STAIN Palangka Raya
56
ISLAM DAN TERORISME DI ASIA TENGGARA Surya Sukti Abstrak
Sejak peristiwa serangan teror terhadap gedung kembar WTC di New York pada 11 September 2001, Presiden AS George W Bush menyatakan perang melawan terorisme di seluruh dunia. Presiden Bush menjadikan kawasan Asia Tenggara sebagai “medan kedua” dalam perang melawan terorisme internasional, setelah Afganistan. Isu perang melawan terorisme sering dikaitkan dengan Islam karena sebagian besar pelaku adalah dari kalangan muslim-radikal. Alasan pemerintah AS menjadikan Asia Tenggara sebagai “second front” melawan terorisme tidak mudah diterima kalangan pemerintah negara-negara Asia Tenggara juga pengamat yang telah lama mengenal komunitas muslim di Asia Tenggara sebagai muslim-moderat. Meski demikian tidak bisa ditampik adanya kelompok-kelompok minoritas muslim-radikal di Asia Tenggara yang karena alasan teologis dan politis melakukan tindakan teror. Radikalisme Islam di Asia Tenggara tidak tumbuh dengan sendirinya karena paham teologis yang cenderung radikal tetapi juga dipicu oleh kekecewaan mereka terhadap politik Barat (AS dan sekutusekutunya) terhadap negara-negara muslim. Mereka kecewa karena politik global AS yang menerapkan standar ganda (double standard) dalam masalah Palestina, Afganistan, Irak, dsb. yang mereka anggap tidak adil. Menurut para analis, radikalisme-Islam lebih diakibatkan oleh tekanan negara- negara Barat yang represif terhadap negara-negara muslim. Respon pemerintah negara-negara di Asia Tenggara, khsusnya negara-negara ASEAN, terhadap isu terorisme memberi peluang kerjasama yang lebih besar bagi kepentingan keamanan-militer Amerika Serikat di kawasan ini. Namun, sebagian pengamat menilai bahwa sebenarnya AS hanya mengalihkan isu dari motif kepentingan politik-ekonomi AS yang lebih besar di kawasan ini, mengingat Asia Tenggara adalah kawasan strategis jalur perdagangan dunia. Di samping itu, pasca perang dingin, pemerintah AS khawatir akan makin menguatnya pengaruh China di kawasan Asia Tenggara. Peran negara-negara di Asia Tenggara sendiri, terutama negara-neagra ASEAN sangat penting untuk meningkatkan kerjasama keamanan dan ekonomi serta pencitraan Islam yang moderat di mata internasional. Di samping itu Indonesia dan Malaysia, sebagai negara-negara mayoritas berpenduduk muslim sangat berkepentingan untuk mempromosikan pencitraan Islam yang positif guna mendukung terwujudnya kestabilan politik dan keamanan di Asia Tenggara.
Kata kunci: Islam, terorisme, Asia Tenggara
Pendahuluan Kampanye anti-terorisme yang dilancarkan Presiden Amerika Serikat (AS) George W Bush telah menjadikan Asia Tenggara sebagai "front kedua" setelah Afghanistan. Bahkan Indonesia dianggap sebagai "jantungnya" dalam upaya AS melawan terorisme di Asia Tenggara.1 Asia Tenggara menjadi target kampanye anti-terorisme oleh AS dan sekutu-sekutunya dikarenakan dua hal. Pertama, mayoritas penduduk di kawasan ini beragama Islam, yakni agama yang sama dipeluk oleh Osama Bin Laden yang dituduh oleh pemerintah AS berada di balik serangan 11 September 2001 terhadap New York dan Washington D.C. Kedua, di kawasan ini memang terdapat beberapa kelompok minoritas Islam yang cenderung keras dalam menyampaikan aspirasi mereka yang tersebar di
*
Penulis adalah dosen tetap Jurusan Syariah STAIN Palangka Raya, sedang menempuh program doktor (S3) di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, konsentrasi: Politik Islam. 1 Hal itu dinyatakan oleh Marvin C. Ott, 2003, pakar masalah-masalah keamanan Asia Tenggara dalam sebuah diskusi tentang Ancaman Ekstrimisme Islam di Indonesia yang digelar Asia Society di New York, Selasa (11/2/2003). Lihat Jurnal Dephan RI, dalam artikel Anggap RI Jantung Perang Anti-terorisme di Asia Tenggara, www.dephan.go.id diakses pada 9 Mei 2008.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 2, Nomor 1, Juni 2008
STAIN Palangka Raya
57
Indonesia, Malaysia, dan Filipina.2 Oleh karena itu, sangat mudah bagi pemerintah AS untuk memasukkan Indonesia sebagai "medan pertempuran kedua" dalam rangkaian perang melawan terorisme. Tuduhan-tuduhan ini tidak mudah diterima baik oleh pemerintah-pemerintah di Asia Tenggara maupun oleh para pengamat yang sudah cukup lama memahami Asia Tenggara. Menurut Allan Collins, seperti dikutip Bambang Cipto3 bahwa tuduhan pemerintahan Bush ini sebagai pernyataan yang salah. Menurut Collins, penduduk Islam di Asia Tenggara adalah kaum muslim yang moderat dan toleran. Di Indonesia bahkan ada dua organisasi Islam terbesar, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, yang menentang tindakan-tindakan ekstrim yang disertai kekerasan dalam mensyiarkan agama Islam. Oleh karena itu, sesungghnya tuduhan-tuduhan pemerintah AS sangat tidak berdasar. Walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa di beberapa negara ASEAN4 terdapat kelompok-kelompok aliran keras. Di Indonesia terdapat Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin, Hizbut Tahrir dan Laskar Jihad. Kelompok-kelompok ini relatif lebih keras dibandingkan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Namun, tingkat kekerasan mereka lebih terfokus pada lingkup Indonesia dan tidak menyebarkan gerakan kekerasan di luar Indonesia. Di Filipina, kelompok Abu Sayyaf juga dikenal keras, selama ini agenda mereka terbatas pada kawasan Mindanao. Abu Sayyaf tidak menjadikan AS sebagai target gerakan mereka sehingga merupakan satu kesalahan jika pemerintah AS menuduhnya berhubungan dengan al-Qaeda (kelompok yang dianggap bertanggungjawab terhadap tindakan-tindakan teroris di Asia Tenggara).5 Terlepas dari sanggahan Collins tersebut, fakta dan kejadian beberapa tindakan teroris yang terjadi di kawasan ini memang sering dikaitkan dengan Islam. Hal ini membuat kalangan intelektual muslim di dunia, khususnya di Asia Tenggara menjadi prihatin dan berupaya mencari solusi untuk "membebaskan" Islam dari tuduhan-tuduhan yang bernada miring, serta menunjukkan atau menjelaskan kepada dunia internasional tentang misi Islam sebenarnya dan kiprahnya dalam kehidupan modern saat ini. Upaya itu, antara lain dengan melakukan konferensi berskala internasional yang berlangsung di Jakarta pada 21-22 Desember 2001 yang diikuti 180 peserta dari 50 negara dan menghasilkan "Deklarasi Jakarta 2001".6 Lalu di penghujung 2003 diadakan The Jakarta International Islamic Conference (JIIC) yang dilaksanakan atas kerjasama NUMuhammadiyah pada tanggal 13-15 Oktober.7 Di samping itu, kalangan pemerintahan 2
Bambang Cipto, 2007, Hubungan Internasional di Asia Tenggara:Teropong Terhadap Dinamika, Realitas, dan Masa Depan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, h. 237-238. 3 Ibid. 4 ASEAN (Association of South East Asian Nations/Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara) sekarang beranggotakan 10 negara: (1) Brunei Darussalam, (2) Filipina, (3) Indonesia, (4) Kamboja, (5) Laos, (6) Malaysia, (7) Myanmar, (8) Singapura, (9) Thailand, dan (10) Vietnam 5 Ibid. 6 Konferensi itu bertajuk "Summit of World Muslim Leaders". Sedangkan isi Deklarasi Jakarta 2001 terdiri dari tiga butir: (1) Religion and spirituality; (2) civic responsibility in political society; dan, (3) interfaith, intercultural, and international relations. Salah satu butir deklarasi itu adalah bahwa Islam menolak segala bentuk kekerasan, mencintai perdamaian dan keadilan, dan mengajarkan nilai-nilai keutamaan, yakni menghormati kehidupan dan martabat manusia. Deklarasi itu agaknya ingin menunjukkan bahwa Islam adalah agama moderat yang cinta damai, anti-kekerasan, dan tidak antikemajuan. Lihat M. Alfan, Momentum Kebangkitan Islam Moderat, dalam harian Kompas edisi 2 Februari 2002, dalam Kliping Jurnal Islamlib, www.islamlib.com diakses pada 23 April 2008. 7
Konferensi ini melahirkan Center for Moderate Muslim (CMM) Konferensi ini ingin mempertegas peran Islam moderat Asia Tenggara yang direpresentasikan oleh NU, Muhammadiyah, dan ormas-ormas Islam lainnya dalam meredam gelombang radikalisme. Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 2, Nomor 1, Juni 2008
STAIN Palangka Raya
58
negara-negara ASEAN merespon tuduhan pemerintah AS itu melalui serangkaian pertemuan dalam forum-forum resminya. Tercatat tidak kurang dari sembilan pertemuan yang digelar tingkat ASEAN sejak 2001-2004.8 Dari fenomena di atas muncul beberapa pertanyaan. Bagaimana hubungan ancaman terorisme dengan kelompok-kelompok aliran keras - khususnya radikal Islam – di Asia Tenggara? Apakah ada bias kepentingan politik global di balik kampanye anti-terorisme di Asia Tenggara? Bagaimana pandangan kaum muslim di dunia tentang terorisme? Bagaimana seharusnya dialog Islam-Barat dilangsungkan dalam konteks kawasan Asia Tenggara? Beberapa persoalan pokok inilah agaknya yang akan dijawab dan sekaligus menjadi tema pembahasan dalam makalah ini. Islam dan Akar-akar Radikalisme Kemunculan radikalisme9 berbaju Islam di awal abad ke-21 ini memang menjadi fenomena menarik. Sungguhpun radikalisme bertentangan dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan, namun adalah sebuah kenaifan mengkritisi fenomena radikalisme tanpa mencermati dan memahami situasi dan kondisi di seputar kemunculannya. Radikalisme Islam adalah reaksi atas tragedi yang menimpa Palestina, Bosnia, Checnya, Irak, dan Afghanistan. Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) misalnya, bukan tanpa sebab membenci (baca: bersikap sangat kritis terhadap) pemerintah Amerika Serikat. Keberpihakan kebijakan luar negeri pemerintah AS kepada kepentingan politik Israel dan penyerangan terhadap Irak menyebabkan MMI sangat kritis dan terkesan anti terhadap seluruh produk AS. Karena itu, radikalisme tidak muncul dalam ruang hampa. Kekerasan struktural dan ketidak-adilan global yang merugikan umat Islam, menjadi pendorong lahirnya radikalisme. Dalam konteks demikian, radikalisme mengandung motif pembebasan dan perlawanan.10 Dalam buku Islam: Continuity and Change in the Modern World (1982), John Obert Voll, seperti dikutip Hilaly Basya,11 menyebutkan bahwa gerakan militan Islam tercipta dari dominasi negara-negara maju terhadap negara taklukan. Dominasi mengandung arti adanya pembelengguan serta kekerasan terhadap objek yang didominasi. Perlawanan negara taklukan dalam bentuk radikalisme dan terorisme ini menjadi fenomena umum seiring dengan kolonialisme negara-negara Barat terhadap negara-negara Islam. Perlawanan umat Islam atas kolonialisme itulah menurut Voll yang menjelma menjadi gerakan Islam radikal.12 Dengan demikian pada dasarnya Islam radikal berdiri di atas perjuangan pembebasan melawan dominasi dan superioritas Barat. Wacana yang dikembangkan Islam radikal adalah wacana pembebasan. Radikalisme dalam konteks
Lihat M Hilaly Basya, Islam Modernitas dan Radikalisme di Asia Tenggara, www.republika.co.id diakses pada 8 Januari 2008. 8
Beberapa pertemuan itu menghasilkan deklarasi, rencana aksi dan kerjasama baik regional maupun internasional untuk memerangi terorisme dan isu-isu keamanan transnasional lainnya. Lihat Bambang Cipto, ibid., h. 239-240. 9 Kadang disebut juga fundamentalisme, puritanisme. 10 M. Hilaly Basya, ibid. 11 Ibid. 12 Ada kekaburan makna antara "Jihad" dan "Radikalisme". Jihad dalam maknanya yang negatif (sangat reduktif atau menyimpang, pen.): peperangan, kekerasan dan terorisme, mendominasi wacana dan pentas politik kehidupan kaum muslim di seluruh dunia. Dari Mesir hingga Indonesia, kata "Jihad" selalu digunakan dan diasosiasikan dengan kelompok atau organisasi radikal. Lihat Assyaukanie, 2007, Islam Benar versus Islam Salah, Depok: KataKita, h. 144.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 2, Nomor 1, Juni 2008
STAIN Palangka Raya
59
dimensi pembebasan, adalah sesuatu yang wajar. Menurut Tariq Ramadan,13 radikalisme selalu didahului oleh tekanan dan kekerasan negara sehingga tidak memberikan ruang bagi kebebasan dan radikalisme selalu muncul karena tekanan pemerintah. Bahkan represi pemerintah datang lebih dulu, kelompok-kelompok radikal menyusul kemudian. Menurut Makruf, kemunculan Islam garis keras di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari beberapa faktor. Pertama, faktor pemahaman keagamaan literal telah mengakibatkan adanya kecenderungan “keras” dalam mempraktekkan agama. Kedua, adanya interaksi muslim Indonesia dengan dunia muslim internasional. Hal itu dimungkinkan lewat informasi media maupun internet yang dapat diakses dengan mudah. Hubungan dengan muslim international dimungkinkan karena difasilitasi mobilitas Muslim Indonesia ke luar negeri baik melalui jalur kerja—seperti ke Saudi dan Malaysia—ataupun atas nama solidaritas sesama Muslim—ikut berperang di Afghanistan maupun Mindanau. Ketiga, faktor politik global—demokrasi—yang tidak dapat dibendung lagi. Bagi kalangan tertentu—terutama mereka yang berpaham literal—melihat demokrasi sebagai ancaman terhadap eksistensi sistem politik yang berlandaskan agama.14 Menurut Khamami Zada,15 jaringan teroris di Asia Tenggara terbentuk setelah para penggiat gerakan radikal Islam di Malaysia eksodus ke Indonesia. Mereka telah membentuk pola jaringan yang tertata rapi dalam struktur gerakan bawah tanah, dengan tetap berpusat di Malaysia. Inilah yang kemudian membentuk jaringan Asia Tenggara meliputi kawasan Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Singapura. Kelima negara ini menjadi basis gerakan para teroris dalam merekrut anggota dan menyusun strategi gerakan perjuangan. Kecuali Singapura yang tidak mendapatkan daya dukung kuat, di empat negara lainnya, mereka memiliki daya dukung sejarah dan fakta sosial adanya gerakan Islam radikal. Di Indonesia selain sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim, juga tersebar beberapa gerakan Islam, seperti FPI, Hizbut Tahrir Indonesia, Majelis Mujahidin Indonesia, Ikhwanul Muslimin, dan Lasykar Jihad. Malaysia memiliki partai Islam PAS, KMM, dan kelompok Maunah. Di Filipina terdapat Gerakan Pembebasan Moro Abu Sayyaf yang terus-menerus melakukan perjuangan untuk melepaskan diri dari Filipina. Sedangkan di Thailand, gerakan Islam berpusat di Pattani yang melakukan perlawanan senjata kepada pemerintah pusat. Jaringan Asia Tenggara inilah yang telah menjadi basis gerakan yang menjadi sorotan internasional sebagai organisasi teroris.16 Sementara itu, dalam pandangan Syafii Ma'arif, mantan ketua umum PP Muhammadiyah, jalan pintas yang digunakan kelompok Islam radikal itu dengan melakukan serangkaian serangan bom sebagai tindakan harakiri. Menurut Syafi'i, sejarah peradaban manusia menceritakan bahwa radikalisme dalam bentuk terorisme pada umumnya berujung dengan kegagalan. Radikalisme dalam bentuk teror, menurut pandangan Syafi'i, seringkali berpijak pada kebencian dan fanatisme. Padahal menggunakan pendekatan teror sama maknanya dengan harakiri, suatu perbuatan yang hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang "sesak nafas" karena tidak berani hidup secara 13
Prof. Dr.Tariq Ramadan, Semua Jenis Terorisme Tidak Islami, Kliping www.islamlib.com diakses pada 8 Januari 2008. 14 Jamhari Makruf, 2007, Wajah Islam Asia Tenggara, dalam Blogger Naskah Kuno, www.naskahkuno.wordpress.com, diakses pada 23 April 2008. 15 Khamami Zada, 2007, Terorisme dan Gerakan Islam Malaysia, dalam Blogger Khamami Zada, www.khamamizada.wordpress.com, diakses pada 23 April 2008. 16
Ibid.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 2, Nomor 1, Juni 2008
STAIN Palangka Raya
60
bermakna. Para teroris tampaknya tidak mempunyai modal untuk menawarkan perdamaian dan kesejahteraan. Nafas yang sesak karena berbagai hantaman sejarah yang datang bertubi-tubi telah menempatkan terorisme dalam posisi bengis namun tak berdaya. Oleh karena itu, terorisme menempuh jalan pintas berupa self defeating (menghancurkan diri sendiri), yang dilakukan dalam suasana rentan dan tertekan.17
Mayoritas Muslim Menolak 'Radikalisme' Penting untuk dikemukakan bahwa mayoritas kaum muslim di dunia menolak kekerasan dalam menyelesaikan berbagai konflik yang terjadi di dunia, termasuk tentunya di kawasan Asia Tenggara. Sebuah survei tentang Islam, Muslim, dan terorisme18 yang baru-baru ini diumumkan Gallup, sebuah lembaga survei terkemuka yang berpusat di Amerika Serikat, sangat penting dan menarik. Hasil dan temuan survei yang dilaksanakan selama enam tahun dengan melibatkan sampel lebih dari 50 ribuan orang, yang equivalen dengan sekitar 90 persen kaum Muslimin di muka bumi, ini menantang sekaligus mengoreksi pandangan keliru dan mispersepsi dominan di kalangan Barat tentang hubungan Islam dan para penganutnya dengan terorisme. Ada pandangan di kalangan Barat, bahwa Islam itu sendiri sebagai agama merupakan faktor pendorong (driving force) bagi radikalisme. Tetapi, survei Gallup yang dilakukan di 40 negara Asia, Afrika, Timur Tengah, dan Eropa menemukan, bahwa mayoritas terbesar kaum Muslimin menolak radikalisme, apalagi terorisme. Mereka juga mengutuk serangan 11 September 2001 di New York dan Washington serta serangan teroris selanjutnya, seperti di Bali, Madrid, dan London.19 Gallup20 juga menemukan, peningkatan semangat keislaman di banyak kalangan Muslimin sekarang ini tidak diterjemahkan ke dalam dukungan kepada radikalisme dan terorisme. Mayoritas terbesar kaum Muslimin di muka bumi ini, menurut Gallup, menyatakan agama (Islam) bagian sangat penting dalam kehidupan mereka. Ada sekitar 99 persen Muslimin di Indonesia yang menyatakan demikian; 98 persen di Mesir, dan 95 persen di Pakistan. Lebih jauh, sekitar 93 persen kaum Muslim dunia dengan populasi sekitar 1,3 miliar jiwa adalah mereka yang memandang diri mereka sebagai ‘moderat’; dan dengan demikian, ‘hanya’ sekitar tujuh persen yang ‘secara politik radikal’. Mereka ini ‘merestui’ dengan berbagai alasan serangan terhadap AS. Sebaliknya, 93 persen kaum Muslim mengecam serangan tersebut karena membunuh banyak orang sipil yang tidak ada hubungannya dengan politik dan kebijakan publik Pemerintah AS. Kalangan mayoritas ini bahkan mengutip ayat-ayat Alquran dan ajaran Islam lainnya yang menentang tindakan seperti itu. Sementara, kalangan radikal mengutip alasan-alasan politik, bukan agama, untuk membenarkan radikalisme, kekerasan, dan serangan semacam itu. Dalam konteks ini, survei Gallup menyimpulkan, orang-orang radikal yang melakukan terorisme tidak lebih religius dari kaum Muslimin lain; dan juga bahwa terorisme yang mereka jalankan, tidak bersumber dari kemiskinan. Survei Gallup, yang juga menyertakan banyak kalangan Muslimin awam menemukan pula, bahwa mayoritas kaum Muslimin, termasuk sebagian mereka yang radikal, memuji Dunia Barat karena demokrasi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan 17
Syafi'i Ma'arif (2004), dalam M. Hilaly Basya, Islam, Modernitas dan … ibid. Azyumardi Azra dalam artikelnya, Islam, Muslim, dan Terorisme, dalam harian Republika edisi 6 Maret 2008, dalam kliping Jurnal CMM, www.cmm.com diakses pada 23 April 2008. 19 Ibid. 20 Ibid. 18
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 2, Nomor 1, Juni 2008
STAIN Palangka Raya
61
teknologinya. Tetapi, kaum Muslimin menolak pemaksaan nilai dan praksis Barat --seperti sekularisme-- terhadap mereka; pada saat yang sama mereka juga tidak menginginkan teokrasi, kekuasaan politik berdasarkan Islam. Temuan-temuan Gallup ini, secara meyakinkan membantah pandangan politisi dan akademis Barat yang mempersepsikan, Islam merupakan sumber pokok radikalisme kaum Muslimin. Persepsi seperti ini, misalnya, saja dipegangi Sam Harris, penulis buku-buku antiagama (tidak hanya Islam, tapi juga agama-agama lain) yang menyatakan: “Agama merupakan pendorong utama radikalisme dan kekerasan.” Hasil survei Gallup terakhir ini jelas mengonfirmasi pernyataan dan imbauan para pemimpin Muslim di berbagai penjuru, agar para pemimpin, politisi, dan akademis Barat tidak simplistis mengaitkan Islam dengan tindakan kekerasan dan terorisme, yang dilakukan orang yang kebetulan beragama Islam. Memang boleh jadi mereka menggunakan ayat Alquran tertentu sebagai justifikasi; atau bahkan boleh jadi mereka mengklaim, mereka melakukan kekerasan atas nama Islam. Tetapi, sepatutnya baik masyarakat Barat, maupun kaum Muslim sendiri tidak dengan begitu saja menerima klaim itu sebagai kebenaran. Sebaliknya, melihat dengan pandangan lebih jernih, objektif, dan adil. Meski survei Gallup telah membuktikan secara meyakinkan, bahwa tidak ada hubungan antara Islam, kaum Muslimin dengan kekerasan dan terorisme, mispersepsi dan prasangka semacam itu tidak serta-merta lenyap. Survei itu jelas sangat membantu; tetapi masih diperlukan berbagai upaya untuk mengoreksi mispersepsi dan prasangka tersebut. Menurut Azyumardi Azra, pada saat yang sama kaum Muslimin sendiri tetap melakukan introspeksi dan refleksi kritis terhadap gejala yang berkembang. Kaum muslim hendaklah menghindari tindakan kekerasan, apalagi terorisme. Jika tidak, maka mispersepsi dan prasangka kalangan Barat itu tetap bertahan; dan boleh jadi meningkat; dan itu tidak menguntungkan bagi Islam dan kaum muslim.21
Kampanye Anti-Terorisme dan Bias Kepentingan Di tingkat internasional, kebijakan luar negeri Amerika Serikat lebih didominasi oleh Pentagon ketimbang Departemen Luar Negeri, dengan ciri unilateralis yang kental dan semangat neo-imperalis yang tak tertandingi. Watak seperti itu sangat nyata dalam doktrin kebijakan politik luar negeri seperti tercantum dalam dokumen Gedung Putih, yang kini dikenal sebagai “Doktrin Bush”. Ada beberapa ciri menonjol di situ: Pertama, Amerika bebas mengambil tindakan pre-emptive melawan teroris dan negara yang dianggapnya memiliki senjata pemusnah massal. Kedua, tidak ada negeri atau gabungan beberapa negara yang akan dibiarkan melawan superioritas militer Amerika. (Pernyataan terkenal Presiden Bush setelah 11 September: “You are either with us or againts us”). Ketiga, aksi unilateralis lebih baik dari perjanjian-perjanjian dan organisasi internasional dalam mencegah terorisme dan penyebaran senjata pemusnah massal.22 Watak seperti itu sangat nyata dalam serangan Amerika ke Afghanistan untuk mengganyang Rezim Taliban dan dalam upayanya melakukan “regime change” di Baghdad. Watak unilateralis Amerika juga nampak dalam beberapa isu yang cepat atau lambat akan mempengaruhi pola-pola hubungan internasional: Pertama, selaras dengan peningkatan anggaran militer, Amerika secara sepihak menarik diri dari Perjanjian Rudal Anti Balistik (ABM Treaty) dengan Rusia yang dulu dipandang sebagai tonggak besar 21
Ibid. F. Gaban, 2004, Asia Pasifik Setelah www.fgaban.multiply.com, diakses pada 9 Mei 2008. 22
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
11
September,
dalam Blogger
F.
Gaban,
Volume 2, Nomor 1, Juni 2008
STAIN Palangka Raya
62
mengakhiri perlombaan senjata nuklir. Kedua, Amerika juga menolak memperbaharui kebijakannya menyangkut produksi dan pemakaian ranjau-darat yang kini dikritik sebagai salah satu pembunuh paling mematikan dalam perang konvensional. Ketiga, memaksa banyak negara bergabung dalam perang anti-terorisme, Amerika justru menolak International Criminal Court—sebuah mahkamah tingkat dunia untuk mengadili penjahat kemanusiaan. Amerika Serikat meminta warga negaranya dikeluarkan dari jurisdiksi mahkamah itu. Keempat, menekankan pendekatan keamanan, AS mengesampingkan kepeduliannya pada isu ekonomi, penguatan organisasi dunia seperti PBB, dan lingkungan. Dilihat dari prosentase bantuan terhadap GDP, Amerika termasuk negeri yang paling pelit dalam bantuan ekonomi dan dalam sumbangannya terhadap badan-badan dunia; kalah jauh dari Jepang misalnya. Amerika juga menolak meratifikasi Protokol Kyoto tentang pencegahan global warming.23 Kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang cenderung unilateralis, imperialis dan menekankan isu terorisme setelah 11 September memiliki dampak yang bersifat global— artinya tidak unik di kawasan tertentu saja. Setelah 11 September, Presiden Bush bersumpah “tak hanya akan menghukum teroris, tapi juga negeri-negeri yang melindungi teroris”. Di berbagai penjuru dunia, tak hanya di Asia Pasifik (termasuk Asia Tenggara), banyak negara sangat serius menyimak ancaman Amerika itu, baik didorong oleh motif solidaritas terhadap Amerika (yang terserang teror) maupun terpaksa melakukannya karena tekanan politik Amerika. Banyak negara Asia Pasifik mengadopsi UU Anti-Terorisme yang cenderung “notorious”, termasuk negara-negara di Asia Tenggara, kecuali Malaysia dan Singapura yang lama telah menerapkan Internal Security Act, mirip UU Anti-Subversi di Indonesia dulu. Indonesia pun telah membuat Perpu Anti-Teroris setelah Teror di Bali. Amerika juga memperbaharui kembali dan meningkatkan hubungan militer dengan negeri-negeri di kawasan ini. Di Filipina misalnya, Amerika memperkuat kehadiran pasukannya setelah “terusir” dari situ sejak jatuhnya Ferdinand Marcos. Dan di Indonesia, Amerika juga mencabut embargo bantuan serta penjualan peralatan militer yang terhenti setelah pelanggaran HAM militer Indonesia di Timor Timur. Amerika mengkaitkan bantuan ekonomi dengan “prestasi” dalam perang melawan teror. Menteri Koordinator Keuangan Dorodjatun Kuntjorojakti (era pemerintahan Megawati Soekarnoputri, pen.) pernah mengatakan Indonesia akan memperoleh kelancaran dalam bantuan CGI jika mau bersikap seperti Rezim Militer Pakistan, yang keras menghabisi “teroris”. Namun, beberapa lembaga hak asasi manusia seperti Human Rights Watch menyayangkan bahwa “solidaritas perang melawan teror” telah memperumit soal domestik masing-masing negara. Menurut Human Rights Watch, banyak rezim otoriter memanfaatkan “perang melawan teror” untuk menindas hak asasi dan demokrasi.24 Kentalnya pendekatan keamanan juga membuat banyak negara mengabaikan solusi-solusi lain yang lebih mendasar dalam memahami masalah terorisme: khususnya pendekatan ekonomi, keadilan sosial dan penegakan hukum. Hal tersebut tampak dari kebijakan beberapa negara di Asia Tenggara.25 Pertama, di Filipina, kehadiran militer Amerika untuk menghabisi kelompok Abu Sayyaf telah mengesampingkan kemungkinan dialog politik dengan kelompok Moro yang lebih moderat seperti MNLF-nya Nur Misuari Kedua, di Malaysia, Mahathir memanfaatkan “perang melawan teror” untuk mengencangkan pemakaian ISA yang anti-HAM dan anti-demokratis, membuat 23
Ibid. Ibid. 25 Ibid. 24
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 2, Nomor 1, Juni 2008
STAIN Palangka Raya
63
ketegangan politik yang kian luas dengan kelompok oposisi dalam PAS dan pendukung Anwar Ibrahim. Ketiga, di Indonesia, Perpu Anti-Terorisme telah membuka peluang dalam penguatan lembaga intelejen seperti BIN yang di masa lalu jelas telah melakukan covertoperation dengan oknum-oknum Kopassus. Bantuan militer Amerika juga memperkuat kembali posisi TNI serta sangat mungkin membuka peluang kembalinya TNI ke politik. Bahkan negeri non-otoriter seperti Australia belakangan ini dikritik telah menerapkan pendekatan keamanan berlebihan terhadap minoritas Islam di negeri itu. Secara umum memang terjadi perubahan prioritas dalam hubungan negara-negara di kawasan Asia Pasifik: dengan menempatkan isu terorisme hampir di atas segalanya. Pertemuan Apec di Mexico misalnya, hanya beberapa hari setelah Tragedi Bali, banyak didominasi isu itu. Tapi, khususnya di Asia Tenggara ada dua faktor penting yang membuat dampaknya lebih mencolok dibanding di negara-negara lain, yaitu26: Pertama, peran geopolitik Asia Tenggara (yang sangat penting dalam mendukung kepentingan “imperial” Amerika). Kedua, peran komunitas Islam (gabungan Indonesia-MalaysiaBrunei mewakili komunitas Islam moderat terbesar di dunia). Dengan dalih Asia Tenggara menjadi “luberan” sisa-sisa laskar al-Qaeda yang diberangus di Afghanistan, AS memperkuat kehadiran militernya di Asia Tenggara. Tapi, menguber sisa al-Qaeda nampaknya hanya satu saja motif AS di sini. Asia Tenggara adalah kawasan penting bagi AS mengingat beberapa hal27: Pertama, jalur lalu lintas penting baik tanker minyak maupun kapal-kapal selam AS. Kedua, salah satu kawasan yang kaya akan minyak dan tambang berharga (emas) yang diminati perusahaan multi-nasional AS. Ketiga, jika ekonomi membaik dan politik stabil, kawasan ini merupakan pasar yang sangat makmur. Keempat, dengan kehadirannya di Asia Tenggara, AS bisa memantau dan menangkal gerak militer Cina, satu-satunya kekuatan yang potensial menandingi AS (AS lebih takut pada kekuatan militer dan ekonomi Cina ketimbang kepada kelompok radikal Islam yang tercerai-berai di sini) Kelima, penting bagi Amerika untuk memiliki hubungan baik dengan kalangan Islam moderat di Asia Tenggara, khususnya jika AS ingin melakukan “regime change” di Timur Tengah yang tidak hanya menjatuhkan Saddam Hussein tapi juga mengubah secara radikal politik Timur Tengah.
Negosiasi Masa Depan Islam dan Asia Tenggara Dominasi kekuatan Barat terhadap dunia Timur, khususnya negara-negara di Asia Tenggara tak terelakan lagi. Pasca perang dingin, dengan runtuhnya kekuatan blok Timur (Uni Soviet) telah menempatkan AS dan sekutu-sekutunya seperti Inggris, Prancis, Australia dalam posisi 'tiada tanding' dalam pertarungan ideologi politik antara negaranegara maju dan negara-negara berkembang, termasuk negara-negara di Asia Tenggara. Yusuf al-Qaradhawi28 menilai politik global Barat merupakan kelanjutan dari misi imperialisme dan kolonialisme masa lalu (sebelum Perang Dunia II) atau dapat disebut sebagai imperialisme baru. Imperialisme baru tidak selalu melakukan pendudukan pada sebuah negeri tertentu, serta penguasaan langsung. Imperialisme model ini dilakukan dengan mendiktekan kehendak dari balik tabir melakukan nasehat yang wajib dituruti dan dilaksanakan. Bahkan kadangkala mereka mengirim pasukan militer ke wilayah tertentu dengan alasan ada kesepakatan bilateral antara kedua negara yang sebenarnya tidak lebih 26
Ibid. Ibid. 28 Yusuf al-Qaradhawi, dalam Firdaus Syam, 2007, Pemikiran Politik Barat: Sejarah, Filsafat, Ideologi, dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Ke-3, Jakarta: Bumi Aksara, h. 361. 27
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 2, Nomor 1, Juni 2008
STAIN Palangka Raya
64
sebuah "titah" dan "dikte" terhadap sebuah negara lemah yang dilakukan negara besar. Tampak bagaimana pemaksaan Amerika Serikat untuk menyerang dan menduduki Afganistan, kemudian Irak, menekan Iran dan Korea Utara dengan menyebut negara itu sebagai "poros setan", termasuk sejumlah negara lainnya seperti Syria dan Libya. Politik global dan pengaruh Amerika Serikat dirasakan makin menguat terhadap negara-negara di Asia Tenggara, terutama pasca invasi AS terhadap Irak (2003). Sebelumnya AS mengalami kekalahan dalam perang Vietnam. Saat itu kehadiran AS di Asia Tenggara secara bertahap berkurang hingga ditutupnya pangkalan militer AS di Filipina. Sepanjang dekade 90-an politik global di Asia Tenggara diwarnai dengan perbedaan persepsi tentang hak asasi manusia. Di satu pihak, negara-negara yang terhimpun dalam ASEAN lewat beberapa tokoh-tokoh utamanya menekankan pentingnya faktor sosial-budaya, di pihak lain AS berusaha memaksakan kehendaknya tentang persepsi dan implementasi HAM sesuai dengan garis kebijakan AS.29 Pemaksaan ideologi Barat terhadap negara-negara di Asia Tenggara sudah barang tentu menimbulkan reaksi baik yang pro maupun yang kontra. Pro-kontra yang bersifat ideologis karena bersentuhan dengan nilai-nilai budaya, spiritual dan keagamaan30 masyarakat di kawasan ini. Di samping itu, resistensi mereka terhadap politik global, karena Barat (Amerika Serikat) menerapkan politik standar ganda (double standard).31 Citra standar ganda AS dalam hubungan internasional itu makin parah lagi dengan adanya sikap unilateralis AS dan melemahnya komitmen domestiik terhadap hak asasi manusia dan demokrasi.32 Pasca serangan ke Irak, AS lebih menekankan pendekatan keamanan dan militer di kawasan Asia Tenggara dengan dalih apa yang disebutnya sebagai perang global melawan terorisme. Dukungan penuh terhadap perang global melawan teror menyebabkan AS memberi bantuan militer yang cukup banyak terhadap Singapura, Filipina dan Thailand. Balikatan adalah bentuk kerjasama militer intensif antara Filipina dan AS untuk, antara lain, menumpas gerakan Abu Sayyaf yang dituduh memiliki hubungan dengan al-Qaeda. AS juga melakukan latihan bersama dengan Thailand lewat Cobra Cold, latihan militer yang sudah cukup lama dilakukan kedua negara. Latihan militer Cobra Cold tahun 2004 merupakan latihan militer bersama terbesar di Asia Tenggara karena juga melibatkan kontingen militer kecil Singapura, Filipina, dan Mongolia. Kerjasama militer paling intensif dilakukan AS dan Singapura, yang sejak tahun 1990 telah menyediakan lahan bagi pangkalan militer terbatas bagi pasukan dan transportasi militer AS.33 Sementara itu, Indonesia dan Malaysia, dua negara dengan penduduk mayoritas muslim, tidak sedekat ketiga negara di atas dalam melakukan kerjasama militer dengan AS. Kedua negara ini terikat kebutuhan untuk mempertahankan dukungan pemilih muslim yang sangat menentukan sehingga tidak dapat secara bebas menyatakan dukungan terbuka kepada AS. Akan tetapi menurunnya dukungan publik Indonesia dan Malaysia terhadap AS tidak luput dari perhatian Washington. AS mencoba mempertahankan pengaruhnya di kedua negara ini dengan memberikan bantuan non-militer khususnya dalam bidang pendidikan dan lebih khusus lagi mengembangkan hubungan dengan tokoh-tokoh muslim di kedua negara. Tiap tahun beberapa tokoh muslim diberi kesempatan melakukan
29
Lihat Bambang Cipto, ibid., h. 258. Bagi sebagian masyarakat muslim di kawasan ini, ideologi Barat yang materialistik secara ekstrim dianggap sebagai "ancaman" terhadap kultur dan kehidupan sosial mereka yang telah mapan. 31 Firdaus Syam, ibid., h. 361. 32 F. Gaban, ibid. 33 Bambang Cipto, ibid., h. 258-259. 30
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 2, Nomor 1, Juni 2008
STAIN Palangka Raya
65
perjalanan ke Amerika Serikat selama beberapa minggu untuk memberikan ceramah tentang Indonesia dengan biaya penuh dari pemerintah AS.34 Dalam konteks kerjasama ekonomi dan keamanan di Asia Tenggara, beberapa negara makin intensif melakukan pendekatan terhadap negara-negara di kawasan ini, seperti Cina, Jepang, India, dan Australia. Cina merupakan negara non-ASEAN pertama yang ikut menandatangani Treaty of Amity and Cooperation (TOC) bersamaan dengan Pertemuan Puncak ASEAN+3 di Bali. Cina juga memperluas hubungan kerjasama ekonomi melalui ASEAN Plus Three. Di bidang keamanan, disepakati ASEAN-China Strategic Patnership for Peace and Security (2003) dan telah menelorkan Rencana Aksi pada November 2004. Jepang, sebagai investor terbesar di Asia Tenggara, lebih terbatas dalam mengembangkan kerjasama bidang keamanan dengan negara-negara di Asia Tenggara, khususnya ASEAN. Sementara Australia memanfaatkan momen kampanye antiteror untuk menjalin kerjasama militer intensif dengan Singapura dan Filipina. Sedangkan India sejak 2003 telah membina kerjasama militer dengan Singapura. India juga memperkuat kerjasama dengan Indonesia dan Malaysia untuk melaklukan pengawasan laut bersama.35 Lebih dari sekadar pendekatan keamanan dalam menghadapi persoalan terorisme di Asia Tenggara, seperti yang dilakukan oleh negara-negara ASEAN, penting, menurut hemat penulis, untuk melakukan adalah pendekatan sosiologis dan historis. Asia Tenggara merupakan kawasan di mana penghuninya mayoritas bangsa Melayu dengan entitas keagamaan Islam yang kental. Faktor Islam tak boleh diabaikan dalam merajut jalinan kerjasama dan hubungan internasional di kawasan ini. Membicarakan masa depan Asia Tenggara secara menyeluruh tentunya juga membicarakan masa depan Islam di kawasan ini. Para analis memandang bahwa “denyut jantung” Islam di Asia Tenggara sejak dekade 1990 hingga sekarang memang berdetak semakin keras, lebih hidup, lebih dinamis. Geliat Islam yang terus semakin berperan penting dalam transformasi politik, ekonomi dan kultural di kawasan ini Meski pun Timur Tengah masih dilihat sebagai kawasan pusat Islam dan kontaknya dengan Barat lebih awal, tapi Asia Tenggara secara kultural sesungguhnya lebih terbuka dan lebih inklusif dalam proses modernisasi. Dialog kultural dan pergulatannya dengan ide-ide Barat di Asia Tenggara jauh lebih enlightened dibandingkan dengan kawasankawasan lain. Berbeda dengan negara-negara Arab, di kawasan ini, Barat lebih dipandang sebagai inspirator kemajuan ketimbang sebagai musuh.36 Dengan mempertimbangkan potensi-potensi itu, kawasan Asia Tenggara menjadi harapan bagi tumbuhnya hubungan dunia Islam dan Barat dalam suasana dialogis, terbuka dan seimbang. Menurut hemat penulis, kekuatan faktor Islam ini akan memberikan kontribusi yang cukup besar bagi terwujudnya keamanan dan stabilitas di kawasan ini. Di samping itu, secara kultural akan menekan dominasi politik global Barat terhadap negara-negara di kawasan ini. Peran tersebut lebih tertuju kepada dua negara besar yang penghuninya mayoritas muslim di kawasan ini, yaitu Indonesia dan Malaysia. Indonesia di samping sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, juga merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar di antara negara-negara di Asia Tenggara (lebih dari 200 juta jiwa, merupakan negara terbesar keempat di dunia dari segi 34
Ibid. Ibid., h. 260-262. 36 Moeflich Hasbullah, 2003, Asia Tenggara: www.moeflich.wordpress.com, diakses pada 23 April 2008. 35
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Konsentrasi
Baru
Kebangkitan
Islam,
Volume 2, Nomor 1, Juni 2008
STAIN Palangka Raya
66
jumlah penduduknya). Dalam hal ini, peran yang telah dan terus dimainkan oleh Indonesia dalam hubungan internasional adalah paling tidak mencakup tiga hal. Pertama, menjalankan diplomasi yang 'lebih cerdas' untuk membendung hegemoni dan dominasi Barat dalam penerapan politik global di kawasan Asia Tenggara. Kedua, membuat 'pencitraan' (imaging) yang positif terhadap Islam di mata internasional baik secara langsung melalui hubungan interpersonal dan kelembagaan maupun melalui media massa. Ketiga, memperkuat sipil sociaty untuk mewujudkan iklim demokrasi yang kondusif sehingga tidak ada kelompok-kelompok dalam masyarakat yang merasa terpinggirkan (subordinated) yang dapat memicu munculnya radikalisme. Sementara itu, Malaysia selama ini dikenal sebagai negara yang 'vokal' dalam mengartikulasikan kepentingan kaum muslim di kawasan ini untuk melawan hegemoni Barat. Malaysia termasuk negara yang menentang keras invasi AS ke Irak (2003). Di samping itu, pemerintahan Malaysia dengan Barisan Nasional (BN)-nya giat mempromosikan Islam hadhari (cultural Islam). Islam hadhari adalah diasumsikan sebagai pemahaman Islam yang inklusif dan moderat, mengedepankan kebersamaan, toleransi dan perdamaian37. Pemahaman ini tentunya berlawanan dengan paham Islam radikal dan konservatif yang cenderung kepada intoleransi, kekerasan dan eksklusif. Promosi Islam hadhari, yang dipelopori oleh Malaysia, menurut hemat penulis, turut menciptakan pencitraan Islam yang positif di mata internasional. Dengan peran yang signifikan kedua negara, Indonesia dan Malaysia, kawasan Asia Tenggara diharapkan menjadi kawasan yang lebih stabil, makmur dan damai. Tidak berlebihan kiranya apabila harapan arah konsentrasi kebangkitan Islam pun, lebih tertuju pada kawasan Asia Tenggara.
Penutup Sebagai stressing dari isi makalah ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. Pertama, terorisme yang dikaitkan dengan Islam mengindikasikan bahwa memang ada sebagian kecil kaum muslim yang mengeskpresikan penolakan mereka terhadap hegemoni Barat melalui tindakan kekerasan dan teror. Namun gerakan radikal Islam ini tidak berdiri sendiri. Di samping faktor internal dengan paham Islam yang eksklusif dan konservatif juga dipicu faktor eksternal, yakni perlakukan Barat dan politik standar ganda (double standard) AS terhadap negara-negara muslim. Untuk itu, akar-akar radikalisme tidak hanya tumbuh dalam dirinmya sendiri tetapi juga dipicu oleh pihak luar, yakni politik global yang mereka pandang tidak adil. Kedua, kampanye perang melawan terorisme dengan menjadikan Asia Tenggara sebagai front kedua setelah Afganistan, dapat "dibaca" sebagai pengalihan isu atau akalakalan pihak AS semata. Dengan dalih perang melawan terorisme internasional, pihak AS berupaya keras mempertahankan dan memperluas pengaruhnya terhadap negara-negara di Asia Tenggara. Akan tetapi senyatanya adalah kekhawatiran AS yang berlebihan akan peran China yang cukup besar di kawasan ini. Di samping kekhawatiran terhadap China, tampaknya AS juga terobsesi oleh tesis Huntington tentang "clash of civilization" dengan menjadikan "Islam" sebagai lawan baru pasca perang dingin.
37
Istilah Islam hadhari (Islam kultural) dipolulerkan oleh Mahathir Muhammad, semasa menjabat perdana menteri Malaysia, kemudian diteruskan oleh Abdullah Ahmad Badawi, penggantinya. Islam Hadhari, yakni sebuah konsep politik yang dapat memberikan kejayaan dan kemajuan bagi rakyat Malaysia. Islam Hadhari diproyeksikan sebagai payung untuk melindungi seluruh warga negara dalam semangat kebersamaan, kebebasan dan toleransi. Lihat Luthfi Assyaukanie, Runtuhnya Islam Badawi, www.luthfiassyaukanie.com, dikases pada 23 April 2008.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 2, Nomor 1, Juni 2008
67
STAIN Palangka Raya
Ketiga, mengingat keragamaan komunitas yang menghuni kawasan Asia Tenggara baik dari segi etnis, agama, budaya, dan sebagainya maka dalam upaya mewujudkan stabilitas politik dan keamanan di kawasan ini tidak cukup hanya mengandalkan pendekatan kemanan dan militer. Pendekatan historis dan sosiologis (sosio-kultural) menjadi sangat penting terutama menghadapi isu kebangkitan agama (baca: Islam) pasca perang dingin. Isu ini hendaknya tidak memicu konflik baru Islam-Barat. Karena itu negara-negara muslim di kawasan ini (terutama Indonesia, Malaysia) sangat berkepentingan untuk mempromosikan pemahaman Islam yang inklusif dan moderat, sekaligus mengupayakan pencitraan Islam (imaging of Islam) yang positif di mata internasional. Hal ini akan memberikan kontribusi yang besar bagi upaya mewujudkan kestabilan politik dan keamanan di kawasan ini.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 2, Nomor 1, Juni 2008
68
DAFTAR PUSTAKA
STAIN Palangka Raya
Assyaukanie, Luthfi, 2007, Radikalisme dan Konservatisme, dalam Luthfi Assyaukanie, Islam Benar versus Islam Salah, Depok: KataKita, Cet. I. ______, 2008, Runtuhnya Islam Badawi, www.luthfiassyaukanie.com, diakses pada 23 April 2008. Basya, M. Hilaly, 2004, Islam, Modernitas dan Radikalisme di Asia Tenggara, dalam harian Republika, www.republika.co.id, diakses pada 8 Januari 2008. Cipto, Bambang, 2007, Hubungan Internasional di Asia Tenggara: Teropong terhadap Dinamika, Realitas, dan Masa Depan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I. Hasbullah, Moeflich, 2003, Asia Tenggara: Konsentrasi Baru Kebangkitan Islam, www.moeflich.wordpress.com, diakses pada 23 April 2008. Held, David, 2004, Democracy and the Global Order: From the Modern State to Cosmopolitan Governance, (terj. Damanhuri: Demokrasi dan Tatanan Global: Dari Negara Modern hingga Pemerintahan Kosmopolitan), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I. Jackson, Robert dan Georg Sorensen, 2005, Introduction to International Relations, (terj. Dadan Suryadipura: Pengantar Studi Hubungan Internasional), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I. Karwadi, 2007, Dari Clash Menuju Dialogue of Civilizations, dalam M. Abdul Karim, Wacana Politik Islam Kontemporer, Yogyakarta: Suka Press, Cet. I. M. Alfan, 2002, Momentum Kebangkitan Islam Moderat, dalam harian Kompas edisi 1 Februari 2002, dalam Kliping Jurnal Jaringan Islam Liberal, www.islamlib.com, diakses pada 23 April 2008. Perwita, Anak Agung Banyu dan Yanyan Mochamad Yani, 2006, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, Bandung: Remadja Rosdakarya, Cet. II. Sahrasad, Herdi, 2006, Bush, Islam dan Asia Tenggara, dalam Jurnal CMM (Center for Moderate Muslim), www.cmm.com, diakses pada 23 April 2008. Syam, Firdaus, 2007, Pemikiran Politik Barat: Sejarah, Filsafat, Ideologi, dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Ke-3, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. I. Wahid, Marzuki dan Nurrohman, 2005, Syari'at Islam Versus Negara-Bangsa: Problem Paradigma Pemikiran Keislaman, dalam Adnan Mahmud, dkk., Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I. ZA Maulani, 2004, Selat Malaka dan Terorisme, dalam Jurnal SwaraMuslim, www.swaramuslim.com, diakses pada 23 April 2008. Zada, Khamami, 2007, Terorisme dan Gerakan Islam Malaysia, dalam Blogger Khamami Zada, www.khamamizada.wordpress.com diakses pada 23 April 2008.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 2, Nomor 1, Juni 2008