BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi salah satunya tercantum dalam Millenium Development Goals (MDGs). MDGs berisi delapan tujuan yang telah dideklarasikan oleh PBB tahun 2000 dengan salah satu tujuan yang ingin dicapai adalah mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Hal tersebut juga sesuai dengan tujuan pembangunan manusia di Indonesia yaitu mencapai kesetaraan gender untuk meningkatkan kualitas SDM tanpa membedakan laki-laki dan perempuan. Kesetaraan dan keadilan gender sering
menjadi
masalah
perempuan
sehingga
juga
menjadi
masalah
pembangunan. Padahal laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh hak-haknya dalam menikmati hasil pembangunan. Isu gender merupakan salah satu isu yang harus diperhatikan karena berpengaruh terhadap hasil pembangunan. Hasil-hasil pembangunan yang ada selama ini kurang dirasa manfaatnya karena belum bisa meningkatkan keterwakilan dan kebutuhan masyarakat terutama untuk perempuan. Pada saat ini memang masyarakat masih cukup kental dengan kultur patriarki yang menyebabkan ketidakadilan gender dan yang sering menjadi korban kaum perempuan. Akibat persolan ini, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mengatasi kesenjangan gender yaitu Keputusan Menteri Dalam Negeri No 132 Tahun 2003 menetapkan seluruh pembiayaan untuk pengarusutamaan gender di daerah di bebankan pada dana APBN dan APBD sekurang-kurangnya 5% dari
1
APBD yang kemudian diperbaharui dengan Peraturan Mentri Dalam Negeri No 15 Tahun 2008 yang isinya terdapat pergeseran konsep tentang pembiayaan pengarusutamaan gender di daerah. Di dalam Kepmendagri No 132 Tahun 2003 pembiayaan pengarusutamaan gender di daerah minimal 5% sedangkan Permendagri no 15 Tahun 2008 tidak ada batasan dan menghendaki keseluruhan dari APBD. Alokasi 5% dari APBD tidak bisa dikatakan sebagai anggaran responsif gender. Anggaran responsif gender bukan fokus penyediaan anggaran dengan jumlah tertentu untuk pengarusutamaan gender tetapi anggaran keseluruhan yang memberikan manfaat adil untuk laki-laki dan perempuan. Pada saat ini kesenjangan yang terjadi disebabkan karena kurang adanya pemahaman dalam penerapan konsep anggaran responsif gender. Anggaran responsif gender dilihat sebagai alokasi anggaran untuk perempuan saja dan bukan untuk kesetaraan antara laki-laki maupun perempuan. Kesadaran dan ketidakpekaan perencana dan pelaksana kebijakan responsif gender melahirkan kebijakan yang diyakini sebagai pembangunan yang netral gender, yaitu kebijakan yang tidak berpihak kepada siapapun (Hidayat Amal, 2007:10). Kebijakan diberbagai sektor beserta program, kebijakan dan dana yang digunakan selama ini memperlakukan perempuan dan laki-laki sama. Pembuat kebijakan merasa membuat kebijakan yang tidak lagi diskriminatif dalam arti tidak membedakan kebutuhan untuk perempuan dan laki-laki (Subiyantoro, 2006;73). Kenyataannya hal ini tidak memberikan dampak yang sama namun membuat posisi perempuan menjadi tidak setara dengan laki-laki. Pemerintah daerah secara resmi melaksanakan APBD responsif gender di tingkat povinsi, kabupaten, dan kota pada tahun 2004. Fakta-fakta menunjukan
2
pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat masih belum bisa mencapai maksimal, walaupun pelaksanaann anggaran responsif gender telah lama dilaksanakan di Indonesia. Ada keterkaitan yang kuat antara relasi gender dengan persoalan hak dasar (Fatimah, 2006:20). Hak dasar ini salah satunya pendidikan. Kesenjangan pada sektor pendidikan telah menjadi faktor utama yang paling berpengaruh terhadap kesenjangan gender secara menyeluruh. Dibidang pendidikan, banyak perempuan yang rata-rata berusia anak sekolah banyak yang terlanggar haknya, hal itu dilihat dari banyaknya perempuan yang masih buta huruf di Indonesia (Sumber: Website Kementrian Koordinator bidang kesejahteraan Rakyat). Indikasi belum terpenuhinya hak setiap warga negara bisa diliat dari banyaknya jumlah perempuan yang masih buta aksara di Indonesia. Persolaan ini dikarena banyaknya perempuan yang tidak punya akses pendidikan dan putus sekolah dari bangku sekolah lantaran tidak ada biaya. Angka buta aksara perempuan masih tinggi yang disebabkan karena patriarki dan diskiriminasi dalam memberikan pendidikan kepada perempuan. Masih tingginya angka buta aksara di kalangan perempuan seharusnya menjadi prioritas bagi pemerintah untuk mengentaskannya (sumber: Website Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat). Tabel 1.1 Persentase Penduduk Buta Huruf Berumur 10 Tahun Keatas Buta Huruf Provinsi Laki-laki Perempuan 2011 2012 2013 2011 2012 DKI Jakarta 0,52 0,34 0,38 1,67 1,39 Jawa Barat 2,16 1,93 1,58 5,12 4,88 Jawa Tengah 5,01 4,87 4,18 12,07 11,93 DI Yogyakarta 3,38 3,90 3,03 11,81 10,58 Jawa Timur 6,06 5,75 5,04 14,41 13,39 Banten 1,90 1,43 1,57 4,85 4,78 Indonesia 4,01 3,72 3,23 8,88 8,31 Sumber: BPS-RI, Susenas 2011-2013
3
2013 1,27 4,37 11,35 10,08 12,58 4,59 7,69
Dari tabel 1.1, prosentase penduduk perempuan buta huruf di Indonesia masih cukup tinggi walaupun mulai menurun dari tahun ketahun. Jawa Tengah merupakan salah satu daerah penyumbang buta huruf tertinggi di Indonesia dengan perempuan sebagai penyumbang terbesar. Buta huruf perempuan pada tahun 2013 sebesar 11,35% sedangkan laki-laki lebih sedikit yaitu 4,18%. Kesenjangan gender dalam angka buta huruf ternyata perempuan lebih besar dari laki-laki solusi tiada lain adalah pendidikan. Pendidikan sebagai alat utama yang paling strategis untuk membebaskan bangsa dari segala ketertinggalan, dan kesenjangan gender termasuk dalam masalah buta huruf. Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menjelaskan untuk mengetahui ketimpangan gender maka kesenjangan nilai IPG dan IPM dapat digunakan. Apabila nilai IPG sama dengan IPM maka tidak terjadi ketimpangann gender tetapi apabila nilai IPG lebih rendah dari IPM maka terjadi ketimpangan gender. Dibawah ini adalah tabel IPM dan IPG beberapa kabupaten Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013. Tabel 1.2 IPG & IPM Kabupaten di Jawa Tengah 2012 Kabupaten IPM IPG Selisih Jawa Tengah 73,36 66,80 6,56 Cilacap 72,77 59,37 13,40 Purbalingga 72,97 63,43 9,54 Banjarnegara 70,70 60,93 9,77 Purworejo 73,53 66,16 7,37 Pemalang 70,66 64,23 6,38 Pati 73,81 64,50 9,31 Batang 71,41 60,27 11,14 Pekalongan 72,37 58,75 13,62 Sumber: Pembangunan Manusia Berbasis Gender, 2013
Berdasarkan data pada Tabel 1.2 beberapa kabupaten di Jawa Tengah masih memiliki kesenjangan gender salah satunya adalah Kabupaten Purbalingga. Nilai IPM dan IPG kabupaten Purbalingga 72,97% dan 63,43% masih dibawah rata-rata
4
Jawa Tengah 73,36% dan 66,80%. Kesenjangan gender terjadi di Kabupaten Purbalingga terbukti dengan nilai IPG sebesar 63,43% lebih rendah dari IPM sebesar 72,97%. Selisih nilai IPG dan IPM sebesar 9,54%. Dari data tersebut sehingga masih terjadi ketimpangan gender bahkan selisih tersebut jauh diatas rata-rata kabupaten di Jawa Tengah sebesar 6,56%. Nilai IPG di Kabupaten Purbalingga rendah karena dipengaruhi oleh beberapa komponen yang terdiri dari angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah dan pendapatan perkapita juga rendah. Dibawah ini data mengenai nilai IPG Purbalingga tahun 2011-2012 sebagai berikut. Tabel 1.3 IPG Kabupaten Purbalingga Tahun 2012 Rata-rata Angka Angka Melek Sumbangan Lama Huruf Pendapatan IPG Kabupaten/ Harapan Hidup sekolah Kota Tahun Persen Tahun Ribu Rp PPP L P L P L P L P 2011 2012 Jawa Tengah 69,66 73,56 94,47 86,55 7,81 6,86 67,45 32,55 66,45 66,80 Purbalingga 68,50 72,46 95,76 91,34 7,41 7,01 71,27 28,73 62,89 63,43 Sumber: Badan Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (BP3AKB),2013
Berdasarkan data tabel 1.3 menunjukan adanya perbaikan pembangunan gender dari tahun 2011-2012. Namun, walaupun sudah ada perbaikan hasil pembangunan masih terjadi kesenjangan pendidikan di Kabupaten Purbalingga. hal tesebut bisa dibuktikan dengan masih terdapat kesenjangan gender pada masingmasing indikator pengukur IPG. Kabupaten Purbalingga tahun 2012 masih memiliki kesenjangan gender yang dialami perempuan terbukti dengan IPG Purbalingga baru mencapai 63,43% dibawah IPG Jawa Tengah sebesar 66,80%. Adapun rincian dalam bidang pendidikan yang bisa dilihat dari indikator pendidikan angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah menunjukan adanya kesenjangan gender dalam bidang
5
pendidikan. AMH perempuan di Purbalingga lebih rendah dibanding AMH laki-laki yaitu laki-laki 95,76% sedangkan perempuan 91,34%. Fakta berdasarkan data BP3AKB (2013) menunjukan dalam pembangunan pendidikan di Purbalingga masih terjadi kesenjangan kemampuan baca tulis dan lama sekolah antara laki-laki dan perempuan. Rata-rata lama sekolah laki-laki 7,41 tahun sedangkan perempuan hanya 7,01 tahun. Kemudian indikator pemberdayaan gender di Purbalingga IDG baru baru 61,74% dengan komposisi keterlibatan di parlemen 15,56%, sebagai tenaga manager, profesional administrasi dan teknisi 40,78% dan sumbangan dalam pendapatan kerja 28,73%. Nilai IDG di Purbalingga masih rendah salah satu faktor yang mempengaruhi adalah rendahnya pendidikan (Sugie, Rusyono.2014). Dapat disimpulkan kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang setara antara laki-laki dan perempuan belum sepenuhnya terpenuhi di Kabupaten Purbalingga. Pada Bulan Februari 2015 di Purbalingga telah ada pembentukan jejaring kelembagaan masyarakat dalam pengarusutamaan gender. Pembentukan jejaring ini diharapkan mampu berdampak dalam peningkatan kualitas dalam berbagai kebijakan dan program yang responsif gender terhadap kebutuhan perempuan dan anak mendorong mewujudkan penguatan kelembagaan pengarusutamaan gender dan meningkatkan kualitas hidup, serta perlindungan perempuan dan anak sehingga mencapai kesetaraan (SuaraMerdeka, 2015). Kesenjangan gender dalam bidang pendidikan yan lebih spesifik dapat ditunjukan melalui angka melek huruf di Purbalingga. Angka melek huruf untuk perempuan umur 10 tahun keatas tahun 2013 relatif lebih rendah dari pada angka melek huruf untuk laki-laki. Data Badan Pusat Statistik Kabupaten Purbalingga
6
(2013) menyebutkan jumlah laki-laki berusia 10 tahun ketas yang melek huruf 337.556 dari jumlah total laki-laki 404.972 sekitar 83,35% sedangkan perempuan 340.166 dari total perempuan 409.306 sekitar 83,11%. Dari data tersebut sudah jelas masih terdapat kesenjangan gender di Kabupaten Purbalingga. Tabel 1.4 Jenjang Pendidikan Laki-laki dan Perempuan di Kabupaten Purbalingga Tahun 2013 Jenjang Laki-laki Perempuan SD 135.012 137.968 SMP 78.310 81.840 SMA 48.970 47.826 Diploma dan Universitas 6.700 6.109 Sumber: BPS Kabupaten Purbalingga, 2014
Kesenjangan gender juga bisa dilihat pada tabel 1.4 tingkat pendidikan jenjang SD dan SMP jumlah perempuan masih mendominasi sebesar 137.968 dan 81.840 sedangkan tingkat pendidikan laki-laki hanya sebesar 135.012 dan 78.310. Berbeda ketika memasuki jenjang pendidikan SMA dan tingkat diploma serta universitas, laki-laki mulai terlihat lebih banyak daripada perempuan. Jumlah lakilaki sebesar 48.970 dan 6700 sedangkan untuk perempuan 47.826 dan 6.109. dari data tersebut menunjukan semakin tinggi tingkat pendidikan maka jumlah peserta didik semakin rendah. Dilihat dari jumlah peserta menurut jenis kelamin, jumlah peserta didik perempuan lebih tinggi saat SD dan SMP dibanding laki-laki. Namun, setelah jenjang pendidikan selanjutnya SMA dan Universitas jumlah perempuan lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Hal tersebut mencerminkan adanya unsur patriarki di Kabupaten Purbalingga. Sebuah fenomena yang menarik di Purbalingga yang berkaitan dengan pendidikan yang rendah oleh perempuan adalah banyaknya jumlah buruh perempuan di Purbalingga. Pada saat ini Purbalingga menjadi salah satu daerah penanaman
7
modal asing dai China dan Korea diantaranya pabrik bulu mata palsu dan pabrik davos yang menyerap banyaknya tenanga kerja perempuan. Berdasarkan data Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Kependudukaan (2013) menyebutkan dari 42.735 tenaga kerja yang terserap di perusahaan lokal Purbalingga 33.436 diantanya merupakan tenaga kerja perempuan dan laki-laki sebanyak 9.299. Keadaan ini cukup banyak dipengaruhi oleh adanya bias gender yang selama ini mengakar dalam masyarakat.
Kebijakan
pembukaan
lapangan
kerja
di
Purbalingga
hanya
memfokuskan pada pekeja perempuan sehingga yang dibutuhkan untuk mengisi lowongan sebagai karyawan pabrik hanya perempuan. Agar bisa menjadi buruh perempuan di pabrik tersebut bisa dari lulusan sekolah menengah petama (SMP) atau sekolah dasar (SD) sekalipun dengan mudah bisa diterima. Walaupun perempuan tersebut bekerja namun tidak terjadi peningkatan ekonomi. Buruh yang bekerja mengaku kesulitan melanjutkan pendidikan karena biaya pendidikan yang mahal sehingga perempuan tersebut tidak melanjutkan pendidikan. Di Kabupaten Purbalingga tahun 2014 masih terdapat sekitar 19.257 anak usia SD sampai SMA sederajat tidak sekolah atau putus sekolah. Untuk usia SD yang tidak sekolah 1.972 anak, usia SMP 7.116 anak dan SMA 10.169 anak. Tingginya angka putus sekolah di Purbalingga seharusnya dibarengi dengan adanya alokasi beasiswa kurang mampu agar siswa yang putus sekolah bisa melanjutkan kembali melanjutkan pendidikan. Disparitas gender menunjukan masih adanya kesenjangan gender dalam bidang pendidikan di Kabupaten Purbalingga telihat kinerja perempuan lebih rendah dibanding laki-laki. Salah satu penyebab kinerja kesenjangan pendidikan disebabkan karena alokasi anggaran yang kurang bisa tersalukan. Alokasi anggaran tersebut bisa
8
dilihat pada tabel 1.5 tentang Alokasi Belanja Langsung APBD Kabupaten Purbalingga Tahun 2014.
No. 1. 2. 3.
Tabel 1.5 Alokasi Belanja Langsung APBD Kabupaten Purbalingga Tahun 2014 Sektor Anggaran Prosentase Pendidikan Rp 82.979.383.000 14,83% Kesehatan Rp 130.684.321.000 23,36% Infrastruktur Rp 190.693.940.000 34,08%
Sumber: APBD Kabupaten Purbalingga, 2014
Berdasarkan Tabel 1.5 anggaran pendidikan di Kabupaten Purbalingga masih kecil apabila dibandingkan dengan anggaran kesehatan dan infrastruktur. Seharusnya anggaran pendidikan menjadi salah satu prioritas mengingat masih banyaknya masalah yang berkaitan dengan pendidikan di Purbalingga. Namun, dari Tabel 1.5 terlihat anggaran pendidikan belum menunjukan belanja pendidikan menjadi prioritas. Total belanja sektor pendidikan hanya 14,83% jauh dibawa belanja kesehatan sebesar 23,96% dan infrastruktur sebesar 34,06%. Prosentase anggaran pendidikan ini masih dibawah dari anggaran pendidikan yang ideal sebesar 20% menurut UU No.41 tahun 2008 tentang anggaran. Berdasarkan masalah pendidikan yang telah dijabarkan sebelumnya, seharusnya anggaran pendidikan di Purbalingga lebih besar untuk menangani masalah pendidikan yang ada.
9
Grafik 1.1 Prosentase Anggaran Pendidikan Kabupaten Purbalingga Tahun 2012-2014 100,00% 80,00%
81,37%
85,17%
68,28%
60,00%
40,00%
31,72%
18,63%
20,00% 0,00%
14,83%
Belanja Langsung
2012 31,72%
2013 18,63%
2014 14,83%
Belanja Tidak langsung
68,28%
81,37%
85,17%
Sumber: Laporan Realisasi Anggaran Pemerintah Kabupaten Purbalingga tahun 2012-2014
Berdasarkan grafik diatas, prosentase Belanja langsung pendidikan tahun 2012-2014 semakin menurun. Pada tahun 2012 prosentase belanja langsung 31,72% berarti sesuai dengan UU No.41 tahun 2008 tentang anggaran dengan ideal yaitu minimal 20%. Namun yang anggaran tersebut malah menurun drastis tahun 2013 dan 2014 dibawah 20%. Tahun 2012-2014 anggaran belanja tidak langsung justru semakin meningkat. Belanja langsung yang ditujukan untuk masyarakat semakin kecil, belanja tidak langsung yang ditujukan untuk aparat malah semakin meningkat. Berdasarkan situasi dan kondisi di Kabupaten Purbalingga, anggaran pendidikan dalam APBD yang terus menurun dari tahun ketahun memunculkan indikasi anggaran yang ditetapkan belum optimal dalam menjawab masalah gender bidang pendidikan. Ada kesenjangan gender yang disebabkan karena belum adanya perhatian khusus tentang anggaran yang responsif gender. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk menganalisis anggaran responsif gender dalam anggaran pendidikan pada APBD Kabupaten Purbalingga tahun 2012-2014 dan berbagai faktor yang menentukan penerapan anggaran responsif gender pada APBD Kabupaten
10
Purbalingga. Analisis yang dilakukan bisa menumbuhkan komitmen pemerintah Kabupaten Purbalingga dalam menyusun anggaran yang lebih responsif gender. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan sebelumnya, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Apakah alokasi belanja APBD Kabupaten Purbalingga sektor pendidikan tahun 2012-2014 sudah menunjukan sensitivitas gender? 2. Apa faktor-faktor yang menentukan penerapan anggaran responsif gender di sektor pendidikan pada APBD Kabupaten Purbalingga tahun 2012-2014? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan pokok permasalahan yang telah dirumuskan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui sensitivitas gender pada alokasi belanja APBD Kabupaten Purbalingga sektor pendidikan tahun 2012-2014. 2. Menganalisis faktor-faktor yang menentukan penerapan anggaran responsif gender dalam anggaran pendidikan APBD Kabupaten Purbalingga tahun 2012-2014. 1.4 Manfaat Penelitian Selain memiliki tujuan seperti di atas, penelitian tentang “Analisis Anggaran Responsif Gender di Sektor Pendidikan pada APBD Kabupaten Purbalingga tahun 2012-2014” diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut. 1. Untuk Bupati Kabupaten Purbalingga Hasil penelitian ini bisa digunakan untuk memberikan informasi mengenai alokasi belanja sektor pendidikan terkait APBD Kabupaten Purbalingga,
11
khususnya mengenai anggaran responsif gender pada sektor pendidikan. Informasi yang ada dapat digunakan sebagai masukan dalam merencakan dan menetapkan anggaran responsif gender pada APBD yang lebih responsif. 2. Untuk Dinas Pendidikan Kabupaten Purbalingga Hasil penelitian ini bisa digunakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Purbalingga sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun anggaran yang lebih responsif gender. 3. Untuk DPRD Kabupaten Purbalingga Hasil penelitian ini bisa digunakan untuk memberikan informasi mengenai analisis alokasi belanja terkait APBD Kabupaten Purbalingga kepada DPRD Kabupaten Purbalingga, khususnya untuk memutuskan anggaran didalam pendidikan yang responsif gender.
12