1
TRANSFORMASI DIPLOMASI CHINA MENUJU KERJASAMA PERDAGANGAN REGIONAL DI ASIA TENGGARA (1989-2010)
Nama: Mochamad Slamet Nim: 210000180
Abstrak China memiliki perjalan politik internasional yang unik yang membawa negara itu mampu melakukan kerjasama ekonomi di Asia Tenggara. Padahal, pada masa kepemimpinan Mao, beberapa negara Asia Tenggara terbawa oleh kompleksitas kepentingan ideologi. Pemerintah China menyadari bahwa pembangunan akan terwujud bila telah melakukan normalisasi hubungan dengan negara-negara tetangga. Hal itu bertujuan untuk dapat melakukan kerjasama perdaganan. Namun, bukan hal yang mudah ketika China harus menghadapi banyak hambatan baik secara internal maupun eksternal. Pada era awal 90an, pemerintah China mencoba melakukan pendekatan untuk menjadi partner dialog di dalam ASEAN. Alhasil, pemerintah China beberapa kali di tolak dan tidak bisa bergabung dalam forum komunikasi ASEAN. Pada tahun 1996, pemerintah China akhirnya diperbolehkan bergabung dan bisa menjadi patner dialog secara penuh. Pada masa krisis ekonomi 19971998, China melakukan langkah positif dalam menurunkan nilai mata uangnya dalam mendukung negara-negara ASEAN keluar dari masalah resesi. Mulai dari situ, China menjadi dipercaya
oleh
negara-negara
anggota
ASEAN.
Dan
kemudian,
China
mampu
mengimplementasikan hubungan dagang melalui ACFTA (ASEAN-China Free Tread Agreement) pada tingkat regional di kawasan Asia Tenggara.
2
Abstrac China has a unique international political journey that brought the country capable of economic cooperation in Southeast Asia. In fact, during the leadership of Mao, some Southeast Asian countries carried away by the complexity of the ideological interests. The Chinese government realizes that the development will be realized when it has normalize relations with neighboring countries. It aims to be able to do the cooperation of Commerce. However, it is not easy when China had to face many obstacles both internally and externally. In the era of the early 90s, the Chinese government tried to approach to become a dialogue partner in ASEAN. As a result, the Chinese government rejected several times and could not join the ASEAN communication forum. In 1996, the Chinese government finally allowed to join and can be a full dialogue partner. During the economic crisis of 1997-1998, China made a positive step in reducing the value of its currency in favor of ASEAN countries out of recession problem. Starting from there, China became trusted by the ASEAN member countries. And then, the Chinese were able to implement trade relations through ACFTA (ASEAN - China Free Tread Agreement) at the regional level in Southeast Asia.
Hubungan China di Asia Tenggara China merupakan sebuah negara dengan populasi terbesar di dunia, dan sejak 1960an jumlah penduduknya terus mengalami pertumbuhan relatif cepat. Total China’s Population Since 1969-2009 per Million
Source: China Statistical Yearbook; National Bureau of Statistics web site 1 1
China's population, 1969-2009 (data base online) http://www.chinability.com/Population.htm, pada 10 Februari 2014 pukul 2:46 WIB
3
Oleh sebab itu, menjadi sebuah persoalan yang rumit bagi pemerintah China jika seandainya negara itu tidak mau pro-aktif menjalin hubungan kerjasama dengan negaranegara tetangganya terutama di kawasan Asia Tenggara. Sebagai sebuah negara yang menganut paham komunis, China di awal perang dingin tentu memiliki hambatan dalam melakukan pendekatan dengan negara-negara tetangga non-komunis. Artinya, perbedaan ideologis selalu menjadi pertimbangan utama dalam mengambil langkah-langkah strategis China terhadap negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Namun, sungguh menjadi pertanyaan tersendiri mengapa China, hingga hari ini dapat diterima oleh banyak negara dan banyak melakukan ekspansi kerjasama, seperti dalam perjanjian ACFTA (ASEAN-China Free Trede Agreement). Padahal sebelumnya, dinamika politik yang tercatat dalam sejarah politik China bisa dikatakan begitu kompleks dan cenderung menutup kebebasan, salah satunya ditandai oleh peristiwa Tiananmen 6 april 1989. Tetapi, dalam peristiwa itu banyak sejarahwan justru memandang bahwa kebijakan politik China mengalami perubahan haluan setelah mengambil pelajaran dari tragedi Tiananmen yang sempat menjadi sorotan dunia. Para aktivis pro demokrasi China yang mengalami perlakuan tragis dari pemerintah pada saat itu memicu reaksi Barat dengan mengisolasi baik secara politik maupun ekonomi. Tetapi, apabila melihat masa lalu China sebelumnya, dimana pada tahun 1945-1949 perang sipil yang terjadi antara partai komunis dan partai nasionalis dimenangkan oleh partai komunis. Pemimpin partai tersebut yaitu Mao Zedong (1893-1976) menjadikan China sebagai negara komunis yang berpengaruh di Asia Tenggara. Para pemimpin nasionalis di negara-negara Asia Tenggara, yang melakukan perlawanan terhadap pemerintahan kolonial di lihat oleh China sebagai sebuah kesempatan dalam menciptatakan pengaruh komunis. Alhasil, adanya tarik-menarik kepentingan ideologi di Asia Tenggara memperlihatkan skema besar antara aliasi kaum pro demokrasi dan kaum pro komunis. Menurut Keat Gin Ooi mengatakan bahwa, pada periode tertentu dimasa perang dingin, komunis China memberikan bantuan militer ke wilayah negara-negara Indo-China dan ikut mempropaganda dukungan moral kepada negara-negara tersebut seperti di Singapura, Malaysia, Indonesia dan Philipina.2 Dengan kata lain, pengaruh China di Asia Tenggara secara tidak langsung menawarkan keuntungan bagi negara-negara Indo-China dalam upaya keluar dari cekraman para penjajah. Sedangkan dalam konteks terjadinya gesekan ideologi, adanya pergulatan di 2
Ooi, K. G, Southeast Asia [3 Volumes]: A Historical Encyclopedia from Angkor Wat to East Timor. (California: Library of Congress of cataloging-in-Publication Data, 2004), hlm 338
4
Vietnam yang di provokasi oleh Komunis Utara Vietnam menunjukan posisi China sebagai pusat kekuatan komunis yang dianggap sebagai ancaman bagi negara-negara bentukan demokrasi Barat di kawasan tersebut. Oleh sebab itu, menjegal kekuatan komunis masuk kedalam jantung Asia Tenggara, USA (United Stated of America) mengintervensi kawasan tersebut dengan membentuk SEATO (South Asia Treaty Organization) pada tahun 1954. Di wilayah lain, pengaruh China juga terjadi di Malaysia, China melakukan propaganda lewat radio Peking dalam menyongsong revolusi New Communist China. Kemudian di Indonesia, tragedi Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia 1965/ G 30 SPKI menunjukan pula peran dan pengaruh China sebagai sponsor utama pergerakan komunis. Aidit yaitu tokoh dari Partai Komunis Indonesia dalam isi suratnya yang di berikan kepada Bung Karno menyebutkan perihal harapan terakhir dari kekuatan PKI (Partai Komunis Indonesia) berada di ujung tanduk dan bergantung pada Presiden Soekarno dan negara tetangga termaksuk dalam hal ini China sendiri3. Hal tersebut menunjukan bahwa kompleksitas hubungan diplomatik dan kepentingan negara memandang bahwa ideologi memiliki pengaruh yang sangat besar pada saat itu.
Good Neighbor Policy
Pada tahun 1967, China dihadapkan kembali oleh kekuatan baru atas berdirinya ASEAN yang disinyalir merupakan lanjutan dari organisasi sebelumnya yaitu SEATO. Amerika Serikat yang mensponsori keberadaan organisasi tersebut bermaksud untuk memotong efek domino dari pengaruh yang dilakukan oleh China. Tetapi ASEAN yang berkeinginan untuk memiliki upaya berjalan sesuai keinginan sendiri selalu terganjal oleh kapabilitas masing-masing negara anggotanya yang dikarenakan masih belum banyak memiliki kekuatan, dan baru merdeka. Pada tahun 1975-1979 Sino-Vietnam War yang terjadi di kawasan memunculkan ketegangan yang terkonsentrasi pada perilaku China. Hal tesebut diutarakan oleh Hood, dimana ASEAN menjadi pertimbangan regional aktor dalam menghadapi komleksitas isu tersebut.4 Pada saat itu, keanggotaan ASEAN yang
terdiri dari Indonesia, Malaysia,
Thailand, Philipina, Singapura menjadi terpolarisasi kedalam Sino-Asia Tenggara, yang 3 4
Samsudin, Mengapa G30S/PKI gagal: satu analisis (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), hlm 197
Hood, S. J, Dragons Entangled: Indochina and the China-Vietnam War. (New York: M.E. Sharpe, 1992), hlm 31
5
artinya perang dingin di kawasan tersebut masih terasa kuat. Namun, hal yang cukup mengejutkan pada akhir tahun 1979an ditengah-tengah berakhirnya ketegangan antara ChinaVietnam, China melalui pemimpinnya Deng Xiaoping di dalam buku yang berjudul Transformation of Foreign Affairs and International Relations in China, 1978-2008 mengungkapkan bahwa; Deng Xiaoping spoke explicitly on this point. While talking to Norwegian Foreign minister in February 1978, Deng said, now China is not on the American agenda…We have sober regard of our selves. We need to cooperate with western countries our effort to realize the ‘four modernization.’ More importantly, we need to cooperate politically to deal with super power,”5 Artinya dalam hal ini, China menyadari akan pentingnya keterbukaan yang di akui benar oleh pemimpin Negara tersebut. Deng Xioping sebagai orang nomor satu di China pada saat itu mengutarakan secara explicit, dan hal itu dapat dikatakan menjadi momentum, bahwa dirinya juga berniat untuk memoderenisasikan China dan memberikan sinyal strategi diplomasi baru di masa pemerintahannnya pada saat itu. Pada saat yang bersamaan pula, China mengambil langkah melakukan normalisasi terhadap USSR (The Union of Soviet Socialist Republics ) dengan maksud mempertahankan existensi negara agar dapat pula melakukan transisi membuka hubungan dengan negaranegara lain. Bersamaan dengan runtuhnya tembok Berlin pada era itu, perilaku China sebagai pengaruh komunis dunia, secara tangkas dan berani tetap memilih untuk bersikap kooperatif dengan USA. Hal ini di anggap menjadi sebuah langkah yang penting mengingat USA adalah kuatan dominan yang berpengaruh terhadap perilaku negara-negara termasuk di Asia Tenggara. Sedangkan negara-negara di Asia Tenggara sebagai wilayah yang paling terdekat tentu dipandang sebagai wilayah geo-strategis bagi China. Atas dasar itulah mengapa China begitu serius berupaya melakukan langkah-langkah diplomatik dengan negara-negara ASEAN. Oleh karena itu, upaya yang dilakukan oleh China dipetakan dengan istilah good neighbor policy, yang kemudian telah menuai kesuksesan besar. Pada bulan Juli 1991, China mencoba menjalin hubungan dengan negara-negara di Asia Tenggara melalui pertemuan Menteri Luar Negeri se-ASEAN. Namun inisiatif China baru bisa di terima menjadi bagian konsolidasi setelah menunggu proses dalam beberapa
5
Yizhou, W. Transformation of Foreign Affairs and International Relations in China, 1978-2000. (Leiden: Martinus Nijhoff Publisher and VSP, 2011), hlm 119
6
tahun. Hingga pada tahun 1996, China akhirnya mendapat tempat sebagai negara yang dapat berdialog penuh dan dapat menjadi patner dengan ASEAN. Deng menyatakan: Since then, the Chinese foreign minister has attended ASEAN’s foreign ministerial meeting every year. In March 1996, in a letter to Ali Alatas, Chairman of ASEAN standing Committee and Indonesia foreign Minister Qian Qichen indicated in clear term China’s intend to become ASEAN’s full dialogue partner.6
Setelah diterimanya China sebagai partner ASEAN, ketika terjadi krisis finasial di Asia pada akhir tahun 1997, China menawarkan kebaikan tehadap ASEAN, dimana China berkenan untuk mengkondisikan mata uangnya diturunkan agar negara-negara di ASEAN tidak mengalami ketimpangan dari dampak sistemik di masing-masing negara tersebut. Inisiatif ini bagi ASEAN tentu membuat citra China menjadi semakin baik. Belum lagi pada awal 1990an China juga telah banyak berkerja sama dalam hal ekonomi, politik dan budaya. Namun sebaliknya, Amerika Serikat yang berpengaruh di ASEAN justru dianggap lamban bereaksi. Oleh karenanya, ASEAN menjadi semakin sulit untuk mengabaikan China. Selain itu pada bulan Desember di tahun yang sama untuk pertamakalinya China-ASEAN Summitt diselenggarakan di Malaysia, dimana kedua belah pihak setuju dibangunnya
a good-
neighborly partnership of mutual trust for the 21st century. Kemudian pada tahun 2001 China mengajukan diplomatic masterpiece perihal perdagangan bebas FTA (Free Treade Area). Perjanjian ini menawarkan kerja sama perdagangan dengan meminimkan bea masuk antara China-ASEAN. Sedangkan bagi ASEAN situasi dan kondisi pada saat itu dirasakan amat dibutuhkan dalam perputaran ekonomi untuk pemulihan. Lain halnya dengan Amerika Serikat, dimana pada saat itu lebih disibukkan pada kebijakan pemberantasan teroris yang cenderung memperlambat perekonomian global. Artinya, pada situasi itu, China mencoba mengambil kesempatan dalam memposisikan negaranya untuk menjadi pilihan rasional pertumbuhan
6
Deng Yong Deng, M. W, China Views The World. In J. W. Garver, & M. W. Deng Yong Deng (Ed.), In the
Eyes of the Dragon: China Views the World (Boston: Rowman and Littlefield publishe inc, 1999), hlm 85
7
ekonomi, dan untuk sesegera masuk dalam membantu pemulihan ekonomi ditengah krisis yang terjadi di Asia Tenggara. Berdasaran data statistik perdagangan antara China-ASEAN menunjukan trend yang meningkat. Terhitung dari tahun 1980-2010, laju ekspor dan impor antara kedua kubu itu terlihat adanya saling mengisi satu sama lain, meski dari sisi impor ASEAN lebih sedikit terhadap China (Grafik 1). Namun, bila dilihat dari kaca mata domesik negara-negara ASEAN tentu mempunyai pandangan yang berbeda, sehingga dalam hal ini terlepas dari subjuktivitas terhadap China, tetaplah bahwa disini China mempunyai pengaruh yang cukup besar di Asia Tenggara. Dibawah ini merupakan grafik yang menunjukan laju export-import China terhadap ASEAN.
Grafik 1 China: Trade with Southeast Asia, 1980-2010
12.0% 10.0% % total imports, exports
8.0% 6.0%
% ASEAN exports
4.0% 2.0% 0.0%
Sumber: (Steven F. Jackson, 2011)7
7
Steven F. Jackson p, Retrieved December 30, 2012, (data base online) di unduh dari www.eastwestcenter.org pada 10 oktober 2014 pukul 3:08 WIB
8
Melihat grafik diatas, hampir dipastikan bahwa China memiliki grand design yang membuahkkan hasil surplus akibat dari implementasi good neigbor policy yang diawali pada tahun 1980an. Walaupun. dari sudut pandang ekonomi ketercapaian itu hanya di ukur dari nominal yang di raih. Namun, ini dipercaya bahwa hal tersebut tidak lepas dari keberanian China untuk melakukan transformasi diplomasi meski harus menurunkan derajat ideologi komunisnya.
ACFTA (ASEAN-China Free Tread Agreement)
Pada bulan November 2002, China dan ASEAN menandatangani perjanjian kerangka kerja mengenai ASEAN-China Free Tread Agreement (ACFTA). Persetujuan kerangka kerjanya menyediakan untuk pembentukan FTA (Free Tread Area) bagi enam pelopor anggota ASEAN (Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Singapura dan Brunei). Pada kerangka perjanjian itu terdapat persetujuan tentang penghapusan hambatan non-tarif. Memangkas tarif impor hingga 85% pada semua barang secara bertahap hingga nol-tarif pada tahun 2010 (Direktorat Kerjasama Regional Ditjen Kerjasama Internasional, 2010). Disamping itu, peletakan instrumen hukum, perjanjian kerangka kerja, ruang lingkup dan modalitas, berdiri di atas fleksiblelitas dalam tingkat kemampuan masing-masing negara anggota. Sedangkan, kompatibilitas ACFTA (ASEAN-China Free Tread Agreement) dan fungsi WTO (World Trade Organization) memberikan jaminan bahwa, ASEAN dan China tidak akan menyimpang dari kewajiban mereka dalam perjanjian WTO. Dengan begitu, perluasan kerjasama diberbagai bidang seperti keuangan, pariwisata, pertanian, kerjasama SDM industri, hak kekayaan intelektual, lingkungan, energi, menjadi landasan perjanjian regeonalisme. Sehingga dalam hal ini, peran China dalam perjanjian ASEAN-China Free Tread Agreement (ACFTA) merupakan pembuktian kembali bahwa China telah mentrasformasikan hubungan diplomatiknya menjadi sebuah tantangan baru dalam perdagangan regional yang masih terus berkesinambungan.
9
Kesimpulan Kegigihan para pemimpin China dalam memperbaiki hubungan diplomatik dapat dikatakan sukses. Implementasi good neighbor diplomacy membuahkan transformasi yang begitu berharga bagi China di saat ini. Menurunnya cara pandang bahwa komunis adalah ancaman menjadi prestasi besar bagi kemoderenan China. Dengan demikian, diplomasi yang dijalankan oleh China teridentifikasi sebagai diplomasi multi demensi, yang diawali dengan keberanian dan kebaikan menawarkan bantuan, serta inisiatif kebijakan dalam merumuskan kerjasama regional. Oleh karenanya, argument ini membuktikan bahwa eksistensi China hingga pada tahap implementasi ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA), membuat China masih eksis berada di tengah-tengah kerjasama dengan negara-negara anggota ASEAN. Meskipun seiring waktu berjalan, pro dan kontra terhadap China itu sendiri mengalir begitu deras.
10
Daftar Pustaka