1
IMPLEMENTASI MEKANISME REGIONAL ASEAN DALAM PENANGGULANGAN MASALAH TERORISME DI ASIA TENGGARA Anik Yuniarti Abstract This research will analize the factors cause the difficulty of implementation on ASEAN regional mechanism to counter terorism. The difficulty on implementation is caused by the ASEAN member binding to the ASEAN Way norm based on principe of souvereign equality, non interference and consensus. It is also caused by the lack of the strong willingness of the member to do the ASEAN treaties. It is caused by the difference of legal instrument and interest of the ASEAN member state. Keyword : terrorism, regional mechanism, asean way. Pendahuluan Dewasa ini terorisme telah menjadi ancaman paling serius bagi kemanusiaan dan peradaban serta membawa dampak sangat besar di segala aspek kehidupan berbangsa dan
bernegara. Pada tingkat regional, Asia Tenggara
merupakan kawasan yang menghadapi tantangan cukup berat dalam bidang keamanan. Masalah terorisme merupakan masalah yang banyak dihadapi oleh negara-negara Asia Tenggara. Banyaknya peristiwa terorisme yang terjadi di Asia Tenggara telah mengakibatkan ASEAN dituntut untuk berperan lebih besar dalam menyelesaikan masalah ini. Ketika masalah terorisme menimpa ASEAN, seperti pemboman di Bali, Oktober 2002 dan Hotel JW Marriot Jakarta Agustus 2003 dan sejumlah aksi pengeboman di Filipina yang diduga terkait dengan Jaringan Jamaah Islamiah di Singapura, Malaysia dan Thailand, maka hal ini semakin menguatkan ASEAN untuk bertindak lebih aktif. Para elit pemerintahan ASEAN menyadari bahwa sudah saatnya ASEAN mempunyai instrumen yang efektif untuk memerangi terorisme. Bali Concord menghendaki agar ASEAN memperkuat solidaritas politik dan keamanan dengan menumbuhkan pandangan yang selaras, posisi terkoordinasi, dan mengambil tindakan bersama manakala mungkin dan dipandang baik. Dalam hal ini ASEAN harus mengembangkan sikap terpadu,
2
tidak hanya dalam bidang ekonomi tetapi juga dalam bidang politik dan keamanan. ASEAN mempunyai kepentingan bersama untuk bekerjasama dalam memerangi kejahatan lintas negara, utamanya terorisme. Hal ini karena pada kenyataannya kejahatan lintas negara termasuk terorisme telah beroperasi secara transnasional. Sebenarnya ASEAN telah membuat berbagai kesepakatan dan Plan of Action yang cukup komprehensif dalam upaya penanggulangan bahaya terorisme. Adanya berbagai kesepakatan dan komitmen yang ada di ASEAN menunjukkan bahwa upaya memerangi terorisme sesungguhnya tergantung pada kemauan politik negara-negara ASEAN sendiri dan diselesaikan dalam kerangka regional. Dalam kaitan ini diperlukan implementasi mekanisme regional secara nyata dari negara-negara ASEAN. ASEAN harus berdasar pada kerangka regional dalam melaksanakan berbagai mekanisme regional, meskipun identitas nasional tetap melekat.( Wijono, Forum Dialog X). Berbagai kesepakatan dan kerjasama yang telah dibuat ASEAN
mencerminkan bahwa ASEAN hendak berupaya
membangun mekanisme regional dalam penyelesaian konflik dan masalah terorisme secara regional. Namun demikian, kenyataan yang ada di lingkungan ASEAN belum mencerminkan itikad yang kuat dari negara-negara ASEAN untuk mematuhi kesepakatan-kesepakatan dan menggunakan mekanisme regional yang ada untuk penyelesaian masalah terorisme. Keberadaan ASC juga masih belum dijadikan tumpuan bagi para anggota ASEAN untuk menyelesaikan masalah-masalah keamanan ASEAN termasuk mengenai isu terorisme. Penerapan mekanisme regional di ASEAN untuk memecahkan masalah terorisme di kawasan Asia Tenggara belum bisa dilaksanakan. Masing-masing negara ASEAN tampaknya masih mengandalkan pola yang sudah ada, yaitu melalui jalur bilateral, tidak melalui suatu mekanisme regional yang berlaku umum untuk keseluruhan anggota ASEAN. Dengan kata lain, respon ASEAN terhadap masalah aksi terorisme masih cenderung bersifat ad hoc (Bandoro, 1997 : 54-55).
Masih banyak kasus-kasus besar yang seharusnya dibawa pada
3
mekanisme penyelesaian konflik di ASEAN (regional) tetapi justru dibahas di tingkat bilateral atau bahkan ke tingkat internasional. Kenyataan sampai saat ini, salah satu prinsip yang amat penting dari perjanjian persahabatan dan kerjasama di Asia Tenggara, yakni satu format penyelesaian perselisihan intra ASEAN, belum sepenuhnya dimanfaatkan (Adam,at al, 1999: 2). Pola melalui jalur bilateral tampaknya masih digunakan oleh sebagian besar negara anggota ASEAN untuk menyelesaikan masalah terorisme. Sejalan dengan hal tersebut di atas, (Luhulima, 2003 : 34) bahkan menegaskan, ternyata mekanisme penyelesaian konflik di ASEAN (regional) belum pernah diaktifkan untuk pengelolaan atau penyelesaian ketegangan antar negara anggota. Hal inilah yang kemudian menimbulkan sebagian kalangan mempertanyakan eksistensi ASEAN. Tulisan ini hendak menganalisis tentang faktor-faktor yang menyebabkan sulitnya implementasi mekanisme regional ASEAN dalam mengatasi masalah terorisme di Asia Tenggara. Pendekatan Penelitian Pembahasan mengenai faktor-faktor yang menjadi hambatan ASEAN dalam implementasi mekanisme regional penyelesaikan masalah terorisme di Asia Tenggara akan didekati dengan menggunakan batasan-batasan yang tertera dalam Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama di Asia Tenggara (Treaty of Amity and Cooperation/TAC ). TAC merupakan dasar interaksi sesama negara ASEAN. Isi dari kesepakatan TAC adalah bahwa pembinaan kehidupan regional tidak boleh mengganggu “kemerdekaan, kedaulatan, persamaan, keutuhan wilayah dan kepribadian nasional” setiap bangsa di Asia Tenggara; bahwa setiap negara harus dapat “melangsungkan kehidupan nasionalnya bebas dari campur tangan, subversi atau tekanan dari luar”; bahwa tidak ada campur tangan “mengenai urusan dalam negeri” negara lain; bahwa “setiap perselisihan atau persengketaan harus diselesaikan dengan cara-cara damai”; dan bahwa “setiap pengancaman dengan kekerasan atau penggunaan kekerasan” tidaklah dapat diterima. Kendala dalam implementasi mekanisme regional ASEAN juga akan didekati dengan norma ASEAN yang dikenal sebagai ASEAN Way. Cara ASEAN ini menunjuk pada suatu code of conduct dalam hubungan antar negara di
4
antara para anggotanya.
Asean Way juga menunjuk kepada suatu rangkaian
pedoman dan norma yang tidak tertulis tetapi mengikat dan yang ditaati negaranegara anggota (Bandoro, 1997 :190-191) Sendi-sendi normatif yang terkandung dalam “ASEAN Way” antara lain ádalah prinsip untuk melakukan kerjasama secara damai, harmoni, saling menghormati kedaulatan wilayah (national sovereignty) masing-masing, tidak mencampuri urusan domestik negara anggota, egaliter, menerapkan kaídah konsensus dalam menghasilkan berbagai keputusan, tenggang rasa dan non konfrontatif, saling membantu, melakukan diplomasi secara diam-diam tidak melalui media, menjunjung tinggi solidaritas, non legalistik dan pragmatis (Susastro, 1995 : iii-iv). Prinsip-prinsip ini telah menjadi landasan politik penting bagi negara-negara anggota Asean dalam menjalin hubungan satu sama lain. Selama lebih dari tiga puluh tahun, prinsip tersebut telah mampu menimbulkan kohesivitas dan solidaritas di Asean. Atas dasar prinsip tersebut, ASEAN telah memberikan sumbangan berharga atas kemampuannya meredam konflik diantara negara anggota dan menciptakan stabilitas politik-keamanan di kawasan Asia Tenggara Batasan-batasan ini dengan tegas memberikan corak kepada bentuk regionalisme yang diperjuangkan para pendiri ASEAN. Dengan demikian, tingkat kerjasama ASEAN amat ditentukan dan dilanggengkan oleh kepentingan para anggota yang masih sangat peka terhadap masalah kedaulatannya. Analisa
faktor-faktor
yang
menjadi
hambatan
ASEAN
dalam
implementasi mekanisme penyelesaian masalah terorisme di ASEAN sangat terkait dengan tinggi rendahnya kepekaan negara-negara ASEAN terhadap masalah
kedaulatannya.
Semakin peka
negara-negara terhadap masalah
kedaulatannya maka semakin sulit untuk mengembangkan sikap “terpadu” dalam menyelesaikan masalah-masalah keamanan bersama. Kadar regionalisme hanya dapat meningkat apabila para anggota bersedia mengurangi kepekaan itu demi suatu keuntungan yang lebih besar bagi mereka masing-masing. Dasar kesediaan itu, sejak usaha pembangunan regionalisme ASEAN, berawal dari tingkat kesediaan yang paling rendah yang dapat dicapai pada setiap perembukan
5
mengenai bentuk-bentuk kerjasama dalam lingkup ASEAN dan meningkat menuju tahap-tahap kesediaan yang lebih tinggi ( Luhulima, 2003: 33 ). Lebih jauh Luhulima menyatakan bahwa perang bersama ASEAN terhadap terorisme dan kejahatan lintas batas lain menghadapi kedala berupa sikap untuk tetap mempertahankan prinsip “kedaulatan, integritas teritorial dan hukum nasional” setiap negara anggota yang harus ditaati dalam perang melawan terorisme dan semua kejahatan. (Luhulima, 2003 : 41) Terorisme internasional yang dianggap berkembang bersama di atas kejahatan lintas negara memperkuat kembali konsep ASEAN Way. Semua persetujuan untuk memberantas terorisme internasional di wilayah Asia Tenggara didasarkan atas pasal-pasal yang terpenting dalam Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (TAC). Kalau konsensus tidak tercapai dalam memerangi terorisme di tingkat ASEAN, disamping peraturan peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau undang-undang anti terorisme masingmasing negara anggota, maka negara-negara anggota tertentu yang menganggap bahwa terorisme sudah sangat mengganggu, dan persetujuan ASEAN tidak memadai, membuat persetujuan sendiri untuk menghadapi kejahatan terorisme tersebut (Luhulima, 2003 : 32). Aturan permainan yang didasarkan pada TAC menegaskan suatu ciri fundamental regionalisme ASEAN : ASEAN tetap harus merupakan suatu variabel bergantung, suatu variabel yang bergantung pada kemauan politik setiap negara anggota untuk melepaskan komponen yang relevan dari kedaulatan mereka masing-masing untuk membangun suatu kehidupan Asia Tenggara yang terorganisasi. Karena itu level dan bobot kerjasama ASEAN banyak ditentukan oleh kesensitifan negara anggota terhadap masalah-masalah kedaulatan. Jadi, level dan bobot interaksi antar Negara ASEAN hanya dapat meningkat apabila Negara anggota dapat mengatasi kesensitifan tersebut. Disinilah exercise ASEAN dalam perjalanannya ke depan. Sejalan dengan hal di atas Philips Jusario Vermonte menyatakan bahwa kerjasama ASEAN yang lebih kongkret, terutama sebagai mekanisme penyelesaian konflik regional, berjalan sangat lambat. Hal ini antara lain terjadi
6
karena hakikat ASEAN yang dikenal sebagai organisasi yang lebih bersifat sovereignty enhancing daripada sovereignty reducing. Oleh karenanya itu, ASEAN harus mengkaji ulang dan melonggarkan prinsip-prinsip kedaulatan (sovereignty) yang selama ini dikedepankannya untuk mencapai kerjasama yang lebih substansial, misalnya mekanisme kontrol perbatasan atau patroli bersama antar negara-negara ASEAN (Vermonte, 2003 : 67). Batasan-batasan ini sekaligus mendasari perdamaian ASEAN ke dalam dan keluar. Apabila terjadi persengketaan yang diperkirakan akan mengganggu perdamaian dan keserasian regional, maka sesuai „tata cara regional“ mereka membentuk suatu Dewan Agung yang terdiri atas seorang wakil dari masingmasing negara anggota setingkat menteri untuk mencari cara-cara penyelesaian yang wajar, berdasarkan kesepakatan/perjanjian yang ada.
Namun demikian
ternyata mekanisme ini belum pernah diaktifkan. Penyelesaian ketegangan dan pengelolaan konflik lebih didominasi oleh kepentingan dan keamanan negaranegara besar, yang telah menjadi bagian integral dari pembangunan keamanan regional Asia Tenggara. Hal inilah yang antara lain menyebabkan sulitnya ASEAN membangun mekanisme regional untuk menangani masalah keamanan lintas batas, termasuk masalah terorisme. Pendekatan Efektifitas suatu rezim juha diharapkan dapat menjelaskan tentang faktor penyebab kegagalan/ tidak efektifnya suatu rezim dalam mencapai tujuannya. Dengan pendekatan ini akan diketahui mengapa rezim tidak bisa efektif dilihat dari faktor hambatan-hambatan pemerintah negara anggota dalam melaksanakan keputusan rezim, antara lain adanya konflik dalam negeri, dan adanya keberatan-keberatan dengan peraturan institusi. Keberatan ini antara lain bisa disebabkan karena adanya perbedaan sistem dan kepentingan masing-masing anggota. Hal ini berdampak pada ketidakmauan yang kuat dari anggota untuk mematuhi
aturan-aturan
yang
ada.
Hal
ini
disebabkan
oleh
adanya
ketidakpercayaan dari para anggota akan kemampuan mekanisme yang ada di ASEAN untuk memerangi terorisme. Faktor inilah yang menyebabkan mereka lebih sering menyelesaiakan masalah dengan cara mereka sendiri, dan bahkan ada beberapa negara yang lebih cenderung mempercayakan penyelesaian masalah ini
7
melalui mekanisme internasional.
Selanjut dengan tidak adanya kemauan yang
kuat dari para anggota untuk mematuhi aturan-aturan yang ada akan menyebabkan kebijakan aturan tersebut menjadi kurang efektif, sehingga dengan demikian akan berdampak pada eksistensi ASC dan ASEAN. Mekanisme Regional ASEAN dalam Counter Terrorism Pertemuan para pemimpin ASEAN telah menghasilkan berbagai kesepakatan, dari komunike bersama hingga deklarasi yang kesemuanya berisi tentang langkah-langkah yang diperlukan guna menindak kejahatan transnasional. Kejahatan terorisme mendapat perhatian khusus dari ASEAN dengan membuat pertemuan yang membahas tentang terorisme, termasuk menyepakati mengambil tindakan atas individu dan kelompok yang memberikan dukungan keuangan kepada para teroris. Pada Pertemuan tingkat Menteri Dalam Negeri, 18-20 Desember 1997, ASEAN menghasilkan deklarasi bersama tentang upaya pemberantasan semua bentuk kejahatan transnasional. Pertemuan tersebut diantaranya menyepakati pertukaran informasi aparat keamanan masing-masing negara. Pertemuan tersebut juga membahas tentang pendirian sebuah badan yang akan mengkaji kemungkinan kerjasama regional ASEAN dalam mengefektifkan upaya pemberantasan kejahatan-kejahatan tersebut, termasuk kemungkinan dibuat suatu perjanjian ekstradisi antar negara anggota ASEAN. Langkah selanjutnya adalah menjadikan ASEAN Plan of Action to Combat Transnational Crimes sebagai instrumen utnuk membangun kohesifitas strategi regional untuk mencegah, mengawasi serta menetralisir kejahatan transnasional, meningkatkan kerjasama regional dalam menginvestigasi, menahan, dan mengadili sekaligus merehabilitasi pelaku tindak kejahatan. Selain itu juga disepakati untuk meningkatkan kerjasama antar aparat keamanan ASEAN yang terkait dengan kejahatan trnasnasional, memperkuat kapasitas dan kapabilitas regional dalam kejahatan transnasonal yang mutakhir, membangun perjanjian
8
regional dan sub-regional pada pengadilan kriminal termasuk MLA (Mutual Legal Assistance) dan kerjasama Ekstradisi. Program aktifitas tersebut mencakup pertukaran informasi, kerjasama dalam hukum dan perundangan-undangan, mengembangkan kapasitas lembaga (institutional capacity building), pelatihan serta kerjasama ekstra regional lainnya. ASEAN juga menyepakati dibangunnya Pusat Pemberantasan Kejahatan Transnasional ASEAN (ASEAN Center for Combating Transnational Crimes/ ACTC) yang akan menjadi badan koordinasi dalam pemberantasan kejahatan transnasional. ASEAN juga telah mengambil langkah-langkah khusus guna memerangi kejahatan terorisme seperti pada KTT ASEAN ke-7 pada 5 November 2001 di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, yang menghasilkan Deklarasi Joint Action to Counter Terrorism dan ASEAN Minister Meeting on Transnational Crime (AMMTC). Terorisme dilihat sebagai ancaman besar untuk perdamaian dan keamanan internasional dan "tantangan langsung kepada pencapaian perdamaian, kemajuan dan kemakmuran ASEAN dalam mewujudkan Visi ASEAN 2020". Deklarasi Aksi bersama ASEAN ini memaparkan langkahlangkahnya dalam memerangi tindakan terorisme dengan cara, meninjau dan memperkuat mekanisma nasional dalam memerangi tindakan kejahatan terorisme yang semakin meluas, menandatangani konvensi anti-teroris yang telah di sepakati, termasuk konvensi Internasional untuk menanggulangi Financing of Terrorism, memperdalam kerjasama dengan penegak hukum, meningkatkan pertukaran informasi dan pembangunan kemampuan regional,memperkuat kerjasama yang terorganisir pada Pertemuan Menteri Transnational Crime (AMMTC) dan badan-badan lain yang terkait dalam upaya ASEAN mencegah dan menanggulangi segala bentuk tindakan terorisme. Selain itu, ASEAN juga mengembangkan kapasitas dalam meningkatkan kemampuan negara-negara anggota ASEAN untuk menyelidiki, mendeteksi, memantau dan melaporkan tindakan teroris. ASEAN juga membahas dan mencari ide-ide praktis dan inisiatif untuk meningkatkan peran dalam ASEAN dan keterlibatan dengan masyarakat internasional termasuk mitra luar daerah yang ada
9
di dalam kerangka seperti ASEAN + 3 (Cina, Jepang dan Korea ), Mitra Dialog ASEAN dan ASEAN Regional Forum (ARF) untuk memerangi tindakan teroris yang didasarkan pada enam strategi thrust: pertukaran informasi, kerja sama dalam persoalan hukum; kerjasama dalam hal penegakan hukum, peningkatan kapasitas kelembagaan; pelatihan, dan ekstra-kerjasama regional. Ini merupakan langkah-langkah yang oleh ASEAN pada Pertemuan Menteri Kejahatan Transnasional di Kuala Lumpur pada bulan Mei 2002. Konferensi
ASEAN
Chiefs
of
Police
(ASEANAPOL),
yang
diselenggarakan pada bulan Mei 2002 di Phnom Penh juga berkomitmen dalam memerangi tindakan terorisme. Semua anggota ASEANAPOL memiliki kemampuan untuk secara efektif memonitor berbagi informasi dan memberantas segala bentuk kegiatan teroris. Mereka sepakat untuk meningkatkan kerjasama antar lembaga penegak hukum melalui berbagi pengalaman pada counterterorisme dan pertukaran informasi tentang dugaan teroris, organisasi dan modus operandinya. Tiga negara anggota ASEAN yaitu Indonesia, Filipina, dan Malaysia pada tanggal 7 Mei 2002 di Manila menandatangani persetujuan anti terorisme tiga pihak
(
Agreement
on
Information
Exchange
and
Establishment
of
Communication Procedures). Thailand dan Kamboja kemudian juga acceded pada Perjanjian ini. Kerangka kerjasama ini akan mengikutsertakan seluruh lembaga dalam negeri negara masing-masing yang terkait dengan pertahanan keamanan. Pengaitan antara terorisme dan ASEAN dicantumkan dalam Special ASEAN Ministerial Meeting on Terrorism yang dikeluarkan di Kuala Lumpur pada 21 Mei 2002, yang dilanjutkan dengan penugasan para pejabat senior masing-masing negara kawasan Asia Tenggara untuk melaksanakan Work Programme on Terrorism to Implement the ASEAN Plan of Action to Combat Transnational Crime. Pertemuan Forum Regional ASEAN (ARF) di Bandar Seri Begawan pada tanggal 30 Juli 2002 menyepakati langkah-langkah konkrit yang meliputi:
10
pembekuan aset teroris, penerapan standar internasional, kerjasama mengenai pertukaran informasi dan kegiatan-kegiatan lainnya, serta sepakat untuk mendirikan pertemuan di counter-terorisme dan kejahatan transnasional (ISMCT/TC), yang akan dipimpin bersama-sama di tahun 2002-2003 oleh Malaysia dan Amerika Serikat. Pada ASEAN Summit ke-8 tanggal 4 November 2002 di Phnom Penh, ASEAN mengeluarkan Deklarasi tentang Terorisme. Deklarasi ini menyatakan akan memberikan dukungan penuh pada semua tindakan yang akan dilakukan dalam menberantas jaringan terorisme. Pada saat yang sama mereka juga mengidentifikasi wilayah-wilayah terorisme dengan agama tertentu atau kelompok-kelompok etnis. Pada Januari 2003, di Jakarta ASEAN menyepakati bahwa polisi dan aparat penegak hukum di setiap Negara Anggota ASEAN akan membuat satuan tugas anti-terorisme untuk memperkuat kerja sama dalam counter-terorism dan bekerja sama dengan negara anggota ASEAN. Negara-negara ASEAN dapat meminta bantuan dalam berbagai bentuk tidak terbatas pada identifikasi, dan pengejaran tersangka, pemeriksaan saksi (es), pencarian dan perebutan bukti, evacuating dan perawatan korban, serta laboratorium forensik dan kejahatan. Pemberantasan terorisme merupakan salah satu bentuk kerjasama di bawah mekanisme AMMTC. Untuk memperkuat kerjasama, ASEAN
telah
menyusun dan menandatangani ASEAN Convention on Counter Terrorism (ACCT), saat KTT ASEAN ke-12 di Cebu, Filipina, pada tanggal 13 Januari 2007. Konvensi ini merupakan instrumen penting kerjasama ASEAN yang memberikan dasar hukum yang kuat guna meningkatkan kerjasama untuk pencegahan, penanggulangan dan pemberantasan terorisme. ACCT belum berlaku efektif karena baru diratifikasi oleh Singapura dan Thailand. Untuk mendorong proses ratifikasi dan sebagai langkah implementasi dari Cetak Biru Komunitas Politik Keamanan ASEAN, saat SOMTC ke-9 di Nay Pyi Taw, Myanmar, tangal 30 Juni 2009, disepakati ASEAN Comprehensive Plan
11
of Action onCounter Terrorism (ACPoA on CT).Kesepakatan ACPoA on CT perlu dicatat pula sebagai keberhasilan Indonesia mengingat dalam kerangka SOMTC, Indonesia menjadi lead shepherd pembahasan terorisme. Hambatan Implementasi Secara umum implementasi mekanisme regional ASEAN dalam penanggulangan masalah terorisme masih lemah. Banyak pasal perjanjian yang kurang sepenuhnya dimanfaatkan oleh negara ASEAN. Kerangka kerjasama yang sudah dilakukan juga masih terbatas skopenya. Sifat kerjasama bukan pada tingkatan regional tetapi ad hoc dan bilateralism, dimana kerjasama ini lebih banyak dilakukan pada tingkat hubungan bilateral dan itupun terjadi dengan mengingat tingkat kepentingan kerjasama menurut persepsi masing-masing negara. Pada dasarnya lemahnya implementasi mekanisme regional ASEAN disebabkan oleh masih dipegang teguhnya norma/prinsip yang mendasari kerjasama dan hubungan antar negara ASEAN yang disebut ASEAN Way. Selain itu hambatan implementasi juga disebabkan oleh tidak adanya kemauan yang kuat dari negara anggota ASEAN untuk melaksanakan kesepakatan ASEAN. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan sistem hukum dan kepentingan nasional dari negara anggota Asean. Faktor ASEAN Way Salah satu tantangan besar yang dihadapi ASEAN di bidang kerjasama counter terorism saat ini dan masa mendatang ádalah berkaitan dengan prinsip “ASEAN Way”. Prinsip non-interference yang selama ini dianggap sacrosant, justru sering dianggap menjadi "hambatan" terhadap persoalan-persoalan penanggulangan terorisme yang senyatanya memerlukan "intervensi" dari sesama anggota. Digunakannya prinsip non interference demi menghormati kedaulatan dan
keamanan nasional menjadikan sikap ASEAN kurang fleksibel dalam
mengimplementasikan kerjasama counter terorism. Akibatnya, gerak ASEAN menjadi terbatas. Prinsip ini juga tidak memungkinkan ASEAN mengembangkan mekanisme diplomasi preventif yang bersifat aktif dan koersif.
12
Sikap tetap mempertahankan prinsip kedaulatan dan integritas nasional setiap negara anggota yang harus ditaati dalam counter terorism menghambat upaya penanganan masalah terorisme. Penyelesaian masalah yang banyak menimpa negara-negara ASEAN ini tentu akan sulit tanpa melibatkan negaranegara sekawasan. Dalam kenyataannya karena terorisme adalah masalah yang sangat spesifik, maka implementasi kerjasama counter terorism akan selalu bersinggungan dengan masalah kedaulatan negara lain. Apabila prinsip memegang teguh kedaulatan ini dipertahankan maka implementasi kesepakatan counter terorisme menjadi sulit. Kesulitan mencapai konsensus
telah mendorong sementara negara
anggota untuk mengaktifkan opsi-opsi yang berkerangka bilateral atau trilateral, sesuatu yang cenderung counter productive terhadap upaya pengembangan wawasan regional. Mekanisme konsensus menyebabkan dalam tingkat apapun penanganan masalah terorisme di ASEAN hanya akan bisa dilakukan apabila pihak-pihak yang bersangkutan menyetujui. Hal inilah yang kemudian menjadikan implementasi kesepakatan di ASEAN menjadi lambat dan bahkan tidak berjalan. Peristiwa kejahatan transnaional terutama terorisme yang terjadi di kawasan Asia Tenggara telah memberikan pelajaran yang amat berharga pada ASEAN. Pertama, krisis tersebut telah menggarisbawahi dilema yang sangat sulit antara keinginan untuk tetap mempertahankan peran sentral negara di dalam kehidupan domestik dan internasional, serta di sisi lain adanya realitas semakin terkikisnya kedaulatan statu negara sebagai akibat dari globalisasi. Sejalan
dengan bergulirnya arus globalisasi membuat semakin lajunya dan
semakin mudahnya orang bepergian. Bagi ASEAN, konsekuensi dari hal tersebut membuat berbagai isu yang selama ini dianggap sebagai isu domestik tidak lagi dapat terus dianggap sebagai isu domestik. Sebagai contohnya adalah masalah transnational crime. Isu-isu yang sifatnya melintas batas negara ini masalah sangat kompleks dan cenderung sensitif bagi negara-negara anggota. Oleh karena itu dalam penyelesaiannya, isu-isu ini sukar untuk tidak dibicarakan tanpa harus
13
bertentangan dengan prinsip tidak campur tangan terhadap masalah domestic suatu negara. Hal yang sama juga terjadi pada upaya ASEAN dalam memerangi terorisme. Penyelesaian masalah yang banyak menimpa negara-negara ASEAN ini tentu akan sulit tanpa melibatkan negara-negara sekawasan. Sehingga dalam hal ini negara-negara diharapkan tidak terlalu memegang erat-erat prinsip kedaulatannya, karena hal ini justru akan menghambat upaya penanganan masalah ini. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Luhulima bahwa perang bersama ASEAN terhadap terorisme dan kejahatan lintas batas lain menghadapi kendala berupa sikap untuk tetap mempertahankan prinsip “kedaulatan, integritas teritorial dan hukum nasional” setiap negara anggota yang harus ditaati dalam perang melawan terorisme dan semua kejahatan (Luhulima, 2003:41). Menurut Hasnan realisasi kerjasama regional di Asia Teng-gara menyangkut isu keamanan dan politik masih sulit diwujudkan tidak semudah kerjasama menyangkut isu sosial atau lingkungan hidup, misalnya dalam penanggulangan peristiwa kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatra pada tahun
1997
dan
penanggulang-an
peredaran
narkotika.
Peristiwa-peristiwa tersebut bersifat abstrak karena menyangkut kepentingan semua tataran isu, yaitu kesehatan, ekonomi, dan sosial sosia, sedangkan terorisme merupakan masalah yang lebih spesifik. ”Peristiwa kebakaran hutan tersebut secara langsung merugikan banyak negara seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Filipina yang letaknya saling berdekatan sehingga pihak-pihak yang terlibat secara spontan merea-lisasikan kerjasama mereka. Sedangkan masalah terorisme dianggap sudah merupakan masalah yang spesifik, yaitu keamanan, dan bersinggungan dengan faktor yang disebut kedaulatan nasional.”(Habib,2001) Hal diatas menunjukkan bahwa faktor kedaulatan merupakan penghalang keterlibatan yang lebih dalam dari kerjasama regional di Asia Tenggara. Dengan demikian keterlibatan negara dalam mengimplementasikan kesepakatan yang merupakan mekanisme regional lebih didasarkan pada sejauh mana negara ini merasa terancam keamanannya oleh aktivitas terorisme, dan bukan kesadaran
14
bersama bahwa terorisme adalah masalah regional sehingga perlu menjunjung tinggi kesepakatan regional tersebut. Hal inilah yang kemudian menjadi pemicu munculnya kerjasama bilateral antar negara ASEAN maupun dengan negara di luar ASEAN. Sejauh ini negara-negara anggota ASEAN selalu enggan untuk mengembangkan kelembagaan ASEAN. Sebagai akibatnya, kerja sama ASEAN kini melibatkan beberapa ratus pertemuan dalam setahun dan bahkan mungkin secara riil hanya terjadi dalam pertemuan-pertemuan itu. Lemahnya kelembagaan ASEAN adalah akibat dari kekhawatiran negara-negara ASEAN mengenai pengaruh pengembangan kelembagaan regional terhadap kedaulatan nasional mereka (Dirgantara, 2009). Diakui bahwa prinsip non intervensi dan integritas kedaulatan nasional terhadap urusan domestik negara-negara anggota ASEAN merupakan prinsip yang paling kontroversial dalam tubuh ASEAN, dan oleh karenanya menjadikan perkembangan ASEAN sebagai organisasi regional menjadi agak terhambat. Seharusnya apabila terdapat isu-isu yang mempengaruhi hubungan bilateral, regional dan ekstraregional, maka “prinsip non-interfence dapat diabaikan”, walaupunprinsip tersebut telah melekat dalam tubuh ASEAN sejak awal pembentukannya (Pitsuwan,2006 : 11). Masalah state sovereignty (kedaulatan nasional) yang menghambat perkembangan ASEAN, tidak hanya terkait dengan persoalan batas wilayah, tetapi juga masih beratnya negara anggota untuk dapat menerima pemberlakuan atas azas supranasional dalam pengambilan keputusan di ASEAN (Ibid). Berkaitan dengan implementasi mekanisme regional ASEAN dalam counter terorisme, prinsip non-interference yang selama ini dianggap sacrosant, justru kerap dianggap menjadi "hambatan" terhadap persoalan-persoalan yang senyatanya memerlukan "intervensi" dari sesama anggota (Dugis, 2008).. Sebagai contoh
dalam
penerapan
perjanjian
counter
terorism
dimana
untuk
penanggulangan terorisme sangat diperlukan kerjasama antar negara secara
15
mendalan, termasuk dalam hal ini adalah penerimaan adanya keterlibatan anggota lain yang ingin memperoleh informasi terkait data teroris di suatu negara. Keterlibatan anggota lain yang ingin membantu penanganan jangan dianggap sebagai bentuk intervensi terhadap masalah domestik. Sedangkan di ASEAN sendiri hal seperti ini pada dasarnya masih dianggap sebagai bentuk intervensi. Penyampaian kepedulian ASEAN bentuk implementasi mekanisme reggional masih dianggap sebagai upaya intervensi dalam masalah terorisme di Myanmar. Mantan Menteri Luar Negeri Thailand Surin Pitsuwan menilai sikap ASEAN kurang fleksibel dalam menghadapi berbagai macam masalah terkait masalah keamanan karena digunakannya konsep tidak saling campur tangan dalam urusan dalam negeri masing-masing negara anggota (non interference) demi menghormati kedaulatan dan keamanan nasional. Akibatnya, gerak ASEAN menjadi terbatas. Padahal dalam penanganan masalah kejahatan transnacional, termasuk terorisme, dalam komunitas internasional dukungan, bantuan, dan saling bergantung itu yang penting (Ibid). Proses pengambilan keputusan yang berdasarkan konsensus sering dirasakan menghambat gerak ASEAN untuk maju lebih cepat, sekaligus kelemahan dalam menghadapi tantangan ke depan. Prosedur konsensus “bulat” yang selama ini dipakai sebagai acuan akan dapat dipersulit oleh semakin banyaknya anggota dan kenyataan sifat hubungan negara-negara anggota baru itu dengan negara lain. Perbedaan dalam mengidentifikasikan masalah kawasan beserta solusinya juga akan menciptakan kesulitan tersendiri. Meski mekanisme tersebut “memuaskan” wawasan konvensional tentang kedaulatan nasional, namun mekanisme ini memungkinkan timbulnya tindakan sendiri-sendiri dari negara anggota. Kesulitan mencapai konsensus “bulat” telah mendorong sementara negara anggota untuk mengaktifkan opsi-opsi yang berkerangka bilateral atau trilateral, sesuatu yang cenderung counter productive terhadap upaya pengembangan wawasan regional (Susilo, 1996 :70). Dalam kaitan dengan implementasi mekanisme ASEAN dalam counter terorisme, mekanisme konsensus justru mendorong pasifnya pemanfaatan
16
mekanisme regional ASEAN dalam counter terorism. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya bilateralism di ASEAN dalam kerjasama penanggulangan terhadap terorism. Kerjasama dalam kerangka regional ASEAN menjadi kurang diaktifkan karena masing-masing negara ASEAN lebih terikat dengan kerangka kerjasama bilateral dengan sesama anggota ASEAN. Seperti kerjasama Indonesia _ Malaysia, kerjasama Indonesia-Philipina, kerjasama ekstradisi IndonesiaSingapura. Berdasarkan argumen asean way maka pendekatan konsensus yang menjadi dasar ASEAN way menjadi kendala dalam proses pengambilan keputusan di ASEAN. Selain itu prinsip ini juga memungkinkan negara anggota untuk memutuskan sendiri penanggulangan masalah terorisme. Badan-badan penyelesaian
masalah
terorisme
dibentuk
untuk
mengkoordinasikan
pemberantasan terorisme di Asia Tenggara, namun ditingkat ASEAN, koordinasi berada di sidang menteri dalam negeri yang bertanggung jawab atas pemberantasan terorisme. Hal inilah yang kemudian berdampak pada sulitnya implementasi mekanisme regional ASEAN karena harus berhadapan dengan sistem dan kepentingan yang berbeda di tiap negara. Tindak kejahatan terorisme sangat memerlukan intervensi aktif dalam penanganannya. Intervensi ini bukan saja hanya berupa tindakan untuk penangkalan (deterrence), maupun cegah dan tindak dini bahkan sampai pengerahan kekuatan tetapi juga pihak-pihak yang terlibat harus komprehensif. Dalam hal ini sangat dibutuhkan tindakan secara bersama-sama antar negaranegara ASEAN yang tidak menutup kemungkinan membutuhkan intervensi (campur tangan) dari negara lain. Sementara itu dalam penerapannya, upaya intervensi aktif ini bertentangan dengan ASEAN Way yang menegaskan prinsip non-interference. Prinsip ini tidak memungkinkan ASEAN mengembangkan mekanisme diplomasi preventif yang bersifat aktif dan koersif (Widjajanto, 2003 :3). Lebih jauh lagi, dalam tingkat apapun penanganan masalah terorisme di ASEAN hanya akan bisa dilakukan apabila pihak-pihak yang bersangkutan
17
menyetujui (Ibid). Hal inilah yang kemudian menjadikan implementasi kesepakatan di ASEAN menjadi lambat dan bahkan tidak berjalan. Dalam kasus terorisme, dengan berpegang pada souvereign equality, territorial integrity and non-interference in the internal affairs of state , ASEAN menjadi sulit menangani masalah-masalah dalam negeri suatu negara anggota, kendatipun masalah-masalah ini menyebabkan konflik dan ketidakstabilan di negara-negara
ASEAN.
Disamping
itu,
diplomasi
preventif
dalam
penanggulangan terorisme bersifat voluntary, yang hanya dapat digelar apabila ada permintaan dari semua pihak yang langsung terlibat dalam suatu persengketaan dan dengan persetujuan tegas mereka (with their clear consent) terhadap permintaan itu (Luhulima, 2003 :6). Hal ini menunjukkan bahwa ketika tidak ada kemauan yang kuat dan tegas dari seluruh negara ASEAN untuk melaksanakan kesepakatan-kesepakatan yang ada dalam counter terorism, maka kesepakatan hanyalah formalitas saja. Perbedaan Sistem Hukum dan Kepentingan Nasional Sampai saat ini di tingkat regional ASEAN dan bahkan tingkat internasional,
belum
ada
kesepakatan
yang
tegas
mengenai
definisi
terorisme.(Sujadmiko,2003 : 9). Perbedaan dalam mengidentifikasikan masalah terorisme beserta solusinya menciptakan kesulitan tersendiri. Meski mekanisme tersebut “memuaskan” prinsip tentang kedaulatan nasional, namun mekanisme ini memungkinkan timbulnya tindakan sendiri-sendiri dari negara anggota. Selain itu juga adanya kepentingan dalam negeri seringkali menghambat atau menunda implementasi kerjasama. Dalam kenyataannya perspektif strategis, sistem dan pandangan politik serta kepentingan ekonomi masing-masing dari 10 negara ASEAN sangat berbeda. Belum adanya kohesi internal di tubuh ASEAN menjadi tantangan tersendiri dalam penyelesaian konflik di ASEAN. Dalam perang melawan terorisme, kendala terletak pada sulitnya terjadi harmonisasi instrumen hukum dalam kesepakatan ASEAN dalam penanggulangan terorisme dan masalah kejahatan transnasional.
18
“ASEAN should consider the establishment of an ASEAN Centre for Combating Terrorism, and urges its member states to ratify all relevant international conventions in this area. This later point is important due to the fact that there is a difficulty in harmonizing legal instruments in any ASEAN agreement to combat terrorism and other trans-national crimes”. Hal ini menjadi lebih rumit, mengingat di satu pihak prinsip non intervensi masih terus dipegang teguh oleh negara-negara ASEAN tetapi di lain pihak secara internasional ASEAN tak dapat tinggal diam bila terjadi pelanggaran HAM yang serius. Dalam masalah terorisme, di Indonesia telah berkembang pandangan bahwa dalam isu ini, Malaysia merupakan pihak pengekspor atau produsen tokohtokoh teroris yang mendalangi sejumlah aksi teror di wilayah Indonesia seperti Dr Azahari dan Noordin M.Top (yang telah tertembak mati). Dengan kata lain, Indonesia sesungguhnya telah menjadi sasaran teror yang dilakukan para teroris Malaysia.
Kondisi
ini
kemudian
pada
gilirannya memunculkan
opini
internasional dimana Indonesia dikenal seantero dunia sebagai negara sarang teroris yang berbahaya.
Dampak negatif yang lebih jauh lagi dari hal ini adalah
munculnya persoalan-persoalan lanjutan yang mengakibatkan isu terorisme di Indonesia kemudian berkembang menjadi lebih kompleks dan krusial. Indonesia yang pernah berkonflik dengan Malaysia merasa dirugikan oleh kenyataan ini dan sebagai akibatnya meskipun Indonesia
menjalin hubungan bilateral dengan
Malaysia dalam kerangka counter terorism, Indonesia juga mengaktifkan kerjasama counter terorism secara bilateral dengan negara-negara maju. Hal serupa juga dilakukan oleh negara-negara ASEAN yang lain. Sementara itu, berbeda dengan kondisi di Indonesia, di Malaysia isu terorisme bukanlah merupakan masalah besar untuk digembar-gemborkan oleh media massa di negara itu. Masalah terorisme nampak lebih sederhana dan tidak menimbulkan perhatian luar biasa bagi warga negaranya berbanding dengan kerusuhan konflik etnik/rasial
(India, Cina, Melayu) yang beberapa kali
mengganggu stabilitas negara itu. Hal ini berbeda dengan sistem politik di
19
Indonesia yang lebih menganggap peristiwa terorisme sebagai hal yang perlu ditanggulangi karena dampaknya yang sangat merugikan bangsa dan negara Indonesia. Media massa juga senantiasa menggembar-gemborkan peristiwa ini serta dapat juga menjadi agen pemerintah untuk menginformasikan kepada masyarakat tentang bahaya terorisme. Persepsi tentang terorisme yang berbeda inilah yang menyebabkan perbedaan policy dalam counter terorism. Malaysia merasa cukup berhasil memberangus terorisme dengan kebijakannya yang represif dalam kerangka nasional, sedangkan Indonesia lebih menekankan kerangka ASEAN dalam kebijakannya. Hal inilah yang berdampak pada lemahnya implementasi mekanisme regional dalam penanggulangan terorisme. Perbedaan sikap dalam merespon terorisme, telah menimbulkan perbedaan pendapat yang tajam, yang dapat mengurangi rasa saling percaya diantara para pemimpin ASEAN, yang telah dibangun dan dipelihara secara susah payah selama ini.
Kasus Hambali dan eksistensi gerakan Mujahidin di Malaysia yang
diidentifikasi oleh pemerintahan Mahathir sebagai militan, sempat menimbulkan perbedaan pendapat antara pemerintah Malaysia dan Indonesia (Media Indonesia 5 Maret 2002 :2). Sedangkan Kasus Al Ghozi telah melahirkan perbedaan pendapat antara pemerintah Filipina dan Indonesia (Asia Wall Street Journal, 2002 : 4 dan Kompas, 2002 : 2). Selanjutnya pernyataan Menteri Senior Lee Kuan Yew tidak hanya menimbulkan kontroversi di antara pemimpin Singapura dan Indonesia, tetapi telah meluas ke tingkat masyarakat yang membutuhkan penyelesaian tingkat tinggi (Kompas, 2002 :1) Kejahatan lintas negara merupakan concern kerjasama negara ASEAN, dan untuk itu perlu ada komitmen untuk menyusun dan menerapkan ekstradisi treaty dalam upaya memberantas kejahatan lintas negara, termasuk terorisme. Namun demikian dalam pelaksanaan perjanjian ekstradisi ini, keputusan untuk mengekstradisi seseorang atau tidak, pada dasarnya juga sangat tergantung pada faktor politik. Seperti diketahui kendati organisasi ASEAN telah berusia lebih dari 30 tahun namun tidak seluruh anggota memiliki perjanjian ekstradisi. Memang Indonesia telah membuat perjanjian beberapa negara ASEAN lainnya seperti
20
Malaysia dan Filipina, namun hingga kini Indonesia belum membuat hal yang sama dengan Singapura. Berbagai alasan penolakan dalam pembuatan perjanjian ekstradisi terkait dengan kepentingan nasional negara yang bersangkutan. Harapan Indonesia untuk membuat perjanjian ektradisi selalu “dimentahkan” Singapura. Hal ini berkait dengan urgensi bagi kepentingan Singapura. Hal di atas dapat menggambarkan bahwa kemauan negara dalam mengimplementasikan mekanisme regional dalam perjanjian ekstradisi sangat dipengaruhi oleh
sejauhmana hal ini memenuhi kepentingan negara yang
bersangkutan. Apabila tidak ada urgensinya bagi kepentingan nasional maka berbagai alasan penundaan kesepakatan seringkali terjadi. Selain itu, ketiadaan hot pursuit dan ekstradisi sengaja dibuat agar tidak mengorbankan prinsip kedaulatan negara. Ekstradisi, apalagi hot pursuit, merupakan dua hal yang masih sangat sensitif di lingkungan ASEAN (Setiawan, 2005 : 73). Kerja sama memerangi kejahatan lintas batas negara (transnational crimes di kawasan ASEAN), termasuk terorisme, masih sulit diwujudkan dalam bentuk perjanjian regional yang mengikat semua anggota ASEAN. Hal ini mengingat masalah masing-masing negara anggota ASEAN tidak sama. Masalah kejahatan lintas batas lebih sering terjadi di Malaysia dan Indonesia, tetapi tidak dialami oleh Laos. Karena itulah, Malaysia, Indonesia dan Filipina sebagai tiga negara berbatasan yang menghadapi masalah serupa menyusun rancangan perjanjian kerja sama sub-regional. Bentuk perjanjian sub-regional itu dipandang merupakan cara yang lebih cepat untuk mengatur kerja sama mengatasi terorisme dan kejahatan lintas batas negara, tanpa harus menunggu terwujudnya kesepakatan tingkat regional. Bahkan diharapkan, langkah cepat ketiga negara itu akan diikuti oleh negara-negara anggota ASEAN lainnya. Hal ini seperti di katakan Makarim Wibisono seorang Diplomat Senior Indonesia, bahwa : “saat ini masih sulit untuk menetapkan perjanjian kerja sama yang mencakup seluruh negara-negara anggota ASEAN, karena masalah yang dihadapi masing-masing negara berbeda. Karena itu, ketiga negara ini – yang menghadapi masalah hampir serupa
21
– menyusun perjanjian sub-regional, yang lebih mungkin dan lebih cepat dilakukan.” Adanya perjanjian subregional ini mencerminkan sulitnya implementasi mekanisme regional dalam penanganan masalah terorisme di ASEAN. Penutup Implementasi mekanisme regional
ASEAN dalam counter terorism
mengharuskan negara-negara anggota ASEAN menyadari bahwa sudah tidak ada lagi posisi yang independen terhadap isu-isu yang berkaitan dengan persoalan terorisme, dan transnational crime secara umum. Dengan kata lain, tidak ada lagi “masalah domestik”yang mutlak terpisah dari negara-negara yang lain di kawasan. Beberapa isu-isu domestik suatu negara dapat memiliki spill over effects (efek menyebar) kepada negara tetangganya. Oleh karena itu sangat tidak realistis dimasa sekarang bila negara-negara ASEAN mencoba memisahkan masalah dalam
negerinya
dengan
negara
tetangganya.).
Terorisme,
separatisme,
pembajakan, money laundring penyelundupan dan perdagangan manusia, narkotika, dan masalah lingkungan, jelas mempunyai implikasi negatif yang bersifat lintas batas kedaulatan nasional. Dengan demikian keberhasilan penanganan masalah kejahatan transnasional sangat tergantung pada adanya kemauan yang kuat dari negara-negara anggota Asean untuk menjunjung tinggi mekanisme regional yang telah disepakati secara bersama. DAFTAR PUSTAKA Buku Anonim, 2005, Asean Selayang Pandang, Jakarta : Dirjen Kerjasama ASEANDEPLU RI Adam, Asvi Warman,(koord), 1999, Konflik Teritorial di Negara-negara ASEAN, Laporan Penelitian, Jakarta : PPW-LIPI Antolik, Michael, 1990, Asean and the Diplomacy of Accommodation, New York : M.E. Sharpe Inc. Anggoro, Kusnanto, 2003, Meneguhkan Kembali Gagasan Komunitas Keamanan ASEAN. Bandoro, Bantarto, 1997, Asean dan tantangan Satu Asia Tenggara, Jakarta : CSIS _______, 1996, Agenda dan Penataan Keamanan di Asia Pasifik, Jakarta : CSIS Kesavapany, K., 2005, Regional Outlook : Southeast Asia 2005-2006, Singapore : ISEAS
22
Luhulima,C.P.F, 1997, Asean Menuju Postur Baru, Jakarta : CSIS _________,et.al, 2008, Masyarakat Asia Tenggara menuju Komunitas ASEAN 2015, Yogyakarta : Pustaka Pelajar - P2P-LIPI Nusabakti, Ikrar, 1998, “Dampak Krisis Ekonomi terhadap Keutuhan ASEAN sebagai Lembaga Kerjasama Regional”, Forum Dialog V Politik dan Keamanan dalam Era Pasca Perang Dingin, Jakarta : Balitbang Deplu RI. Rousenau, James N., Otto,Ernest, 1992, Governance without Government : Order and Change in World Politics, New York : Cambridge University Press. PPW-LIPI, 2003,Tantangan ASEAN menuju Visi 2020, Jakarta, PPW-LIPI. Robert,Guy Wilson (ed), 1999, An Asia Pacific Security Crisis? : New Challenges to Regional Stability, Wellington, NY : Center for Stategic Studies. Susastro, Hadi, (ed), 1995, ASEAN in A Changing Regional and internacional Political Economi, Jakarta : CSIS. Jurnal Andrea, F., “Komunitas ASEAN : Isyu dan Tantangan”, Spektrum, Vol 1, No. 3 Candrawati, Nurani, 2003, ”Kebijakan Negara-negara ASEAN dalam Mengantisipasi Perluasan Jaringan Terorisme Internasional di Kawasan Asia Tenggara”, Global, Jakarta , FISIP UI Luhulima, CPF., 2003, “Pemberantasan Terorisme dan Kejahatan Transnasional dalam Pembangunan Keamanan Asia Tenggara”, Analisis CSIS, Jakarta : CSIS. Setiawan, Aria Aditya, 2005, ”Upaya ASEAN dalam Menanggulangi Masalah Terorisme di Asia Tenggara”, Mundus, Volume 2, No. 1, Juni 2005 Tuan, Hoang Anh, 1996, “ASEAN Dispute Management”, Contemporary Southeast Asia, N0. 1 (june 1996) Laporan Penelitian Dirgantara,Igor, Riset Asean Security Community, Univ. Jayabaya Surabaya Yuniarti,Anik, 2008, ASEAN Way sebagai Mekanisme Penyelesaian Konflik Gaya ASEAN dan Relevansinya, Laporan Penelitian, LP UPN “Veteran” Yogyakarta. Makalah Luhulima, C.P.F., “Preventive Diplomacy, dan Enhanced Role of the Chair, Peluang, Tantangan dan Peran ASEAN dan Indonesia dalam ARF”, Forum Dialog Pemberantasan Terorisme, Semarang, 20-22 Agustus 2003. Natalegawa, Marty M., “Overview Pembangunan Komunitas ASEAN”, Keynote Address pada Seminar Realisasi Visi ASEAN 2020, di Jakarta, 14 Juli 2004 ASC : Upaya menuju Conflik Resolution Susilo, I Basis dan Purnomo,Wahyudi, “Prospek dan Tantangan Perluasan Keanggotaan ASEAN pada 1997”, makalah disampaikan dalam Forum Dialog III Politik dan Keamanan Regional dalam Era Pasca Perang Dingin, Surabaya, 6-9 Oktober 1996
23
Sujadmiko, “Masalah Keamanan Regional Dewasa Ini”, makalah dalam rangka Pelatihan Diplomasi dan Hubungan InternaSional, Jur HI UPN, Yogyakarta, 30 Mei 2003 Perwitarini Wijono, 2003, “Kerjasama ASEAN dalam Pemberantasan Terorisme : Perspektif Politik”, Forum Dialog X Deplu : Pemberantasan Terorisme, Preventive Diplomacy dan The Enhanced Role of the Chair : Peluang, Tantangan dan peran ASEAN dan Indonesia dalam ARF, Semarang, 20-22 Agustus 2003 Widjajanto, Andi, “Pengembangan Diplomasi Preventif di ASEAN Regional Forum”, Forum Dialog BPPK-Deplu mengenai Pemberantasan Terorisme, Preventive Diplomacy dan The Enhanced Role of the Chair,20-22 Agustus 2003 Koran CPF Luhulima, “Soeharto dan Asean”, Kompas, 29 Januari 2008 Vincensio Dugis,“Prinsip Non intervensi ASEAN”, Kompas, 17 Juni 2008 Internet Habib, Hasnan,”Mempertanyakan realisasi Kerjasama ASEAN Melawan terorisme” Severino, Rodolvo C., “Souvereignty, Intervention and the Asean Way”, http://www.aseansec.org Severino, Rodolfo C., “The ASEAN Way and The Rule of Law”, http:www.Aseansec.org.
.
24
.