Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4–band3)/(band4+band3) ….18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada wahana penginderaan jauh. Kisaran panjang gelombang radiasi elektromagnetik yang digunakan oleh kanal merah dan kanal inframerah tercakup dalam satelit Landsat ETM+ band 3 dan band 4, yaitu masing-masing 0.63-0.69 µm dan 0.760.90 µm. Secara teoritis nilai indeks vegetasi berkisar antara (-1) sampai (+1), tetapi kisaran sebenarnya menggambarkan kehijauan vegetasi adalah 0.1 sampai 0.6. Nilai indeks vegetasi yang tinggi menunjukkan vegetasi tersebut rapat. Perhitungan Soil Heat Flux (G) Perpindahan bahang tanah (soil heat flux) dipengaruhi oleh perbedaan suhu permukaan dengan suhu tanah pada kedalaman tertentu dan nilai konduktivitas thermal (k) dari suatu jenis tanah. Karena tidak dilakukan pengukuran suhu tanah di lapangan dan bertujuan untuk memaksimalkan penggunaan data penginderaan jauh, maka nilai soil heat flux dihitung dari proporsi penggunaan radiasi netto (Rn). (Dalam Khomarudin 2005), FAO (1998) menghitung energi ini sebesar 0.1 Rn, namun Chemin (2003) dan Allen et. al. (2001) menghitung soil heat flux dari nilai radiasi netto, suhu permukaan, albedo dan nilai Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) sebagai berikut. G Ts 0.0038 0.0074 2 1 0.98NDVI 4 Rn
…...19
Dimana, G =Perpindahan bahang tanah (soil heat flux)(W m-2) =Albedo permukaan (diturunkan dari data satelit) Ts =Suhu permukaan (°C) (diturunkan dari data satelit) NDVI =Normalized Difference Vegetation Index (satelit)
Kapasitas Panas Nilai kapasitas panas (C) tergantung dari massa jenis (ρ) dan panas jenis (c). Karena pada penelitian ini menggunakan data penginderaan jauh, maka nilai ρ diperoleh dari hubungan antara nilai NDVI setiap lahan dengan massa jenis hasil dari penelitian. Sehingga akan diperoleh persamaan regresi : ρ = a NDVI + b ………….............20 Sehingga nilai kapasitas panas diperoleh dari : C = ρ x c ………………….…..…..21 Dimana : C = Kapasitas panas (Joule m-3 oC-1) c = Panas jenis (Joule g-1 oC-1) ρ = Massa jenis (g m-3)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1.
Kondisi Geografis Kodya Bogor Kodya Bogor terletak di tengahtengah wilayah Kabupaten Bogor dan lokasinya sangat dekat dengan Ibukota Negara sehingga memiliki potensi yang strategis bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi dan jasa, pusat kegiatan nasional untuk industri, perdagangan, transportasi, komunikasi, dan pariwisata. Secara geografis Kodya Bogor terletak pada 106°43’30”BT- 106°51’00”BT dan 6o30’30”LS-6°41’00”LS. Luas Kodya Bogor 21,56 km² dengan jumlah penduduknya 834.000 jiwa (2003) (/www.kotabogor.go.id. ) Dari aspek klimatologi udara Kodya Bogor relatif sejuk dengan suhu udara ratarata setiap bulannya adalah 26°C dan kelembaban udaranya kurang lebih 70%. Suhu rata-rata terendah di Bogor adalah 21,8°C, paling sering terjadi pada Bulan Desember dan Januari. Arah mata angin dipengaruhi oleh angin muson. Bulan Mei sampai Maret dipengaruhi angin muson barat. Kodya Bogor terletak pada ketinggian 190 sampai 330 m dari permukaan laut.
8
4.2. Pengolahan Awal Data Citra Satelit 4.2.1. Koreksi Geometrik Pengolahan citra Landsat 5 TM dan 7 ETM+ digital didahului dengan koreksi geometrik terhadap citra tersebut. Hal ini dilakukan karena citra tersebut belum memiliki sistem koordinat yang sama dengan koordinat geografis yang sebenarnya di lapangan. Proses selanjutnya yaitu menentukan titik ikat antara citra satelit yang belum terkoreksi dengan data vektor yang sudah terkoreksi (Define Ground Control). Pada saat menentukan titik ikat, diambil pada posisi yang tidak mudah berubah seperti garis pantai dan daerah yang tidak tertutup awan. Hal ini dilakukan untuk memperkecil nilai kesalahan dari interpolasi (Root Mean Square) antara titik ikat. 4.2.2. Klasifikasi Penutup Lahan Menggunakan Citra Satelit Landsat Hasil klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor diperoleh melalui interpretasi digital citra Landsat TM tahun 1997 dan Landsat ETM+ tahun 2006 menggunakan klasifikasi tidak terbimbing (Unsupervised Classification). Kelas yang dihasilkan dari klasifikasi ini adalah kelas spektral. Kelas spektral tersebut merupakan pengelompokan berdasarkan nilai natural spektral citra, maka perlu dilakukan analisis lebih lanjut dari hasil klasifikasi dengan membandingkan data rujukan sebagai referensi. Data rujukan yang dipakai pada penelitian ini adalah data spasial penutup dan penggunaan lahan Kodya Bogor tahun 2004 (Bakosurtanal). Proses klasifikasi menggunakan band 1, 2 dan 3. Penggunaan band ini berdasarkan daerah spektrum dengan serapan panjang gelombang yang diterima oleh citra satelit Landsat diaktualisasi dalam berbagai warna yang bisa dilihat pada peta citra. Tabel 4. Klasifikasi Penutup Lahan Kodya Bogor tahun 1997 dan 2006 Luas Lahan (ha) Penutup lahan 1997 2006 Tubuh air
63.27
61.74
Vegetasi
797.94
776.88
Lahan Terbangun
1392.57
1421.73
Lahan Terbuka
79.74
73.17
Total
2333.52
2333.52
Hasil klasifikasi penutup lahan pada penelitian ini dibagi menjadi empat kelas
penutup lahan, yaitu : tubuh air, lahan terbangun, lahan terbuka dan vegetasi (Tabel 4, Lampiran 1 dan 2). Hasil klasifikasi menunjukkan bahwa jenis penutup lahan terluas di kodya Bogor didominasi oleh lahan terbangun seluas 1392.57 ha pada tahun 1997 dan 1421.73 ha tahun 2006. Kenaikan luas lahan terbangun ini kemungkinan disebabkan seiring dengan kenaikan jumlah penduduk, termasuk infra strukturnya (jalan, perumahan, gedunggedung) dan perkembangan kegiatan pembangunan yang terjadi di daerah ini. Sedangkan untuk lahan vegetasi, pada tahun 1997 seluas 797.94 ha dan pada tahun 2006 mengalami pengurangan menjadi 776.88 ha. Hal ini disebabkan terjadinya konversi lahan vegetasi menjadi lahan non vegetasi. Tubuh air sebagian besar terdapat di sungai Ciliwung, Cisadane dan sumber berupa badan air lainnya. Lahan berair ini mengalami pengurangan luas dari 63.27 ha tahun 1997 menjadi 61.74 ha tahun 2006. Luasan pada masing-masing penutup lahan diatas tidak sepenuhnya menunjukkan kondisi yang sebenarnya di lapangan. Hasil luasan pada masing-masing penutup lahan dipengaruhi oleh beberapa kesalahan perhitungan seperti faktor error secara spasial ketika proses klasifikasi penutup lahan sehingga perlu dilakukan ground cek ke lapangan. 4.3. Pendugaan Suhu Permukaan dan Komponen Neraca Energi dari Data Satelit Landsat 4.3.1. Pendugaan Suhu Permukaan Berdasarkan hasil estimasi suhu permukaan di Kodya Bogor menggunakan citra Landsat TM tahun 1997 dan ETM+ tahun 2006, suhu permukaan untuk penutup lahan non vegetasi (lahan terbangun dan lahan terbuka) pada tahun 1997 mempunyai kisaran suhu permukaan 23 – 32oC dengan suhu rata-rata terendah dimiliki oleh lahan terbuka 27oC dan lahan terbangun memiliki suhu rata-rata tertinggi sebesar 29oC. Sedangkan pada tahun 2006 penutup lahan non vegetasi mempunyai kisaran suhu permukaan 21-33 oC dengan suhu rata-rata terendah dimiliki oleh lahan terbuka 26oC dan suhu rata-rata tertinggi dimiliki oleh lahan terbangun sebesar 29oC. Pada penutup lahan vegetasi suhu rata-rata tertinggi terjadi pada tahun 1997 sebesar 27oC sedangkan pada tahun 2006 suhu rata-rata sebesar 27oC. Penutup lahan tubuh air memiliki perbedaan
9
suhu rata-rata yang tidak signifikan yaitu sebesar 27oC untuk tahun 2006 dan 28oC untuk tahun 1997. Adapun sebaran suhu permukaan Kodya Bogor tahun 1997 dan 2006 dapat dilihat pada Lampiran 3 dan 4. Tabel 5. Kisaran nilai suhu permukaan (oC) tiap penutup lahan tahun 1997 Penutup lahan
Max
Min
Mean
Tubuh air Lahan Terbangun Vegetasi Lahan Terbuka
32 31 32 31
23 22 23 24
28 29 27 27
Tabel 6. Kisaran nilai suhu permukaan (oC) tiap penutup lahan tahun 2006 Penutup lahan Tubuh air Lahan Terbangun Vegetasi Lahan Terbuka
Max 31 33 32 30
Min 23 21 23 24
Mean 27 29 27 26
Adanya perbedaan suhu permukaan pada beberapa penutup lahan seperti ditunjukkan oleh Tabel 5, Tabel 6, Lampiran 3 dan Lampiran 4 disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah pada saat yang sama dan dengan masukan energi yang sama respon perubahan suhu permukaan lahan ditentukan oleh sifat fisik dari masingmasing jenis penutup lahan. Sifat fisik tersebut adalah emisivitas, kapasitas panas jenis dan konduktivitas thermal pada suatu penutup lahan. Diduga nilai radiasi global yang sampai di permukaan dan yang dipantulkan kembali oleh bumi tidak semua sama antara tahun 1997 dan 2006. 4.3.2. Pendugaan Albedo Albedo (α) merupakan nisbah antara radiasi pantulan dan radiasi yang datang. Dalam penelitian ini, nilai albedo diperoleh dari pengolahan data citra Landsat TM/ETM+ dengan memanfaatkan fungsi dari kanal 1, 2 dan 3. Tabel 7. Kisaran nilai rata-rata albedo (%) tiap penutup lahan pada tahun 1997 dan 2006 Tahun Penutup lahan 1997 2006 Vegetasi 5.7 9.8 Lahan Terbangun
6.5
10.6
Tabel 7 menunjukkan deskripsi albedo tiap penutup lahan pada tahun 1997 dan 2006. Secara umum nilai albedo non vegetasi lebih tinggi dibandingkan tipe penutup lahan bervegetasi. Hal ini disebabkan lebih banyak energi radiasi gelombang pendek yang dipantulkan kembali oleh penutup lahan non vegetasi dibandingkan dengan penutup lahan bervegetasi. 4.3.3. Pendugaan Radiasi Netto Radiasi netto adalah selisih nilai radiasi yang diterima permukaan bumi dan radiasi yang ditinggalkan dari permukaan bumi ke atmosfer. Radiasi netto bernilai positif pada siang hari dan bernilai negatif pada malam hari. Radiasi netto yang positif inilah yang digunakan untuk memanaskan udara, memanaskan tanah atau lautan dan penguapan. Berdasarkan persamaan radiasi netto, radiasi gelombang pendek ditentukan oleh nilai albedo, sedangkan radiasi gelombang panjang yang diterima bumi ditentukan oleh nilai suhu udara dan radiasi gelombang panjang yang keluar ditentukan oleh nilai suhu permukaan.
Tabel 8. Kisaran nilai rata-rata suhu permukaan (oC), Albedo (%) dan Rn (Wm-2) tiap penutup lahan tahun 1997 Penutup lahan
Suhu
α
Rn
Vegetasi Lahan Terbangun Tubuh air Lahan terbuka
27 29 28 27
5.7 6.5 5.8 6.1
333 319 331 328
Tabel 9. Kisaran nilai rata-rata suhu permukaan (oC), Albedo (%) dan Rn (Wm-2) tiap penutup lahan tahun 2006 Penutup lahan
Suhu
α
Rn
Vegetasi
27
9.8
300
Lahan Terbangun
29
10.6
283
Tubuh air
27
10.2
294
Lahan terbuka
26
9.9
303
Nilai radiasi netto tanggal 28 Agustus 1997 dan 27 Juni 2006 dalam berbagai penutup lahan dapat dilihat dalam Tabel 8,
10
Tabel 9, Lampiran 5 dan Lampiran 6. Penutup lahan di daerah lahan terbangun mempunyai nilai radiasi netto yang rendah di bandingkan dengan penutup lahan lain, sedangkan di penutup lahan bervegetasi mempunyai energi radiasi netto paling tinggi. Adanya perbedaan penerimaan Rn pada tiap tipe penutup lahan, dipengaruhi oleh albedo, radiasi gelombang pendek dan radiasi gelombang panjang. Nilai rataan radiasi netto pada tiap jenis penutup lahan yang diterima permukaan pada tahun 1997 lebih besar dibandingkan tahun 2006, seperti ditunjukkan Gambar 2. Hal ini bisa dijelaskan berdasarkan data Rn, secara empiris dapat dikatakan bahwa perubahan penutup lahan telah merubah nilai Rn. Namun demikian faktor lain yang mungkin bisa menyebabkan perubahan Rn adalah pengambilan data citra Landsat pada kedua tahun dengan sensor yang berbeda yaitu TM dan ETM+.
Tabel 10. Kisaran nilai rata-rata G (Wm-2) pada penutup lahan tahun 1997 dan 2006 Penutup lahan Vegetasi
Tahun 1997 2006 38.84 37.15
Lahan Terbangun
39.43
37.63
Tubuh air
39.02
37.05
Lahan terbuka
38.45
36.74
Hal ini disebabkan tipe penutup lahan non vegetasi (lahan terbangun dan lahan terbuka) mempunyai proporsi yang lebih besar dalam memanfaatkan radiasi netto yang diterima untuk memanaskan tanah dibandingkan tipe penutup lahan lainnya. Hal ini menyebabkan tingginya nilai G pada penutup lahan tersebut. faktor lain yang turut mempengaruhi nilai G yaitu tingginya nilai konduktivitas thermal pada penutup lahan tersebut. Sebaran nilai Soil Heat Flux (G) ditunjukkan di Lampiran 7 dan Lampiran 8.
Gambar 2. Grafik Rn tiap penutup lahan. Gambar 3. Grafik G tiap penutup lahan. 4.3.4. Pendugaan Soil Heat Flux (G) Soil Heat Flux (G) dipengaruhi oleh perbedaan suhu permukaan dengan suhu tanah. Dalam persamaan untuk menghitung G diperlukan nilai albedo, radiasi netto dan NDVI. Dalam persamaan ini suhu permukaan berbanding lurus dengan G. Tabel 10 dan Gambar 3 menunjukkan bahwa penutup lahan terbangun mempunyai nilai G lebih tinggi dibandingkan pada penutup lahan bervegetasi. Sedangkan lahan terbuka memiliki nilai G lebih rendah dari penutup lahan lain.
11
Tabel 11. Kuantitatif nilai komponen neraca energi di beberapa penutup lahan Tubuh Air Komponen
Vegetasi
Lahan Terbangun
Lahan Terbuka
1997
2006
1997
2006
1997
2006
1997
2006
Rn (Wm-2)
330
294
333
301
320
283
328
303
G (Wm-2)
39
37
39
37
39
38
38
37
H (Wm-2)
31
24
99
82
205
196
232
213
λE (Wm-2)
260
234
195
182
75
50
58
53
Albedo (%)
6
10
6
10
6
10
6
10
4.4. Komponen Neraca Energi pada Beberapa Penutup Lahan Perubahan penutup lahan tidak hanya mengindikasikan perubahan tipe vegetasi tetapi juga mengubah sifat-sifat permukaan seperti albedo, emisivitas, dan kekasapan yang selanjutnya akan mengubah komponen neraca energi. Proporsi komponen neraca energi yang di terima permukaan di tiap penutup lahan pada tahun 1997 dan 2006 di tunjukan oleh Tabel 11. Pada penutup lahan terbangun dan lahan terbuka, radiasi netto yang diterima permukaan lebih banyak dipergunakan untuk memanaskan udara. Energi yang dipergunakan untuk memanaskan air dan tanah hanya sebagian kecil. Hal ini mengindikasikan suhu udara pada penutup lahan tersebut lebih tinggi dibandingkan penutup lahan lainnya. Sedangkan penutup lahan vegetasi mempergunakan energinya untuk fluks pemanasan laten. Hal ini disebabkan pada tipe penutup lahan vegetasi banyak ditumbuhi pepohonan yang sangat berpotensi untuk proses transpirasi. Faktor lain yang mempengaruhi tingginya nilai λE disebabkan pada daerah tersebut banyak terbentuk kandungan uap air seperti kabut dan embun. Hal ini akan mengakibatkan nilai estimasi λE yang didapatkan adalah nilai λE dari embun dan kabut, bukannya dari objek yang dimaksud.
Penutup lahan tubuh air menggunakan sebagian besar radiasi netto yang diterima untuk fluks pemanasan laten dan sisanya hanya sebagian kecil dari energi radiasi netto yang dipergunakan untuk memanaskan udara dan memanaskan tanah. Hal ini berimplikasi terhadap tingginya tingkat evaporasi pada tubuh air. Dari hal diatas dapat disimpulkan jika suatu daerah penutup lahannya didominasi oleh tipe non vegetasi maka komponen G dan H akan semakin meningkat, sebaliknya jika suatu penutup lahan didominasi oleh lahan bervegetasi dan tubuh air maka nilai λE akan semakin meningkat sedangkan nilai G dan H akan semakin menurun. Tabel 12 memperlihatkan nilai suhu dan radiasi netto hasil pengukuran langsung di 3 stasiun yaitu Baranangsiang, Cimanggu dan Muara. Radiasi netto terbesar terjadi pada tahun 1997 dibandingkan pada tahun 2006, hal ini sesuai dengan radiasi netto hasil estimasi citra satelit Landsat dari tiap jenis penutup lahan yang diterima permukaan. Hal ini bisa dijelaskan berdasarkan data Rn secara empiris dapat dikatakan bahwa perubahan penutup lahan telah merubah nilai Rn. Oleh karena itu, mekanisme perubahan komponen neraca energi ini perlu dipertimbangkan dalam perencanaan suatu wilayah yang umumnya melakukan perubahan dari vegetasi menjadi non vegetasi.
Tabel 12. Nilai Suhu dan Radiasi Netto hasil pengukuran langsung di 3 Stasiun Stasiun
Koordinat o
o
Tmin (oC) 1997
2006
Tmax (oC) 1997
2006
Trata (oC) 1997
2006
Rn (Wm2) 1997
2006
Baranangsiang
6 58 S - 106 80 E
*
22.5
*
32.2
*
26.8
*
141.9
Muara
6o40 S – 106o45 E
22.5
21.4
31
32.4
26.7
26.9
*
211.9
Cimanggu
6o37 S – 122o35 E
21.6
*
32.8
*
27.9
*
249.8
*
*Tidak ada data Sumber : BMG, GFM-IPB
12
4.5. Perbandingan Nilai Indeks Vegetasi (NDVI) dengan Komponen Neraca Energi Indeks vegetasi atau NDVI adalah indeks yang menggambarkan tingkat kehijauan suatu tanaman. Nilai NDVI berkisar antara -1 sampai 1. Nilai ini menggambarkan bahwa semakin tinggi nilainya berarti kondisi tanaman yang dipantau dari citra satelit lebih memperlihatkan kenampakan tanaman yang subur dan rapat seperti tanaman hutan, sedangkan semakin rendah nilainya berarti kondisi tanaman kurang subur atau telah terjadi pembukaan kawasan hutan maupun persawahan. Tabel 13 menunjukkan bahwa nilai NDVI tertinggi terjadi pada lahan terbuka dan lahan bervegetasi, sedangkan nilai NDVI terendah terjadi pada tubuh air. Nilai NDVI untuk penutup lahan bervegetasi menurun dari tahun 1997 dan 2006. Hal ini disebabkan oleh konversi lahan dari penutup lahan bervegetasi menjadi non vegetasi. Dan juga faktor jenis, ketinggian tanaman dan kerapatan vegetasi. Sebaran nilai NDVI ditunjukkan pada Lampiran 9 dan Lampiran 10.
untuk evaporasi. Sedangkan pada penutup lahan terbangun, nilai NDVI rendah sebanding dengan nilai λE yang rendah, karena energi yang diterima sebagian besar digunakan untuk memanaskan udara dan tanah. Pada penutup lahan terbuka memiliki nilai NDVI terbesar dibandingkan dengan penutup lahan lainnya. Energi yang diterima oleh penutup lahan terbuka sebagian besar digunakan untuk memanaskan udara dan hanya sebagian kecil energi radiasi netto digunakan untuk memanaskan λE dan G.
Tabel 13. Nilai NDVI tiap penutup lahan Penutup lahan Tubuh air Lahan Terbangun
NDVI 1997 2006 0.036 -0.170 0.074 -0.152
Vegetasi
0.185
0.017
Lahan Terbuka
0.292
0.176
Indeks vegetasi mempengaruhi komponen neraca energi seperti dijelaskan pada Gambar 4 dan merujuk Tabel 12. Pada penutup lahan bervegetasi, penggunaan radiasi netto sebagian besar untuk fluks pemanasan laten (λE). Nilai λE ini berbanding lurus dengan nilai indeks vegetasi. Sehingga semakin tinggi nilai λE, maka semakin banyak vegetasi di daerah tersebut sehingga akan semakin tinggi pula nilai indeks vegetasi di penutup lahan tersebut, sedangkan nilai G dan H akan semakin rendah. Pada penutup lahan tubuh air, nilai NDVI paling rendah dibandingkan penutup lahan lainnya. Karena penggunaan radiasi netto yang diterima lebih banyak digunakan
Gambar 4. Grafik G dan Rn terhadap NDVI 4.6. Pendugaan Kapasitas Panas dengan NDVI Nilai kapasitas panas (C) tergantung dari massa jenis (ρ) dan panas jenis (c). Pada penelitian ini, nilai massa jenis (ρ) diduga dari nilai NDVI. Nilai NDVI menunjukkan tingkat kehijauan dan kerapatan vegetasi tiap penutup lahan yang diasumsikan menjadi tinggi dan luas daerah penutup lahan tersebut. Hal ini diperlihatkan oleh besarnya nilai NDVI, semakin tinggi nilai NDVI maka massa jenis semakin rendah. Karena pengolahan citra dilakukan setiap pixel maka luas daerah yang ditunjukkan nilai NDVI mewakili 900 m2. Pada penelitian ini diambil 3 titik sampel nilai NDVI tiap penutup lahan
13
(Tabel 14) tahun 1997 dan 2006 dengan titik koordinat sama tiap sampel dan tidak mengalami perubahan penutup lahan. Kemudian nilai NDVI diregresikan dengan massa jenis hasil penelitian Geiger et al 1961. Sehingga didapatkan persamaan regresi sebagai berikut: ρ = -2E-06NDVI + 10-6 Tabel 14. Nilai NDVI pada 3 titik sampel tiap penutup lahan Koordinat (utm) Penutup Lahan
Vegetasi
Tubuh Air
Lahan Terbangun
Lahan Terbuka
NDVI
x
y
1996
2006
698970
9270180
0.32
0.18
699000
9269970
0.31
0.19
699180
9270780
0.26
0.14
698220
9269190
-0.28
-0.23
698250
9269190
-0.02
-0.28
698250
9269160
-0.27
-0.2
697980
9271440
-0.04
-0.16
697800
9271230
-0.01
-0.15
699600
9270840
-0.05
-0.14
696720
9271710
0.38
0.2
696780
9271650
0.36
0.21
699930
9271980
0.03
-0.02
Dari persamaan regresi tersebut, nilai massa jenis tiap penutup lahan diperoleh dengan memasukkan nilai NDVI, kemudian untuk mendapatkan nilai kapasitas panas tiap penutup lahan dapat dihitung dengan cara mengalikan massa jenis terhadap panas jenis (Tabel 15).
Berdasarkan Tabel 16, kapasitas panas tertinggi terjadi pada penutup lahan tubuh air, hal ini dikarenakan tubuh air mampu menyimpan panas lebih baik dibandingkan penutup lahan lain. Dilihat dari besarnya panas jenis, sebagai contoh penutup lahan tubuh air dan lahan terbangun Tabel 15). Lahan terbangun akan lebih cepat naik suhunya dibandingkan tubuh air pada penambahan panas yang sama, tetapi pada malam hari saat terjadi pengurangan panas akibat pancaran gelombang panjang dari permukaan bumi, lahan terbangun akan cepat dingin dibandingkan air. Dengan penambahan energi tertentu, perubahan suhu lebih kecil pada benda yang mempunyai kapasitas panas yang besar, panas jenis yang menyebabkan perubahan suhu yang kecil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai kapasitas panas yang dihasilkan berada pada selang atau mendekati nilai kapasitas panas pada penelitian (Geiger et al 1961), tetapi terdapat juga nilai kapasitas panas yang menjauh. Hal tersebut kemungkinan disebabkan karena ketidasesuaian peneliti dalam menentukan jenis penutup lahan. Tabel 16. Kapasitas Panas tiap Penutup Lahan
Penutup Lahan
Penutup lahan
Tubuh air
4.18
Lahan Terbangun
0.88
Vegetasi
3.13
Lahan Terbuka
1.4
Sumber: Geiger et al 1961, Handoko 1997
1997
Vegetasi
Rata -rata
Tubuh Air
Lahan Terbangun
1.94 x10-6
1.50 x10-6
2.25 x10-6
1.27x10-6
2.06x10-6
6.52 x10-6
6.10 x10-6
4.35 x10-6
6.52 x10-6
-6
5.85 x10
-6
-6
6.16x10-6
0.95 x10-6
1.16 x10-6
0.89 x10-6
1.14 x10-6
-6
1.13 x10
-6
-6
1.14x10-6
0.34 x10-6
0.84 x10-6
0.39 x10-6
0.81 x10-6
1.32 x10-6
1.46 x10-6
0.68x10-6
1.04x10-6
1.19 x10
5.77x10
0.97 x10 Rata -rata
Lahan Terbuka
Rata -rata
2.0 x10-6
-6
6.44 x10 Rata -rata
Geiger et al, 1961
2006
1.13x10-6
Tabel 15. Panas Jenis tiap Penutup Lahan Panas jenis (Joule g-1oC-1)
Kapasitas panas Joule m-3 o C-1
0.94x10
2.51x10-63.35 x10-6
4.18 x10-6
2.17 x10-6
0.42 x1060.84 x10-6
14
Pada Tabel 16 menunjukkan bahwa nilai kapasitas panas pada tahun 1997 lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2006, hal ini ditunjukkan oleh besarnya suhu permukaan pada tahun 1997 dibandingkan dengan tahun 2006 (Tabel 5 dan Tabel 6). Hal ini berpengaruh juga pada proporsi komponen neraca energi yang ditunjukkan Tabel 11, pada tabel tersebut memperlihatkan nilai radiasi netto tahun 1997 lebih besar dibandingkan tahun 2006. Artinya bahwa nilai kapasitas panas sangat mempengaruhi proporsi komponen neraca energi yang berimplikasi pada besarnya suhu pada tiap penutup lahan. Dari hal diatas dapat disimpulkan bahwa mekanisme perubahan kapasitas panas perlu dipertimbangkan dalam perencanaan suatu wilayah yang umumnya melakukan perubahan dari vegetasi menjadi non vegetasi.
lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2006, hal ini ditunjukkan oleh besarnya suhu permukaan pada tahun 1997 dengan tahun 2006 dan berpengaruh juga pada proporsi komponen neraca energi. Perhitungan komponen neraca energi dari data citra satelit pada penelitian ini masih terdapat beberapa kelemahan, yaitu masih banyaknya asumsi-asumsi yang digunakan sehingga dapat menyebabkan kesalahan dalam perhitungannya. Dan juga masih terdapat nilai kapasitas panas yang menjauh dari hasil penelitian menurut Geiger et al 1961. Hal ini kemungkinan kesalahan peneliti dalam menentukan jenis penutup lahan. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk meningkatkan akurasi dengan menghilangkan asumsi-sumsi yang digunakan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN Indeks vegetasi (NDVI) mempengaruhi komponen neraca energi. Hal ini berdasarkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pada penutup lahan bervegetasi, penggunaan radiasi netto sebagian besar untuk fluks pemanasan laten (λE). Nilai λE ini berbanding lurus dengan nilai indeks vegetasi. Sedangkan pada penutup lahan terbangun, nilai NDVI rendah sebanding dengan nilai λE yang rendah, karena energi yang diterima sebagian besar digunakan untuk memanaskan udara dan tanah. Massa jenis dikaitkan dengan jenis penutup lahan dan diduga dengan pendekatan Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) yang diestimasi dari data satelit Landsat. Sehingga diperoleh nilai kapasitas panas untuk tiap penutup lahan. Kapasitas panas tertinggi terjadi pada penutup lahan tubuh air, hal ini dikarenakan tubuh air mampu menyimpan panas lebih baik dibandingkan penutup lahan lain. Sedangkan terendah terjadi pada lahan non vegetasi, karena lahan ini akan lebih cepat naik suhunya dibandingkan tubuh air pada penambahan panas yang sama, tetapi pada malam hari saat terjadi pengurangan panas akibat pancaran gelombang panjang dari permukaan bumi, lahan non vegetesi akan cepat dingin dibandingkan air. Nilai kapasitas panas pada tahun 1997
15