Modul 18: Inflasi dan Deflasi
INFLASI DAN DEFLASI TIK: Setelah mengikuti mata kuliah ini mahasiswa memahami inflasi sebagai gejala masalah jangka pendek perekonomian, hubungan dengan hargaharga dan pengangguran. TIU: Setelah mengikuti mata kuliah ini mahasiswa diharapkan mampu menganalisis pengaruh inflasi dan deflasi terhadap perekonomian. Sub Pembahasan: Sebab-sebab inflasi Inflasi dan pengangguran Ketika membicarakan perhitungan Pendapatan Nasional disinggung sepintas lalu bahwa Pendapatan Nasional itu dapat dinyatakan atas dasar harga yang berlaku dan atas dasar harga konstan. Hal ini disebabkan karena tingkat harga itu tidak tetap. Pada saat sekarang ini kemungkinan besar naik terus, kecuali untuk komoditi pertanian pada waktu panen. Kenaikan harga inilah yang dinamai inflasi. Jadi inflasi adalah suatu proses atau peristiwa kenaikan tingkat harga umum. Dikatakan tingkat harga umum oleh karena barang dan jasa itu banyak jumlah dan jenisnya. Ada kemungkinan harga sejumlah barang turun, sedang lainnya naik. Apakah tingkat harga umum ini naik atau turun tergantung pada komponen-komponennya. Kalau hasil akhir komponen-komponennya yang beraneka ragam ini naik maka tingkat harga umum ini akan naik, dan demikian pula sebaliknya. Lawan inflasi adalah deflasi yaitu suatu proses atau peristiwa penurunan tingkat harga umum. Seperti dalam inflasi dalam proses deflasi pun, mungkin sekelompok harga barang dan jasa itu naik dan sekelompok lainnya turun, tapi hasil akhirnya adalah turun, atau umumnya adalah turun. Harus diingat baik-baik bahwa baik inflasi maupun deflasi, kedua-duanya adalah proses atau peristiwa, dan bukannya tingkat harga. Misalnya tingkat harga umum yang dianggap tinggi, belum menunjukkan inflasi; baru menunjukkan inflasi kalau ada proses kenaikan harga. Ace Partadiredja
Halaman 18-1
Modul 18: Inflasi dan Deflasi Bagaimanakah mengukur kenaikan dan penurunan tingkat harga umum itu? Yang mengalami proses kenaikan dan penurunan tingkat harga itu tidak hanya Indonesia saja, tapi hampir semua negara di seluruh dunia. Karena itu masing-masing negara di dunia ini mengusahakan juga pengukuran kenaikan dan penurunan tingkat harga ini. Karena banyak negara yang mengukur proses ini maka beberapa lembaga dunia seperti ILO memberikan petunjuk-petunjuk bagaimana mengukurnya agar dapat dibandingkan juga satu negara dengan lainnya. Indonesia pun asal mulanya tidak mempunyai alat pengukur apapun. Sesudah dirasakan mendesaknya keperluan mengukur laju kenaikan dan penurunan harga ini diselenggarakanlah suatu survey pada tahun 1957—1958. Tujuan survey ini adalah untuk mengetahui barangbarang dan jasa-jasa apa sajakah yang dikonsumsi oleh rakyat kecil, dan berapakah kenaikan harga barang-barang dan jasa-jasa yang dikonsumsi itu baik nominal maupun relatif, setiap jangka waktu tertentu. Untuk mencapai tujuan ini dipilihlah 300 keluarga buruh industri berpendapatan rendah di Jakarta. Karena diselenggarakan selama 4 ronde, jumlah keluarga seluruhnya adalah 1200. Mereka diminta untuk mengisi sebuah buku harian setiap hari selama satu ronde (3 bulan) dengan berbagai pengeluaran (jenis dan nilainya). Setelah satu tahun informasi dari buku harian ini diolah. Keluarlah hasilnya berupa jenis barang-barang dan jasa-jasa sebanyak 62 yang dikelompok-kelompokkan menjadi 4: Makanan Perumahan Pakaian Lain-lain
29 macam 6 macam 12 macam 15 macam
masing-masing dengan proporsi (persentase) dari seluruh pengeluaran, yang kemudian dijadikan bobot (weight) perhitungan-perhitungan selanjutnya. Sesudah survey ini perubahan harga ke 62 barang dan jasa ini dicatat sebulan sekali. Mula-mula perubahan harga ini hanya dicatat di Jakarta saja, sekarang meliputi Banda Aceh, Medan, Pekanbaru, Jambi, Palembang, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Pontianak, Banjarmasin, Balikpapan, Manado, Ujung Pandang, Padang, Tanjungkarang, Malang, Mataram, Palangkaraya, Samarinda, Palu dan Kendari (23 kota). Hasil pengamatannya setiap bulan dengan segala perhitungan-perhitungannya dinamai Angka Indeks Biaya Hidup. Inilah yang dijadikan ukuran inflasi dan deflasi, kenaikan dan penurunan harga. Yang dipakai untuk menghitung angka indeks ini adalah rumus Laspeyres:
Ace Partadiredja
Halaman 18-2
Modul 18: Inflasi dan Deflasi
=
∑ ∑
. .
100
Dimana: L = indeks Laspeyres = harga barang atau jasa pada waktu pencatatan = harga barang atau jasa pada tahun dasar = jumlah barang atau jasa pada tahun dasar Tahun dasar adalah tahun basis atau tahun permulaan; dalam hal ini yang mula-mula dijadikan tahun dasar adalah 1957/1958. Pada tahun 1978 yang dijadikan tahun dasar adalah 1966. Tahun dasar ini selalu diberi nilai 100. Saat-saat berikutnya mungkin bernilai lebih dari 100 kalau terjadi kenaikan harga, mungkin kurang dari 100 kalau terjadi penurunan harga. Pemilihan tahun dasar ini hams disertai alasan-alasan tertentu yang kuat. Tentu sajalah sifatnya akan subyektif, yang pada akhirnya persetujuan bersamalah yang menentukan. Umpamakan harga beras pada tahun dasar adalah Rp 100,00/kg, sedangjumlah yang dibeli per bulan rata-rata per keluarga adalah 50 kg beredar survey 1957/1958. Sedang harga pada tahun pencatatan (misalnya 1960) adalah Rp 150,00/kg. Maka indeks harga adalah =
150 100
50 50
100 = 150
Berarti sejak tahun dasar harga beras telah naik 50%. Dapat juga inflasi dan deflasi ini dihitung untuk tahun-tahun lain. Dalam Indikator Ekonomi terbitan EPS, angka indeks umum tahun 1966 adalah 1788 dan tahun 1977 adalah 1985. Antara tahun 1966 dan 1977 telah terjadi kenaikan harga sebanyak: 1984 − 1788 1778
100% = 11,04%
Sesudah 20 tahun angka indeks seperti di atas itu dianggap usang, bahkan sudah lama sekali dianggap usang. Tata politik dan tata ekonomi sudah berubah, susunan barang dan jasa yang dikonsumsi juga berubah, sedang penduduk Indonesia yang menderita inflasi dan deflasi juga tidak hanya buruh pabrik. Karena banyaknya kekurangan-kekurangan survey 1957/1958 maka EPS mengadakan Survey Anggaran Rumah Tangga pada tahun 1969. Akhirnya survey ini akan menghasilkan Angka Indeks Harga Konsumen (Consumers Price Index, CPI). Jumlah sample 8000 keluarga, dari berbagai golongan berpendapatan rendah dan sedang. Barang dan jasa yang dilaporkan meliputi 100 jenis: Makanan Perumahan Ace Partadiredja
41 jenis 16 jenis Halaman 18-3
Modul 18: Inflasi dan Deflasi Pakaian Lain-lain
20 jenis 23 jenis
Rumus yang dipakai untuk perhitungan selanjutnya adalah: Laspeyres yang dimodifikasi: ∑ =
. ∑
. .
100
di mana adalah harga pada saat pencatatan sebelumnya. Angka Indeks Harga Konsu-men ini sampai sekarang belum dipublikasi, yang dipakai masih yang lama, 62 jenis barang dan jasa yang dinamai Angka Indeks Biaya Hidup (Cost of Living Index). Sebenarnya untuk mengukur laju inflasi Angka Indeks Biaya Hidup ini tidak selalu memadai. Untuk bahan penyusunan kebijaksanaan upah dan gaji pegawai pemerintah ataupun swasta angka indeks ini bermanfaat. Tapi bagi perusahaan bangunan, konsultan proyek, dan lembaga dunia yang mengurusi pembangunan tidak begitu bermanfaat karena Angka Indeks Biaya Hidup ini hanya memperlihatkan perubahan harga barangbarang konsumsi, sedang harga bahan bangunan, bahan mentah untuk industri, dan harga barang-barang perdagangan tidak tercermin. Untunglah bahwa di Indonesia ini sekarang sudah tersedia: 1. Angka indeks harga 9 bahan pokok di Jakarta dan beberapa kota lain. Sembilan bahan pokok ini meliputi: beras, ikan asin, minyak goreng, gula pasir, garam bataan, minyak tanah, sabun cuci B29, tekstil, dan batik. Perubahan harga 9 bahan pokok ini dicatat setiap minggu. Tahun dasarnya adalah 4 Oktober 1966 yang sama dengan 100. 2. Angka Indeks harga 12 macam bahan makanan di pasar pedesaan di Jawa dan Madura, yang meliputi: beras, jagung pocelan (pipilan), kacang kedele, kacang tanah, ketela pohon, ketela rambat, kelapa tua belum dikupas, minyak kelapa, garam bataan, telur ayam mentah, daging kerbau, dan ikan asin teri. Di sini rumus yang dipakai adalah: = Dimana,
= timbangan pada tahun dasar. = harga pada waktu pencatatan, dan = harga pada tahun dasar.
3. Angka indeks 9 bahan pokok di pasar pedesaan Jawa, Madura, dan luar Jawa. Sama dengan nomer 1, tetapi dikumpulkan dari pasar pedesaan. 4. Angka indeks harga perdagangan besar sektor-sektor pertanian, pertambangan dan penggalian, industri, barang-barang impor, bahan ekspor, dan bahan bangunan/konstruksi. Ace Partadiredja
Halaman 18-4
Modul 18: Inflasi dan Deflasi
Itu semua dapat dijadikan pengukur inflasi dan deflasi menurut keperluannya sendiri-sendiri. Meskipun sudah ada beberapa angka indeks, tapi dibandingkan dengan anjuran badan-badan dunia seperti IL,O masih banyak peluang untuk memperbaiki, baik dalam mutu untuk masingmasing indeks maupun untuk macam-macam indeks yang belum dibuat. Semua perbaikan memerlukan biaya, orang, kecakapan dan pengetahuan, sedang yang memanfaatkannya baru sedikit. Kita sebagai siswa ekonomi harus mulai mengenalnya lewat publikasi-publikasi EPS seperti Indikator Ekonomi yang diterbitkan setiap bulan. SEBAB-SEBAB INFLASI Nampaknya apabila dibandingkan antara inflasi dan deflasi maka inflasi mempunyai pengaruh yang mendalam pada masyarakat apakah pengaruh itu baik ataupun buruk. Deflasi akan menguntungkan pegawai dan karyawan yang berpenghasilan tetap, tapi merugikan perusahaanperusahaan. Inflasi akan menguntungkan pengusaha dan pedagang tapi merugikan pegawai yang berpenghasilan tetap. Umumnya inflasi yang lunak, kurang dari 5 % setahun dianggap sehat untuk perkembangan ekonomi. Tapi inflasi yang cepat, 5 % atau lebih, apalagi hiperinflasi, atau inflasi yang meroket (sky rocketing inflation) dirasa merusakkan masyarakat. Berdasar laju kecepatannya orang membagi inflasi ke dalam: inflasi lunak (mild inflation), inflasi cepat (galloping inflation), inflasi meroket (sky rocketing inflation) atau hiperinflasi (hyperinflation). Pembatasan masing-masing inflasi itu tidak jelas. Karena inflasi yang cepat itu merusak maka pemerintah berusaha untuk membendungnya atau mempengaruhi sebab-sebab inflasi. Untuk itu diselidikilah apa sebab ada inflasi. Ada dua sebab utama: karena kenaikan permintaan di atas kemampuan berproduksi, atau inflasi karena tarikan permintaan (demand pull inflation) dan karena kenaikan biaya produksi, terutama biaya upah, atau inflasi karena dorongan biaya (cost push inflation). Kita bahas keduanya. Pada masa-masa perluasan atau konjungtur naik, permintaan orangorang akan barang-barang dan jasa-jasa naik, harga-harga akan naik. Sebagai reaksinya produksi juga naik. Namun kenaikan produksi ini ada batasnya. Kalau semua orang sudah terkerjakan penuh dan semua alat-alat produksi sudah terpakai penuh (24 jam sehari dengan 3 giliran kerja), maka produksi sudah mencapai maximum, perekonomian sudah mencapai pengerjaan penuh (full employment). Setiap kenaikan permintaan hanya akan menaikkan harga, jumlah barang dan jasa tidak akan bertambah. Siapa yang berani membeli dengan harga tinggi itulah yang akan kebagian, lainnya harus puas dengan jumlah barang dan jasa yang lebih sedikit. Makin bertambah permintaan makin tinggi harga seperti akan terlihat pada indeks biaya hidup atau indeks harga konsumen. Apabila inflasi jenis ini yang berkembang maka pemerintah berusaha membendungnya dengan Ace Partadiredja
Halaman 18-5
Modul 18: Inflasi dan Deflasi mengendorkan pengeluaran pemerintah, G; membendung pengeluaran konsumsi, C; dengan menaikkan pajak agar daya beli konsumen berkurang; dan juga menarik pajak perusahaan untuk mengurangi investasi, I. Jadi pokoknya kenaikan komponen C, I, G ditahan pada tingkat produksi pada pengerjaan penuh. Secara matematik inflasi jenis ini dapat dilukiskan sebagai: M = 1 . PY di mana M adalah jumlah uang beredar, 1 adalah kebalikan dari kecepatan peredaran uang, P adalah tingkat harga umum, dan Y adalah Produk Domestik Bruto. Kalau Y sudah tetap pada tingkat pengerjaan penuh dari semua faktor produksi, sehingga produksi tidak dapat bertambah lagi, dan 1 juga sudah tetap karena kebiasaan, maka pertambahan M yang berarti pertambahan uang, hanya akan berakibat kenaikan harga saja. Karena itu pengawasan M adalah salah satu kebijaksanaan yang dapat ditempuh. Pengketatan M yang paling mudah adalah lewat G. Di negara-negara industri inflasi semacam ini pernah terjadi. Di Indonesia pengerjaan penuh semua sumber dan faktor produksi belum pernah terjadi. Atau sekurang-kurangnya kapasitas penuh faktor produksi itu, terutama tenaga manusia, belum pernah diketahui. Inflasi jenis kedua bersumber pada kenaikan biaya produksi terutama upah dan gaji. Di negara-negara yang mempunyai serikatserikat buruh yang kuat, serikat buruh ini sering menuntut kenaikan upah dan gaji dengan sanksi mogok kerja. Untuk memecahkannya pimpinan perusahaan mengadakan tawar-menawar dengan pimpinan serikat buruh. Proses tawar menawar inilah yang dinamai tawarmenawar kolektif (collective bargaining). Apabila hasilnya berupa kenaikan upah, maka biaya produksi akan naik, perusahaan akan rugi atau sekurang-kurangnya keuntungan berkurang. Seringkali pengusaha dapat menggeser beban ini kepada konsumen dengan menaikkan harga barang yang dibuatnya. Kalau barang yang dibuatnya ini merupakan bahan bagi industri lain, misalnya baja, semen, dan bensin, maka harga barang-barang lain juga cenderung untuk naik. Terjadilah kenaikan harga umum. Sesudah mengalami kenaikan harga semua barangbarang, maka daya beli karyawan menurun. Sesudah beberapa lama serikat buruh akan menuntut kenaikan upah lagi dan demikian seterusnya tuntutan kenaikan upah berkejar-kejaran dengan kenaikan harga. Proses ini kita saksikan juga di Indonesia meskipun serikat buruh tidak boleh mogok. Pada tahun-tahun tertentu ada kenaikan gaji secara massal, tapi sebelum gaji dinaikkan harga-harga sudah mendahului naik, sehingga daya beli pegawai sebenarnya tetap atau merosot. Inflasi semacam ini dinamai inflasi yang didorong biaya (cost push inflation). Ace Partadiredja
Halaman 18-6
Modul 18: Inflasi dan Deflasi Membendung inflasi jenis kedua ini sulit, karena untuk mengendalikannya harus ada pengangguran. Kalau ada pengangguran pimpinan serikat buruh tidak berani memaksakan tuntutannya. Dalam hal pengangguran tidak banyak salah satu cara yang dapat dipakai adalah mengekang serikat-serikat buruh agar tidak mogok karena menuntut kenaikan upah, melalui undang-undang atau dekrit. Atau yang lebih drastis lagi adalah mencegah kenaikan harga dengan kekerasan atau dengan ransum (rationing); tapi kesannya terhadap masyarakat juga buruk. Indonesia juga mengalami inflasi, tapi tidak selalu jelas dapat diidentifikasikan dengan salah satu dari kedua sumber tersebut di atas. Sebagai negara kecil (dalam arti PNB) yang sedang berkembang perdagangan luar negeri Indonesia besar peranannya atas perekonomian. Karena itu apa yang terjadi di luar Indonesia, termasuk inflasi, selalu ada pengaruhnya atas perekonomian Indonesia. Amerika Serikat, Jepang, Singapura, Hongkong, dan Eropa Barat kawan Indonesia dalam berdagang juga mengalami inflasi. Jadi inflasi yang ada di Indonesia sebagian berasal dari luar negeri (impor). Sehubungan dengan ini perubahan kurs uang asing terhadap rupiah juga dapat mengakibatkan kenaikan harga secara langsung atau tidak langsung. Perubahan kurs dollar dari Rp 415,00 jadi Rp 625,00 akan membuat barang-barang impor, barang-barang buatan dalam negeri yang menggunakan bahan impor, dan barang-barang yang dirakit menjadi mahal. Pada zaman sekarang ini tidak ada satu sektor perekonomian pun yang terpisah dari sektor lain. Pembuat barang-barang dalam negeri juga merasakan bahwa barangbarang yang dia beli itu naik harganya. Untuk mempertahankan daya belinya ia pun cenderung untuk menaikkan harga barang-barang yang dibuatnya meskipun tidak ada hubungannya dengan impor. Demikianlah secara tidak langsung harga barang-barang lain juga naik. Inflasi dapat juga bersumber pada keadaan psikologi sekelompok orang-orang. Perubahan-perubahan seperti itu jelas dapat kita saksikan di pasar bursa saham dan obligasi (stock exchange) di Amerika Serikat, Eropa Barat dan Jepang. Perubahan politik, keberhasilan atau kegagalan seorang kepala pemerintahan dapat menurunkan atau menaikkan nilai saham. Kalau orang-orang menduga keadaan akan memburuk maka harga saham akan turun, meskipun ternyata bahwa keadaan tidak memburuk. Sedikit banyak para pedagang saham di pasar bursa itu harus juga mengerti soalsoal politik dan perekonomian luar negeri. Keadaan psikologi seperti ini di Indonesia pun ada. Kalau diduga pemerintah akan merubah kebijaksanaan sedemikian rupa sehingga barang-barang akan langka, maka harga cenderung untuk naik, dan demikian sebaliknya. INFLASI DAN PENGANGGURAN Di negara-negara yang sudah maju industrinya dan menganut sistem pasar bebas, inflasi dan pengangguran merupakan dua hantu yang Ace Partadiredja
Halaman 18-7
Modul 18: Inflasi dan Deflasi menakutkan. Keduanya seringkali tidak dapat didamaikan. Mempertahankan pengerjaan penuh (full employment) dan mendorong pertumbuhan ekonomi menghendaki kebijaksanaan yang sampai suatu tingkat tertentu, menimbulkan inflasi. Sebabnya mudah saja. Pembangunan memerlukan investasi. Pengeluaran pemerintah untuk menaikkan investasi akan menaikkan permintaan akan barang-barang dan jasa-jasa. Kenaikan permintaan akan mendorong harga-harga untuk naik. Pe-ngangguranlah yang dapat sedikit memperlunak kenaikan harga-harga. Jadi untuk meringankan inflasi harus ada sedikit pengangguran. Jadi harus memilih antara inflasi dengan pengangguran. Dengan kata lain ada tukar-tukaran (trade-off) antara inflasi dengan pengangguran. Pengangguran dapat dikurangi hingga mendekati pengerjaan penuh, tapi inflasi tinggi; sebaliknya inflasi dapat ditekan serendah-rendahnya tapi pengangguran tinggi. Peristiwa seperti ini dialami di negara-negara pasar bebas yang sudah maju. Seorang ahli ekonomi Inggris bernama A.W. Phillips telah mempelajarinya, dan melukiskan tukar-tukaran ini seperti pada gambar berikut.
Garis mendatar mengukur pengangguran dalara persentase dari Ace Partadiredja
Halaman 18-8
Modul 18: Inflasi dan Deflasi seluruh angkatan kerja; sedang garis tegak lurus memperlihatkan persentase kenaikan dan penurunan harga-harga umum. Dengan berkurangnya pengangguran dan perekonomian sedang dalam proses mendekati pengerjaan penuh, maka persentase inflasi menjadi makin tinggi. Demikian juga sebaliknya inflasi dapat ditekan rendah, tapi persentase pengangguran akan menjadi tinggi. Kurva ini dinamai kurva Phillips, sesuai dengan nama penciptanya. Perkembangan perekonomian di negara-negara industri maju sekarang ini mempunyai dimensi baru yang sering membingungkan. Kalau dahulu ada pilihan antara inflasi dengan pengerjaan penuh sekarang pilihan ini sudah hampir tidak ada. Kalau dulu pemerintah dapat mempertahankan pertumbuhan ekonomi meskipun dengan mengorbankan stabilisasi harga, atau dapat mempertahankan stabilisasi harga meskipun dengan menderita pengangguran, maka sekarang dua hantu itu, pengangguran dan kemandegan ekonomi, hadir sekaligus pada waktu yang bersamaan; perekonomian mengalami stagnasi (kemandegan) dan inflasi meraja lela, seperti di Amerika Serikat sekarang. Keadaan ini dinamai stagflasi, stagnasi dan inflasi. Masalahnya menjadi lebih ruwet. Pemerintah berganti-ganti dengan program yang lain-lain baik baru maupun lama, tapi masalah ini masih juga belum dapat dipecahkan. Cobalah kita renungkan. Negara-negara yang mengalami stagflasi itu adalah negara-negara maju. Taraf hidup orang-orangnya sudah tinggi, lebih tinggi daripada taraf hidup orang Indonesia. Namun demikian mereka masih juga menginginkan taraf hidup yang lebih tinggi lagi. Inilah yang pernah kita bahas pada bab-bab pertama buku ini bahwa keinginan manusia itu sebenarnya tidak ada batasnya dan tidak terkenyangkan. Apakah keadaan stagflasi itu sebenar-benarnya masalah? Mungkin jua tidak. Hanya saja manusia itu suka mencari-cari, masalahpun dapat dicaricari, yang sebenarnya bukan masalah dapat dijadikan masalah, meskipun dibuat-buat. Apakah sebabnya sebagian dari inflasi di Indonesia ini adalah impor dari luar negeri? Yang mengalami inflasi ini ternyata tidak hanya negara yang sedang berkembang saja, tapi juga negara-negara yang sudah maju industrinya, tidak hanya negara yang menganut sistem pasar bebas saja, tapi juga negara-negara yang menganut sistem sosialis/komunis meskipun terbatas pada beberapa barang yang tidak dikontrol pemerintah. Pada tahun 50-an negara-negara OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) yang meliputi Eropa Barat, Kanada, Amerika Serikat, Jepang, Australia, dan Turki, mengalami inflasi tidak lebih dari 2 hingga 3% setahun. Pada pertengahan pertama tahun 60-an hingga 1968 masih di bawah 4%. Pada tahun 1970 5,5%, 1971 6,25%. Yang paling parah di seluruh dunia akhir-akhir ini adalah Argentina, sampai mencapai 170%. Orangorang di sana sudah terbiasa dengan laju inflasi yang cepat, dan dapat pula menyesuaikan pensiun, gaji dan upah dengan tingkat harga yang baru setiap saat. Brazilia berhasil menahan sampai di bawah 20% per tahun. Tapi Philipina malah lebih buruk daripada Brazilia, hingga dikatakan Ace Partadiredja
Halaman 18-9
Modul 18: Inflasi dan Deflasi bahwa Pilipina ini telah menggantikan Indonesia, sebagai negara dengan perekonomian yang sakit-sakitan di Asia Tenggara. India, negara terbesar di Asia sesudah Tiongkok, sedang berjuang dengan inflasi setinggi 7%, Nigeria, negara terbesar di Afrika dari segi banyaknya penduduk, hanya berhasil menekan inflasi hingga sedikit di atas 10% per tahun, setelah mengalami 13—14% pada tahun 1970 dan 71. Di negara-negara sosialis/komunis harga-harga dan upah dikontrol ketat oleh negara. Harga barang-barang dan jasa-jasa tidak ada hubungannya dengan biaya produksi, demikian pula antara harga eceran dan grossier. Tapi ada beberapa inflasi yang tersembunyi. Di Uni Soviet kenaikan harga-harga nampak pada sektor swasta kecil: pasar mobil bekas, rumah-rumah di luar kota, dan koleksi perseorangan seperti lukisan-lukisan. Mobil bekas sering dijual lebih mahal ketimbang mobil baru. Harga rumah selama 5 tahun terakhir naik sebanyak 25 % atau lebih. Inflasi mempunyai pengaruh yang besar atas harga tanah dan harta benda seperti yang kita alami di Indonesia ini. Orang-orang yang punya uang lebih membelikannya pada tanah atau rumah karena harganya naik terus. Kalau sudah ada pasar modal, harga saham juga naik terus. Perbandingan antara harga bahan makanan dan barang industri sering tidak seimbang, harga barang-barang industri naik lebih cepat daripada harga bahan makanan atau hasil pertanian. Negara-negara pengekspor bahan makan menderita rugi. Karena itu semua negara berusaha untuk membendung inflasi ini dengan berbagai cara, mulai dari anjuran untuk mengekang diri secara sukarela hingga campur tangan langsung dan keras dari pemerintah atas upah, penetapan harga, dan keuntungan perusahaan. Nampaknya inflasi ini merupakan penyakit menular dan tidak ada satu negarapun yang mampu menyembuhkan atau mampu mengasingkan diri dari negara lain. Kecenderungan terhadap liberalisasi perniagaan internasional, penurunan tariff dan pembentukan blok-blok perdagangan bebas regional menjadikan orang-orang terbiasa membeli barang-barang buatan luar negeri, dan para industrialis memasang alat-alat buatan luar negeri juga. Pembeli dan pengusaha sekarang ini berbelanja keliling dunia untuk mencari barang termurah dan terbaik; spesialisasi terjadi di seluruh dunia; dan perusahaan-perusahaan multi nasional lebih menguasai ekonomi daripada pemerintah sendiri. Kebebasan berpindah bagi barangbarang, orang dan modal berarti bahwa pemerintah mempunyai kebebasan yang lebih kecil untuk menguasai perekonomiannya sendiri, dan tak ada atau hampir tak ada negara yang mampu mempertahankan politik autarki. Tak ada satupun negara yang mengasingkan diri dari keadaan dunia tanpa merusak susunan kerja sama ekonomi internasional. Sekarang ini swasembada (self-sufficiency) dan taraf hidup yang tinggi tidak dapat berjalan seiring. Karena itu tindakan bersama dan serempak amat diperlukan untuk membendung inflasi.
Ace Partadiredja
Halaman 18-10
Modul 18: Inflasi dan Deflasi LATIHAN 1. Deflasi akan menguntungkan pegawai yang berpenghasilan tetap tapi merugikan perusahaan, inflasi akan menguntungkan perusahaan dan pedagang, tapi merugikan pegawai yang berpenghasilan tetap. Benarkah demikian? 2. Bahaslah kedua sumber pokok inflasi. Apakah inflasi di Indonesia dapat diidentifikasikan dengan kedua sumber itu? 3. Bagaimana mengukur inflasi di Indonesia? Diskusikanlah kelemahankelemahannya! 4. Kebijakan ekonomi apakah yang dapat ditempuh pemerintah untuk membendung inflasi? 5. Apa sebabnya inflasi dianggap sebagai penyakit menular di dunia? 6. Tindakan bersama semua negara di seluruh dunia diperlukan untuk mengurangi inflasi! Setujukah saudara? Sebab?
Ace Partadiredja
Halaman 18-11