Indeks Daya Saing Global Sebagai Nilai Publik, Absah atau Bermasalah? Gugyh Susandy & Deden Ramdhan (Dosen TetapSTIE Sutaatmadja Subang) Abstrak Suatu Negara berdiri tegak diatas sebuah komitmen untuk memajukan suatu kehidupan atau peradaban manusia, dimana warga Negara berada didalamnya. Komitmen yang kuat itu menuntut hadirnya suatu usaha yang sistematis dan berkelanjutan dari Negara untuk mencapai tujuannya tersebut. Ukuran keberhasilan atau kegagalan fungsi Negara adalah sejauhmana pencapaian tujuan-tujuannya dapat diraih atau tidak. Organisasi publik tidak saja harus menciptakan nilai swasta/ekonomis tetapi termasuk juga nilai publik. Persoalannya kemudian, apakah yang dimaksud dengan nilai publik/nilai kemasyarakatan itu, pengertian atau sudut pandangnya. Interpretasi nilai publik yang menjadi acuan bagi Negara-Negara secara internasional salah satunya adalah indeks daya saing global (GCI). Persoalan lanjutan kemudian,adalah apakah indikator-indikator yang digunakan dalam indeks nilai publik ini sudah ditelaah sejauhmana keabsahannya dilihat dari perspektif mendasar dan analisis serta evaluasi terhadap sistem yang telah berjalan. Penetapan dan penggunaan suatu ukuran nilai publik (public value) yang diberlakukan secara internasional saat ini lahir dari suatu sudut pandang Indeks Daya Saing Global Sebagai Nilai Publik,
Absah atau Bermasalah?
31
idiologi tertentu yaitu idiologi kapitalisme. Artinya dalam mengevaluasi suatu ukuran nilai publik dalam hal ini GCI harus menggunakan paradigma idiologi lainnya yaitu Islam, agar dapat menchallenge sekaligus memberikan solusi alternatif secara mendasar bagi pengukuran keberhasilan suatu Negara dalam mewujudkan nilai publik. GCI bermasalah dari sisi paradigma ekonomi kapitalistik yang tercermin dalam pilar Makroekonomi dan pilar pengembangan Pasar Finansial. Alih-alih menjadikan suatu Negara berdaya malah menjadikan Negara tersebut tak berdaya karena memiliki daya yang “semu”. Politik ekonomi Islam bukan hanya bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan dalam sebuah negara semata, tanpa memperhatikan terjamin-tidaknya tiap orang untuk menikmati kehidupan tersebut. Politik ekonomi Islam juga bukan hanya bertujuan untuk mengupayakan kemakmuran manusia dengan membiarkan mereka sebebas-bebasnya untuk memperoleh kemakmuran tersebut dengan cara apapun, tanpa memperhatikan terjamin-tidaknya hak hidup tiap orang. Akan tetapi, politik ekonomi Islam adalah sematamata merupakan pemecahan masalah utama yang dihadapi tiap orang, sebagai manusia yang hidup sesuai dengan interaksi-interaksi tertentu serta memungkinkan orang yang bersangkutan untuk meningkatkan taraf hidupnya, dan mengupayakan kemakmuran dirinya di dalam life style tertentu. Dengan demikian, politik ekonomi Islam tentu berbeda dengan politik ekonomi yang lain. Maka, politik ekonomi Islam tersebut sebenarnya berdiri di atas satu konsep, yaitu menjalankan tindakan
32 Dimensia Volume 11 Nomor 1, Maret 2014 : 31-62
ekonomi berdasarkan hukum syara' yang diterapkan oleh setiap orang dengan dorongan ketakwaan kepada Allah serta dilaksanakan oleh Negara. Walhasil hanya dengan sistem ekonomi islam sajalah, nilai publik hakiki yang dicita-citakan itu akan benar-benar terwujud. Kata kunci : Nilai Publik, Indeks Daya Saing Global (GCI), Politik Ekonomi Islam. I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Suatu Negara berdiri tegak diatas sebuah komitmen untuk memajukan suatu kehidupan atau peradaban manusia, dimana warga Negara berada didalamnya. Komitmen yang kuat itu menuntut hadirnya suatu usaha yang sistematis dan berkelanjutan dari Negara untuk mencapai tujuannya tersebut. Ukuran keberhasilan atau kegagalan fungsi Negara adalah sejauhmana pencapaian tujuantujuannya dapat diraih atau tidak. Negara yang merupakan organisasi publik dapat dipandang sebagai suatu sistem kelembagaan yang konkrit dan berdiri sendiri yang mengandung berbagai perangkat organisasi meliputi struktur, prosedur, batasan tugas,wewenang dan tanggung jawab sebagai proses dari suatu pengorganisasian dan pada aktivitas organisasi itu sendiri.1 Dalam pandangan kelembagaan, organisasi publik memiliki 4 (empat) prinsip utama yaitu : (a) tujuan tertentu; (b) interaksi antar manusia; (c) sistem koordinasi; (d) rambu pembatas. Perbedaan organisasi 1
Heene, Dechmidt, Afiff, Abdullah (2010)
Indeks Daya Saing Global Sebagai Nilai Publik,
Absah atau Bermasalah?
33
Nilai Ekonomis
Organi sasi Publik Murni
Organi sasi Sosial -
Organi sasi Ekono mi
Nilai Gambar 1 Jenis Organisasi dilihat dari bobot nilai yang dihasilkan
34 Dimensia Volume 11 Nomor 1, Maret 2014 : 31-62
Organi sasi Swast a
publik dengan organisasi bisnis terletak pada tujuan penciptaan proporsi nilai publik atau nilai ekonomisnya. Organisasi publik tidak saja harus menciptakan nilai swasta/ekonomis tetapi termasuk juga nilai publik, walaupun nilai-nilai publik semisal keamanan dan kesejahteraan seringkali sulit untuk didefinisikan, dipersepsikan, serta dinilai (apakah, bagaimanakah) secara tepat pengertiannya. Organisasi publik bergerak dalam suatu lingkungan dinamis dengan berbagai sistem jaringan sosial berikut pelaku-pelaku kemasyarakatan yang bersifat sedemikian kompleks, dimana melalui serangkaian proses pengambilan keputusan politik ditetapkanlah kewenangan yang diperbolehkan dan juga yang dilarang serta tujuan-tujuan yang hendak diraihnya. Bertolak belakang dengan organisasi swasta yang secara organisatoris hanya memanfaatkan sarana-sarana yang tersedia bagi kepentingan dirinya sendiri, maka organisasi publik diarahkan untuk mewujudkan tujuan mereka melalui upaya aktivitas internal dan eksternalnya secara lebih luas lagi. Persoalannya kemudian, apakah yang dimaksud dengan nilai publik/nilai kemasyarakatan itu, pengertian atau sudut pandang nilai publik dimata 4 (empat) pihak dijelaskan sebagaimana tertuang dalam gambar 2 berikut ini: Indeks Daya Saing Global Sebagai Nilai Publik,
Absah atau Bermasalah?
35
Sudut pandang para Manajer organisasi publik Dalam realitas praktiknya, tujuan utama yang telah ditetapkan itu, Tugas pokok para manajer organisasi publik adalah mengemban seringkali sedemikian abstrak dan samar-samar, sehingga tidak amanah untuk mengaktualisasikan tujuan utama yang telah menggambarkan kenyataan sebenarnya tentang nilai ditentukan, dengan cara efektif dan efisien. kemasyarakatan yang hendak diwujudkan
Sudut pandang para Ahli strategi Manajemen atau para perumus kebijakan Namun, kini permasalahannya adalah sampai seberapa jauh para ahli yang telah diminta masukannya itu semata-mata tidak hanya Perwujudan dari nilai kemasyarakatan dapat berarti juga menafsirkan gagasan nilai kemasyarakatan yang hanya bertolak merupakan tolak ukur akan kadar profesionalisme. pada posisi mereka sendiri menjadi sebatas bidang kajian keilmuan saja.
Sudut pandang rasional melalui keterampilan teknik analisis Teknik-teknik analisis seperti analisis biaya dan manfaat (benefit cost ratio) serta analisis penggunaan anggaran (performance budget)
Namun dalam praktik kesehariannya terbukti pula bahwa, ketiga teknik tadi hanya sekali-kali saja menghantar keberhasilan yang memadai.
Sudut pandang kepuasan pelanggan - stakeholders Aktualisasi nilai kemasyarakatan harus bisa dirasakan secara langsung manfaatnya oleh stakeholders selaku individu.
Namun persoalannya kini apakah organisasi-organisasi publik dapat murni dijalankan hanya berdasarkan atas orientasi pelanggan saja?
Gambar 2 Nilai Publik/Kemasyarakatan
36 Dimensia Volume 11 Nomor 1, Maret 2014 : 31-62
Interpretasi nilai publik yang menjadi acuan bagi Negara-Negara secara internasional salah satunya adalah indeks kebebasan ekonomi, indeks kualitas hidup, indeks kebebasan pers, indeks persepsi korupsi, indeks pembangunan manusia dan daya saing global. Peringkat Negara Indonesia sendiri pada tahun 2006-2007 terhadap nilai publik secara international diatas adalah sebagai berikut 2: Dengan memperhatikan data peringkat internasional diatas, nampaknya Indonesia memiliki persoalan dalam pencapaian tujuan-tujuan bernegara yang diwakili oleh indeks nilai publik yang berlaku secara internasional. Peringkat Indonesia berada di 50 besar atau 100 besar lebih. Masih terbuka gap atau jarak yang lebar antara kondisi realita yang dialami Negara Indonesia dengan kondisi ideal yang dialami Negara lain yang sudah maju. Apabila kita tengok suatu pendekatan indeks nilai publik yang lain adalah failed states index-FSI (Negara Gagal) yang diterbitkan oleh the fund for peace maka dapat dilihat performa Negara Indonesia khususnya dan Negara lain diseluruh dunia dalam menghasilkan nilai publik. 2
Index of Economic Freedom. The Heritage Foundation & The Wall Street Journal. The Economist Intelligence Unit‟s Quality-of-Life Index" Worldwide Press Freedom Index 2006. Reporters Without Borders. cpi 2007 table. Transparency International. 2008-02-13 Human Development Reports: Indonesia. United Nations Development Programme. Global Competitiveness Index rankings and 2006–2007 comparisons. World Economic Forum.
Indeks Daya Saing Global Sebagai Nilai Publik,
Absah atau Bermasalah?
37
Tabel 1 Peringkat Internasional nilai Publik Indonesia Tahun 2006-2007
Sumber: id.wikipedia.org
38 Dimensia Volume 11 Nomor 1, Maret 2014 : 31-62
Gambar 3 Failed Stated Index Sumber : Failed Stated Index Report 2013 Indeks Daya Saing Global Sebagai Nilai Publik,
Absah atau Bermasalah?
39
Indonesia menempati peringkat 76 dari 178 Negara yang berada pada kategori High Warning atau perhatian tingkat tinggi, posisi yang masih jauh dari kategori sustainable. Persoalan lanjutan kemudian,adalah apakah indikator-indikator yang digunakan dalam indeks nilai publik yang berlaku secara internasional sekarang ini sudah ditelaah sejauhmana keabsahannya dilihat dari perspektif mendasar dan analisis serta evaluasi terhadap sistem yang telah berjalan. II. Tinjauan Pustaka 2.1 Indeks Daya Saing Global (GCI) World economic forum (WEF) adalah sebuah organisasi nirlaba yang berpusat di Jenewa, sejak tahun 1979 mengeluarkan sebuah laporan yang berjudul “The Global Competitiveness Report” yang mencerminkan lingkungan bisnis operasi dan daya saing ekonomi Negara dari lebih 140 Negara di seluruh dunia. Untuk menetapkan daya saing digunakan 12 pilar mutu yaitu: Institutions, Infrastructure, Macroeconomic environment, Health and primary education, Higher education and training, Goods market efficiency, Labor market efficiency, Financial market development, Technological readiness, Market size, Business sophistication, Innovation.
40 Dimensia Volume 11 Nomor 1, Maret 2014 : 31-62
Gambar 4 Failed Stated Index Sumber : WEF GCI Report Dua belas (12) pilar daya saing dikelompokkan menjadi 3 bagian faktor kunci daya ungkit sebagai berikut: (a) Faktor Kunci bagi daya ungkit ekonomis sebanyak 4 pilar yaitu pilar mutu Institusi, Infrastruktur, Lingkungan Makroekonomi dan Kesehatan serta Pendidikan dasar. (b) Faktor kunci bagi daya ungkit efisiensi sebanyak 6 pilar yaitu pendidikan tinggi dan pelatihan, efisiensi pasar barang, efisiensi pasar tenaga kerja, pengembangan pasar keuangan, kesiapan teknologi dan ukuran/luas pasar. (c) Faktor kunci bagi daya ungkit Inovasi sebanyak 2 pilar yaitu pengalaman bisnis dan inovasi.
Indeks Daya Saing Global Sebagai Nilai Publik,
Absah atau Bermasalah?
41
Penjelasan bagi masing-masing pilar adalah sebagai berikut: Pilar pertama, Institusi adalah lingkungan yang dibentuk oleh sistem hukum dan administrasi pada tataran individu, perusahaan dan pemerintahaan dalam tujuan yang sama menciptakan kemakmuran. Pada tataran institusi publik meliputi: hukum kepemilikan tanah dan intelektual; etika dan korupsi (indikator:pengalihan dana publik, tingkat kepercayaan publik kepada politisi, uang suap), pengaruh tak pantas (indikator: independensi pengadilan, sikap pilih kasih dari pejabat pemerintah), Inefisiensi Pemerintahan, dan Keamanan. Pada tataran perusahaan meliputi: etika perusahaan dan akuntabilitas. Pilar kedua, Infrastruktur terdiri dari sarana dan prasarana bidang transportasi dan sarana prasarana bidang energy dan komunikasi. Pilar ketiga, lingkungan makroekonomi terdiri dari keseimbangan anggaran Negara, tingkat tabungan nasional, inflasi, suku bunga, hutang pemerintah, dan rating kredit. Pilar keempat, kesehatan (indikator: dampak malaria terhadap bisnis, sebaran penyakit malaria, dampak TBC terhadap bisnis, sebaran penyakit TBC, HIV Aids, kematiang bayi lahir, dan angka harapan hidup) dan pendidikan dasar (indikator: kualitas pendidikan dasar, angka partisipasi murni pendidikan dasar). Pilar kelima, pendidikan tinggi dan pelatihan terdiri dari kuantitas pendidikan tinggi (indikator: angka partisipasi murni pendidikan menengah dan tinggi), kualitas pendidikan (indikator:kualitas sistem
42 Dimensia Volume 11 Nomor 1, Maret 2014 : 31-62
pendidikan, kualitas pendidikan ilmu matematik dan sains, kualitas manajemen sekolah dan akses internet sekolah), pelatihan di tempat kerja. Pilar keenam, efisiensi pasar barang/komoditas terdiri dari persaingan baik domestik maupun luar negeri, dan kualitas kondisi permintaan. Pilar ketujuh, efisiensi pasar tenaga kerja yang diukur dari Fleksibilitas dan efisiensi penggunaan bakat. Pilar kedelapan, pengembangan pasar finansial yang diukur dari efisiensi dan kepercayaan dan keyakinan. Pilar kesembilan, kesiapan teknologi yang diukur dari tingkat adaptasi teknologi dan pengguna teknologi informasi komunikasi. Pilar kesepuluh, Luas/Ukuran Pasar diukur dari pasar domestik/lokal dan pasar luar negeri. Pilar kesebelas, Pengalaman Bisnis yang diukur melalui indikator kualitas dan kuantitas pemasok lokal, pengembangan sistem kluster, sifat keunggulan bersaing, luas atau lebar rantai pasokan, pengendalian distribusi internasional, pengalaman proses produksi, perluasan pemasaran, kemauan mendelegasi kewenangan, kepercayaan pada profesionalitas manajemen. Pilar kedua belas, Inovasi yang diukur melalui indikator kapasitas perubahan, kualitas penelitian dari lembaga riset ilmiah, pengeluaran perusahaan dalam riset dan pengembangan, kerjasama industri dan kampus dalam riset dan pengembangan, pengadaan pemerintah dalam produk teknologi tinggi, ketersediaan ilmuwan dan insinyur, penggunaan hak paten dan perlindungan kekayaan intelektual. Indeks Daya Saing Global Sebagai Nilai Publik,
Absah atau Bermasalah?
43
III. Pembahasan 3.1 Perkembangan Indeks Daya Saing Global (GCI) Indonesia Hasil peringkat daya saing ekonomi dan Negara Indonesia berdasarkan nilai 12 pilar GCI selama interval 3 tahun berturut-turut yaitu 2009-2010, 2010-2011 dan 2011-2012 memperlihatkan hasil berikut: Grafik 1. Ranking Indonesia berdasarkan 12 Pilar 2009-2010 Rank
2010-2011 Rank
2011-2012 Rank
71 61 58
84 82 76
82 69 64 62 66 67 52 49 41 35 23
94 84 75
94 91 88 69 62 61
45 40 37 39 36 16 15
Sumber: WEF GCI Report data diolah 44 Dimensia Volume 11 Nomor 1, Maret 2014 : 31-62
Tabel 2 Pergerakan Ranking GCI Indonesia Pilar Daya Saing Negara 200920102010 2011 Rank Rank Institutions 58 61 Infrasturcure 84 82 Macroeconomic 52 35 Environment Health & Primary 82 62 Education Higher Education and 69 66 Training Goods Market 41 49 Efficiency Labor Market Efficiency 75 84 Financial Market 61 62 Development Technological readiess 88 91 Makret Size 16 15 Business Sophistication 40 37 Innovation 39 36 Sumber: WEF GCI Report data diolah
Indeks Daya Saing Global Sebagai Nilai Publik,
Absah atau Bermasalah?
20112012 Rank 71 76 23 64 69 67 94 69 94 15 45 36
45
Grafik 2. Perkembangan Ranking Keseluruhan Indonesia 60 40 20
0 2009-2010
2010-2011
2011-2012
Rank GCI
Rank GCI
Rank GCI
Indonesia
Sumber: WEF GCI Report data diolah Indeks daya saing Indonesia mengalami loncatan yang masif dalam The Global Competitiveness Report 2013-2014 yang dilansir oleh World Economic Forum (WEF), Rabu (4/9). Indonesia kini menempati peringkat 38 dari 148 negara. Sebelumnya, Indonesia menempati posisi 50 dalam The Global Competitiveness Report 2012-2013. 3 Dalam laporan itu disebutkan Indonesia mengalami perbaikan dalam 10 dari 12 pilar yang disurvei WEF. Untuk infrastruktur, terjadi peningkatan dari urutan ke 61 menjadi peringkat 44. Ini seiring dengan peningkatan belanja infrastruktur untuk meningkatkan kapasitas jalan, pelabuhan, fasilitas air dan 3
http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/13/09/04/msleps-indeks-dayasaing-indonesia-meningkat-tajam
46 Dimensia Volume 11 Nomor 1, Maret 2014 : 31-62
pembangkit listrik. Perbaikan juga terlihat dari efisiensi tenaga kerja yang kini menempati urutan 103. 4 Pengaturan upah dan prosedur pengangkatan tenaga kerja ditambah rendahnya partisipasi wanita masih menjadi hambatan dalam aspek ini. Tapi di sisi lain, kualitas lembaga publik dan swasta juga meningkat menjadi urutan 67. Noda hitam Indonesia masih berupa penyuapan (urutan 106) dan keamanan (104). Sedangkan dari sisi ekonomi makro, Indonesia berada di urutan ke 26 dengan defisit terhadap PDB 1,3 persen dan utang pemerintah terhadap PDB 24 persen. Selain itu kesiapan teknologi Indonesia juga meningkat 10 tangga dari 85 menjadi 75. 5 Jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, Indonesia berada di urutan kelima. Empat negara di atas Indonesia ditempati oleh Singapura (urutan 2), Malaysia (24), Brunei Darussalam (26) dan Thailand (37). Sedangkan enam negara di bawah Indonesia ditempati oleh Filipina (urutan 59), Vietnam (70), Laos (81), Kamboja (88) dan Myanmar (139). Sedangkan sepuluh besar teratas dalam Global Competitiveness Index 2013-2014 ditempati oleh Swiss (urutan 1), Singapura, Finlandia, Jerman, Amerika Serikat, Swedia, Hongkong, Belanda, Jepang dan Inggris. 6
4
ibid ibid 6 ibid 5
Indeks Daya Saing Global Sebagai Nilai Publik,
Absah atau Bermasalah?
47
3.2 Paradoks Respon Publik Namun, disaat yang bersamaan sebuah hasil Survei Nasional Pol-Tracking Institute terbaru menyebutkan bahwa kepercayaan publik terhadap kinerja pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merosot. Hanya 40,5 persen masyarakat yang menyatakan puas dengan pemerintahan SBY-Boediono.7 Menurut survei, tingkat kepuasan masyarakat dari pemerintahan SBY di bidang pendidikan mencapai 52,5 persen, kesehatan 47,8 persen, keamanan 41,5 persen, hukum 23,7 persen, dan ekonomi 21 persen. Sedangkan 51,5 persen lainnya menyatakan tidak puas. Dengan incian 41,5 persen merasa kurang puas dan 10 persen sangat tidak puas. Sisanya, 8 persen menyatakan tidak tahu.8 Jika dikaitkan dengan beberapa bidang, tingkat ketidakpuasan masyarakat salah satunya ditunjukkan di bidang ekonomi, yakni sebesar 70,9 persen. Disusul bidang hukum dengan 57,7 persen, bidang keamanan 45,8 persen, bidang kesehatan 43,4 persen, dan bidang pendidikan 37 persen. 3.3 Kritik atas GCI 3.3.1 Metodologi Terdapat 2 jenis data yang digunakan dalam penghitungan GCI, yakni data dari organisasi-organisasi 7
http://www.tempo.co/read/news/2013/10/20/078523152/Survei-Tingkat-KepuasanTerhadap-SBY-Melorot 8 ibid
48 Dimensia Volume 11 Nomor 1, Maret 2014 : 31-62
internasional (UNICEF, WHO, IMF, TI, dsb) serta data hasil survey tahunan (Executive Opinion Survey) yang dilaksanakan oleh WEF. Survey dilakukan untuk memperoleh penilaian yang bersifat lebih kualitatif yang tidak diperoleh jika menggunakan data-data statistik. Untuk survey tahun 2012, jumlah responden mencapai 15.000 dari 144 negara dan dilaksanakan pada kurun waktu Januari-Juni 2012. Rata-rata jumlah responden di tiap negara adalah 88 responden.9 GCI sebagai salah satu alat pengukuran ukuran nilai publik, yang didalamnya juga mengukur persepsi publik atas pilar-pilar daya saing maka dengan jumlah responden rata-rata 88 orang, maka perlu ditelaah sejauhmana sampel ini representatif baik dari sisi jumlah maupun dari kerangka sampel yang digunakan (sampling frame).
3.3.2
Pilar daya saing Lingkungan Makro Pilar ketiga, lingkungan makroekonomi terdiri dari keseimbangan anggaran Negara, tingkat tabungan nasional, inflasi, suku bunga, hutang pemerintah, dan rating kredit. Pertama, hasil penilaian bagi pilar daya saing Lingkungan Makro pada tahun 2013 menunjukan Negara Brunei Darusalam sebagai Ranking 1 yang seterusnya diikuti oleh Norwegia, Kuwait, Saudi Arabia, Oman, 9
Analisis terhadap Turunnya Peringkat Daya Saing Indonesia #Global Competitiveness Report 2012-2013#
Indeks Daya Saing Global Sebagai Nilai Publik,
Absah atau Bermasalah?
49
Qatar, UEA. Nampak bahwa Negara yang menerapkan sistem ekonomi Islam mendominasi kinerja daya saing bidang makro ekonomi. Keseimbangan anggaran Negara yang sehat dilihat dari prosentase positif (tinggi) besaran Anggaran terhadap besaran GDP, prosentase yang tinggi Tingkat Tabungan Nasional terhadap GDP, tingkat inflasi atau suku bunga yang rendah mendekati 0, serta rasio hutang pemerintah terhadap GDP yang sangat rendah. Namun, Negara Brunei dan lainnya tidak masuk dalam 10 ranking GCI secara keseluruhan, bahkan Negara Ranking 1 dan Ranking 2 GCI secara keseluruhan yaitu Negara Swiss dan Singapura terlempar dari peringkat 10 besar di aspek makro ekonomi. Ini artinya Negara yang saat ini memiliki daya saing tinggi memiliki pondasi makroekonomi yang tidak kuat. Kedua, ukuran makroekonomi yang digunakan Negara di dunia ini (GCI dalam konteks ini) memberlakukan ukuran makroekonomi corak kapitalistik yang bermasalah secara konsep menurut sudut pandang sistem ekonomi Islam seperti : pertumbuhan ekonomi (GDP), tingkat suku bunga (inflasi) serta hutang (Debt) yang keduanya berbasis ribawi. Ukuran pertumbuhan ekonomi (economic growth) corak kapitalistik perlu dikritisi karena kenaikan pendapatan rata-rata seluruh penduduk (Konsep PDB dan Pendapatan per kapita) tidak mencerminkan kesejahteraan nyata seluruh rakyat. Ukuran Suku Bunga dan Inflasi menandakan pertumbuhan ekonomi ditopang oleh sektor non riil,
50 Dimensia Volume 11 Nomor 1, Maret 2014 : 31-62
dimana yang berputar hanya uang tanpa barang dan jasa. Menghasilkan pertumbuhan semu dan tidak stabil. Ini pula berarti, pemerataan kekayaan diserahkan pada mekanisme pasar atau mekanisme ekonomi yang pada akhirnya gagal mendistribusikan kekayaan dengan baik kepada seluruh rakyat. Krisis ekonomi tidaklah mengejutkan pertumbuhan ekonomi dalam sistem kapitalis bersifat “siklik” tidak pernah benar-benar stabil tumbuh menuju puncak untuk kemudian jatuh kembali.10 Krisis ekonomi 1997 dan 2008 serta krisis utang eropa 2011 adalah konsekwensi munculnya ekonomi buih. Keajaiban Asia (Asian Miracle) ternyata hanya ilusi karena faktanya kinerja pertumbuhannya hampa, seperti BALON (Bubble Economy). 11 Kondisi ini disadari oleh bangsa barat sendiri sebagai tempat asal muasal lahirnya ekonomi kapitalisme yaitu dengan munculnya Gerakan Occupy Wall Street 2011, Occupy Wall Street (OWS) adalah demonstrasi yang berkelanjutan sejak 17 September 2011, di New York City Zuccotti Park, distrik keuangan Wall Street. Sejak itu telah menjadi gerakan di seluruh dunia. Protes fokus pada ketimpangan sosial dan ekonomi, pengangguran yang tinggi, keserakahan, serta korupsi, dan pengaruh yang tidak semestinya dari korporasi.
(Abdul Muhsin Thahir Sulaiman, „Ilajul Musykilah al Iqtishadiyah bi al-Islam) Dalam 100 tahun terakhir telah terjadi 20 kali krisis (ISEII, 2008) 11 Paul Krugman (1999) 10
Indeks Daya Saing Global Sebagai Nilai Publik,
Absah atau Bermasalah?
51
Gambar 4 Hutang Pemerintah Indonesia
52 Dimensia Volume 11 Nomor 1, Maret 2014 : 31-62
Ukuran hutang pemerintah (government debt) artinya pembangunan ditopang oleh hutang dan investasi asing. Utang adalah suatu mekanisme yang dibuat oleh negara maju (pendonor) untuk memaksa negara penerima (peminjam) mengikuti aturan-aturan atau langkahlangkah yang mereka paksakan.12 AS akan memberi hutang kepada sebuah negara hingga sulit untuk melunasinya kecuali dengan menguras habis Sumber Daya Alamnya. Bila menolak perangkap hutang, pemimpin negara tersebut akan “dihabisi” tim khusus CIA (“Jackals”). Jika tim gagal, kekuatan militer menyerang negara tersebut.13 Kritik atas pembangunan ekonomi berbasis utang adalah sebagai berikut : Jebakan Utang (Debt Trap); Pendapatan Negara tersedot untuk mencicil utang ; Intervensi Asing dalam pembuatan undang-undang; Rakyat diperalat demi kesejahteraan kapitalis dan asing; Rakyat susah; “Perbudakan” atas negeri dan penduduknya.14 Kritik atas pembangunan ekonomi berbasis investasi asing adalah sebagai berikut : Sumber kekayaan dikuasai asing; Investasi di sektor non riil (valas, efek, surat berharga, bursa berjangka) hot money; Kita hanya jadi pasar dan penyedia buruh murah; Negara 12
Susan George dalam buku "Debt Boomerang: How Third World Debt Harms Us All“: 13 John Perkins (Confession of an economic hit man) 14
Yahya Abdurahman (Kritik atas model pembangunan ekonomi berbasis hutang dan investasi asing 2012)
Indeks Daya Saing Global Sebagai Nilai Publik,
Absah atau Bermasalah?
53
kehilangan sumber pemasukan; Tak mandiri dan tergadai pada asing.15 3.3.3
Pilar daya saing Pengembangan Pasar Finansial Pilar kedelapan, pengembangan pasar finansial yang diukur dari efisiensi dan kepercayaan dan keyakinan. Aktivitas ekonomi senantiasa berputar dalam dua kelompok pasar. Pasar yang pertama disebut pasar barang, yang terdiri dari pasar barang dan jasa. Pasar yang kedua disebut pasar faktor produksi, yang terdiri dari pasar lahan, pasar tenaga kerja dan pasar keuangan. Keberadaan pasar f aktor produksi tentu saja adalah untuk mendukung keberadaan pasar barang. Namun, dalam perkembangan sistem ekonomi kapitalisme, ada pasar salah satu dari pasar f aktor produksi yang mengalami perkembangan teramat pesat. Pasar tersebut tidak lain adalah pasar keuangan atau yang biasa dikenal dengan financial market. Pesatnya perkembangan pasar ini bahkan sampai mengakibatkan pasar ini terlepas dari induknya, kemudian menjadi pasar yang berkembang sendiri. Keberadaan pasar ini kemudian dikenal dengan pasar non riil, sebagai lawan dari pasar riil atau pasar barang. Keberadaan pasar keuangan ini berkembang dengan sangat luas dan sangat kompleks, sehingga menjadi sebuah pasar yang berjalan dengan 15
Ibid
54 Dimensia Volume 11 Nomor 1, Maret 2014 : 31-62
sebuah mekanisme atau sistem yang teramat rumit. Sistem ini kemudian dikenal dengan sistem finansial/keuangan (financial system).16 Dewasa ini, telah terjadi pertumbuhan“tidak nyata”pada sektor finansial yang tumbuh tidak proporsional dibandingkan sektor riil. Di Indonesia dominasi sektor finansial pasca krisis, sementara pada tataran Global sejak 1980 sektor finansial tumbuh luar biasa dengan ragam instrument investasi. Investor pasar finansial menjadi raja baru, pada periode tahun 2003 – 2005 pasar ekuitas global tumbuh 60%. Periode 10 tahun terakhir pasar ekuitas global tumbuh 3.000% 17 Menurut Dwi Condor Triyono (2010), Paling tidak ada 5 faktor yang menyebabkan sistem keuangan ini sangat rapuh, sehingga selalu menimbulkan masalah dalam ekonomi, bahkan tidak jarang telah menjadi sumber utama terjadinya krisiskrisis besar ekonomi dunia. Kelima faktor tersebut yaitu:
1. Keberadaan Seignorage Keuntungan yang diperoleh dari pencetakan mata uang dikenal dengan istilah seignorage (Hif zur-Rab, 2002; Karim, 2002). Keuntungan yang mudah didapat dari pencetakan mata uang inilah yang akan mendorong bagi pemerintah untuk mencetak mata uang tanpa 16 17
Dwi Condro Triono (kerapuhan sistem finansial kapitalis, 2010) The new king of capitalism (The Economist, 2005)
Indeks Daya Saing Global Sebagai Nilai Publik,
Absah atau Bermasalah?
55
kendali, sehingga bisa melampaui penerimaan anggaran pendapatan pemerintah. Kebijakan ini biasa dikenal dengan istilah anggaran defisit. Kebijakan anggaran defisit dari pemerintah biasanya akan ditutup dengan hutang atau dengan mencetak uang baru (Tambunan, 1996). Jika pencetakan uang baru ini terus dilakukan, hal ini tentu akan menyebabkan terjadinya inflasi yang berterusan. 2. Keberadaan Sistem Cadangan Sebagian (Fractional Reserve System) Adanya ketentuan sistem cadangan sebagian (fractional reserve system), Bank Umum diberi kewenangan yang besar untuk melipat gandakan uang (Rothbard, 2007). Sistem cadangan sebagian memberikan kewenangan pada Bank Umum untuk menciptakan “uang baru” melalui hutang (kredit) melebihi uang riil yang disimpan. Jumlah “uang baru” yang dapat dilipatgandakan melalui hutang oleh bank akan mengikuti rumus umumnya, yaitu (Sukirno, 2000): PU = D (1/FR); dimana PU: Penggandaan Uang; D: Deposito; FR: Fractional Reserve. Sebagai contoh, jika jumlah cadangan yang disyaratkan dimiliki setiap bank adalah 10%, dengan jumlah deposit Rp. 10 milyar, bank akan dapat menggandakan jumlah deposit menjadi Rp.100 milyar. Adanya kewenangan dari seluruh bank umum untuk melakukan proses penggandaan uang ini jelas akan mudah menimbulkan inflasi.
56 Dimensia Volume 11 Nomor 1, Maret 2014 : 31-62
3. Keberadaan Suku Bunga Penetapan suku bunga yang bersifat pasti (fix rate) dengan tanpa mempertimbangkan resiko bisnis, ternyata telah menimbulkan dampak buruk yang luar biasa bagi perekonomian. Krisis ekonomi yang melanda dunia tahun 2008 silam dapat menjadi contoh nyata untuk melihat betapa buruknya penggunaan sistem bunga tetap ini. Krisis ekonomi dunia yang banyak dipicu oleh skandal subprime mortgage di AS, ternyata berawal dari “permainan” suku bunga ini. 4. Keberadaan Motif Spekulasi Keberadaan suku bunga selain akan berdampak buruk kepada perekonomian, ternyata juga akan menyebabkan kegunaan uang semakin jauh dari hakikat yang sebenarnya. Mata uang akhirnya lebih banyak digunakan sebagai alat komoditi yang dapat diperjualbelikan, dari digunakan sebagai alat tukar untuk keperluan sektor ekonomi yang riil. Perubahan kegunaan mata uang tersebut telah memperbesar terjadinya praktikpraktik spekulasi dan selanjutnya akan mengakibatkan terjadinya ekspansi permintaan mata uang (money demand) yang cepat untuk keperluan-keperluan yang tidak produktif (Siregar, 2001). Hal inilah menyebabkan uang tumbuh dengan cepat pada aktivitas di sektor tersebut. Hanya sekitar 5 % saja dari peredaran uang tersebut yang benar-benar untuk keperluan sektor riil. Uang dan derevasinya Indeks Daya Saing Global Sebagai Nilai Publik,
Absah atau Bermasalah?
57
dapat tumbuh 800 kali lebih besar dibanding untuk keperluan di sektor riil. Fenomena inilah yang dapat menyebabkan terjadinya bubble economy, yang sewaktuwaktu dapat meledak dan menyebabkan terjadinya krisis ekonomi (Lestari, 2005). 5. Keberadaan Sistem Nilai Tukar (Kurs) Mata Uang Penggunaan mata uang yang berbeda-beda pada setiap negara akan menimbulkan adanya sistem nilai tukar mata uang (exchange rate) atau lebih dikenal dengan istilah kurs mata uang (Pass, Lowes & Davies, 1994; Karim, 2002). Adanya perbedaan kurs mata uang inilah yang menyebabkan terjadinya volatilitas nilai tukar yang tinggi. Pengaruh kurs tersebut selanjutnya tentu akan berdampak pada kinerja perdagangan internasional. Sebab, setiap terjadi perubahan nilai mata uang, tentu akan mempengaruhi harga dan daya saing produk suatu negara di pasaran internasional (Dornbusch, Fischer & Startz, 1998; Mishkin, 2001). Di dalam sistem ekonomi Islam, disamping berisi tentang aturan-aturan ekonomi di sektor riil, tentu juga ada pengaturan dalam sistem keuangannya. Bangunan dasar dari sistem keuangan Islam adalah bahwa Islam mewajibkan bagi negara untuk mencetak mata uang yang terbuat dari emas dan perak. Dalam Islam, sektor finansial tidak dimasukkan ke dalam perhitungan pertumbuhan karena sektor ini memang tidak ada. Pertumbuhan ekonomi dalam sistem Islam, meski
58 Dimensia Volume 11 Nomor 1, Maret 2014 : 31-62
mungkin tidak sespektakuler dalam sistem ekonomi Kapitalisme, adalah pertumbuhan yang nyata dan stabil karena memang benar-benar berasal dari sektor kegiatan ekonomi masyarakat yang nyata. Disamping itu, untuk mencapai kesejahteraan bagi seluruh rakyat, sistem ekonomi Islam sangat memperhatikan sistem distribusi kekayaan. Artinya buruknya distribusi kekayaan di tengah masyarakat itulah yang menyebabkan timbulnya kemiskinan dan ketimpangan ekonomi. IV.
KESIMPULAN Penetapan dan penggunaan suatu ukuran nilai publik (publik value) yang diberlakukan secara internasional saat ini lahir dari suatu sudut pandang idiologi tertentu yaitu idiologi kapitalisme. Artinya dalam mengevaluasi suatu ukuran nilai publik dalam hal ini GCI harus menggunakan paradigma idiologi lainnya yaitu Islam, agar dapat menchallenge sekaligus memberikan solusi alternatif secara mendasar bagi pengukuran keberhasilan suatu Negara dalam mewujudkan nilai publik. GCI bermasalah dari sisi paradigma ekonomi kapitalistik yang tercermin dalam pilar Makroekonomi dan pilar pengembangan Pasar Finansial. Alih-alih menjadikan suatu Negara berdaya malah menjadikan Negara tersebut tak berdaya karena memiliki daya yang “semu”. Islam (dalam pemenuhan kebutuhan manusia) memandang tiap orang secara pribadi, bukan secara kolektif sebagai komunitas yang hidup dalam sebuah Indeks Daya Saing Global Sebagai Nilai Publik,
Absah atau Bermasalah?
59
negara. Pertama kali, Islam memandang tiap orang sebagai manusia yang harus dipenuhi semua kebutuhan primer (basic needs)-nya dengan pemenuhan secara menyeluruh. Kemudian, berikutnya, Islam memandangnya dengan kapasitas pribadinya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kemampuannya. Kemudian pada saat yang sama, Islam memandangnya sebagai orang yang terikat dengan sesamanya dalam interaksimtertentu, yang dilaksanakan dengan mekanisme tertentu, sesuai dengan life style tertentu pula. Politik ekonomi Islam bukan hanya bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan dalam sebuah negara semata, tanpa memperhatikan terjamin-tidaknya tiap orang untuk menikmati kehidupan tersebut. Politik ekonomi Islam juga bukan hanya bertujuan untuk mengupayakan kemakmuran manusia dengan membiarkan mereka sebebas-bebasnya untuk memperoleh kemakmuran tersebut dengan cara apapun, tanpa memperhatikan terjamin-tidaknya hak hidup tiap orang. Akan tetapi, politik ekonomi Islam adalah semata-mata merupakan pemecahan masalah utama yang dihadapi tiap orang, sebagai manusia yang hidup sesuai dengan interaksi-interaksi tertentu serta memungkinkan orang yang bersangkutan untuk meningkatkan taraf hidupnya, dan mengupayakan kemakmuran dirinya di dalam life style tertentu. Dengan demikian, politik ekonomi Islam tentu berbeda dengan politik ekonomi yang lain.
60 Dimensia Volume 11 Nomor 1, Maret 2014 : 31-62
Islam, ketika mensyari'atkan hukum-hukum ekonomi kepada manusia, Islam telah mensyari'atkan hukum-hukum tersebut kepada pribadi. Sedangkan pada saat mengupayakan terjamin-tidaknya hak hidup serta tercapai-tidaknya suatu kemakmuran, Islam telah menjadikan semuanya harus direalisasikan dalam sebuah masyarakat (society) yang memiliki life style tertentu. Oleh karena itu, hukum-hukum syara' telah menjamin tercapainya pemenuhan seluruh kebutuhan primer (basic needs) tiap warga negara Islam secara menyeluruh, seperti sandang, papan dan pangan. Islam juga mengharamkan riba termasuk berhubungan dengan riba bagi siapa saja yang memiliki kewarganegaraan Islam. Bahkan, dalam hubungannya dengan mereka, Islam tidak menganggap riba tersebut sebagai barang ekonomi (economics good); baik mereka itu seorang muslim, maupun non muslim. Maka, Islam telah menjadikan halhal yang dituntut oleh masyarakat ketika memanfaatkan harta kekayaan tersebut, adalah sebagai masalah utama -yang harus diperhatikan-- ketika memanfaatkan barangbarang ekonomi (economics good) tersebut. Islam telah menjadikan kepemilikan umum (colective propherty) sebagai otoritas negara yang harus dimanage oleh negara, dan tak seorangpun yang diberi izin untuk memanagenya, atau memilikinya, ataupun diberi otoritas untuk memanagenya. Sebab, kekuasaan secara umum itu adalah hak pejabat pemerintahan, dimana tidak seorang rakyat pun boleh melaksanakannya, Indeks Daya Saing Global Sebagai Nilai Publik,
Absah atau Bermasalah?
61
kecuali dengan adanya mandat kekuasaan. Kepemilikan umum (colective propherty), semisal minyak, tambang besi, tembaga dan sebagainya, adalah kekayaan yang harus dieksplorasi dan dikembangkan dalam rangka mewujudkan kemajuan taraf perekonomian umat. Memajukan taraf perekonomian dengan cara mendorong tiap orang agar bekerja mencari kekayaan, dan dengan menjadikan kekayaan-kekayaan tertentu sebagai milik negara, serta mengembangkan kepemilikan umum itu sebenarnya semata-mata hanya untuk memanfaatkan kekayaan tersebut sebagai alat pemuas kebutuhan, bukan untuk kekayaan itu sendiri, bukan pula untuk suatu kebanggaan, ataupun untuk disalurkan pada kemaksiatan, penyalahgunaan kekayaan, dan kejelekan. Nampaklah, bahwa politik ekonomi Islam telah dibangun dengan berpijak kepada asas terpenuhinya kebutuhan tiap orang sebagai individu yang hidup dalam suatu masyarakat (society) tertentu, serta asas bekerja untuk mendapatkan kekayaan dalam rangka memenuhi apa saja yang bisa memuaskan kebutuhan. Maka, politik ekonomi Islam tersebut sebenarnya berdiri di atas satu konsep, yaitu menjalankan tindakan ekonomi berdasarkan hukum syara' yang diterapkan oleh setiap orang dengan dorongan ketakwaan kepada Allah serta dilaksanakan oleh Negara. Walhasil hanya dengan sistem ekonomi islamlah, nilai publik hakiki yang dicita-citakan itu akan benarbenar terwujud. Tidak hanya di dunia akan tetapi sampai akhirat.
62 Dimensia Volume 11 Nomor 1, Maret 2014 : 31-62