MAKALAH HUBUNGAN INTERNASIONAL DI ASIA TENGGARA ISU-ISU KEAMANAN DI ASIA TENGGARA “Pengelolaan Keamanan di Laut Cina Selatan”
OLEH KELOMPOK 1 :
NAMA
NIM
1. ABUL NIZAM AL-ZANZAMI
201310360311111
2. GANDHI MURGANA AKBAR A
201310360311117
3. SULTHON NUR ZEHA
201310360311099
4. AGUNG WITANTRA
201310360311115
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK HUBUNGAN INTERNASIONAL UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2015-2016
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena atas berkat dan rahmatnyalah penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini guna memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen pengampuh mata kuliah Hubungan Internasional Asia Tenggara. semoga dilimpahkan
Shalawat serta salam
bagi junjungan kita Nabi Muhammad SAW, keluarga
dan
para
sahabatnya. Selanjutnya penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang membantu kelancaran penulisan makalah ini, baik berupa dorongan moril ataupun materil, karena penulis yakin tanpa dukungan dan dorongan tersebut sulit rasanya bagi penulis untuk menyelesaikan penulisan makalah ini. Penulis sadara akan kemampuan yang dimiliki penulis, maka dengan sangat memohon kepada pembaca agar dapat memberikan saran, masukan maupun kritikan yang membangun bagi penulis agar dapat menjadi batu loncat kedepan untuk menyusun makalah-makalah selanjutnya. Akhir kata semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Aamiin
Malang, 26 Oktober 2015
Penulis
BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Keamanan internasional dapat dipahami sebagai sebuah proses kerangka membangun keamanan dunia, konsep keamanan terus berkembang dan bertransformasi, keamanan dalam kontek kekinian atau pasca perang dingin dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu keamanan tradisional dan keamanan non-tradisional. Pasca perang dingin berakhir para ahli memperkirakan akan terjadinya the absent of war sebagai bentuk dari keamanan yang bersifat tradisional, namun pada kenyataannya keamanan tradisional masih menjadi isu yang memberikan pengaruh besar dalam konstelasi dunia internasional. Dalam konsepsi lama, keamanan
lebih diartikan sbg upaya utk menjaga keutuhan
wilayah teritorial/kedaulatan negara dari ancaman yang datang dari luar. Konflik antar negara, terutama dlm upaya memperluas wilayah jajahan membawa definisi keamanan hanya bertujuan bagaimana negara memperkuat diri dalam upaya menghadapi ancaman. Dalam perkembangannya konsep keamanan dapat dipahami dengan berbagai teori, namun realis dan liberalisme menjadi dua pemikiran besar yang mendominasi pemikiran terkait dengan keamanan. Konsep keamanan tidak lepas dari pemahaman pemikir realis yang memandang dunia internasional bersifat anarki sehingga dengan demikian setiap negara memiliki keinginan untuk meningkatkan kekuatan sebagai salah satu bentuk respon dari anarkisme tersebut. Pasca perang dingin dunia internasional mengalami pergeseran dimana kerjasama menjadi salah satu instrumen membangun dunia yang lebih aman dan globalisasi menjadi faktor penggerak interkonektifitas masyarakat internasional, namun fenomena memperkuat komponen pertahanan berkembang selaras dengan kerjasama yang dibentuk. Dua pemikiran yang ada yaitu liberalisme dan realisme memberikan gambaran-gambaran dan prediksi terkait dengan keamanan internasional, perdebatan yang ada antara realisme dan liberalisme memberikan jalan tengah dalam mengamati dinamika keamanan internasional. RUMUSAN MASALAH 1. Apa yang di maksud keamanan dan ancaman ? 2. Bagaimana perkembangan konflik dan pengelolaan keamanan di Laut Cina Selatan ?
BAB II PEMBAHASAN 1. PENGERTIAN KEAMANAN DAN ANCAMAN Keamanan secara umum dapat diartikan sebagai upaya suatu negara dalam mempertahankan wilayahnya dari ancaman dari dalam maupun luar. Atau dapat diartikan juga sebagai ketiadaan ancaman dari nilai-nilai yang dibutuhkan manusia dalam menjalankan kehidupannya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), keamanan sebagai suatu situasi yang terlindung dari bahaya (keamanan objektif), adanya perasaan aman (keamanan subjektif) dan bebas dari keragu-raguan. Sedangkan ancaman adalah setiap usaha dan kegiatan, baik dalam negeri maupun luar negeri yang dinilai membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa Dalam perkembangannya konsep keamanan dapat dipahami dengan berbagai teori, namun realis dan liberalisme menjadi dua pemikiran besar yang mendominasi pemikiran terkait dengan keamanan. Konsep keamanan tidak lepas dari pemahaman pemikir realis yang memandang dunia internasional bersifat anarki sehingga dengan demikian setiap negara memiliki keinginan untuk meningkatkan kekuatan sebagai salah satu bentuk respon dari anarkisme tersebut. Pasca perang dingin dunia internasional mengalami pergeseran dimana kerjasama menjadi salah satu instrumen membangun dunia yang lebih aman dan globalisasi menjadi faktor penggerak interkonektifitas masyarakat internasional, namun fenomena memperkuat komponen pertahanan berkembang selaras dengan kerjasama yang dibentuk. Dua pemikiran yang ada yaitu liberalisme dan realisme memberikan gambaran-gambaran dan prediksi terkait dengan keamanan internasional, perdebatan yang ada antara realisme dan liberalisme memberikan jalan tengah dalam mengamati dinamika keamanan internasional. Menurut Barry Buzan, mengatakan bahwa “security, in any objective sense, measures the absence of threat to acquired values, in a subjective sense, the absence of fear that such values will be attacked”.1 Dengan kata lain, Dalam konteks sistem internasional maka keamanan adalah kemampuan negara dan masyarakat untuk mempertahankan identitas kemerdekaan dan integritas
1
Barry Buzan, People, State and Fear: An Agenda for International Security Studies in the Post-Cold War Era, Harvester WheatSheaf, London, 1991. Hal. 4.
fungsional mereka. Untuk mencapai keamanan, kadang-kadang negara dan masyarakat berada dalam kondisi harmoni atau sebaliknya. Dalam studi hubungan internasional dan politik internasional, keamanan merupakan konsep penting yang selalu dipergunakan dan dipandang sebagai ciri eksklusif yang konstan dari hubungan internasional. Karena konsepsi keamanan nasional ini senantiasa memiliki hubungan erat dengan pengupayaan, pertahanan dan pengembangan kekuatan atau kekuasaan sepanjang kaitannya dengan analis hubungan internasional dan politik luar negeri, maka dalam pengaplikasiannya selalu menimbulkan perdebatan sehingga langkah ke arah konseptualisasinya tidak selalu berjalan seiring. Power atau kekuasaan itu sendiri secara simplistis merupakan kemampuan satu unit politik (negara) dalam mencegah konflik dan mengatasi rintangan-rintangan. Secara implisit hal ini menyimpulkan tentang terdapatnya faktor keamanan sebagai unsur yang menstimulasi pengupayaan pencapaian dari power itu sendiri. Penyimpulan Buzan menyebutkan bahwa aspek keamanan ini telah menjadi satu pendekatan dalam Studi Hubungan Internasional kontemporer dengan menunjuk kepada motif utama perilaku suatu negara, yang memiliki perbedaannya sendiri dengan power sebagai kondisi yang dibutuhkan untuk terciptanya perdamaian. Konteks anarki menentukan tiga kondisi utama dalam konsep keamanan: (1) Negara merupakan objek utama dalam keamanan karena keduaduanya adalah kerangka aturan dan sumber tertinggi otoritas pemerintah; (2) Meskipun negara adalah objek utama keamanan tetapi dinamika keamanan nasional memiliki hubungan yang tinggi dan adanya interdependensi antara negara. Ketidakamanan negara dapat atau tidak dapat mendominasi agenda keamanan nasional tetapi ancaman eksternal akan selalu terdiri dari elemen-elemen utama dalam masalah keamanan nasional, dan (3) Dengan adanya kondisi anarki, arti praktis keamanan hanya dapat dibentuk jika ada suatu hubungan persaingan dalam lingkungan operasional yang tidak dapat dielakkan. Jika keamanan bergantung pada hegemoni atau harmoni maka hal ini tidak dapat dicapai dalam kondisi anarki.2 Dengan demikian keamanan bukanlah suatu konsepsi yang absolut namun relatif karena tidak dapat dipisahkan dari pada pengaruh dunia internasional yang pada dasarnya bersifat anarki
2
Buzan, Hal. 2.
dan sistemik yang dapat mempengaruhi perilaku suatu Negara dalam membuat keputusan yakni mengenai keamanan nasionalnya. Meskipun terdapat tiga tingkatan keamanan dalam problem kehidupan manusia yaitu keamanan individu, keamanan nasional, dan keamanan internasional, namun pada dasarnya konsep inti dari ketiga tingkatan tersebut adalah keamanan nasional. Hal ini dikarenakan negara merupakan titik sentral yang mendominasi regulasi hubungan maupun kondisi keamanan di antara kedua level lainnya. Selanjutnya keamanan (security) di sini dapat kita bedakan dengan konsep pertahanan (defense) yang memiliki kesamaan dari segi tujuannya, yaitu kemerdekaan atas ancaman yang mengganggu kebebasan dalam melaksanakan kedua konsep di atas, dimana keamanan biasanya lebih bersifat preventif dan antisipatif dalam merespon ancaman dibandingkan pertahanan. Menurut Barry Buzan, keamanan tidak sebatas pada keamanan saja, tetapi mencakup keamanan militer, politik, ekonomi, sosial dan lingkungan, seperti yang dipaparkan di bawah ini: (1) Keamanan militer, mencakup interaksi antar dua tingkat dan kekuatan yaitu kemampuan defensif dan persepsi militer mengenai intensi masing-masing pihak; (2) Keamanan politik, mencakup kesinambungan dan stabilitas organisasi suatu negara atau sistem pemerintahan serta ideologi yang melegitimasi kedua hal tadi; (3) Keamanan ekonomi, mencakup akses pada sumber daya finansial maupun pasar yang diperlukan untuk mempertahankan tingkat kesejahteraan dan kekuatan negara; (4) Keamanan sosial, mencakup kemampuan untuk mempertahankan dan menghasilkan pola-pola tradisional dalam bidang bahasa, kultur, agama, dan identitas nasional, dan (5) Keamanan lingkungan, mencakup pemeliharaan lingkungan lokal sebagai pendukung utama kelangsungan hidup manusianya. 3 Meskipun masing-masing sektor tersebut mempunyai titik-titik vokal dalam kerangka masalah-masalah keamanan, dan merumuskan cara-cara sendiri dalam menentukan prioritas kebijakan utama suatu negara namun faktor-faktor itu sendiri saling terkait dalam operasinya. Namun dalam makalah ini lebih memfokuskan pengelolaan pada keamanan Militer.
3
Buzan, Hal. 19
Pengelolaan keamanan dari militer pada dasarnya merupakan sebuah pilihan yang harus diambil ketika suatu Negara dalam menjaga wilayah teriotorialnya. Masalah-masalah keamanan yang muncul salah satunya bisa berupa tindakan peningkatan kekuatan militer suatu negara, dan pendekatan yang demikian apabila dilakukan secara terus menerus pada gilirannya dapat menimbulkan apa yang disebut dilema keamanan.4 Dilema keamanan ini dapat terjadi apabila peningkatan kapabilitas pertahanan dan keamanan dipersepsikan sebagai ancaman dan petunjuk sikap bermusuhan oleh pihak lain. Demikian suatu reaksi atas aksi yang dilakukan suatu pihak akan menimbulkan reaksi yang baru dari pihak lain. Dilema pertahanan terjadi apabila terjadi kontradiksi antara pertahanan militer dan keamanan nasional. Angkatan bersenjata dijustifikasi oleh keperluannya akan keamanan nasional dan secara politis diasumsikan kekuatan militer berkorelasi positif dengan keamanan nasional. Dilema keamanan terjadi didasari oleh dua kondisi, yaitu bahwa setiap negara mempunyai perilaku selalu ingin mengejar power untuk kepentingan nasionalnya dan yang kedua akibat perilaku tadi sistem yang tercipta menjadi anarki dimana masing-masing negara akan berusaha mempertahankan dirinya dari ancaman pihak lain atau dapat dikatakan mengejar atau pencapaian keamanan. Dilema akan terjadi pada suatu negara karena ia merasa takut akan ancaman kekalahan dari pihak lain yang dicurigai terus mengembangkan kekuatan militernya, sehingga suatu negara A mengembangkan kekuatan militernya agar dapat mengimbangi negara B. Dan negara B yang melihat perkembangan tersebut kembali mengembangkan kekuatannya lagi sehingga kembali mengancam negara A, dan begitu seterusnya. 5 Ancaman militer menduduki inti tradisional dari keamanan nasional. Tindakan-tindakan militer dapat dan biasanya mengancam segala komponen dari negara. Ancaman ini dapat merusak sistem dari segala aspek. Tingkatan ancaman militer terhadap suatu negara bervariasi, tergantung dari apa yang menyebabkan terjadinya konflik tersebut. Mulai dari pelanggaran batas teritorial, hukuman, perebutan batas teritorial negara, invasi, sampai ancaman pembumi-hangusan sebuah negara dengan adanya blokade pengeboman. Tujuannya juga beragam, mulai dari persoalan minor seperti pelanggaran batas laut teritorial, sampai perbedaan paham yang dianut negara lain.6 Dengan demikian dapat disumpulkan bahwasanya tindakan militer yang kemudian diambil oleh 4
Ibid, Hal. 295 Buzan, Hal. 294-324 6 Ibid, hal 116-133 5
suatu Negara pada dasarnya untuk membendung ancaman militer yang dilakukan oleh Negara lain atau datang dari luar suatu Negara. Bentuk ancaman yang kemudian membuat konsespsi keamanan suatu Negara menekankan pada suatu tindakan militer yang mana telah disebutkan Barry Buzan di atas sebagai upaya pengelolaan keamanan nasional suatu Negara. 2. PERKEMBANGAN KONFLIK DAN PENGELOLAAN KEAMANAN DI LAUT CINA SELATAN Dalam konsepsi lama, keamanan
lebih diartikan sbg upaya utk menjaga keutuhan
wilayah territorial atau kedaulatan negara dari ancaman yang datang dari luar. Konflik antar negara, terutama dalam upaya memperluas wilayah jajahan membawa definisi keamanan hanya bertujuan bagaimana negara memperkuat diri dalam upaya menghadapi ancaman. Kawasan Laut Cina Selatan sepanjang dekade 90-an menjadi primadona isu keamanan dalam hubungan internasional di ASEAN pasca perang dingin. Kawasan ini merupakan wilayah cekungan laut yang dibatasi oleh Negara besar dan kecil seperti Cina, Vietnam. Philipina, Malaysia, Burma,dan Taiwan. Dalam cekungan ini terdapat kepualauan Spratly dan kepulauan Paracel pada berbagai kajian tentang konflik di laut cina selatan kepualauan Spratly lebih mengemuka karena melibatkan beberapa Negara ASEAN sekaligus, sementara kepulauan Paracel hanya melibatkan Vietnam dan Cina. Sejak awal dekade 90-an hingga saat ini, Cina telah menjadi salah satu dari sepuluh importer minyak terbesar di dunia. Predikat ini yang kemudian dengan sendirinya membuat Cina harus selalu berusaha untuk mendapatkan suplai minyak dari luar negeri dalam hal jumlah agar perekonomian Cina tetap berjalan dan berkembang pesat. Kandungan minyak dan gas di kawasan ini membuat keterlibatan Cina dalm konflik di kawasan ini tak terelakan. Menurut perkiraan Cina, kawasan Laut Cina Selatan memiliki kandungan minyak tidak kurang dari 105 hingga 213 milyar barel. Sementara itu perkiraan U.S. Geological Survey kandungan minyaknya tidak lebih dari 28 milyar barel. Disamping itu, kawasan Laut Cina Selatan juga dikenal dengan ikan yang merupakan sumber gizi penduduk di sekitarnya. Ditinjau dari hasil lautnya yang melimpah kawasan Laut Cina Selatandiperkirakan mampu menyediakan kebutuhan protein bagi satu milyar penduduk Asia, atau paling tidak 500 juta penduduk kawasan pantai. Mengingat ikan merupakan sumber makanan dari alam yang selalu diproduksi maka konflik di kawasan ini pun
tak dapat di elakan lagi. Kawasan Laut Cina Selatan juga merupakan jalur strategis karena lebih dari empat riu kapal melewati jalur tersebut setiap tahunnya. Disamping itu, kawasan ini juga merupakan jalur utama kapal-kapal minyak dari Timur Tengah yang mensuplai kebutuhan minyak Jepang. Sebaliknya, Jepang juga membutuhkan keamanan kawasan tersebut karena merupakan jalur utama bagi kapal-kapalnya yang mengangkut barang-barang produksi Jepang menuju Asia, Timur Tengah, dan Eropa.7 Dengan demikian konflik di Laut Cina Selatan tidak bisa dilepaskan dari persoalanan ekonomi yakni kebutuhan akan sumber daya yang langka seperti minyak ikan, dan sampai tingkat transportasi akan pendapatan ekonomi dengara yang ada di kawasan tersebut. Akan tetapi, Minyak menjadi incaran utama karena hingga saat ini perebutan untuk mendapatkan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui ini tidak dapat dilepaskan dari konflik militer bahkan invasi militer sebagaimana invasi Amerika ke Iraq tahun 2003.. Konflik di Laut Cina Selatan telah dimulai sejak akhir abad ke 19 ketika Inggris mengeklaim kepulauan Spratis diikuti oleh Cina pada awal abad ke 20 dan Perancis sekitar tahun 1930-an. Disaat berkecemakuan Perang Dunia II Jepang mengusir Perancis dan mengguanakan kepualauan Spratly sebagai basis kapal selam. Dengan berakhirnya PD II Cina, Perancis kembali mengeklaim kawasan tersebut dan diikuti oleh Philipina yang membutuhkan sebagian kawasan tersebut sebagai bagian dari kepentingan keamanan nasionalnya. Sejak 1970 klaim terhadap kawasan tersebut meningkat pesat sejalan dengan perkembangan di bidang penemuan dan hukum internasional. Perkembangan pertama menyangkut ditemukannya ladang minyak yang diperkirakan cukup banyak dikawasan tersebut berdasarkan survey geology yang dilakukan para peneliti dari perusahaan Amerika dan Inggris. Penemuan ini sudah tentu membuat harga kepualauan dan pulau kecil serta batu karang dikawan tersebut meroket perkembangan kedua, berkaitan dengan ditetapkanya zona ekonomi ekslusif (EEZ) sepanjang 200 mil laut bagi setiap Negara berdasarkan ketentuan dan UNCLOS (United Nation Confrence on tle law of the sea ).8 Dengan perkembangan ini yang kemudian membuat terbukanya peluang untuk memanfaatkan dan mengeksploitasi kawasan Laut Cina Selatan. Mulai dari klaim pulau,
7
Bambang Cipto, Hubungan Internasional di Asia Tenggara Teropong Terhadap Dinamika, Kondisi Riil dan Masa Depan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010. Hal. 204-205 8 Ibid. loc. Cit. Hal. 205-206
kepulauan, hingga karang di kawasan tersebut merupakan dampak dari perkembangan hukum internasional yang membuat Cina, Vietnam, Philipina, Malaysia kemudiann berlomba-lomba untuk mengklaim karena letak geografisnya Negara-negara tersebut sebagai mana Laut Cina Selatan. Persaingan dalam proses pernyataan hak diatas berkembang menjadi konflik milter khususnya Cina dan Vietnam tahun 1974 dan 1988. Cina bahkan secara terbuka mendirikan bangunan yang diserati dengan sistem komunikasi canggih plus tempat pendaratan helikopter. Perkembangan ini menunjukan dengan jlas besarnya kepentingan Cina di kepulauan Spratly. Perseteruan Cina dan Vietnam lebih disebabkan oleh isu tambang minyak. Sementara konflik antara Cina dan Philipina lebih disebabkan oleh persaingan dalam perebutan hasil ikan di kawasan tersebut.9 Besarnya potensi konflik di Laut Cina Selatan khususnya berkaiatan dengan kepualaun Spratly secara perlahan lahan mendapat perhatian ASEAN. Indoneisa merupakan Negara yang mempraktisikan pembahasan tentang kepulauan Spratly melalui rangkaian workshop yang diselengarakan dijakarta atas dukungan Kanada antara tahun 1991. Pada mulanya pertemuan ini hanya melibatkan keenam anggota ASEAN, pendekatan ini kurang memberikan dampak efektif bagi upaya menemukan solusi atas konflik di kepulauan Spartly dalam pertemuan selanjutnya Cina, Vietnam dan Taiwan mulai dilibatkan dengan harapan akan menghasilkan sesuatu yang lebih kongkret. Sementara itu dalam pertemuan di Manila 1992, ASEAN mengeluarkan pernyataan yang bertujuan untuk membantu mengeluarkan mengendalikan instabilitas kawasan tersebut. Dalam pernyataan tersebut dikatakan bahwa masing-masing Negara yang terlibat diharapkan untuk menahan diri dan mengutamakan cara-cara damai dalam menyelesiakan persoalan yang ada. Dalam perkembangan ASAN juga berhasil mebujuk Cina untuk menempatkan konflik laut cina selatan dalam agenda ARF dan menyelenggarakan konsultasi multirateral tahuan berkaitan dengan isu isu keamanan tkonflik laut china selatan. 10 Konflik Laut Cina Selatan yang juga melibatkan langsung beberapa negara anggota ASEAN, menjadi prioritas perhatian ASEAN dalam bidang politik-keamanan terutama pasca perang dingin. Konsep keamanan yang berkembang di kawasan Asia Tenggara merupakan green 9
Bambang Cipto. Hal. 207 Ibid. Hal. 207-208
10
isu mengingat setelah berakhirnya Perang Dingin kompleksitas permasalahan menjadi lebih didasarkan pada rivalitas negara-negara anggota itu sendiri yang juga mempengaruhi atau menjadi penentu utama hubungan internasional di kawasan tersebut. Pembentukan ASEAN Regional Forum (ARF)
sebagai upaya dari ASEAN untuk menghadapi persoalan ini.
Berakhirnya perang dingin juga ditandai dengan adanya peningkatan belanja senjata antar negara anggota sebagai konsep keamanan untuk melindungi ancaman dari kekuatan negara-negara adidaya, baik itu Amerika, Unisoviet dan lain sebagaianya. PEMBENTUKAN ASEAN REGIONAL FORUM (ARF) Mengingat persoalan sesungguhnya menyangkut isu yang sangat peka maka rangkaian workshop di selenggarakan oleh negara-negara anggota ASEAN yang mana memfokuskan pada upaya untuk membangun kepercayaan bersama (confidence building measures). Oleh karena itu pembicaraan yang dilakukaan diarahkan untuk menciptakan kerjasama dalam menangani persoalan-persoalan kolektif walaupun persoalan sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari konflik militer. Pembentukan ASEAN Regional Forum (ARF) merupakan salah satu upaya workshop yang dilakukan untuk menangani persoalan yang terjadi di kawasan tersebut. ARF merupakan forum pertemuan para menteri luar negeri dari dua negara yang terdiri dari 10 anggota ASEAN plus mitra dialog baik negara besar maupun negara menengah. ARF bertujuan untuk menciptakan ruang dialog dan konsultasi konstruktif bagi para partisipan masing-masing. Sesuai dengan tujuan tersebut kegiatan utama ARF adalah pengembangan tradisi confidence-building measures (CBM), yang diikuti dengan preventive diplomacy (PD), dan diharapakan kelak akan mampu mengembangkan kapasitas resolusi konflik. Lebih jauh dapat dikatakan bahwasanya ARF adalah tanggapan ASEAN terhadap situasi keamanan Asia Tenggara pasca Perang Dingin.11 Pembentukan ARF tahun 1994 menunjukan adanya perubahan orientasi ASEAN dari cara pandang ekslusif menuju pandangan inklusif dalam urusan manajemen organisasi regional. Perubahan orientasi ini didahului oleh perkembangan pemikiran dan diplomasi di kawasan Asia Tenggara dan sekitarnya.
11
Bambang Cipto. Hal. 209
Perkembangan pertama diawali oleh prakarsa diplomasi Indonesia. Segera sesudah berakhirnya Perang DIngin Indonesia memprakarsai serangkaian workshop tentang konflik di Laut Cina Selatan. Pada awal workshop hanya anggota ASEAN yang berpartisipasi. Pada tahapan ini Cina memang tidak dilibatkan walaupun semua peserta menyadari bahwa Cina paling berpotensi dalam perkembangan konflik di kawasan tersebut. Namun pembicaraan isu yang sedemikian peka nyaris tidak mungkin berkembang tanpa melibatkan negara lain yang ikut dalam konflik tersebut. Pada tahapan workshop berikutnya Cina, Taiwan, dan Vietnam dilibatkan dengan harapan akan mempermudah pencarian titik temu dari peredaan pendapat di antara para claimant di Laut Cina Selatan. Prakarsa Indonesia ini kemudian disempurnakan dengan pernyataan ASEAN tahun 1992 di Manila berkaitan dengan konflik di Laut Cina Selatan dengan menghimbau negara-negara anggotanya untuk menahan diri dari penggunaan kekuatan militer dalam penyelesaian konflik tersebut. Perkembangan kedua berkaitan dengan penutupupan panggkalan militer Amerika Serikat di Asia Tenggara. Tahun 1992 Amerika Serikat menutup pangkalan militernya di Philipina setelah senat Philipina menolak pembaruan perjanjian berbasis militer antara Phlipina dan Amerika Serikat.12 Hal ini tentu merupakan sinyal kuat bagi ASEAN untuk memikirkan sungguh-sungguh manajemen keamanan di tingkat regional yang selama ini kurang mendapat perhatian serius. Karena persoalan perjanjian berbasis militer dengan membangun pangkalan militer di kawasan Asia Tenggara akan berpotensi mengundang negara-negara lain untuk masuk ke wilayah tersebut untuk membangun pangkalan militer di kawasan tersebut yang mana. Sebagaimana tujuan awal dari di bentuknya ARF yang didasarkan pada pemikiran bahwasanya bukan untuk melandasi kerja sama militer tapi lebih kepada sarana bagi Negara-negara anggota dalam melakukan dialog dan konsultasi yang konstrukif. Namun, persoalan yang kemudian terjadi di Laut Cina Selatan menunjukan dengan jelas, betapa ARF kurang efektif dalam menyelesaikan persoalan yang berkembang dikawasan sekitarnya. Konflik Philipina-Cina adalah sala satu persoalan yang memperkuat asumsi tentang kelemahan ARF dalam menemukan jalan keluar atas konflik yang berkembang di kawasan ASEAN. Segera sesudah ARF terbentuk sebuah insiden pecah di kawasan Laut Cina Selatan. Awal tahun 1995 seorang nelayan Philipina menyatakan melihat sebuah bangunan yang 12
Bambang Cipto. Hal 209-2011
dilengkapi alat komunikasi didirikan di Mischief reef yang jauh memasuki kawasan yang diklaim Philipina. Insiden ini mendorong pemerintah Philipina untuk membicarakan agresifitas Cina dalam forum ASEAN (ARF). Sekalipun demikian hingga 1998 tak ada sinyal bahwa ARF akan mengambil keputusan efektif untuk menghentikan langkah-langkah Cina yang dianggap Philipina telah mengancam keamanan nasionalnya. Pertemuan para menteri luar negeri ASEAN tahun 1995 dan 1996 hanya mengingatkan anggota ARF menahan diri dan mengutamakan damai sesuai dengan Deklarasi ASEAN tentang Laut Cina Selatan tahun 1992. Kunjungan Menteri Luar Negeri Ali Alatas ke Beijing juli 1995 lebih banyak membicarakan kasus overlapping Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan Cina. Di Laut Cina Selatan. Malaysia bahkan menyatakan bahwa Cina lebih merupakan peluang daripada Ancaman. Kekecewaan Philipina bertambah kuat dengan insiden pendudkan dua pulau terumbu karang oleh Malaysia bulan Mei 1999. Kunjungan Menteri Luar Negeri Malaysia pada bulan yang sama ke Cina untuk menandatangani kerjasam bilateral tentang penerapan cara-cara damai dalam penyelesaian ketegangan memperkuat dugaan Philipina tentang koalisi kedua Negara yang merugikan Philipina. Rangkaian kekecewaan ini yan kemudian membuat Philipina meratifikasi kembali perjanjian keamanan (Visiting Forces Agreement) dengan Amerika yang membuat pasukan Amerika kembali mendapat akses ke wilayah Filipina.13 Kawasan Laut Cina Selatan merupakan kawasan dengan potensi konflik yang tinggi dimana banyak negara berlomba dan mengklaim wilayah tersebut. Kerawanan kawasan ini menciptakan dilema keamanan yang pada akhirnya mengancam stabilitas keamanan kawasan ASEAN. Pesoalaannya adalah ASEAN terbentur pada keharusannya untuk terlibat dalam pengelolaan konflik Laut Cina Selatan, dimana beberapa negara anggotanya terlibat disana. Sementara ASEAN juga memiliki prinsip-prinsip kemandirian yang menekankan pada ketidakberpihakkan terhadap kelompok tertentu serta tidak ikut campur dalam persolaan wilayah kelompok lain. ASEAN harus menjaga keharmonisan hubungan diantara negara-negara anggotanya, disamping harus menjaga setiap potensi konflik dari lingkungan atau kawasan yang dapat mengancam keamanan regionalnya.
13
Bambang Cipto. Hal. 214-215
PENINGKATAN BELANJA SENJATA DI ASEAN Berakhirnya Perang Dingin tidak berarti merupakan tanda bahwa isu-isu ancaman militer ASEAN telah berakhir. Dalam kenyataannya negara-negara ASEAN justru meningkatkan belanja militer masing-masing segera sesudah berakhirnya Perang Dingin. Anggota ASEAN seakan berlomba memperrsenjatai angkatan udara masing-masing dengan mengusahakan F-16/F18 (buatan Amerika), Mirage (buatan Perancis), MiG 29/Su-30 (buatan Rusia), Hawk (buatan Inggris). Untuk memperkuat angkatan laut negara-negara ASEANjuga melengkapi diri dengan pembelian kapal frigate dan kapal selam. Ada beberapa alasan mengapa ASEAN justru meningkatkan belanja militer dalam era paska Perang Dingin. Pertama, meningkatkan anggaran belanja militer ASEAN. Antara tahun 1984 hingga tahun 1994 masing-masing negara anggota ASEAN terus meningkatkan belanja militer. Kedua, pembelian persenjataan tidak lagi di fokuskan pada system persenjataan yang diarahkan untuk mengatasi konflik dalam negeri namun diarahkan untuk mengatasi konflik dalam negeri namun lebih diarahkan untuk memperkuat kemampuan perang konvesional. Ketiga, penarikan mundur pasukan Amerika di Philipina dan berakhirnya Perang Dingin menjadi pendorong lain bagi ASEAN untuk meningkatkan pembelian senjata. Keempat, meningkatnya kemampuan ekonomi dan militer Cina adalah sebab lain mengapa negara-negara ASEAN melakukan peningkat belanja militer. Kelima, undang-undang Hukum Internasional yang disepakati tahun 1892 dan diratifikasi tahun 1994 memberi hak bagi negara-negara untuk mengelola Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 200 mil laut sepanjang pantai mereka. Besarnya sumber daya yang dapat diambil dari zona khusus ini sudah tentu memerlukan kemampuan untuk mengawasi yang dengan semdirinya mengarahkan negara pada proyeksi kekuatan militer dengan peningkatan belanja senjata. Tak heran jika negara-negara ASEAN meningkatkan belanja militernya untuk mengamankan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).14 Dengan demikian, peningkatan belanja senjata yang dilakukan Negara-negara anggota ASEAN merupakan reaksi yang diterima dari stimulus dinamika konflik yang berkembang di kawasan tersebut.
14
Bambang Cipto. Hal. 218-220
BAB III PENTUP KESIMPULAN Sebagai mana yang telah banyak dijelaskan pada pembahasan diatas maka dapat penulis simpulkan bahwasanya isu keamanan tradisional yang berkembang di kawasan Asia Tenggara dalam hal ini terkait dengan konflik Laut Cina Selatan merupakan sebuah realitas mempertahankan wilayah kedaulatan masing-masing Negara yang bersengketa hal ini tidak lepas dari pada upaya untuk mempertahankan wilayah kemerdekaan oleh pihak yang bersengketa, baik itu Cina, Philipina maupun Vietnam. Kekuatan militer yang kemudian menjadi pilihan utama dalam penyelesaian konflik di Laut Cina Selatan ini merupakan sebuah upaya yang diambil untuk menjaga kedaulatan wilayahnya, namun pada akirnya Cina lebih diuntungkan karena mempunyai kekuatan militer yang lebih besar dibandingkan Philipina dan Vietnam. Konflik Laut Cina Selatan yang juga melibatkan langsung beberapa negara anggota ASEAN, menjadi prioritas perhatian ASEAN dalam bidang politik-keamanan terutama pasca perang dingin. Dilihat dari sudut pandang geopolitik, Kawasan Laut Cina Selatan merupakan kawasan dengan potensi konflik yang tinggi dimana banyak negara berlomba dan mengklaim wilayah tersebut. Kerawanan kawasan ini menciptakan dilema keamanan yang pada akhirnya mengancam stabilitas keamanan kawasan ASEAN. Pesoalaannya adalah ASEAN terbentur pada keharusannya untuk terlibat dalam pengelolaan konflik Laut Cina Selatan, dimana beberapa negara anggotanya terlibat disana. Sementara ASEAN juga memiliki prinsip-prinsip kemandirian yang menekankan pada ketidakberpihakkan terhadap kelompok tertentu serta tidak ikut campur dalam persolaan wilayah kelompok lain. ASEAN harus menjaga keharmonisan hubungan diantara negara-negara anggotanya, disamping harus menjaga setiap potensi konflik dari lingkungan atau kawasan yang dapat mengancam keamanan regionalnya.
DAFTAR PUSTAKA Buku : Cipto, Bambang. (2010), “Hubungan Internasional di Asia Tenggara” teropong terhdap dinamika, kondisi riil dan masa depan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Ebook : Buzan, Barry. (1991), “People, State and Fear: An Agenda for International Security Studies in the Post-Cold War Era”. London : Harvester WheatSheaf (https://books.google.co.id/books?id=sURLAQAAQBAJ&printsec=frontcover&hl=id#v=on epage&q&f=false) –diakses pada 24 Oktober 2015