusun beberapa baris.” Tidak." "Oke, John. Oke." "Suatu hari," Morton berkata kepada kami, "politisi Amerika akan mengatakan apa yang dianggapnya benar, bukan apa yang disarankan oleh pengumpulan pendapat. Dan dia akan tampil sebagai pendobrak." Kedua pembantu tadi kembali lagi. "Ayo, John. Kau pasti lelah." "Perjalanannya panjang. Kami mengerti."
"John. Percayalah pada kami, angka-angkanya sudah ada di tangan kami. Kami bisa membaca perasaan para pemilih
dengan tingkat kepastian sebesar 95 persen." "Aku tahu perasaan mereka. Mereka merasa frustrasi. Dan aku tahu kenapa. Sudah lima betas tahun mereka tidak mempunyai pemimpin." "John. Kita sudah pernah membahas ini. Kita berada di abad kedua puluh. Kepemimpinan adalah kemampuan untuk berbicara sesuai dengan keinginan rakyat." Mereka pergi. Seketika Woodson mendekat, membawa handphone. Ia baru hendak membuka mulut, tetapi Morton keburu mengangkat tangan. "Jangan sekarang, Bob." "Senator, saya pikir Anda perlu menjawab..." “Jangan sekarang." Woodson mundur. Morton melirik jam tangannya. "Anda Mr. Connor dan Mr. Smith?" "Ya," ujar Connor. I'Mari kita jalan-jalan," kata Morton. Ia mulai menjauhi rombongan film, menuju bukit di samping lapangan golf. Hari itu hari Jumat. Hanya segelintir orang sedang bermain. Kami berdiri sekitar lima puluh meter dari lokasi pengambilan gambar. "Saya minta Anda datang," kata Morton, "karena saya tahu bahwa Anda menangani masalah Nakamoto itu." Aku baru hendak memprotes bahwa itu tidak benar, bahwa Graham yang ditugaskan, tetapi Connor keburu angkat bicara, "Betul, kami yang menanganinya." "Saya punya beberapa pertanyaan menyangkut kasus itu. Anda sudah berhasil memecahkannya?"
"Kelihatannya begitu." "Penyelidikan Anda sudah selesai?" "Secara praktis, ya," jawab Connor. "Penyelidikan sudah selesai." Morton mengangguk. "Saya diberitahu bahwa Anda berdua memiliki pengetahuan khusus mengenai masyarakat Jepang. Benar itu? Salah satu dari Anda pernah tinggal di Jepang?" Connor membungkuk sedikit. "Anda yang bermain golf dengan Hanada dan Asaka pagi ini?” tanya Morton. "Informasi Anda cukup lengkap." "Saya sempat bicara dengan Mr. Hanada tadi. Sebelum ini, kami sudah pernah berhubungan unluk urusan lain." Morton mendadak berbalik dan berkata, "Pertanyaan saya, apakah masalah Nakamoto ini berkaitan dengan MicroCon?" "Bagaimana maksud Anda?" ujar Connor. "Masalah penjualan MicroCon kepada orang Jepang telah diajukan ke hadapan Komite Keuangan Senat yang diketuai oleh saya. Kami diminta memberi rekomendasi oleh staf Komite Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang nantinya harus mengesahkan penjualan tersebut. Anda tentu tahu, penjualan MicroCon telah menimbulkan kontroversi. Di masa lalu, saya secara terbuka menentang rencana itu. Karena berbagai alasan.
Anda mengetahui permasalahannya?" "Ya," jawab Connor. "Sampai sekarang pun saya masih keberatan. Teknologi
canggih yang dikembangkan MicroCon antara lain dibiayai dengan dana yang berasal dari para wajib pajak Amerika. Saya keberatan bahwa para wajib pajak membayar untuk riset yang akhirnya dijual kepada orang Jepang - yang kemudian akan memanfaatkannya untuk menyaingi perusahaan-perusahaan kita sendiri. Saya berpendapat bahwa kita harus melindungi kapasitas Amerika dalam bidang high-tech. Saya berpendapat bahwa kita harus melindungi sumber daya intelektual yang kita miliki. Saya berpendapat bahwa kita harus membatasi penanam modal asing ke dalam perusahaan-perusahaan dan universitas-universitas kita. Tapi rupanya hanya saya sendiri yang berpendapat demikian. Saya tidak memperokh dukungan, baik di Senat maupun di kalangan industri. Pihak perdagangan juga tidak mau membantu saya. Mereka tahu bahwa itu akan mengganggu negosiasi beras. Beras. Bahkan Pentagon pun menentang saya dalam urusan ini. Dan saya sekadar ingin tahu, mengingat Nakamoto merupakan perusahaan induk Akai Ceramics, apakah kejadian semalam berhubungan dengan rencana penjualan itu." Ia terdiam dan menatap kami dengan tajam. Sepertinya
ia berharap kami mengetahui sesuatu. Connor berkata, "Setahu saya tidak ada hubungan apa-apa." "Apakah Nakamoto melakukan tindakan curang atau tidak pantas untuk mensukseskan penjualan itu?” "Setahu saya tidak." "Dan penyidikan Anda telah ditutup secara resmi?” "Ya. " "Saya ingin menjernihkan permasalahannya. Sebab bila
saya menarik keberatan saya atas penjualan ini, saya tidak ingin kena getahnya di kemudian hari. Orang mungkin saja berdalih bahwa pesta di Nakamoto merupakan usaha untuk membujuk para penentang rencana itu. Perubahan posisi seperti ini kadang-kadang merisaukan. Gara-gara hal seperti ini, kita bisa naik daun atau malah tenggelam di Kongres." Connor berkata, "Anda hendak menarik keberatan Anda atas penjualan itu?" "Hmm." Morton mengangkat bahu. "Saya berjuang seorang diri. Tak ada yang mendukung sikap saya mengenai MicroCon. Secara pribadi, saya kira ini ulangan kasus Fairchild. Tapi kalau pertempuran tak dapat dimenangkan, lebih baik jangan bertempur. Lagi pula masih banyak pertempuran lain." Ia menegakkan badan, merapikan jas. "Senator? Kalau Anda sudah siap, kita mulai saja. Mereka cemas mengenai cahayanya." "Mereka cemas mengenai cahayanya," ujar Morton sambil geleng-geleng. "Kami tak ingin menyita waktu Anda lebih banyak," kata Connor.
"Pokoknya," Morton berkata, "saya memang membutuhkan masukan dari Anda. Jadi, menurut Anda, kejadian semalam tidak berkaitan dengan MicroCon. Orang-orang yang terlibat juga tidak mempunyai hubungan apa pun. Jangan sampai bulan depan saya membaca bahwa seseorang kasak-kusuk di belakang layar, untuk mensukseskan atau menghalangi penjualan tersebut. Takkan ada hal seperti itu." "Setahu saya, tidak," jawab Connor.
"Gentlemen, terima kasih atas kedatangan Anda," kata Morton. Ia bersalaman dengan kami, lalu menuju lokasi pengambilan gambar. Kemudian ia berbalik sekali lagi. "Saya akan berterima kasih sekali jika Anda menangani urusan ini secara rahasia. Sebab, Anda tahu sendiri, kita harus waspada. Kita sedang berperang melawan Jepang." Ia tersenyum dengan masam. "Loose lips sink ships." "Ya," kata Connor. "Dan ingat Pearl Harbor." "Astaga, itu juga." Ia menggelengkan kepala, lalu merendahkan suara dan berkata, "Anda tahu, beberapa rekan saya berpendapat bahwa cepat atau lambat kita harus menjatuhkan bom lagi." Ia tersenyum. "Tapi saya tidak sepaham dengan mereka. Biasanya."
Sambil tetap tersenyum, ia menuju ke arah rombongan film. Orang-orang kembali berkerumun di sekelilingnya. Mula-mula seorang wanita yang membawa perubahan naskah, lalu seorang penata busana, lalu seorang pria yang mengotak-atik mikrofon serta tempat baterai di pinggangnya, lalu juru rias, sampai akhirnya Senator Morton menghilang dari pandangan, dan yang terlihat hanyalah sekelompok orang yang berjalan melintasi rumput.
Bab 36
AKU berkata, "Saya suka orang itu." Kami sedang meluncur kembali ke Hollywood. Semua gedung terselubung asap dan kabut. "Tentu saia Anda suka dia," ujar Connor. "Dia politisi.
Tugasnya memang membuat Anda suka padanya." "Kalau begitu, dia berhasil." "Sangat berhasil." Sambil membisu Connor menatap keluar jendela. Aku mendapat kesan bahwa ada sesuatu yang mengganggunya. Aku berkata, "Anda tidak setuju dengan apa yang dikatakannya dalam iklan TV tadi? Kedengarannya sama seperti ucapan-ucapan Anda." "Ya. Memang." "Lalu, apa masalahnya?"
"Tidak ada," Ujar Connor. "Saya hanya memikirkan apa sesungguhnya yang dikatakannya." "Dia menyinggung Fairchild." "Tentu saja," kata Connor. "Morton tahu persis apa yang terjadi dengan Fairchild." Aku baru hendak bertanya, tapi Connor sudah mulai menceritakannya. "Anda pernah mendengar nama Seymour Cray? Selama bertahun-tahun dia perancang komputer super terbaik di seluruh dunia. Cray Research menciptakan komputer tercepat di dunia. Orang Jepang berusaha mengejar ketinggalan mereka, tapi sia-sia. Cray terlalu gemilang. Tapi pada pertengahan delapan puluhan, praktek dumping yang dilakukan orang Jepang dalam bidang chips telah menyebabkan sebagian besar pemasok Cray di dalam negeri gulung tikar. Cray terpaksa memesan chips dengan desain khusus dari perusahaan-perusahaan Jepang. Tak seorang pun di Amerika sanggup membuatnya. Dan kemudian para pemasok Jepang itu mengalami
penundaan-penundaan misterius. Pada suatu ketika, mereka memerlukan satu tahun untuk menyerahkan chips tertentu yang dipesan oleh Cray - dan selama itu, para pesaingnya di Jepang mengalami kemajuan pesat. Timbul pertanyaan, apakah mereka mencuri teknologinya yang baru. Cray marah sekali. Dia sadar bahwa mereka mempermainkannya. Dia memutusk.m bahwa dia harus
membentuk persekutuan dengan pabrik Amerika, dan karena itu dia memilih Fairchild Semiconductor, walaupun perusahaan tersebut lemah dari segi keuangan. Tapi Cray tidak lagi bisa mempercayai orang Jepang. Dia terpaksa bekerja sama dengan Fairchild. Jadi, sejak saat itu Fairchild membuat chips khusus generasi berikut untuknya, dan kemudian dia mendapat kabar bahwa Fairchild akan dijual kepada Fujitsu. Saingannya yang paling besar. Keprihatinan mengenai situasi seperti inilah, serta implikasinya terhadap keamanan nasional, yang mendorong Kongres untuk mencegah penjualan tersebut. "Dan kemudian?" "Larangan terhadap penjualan itu tetap tidak mengatasi masalah keuangan yang menimpa Fairchild. Perusahaan itu tetap mengalami kesulitan. Tidak ada jalan keluar selain menjualnya. Menurut desas-desus, Fairchild akan dibeli oleh Bull, sebuah perusahaan Prancis yang tidak bergerak dalam bidang komputer super. Rencana itu mungkin saja disetujui oleh Kongres. Tapi akhirnya Fairchild dibeli oleh perusahaan Amerika lain." "Dan MicroCon merupakan ulangan kasus Fairchild?" "Ya, dalam arti bahwa dengan membeli MicroCon, orang Jepang akan memegang monopoli atas mesin-mesin pembuat chips. Begitu mereka memegang monopoli, mereka bisa menghentikan pengiriman kepada
perusahaan-perusahaan Amerika. Tapi sekarang saya berpendapat..."
Ketika itulah pesawat telepon berdering. Ternyata Lauren. Bekas istriku.
"Peter?" Aku berkata, "Halo, Lauren." "Peter, aku menelepon untuk memberitahumu bahwa aku akan menjemput Michelle lebih cepat hari ini." Suaranya bernama tegang, formal. "O, ya? Aku tidak tahu bahwa kau mau menjemputnya." "Aku tidak pernah bilang begitu, Peter," ia menyahut cepat-cepat. "Tentu saja aku akan menjemputnya." Aku berkata, "Oke, baiklah. Ngomong-ngomong, siapa itu Rick?" Ia terdiam sejenak. "Kau keterlaluan, Peter." "Kenapa?" kataku. "Aku cuma ingin tahu. Michelle menyinggungnya tadi pagi. Dia bilang Rick punya Mercedes hitam. Pacarmu yang baru?" "Peter. Masalahnya berbeda." Aku berkata, "Berbeda dengan apa?" "Jangan main-main," ujar Lauren. "Ini sudah cukup sulit bagiku. Aku menelepon untuk memberitahumu bahwa aku akan menjemput Michelle lebih cepat hari ini, karena aku akan membawanya ke dokter." "Kenapa? Dia sudah sembuh dari pilek." "Aku membawanya untuk pemeriksaan, Peter."
"Untuk apa?" "Pemeriksaan." "Aku tidak tuli," balasku, "tapi...” "Dokter yang akan memeriksanya bernama Robert Strauss. Kata orang, dia paling ahli dalam bidangnya. Aku sudah tanya pada orang-orang di kantor, siapa yang
sebaiknya kuhubungi. Aku tidak tahu bagaimana hasilnya nanti, Peter, tapi aku ingin kau tahu bahwa aku prihatin, terutama mengingat masa lalumu " “Lauren, apa maksudmu?" "Penganiayaan," katanya. "Penganiayaan seksual terhadap anak-anak." "Apa?" "Tak ada jalan lain. Kau tahu bahwa kau pernah dituduh." Aku mulai mual. Setiap perkawinan yang gagal selalu meninggalkan sisa-sisa kebencian, kantong-kantong kegetiran dan amarah, serta banyak hal pribadi yang kita ketahui mengenai orang yang satu lagi, yang dapat digunakan sebagai senjata terhadapnya, jika kita memilih untuk berbuat demikian. Lauren belum pernah melakukannya. "Lauren, kau tahu bahwa tuduhan itu terbukti tak berdasar. Kau tahu semuanya. Kita sudah menikah waktu itu." "Aku hanya tahu yang kauceritakan padaku." Sepertinya ia sengaja menjaga jarak. Suaranya bernada
moralistik, sedikit sarkastik. Suara sang penuntut umum. "Lauren, demi Tuhan. Ini benar-benar konyol. Ada apa
sebenarnya?" "Ini sama sekali tidak konyol. Aku punya tanggung jawab sebagai ibu." "Hmm, selama ini kau tidak pernah memikirkan tanggung jawabmu sebagai itu. Dan sekarang kau ...” "Memang benar, karierku banyak menyita waktu,," katanya dengan nada dingin, "tapi tak pernah ada keraguan bahwa yang paling penting adalah anakku. Dan aku sangat sangat menyesal jika tingkah lakuku di masa lalu ikut mendorong terciptanya situasi yang tidak menyenangkan ini." Aku mendapat kesan bahwa ia tidak berbicara padaku. Ia sedang berlatih. Menggunakan kata-kata untuk mengetahui bagaimana pengaruhnya di hadapan hakim. "Tentunya, Peter, jika terdapat bukti mengenai penganiayaan, Michelle tidak bisa tinggal bersamamu lagi. Atau bahkan menemuimu.” Dadaku serasa ditusuk. "Apa maksudmu? Siapa yang memberitahumu bahwa ada penganiayaan?" "Peter, kurasa tidak sepatutnya aku berkomentar pada saat ini." "Apakah Wilhelm? Siapa yang meneleponmu, Lauren?" "Peter, tak ada gunanya kita melanjutkan pembicaraan ini. Aku secara resmi memberitahumu bahwa aku akan
menjemput Michelle pukul empat. Kuminta dia sudah siap jam empat sore nanti.” "Lauren..." "Aku telah minta sekretarisku, Miss Wilson, agar ikut mendengarkan pembicaraan kita dan membuat catatan
steno. Aku menyampaikan pemberitahuan resmi mengenai niatku untuk menjemput putriku untuk pemeriksaan fisik. Ada pertanyaan mengenai keputusanku ini?" "Tidak." "Kalau begitu, jam empat. Terima kasih atas kerja samamu. Dan sebagai catatan pribadi, Peter, aku sungguh menyesal bahwa ini harus terjadi." Dan dengan itu ia meletakkan gagang.
Aku pernah terlibat dalam kasus penganiayaan seksual ketika aku masih bertugas sebagai detektif. Aku tahu permasalahannya. Pada umumnya, pemeriksaan fisik tidak mengungkapkan apa-apa. Hasilnya selalu meragukan. Jika seorang anak dihadapkan pada psikolog yang memberondongnya dengan pertanyaan, anak itu akhirnya akan memberikan jawaban yang menurutnya sesuai dengan apa yang diharapkan. Si psikolog wajib membuat rekaman video untuk membuktikan bahwa pertanyaannya tidak mengarah. Namun situasinya hampir selalu tetap tidak jelas pada waktu diajukan ke meja hijau. Karena itu, hakim terpaksa mengambil keputusan secara hati-hati. Artinya, jika ada kemungkinan bahwa telah
terjadi penganiayaan, anak yang bersangkutan harus dipisahkan dari orangtua yang dituduh. Atau paling tidak, tidak diberi izin berkunjung tanpa pengawasan. Tidak boleh menginap. Atau bahkan tidak... "Cukup," ujar Connor, yang duduk di sampingku di dalam mobil. "Sudah waktunya Anda kembali ke dunia nyata." "Sori," kataku. "Tapi masalahnya sangat mengganggu."
"Saya percaya. Sekarang, apa yang belum Anda ceritakan pada saya?" "Mengenai apa?" "Tuduhan penganiayaan itu." "Tidak ada. Tidak ada apa-apa. " Kohai," ia berkata dengan tenang. "Saya tidak bisa membantu Anda jika Anda tidak mau berterus terang." "Saya tidak pernah terlibat penganiayatan seksual," kataku. "Bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah uang." Connor tidak menanggapinya. Ia hanya menunggu. Menatapku. "Ah, persetan," kataku. Lalu aku membeberkan semuanya
Ada saat-saat dalam hidup kita, ketika kita merasa yakin bahwa kita tahu apa yang kita lakukan. Tapi kemudian, jika kita pikirkan kembali, kita sadar bahwa tindakan kita sama sekali tidak benar. Anda terbentur pada suatu masalah, dan mengambil langkah yang keliru. Tapi pada saat itu Anda yakin bahwa semuanya beres. Masalahku adalah, aku sedang jatuh cinta. Lauren termasuk gadis yang bersikap ningrat, langsing, dan anggun. Sepertinya ia dibesarkan dalam lingkungan elite. Ia lebih muda dariku, dan cantik.
Sejak pertama aku sudah tahu bahwa hubungan kami takkan langgeng, tapi aku tetap berusaha mempertahankannya. Kami menikah dan tinggal bersama-sama, dan ia mulai merasa tidak puas. Tidak puas dengan apartemenku, dengan lokasinya, dengan uang yang
kami miliki. Semuanya. Dan ia terus diganggu mual-mual dan muntah, yang tidak membantu memperbaiki keadaan. Ia menyimpan crackers di mobil, di samping tempat tidur, di mana-mana. Ia begitu menderita dan tidak hahagia, sehingga aku berusaha menghiburnya dengan hal-hal kecil. Membelikan hadiah. Membawa oleh-oleh. Memasak. Melakukan pekerjaan rumah tangga yang ringan. Biasanya aku tidak begitu, tapi aku sedang jatuh cinta. Aku mulai terbiasa melakukan hal-hal untuk menyenangkan hati Lauren. Lalu masih ada tekanan yang tak reda-reda. Ini harus lebih banyak, itu harus lebih banyak. Lebih banyak uang. Lebih banyak, lebih banyak. Kami juga menghadapi masalah khusus. Polis asuransi kesehatan Lauren sebagai pegawai kejaksaan tidak mencakup kehamilannya, sama seperti polis asuransiku. Pada waktu menikah, kami tidak sempat mengurus polis
yang mencakup bayi kami. Biaya untuk si Kecil mencapai delapan ribu dolar, dan kami harus mendapatkannya. Kami sama-sama tidak mempunyai uang. Ayah Lauren dokter di Virginia, tetapi Lauren tidak ingin meminjam uang dari ayahnya, yang sejak semula tidak menyetujui hubungan kami. Keluargaku tidak mempunyai uang. Nah. Tidak ada uang. Lauren bekerja untuk kejaksaan. Aku bekerja untuk kepolisian. Ia berutang banyak pada MasterCard, dan cicilan mobilnya pun belum lunas. Kami harus mendapatkan delapan ribu dolar. Masalah itu terus menghantui kami. Bagaimana kami akan mengatasinya? Dan akhirnya terbentuk kesepakatan tak terucap, paling tidak dari pihak Lauren, bahwa akulah yang bertanggung jawab. Jadi, suatu malam di bulan Agustus, aku mendapat
panggilan untuk menangani kasus pertengkaran rumah tangga di Ladera Heights. Suami-istri Latin. Mereka sama-sama mabuk dan bertengkar hebat. Bibir si istri pecah, mata suaminya bengkak dan anak mereka menjerit-jerit di kamar sebelah. Tapi tak lama kemudian kami berhasil menenangkan mereka, dan ternyata tak ada yang mengalam cedera serius. Si istri melihat bahwa kami sudah hendak pergi. Ketika itulah dia mulai berteriakteriak bahwa suaminya telah melakukan penginiayaan fisik terhadap anak perempuan mereka. Waktu si suami mendengar ini, ia tampak marah sekali. Aku juga tidak percaya. Si istri pasti hanya ingin membalas dendam. Tapi ia berkeras agar kami memeriksa anak perempuannya, jadi aku masuk ke kamar anak itu. Umurnya sekitar sembilan bulan, dan ia menjerit-jerit sampai mukanya merah padam.
Aku menyingkap selimutnya untuk mencari luka memar, dan kemudian aku melihat sebongkah kokain. Di bawah selimut, di samping anak itu. Nah. Situasinya agak pelik. Mereka suami-istri, jadi si istri harus memberi kesaksian yang memberatkan suaminya, penggeledahan yang kami lakukan tidak sah, dan sebagainya. Suaminya tidak memerlukan bantuan pengacara hebat agar lolos dari hukuman. Jadi aku keluar dan memanggil orang itu. Aku sadar bahwa aku tak dapat berbuat apaapa. Aku hanya membayangkan bahwa kalau bongkahan tadi sampai digigit-gigit oleh anak perempuan itu, ia pasti mati. Aku ingin membicarakan hal tersebut. Sedikit menggertak, menakut-nakutinya. Laki-laki itu berdua denganku di kamar anaknya. Istrinya masih di ruang duduk, bersama rekanku. Tiba-tiba laki-laki itu mengeluarkan amplop setebal dua senti. Ia
membukanya. Aku melihat lembaran-lembaran seratus dolar. Tumpukan lembaran seratus dolar setebal satu inci. Dan ia berkata, "Terima kasih atas bantuan Anda." Amplop itu berisi sekitar sepuluh ribu dolar. Mungkin lebih. Aku tidak tahu persis. Ia menyodorkan amplop itu dan menatapku, sambil berharap agar aku mengambilnya. Aku memperingatkannya akan bahaya menaruh kokain di tempat tidur anaknya. Langsung saja ia meraih bongkahan
itu, meletakkannya di lantai, dan menendangnya ke bawah tempat tidur. "Anda benar. Terima kasih." Lalu ia kembali menyodorkan amplop itu. Nah. Suasananya kacau balau. Di luar, istrinya membentak-bentak rekanku. Di dalam kamar, anak mereka masih terus menjerit-jerit. Laki-laki itu memegang amplop. Ia tersenyum dan mengangguk. Ayo, ambil saja. Dan kupikir... aku tidak tahu apa yang kupikirkan saat itu. Tahu-tahu aku sudah di ruang duduk. Aku berkata bahwa anak perempuan itu baik-baik saja, dan sekarang si istri mulai berteriak-teriak bahwa aku yang menganiaya anaknya - sekarang aku yang dijadikan kambing hitam, bukan suaminya – bahwa aku bersekongkol dengan suaminya, bahwa kami sama-sama menganiaya anak perempuannya. Rekanku sadar bahwa perempuan itu mabuk berat, dan kami pergi. Titik. Rekanku berkata, "Kau lama sekali di ruangan itu." Dan aku menjawab, "Aku harus memeriksa anak itu." Selesai. Tapi keesokan harinya perempuan itu muncul di markas dan membuat pengaduan resmi bahwa aku menganiaya putrinya. Pengaruh alkohol belum hilang benar, dan ia sudah pernah berurusan dengan
polisi, tapi tuduhannya cukup serius, sehingga diposes sesuai peraturan, sampai ke pemeriksaan pendahuluan, sebelum akhirnya dibatalkan dengan alasan tidak berdasar. Hanya itu. Begitulah kejadiannya.
"Dan uangnya?" tanya Connor. "Saya pergi ke Vegas untuk berakhir pekan. Saya menang banyak. Tahun itu saya membayar pajak untuk penghasilan tambahan sejumlah 13.000.” "Ide siapa itu?" “Lauren. Dia bilang, dia tahu cara untuk menanganinya." "Jadi, dia tahu apa yang terjadi?" "Tentu." "Dan pemeriksaan pendahuluan itu? Apakah pibak Departemen sempat membuat laporan?" "Saya kira tidak sampai sejauh itu Tuduhan ituhanya didengar secara verbal, lalu dibatalkan. Mungkin ada catatan dalam arsip, tapi pasti bukan laporan resmi." "Oke," ujar Connor. "Sekarang ceritakan sisanya.”
Kemudian aku bercerita mengenai Ken Shubik, harian Times, dan si Musang. Connor mendengarkanku sambil mengerutkan kening, tanpa berkata apa-apa. Ia mulai mengisap udara lewat sela-sela gigi, yang merupakan cara Jepang untuk menyatakan rasa tidak setuju. " Kohai," katanya, ketika aku akhirnya selesai, "Anda
sangat merepotkan saya. Anda membuat saya kelihatan seperti orang bodoh. Kenapa Anda tidak menceritakan ini sejak awal?" "Karena ini tidak ada hubungannya dengan Anda."
"Kohai." Ia menggelengkan kepala. "Kohai..." Aku kembali memikirkan anak perempuanku. Aku memikirkan kemungkinan baru - kemungkinan bahwa aku takkan pernah melihatnya lagi - bahwa aku takkan dapat... "Begini," kata Connor. "Aku sudah memperingatkan Anda bahwa urusan ini mungkin tidak menyenangkan. Percayalah, keadaan masih bisa bertambah buruk. Benar-benar parah. Kita harus bergerak cepat dan mencoba menuntaskan semuanya." "Saya pikir semuanya sudah tuntas." Connor menghela napas dan menggelengkan kepala. "Belum," katanya. "Dan sekarang kita harus menyelesaikan semuanya sebelum Anda menemui istri Anda pukul empat nanti. Kita tak bisa memhuang-buang waktu lagi."
Bab 37
"HMM, kelihatannya tugas kita sudah selesai," ujar Graham. Ia berjalan mengelilingi rumah Sakamura di perbukitan Hollywood. Tim SID yang terakhir sedang bersiap-siap meninggalkan tempat itu. "Aku tidak mengerti kenapa Komandan begitu sewot tentang ini," kata Graham. "Anak-anak SID sampai terpaksa bekerja di sini, karena dia terus mendesak-desak. Tapi untung saja semuanya saling memperkuat. Sakamura-lah
orang yang kita cari. Tempat tidurnya diperiksa untuk mencari bulu pubic, dan ternyata cocok dengan bulu yang ditemukan pada cewek itu. Kami mendapatkan ludah kering dari sikat giginya. Golongan darah dan penanda genetiknya sama dengan sperma yang ditemukan pada cewek yang mati itu. Tingkat kepastiannya 95 persen.
Anak-anak SID menemukan sperma dan bulu pubic Sakamura pada cewek itu. Sakamura berhubungan seks dengannya, lalu membunuhnya. Dan waktu kita datang untuk menangkapnya, Sakamura panik, berusaha melarikan diri, dan akhirnya tewas. Di mana Connor?" "Di luar," kataku. Melalui jendela, aku melihat Connor berdiri di depan garasi, berbicara dengan dua petugas polisi yang duduk di dalam mobil patroli. Connor menunjuk ke jalanan; mereka menjawab pertanyaan-pertanyaannya. "Sedang apa dia di sana?" tanya Graham. Aku berkata bahwa aku tidak tahu. "Brengsek, aku tidak mengerti orang itu. Berilahu dia bahwa jawaban atas pertanyaannya adalah 'tidak ada'." "Pertanyaan apa?" "Sejam yang lalu dia meneleponku," ujar Graham. "Dia ingin tahu berapa banyak kacamata baca yang kami temukan di sini. Kami langsung memeriksanya. Ternyata tidak ada kacamata baca. Kalau kacamata hitam, banyak. Beberapa kacamata hitam untuk perempuan. Cuma itu. Aku tidak tahu apa rencananya. Orangnya aneh. Persetan, apa lagi yang dikerjakannya sekarang?" Kami memperhatikan Connor berjalan mondar-mandir di sekitar mobil patroli, lalu kembali meninjuk ke jalanan.
Satu petugas patroli duduk di d dam mobil, berbicara melalui radio. "Kau bisa mengikuti jalan pikirannya?" tanya Graham.
"Tidak." "Barangkali dia mencoba melacak cewek-cewek tadi," ujar Graham. "Hmm, coba kalau kita sempat memeriksa identitas si Rambut Merah. Kujamin dia juga bersanggama dengan Sakamura. Seharusnya kita bisa dapat contoh sperma darinya, untuk membandingkan semua faktor. Dan aku seperti otrang tolol, membiarkan cewek-cewek itu lolos. Dasar sial, siapa yang menyangka perkembangannya bakal seperti ini? Semuanya terjadi begitu cepat. Cewek-cewek telanjang, berlari ke sana kemari. Laki-laki normal pasti sempat bingung. Itu wajar. Brengsek, mereka cantik-cantik, ya?" Aku membenarkannya. "Dan tak ada yang tersisa dari Sakamura," Graham melanjutkan. "Kira-kira sejam yang lalu aku bicara dengan anak-anak PEO. Mereka ada di markas, mencoba mengeluarkan mayat itu dari mobil, tapi kurasa dia takkan bisa diidentifikasi. Petugas-petugas pemeriksa mayat akan mencoba, tapi selamat berjuang." Ia menatap ke luar jendela. "Kau tahu? Kita sudah berupaya maksimal dalam kasus keparat ini," katanya. "Dan kita cukup sukses. Kita berhasil mendapatkan pelakunya. Dengan cepat, tanpa buang-buang waktu. Tapi yang kudengar sekarang cuma keluhan bahwa kita sengaja menjelek-jelekkan orang Jepang. Sial. Kita selalu di pihak yang salah." "He-eh," gumamku. "Astaga, pengaruh mereka semakin kuat saja," kata Graham. "Aku didesak-desak dari segala arah. Aku
ditelepon Komandan. Dia minta kasus ini segera ditutup. Ada wartawan Times yang menyelidiki masa laluku. Dia mengungkit-ungkit tuduhan penggunaan kekerasan tanpa
alasan terhadap pemuda Latin di tahun 1978. Pemuda itu Cuma mengada-ada. Tapi wartawan ini, dia berusaha memperlihatkan bahwa aku seorang rasialis, dari dulu. Coba tebak, apa latar belakang artikelnya, Kejadian semalam disebutnya sebagai contol rasialisme di kalangan pollsi. Aku dijadikan contoh buruk. Hah, orang-orang Jepang itu memang jago bermain kotor." "Aku tahu," kataku. "Jadi kau juga sudah mulai dikerjai?" Aku mengangguk. "Apa tuduhan mereka?" "Penganiayaan terhadap anak kecil." "Astaga," ujar Graham. "Padahal kau punya anak perempuan." "Ya." "Memuakkan. Fitnah dan pencemaran nama baik, Petey-san. Tak ada hubungannya dengan kenyataan. Tapi coba saja kaujelaskan ini kepada wartawan." "Siapa orangnya?" tanyaku. "Siapa wartawan yang menghubungimu?" "Namanya Linda Jensen, kalau tidak salah." Aku mengangguk. Linda Jensen adalah anak didik si Musang. Pernah ada yang berkata bahwa Linda tidak perlu membuka baju untuk memacu kariernya. Ia tinggal membuka rahasia-rahasia orang lain dan merusak reputasi mereka untuk mencapai tujuannya. Ia bekerja sebagai
pengasuh kolom gosip di Washington sebelum pindah ke Los Angeles. "Entahlah," ujar Graham sambil menggeser tubuhnya yang gempal. "Aku sendiri tak habis pikir. Mereka mengubah negeri ini menjadi Jepang ke dua. Sekarang saja
sudah ada orang yang takut buka mulut. Takut mengatakan sesuatu yang membuat mereka tersinggung. Orang-orang tidak mau berterus terang mengenai masalah ini." "Seharusnya Pemerintah mengeluarkan undang-undang baru." Graham tertawa. " Pemerintah. Pemerintah sudah jadi milik mereka. Kau tahu berapa jumlah uang yang mereka habiskan di Washington setiap tahun? Empat ratus juta dolar setahun. Cukup untuk menutup biaya kampanye semua anggota Senat dan Kongres. Jumlah yang besar. Nah, sekarang coba jawab. Mungkinkah mereka mengeluarkan uang sebanyak itu, tahun demi tahun, kalau tidak ada manfaatnya bagi mereka? Tentu saja tidak. Brengsek. Amerika sudah di ambang kehancuran. Hei, sepertinya kau dicari bosmu." Aku memandang ke luar jendela. Connor sedang memanggilku dengan isyarat tangan. Aku berkata, "Aku pergi dulu." "Selamat berjuang," ujar Graham. "O, ya, aku mungkin mau ambil cuti beberapa minggu." "Yeah? Mulai kapan?" "Mungkin nanti," kata Graham. "Saran dari Komandan. Katanya, barangkali ada baiknya, mengingat aku masih diincar wartawan Times keparat itu. Aku ingin berlibur seminggu di Phoenix. Ada saudaraku di sana. Aku cuma
ingin kau tahu bahwa aku mungkin akan pergi." "Oke," kataku. Connor masih melambaikan tangan padaku. Ia tampak tidak sabar. Aku bergegas keluar. Ketika menuruni tangga, aku melihat Mercedes hitam berhenti. Sebuah sosok yang sangat kukenal turun dari mobil itu.
Ternyata Wilhelm si Musang.
Bab 38
KETiKA aku sampai di bawah, si Musang telah mengeluarkan buku catatan dan alat perekam. Sebatang rokok terselip di sudut mulutnya. "Letnan Smith," katanya, "apakah saya bisa bicara sebentar dengan Anda?" "Saya sedang sibuk," jawabku. "Ayo," Connor berseru padaku. "Waktu kita tinggal sedikit." Ia membuka pintu mobil. untukku. Aku berjalan ke arah Connor. Si Musang mengikutiku. Ia menyodorkan sebuah mikrofon kecil berwarna hitam ke wajahku. "Mudah-mudahan Anda tidak keberatan saya merekam percakapan kita. Setelah kasus Malcolm, kami harus lebih berhati-hati. Apakah Anda dapat memberikan komentar mengenai ejekan bernada rasial yang kabarnya di lontarkan rekan Anda, Detektif Graham, dalam penyidikan Nakamoto semalam?" "Tidak," kataku. Aku terus berjalan. "Kami mendapat informasi bahwa Detektif Graham menyebut mereka sebagai 'Jepang-Jepang keparat’”.
"Tidak ada komentar," kataku. "Dia juga menyebut mereka 'mata sipit'. Menurut Anda, pantaskah ucapan seperti ini bagi polisi yang sedang bertugas?" “Sori, tak ada komentar, Willy." Ia terus menyodorkan mikrofonnya ke wajahku. Menjengkelkan sekali. Aku ingin menepisnya, tapi aku menahan diri. "Letnan Smith, kami sedang mempersiapkan cerita mengenai Anda, dan kami punya beberapa
pertanyaan mengenai kasus Martinez. Anda ingat kasus itu? Beberapa tahun lalu." Aku terus melangkah. "Saya sedang sibuk, Willy," kataku. "Kasus Martinez menimbulkan tuduhan penganiayaan anak di bawah umur, yang diajukan oleh Sylvia Morelia, ibu dari Maria Martinez. Departemen Kepolisian sempat mengadakan pemeriksaan pendahuluan. Saya ingin tahu, apakah Anda dapat memberikan komentar?" "Tidak ada komentar." "Saya sudah bicara dengan rekan Anda saat Itu, Fed Anderson. Barangkali Anda dapat memberikan komentar mengenai ini?" "Sori. Tidak bisa." "Kalau begitu, Anda tidak akan menanggapi tuduhan-tuduhan serius yang dilontarkan terhadap Anda?" "Setahu saya, satu-satunya orang yang melonfarkan tuduhan adalah Anda." "Sebenarnya itu kurang tepat," katanya, sambil tersenyum padaku. "Saya dengar pihak kejaksaan sudah mulai mengadakan penyelidikan."
Aku diam saja. Dalam hati aku bertanya-tanya apakah itu benar. "Dalam keadaan seperti sekarang, Letnan, apakah Anda tidak sependapat bahwa pengadilan telah membuat kekeliruan dengan memberikan hak asuh atas putri Anda kepada Anda?"
Aku hanya berkata, "Sori. Tidak ada komentar, Willy." Aku berusaha agar jawabanku bernada yakin. Aku mulal berkeringat. Connor berkata, "Ayo, ayo. Tidak ada waktu." Aku masuk ke mobil. Connor berkata kepada Wilhelm, "Maaf, Bung, tapi kami sedang terburu-buru." Ia menutup pintu. Aku menghidupkan mesin. "Mari kita berangkat," ujar Connor. Willy mengintip darl jendela. "Apakah Anda berpendapat bahwa penugasan Kapten Connor yang dikenal anti-Jepang merupakan contoh kecerobohan Departemen Kepolisian dalam menangani kasus-kasus yang berbau rasial?" "Sampai jumpa, Willy." Aku menutup jendela, dan mulai menuruni bukit. "Saya takkan keberatan kalau kita melaju sedikit lebih kencang," ujar Connor. "Oke," kataku. Aku menginjak pedal gas. Di kaca spion, aku melihat si Musang bergegas ke Mercedes-nya. Aku membelok tanpa mengurangi kecepatan. Ban mobilku berdecit-decit. "Bagaimana bajingan itu bisa menemukan kita? Dengan memantau gelombang polisi?" "Sejak awal, kita tidak menggunakan radio," kata
Connor. "Anda tahu, saya selalu berhati-hati. “Tapi barangkali mobil patroli tadi melaporkan sesuatu ketika kita tiba. Mungkin ada alat penyadap di mobil ini. Mungkin juga dia sudah menduga bahwa kita akan muncul.
Dan jangan lupa, bajingan itu menjalin hubungan dengan orang Jepang. Ia kaki tangan mereka di Times. Biasanya orang Jepang lebih cermat memilih orang. Tapi saya kira dia mau melaksanakan semua permintaan mereka. Mobilnya cukup bagus, bukan?" "Tapi bukan mobil Jepang." "Itu terlalu mencolok," ujar Connor. "Dia masih mengikuti kita?" "Tidak. Kelihatannya kita berhasil mengecohnya. Ke mana kita sekarang?" "Ke U.S.C. Seharusnya Sanders sudah selesai sekarang." Kami menyusuri jalanan, menuruni bukit, menuju freeway 101. “O, ya," kataku, "kenapa Anda menanyakan kacamata baca tadi?" "Hanya soal kecil yang perlu ditegaskan. Mereka tidak menemukan kacamata baca di rumah Sakamura?" "Tidak. Hanya kacamata hitam." "Sudah saya duga," ujar Connor. "Dan Graham bilang dia akan ke luar kota. Hari ini. Dia mau pergi ke Phoenix." "Hmm." Ia menatapku. "Anda tidak berminat ke luar kota juga?" "Tidak," jawabku. "Oke."
Aku sampai di kaki bukit dan memasuki arah selatan. Dulu, perjalanan ke U.S.C. hanya makan waktu sepuluh menit. Kini hampir setengah jam. Terutama sekarang, menjelang jam makan siang. Tapi aku sudah terbiasa. Lalu lintas selalu padat, dan kota selalu diselubungi kabut asap. "Menurut Anda, saya membuat kesalahan?" tanyaku. "Anda pikir lebih baik kalau saya bawa anak saya dan ikut
kabur?" "Itu salah satu alternatif," Ia menghela napas. "Orang Jepang sangat ahli dalam bertindak secara tidak langsung. Itu sudah menjadi naluri mereka. Di Jepang, jika seseorang tidak senang kepada Anda, dia takkan mengatakannya secara terus terang. Mereka memberitahu teman Anda, rekan Anda, bos Anda. Dan cepat atau lambat beritanya akan sampai di telinga Anda. Orang Jepang tergantung pada komunikasi tidak langsung. Itulah sebabnya mereka demikian getol bersosialisasi, bermain golf, minum-minum di bar karaoke. Mereka memerlukan jalur-jalur komunikasl khusus itu, karena mereka tidak bisa berterus terang. Kalau dipikir, cara mereka sangat tidak efisien. Boros waktu, tenaga, dan uang. Tapi karena mereka tidak bisa berkonfrontasi langsung-mereka bisa berkeringat dingin kalau harus berhadapan langsung - mereka tidak punya pilihan lain. Jepang adalah negeri jalan memutar. Mereka tak pernah lewat di tengah-tengah." "Yeah, tapi..." "Jadi, tingkah laku yang berkesan licik dan pengecut bagi orang Amerika merupakan prosedur standar di Jepang. Tidak ada tujuan khusus. Mereka sekadar ingin memberitahu Anda bahwa orang-orang dengan kekuasaan besar merasa tidak senang.” "Sekadar memberitahu saya? Bahwa saya mungkin
harus maju ke pengadilan untuk memperjuangkan putri saya? Bahwa hubungan saya dengan anak saya mungkin putus untuk selama-lamanya? Bahwa nama baik saya mungkin hancur?" "Ehm, ya. Itulah sanksi yang umum. Ancaman dipermalukan merupakan cara yang biasa dipakai untuk
menyampaikan pesan mereka." "Rasanya saya mulai mengerti," kataku. "Tidak ada dendam pribadi," ujar Connor. "Memang beginilah cara mereka." "Yeah. Dengan menyebarkan fitnah." "Secara tidak langsung." "Tidak, bukan secara tidak langsung. Mereka memfitnah saya." Connor mendesah. "Saya memerlukan waktu banyak untuk memahami bahwa perilaku orang Jepang didasarkan atas tata nilai desa petani. Kita sering mendengar cerita mengenai samurai dan feodalisme, tapi pada dasarnya, orang Jepang bangsa petani. Dan jika kita hidup di desa petani dan membuat petani-petani yang lain tidak senang, kita akan dibuang. Dan itu berarti kita akan mati, sebab tak ada desa lain yang mau menerima pembuat onar. Nah. Kalau kita menyinggung perasaan kelompok, kita akan mati. Demikianlah pandangan mereka.” "Artinya, orang Jepang sangat mengutamakan kelompok. Mereka terbiasa tunduk pada keinginan kelompok. Tidak ada yang menonjolkan diri, tidak ada yang mengambil risiko, tidak ada yang bersikap terlalu individualistis. Dan juga tidak ada yang berkeras pada kebenaran. Orang Jepang tidak meyakini konsep kebenaran. Mereka menganggapnya
dingin dan abstrak. Seperti ibu dari laki-laki yang dituduh melakukan kejahatan. Dia tak peduli pada kebenaran. Dia lebih peduli pada anaknya. Sama halnya dengan orang Jepang. Bagi orang Jepang, hal terpenting adalah hubungan antara manusia. Itulah kebenaran sejati. Kebenaran faktual tidak relevan bagi mereka." "Yeah, boleh-boleh saja," kataku. "Tapi kenapa mereka
masih terus mendesak-desak sekarang? Apa pengaruhnya? Pembunuhan itu sudah diusut sampai tuntas, bukan?" "Belum," ujar Connor. "Belum?" "Belum. Karena itulah kita diserang dari segala arah. Rupanya ada seseorang yang ingin agar kasus ini segera ditutup. Mereka ingin kita lepas tangan." "Saya dan Graham sudah diserang oleh mereka, kenapa Anda tidak?" "Saya pun mengalami hal yang sama dengan Anda," kata Connor. "Dalam bentuk apa?" "Mereka membuat saya bertanggung jawab atas kejadian yang menimpa Anda." Bagaimana caranya? Saya tidak melihat gelagat ke arah itu." "Saya tahu. Tapi percayalah, mereka juga mengincar saya." Aku menatap barisan mobil yang merayap maju, menyusup ke kabut yang menyelubungi pusat kota. Kami melewati billboard elektronik untuk Hitachi (#1 COMPUTERS IN AMERICA!), untuk Canon (AMERICA'S
COPY LEADER), dan Honda (NUMBER ONE RATED CAR IN AMERICA!). Seperti pada umumnya iklan-iklan Jepang yang baru, semua billboard itu cukup terang terbaca pada siang hari. Harga sewanya 30.000 dolar per hari; di luar
jangkauan sebagian besar perusahaan Amerika. Connor berkata, "Intinya, orang Jepang sadar bahwa mereka sanggup membuat suasana tidak menyenangkan. Dengan menyerang Anda, mereka memberitahu saya, 'Tangani urusan ini.' Sebab mereka pikir saya bisa mengakhirinya." "Anda mampu?" "Tentu. Anda mau mengakhirinya? Setelah itu, kita bisa minum bir dan menikmati kebenaran ala Jepang. Atau Anda ingin mengusut sampai tuntas kenapa Cheryl Austin dibunuh?" "Saya ingin mengusutnya sampai tuntas." "Saya juga," kata Connor. "Mari, Kohai. Saya rasa Sanders punya informasi menarik untuk kita. Kaset-kaset itu merupakan kunci sekarang."
Bab 39
PHILLIP SANDERS berjalan mondar-mandir. "Lab saya ditutup," katanya. Ia mengayunkan tangan untuk melampiaskan frustrasinya. "Dan tidak ada yang bisa saya lakukan." Connor berkata, "Kapan kejadiannya?" "Sejam yang lalu. Petugas pengelola kampus datang dan memberitahu s