BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang World Health Organization (WHO) pada tahun 1993 mendeklarasikan penyakit Tuberkulosis (TB) sebagai kedaruratan global akibat dari semakin meningkatnya penyakit dan kematian akibat TB di banyak negara. TB merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang merupakan Bakteri Tahan Asam (BTA). Penyakit TB ditularkan oleh penderita secara langsung melalui saluran pernafasan pada saat batuk maupun bersin (WMA, 2007). Tahun 2010 sebanyak 6,2 juta orang telah didiagnosis menderita TB dan dilaporkan oleh National Tuberculosis Programes (NTPs) yang terdiri dari 5,4 juta kasus baru, 300.000 kasus kambuh dan 400.000 pengobatan ulang. Negaranegara yang memiliki beban tinggi penyakit TB (high burden countries) sebanyak 22 negara termasuk Indonesia menyumbang sekitar 82% penderita TB dunia (WHO, 2011). Berdasarkan hasil survei prevalensi tahun 2004 prevalensi kasus baru TB BTA positif di Indonesia yaitu sebesar 110 per 100.000 penduduk. Hasil survei juga membagi besarnya perkiraan prevalensi TB BTA positif menjadi 3 kelompok berdasarkan wilayah yaitu 110 per 100.000 penduduk di Jawa dan Bali (khusus Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Bali sebesar 64 per 100.000 penduduk), 160 per 100.000 penduduk di wilayah Sumatera dan 210 per 100.000 penduduk di wilayah kawasan Indonesia timur (WMA, 2007). Upaya pengendalian TB ditujukan untuk menurunkan prevalensi dan kematian akibat TB sebesar 50% pada tahun 2015 dibandingkan prevalensi dan kematian pada tahun 1990. Tujuan akhir yang ingin dicapai adalah TB tidak lagi jadi masalah kesehatan masyarakat pada tahun 2050. Upaya pengendalian TB dilakukan dengan meningkatkan ekspansi Directly Observed Treatment Short course (DOTS) yang berkualitas (WHO, 2006).
1
2
Indonesia dalam rangka percepatan Millenium Development Goals (MDGs) mentargetkan penemuan kasus baru TB BTA positif atau Case Detection Rate (CDR) tahun 2011 adalah sebesar 75% dan kesembuhan penderita TB BTA positif sebesar 86%. Realisasi pencapaian CDR Indonesia tahun 2011 telah melampaui target yaitu mencapai 82,2% (Kemenkes_RI, 2011a). Upaya pengendalian TB di Indonesia menghadapi masalah yang hampir sama dengan masalah pengendalian TB di dunia antara lain minimnya alat dan teknik penegakan diagnosis. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis Indonesia sampai dengan saat ini, masih merupakan komponen kunci untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan 3 spesimen dahak tersangka penderita TB secara mikroskopis yaitu Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) nilainya identik dengan pemeriksaan dahak secara biakan atau kultur (Kemenkes_RI, 2011a). Diagnosis TB melalui pemeriksaan biakan dahak merupakan baku emas (gold standard) namun memerlukan waktu relatif lama, mahal, dan perlu fasilitas khusus. Pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan pemeriksaan yang dapat dilaksanakan di semua laboratorium namun harus dipantau melalui sistem pemantapan mutu laboratorium. Lot Quality Assurance Sampling (LQAS) merupakan sistem pemantapan mutu laboratorium yang hingga kini terus dikembangkan (Kemenkes_RI, 2011b). Berdasarkan laporan Kelompok Kerja Laboratorium (Pokja Lab) TB Indonesia tahun 2009 didapat data bahwa kualitas sediaan dahak yang diperiksa di Sarana Pelayanan Kesehatan (SPK) masih di bawah standar. Partisipasi laboratorium mikroskopis pemeriksa pertama dalam uji silang baru 52% dengan 71,2% error rate <5% (Kemenkes_RI, 2011b). Kualitas dan kuantitas tenaga laboratorium yang kompeten masih sangat dibutuhkan. Standar tenaga laboratorium di SPK adalah seorang analis minimal DIII dan telah mengikuti pelatihan teknis laboratorium TB (Kemenkes_RI, 2011b). Pelatihan merupakan bagian yang penting dan mutlak dalam sistem manajerial dan merupakan kebutuhan dasar bagi petugas agar mampu melaksanakan tugasnya. Setiap petugas laboratorium berhak meminta pelatihan untuk dapat memenuhi standar kinerja yang diharapkan (Fatchiyah, 2011). Setiap
3
petugas laboratorium harus mempunyai keterampilan yang memenuhi standar dan harus diberi uraian tugas serta diberi pelatihan agar pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan yang diharapkan (Selvakumar, 2010). Berdasarkan studi pendahuluan di Dinas Kesehatan Kabupaten (DKK) Purbalingga Provinsi Jawa Tengah didapat data bahwa dalam upaya pengendalian TB dilaksanakan di 31 SPK terdiri dari 22 Puskesmas, 7 Rumah Sakit (RS), 1 Rumah Tahanan (Rutan) dan 1 Laboratorium Kesehatan Kabupaten (Labkeskab). Status SPK berdasarkan pemeriksaan mikroskopis TB terdiri dari 7 Puskesmas Satelit (PS), 20 Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM), dan 4 Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM). Petugas laboratorium dari 24 SPK mikroskopis (PPM dan PRM) telah dilatih tahun 2011-2012 sebanyak 5 orang (20,8%) dan tahun 2003-2009 sebanyak 12 orang (50%). Tujuh orang (29,2%) belum dilatih Pencapaian target CDR selama 5 tahun terakhir belum pernah mencapai target minimal 70%. Slide positivity rate hasil pemeriksaan mikroskopis TB tahun 2011 di Kabupaten Purbalingga rata-rata 9,1% (2,9-14,4) sedangkan tahun 2012 rata-rata 8,9 (2,4-14,2). Hasil uji silang tahun 2011 dari segi kualitas sediaan, terdapat 73,4%
sediaan
jelek,
dan
11,5%
sediaan
dengan
pewarnaan
jelek
(DKK_Purbalingga, 2012). Tahun 2012 100% SPK mikroskopis terdapat kualitas sediaan jelek. Kualitas sediaan jelek terdiri dari 26,9% kualitas spesimen jelek, 31,4% kualitas pewarnaan jelek, 8,9% kebersihan jelek, 31,2% ketebalan jelek, 26,1% ukurannya jelek, dan 77,7% kerataan jelek (DKK_Purbalingga, 2012). Kualitas sediaan mikroskopis BTA yang baik akan secara signifikan meningkatkan slide positivity rate sehingga akan mendukung tujuan pengendalian TB (Kusznierz et al., 2004). Berdasarkan penelitian Telambuana (2004) di Kabupaten Deli Serdang bahwa setiap 1% Negatif Palsu Tinggi (NPT) yang antara lain disebabkan kualitas sediaan yang jelek akan menurunkan 0,46% CDR dan dari segi ekonomi akan menimbulkan kerugian sebesar Rp 61.789.950,- per 100.000 penduduk per tahun.
4
Kesalahan baca sediaan mikroskopis TB (error rate) di Kabupaten Purbalingga tahun 2011 sebesar 1,4% terjadi pada 34,7% SPK. Tahun 2012 meningkat menjadi 4,6% terdiri dari 3,6% positif palsu dan 1,1% negatif palsu serta terjadi pada 66,7% SPK (DKK_Purbalingga, 2012). Negatif palsu berarti bahwa pasien TB tidak terdiagnosis dan tidak terobati sehingga akan terus menjadi sumber infeksi di masyarakat. Positif palsu berarti bahwa tersangka TB yang sebenarnya bukan sebagai penderita TB namun didiagnosis dan diobati sebagai penderita TB. Dampak dari positif palsu adalah orang tersebut akan mendapatkan pengobatan yang tidak perlu disertai stigma sosial, pemborosan obat dan terkadang menimbulkan efek samping obat (Addo et al., 2010). Berdasarkan uraian tersebut mendorong peneliti untuk melakukan penelitian tentang pengaruh pelatihan mikroskopis TB terhadap kualitas sediaan dan slide positivity rate di wilayah kerja DKK Purbalingga.
B. Perumusan Masalah Rumusan penelitian ini adalah : Pada 3 bulan sesudah pelatihan mikroskopis TB, apakah rerata kualitas sediaan baik dan slide positivity rate pada kelompok dilatih lebih tinggi daripada kelompok tidak dilatih ? Apakah terdapat perbedaan rerata kualitas sediaan baik dan slide positivity rate antara kelompok dilatih dengan kelompok tidak dilatih ?
C. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pelatihan terhadap kualitas sediaan dan slide positivity rate di wilayah kerja DKK Purbalingga. Tujuan khususnya adalah untuk mengetahui rerata kualitas sediaan dan rerata slide positivity rate pada kelompok dilatih dan kelompok tidak dilatih serta mengetahui perbedaan rerata kualitas sediaan baik dan slide positivity rate antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol 3 bulan sesudah pelatihan.
5
D. Manfaat Penelitian Hasil
penelitian
ini
diharapkan
dapat
mendorong
peningkatan
implementasi peningkatan mutu laboratorium mikroskopis TB. Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai bahan perencanaan peningkatan keterampilan petugas laboratorium mikroskopis dan memberikan kontribusi dalam pencapaian target CDR dengan pemeriksaan mikroskopis yang berkualitas. Manfaat lain yang diharapkan adalah penelitian ini menjadi inspirasi bagi peneliti lain untuk mengembangkan penelitian dengan jangka waktu evaluasi yang lebih lama dan faktor-faktor yang lebih kompleks.
E. Keaslian Penelitian Penelusuran dengan kata kunci pelatihan, mikroskopis, dan TB tidak ditemukan penelitian dengan judul yang sama. Penelitian pelatihan pemeriksaan mikroskopis sediaan dahak TB yang sejalan dengan topik penelitian ini adalah : Tabel 1. Penelitian sebelumnya dengan topik yang sama Peneliti (tahun) Judul penelitian Van Rie et al. Sputum smear microscopy: (2008) Evaluation of impact of training, microscope distribution, and use of external quality assessment guidelines for resource-poor settings
Persamaan a. Eksperimen pelatihan b. Blinded recheking
Prajogo (2012)
a. Eksperimen pelatihan b. Post-test 3 bulan
Peningkatan kemampuan pemeriksaan sputum penderita tersangka Tuberkulosis paru melalui pelatihan
Perbedaan a. 1 group b. Pre-post 9 bulan c. On site evaluation pre-post d. Pemberian Mikroskop baru e. Waktu dan tempat f. Faktor umur, lama tugas, dan jenis kelamin a. 1 group b. Panel testing prepost c. Faktor umur, lama tugas, dan jenis kelamin d. Analisis Kappa
Berdasarkan uraian di atas, penulis menjamin keaslian penelitian ini dan penelitian ini sudah sesuai dengan asas-asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi yaitu kejujuran, rasional, objektif serta terbuka untuk kritik yang sifatnya konstruktif.