IMPLEMENTASI PERJANJIAN KREDIT YANG DIBUAT SECARA DI BAWAH TANGAN PADA BPR DI KECAMATAN KUTA UTARA KABUPATEN BADUNG Oleh I Wayan Erik Pratama Putra Ni Ketut Supasti Dharmawan Ni Putu Purwanti Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstrak Perjanjian kredit bank dalam bentuk tertulis di bawah tangan, dewasa ini sering dilakukan dalam praktek pemberian kredit oleh pihak bank khususnya Bank Perkreditan Rakyat (BPR) selaku kreditur kepada nasabah peminjam (debitur) Pengaturan perjanjian kredit yang dibuat secara di bawah tangan menurut hukum perbankan tidak dilarang mengingat Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan hanya mengatur keharusan adanya suatu perjanjian kredit yang didasarkan pada persetujuan atau kesepakatan antara pihak bank dengan pihak lain sebagai penerima kredit. Mengenai bentuk perjanjian apakah harus dengan akta notaris atau cukup dengan perjanjian di bawah tangan tidak diatur dalam hukum perbankan. Dintinjau dari Undang-Undang Jabatan Notaris, perjanjian kredit yang dibuat dengan akta notaris mempunyai kekuatan pembuktian yang lebih kuat dibandingkan dengan perjanjian kredit yang dibuat secara di bawah tangan dan Implementasi perjanjian kredit yang dibuat secara di bawah tangan pada BPR di Kecamatan Kuta Utara dibentuk atas dasar kesepakatan (konsensualisme). Dengan adanya penandatanganan oleh debitor atas perjanjian kredit yang ditawarkan oleh pihak bank, maka secara yuridis formal debitor telah menyetujui atau menyepakati syarat-syarat yang ada dalam perjanjian kredit di bawah tangan tersebut. Selain itu pada umumnya perjanjian kredit yang dibuat secara di bawah tangan diikuti dengan lembaga jaminan lain yang aktanya bersifat eksekutorial yang dapat memberikan jaminan eksekusi jika nasabah melakukan wanprestasi. Kanta Kunci : Perjanjian Kredit, Perjanjian Bawah Tangan, Wanprestasi.
Abstract Bank underhanded credit agreement in written form, recently is frequently used in extension of credit by the bank especially the Bank Perkreditan Rakyat (BPR) as a creditor to a bank costumer (debtor). The arrangements regarding credit agreements are made by underhand according to banking law did not prohibited in view of Article 1 point 11 Act of No. 10 of 1998 on Banking only regulate the necessity of a credit agreement that is based on consensus or agreement between the bank and other parties as credit recipients. Regarding the form of the agreement is to be a notarial deed or simply by underhand agreement did not regulated in banking law. Judging from the Notary Act, the credit agreements made by notarial deed have the strength of evidence is much stronger compared with the credit agreement made by underhand; and (2) The implementation of the credit agreement commonly made by underhand at BPR in the North Kuta Sub District formed on the basis of an agreement (consensualism). With the signing by the 1
debtor on the credit agreement offered by the bank, so the formal judicial the debtor has approved or agreed to the terms contained in the underhand credit agreement. Furthermore to the general credit agreements made by underhand followed by another guarantee deed which has executorial deed which may guarantee execution if customers are in default. Keywords:Folklore, Legal Protection, Silversmiths. I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Secara definitif perjanjian kredit tidak dikenal dalam undang-undang perbankan, namun jika ditelaah lebih lanjut mengenai pengertian kredit dalam undang-undang perbankan terdapat kata-kata persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam yang menegaskan bahwa hubungan kredit adalah hubungan yang berdasarkan pada perjanjian (hubungan kontraktual) yang berbentuk pinjam-meminjam. Menurut Undang-undang perbankan pengertian kredit menggunakan istilah yang berbeda, namun mengandung makna yang sama. Penggunaan istilah tersebut tergantung pada kegiatan usaha yang dijalankan oleh bank. Bank yang menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional menggunakan istilah kredit, sedangkan bank yang menjalankan
usahanya
berdasarkan
syariah
menggunakan
istilah
pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah. Dari rumusan kedua istilah tersebut, perbedaannya terletak pada bentuk kontra prestasi yang akan diberikan debitur kepada kreditur atas pemberian kredit atau pembiayaannya. Pada bank konvensional, kontra prestasinya berupa bunga, sedang bank syariah kontra prestasinya berupa imbalan atau bagi hasil sesuai dengan kesepakatan bersama. 1 Undang-undang Perbankan tidak menjelaskan hubungan hukum pemberian kredit dengan nasabah sebagai peminjam. Salah satu dasar yang cukup jelas bagi bank mengenai keharusan adanya suatu perjanjian kredit adalah ketentuan Pasal 1 angka 11 UU Nomor 10 Tahun 1998, dimana disebutkan bahwa kredit diberikan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
1
Rachmadi Usman, 2010, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Hal. 237.
2
1.2 Tujuan Penulisan Adapun yang menjadi tujuan penulisan adalah untuk mengetahui implementasi perjanjian kredit dan pelaksanaan perjanjian kredit yang di buat secara di bawah tangan pada BPR Kecamatan Kuta Utara di tinjau dari perspektif hukum perbankan dan Undang-Undang Jabatan Notaris ( UUJN). II. ISI MAKALAH 2.1 Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan merupakan penelitian hukum empiris. Pendekatan penelitian terdiri dari pendekatan perundang-undangan dan pendekatan analisis konsep. Jenis dan sumber data penelitian hukum empiris berupa data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh di lapangan melalui wawancara. Data sekunder diperoleh melalui penelitian kepustakaan yang berupa bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif kualitatif berdasarkan pemikiran logis atas berbagai data yang diperoleh sebagai jawaban atas permasalahan 2.2
Hasil dan Pembahasan
2.2.1 Implementasi Perjanjian Kredit yang Dibuat Secara Di Bawah Tangan menurut Hukum Perbankan Dasar hukum mengenai keharusan adanya suatu perjanjian kredit dalam kredit perbankan, berdasarkan Pasal 1 angka 11 dan Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, di mana disebutkan bahwa kredit diberikan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain. Pencantuman kata-kata persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam di dalam definisi atau pengertian kredit sebagaimana Pasal 1 angka 12 tersebut di atas, mempunyai beberapa maksud sebagai berikut : Bahwa pembentuk undang-undang bermaksud untuk menegaskan bahwa hubungan kredit bank adalah hubungan kontraktual antara bank dan nasabah debitor yang berbentuk pinjam-meminjam. Dengan demikian bagi hubungan kredit bank berlaku Buku Ketiga (tentang perikatan) pada umumnya dan Bab Ketigabelas (tentang pinjam-meminjam) KUH Perdata khususnya.
3
Namun demikian, yang lebih penting dari pada dasar diadakannya perjanjian kredit, adalah filosofi daripada keharusan adanya suatu perjanjian kredit atas setiap pelepasan kredit bank kepada nasabahnya. Adapun filosofi tersebut adalah berfungsinya perjanjian kredit tersebut sebagai alat bukti, dan sebagaimana diketahui bahwa suratsurat perjanjian yang ditandatangani adalah merupakan suatu akta. Ada beberapa kelemahan, dari akta perjanjian kredit di bawah tangan ini, yaitu antara lain: 1. Apabila suatu saat nanti terjadi wanprestasi oleh debitor, yang pada akhirnya akan diambil tindakan hukum melalui proses peradilan, maka apabila debitor yang bersangkutan memungkiri tandatangannya, akan berakibat hilangnya kekuatan hukum perjanjian kredit yang telah dibuat tersebut. Dalam Pasal 1877 KUH Perdata disebutkan, bahwa jika seorang memungkiri tulisan atau tandatangannya, maka Hakim harus memerintahkan supaya kebenaran dari pada tulisan atau tanda tangan tersebut diperiksa di muka Pengadilan. 2. Karena perjanjian ini dibuat hanya oleh para pihak, di mana formulirnya telah disediakan oleh Bank, maka bukan tidak mungkin terdapat kekurangan datadata yang seharusnya dilengkapi untuk suatu kepentingan pengikatan kredit, atas dasar pelayanan, penandatanganan perjanjian dilakukan walaupun formulir perjanjian masih dalam bentuk blangko/kosong. Kelemahan-kelemahan ini pada akhirnya akan merugikan bank, bila suatu saat berperkara dengan nasabahnya. Tindakan perbankan menggunakan perjanjian di bawah tangan dan akta notariil ini lebih disebabkan adanya tuntutan efisiensi dan biaya dalam pelayanan, khususnya dalam perjanjian kredit perbankan 2.
2.2.2
PELAKSANAAN PERJANJIAN KREDIT YANG BIASA DIBUAT SECARA DI BAWAH TANGAN PADA BPR DI KECAMATAN KUTA UTARA Perjanjian kredit pada perbankan di Kabupaten Badung ada 2 (dua) jenis
perjanjian kredit/pengikatan kredit yang digunakan, yaitu: 1. Perjanjian/pengikatan kredit di bawah tangan atau akta di bawah tangan. Yang dimaksud dengan akta di bawah tangan adalah perjanjian pemberian kredit oleh 2
R.Soebekti, 2007, Hukum Perjanjian, PT Intermasa, Jakarta, Hal 8
4
bank kepada nasabahnya yang dibuat hanya di antara bank dan debitur tanpa notaris. 2. Perjanjian/pengikatan kredit yang dibuat oleh dan di hadapan notaris (akta notariil) atau akta otentik. Yang dimaksud dengan akta perjanjian kredit bank notariil (otentik) adalah perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat oleh atau di hadapan notaris.” Dalam praktek perbankan di Kabupaten Badung pembuatan perjanjian kredit dapat dengan menggunakan akta notariil dan perjanjian di bawah tangan. Bentuk perjanjian kredit perbankan di Kabupaten Badung pada umumnya dan di PT. BPR Kita Centradana, PT. BPR Permata Sedana dan PT. BPR Nusamba Kerobokan pada khususnya telah disediakan oleh pihak bank sedangkan Debitor hanya mempelajari dan memahaminya dengan baik. Perjanjian yang demikian itu biasa disebut dengan perjanjian baku (standart contract), dimana Debitor hanya dalam posisi menerima atau menolak tanpa ada kemungkinan untuk tawar menawar. 3
III
KESIMPULAN Implementasi perjanjian kredit yang dibuat secara di bawah tangan pada BPR di
Kecamatan Kuta Utara dibentuk atas dasar kesepakatan (konsensualisme). Dengan adanya penandatanganan oleh debitor atas perjanjian kredit yang ditawarkan oleh pihak bank, maka secara yuridis formal debitor telah menyetujui atau menyepakati syaratsyarat yang ada dalam perjanjian kredit di bawah tangan tersebut. Selain itu pada umumnya perjanjian kredit yang dibuat secara di bawah tangan diikuti dengan lembaga jaminan lain yang aktanya bersifat eksekutorial yang dapat memberikan jaminan eksekusi jika nasabah melakukan wanprestasi. DAFTAR PUSTAKA Hermansyah, 2011, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. R.Soebekti, 2007, Hukum Perjanjian, PT Intermasa, Jakarta Usman, Rachmadi, 2010, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankkan . 3
Hermansyah, 2011, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, Hal.72.
5