Hubungan China-Taiwan dan Pandangan Asia Tenggara Nur Rachmat Yuliantoro
“We do not see the rising role of China as a problem but more as an opportunity for gains in areas like trade.” (Marty Natalegawa, juru bicara Departemen Luar Negeri RI)
“[T]he 21st century will be the Chinese century … There’s nothing to be gained by not recognizing this inevitability.” (Prapat Thepchatree, direktur Centre for International Policy Studies, Thammasat University)
PADA awal bulan Mei 2005, sebuah poin bersejarah dalam apa yang disebut sebagai the Taiwan problem terjadi di Beijing: ketua Kuomintang (KMT) Lien Chan berkunjung dan disambut secara resmi oleh Presiden Hu Jintao. Kunjungan satu minggu Lien dalam rangka ‘Journey of Peace’ ini adalah kali yang pertama baginya sejak meninggalkan daratan pada umur 10 tahun di tahun 1949. Kunjungan Lien di Beijing tentu segera mengundang pro dan kontra di Taiwan, terlebih ia datang enam minggu setelah Beijing mengumumkan berlakunya undang-undang antipemisahan yang membolehkan China untuk menggunakan kekuatan bersenjata sekiranya Taiwan menyatakan kemerdekaannya. Wakil Presiden Taiwan Annette Lu bahkan mengatakan, “[Lien Chan] is cooperating with the communist to downgrade the president’s legitimacy and power.”1 Kunjungan Lien, yang kemudian disusul oleh kedatangan James Soong, ketua the People First Party (PFP), sejatinya bukan suatu hal yang mengejutkan. Sebagaimana diketahui, Lien dan James pernah bersama-sama mencalonkan diri sebagai presi-
1
‘Guest of Honor’, TIME Asia, May 9, 2005, pp. 24-5.
1
den dan wakil presiden pada pemilu bulan Maret 2004. Mereka kalah hanya dengan selisih suara 29.518 alias 0.2% saja (!) dari sang incumbent Presiden Chen Shui-bian dari the Democratic Progresive Party (DPP).2 Tipisnya selisih suara itulah yang menyebabkan keduanya menuduh ada ketidakberesan dalam penyelenggaraan pemilu dan meminta penghitungan ulang, yang ironisnya kemudian ternyata tetap menunjukkan kemenangan Chen. Chen selama ini dikenal sebagai pemimpin yang sangat keras menentang upaya unifikasi, bahkan dalam beberapa waktu terakhir menunjukkan kecenderungan yang besar untuk ‘memerdekakan’ Taiwan. Chen memaknai unifikasi sebagai ‘satu China, satu Taiwan’; kedaulatan Taiwan bukan hanya de facto, tetapi juga de jure. Dengan memposisikan Taiwan sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat, DPP telah berusaha melepaskan Taiwan dari ‘konsensus 1992’. Sementara itu, KMT dan PFP adalah dua kekuatan politik utama ‘pan-blue camp’ yang lebih cenderung mencari penyelesaian dengan cara melakukan pendekatan dengan daratan.3 Perseteruan Chen versus Lien-James semakin memperjelas perdebatan antara unifikasi versus kemerdekaan (tongdu zhengyi) yang mulai muncul sejak Lee Teng-hui menjadi presiden di tahun 1993.4 Perdebatan soal unifikasi versus kemerdekaan berjalan terus seiring tumbuhnya nasionalisme orang Taiwan sebagai Taiwanese, bukan Chinese.5 Hal ini mengakibatkan perubahan cara pandang konflik antara China dengan Taiwan: tidak lagi ideologi, tetapi sudah berubah menjadi persaingan antarnasionalisme. Tidaklah mengherankan
2
‘Can’t Let Go’, Far Eastern Economic Review, April 8, 2004, p. 18. Untuk penjelasan lebih lengkap soal politik kepartaian di Taiwan, lihat G. Schubert, ‘Taiwan’s Political Parties and National Identity: The Rise of an Overarching Consensus’, Asian Survey, vol. 44, no. 4, July/August 2004, pp. 534-54. 4 Yu-Shan Wu, ‘Taiwanese Nationalism and Its Implications: Testing the Worst-Case Scenario’, Asian Survey, vol. 44, no. 4, July/August 2004, pp. 614-6. 5 Sebuah survey yang dilakukan oleh Mainland Affairs Council pada bulan November 2003 menunjukkan bahwa hanya 7,4% responden yang setuju dengan konsepsi ‘one country, two systems’ China, sementara 71,4% menolaknya. Sementara mengenai identitas orang Taiwan, survei the Election Study Centre di Chengchi University menunjukkan hasil berikut: 1992 2003 Mengidentikkan diri sebagai orang China 26.2% 9.9% Mengidentikkan diri sebagai orang Taiwan 17.3% 41.5% Mengidentikkan diri sebagai keduanya 45.4% 43.8% Lihat ‘The Strait Grows Wider’, Far Eastern Economic Review, March 4, 2004, pp. 24-7. 3
2
karenanya jika kemudian ketegangan lintas-selat menjadi lebih sering dan konflik bersenjata semakin besar peluangnya untuk terjadi. Kemungkinan terjadinya perang kian terbuka ketika pada hari pemilu Chen juga mengadakan referendum yang menanyakan kepada warga Taiwan “whether the island should increase its defense budget if China refuses to remove the 496 missiles it points at Taiwan, and whether Taipei should engage in dialogue with Beijing to establish what Chen calls a “peace and stability framework”.”6 Referendum ini, ditambah janji Chen bahwa ia akan merevisi konstitusi pada tahun 2008, membuat Beijing yakin bahwa Taipei memang sedang mengusahakan ‘formal independence’. Menariknya, kekhawatiran soal ini juga dirasakan oleh Amerika Serikat (AS). Washington memperingatkan Chen untuk tidak “make decisions unilaterally to change the status quo” atau menghadapi resiko kehilangan dukungan dari AS.7 Bahkan Presiden Perancis Jacques Chirac mengatakan bahwa referendum itu adalah “a grave mistake.”8 Beijing tetap menghendaki bahwa semua upaya penyelesaian damai masalah Taiwan haruslah didahului dengan penerimaan Taipei akan prasyarat ‘satu China’. Perdana Menteri Wen Jiabao menegaskan, “[W]e stand firmly opposed to any form of separatist activities aimed at Taiwan independence and will never allow anyone to split Taiwan from China by any means”.9 Sementara itu di sisi yang lain, Jaushieh Joseph Wu, ketua Mainland Affairs Council menyatakan, “Taiwan today renews its goodwill call and wants to cooperate through negotiations to give a peace a chance. It’s about time China said yes to Taiwan without political condition.”10 Soal menjadi ‘satu China’ terbukti tidak berhasil karena baik China maupun Taiwan bersikukuh pada posisi masing-masing. Secara substantif, Taiwan menghendaki agar proses demokrasi, posisi otonom yang dipunyainya, serta perdagangan dan investasi yang terus meningkat dengan daratan 6
‘What Taiwan Wants’, TIME Archive, March 08, 2004. Secara lebih eksplisit, FEER mengilustrasikan pertanyaan referendum itu sebagai “Should mainland China refuse to withdraw the missiles it has targeted at Taiwan and to openly renounce the use of force against the U.S., would you agree that the government should acquire more advanced anti-missile weapons to strengthen Taiwan’s self-defence capabilities?”. Lihat ‘Chen Plays the Arms-Buying Card’, Far Eastern Economic Review, March 11, 2004, p. 28. 7 ‘Bush to Chen: Don’t Risk It’, Far Eastern Economic Review, May 20, 2004, pp. 28-31. 8 ‘A Tinderbox in Taiwan?’, TIME Archive, March 22, 2004. 9 ‘What Taiwan Wants’, TIME Archive, March 08, 2004. 10 ‘Taiwan Offers a Way to Peace’, Far Eastern Economic Review, July 8, 2004, p. 24.
3
tetap terpelihara.11 Di sisi lain, China menghendaki prinsip ‘satu China’ itu untuk menjamin situasi international yang stabil guna menjaga laju pertumbuhan ekonomi. Franklin Kramer mencatat bahwa China pernah menjamin bahwa bila menerima prinsip itu, Taiwan boleh tetap menjalankan sistem politiknya, menggunakan mata uangnya, dan bahkan mempertahankan angkatan bersenjatanya sendiri. Bagi Taiwan, sesungguhnya ini adalah hal yang bagus karena dengan dihilangkannya ancaman militer dari China akan memberikan ‘international space’ yang selama ini dicari-carinya. Sulitnya, China tetap menghendaki agar prinsip “satu China” menjadi basis dari semua pembicaraan, padahal mayoritas orang Taiwan, menurut Kramer, tidak mempunyai perasaan yang sama.12 Di saat yang sama Beijing juga berusaha memojokkan posisi Taipei dari pergaulan internasional, baik dalam forum kerjasama internasional maupun dalam konteks hubungan diplomatik dengan negara-negara lain, khususnya negara berkembang. Bila ditarik ke Asia Tenggara, kita melihat bahwa China semakin giat mendekatkan dirinya dengan Asia Tenggara, mulai dari hubungan diplomatik sampai dengan hubungan dagang yang mengarah pada ‘perubahan fundamental dari pusat gravitasi Asia’. Zheng Bijan, dekan Sekolah Partai Komunis, menilai bahwa “If China does not provide economic opportunities for the [Southeast Asia] region, it will lose the opportunity for a peaceful rise.” China menganggap hubungannya dengan Asia Tenggara sama-sama menguntungkan. Perdana Menteri Wen mengatakan bahwa China adalah “a friendly elephant” yang tidak mengancam Asia Tenggara.13 Pertumbuhan ekonomi China dewasa ini memang sangat menggiurkan, dan oleh karenanya tidaklah mengherankan jika hampir semua negara di kawasan Asia Tenggara memiliki hubungan ekonomi, khususnya perdagangan dan investasi, yang baik dengan China. Bank investasi Credit Suisse First Boston (CSFB) memperkirakan
11
Sampai dengan pertengahan 2004, perusahaan-perusahaan Taiwan telah menanam investasi setidaknya $70 milyar di China. Sekitar 25% ekspor Taiwan pun diserap oleh China. Lihat ‘Comfortably Tied’, Far Eastern Economic Review, June 10, 2004, p. 46. 12 F.D. Kramer, ‘Taiwan: Avoiding a Train Wreck’, Far Eastern Economic Review, March 25, 2004, p. 23. 13 ‘A Too Friendly Embrace’, Far Eastern Economic Review, June 17, 2004, pp. 20-2.
4
bahwa dalam sepuluh tahun mendatang konsumen China boleh jadi akan menggantikan konsumen Amerika Serikat sebagai mesin penggerak pertumbuhan ekonomi dunia.14 Pada tahun 2004, perdagangan China dengan negara-negara anggota Asean mencapai $105,5 milyar. Bila kecenderungan ini terus meningkat, China mungkin sekali akan menjadi mitra dagang terbesar Asean pada akhir tahun 2005. Belum lagi bila rencana FTA antara China dan Asean jadi terwujud pada tahun 2010 – dunia akan menyaksikan sebuah blok perdagangan regional yang paling besar dari sisi konsumen, sebuah ekonomi yang akan bernilai hampir $1,65 trilyun.15 Hubungan ekonomi, khususnya perdagangan dan investasi, antara China dan Asia Tenggara sangat penting bagi China karena ia membutuhkan jaminan bagi keberlangsungan sumber daya alam untuk kepentingan industrinya. Meski demikian, China juga berharap bahwa ini semua akan membuat negara-negara Asia Tenggara berpihak kepadanya sebagai ‘pemimpin’ sekiranya terjadi konflik di kawasan. Dalam rangka itulah, misalnya, China mengajak negara-negara Asean untuk mengadakan latihan perang bersama, sebuah ajakan yang dipandang bukan hanya untuk menegaskan posisi ‘pemimpin’ yang dimilikinya, tetapi juga upaya untuk menyingkirkan dan mengganti peran AS dalam pengaturan keamanan kawasan.16 Ini tidaklah mengherankan karena “Historically, Southeast Asia was the domain of China … It’s easy to see how China will want to see the region under its sphere of influence again,” demikian tegas Daniel Lian, pakar ekonomi Asia Tenggara yang bekerja untuk Morgan Stanley.17 Hanya saja, negara-negara Asia Tenggara kemudian merasakan ada ancaman ketergantungan ekonomi, dominasi politik, dan bahkan intervensi yang diakibatkan oleh kedekatan hubungan mereka dengan China. Misalnya Kamboja, negara yang pernah menerima bantuan ekonomi dari China senilai lebih dari $45 juta dalam periode 2002-2004. Seorang pejabat Kamboja mengatakan, “China is geopolitically using Cambodia as a buffer against its old foe, Vietnam.” Atau Myanmar, yang mendapat bantuan
14
‘Hey, Big Spenders!’, TIME Asia, May 16, 2005, p. 16. ‘Deals and Diplomacy’, TIME Asia, May 30, 2005, pp. 14-20. 16 ‘A Diplomatic Offensive’, Far Eastern Economic Review, August 5, 2004, pp. 28-30. 17 ‘Deals and Diplomacy’. 15
5
rendah-bunga senilai $200 juta dari China, untuk kemudian mengeluh soal tindakan China melakukan dumping dan meminta hak-hak istimewa bagi perusahaanperusahaan China yang beroperasi di sana. Bahkan Thailand, yang mempunyai perjanjian dagang bilateral dengan China, juga mengeluh soal mengalirnya buah-buahan produksi provinsi Yunnan ke Thailand. Di tahun 2003, impor buah-buahan dari China meningkat lebih dari 200%, sementara ekspor buah-buahan Thailand ke China hanya bertambah 80%.18 Di sisi lain, China pernah menolak kedatangan PM Singapura Lee Hsien Loong karena Lee dianggap melukai “the core interest of China and the feelings of 1.3 billion Chinese people” dengan mengunjungi Taiwan pada awal Juli 2004.19 Intinya, China menganggap bahwa kedekatan dalam konteks hubungan diplomatik dan hubungan ekonomi (dalam beberapa kasus bahkan ketergantungan ekonomi sangat kuat terasa) dengan Asia Tenggara penting artinya dalam upaya mengamankan posisinya vis-„-vis Taiwan. Negara-negara Asia Tenggara sendiri menjalankan kebijakan ‘satu China’ dalam konteks politik, tetapi tetap menjalin hubungan ekonomi dengan Taiwan – sebuah mekanisme hubungan yang bahkan China pun melakukannya. Sejauh ini negara-negara Asean masih sampai pada tahap retorika ketika memberikan tanggapan terhadap kemungkinan terjadinya perang di Selat Taiwan. Dengan menganggap kemungkinan perang tetap terbuka lebar – akibat sikap keras Chen di satu sisi dan undang-undang antipemisahan Beijing di sisi yang lain – maka sikap negara-negara yang akan terlibat di dalamnya perlu dipertimbangkan dengan hati-hati dan menyeluruh. Amerika Serikat hampir pasti akan membantu Taiwan, sementara negara-negara Asia Tenggara sepertinya masih akan mempertahankan sikap ‘status-quo’ mereka.
Yogyakarta, 29 Mei 2005
18 19
‘A Too Friendly Embrace’. ‘A David-and-Goliath Tussle’, Far Eastern Economic Review, August 5, 2004, pp. 20-1.
6