BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kondisi Geografis Kecamatan Kuta Selatan Kecamatan Kuta Selatan terletak di selatan Kabupaten Badung tepatnya pada 8º46’58.7” LS dan 115º05’00”-115º10’41.3” BT, berada pada ketinggian 0-200 meter di atas permukaan laut (Badan Pusat Statistik Kabupaten Badung, 2012). Kecamatan Kuta Selatan secara administratif terdiri dari Desa Pecatu, Desa Ungasan, Desa Kutuh, Kelurahan Benoa, Kelurahan Tanjung Benoa dan Kelurahan Jimbaran. Desa dan kelurahan yang ada dibagi lagi menjadi 62 banjar atau lingkungan (Badan Pusat Statistik Kabupaten Badung, 2012). Kecamatan Kuta Selatan selain memiliki lembaga desa secara administratif, juga memiliki lembaga desa adat. Lembaga desa adat mempunyai peranan tidak kalah penting dari desa secara administratif dalam pembangunan desa. Desa adat dipimpin oleh seorang bendesa adat. Kecamatan Kuta Selatan saat ini memiliki 9 desa adat (Badan Pusat Statistik Kabupaten Badung, 2012). Berdasarkan data hasil sensus penduduk tahun 2010, jumlah penduduk di Kecamatan Kuta Selatan mencapai 115.918 jiwa yang teridiri dari 59.620 laki-laki dan 56.298 perempuan, dengan penduduk usia produktif (15-64 tahun) mencapai 68,87% dari total penduduk (Badan Pusat Statistik Kabupaten Badung, 2012). Menurut data yang diperoleh dari unit pelaksana teknis Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Kecamatan Kuta Selatan pada tahun 2012, jumlah ternak sapi di wilayah ini sebanyak 10.958 ekor yang tersebar di tiga desa dan tiga kelurahan yaitu Desa Pecatu berjumlah 4.139 8
9
ekor, Desa Ungasan berjumlah 2.122 ekor, Desa Kutuh berjumlah 1.546 ekor, Kelurahan Benoa berjumlah 1.734, Kelurahan Jimbaran berjumlah 1.382 ekor dan Kelurahan Tanjung Benoa berjumlah 35 ekor
(Badan Pusat Statistik Kabupaten Badung, 2012).
Menurut data yang diperoleh dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG Stasiun Ngurah Rai-Kuta, 2014) secara geografis suhu udara, kelembaban udara dan curah hujan di Kecamatan Kuta Selatan pada tahun 2009 sampai 2013 disajikan dalam Tabel 1 sebagai berikut : Tabel 1. Data Suhu, Kelembaban dan Curah Hujan di Kecamatan Kuta Selatan Tahun Suhu Udara (oC) Kelembaban Curah Hujan Udara (%) (millimeter) 2009 27,05 82,81 115,16 2010 27,60 83,86 208,55 2011 26,80 82,49 142,75 2012 26,86 80,60 247,66 2013 27,36 80,37 115,35 Rata-rata 27,14 82,03 165,89 Sumber : BMKG Wilayah III Denpasar (2014). 2.2 Escherichia coli Coliform digolongkan dalam 2 kelompok yaitu coli fecal dan coli non fecal. Coli fecal (Escherichia coli) biasanya berasal dari saluran pencernaan manusia dan hewan sedangkan coli non fecal bukan berasal dari saluran pencernaan manusia dan hewan. Escherichia coli merupakan flora normal yang hidup di dalam saluran pencernaan manusia dan hewan. Escherichia coli berperan dalam mensintesis vitamin K, konversi pigmen-pigmen empedu, asamasam empedu, dan penyerapan zat-zat makanan serta pada lingkungan, bakteri E.coli berperan sebagai pengurai dan penyedia nutrisi bagi tumbuhan (Ganiswarna, 1995).
10
Klasifikasi Escherichia coli menurut Todar (2008) adalah : Domain
: Bacteria
Phylum
: Proteobacteria
Class
: Gamma Proteobacteria
Ordo
: Enterobacteriales
Family
: Enterobacteriaceae
Genus
: Escherichia
Species
: E. coli
Bakteri Escherichia coli berbentuk batang dengan panjang 1 sampai 3 μm dan lebar 0,4 sampai 0,7 μm. Escherichia coli bersifat Gram negatif, tidak berkapsul, dapat bergerak dengan aktif karena memiliki flagella peritrik, bersifat aerob maupun anaerob fakultatif dan terdapat dalam saluran pencernaan manusia maupun hewan. Escherichia coli dapat tumbuh pada suhu antara 4 sampai 460C dengan suhu optimum 370C sedangkan pH untuk pertumbuhan antara 4 sampai 8,5 dengan pH optimum 7 sampai 7,5 dan E.coli relatif peka terhadap suhu dan pemanasan (Suryawiria, 1996). Escherichia coli merupakan salah satu agen yang akan bersifat patogen jika jumlahnya dalam saluran pencernaan meningkat atau berada di luar habitat aslinya (usus). Escherichia coli menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan beberapa kasus diare. Manifestasi klinik infeksi oleh E.coli bergantung pada tempat infeksi dan tidak dapat dibedakan dengan gejala infeksi yang disebabkan oleh bakteri lain (Jawetz et al.,1996 dalam Mahayani, 2004).
11
Berdasarkan patogenisitas, bakteri digolongkan menjadi bakteri patogen oportunistik dan non patogen. Faktor yang mempengaruhi virulensi bakteri dan kemampuan untuk menyebabkan penyakit atau infeksi adalah kemampuan invasi sel inang dan jaringan serta toksin yang dihasilkan, seperti eksotoksin lipo-polisakarida, peptidoglikan, enzim dan faktor antifagosit. Escherichia coli tergolong patogen yang tumbuh secara aerob maupun anaerob (Carter et al.,1997 dalam Mahayani, 2004). Infeksi E.coli pada manusia dapat terjadi karena mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi asal hewan yang kurang matang dan bahan lain yang terkontaminasi. Makanan yang terkontaminasi E.coli jika dikonsumsi akan menghuni saluran cerna. Selanjutnya E.coli membentuk koloni pada sel-sel epitel dari selaput mukosa usus dan menimbulkan kerusakan usus kemudian akan diekskresikan bersama feses. Feses yang mengandung E.coli akan mencemari air atau bahan lainya sehingga memungkinkan terjadi infeksi pada inang yang peka. Bakteri E.coli di dalam saluran cerna akan dipengaruhi oleh pertahanan tubuh non spesifik dari inang seperti pH lambung, gerakan peristaltik usus, lendir usus, lisosim dari usus, laktoferin, dan flora normal (Gyles et al., 1981 dalam Suwito, 2009). 2.3 Escherichia coli O157:H7 Escherichia coli O157:H7 merupakan salah satu E.coli yang patogen bagi manusia dan hewan. Escherichia coli O157:H7 mampu menghasilkan toksin yang disebut dengan shiga like toxin. Shiga like toxin (Stx) terdiri dari shiga like toxin 1 (Stx1) dan shiga like toxin 2 (Stx2). Shiga like toxin 1 (Stx1) sama dengan shigella dysenteriae tipe 1 dengan sifat antigenik dan daya toksisitas lebih kecil bila dibandingkan dengan shiga like toxin 2 (Stx2). Shiga like toxin 2 (Stx2) lebih bersifat antigenik serta toksisitasnya lebih tinggi (Suwito, 2009).
12
Kajian terhadap keberadaan Escherichia coli O157:H7 pada feses domba sebesar 13,2% dan daging domba sebesar 2,6% di Yogyakarta (Sumiarto et al., 2004) dan Suardana et al. (2007) serta Suardana et al. (2008) E.coli O157:H7 pada feses sapi di Bali sebesar 7,61%, pada daging sapi sebesar 5,62% dan pada feses manusia sebesar 1,30%. Escherichia coli O157:H7 juga ditemukan pada daging sapi (2,6%), feses sapi sebesar (5%), feses ayam sebesar (2,6%), manusia nonklinis sebesar (6,7%), dan manusia klinis (15%) (Suardana et al., 2012). Dijelaskan juga bahwa E.coli O157:H7 asal feses manusia klinis dengan isolat asal feses sapi di ketahui memiliki kemiripan yang tinggi sebesar 96,6%, demikian halnya antara isolat asal manusia klinis dengan isolat asal feses ayam, sehingga bisa dikatakan bahwa hewan sapi ataupun ayam berpotensi sebagai sumber penularan sebagai agen zoonosis E.coli O157:H7 (Suardana et al., 2011). Escherichia coli O157:H7 pada manusia memiliki peran penting dalam menimbulkan haemorrhagic colitis (HC). Haemorrhagic colitis (HC) pada manusia dengan gejala spesifik yang ditimbulkan berupa diare berdarah (Riley et al., 1983). Beberapa pasien dilaporkan juga mengalami hemolytic uremic syndrome (HUS) dengan gejala terjadinya kegagalan ginjal akut, hemolitica anemia microangiopatic, dan trombositopenia (Jawetz et a.l,1996; Todar, 1997; Carter and Wise, 2004). Kematian akibat hemolytic uremic syndrome (HUS) berkisar 5 sampai 10% yang disebabkan oleh E.coli O157:H7 (McCarthy et al.,1998). Serotipe lain yang juga ikut berperan dalam munculnya kasus hemolytic uremic syndrome (HUS) antara lain O26:H11, O103:H2 dan O111:H- dengan presentasi sebesar 20 sampai 25% (Johnson et al., 1996). Escherichia coli serotipe O26:H11, O103:H2, O111:H-, O145:H7, dan O157:H- merupakan serotipe lain yang
13
juga berperan untuk menimbulkan hemolytic uremic syndrome (HUS), haemorrhagic colitis (HC) dan thrombocytopenia purpura (TPP) (Carter and Wise, 2004 dalam Suwito, 2009). Jalur infeksi Escherichia coli O157:H7 pada manusia melalui dua cara yaitu infeksi secara langsung dan tidak langsung. Jalur infeksi secara langsung diperoleh dari daging asal ternak ruminansia yang tidak di masak dengan sempurna dan susu yang tidak dipasteurisasi serta makanan olahan lainya yang dalam penyajianya menggunakan bahan asal hewan seperti roti tawar isi daging sapi, buah, dan sayur yang terkontaminasi feses (Mainil dan Daube, 2005) sedangkan untuk jalur infeksi secara tidak langsung dapat melalui air dalam kolam renang yang terkontaminasi Escherichia coli O157:H7 dan kontak antar manusia (Blanco et al., 2004). 2.4 Faktor Resiko Kejadian Escherichia coli O157:H7 Menurut Sumiarto (2004) bahwa fakor resiko infeksi Escherichia coli O157:H7 pada sapi dengan kondisi fisik yang kotor berpeluang 3,22 kali lebih besar untuk terinfeksi VTEC dibandingkan dengan ternak dengan kondisi fisik yang bersih. Selanjutnya Sumiarto et al. (2003) menemukan bahwa peternak yang memiliki tempat penampungan limbah yang terbuat dari tanah kemungkinan terjadi infeksi 5,96 kali lebih besar dibandingkan dengan kandang ternak yang mempunyai tempat limbah dari semen. Faktor resiko yang berhubungan dengan peningkatan pelepasan E.coli O157:H7 pada feses hewan meliputi umur hewan, perubahan pakan, transportasi, dan keadaan panas (Dargatz et al., 1997). Menurut Carter et al. (1997) manusia dan hewan yang peka dengan E.coli patogen pada umumnya karena ada faktor predisposisi seperti stres, kelelahan fisik, dan defisiensi nutrisi. Faktor lain yang mempengaruhi tingginya infeksi Escherichia coli O157:H7 antara lain pakan, stres, kepadatan ternak, kondisi geografis, dan musim (Kudva et al.,1996).