www.ac-zzz.tk Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) SARDJONO, Maria A. Bintang Dint Hari/ Maria A. Sardjono —Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000 184 him; 18 cm ISBN 979 - 655 - 601 - 4 813 Dicetak oleh Percetakan PT sun , Jakarta Isi di luar tanggung jawab Percetakan
Jam antik setinggi manusia itu bemyanyi lagi. Meskipun jam itu sudah lebih dari seminggu berdiri di sudut ruang tengah rumahku, masih saja aku terpesona mendengar suaranya. Padahal jam itu bukan benda asing bagiku. Jam itu milik almarhum eyang buyutku yang ia warisi dari orangtuanya. Ketika eyang buyutku mening-gal dunia, jam itu menjadi milik nenekku. Pada generasi berikutnya, kakak ibukulah yang me-milikinya. Dan pada generasiku, jam itu menjadi milik Mbak Dini, kakak sepupuku. Tetapi ketika dia melihat betapa inginnya aku memiliki benda kenangan keluarga kami itu, ia mengalah. "Kalau kau memang sangat menginginkannya, ambillah. Aku bisa menyuruh orang untuk mem-buat tiruannya yang lebih bagus!" Begitu kata Mbak Dini kepadaku beberapa minggu lalu ketika aku berkunjung ke rumahnya. Aku mempercayai Mbak Dini bukan hanya karena ketulusan hatinya saja. Tetapi juga karena hal-hal lainnya. Suaminya orang kaya, dan dia sendiri pun sukses bekerja di suatu perusahaan asing. Mau membeli jam antik yang asli atau membuat tiruannya dengan mempergunakan bahan-bahan berkualitas dan dengan model yang lebih indah sekalipun, tak jadi masalah buatnya. Ketika dengan girang hati aku menyuruh orang untuk mengangkut jam itu dari rumahnya, Mbak Dini mengingatkanku untuk tidak menyia-nyia-kannya.
www.ac-zzz.tk -''"Jangan asal senang memilikinya saja lho, Siska. Rawatlah jam itu sebaikbaiknya," kata-nya. "Itu barang warisan yang memiliki ke-nangan indah keluarga kita. Suatu saat barang itu akan menjadi milik salah seorang dari anak ! perempuanmu atau anak perempuanku. Bukan karena bagus atau mahalnya tetapi karena nilai sejarahnya." Aku mengiyakan. Maka beberapa hari yang lalu Mas Tok, suamiku, menyuruh seorang ahli pelitur untuk memeliturnya kembali dengan cara tradisional. Yaitu dengan bahan-bahan pelitur yang dimasak sendiri, dan mempergunakan penggosok dari kain kaos sampai badan jam antik itu menjadi berkilauan. Kini barang itu tampak begitu indah menghiasi ruang keluarga di rumahku. Dan jam cantik itu pulalah yang mengingatkanku sekarang bahwa hari sudah semakin larut malam dengan bunyi dentangnya sebanyak sebelas kali. Aneh, Mas Totok belum juga pulang. Biasa-nya paling lambat jam setengah delapan Dia sudah berada di rumah kembali. Kalaupun mau pergi lagi, dia pasti menelepon ke rumah lebih dulu. Seperti .ada kontak batin di antara kami berdua, telepon tiba^tibasaja berdering. Telepon itu dari Mas Totok. "Maaf, Siska, aku lupa memberitahu kepadamu bahwa malam ini aku harus mendampingi Pak Budiman, menjamu relasi dagangnya!" Begitu ia menjelaskan kepergiannya. Pak Budiman adalah atasan Mas Totok. Setelah krisis ekonomi melanda negara kita, bam sekarang inilah ada tanda-tanda perbaikan di kantor Mas Totok. Bahkan ada keuntungan dari usaha sampingan yang dulu tidak begitu menjanjikan masa depan. Jadi aku memahami kesibukan Mas Totok akhir-akhir ini. Kemarin dulu pun dia baru sampai di rumah jam sembilan lewat. Tetapi sekarang sampai jam sebelas malam dia belum juga pulang; Memang baru sekali.mi terjadi, dan tanpa memberitahu sebelumnya pula. "Sampai jam berapa, Mas?" Aku bertanya ingin tahu. Tidak enak menonton televisi sen-dirian saja. Bik Dedeh sudah masuk ke kamarnya sejak jam sembilan tadi. "Tunggu dulu, nanti akan kutanyakan...." Aku mendengar suara bisikan yang tak jelas. Kemudian juga suara tawa tertahan
www.ac-zzz.tk seorang perempuan. Baru kemudian kudengar lagi suara Mas Totok. "Kira-kira satu jam lagi aku sudah akan sampai di rumah." Berarti jam dua belas malam nanti baru Mas Totok kembali ke rumah. Ini pun tidak biasanya terjadi, pikirku sambil meletakkan gagang telepon kembali. Perasaanku mulai ikut banyak bicara. Biasanya, aku tak pernah mempunyai firasat atau apalah namanya tentang segala hal yang dilakukan oleh Mas Totok di luar rumah. Tetapi sekarang secara tiba-tiba saja aku merasa bahwa ada sesuatu yang sedang terjadi pada diri lelaki itu lewat firasatku. Mula-mula aku menyangka firasat tak enak itu timbul karena pengaruh suara tawa perempuan tadi. Siapakah perempuan yang tertawa itu? Kata Mas Totok tadi, saat ini dia sedang bersama-sama dengan atasannya. Tetapi kenapa ada suara perempuan? Siapakah dia? Apakah perempuan itu sekretaris Pak Budiman? Aku bukan perempuan yang mudah cemburu. Apalagi kalau kecemburuan itu sudah melewati takaran. Menurutku, rasa cemburu yang melebihi takaran dekat sekali dengan kurangnya peng-hargaan seseorang terhadap dirinya sendiri. Dalam hal ini, rasioku lebih kuat daripada emosiku. Karenanya selama empat tahun usia pernikahanku dengan Mas Totok, belum pernah satu kali pun aku merasa cemburu. Bahkan meskipun dia mence-ritakan tentang Astari, bekas kekasihnya dulu, aku dak menaruh rasa cemburu. Tetapi aneh sekali, malam ini aku mempunyai perasaan yang berbeda. Perasaan yang asing bagiku. Aku tidak suka mendengar tawa perempuan itu. Aku juga tidak suka membayangkan Mas Totok berada bersama perempuan lain pada jam sebelas malam begini. Harus kuakui, aku menikah dengan Mas Totok tidak dengan cinta. Jelasnya, aku tidak mencintai Mas Totok. Dan Mas Totok juga tidak mencintai aku. Kedua belah pihak keluarga kamilah yang mengatur perkawinan kami. Memang itu bukan pengaturan sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan para orangtua di zaman Siti Nurbaya. Tetapi toh campur tangan orangtua kami masingmasing cukup banyak mempengaruhi terwujudnya perkawinanku dengan Mas Totok. Waktu itu, aku baru saja putus-cinta dengan Victor. Sejak awal mula, kedua orangtuaku dan pihak keluarga lelaki itu sudah menunjukkan gejala-gejala keberatan hati mereka atas hubungan kami berdua. Masalahnya bukan hanya karena
www.ac-zzz.tk kami berbeda agama saja tetapi juga karena beda suku dan beda latar belakang sosial keluarga. Aku lahir dalam keluarga Jawa yang masih begitu feodal dengan ikatan keluarga yang teramat kuat. Di mana-mana ada paguyubannya yang secara berkala mengadakan pertemuan, arisan keluarga besar, dan semacamnya. Persoalan salah seorang anggotanya dengan cepat akan menjadi persoalan keluarga bersama. Sedangkan Victor adalah seorang pemuda ke-turunan Cina yang masih kuat beragama Budha. Dia da tang dari keluarga pedagang yang bagi keluarga kami dianggap bukan golongan priyayi, tak peduli betapapun kayanya orangtua pemuda itu. Singkat kata, dalam suasana sembunyi-sem-bunyilah aku dan Victor berkasih-kasihan sampai akhirnya aku merasa lelah. Ketika mengetahui Victor akan dijodohkan dengan sanak keluarga-nya, aku memilih mundur, meskipun Victor menjadi marah karenanya. "Mana perjuanganmu, Siska?" tanyanya waktu itu dengan jengkel. "Kenapa kau tidak mem-bantuku tetapi malahan menambah beban pikiran-ku saja? Aku tidak ingin menikah dengan siapa pun kecuali dengan dirimu!" "Aku capek, Victor. Capek terus-menerus sem-bunyi-sembunyi. Capek mencari dalih. Capek mencari kesempatan. Dan capek menahan rasa kesal kepada kedua belah pihak orangtua kita yang picik itu!" Begitu ketika itu aku me-nanggapi kemarahannya. "Jadi sebaiknya kita berdua menyadari kenyataan yang kita sama-sama hadapi ini dan mencoba untuk bersikap realistis. Kita berdua ini sama-sama lahir dalam budaya yang mementingkan perasaan keluarga besar dan kekerabatan di antara mereka. Per-kawinan sepasang insan menjadi perkawinan keluarga besar kedua belah pihak. Dan itu sesuatu yang tak mungkin terjadi bagi kita Lalu apa jadinya kalau kita berdua nekat melanggar aturan main mereka? Sanggupkah kita menghadapi omongan, sindiran, dan sikap yang tak bersahabat di sepanjang kehidupan kita nantinya? Pikirkan* lah, Victor!" "Siska, ada banyak perkawinan yang pab.it di muka tetapi toh akhirnya berubah menjadi ma-nis sekali dengan berlalunya sang waktu. Apalagi kalau ada anak-anak yang lahir dan menjadi pengikat batin kedua belah pihak keluarga!" Victor tidak salah. Ada salah seorang se-pupuku yang mengalami nasib hampir serupa. Selama beberapa tahun-mereka dikucilkan oleh kedua belah pihak keluarga. Tetapi ketika akhirnya mereka mempunyai beberapa orang anak dan tahun-tahun
www.ac-zzz.tk terus berjalan, keadaan pun mulai berubah. Terbuktilah, hubungan da-rah yang kental tak mungkin terabaikan begitu saja. Tetapi masalahku dengan Victor memang lebih berat. Beda suku, beda agama, beda status sosial. Mereka keluarga kaya raya dengan sekian banyaknya pabrik, sesudah dua generasi sebelum-nya merintis usaha mereka dari bawah. Tapi kakek Victor, di usianya yang sembilan puluh tahun dan masih sehat itu, tak pernah mengubah gay a hidup lamanya ketika masih menjadi pedagang keliling. Ia masih tetap memakai celana komprang, masih mengisap tembakau dengan 11 bumbung bambu, dan masih tidak sempurna berbicara dalam bahasa Indonesia. Aku masih ingat, ketika pertama kalinya Victor mengajakku ke rumahnya dan memperkenalkanku kepada sang kakek. Lelaki tua itu hanya mem-balas salamku, tersenyum sedikit, dan kemudian tidak mengacuhkanku. Sibuk dengan urusannya sendiri. Seolah, aku adalah makhluk dari luar angkasa yang salah masuk ke rumah orang. Tetapi rupanya sikap orangtua itu menjadi panutan bagi yang lain. Terhadapku, tak seorang pun keluarga Victor yang memperlihatkan sikap manis dengan tulus hati. Terutama sikap ibu Victor yang nyata-nyata memperlihatkan wajah masamnya. Sikap keluargaku juga demikian. Bagi ke-banyakan orang Jawa berdarah ningrat, kaum pedagang adalah kaum yang dianggap lebih rendah "kastanya". Darah mereka tidak biru, kata mereka. Apalagi kalau mereka datang dari tanah seberang yang jauh, yang tak jelas asal-usulnya. Dan yang tidak ketahuan pula apa bibit, bobot, dan bebetnya. Aku sungguh membenci cara berpikir yang bukan saja arogan tetapi juga sudah sangat ke-tinggalan zaman semacam itu. Aku juga membenci sikap segolongan orang yang karena men-dapat angin dari pihak penguasa dulu, begitu mementingkan segala sesuatu yang berbau ke-atan. Sampai-sampai kalau mengawinkan anak, seluruh adat-istiadat dan tata cara perkawinan keraton diambil alih begitu saja tanpa memahami inti maknanya yang paling dalam; Yang lebih mereka pentingkan hanyalah usaha untuk menaikkan gengsi, mengangkat pamor, menjunjung derajat dan martabat.
www.ac-zzz.tk Huh, tidak sadarkah mereka bahwa derajat dan martabat luhur manusia bukan terletak pada apanya atau bagaimananya melainkan pada inti kemanusiaannya, pada hakekatnya sebagai seorang makhluk luhur bernama manusia. Bahwa kehormatan manusia terletak pada kesadaran moralnya melalui hats, sikap, tingkah laku, perbuatan, dan tutur sapanya. Demikianlah akhirnya, terus-menerus menahan marah, terus-terusan bersedih, dan sering kali pula harus menelan rasa kecewa, menyebabkan aku menyerah sebelum berjuang. Maka pelan-pelan sebelum mengalami kepahitan yang lebih berat, kujauhi Victor sedikit demi sedikit meski-pun dengan hati yang tercabik-cabik. Apalagi aku tahu, pemuda itu menganggapku pengecut. Bahkan meragukan cintaku kepadanya. Dan karenanya, dia marah besar kepadaku. "Kau pikir hanya kau sendiri saja yang merasa lelah mengikuti cara berpikir mereka?" Begitu Victor menyemburkan kemarahannya kepadaku. "Kita berdua kan bisa bersatu-padu mengatasi kelelahan batin ini bersama-sama. Kita juga bisa saling mendukung dan saling menguatkah hati untuk menghadapi sikap mereka, Siska. Batu yang keras pun bisa lekuk kalau ditetesi air terus-menerus. Apalagi perasaan manusia. Kalau kita memperlihatkan keteguhan tekad kita, aku yakin lama-lama mereka akan menaruh respek kepada kita. Siapa tahu pula pintu yang tertutup itu akan mereka buka sedikit demi sedikit!" Bicara memang mudah. Namun pada ke-nyataannya, segala usaha kami berdua, sekeras apa pun, tetap saja terbentur-bentur secara sia-sia. Mereka, kedua belah pihak keluarga kami, malah mulai membawa-bawa pemuka agama masing-masing. Hasilnya, kami dihadapkan pada kenyataan bahwa ada jurang di antara kami yang tak mungkin terseberangi. Kata mereka, memaksakan kehendak hanya akan menyebabkan perkawinan kami dinilai tidak sah. Itu artinya, hubungan percintaan kami akan dianggap sebagai perzinahan. "Menghadapi persoalan-persoalan semacam itu, acap kali aku jadi bertanya-tanya sendiri tentang apa makna orang beragama!" gerutu Victor ketika kami sedang berduaan di salah satu tempat per-sembunyian kami. "Maksudmu?" 'Tentang keberadaan Tuhan. Sesungguhnya ada berapa Tuhan-kah?" Victor menggerutu
www.ac-zzz.tk lagi. "Hanya ada satu, kan? Kenapa dipertentangkan dengan aturan main untuk menyudutkan pihak lain, bahkan menganggap aturan mainnya sebagai yang paling benar sendiri. Padahal kebenaran sejati hanya ada pada Tuhan. Padahal pula aku yakin sekali, pertentangan-pertentangan semacam pasti tidak dikehendaki oleh-Nya. Tuhan men-ciptakan manusia karena Dia mencintai kita se-mua tanpa kecuali. Dan karenanya aku sangat yakin, Dia menginginkan kita sesama manusia untuk juga saling mencintai. Bukan untuk saling bertentangan. Apalagi saling membunuh." "Manusia memang suka menginterpretasikan segala sesuatu dengan kekuatan otaknya sendiri. Sok tahu. Sok pintar, menghakimi sesama manusia dengan rumusan-rumusan hasil interpretasi otaknya sendiri. Lupa bahwa memasukkan rahasia atau misteri Ilahi ke dalam otaknya, sama seperti seorang anak kecil yang berusaha memasukkan air laut ke dalam tempurungnya." "Kau benar, Sis. Kalau cara berpikir manusia masih seperti itu, maka kita akan mudah sekali terpancing provokator dengan segala kepentingan mereka, menunggangi agama dan umatnya. Lalu dengan mengatasnamakan agama, melakukan per-buatan yang aku yakin tidak disukai Allah. Sebab aku yakin sekali tidak satu agama pun mempunyai ajaran untuk memusuhi dan merugikan sesamanya." "Ya. Tetapi kita sudah telanjur berada dalam dunia yang begini...." Aku mengeluh sedih. 'Tetapi aku yakin, masih ada jalan kehiar bagi kita...." "Sudahlah, Victor, jangan seperti pungguk me-rindukan bulan. Bersikap realistislah." Kuhentikan pembicaraan dengan meletakkan kepalaku ke atas bahunya. Victor langsung memeluk dan menciumiku. Kami bercumbu, berkasih-kasihan dan saling membisikkan nama dengan penuh rasa kasih. Tetapi Victor yang baik itu tak mau melanggar satu hal yang tak boleh ia ambil. Yaitu ke-perawananku. Padahal, aku sudah bertekad untuk memberikan keperawananku untuknya, lelaki yang kucintai itu. Lelaki yang kuinginkan menjadi suamiku itu. "Aku ingin cinta kita tetap suci tanpa noda, Siska...." Tetapi seperti itulah yang ia katakan sambil menciumi wajahku dan mengelusi rambut-[ ku. "Sebab apa
www.ac-zzz.tk pun yang namanya noda meski itu dilakukan dengan seluruh keikhlasan yang ada, tetap merupakan noda. Suatu saat dalam perjalanan hidup kita, akan timbul juga suatu penyesalan kenapa noda itu sampai terjadi. Per-cayalah padaku, Siska." Victor benar. Usianya masih muda. Hanya dua tahun lebih tua dari umurku. Tetapi ia sudah mempunyai kebijaksanaan yang belum tentu dimiliki oleh pemuda-pemuda seumurnya. Dan begitulah, ketika akhirnya kami berpisah karena keadaan, ia masih sempat memberiku sebuah cincin berlian yang indah sebagai simbol tanda cintanya. "Simpanlah, Siska," katanya di sela-sela ke-cupan bibimya dan di antara wajahku yang basah air mata. "Itulah cintaku. Kalau di suatu ketika nanti kita menemukan cinta yang lain, ingatlah bahwa di suatu saat sebelumnya pernah ada suatu jalinan cinta suci yang tak mungkin bersatu..." Beberapa bulan sesudah itu, aku berkenalan dengan Mas Totok. Lepas dari pengaturan orangtua yang sengaja mengarahkan kami pada per-temuan itu, harus kuakui bahwa lelaki itu memang memiliki cukup banyak nilai yang pantas untuk menempati kekosongan yang ditinggalkan Victor. Hatiku memang sudah dibawa Victor. Hatiku memang sudah tidak lagi punya cinta. Tetapi justru karena itulah masuknya Mas Totok ke dalam kehidupanku kuterima begitu saja tanpa banyak pertimbangan. Harus kuakui, seandainya lelaki itu bukan Mas Totok, barangkali aku tidak akan secepat itu membiarkan diriku memasuki pernikahan. Bagiku yang sudah tidak mempunyai cinta, tak lagi memikirkan perasaan satu itu untuk menikah entah dengan siapa pun kelak di suatu ketika nanti. Tetapi masalahnya, siapakah lelaki yang mampu memahami diriku selain Mas Totok? Siapa pula yang bisa menerima keterusteranganku bahwa aku tak mencintai suamiku kecuali Mas Totok? Jadi itulah mengapa ketika kedua belah pihak keluarga kami berusaha menjodohkan kami, segala sesuatunya berjalan lancar-lancar saja. Sebenarnya Mas Totok sendiri pun menikah denganku bukan tanpa persoalan. Sebelum berkenalan denganku, dia baru saja putus hubungan dengan kekasihnya. Orangtua Mas Totok tidak menyukai Astari dengan berbagai macam alasan, baik yang masuk akal maupun yang tidak. Waktu itu Astari marah sekali dilecehkan seperti its. Dalam kemarahannya, ia memilih mencari jalan lain. Yaitu menikah dengan
www.ac-zzz.tk lelaki yang segala-galanya melebihi Mas Totok. Ketika Mas Totok mendengar hal itu, ia langsung menyerahkan nasib perkawinannya kepada kedua orangtuanya. Maka begitulah akhirnya, Mas Totok pun menjadi suamiku setelah berterus-terang kepadaku mengenai apa yang dialaminya itu dan aku mau menerima dia apa adanya. "Siska, aku sungguh bersyukur sekali kau mau berteras-terang perihal perasaanmu padaku," begitu dia berkata padaku sebelum keputusan untuk menikah itu kami katakan kepada orangtua masing-masing. "Kejujuranmu sangat menyentuh perasaanku. Katamu pula kalau aku tak bisa menerima seorang istri tanpa cinta, lebih baik rencana perkawinan itu dibatalkan saja. Tetapi, Siska, aku tidak akan mempersoalkannya kok. Aku sangat memahamimu. Aku bisa menerimamu sebagai istri meskipun kau tidak mencintaflcu. Ada banyak kelebihan lain darimu yang kuhargai dan kusukai." "Kau sungguh baik hati, Mas," pujiku ketika itu. Tetapi dia menolak pujianku. "Pemahamanku itu bukan karena kebaikanku. Tetapi karena aku juga mengalami hal sama. Cintaku sudah dibawa gadis lain." Begitulah dia bercerita tentang Astari dan perkawinannya dengan lelaki lain itu. "Jadi, Siska, berdasarkan persamaan nasib kita inilah maka kau tak perlu merasa bersalah karenanya. Perkawinan tanpa cinta tetapi diwarnai dengan saling pengertian dan saling menerima, kurasa itu sudah cukup. Persahabatan dan keakraban yang ada di antara kita akan membuat kita berdua sama-sama ber-usaha membangun rumah tangga yang harmo* nis." "Ya, Mas. Apa yang kaukatakan itu tidak salah. Aku sering melihat perkawinan yang di-landasi cinta luar biasa pada awalnya, berantakan dalam waktu singkat hanya karena tidak ada saling pengertian, tidak ada kejujuran, dan tidak mau menerima kekurangan masing-masing." Kini lima tahun sudah lamanya aku menjadi istri Mas Totok dan mengarungi kehidupan yang tenang, damai, tetapi memang nyaris gersang itu. Namun malam itu untuk pertama kalinya muncul sesuatu yang sebelumnya tak pernah ada padaku. Aku tak bisa tidur karena Mas Totok belum juga pulang. Padahal biasanya aku tidak terlalu memedulikan kapan dia pergi dan kapan dia pulang. Beberapa menit sesudah jam antikku men-dentangkan bunymya sebanyak dua belas kali, barulah Mas Totok pulang. Dan begitu masuk ke kamar, dia sengaja duduk di
www.ac-zzz.tk depanku. Waktu itu aku sedang membersihkan wajah, bersiap-siap untuk tidur. Tetapi melihat keseriusannya, ketenangan hatiku buyar. "Siska, aku ingin bersikap jujur kepadamu," katanya kepadaku. "Malam-malam begini apakah aku boleh mengatakan sesuatu kepadamu?" "Kenapa tidak?" Aku menjawab dengan perasaan yang mulai tak enak. "Katakanlah saja." "Siska, satu minggu yang lalu aku bertemu kembali dengan Astari di sebuah rumah makan ketika aku sedang makan siang...." -Jadi benarlah firasatku itu. Ketika aku men-dengar suara tawa tertahan seorang perempuan melatarbelakangi suara Mas Totok melalui telepon tadi, aku sudah merasa ada yang aneh. Dan ternyata inilah jawabannya. Setelah menahan napas untuk menenangkan perasaanku yang semakin terasa tak enak, aku mulai menanggapi sikap jujumya itu. "Bagaimana keadaaflnya? Sehat?" tanyaku kemudian sambil mencoba memahami apa yang terjadi. Memahami pihak lain adalah salah satu keharusan yang kujunjung. "Bagaimana pula ke-adaan keluarganya? Baik-baik saja, kan?" Sudah menjadi aturan tak tertulis dan me-rupakan kesepakatan bersama tanpa kata namun diketahui dengan baik oleh masing-masing pihak adalah pentingnya memegang kejujuran dan pe-mahaman atau pengertian di antara kami berdua, Baik diriku maupun Mas Totok sadar bahwa kami menikah tanpa cinta. Kalau di dalam perkawinan tanpa cinta itu kami tidak berhasil mempertahankan kejujuran dan pengertian di antara kami berdua, lalu apa lagi yang masih tertinggal, bukan? "Dia sehat. Dan juga dalam keadaan baik-baik saja. Tetapi, dua bulan yang lalu perkawinannya berantakan. Mereka bercerai." Mas Totok menjawab pertanyaanku. Mendengar itu napasku nyaris tersangkut lagi. Tetapi seperti tadi, aku berusaha untuk tetap tenang dan mampu menguasai diri. "Kasihan," kataku. "Mereka mempunyai anak?" "Ya. Dua orang." "Kasihan...." Aku bergumam pelan. "Ya. Dalam keadaan masih harus menata diri, Astari mengalami banyak persoalan
www.ac-zzz.tk yang harus ia hadapi sendirian. Antara lain kesulitan menghadapi pertanyaanpertanyaan kedua anaknya yang sedang haus kasih sayang seorang ayah. Itulah, Siska, mengapa aku mencoba menghibur mereka." "Menghibur dengan cara apa?" Aduh, kenapa hal itu kutanyakan? Ingin sekali aku menampar mulutku sendiri karena ketololan itu. "Kemarin dulu, aku mengajak Astari dan kedua anaknya jalan-jalan dan makan malam bersama. Hari ini sesudah menemani Pak Budiman, aku mengajaknya nonton, lalu makan-makan di kafe tenda seorang artis." "Hra begitu..." "Kau tidak keberatan, kan?" "Tentu saja tidak. Perkawinan bukanlah tali yang membelenggu suami atau istri untuk me-lakukan apa yang diinginkannya. Sejauh itu tidak melewati keharusan dan sejauh itu masih ada dalam batas norma-norma moral, tak ada yang perlu dipermasalahkan." Aku mencoba untuk ter-senyum. Kulihat Mas Totok terdiam. Tetapi entah apa yang ada di baiik sikap diamnya itu. Sudah lebih dari satu bulan ini setiap malam Minggu Mas Totok baru pulang ke rumah setelah lebih dari jam dua belas malam. Begitupun pada hari Minggu-nya hampir-hampir dia tidak berada di rumah. Selalu saja ada acara demi acara yang dijalinnya bersama Astari dan kedua anaknya. Tetapi seperti apa, bagaimana dan di mana saja rangkaian acara itu dijalankan, aku tak ingin menanyakannya. Mas Totok juga tidak bercerita apa pun mengenai kegiatan-kegiatan barunya itu. Entah karena peringatanku padanya untuk tidak berbuat sesuatu yang melewati keharusan atau entah karena masih merasa sungkan kepadaku, pada hari-hari biasa dia justru jarang pulang sampai larut malam. Paling lambat jam setengah delapan dia sudah tiba kembali di rumah. Hanya sekali-sekali saja dia pulang malam. Pendek kata sebagai seorang suami, dia masih tetap terlihat sebagaimana mestinya. Namun meskipun demikian, aku merasa telah ada yang berubah pada dirinya. Ia mulai bersikap mengambil jarak denganku. Lebih sopan, manis, lemah-lembut, dan baik. Tetapi aku merasa sudah tidak ada lagi keakraban dan kehangatan di antara kami yang semula sudah mulai terjalin manis. Tak bisa diungkiri, meskipun tanpa cinta, lima tahun
www.ac-zzz.tk hidup bersama sebagai suami-istri dan tinggal di bawah atap yang sama bahkan juga berbagi kamar dan berbagi tempat tidur bersama-sama pula, telah merentangkan suatu hubungan persahabatan yang akrab di antara kami berdua. Dan sekarang, benang yang teren-tang itu mulai memperlihatkan gejala-gejala meretas. Maka kalau itu diumpamakan sebagai pokok bunga yang mulai bersemi, kuncupnya telah layu sebelum sempat berkembang. Menghadapi perubahan sikapnya dan menghadapi segala kegiatannya di luar rumah, aku tidak memperlihatkan reaksi apa pun yang ber-sifat keberatan. Sebab kami berdua pernah ber-ucap untuk saling memberi kebebasan menemu-kan diri masingmasing. Kami juga telah merintis pengertian untuk menerima keputusan yang diambil oleh masing-masing pihak dan meng-hormatinya. Dan menjunjung privacy masing-masing pula. Namun meskipun demikian, demi menjaga dan menenggang perasaan pihak lain, selama ini banyak juga hal yang kami bicarakan bersama-sama sebelum masing-masing mengambil suatu keputusan yang kami anggap penting. : ketika aku bingung memilih bekerja di mana tiga tahun yang lalu. Waktu itu ada dua surat lamaran kerjaku yang mendapat balasan. Yang satu menjadi guru bahasa Inggris di suatu tempat kursus bonafide yang mempunyai cabang di mana-mana, termasuk di luar kota. Gajinya, lumayan besar. Yang kedua, bekeja di sebuah kantor penerbitan sebagai editor. Keduaduanya, aku sukai. Tetapi pendapat Mas Totok-lah yang kuturuti. "Ambil yang paling menguntungkan dari ber-bagai segi. Jumlah gajinya, letak tempat kerjanya, jam kerjanya, prospeknya ke masa depan, fasi-litasnya, jaminan sosialnya, dan lain sebagainya." Begitu waktu itu Mas Totok memberiku saran. Maka kupilih menjadi pengajar di tempat kursus itu. Gajinya memang sedikit lebih kecil dibanding satunya. Tetapi jam kerjanya lebih ringan, letak tempatnya lebih dekat, juga lebih mudah ditempuh. Demikian pun ada jaminan sosialnya. Pengobatan dan uang transpor dijamin. Dan masih ada prospek ke masa depan, karena ada jenjang jabatan. Itu baru soal pekerjaan. Belum yang lain-- -lainnya. • Seperti yang belum lama ini terjadi, misalnya. Meskipun aku mempunyai uang dari hasil keringatku sendiri, ketika aku bermaksud mencicil mobil untuk kupakai sendiri, aku juga
www.ac-zzz.tk minta saran dari Mas Totok. Dan berkat dia pulalah aku mendapatkan mobil yang sesuai dengan kemampuanku. Baik kemampuan di bidang keuangan maupun dalam cara mengemudikannya. Mobil yang kubeli itu mobil yang mungil dan tidak boros bdnsin. Singkat kata masalah apa pun yang kuanggap baik untuk dibicarakan bersama, meskipun itu persoalan pribadi, aku tak pernah sungkan mengajak Mas Totok bicara, Demikian juga sebaliknya. Tetapi selama hampir dua bulan ini aku tak mau lagi terlalu banyak meminta perhatiannya. Sebaliknya, Mas Totok juga tidak lagi terlalu banyak meminta bantuanku seperti biasanya. Se-ring kali kulirik dia ketika mencoba-coba memantas pakaiannya dengan dasi yang akan di-kenakannya. Biasanya entah dengan cara sambil lalu, ia sering minta pendapatku. "Baju ini cocok tidak kalau dipadu dengan dasi itu...." Begitu biasanya ia berkata. Atau, "Pakaian ini pantas atau tidak kalau kupakai untuk mendampingi atasan ke hotel anu untuk makan malam?9: ' Memang harus kuakui, retaknya keakraban semacam itu terasa tidak menyenangkan bagiku. Sebab bagaimanapun kuatnya alasan yang lainnya itu, sampai saat ini kami berdua masih tetap hidup di bawah atap yang sania dan di atas tempat tidur yang sama pula/ Memang benar, selama lima tahun hidup bersama belum ada seorang anak pun yang me-warnai kehidupan perkawinan kami. Namun jus-tru karena itulah sengaja atau tidak telah terbuhul keakraban yang terjalin setahap demi setahap. Sebab tidaklah mungkin kami tidak menjadi akrab dalam kondisi sering berduaan seperti itu. Apalagi kami toh tidak menikah dengan cara apa yang disebat sebagai kawin paksa. Sebab meskipun kedua belah pihak keluarga mengarah-kan pada tajuan itu tetapi kalau kami tidak mau, kami masih memiliki kemerdekaan untuk menolaknya mentah-mentah apa pun risiksnya. Jadi meski bagaimanapun juga yang terjadi sekarang, kehidupan ini harus tetap berjalan sebagai-mana mestinya. Entah apa pun yang mungkin bisa terjadi pada perkawinanku dengan Mas Totok nantinya;'"1 Hari ini hari Minggu pagi. Setelah selesai bersenam sendirian di belakang aku menyelinap ke kamar mandi di kamarku. Saat itu Mas Totok sedang tenis, tak jauh
www.ac-zzz.tk dari rumah. Kompleks perumahan kami memang mempunyai dua lapangan tenis yang sebelah-sebelahan. Di tempat itu Mas Totok ikut main dalam dua kelompok. Yang pertama, hari Minggu pagi. Dan yang kedua, ikut kelompok yang main pada hari Rabu malam. Kesibukannya bersama Astari bela-kangan ini tidak mengurangi jadwal olahraganya. Ia menyadari pentingnya berolahraga terutama karena usianya sudah tiga puluh tiga tahun lebih sekarang ini. Seperempat jam kemudian dengan hanya me-ngenakan kimono pendek tanpa sepotong pun pakaian di dalamnya, aku keluar dari kamar mandi. Rambutku yang baru saja kukeramas, kulilit dengan handuk dan kutenggerkan di atas kepalaku. Melihat Mas Totok sudah ada di dalam kamar padahal aku menyangka ia masih beberapa lama lagi berada di lapangan tenis, perasaanku jadi tak enak. Pakaianku berantakan, nyaris tak mampu menyembunyikan ketelanjanganku. "Kok sudah pulang?" tanyaku sambil sibuk merapatkan bagian depan kimonoku yang tidak tertutup itu dengan tergesa-gesa. Karena mengira hanya sendirian saja di dalam kamar, tadi begitu selesai mandi aku meraih kimono pendekku dan langsung kupakai begitu saja secara sembarangan. Tali pinggangku pun kuikat asal-asalan saja. Mas Totok tidak segera menjawab pertanyaan-ku. Matanya memperhatikan tanganku yang sibuk menutupi bagian tubuhku yang semula terbuka itu. Dia pasti merasa perbuatanku itu agak aneh. Selama lima tahun pernikahan kami, telanjang di depannya ketika sedang ganti pakaian bukan baru sekali itu terjadi. Bukankah kami ini suami-istri? J "Tumben, cepat pulang," aku berkata lagi. Masih dengan salah tingkahku. "Aku sudah berjanji kepada kedua anak Astari untuk membawa mereka jalan-jalan ke Taman Ria di Senayan...." Begitu ia menjawab per-tanyaanku. Tetapi matanya masih memperhatikan sikapku yang salah tingkah itu. Untuk menanggapi perkataannva. kuanggukkan kepalaku sambil mencengkeram erat-erat kedua tepi bagian depan kimonoku. Tetapi anggukan kepalaku itu menyebabkan handuk yang ber-tengger di atas kepalaku tibatiba meluncur jatuh. Padahal saat itu aku sedang dalam keadaan tidak siap. Oleh
www.ac-zzz.tk karenanya secara refleks tanganku lepas dari tepi kimonoku. Apa yang langsung menyerbu ke dalam otakku waktu itu hanyalah bagaimana caranya menyelamatkan handuk di atas kepalaku agar jangan sampai terjatuh ke lantai. Tetapi sebagai akibatnya, bagian depan tubuhku terutama kedua belah payudaraku, men-cuat keluar. Aku jadi tersipu-sipu karenanya. Dan kedua belah tanganku lalu sibuk tak menentu. Yang satu repot merapatkan bagian depan kimonoku dan yang lain membetulkan letak handuk dan rambut basahku yang tergerai ke mana-mana. "Kenapa kok jadi bingung begitu...?" Mas Totok melangkah mendekatiku. Ia bermaksud membantuku mengatasi kecanggunganku. "Aku...aku tidak bingung." Aku mengelak. "Tetapi....?" Mata Mas Totok memandangku dengan tatapan tajam, penuh selidik. "Tetapi merasa tak enak saja." "Kok tak enak. Memangnya kenapa?" Aku menarik napas panjang sambil mencengkeram kembali bagian depan kimonoku. Masih dengan salah tingkahku itu. "Pokoknya tak enaklah' sahutku kemudian. Bagaimana aku •bisa menjelaskan perasaanku dan menjawab pertanyaan Mas Totok itu secara jelas? Masalah perasaan, sering kali tidak bisa dirumuskan ke dalam kata-kata* yang bisa di-mengerti oleh pihak pendengarnya. Jadi hanya bisa dirasakan tetapi tidak bisa dikatakan. Mas Totok masih menatap mataku, kemudian pandang matanya turun dan beralih ke arah dadaku. Dari balik kimono yang kucengkeram itu dadaku semakin tampak menggunung. Se-bagian kulitnya yang kuning bersih masih mengintip dari sela*sela kimono. Aku yakin, dia pasti melihatnya. "Kenapa tidak enak, Siska? Jawablah dengan jujur!" Matanya kembali menatap wajahku. Bah-kan lurus tepat ke bola mataku. Aku tahu, dia menantangku agar berani berkata terus-terang dan bersiap jujur padanya. "Baiklah," akhirnya kuanggukkan kepalaku. Tantangannya menyentuh telak batinku. "Sejak Astari memasuki kehidupanmu kembali, aku merasa diriku sudah mulai berada di tepian. Bahkan menjadi outsider. Oleh karena itu aku mempunyai pendapat untuk secara bertahap mulai mengambil jarak dengan dirimu." "Kenapa mesti begitu?"
www.ac-zzz.tk "Bukankah kau sedang mulai merintis kehidupanmu sendiri yang tak ada kaitannya dengan diriku lagi?" Aku mencoba tersenyum untuk menetralisir suasana akibat perasaan tak enak yang semakin menyebar dalam diriku. Bagaimana tidak demikian? Bola mata Mas Totok mulai tampak sayu dan kelam ketika me-nelusuri wajah dan lekuk tubuhku dengan pandang matanya* itu. Aku cukup mengenal dirinya sehingga juga segera dapat menangkap gejolak apa yang saat itu sedang terjadi padanya. Lima tahun hidup bersamanya secara intim, menangkap sinyal yang kukenal itu tidaklah terlalu sulit bagiku. "Itukah sebabnya selama hampir dua bulan ini kau menghindari... keintiman di antara kita berdua?" Aku tidak menjawab. Sudah hampir dua bulan ini aku dan Mas Totok memang tidak pernah melakukan hubungan intim suami-istri. Kuakui, hal itu akulah yang memulainya lebih dulu. Aku tak pernah mau naik ke atas tempat tidur lebih dulu sebelum Mas Totok lelap tertidur. Kalaupun terpaksa harus masuk kamar lebih dulu, aku selalu pura-pura sudah tidur nyenyak ketika Mas Totok menyusul tidur. Dengan posisi mem-belakanginya pula. Pokoknya, aku tak pernah meluangkan kesempatan sekecil apa pun untuk terjadinya hubungan intim di antara kami. "Jawablah, Siska!" Kudengar Mas Totok berkata lagi. Sekali lagi kudengar nada tantangan darinya agar aku mau bersikap jujur padanya. "Yah, mungkin begitu..." Aku terpaksa menjawab pertanyaan yang ditontarkan dengan nada mendesak itu. "Beri aku alasannya." Lama aku berkutat dengan diriku sendiri. Perlukah apa yang ada di dalam pikiranku itu kukatakan secara terus-terang kepada Mas Totok. Bagaimana kalau dia marah karena aku telah mencampuri urusan pribadinya? "Katakanlah padaku, Siska. Jangan ragu!" Mas Totok berkata lagi. Rupanya. dia telah melihat kebimbanganku. "Kupikir... kau bisa mendapatkan itu dari Astari...." AJthirnya aku menjawab juga pertanyaan yang didesakkan kepadaku tadi. Mas Totok tertawa. "Sejujumya kuakui, pikiran dan keinginan seperti itu pernah melintasi diriku," sahutnya kemudian, masih dengan tertawa. "Sebab ada sikap dan pandang mata
www.ac-zzz.tk Astari yang bersifat mengundang ke arah itu dan aku jadi tergoda karenanya Tetapi aku teringat pada pesanmu waktu itu sehingga lintasan pikiran itu segera terbang jauk" "Pesaa yang mana?" tanyaku heran. "Lho, kau kan mengatakan bahwa aku boleh-boleh saja menjalin hubungan baik dengan Astari kembali, asalkan tidak melewati kelayakan. Asalkan pula tetap memiliki kesadaran moral. Apakah kau tidak ingat pernah mengatakan begitu?" "Ya, aku ingat." "Mungkin aku lebih mengingatnya dibanding dengan dirimu, Siska. Nyatanya, kata-kata itu begitu ampuh mengontrol diriku." "Sebenamya ketika kata-kata itu kuucapkan, ada tersirat di dalamnya suatu harapan pada diriku agar kau tidak melakukan sesuatu yang keliru. Agar pula kau tidak salah langkah. Sebab pikirku, kau harus menghormati perkawinan kita apa pun keadaannya. Kau juga harus menghormati hubunganmu dengan Astari agar jangan sampai temoda hanya karena nafsu-nafsu biologis atau yang semacam itu. Kalau toh tak sabar untuk itu, lakukanlah dengan semestinya. Yaitu di dalam perkawinan." Mas Totok menatapku lagi. Pandang matanya masih saja tampak sayu. Kemudian salah satu tangannya terulur ke arah leherku dan mengelus-nya beberapa saat. Napasnya mulai terdengar berat. "Aku belum berpikir sejauh itu, Siska. Meskipun aku merasa perasaan cintaku kepadanya mungkin sedang mulai bersemi kembali, berpisah denganmu belum masuk ke dalam rencana hidup-ku. Masih terlalu pagi tmruk bicara tentang hari esok. Jadi kujalani saja hari ini sebagaimana yang harus terjadi." "Jangan mengingkari kenyataan, Mas Tok...." Mas Totok tidak menjawab. Tangannya yang mengelusi leherku mulai bergerak, menggeser turun untuk menyibak bagian depan kimonoku dengan menyingkirkan tanganku yang masih mencengkeram di bagian itu. Suara napasnya terdengar semakin berat dan matanya yang menatap mataku tampak semakin sayu. "Jangan, Mas...." Aku mulai menolaknya. , "Kenapa, Siska? Kau masih istriku, bukan?" Sambil berkata seperti itu, tangannya mulai menyusup di sela-sela kimonoku.
www.ac-zzz.tk "Jangan, Mas!" Aku mengulangi permintaanku tadi. "Keiapa?" Suara Mas Totok mulai serak, ter-bawa hasratnya. "Sebab apa yang kita sebut sebagai perkawinan kita ini, sekarang hanya ada di atas kertas belaka. Cuma berwujud hi tarn di atas putih." Aku menjawab dengan terus-terang, "Dan aku tidak ingin hubungan intim yang sifatnya didasari oleh kebutuhan biologis itu terjadi hanya karena menganggap itu sesuatu yang sah, yang diper-bolehkan baik oleh agama, negara, dan masya-rakat. Padahal hati dan pikiranmu sudah berada di tempat lain."' Mendengar jawabanku, tangan Mas Totok me-luncur turun. Dia mundur. "Maa£..," katanya dengan suara pelan. Kulirik, pipinya merona merah. 'Tak apa. Itu sangat manusiawi...." Aku merasa tak enak telah menolak kedekatannya. Sebab bagaimanapun juga, dia masih suamiku dan aku istrinya. "Yang penting, asal kau memahami jalan pikiranku." "Aku mengerti." "Syukurlah. Sebab aku hanya ingin meng-hormati perkawinan kita, apa pun keadaannya. Itu yang pertama. Yang kedua, aku ingin agar kita semua tetap meniti jalan yang semestinya dengan segala aturan-aturannya yang ada. Ku-harap kau memahami itu, Mas Tok." "Aku memahami itu...." "Terima kasih." Aku berkata dengan perasaan sedikit lega. "Dan jangan jadi kecil hati karenanya. Aku tidak bermaksud menolakmu karena alasan-alasan yang lain." "Tidak, aku tidak akan kecil hati karenanya. Aku mengerti kok/' "Terima kasih." "Kau tak perlu mengucapkan kata itu berulang-ulang, Siska!" Mendengar suaranya, aku menoleh kepadanya. Sebab, aku mendengar nada amarah di dalam suara itu. Sepanjang pengenalanku padanya selama ini, hampir-hampir aku tak pernah men-dengamya marah. Mas Totok termasuk orang yang sabar. Dia tidak suka marah-marah. Apalagi kalau itu karena masalah-masalah yang sepele. Jadi kenapa hanya karena ucapan terima kasihku itu dia merasa tak senang? "Kenapa?" tanyaku ingin tahu. "Kau pikir aku merasa senang, ya, setiap saat mendengar ucapan terima kasihmu.
www.ac-zzz.tk Setiap saat pula menghadapi sikap sopan-santunmu dan segala macam embel-embel pergaulan yang bela-kangan ini ada di antara kita berdua. Seperti bukan suami-istri saja kita ini." "Maafkan..." "Mulai, lagi!" "Ma..." Kukatupkan mulutku, tak jadi me-lontarkan kata-kata maaf yang sudah di ujung lidah. Mas Totok tidak menyukai basa-basa demikian. "Kau tahu, Siska, aku tidak menyukai kepura-puraan dan kemunafikan!" "Aku tidak bermaksud pura-pura, Mas. Apalagi munafik." Kubela diriku sendiri. "Segala sesuatu yang kulakukan dan yang terjadi di antara kita berdua belakangan ini, datang dengan sendirinya. Aku toh tak bisa mengingkari kenyataan bahwa saat ini kau sedang melangkah keluar pagar rumah kita. Lagi pula, kau sendiri pun bersikap lain. Sopan, manis, tetapi mengambil jarak. Mungkin kau tidak menyadarmya, tetapi aku jelas merasakannya." "Aku tidak bermaksud demikian, Siska. Tetapi seperti katamu tadi, semua itu datang dengan sendirinya tanpa kusengaja, seperti yang kaualami juga...." "Aku mengerti." "Mudah-mudahan kau juga mengerti bahwa... apa yang kuinginkan darimu tadi, bukan cuma sekadar kebutuhan biologis semata." Pipi Mas Totok mulai merona merah lagi. "Sebab kalau hanya itu yang kuinginkan, aku bisa mendapat-kannya dari tempat lain, bukan? Dari Astari, misalnya. Tetapi hal itu tak akan kulakukan." Aku terdiam. Mas Totok melirikku beberapa saat lamanya. Kemudian ia melepaskan sepatunya dan langsung masuk ke kamar mandi dengan tidak berkata apa pun lagi. Dan juga tanpa melepaskan pakaian olahraganya di kamar, se-bagaimana yang ia biasa lakukan selama ber-tahun-tahun di sepanjang umur perkawinan kami. Aku menarik napas panjang. Semakin kusadari, saat ini perubahan memang sedang terjadi di dalam rumah tanggaku. Sadar ataupun tidak. Mau ataupun tidak. Dan ada hal-hal yang biasanya kami lakukan dengan perasaan biasa-biasa saja dan juga dengan sendirinya, kini mulai menjadi persoalan baru yang mengganjal perasaan kami masing-masing.
www.ac-zzz.tk Tiba-tiba saja aku jadi sedih. Hatiku belum siap bahkan sama sekali tidak siap menghadapi perubahan yang sedang terjadi ini. Jurang yang tiba-tiba terbentang di antara diriku dan Mas Totok membuat perasaanku menjadi gamang. Hatiku kehilangan rasa aman. Aku kehilangan rasa man tap yang biasanya ada di dunia batinku. Tetapi, bukankah hari ini aku telah ikut ambil bagian di dalam pergeseran yang semakin terasa-kan? Seharusnya, kedekatan yang disebarkan Mas Totok dengan membelai leherku tadi tidak ku-tolak. Dia tidak menempatkan diriku sebagai obyek pemuas nafsu biologisnya. Aku adalah istrinya, orang yang selama lima tahun ini telah saling berbagi bersamanya dalam kehidupan kami dari hari ke hari. Merasai kesenangan dan ke-sulitan bersama-sama pula. Dan harus kuakui pada diriku sendiri ketika jemarinya yang lembut itu menyentuh leher dan bahuku tadi, darahku mulai bergerak liar. Kudambakan pelukan hangatnya dan... ~^kku menarik napas panjang lagi. Termangu-mangu aku menatap pintu kamar mandi yang tertutup itu. Mas Totok sedang mencuci mukanya yang berkeringat sesudah berolahraga tadi. Ketika beberapa saat kemudian dia melangkah keluar dari sana dan harum sabun mukanya menyentuh hidungku, sementara di bawah handuknya aku melihat dadanya yang bidang, hatiku mulai di-rambati kehangatan. "Mas Tok...." Aku memanggilnya. "Hm...?" Ia menoleh ke arahku. "Kemarilah...," kataku kepadanya. Dengan wajah keheranan, dia mendekatiku. "Kenapa?" tanyanya kemudian. "Peluklah aku...." Pandang mata Mas Totok menatap wajahku dengan keheranan dan ketidakpercayaan yang begitu kentara. "Apa maksudmu, Siska?" "Peluklah aku." Mas Totok membuang handuk dari bahunva ke atas tempat tidur. Melihat itu, tali kimonoku yang cuma terikat sekenanya itu kulepas. Mas Totok memandangiku. Dadanya mulai berombak-ombak. Aku tak mau
www.ac-zzz.tk membuang kesempatan lagi. Kulemparkan tubuhku ke dalam pelukannya. "Siska...." Mas Totok mengeluh. Aku tak menjawab. Tetapi sebagai gantinya, kuangkat wajahku dan kukecup bibimya sementara tanganku melingkari lehemya yang telanjang. Tubuh Mas Totok bergetar. Diangkatnya aku dan diletakkannya ke atas tempat tidur. Kemudian sambil menatapi tubuhku, dia menyusulku dan membaringkan tubuhnya di sisiku. Tangannya mulai membelai pipiku, leherku, dan meluncur turun ke dadaku. Maka kami berdua pun lupa segala-galanya. Mungkin juga Mas Totok lupa kepada Astari. Aku tak tahu. Tetapi sesudah badai di kamar kami berlalu, Mas Totok meloncat turun dari tempat tidur. Kulihat pipinya merona merah lagi. Cepat-cepat aku meraih kimonoku untuk me-nutupi tabuhku. Entah apa yang menyebabkannya merasa malu, aku tak tahu. Tetapi hatiku mulai lagi merasa tak enak. "Kenapa?" tanyaku. "Seharusnya aku tidak menerima tawaran-mu...," sahutnya dengan suara serak. "Hatimu terlalu baik. Kau merasa kasihan kepadaku karena telah menolakku tadi...." Aku terteeun. tak mamDU meniawab. Untuk pertama kalinya aku tak lagi bersikap teg , padanya. Tak kukatakan padanya bahwa sungguhnya bukan hanya dia saja yang tSe" 3 Hari ini hari ulang tahunku. Ketika jam antik di tengah ruang berbunyi empat kali dengan suara-nya yang anggiin itu, aku tersenyum sendiri. Dua puluh sembilan tahun yang lalu pada jam empat sore seperti ini, aku lahir. Dua puluh sembilan tahun yang lalu pada jam empat sore begini, untuk pertama kalinya aku menghirup udara dunia. Belum selesai gema dentang jam antikku menghilang, dering telepon ganti berbunyi. Telepon dari Bapak dan Ibu, mengucapkan selamat ulang tahun. Mereka sering menunggu jam yang tepat untuk mengucapkan selamat kepada anak-anaknya yang sedang berulang tahun. "Apa acaramu kali ini, Siska?" tanya Ibu.
www.ac-zzz.tk "Bapak dan Ibu makan malam di sini, ya, nanti kusuruh Bik Dedeh memesan makanan di rumah makan langganan kami. Atau kita makan di luar?" usulku. "Kedengarannya belum ada rencana apa pun, ya?" "Memang belum. Aku dan Mas Tok tidak sempat membicarakannya. Kami sama-sama sedang sibuk." Apa yang kukatakan, bukan pura-pura. Beberapa hari terakhir ini aku sibuk dengan pe-kerjaanku. Dan Mas Totok sibuk mengurus salah seorang anak Astari. Kemarin dulu ketika aku dan Mas Totok sedang menyaksikan berita di televisi, Astari menelepon dari rumah sakit. Anaknya yang berumur lima tahun ditabrak motor. Dia membutuhkan Mas Totok untuk men-dampinginya di rumah sakit. "Kalau memang tidak ada acara apa-apa, Bapak dan Ibu tidak akan datang ke rumahmu, Siska. Kami tak mau merepotkan kalian." Begitu flru melanjutkan pembicaraan lewat telepon itu. "Kadonya biar diantar adikmu, besok pagi." "Jangan jadi beban, Bu. Kapan-kapan sajalah. Tetapi kalau malam ini Ibu dan Bapak ingin datang ke sini, datang sajalah. Tidak ada yang merasa direpotkan kok!" "Tidak, Nduk. Bapakmu harus diet. Bela-kangan ini maunya makan enak terus!" Aku tertawa, menertawakan Bapak yang sering bandel. Meskipun dokter berulang kali memper-ingatkan agar Bapak mengurangi makanan ber-lemak atau yang manismanis dan harus patuh karena Ibu sangat keras dalam hal itu, masih saja beliau bisa mengambil kesempatan makan agi kalau ada undangan makan. Aku tahu betul, kalau ada undangan semacam itu Ibu-lah yang paling cemas. Bapak tak pernah disiplin dalam hal berpantang makanan. Tidak jarang pula, dia membeli makanan dengan diam-diam dan menyembunyikannya di ruang kerjanya. Tetapi toh selalu saja itu diketahui oleh Ibu. Radar di kepala ibuku teramat canggih untuk dibohongi Bapak. Setelah pembicaraanku dengan Ibu selesai, aku duduk termenung sendirian di sudut sofa. Sebab tiba-tiba saja aku merasa kesepian. Dan tiba-tiba pula untuk pertama kalinya setelah tahun-tahun berlalu aku mulai serius mempertanyakan masa depanku. Sekarang hari ulang tahunku. Aku harus mulai memikirkan masa depan. Aku ingin sebelum umurku mencapai tiga puluh, sudah me-miliki rencana untuk hidupku
www.ac-zzz.tk sendiri'. Padahal sekarang umurku sudah dua puluh sembilan tahun, dan sampai hari ini aku masih belum tahu apa yang akan kutempuh di hari esok atau lusa. Dan apa pula yang nanti yang akan terjadi dengan perkawinanku ini, aku juga tidak tahu. Semua masih serbagelap bagiku. Terutama karena saat ini Mas Totok berada di luar jangkauan pemikiranku. Belum kuketahui apakah masa depanku nanti masih berkaitan dengan Mas Totok ataukah sama sekali tak ada kaitannya. Memang, beberapa, kali aku pernah terlintas di pikiranku keinginan untuk bercerai dengan Mas Totok, selangkah lebih dulu untuk hal sama yang mungkin akan ditempuhnya. Sebelum dia meminta pengertianku untuk membebaskannya dari ikatan perkawinan kami, aku akan men-dahuluinya. Sebab kulihat, pengaruh Astari ter-hadap Mas Totok sudah semakin jauh. Bahkan menembus sampai ke kehidupan perkawinan kami berdua. Perempuan itu terlalu banyak meminta dan bahkan menuntut perhatian dan waktu Mas Totok. Ada saja alasan yang dikemukakannya supaya lelaki itu meninggalkan rumah dan men-jumpainya. Dan kulihat Mas Totok selalu me-nuruti apa pun kemauan perempuan itu tanpa sedikit pun keinginan untuk menolaknya. Aku benar-benar tak tahan menghadapi semua itu. Keberadaanku sebagai istri seperti angin saja rasanya. Mereka sama sekali tak memedulikan perasaanku. Kurasa kalau aku pergi dari kehidupan Mas Totok, segalanya mungkin akan menjadi lebih baik. Tetapi mengingat betapa kerasnya keluargaku mengecam perceraian, dengan alasan bahwa me-nempuh penyelesaian dengan bercerai adalah tan-da kepengecutan, kelemahan, kurang rasa tang-gung jawab, dan tipisnya daya juang, aku terpaksa menunggu perkembangan lebih lanjut. Dan inilah sebetumya yang membuatku berada dalam situasi yang sangat tak menentu. Sejujumya, aku mulai merasa sebal sekali terrhadap Astari dan sebal pula menghadapi keadaan seperti ini. Terutama karena hari ini adalah hari ulang tahunku. Mas Totok telah melupakan-nya. Padahal biasanya pagi-pagi sekali di hari ulang tahunku, ia sudah mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku begitu kami bangun. Dan kadonya, yang semula disembunyikannya entah di mana, menyusul. Tetapi hari ini? Namun harus kuakui bahwa keretakan yang terjadi pada perkawinan kami belakangan ini, aku juga ikut andil di dalamnya. Lebih dari lima tahun yang lalu di hari
www.ac-zzz.tk pertama perkawinan kami, dia kuajak berbicara dari hati ke hati sebelum kami memasuki dunia kehidupan perkawinan yang sesungguhnya. "Kita sudah sama-sama tahu kan, Mas, perkawinan ini terjadinya karena campur tangan orangtua kita masing-masing," begitu aku me-mulai pembicaraan dengan Mas Totok bertahun-tahun yang lalu, beberapa jam setelah resepsi pernikahan yang sukses. "Ya...." "Bahwa kita berdua sama-sama menyadari, perkawinan kita ini tidak diwamai cinta. Ya, kan?" "Ya." "Bukankah itu artinya, cinta kita masih ada pada orang lain. Begitu?" "Ya." "Aku senang sekali selama ini kita berdua selalu bersikap jujur satu sama lain dan menjag perasaan masing-masing. Sekarang kita sudah menjadi suam'i-istri, karenanya aku ingin menge-tahui apakah iklim seperti itu masih bisa kita harapkan?" Aku bertanya penuh rasa ingin tahu. "Ya, tentu saja. Sampai kapan pun kita harus tetap menggarisbawahi kejujuran dan pemahaman sebagaimana yang selama ini kita jalani," jawab Mas Totok. "Aku senang mendengar perkataanmu, Mas. Maka kalau sampai hari ini aku masih tetap mencintai bekas kekasihku, mudah-mudahan kau tidak merasa keberatan. Sebaliknya kalau kau masih mencintai kekasihmu yang katamu sudah menikah itu, aku juga tidak boleh merasa keberatan. Setuju, Mas?" n^i'Setuju." "Janfi.lho, ya?" "Ya." "Itu perjanjian kita yang pertama dan yang kedua. Yaitu, kejujuran dan kesediaan menerima kenyataan tentang perasaan kita masing-masing." Aku ingat sekali selama pembicaraan kami waktu itu, Mas Totok menatap mataku dengan keheranan dan rasa kagum. Pasti dia tidak me-nyangka aku akan berbicara seperti itu tepat di malam pengantin kami. Pasti pula dia mengagumi kemampuanku dalam hal bersikap dan berpikir rasional kendati suasana hari itu tak menunjang ke arah sana. Suasana pesta dan rasa puas keluarga atas suksesnya seluruh
www.ac-zzz.tk rangkaian upacara perkawinan kami, masih bermegah-megah di udara sekitar kami. Dan toh aku masih mampu bersikap kritis dan realistis. "Apakah ada perjanjian yang ketiga, keempat, dan seterusnya, Siska?" Begitu dia bertanya sesudah menatapku berlama-lama. "Ya, memang ada. Yaitu ketiga, kita harus berjanji untuk tidak boleh terlalu dalam men-campuri urusan pribadi masing-masing, kecuali kalau diminta. Yang keempat, kita tidak boleh menghalangi atau menjadi penghambat bagi masing-masing pihak untuk mencari kedamaian dan kebahagiaannya sendiri. Apakah itu juga bisa kau setujui, Mas?" "Yang ketiga, aku setuju. Yang keempat, aku minta penjelasan atau contoh konkretnya lebih dulu sebelum aku menyatakan setuju atau tidak-nya!" "Oke. Begini, kalau aku ingin kuliah lagi mengambil cS-2 misalnya, kau tidak boleh meng-hambat. Kalau kau ingin nonton film sendirian atau dengan teman perempuanmu misalnya, aku juga tidak boleh menjadi penghalang. Bahkan kalau kau ingin bertemu dengan bekas kekasihmu pun, aku tidak boleh melarangmu." "Apakah itu tidak terlalu ekstrem?" "Tidak. Asalkan tetap berada pada aturan main-nya!" "Aturan main bagaimana?" Mas Totok menge-rutkan dahinya. "Yah, perkawinan itu kan suatu lembaga dengan sekian deret aturan dan keharusan yang harus dihormati dan dipatuhi bersama. Misalnya, hubungan seksual di luar perkawinan adalah zinah namanya. Itu tidak boleh terjadi. Jadi, kalau kau atau aku melakukan hubungan seksual dengan orang Jain meski dengan alasan cinta setinggi gunung sekali pun, itu namanya kita telah melanggar aturan main. Jelas?" ' "JeHas." Usai berkata seperti itu, Mas Totok tertawa. Keheranan yang tadi meronai wajahnya, lenyap. Waktu itu aku tersinggung ditertawakan oleh-nya. Kusadari, nada agak kekanakan memang masih mewarnai bicaraku saat itu. Tetapi aku sungguh-sungguh sangat serius ketika membicara-kan perjanjian di malam pengantin itu. "Kok tertawa?" Begitu aku menyemburkan rasa tersinggungku. "Aku tidak menertawakanmu!" Meski berkata demikian, Mas Totok tetap saja tertawa
www.ac-zzz.tk sehingga rasa tersinggungku berubah menjadi kemarahan. "Belum sepuluh menit kita bicara, kau sudah melanggar perjanjian lota!" gerutuku waktu itu. "Perjanjian yang mana?" "Perjanjian yang pertama, tentang kejujuran!" aku menyembur lagi. "Apa arti tawamu itu?" "Maksudmu, aku harus bersikap jujur mengatakan alasanku tertawa tadi?" Mas Totok bertanya sambil menyipitkan matanya. a"Ya." Aku menganggukkan kepalaku dengan tegas. "Kalau itu kukatakan dengan terus terang, memang itu berarti aku telah memenuhi perjanjian pertama kita mengenai prinsip kejujuran Tetapi itu artinya, kau telah melanggar aturan atau perjanjian yang keempat!" "Aku melanggar aturan yang keempat?" tanya-ku heran. "Kok begitu?" "Ya, karena kau telah melanggar keinginanku untuk merasakan kedamaian dan kebahagiaanku. Bahkan menjadi penghalang." "Alasannya?" Kukerutkan dahiku dalam-dalam, sebab aku melihat rasa geli bergelimang dalam Ibola matanya yang sedang menatapku itu. "Karena kau mengusik kebebasanku untuk tertawa." Aku tertegun. Kemudian dengan. tersipu-sipu aku menjawab, "Tertawa sih bolehboleh saja. Aku tak melarangmu. Tetapi karena yang kau tertawakan itu aku, maka aku boleh dong menge-tahui alasannya. Melarang atau menghambat, itu berbeda lho dengan keinginan untuk mengetahui apa yang kautertawakan itu. Yang kuminta darimu adalah kejujuranmu. Bukan tidak bolehnya kau menertawakanku. Jadi kalau aku memang lucu, katakan di mana letak lucunya sehingga aku bisa mengubahnya kalau itu memang ku-anggap perlu." Kulihat Mas Totok tersenyum lagi. Kemudian baru dia berkata lagi, "Baiklah, aku akan bersikap jujur. Tetapi kau harus berjanji lebih dulu untuk tidak berpikir yang negatif tentang diriku Iho!" "Oke." "Ketika kau tadi mengatakan bahwa di dalam perjanjian itu harus ada aturan main yang tidak boleh dilanggar, seperti misalnya kita berdua tidak boleh melakukan hubungan seksual dengan orang lain di luar perkawinan, timbul pengertian lain
www.ac-zzz.tk dalam pikiranku di balik perkataanmu itu. Ada sesuatu yang tersirat dalam katakatamu tadi, bahwa kita boleh melakukan hubungan seksual di dalam perkawinan ini. Betulkah tafsiranku ini? Kalau salah, katakanlah." Usai berkata seperti itu, aku melihat rona merah melintasi wajah Mas Totok. Dan itu me-nulariku. Sebab wajahku tiba-tiba saja terasa panas. Tetapi sesudah itu kami berdua sama-sama tertawa. Maka suasana di kamar pengantin itu terasa lebih santai. "Kau belum menjawab pertanyaanku, Siska. Betul, kan, pikiranku itu?" tanya Mas Totok kemudian, setelah tawa kami berhenti. Kulihat rona merah pada wajahnya semakin melebar. "Ya. Kau benar." Rasa panas pada wajahku juga semakin meluas. Pada saat itulah meskipun kami menikah tanpa cinta, ada ikatan pengertian dan penerimaan timbal-balik di antara kami berdua yang mulai buhul. Maka ketika malam berikutnya tanpa sengaja aku menyentuh dadanya waktu kami baru saja tertidur sesudah mengobrol berlama-lama di atas tempat tidur, Mas Totok menangkap tanganku dan menggenggamnya. Kantukku le-nyap. Tetapi aku membiarkan perbuatannya itu karena memang sudah seharusnya demikian. Begitu pun ketika kemudian ia memeluk dan menchimku, aku diam saja. Maka keperawananku pun kuserahkan kepadanya dengan pasrah. Meskipun tanpa cinta di antara kami berdua, hati kami memiliki saling pengertian dan niat untuk memupuk persahabatan yang bisa menimbuni kekurangan itu. Maka sejak itulah kami berdua hidup sebagai suami-istri yang sesungguhnya dalam kerukunan, keakraban, dan kedamaian. Dan begitulah, hari, minggu, bulan, dan tahun pun datang silih-berganti sampai hari ini. Bahwa kenyataan di hari ulang tahunku ini aku duduk sendirian, sementara Mas Totok sedang bersama perempuan lain, itu adalah suatu bukti bahwa ada yang telah berubah dalam kehidupan kami berdua. Kedamaian itu telah tercuil. Keakraban dan persahabatan itu telah terkikis. Namun aku tak boleh menghalanginya. Merasa keberatan di dalam hati pun, jangan. Sebab empat butir perjanjian yang tak pernah tertulis hitam di atas putih, tetapi yang selalu haras kami juttjung tinggi itu, masih tetap berlaku dan berkibar-kibar di atas kami!
www.ac-zzz.tk Namun demikian, belum pernah di sepanjang sejarah kehidupanku, aku mengalami hari ulang tahun yang kelabu seperti hari ioir Duduk sendiri an tanpa siapa-siapa kecuali ucapan selamat ulang tahun dari kedua orangtuaku dan dari saudara-saudaraku dengan janji kado mereka akan menyusul esok lusa. Mereka telah menguntai rencana, hari Minggu nanti akan datang ke rumah untuk merayakan ulang tahunku bersama-sama. "Akan kubawakan sate sebanyak seratus tusuk, Sis!" kata Mbak Wati kakak sulungku. "Cukup, kan, untuk kita-kita?" 'Tar ulang tahun akan kubuat khusus untukmu, Siska," Mbak Nanik, iparku, tak mau kalah. "Kami akan membawa gule ayam dan per-kedel!" adikku berjanji. "Pokoknya, sediakan saja nasi, air putih, dan buah. Lainnya akan datang dengan sendirinya!" Aku berterima kasih kepada saudara-saudaraku atas rencana itu. Mereka tahu, aku tak suka masuk dapur. Tetapi meskipun demikian, sedikit pun aku tidak merasa gembira. Tak ada gairahku menanggapi rencana mereka untuk hari Minggu nanti. Sebab sesungguhnya pada hari inilah aku membutuhkan kehadiran mereka walau tanpa sate, tanpa kue tar, tanpa gule. Aku benar-benar sedang sendiri an saat ini. Sendirian dalam arti yang sebenarnya dan sendirian di dalam hatiku. Dalam kesendirian itu pulalah akhirnya aku berbaring di atas tempat tidurku sambil menonton televisi^ Fiim sen kesayanganku yang diputar malam itu, kuharap bisa sedikit menghibur hatiku. Namun sayang sekali belum sampai fikn-nya selesai, aku sudah tertidur. Tak kuketahui berapa lamanya aku terlelap sejak pertengahan film seri yang kutonton tadi. Aku terbangun karena remote control teve yang ada dalam genggaman tanganku ditarik seseorang. Kubuka mataku. Mas Totok sudah pulang, ter-senyum kepadaku sambil mematikan televisi yang sudah tidak ada tontonannya. Keterlaluan, pikir-ku. Suaranya yang berisik seperti suara hujan lebat itu tidak membangunkanku sama sekali. Juga masuknya Mas Totok ke dalam kamar, tak kudengar. "Aku tertidur...," gumamku sambil membetul-kan letak selimutku. Alat pendingin ruangan kusetel pada ukuran terdingin. "Padahal film yang kutonton tadi
www.ac-zzz.tk bagus...." "Kau pasti kecapekan. Jadwal mengajarmu hari ini penuh, ya?" "Tidak." "Kalau begitu, kau mengantuk karena tidak ada yang diajak mengobrol." Mas Totok berkata lagi. "Maafkan aku, ya? Soalnya menjelang sore tadi anak yang tertabrak motor itu dioperasi lagi." "Lho, kenapa lagi? Kemarin dulu pahanya kan yang dioperasi!" "Ya. Tetapi ternyata juga ada sedikit gumpalan darah di bagian dalam kepalanya yang harus diambil. Baru ketahuan hari ini tadi." "Di rongga otaknya?" "Aku tidak begitu mengetahuinya dengan jelas, Sis. Mengenai masalah penyakit dan istilah medisnya, sama sekali aku buta. Bagiku yang penting, operasinya sudah selesai dan berhasil baik. Bayangkanlah, Sis, anak berumur lima tahun dalam tiga hari harus dioperasi sampai dua kali." "Kasihan. Tetapi Mbak Astari tabah, kwQ" "Kelihatannya begitu. Tadi bekas suarninya juga ikut menunggu di sana." "Kasihan kau, Mas!" ; "Kok kasihan kepadaku?" Mas Totok men-jinjitkan alls matanya. "Dengan keberadaan bekas suami Mbak Astari di rumah sakit, suasananya kan jadi tidak enak." "Ah, itu bukan masalah. Suami Astari sudah kukenal sejak lama. Kami semua dulu kuliah di tempat yang sama. Jadi sudah biasa berganj!" Sambil menjawab, Mas Totok melepaskan pa-kaiannya dan langsung menempatkannya ke dalam keranjang pakaian kotor. "Lagi pula istrinya yang baru, ikut mendampinginya." "Tetapi dalam bayanganku, suasananya pasti tak enak!" ;.Tt>,-.; "Ya jangan dibayangkan!" Mas Totok ter-senyum sambil masuk ke kamar mandi. "Aku mau mandi dulu. Bau rumah sakit", "Pakai air panas lho. Ini sudah menjelang dini hari!" Kira-kira sepuluh menit kemudian lelaki itu sudah keluar dari kamar mandi. Dan tak sampai lima menit sesudah itu dia menyusulku naik ke atas tempat tidur.Tetapi tidak untuk mem-baringkan tubuhnya. Melainkan untuk mengecup pipiku.
www.ac-zzz.tk "Meskipun sudah sangat terlambat karena saat ini sudah hampir pukul dua, selamat ulang tahun, ya, Siska!" katanya kemudian. "Maafkan, tadi pagi aku benar-benar lupa. Tetapi di kantor, aku ingat bahwa hari ini hari ulang tahunmu." "Terima kasih...," aku benar-benar tidak me-nyangka ia masih ingat pada hari ulang tahunku. Gembirakah aku karenanya, entahlah. Tetapi sebelum pertanyaan hati itu kujawab sendiri, tiba-tiba lelaki itu mengulurkan sebuah kotak perhiasan kepadaku. "Mudah-mudahan kau menyukai kadoku ini," katanya kemudian Aku tahu, kotak itu pasti berisi perhiasan. Tetapi aku tidak menyangka bahwa feinya begitu indah. Pasti mahal harganya. Yaitu sepasang giwang emas berhiaskan berlian yang dileng-kapi dengan seuntai kalung dengan liontin yang juga dihiasi berlian. Di sepanjang usia perkawinan kami, baru kali inilah Mas Totok memberiku hadiah yang sedemikian indah dan mahal-nya. Karenanya aku nyaris meragukan keaslian?s»'-?SiL. ini berlian, Mas?" tanyaku. "Asli?" "Rasa-rasanya kau hanya pantas memakai perhiasan dengan berlian asli!" Mas Totok tertawa. Aku tidak tertawa. Kotak perhiasan itu kuletakkan di atas tempat tidur. "Ini terlalu mahal dan terlalu bagus untukku, Mas!" kataku. "Kau telah menguras uangmu hanya untuk memberiku kado. Aku tak berani menerimanya." Tawa Mas Totok menghilang. "Biasanya kau tidak begini, Siska. Kau tahu kan, aku tak pernah mempersoalkan seberapa pun besamya uang yang kukeluarkan untuk mem-berimu hadiah," katanya. "Ya, aku tahu. Tetapi jumlahnya kan tidak sampai jutaan seperti ini!" "Karena memang baru kali inilah aku sanggup memberimu hadiah semahal itu, Sis. Kalau tak salah, aku pernah mengatakan kepadamu bahwa bonus tahunanku kali ini lipat tiga kali. Ke-untungan sedang berpihak pada perusahaan tern-patku bekerja.'' "Kalaupun memang begitu, kau tak perlu membelanjakannya sampai sebesar ini jumlahnya!" Aku berkata dengan sedih. Entah kenapa air mataku ikut bicara, menitik ke atas pipiku.
www.ac-zzz.tk "Aku tak menyangka akan begini reaksimu, Siska, Kenapa sih?" Aku memahami perkataannya. Apalagi Mas Totok hampir-hamDir tak oernah melihatku meneteskan air. mata. Karenanya aku ingin bersikap jujur kepadanya. "Karena hatiku sedih menyadari keadaanmu," sahutku kemudian. "Seharusnya kau tak perlu mengada-ada. Sebab percayalah, Mas, kau sedikit pirn tak berutang apa-apa kepadaku. Juga tak bersalah apa pun kepadaku. Jadi jangan hujani aku dengan hadiah yang mahal hanya karena ingin mengobati rasa bersalahmu!" Mendengar perkataanku, air muka Mas Totok berubah. Dan mulutnya terkatup rapat. Belum pernah aku melihatnya seperti itu sebelumnya. Dalam dua bulan terakhir ini, ada banyak hal baru yang sebelumnya tak pernah kualami di sepanjang hidup perkawinanku bersama Mas Totok. Yang pertama, retaknya keakraban dan rasa persahabatan yang pernah terjalin di antara kami berdua. Yang kedua, rasa canggung yang sering kurasakan dan pasti juga dirasakan oleh Mas Totok kalau kebetulan kami saling ber-sentuhan tanpa sengaja. Yang ketiga, aku sering merasa sebal kepadanya, sesuatu yang sebelumnya tak pemah kurasakan terhadapnya. Yang keempat, munculnya lintasan-lintasan keinginan untuk menempuh perceraian dan mengakhiri perkawinan kami. Yang kelima, timbulnya suasana tegang di antara diriku dengan Mas Totok, sesuatu yang juga sebelumnya nyaris tak pemah terjadi. Ketegangan yang sebetulnya berawal di hari ulang tahunku ketika hadiah dari lelaki itu kukembalikan. Waktu itu kulihat air mukanya tampak tegang dan matanya berkilat-kilat. Kotak perhiasan itu langsung diambilnya dan dimasukkannya kedalam lemari pakaiannya, ter-suruk jauh di bagian bawah tumpukan pakaiannya. Jadi begitulah, sudah ada lima jenis masalah yang mengganjal di antara kami berdua. Sesudah hidup dalam damai dan tenang bersama Mas Totok hampir enam tahun lamanya, lima jenis ganjalan itu sudah terlalu banyak bagiku. Aku tidak ingin ada yang keenam dan selanjutnya. Belum tentu aku akan sanggup menghadapinya. Sekarang saja pun aku merasa sudah lelah. Lahir maupun batin. Tetapi ternyata, harapanku sia-sia saja. Hal-hal baru yang tak menyenangkan itu
www.ac-zzz.tk masih terus berlanjut. Di suatu hari ketika Mas Totok sedang tugas keluar kota, aku kedatangan tamu yang tak kusangka sama sekali. Tamu itu adalah Astari. Perempuan itu datang ke rumah waktu aku baru saja pulang dari mengajar. "Bolehkah aku bertemu dengan Mas Totok?" tanyanya begitu ia kusilakan duduk di ruang tamu rumahku. Aku belum pemah berkenalan dengan Astari secara langsung kecuali lewat telepon. Mempunyai masalah dengan dia pun, aku tak pemah. Tetapi kulihat, sikapnya terhadapku tidak ber-sahabat. Air mukanya tampak masam dan pandang matanya penuh selidik ke arahku. "Kenapa tidak boleh? Tetapi sayangnya Mbak, Mas Totok sedang tidak ada di rumah." Aku tetap mencoba bersikap ramah meskipun tamuku bersikap sebaliknya. Tetapi diam-diam di dalam hatiku aku merasa heran. Sebab temyata perempuan yang dicintai oleh Mas Totok ini tidaklah seanggun dan se-cantik yang sering diceritakannya kepadaku. Tetapi, yah, bukankah cinta itu buta? Atau mungkin juga aku terlalu cepat menilai. Sebab bukankah aku belum mengenal lebih jauh bagaimana se-sungguhnya perempuan itu. "Pergi ke mana dia? Kulihat mobilnya ada di garasi." Kudengar tanggapan Astari atas per-kataanku tadi. Nada suaranya mengandung ke-tidakpercayaan yang kental. Wah gawat, pikirku. Rupanya, Astari meragu-kan keteranganku. Memangnya aku bisa me-nyembunyikan Mas Totok di balik gaunku? "Dia memang tidak pergi dengan mobil sendiri, Mbak. Tetapi dengan diantar mobil kantor sampai ke bandara. Dia mendapat tugas pergi ke Batam." "Ke Batam? Kenapa dia tidak mengatakan kepadaku mengeaai hal itu?" Aku juga tidak tahu kenapa, pikirku. Tetapi tentu saja aku tak boleh menjawab seperti itu. Apalagi, aku sebagai istrinya saja pun baru tahu beberapa jam sebelum kepergiannya. Itu pun karena Mas Totok memerlukan bantuanku untuk menyiapkan pakaian yang harus dibawanya. yang diberikan kepadanya memang termasuk mendadak. Dia harus menggantikan tugas orang lain yang seharusnya pergi tetapi mendadak berhalangan. Jadi kujawab saja pertanyaan Astari itu sesuai dengan kenyataan yang kuketahui. "Mungkin Mas Tok lupa atau tak sempat mengatakannya kepadamu, Mbak. Dia
www.ac-zzz.tk berangkat dengan tergesa-gesa." "Sudah sering dia begitu?" "Yah, cukup sering juga. Maklum, sebagai seorang bawahan yang kebetulan dipercaya atasan, ya begitu itulah yang sering terjadi. Mendadak ditugaskan keluar kota, mendadak diharus-kan menemani atasan menjamu relasi, dan lain sebagainya." Begitu aku menjawab pertanyaan Astari. Juga sesuai dengan kenyataan yang kuketahui. "Pernahkah kau ikut pergi bersamanya?" "Ya, pemah. Dengan biaya kami sendiri tentu saja. Ketika itu kebetulan aku sedang bebas tugas." Astari terdiam beberapa saat lamanya sehingga suasana menjadi kaku dengan tibatiba. Barang-kali apa yang kukatakan itu tidak disukainya. Tetapi sebagai nyonya rumah yang ingin bersikap baik, aku mencoba mencairkan perasaannya. "Apakah ada sesuatu yang perlu kusampaikan kepada Mas Tok, Mbak?" tanyaku. "Ya, kalau Dik Siska tidak merasa keberatan tentunya." "Tidak, aku tidak keberatan kok. Nah, pesan dari Mbak Astari apa yang harus kusampaikan kepadanya?" "Begitu pulang nanti, tolong suruhlah dia pergi ke rumahku. Anakku yang baru sembuh dari sakit itu sering menanyakan kehadirannya. Dia sangat memuja Mas Totok lho, Dik. Lelaki itu benar-benar sangat kebapakan menghadapi kedua anakku. Tampaknya dia merindukan hadirnya seorang anak di sampingnya." "Baik, nanti akan kusampaikan," kuputus per-kataannya. SP Sejujurnya, aku mulai merasa sebal mendengar ocehannya itu. Sudah kukatakan, aku bukan perempuan yang mudah merasa cemburu. Apalagi kalau itu berkaitan dengan Mas Totok. Kami toh menikah tanpa cinta. Tetapi meskipun demikian, perkataanperkataan Astari yang sejak tadi sudah tidak enak didengar membuatku benar-benar merasa sebal kepadanya. Pertama karena dia tidak menghargaiku sebagai istri Mas Totok yang masih sah terikat di dalam tali pernikahan kami. Kedua, dia tidak menenggang perasaanku. Terutama ketika menyinggung masalah anak. Aku menangkap, perempuan itu sedang berusaha me-lecehkanku karena belum mampu memberikan anak kepada Mas Totok.
www.ac-zzz.tk Menghadapi sikap Astari yang menyebalkan itu akhimya rnerembet kepada Mas Totok. Aku mulai merasa kesal juga kepadanya. Sebab aku akin sekali, lelaki itu sudah mengatakan kepada Astari bahwa ia menikah denganku tanpa cinta. Kalau tidak, mana mungkin Astari bisa bersikap menyebalkan seperti itu kepadaku. Meremehkan keberadaanku sebagai istri Mas Totok. Bahkan merasa dirinya lebih berhak atas diri lelaki itu. Meskipun itu memang merupakan suatu kenyataan, seharusnya Mas Totok tidak perlu me-ngatakannya kepada orang lain apa pun alasannya. Sebab bukankah itu masalah intern kami berdua? Tetapi yah, mungkin saja Mas Totok memakai kenyataan seperti itu untuk mengipasi kembali bara api cinta mereka. Dan bahwa keberadaanku sebagai istrinya tidak perlu diper-hitungkan. Bahwa, aku tidak akan menjadi peng-halang bagi hubungan mereka. Sehingga dengan demikian, pertautan kembali hubungan kasih di antara mereka berdua itu merupakan sesuatu yang sah-sah saja. Aku memaklumi cara berpikir semacam itu. Tetapi bahwa itu membuat Astari lalu bersikap seperti orang yang lebih berhak atas diri Mas Totok dibanding istrinya yang sah ini, aku benar-benar merasa tersinggung. Apa pun buruknya hubungan yang ada di antara diriku dan Mas Totok, Astari adalah orang luar. Dia berada di luar pagar kehidupan perkawinan kami..Dia tidak boleh ikut campur di dalamnya. Apalagi me-ngacaukannya. Seharusnya Mas Totok juga mengatakan kepada Astari tentang kesepakatan kami berdua bahwa aku tidak akan mempertahankan statusku sebagai istrinya kalau memang dia menghendaki perempuan lain untuk menggantikan diriku di sampingnya. Jadi Astari tak perlu bersikap arogan seperti itu terhadapku. Aku sangat yakin, Mas Totok tahu betul me-ngenai pendirianku itu. Sebab sesuai dengan jaaji kami berdua waktu itu, masing-masing pihak tidak boleh menjadi penghalang bagi pihak lain-nya untuk meraih kebahagiaannya. Kecuali tentu saja kalau ada pertimbangan Iain yang lebih patut diperaitungkan. Jadi sekali lagi, tak perlu Astari harus memanas-manasi hatiku untuk me-nunjukkan kelebihan dirinya di hati Mas Totok. Ketika Mas Totok pulang dari tugasnya dua hari kemudian, kukatakan mengenai kedatangan Astari dengan perasaan sebal yang tidak ku-sembunyikan.
www.ac-zzz.tk "Dia meminta bantuanku untuk menyampaikan pesannya kepadamu," kataku setelah mengatakan tentang kedatangan perempuan itu. "Apa pesannya?" "Ia mengharapkan kedatanganmu ke rumahnya begitu kau kembali ke Jakarta. Sebab anaknya yang bam sembuh dari sakit itu sangat me-rindukan kehadiranmu. Berulang kali anak itu menanyakanmu." Di dalam hatiku aku berpikir yang lebih merasa rindu pastilah Astari sendiri. Mendengar perkataanku, Mas Totok mengiya-kan tanpa mengomentarinya lebih lanjut Tetapi aku tak mau menyembunyikan apa yang kudengar dari Astari kemarin dulu itu. Karenanya kulanjutkan bicaraku dengan terus-terang. "Dia juga mengatakan bahwa sikap kebapakan-mu sangat disukai oleh kedua anaknya. Dan katanya pula, barangkali sudah waktunya bagimu untuk memikirkan keturunanmu sendiri. Entah dengan siapa yang ia maksudkan, aku tak tahu." Mas Totok menoleh ke arahku. Dahinya agak berkerut. Aku mengerti, baru sekali itulah aku berkata sinis. "Dia mengatakan begitu?" tanyanya kemudian. "Ya. Kau pikir aku mengarang?" Aku berkata sinis lagi. "Kalau kau kurang percaya, tanyakan saja langsung kepadanya mengapa dia berkata seperti itu. Biar lebih jelas!" "Bukan begitu, Siska." Mas Totok menatap mataku. "Aku hanya merasa heran saja. Kalau ada sesuatu yang ingin ia katakan kepadaku, kenapa dia harus datang kemari mencari bantuan melalui dirimu? Dia toh bisa menghubungiku lewat HP. Bagiku, itu agak aneh. Apalagi kok sempat-sempatnya dia menyinggung masalah anak." "Mana aku tahu apa alasannya dia datang kemari. Kecuali, kalau itu ada kaitannya dengan perasaan cintanya kepadamu!" "Apa itu?" Mas Totok bertanya sambil menatap mataku. "Bukankah orang kalau sedang dimabuk cinta biasanya sering kehilangan akal sehat. Kelakuannya suka aneh-aneh. Maklum, seperti yang sering dikatakan orang, cinta itu buta, kan?" "Sebetulnya apa sih yang ada di balik pen-dapatmu ' Mas Totok bertanya
www.ac-zzz.tk lagi. Kini dengan nada kurang sabar. 'Terus-terang, aku tidak mengerti." "Begini lho. Dari sikap dan bicaranya, aku merasa Astari ingin menunjukkan kepadaku bahwa dirinya lebih pen ting bagimu daripada diriku. Mungkin, dia ingin membuatku merasa cemburu. Namun entah benar entah tidak firasatku itu, aku tak ingin mempersoalkannya. Tetapi, kalau dia bermaksud membuatku merasa cemburu, katakan padanya bahwa ia telah salah alamat. Sebab kalian mau membuat anak sampai seratus orang sekali pun, itu bukan urusanku. Asalkan, pada jalur yang semestinya." Yang kumaksud dengan jalur semestinya adalah ikatan perkawinan. Mas Totok pasti mengerti apa yang kumaksudkan. • Mendengar perkataanku itu Mas Totok terdiam lagi. Tetapi air mukanya tampak begitu murung. Melihat itu tiba-tiba saja aku merasa menyesal telah bicara seenaknya saja tanpa disaring lebih dulu. Kesebalanku kepada Astari telah kulampias-kan kepadanya. Itu tidak adil. Apalagi dia baru saja datang dari Batam. Dan terlebih lagi, tak pemah sebelum ini aku berkata sinis dan tajam seperti itu di hadapannya. Aku yakin, lelaki itu pasti merasa sangat tak enak mendengar perkataanku tadi.;** "Maafkan aku," kataku kemudian, didesak oleh rasa sesal tadi. "Aku tidak bermaksud mengkritik kekasihmu." "Aku tahu," jawab lelaki itu, semakin membuatku merasa bersalah. "Kau tak usah merasa bersalah karenanya." "Syukurlah kalau kau tahu itu," kataku lekas-lekas. "Aku memang agak sensitif belakangan ini. Barangkali saja karena aku terlalu banyak memegang kelas yang hams kuajar. Salah seorang rekanku, masuk rumah sakit. Aku diminta oleh pimpinan untuk menggantikan tugas-tugasnya." "Itu juga kumaklumi. Apalagi belakangan ini jalan-jalan di Jakarta semakin sering mengalami kemacetan lalu-lintas. Mengamngi jalan-jalan yang padat dan semrawut seperti itu memang sering membuat orang jadi stres." Selama lelaki itu berbicara, aku meliriknya. Sejak ketegangan terbentang di antara kami berdua beberapa minggu lalu, percakapan yang ada di antara kami lebih banyak bersifat umum dan pendek-pendek. Tetapi kali ini sudah ada kalimatkalimat panjang meluncur dari mulut masing-masing. Kupikir, ini suatu tanda ke
www.ac-zzz.tk arah yang lebih sehat. Atau setidaknya, lebih baik. Karenanya aku memakai kesempatan itu untuk mencoba mengurangi suhu ketegangan yang sudah telanjur menghalang di antara kami berdua sejak hari ulang tahunku waktu itu. "Mas, aku ingin minta maaf kepadamu mengenai kadomu waktu itu," kataku kemudian. Kuatur kata-kataku dengan lebih hatihati. "Perhiasan itu sungguh indah dan anggun. Kau benar-benar sangat pandai memilihnya. Percayalah, dalam hal ini aku bukan cuma bicara basa-basi. Pujianku itu sungguh tulus karena sesuai dengan apa yang ada di hatiku. Dan kurasa pula, itu pun logis mengingat lima tahun lamanya kita hidup bersama sehingga sedikit atau banyak kau mengetahui seleraku. Tetapi meskipun demikian, aku merasa tak berhak untuk menerimanya. Terlalu bagus dan terlalu mahal buatku, terutama dalam situasi seperti sekarang ini." "Situasi yang bagaimana?" "Situasi tentang keberadaan orang ketiga di antara kita. Entah, yang disebut orang ketiga itu aku atau Mbak Astari. Tetapi yang jelas dalam situasi yang tidak menentu seperti ini tidak tepat kalau aku menerima hadiah semewah itu darimu. Kuharap kau mau memahami perasaanku." "Aku memahami perasaanmu, Siska!" Mas Totok menjawab kata-kataku dengan suara lem-but. "Lupakanlah perhiasan itu. Aku bisa men-jualnya kembali, nanti." "Atau bisa kau hadiahkan untuk Mbak Astari...." Aku menyambung. "Apa pun yang ada di antara diriku dengan Astari, dia bukan istriku. Sedangkan menurut pendapatku, hadiah seperti itu hanya pantas di-berikan oleh seorang suami kepada istrinya." "Maalk.." Rasa bersalahku semakin meluas. Tetapi apa boleh buat. Aku tidak ingin menerima benda apa pun dari lelaki yang sekarang irri mungkin mempunyai rencana hidup lain yang tak ada kaitannya dengan diriku lagi. "Sudahlah, lupakan itu semua." "Aku juga minta maaf atas perkataanku yang kasar waktu itu. Kau pasti mengerti kan, Mas, situasi seperti saat ini yaitu dengan adanya orang ketiga di antara kita, suasana di sekitar kita menjadi tidak sehat lagi. Apa saja bisa menjadi ajang perdebatan dan pertikaian. Apa saja yang pemah didengar dan dirasa terutama yang bersifat negatif, dengan mudah bisa mempengaruhi pikiran kita."
www.ac-zzz.tk kataku lagi. "Maka begitu melihat perhiasan mewah yang bam kali itu kau hadiahkan kepadaku waktu itu, langsung saja aku berpikir bahwa benda itu kau berikan kepadaku demi untuk mengurangi rasa bersalahmu. Maafkan kalau itu tidak benar. Tetapi lepas dari soal itu, aku memang tidak berani menerima hadiah sebagus itu. Jadi sekali lagi, maafkanlah aku." "Kataku tadi, lupakanlah itu. Aku tak ingin membicarakannya lagi." Sekarang aku terdiam. Bam sesudah mem-ban tunya mengeluarkan pakaian-pakaian kotor dari tas pakaiannya, aku mencoba membuka pembicaraan lagi. "Jangan lupa menghubungi Mbak Astari lho, Mas. Kau ditunggu olehnya!" aku mengingat-kannya. "Ya," jawab Mas Totok pendek. Satu jam kemudian, lelaki itu sudah pergi lagi. Entah, aku tidak tahu Apakah pergi ke kantor karena masih dua jam kantor bubar, atau pergi ke rumah Astari. Dia cuma pamit mau pergi, begitu saja. Tetapi ah, untuk apa aku memikirkannya. Aku sendiri mempunyai banyak urusan yang lebih penting. Apalagi sore ini aku juga masih mempunyai tugas mengajar. Demikianlah, kehidupan rutin pun mulai ber-jalan kembali. Tetapi dua hari berikutnya, ada sesuatu yang kelihatannya berbeda daripada biasa. Selesai mengajar hari itu, aku dipanggil direktur-ku ke ruang kerjanya. Ini memang tidak biasa terjadi padaku maupun pada rekan-rekan sesama pengajar di tempat itu, Apalagi karena sikap Pak Santosa tampak begitu serius ketika mengatakan hal itu kepadaku. Dia sengaja menemuiku sendiri, jauh dari jangkauan telinga siapa pun. £ "Setelah mengajar nanti, saya ingin berbicara dengan Bu Siska di kantor saya," begitu dia berkata pagi tadi. Sekarang setelah aku selesai menunaikan selu-ruh tugasku hari itu, aku langsung menuju ke ruang kerjanya. . "Duduklah, Bu Siska!" Begitu lelaki setengah baya itu berkata kepadaku ketika melihatku ma-m2 kantomya. "Terima kasih...." Aku memilih duduk di ha-dapannya. Sebuah meja tulis besar memisahkan tempat duduk kami. "Setelah beberapa tahun bekerja sebagai pengajar di lembaga ini, apakah Ibu Siska mengalami kesulitan?" tanyanya begitu aku duduk.
www.ac-zzz.tk "Kesulitan yang berarti tak ada. Semuanya baik-baik saja." "Ibu senang bekerja di tempat ini?" Aku tersenyum "Kalau tak senang, saya pasti tidak akan duduk di sini, Pak Santosa!" sahutku kemudian. Pak Santosa membalas senyumku. "Saya gembira mendengarnya," sahutnya kemudian. "Apalagi karena menurut penilaian kami, dan juga dari hasil angket yang disebarkan kepada para peserta kursus yang jumlahnya men-capai hampir seribu orang itu, Bu Siska menem-pati urutan yang sangat tinggi sebagai pengajar terbaik menurut pilihan mereka. Selamat, ya, Bu!" "Terima kasih," kataku. Mengenai hal itu, aku sudah mendengar selentingannya. 'Tetapi, Pak, penilaian semacam itu kan kurang akurat. Kelas-kelas tingkat dasar banyak yang belum mengenai saya." "Kami memang tidak menyebarkan angket pada kelas-kelas pemula kok, Bu. Jadi meskipun tidak seratus persen akurat, setidaknya delapan puluh lima persen hasil angket itu bisa dipercaya. Bagaimanapun juga, mereka yang duduk di kelas-kelas terakhir itu kan sudah cukup lama mengenai Bu Siska." 'Tetapi tentunya Pak Santosa tidak memanggil saya duduk di sini untuk membicarakan hasil angket itu, kan?" Aku tersenyum lagi. "BetuJ, Bu Siska." Pak Santosa juga tersenyum lagi. "Begini, Bu, para pimpinan di sini meminta saya untuk menyampaikan suatu tawaran kepada Ibu. Cabang kita di Bandung mulai menunjukkan perkembangan yang bagus. Bu Siska pasti sudah mendengar itu. Peserta kursus di sana juga semakin banyak seperti halnya di Jakarta ini. Rupanya, krisis ekonomi negara kita menyebab-kan banyak lulusan SMU yang menunda masuk ke perguman tinggi dan mengisi waktu luang mereka dengan memperdalam bahasa Inggris. Nah, atas dasar itulah, ketika wakil direktur cabang Bandung minta berhenti karena urusan keluarganya, kami semua mempunyai pendapat sama. Lowongan itu pertama-tama kami tawarkan kepada Ibu!" "Maksud Pak Santosa, saya diharapkan untuk menjadi wakil direktur cabang
www.ac-zzz.tk Bandung?" tanya-ku, nyaris tak percaya. "Ya." Pak Santosa menganggukkan kepalanya. 'Tetapi tentu saja Ibu bisa menolaknya seandai-nya merasa keberatan harus pindah ke sana. Kami tabu, Ibu mempunyai keluarga yang harus menjadi bahan pertimbangan." "Yah, memang demikian." "Jadi?" "Saya harus membicarakannya dengan suami. Dan juga saya harus memikirkannya secara masak-masak lebih dulu." "Oh ya, memang seharusnyalah demikian.' Bagaimana kalau untuk itu kami memberi waktu sekitar satu minggu kepada Bu Siska untuk memikirkan tawaran tersebut?" "Baiklah, Pak. Tetapi sebelumnya, saya mengucapkan terima kasih yang setulustulusnya atas kepercayaan yang diberikan kepada saya. Ini betul-betul penghargaan luar biasa kalau meng-ingat umur saya yang masih muda begini. Sebab rasanya, pasti ada banyak para senior yang lebih pantas menempati jabatan itu daripada saya." "Kami justru menyukai tenaga-tenaga muda berbakat seperti Bu Siska. Karena masa depan lembaga ini berada di tangan para kaum muda-nya. Bukan di tangan kami lagi, sebab kami-kami yang sudah tua ini sebentar lagi kan sudah hams pensiun!" Pak Santosa berkata dengan bersungguh-sungguh. "Jadi, Bu Siska, tolong tawaran kami ini dipikirkan dengan sungguh-sungguh." "Baiklah, Pak Santosa." Meskipun aku menginginkan jabatan itu, tetapi aku masih memiliki keraguan besar untuk menerimanya. Sebab menerima tawaran itu berarti aku harus meninggalkan kota Jakarta. Lalu bagaimanakah dengan tugas dan kewajibanku sebagai seorang istri? Sebab bagaimanapun suasana rumah tangga kami, sampai saat ini aku masih tetap istri Mas Totok. Sepatah kata pun soal _ perceraian tak pernah terucapkan. Baik oleh Mas Ibtok maupun olehku sendiri, meskipun beberapa kali keinginan seperti itu singgah dalam pikiranku. Lebih-lebih kalau Mas Totok sedang berlama-lama di tempat Astari. Aku merasa diriku seperti penghalang saja. Sungguh, walaupun waktu satu minggu yang diberikan oleh Pak Santosa hampir berlalu, masih juga aku belum bisa menjawab tawaran itu dengan suatu kepastian.
www.ac-zzz.tk Ya atau tidak. Tidak atau ya. Kedua kata itu masih terns naik dan turun di kepalaku. Padahak waktu terus berlalu. Jam antik di mrnahku sering mengingatkan diriku bahwa hari terus berjalan. Bahwa umur dunia beserta seluruh isinya terus bertambah dan bertambah. Ada saat-saat di sepanjang perjalanan atau ziarah manusia menuju ke akhir hayatnya dia dihadapkan pada pilihan-pilihan hidup yang harus ditentukannya. Begitu pun diriku. Di hadapanku, ada sesuatu yang harus kupilih. Bedanya, keputusan memilih itu harus segera kulakukan secepatnya. Tetapi, masih saja aku belum mampu memutuskannya! Hari ini hari yang kelima sesudah pembicaraanku dengan Pak Santosa. Dua atau tiga hari men-tang dia pasti memanggilku lagi untuk menge-tahui apa jawabanku. Bandung sudah berteriak-teriak minta bantuan segera. Mereka membutuh-kan tenaga untuk membantu Pak Satriya. Direktur cabang Bandung itu masih berada dalam kondisi kurang fit setelah menjalani operasi jantung. Namun meskipun hari-hari terus berlalu dan waktu untuk memutuskan pilihan sudah semakin pendek, sampai saat ini aku masih belum juga mengambil keputusan yang pasti mengenai tawaran itu. Tetapi dari apa yang terjadi pada pagi hari itu, ada sesuatu yang mulai masuk ke dalam bahan pertimbanganku. Waktu itu Mas Totok sedang bersiap-siap berangkat ke kantor. "Sudah lama kita tidak keluar bersama ya, Sis," tiba-tiba dia berkata kepadaku sambil me-raih kunci mobilnya. "Bagaimana kalau malam nanti kita makan di luar?" "Aku sih oke-oke saja." "Bagus. Mudah-mudahan cuacanya bagus. Tidak hujan seperti kemarin." Manis sekali suara Mas Totok yang lembut dan bersahabat itu. Sudah lama sekali aku tidak mendengar sikap manis seperti itu. "Ya." Menjelang sore Mas Totok meneleponku dari kantor dan membicarakan rencana makan malam itu sekali lagi. Seperti baru kencan pertama saja. "Kau tidak ada acara lain, kan?" tanyanya menegaskan. 'Tidak." "Sungguh?"
www.ac-zzz.tk "Sungguh. Kenapa sih kau bertanya seperti itu?" tanyaku heran. "Aku tidak ingin kau merasa terpaksa. Sebab barangkali saja kau lebih suka tinggal di rumah dan menonton film." Melalui kabel telepon itu aku mendengar perkataannya yang begitu hati-hati. Lelucon yang tak lucu, pikirku. Kenapa dia jadi sungkan seperti itu? "Kau kenal diriku kan, Mas," sahutku kemudian. "Ya. Kau tidak akan mengatakan ya kalau hatimu mengatakan tidak." "Nah, kau tahu itu. Jadi kenapa sih kau jadi sungkan begitu. Kalau aku tidak mau makan di luar bersamamu pasti aku akan menolak ajakan"Tetapi, yah, siapa tahu jawaban setujumu itu disebabkan karena kau merasa tak enak kalau menolak ajakanku!" "Aku senang kauajak makan di luar kok, Mas. Sebab jujur saja, aku sering merasa bosan makan di rumah. Apalagi cuma sendirian. Sebagai manusia biasa, sekalisekali aku ingin me-rasakan suasana yang lain." "Ya, kau benar. Tetapi sayangnya belakangan ini aku sering menelantarkanmu, sibuk dengan urusanku sendiri. Maafkan aku, ya, Sis." "Kau tidak hams menemaniku terus-menerus. Ada .orang lain yang lebih membutuhkan ke-hadiranmu." "Maafkan aku, Sis." "Kau tak perlu minta maaf kepadaku. Aku memahami situasinya kok. Suatu saat, bisa saja keadaannya jadi terbalik. Aku yang ganti menelantarkanmu karena urusan pribadiku. Jadi ayo-lah, hal seperti itu tak usah dipermasalahkan. Bukankah kita sudah sepakat mengenai hal itu jauh-jauh hari yang lalu, di malam pertama kita menjadi suami-istri?" "Ya." Suara Mas Totok masih saja lembut dan hangat. "Tetapi mudah-mudahan aku mampu membatasi diri dan bisa mengatur waktu sehingga tidak terlalu mengabaikan keberadaanmu." "Sudahlah, kan sudah kukatakan tadi janganlah hal itu terlalu dipermasalahkan." "Tetapi aku sudah mempunyai rencana untuk kita berdua, Siska. Kalau nanti aku mendapat tugas ke Batam lagi, aku akan mengajakmu. Dari sana kita bisa langsung ke Singapura sebelum kembali ke
www.ac-zzz.tk Jakarta." "Memangnya kau mau ditugaskan ke sana lagi?" "Kalau tidak ada perubahan, tiga minggu lagi." Bukan karena aku ingin jalanjalan ke Batam dan Singapura-lah maka malam itu aku sudah mampu menentukan suatu keputusan untuk menolak tawaran Pak Santosa. Juga bukan disebab-kan karena kami melakukan hubungan intim lagi semalam, setelah tiga bulan "berpuasa". Tetapi keputusan itu kuambil karena aku me-mikirkan dan menghormati perkawinan kami. Menilik sikap Mas Totok selama ini dan melihat usahanya untuk meraih kembali kedekatan kami berdua, aku tahu bahwa lelaki itu tidak ingin rumah tangga kami hancur. Dia masih menempat-kan kehormatan perkawinan kami di atas perasaan pribadinya pada Astari. Memang harus kuakui, apa yang terjadi di sepanjang malam tadi ikut ambil bagian di dalamnya. Setelah makan malam di tempat yang romantis, kami berjalan-jalan di tepi laut sambil bergandengan. Sikap Mas Totok sangat manis kepadaku. Dan suasananya menyenangkan sehingga tak mengherankan kalau akhirnya hubungan intim suami-istri sesudah itu, tak ter-elakkan lagi. Kupahami pula kebutuhannya. Sebab bagaimanapun juga kami berdua masih hidup sebagai suami-istri. Singkat kata, keputusanku untuk menolak tawaran Pak Santosa itu memang lebih disebabkan karena rasa tanggung jawabku. Aku harus men-dahulukan rumah tanggaku. Kalau Mas Totok sedang berusaha merintis ke arah perbaikan, tak semestinya kalau aku malah berbuat yang se-baliknya. Jarak kota Jakarta ke Bandung sangat-lah jauh dibanding jarak dari rumahku ke tempat aku mengajar yang sekarang. Jadi begitulah. Dua hari kemudian ketika batas waktu yang diberikan kepadaku sudah habis, tekadku telah bulat untuk menyampaikan keputusan itu secepatnya. Besok, sebelum mulai mengajar, aku akan menemui Pak Santosa di ruang kerjanya lebih dulu. Mudah-mudahan dia tidak menjadi kecewa karenanya. Toh ada banyak nama lain yang jauh lebih baik daripada aku. Setelah keputusan itu kuambil, perasaanku menjadi ringan. Sepanjang petang itu hatiku terasa lebih damai. Namun sayang sekali, kenyataan yang terjadi sejam kemudian mulai lagi merusak suasana hatiku. Bahkan menggoncang-kan batinku. Betapa tidak? Mas Totok mengaju-kan suatu masalah baru yang tidak kusangka akan
www.ac-zzz.tk ia kemukakan justru di saat suasana di antara kami berdua mulai membaik. "Siska, aku akan pergi keluar kota bersama Astari dan kedua anaknya," begitu ia berkata kepadaku. "Apakah kau keberatan? Kalau ya, katakanlah dengan terus-terang. Maka aku akan mempertim bangkannya." Ketika itu kami sedang menonton televisi. Ada film bagus dengan bintang-bintang ke-sayanganku. Mendengar pertanyaan Mas Totok, seluruh perhatianku yang semula tercurah ke layar kaca, hancur Iebur. Tetapi tentu saja aku tak mau memperlihatkannya. Kucoba untuk memperlihatkan air muka yang tetap teduh. 'Tentu saja tidak. Ke mana, Mas?" Duh, ter-nyata aku ini pandai bermain sandiwara. Padahal aku merasa sebal sekali kepada Astari. Bisa-bisanya menyuruh suami orang untuk menjadi pengawahryav '$Ce Semarang. Jumat sore berangkat dan Senin pagi sudah tiba kembali di Jakarta. Bagaimana?'' Berarti besok malam dia bersama Astari dan kedua anaknya akan berada dalam perjalanan ke Semarang seperti layaknya satu keluarga saja. "Pergi sajalah, Mas. Aku tidak apa-apa kok." Masih saja aku mengagumi betapa pandainya aku bermain sandiwara. "Pergi ke Semarang dalam rangka apa sih Mas? Anaknya yang sakit itu kan masih belum pulih sama sekali. Apa tidak berbahaya kalau dia melakukan perjalanan yang cukup jauh?" "Memang, Rudi masih belum sehat betul. Tetapi kami akan naik kereta api Argo Anggrek sehingga perjalanan untuknya tidak terlalu me-lelahkan. Kereta api dengan tujuan ke Surabaya itu berhenti di Semarang selama tiga menit." "Kau belum menjawab pertanyaanku. Dalam rangka apakah kalian pergi ke Semarang itu?" "Adik Astari yang bungsu akan menikah. Dan itu adalah pesta terakhir dalam keluarga mereka. Jadi kehadiran Astari sangat ditunggu." 14m, begitu...." Kuanggukkan kepalaku untuk menunjukkan kepada Mas Totok bahwa aku memperhatikan kata-katanya. "Kau benar-benar tidak merasa keberatan, Siska?" Mas Totok menatapku dengan
www.ac-zzz.tk pandangan menyelidik. "Tidak. Asalkan seperti peringatanku yang sudah-sudah, jangan melakukan sesuatu yang melanggar aturan main." "Itu pasti. Aku tidak akan lupa itu." "Kalau begitu, berangkatlah dengan tenang." "Terima kasih atas pengertianmu, Siska!" Kuanggukkan kepalaku lagi dan kualihkan kembali pandang mataku ke layar kaca. Tetapi pikiranku sudah tidak ada di tempat. Perasaan-kulah yang lebih banyak bicara. Apa yang di-sampaikan oleh Mas Totok tadi telah menggeser kebulatan tekadku untuk menolak tawaran Pak Santosa. Aku mulai memikirkannya lagi. Besok* keputusan itu harus kukatakan kepada P; Santosa. Lelaki itu menunggu jawabanku. Tetapi saat itu aku benar-benar merasa jengkel sekali. Kesabaranku sudah mulai menipis menghadapi pasangan kekasih lama itu. Astari sedikit pun tidak menghargai keberadaanku sebagai istri Mas Totok. Sungguh, tak bisa kupahami ada di manakah pikiran warasnya. Entah ke mana pula sikap sopan-santun dan tenggang rasanya. Kalau saja dia meneleponku untuk meminta persetujuan-ku, meskipun hanya basa-basi sekalipun, barang-kali rasa sebalku tidak sebesar ini. Dan celakanya lagi, aku yakin sekali kejadian semacam ini pasti bukan untuk yang terakhir kalinya. Esok atau lusa pasti Astari akan menyita waktu dan perhatian Mas Totok lagi. Dan seperti kerbau dicucuk hidungnya, lelaki itu akan menurutinya begitu saja tanpa mempertirnbangkan halhal lain-nya. Sesungguhnyalah, cinta memang benar-benar buta. Beberapa jam kemudian ketika aku sudah ter-baring di atas tempat tidur, kulihat Mas Totok mengambil tas pakaiannya. Aku tahu apa sebab-nya. Karena seharian besok dia akan bekerja, kesempatan untuk menyiapkan apa yang akan dibawanya ke Semarang memang hanya pada malam ini saja. Kereta api yang akan ditumpangi-nya itu berangkat sekitar jam setengah sepuluh malam, kalau tak salah. Kalau besok dia tidak bisa pulang cepat, pasti akan terburu-buru jadinya. Melihat kesibukan Mas Totok malam itu, perasaan sebalku terhadap Astari semakin menjadi-jadi dan semakin.menggunung. Bahkan kemudian terhadap Mas Totok pun pikiranku mulai dibauri suatu dugaan yang negatif.
www.ac-zzz.tk Jangan-jangan, alasan Mas Totok mengajakku makan di luar dan juga sikapnya yang manis dalam dua hari terakhir ini adalah salah satu dari upayanya untuk menebus kesalahannya. Dengan kata lain, Mas Totok merasa bersalah karena telah mengambil keputusan untuk mendampingi perempuan yang bukan istrinya itu ke Semarang. Benar atau salah dugaan negatifku itu, yang jelas Mas Totok sudah menyediakan dirinya untuk menjadi pendamping Astari di tengah keluarga besarnya. Artinya, sadar atau tidak, sengaja atau tidak, keberadaan mereka berdua dalam pesta keluarga itu telah menjadi ajang pengu-muman hubungan mereka berdua. Berpikir seperti itu tiba-tiba saja aku merasa terasing. Ini sungguh merupakan suatu kenyataan yang pahit. Sebab rasanya, aku seperti berada di dunia yang sedang terbalik. Ya, dunia yang terbalik. Semestinya, Astari-lah yang merasa terasing karena dia yang berada di luar pagar. Tetapi, yah, bukan seperti itulah kenyataan yang terjadi. Sebab pada kenyataannya, akulah yang merasa terasing. Akulah yang merasa berada di luar wadah percintaan mereka berdua. Akulah yang berdiri di luar pagar. Demikianlah, pada pagi hari berikutnya, ketika Mas Totok pamit ke kantor dan aku sedang memanasi mobilku, tekadku untuk sesegera mungkin menemui Pak Santosa semakin mem-buncah. Hanya saja, ada perbedaan besar yang akan kusampaikan kepadanya. Kalau niatku se-mula akan menyampaikan penolakan atas ta-warannya itu, kini aku bermaksud untuk me-nerimanya. Dengan disertai pemikiran, mungkin inilah jalan ke arah penyelesaian masalah yang ada di antara diriku dengan Mas Totok. Sebab kalau aku tidak berada di sisi Mas Totok, barang-kali saja bisul yang menyakitkan ini akan pecan. Sebab keberadaanku di antara mereka berdua jelas merupakan tembok pemisah di antara lelaki itu dengan Astari. Sedikitnya, merupakan batu sandungan bagi mereka berdua. Dan aku tidak suka itu, Sebab dengan ikhlas aku akan mem-berikan kebebasan buat mereka kalau itu sungguh dikehendaki. Bahwa sekarang aku merasa sebal kepada keduanya, itu karena aku merasa kepalaku di-loiapati. Posisiku sebagai seorang istri, dan lem-baga perkawinan yang menempatkan diriku pada status pendamping Mas Totok dalam mengarungi kehidupan kami berdua itu, telah tercabik-cabik. Dan itulah sebenarnya yang aku tidak bisa
www.ac-zzz.tk terima. Keduanya telah melccehkan diriku mau-pun Jembaga perkawinan itu sendiri. Seperti yang sudah kuduga, Pak Santosa merasa senang begitu mendengar keputusanku untuk menerima tawarannya itu. Matanya berseri-seri 'Tetapi apakah suami Bu Siska tidak merasa keberatan?" tanyanya kemudian setelah rasa senang itu mulai menipis. Ada nada khawatir dalam suaranya. 1$P& "Suami mana yang merasa senang ditinggal istrinya sih, Pak?" Aku tersenyum munafik. 'Tetapi suami saya memahaminya. Selagi kami belum punya anak, mengejar karier sah-sah saja buat Saya. Begitu yang dikatakannya. Apalagi, jarak kota Jakarta dan Bandung tidaklah jauh. Seminggu sekali kami bisa bertemu." "Syukurlah kalau begitu." "Bolehkah saya tahu, Pak, kapan saya harus meninggalkan Jakarta?" "Secepat mungkin, Bu Siska." Aku menahan napas. Kusadari betul saat ini betapa sesungguhnya manusia tak memiliki daya apa pun terhadap dirinya sendiri kalau itu di-kaitkan dengan nasib atau takdir. Sulit ditebak. Sukar diperkirakan. Sebab, rencana apa pun kalau bukan nasib kita, itu tak akan terjadi. Buktinya, siapa yang akan menyangka bahwa dalam waktu dekat ini aku akan meninggalkan kota Jakarta. Buktinya pula tak pemah terpikirkan olehku sampai datangnya malam tadi, bahwa aku akan meniti karierku di kota Bandung. Kota, yang sudah beberapa kali kukunjungi tetapi yang masih juga belum kuakrabi itu. Di sanalah nantinya aku akan berjuang sendirian. Karena berita itu tak mungkin kusimpan sendiri, pada hari Senin malam ketika Mas Totok sudah cukup beristirahat sepulangnya dari Semarang, hal itu kusampaikan kepadanya. "Mas, aku akan ke Bandung!" Begitu kataku kepadanya. Aku belum mengatakan tujuan pokoknyaibfe "Ke Bandung? Dalam rangka apa kepergianmu itu?" "Aku mendapat tugas di sana." Masih juga aku belum mengatakan hal sebenarnya. 'Tugas siapa yang kaugantikan dan berapa lama kau akan bertugas di sana?" Aku menatap mata Mas Totok. "Aku tidak menggantikan tugas pengajar di sana, Mas. Tugas yang dipercayakan kepadaku adalah menempati posisi wakil direktur cabang Bandung yang saat ini kosong...." Akhirnya berita pokok itu kuucapkan.
www.ac-zzz.tk "Lho, bukannya menggantikan tugas sesama pengajar sampai selesai semester ini?" Mas Totok mengerutkan dahinya. Kugelengkan kepalaku. "Jadi maksudmu, tugas ini bukan tugas semen-tara?" Mas Totok bertanya lagi. "Bukan." "Apakah itu artinya kau akan menetap di I Bandung untuk waktu yang tidak diketahui I sampai kapan berakhirnya?" "Ya, benar." an kau merasa eembira karenanva?" Mas I Totok menatapku dengan penuh selidik lagi. "Maksudku... kau tidak merasa keberatan meninggalkan rumah dan kota Jakarta ini?" "Rasa berat itu pasti ada, Mas. Kota Bandung masih asing bagiku. Hidup sendirian di sana pasti akan membuatku merasa terasing dan se* dikit gamang. Apalagi selumh keluargaku tinggal di Jakarta. Kedua orangtuaku dan saudara-saudaraku ada di sini semua. Begitupun dengan teman-temanku...." "Diriku tidak menjadi bahan pertimbangan rupanya," Mas Totok memotong perkataanku. "Bukan begitu, Mas. Tetapi ada pertimbangan lain yang memasuki pikiranku tatkala tawaran Pak Santosa itu kupikirkan. Dia memberiku waktu selama satu minggu untuk berpikir." "Pertimbangan lain apa itu, Siska?" Penuh rasa ingin tahu, Mas Totok menatapku. Air mukanya tampak sangat serius. Aku ganti menatapnya. Dengan kesungguhan yang sama, kujawab pertanyaannya tadi. Aku hams memberikan argumentasi yang bisa di-mengerti dan diterima secara baik. "Begini, Mas, selama satu minggu lamanya aku berpikir dan berpikir mengenai tawaran Pak Santosa itu. Apa positifhya dan apa negatifhya bagi kita semua kalau tawaran itu kuterima. Aku juga telah mempertimbangkannya dari segala sudut pemikiran dan kepentingan. Setelah itu..." "Katakan secara ielas dan jangan bemutarputar, Siska!" Mas Totok memotong lagi pep. kataanku dengan tidak sabar. Aku menarik napas panjang. Kupejamkan mataku sesaat lamanya. "Mas, aku cuma mau mengatakan padarnu bahwa keputusanku untuk menerima lamaran bukan kuambil tanpa pemikiran yang mendalatn lebih dulu. Apalagi secara terburuburu.
www.ac-zzz.tk Tidak sama sekali," sahutku kemudian. 'Tetapi keputusan itu kuambil karena aku merasa ini ke-sempatan bagi kita semua untuk melakukan ma. was diri atas segala sesuatu yang ada di seputar kehidupan kita ini. Dengan perginya aku nanti, keberadaanku di sisimu tak lagi terlalu menyela di antara dirimu dan Mbak Astari. Dalam hal ini aku yakin sekali, kau pasti kenal siapa diriku dan bagaimana aku berpikir. Menjadi ganjalan bagi orang lain apalagi bagimu, betapapun kecil-nya itu, sama sekali tidak kusukai." Mas Totok terdiam, tak mampu berkata apa-apa lagi. Maka pembicaraan pun tak lagi ber-lanjut. 6 Malam itu, malam terakhir aku menetap di Jakarta. Untuk waktu yang tak kuketahui lamanya nanti, aku akan menjadi penghuni kota Bandung. Di bawah tempat tidur, satu kopor besar berisi pakaianku, sudah kukunci. Siap untuk diangkat. Di sampingnya, terletak satu kopor kecil berisi buku-buku dan barang pribadiku yang lain. Kopor itu belum kututup mati. Masih ada beberapa barang seperti alat-alat kecantikan yang akan menyusul masuk ke dalam. Besok hari Sabtu jam sepuluh pagi aku akan berangkat ke Bandung dengan kereta api Argo Gede. Sendirian saja. Mas Totok yang semula mau mengantarkanku sampai ke Bandung dengan mobilnya, membatalkannya. Lagi-lagi Astari yang menggagalkannya. Perempuan itu minta ditemani oleh Mas Totok. Rumah di sebelahnya bam saja dirampok. Dia merasa takut sendirian hanya dengan dua anak yang masih balita dan seorang pembantu rumah tangga yang masih remaja. Jadi malam ini Mas Totok diminta menginap di rumahnya. Juga malam berikutnya. Sampai besok lusa kalau ke-ponakan Astari sudah pindah ke sana. Sekarang di malam terakhir ini, aku tidur sendirian. Aku belum merencanakan apakah aku akan pulang setiap seminggu sekali, dua minggu, atau satu bulan. Menurut teman-teman sesama pengajar di tempat kursus, kereta api dari dan ke Bandung selalu penuh di setiap hari Jumat sore sampai dengan Minggu malam. Jadi entahlah apakah aku akan mau bersusah-payah mencari tiket kereta api atau tidak. Naik mobil sendiri pun belum tentu juga aku senang. Kata teman-temanku itu pula,
www.ac-zzz.tk jalan raya dari dan ke Bandung, macet. Baik yang melalui Puncak mau-pun yang melalui Purwakarta. Entah mengapa, hatiku sedih sekali. Selama beberapa hari ini telepon di rumah terus ber-dering. Kedua orangtuaku, saudara-saudaraku, dan kakak Mas Totok yang ada di Jakarta menyuruh-ku berpikir sekali lagi. "Tidak baik kalau suami-istri berpisah tempat!" Begitu Ibu menyesali keputusanku. "Apalagi untuk waktu yang tak diketahui. Cobalah Siska, pikirkan sekali lagi keputusanmu itu!" "Sudah telanjur, Bu." 'Tidak ada istilah telanjur kalau itu berkaitan dengan masalah penting yang menyangkut per-kawinanmu, Siska." Ibu mulai marah. "Begitu sampai di Bandung sana, usahakanlah agar kau bisa membatalkan keputusanmu itu. Kalau tidak bisa secara mendadak, ya pelanpelan. Yang pen-ting, kau harus kembali ke Jakarta secepat mungkin yang bisa kau lakukan." Entahlah, apakah Ibu akan berkata seperti itu seandainya beliau mengetahui macam apa perkawinan yang ingin kupertahankan ini. Kakak Mas Totok yang seorang pengusaha kaya malah menawariku pekerjaan. "Kalau cuma untuk meniti karier saja, Sis, nanti kucarikan tempat yang bisa menuangkan gagasan dan potensimu!" begitu dia berkata. 'Tetapi batalkan rencanamu pindah ke Bandung. Kasihan Totok. Dia pasti merasa amat kehilangan dirimu. Mendengar cerita-ceritanya tentang dirimu, aku tahu bahwa dia sangat mencintaimu." Mendengar perkataan Mas Bambang, aku ingin tertawa. Pertama, karena dia tidak tahu bahwa aku pindah ke Bandung bukan karena karier atau semacam itu. Aku memang termasuk wanita yang menyukai berkarier di luar rumah. Aku juga selalu menyukai kemajuan dan tantangan. Tetapi hal-hal semacam itu bukan segala-galanya bagiku. Apalagi kalau sampai harus meninggalkan rumah tanggaku. Dan ini bukan masalah pendapat bahwa karier perempuan yang paling tepat adalah di dalam rumah tangganya. Bukan begitu. Melain-kan masalah pilihan yang kuambil menurut keinginanku yang paling murni. Pilihan yang ku-ambil menurut pendapatku pribadi. Menurut hakku
www.ac-zzz.tk sebagai seorang individu yang mandiri. Bukan menurut kata lbuku. Bukan menurut kata siapa pun. Bahkan juga bukan menurut ajaran-ajafan dan budaya yang terintemalisasi dalam diriku. Mungkin justru karena hal itulah maka aku merasa sedih. Sebab sejujurnya aku tidak ingin meninggalkan kota Jakarta, sebenarnya. Pindah ke Bandung dan menjadi wakil direktur di sana, memang merupakan suatu tantangan tersendiri bagiku. Tetapi untuk saat ini, aku belum siap menghadapinya. Daya pikat tantangan itu tak terlalu kuat dibanding keinginanku yang masih ingin tetap bekerja di Jakarta. Tetapi yah, inilah pilihan yang saat ini harus kutempuh demi Mas Totok. Itu hal pertama yang menyebabkan aku ingin tertawa ketika mendengar perkataan Mas Bambang di telepon kemarin dulu. Hal kedua yang menyebabkan aku tertawa di dalam hati adalah perkataannya yang mengatakan bahwa Mas Totok menciataiku. Apalagi mengatakan bahwa Mas Totok pasti merasa kehilangan diriku. 'Entah dari mana kesimpulan itu diambilnya. Aku yakin, dia pasti akan terheranheran kalau tahu Mas Totok saat ini sedang tidur di rumah rjerempuan lain. Apalagi malam ini adalah malam terakhir aku berada di Jakarta. Entahlah, apakah kehidupan perkawinanku juga akan segersang ini seandainya aku menikah dengan Victor. Untuk pertama kalinya setelah tahun-tahun terakhir nama itu nyaris tak terlalu bergaung di hatiku, loncatan pikiran itu cukup mengganggu perasaanku. Victor. Tuhanku, alangkah besamya perasaan cintaku kepadanya. Bayangan wajahnya yang tampan, alis matanya yang tebal hitam, rambut dan kumisnya yang juga hitam sangat kontras dengan kulitnya yang putih. Dan tutor bahasanya yang halus dan menawan, sungguh membuatku merasa sakit karena merindukannya. Entah, ada di manakah lelaki itu sekarang? Sudah menikahkah dia? Kalau sudah, berbahagiakah dia di dalam perkawinannya, sementara dia pernah mengatakan padaku bahwa tak akan mungkin ia mencintai perempuan lain selain diriku. Dengan perasaan sedih, dengan rasa rindu kepada Victor yang tiba-tiba muncul kembali, dan dengan pikiran dan ingatan yang meloncat-loncat, akhirnya aku tertidur juga meskipun bukan dalam tidur yang nyenyak. Pagi-pagi sekali aku sudah bangun dan langsung mandi. Keluar dari kamar mandi,
www.ac-zzz.tk aku melihat Mas Totok sudah pulang. Menilik wajah dan pakaiannya, dia sudah mandi di rumah Astari. Seperti pengulangan peristiwa yang pemah terjadi, pagi itu aku juga hanya mengenakan kimono tanpa pakaian dalam, dengan pemikiran aku berada seorang diri di kamar ini,' Sedikit pun aku tak menyangka Mas Totok akan pulang sepagi mi. "Kok sudah pulang?" aku bertanya sebagai basa-basi. Perhatianku lebih terarah pada pakaian yang sedang kukenakan. Kimono mandi yang kupakai pagi ini lebih pendek daripada kimonoku yang lain. Juga tangannya cuma sampai di siku. Aku tahu, diriku tampak seksi pagi itu. Apalagi kimono itu berwarna kuning kepodang. Wama. yang menurut Mas Totok paling cocok untukku. Dia pemah mengatakan padaku bahwa aku tampak cantik dan kulitku yang kuning lebih cemer-lang kalau memakai pakaian berwarna kuning. "Kalau siang, Astari tidak terlalu takut." Mas Totok menjawab pertanyaanku. "Lagi pula, aku akan mengantarkanmu sampai ke Stasiun Gambir." "Jangan karena diriku, kau meninggalkan Mbak Astari yang lebih membutuhkan kehadiranmu too." Aku berbasa-basi lagi. Dim, betapa munafiknya aku. 'Tidak. Tetapi seandainya pun dia lebih mem-butuhkanku, aku akan memilih pulang kemari pagi ini. Aku harus mengantarkanmu ke Gambir!" "Karena merasa berkewajiban?" Aku mencoba tersenyum. Tanganku sibuk menalikan kimonoku lebih erat. Lalu aku duduk di muka meja riasku. Tetapi sial, belahan di depan pahaku tak terlalu lebar untuk menutupinya. "Karena aku ingin mengantarkanmu. Suatu keinginan yang muncul dari hatiku yang terdalam," Mas Totok menjawab tegas. "Bukan sekadar karena merasa berkewajiban mengantar seorang istri yang mau bepergian!" Aku terdiam. Kulabuhkan perhatianku ke cer-min. Kuambil botol berisi tabir surya dan ku-oleskan sedikit ke wajahku. Harumnya yang lembut menyentuh hidungku. Tetapi pikiranku tidak juga bisa tersita pada apa yang kulakukan itu. Pahaku yang tampak dari kimonoku benar-benar mengganggu perasaanku. Mau kututupi, takut malah merebut perhatian Mas Totok. Mem-biarkannya, kemulusan dan kekenyalannya
www.ac-zzz.tk pasti juga akan terlihat oleh mata lelaki itu. Saat ini, dia berdiri tak jauh dari tempatku duduk. "Siska...." Kudengar namaku dipanggil oteh-nya. "Hm...?" Sekarang aku sedang membubuhkan bedak di wajahku dan meratakannya. "Aku pulang pagi-pagi begini juga dengan satu tujuan lain. Tetapi, yang barangkali tidak kausetujui...." "Tujuan apa sih?" "Siska, aku tidak tahu kapan kau akan pulang ke Jakarta. Mengingat kau bam saja pindah ke sana dan pasti membutuhkan penyesuaian dalam banyak hal, aku yakin kau bam bisa pulang ke sini setelah beberapa minggu lamanya." "Yah, mungkin saja. Bahkan tak mustahil aku bam bisa menjenguk kemari sesudah satu bulan lebih di sana. Apalagi sementara ini sebelum mendapat tempat yang pasti, aku masih akan tinggaJ di rumah keluarga Pak Satriya, direktur di saoa." "Semestinya aku yang mengantarkanmu di Bandung. Di sana, kita bisa bersama-sama men-can rumah kontrakan untukmu...." "Sudahlah. Aku bukan anak kecil. Aku bisa mengurus diriku sendiri," kupotong perkataan Mas Totok dengan cepat. "Kurasa tidak sulit mencari tempat di Bandung. Kota itu menjadi kota mahasiswa kedua setelah kota Yogya. Jadi pasti akan ada saja rumah-rumah yang disewa-kan." "Baiklah. Kembali ke soai semula, terus-terang aku merasa tak enak akan sendiri an di rumah ini setelah kepergianmu nanti," kata Mas Totok lagi "Sedangkan kapan kau akan menengok rumah ini, kita belum tahu. Itulah kenapa pagi ini aku cepatcepat kembali kemari untuk me-nemuimu sebelum kau kuantar ke stasiun." "Apa sih maksud bicaramu, Mas?" tanyaku. Sekarang tanganku mulai menyapukan sentuhan samar di kelopak mataku. Alis mataku yang asli sudah cukup bagus untuk tidak kutambahi apa pun. "Apakah itu ada kaitannya dengan tujuan yang mau kau katakan tadi?" "Ya." "Yang kau bilang, aku mungkin tidak akan menyetujuinya?" "Ya." "Kalau begitu katakanlah. Bagaimana bisa aku berkata setuju atau tidak kalau kau belum me-ngatakan apa tujuanmu pulang sepagi ini!"
www.ac-zzz.tk Mas Totok menarik napas panjang lebih dulu sebelum menjawab pertanyaanku. "Siska, aku... aku sengaja datang pagi-pagi begini karena ingin mendapatkan... kemesraan darimu...." Ia berkata dengan suara agak meng-getar. Dari cermin di depanku, aku melihat lelaki itu tampak agak tersipu. "Seperti katakd tadi, entah kapan kau pulang ke Jakarta kita belum tahu. Terlalu lama aku nanti tidak mendapatkan kemesraan darimu. Tetapi tentu saja kalau itu kau... kau setujui...." Dadaku berdesir mendengar perkataannya. Ini-kah perkataan seorang suami kepada istri yang sudah lima tahun lebih hidup bersama-sama? Hatiku menjadi sedih lagi. Sudah sedemikian asingnyakah kami berdua? Bukankah sebelum Astari menyela di antara kami, Mas Totok tak pemah menanyakan hal semacam itu padaku. Semisal aku keluar dari kamar mandi dan ia ingin menyalurkan hasratnya padaku, tanpa berkata apa pun ia akan memelukku dari belakang. Dan lalu keintiman itu terjadi begitu saja. Mendengar perkataannya, aku membalikkan tubuhku. Dengan tangan yang satu menutup pahaku dan tangan yang lain menjepit tepi kimono di bagian dadaku yang terbuka, aku me-natap mata Mas Totok. "Aku isrrimu. Tentu saja aku akan menyetujui permintaamnu..." "Aku tidak ingin kau terpaksa melakukannya, Siska. Selama kehadiran Astari, baru dua kali hal itu terjadi...." "Aku tidak merasa terpaksa.,.." Aku memutus-kan perkaraah Mas Totok yang belum selesai. 'Tetapi?" 'Tetapi sebelumnya, bolehkah aku menanyakan sesuatu kepadamu, Mas?" tanyaku kemudian. 'Tanyakanlah, Siska." Suara lelaki itu ter-dengar lembut sekali. "Semalam... apakah kau tidak tidur di kamar Astari....?" 'Tidak." Mas Totok menjawab tegas. "Tidakkah dia... menawarimu...?" Mas Totok menarik napas panjang. "Aku tidak ingin membicarakannya sekarang, Siska. Tetapi percayalah padaku, tidak terjadi sesuatu pada kami...." "Maka kau menearinya padaku?" aku me-motong perkataannya. I "Siska, jangan merusak pagi yang indah ini," I Mas Totok menjawab pertanyaanku
www.ac-zzz.tk dengan sikap yang sangat semis. 'Tergesa aku cepal-cepat I pulang dengan satu keinginan, yaitu mendapatkan I kemesraan aarimu, Kenapa? Sebab bagiku hu- I bungan terintim haruslab kulakukan dengan istri- I ku. Tidak dengan perempuan lain. Siapa pun dia. Termasuk Astari sekali pun. Sebab pula, di i Psitulah kehormatanku dan kehormatan perkawinan lata terletak." Mendengar perkataan yang diucapkan dengan Isedemikian sungguh-sungguh itu, hatiku ter-sentuh. Selain cinta yang tidak ada pada kami, dia adalah lelaki yang paling kuhargai dan paling baik. Karenanya kedua belah tanganku begitu saja terulur ke arahnya dan kubiarkan paha dan dadaku menyembul, mengintip dari sela kimonoku. "Mas Tok...," aku befbisik mengucapkan namanya. Mas Totok tidak menjawab. Sebagai gantinya, ia menangkap kedua belah tanganku sehingga tubuhku terangkat berdiri di hadapannya. Kimono yang pendek dan pas ukurannya itu ter-singkap karena kedua tanganku tak lagi menjepit tepi bagian depannya. Maka seluruh bagian depan tubuhku, terbuka seluruhnya. Mas Totok pun langsung meraihku ke dalam pelukannya dengan mesra. Kemudian dengan lembut dan hati-hati didorongnya aku ke tempat tidur. Dan dihujani-nya aku dengan ciuman ciuman dan belaian tangan yang lembut dan mesra itu. Untuk pertama kalinya, keintiman itu berlangsung dengan tenang, namun bagiku terasa sangat menyedihkan. Bagaimana tidak demikian?:^!^ Saat itu kusadari sungguh betapa Mas Totok mampu memisahkan antara cinta dan kehormatan. Dia mencintai Astari tetapi dia tak ingin bermesraan dengannya demi kehomiatanku, demi kehormatan dirinya sendiri dan demi kehormatan perkawinan kami. Maka dia hanya mau ber-mesraan denganku yang sebetulnya tidak ia K - cintai. Kesadaran seperti itulah yang menyedihkan hatiku. Keadaan begini tak boleh terus berlanjut, pikirku. Mas Totok berhak meraih kebahagiaan-nya bersama Astari daJam wadah yang bisa dihormatinya. Yaitu perkawinan. Namun, selama diriku masih hadir di sisf Mas Totok, maka hal„ itu tak akan pernah terwujud. Karenany'a aku harus berani menentukan sikap demi kebaikan semua pihak. Pelan-pelan namun pasti, aku akan menymgkir dari kehidupan Mas Totokj. Barang-kali, memang kepindahanku ke Bandung seka-rang ini merupakan saat yang tepat. Itu artinya, keinttman berikutnya di antara kami berdua hams dihentikan. Dengan
www.ac-zzz.tk kata Iain, sekarang inilah terakhir kalinya aku merasakan kecupan dan belaian tangannya. Dan terakhir puJa aku merasakan keintiman yang mesra ber-samanya. Berpikir seperti itu, air mataku menitik tanpa kusadari. Meskipun tidak ada cinta di hati kami, namun ada banyak kemanisan, persahabatan, dan keakraban hangat yang terjah'n di antara kami berdua selama lebih dm. lima tahun ini. Suka dan duka berumah tangga telah kami alami . IKetika kemesraan itu telah tuntas terurai, Mas Totok sempat melihat air mataku kendati aku lekaslekas mengusapnya. Dia terkejut. "Kenapa menangis, Siska?" Ia bertanya dengan nada mendesak. Aku mencoba terseyum untuk menenangkan-nya. Aku memang tak pemah menangis di hadapannya. Tak heran kalau melihat air mataku menitik itu, Mas Totok terkejut. "Tidak apaapa. Sekali-sekali menangis, tak apa kan?" sahutku kemudian. "Jangan menyembunyikan sesuatu dariku, Siska. Ada apa?" Aku tersenyum lagi. "Kapan-kapan aku akan menceritakannya. Te-tapi sekarang, aku harus bersiap-siap untuk pergi," sahutku mengelak. Mas Totok tidak berkata apa-apa lagi. Tetapi dibantunya aku memasukkan alat-alat kecantikan-ku untuk kemudian menutup kopor yang belum kukunci itu. Setelah sarapan berdua, kami pun berangkat ke stasiun. Setelah membayar petugas pembawa barang, Mas Totok duduk di sebelah tempat dudukku yang masih kosong. "Hati-hati di sana, ya, Sis. Kalau ada apa-apa, teleponlah aku," pesannya. "Ya." "Dan maafkanlah aku karena tidak bisa mengantarmu sampai ke Bandung," katanya lagi. "Malam nanti aku masih harus menemani Astari." "Aku mengerti," sahutku sambil tersenyum. "Kau tak usah merasa bersalah karenanya. Justru akulah yang harus minta maaf kepadamu dan juga kepada Mbak Astari karena telah menjadi j penghalang...." "Aku tak mau mendengar kata-kata seperti itu, Siska!" Mas Totok memotong perkataanku. "Kau bukan penghalang/" Aku hanya tersenyum saja mendengar perkataannya.
www.ac-zzz.tk Pengumuman dari pengeras suara me-minta supaya para pengantar segera turun karena kereta api Argo Gede akan segera diberangkat-kan. Mas Totok pun berdiri. Tepat pada saat itu, penumpang yang mendapat tempat di sebeiahku, datang. "Selamat jalan, Sis.'" Mas Totok mencium I keningku dan meremas sesaat telapak tanganku, kemudian pergi. | Tak lama kemudian, kereta api bergerak perlahan meninggalkan Stasiun Gambir. Kulihat Mas Totok berdiri di peron dan melambaikan tangan-nya kepadaku. Mataku terasa panas dan kabur sewaktu membalas lambaian tangannya yang se-makin lama semakin jauh itu. Di Bandung,, aku tinggai di rumah Pak Satriya, direkturku. Tetapi di sana, aku tidak tinggai terlalu lama. Hanya sepuluh hari saja. Setelah itu aku mendapat tempat' di sebuah rumah kontrakan, tak jauh dari I tempatku mengajar. Pak Satriya-lah yang menga- | tur segala sesuatunya. Di rumah kontrakan berkamar tiga itu, aku tinggai bersama dengan Mbak Tina dan Dewi, rekan-rekanku sesama pengajar di tempat yang sama. Masing-masing kami, mendapat sebuah kamar tidur berukuran tiga kali tiga setengah meter. Rumah itu disewakan berikut perabotan-nya. Tetapi televisi dan telepon yang dipasang belakangan diberikan oleh kantor karena ke-dudukanku sebagai wakil direktur. Kedua teman serumahku yang - sudah lebih lama tinggai di Bandung itu cukup banyak membantuku melakukan penyesuaian dengan ling-kunganku yang baru. Baik di tempat kami mengajar maupun di sekitar lingkungan rumah kontrakan kami. Aku berutang budi kepada mereka berdua. Dan dalam waktu relatif singkat, kami bertiga sudah menjadi akrab satu sama lain. Mbak Tina berumur mendekati empat puluh tahun. Suaminya sudah meninggal dunia dua tahun yang lalu dengan meninggalkan dua orang anak menjelang remaja. Kini keduanya ia titipkan pada orangtuanya di Solo. Naluri keibuannya ia tumpahkan kepadaku maupun kepada Dewi. Sikapnya persis sikap seorang kakak terhadap adik-adiknya. Senang rasanya mempunyai teman serumah seperti dia. Dewi berumur satu tahun lebih muda daripada umurku. Belum menikah. Tetapi sudah mempunyai pacar. Dia seorang gadis yang ramah dan suka bercanda. Di depan peserta kursus, dia bisa melucu dalam bahasa Inggris. Dengan cara-nya itu, sengaja ataupun tidak* ia telah memikat orang untuk mencari tahu makna bahasanya agar mampu menangkap kelucuan yang diceritakannya itu.
www.ac-zzz.tk Sesungguhnyalah, Dewi memang gadis yang menyenangkan. Sifat periangnya itu sangat meng-hiburku. Singkat kata, begitulah yang terjadi padaku setelah menjadi warga kota Bandung. Seluruh kegiatanku yang baru dan seluruh konsentrasiku untuk menata diri di tempat yang baru itu telah menyita waktuku. Akibatnya, selama hampir satu bulan lamanya akhir mingguku tak sekali pun kupakai untuk pulang ke Jakarta. Bahkan me-nelepon Mas Totok pun tidak. Lelaki itulah yang sering meneleponku ke kantor untuk me-nanyakan keadaanku. Pada hari Kamis, Mas Totok meneleponku lagi. "Besok sore pulanglah ke Jakarta, Siska!" Begitu dia berkata. "Nantikembalinya ke Bandung aku yang mengantarkanmu dengan mo-bil. Tidak inginkah kau menengok rumah?" "Ingin sekali, Mas. Tetapi aku belum sempat pulang. Terlalu banyak yang harus kuselesaikan di sini," dalihku. "Dan tidak rindu kepadaku?" Aku tertegun. Basa-basikah ini? Sungguh-sungguhkah itu? Atau apa? "Siska, tidak rindukah kau padaku?" Mas lagi pertanyaannya. "Ya, tentu saja." Akhirnya kujawab pertanyaan itu. Tetapi apakah benar aku merindukannya? Menjawab pertanyaan seperti itu tidak mudah. Bahwa aku merasa kehilangan, ya. Di Bandung, tidak ada orang yang mendampingiku ke mana pun aku pergi. Ke mana-mana, aku hanya sen-dirian saja. Di Bandung, aku tidak punya sese-orang yang bisa kuajak berbicara tentang sesuatu yang penting sambil tidur-tiduran di kamar. Di Bandung, aku sering kesepian. Tetapi apakah itu berkaitan dengan rasa rinduku kepada Mas Totok, aku tak tahu. "Kalau begitu kenapa tidak pulang?" Pertanyaan itu menggodaku. Aku memang ka-ngen berada di rumahku yang menyenangkan. Aku kangen kepada kedua orangtuaku dan juga kepada saudara-saudaraku. Tetapi apakah
www.ac-zzz.tk ke-rinduan itu akan terpuaskan seandainya aku pulang ke Jakarta, aku tak yakin. Terutama kalau itu menyangkut kehidupan di rumah-tanggaku. Sudah sekian bulan lamanya, malam Minggu sampai Minggu malamnya, Mas Totok tak pemah ada di rumah. Astari telah mem"booking" dia. Dan itu artinya, aku berakhir pekan ke Jakarta hanya untuk sesuatu yang sama situasinya dengan Bandung. Sendirian saja. Lagi pula, bukankah aku sudah mengatakan pada diriku sendiri untuk tidak menjadi penghalang bagi Mas Totok dan Astari? Ingatan itu menepis godaan yang tadi sempat melmtasi hatiku. Pertanyaan Mas Totok ya belum kujawab, langsung kutanggapi. "Aku repot, Mas. Kapan-kapan sajalah!" "Bagaimana kalau 'Tidak usah. Tetapi mudah-mudahan dalam waktu dekat ini aku bisa pulang." Aku menjawab begitu hanya untuk melegakannya saja. Sedikit pun rencana seperti itu, tak ada padaku. 'Telepon saja aku kalau kau mau pulang. Nanti kujemput," sahut Mas Totok dengan suara-nya yang khas. Lembut dan hangat. "Seandainya aku tak bisa menjeraputmu ke Bandung, akan kuusahakan menjemputmu di setasiun." "Oke.J' Aku mencoba untuk bersikap manis, mengimbangi kemanisannya. Tetapi mulutku entah kenapa, tidak mau bekerja sama dengan pikiranku itu. Sebab tiba-tiba saja aku sudah melontarkan perkataan yang sebenarnya hanya ada di bagian hatiku yang paling bawah. "Asal-kan aku tidak menjadi batu sandungan bagi acara-acaramu bersama mbak Astari." "Kau-istriku, Siska. Dia harus tahu dan me-nyadari bahwa kehadiranmu di Jakarta untuk berakhir pekan harus menjadi prioritas utama bagiku. Hari-hari lain kan masih ada!" Suara Mas^ berubah serius. Huh, kewajiban lagi, sapa tohu? Tetapi kapan-kapan itu sangat panjang. Setelah setengah bulan berada di Bandung, barulah pulang ke Jakarta untuk berakhir pekan. Itu pun karena aku ingin mengambil beberapa milik-yang waktu itu tak kuanggap penting tetapi ternyata dibutuhkan. Antara lain, buku-buku, sweter, sepatu sandal, dan beberapa perhiasan imitasi untuk kelengkapan busana saat mengajar. 7 Baru beberapa jam lalu aku tiba di rumah kembali setelah lebih dari satu setengah bulan lamanya menempati posku di
www.ac-zzz.tk Bandung. Namun dalam waktu sebentar saja aku sudah menemukan beberapa hal yang berubah. Pertama, rak pa-jangan di ruang tamu tidak lengkap, dan kuda-kudaan porselin berwarna putih susu sudah tidak ada di tempatnya. Kedua, vas kristal yang ter-letak di meja sudut ruang tengah juga lenyap. Agar jangan menimbulkan masalah yang ku-rang enak, aku mencarinya lebih dulu sebelum menanyakannya. Sebab siapa tahu barang-barang yang termasuk barang kesayanganku itu disimpan Mas Totok atau Bik Dedeh. Atau siapa tahu pula dipindah tempatnya. Tetapi sejauh itu, kedua pajangan itu tetap tidak kulihat di mana pun di seluruh penjuru rumah. Peristiwa seperti itu terasa agak janggal bagiku. Sebab meskipun dengan takut-takut, Bik Dedeh pasti melapor kalau ia memecahkan barang yang ada di rumah ini. Barang apa pun juga. Dia tahu betul aku akan lebih marab. kalau ia menyembunyikan kesalahannya. Maka dengan pi-kiran itulah aku ke belakang untuk menanyakan kedua benda yang hilang itu kepada Bik Dedeh. "Bik, apakah kau melihat kuda-kudaan porselin yang ada di rak pajangan dan vas kristal yang kuletakkan di meja sudut ruang tengah?" tanyaku. "Kuda-kudaan oleh-oleh Bapak waktu dari Hongkong itu kan, Bu?" "Ya." Kuanggukkan kepalaku. "Kau melihat-nya?" "Saya tidak melihatnya, Bu. Makanya selama berhari-hari kalau sedang membersihkan ruangan, saya mencarinya sampai ke mana-mana lho, Bu. Karena tidak ketemu juga, akhimya saya berpikir mungkin barang itu dibawa Ibu ke Bandung," sahut perempuan itu. "Masa iya kubawa ke Bandung sih, Bik. Untuk apa?" "Lha kalau begitu, ke mana barang itu ya, Bu? Apa disimpan Bapak barangkali." "Mungkin. Nanti akan kutanyakan." "Kalau vas kristal yang di ruang tengah itu saya tahu kenapa tidak ada, Bu. Vas itu pecah. Disenggol Mas Rudi." "Mas Rudi siapa?" "Mas Rudi, keponakan Bapak itu lho. Putranya Bu Astafii." Bik Dedeh menjawab sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu melanjutkan bicaranya dengan setengah berbisik.
www.ac-zzz.tk "Anak-anak Bu Astari itu nakal-nakal. Tetapi lbunya mem. biarkannya saja. Kelihatannya dia terlalu me-manjakan anak" Berita dari Bik Dedeh itu membuat perasaanku semakin tak enak. Astari datang ke rumah ini rupanya, ia juga masuk sampai ke ruang tengah. Kuoerani sungguh kenapa dia datang berkunjung justru di saat aku sedang berada di luar kota. Kebetulankah itu? Disengajakah itu? Yang lebih lucu lagi, alangkah enaknya Mas Totok mengakui perempuan itu sebagai saudara sepupunya. Biar bisa bebas keluar-masuk di rumah ini, barangkali. Atau biar Bik Dedeh menerima kehadirannya dengan pintu terbuka? Terus-terang aku merasa marah di dalam hati-ku. Aku merasa kepalaku semakin diinjak-injak. Namun demikian, di hadapan Bik Dedeh aku bersikap biasa-biasa saja. Aku tidak ingin dia tahu ada yang tak beres di antara diriku dengan Mas. Totok. "Ya sudah kalau begitu," kataku kepadanya. 'Yang pen ting, setidaknya aku tahu sekarang apa yang terjadi dengan vas kristalku. Mengenai kuda-kudaan, akan kutanyakan kepada Bapak nanti kalau dia sudah pulang." Kupikir, hanya masalah itu sajalah yang meng-gangguku begitu aku tiba kembaii ke rumah. Tetapi ternyata masih ada satu lagi. Di kamar mandi dalam, aku menemukan saputangan perempuan yang bukan milikku terletak di atas iak gantung. Itu artinya, Astari juga telah me-masuki daerah pribadiku Sulit sekali aku menenangkan perasaanku saat itu. Bahwa Astari berani "berkeliaran" di rumahku dengan bebas, tak mungkin terjadi kalau Mas Totok tidak memberinya kesempatan. Aku benar-benar merasa sebal. Ketika Mas Totok tiba di rumah setengah jam kemudian, sikapku kepadanya sama sekali tidak ramah. Tetapi dia tidak memperlihatkan reaksi atas sikapku itu. Kuakui, kesabaran lelaki itu memang patut diberi acungan jempol. "Akhirnya kau pulang juga, Siska. Jam berapa tadi sampai di rumah?" tanyanya dengan suara terkendali seperti biasanya. "Kira-kira dua jam yang lalu." "Naik apa dari sana?" "Kereta api Argo Gede."
www.ac-zzz.tk "Dari stasiun, naik apa?" "Taksi." "Sendirian atau dengan teman?" Wah, seperti wartawan saja, terus bertariya dan bertanya. "Sendiri." "Kenapa kau tidak memberitahu kalau mau pulang hari ini?" Mas Totok masih juga meng-obral pertanyaan. "Aku tidak berencana mau pulang." 'Tetapi toh bisa meneleponku ketika kau sudah dalam perjalanan. Setidaknya, aku bisa menjemputmu di Gambir." "Aku bisa pulang sendiri." "Kulihat, kau tampak tambah segar dan sedikit
berisL Rupanya udara Bandung cocok
denganmu." Untuk ke sekian kalinya Mas Totok berkata lagi "Kudengar, makanannya enak-enak. Betul, ya?" "Ya." Huh, basa-basi. Dia toh sudah sering pergi ke Bandung. Mas Totok melirikku, tetapi aku pura-pura tak tahu. Jawabanku yang pendek-pendek ter-hadap pertanyaannya dan sikapku yang dingin itu pasti sudah disadarinya sejak tadi. Tetapi seperti yang kulihat tadi, lelaki itu menanggapi-nya dengan sabar. Memang, sikapku ifu tidak pada tempatnya. Satu setengah bulan lamanya aku tidak berada di sampingnya. Namun sikapku kepadanya bukan saja tidak memiliki kehangatan sebagaimana mestinya tetapi bahkan dingin dan jauh dari simpatik. Kesadaran akan ketidaklayakan itu agak me-ngendalikan emosiku. Ketika kanti berdua seiesai makan malam dan Mas Totok menanyakan pe-kerjaanku di Bandung, aku mulai bersikap lebih lunak. Percakapan pun menjadi lebih lancar dari-pada sebelumnya. "Senang di sana?" tanyanya lagi, "Ya. Kotanya relatif lebih tenang dan orang-orangnya lebih bersahabat. " Kapan2, aku yang akan mengunjungimu ke sana" "Terserah."
www.ac-zzz.tk Usai berkata seperti itu aku mulai mencoba untuk memasuki masalah yang sejak tadi mengganjal perasaanku. Kalau tidak, masalah itu akan terus-menerus menggangguku dan itu pasti akan menghambat hubungan kami berdua. Sebab terus-terang saja aku mempunyai persangkaan, benda itu tersenggol Astari dan pecah karenanya. "Mas, ada yang ingin kutanyakan kepadamu." "Apa itu?" "Apakah kau melihat kuda-kudaan porselin oleh-olehmu dari Hongkong waktu itu?" tanyaku, langsung pada masalahnya. "Oh, itu...." Entah salah lihat entah tidak, rasanya aku melihat air muka Mas Totok agak berabah demi mendengar pertanyaanku itu. "Kau menyimpannya, Mas?" Aku bertanya lagi. "Tidak. Astari menginginkan barang itu. Aku terpaksa memberikannya...." Mas Totok men-jawab dengan agak tersipu. "Seharusnya aku menanyakan persetujuanmu lebih dulu. Tetapi yah, aku mempunyai pendapat lain. Selama satu minggu ini aku selalu berusaha mencarinya di toko-toko pajangan keramik untuk menggantinya. Namun ternyata sampai saat ini aku belum me* nemukannya." Mendengar pernyataannya itu, hatiku menjadi panas. Nyaris saja aku melampiaskan kemarahan-. ingatanku kepada butir-butir perjanjian di malam pengantm kami waktu itu seperti menampar pipiku. Lagi puJa, apa hakku untuk merasa keberatan terbadap bentuk atau cara Mas Totok menunjukkan^cintanya kepada Astari? ApaJagi, kuda-kudaan itu bukan aku yang membeJinya. "Kalau itu masalahnya, Iupakanlab." Akhimya aku mampu juga menanggapi kenyataan dengan Jebih rasional. "Kau tak usah mencari gantinya Mas. Kau berhak untuk melakukan apa saja terbadap barangbarang rnilikmu. Tadi hal itu kutanyakan karena aku tak meiihatnya. Kusangka, dipecahkan Bik Dedeh." "Tidak. Kalau pun ada yang pecah, itu adaiah vas kristalmu. Dipecahkan oleh anak Astari." Aku diam saja. Tak kukatakan kalau aku sudah mengetahuinya dari Bik Dedeh. Tetapi melihatku terdiam, mata Mas Totok mengawasiku.
www.ac-zzz.tk "Aku sudah membeli yang baru untukmu beberapa waktu yang lalu. Ada di daiam mobil. SeJalu saja aku lupa membawanya turun. Nanti akan kuambii," katanya kemudian. "Kau tak periu berbuat seperti itu. Sebab bagiku yang penting adaiah kejeJasan." Aku mulai mengambil jarak terbadap Mas Totok karena amarah mulai lagi mewarnai perasaanku. Me-mangnya kalau vas itu sudah diganti, hattku senang? "Lagi puia, Mas, untuk apa sih memper-soalkan haJ-hal kecil seperti itu? Sudah pecah, ya sudah. Kalau ada uang, beli lagi. Tidak ada uang, ya tidak beli. Begitu saja." "Aku tahu. Dan aku minta maaf karenanya," Mas Totok merasa tak enak melihat sikapku yang mulai menjaga jarak itu. "Seharusnya aku meneleponmu untuk mengatakan hal itu." "Interlokal hanya untuk mengatakan hal-hal sepele seperti itu?" Aku memotong perkataaimya dengan suara agak meninggi. "Ah, jangan mem-besarkan masalah sepele seperti itu, Mas." Mas Totok terdiam. Tetapi aku yakin, lelaki itu memahami bahwa sesungguhnya masalah itu tidak sepele bagiku. Dia cukup mengenalku. Bahwa, ada hal lain yang sesungguhnya merupakan inti masalah dan yang mengganggu perasaanku. Yaitu, keberadaan Astari. Perempuan itu sudah terlalu jauh memasuki kehidupan rumah-tanggaku. Dan Mas Totok tidak berusaha men-cegahnya. Padahal perempuan itu bukan saja telah berkeliaran seenaknya di rumahku tetapi juga telah menjamah barang-barang milikku tanpa permisi. Malam harinya ketika aku sedang membersih-kan muka, lelaki itu datang mendekatiku. "Aku minta maaf atas..." Secepat kilat, suara-nya kuhentikan dengan memotong perkataannya yang belum selesai itu. "Sudahlah, aku tak mau memperparijang soal sepele seperti itu!" Suaraku terdengar tajam. 'Tetapi,mi bukan masalah sepele, Siska. Kita berdua tahu itu." "Tahu apa?" "Masalah kunjungan Astari ke sini justru saat kau tidak ada di rumah," sahut Mas Totok Jadi benarlah, dia memahami inti masaiahnya "Seharusnya, itu tidak terjadi."
www.ac-zzz.tk "Sudah kukatakan, Mas, aku tak mau memper-panjang soal ini. Dia boleh datang seribu kali sehari pun dan kapan saja dia mau. Ini rumabmu. Barang-barang yang ada di rumah ini kebanyakan kau juga yang membelinya. Dia boleh mengambil yang mana saja kalau mengihginkan itu." "Ini juga rumahmu, Siska. Dan semua barang di rumah ini, juga mihkmu. Kita tidak bisa menghindar dari kenyataan. Kau dan aku yang memilih dan. membelinya bersama-sama. Bahkan juga memakai uang dari hasil keringat kita berdua." "Lalu kalau sudah begitu bagaimana?" Kutanya dengan nada tantangan- seperti itu, Mas Totok tertegun. Tetapi beberapa saat kemudian, lelaki itu sudah mampu menguasai dirinya kembali. "Karena toh semua itu sudah terjadi, aku ingin mencoba agar peristiwa seperti itu tidak terulang lagi," katanya. "Aku baru sadar sekarang, kenapa sikapmu begitu dingin kepadaku. Padahal satu setengah bulan lamanya kita ber-pisah". Aku tidak menanggapi perkataannya. Tetapi suasananya sudah telanjur tak enak. Apalagi aku yakin, dia sekarang mulai mengerti betul kenapa sikapku begitu dingin di awal periumpaan kami tadi. "Kuharap pula, kau mau memahami posisiku dalam hal ini, Siska!" Mas Totok berkata lagi. "Sulit menghadapi seorang perempuan yang se-dang mengalami banyak hal dalam hidupnya. Seperti perceraian, anak sakit dan harus dua kali dioperasi, bekas suami yang terus-menerus meng-ganggu pikirartnya, masalah-masalah ekonomi, dan lain sebagainya...." Aku membalikkan tubuhku dan membelakangi' cermin agar dapat .menatap wajah Mas Totok. Botol cairan pembersih muka kuletakkan ke meja rias tanpa melihatnya. Untungnya tidak jatuh. "Mas, untuk yang terakhir kalinya aku me-minta kepadamu agar kau tidak lagi membicarakan masalah ini," kataku memotong lagi perkataannya sambil menatap matanya lekat-lekat. "Apalagi urusan Astari bukanlah urusanku. Ada banyak masalah lain yang jauh lebih penting untuk kupikirkan. Oke?" "Oke...."
www.ac-zzz.tk Sungguh, sekarang aku menyesal kenapa harus pulang ke Jakarta hari ini. Bukankah aku bisa mengisi tiga hari libur ini dengan berjalan-jalan di Bandung bersama teman-teman serumahku? Padahal pula, Mbak Tina mengajakku mencoba resep masakan dari sebuah buku resep yang baru dibelinya. Dan Dewi, mengajakku jalan-jalan di Cihampelas. Dia ingin membeli celana jeans dan rompinya sekaligus. Aku bisa memilih ' mau mengisi acara dengan siapa. Atau kedua-duanya. Sesudah mencoba resep masakan ber-sama Mbak l&a, lalu pergi dengan Dewi. Sambil sekalian belajar bahasa Sunda darinya. Dia asli gadis Sunda, berasal dari Tasikmalaya. Enak mendengar bahasa yang disuarakan berirama itu. Ah, mestinya aku tidak meninggalkan kota Bandung. Ada banyak acara dan suguhan-suguhan yang bisa kureguk dari Kota Kembang itu. Di Jakarta, aku hanya menemukan suasana tak enak yang mengganjal perasaan. Libur akhir pekanku hanya sia-sia saja jadinya. Rencanaku, Minggu sore aku akan kembali ke Bandung dengan kereta api Argo Gede yang berangkat petang nanti. Sudah kupikirkan aku nanti akan naik taksi ke Stasiun Gambir. Sebab biasanya setiap Minggu Mas Totok mempunyai acara dengan Astari. Aku tak ingin mengganggu acara mereka. Tetapi ketika kulihat Mas Totok masih ada di rumah menjelang jam sebelas siang hari Minggu itu, aku merasa heran. Apalagi dia malah sibuk membetulkan kabel setrika. Karena-nya hal itu kusinggung dengan terus-terang. Kha-watir kalau-kalau itu disebabkan oleh keberadaan diriku. , "Kok tidak ke tempat Mbak Astari?" tanyaku. "Sekarang sudah hampir jam sebelas. Kalau anak-anaknya ingin pergi ke taman ria atau entah ke mana pun, kesiangan lho!" "Kan kemarin sudah. Dan hari ini tidak ada acara yang penting." "Mbak Astari tahu aku sedang di sini?" pan-cingku. "Ya." "Mestinya kalian berdua tidak usah merasa sungkan hanya karena aku sedang berada di Jakarta. Kalau kalian mau pergi, pergi saja-lah." "Masih ada waktu yang lain." Mas Totok menjawab sambil tetap menekuni pekerjaannya membetulkan kabel setrika yang aus.
www.ac-zzz.tk "Lagi pula aku sudah mengatakan padamu kan bahwa apa pun juga yang terjadi di antara diriku dengan Astari, kau menempati prioritas utama. Sebab kau adaiah isfcriku yang sah. Astari haras menyadari hal itu." "Kau tinggai di rumah hari ini bukannya karena merasa bersalah kepadaku?" Lidahku mulai tajam. "Kalau benar begitu itu suatu kekeliruan lho, Mas. Bukankah kita berdua sudah memiliki kesepakatan bersama untuk tidak saling mengganggu urusan pribadi masing-masing." "Tetapi, aku tidak merasa terganggu karena kehadiranmu." "Mungkin memang begitu. Tetapi yang jelas, keadaan seperti ini pasti juga tidak membuatmu merasa senang!" Lagi-lagi lidahku mulai tajam. Sekarang ini aku sudah semakin pandai saja bersilat Udah. Mas Totok menghentikan pekerjaannya. Mata nya menatap tajam ke arahku. "Dari mana pikiranmu yang sangat cemerlang itu?" tanyanya kemudian dengan nada suara yang sama tajamnya dengan pandang matanya itu. Ha, Mas Totok pun sekarang sudah. bisa me-nyindir. Rupanya, kami berdua sama-sama semakin memperiihatkan diri sebagai manusia biasa dengan segala kelemahannya. Tidak lagi terlalu menenggang perasaan pihak lain dengan cara mengikat lidah dan menutup mata. Setelah ke-hidupan kami yang tenang, damai dan saling menahan diri untuk selalu menciptakan suasana harmonis di dalam rumah-tangga kami selama hampir enam tahun ini, keadaan seperti sekarang ini sungguh menyebalkan. Tetapi rasanya kok lebih manusiawi. Bahkan lebih menuliki variasi atau apalah namanya. Tetapi perkataan Mas Totok itu tidak kutanggapi. Namun lelaki itu tidak mau menghentikan pembicaraan sampai di situ. Ia terus menge-jarku dengan pertanyaannya tadi. Rupanya ia benar-benar merasa jengkel kepadaku. Hah, jangan-jangan sikapku sekarang ini memang men-jengkelkan? "Kau belum menjawab pertanyaanku, Siska. Dari mana pikiran hebat yang mampir ke kepalamu itu?" tanyanya lagi. "Ah, itu kan pikiran yang sangat wajar. Biasa-nya, pagi pagi ban Minggu begini kau sudah pergi ke sana. Tetapi sekarang karena aku ada di rumah, kau jadi mengubah kebiasaanmu itu. Nah, alasan apa lagi kalau bukan disebabkan karena rasa bersalah seandainya hari ini kau juga pergi ke tempat Mbak Astari!"
www.ac-zzz.tk "Hm, begitukah analisismu?" Mas Totok se-makin tajam menatapku. Tetapi ia geleng-geleng kepala. "Hebat sekali kau. Kalau begitu, aku boleh juga dong menganalisis dirimu!" "Memangnya aku kenapa?" "Tidak sadarkah kau, Siska, bahwa sekarang ini secara tiba-tiba saja kau menjadi orang yang sinis, yang berlidah tajam dan suka menduga-duga. Bahkan sudah mengarah pada kecurigaan. Nyatanya, kok bisa-bisanya kau menilaiku sedang merasa bersalah?" "Ah, sok tahu kau, Mas," aku mendengus. "Ini bukan sok tahu, Sis. Analisisku tadi juga bukan asal-asalan saja. Pendapat orang mengatakan bahwa di dalam tubuh'yang sehat, terdapat jiwa yang sehat pula. Tetapi ada pendapat Iain yang mengatakan sebaliknya. Bahwa di dalam jiwa yang sehatlah maka terdapat tubuh yang sehat. Jadi seandainya seseorang tidak bisa melihat atau kakinya lumpuh, kalau jiwanya sehat maka ia akan sehat pula di dalam ketidak-sempurnaan fisiknya itu. Dan itu..." "Lalu apa relevansinya dengan diriku?" tanya- ku memotong perkataan Mas Totok yang belum selesai. "Justra di situlah yang masih pertu dianalish lebih lanjut. Meskipun, aku sudah menemukan sesuatu..." "Menemukan apa?" Aku memenggal lagi per-kataannya dengan sengit. Entah kenapa, aku merasa Mas Totok sedang berusaha mengalahkan diriku. "Sikapmu yang uring-uringan itu jangan-jangan disebabkan karena aku tidak memesraimu meski kau tidur di sampingku selama dua malam ber-tumt-tumt?" "Jangan mengada-ada, Mas.'" Aku membentak untuk menutupi hatiku yang sebenarnya. Dia tahu persis apa yang kupikirkan. Tak heran. Hampir enam tahun aku menjadi istrinya/ Semalam ketika melihat otot-otot yang me-nyembul di dada dan di lengannya waktu dia menukar kemeja dengan baju tidurnya, dadaku berdesir. Mas Totok tampak seksi dan perkasa. Hampir dua bulan aku tidak merasakan dekapan-nya. Tetapi, demi janji pada diriku sendiri untuk tidak lagi bermesraan dengan
lelaki
yang
tidak
mencintaiku
itu,
kupejamkan
mataku
rapat-rapat
agar
pemandangan itu tidak merasuki pikiranku. Bahkan kemudian, kubalikkan tubuhku raembelakanginya. Aku tak mau meliharnya berbaring di sisiku, *
www.ac-zzz.tk "Aku tidak mengada-ada," Mas Totok terus bicara. "Kalau benar apa yang kukatakm>tadi, jawabannya adaiah karena sejak kedatanganmu kemarin dulu kau sudah menggali jurang di antara kita. Bagaimana mungkin aku berani menyeberanginya?" Aku merasa terpojok. Tetapi tiba-tiba aku 1er-ingat saputangan Astari yang kutemukan di kamar mandi kemarin dulu. Dengan itulah aku mau menyerangnya kembali. "Jurang yang kubuat itu ada alasannya yang kuat lho, Mas!" kataku, mulai merasa di atas angin kembali. "Alasan apa?" "Tunggu dulu...." Aku lekas-lekas masuk ke kamar dan mengambil saputangan Astari yang sudah dicuci dan diseterika oleh Bik Dedeh. Saputangan itu kubawa dan kuulurkan ke muka Mas Totok. "Inilah alasan yang kukatakan tadi." "Apa maksudmu?" "Saputangan ini milik Astari. Kutemukan di kamar mandi kita." Dahi Mas Totok berkerut dalam. Tetapi aku tak mau memberinya kesempatan untuk membela diri. Aku terus menyerangnya. "Selama ini kalau ada tamu ingin ke kamar mandi, dia akan kita ajak ke kamar mandi di luar. Bukan ke kamar mandi kita," kataku tanpa berpikir dulu. "Nah, salahkah kalau pikiranku lari pada hal lainnya, bahwa selain kamar mandi barangkali saja tempat tidur kita pun sudah ditempati oleh Astari!" Air muka Mas Totok berubah demi mendengar kate-kata tajam yang baru sekali itu u , kepadanya. Aku sendiri pun kaget beranianku berkata seperti itu , belum pernah aku sekasar itu terhadapnya. Bahkan belum Pernah kepada orang Jain. Aku harus rninta maaf karenanya. tetapi sebelum aku sempat meralatnya, tiba2 jam antik milik leluhurku berbunyi Sebelas kali banyaknya. Seolah^2 mengingatkan padaku, bahwa aku sudah „^ ° pe* -bang batas kelayakT terialuan. Jadi perlu dihentikan, Perlahan-lahan namun pasti, kereta api Argo Gede mulai bergerak meninggalkan Stasiun Gambir menuju ke Bandung. Tanganku me-lambai-lambai ke arah Mas Totok yang berdiri di peron sampai sosok tubuh lelaki itu meng-hilang dari pandang mataku. Peristiwa yang terjadi satu setengah bulan lebih yang lalu, terulang kembali. Bedanya, perpisahan itu tidak membuat mataku menjadi panas dan tidak kabur terisi air
www.ac-zzz.tk mata seperti yang terjadi waktu itu. Setelah beberapa saat lamanya kereta api ber-jalan, tubuhku kusandarkan. Dan pandang mataku kulayangkan keluar jendela, memperhatikan segala hal di luar kereta yang tertangkap oleh mataku. Stasiun Cikini, Bioskop Metropole, per-empatan jalan antara Jalan Diponegoro, Jalan Cikini, dan Jalan Proklamasi yang agak menye-rong. Lalu toko-toko, rumah-rumah penduduk, dan seterusnya. Namun pemandangan itu semakin lama semakin tampak remang dengan berlalunya cuaca petang menjadi malam. Maka perhatian dan pikiranku pun kembali ke seputar peristiwa 1 yang kualami tadi siang. Tadi wajah Mas Totok tampak mendung sekali I ketika mendengar perkataanku yang kasar dan bemada tuduhan itu. Lepas apakah perkataanku • im salah atau benar, aku tahu betul Mas Totok sangat tidak menyukai bicaraku itu. Tetapi dia tidak berkata apa-apa. Namun aku tahu juga, ia telah dengan susah-payah berusaha agar pem-bicaraan yang tak menyenangkan itu jangan sampai berlanjut Telah kulihat dengan jelas tadi, pelipisnya bergerak-gerak menahan emosi. Demikian juga ketika aku menelepon per-usahaan taksi agar mengirim taksi untukku, Mas Totok tidak senang. Direbutnya gagang telepon yang sedang kupegang itu dan dengan suara tegas ia mengatakan kepada petugas di sana bahwa pesanan taksi itu tidak jadi. "Ada aku di sini kok mau pergi dengan taksi!" begitu dia menggerutu. Akibataya, terpaksalah aku membiarkan lelaki itu mengantarkanku sampai ke Stasiun Gambir meskipun kami berdua sedang berada dalam suasana yang tak menyenangkan. Sejak siang tadi aku melontarkan kata-kata provokatif tentang kemungkinan Astari juga memakai tempat tidur-ku, sikap Mas Totok tampak tegang. Celakapya aku tidak tahu persis ketegangan itu disebabkan oleh yang mana di antara dua kemungkinan yang masuk ke dalam pikiranku. Pertama, apa yang kukatakan kepadanya itu memang benar dan Mas Totok merasa malu dan tertekan karena-nya. Dan kemungkinan kedua, Mas Totok merasa tersinggung karena kata-kataku itu tidak benar. Tetapi lepas dari itu, Mas Totok tahu persis bahwa suasana tegang begini akan kupergunakan sebagai bahan pertimbangan dan alasan untuk tidak pulang ke Jakarta pada minggu-minggu berikutnya. Tadi dengan terus-terang ia menying-gung masalah itu ketika kami sedang berada dalam perjalanan menuju ke Stasiun Gambir.
www.ac-zzz.tk "Sebaiknya kau secara rutin pulang ke Jakarta kalau kesempatannya ada!" begitu dia berkata dengan sikap dingin tetapi langsung pada per-soalannya. Bahkan kudengar nada desakan dalam kata-katanya itu. “Untuk apa? Kau tahu betul kan, Mas, aku paling tidak sukar menjadi batu sandungan!" Aku yakin, dia pasti tahu apa yang kumaksud dengan batu sandungan itu. "Tetapi aku suka!" "Suka apa?" "Suka melihatmu jadi batu sandungan!" Aku menoleh dan memandang sisi wajahnya. Tetapi tak kutemukan sesuatu yang berarti, ke-cuali sikap dinginnya itu. Entah apa maksud perkataannya itu, aku tak tahu. Baru kemudian secara tiba-tiba suatu pikiran melintasi otakku. "Hm, rupanya keberadaanku bisa menjadi tali pengikat kakirnu untuk tidak lagi melangkahi ' pagar dan aturan main yang telah kita sepakati, | ya?" sindirku, dipacu pikiran itu. "Bagimu, aku ini memiliki fungsi tertentu." "Terserah apa katamu sajalah!" Mas Totok menjawab perkataanku dengan suara dingin. Nada suaranya terdengar berteka-teki. Aku menjadi jegkel karena tak mampu mengo-rek apa isi dada lelaki itu. – "Semula, aku mengira keinginanmu agar aku sering pulang itu karena kesadaran moralmu. Ternyata, aku ini cuma bermngsi sebagai rambu-rambu lalu lintas saja. Kalau rambunya hilang, kendaraan boleh seenaknya' sendiri melanggar aturan. Tetapi yah, aku memaklumimu dirimu kok, Mas. Godaan itu memang terlalu besar." Aku terus mengoceh tanpa peduli bagaimana rahang Mas Totok bergerak-gerak menahan emosinya. "Asal kau ingat saja, Mas, jangan nodai kehormatan tempat tidurku. Carilah tempat lain saja kalau godaan itu tak tertahankan lagi!" Rasa sesal yang mengganggu perasaanku ketika tadi siang melontarkan kata-kata semacam itu, menghilang entah ke mana. Perkataan yang sama kuulangi lagi tanpa merasa bersalah. Tetapi juga seperti tadi siang, Mas Totok tidak mau menanggapinya. Sekarang di dalam kereta api aku mencoba untuk mengkaji ulang apa yang terjadi hari ini. Dan aku beruntung karena kursi di sebelahku jcosong Sehingga aku bisa puas melamun sendirian tanpa terganggu. Para penumpang \ainnya sudah sibuk melakukan upacara basa-basi
www.ac-zzz.tk dengan teman seperjalanan yang baru dikenalnya. Berada sendirian begini, baru kusadari betapa tajamnya mulutku sekarang. Entah Mas Totok juga sadar akan hal itu entah tidak, yang jelas perkataanku hari ini telah membuat wajahnya menjadi merah padam dan murung. Menjengkel-kan juga rupanya aku ini. Bahkan keteiialuan. Lelaki lain mungkin sudah menampar mulutku. Pikiranku tentang Mas Totok terhenti. Pegawai kereta api yang membagikan dus berisi kue dan air mineral kepada para penumpang sudah sampai di sisi tempat dudukku. Begitu menerimanya, : aku langsung menghabiskan minumannya tanpa J tersisa setetes pun. Tetapi sebagai akibataya, tak lama kemudian aku ingin buang air kecil. Sungguh mati, tak pemah aku menyangka sedikit pun bahwa sesuatu yang dahsyat akan kualami di dalam kereta api itu. Sebab setelah aku keluar dari kamar kecil ketika menuju ke I tempat dudukku kembali, namaku dipanggil secara tiba-tiba oleh seseorang yang suaranya amat kukenal. Serta merta aku menoleh ke arah asal suara panggilan itu, ingin tahu apakah telingaku tidak salah dengar. Tetapi begitu melihat siapa orang yang menyebut namaku itu, detak jantung-ku pun seperti berhenti mendadak. Kulihat kembali wajah Victor, bekas kekasihku delapan tahun yang lalu. Lelaki itu sedang terheran-heran me. natapku. "Siska? Betul-betul kaukah ini?" Lelaki itu menyapaku lagi. "Victor...," bisikku nyaris tak percaya pada penglihatanku sendiri. Sama seperti ketidakpercayaan yang tersirat dari pandangannya. Tetapi mendengar namanya kusebut, yakinlah lelaki itu bahwa memang akulah yang ia jumpai di kereta api ini. "Aduh, Siska, apa kabar?" Dengan gembira lelaki ito mengguncang-guncang tanganku. "Rasa-nya sudah berada-abad lamanya kita tidak berjum-pa. Kau tampak semakin cantik saja. Luar biasa." "Hush," aku tersipu. "Kau pergi dengan siapa, Victor?" "Sendirian. Kau?" "Juga sendirian. Ayo mengobrol di tempitku saja," kataku. Tak enak menjadi perhatian orang di sekitar kami. 'Tempat duduk di sebelahku kebetulan kosong." "Oke. Dengan sangat senang hati!"
www.ac-zzz.tk Lelaki itu langsung berdiri, mengekor di belakangku. Dan langsung mengempaskan tubuhnya di kursi kosong sebelahku. Victor tampak semakin matang saja kulihat. Tubuhnya lebih gagah daripada yang kuingat. Dan wajahnya aduhai. Sekarang kumisnya semakin tebal. Lalu pakaiannya tampak begitu rapi dan jelas terbuat dari bahan-bahan yang beTkualvtas. Juga sepatunya. Pendek kata baru selintas melihatnya saja pun aku tahu bahwa Victor menampilkan sosok eksekutif muda di dunia usaha yang berhasil. "Ke Bandung dalam rangka apa, Siska? Dan kenapa sendirian?" Lelaki itu bertanya, menyingkirkan pikiranku tentang dia. "Sudah hampir dua bulan lamanya aku ber-tugas di Bandung, Victor. Hari ini aku akan kembali ke tempat tugas sesudah berakhir minggu di Jakarta." "Untuk berapa lama tugas itu?" "Untuk waktu yang belum diketahui, Victor." "Itu artinya kau meninggalkan keluargamu di Jakarta." "Ya." "Suamimu tidak merasa keberatan?" "Tidak." "Anak-anakmu?" "Aku belum mempunyai anak." Malas aku menempati posisi sebagai yang ditanya. Karena-nya aku mengubah posisiku, ganti menjadi penanya. "Kau sendiri dalam rangka apa pergi I ke Bandung, Victor?" I "Biasa, urusan bisnisku." "Sering kau pergi dengan kereta api?" "Ya, beberapa kali. Tetapi lebih sering aku naik mobil." "Kelihatannya kau tampak sukses sebagai pengusaha yang hebat!" "Melanjutkaa usaha yang sudah dirintis oleh kakek dan ayahku apa sih sulitnya?" Victor merendah. Senyum manisnya masih saja mampu menawan hatiku. "Istrimu tidak kau ajak serta?" 'Tidak"
www.ac-zzz.tk Dari gerak mulutnya aku tahu dia . tidak suka membicarakan istrinya. "Sudah berapa orang anakmu, Victor?" Aku mengubah bahan pembicaraan. "Baru satu. Umurnya dua tahun lebih." "Wah, sedang lucu-lucunya itu." "Ya, memang. Kenapa kau belum mempunyai anak, Siska? Demi mempertahankan karier, ya?" 'Tidak. Kami memang belum dipercaya Tuhan untuk merawat anak." "Sudah ke dokter?" "Tidak." Sambil menjawab seperti itu, aku menoleh dan menatap mata Victor dengan penuh harap. "Victor, maukah kau kalau dalam per-jumpaan yang pertama ini, kita tidak membicarakan hal-hal semacam itu?" "Oke." Victor meraih telapak tanganku dan menepuk-nepuk kmbut punggung telapak tanganku dengan sikap penuh pengertian. Rasanya aku menangkap pemahamannya, bahwa ada yang timpang dalam kehidupan perkawinanku. Tetapi ia tak mau menanyakannya sekarang. Dengan cepat ia mengubah isi pembicaraan. "Di Bandung kau tinggai di maaa^Siska?" Kusebutkan aJamatku dengan senang hati. Lalu percakapan kami pun semakin lancar dan semakin beragam. Menyenangkan sekali, sampai-sampai perjalanan selama dua setengah jam lebih itu tidak terasa. Tahu-tahu saja kereta api sudah tiba di tempat. Victor kembali ke tempat semula untuk mengambil bawaannya. Setelah itu tas pakaianku yang sudah kuturunkan, diangkatnya. Tentu saja aku melarangnya. "Aku bisa membawanya sendiri, Victor. Tidak berat kok." 'Tenang-tenang sajalah, Siska. Ayo kita ke-luar." Victor tetap menjinjing kopor pakaianku sampai benda itu tiba di lantai peron. Sekarang aku bisa menarik kopor beroda itu dengan bebas. Di serambi stasiun, seorang lelaki setengah baya datang tergopoh mendekati kami dan langsung mengambil alih semua bawaan Victor. "Selamat datang di Bandung, Pak Victor." Lelaki itu menyapa Victor dengan sopan. 'Terima kasih, Pak Amat. Di mana mobilnya?" "Itu, Pak, di dekat pintu. Kebetulan saya mendapat tempat parkir yang enak."
www.ac-zzz.tk "Tolong bawaan Ibu ini juga dimasukkan ke bagasi mobil kita ya, Pak Amat," "Baik, Pak." Di depan orang, aku tidak mau memprotes pengaturannya itu. Tetapi ketika Pak Amatsedang sibuk dengan pekerjaannya, hal itu kukatakan denean terus-terang. "Seharusnya kau menanyakan kesediaanku lebih dulu, Victor." "Aku yakin, tak ada yang menjemputmu di stasiun. Ya, kan?" "Ya." "Kalau begitu, biarkanlan aku dengan ke inginanku untuk mengantarkanmu pulang. Jadi, Siska, jangan sungkan-sungkan kepadaku sealah kita ini hanya berteman biasa saja. Apa pun yang terjadi di antara kita berdua saat ini, dan meskipun barangkali aku sudah tidak ada di hatimu lagi, kau masih tetap menjadi orang istimewa bagiku." "Victor...." "Ini suatu kenyataan, Siska. Jangan kau bantah. Oke?" Aku terdiam. Apalagi Pak Amat datang me-lapor bahwa kami sudah bisa masuk mobil. Tetapi ketika kami sudah ada di dalam mobil dan Pak Amat menutupkan pintunya, aku mulai protes lagi. "Istrimu pasti tersinggung kalau dia mendengar perkataanmu tadi," kataku berbisik. Takut di-dengar Pak Amat. "Ya. Tetapi dia tidak mendengar, kan?" Victor . tersenyum menggoda. "Tetapi suatu ketika nanti dia pasti tahu bahwa aku pemah ikut mobilmu." "Sis, mobil ini mobil perusahaaite Orang hanya tahu, siapa pun yang ada bersamaku selama di Bandung, dia pastilah memiliki kaitan dengan urosan bisnisku. Jadi tolong, jangan mempersoal-kan hal-hal yang tidak perlu. Oke?" Aku tersenyum, kemudian menganggukkan kepalaku. "Kau sering ke Bandung, Victor?" tanyaku kemudian ketika mobil mulai berjalan meninggalkan halaman stasiun. "Ya. Di sini perusahaan kami mempunyai cabang." "Berapa lama kau akan tinggai di sini?" "Paling lama satu minggu." Victor menatapku. "Siska, aku minta kartu namamu."
www.ac-zzz.tk Kuturuti permintaannya. Kuberikan kartu namaku yang terbaru. Di situ tercetak namaku sendiri, gelarku, dan jabatanku. Selain alamat dan nomor telepon nimahku yang di Jakarta, juga tertulis alamat tempat tinggalku yang sekarang berikut teleponnya. Bahkan juga tercatat nomor telepon genggarnku. Victor membacanya sejenak dengan bantuan senter mini yang ia ambil dari dalam sakunya. Kemudian tertawa kecil. "Wah, dengan kartu namamu ini orang bisa melacakmu secara mudah," katanya. Kemudian sebagai gantinya, dia mengeluarkan kartu nama-nya yang langsung diberikannya kepadaku. "Siapa tahu ini ada gunanya." "Pasti ada gunanya, Victor." Aku tersenyum. "Paling sedikit, supaya jangan hanya keberadaan-ku saja yang bisa dilaeak orang." Victor tertawa lagi. Tetapi Pak Amat me mutuskan perhatian kami dengan pertanyaannya *Kita ke mana dulu, Pak Victor?" tanyanya. "Mengantar Ibu ini dulu," sahut Victor sambil menyebutkan alamatku. "Baru ke rumah." "Baik, Pak." "Kau punya rumah di sini?" "Hanya rumah milik perusahaan. Semacam guest house," jawab Victor lembut. Kemudian meianjutkannya dengan berbisik di sisi telingaku. "Kau boleh menginap di sana kalau kau suka. Tempatnya enak." "Victor..." "Aku serius, Siska" "Itu tidak pantas, Victor!" Aku ganti berbisik di sisi telinganya. "Cuma menginap saja kok tidak pantas sib. Aku kan tidak ikut tidur di kamarmu/" Victor berbisik lagi sambil menyeringai. "Hush!" "Kecuali kalau kau menginginkannya" Victor menyeringai lagi. "Victor.'" "Adam-main, Siska!" Untuk ke sekian kalinya Victor menyeringai. "Cuma guyonan saja."
www.ac-zzz.tk Tak pelak lagi, kehadiran Victor yang tiba-tiba memasuki kembali kehidupanku itu memberi keceriaan dalam hatiku. Victor orang yang sangat terbuka, periang, humoris, dan menyenangkan. Berbeda dengan Mas Totok yang pembawaannva tenang dan serius. Selama di Bandung, setiap hari dia menjemputku dari tempatku bekerja. Dari sana selalu saja ada acara buat kami berdua. Jalan-jalan, makan bersama, menikmati musik di bagian restoran sebuah hotel, dan lain sebagainya. Aku merasa seperti berada di masa gadisku kembali. Kemanisan demi kemanisan kureguk dan kunikmati. Seperti dulu juga. Seperti masa-masa sebelum aku diarahkan oleh kedua orang-tuaku untuk menikah dengan Mas Totok. Namun meskipun sudah sejauh itu pergaulan kami berdua, sekali pun tak pemah Victor melaku-kan perbuatan yang bisa digolongkan pada ke-mesraan berbau cinta. Namun kami berdua sama* sama tahu bahwa kehadiran masing-masing telah mengembalikan kemanisan masa lalu kami. Harir hari yang berlalu menjadi indah sekali rasanya. Tetapi sayangnya, belakangan ini ada sesuatu yang mulai mengganggu dunia batinku. Tatkala hatiku sedang melambung ke dunia percintaan dan melayang-layang dalam keindahannya, jauh di lubuk batinku yang terdalam sering terdengar bisikan lembut namun sangat mengguncang ke-damaian hatiku. Bisikan itu seperti suara Mas Totok. Isinya mengingatkan diriku kepada realitas yang ada. Bahwa aku masih menjadi istrinya. Bahwa aku tak boleh melanggar kesepakatan bersama kami. Dan tidak boleh pula sembarangan melanggar aturan main kami. Acap kali ketika sedang terbaring sendirian di r fkamarku di Bandung, aku bertanya-tanya sendiri mengapa perjumpaanku dengan Victor ini harus kualami. Apakah itu ada kaitannya dengan merenggangnya bubunganku dengan Mas Totok? Artinya, apakah Tuhan telah mengatur segala sesuatunya agar aku lebih mampu menentukan sikap? Bukankah selama ini aku sering merasa gamang karena kebilangan orientasi ke arah masa depanku? Apalagi kalau hatiku sedang kesal-kesalnya kepada Mas Totok maupun kepada Astari. Mau apa mereka itu? Kalau mau menikah, kenapa Mas Totok tidak segera mengatakannya kepadaku? Dia toh tahu betul bahwa aku pasti akan menyingkir dari kehidupannya tanpa banyak komentar. Hatiku ikhlas untuk itu. Tetapi kalau Mas Totok tidak ingin menikah dengan Astari entah apa pun aiasannya asalkan ttU tidak karena diriku, kenapa kehidupan per-kawinan kami ini dijadikan seperti panggung sandiwara? Dan lalu aku sebagai pemain utama-nya tak pemah diberi kesempatan untuk tampil. Mereka berdua sajalah yang bermain. Secara rutin keduanya sering bertemu.
www.ac-zzz.tk Secara rutin pula mereka berdua menguntai acara demi acara bersama kedua anak Astari. Dan aku membiarkannya seperti seorang ibu membiarkan anaknya yang nakal bermain-main api. Padahal, aku ini seorang manusia yang masih punya harga diri, sama seperti orang kin. Padahal ila aku toh masih istii Mas Totok yang diniltahinya secara sah dan tanpa paksaan, meski juga bukan atas dasar keinginan kami yang sebenamya. Tetapi Astari telah memperlakukan diriku seolah aku ini tidak berhak atas diri Mas Totok. Bahkan dengan seenaknya sendiri dia telah melangkahi apa yang menjadi hak-hakku. Perhatian Mas Totok. Waktu Mas Totok yang tersita olehnya. Dan bahkan kemudian juga rumah di mana aku tinggai di dalamnya. Seenaknya saja dia berkeliaran justru di saat aku sedang tidak ada di rumah. Aku merasa kepalaku seperti diinjak-injak. Tetapi yang aneh, aku membiarkannya. Dan bahkan meskipun hatiku sudah tidak kuat lagi bertahan dalam situasi dan kondisi seperti itu, aku tidak segera mengambil sikap yang tegas. Bisaku cuma bertanya-tanya sendiri di dalam hati, sampai kapan keadaan seperti itu harus kujalani. Sampai kapan pula situasi yang menekan perasaan ini berakhir. Tetapi .sekarang Victor telah hadir kembali dalam kehidupanku. Jelas sekali lelaki itu ber-harap aku mau menguntai kembali hubungan kami yang terputus itu. Setiap bertemu denganku, kulihat bola matanya berpijar dan mulutnya ber-lekuk mesra. Apakah, itu semua merupakan ja-waban dari pertanyaan batinku itu? Bahwa sekarang inilah saatnya aku keluar dari kemelut rumah tanggaku bersama Mas Totok. Tetapi kalau memang demikian, lalu bagaimana dengan istri Victor? Tidakkah aku sama saja ?seperti Astari di dalam kehidupan perkawinan B|l Victor? Padahal terbadap Astari, sedikit pun aku tidak mempunyai respek. Sebab kalau aku mau bersikap jujur, perempuan itu tidaklah sepadan dengan segala kebaikan dan kelebihan Mas Totok. Tetapi tidak. Aku tak mau mengatakan apa-apa mengenai hal itu. Sebab aku tahu betul, cinta itu buta. Karenanya kalau aku disamakan dengan Astari, pastilah seluruh dunia batinku jelas-jelas akan menentang dan menolaknya. Aku bukan Astari kedua. Aku tak bermaksud memonopoli Victor. Dan jelas sekali pula aku tidak akan menerjang garis-garis batas yang tak boleh kulewati maupun melanggar apa-apa yang bukan hakku. Tetapi,.ya Tuhan, bukankah aku telah mengam-biJ kembali cinta Victor? Bukankah lelaki itu begitu berbahagia bertemu kembali denganku? Dan bukankah pula aku telah membiarkan itu semua terjadi, bahkan mau diajak dia pergi ke mana pun yang ia inginkan? Bagaimana kalau istii Victor mengetahuinya? Dadaku menjadi sesak. Temyata, ini
www.ac-zzz.tk bukanlah jawaban dari pertanyaan batinku ten tang sampai kapan masalah yang terjadi dalam kehidupan perkawinanku dengan Mas Totok berakhir. Sebab temyata pula perjumpaanku dengan Victor kembali bukanlah jawabannya. Tetapi, justru me-nambah pertanyaan baru yang sama rumitnya. Yah, mau melangkah ke manakah kakiku ini? Hari ini sudah hari Minggu lagi. Hari terakhir Victor berada di Bandung. Betapa cepatnya waktu berlalu. Malam nanti dia akan kembali ke Jakarta naik mobil dengan sopirnya. Tetapi pagi ini ia membawa mobilnya sendiri tanpa sopir seperti biasanya kalau sedang bersamaku. Dia mengajakku jalan-jalan ke Lembang. Kami berangkat pagi-pagi sekali agar cukup banyak memiliki waktu yang masih tersisa. "Kita akan ke mana, Victor?" tanyaku di dalam perjalanan. "Perusahaan kami mempunyai tempat per-istirahatan di Lembang, Sis. Aku ingin mengajakmu ke sana untuk melihat pemandangan yang indah dari sana. Tentu saja sambil makan masakan yang lezat!" Dia menoleh ke arahku, kemudian tersenyum manis. "Apakah rencana itu cukup menarik bagimu?" "Sangat menarik. Tetapi apa nanti kata pegawai-pegawaimu di sana?" "Mereka tidak akan mengatakan apa pun. Sebab tempat itu juga terbuka untuk umum. Ada restorannya yang cukup laris. Masakan-masakannya banyak disukai oleh penggemar dan Bandung dan sekitamya." Victor menjamin "ke-amanannya". "Lagi puia, para pimpinan per-usahaan sering mengundang relasi untuk makan di situ bahkan juga membicarakan urusan bisnis." "Jadi sebagai salah seorang pimpinan, kau juga sering menjamu orang di tempat itu," kataku. "Ya. Dan percayalah, makanannya benar-benar fezat. Kami mempunyai beberapa koki istimewa." "Pasti gajinya besar," aku tersenyum. 'Tepat sekah'.'" Victor tertawa. "Pokoknya se-banding dengan apa yang terhidang di meja. Lihat saja, nanti.'"
www.ac-zzz.tk Victor benar. Restoran itu laris. Kulihat tamu-nya banyak. Dan makanannya memang sangat lezat. Apalagi sup kepitingnya. Makanan penutup-nya juga menggoyang lidah. Victor sendiri yang memilihkan masakan-masakan andalan restorannya itu. Dan kemudian setelah kami selesai menikmati makanan yang lezat itu, ia mengajakku beristirahat di bagian dalam hotelnya. Tempat itu merupakan suatu ruang besar yang menghadap ke arah lembah yang subur dan bukit-bukit menghijau di sekitar tempat itu. Ruangannya berbentuk setengah lingkaran dan seluruh jendelanya yang menghadap ke lembah dan buJdt-baidt itu dibuat dari kaca lebarlebar sehingga memberi keleluasan untuk menikmati pemandangan. Di muka jendela itulah aku lamai berdiri di situ, menangkap seluruh pemandangan indah yang terbentang di hadapanku itu sepuas hatiku. Kalau saja aku bisa melukis, ingin sekali pemandangan itu kupindahkan ke atas kanvas. Aku benar-benar terpukau dan bam menoleh ke belakang ketika mendengar suara Victor meng-ucapkan terima kasih kepada seseorang. Kulihat seorang pegawai membawa dua cang-kir minuman hangat dan dua piling makanan. Sepiring berisi kue basah dan sepiring lainnya berisi buah jeruk yang langsung diletakkannya di atas meja. "Duduklah bersamaku di sini, Siska!" Victor mengajakku duduk setelah pegawainya pergi dan menutup pintu ruang itu kembali. "Dari sini, kita juga bisa melihat pemandangan indah." Aku mengiyakan. Kami berdua duduk bersisian di kursi panjang. "Kau senang?" tanyanya. "Ya." "Karena pemandangannya yang indah dan makanannya yang lezat?" "Ya." "Bukan. karena kehadiranku di sisimu?" Ada nada nakal dalam suaranya. "Itu juga," aku terpaksa mengakui apa yang memang kurasakan.
www.ac-zzz.tk Victor tersenyum, Tangannya terangkat, kemudian hinggap di bahuku. Ia memelukku. Setelah
perpisahan kami lima tahun lalu, inilah ke-mesraan pertama yang ia berikan
kepadaku. Jan-tungku mulai tak teratur detakannya. "Sis, bolehkah aku mengatakan sesuatu ke-padamu?" tanyanya kemudian. "Katakanlah, Victor." "Siska, aku masih mencintaimu. Amat sangat...." "Sebaiknya jangan, Victor..." Perasaanku menjadi kacau demi mendengar kata-katahya itu. "Kenapa? Apakah karena aku sudah mempunyai istri dan kau mempunyai suami?" Ia bertanya dengan suara pelan. "Antara lain, ya." 'Tetapi, Sis, aku dapat merasakan bahwa sesungguhnya kau pun masih mencintaiku." tanya Victor lagi. "Benar, bukan?" "Ya...." Percuma saja aku menyangkal. Victor kenal betul perasaanku. "Dan perasaanku juga menangkap bahwa per-kawinanmu dengan Mas Totok tidak bahagia. Apakah aku keliru?" 'Tidak...." Seperti tadi, aku terpaksa mengatakan kebenarannya. Sebab akan percuma saja kalau aku menyembunyikan kenyataan itu. Akhir-nya dia toh pasti tahu juga. Matanya sangat awas. "Aku juga mengalami hal yang sama, Siska." Victor berkata lagi. Sampai hari,m *ku; masih mencintaimu. Dan seperti dirimu, aku juga tidak berbahagia di dalam perkawinanku. Istriku masih sangat muda. Lebih dari dua belas tahun per-bedaan usia kami. Ada banyak hal yang kurang cocok di antara kami berdua. Sikap kekanakan-nya sering membuatku merasa pusing. Seharus-nya waktu itu aku menolak ketika orangtuaku menyodorkan gadis itu..." "Victor, jangan menyesali apa yang sudah terjadi. Sebab waktu tidak berjalan raundurr Aku menyela bicaranya.
www.ac-zzz.tk "Dan kalau kalian mau berusaha, aku yakin pasti ada jalan untuk me-nimbuni perbedaanperbedaan itu. Dan nanti dengan bertambahnya umur istrimu, dia pasti akan menjadi perempuan matang yang bisa men-dampingi hidupmu. Ingat Victor, kau harus meng-ingat keberadaan anak kalian. Sadarilah itu." Aku berkata dengan tulus. Sebab ada perbedaan besar di antara diriku dengan dia. Aku dan Mas Totok tidak mempunyai anak. "Dan kau sendiri bagaimana?" Victor mengelus rambutku. "Bisakah kau bertahan dengan keadaan rumah tanggamu?" "Kuakui, tidak. Beberapa kali aku ingm ber-cerai dari Mas Totok." "Sampai sejauh itu?" "Ya. Bekas kekasihnya mulai memasuki ke-hidupan kami. Kau hhat, persoalanku berbeda dengan persoalanmu. Jadi jangan disamakan." 'Tetapi, Siska, selama satu minggu bersamamu aku benar-benar merasa bahagia. Tetapi juga sekaligus mulai sadar bahwa temyata selama ini kehidupanku benar-benar gersang. Bisnis dan bisnis saja yang menjerat leherku." Victor menge-luh. "Sayangku, maukah kau menjadi kekasihku lagi dan menjadi obor penyemangat hatiku?" Aku terdiam. Keinginan Victor sangat meng-godaku. Terutama karena belakangan ini aku merasa tersia-sia. Tetapi sayangnya bisikan suara hatiku yang melintas tadi, muncul kembali. Dan mengingatkan diriku. untuk tidak melanggar ke-sepakatanku bersama Mas Totok, yaitu melanggar aturan main. "Bagaimana, Siska?" Victor bertanya lagi. "Kalau kita memang benar-benar masih saling mencintai, kurasa menjalin kembali hubungan percintaan kite seperti sepasang kekasih hanya akan mengurangi nilai perasaan itu sendiri, Victor. Sekarang ini kita bukan lagi sepasang gadis dan pemuda seperti dulu. Jadi sebaiknya perasaan kasih itu tidak perlu dimanifestasikan." Suara hatiku memenangkan pertarungan. "Akan jauh lebih indah kalau itu tetap disimpan di hati kita masing-masing." Victor tidak menjawab. Sebagai gantinya, tiba-tiba ia meraih kepalaku dan mencium bibirku. Aku gelagapan, tidak mengira akan mendapat perlakuan semesra itu darinya. Tetapi -temyata seperti dulu, dia masih saja mampu membuatku jadi bergairah.
www.ac-zzz.tk Kubalas ciumannya yang mesra itu dengan sepenuh hasratku. Tetapi sedang aku joehryanglayang dalam keindahan itu, tiba-tiba Victor melepaskan wajahku. "Siska, masihkah kau bersikukuh memegang kata-katamu tadi bahwa cinta kita tak perlu dimanifestasikan?" tanyanya di sisi telingaku. "Lihatlah kenyataannyal" "Victor...," sahutku pelan. Pipiku terasa hangat. "Aku ini hanya manusia biasa dengan segala kelemahannya." "Maksudmu...?" "Ada baiknya kalau kita sama-sama merenung-kan cinta kita ini dengan pikiran yang lebih jemih. Sebab masalah ini bukan hanya me-nyangkut perasaan kita berdua saja, tetapi juga menyangkut perasaan keluarga kita masing-masing. Jadi, Victor, jangan gegabah. Dulu saja pun kita tak bisa bersatu. Apalagi sekarang ketika jalan hidup kita sudah semakin jauh jaraknya..." Victor mengiyakan meski aku tahu "pehg-iyaan" itu cuma di permukaan saja. Tidak sampai ke dalam hatinya. Aku tahu, ia memang mem-butuhkan penyemangat hidup. Tetapi keberadaan diriku tidaklah hanya sekadar menjadi penye-mangat saja, bukan? Namun untuk lebih dari itu adaiah sesuatu yang mustahil. Apalagi karena salah satu dari prinsip hidupku mengatakan untuk tidak pemah membiarkan diriku menjadi batu sandungan bagi siapa pun. Teratama kalau itu menyangkut perasaan. Maka aku tak boleh mencuil perasaan istri Victor. Aku juga harus mampu bertahan untuk tidak membiarkan diriku menjadi orang ketiga daiam wadah percintaan orang. Pendek kata apa pun juga alasannya, prinsip itu harus tetap ku-pegang. Demi menyamakan dengan hati nuraniku. Dan demi martabatku sendiri. Akhir minggu berikutnya, Victor datang lagi ke Bandung. Karena ajakan pergi lelaki itu tidak untuk bermesraan, maka kululuskan ajakannya untuk sedikit refreshing seperti biasanya. Kami nonton film dan makan di restoran. Tetapi, bukan karena hal itu maka aku tidak pulang ke Jakarta. Sebab seperti yang sudah kukatakan, aku tak mau menjadi batu sandungan bagi siapa pun, termasuk istri Victor. Maka aku juga tak mau menjadi bam penghalang bagi Mas Totok untuk mencari kebahagiaannya bersama Astari. Kalau aku berakhir pekan ke Jakarta, boleh jadi Mas Totok akan merasa sungkan untuk pergi terus-menerus sepanjang akhir minggu itu. Dan itu artinya, aku telah mencuil kebahagiaan hati orang. Bahkan menjadi batu
www.ac-zzz.tk sandungan. Jadi begitulah yang terjadi. Berrninggu-minggu lamanya setelah itu aku masih tetap belum mau pulang ke Jakarta, meskipun Mas Totok berulang kali menyinggung masalah itu. Tetapi kemudian setelah enam minggu aku tidak juga pulang, tiba-tiba pada suatu hari Jumat petang Mas Totok datang menjemputlcu ke Bandung. Tanpa memI beritahu lebih dulu sebelumnya. Memang, libur akhir pekan ketika itu lebih panjang daripada biasanya. Sebab hari Senin-nya adaiah hari libur nasional. Ketika Mas Totok datang, aku sedang mengo-reksi hasil testing murid-muridku. Kedatangannya yang tiba-tiba itu sama sekali tidak kuduga. Sebab sangkaku, ia sedang merencanakan libur akhir pekan yang agak panjang itu bersama Astari. Seperti yang pemah terjadi, mereka pergi menginap ke Puncak atas undangan adik Astari yang merayakan ulang tahun di rumah per-isthahatannya. Jadi begitu mendengar kedatangan Mas Totok menjelang malam itu, aku merasa heran. "Suamiku datang, Mbak?" tanyaku kepada Mbak Tina, nyaris tak percaya perempuan itu yang mengabariku bahwa di luar, mobil Mas Totok sedang memasuki halaman. Dia sedang duduk-duduk di teras sendirian. Dewi mempunyai tugas mengajar malam ini. "Ya. Kangen, dia!" Mbak Tina tertawa. "Kau sih tak pernah pulang." "Aku sibuk. Dia juga sibuk," aku tersenyum, bersikap seolah perkawinanku berjalan normal. "Sekarang, baru kangen dia." "Sudah, hentikan dulu pekerjaanmu!" Mbak Tina tertawa lagi sambil menyingkir ke" dalam kamamya. "Sambutlah suamimu sana!" Aku hanya tertawa saja. Tetapi kuturuti juga sarannya, irienyambut kedatangan Mas Totok di depan. Tetapi kusuruh lelaki itu langsung masuk ke kamarku. 'Tumben, Mas?" sapaku setelah melihatnya duduk di kursi dekat jendela. "Aku datang untuk menjemputmu, Siska. Ada undangan dari atasanku. Anak pertamanya akan menikah!" katanya menjelaskan. "Lucu kalau aku datang sendirian." "Oh, ya. Aku sering lupa kalau fungsi utama seorang istri adaiah menjadi pendamping yang harus siap sewaktu-waktu!"
www.ac-zzz.tk "Jangan menyindir, Siska. Kau pasti tahu dari pengalaman kita hidup bersama selama ini, bagiku seorang istri bukan hanya sekadar pen-damping." Suaranya yang terdengar bersungguh-sungguh melunakkan hatiku. Tetapi untuk kali ini, iya kan? Nyatanya, jauh-jauh kau datang dari Jakarta hanya dengan tujuan untuk mencari pendamping!" Aku mulai mengoceh. "Dan karena menurut kata hati nurani-mu pendamping yang paling ideal adaiah istrimu sendiri, maka kau datang menjemputku.... Sebab kalau tidak, pasti kau lebih suka pergi dengan Mbak Astari yang lebih sepadan denganmu." 'Tetapi yang jelas, aku datang jauh-jauh dari Jakarta tidak untuk mendengarkan pidatomu yang indah itu!" Mas Totok menggerutu. "Baik, kau datang jauh-jauh ke sini tidak untuk mendengar ocehanku!" aku menyeringai. "Tetapi sebagai seorang subyek, aku boleh me-nentukan pendapatku sendiri atas pennmtaanmu agar aku mendampingimu dalam pesta pemikahan itu, kan?" "Ya, tentu saja." "Nah kalau begitu, akan kukatakan jawabanku. Dengan amat menyesal, aku tidak bisa ikut pulang bersamamu ke Bandung. Kau lihat kan, Mas, waktu kau datang tadi aku sedang sibuksibuknya mengoreksi pekerjaan para peserta kur-sus. Kalau aku pulang ke Jakarta, maka tugasku ini tak bisa kuselesaikan pada waktunya. Jelas sekali kan alasanku?" "Jelas sekali, Siska. Sejelas aku melihat bahwa apa yang kaukatakan itu cuma sebagai alasan untuk menolakku!" "Bisa-bisanya kau mengarang!" aku ganti menggerutu. "Bisa sekali kalau bahan-bahannya ada. Sebab biarpun disebut suatu karangan, itu semua kan berangkatnya dari realitas yang pemah ada, sedang ada, atau mungkin akan ada. Bukan dari negara antah berantah." Mas Totok menjawab kalem. "Jadi dengan kata lain, berdasarkan apa yang pemah kuketahui darimu dan dari apa yang sedang terjadi di antara kita berdua, aku tahu bahwa betapapun banyaknya pekerjaanmu, sebenarnya bisa saja kau tinggai atau kau tunda dulu. Itu, kalau kau mau"<-'-.. Mas Totok benar. Aku menjadi tersipu karenanya. Tetapi dengan cepat aku berusaha untuk dapat menang di atas angin.
www.ac-zzz.tk "Kalau benar, aku berhak menolak, kan?" 'Itu pasti. Tetapi berikan alasan yang jelas dan benar. Jangan mengada-ada seperti tadi." "Nanti kau marah!" 'Tidak, asalkan itu dilandasi dengan ke-jujuran." "Baik, aku akan menjawab permintaanmu tadi dengan jujur," kuanggukkan kepalaku. "Ke-enggananku ikut bersamamu itu karena aku tidak suka suasana kota Jakarta di akhir pekan. Aku lebih suka tetap tinggai di Bandung yang segala sesuatunya lebih menarik!" 'Tidak suka itu kan ada alasannya." "Apakah aku perlu menjawab padahal kau tahu betul bagaimana suasana akhir pekan di Jakarta bagiku...." "Karena aku tidak bisa sepenuhnya menemani-mu, kan?" Mas Totok menatapku dengan pan-dangan matanya yang tajam menyelidik. Itu' arti-nya, aku tidak bisa menghindar dengan memakai alasan yang tidak diwamai kejujuran. "Ya. Apakah itu-keliru?" Akhimya aku menjawab sesuai dengan kenyataan. "Sebab sejujur-nya saja, siapa sih yaang senang berakhir pekan sendirian saja? Tetapi memang dalam persoalan kita ada sesuatu yang agak lain daripada lainnya. Bagaimanapun juga, aku harus memakluminya." "Lainnya?" Mas Totok memotong perkataanku. "Lainnya begini. Meskipun misalnya aku ingin berakhir pekan dengan ditemani olehmu, tetapi untuk itu kan berarti kau terpaksa harus mem-batalkan atau menunda acaramu dengan Mbak Astari. Maka menurutku akan lebih baik kalau aku memilih berlibur sendirian saja. Sebab aku tidak suka membuat orang merasa bersalah. Tidak suka membuat orang merasa terpaksa. Tidak suka pula membuat orang mengalami perten-tangan batin dalam menentukan pilihan langkah kakinya di antara cinta dan kewajiban!" aku menjawab dengan suara tegas. "Maka itulah, untuk menghindari hal-hal semacam itu aku lebih suka mengisi akhir mingguku di Bandung yang lebih menyenangkan. Dan juga lebih damai." "Aku sangat memahami pandanganmu," Mas Totok menjawab. "Tetapi hari ini aku datang dengan satu tujuan, yaitu khusus mengajakmu pulang untuk berakhir pekan di Jakarta. Sekaligus untuk menghadiri resepsi perkawinan anak Pak Prayoga,
www.ac-zzz.tk atasanku itu. Bersamamu, Siska. Tentu-nya, kau juga ingin memberi selamat kepadanya, kan? Hubungan kita dengan keluarga Pak Prayoga sudah sedemikian baiknya lho." "Kalau aku tidak mau pulang ke Jakarta?" pancingku. Padahal sesungguhnya hatiku sudah tergerak. Bu Prayoga sangat baik kepadaku. Ia menganggapku seperti putrinya sendiri. Berkat dialah aku dulu mampu memasuki perkumpulan para istri karyawan kantor dengan mudah. Padahal waktu itu, aku masih pengantin baru yang sangat pemalu dan canggung. "Kalau kau tidak mau menghadin pesta pernikahan itu, aku juga tidak akan datang ke sana!" Mas Totok menangkap pancinganku. "Aku tidak akan membiarkanmu begitu, Mas. Pak Prayoga bukan hanya atasanmu saja. Dia bisa kita sebut pengganti orangtuamu yang ada di Solo sana. Keterlaluan kalau kau tidak datang ke pesta pernikahan putrinya," tegurku. "Aku hanya mau pergi kalau kau ada di sampingku. Tanpa melihat kehadiranmu, Bu Prayoga pasti merasa kecewa. Dikiranya kau lebih mementingkan hal-hal lainnya. Meskipun pada kenyataannya memang demikian, tetapi ja-nganlah kesan itu begitu kentara. Tengganglah perasaannya," Mas Totok ganti menegurku. Perasaanku mulai tersentuh. Untuk hidup ber-masyarakat dengan talus hati, kita tidak boleh hanya mementingkan perasaan dan urusan sendiri. Memang sebaiknya aku ikut pulang ke Jakarta bersama Mas Totok. Hal-hal lainnya toh bisa ditunda. Acara-acara Mas Totok dengan Astari dan kedua anaknya bisa diundur sampai minggu depan. Dan pekerjaanku bisa ditunda sen^r Z uSiifaL Pukul enam petang lebih malam dar^*™***9 makan ngkat ke Jakarta. Semakin cepat itu kuselesaikan, akan semakin baik. mudah-mudahan sebelum tengah malam kami Ah "tiba di rumah. Dan besok, kami berdua sUda& resepsi perkawinan putri Pak bisa VQl&1 prayoga10 Melihatku melirik arloji, Mas Totok tahu bahwa hatiku sedang mulai tergerak. Ia juga sudah melihat keraguanku untuk menolak ajakannya lagi. "Ayoiah, Siska." Mas Totok semakin gencar membujukku. "Percayalah padaku, selama akhir pekan ini aku sudah mengatakan kepada Astari untuk menunda beberapa acara kami. Dan ke-betulan pula, dia sudah mempunyai acara bersama keiuarga besamya. Dengan begitu, kau tak perlu memikirkan masalah itu. Oke?" "Oke. Tetapi ada syaratnya. Setuju?" Akhirnya aku mengalah.
www.ac-zzz.tk "Asal itu masuk akal, aku setuju." "Ini sangat masuk akal, Mas. Yaitu beri aku waktu untuk melanjutkan pekerjaanku. Aku tak mau kalau aku kembali ke Bandung nanti masih melihat pekerjaan yang tertumpuk di atas meja," jawabku. "Jadi setidaknya, sebagian besar pekerjaanku sudah harus kubereskan hari ini. Bagai-mana, setuju?" "Setuju." Mas Totok tampak gembira mendengar kesediaanku pulang ke Jakarta bersamanya. "Bekerjalah. Aku akan berusaha untuk duduk dengan diam-diam agar tidak mengganggumu bekerja." Aku tersenyum di dalam hatiku. Kulihat, ia mengambil koran terbitan Bandung yang kubeli pagi tadi, kemudian mulai asyik membaca. Aku pun mulai melanjutkan pekerjaanku. Mulamula memang tidak mudah mengumpulkan kembali konsentrasiku yang semula buyar. Apalagi menyadari kehadiran orang lain di kamarku yang semula tak pernah dijamah orang lain itu. Kedua teman serumahku sangat menghargai privacy kami masing-masing. Jarang sekali mereka masuk ke kamarku. Dan untunglah, akhirnya aku bisa juga mengembalikan seluruh pikiran dan perhatianku kepada pekerjaanku. Tetapi sayangnya, baru sepuluh menit berlalu telepon genggamku berbunyi. Padahal di luar, ada telepon biasa yang disediakan kantor untuk-ku. Karenanya aku merasa yakin, telepon itu dari Victor. Sebab tidak banyak yang mengetahui nomor telepon genggamku. Kalaupun ada beberapa yang tahu, mereka lebih suka meng-hubungiku dengan telepon rumah daripada ke telepon genggamku. Sebab selain biayanya lebih tinggi juga mengesankan urusan yang bersi&t pribadi. Mendengar telepon genggamku berbunyi, Mas Totok melirikku. Tanpa melihatnya pun, aku tahu ada pandangan rasa ingin tahu pada lirikan matanya itu. Sebab seperti yang kukatakan tadi, dia juga tahu bahwa hanya orang-orang tertentu sajalah yang menelepon ke telepon genggamku. Apa yang kuduga tadi benar. Telepon itu memang dari Victor. Oia sedang berada dalam perjalanan menuju ke Bandung. "Halo...?" sapaku. "Halo, Cantik. Aku sedang dalam perjalanan menuju ke Bandung," begitu ia langsung berkata ketika mendengar suaraku.
www.ac-zzz.tk "Ada urusan yang hams kuselesaikan di Bandung, Siska. Tetapi untuk malam ini aku hanya akan mengisi waktu-ku bersamamu saja. Maukah kita menginap di Lembang dan makan malam di sana? Lalu besok pagi-pagi sekali akan kuajak kau berjalan-jalan menyusuri lembah di dekat hotel. Ada banyak tanaman dan bunga liar di sana. Pemandangannya secantik dirimu. Tak bosan-bosan mata me-mandanginya.'" "Victor..." aku memutuskan angan-angannya. Tak enak msaoya mendengar betapa banyak ren-cananya sementara aku malam ini akan pulang ke Jakarta bersama Mas Totok. Mendengar nama itu kusebut, Mas Totok yang duduk di dekatku itu melirikku lagi. Bahkan dengan menolehkan kepalanya ke arahku. Keasyikannya membaca koran terhenti. Aku sadar betul, dia tahu nama bekas kekasihku itu. ' Sementara itu, mendengar aku menyela per-kataannya yang belum selesai, Victor tertawa geli. "Kita tidak akan tidur sekamar, Siska. Jangan khawatir!" Kudengar tawanya di antara suara deru mobilnya. "Kecuali, kalau aku tak tahan...." "Victor!" Aku mulai menegurnya. Kudengar, dia tertawa lagi. "Aku cuma bercanda saja, Cantik!" Dia berkata, masih dengan tertawa. "Aku mengerti dan menghargai pandanganmu kok." "Victor, masalahnya bukan hanya itu saja," kataku memutuskan lagi perkataannya. "Tetapi karena aku tidak bisa pergi bersamamu. Malam ini aku harus kembali ke Jakarta. Maafkanlah aku." "Kenapa?" "Ada urusan keluarga. Aku akan dijemput oleh Mas Totok sebentar lagi." Tak kukatakan bahwa orang yang kusebut namanya itu sudah ada di dekatku. Bahkan aku yakin sekali, dia duduk dengan telinga terpasang dan siap me-nguping. "Aduh, sayang sekali. Kecewa berat lho aku. Tetapi aku sungguh berharap rencana ini bisa kita laksanakan di lain waktu. Oke, Sis?" "Kita lihat bagaimana nanti, Victor." "Baiklah. Tetapi izinkanlah aku mengatakan sekali lagi apa yang ada di hatiku ini, Siska." "Apa itu* Victor?"
www.ac-zzz.tk "Aku mencintaimu, Siska. Cup, cup, cup!" Usai berkata seperti itu Victor menggumamkan lagi tawanya yang lembut dan kemudian meng-akhiri pembicaraan kami. Maka kumatikan tele-ponku dan kuletakkan ke atas meja kembali. Saat itu aku baru sadar, Mas Totok sedang menatapku dengan pandangan mata yang aneh. "Victor siapa itu tadi?" tanyanya kemudian. Rupanya, rasa ingin tahunya begitu besar. Mata-nya tak berkedip menatapku. "Victor, pacarku dulu." Aku mengaku. "Jadi kalian menjalin hubungan lagi, rupanya...." Aku tidak ingin menanggapi perkataannya yang lebih merupakan penilaian daripada pertanyaan itu. Mates rasanya. Perhatianku lebih kucurahkan pada pekerjaanku kembali. Melihat itu Mas Totnk juga mulai membaca koran kembali. Tetapi suasananya sudah telanjur kurang enak. Aku tahu sebabnya. Sedikit atau banyak pastilah Mas Totok menganggapku tak lagi ber-sikap jujur. Bertemu kembali dengan Victor, tetapi sepatah kata pun aku tak pemah mencerita-kan hal itu kepadanya. Dan masih ditambah dengan kenyataan selama berminggu-minggu lamanya aku tidak mau pulang ke Jakarta. Bisa saja Mas Totok mengira aku dan Victor sedang menguntai acara di Bandung ini. Meskipun suasananya sudah telanjur tak enak, aku tak mau menjelaskan apa pun kepada Mas Totok. Bahkan beberapa jam kemudian ketika kami berada dalam perjalanan menuju ke Jakarta. Buat apa? Dia toh tidak menanyakannya? Pikir-ku, lama-kelamaan suasana tak enak itu pasti akan mencair juga dengan berlalunya sang waktu. Tetapi temyata suasana tak enak itu justru memuncak setelah kami tiba di rumah. Ketika itu jam antikku baru saja mendentangkan bunyi-nya sebanyak dua belas kali. Saat itu aku sedang mulai membersihkan wajahku setelah mem-bereskan barang-barang bawaanku dari Bandung. Waktu aku sedang mengambil kapas dari stoples plastik kecil di atas meja rias, pandang mataku membentur sebuah lipstick yang bukan milikku tergeletak di atas meja riasku. Dalam kondisi sedang lelah lahir dan batin, melihat lipstick itu membuatku tak mampu me-nguasai diri sebagaimana biasanya. Kemarahanku memuncak. Astari sudah berbuat keterlaluan. Memakai kamarku, memakai meja riasku seenak perutnya sendiri, justru di saat aku sedang tidak ada di rumah. Maka lupalah aku pada ke-sepakatanku dengan Mas Totok untuk samasama bersikap terbuka dan membicarakannya dengan terus-terang kalau ada masalah yang terjadi. Dengan kemarahan yang kuherani sendiri, kutegur Mas Totok.
www.ac-zzz.tk "Sudah berapa puluh kali tempat tidur ini kalian nodai?" semburku tanpa pembuka kata apa pun lebih dulu. "Apa maksud bicaramu?" Mas Totok yang sedang menukar baju, kaget melihat sikap dan suaraku yang penuh kemarahan itu. Dahinya berkerut dalam ketika menoleh ke arahku. "Kau tahu apa yang kumaksudkan. Ini lipstick Astari, kan Kulempar lipstick itu ke arahnya. Belum pemah aku berbuat sekasar itu kepada Mas Totok sebelumnya. Entahlah, setan dari mana yang sedang hinggap di kepalaku itu, aku tak tahu. Lipstick yang kulempar ke arah Mas Totok itu mengenai lengannya, lalu jatuh menggelinding ke lantai. Lelaki itu langsung memungutnya. Kemudian ditelitinya benda itu dengan memutar-mutamya. "Lho, mi bukan lipstick-mu?" tanyanya kemudian dengan penuh rasa ingin tahu. Heran aku, dia tidak marah atas kelakuanku yang kasar itu. Malah bertanya, lagi. "Kau pikir aku tidak kenal barang milikku sendiri?" semburku lagi. "Barang itu pasti ke-tinggalan setelah kalian... kalian... memadu kasih di atas tempat tidurku!" Mendengar perkataanku yang terakhir itu, baru-lah Mas Totok mulai marah. Matanya melebar menatapku. Dan pelipisnya bergerak-gerak. Seperti kemarahanku tadi, Mas Totok juga baru sekali ini memperlihatkan emosinya yang tak bisa dikendalikannya. "Aku tidak segila itu, Siska!" semburnya dengan suara keras. "Aku masih punya kesadaran moral yang cukup tinggi. Seandainya pun aku ingin melakukan itu dengannya, sudah pasti akan kulakukan di tempat lain. Bukan di sini. Apalagi kesempatan untuk itu sangat terbuka lebar kalau aku mau." "Sekian bulan lamanya kalian begitu sering bersama-sama dengan mesra sementara aku berada di tempat jauh, masa iya sih sekali pun kalian tidak pemah melakukan... hubungan intim?" Aku mendengus. Perkataanku sudah semakin tak terkontrol lagi. Dan dia sudah pula memberikan lampu hijau...." "Demi Tuhan, Siska, keinginan seperti itu cuma sekali saja singgah di hatiku, yaitu ketika kami baru-baru saja bertemu lagi." Ia memotong bicaraku dengan membentak. "Dan sekarang, sekali pun keinginan seperti itu tak pemah lagi singgah di hati dan kepalaku!"
www.ac-zzz.tk Aku terkejut. Bukan saja karena melihat ke-marahannya yang begitu telanjang tetapi juga karena isi bicaranya. Aku benar-benar tidak me-nyangka. Tadi begitu menemukan lipstick Astari, pikiranku langsung saja lari ke sana. Terbayang olehku bagaimana Mas Totok memesrai Astari, menciuminya dengan ciuman bertubi-tubi sampai lipstick-di bibir perempuan itu pudar. Dan setelah kemesraan itu berlalu, perempuan itu pun me-nyisir rambutnya yang berantakan dan memulasi bibimya dengan lipstick yang ketinggalan di atas meja riasku itu. Dan sebenarnya, itulah yang membuatku kehiJangan kontrol tadi. Aku tidak rela mereka bermesraan di kamar pribadiku. ' "Tetapi kalau memang kalian berdua tidak berbuat seperti itu, kenapa dia berkeliaran di rumah ini bahkan sampai-sampai masuk ke kamar kita?" "Itu karena katanya dia mau mandi di sini. Kau hams tahu, sampai sekarang masih saja dia memintaku mengantarkannya ke mana-mana dan lalu juga minta mampir kemari. Entah untuk minta minum air es, entah untuk ke kamar mandi, pokoknya ada saja keperluannya. Aku tak bisa menolaknya." "Itu karena kau masih mencintainya, Mas. Kau juga sangat memanjakannya karena perasaan cintamu itu. Ke sana dan kemari bersama-sama seperti pengantin baru!" Aku menyembur lagi, masih kehilangan kontrol diri. "Sebab, bayang-kanlah. Kalau orang melihatmu bersama Mbak Astari lebih dari dua atau tiga kali sudah bisa menduga yang bukan-bukan, apalagi aku. Sudah berapa puluh kali kalian bersama-sama selama sekian bulan ini? Heran, aku. Kenapa sih kalian tidak mulai saja memiktrkan masa depan kalian berdua. Memkahlah. Sebab kedengarannya itu akan jauh lebih terhormat daripada apa yang sekarang kalian lakukan. Tentang diriku, kita kan bisa beTcerai...." "Dan lalu kau jadi bisa lebih bebas berkasihkasihan dengan Victor lagi, kan?" Dengan tang-kas Mas Totok menanggapi perkataanku. Pelipis-nya mulai bergerak-gerak lagi seperti tadi. "Sorry ya, Mas, aku bukan perempuan mu-rahan. Kalau mau, sudah kemarin-kemarin kuserahkan diriku kepada Victor. Dan asal kau tahu saja, perjumpaan kami sama sekali tidak disengaja. Kami bertemu di atas kereta api." "Dan lalu menjalin hubungan kembali." "Jangan ngawur!" "Bukankah melalui telepon tadi, kalian sedang menjalin janji?"
www.ac-zzz.tk "Terus-terang
saja
dia
memang
mengajakku
menjalin
hubungan
cinta
kembali.
Perkawinannya tidak bahagia. Tetapi aku menolaknya dan bahkan menyuruhnya untuk mencoba menjembatani hUr bungannya dengan sang istri. Tadi pun ajakannya kutolak." Aku mendengusa .• "Seandainya aku tadi tidak datang menjemput-mu, pasti ajakan itu akan kau penuhi. Ya, kan?" "Itu mungkin saja. Aku toh tidak melanggar aturan main kita. Sedikit bersenang-senang boleh-boleh saja, kan?" "Tentu saja boleh. Bahkan kalaupun kalian memadu cinta kembali dengan paduan cinta yang dulu belum sempat menyatu, juga tidak ada yang melarang. Asal itu kau katakan dengan terus-terang dan tidak bersembunyi-sembunyi...." "Jangan samakan diriku dengan dirimu, Mas!" Aku memotong perkataan Mas Totok dengan mata melotot, marah sekali. Bukankah aku telah menolak uluran tangan Victor yang ingin menjalin kembali hubungan cinta kami? Aku masih punya akal budi untuk tidak merusak perkawinan Victor maupun perkawinanku sendiri. Aku juga masih menjadi perempuan yang tidak bisa dan tak pemah mau bersenang-senang di atas ke-susahan orang lain." "Kau menilaiku terlalu rendah,. Siska!" Mas Totok bersungut-sungut. "Memangnya, aku ini apa!" "Rendah atau tidak, kau sendirilah yang tahu. Aku kan hanya bisa melihatmu dari jauh dalam hal ini. Tetapi yang jelas kau lemah hati, tak berani mengambil keputusan yang tegas dan jelas. Aku yakin, dia pasti sedang menunggu kata kepastian darimu." "Kepastian apa menurutmu?" "Perceraian kita dan lalu kau menikah dengan Astari." "Aku tidak pemah berpikir untuk bercerai denganmu. Bahkan sedikit pun aku tak pernah mempunyai pikiran untuk menikah dengan Astari." Aku tertegun. Kalau aku tidak kenal Mas Totok pasti aku tak akan mempercayai apa yang baru kudengar itu. Tetapi toh tetap saja aku merasa ada sesuatu yang agak ganjl dari perkataannya itu. Sebab pada kenyataannya, dia dan Astari selalu saja menguntai acara demi acara berduaan dan bahkan dengan kedua anak Astari. Seolah persiapan Mas Totok untuk menjadi seorang ayah tiri yang baik sudah mulai dirintis. "Itu kan menurut perkataanmu, meski mungkin saja
www.ac-zzz.tk memang begitu jugalah menurut keinginan hatimu. Tetapi, bagaimana pada kenyataannya?' Merasa tak tahan, apa yang kupikirkan itu ku-lontarkan. "Apakah kelakuanmu selama ini me-nunjang orang untuk mempercayai perkataanmu tadi?" "Aku paham kenapa kau berkata seperti itu," kata Mas Totok lagi. Kini sikapnya lebih terkendali dibanding tadi. "Begini, Siska, kurasa sudah saatnya kalau kita sekarang membicarakan segala sesuatu yang ada di seputar diri kita belakangan ini secara lebih terbuka, agar masing-masing di antara kita bisa menentukan sikap. Nah, apakah kau siap untuk itu, Siska? Ataukah kau sudah mengantuk? Kalau ya, kita bisa membicarakan masalah ini besok saja...." "Aku belum mengantuk, Mas." Perkataan Mas Totok kupenggal. "Kurasa, memang baik sekali kalau malam ini kita membuka masalah yang ada di sekitar kita supaya menjadi lebih gamblang. Dengan demikian masing-masing kita bisa segera menentukan langkah," sahutku. "Me-nunda-nundanya hanya memperparah keadaan saja. Lihat saja apa yang baru saja terjadi tadi Masing-masing kita telah melontarkan kata-kata yang tajam. Masing-masing telah pula kehilangan kontrol diri. Marah-marah tak terkendali. Padahal selama hampir enam tahun pernikahan kita, hal-hal seperti tadi hampir-hampir tak pernah terjadi." "Ya, kau benar sekali, Sis!" "Kalau begitu, mulailah." Dari cermin, wajah-ku yang polos tanpa make up apa pun itu tampak bersih. Aku merasa bersyukur, kesehatan-ku yang prima ikut menunjang kesehatart kulitku. Apalagi, kecuali bedak aku tak pernah memoles wajahku dengan ini dan itu sehingga kemungkinan kena dampaknya sangat kecil. "Baiklah...." Mas Totok menarik napas panjang, kemudian melanjutkan bicaranya. "Siska, aku harus mengaku padamu bahwa belakangan ini aku mulai menyadari sesuatu yang cukup luar biasa bagiku. Sesuatu yang menjadikan ke-matangan diriku terlontar jauh ke depan. Agak sedikit terlambat memang, menilik usiaku yang sudah tiga puluh tiga lebih ini..."
www.ac-zzz.tk "Kau mau mengatakan apa sih, Mas?" tanyaku memotong perkataan Mas Totok dengan tak sabar. "Beginii, Siska. Ketika aku berjumpa kembali dengan Astari, perasaanku begitu melambung-lambung penuh dengan angan-angan dan hal-hal yang pemah kami untai berdua. Seperti orang mabuklah yang kualami waktu itu. Tetapi kemudian semakin lama, semakin aku kehilangan suasana yang melambung-lambung seperti itu sehingga mataku secara pelanpelan terbuka untuk menangkap realitas yang ada. Dan itulah yang kusebut sebagai kesadaran tadi, bahwa temyata selama ini diriku telah terjebak kemanisan masa laluku. Padahal aku yang sekarang bukanlah aku yang dulu lagi. Perjalanan hidupku selama ini membuatku semakin dewasa tanpa aku me-nyadarinya. Maka ketika aku melihat Astari melalui kacamata dalam kedewasaan diriku itu, sadarlah aku bahwa sebenamya cintaku kepadanya sudah tak ada lagi. Seperti kataku tadi, aku cuma terjebak oleh kenangan masa laluku saja. Jadi sekali lagi, itulah lontaran kedewasaanku menuju kematangan dunia batin yang membuatku sampai tertegun-tegun sendiri karena keluar-biasaannya. Kacamataku yang semakin bening membuatku terheran-heran ketika melihat segala sesuatunya secara transparan tanpa dibauri hal-hal yang semu lagi. Jadi Siska, kenapa aku selalu menuruti keinginan Astari... kecuali yang satu itu lho...." "Yang satu itu apa sih?" Aku memotong lagi perkataan Mas Totok. Ingin sekali aku mendengar secara lebih konkret apa yang dikatakannya itu untuk membulatkan pengertianku yang bam atas hubungan-nya dengan Astari. Tak kupungkiri, pengakuan Mas Totok itu telah membuatku terkejut dan terheran-heran. Sungguh mati, aku tak me-nyangkanya sama sekali. Jadi, selama ini aku telah keliru menilai dirinya! Mas Totok tersenyum sekilas. Dia tahu betul, aku cuma ingin bukti yang lebih jelas dan lebih bisa didengar secara langsung. "Aku memang seialu menuruti apa pun keinginan Astari, bahkan mengantarkannya ke Semarang pun kulakukan. Tetapi yang satu itu tidak. Maksudku, kalau dia memberi peluangpeluang atau kesempatan untuk memesrainya, pasti itu akan kutolak. Bahkan yang ringan sekalipun seperti berciuman misalnya, aku tetap tidak akan melakukannya. Sudah tidak ada cinta dan tak ada greget lagi, masa iya aku mau berciuman dengannya!" Lelaki itu menjawab dengan agak tersipu-sipu. "Kalau memang demikian, kenapa kau seialu memanjakannya sampai-sampai membiarkannya keluar-masuk rumah ini semau dia sendiri tanpa menenggang perasaanku."
www.ac-zzz.tk "Itu karena rasa bersalahku kepadanya. Dia mengira aku masih mencintainya. Bahkan berangan-angan melihatku bercerai denganmu. Ketika dia tahu kau bekerja di Bandung, anganangan itu semakin membubung tinggi. Justru karena itulah aku takut kalau-kalau dia mengalami ke-kecewaan luar biasa yang menggoncangkan hati-nya kalau dia tahu apa yang sebenarnya terjadi." Pengakuannya itu pun rak kusangka sama sekali. Namun begitu, aku ingin tahu apa lagi yang masih mengendap dalam hatinya. Sekaligus iga untuk melampiaskan perasaan-perasaan terpendam yang selama sekian bulan ini menekan perasaanku dan mengganggu ketenangan batinku. "Untuk itu, kau biarkan kepala istrimu seperti diinjak-injak." "Apa maksud bicaramu itu, Siska?" "Ingatkah kau ketika aku berulang tahun? Waktu itu aku benar-benar merasa kesepian, sendirian di rumah yang sepi sementara kau ada bersamanya. Dan tidak sadarkah kau, Mas, aku juga sering harus pergi ke mana-mana sendirian bahkan pada malam hari pun, karena kau sibuk dengan perempuan lain. Kau temani dia ke Semarang seolah dia yang istrimu. Bukan aku. Juga tanpa meminta persetujuanku lebih dulu kau turuti keinginannya memiliki kuda-kudaan porselin milikku. Lalu kau biarkan pula dia keluar-masuk sesukanya di rumah ini justru di saat aku tidak ada. Padahal aku masih sah istrimu. Pikirkanlah, Mas, bagaimana perasaanmu kalau kau ada di tempatku!" Mendengar perkataanku, Mas Totok men-dekatiku dengan langkah lambat. Kini lelaki itu berdiri tepat di belakangku sementara aku masih tetap duduk di muka meja riasku. Kedua belah tangannya ia letakkan ke bahuku. Dari cermin di depanku aku melihat wajahnya tampak lelah. "Aku pastilah telah menyakiti hatimu, Siska. Aku benar-benar tolol, bahkan buta tidak berpikir sampai ke sana. Selama ini pikiranku terserap hanya pada kekhawatiranku melihat Astari kecewa. Padahal seharusnya aku sadar bahwa kau lebih membutuhkan perhatianku. Bahwa batimu lebih terluka dibanding dirinya...," bisiknya dengan suara yang sama letihnya dengan sinar wajahnya itu. "Itu karena pada dasamya, kau tidak memiliki perasaan bahwa akulah yang istrimu. Bukan dia."
www.ac-zzz.tk "Kau keliru, Siska. Justru karena aku seialu sadar dan ingat bahwa kau adaiah istriku, maka rasa bersalahku bahkan rasa kasihanku kepada Astari semakin menebal. Apalagi setelah aku sadar bahwa •cintaku yang sesungguhnya sudah kuserahkan kepada istriku sendiri." "Apa?" Aku memotong lagi perkataan Mas Totok dengan terkejut. Tidak salah dengarkah aku? Mas Totok mencintaiku? "Aku mencintaimu, Siska; Aku mencintaimu tanpa kusadari sebelumnya. Kehadiran Astari yang aku kenal sekarang justru menyadarkan di mana cintaku yang sebenarnya. Temyata cintaku yang matang, cintaku yang sesuai dengan ke-nyataan masa kini, hanya ada pada kehidupanku yang sekarang. Bersamamu." Aku terdiam dengan takjub mendengar perkataan. Mas Totok itu. Kuulangi kata demi kata yang masuk ke telingaku tadi untuk meresapi maknanya. Dan kemudian kupelajari pula penga-kuannya itu untuk menilai perasaanku sendiri atas semua yang terjadi di antara kami berdua akhir-akhir ini. "Kenapa diam saja? Kau marah mendengar pengakuanku ini, Siska?" tanya lelaki itu. Ta-ngannya mulai mengelusi rambutku dengan ge-rakan mesra. Aku marah? Bagaimana mungkin aku akan marah dalam keadaan yang memberiku kebebasan begini? Sebab begitu mendengar pengakuannya itu tiba-tiba saja aku merasa beban berat yang ada di pundakku tergulir lepas. Dan sebagai gantinya, pundak dan kepalaku mulai diselmiuti pemahaman yang begitu gamblang yang ter-pampang di hadapanku. "Kenapa aku harus marah kepadamu, Mas?" sahutku lama kemudian. "Pengakuanmu itu bukan saja telah menyejukkan perasaanku yang selama ini begitu gersang. Tetapi juga telah membuka cakrawala baru, menyingkap seluruh tirai yang semula menyelubungi mata hatiku, sehingga aku kini mampu melihat kenyataan dengan lebih baik." "Kenyataan yang seperti apa, Siska?" Mas Totok yang masih berdiri di belakangku terns saja mengelusi rambutku. Kubiarkan dia dengan perbuatannya itu. "Kenyataan yang membawaku pada suatu ja-waban atas pertanyaan-pertanyaan batinku selama ini. Antara lain, kenapa perasaanku belakangan ini mudah sekali menjadi labil. Kenapa pula aku sering merasa kepalaku seperti diinjak-injak dan hatiku menjadi panas kalau menemukan atau melihat sesuatu yang tidak pada tempatnya. Seperti misalnya ketika kau membatalkan rencana-mu untuk mengantarkanku pindah ke Bandung beberapa bulan
www.ac-zzz.tk yang lalu. Demikian juga ke-marahanku tadi ketika melihat lipstick itu. Rupanya Mas, itu semua adaiah perasaan cemburu." Aku menjawab dengan pelan dan agak malu-malu. "Karena aku sangat tidak suka mem-bayangkan dirimu berkasih-kasihan dengan perempuan lain. Kau adaiah milikku." "Apakah munculnya perasaan itu karena kau merasa lebih berhak atas diriku sebab aku ini suamimu?" Wajah lelah dalam cermin itu mulai tampak bercahaya. Bahkan bola matanya juga mulai tampak berbinar. 'Tidak tepat seperti itu..." "Lalu tepatnya seperti apa?" Ah, Mas Totok. Dia sudah tahu tetapi pura-pura tak tahu. Aku . kenal pancaran matanya. Ia ingin mendengar apa yang sudah diduganya itu keluar dari mulutku. Tetapi aku tidak segera menjawab. Pikiranku sedang bergolak. Sebab secara tiba-tiba aku ter-ingat kepada Victor. Pengakuan Mas Totok me-ngenai perasaan semunya terhadap Astari telah menyentil keras kesadaranku. Temyata, seperti itulah yang rupanya juga kualami. Temyata perasaan cintaku kepada Victor yang muncul be-Iakangan ini juga cuma perasaan semu. Seperti pengakuan Mas Totok tadi, aku juga telah terjebak kemanisan masa lalu. Sebab kalau aku memang benar-benar masih mencintainya, kenapa aku menolak kemesraannya? Bukankah sekarang ini hubunganku dengan Mas Totok sedang berada pada titik kritis? Bisa saja aku berpikir apa salahnya kalau aku menerima kemesraannya? Tetapi toh pada kenyataannya, aku tidak ingin bermesraan dengan Victor. Sadar atau pun tidak, itu kuputuskan karena aku merasa diriku hanyalah milik Mas Totok seorang. Jadi bukan melulu karena aku merasa berkewajiban untuk meng-hormati perkawinanku saja. Apalagi kalau kuingat betapa dulu ketika hubunganku dengan Victor sedang berada di tepi jurang kehancuran, aku pemah ingin menyerahkan keperawananku kepadanya sebagai persembahan cinta dan kesetiaan-ku kepadanya. Tetapi sekarang ketika aku sudah bukan seorang perawan, keinginan untuk itu sedikit pun malah sudah tidak ada lagi. Bam kusadari sekarang, betapa telah berubahnya cara pandangku dan bagaimana pula aku sekarang ini menempatkan diri dan perasaanku terhadap Victor. "Siska...? Kok diam saja?" Kudengar nada khawatir dalam suara Mas Totok ketika aku belum juga menjawab pertanyaannya. Merasa tak tahan atas semua kesadaranku tadi, pertanyaan Mas Totok kujawab dengan memutar tubuhku dan melemparkan diriku ke dalam pe-lukannya.
www.ac-zzz.tk "Aku juga mencintaimu, Mas. Tetapi bedanya kalau kau menyadari cintamu kepadaku sudah beberapa waktu yang lalu, aku baru sekarang ini menyadari cintaku kepadamu...," bisikku. "Aku tadi benar-benar merasa cemburu ketika melihat lipstick Astari ada di atas meja riasku...." Sebelum perkataanku kuselesaikan, Mas Totok mengangkat daguku. Matanya menatap mataku dengan penuh cinta yang membara. "Tetapi justru karena lipstick itulah kesadaranku atas cintaku padamu ini kubuka malam ini juga. Aku tak mau lagi menundanya, terutama setelah kusadari tentang sesuatu yang lain...." "Kenapa lipstick ini, Mas?" tanyaku menyela. "Karena lipstick inilah mataku semakin terbuka lebar tentang diri Astari. Dia tidaklah selemah seperti yang kukira. Dia tidak perlu dikasihani sebagaimana dugaanku semula. Dia memiliki ke-kuatan sendiri untuk menolong dirinya sendiri...." "Apa kaitannya dengan lipstick itu sih, Mas!" Aku memotong lagi perkataannya. Kini dengan rasa tak sabar. "Selama ini, Astari telah memakai kelemahan hatiku untuk tetap menempatkan dirinya sebagai orang yang patut kukasihani. Padahal secara licik dia telah dengan sengaja meminta kuda-kudaan porselinmu, meninggalkan saputangannya di kamar mandi, dan sebagainya. Dan sekarang, lipstick ini pula. Aku mulai yakin sekarang, ben da itu bukannya tertinggal di sini. Tetapi telah ia sengaja agar kau melihatnya!" Mas Totok menjawab dengan suara kesal. "Aku benar-benar buta selama ini." "Sudahlah, Mas, semua itu telah berlalu...." Mas Totok menatap mataku lagi dengan matanya yang berbinar itu. Kemudian tersenyum manis. "Semua yang tak menyenangkan memang telah berakhir, Sayang. Sudah saatnya bagi kita berdua untuk meninggalkan masa lalu dan memandang ke masa depan." "Ya...." "Aku mencintaimu, Siska. Dan berbahagia karena temyata kau pun mencintaiku...," desahnya. Usai berkata seperti itu, Mas Totok mencium bibirku. Kemudian diangkatnya tabubku ke atas tempat tidur.
www.ac-zzz.tk "Aduh, rasanya kau bertambah gemuk, Siska. Atau aku yang sudah mulai kehilangan kekuatan?" "Kau masih muda dan kekuatanmu masih akan tetap ada padamu sampai sepuluh tahun, dua puluh tahun mendatang...." Aku tersenyum sambil melingkarkan tanganku ke lehemya yang kokoh itu. Mas Totok menjawab perkataanku dengan menghujaniku ciuman dan belaian kasihnya. Aku bergetar merasakan betapa seluruh perbuatannya itu bernapaskan cintanya kepadaku. Dengan sepenuh cinta dan kerinduan, kubalas seluruh per-nyataan cintanya itu dan meresapinya hingga seluruh serat tubuhku. Ketika kerinduan itu telah terpuaskan dan rasa gamang yang selama ini menyungkup diriku telah. tersingkirkan, barulah aku mau mengakui sesuatu yang selama berminggu-minggu ini ke-sembunyikan rapat-rapat dengan perasaan takut. "Mas, ada sesuatu yang ingin kukatakan ke-padamu...," kataku, masih berada di dalam pelukannya. Kepalaku berada di atas lengannya. "Apa itu, Sayang?" "Ingatkah kau apa yang terjadi kira-kira tiga bulan yang lalu sebeium aku berangkat ke Bandung untuk pertama kalinya?" Aku bertanya kepada Mas Totok sambil mengelus dagunya yang mulai kasar oleh tumbuhnya rambut kecil-kecil di tempat itu. Aku menyukai rasa tajam-tajamnya rambut itu di telapak tanganku. "Apa itu, Siska? Ada banyak yang terjadi waktu itu, kan?" "Ya. Tetapi peristiwa yang itu begitu khusus dan tak terlupakan olehku. Ketika itu pagi-pagi sekah di hari keberangkatanku, kau tergesa pulang dari rumah Mbak Astari setelah menginap di sana...." -'Yah, aku tergesa pulang karena ingin merasakan kemesraan bersamamu sebeium kau berangkat ke Bandung." Mas Totok menyambung bicaraku sebeium aku menyelesaikannya. "Mas, apa yang kita lakukan saat itu telah mengakibatkan sesuatu padaku...." "Sesuatu padamu? Apa itu, Siska?" "Aku... aku hamil, Mas...." Mas Totok menatapku dengan takjub. Wajah-nya tampak lucu sekali. Dia benar-benar tampak terkejut dan terpesona sekaligus.
www.ac-zzz.tk "Kau yakin...?" tanyanya kemudian dengan suara bergetar. "Tiga kali haidku tidak datang, Mas. Dan dadaku terasa penuh, sementara pinggangku terasa menebal. Meskipun belum berpengalaman, tetapi aku tahu itu adaiah tanda-tanda kehamilan." "Berarti aku tidak salah ketika mengatakan tubuhmu lebih berat daripada sebelumnya. Ya Tuhan, betapa indahnya penyelenggaraan-Mu atas hidup manusia. Setelah sekian tahun lamanya, baru sekarang Tuhan mempercayai kita...," bisik Mas Totok sambil memeluk erat tubuhku. Ta-ngannya yang menggeletar mengirirnkan getar kasihnya kepadaku. "Itu karena baru sekarang cinta itu hadir di sini." Perkataan itu kujawab dengan membalas pe-lukan mesranya. Tetapi mataku menatap keluar, melalui celah-celah tirai jendela yang tersingkap. Nun di sana aku melihat kedipan bintang dini hari. Dia mengucapkan selamat bahagia kepadaku. Alangkah memesonanya itu. Dan alangkah bahagianya hatiku.
Sekian