One
Langit di pagi hari selalu cerah dan indah. Bertaburan awan putih tipis membentang tak terkirakan kesempurnaan guratannya, di belakangnya masih terlihat bagian biru langit beserta siluet-siluetnya. Simfoni keduanya membentuk keindahan yang kumpulan kata seperti apapun tidak akan mampu mendeskripsikannya, hanya dengan pengelihatan mata saja deskripsi keindahan itu akan sempurna. Udara sejuk segar melengkapi keistimewaan pagi. Mereka yang telah memulai aktifitasnya sepagi ini merasakan keistimewaan pagi. Tidak hanya sedikit dari mereka yang menikmati indahnya pagi akan merasakan terurai sejenak beban mereka, tanpa mereka sanggup melakukan penolakan. Namun, gelisah membuat seseorang enggan bangun dari tidurnya, tak sanggup menikmati pagi indah yang akan membantunya mengurai gelisah sejenak. Gelisah buat seseorang tak ingin tinggalkan ketidakberdayaannya. Gelisah juga mampu tumbuhkan keinginan tak ingin ada gangguan dari orang lain walau untuk sesaat. Gelisah buat seseorang merasa nyaman dengan kondisi yang dialaminya, tidak berubah dan diubah. Perasaan seperti itu sedang bergelayut dalam pikiran Ulis, seorang gadis kecil berusia 8 tahun lebih beberapa bulan. Ulis ingin berlama-lama dengan keadaannya. Sayang, kesenangannya tak berlangsung lama. “ Ayo, nduk! Bangun!” Itu suara wanita paling dicintai Ulis dan satu-satunya manusia dalam hidup Ulis yang selalu bersamanya. Wanita yang dicintainya sekaligus ditakutinya. Melebihi rasa takut Ulis pada siapapun yang dikenalnya; ibu. Ulis tidak pernah menyukai nada datar, beku, kaku, dan selalu menakutkan dari ibunya yang hampir selalu mampu menggetarkan jiwa Ulis. Suara wanita itu menebar takut, cemas dan waspada sekalipun mereka sedang dalam situasi rileks. Semua bisa berubah dengan cepat. Sedikit saja Ulis salah bergerak atau salah memilih tinggi nada suara atau pilihan kata atau pokok bahasan atau pendapat, semuanya akan berubah. Tidak jarang bahkan tanpa kesalahan dari Ulis mampu memicu reaksi yang mampu merubah keadaan. Hal terakhir ini adalah hal yang paling membingungkan untuk anak sekecil Ulis. Tak heran Ulis tak perlu komando dua kali untuk segara meloncat sigap, takut dan tergesa-gesa; melupakan inginnya, dari atas ranjang tingginya yang terbuat dari kayu jati berkualitas tinggi dengan model yang sangat sederhana dan terlihat sudah usang. Kejadian seperti itu membuat Ulis tak sempat memikirkan indahnya pagi di setiap waktu matanya terbuka dari lelap yang dilakukannya dengan susah payah.
Hampir tidak ada anak kecil yang tidak menyukai air, begitu juga Ulis. Ulis selalu merindukan akan datangnya masa yang akan memberikan Ulis keluasan waktu untuk menikmati air, sabun dan busa. Selama 8 tahun lebih hidupnya, Ulis belum pernah merasakan hal itu. Setidaknya begitulah Ulis mengingat. Ingatan Ulis bekerja dengan kuat sejak usianya 1 tahun 3 bulan. Namun, saat kerinduan Ulis akan hal ini atau lainnya menguasai dirinya seringkali mencabut kesadaran Ulis dari sekitarnya; untuk sesaat, bengong, melongo. Hilangnya kesadaran Ulis untuk sesaat membuat teman-teman dan orang-orang yang ditemui Ulis meragukan kecerdasan Ulis alias kewarasannya. Menikmati sarapan pagi tanpa obrolan adalah siksaan yang biasa bagi Ulis. Namun sesekali Ulis mencoba untuk memulai pembicaraan yang pada akhirnya tak jarang berakhir dengan rasa tidak suka ibunya yang tidak jarang terwujud dalam tindakan yang tidak disukai siapapun. Pagi ini Ulis memilih untuk tidak memulai pembicaraan apapun kecuali menjawab pertanyaan-pertanyaan datar tanpa rasa dari ibunya yang sibuk memasak nasi. Mendapatkan diri menikmati sarapan pagi saja sudah memenuhi salah satu angan tentang hari yang baik menurut Ulis. Tidak setiap hari ibunya memasak. Tidak setiap hari Ulis mendapat makanan segar, baru dimasak pagi hari itu juga. Tidak setiap hari Ulis makan dua atau tiga kali setiap hari. Dengan sedikit angan-angannya terpenuhi, Ulis merasa pagi ini adalah bagi yang indah. Ulis tidak ingin rakus mengharap semua angannya terpenuhi tentang pagi yang baik, tentang memulai hari yang menyenangkan, tentang hal-hal menyenangkan yang dianggap Ulis harusnya dialami anak kecil seusianya. Mereka yang tidak pernah merasakan makan sekali sehari tidak akan pernah mengerti bagaimana rasa melilit kelaparan yang sebenarnya. Mereka yang tidak paham tentang kebutuhan - semangat makan dan kesukaan anak kecil adalah ada pada makanan tidak akan pernah memahami betapa tersiksanya Ulis setiap kali melihat makanan di rumah orang lain atau di warung-warung. Mereka yang tidak mengerti semua itu akan menganggap mata tergiur Ulis sebagai hal yang tidak menyenangkan, tidak pantas, tidak sopan. Sayang sekali, tidak mau belajar mengerti keadaan orang lain adalah hal yang paling umum lumrah terjadi. Berangkat sekolah adalah sebuah perjuangan lainnya yang harus setiap hari dilakukan Ulis sejak hari kedua Ulis mengenal sekolah, taman kanak-kanak. Ingin rasanya Ulis tidak berangkat sekolah. Ulis tahu hal itu tidak mungkin. Ulis sangat mengerti ibunya tidak akan membiarkan hal itu terjadi, bahkan Ulis juga tidak akan diijinkan tidak masuk sekolah meski Ulis sedang sakit jika sakitnya tanpa disertai demam. Ulis juga mengerti bahwa sekolah bagaimanapun adalah baik untuknya. Ulis tidak tahu baik yang seperti apa sekolah untuknya dan kapan Ulis akan merasakan manfaatnya sekolah. Ulis hanya tahu, sekolah adalah sesuatu yang harus dilakukannya. Karena harus, jadi itu pasti baik.
Datang tepat beberapa menit sebelum bel sekolah berbunyi juga bukan pilihan yang mudah untuk Ulis. Ulis tidak punya pilihan. Yang harus dihadapi, harus dihadapi. Tidak ada pilihan lain; datang lebih awal. Datang lebih awal ke sekolah adalah hal yang disukai Ulis. Ulis menguasai sekolah. Masuk dengan tenang, berjalan-jalan dengan tenang. Ulis menikmati pagi yang tenang. Baru saat itulah Ulis akan mendapat kesempatan untuk nikmati langit indah dengan warna biru putihnya. Baru saat itulah Ulis menyadari udara pagi sangat sejuk. Ternyata pagi itu menyenangkan. Seperti membawa harapan. Menculik gelisah. Datang lebih awal juga berarti Ulis akan menjadi saksi kedatangan teman-teman sekelasnya. Ini adalah hal yang tidak menyenangkan. Terutama ketika beberapa anak spesial datang. Anak-anak spesial datang hanya beberapa menit sebelum bel sekolah berbunyi. Tanpa disadarinya, Ulis bersyukur dengan kedatangan mereka yang seperti itu. Ulis menghela nafas di bangku beton depan kelasnya yang persis menghadap ke arah taman kecil. Seandainya mereka baik kepadaku, angan Ulis. Sebentar lagi ketenangan Ulis akan berakhir. Satu persatu teman-teman Ulis berdatangan, pun teman-teman spesial Ulis. Pagi hari tanpa pekerjaan rumah berarti pengacuhan dari teman-teman spesial Ulis. Hari ini bukan hari tanpa pekerjaan rumah. Tidak ada pengacuhan pagi ini. Hari ini ada dua pekerjaan rumah; PPKn dan Bahasa Indonesia. Celakanya kedua pelajaran tersebut ada di jam pertama dan ke tiga. Selain itu, tiga teman spesial Ulis datang hanya 10 menit sebelum bel berbunyi. Seorang lagi datang lebih cepat beberapa menit dari yang lain. Mereka masuk kelas dengan berlari cepat, buru-buru tapi tetap tenang – ketenangan yang hadir karena kesadaran semua akan baik-baik saja, karena akan ada seseorang yang menyelesaikan masalah merekamenuju meja tempat mereka duduk, sebelum akhirnya mereka berlari mendekati Ulis yang sedang tekun menyalinkan pekerjaan rumah untuk teman spesialnya yang sudah datang lebih awal dari yang lain. “ Kerjakan, Lis!” Setelah itu mereka meninggalkan Ulis begitu saja untuk nikmati sedikit waktu bermain sebelum bel berbunyi. Mata Ulis yang bulat besar hanya melongo dengan tatapan memelas sayu.” Harus slese! Awas kalok ndak slese!” Ulis tidak mengerti kenapa mereka selalu bersikap tidak menyenangkan seperti itu. Setiap kali terjadi sikap tidak menyenangkan, Ulis mencoba menebak-nebak apa gerangan kesalahannya sehingga keempat temannya sejak kelas dua SD itu memperlakukan dirinya dengan sangat buruk. Ulis selalu tidak berhasil menemukan jawaban. Bel sudah berbunyi. Masih ada satu LKS tersisa yang belum sempat diselesaikan. Keempat teman special Ulis berkerumun di meja Ulis dengan riuh.
“ Lhoo! Punyaku kok belum selesai, Lis!!!” Vina tidak mendengarkan perkataan Ulis yang lemah, penuh dengan keputusasaan. Vina mendorong Ulis dengan keras hingga membentur punggung kursi.” Kalok ndak mau nolong! Bilang! Aku salah apa sama kamu, Lis! Kok kamu jahat sama aku!” Ulis mengerjapkan mata dengan cepat. Ada sesuatu yang tidak mampu dipahaminya, rasa bersalah sekaligus heran dengan apa yang baru saja didengrnya. Terlalu banyak ucapan teman-teman spesialnya yang tidak dapat dimengerti Ulis. “ Iya, Ulis ini! kalok ndak mau nolong bilang! Vina salah apa sama kamu, Lis! Ndak usah temanan sama Ulis wes, rek!” Semuanya meninggalkan Ulis dengan gemuruh yang membuat sebagian besar teman sekelas lainnya menoleh kearah Ulis. Ulis bukan hanya seorang gadis pemalu, tapi Ulis adalah seorang anak kecil yang juga seringkali tidak mampu mengerti arti tatapan teman-temannya. Ulis tidak tahu apakah mereka sepakat menyalahkan dirinya atau mengolok-olok. Ulis hanya tahu, tatapan mereka semua sangat menyakitkan, membuatnya sangat malu. Sangat sangat sangat malu. Mata Ulis mengerjap panik. Ada yang bergerak cepat di bagian dalam dadanya. Dan tidak hilang ketika pelajaran dimulai. “ Ayo! Siapa yang ndak ngerjakan pr!” Bu Hanik lebih sering tidak mengucapkan salam setiap kali masuk kelas. Apalagi ketika Bu Hanik tahu ada pekerjaan rumah yang harus dikerjakan, Bu Hanik akan menjadi jauh lebih semangat. Seperti Rambo yang sedang menembaki musuh dengan tenaga penuh.” Sapa yang ndak ngerjakan!” Bu Hanik segera berkeliling. Ulis merasa bagian dalam dadanya yang bergerak cepat berubah menjadi sesak, sakit. Hampir selalu sesak dan sakit setiap kali berhadapan dengan Bu Hanik. Bukan tanpa sebab. Suara Bu Hanik yang besar melengking, wajah kerasnya yang coklat, tatapan matanya yang membuat Ulis merasa yakin kalau Bu Hanik bisa mengetahui segala isi kepala dan hatinya.” Ini kok belum dikerjakan!” “ Ulis tadi nyontoh punyak saya! Bu! Trus dihapus! Bu!” Ini bukan kali pertama hal seperti diucapkan, tapi tetap saja tubuh Ulis berguncang hebat. Ulis merasa ada yang keluar dari lubang saluran kencingnya, tapi Ulis tidak merasakan celana dalamnya basah. Dadanya yang sesak semakin mencekiknya. Oksigen merayap memaksa masuk disela-sela rongga yang mendadak tidak memberinya ruang untuk lewat. Tanpa bertanya, Bu Hanik kembali ke meja guru. Setelah duduk, Bu Hanik memberi kode Ulis untuk maju dengan kedua jarinya, bak seorang bos memangil budaknya yang tak berharga. Ulis merasa air matanya tumpah, tapi tidak ada air mengalir di sana. Tubuh bungkuk Ulis berdiri tegak kaku di depan guru Bahasa Indonesianya. “ …Ndak…Tadi…” Suara Ulis hilang tenggelam. Tubuhnya terlalu memberontak hebat hingga membuat Ulis tak mampu bicara dengan jelas untuk memperjuangkan dirinya sendiri.
Bu Hanik juga tidak berminat mengetahui apa yang ingin dikatakan Ulis. Tangan Bu Hanik lincah melepas kancing-kancing baju Ulis. “ Kembali!” Bu Hanik menggeletakkan baju seragam Ulis begitu saja di meja guru. Ulis tidak bisa bergerak. Tubuh Ulis lebih kaku dari sebelumnya. Dikorbankan seperti ini bukan kali pertama, juga bukan hal terburuk pertama. Tapi ini sangat-sangat buruk. Ulis merasa telanjang. Ulis merasa semua mata memandag tubuh kurus keringnya yang jelek. Ulis mendengar isi kepala dan hati teman-temannya yang berkomentar tentang tubuh jeleknya; bungkuk, kerempeng.” Wes sana! Ndak usah nangis! Cengeng! Besok dipikir lagi kalok mau ndak ngerjakan pr!” Ulis tidak pernah ingin mati, yang Ulis tahu dirinya hanya punya pilihan untuk terus hidup, terus melangkah. Seperti sekarang. Kaki Ulis terasa sangat berat. Matanya menunduk seolah ingin tenggelam ke dalamnya. Tak berani sekalipun melihat sekelilingnya. Hanya lantai. Ulis sangat mengenal dengan baik lantai-lantai kelas yang pernah di tempatinya, bagian mana yang terdapat cacat, bagian mana yang warnanya lebih cerah. Ulis duduk dengan kaku. Lebih kaku dari sebatang pohon. Hanya mengenakan kaos dalam sebagai hukuman tidak mengerjakan pekerjaan rumah dari tuduhan bohong membuat Ulis tidak lagu mampu mendengarkan sedikit, sekecil apapun suara-suara di sekitarnya. Toh, Bu Hanik juga tidak menghiraukannya lagi. Juga tidak menyuruh Ulis untuk mengambil baju seragamnya di meja guru ketika kelas sudah berakhir. Ulis hanyalah seonggok sampah tidak berharga. Ulis merasa jauh dari sekitarnya. Mata Ulis menuju seragam putihnya yang tergelatak sama tak berdayanya dengan dirinya. Ulis ingin segera mengambilnya, tapi paku-paku malu dan sedih sangat membuat Ulis tidak bisa bergerak sedikitpun dari kursinya. “ Ambil bajunya, Lis” Beberapa teman Ulis segera bersuara begitu Bu Hanik meninggalkan kelas. Suara yang tidak bisa dikatagorikan Ulis sebagai bantuan, keprihatinan atau empati, Ulis dipenuhi keheranan suara itu selalu baru datang diakhir tragedy, kenapa tidak dari tadi. “ Makanya! Jangan seenaknya sendiri sama aku! Jangan jahat-jahat sama orang!” Vina tertawa terbahak-bahak keras dengan wajah yang orang dewasa tidak akan percaya bahwa anak sekecil itu bisa melakukan ekspresi sekejam itu. Dari jendela kelas, Vina melihat Bu Indah, guru PPKn-, sedang berjalan menuju kelas. Vina segera menutup mulutnya dengan cibiran puas ke arah Ulis yang tidak melihatnya, tapi Ulis mendengarnya, karena begitu Bu Hanik keluar, telinga Ulis kembali bekerja. Bu Indah mengucapkan salam dan berjalan begitu saja, tidak melihat Ulis yang duduk