PEMBENTUKAN NEGARA-NEGARA NASIONAL DI ASIA TENGGARA
A. Kardiyat Wiharyanto Pengantar Sebelum kedatangan bangsa Barat, Asia Tenggara menjadi ajang perebutan pengaruh antara India dan Cina. Dalam pergulatan pengaruh tersebut, pengaruh India lebih tersebar luas ketimbang Cina. Keberhasilan India tersebut tercermin dari munculnya kekuasaan besar di Asia Tenggara yang berpolakan India, yaitu Funan, Sriwijaya, dan Majapahit. Dengan masuknya Islam, kekuasaan tunggal di Asia Tenggara berakhir, yakni ditandai dengan runtuhnya Majapahit. Sejak itu Asia Tenggara dikuasai kerajaan-kerajaan kecil yang saling bertikai sehingga dengan mudah dikuasai oleh bangsa Barat. Ketika itu Asia Tenggara dikuasai oleh Inggris (Myanmar, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam), Prancis (Vietnam, Laos, dan Kamboja), Spanyol dan Amerika Serikat (Filipina), dan Belanda (Indonesia). Satu-satunya negara di Asia Tenggara yang luput dari penjajahan Barat adalah Thailand. Setelah mengalami penindasan yang cukup lama, maka lahirlah kesadaran nasional (nasionalisme) di kalangan bangsa-bangsa di Asia Tenggara. Perkembangan nasionalisme Asia Tenggara memuncak pada pembentukan negara nasional di Asia Tenggara. Perkembangan nasionalisme di Asia Tenggara itu berbeda dalam corak dan iramanya. Hal ini disebabkan oleh karena bermacam-macamnya penjajah di Asia Tenggara, bahkan ada pula bangsa yang tidak pernah dijajah. Nasionalisme di negara-negara terjajah berbeda-beda pula karena politik penjajahannya berbeda. Di samping itu, masing-masing daerah jajahan juga mempunyai karakter yang berbedabeda, baik sifat penduduk pribuminya maupun kondisi daerahnya. Meskipun pola umum nasionalisme di Asia Tenggara adalah mengusir penjajah untuk membentuk negara merdeka, namun karena adanya faktor-faktor intern dan ekstern yang berbeda-beda, maka menyebabkan corak dan irama nasionalismenya berbeda. Oleh karena itu tidak mudah pula melihat perkembangan dan pembentukan negara nasional di Asia Tenggara itu berdasarkan sejarah kawasan. Itulah sebabnya agar bisa membuat perbandingan yang lebih jelas, maka perlu dilihat perkembangan nasionalisme dan pembentukan negara-negara nasional di Asia Tenggara itu per negara. A. Filipina Nasionalisme di Filipina tergolong nasionalisme tertua di Asia Tenggara dalam arti menentang penjajahan. Hal ini disebabkan karena Filipina mendapat pendidikan modern tertua di luar Eropa. Pendidikan tersebut diselenggarakan oleh Ordo Yesuit yang berkarya di Filipina. Karya Ordo tersebut dilindungi oleh pemerintah Spanyol sebab di- nilai turut mengkonsolidasi kekuasaan pemerintah. Adapun gerakan nasional yang pertama di Filipina adalah Liga Filipina yang berdiri tahun 1880 dan dipimpin oleh Jose Rizal. Perjuangan Rizal melawan pemerintah Spanyol dipropagandakan lewat dua novelnya yakni Noli me Tangere dan El Filibusterisme.1 Drs. A. Kardiyat Wiharyanto, M.M., adalah dosen tetap pada Program Studi Pendidikan Sejarah, FKIP - Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. 1 Jose Rizal, Noli me Tangere (terjemahan), Pustaka Jaya, Jakarta, 1975, hal. 10.
Menurut Rizal, kalimat Noli me Tangere itu diambil dari kitab Injil Yohanes 20: 17, yakni dalam kalimat: Kata Yesus kepada Maria Magdalena “ Jangan engkau menyentuh Aku sebab Aku belum pergi kepada Bapa”.2 Dalam buku itu ia mngkritik pemerintah Spanyol dan Gereja di Filipina. Karena itu ia ditangkap dan disingkirkan. Namun setelah bebas kembali, ia terus melanjutkan usahanya untuk membebaskan bangsa Filipina dari penjajahan Spanyol. Sekitar tahun 1890-an gerakan nasional Filipina mulai menunjukkan sifatsifat radikal. Gerakan yang bersifat radikal tersebut berlanjut ke pergolakanpergolakan. Selama penjajahan Spanyol (1571-1898) ada sekitar 100 pergolakan melawan pemerintah kolonial itu.3 Pergolakan di Filipina yang paling keras dilakukan oleh gerakan Katipunan. Istilah Katipunan diarikan sebagai persekutuan tertinggi dan yang paling dihormati di antara putera-putera negeri. Gerakan tersebut didirikan oleh Andreas Bonifacio (seorang autodidak), namun setelah diganti Emmilio Aquinaldo, sifat revolusioner yang radikal itu dihapus diganti gerakan yang sungguh-sungguh nasionalis (1897). Aquinaldo membantu Amerika Serikat menumbangkan pemerintah Spanyol di Filipina (1898) dan memproklamasikan kemerdekaan Filipina pada tanggal 12 Juni 1898. Amerika Serikat yang menggantikan penjajahan Spanyol di Filipina tidak mengakui kemerdekaan Filipina itu tetapi justru menghancurkannya. Ternyata Amerika tidak membebaskan Filipina tetapi justru menjadi penjajah baru yang jauh lebih kuat dibanding Spanyol, sehingga perjuangan Aquinaldo gagal total. Di bawah penjajahan Amerika, nasionalisme Filipina mengubah taktik yakni meninggalkan kekerasan untuk mempengaruhi kebijakan Amerika yang memang liberal, bahkan lebih liberal dibanding Inggris. Dalam kaitan itu, maka pada tahun 1907 didirikan Partindo Nacionlista (Partai Nasionalis) dengan pimpinan Sergio Osmena, Manuel Quezon dan Manuel Roxas. Partai tersebut merupakan organisasi politik yang besar dan kompromistis. Oleh karena itu Filipina segera diberi kemudahan legislatif dan pelayanan sipil. Pada tahun 1920 terjadi krisis pergerakan nasional di Filipina terhadap Amerika, setelah Amerika berusaha menghambat emansipasi. Kaum nasionalis mempengaruhi publik lewat pers dan pentas, sementara tokoh-tokoh yang lain pergi ke Washington membujuk pemerintah Amerika dan para pemimpin Kongres agar mempercepat proses kemerdekaan Filipina. Suatu misi yang dipimpin oleh Osmena dan Roxas pada tahun 1930-an ke Amerika. Kebetulan dunia dilanda krisis ekonomi, akibatnya misi Filipina itu mendapat dukungan orang-orang yang berkepentingan ekonomi yang kuat di negeri itu. Karena itu pada tahun 1932 dibuat RUU Hare Haves Cutting yang menyatakan bahwa setelah 10 tahun menjalani masa peralihan, maka Filipina akan dimerdekakan. RUU tersebut ditolak oleh Quezon (karena yang dikirim ke Amerika bukan dia) dengan alasan adanya syarat kemudahan militer Amerika Serikat setelah merdeka berlawanan dengan harga diri nasional Filipina. Pada tahun 1934 Quezon pergi ke Amerika dan menyempurnakan RUU sebelumnya tetapi dengan jeda 12 tahun lagi Filipina merdeka, namun perubahan itu tetap mendongkrak nama Quezon yang akhirnya membawa dirinya menjadi presiden pertama pemerintah otonomi tahun 1935. Dalam masa peralihan itu meletuslah Perang Dunia II, dan Filipina jatuh ke 2
3
Dirjen Bimas Katolik Dep. Agama RI, Kitab Suci Perjanjian Baru, Amoldus, Ende, 1978/1979, hal. 255. Keith Lightfoot, The Philippines, Ernest Benn Limited, London, 1973, hal. 92.
tangan Jepang. Namun demikian para pemimpin Filipina tetap setia kepada Amerika sehingga membantu Amerika melawan Jepang. Setelah Jepang menyerah, Amerika kembali ke Filipina, namun tetap menepati janjinya yakni memberi kemerdekaan Filipina pada tanggal 4 Juli 1946 dengan Roxas sebagai presidennya. B. Myanmar Gerakan nasional Myanmar dimulai pada tahun 1906 yang ditandai dengan pembentukan YMBA (Young Man Budhis Asociation) atau Persatuan Pemuda Birma. Mula-mula organisasi tersebut bergerak dalam bidang agama dan sosial sehingga belum bercorak politik, tetapi lebih banyak bergerak dalam bidang pendidikan.4 Perkembangan nasionalisme Myanmar mulai kelihatan setelah Perang Dunia I, terutama setelah Inggris memisahkan Myanmar dari konstitusi India (Inggris). PD I cukup menggoncangkan Myanmar dan segera mendorong lahirnya kesadaran politik yang lebih nasionalistis. Hal ini ditandai dengan berlangsungnya pemogokan di universitas, dan kemudian dilanjutkan dengan perubahan YMBA menjadi GCBA (Dewan Umum Persatuan Burma) pada tahun 1921, yang merupakan organisasi politik nasionalis yang luas. Setelah gerakan nasional Burma menunjukkan tujuan politik yang jelas, maka Inggris mengubah haluan politik kolonialnya. Tahun 1923 Inggris memperkenalkan sistem Dyarchy seperti yang diterapkan di provinsi di India. Usaha Inggris itu dapat memecah GCBA dalam dua partai yaitu Partai Dua Puluh Satu yang puas dengan perubahan itu dan bersedia duduk dalam dewan perundang-undangan serta Partai U Chit Hlaing yang membela prinsip non-koperasi dan ingin berjuang untuk memperoleh konsesi baru. Dalam perkembangannya, maka muncullah tokoh-tokoh nasionalisme Myanmar seperti DR Ba Maw dari Partai Sinyetha, U Ba Pe dari Partai Dua Puluh Satu, dan U Saw dari Partai U Chit Hlaing, kemudian muncul pula Thakin Nu dan U Aung San dari Partai Thakin.5 Sekitar tahun 1930 Komisi Simon menganjurkan Myanmar pisah dari India. Semula pemisahan itu diusulkan oleh kaum nasionalis, tetapi setelah pemisahan itu diusulkan secara resmi dan didukung oleh pemerintah serta bisnis di Inggris, tibatiba kaum nasionalis curiga. Hal ini disebabkan karena para pemimpin nasionalis khawatir bahwa pemerintah Inggris menginginkan untuk mempertahankan penjajahannya di Myanmar setelah Inggris terpaksa meninggalkan India, Karena itu kaum nasionalis segera mendirikan sebuah Liga Anti Pemisahan. Karena berhasil mempengaruhi publik, maka kaum nasionalis memperoleh kemenangan setelah diadakan pemungutan suara. Untuk membalas sikap kaum nasionalis itu, Inggris melaksanakan memorandum untuk memilih pemisahan atau tetap bersatu dengan India. Setelah kaum nasionalis gagal membujuk Inggris agar menyetujui dimasukkannya Myanmar untuk sementara di dalam federasi India dengan hak mengundurkan diri, akhirnya menyetujui pemisahan (1935). Pada tahun 1935 lahir organisasi Dobama Asiayone (Kami Masyarakat Burma). Gerakan ini diilhami paham sosialis dan ajaran komunis, serta terpengaruh modernisasi Jepang.6 Karena para anggotanya saling menyebut thakin (tuan), maka partai itu juga disebut partai Thakin. Tujuan penyebutan itu adalah agar Inggris juga menyebut thakin kepada para anggota partai itu, misalnya Thakin Nu, Thakin U Aung San, dan lain-lain. Dengan demikian secara tidak langsung Inggris mengakui kedudukan yang sama dengan orang-orang Myanmar. Partai Thakin bersifat 4 5 6
F.S.V. Donison, Burma, Ernest Benn Limited, London, 1970, hal. 102. Ibid., hal. 117. Auwjong Peng Koen, Perang Pasifik 1941-1945, Keng Po, Jakarta, 1956, hal. 223.
revolusioner, tuntutannya bersifat radikal karena mereka menuntut kemerdekaan penuh bagi Myanmar. Untuk mencapai tujuannya itu, partai Thakin bersedia menerima bantuan dari manapun datangnya.7 Adapun taktik perjuangannya adalah menghidupkan kembali perhatian rakyat terhadap rasa nasionalisme dengan cara mengorganisir petani, buruh dan gerakan pemuda. Setelah tahun 1937 (setelah Myanmar mendapat otonomi yang lebih luas), maka agitasi mereka semakin meningkat dan pada tahun 1938 gerakan mereka menjadi penyebab meningkatnya gangguan menentang Inggris sehingga secara tidak langsung menjatuhkan Kabinet Ba Maw, yakni pemerintahan pertama yang dibentuk berdasarkan UUD baru. Pada saat itu perkembangan nasionalisme Myanmar berada di simpang jalan antara kelompok nasionalis moderat yang berkuasa dengan kelompok nasionalis radikal yang mencoba mencari dukungan rakyat guna merebut kepemimpinan pergerakan dari tangan politisi yang lebih tua. Akhirnya generasi muda pimpinan U Aung San berhasil merebut kepemimpinan pergerakan di Myanmar. Sehabis Perang Dunia II Inggris kembali ke Myanmar. Gerakan politik Myanmar yang dipimpin U Aung San diajak berunding tentang kemerdekaan Myanmar. Sewaktu mengadakan sidang mempersiapkan kemerdekaan Myanmar, tiba-tiba segerombolan orang bersenjata masuk dan membunuh U Aung San. Ternyata gerombolan tersebut atas suruhan U Saw, sehingga U Saw akhirnya dihukum mati. U Aung San diganti U Nu dan pada tanggal 4 Januari 1948 kemerdekaan Myanmar diproklamasikan. Pada tahun 1962 Jenderal Ne Win melakukan kudeta dan menjalankan nasionalisme yang disebut netralitas yang ketat. Kebijakan tersebut pada dasarnya adalah diktator militer, dan Myanmar menjadi negeri yang tertutup. Tahun 1988 Ne Win jatuh karena didemo oleh para mahasiswa, sehingga berlangsung pemerintahan sipil di bawah PM Maung Maung. Namun karena pemerintahan sipil tersebut tidak mampu mengatasi pemberontakan suku-suku seperti Karen, Mon, Chin, Kachin, Rohingya, akhirnya militer kembali merebut kekuasaan. Sampai akhir tahun 2008 Myanmar di bawah Jenderal Than Swe. C. Indonesia Gerakan nasional di Indonesia dimulai dengan berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908, yang sekaligus menandai lahirnya nasionalisme Indonesia yang pertama. Wadah kaum nasionalis yang pertama ini dalam perkembangannya mengalami pasang surut. Hal ini dapat kita lihat peristiwa keluarnya tokoh-tokoh radikal seperti dr Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat dari organisasi tersebut setelah Pangeran Notoprojo dari Pakualaman memegang pimpinan pada tahun 1911.8 Dalam perkembangan nasionalisme berikutnya tercatat Sarekat Islam yang moderat tetapi akhirnya menjadi radikal setelah kemasukkan Marxisme dan menjadi oposisi pemerintah (1916), dengan anggota sekitar 960 ribu orang, Sarekat Islam itu menuntut pemerintahan sendiri dan pada tahun 1919 dengan jumlah anggota 2,5 juta orang telah mencantumkan program kemerdekaan penuh.9 Selama antara setahun sampai dua tahun ada semacam kerjasama tertentu antara Sarekat Islam dan Partai Komunis (PKI). PKI itu berdiri pada tanggal 23 Mei 7 8
9
Wiyono, Sejarah Asia Tenggara Modern, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 1982, hal. 10. Robert Van Niel, Lahirnya Elite Modern Indonesia (terjemahan), Pustaka Jaya, Jakarta, 1984, hal. 94. Kahin, Nasionalism and Revolution in Indonesia, Cornel University, New York, 1975, hal. 39.
1920, dan partai inilah yang melakukan infiltrasi ke dalam tubuh Sareka Islam. Sebagai akibat infiltrasi komunis itu, maka akhirnya terjadi perbedaan pendapat yang memecah Sarekat Islam pada tahun 1921. Usaha ketua Sarekat Islam (Cokroaminoto) untuk mengembalikan Sarekat Islam gagal total.10 Sejak itu Sarekat kehilangan banyak pengikut, sementara PKI telah memberontak (1926) di Jawa Barat dan Minangkabau. Pemberontakan komunis itu dipadamkan dan PKI dilarang di Indonesia. Setelah gerakan nasional yang berdasarkan Islam dan komunis mengendor, maka muncullah gerakan nasional yang lebih nasionalistis. Dalam tahun 1927 Soekarno mendirikan PNI yang berkarakteristik agitasi kuat dan sikap nonkooperatif terhadap pemerintah Belanda. Akhirnya Belanda tidak menerima kegiatan semacam itu, karena itu PNI kemudian dibubarkan dan para pemimpinnya ditahan.11 Sewaktu di bawah Gubernur Jenderal Bonifacius de Jonge (1931-1936), politik kolonial di Indonesia berlangsung keras. Sikap keras tersebut dipertajamkan oleh krisis ekonomi yang melanda dunia. Untuk menghadapi politik keras pemerintah Belanda itu, Parindra (Partai Indonesia Raya), berusaha supaya anggotanya seluas mungkin menempati kedudukan-kedudukan di dalam kepegawaian dengan tujuan agar orang-orang Indonesia mendapat pengalaman yang luas dalam pemerintahan, sehingga di kemudian hari kalau ada kesempatan memerintah sendiri mereka sudah siap dan cakap. Kecenderungan ini tampaknya juga mempengaruhi gerakan nasional yang lain, sehingga pada masa gubernur Jenderal de Jonge, organisasi kemerdekaan di Indonesia seolah-olah kembali ke moderat, tetapi kemerdekaan tetap menjadi tujuan akhir. Reorientasi nasionalisme Indonesia itu juga tampak dalam Volksraad, di mana Thamrin aktif sejak tahun 1930-an. Walaupun begitu yang muncul bukan Thamrin tetapi seorang pamong praja yang setia yakni Sutarjo Kartohadikusumo. Pada tahun 1936 ia menyampaikan petisi yang isinya menuntut diadakannya konferensi wakil Belanda dan Indonesia, dengan tujuan merencanakan perubahan bertahap yang akan dilakukan dalam sepuluh tahun atau lebih agar daerah pemerintah swapraja sesuai dengan perkembangan, dengan batas yang ditentukan UUD Belanda. Permohonan Sutarjo itu disetujui dewan, tetapi tahun 1938 ditolak pemerintah Belanda. Kegagalan ini menyebabkan timbulnya gagasan untuk mempersatukan semua gerakan nasional di Indonesia. Partai-partai yang ada ternyata tidak bersedia melebur diri. Namun demikian partai-partai itu menyadari pentingnya persatuan, meskipun tidak dalam bentuk peleburan (fusi).12 Partai Muslim sudah bersatu dengan MIAI (Majelis Islam Alla Indonesia), tetapi persatuan ini kurang kuat. Kemudian muncul PPPKI (Permufakatan Perhimpunan Partai Kebangsaan Indonesia) yang merupakan persatuan partai dalam bentuk federasi. Tetapi federasi ini mundur setelah pemimpin-pemimpin PNI ditangkap dan PNI dibubarkan.13 Tahun 1939 Thamrin berhasil menyatukan banyak organisasi nasionalis, termasuk yang berdasarkan Islam, yakni dalam GAPI (Gabungan Politik Indonesia) yang sekaligus menuntut Indonesia berparlemen. 14 Kondisi perjuangan nasional Indonesia sampai meletusnya Perang dunia II 10
11 12 13 14
Ernest Utrecht, The Muslim Marchant Class in Indonesia, Social Compass XXXI/1, Belgia, hal. 31. G. Moedjanto, Indonesia Abad ke-20, Jilid I, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1988, hal. 59-60. Jan Pluvier, op. cit., hal. 86. G. Moedjanto, op. cit., hal. 61. Jan Pluvier, op. cit., hal. 87.
tidak banyak berubah karena pada dasarnya pemerintah Belanda enggan melepaskan Indonesia dari kekuasaannya. Dengan demikian bangsa Indonesia memasuki masa Perang Dunia II dengan perasaan kecewa terhadap Belanda, karena tidak mau mengerti aspirasi rakyat Indonesia akan kemerdekaan. Karena itu ketika Jepang menguasai Indonesia, para pemimpin pergerakan tidak melawan, tetapi menunggu dan melihat situasi. Pada masa pendudukan Jepang, gerakan nasional Indonesia tidak padam tetapi secara diam-diam terus menggalang kekuatan yang tersamar. Para pemimpin pergerakan seolah-olah mau bekerjasama dengan Jepang, namun mereka menggunakan organisasi-organisasi yang didirikan Jepang untuk melanjutkan perjuangan mencapai kemerdekaan. Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu (14 Agustus 1945), para pemimpin pergerakan nasional mempersiapkan kemerdekaan, dan pada tanggal 17 Agustus 1945 kemerdekaan Indonesia diproklamirkan. Saat proklamasi itu sangat tepat karena Sekutu belum datang dan Jepang sudah menyerah, sehingga pemindahan kekuasaan dapat diselenggarakan dengan saksama. Dengan demikian terbentuklah negara nasional di Indonesia. D. Indocina Seperti di daerah-daerah lain di Asia Tenggara, maka akhirnya nasionalisme di Indocina dibidani oleh kaum intelegensia yang telah mengenyam pendidikan Barat. Gerakan nasional di Indocia dipelopori oleh bangsa Vietnam, sebab penduduknya paling besar dan punya nasionalisme tradisional (kebiasaan mengusir penjajah dari Cina). Gerakan nasional yang tertua di Vietnam adalah Vietnam Restoration League (1907) oleh Cong De. Kemudian disusul berdirinya Vietnam Quak Dan Dang yang nanti memimpin pemberontakan kaum nasionalis tahun 1930. Keduanya gerakan non-komunis yang sering terlibat konflik intern. Konflik-konflik itu banyak makan korban, sehingga kurang menarik hati rakyat. Para pemimpinnya cenderung akan menjadikan Vietnam sebuah negara model Barat.15 Akibat pemberontakannya tahun 1930, gerakan nasionalisme Vietnam ditindas dengan kejam oleh Prancis. Sisa-sisa gerakan tersebut tinggal kelompokkelompok komunis yang militant. Pada tahun 1930 itu pula Nguyen Ai Quoc mengumpulkan kelompok-kelompok komunis itu dan dibentuk menjadi Partai Komunis Indocina.16 Nguyen Ai Quoc lalu berganti nama Ho Chi Minh (pencari kecerahan). Sedangkan nama kecilnya adalah Nguyen Tat Tanh dan lahir di Kim Lien, tanggal 19 Mei 1890.17 Seperti pemimpin-pemimpin pergerakan nasional di Indocina sebelumnya, maka Ho Chi Minh termasuk pemimpin nasionalis yang mengenyam pendidikan Barat. Dengan demikian jelaslah bahwa nasionalisme Vietnam tumbuh dan berkembang setelah Prancis mendirikan sekolah-sekolah di Vietnam.18 Dalam perjuangannya, Ho Chi Minh menemukan teman-teman dekatnya seperti Pham Van Dong dan Vo Nguyen Giap. Tokoh-tokoh Vietnam yang menjadi tangan kanan Ho Chi Minh kebanyakan pernah dipenjarakan oleh Prancis di pulau Condore. Di bawah Ho Chi Minh, gerakan komunis di Vietnam berkembang pesat. Faktor yang mempercepat perkembangan komunis di Vietnam terutama masalah 15 16
17 18
Depdikbud, op. cit., hal. 19. Sardiman A.M., Kemenangan Komunis Vietnam dan Pengaruhnya terhadap Perkembangan Politik di Asia Tenggara, Liberty, Yogyakarta, 1983, hal. 11. Hassan Shadily, op. cit., hal. 1323. Stanley Karnow, Vietnam, The Viking Press, New York, 1975, hal. 97.
sosial ekonomi. Propaganda yang dilakukan pihak komunis terbukti dapat menyentuh hati rakyat, yakni perjuangan untuk mengentaskan mereka dari kemiskinan. Setelah Perang Dunia II berakhir, Ho Chi Minh memproklamasikan kemerdekaan Vietnam pada tanggal 2 September 1945, tetapi Vietnam Selatan diduduki Prancis. Karena itu Republik Vietnam pimpinan Ho Chi Minh disebut Vietnam Utara sedangkan Vietnam Selatan dijadikan negara boneka Prancis. Meskipun sudah dibentuk Vietnam Utara (komunis) dan Vietnam Selatan (pro Barat), namun perang Prancis-Vietnam terus berkobar. Dalam pertempuran di Dien Bien Phu tahun 1953, Prancis menderita kekalahan besar dan membawa masalah Vietnam ke Perjanjian Jenewa (1954) . Perjanjian tersebut mengakui lahirnya negara-negara nasional di Indocina, yaitu Vietnam Utara, Vietnam Selatan, Laos dan Kamboja sebagai negara yang merdeka penuh. Di sisi lain, hasil perjanjian itu memberi peluang bagi Vietnam Utara untuk menguasai Vietnam Selatan. Dengan bantuan Rusia dan Cina, Vietnam Utara terus menekan Vietnam Selatan yang didukung Amerika Serikat. Akhirnya Amerika Serikat mengundurkan diri dari Vietnam Selatan sehingga dengan mudah Vietnam Utara mencaplok Vietnam Selatan pada tahun 1975. Sejak itu Indocina hanya terdiri dari negara-negara Vietnam, Laos dan Kamboja yang kesemuanya berpaham komunis. E. Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam Paham modern yang dihembuskan oleh pemerintah kolonial Inggris terhadap Malaya diterima secara tidak merata oleh ketiga etnis penghuni jazirah Melayu itu. Kecenderungan elite intelektual yang ingin mengadakan modernisasi dan antara ketiga etnis besar (Melayu, Cina, dan India), terutama difokuskan ke masyarakatnya sendiri. Nasionalisme orang Cina dan India dikaitkan dengan perkembangan politik di India dan di Cina. Orang Melayu setia kepada kerajaankerajaan Melayu, mereka menentang kedudukan imigran Asia terutama Cina, bahkan kurang mempedulikan daerahnya yang diduduki Inggris. Kecenderungan reformis di Melayu tersebut merupakan ungkapan partikularisme komunal dan bukannya nasionalisme Melayu. Pola kesetiaan etnis ini dan kontras rasial sukar dinetralkan. Satu hal yang dapat menimbulkan gerakan nasional yang mencakup semua etnis adalah sistem kolonialisme yang dibentuk Inggris dan selalu mengecewakan mereka sehingga dapat membantu ketiga etnis untuk mendirikan front yang dipersatukan. Kondisi-kondisi itulah yang merupakan salah satu faktor perkembangan nasionalisme Melayu lambat. Pemerintah kolonial Inggris bisa memahami dengan cermat susunan masyarakat feodal di Malaya. Inggris juga mengerti bahwa orang-orang Melayu itu lebih membenci orang-orang Cina dari pada Inggris. Orang-orang Melayu takut kalau kemudian hari orang Cina dan India menguasai mereka. Karena itu Inggris terus berusaha melindungi posisi orang Melayu dengan cara memberikan posisi khusus pada mereka. Pemberian posisi khusus kepada orang-orang Melayu itu memberikan kesan bahwa satu-satunya yang mampu menjamin atau melestarikan masyarakat Melayu hanyalah Inggris, dan perlindungan seperti itu cukup untuk mencegah orang-orang Melayu memberontak pemerintah kolonial Inggris. Sementara itu usaha Inggris memberi kondisi dan kesempatan kepada pembangunan ekonomi secara besar-besaran membuat orang Cinapun tetap tidak menentang kekuasaan Inggris. Keberatan mereka adalah masalah diskriminasi terhadap hak khusus dan pernyataan orang Melayu bahwa Malaya adalah sebuah negeri Melayu.
Namun, selama orang Cina diperbolehkan bekerja di bidang ekonomi tanpa campur tangan, maka orang-orang Cina itu hampir tidak memperlihatkan perhatian apapun kepada perkembangan politik di Malaya dan mereka tidak memandang bahwa keluhan mereka merupakan motif cukup kuat untuk melawan pemerintah kolonial. Pertimbangan yang sama memberikan kondisi kepada sikap orang India yang merupakan sebuah kelompok yang tidak cukup penting menurut jumlah, untuk mengubah imbangan. Masalah demokrasi dewan perwakilan dan kemerdekaan kurang mendapatkan perhatian di Malaya. Jika kebetulan ada sedikit orang intelektual yang kebanyakan orang-orang Eurasia kadang-kadang Cina, dengan cara yang berbeda mengajukan materi ini untuk dibicarakan. Mereka tidak mendapat tanggapan dari masyarakat umum maupun pemimpin politik. Persimpangan jalan perkembangan nasionalisme Malaya tidak hanya ditambah oleh perbedaan etnis, tetapi di kalangan orang-orang Melayu sendiri terdapat perbedaan konsep hari depan Malaya. Para Sultan merasa lebih aman di bawah Inggris sebab mereka khawatir kalau setelah Malaya merdeka akan kehilangan kekuasaaannya. Sementara itu tokoh lain seperti Jacob Ibrahim, berkeinginan agar jajahan Belanda (Indonesia) dengan jajahan Inggris (Malaya) dikemudian hari dijadikan satu menjadi Indonesia Raya dan Melayu Raya sehingga bangsa Melayu akan menjadi bangsa yang besar di Asia Tenggara. Sedangkan Datuk Onn bin Jaafar ingin membentuk Negara Malaya yang mencakup ketiga etnis dengan Melayu sebagai pemegang kekuasaan politik. Perang Dunia II, dengan apendiksnya Perang Pasifik, di mana militerisme Jepang dapat menggoncangkan status quo kekuasaan Barat di seluruh Asia Tenggara, meneruskan katalisatornya yang luar biasa terhadap militansi nasionalisme rakyat di Asia Tenggara. Meskipun demikian perubahan yang dilaksanakan oleh Jepang itu tidak banyak pengaruhnya terhadap gerak nasionalisme di Malaya. Itulah sebabnya, Malaya tergolong lambat perkembanya nasionalismenya. Di bawah pimpinan Tengku Abdul Rahman, Malaya pada tanggal 31 Agustus 1957 memperoleh kemerdekaannya. Singapura dan Brunei Darussalam adalah juga bekas rumpun jajahan Inggris di Malaya. Namun sewaktu Malaya merdeka tanggal 31 Agustus 1957 sebagai PTM (Persekutuan Tanah Melayu), Singapura dan Brunei tidak ikut merdeka. Setelah PTM berkembang menjadi Malysia (16 Sepetember 1963), Singapura bergabung dengan Malaysia tetapi Brunei tetap menjadi protektorat Inggris. Semula Singapura berpendapat apabila ia berdiri sendiri sebagai negara pulau kecil yang terletak di daerah yang strategis, maka akan merasa sulit untuk mempertahankan diri. Namun setelah masalah ras semakin kian memanas di Malaysia, di mana ras Cina banyak dibatasi, maka Singapura yang mayoritasnya Cina merasa terancam. Karena itu pada tanggal 9 Agustus 1965 Singapura di bawah Perdana Menteri Lee Kuan Yew memisahkan diri dari Malaysia, dan Singapura berdiri sendiri sebagai negara republik. Kini Singapura tidak takut akan kekecilannya, tetapi justru memanfaatkan kekecilannya untuk maju. Sementara itu raja Brunei yang ditolak oleh Malaysia untuk menjadi Raja Malaysia, akhirnya tidak mau bergabung dengan Malaysia. Setelah melalui berbagai perundingan dengan Inggris, pada tanggal 1 Januari 1984 Brunei memproklamasikan kemerdekaannya. Gerakan nasional di Singapura dan Brunei memang tidak sehebat di Indonesia maupun di Vietnam, namun proses nasionalisme tetap ada, yang akhirnya terwujud sebagai negara nasional Singapura dan Brunei Darussalam. Walaupun
kedua negara tersebut, baik luas tanahnya maupun jumlah penduduknya relatif kecil, namun tetap mempunyai kedudukan yang sama dalam ASEAN. F. Muangthai (Thailand) Nasionalisme dilancarkan oleh raja dan para bangsawan (golongan konservatif), bertujuan untuk mempertahankan kemerdekaan negeri itu dari ancaman bangsa Barat. Karena itu nasionalisme Thailand terwujud dalam diplomasi dan modernisasi. Dengan demikian nasionalismenya tidak bertujuan mengusir penjajah untuk membentuk negara merdeka, melainkan mempertahankan kemerdekaan dengan jalan memajukan bangsa lewat diplomasi dan modernisasi. Pelaksanaan nasionalisme lewat diplomasi bertujuan untuk menjaga Thailand agar jangan jatuh ke tangan bangsa Barat. Karena itu politik diplomasi Thailand adalah berusaha jangan sampai keijakan Thailand dapat dijadikan alasan bagi bangsa-bangsa Barat untuk menyerang Thailand. Itulah sebabnya di samping membina hubungan baik dengan Inggris, Thailand juga membina hubungan baik dengan Amerika Serikat, Denmark (1858), Belanda (1860), dan Prusia (Jerman). Di samping Inggris, bangsa Barat yang paling berbahaya bagi kemerdekaan Thailand adalah Prancis. Untuk mencegah ancaman Prancis, raja Thailand menghapus sama sekali hak-hak istimewa orang Inggris di Thailand, misalnya orang Inggris bebas berdagang di Thailand. Hal tersebut dilakukan agar tidak menimbulkan keirihatian Prancis sehingga dijadikan alasan menyerbu Thailand. Walaupun hak-hak istimewa Inggris itu sudah ditukar dengan Malaya, namun Inggris dan Prancis tetap menekan Thailand. Pada tahun 1896 kedua bangsa Barat itu sepakat untuk menempatkan Thailand sebagai Negara pemisah antara kekuasaan Inggris di Myanmar dan Prancis di Indocina. Dengan demikian kedua negara Barat itu sungguh-sungguh menghormati bahkan menjaga kedaulatan Thailand. Sewaktu Jepang mulai mengancam Thailand, maka pada tahun 1898 raja Chulalongkorn mengadakan perjanjian dengan negeri matahari terbit itu. Sedangkan untuk menghindari bangsa Barat yang lain, maka dalam Perang Dunia I Thailand memihak Sekutu sehingga negeri itu benar-benar terhindar dari ancaman bangsa Barat. Dalam rangka untuk mengimbangi kemajuan bangsa Barat maupun Jepang, Thailand melancarkan modernisasi di segala bidang, terutama politik dan militer. Tindakan yang pertama yaitu menghapus nama Siam (1939) yang biasa digunakan banyak negara untuk menyebut Thailand atau Muangthai. Adapun alasan penggantian nama tersebut karena Siam diartikan sebagai bangsa budak, sedangkan Muangthai berarti negerinya orang-orang bebas.19 Proses modernisasi Thailand dimulai oleh raja Mongkut dan sekaligus sebagai perintis pelaksanaan pendidikan Barat. Mongkut inilah yang dikenal sebagai peletak dasar atau perintis modernisasi Muangthai.20 Upaya modernisasi pemerintahan (politik), keuangan dan pendidikan mengandung unsur strategis yang lebih luas bertujuan melestarikan kemerdekaan dan persatuan Thailand dengan memperkuat kemampuan negeri itu untuk menanggulangi segala kemungkinan yang dapat terjadi dari perkembangan baru di wilayah yang berdekatan.21 Modernisasi Thailand mencapai puncaknya pada masa pemerintahan raja 19
20
21
Budiono Kusumohamidjojo, Asia Tenggara Dalam Perspektif Netralitas dan Netralisme, PT Gramedia, Jakarta, 1985, hal. 50. John Bastian dan Harry Benda, A History of Modern South East Asia,Federal Publication SDNBHD, Kualalumpur, 1968, hal. 43. Roeslan Abdulgani, Asia Tenggara di Tengah Raksasa Dunia, Lembaga Pembangunan, Jakarta, 1978, hal. 25.
Chulalongkorn (1868-1910). Dengan adanya modernisasi itu, maka absolutisme sedikit demi sedikit ditinggalkan, rakyat makin dilibatkan dalam pemerintahan, serta demokrasi semakin dikibarkan. Pada masa pemerintahannya, ia melakukan pembaharuan besar-besaran. Ia mengorganisasi pemerintahan dengan menghapus kekuasaan raja-raja lokal. Raja-raja itu diangkat menjadi pegawai negeri dan pemerintahan disentralkan.22 Adapun upaya untuk membentuk Thailand yang demokratis, maka dibentuklah UUD (1874). UUD tersebut bertujuan untuk membatasi kekuasaan raja yang bersifat absolute, sehingga lahirlah monarki konstitusional. Sepeninggal Chulalongkorn (1910), irama modernisasi tersendat. Penggantinya, Vajiravudh yang lulusan Universitas Cambrigde dan pernah dinas militer Inggris, tidak mau melanjutkan modernisasi. Ia selalu mengambil keputusan sendiri dan mengangkat pejabat dari orang-orang yang disukainya, sehingga terjadi pemborosan dan korupsi yang dilakukan oleh kelompoknya. Absolutisme dibangkitkan kembali. Meskipun banyak kelemahan, Vajiravudh memiliki keunggulan juga. Ia berusaha keras meletakkan sistem hukum seperti yang digunakan bangsa Barat. Pada tahun 1921 ia memberlakukan wajib belajar di tingkat SD, dilanjutkan dengan mendirikan Universitas Chulalongkorn, dan membangun sekolah-sekolah berasrama. Di bidang sosial budaya, ia memerintahkan rakyatnya menggunakan nama keluarganya. Kepada kaum wanita diperintahkan untuk menggunakan model rambut orang Eropa serta rok sebagai ganti pakaian model Thailand yang tertutup rapat yang dinilai mengganggu kegesitan kerja. Organisasi Palang Merah didirikan pula dan mempopulerkan sepak bola. Ditilik dari semua kebijaksanaan yang dilakukan, maka dapat dilihat bahwa selama masa pemerintahannya, Vajiravudh melakukan tindakan yang serba kontradiktif. Di satu sisi dia membiarkan berlangsungnya praktek pemborosan anggaran negara, korupsi, tindak tidak bertanggung jawab dari aparatnya, mengembalikan absolutisme, dan peniadaan dewan penasehat. Namun di pihak lain ia melakukan reformasi sosial yang bersifat penyadaran kepada rakyatnya atas hakhak yang dimilikinya. Dengan kata lain, reformasi sosial yang dilakukan Vajiravudh pada hakekatnya suatu usaha untuk meletakkan dasar bagi terciptanya suatu cara pikir dan sekaligus mentalitas masyarakat modern. Sepeninggal Vajiravudh, Thailand diperintah adik bungsunya, Prajadhipok (1925-1935). Ketika itu krisis ekonomi mulai melanda dunia, sehingga Thailand kesulitan keuangan. Ia mencari bantuan ke Inggris dan Prancis, tetapi gagal. Karena itu ia lalu mengurangi pegawai istana dari 3000 orang menjadi 300 orang, pegawai negeri dan militer juga dirasionalisasi dengan pemotongan gaji sehingga mengecewakan banyak pihak. Sedangkan uang yang ada digunakan untuk membangun stasiun radio, pangkalan udara Dong Muang, dan kebijakan lain yang berpihak rakyat. Namun kelompok yang dipotong gajinya merasa terpukul dan jumlah kalangan yang kecewa semakin besar. Kelompok yang kecewa terhadap pemerintah terdiri dari kaum intelektual pimpinan Pridi Banomyong dan kelompok militer muda pimpinan Phibun Songgram, keduanya menamakan diri kelompok revolusioner. Ketidakpuasan di kalangan kaum revolusioner yang berpendidikan Barat, elite birokrasi dan pemerintahan dan kepemimpinan angkatan bersenjata yang lebih muda meningkat selama tahun-tahun krisis dunia, sehingga dengan dukungan militer pada tanggal 24 Juni 1932, Pridi melakukan revolusi tak berdarah. Revolusi Thailand tahun 1932 itu berhasil memaksa raja untuk menerima 22
Charles F. Keyes, Thailnad, Weetview Press, inc. Colorado, AS, 1967, hal. 52.
konstitusi baru yang menghilangkan hak-hak prerogatif raja (kecuali hak memberi pengampunan), kedaulatan penuh di tangan rakyat dengan ditentukan adanya lembaga-lembaga kenegaraan yaitu raja, kabinet dan parlemen. Untuk melunakkan kaum konservatif (pendukung raja), Pridi tidak mengangkat dirinya menjadi perdana menteri tetapi yang diangkat Phya Manomakorn (seorang revolusioner tetapi tidak teribat kudeta 1932). Dalam perkembangannya, pemerintahan Manumakorn makin konservatif, sebab mulai mengembalikan kekuasaan prerogatif raja, lalu menuduh Pridi sebagai komunis dan membuangnya ke luar negeri. Ketika itu paham komunis memang sudah masuk Thailand yang disusupkan oleh agen Cina. Kelompok komunis Thailnad ini menganut paham Marxisme dan Leninisme.23 Sewaktu akan membersihan angkatan bersenjata dari unsur-unsur radikal, ia justru dikudeta oleh militer pimpinan Phya Bahol (Phahon) yang kemudian memerintah Thailand 1933-1938, tetapi bersifat otoriter dan anti komunis. Tahun 1938 ia dikudeta oleh Phibun Songgram. Pemerintahannya bersifat anti Cina dan komunis, serta agresif. Setelah PD II undang-undang anti komunis dihapuskan agar Thailand tidak diveto Uni Soviet masuk PBB (1948). Kesimpulan Setelah mengikuti pembahasan tentang pembentukan negara-negara nasional di Asia Tenggara, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Bangsa Filipina yang memiliki nasionalisme tertua di Asia Tenggara, ternyata tidak serta merta berhasil membentuk negara nasional lebih awal jika dibanding dengan bangsa-bangsa di Asia Tenggara yang lain. Hal ini disebabkan karena sistem kolonial Amerika Serikat yang liberal (paling liberal atau lebih liberal dari pada Inggris). Apalagi bangsa Filipina sangat percaya akan janji kemerdekaan yang diberikan oleh Amerika Serikat. Karena begitu percayanya, maka hari kemerdekaannya pun akhirnya juga disamakan dengan hari kemerdekaan AS, yakni 4 Juli. 2. Bangsa-bangsa yang menghadapi penjajah yang kolot (Spanyol, Prancis, dan Belanda) terbukti lebih cepat merdeka. Bangsa Filipina menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 12 Juni 1898, tetapi tidak berhasil menegakkan dan mempertahankan kemerdekaannya itu, sehingga akhirnya kembali dijajah bangsa Barat. Bangsa Indonesia berhasil menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 dan berhasil pula menegakkan dan mempertahankan kemerdekaannya, sehingga merupakan bangsa di Asia Tenggara yang pertama kali berhasil merebut kemerdekaannya dari penjajah. 3. Bangsa yang dijajah oleh penjajah yang kolot, ternyata setelah merdeka sulit berkembang akibat warisan penjajah (Indonesia, Vietnam, Laos, Kamboja, Filipina). Sebaliknya, bangsa yang dijajah oleh penjajah liberal cepat berkembang (Singapura, Malaysia). Myanmar, meski dijajah oleh penjajah liberal, tapi karena selalu melawan penjajah, maka setelah merdeka juga sulit berkembang.
Daftar Pustaka Auwjong Peng Koen, Perang Pasifik 1941-1945, Keng Po, Djakarta, 1956.
23
Ross Prizzia, Thailand in Transition, University of Hawai Press, USA, 1985, hal. 137.
Bastin, John dan Benda, Herry, A History of Modern South East Asia, Federal Publication SDN-BHD, Kualalumpur, 1986. Budiono Kusumohamidjojo, Asia Tenggara Dalam Perspektif Netralitas dan Netralisme, PT. Gramedia, Jakarta, 1985. Dirjen Bimas Katolik Dep. Agama RI, Kitab Suci Perjanjian Baru, Percetakan Arnaldus, Ende, 1978/1979. Donnison, F.S.V., Burma, Ernest Benn Limited, London, 1970. Ernest Utrecht, The Muslim Merchant Class in Indonesia, Sosial Compass XXXI/1, Belgia, 1984. Kahin, Nasionalism and Revolution in Indonesia, Cornell University Press, New York, 1975. Karnaw, Stanley, Vietnam a History, The Niking Press, New York, 1975. Keyes, Charles F. , Thailand, weetview Press, Inc., Colorado, AS, 1987. Leightfoot, Keith, The Philippines, Ernest Benn limited, London, 1973. Moedjanto, G., Indonesia Abad ke-20, jilid I, Cetakan I, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1988. Niel, Robert van, Munculnya Elite Modern Indonesia (terjemahan), Pustaka Jaya, Jakarta, 1984. Pluvier, Jan, South East Asia from Colonialism to Independence, Oxford University of Hawai Press, USA, 1985. Rizal, Jose, Noli me Tangere (terjemahan), Pustaka Jaya, Jakarta, 1975. Roeslan Abdulgani, Asia Tenggara di Pembangunan, Jakarta, 1978.
Tengah
Raksasa Dunia, Lembaga
Ropssprizzia, Thailand ini Transition, Universioty of Hawai Press, USA, 1985. Sardiman AM, Kemenangan Komunis Vietnam dan Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Politik di Asia Tenggara, Liberty, Yogyakarta, 1973. Wiyono, Sejarah Asia Tenggara Modern, Jur.Pensej, IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta, 1982.