Husni, Ketenangan Menegakkan Demokrasi “Demokrasi perlu ketenangan….”
ditegakkan
dengan
Demikian pesan yang saya tangkap usai para peziarah mengantar jenazah Husni Kamil Manik (Pak Husni) ke peristirahatan terakhir di TPU Jeruk Purut, Jumat 8 Juli 2016. Usai para keluarga dan kolega menabur kembang di gundukan tanah. Lalu para peziarah itu pulang dengan gurat duka di wajah. Pihak keluarga, komisoner KPU beserta jajarannya, ketua DKPP, serta peziarah yang lain, dan juga warga bangsa pecinta demokrasi telah kehilangan tokoh muda demokrasi penting negeri ini yang tenang, berintegritas dan visioner. Pertemuan pertama saya dengan Pak Husni terjadi pada 6 Juli 2012, ketika beliau berkunjung ke kantor KPU DIY. Empat tahun lebih sehari setelah itu, saya tak menyangka beliau dipanggil Allah SWT. Setelah pertemuan pertama, saya memang beberapa kali sempat berjumpa dengan beliau, meski hanya sebatas bersalaman (ketika beliau berkunjung ke Jogja), bahkan beberapa diantaranya hanya melihat saja, saat ada acara KPU RI di Jakarta yang melibatkan KPU Kabupaten /Kota. Terakhir, saya sempat bersapaan dengan Pak Husni ketika beliau menjadi narasumber seminar tentang pilkada di Fakultas Hukum UII Yogyakarta, 23 April 2016. Dari beberapa perjumpaan, saya terkesan dengan yang pertama dan terakhir. Meski perjumpaan itu hanya semacam say hello, saya bisa menangkap beliau orang yang penuh dengan ketenangan. Dan hampir sempurna dalam mengendalikan emosi.
Pak Husni paham, kedewasaan berdemokrasi warga kita belum sepenuhnya matang, sehingga tak jarang hajatan pemilu meninggalkan riak-riak kegaduhan. Kegaduhan yang justru akan kontraproduktif terhadap pembangunan demokrasi di negeri ini. Maka ketenangan menyelenggarakan pemilu perlu dipelihara. Pak Husni telah memberi tauladan kepada penyelenggara pemilu, di semua level (mulai dari KPU Ri sampai KPPS), bahwa sikap tenang perlu dijaga untuk melayani pemilih dan kontestan pemilu. Ibarat pertandingan olah raga, kontestasi di pemliu rentan menimbulkan gesekan, bahkan konflik yang menyeret pendukungnya. Jika penyelenggaranya gaduh, bagaimana dengan kontestan (parpol atau calon) dan suporternya (pemilih)? Di masa awal periode Pak Husni (KPU) dan Pak Muhammad (Bawaslu) memang sempat ada riak-riak kecil. Tapi lama kelamaan, beliau berdua mampu membawa penyelenggara pemilu (baik KPU maupun Bawaslu) layaknya “saudara kembar” yang menunjukkan kerja sinergis mensukseskan pemilu/pilkada. Tapi ketenangan saja tidak cukup. Ketenangan perlu dilandasi integritas. Di negeri ini, integritas menjadi barang langka. Di tengah maraknya korupsi dan benturan kepentingan pragmatis, sehingga praktik lacur menjadi lazim di negeri ini, orang yang berintegritas sering kesepian. Dan Pak Husni, sosok dan pribadi yang penuh integritas, di saat tertentu saya yakin sering kesepian di tengah lalu lintas komunikasi elit negeri ini yang tak jarang menggiring orang untuk keluar dari rel integritas. Tapi saya juga yakin Pak Husni akan menemui banyak teman, ketika berada di tengah-tengah rekan kerjanya di KPU, juga segmen masyarakat lain, yang sepakat bahwa integritas menjadi harga mati dalam menjalankan tugas. Selain penuh ketenangan dan berintegritas, menurut saya Pak Husni adalah sosok yang visioner. Sosok yang dibutuhkan dalam dunia demokrasi. Memang KPU hanya eksekutor dari regulasi yang mengatur tentang kepemiluan. Namun sosok visioner dari seorang komisioner KPU mutlak diperlukan, karena penerapan demokrasi
dan pemilu di negeri ini selalu ada kaitannya dengan kultur dan dinamika sebuah bangsa. Indonesia tidak bisa hanya mengadopsi mentah-mentah demokrasi dan sistem pemilu dari negara lain. Di saat lain, kultur yang sekiranya mengambat kemajuan demokrasi juga perlu disikapi dengan kearifan. Di bawah kepemimpinan Pak Husni, KPU menorehkan sejumlah prestasi dan kemajuan. Dari sisi penguatan kelembagaan, Renstra KPU tidak hanya dibuat di tingkat pusat, tapi juga oleh KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota. Pembukaan program pascasarjana di beberapa universitas ternama di Indonesia dalam rangka penyiapan SDM KPU yang handal. Pembatasan dua periode bagi PPK, PPS dan KPPS agar terjadi regenerasi penyelenggara ad hoc pemilu. Dari sisi akses informasi publik, berbagai sistem informasi dibuat agar setiap tahapan penyelenggaraan pemilu/pilkada dapat diakses publik dengan mudah, sebut diantaranya Silon, Sidalih, Situng, Silog. Bahkan Sidalih (sistem informasi data pemilih) dan Situng (sistem penghitungan) mendapat apresiasi internasional. Dari sisi keilmuan, KPU bekerja sama dengan LIPI memprakarsai berdirinya ERI (Electoral Research Institute), sebuah lembaga yang akan menajwab kebutuhan kebijakan dan tata kelola kepemiluan. Di samping untuk mendorong kualitas pemilu, yang terselenggara dengan cara mudah, menciptakan pemerintahan kuat.
berbiaya
murah,
dan
Dari sisi pengelolaan konflik, Pileg 2014 menjadi pertarungan terliar, karena penetapan calon terpilih berdasar suara terbanyak. Demikian juga Pilpres 2014, adalah pertarungan terkeras dan terbesar antar kekuatan politik yang pernah ada dalam sejarah pemilu di Indoensia. Tapi kedua pemilu tersebut dapat dikendalikan dengan baik sehingga berjalan relatif lancar tanpa meninggalkan konflik fisik yang berarti. Semua capaian tersebut di bawah dirijen seorang Husni Kamil
Manik yang tenang, berintegritas dan visioner. Tapi capaian tersebut bukanlah akhir, kita harus melanjutkan !!!***
Syarat Khusus untuk Petahana Diusulkan pada RUU Pilkada JAKARTA, KOMPAS — Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota baru diusulkan memuat syarat khusus bagi petahana yang akan kembali mengikuti pemilihan kepala daerah atau pilkada. Syarat khusus diperlukan agar petahana yang gagal tidak lagi punya kesempatan untuk kembali memimpin daerah. Usulan itu salah satunya dilontarkan Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Lukman Edy, di Jakarta, Senin (7/3/2016). Menurut dia, bangsa Indonesia seharusnya tidak memberikan tempat kepada petahana gagal kembali memimpin daerahnya. “Karena itu, harus ada rambu-rambu, petahana yang mau maju lagi harus punya syarat-syarat tertentu,” ucapnya. Politisi Partai Kebangkitan Bangsa itu menjelaskan, syarat khusus tersebut bisa berupa izin dari presiden. Setiap petahana yang akan kembali mencalonkan diri dalam pilkada harus mendapatkan izin dari presiden. Izin presiden, lanjut Lukman, tidak diberikan begitu saja. Hanya petahana yang berhasil atau berkinerja baik yang mendapatkan izin dari presiden yang dapat mengikuti pilkada dari presiden. Indikator keberhasilan yang dapat dijadikan acuan penilaian di
antaranya adalah tingkat kesejahteraan, angka kemiskinan, dan pembangunan infrastruktur di daerahnya. “Misalnya, tidak boleh petahana yang angka kemiskinan di daerahnya menjadi calon kepala daerah lagi. Wong jelas-jelas dia gagal memberantas kemiskinan, kok, mau memimpin lagi,” tuturnya. Lukman mengemukakan, syarat khusus itu diperlukan untuk menyelamatkan masyarakat dari pemimpin yang kurang peduli dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Sebab, meski berkinerja buruk, seorang petahana tetap memiliki peluang lebih besar untuk memenangi pilkada. Namun, usulan itu belum disepakati anggota Komisi II lainnya. Luthfi A Mutty, anggota Komisi II dari Fraksi Partai Nasdem, misalnya, berpandangan syarat khusus itu tidak diperlukan. Menurut dia, akan lebih baik jika penilaian terhadap petahana yang mengikuti pilkada diserahkan kepada masyarakat. “Kita jangan underestimate kepada masyarakat. Mereka sudah cerdas dan bisa memilih mana calon pemimpin yang baik, mana yang tidak,” katanya.
Hal itu terbukti dengan banyaknya petahana yang gagal memenangi pilkada. Luthfi mencontohkan, di Sulawesi Utara saja ada tiga petahana yang gagal memenangi pilkada serentak 2015. Ketiga petahana itu adalah Bupati Luwu Utara Arifin Junaidi, Bupati Tana Toraja Theofilus Allorerung, dan Bupati Toraja Utara Frederik Batti Sorring.
Butuh waktu lama Anggota Komisi II dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, M Arwani Thomafi, juga kurang sependapat dengan usulan tersebut. “Untuk meningkatkan kualitas kepemimpinan boleh saja. Tetapi, dari segi teknis, itu akan merepotkan presiden dan bisa jadi proses izinnya butuh waktu lama,” ujarnya. Selain itu, usulan tersebut juga berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, terutama jika petahana berasal dari partai politik yang sama dengan presiden. Jika petahana gagal tetap diberi izin dan berhasil memenangi pilkada, dikhawatirkan akan menimbulkan sikap apatis masyarakat dan jalannya pemerintahan pun akan terganggu. Menurut Arwani, syarat izin dari presiden itu akan relevan jika diterapkan kepada kepala daerah yang akan mengikuti pilkada di daerah lain. “Misalnya bupati atau wali kota di daerah A yang belum menyelesaikan masa tugasnya, maju pilkada
di daerah B, itu relevan kalau harus ada izin presiden,” tuturnya. Syarat izin dari presiden itu diperlukan untuk melindungi masyarakat dan menjaga kesinambungan pemerintahan daerah. Sementara itu, secara terpisah, Deputi Nasional Jaringan Pendidikan Pemilu untuk Rakyat (JPPR) Sunanto menilai, pemberian izin petahana mengikuti pilkada bukanlah kewenangan presiden. Menurut dia, syarat-syarat petahana maju pilkada yang diatur dalam UU Pilkada, yakni belum dua kali menjabat sebagai kepala daerah, sudah cukup baik. “Kalau penilaian presiden jadi syarat petahana maju kembali, nuansa politiknya justru semakin kental,” katanya. Menurut Sunanto, akan lebih baik jika penilaian mengenai kinerja petahana diserahkan kepada masyarakat. Hal lain yang juga lebih penting adalah membenahi proses perekrutan calon pemimpin daerah oleh partai politik. Bagaimana parpol benar-benar mengusung calon kepala daerah yang mumpuni dan berkualitas. Sampai saat ini RUU Pilkada belum juga dibahas. DPR masih menunggu pengajuan draf RUU Pilkada dari pemerintah
KPU Minta Pemerintah Bantu JAKARTA, KOMPAS— Persoalan pencalonan, anggaran, hingga distribusi logistik masih mengganjal persiapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak tanggal 9 Desember 2015. Komisi Pemilihan Umum meminta pemerintah membantu menyelesaikan sejumlah persoalan yang berpotensi mengganggu pelaksanaan pilkada itu.
Persoalan seputar pencalonan yang masih belum tuntas terkait masih adanya calon yang mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. “Kami akan menanti proses itu sampai 15 November. Apabila pasangan calon sudah final, kami bisa melanjutkan pekerjaan selanjutnya, yaitu memfasilitasi pencetakan surat suara,” kata Ketua Komisi Pemilihan Umum Husni Kamil Manik di Kantor Presiden seusai bertemu Presiden Joko Widodo, Selasa (3/11). Sebaliknya, jika masalah itu belum selesai, tahapan pilkada akan terganggu. Pencetakan surat suara belum bisa dilakukan karena penentuan pasangan calon belum sampai tahap akhir. Masalah lain yang masih mengganggu, lanjut Husni, adalah ada pengurangan anggaran pilkada. Persoalan ini terjadi di Musi Rawas (Sumatera Selatan), Provinsi Bengkulu, Kabupaten Minahasa Utara (Sulawesi Utara), dan Kabupaten Toraja Utara (Sulawesi Selatan). “Guna mengatasi persoalan seperti ini, pemerintah akan menggelar rapat koordinasi tingkat nasional pada 12 November,” ujar Husni. Komisioner KPU, Arief Budiman, menambahkan, distribusi logistik di sejumlah daerah juga mengkhawatirkan. Ketika masuk musim hujan, distribusi logistik di wilayah pegunungan di Papua dan wilayah kepulauan, seperti Sulawesi Utara dan Kepulauan Riau, harus menjadi perhatian. Persoalan berikutnya, kata Arief, baru 30 persen daerah yang anggarannya telah dicairkan 100 persen. Daerah lainnya belum dicairkan atau baru sebagian dicairkan. Hal itu tergantung dari pemerintah daerah setempat. Padahal, ketika dokumen Naskah Perjanjian Hibah Daerah ditandatangani, dana seharusnya sudah bisa ditransfer. Semua potensi kerawanan itu menjadi bahan diskusi pertemuan antara komisioner KPU dan Presiden Joko Widodo di Istana Negara. Selain KPU, hadir dalam acara tersebut Badan Pengawas Pemilu dan unsur pimpinan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Sementara itu, Presiden didampingi Menteri
Sekretaris Negara Pratikno. Dalam pertemuan itu, Presiden bertanya tentang pilkada kali ini yang digelar serentak di 269 daerah yang terkesan tidak terlalu semarak. Alat peraga kampanye tidak terlalu mencolok di sejumlah tempat. Ketua DKPP Jimly Asshiddiqie menyampaikan, hal itu perlu menjadi catatan bersama. “Di satu segi memang harus dikontrol jangan sampai berlebihan, tetapi di lain segi nuansa pestanya jangan hilang,” tuturnya. Saling bertentangan Secara terpisah, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Saldi Isra mengusulkan, penyederhanaan penanganan sengketa dengan mengonsentrasikan penyelesaian sengketa ke satu institusi. Hal ini dibutuhkan untuk menghindari putusan sengketa yang saling bertentangan dari institusi berbeda. Ketua Komisi II DPR Rambe Kamarul Zaman menuturkan, munculnya putusan berbeda akan dicegah dengan memasukkan aturan yang lebih detail saat revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada yang akan dimulai Januari 2016. Putusan yang bertentangan itu, misalnya, terjadi di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Dua pasangan calon yang dinyatakan tidak memenuhi syarat oleh KPU Humbang Hasundutan mengajukan sengketa ke Panitia Pengawas Pemilu dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Medan. Panwas menyatakan, KPU daerah harus menetapkan pasangan Palbet Siboro dan Henri Sihombing. Sementara itu, PTTUN Medan membatalkan putusan KPU mengenai penetapan pasangan calon sekaligus memerintahkan KPU memasukkan Harry Marbun dan Momento Sihombing sebagai pasangan calon. Adapun KPU Humbang Hasundutan sempat menolak pendaftaran kedua pasangan calon itu karena rekomendasi dari Partai Golkar tidak lengkap. Kepengurusan Golkar hasil Munas Bali memberi
rekomendasi kepada Harry kepengurusan Golkar hasil Palbert Siboro dan Henri. memindahkan rekomendasi dari
Marbun dan Momento, sedangkan Munas Jakarta merekomendasikan DPP Golkar Munas Bali kemudian Harry ke Palbert.
Komisioner KPU, Ida Budhiati, mengatakan, KPU Humbang Hasundutan sudah melaksanakan putusan PTTUN. (GAL/NDY)
RUU Pilkada Kampanye Didorong agar Lebih Semarak Jakarta, Kompas – Calon kepala/wakil kepala daerah kembali diperbolehkan untuk mengadakan sekaligus memasang alat peraga kampanye sendiri. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong kampanye pemilihan kepala daerah melalui alat peraga kembali semarak.
Hanya saja, jumlah, jenis, dan tempat pemasangan alat peraga tetap dibatasi demi menjamin keadilan dan kesertaraan di antara calon serta ridak merusak keindahan kota. Ketua Panitia Kerja Revisi Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota dari Fraksi Partai Golkar, Rambe Kamarulzaman, Rabu (25/5), mengatakan, hal itu diputuskan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah agar pilkada gelombang kedua, tahun 2017, lebih semarak. “Ini bentuk evaluasi terhadap Pilkada 2015. Jangan sampai pilkada diadakan sekedar jadi agenda negara. Pilkada menjadi ajang yang penting sebagai momen pendidikan politik, rakyat
harus terus diberi harapan,”kata Rambe. Senada dengan hal itu, Direktural Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Sumarsono mengatakan, pemerintah dan DPR melihat aturan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 yang mengharuskan pengadaan dan pemasanan alat peraga hanya difasilitasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuat kampanye Pilkada 2015 tidak semarak. “Bahkan Presiden Joko Widodo juga sempat mengkritik mengenai tidak semaraknya pilkada ini,” katanya. Hal itu terjadi karena pengadaan dan pemasangan alat peraga kampanye sangat bergantung pada besaran dana yang diberikan pemerintah daerah kepada KPU. Ketika dana yang diberikan pemda besar, alat peraga kampanye yang diadakan dan dipasang KPU bisa tersebar di banyak tempat. Sebaliknya, ketika anggaran daerah terbatas sehingga yang dikucurkan pemda ke KPU pun minim, pengadaan dan pemasangan alat peraga ikut terbatas. Kendala lain, sering dijumpai, saat Pilkada 2015 berlangsung, alat peraga yang dipasang KPU rusak. Saat alat peraga rusak, penggantiannya membutuhkan waktu karena pengadaan alat peraga baru harus melalui proses tender. Diperbolehkannya calon kepala daerah memasang alat peraga, ujar Sumarsono, tidak berarti menghilangkan tanggung jawab KPU dalam hal itu. KPU tetap harus mengadakan dan memasang alat peraga kampanye yang nantinya akan dikombinasikan dengan alat peraga yang dipasang calon. Gubernur dilantik Kemarin, Presiden Joko Widodo melantik empat gubernur, yaitu Gubernur Kepulauan Riau Nurdin Basirun, Gubernur Sumatera Utara Tengku Erry Nuradi, Gubernur Riau Arsyadjuliandi Rachman, dan Gubernur Kalimantan Tengah Sugianto Sabran serta Wakil Gubernur Kalimantan Tengah Habib Said Ismail dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Paku Alam X. Dua dari empat gubernur yang dilantik menggantikan pejabat sebelumnya
yang tersandung kasus korupsi. Dalam kesempatan itu, Presiden Jokowi mengingatkan bahwa gubernur dan wakil gubernur merupakan ujung tombak keberhasilan program prioritas nasional. Presiden meminta agar mereka menyukseskan program dengan regulasi pemerintah. Peran gubernur/wakil gubernur penting sebagai simpul koordinasi antara pusat dan pemerintah di tingkat kabupaten dan kota. Selain itu, Presiden Jokowi juga meminta para gubernur menyiapkan daerah yang dipimpinnya menghadapi era kompetisi dan persaingan global. Dalam memikul tigas itu, gubernur tidak dapat bekerja sendirian, tetapi perlu membangun sinergi dengan banyak pihak (APA/AGE/NDY) sumber: Kompas, 26 Mei 2016 halaman 4 kolom 6-7
KPU Papua akan Hapus Sistem Noken dalam Pilkada 2017 Komisi Pemilihan Umum Provinsi Papua segera menghapus penggunaan sistem noken dalam pilkada serentak 2017 mendatang. Sistem ini masih terdapat di sejumlah kabupaten di wilayah Pegunungan Tengah Papua. Sistem noken adalah pemilihan suara sebuah komunitas berdasarkan perintah kepala sukunya atau dikenal dengan istilah Big Man. Dalam sistem ini, seluruh surat surat dimasukkan dalam kantong noken yakni sebuah tas yang terbuat dari akar kayu. (Baca juga:Sistem Noken Dipermasalahkan, KPU Serahkan Pengaturan ke Daerah).
Ketua KPU Provinsi Papua Adam Arisoy saat ditemui di Jayapura pada Sabtu (12/3/2016) mengatakan, pihaknya akan menggelar rapat bersama KPU pusat dan perwakilan pemerintah dari seluruh kabupaten yang menggelar pilkada di wilayah pegunungan pada 17 Maret 2016 mendatang. “Rencananya kegiatan ini diselenggarakan di Wamena, Kabupaten Jayawijaya. Salah satu poin yang dibahas adalah menghapus penggunaan sistem noken yang masih terdapat di daerah pegunungan, seperti Tolikara, Puncak Jaya, dan Nduga. Warga dapat memilih tanpa paksaan dari kepala sukunya,” kata Adam. Ia mengungkapkan, sistem noken muncul di daerah pegunungan karena keterlambatan penyediaan kotak dalam pemilu pada tahun 1977. “Sebenarnya sistem noken bukanlah kebudayaan warga di daerah pegunungan. Kebiasaan ini muncul karena keterlambatan distribusi kotak suara,” ungkap Adam. Ia pun menuturkan, KPU terus menggelar sosialisasi pemilihan langsung dengan sistem one man one vote bagi pemilih di daerah-daerah pegunungan. (Baca: Pemilu Sistem Noken Dianggap Cederai Prinsip Demokrasi Langsung dan Rahasia). Namun, lanjutnya, warga tetap menggunakan wadah noken untuk memasukkan surat suara yang telah dicoblosnya. “Kami hanya mengubah sistemnya, sedangkan wadahnya tetap menggunakan noken. Upaya ini mencegah adanya rekayasa elite politik yang ingin selalu menggunakan sistem noken untuk meraih suara dalam pilkada,” tutur Adam. Sementara itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Angraini yang sedang berada di Jayapura berpendapat, sesuai putusan Mahkamah Konstitusi, penggunaan sistem noken tak boleh mengabaikan pengadministrasian dan pencatatan sesuai peraturan perudangundangan.
“Hasil pemilu dalam sisten noken di TPS harus dicatat dalam formulir C1 dan melewati rekapitulasi secara berjenjang. Sebab selama ini, hasil pemilu noken seringkali melupakan pendokumentasian dan langsung dibawa ke penyelenggara di tingkat kabupaten,” tutur Titi. Ia pun mengharapkan, pemerintah di daerah yang masih menggunakan sistem noken terus memberikan pendidikan politik kepada warga secara optimal. (Baca juga: MK: Sistem Noken Tak Boleh Dilakukan di Daerah yang Sudah Tak Memakainya). “Dengan adanya upaya pendidikan politik sehingga tercipta demokrasi yang murni. Warga bebas mencoblos kandidat pilihannya,” tambahnya (sumber. Kompas)
Semua Diverifikasi Perlindungan Hak Pilih Warga Jadi Prioritas Komisi Pemilihan Umum mempertimbangkan memverifikasi semua warga yang memiliki hak pilih. Petugas Pemutakhiran Data Pemilih tetap akan mencatat calon pemilih yang belum punya KTP elektronik, surat keterangan, atau belum dapat dipastikan statusnya. Komisioner KPU Ida Budhiati, Rabu (7/9), di Jakarta, menuturkan, KPU selanjutnya akan berkoordinasi dengan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) kabupaten/kota
terkait status calon pemilih yang belum punya e-KTP, surat keterangan atau belum dapat dipastikan statusnya itu. Rekomendasi Dinas Dukcapil akan menentukan, calon pemilih itu dimasukkan atau dikeluarkan dari daftar pemilih tetap (DPT). Langkah ini diambil karena rapat Komisi II DPR dengan KPU, Bawaslu, dan Kementerian Dalam Negeri, akhir pekan lalu, memutuskan, warga yang sudah memiliki hak pilih baru bisa ikut memilih jika sudah memiliki e-KTP atau melakukan perekaman data kependudukan. Ketentuan ini untuk calon pemilih yang namanya tak tercantum dalam DPT pilkada dan ingin menggunakan hak pilihnya pada hari pemungutan suara (Kompas, 5/9). Namun, menurut anggota KPU, Hadar N Gumay, pihaknya belum menerima keputusan resmi tentang rapat dengar pendapat itu. Akibatnya, KPU belum menetapkan Peraturan KPU (PKPU) tentang Pemutakhiran Data Pemilih Pilkada (Mutarlih). Hadar dan Ida menegaskan, semangat KPU dalam menyelesaikan PKPU Mutarlih adalah melindungi hak konstitusional warga. Namun, UU No 10/2016 tentang Pilkada juga mewajibkan KPU mengikuti hasil konsultasi dengan DPR dan pemerintah. Sejauh ini, masih ada sekitar lima juta warga berhak memilih di 101 daerah yang akan menggelar pilkada pada 2017 yang belum memiliki e-KTP. Mereka bisa ikut memilih dengan catatan ada surat keterangan dari dinas dukcapil setempat yang menyatakan bahwa mereka telah melakukan perekaman data kependudukan. Terkait ketentuan itu, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan, pemerintah dan jajarannya akan mempercepat penyelesaian perekaman data kependudukan. “Prinsipnya, hak politik warga dalam pilkada akan dijamin dan tidak akan dipersulit,” ujarnya. Direktur Jenderal Administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Zudan Arif Fakrulloh menambahkan, Kemendagri juga segera mengadakan lima juta blangko e-KTP. Jika masih ada anggaran sisa dari dana dekonsentrasi yang tidak terpakai,
diperkirakan pengadaan blangko bisa lebih banyak lagi. Dengan kebijakan ini, diharapkan warga yang telah melakukan perekaman dapat segera memperoleh e-KTP. Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini berharap, dinas dukcapil responsif menyikapi laporan terkait warga yang belum memiliki KTP elektronik. Peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Sri Nuryanti, mengatakan, kekacauan administrasi kependudukan terkait e-KTP yang menjadi kewajiban pemerintah tidak boleh menghilangkan hak konstitusional warga. “KPU wajib melindungi hak pilih warga dan negara juga demikian. Bukan malah hak pilih warga dihilangkan karena ada masalah pada administrasi negara,” ujar Sri Nuryanti. (INA) Sumber: Kompas, Kamis 8 September 2016 Halaman 2 Kolom 2-5