SIBLING Mengapa aku jatuh padanya di saat yang tidak tepat? - Rachel Vannya - Mengapa mereka baru memberitahukanku di saat aku sudah nyaman dengannya? - Danny Lockwood - Kisah dua orang remaja yang saling suka. Semuanya berjalan lancar. Kehidupan keduanya nyaris sempurna. Namun semua tak seperti yang mereka harapkan, saat mereka mengetahui 'kebenarannya'.
Part 1: Prologue "Chris, aku harap kau cepat bilang kepada mereka tentang---" "Oh Tuhan. Tidak bisakah kau tak mengungkit hal itu lagi?" potong lelaki itu frustasi. "Aku hanya takut mereka saling jatuh -- kau tahu kan maksudku?" "Ya, akan kubereskan semuanya," sahut lelaki tadi enteng. "Tidak semudah itu, Chris. Kau tahu mereka semua keras kepala. Seperti kau, ingat?" Perempuan di seberang sana tergelak. "Yayaya, aku tahu itu. Sudahlah, aku masih ada banyak urusan," ucap lelaki paruh baya itu berusaha menghindar dari topik. "Oke. Titipkan salamku padanya. Jangan lupa berikan ucapan selamat tidur untuknya." "Kau tahu? Ia sudah terlelap dari satu jam yang lalu." "Oh, oke. Malam, Chris." "Ya, malam." Klik! Lelaki itu tidak sadar bahwa sedari tadi ada yang menguping pembicaraannya di telepon. "Papa bicara dengan siapa?" tanya seorang gadis dengan pakaian piyama di tubuhnya. Rambut panjangnya acak-acakan, terlihat ia habis bangun tidur. Yang dipanggil hanya berdiri mematung memunggungi gadis itu. "Bu-bukan siapa-siapa, kok. Sudah. Ayo tidur lagi. Besok kau masih harus ke sekolah." Gadis itu hanya mengangguk lalu kembali ke kamarnya. ***
Part 2: 1
"Rachel, turun!" Rachel Vannya. Seorang gadis remaja berusia hampir 17 tahun. Ia tinggal bersama papa dan pembantunya. Namun tak jarang ia merasa kesepian tanpa kehadira seorang mama. Papanya sangat jarang di rumah. Garis bawahi kata "sangat". Gadis itu segera mematikan aplikasi skype yang ia gunakan sejak dua jam yang lalu, dengan terpaksa. Ia sedang video call-an dengan sahabatnya sewaktu di Amerika. Ia pindah ke Indonesia sudah setahun yang lalu, namun rasa rindunya pada kampung halamannya melebihi apapun. Ia menutup laptop, lalu menyambar tasnya dan menuruni tangga dengan cepat. Ia melirik sebentar pada jam dinding. "Jam setengah tujuh, huh? Mengapa bus selalu datang tepat waktu, sih?" gumamnya pelan. Ia mendengus sebal. Bus sekolahnya datang di saat ia tengah asyik mengobrol dengan Briz. "Cepat berangkat atau kau akan ketinggalan bus, Nona Muda," perintah papanya tegas. Rachel hanya memutar bola mata. Bosan karena hanya itu yang diucapkan papanya tiap pagi. Dan terpaksa, ia harus sarapan di sekolah, lagi. "Aku berangkat, Pa," pamitnya lalu memeluk papanya sekilas. Dan ia pun memasukki bus sekolah. * "Hai, Chel," sapa beberapa teman ketika ia di dalam bus. Ya, Rachel adalah gadis populer incaran para lelaki di sekolahnya. Walaupun sudah sering dimodusin cowok-cowok, ia tetap memilih diam dan hanya tersenyum menanggapi mereka. Tipikal Rachel. Cuek dan dingin namun semua akan berbalik jika sudah bertemu orang kepercayaannya. "Racheeeelll!!" jerit seorang perempuan dari baris belakang. Ia sudah kenal betul dengan sahabatnya yang satu ini. Gadis itu hanya tersenyum dan duduk di samping sahabatnya itu. "Chel." "Hm." jawab Rachel. "Rachel ih!" seru orang itu lagi. Ia merasa terabaikan jika sudah sama Rachel yang cueknya minta ampun. "Apaan sih, Za?" tanya Rachel sedikit membentak. Ia merasa terganggu dengan sahabatnya yang super duper bawel ini. Sangat bertolak belakang jika dibandingkan dengan Rachel. Zara merengut. Namun, ia tak gencar untuk mengganggu Rachel. Ia tersenyum miring. "Sekali lagi lo panggil gue, gue keluar dari bus ini," ucap Rachel seakan tahu pikiran Zara. "Ya tapi lo nya jangan cuek mulu. Gue kan kesel jadinya!" teriak Zara, membuat seisi bus menoleh ke arahnya. Ralat, seisi bus kecuali sopir. "Siapa suruh ganggu," jawab Rachel singkat. Ia pun memasukkan headset ke telinganya dan meng-scroll lagu di ponselnya. Zara pun merubah posisinya menjadi lurus, dan kembali merengut. Tipikal Zara. Cewek bawel yang labil dan gampang emosian tapi asik jika sudah mengenalnya. Rachel menghela napas panjang. Ia bertopang dagu melihat pohon-pohon melewati bus yang ditumpanginya. Banyak masalah yang menghantui pikirannya.
"Lo kenapa?" Tiba-tiba saja tangan Zara sudah berpindah ke atas bahu Rachel. "Gak. Gue gak apa-apa," sahut Rachel. Zara tahu, percuma ia menanyakan keadaan Rachel. Karena Rachel hanya akan menjawab "gak apa-apa" atau mengalihkan ke topik lainnya. Sulit untuk mendekati Rachel. Dulu saja Zara meminta bantuan beberapa teman sekelasnya untuk dekat dengan Rachel. Tapi siapa sangka, Rachel menerima permintaan pertemanannya. "Kalo lo ada masalah, cerita ke gue, ya?" ucap Zara. Rachel hanya tersenyum tipis, lalu mengangguk. * Bus berhenti di tempat parkir sekolah. Rachel dan Zara turun dan berjalan ke halaman sekolah yang memperlihatkan gedung bertingkat dengan banyak pepohonan di sekitarnya.
Part 3: 2 p.s : Kalo dialog bahasa Inggris, diganti bahasa Indonesia aja ya, biar lebih mudah dipahami dan lebih enak nulisnya =)) Rachel bersenandung kecil sembari duduk di bangku panjang halaman sekolah. Ya, ia sedang menunggu papanya menjemput. Sudah 30 menit lamanya ia menunggu, tetapi mobil papanya tak kunjung datang. Saat ia akan menelpon, ada telepon masuk di ponselnya. Tanpa melihat caller, ia langsung memencet tombol hijau. "Halo?" Terdengar suara berat pria dari seberang. "Ya? Siapa?" tanya Rachel. "Rachel, ini papa, Nak." "Papa nih katanya mau jemput, tapi kapan? Aku udah nunggu lama banget tahu!" Rachel malah marahmarah sendiri. "Maaf ya, sayang. Papa bentar lagi ada---" Klik! Rachel memutus sambungan telepon tanpa mendengar penjelasan papanya. Ia sudah tahu kalau papanya akan lebih mementingkan pekerjaannya daripada anaknya sendiri. "Rachel?" panggil seseorang. Rachel tengah sibuk menatap layar ponselnya sambil menggumamkan sesuatu yang tidak jelas. "Eh, Dan. Kamu ngapain disini?" tanya Rachel menggunakan bahasa Inggris. "Aku baru mau pulang. Tadi Mrs. Tart memanggilku. Kenapa kamu belum pulang?" "Papaku lagi ada urusan. Jadi, yah, dia tak bisa menjemputku, mungkin." Rachel sendiri tidak tahu mengapa dia tidak bisa cuek jika bersama Danny. "Bagaimana jika kau pulang bersamaku?" tawar Danny. "Eh, nanti ngerepotin. Gak usah deh, Dan. Aku bisa pulang sendiri," tolak Rachel.
Aduh, kenapa gue jadi degdegan gini sih? Jantung gue kenapa coba. Perasaan gue gak punya riwayat penyakit jantung deh. Udah ah, nanti gue cek ke dokter, batin Rachel. Ia tersenyum paksa ke Danny. "Beneran? Nanti kalau ada apa-apa sama kamu gimana? Kan cewek gak baik pulang siang sendiri." Pulang siang sendiri gak baik? What the... Lol banget sih tu anak, komentar Rachel dalam hati. "Udah yuk, kamu pulang bareng aku aja. Aku juga mau tahu rumah kamu." "E-eh, yaudah deh. Btw, makasih ya," ucap Rachel tersenyum. Danny mengangguk lalu mempersilakan Rachel duduk di belakangnya. * "Bentar lagi belok kanan, ya!" seru Rachel. "Gak usah teriak juga aku juga denger kali, Chel." Danny tertawa. Rachel hanya tersenyum malu dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Ini... rumah kamu?" tanya Danny. "Ya, begitulah," jawab Rachel seadanya. "Wow," gumam Danny singkat. "Ayo, mau masuk dulu?" tawar Rachel. Danny tersenyum dengan mata berbinar. "Boleh-boleh!" Dan mereka berdua pun masuk ke dalam rumah besar itu. "Rachel pulang!" teriak Rachel. "Siang, Nona," sapa seorang bibi yang bekerja sudah hampir 4 tahun di keluarga Rachel. "Itu siapa, Nona?" tanya bibi tadi. "Bi Rohmah, ini Danny. Danny, ini bi Rohmah." Danny tersenyum dan menjulurkan tangannya untuk bersalaman. "Danny." Ia pun menjabat tangan bi Rohmah. Sementara bibi itu melongo dibuatnya. Bagaimana tidak? Seorang pembantu seperti dia disalami oleh bule ganteng! Seketika, bi Rohmah menjerit histeris. Tawa Rachel meledak, sedangkan Danny menunjukkan raut wajah bersalah. "Itu artinya, dia menyukaimu," ujar Rachel di sela-sela tawanya. Mulut Danny membentuk huruf O. Lalu, ia pun duduk di sofa. Tentunya setelah Rachel mengijinkannya.
Part 4: 3 "Ehm, thanks ya, bantuannya." "Santai aja kali." "Ayo, aku anter kamu pulang!" ajaknya menarik tanganku. "Eh, gak ngerepotin, nih?" "Daripada kamu kesasar lagi. Mending pulang sama yang terpercaya," ujarnya. Aku tersenyum mendengarnya. Ia pun membukakan pintu mobil untukku. "Yakin nih, pakai mobil? Cuma nganterin aku pulang loh," ujarku mengingatkan. "Aku gak mau rambut kamu berantakan cuma gara-gara kena angin pas naik motor. Nanti cantiknya hilang," jawabnya tersenyum sambil menyelipkan beberapa helai rambut ke belakang telingaku. Ya Tuhan, aku merasakan pipiku mulai memanas. Dan sebentar lagi akan berubah menjadi tomat merah
yang bulat, sodara-sodara. * Suara musik blues mulai mengalun di dalam mobil. "Ih, ganti ah! Musiknya galau banget! Gak suka aku!" omelku. Aku melihat Danny tertawa melihat tingkahku yang kekanak-kanakkan. "Kamu suka lagu apa?" tanyanya kemudian. "Musik pop, jazz, gitu-gitulah." "Oh ya? Sama dong." Kami pun saling diam. Keheningan menjalar di dalam mobil. Aku bertopang dagu menatap jalanan dari jendela. Sedangkan Danny fokus menyetir, namun aku tahu pikirannya kemana-mana. * POV Orang Ketiga "Ehem." Danny berdeham, berusaha mencairkan suasana. "Hm?" sahut Rachel. Cueknya mulai kambuh. "Kamu kenapa? Kok diem aja dari tadi?" tanya Danny. "Nggak apa-apa. Kebiasaan aja," jawab Rachel asal. "Oh..." Hening. Tidak ada satupun yang memulai pembicaraan di antara keduanya. Yang satu sibuk dengan jalanan, yang satu sibuk dengan pikiran dan hatinya. Rachel lelah. Ia lelah menghadapi berbagai masalah di kehidupannya. Dulu, ia dikenal sebagai gadis periang, ramah, dan mudah bergaul. Namun sekarang, ia lebih memilih untuk menutup diri. Hanya dia dan Tuhan yang tahu alasannya. Sementara, Danny berusaha mencari topik pembicaraan. Otaknya mulai berputar mencari-cari topik. Ia tidak suka diam p-diaman seperti ini. Apalagi, ia sedang bersama orang yang ia sayang. Tunggu. Orang yang dia sayang? * Danny membelok ke arah kiri. "Danny? Kita... mau kemana?" tanya Rachel bingung. Ia hafal betul jalan menuju rumahnya. Seharusnya, Danny belok ke kanan, bukan ke arah sebaliknya. "Kau tidak mau macam-macam denganku, kan?" tanya Rachel lagi. Ia mulai takut dengan Danny yang tak kunjung menjawab pertanyaannya.
"Udah, jangan ribut. Aku gak bakal macam-macam sama kamu. Aku cuma laper. Mau ya, nemenin aku makan?" jawab Danny sambil menyengir lebar. Rachek menghela napas lega. "Ya ampun, aku kira kamu mau ngapa-ngapain aku. Yaudah. Boleh deh. Aku juga laper," sahut Rachel tertawa. * Mobil Danny berhenti beberapa menit kemudian. Salah satu restoran terkenal di Jakarta berada di hadapan Rachel dan Danny. Danny segera menggandeng tangan Rachel, lalu berjalan cepat menuju restoran. Cacing di perutnya sudah tidak tahan untuk diberi makan. "Dan? Yakin mau makan disini? Disini mahal-mahal loh," tanya Rachel memastikan. "Gak apa-apa kali. Lagian, apa sih yang enggak buat ngelakuin hal bareng sama kamu," ujar Danny. Degdegdeg Hati Rachel terus berdegup kencang. Ia benar-benar bingung, ada apa sebenarnya dengan dirinya. "Ya Tuhan, gak usah blushing gitu ah. Santai aja kali, Sayang," ucap Danny terkekeh. "Lucu tahu, kalo kamu blushing gitu. Kesannya jadi nambah imutnya." Wajah Rachel benar-benar merah sekarang. Ia tidak bisa beekata apapun, selain tersenyum simpul menanggapi ocehan Danny tentang makanan di restoran ini. "Chel?" "Apa?" "Want to hear a little secret?" tawar Danny sambil menyeringai. "Rahasia apa?" tanya Rachel. Ia ta pernah se-penasaran ini jika bersama orang lain. "Gue bisa bahasa Indonesia." *** Maaf banget kalo chap ini pendek. Lagi abis nih idenya. Siapa mau usul? Dan sorry kalo chap ini gaje, gak nyambung, atau apalah namanya. Bener-bener lg ga ada ide nih. Aku usahain cepet update lg kok. Thanks buat yg mau baca(: And big thanks for silent readers<3
Part 5: 4 Rachel POV "Gue bisa bahasa Indo." Aku tercengang. Mengapa dia tidak jujur saja? Sama aja dia bohong ke banyak orang. Dan aku benci pembohong. "Sorry kalo selama ini gue bohong. Gue cuma mau tahu seberapa pintar orang Indo berbahasa Inggris,"
katanya. Alasan klasik yang nggak masuk akal. "Lo tahu?" ucapku. "Gue benci pembohong." Aku segera menyambar tas selempangku, lalu berjalan cepat keluar restoran. "Rachel! Tunggu!" Danny berteriak. Ia mengejarku. "Rachel! Gue punya alasan buat ini!" teriaknya lagi. And finally, he got my hand. "Apa lagi? Alasan lo gak logis banget tahu!" "Dengerin dulu, Chel. Gue punya alasan lain." "Alasan klasik apa lagi sih? Alasan paling bego yang pernah gue denger ya baru kali ini!" teriakku tak mau kalah. "Rachel... Dengerin gue dulu. Gue bisa jelasin." Suaranya melembut, dan membuat jantungku berdegup kencang. Kenapa sih jantungku nggak stabil banget. Dikit-dikit degdeg-an. Nggak tepat banget waktunya. "Cepet. Waktu gue dikit," ucapku cepat. Aku sedang malas bersama seorang pembohong lebih lama. Ia menarikku kembali ke restoran, dan duduk di meja tadi. "But this is a secret. Bisakah lo menjaganya?" Aku mengangguk cepat. "Jadi, sebenarnya, mama papa gue cerai ketika masih di Indonesia. Gue ikut mama gue ke Amerika. Waktu di Amerika, gue masih belum bisa fasih berbahasa Inggris. Jadi kalo gue ngomong masih ada Indonesia nya. Dan entah kapan, guru gue tiba-tiba dateng ke rumah." "Guru gue bilang ke mama, dan mama nyuruh gue untuk belajar bahasa Inggris lebih banyak. Jangan pake bahasa Indo terus. Mama juga bilang kalo gue gak boleh pake bahasa Indo lagi, karena itu ngingetin mama tentang perceraiannya sama papa. Ya, terpaksa gue nurutin permintaan mama. Gue gak mau mama sedih gara-gara mikirin perceraian itu terus. Dan mama bilang, 'Seandainya kita ke Indonesia lagi, kamu harus ngomong bahasa Inggris.' Dan semenjak itu, gue pake bahasa Inggris." Ia menghela napas panjang di akhir ceritanya. "So-sorry. Gue gak tahu kalo ternyata ini terkait mama lo juga. Gu-gue... maaf...," ucapku terbata-bata. Aku menunduk malu. Tidak seharusnya aku keras kepala. Egoku mengalahkan segalanya. Danny menepuk pundakku, lalu tersenyum. "Udah, gak apa-apa. Lo emang belum tahu. So, this is our secret. Hanya kita berdua dan Tuhan yang tahu." Aku mengangguk lalu tersenyum simpul. "Ayo, gue anter lo pulang!" Danny menarikku keluar dari restoran. Tentunya setelah ia membayar pesanan kami. * Aku menatap sendu jalanan yang sudah basah oleh air hujan. Keadaan terlalu sunyi sehingga napas kami berdua pun terdengar saling beradu. Tetesan air hujan seakan membuat ini lengkap. Aku mengetuk-etukkan
jariku di dashboard mobil. Hujan telah berhenti sekitar sepuluh menit yang lalu. "Dan---" "Ssstt... Gue tahu lo mau ngomong apa. Udah, lupain aja yang tadi. Anggap kita orang yang baru aja kenal, dan ada yang suka di antara kita," ucapnya. Aku mengernyit di kalimat terakhir. "Eh!" Ia lalu menutup mulutnya dengan cepat. "Mak-maksud gue bukan gitu," ujarnya kemudian. Aku tertawa renyah. "Ya ampun, santai aja kali, Dan." "Yaa, muka lo aneh sih pas gue ngomong gitu. Gue kan jadi gak enak sama lo."