III. METODELOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kota Bandar Lampung yang merupakan tempat kedudukan Ibukota Provinsi Lampung. Secara Geografis, posisi Provinsi Lampung memiliki kedudukan yang strategis karena merupakan pintu gerbang dari Jawa menuju provinsi-provinsi di Sumatera dan sebaliknya merupakan pintu gerbang dari provinsi di Sumatera menuju propinsi-propinsi di Jawa melalui jalur darat. Kedekatannya dengan Jakarta yang didukung sarana dan prasarana transportasi yang memadai memungkinkan tingginya mobilitas penduduk Kota Bandar Lampung.
KOTA BANDAR LAMPUNG
Bandar Lampung
Sumber: Peta Rencana Kawasan Lindung, Pemda Kota Bandar Lampung 2003
Gambar 1 Peta lokasi penelitian.
20
3.2 Kerangka Penelitian Ruang terbuka hijau (RTH) merupakan salah satu unsur lansekap kota yang secara ekologis memiliki peran penting memelihara keseimbangan dan daya dukung lingkungan perkotaan.
Menurut Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 63 Tahun 2002 Tentang Hutan Kota, Ruang Terbuka Hijau (RTH) wilayah perkotaan adalah ruang di dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk areal memanjang/jalur atau mengelompok yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, berisi hijau tanaman atau tumbuhtumbuhan yang tumbuh secara alami atau tanaman budidaya. Ruang terbuka hijau meliputi ruang-ruang di dalam kota yang sudah ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayah perkotaan (RTRWP). Perkembangan yang terjadi pada berbagai bidang pembangunan telah menyebabkan kebutuhan lahan semakin meningkat, termasuk kebutuhan RTH. Akan tetapi, ketersediaan RTH justru semakin berkurang.
Areal-areal yang
diperuntukkan bagi RTH banyak beralih fungsi menjadi jalan, permukiman, pasar dan bangunan lainnya. sementara
Mengingat kebutuhan lahan semakin meningkat,
ketersediaan
pemanfaatan lahan secara
lahan
semakin
berkurang,
maka
diperlukan
lebih efisien, yaitu meningkatkan fungsi lahan
tersebut tanpa menghilangkan fungsi utamanya. Peningkatan fungsi RTH tanpa mengurangi fungsi utamanya adalah dengan memanfaatkannya untuk konservasi keanekaragaman jenis pohon dan penyimpanan karbon. Salah satu upaya konservasi keanekaragaman hayati, khususnya pohon, adalah melindungi sebanyak-banyaknya spesies pohon, terutama yang terancam punah agar tidak punah. Kegiatan tersebut bersifat strategis karena ancaman terhadap kepunahan berbagai spesies pohon semakin meningkat.
Ruang
terbuka hijau dapat ditingkatkan perannya bagi konservasi keanekaragaman jenis pohon dengan menggunakannya sebagai arboretum atau kebun koleksi yang juga dapat berfungsi sebagai bank biji (benih) spesies bernilai konservasi tinggi. Untuk itu diperlukan suatu metoda atau rumusan yang dapat digunakan untuk menentukan nilai konservasi suatu komunitas RTH. Pengetahuan tentang nilai tersebut selanjutnya dapat dijadikan sebagai dasar dalam menentukan upaya-upaya yang perlu dilakukan bagi peningkatan peran RTH dalam konservasi keanekaragaman jenis pohon. Peran RTH sebagai penyimpan karbon (carbon sink) juga bersifat strategis mengingat pada umumnya kawasan perkotaan merupakan tempat yang emisi 21
CO2-nya paling tinggi.
Selain dari respirasi manusia, CO2 bersumber dari
berbagai kegiatan yang menggunakan bahan bakar minyak (BBM) sebagai sumber energi, misalnya kendaraan bermotor, industri, pembangkit listrik, dan aktivitas rumah tangga.
Pohon merupakan penyimpan karbon yang efektif
karena dapat bertahan lama, puluhan bahkan ratusan tahun.
Selama pohon
masih berdiri hidup maka karbon akan tersimpan dalam jaringan kayu. Karbon tersebut dapat tersimpan dalam bentuk jaringan pada pohon yang bernilai konservasi tinggi. Untuk mengetahui jumlah karbon yang tersimpan dalam pohon atau komunitas di suatu RTH diperlukan metode pengukuran yang bersifat nondestruktif, sehingga jumlah karbon yang tersimpan dapat dimonitor dari waktu ke waktu tanpa harus menebang pohon tersebut. Metoda pendugaan jumlah Rosot karbon pada pohon yang telah digunakan secara luas adalah metoda allometrik (Brown 1997).
Secara ringkas, kerangka penelitian nilai konservasi
keanekaragaman dan rosot karbon pohon pada ruang terbuka hijau disajikan pada Gambar 2. 3.3 Lingkup dan Batasan Penelitian 3.3.1 Lingkup Penelitian Wilayah penelitian ini mencakup wilayah administrasi Kota Bandar Lampung dengan luas wilayah 19.215 ha. Objek penelitian ini adalah ruang terbuka hijau (RTH) yang terdapat di seluruh wilayah kota.
Ruang terbuka hijau tersebut
dikelompokkan menjadi dua, yaitu berbentuk area (pith/district) yang terdiri atas taman kota, hutan kota, dan perbukitan dan berbentuk jalur (corridor) yang terdiri atas jalur hijau jalan, sempadan sungai, sempadan pantai (Gambar 3).
Data
lengkap RTH di Kota Bandar Lampung disajikan pada Lampiran 1. 3.3.2 Batasan Penelitian 1) Pengertian konservasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengertian yang sempit, yaitu perlindungan spesies pohon di luar habitat aslinya (eksitu), dalam hal ini di areal RTH, untuk menjaga kelestarian spesies tersebut. 2) Keanekaragaman jenis pohon yang terdapat dalam RTH diukur dengan menggunakan nilai indeks keanekaragaman yang meliputi Indeks Kekayaan Jenis (Species Richness), Indeks Keanekaragaman (Diversity Indices = Heterogenity Indices), dan Indeks Kemerataan Jenis (Species Evennes). 22
Ruang Terbuka Hijau
Area
Jalur
Penentuan Metoda Penilaian Konservasi Komunitas
Analisis Vegetasi RTH Analisis Jumlah Rosot karbon
Analisis Keanekaragaman
Analisis Indeks Konservasi (IK)
Jumlah Rosot karbon
Parameter Keanekaragaman
Nilai Konservasi
Analisis Nilai Konservasi Keanekaragaman Jenis dan Rosot Karbon Pohon Ruang Terbuka Hijau Kota Gambar 2 Kerangka penelitian konservasi keanekaragaman jenis pohon dan penyimpanan karbon pada ruang terbuka hijau kota.
3) Nilai RTH dalam penyimpanan karbon diukur dengan menggunakan jumlah Rosot karbon dalam pohon penyusun RTH. Untuk menentukan nilai peran RTH dalam penyimpanan karbon jumlah Rosot karbon dibandingkan dengan jumlah potensial karbon yang dapat disimpan. 4) Ruang Terbuka Hijau (RTH) wilayah perkotaan adalah ruang di dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk areal memanjang/jalur atau mengelompok, dimana penggunaannya lebih bersifat terbuka, berisi vegetasi tanaman atau tumbuh-tumbuhan yang tumbuh secara alami atau tanaman budidaya. Dalam penelitian ini RTH mencakup areal yang oleh Perda Nomor 4 Tahun 2004 tentang Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Kota Bandar Lampung ditetapkan sebagai RTH, areal yang ditetapkan sebagai hutan kota, sempadan jalan, sempadan sungai, dan sempadan pantai.
23
Peta Penyebaran RTH Hutan Kota, Bukit dan Lereng di Kota Bandar Lampung
HK. Way Halim
Jl.Sultan Agung
G. Kucing
Bkt. Langgar
G. Sukajawa
Bkt. Kelutum Jl. Soekarno-Hatta Jl. Radin Intan Jl. Gatot Subroto
Jl. M. Noer
Taman Dipangga Jl. Laks. Malahayati
Jl. Teuku Cikditiro Pantai Panjang Pantai Lempasing
Sumber: Peta Rencana Kawasan Lindung, Pemda Kota Bandar Lampung 2003
Gambar 3 Peta lokasi pengambilan sampel RTH.
5) Hutan Kota adalah areal RTH di wilayah kota Bandar Lampung yang vegetasinya
didominasi
oleh
pohon
dan
atau
arealnya
ditetapkan
peruntukannya untuk hutan kota oleh Pemerintah Daerah dalam bentuk peraturan daerah. 6) Konservasi keanekaragaman jenis pohon adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah punahnya suatu jenis pohon atau mengusahakan agar suatu jenis pohon
tidak
punah
sehingga
keanekaragaman
jenis
pohon
dapat
dipertahankan. 7) Jumlah Rosot karbon dibatasi pada tumbuhan yang hidup dan berada di permukaan tanah (above ground), tidak mencakup bahan organik mati (serasah) maupun karbon yang terdapat dalam organisme dan bahan organik di dalam tanah. 8) Marga tunggal adalah marga yang di wilayah penelitian dalam satu familinya hanya ditemui satu marga, sedangkan spesies tunggal adalah spesies di 24
wilayah penelitian yang dalam satu marganya hanya ditemui satu spesies; marga jamak adalah marga yang dalam satu familinya ditemukan lebih dari satu marga, sedagkan spesies jamak adalah spesies yang dalam satu marganya ditemukan lebih dari satu spesies. 9) Spesies pohon budidaya adalah spesies yang sudah biasa dibudidayakan dan atau teknik pembiakannya sudah dikuasai, sedangkan spesies nonbudidaya adalah spesies yang belum biasa dibudidayakan (liar). 10) Spesies pohon endemik adalah spesies endemik Sumatera sebagaimana terdaftar dalam Tree Flora of Indonesia Check List for Sumatera (Whitmore dan Tantra 1986), sedangkan spesies non endemik adalah spesies yang tidak termasuk dalam dalam daftar sebagai spesies endemik Sumatera. 11) Spesies pohon dilindungi adalah spesies pohon yang dilindungi berdasarkan Surat
Keputusan
Menteri
Pertanian
Nomor
54/Kpts/Um/1972,
Surat
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 261/Kpts-IV/1990, dan atau Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999. 3.4 Penentuan Nilai Konservasi Komunitas Seperti telah dijelaskan, pengertian konservasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengertian yang sempit, yaitu perlindungan suatu spesies pohon dari kepunahan.
Meffe and Carroll (1994) menyatakan bahwa secara
konseptual spesies merupakan salah satu faktor yang memainkan peran penting dalam
konservasi.
Perlindungan
tersebut
dilakukan
dengan
melakukan
pengembangbiakan di luar habitat aslinya, dalam hal ini di areal RTH kota. Perlindungan difokuskan pada spesies pohon endemis dan kelestariannya terancam. Spesies tersebut dianggap bernilai konservasi tinggi sehingga perlu mendapatkan prioritas untuk ditanam dan dikembangbiakan. Kumpulan spesies yang ditanam di areal RTH kota akan membentuk dan menentukan nilai konservasi komunitas tumbuhan (vegetasi) RTH kota tersebut. Dalam penelitian ini, nilai konservasi komunitas RTH kota diukur dengan pendekatan nilai indeks yang menunjukkan tingkat kepentingan relatif suatu komunitas ditinjau dari aspek konservasi. Nilai indeks tersebut didasarkan pada endemisme (endemis atau non-endemis), dan faktor-faktor yang dianggap berpengaruh terhadap laju kepunahan spesies, yaitu status (dilindungi atau tidak dilindungi), sifat (tunggal atau jamak), dan keliaran (budidaya atau non-budidaya) spesies penyusun vegetasi tersebut.
Nilai tersebut selanjutnya disebut indeks konservasi (Ik). 25
Makin tinggi nilai indeks konservasi suatu komunitas menunjukkan makin banyaknya spesies penyusun komunitas tersebut yang merupakan spesies prioritas untuk dilindungi atau dalam komunitas tersebut terdapat spesies yang bernilai konservasi tinggi.
Indeks konservasi ini akan relevan jika digunakan
untuk menilai vegetasi buatan, dalam hal ini RTH kota, karena komunitas alami umumnya terdiri atas spesies endemis dan non-budidaya. Endemisme spesies Spesies endemis adalah spesies yang ditemukan di suatu wilayah dan tidak ditemukan di wilayah yang lain (Meffe and Carroll 1994).
Walaupun
demikian, lebih lanjut Meffe and Carroll (1994) menyatakan bahwa batasan wilayah tersebut belum terdefinisi dengan baik. Sebagai contoh, semua spesies mahluk hidup endemis di bumi. Shukla and Chandel (1982) menyakatan bahwa berdasarkan distribusinya, suatu spesies mungkin bersifat endemis benua, negara, propinsi, regional atau lokal (terbatas pada lembah, bukit, pulau dll.) Menurut Krcmar-Nozic et al. (2000) tekanan antropogenik yang meliputi pertumbuhan penduduk, pencermaran udara, perubahan iklim, modifikasi habitat, dan fragmentasi ekosistem akibat pembukaan lahan terus menekan keberadaan spesies endemis.
Selain itu, tekanan terhadap spesies endemis yang juga
sangat penting berasal dari invasi spesies eksotik (Van Houten et al., 2000). Manusia telah banyak membantu invasi spesies eksotik dengan mengatasi berbagai hambatan fisik yang secara alami sulit ditembus (Krcmar-Nozic et al., 2000) terutama oleh tumbuhan. Oleh karena itu, dalam penentuan spesies yang akan dikonservasi, spesies asli (endemis) harus lebih mendapat prioritas dibandingkan dengan spesies non endemis (MacKinnon et al. 1993) dan menurut UNEP (1993) salah satu cara perlindungan spesies flora adalah dengan mengendalikan spesies eksotik. Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan spesies endemis adalah spesies endemis pulau Sumatera (Whitmore and Tantra, 1986) (Lampiran 2). Ditinjau dari aspek endemisme nilai spesies dikategorikan kedalam dua kelompok, yaitu spesies endemis (nilai 2) dan spesies non endemis (nilai 1). Indeks konservasi komunitas berdasarkan endemise merupakan total Log Natural (LN) nilai masing-masing spesies tersebut dibagi dengan total terbesar LN nilai yang mungkin terjadi, yaitu jumlah spesies (N) kali LN2 (NLN2). Dalam
26
rumus matematika sederhana indeks nilai komunitas berdasarkan endemisme spesies dapat dinyatakan sebagai berikut: N
N End =
∑ LNEnd
i
i =1
NLN2
dalam hal ini: NEnd = Nilai relatif komuitas berdasarkan endemisme spesies Endi = nilai endemisme spesies ke i N
= jumlah spesies yang menjadi anggota komunitas
LN = log natural Status Spesies Akibat berbagai aktivitas manusia, populasi beberapa jenis pohon telah mengalami kelangkaan, bahkan beberapa jenis pohon sudah terancam punah. Di Indonesia, upaya menjaga keberadaan atau kelestarian suatu jenis pohon antara lain adalah dengan sistem perlindungan. Sampai saat ini di Indonesia terdapat setidaknya 47 spesies (23 Family) pohon dilindungi.
Sistim
perlindungan yang dilakukan adalah dengan membatasi diameter minimum yang boleh ditebang. Pembatasan ini dimaksudkan agar pohon yang ditebang dapat dijamin telah beregenerasi atau menghasilkan keturunan.
Daftar jenis-jenis
pohon yang dilindungi di Indonesia disajikan pada Tabel 2. Berdasarkan statusnya, nilai konservasi spesies pohon dikelompokkan kedalam dua kategori, yaitu dilindungi (nilai 2) dan tidak dilindungi (nilai 1). Indeks konservasi komunitas berdasarkan status merupakan total LN nilai masing-masing spesies tersebut dibagi dengan total terbesar LN nilai yang mungkin terjadi, yaitu jumlah spesies (N) kali LN2 (NLN2).
Dalam rumus
matematika sederhana indeks nilai komunitas berdasarkan status spesies dapat dinyatakan sebagai berikut: N
N Sts =
∑ LNSts
i
i =1
NLN2
dalam hal ini: NSts = Nilai relatif komunitas berdasarkan status spesies Stsi = nilai status spesies ke i N
= jumlah spesies yang menjadi anggota komunitas
LN = log natural
27
Tabel 2. Jenis-jenis pohon dilindungi di Indonesia Spesies 1)
Afzalia bijuga 1) Agathis labilladieri 1) Aleurites triloba 1) Arenga pinnata 1) Azadirachta indica 1) Caesalpinia sappan 1) Cinnamomum burmanii 1) Cinnamomum culilawan 1) Cordia subcordata 1) Cudrania conchinchinensis 1) Dalbergia latifolia 1) Diospyros celebica 1) Dipterocarpus spp 1) Dryobalanops aromatica 1) Duabanga moluccana 1) Durio zibethinus 1) Dyera costulata 1) Eucalyptus alba 1) Eucalyptus deglupta 1) Eusideroxylon zwageri 1) Exoecaria agalocha 1) Fragarea fragrans 1) Ganua motleyana 1) Manilcara cauki 1) Myristica argentea 1) Palaquium burckii 1) Palaquium gutta 1) Palaquium leicarpum 1) Palaquium walsuraefolium 1) Protium javanicum 1) Pterospermum celebicum 1) Santalum album 1) Scorodocarpus bornnensis 2),3) Shorea beccariana 2),3) Shorea lepidota 2),3) Shorea macrantha 2),3) Shorea macrophylla 2),3) Shorea mexistopteryx 2),3) Shorea Palembanica 2),3) Shorea pinanga 2),3) Shorea seminis 2),3) Shorea singkawang ,3) Shorea splendida 2),3) Shorea stenoptera 1) Styrax bemzoin 1) Timonius sericeus
Family
Dilarang menebang pohon
PAPILIONACEAE ARAUCARIACEAE EUPHORBIACEAE ARACACEAE MELIACEAE CAESALPINIACEAE LAURACEAE LAURACEAE BORRAGINACEAE EUPHORBIACEAE PAPILIONACEAE EBENACEAE DIPTEROCARPACEAE DIPTEROCARPACEAE SONERATIACEAE BOMBACACEAE APOCYNACEAE MYRTACEAE MYRTACEAE LAURACEAE EUPHORBIACEAE LOGANIACEAE SAPOTACEAE SAPOTACEAE MYRISTICACEAE SAPOTACEAE SAPOTACEAE SAPOTACEAE SAPOTACEAE BURCERACEAE STERCULIACEAE SANTALACEAE OLACACEAE DIPTEROCARPACEAE DIPTEROCARPACEAE DIPTEROCARPACEAE DIPTEROCARPACEAE DIPTEROCARPACEAE DIPTEROCARPACEAE DIPTEROCARPACEAE DIPTEROCARPACEAE DIPTEROCARPACEAE DIPTEROCARPACEAE DIPTEROCARPACEAE STYRACACEAE RUABIACEAE
Diameter < 60 cm Diameter < 50 cm Diameter < 50 cm Diameter < 40 cm Diameter < 50 cm Diameter < 10 cm Diameter < 25 cm Diameter < 25 cm Diameter < 50 cm Diameter < 10 cm Diameter < 50 cm Diameter < 60 cm Diameter < 50 cm Diameter < 60 cm Diameter < 60 cm Diameter < 60 cm Diameter < 60 cm Diameter < 40 cm Diameter < 40 cm Diameter < 60 cm Diameter < 25 cm Diameter < 50 cm Diameter < 30 cm Diameter < 45 cm Diameter < 30 cm Diameter < 30 cm Diameter < 50 cm Diameter < 30 cm Diameter < 40 cm Diameter < 60 cm Diameter < 30 cm Diameter < 50 cm Diameter < 50 cm
Diameter < 30 cm Diameter < 40 cm
Keterangan: 1)
Dilindungi berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 54/Kpts/Um/1972 2) Dilindungi berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 261/Kpts-IV/1990 3) Dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 Sumber: Noerdjito M dan Maryanto I. (Eds.). 2001
28
Sifat Spesies (Tunggal atau Jamak) Secara teori, semakin kecil suatu marga atau family, semakin besar kesenjangan antar suku tersebut dengan suku terdekatnya, sehingga makin berbeda pula kelompok spesies tersebut dengan kelompok spesies lainnya. Oleh karena itu, spesies yang merupakan satu-satunya wakil dalam family tersebut (monotipyc) harus mendapat prioritas untuk dilindungi dibanding spesies yang merupakan bukan satu-satunya atau spesies politipyc (MacKinnon et al, 1993). Dalam Ensiklopedia Wikipedia ("http://en.wikipedia.org/wiki/Monotypic" tanggal kunjungan 20 September 2006) dinyatakan bahwa Monotipyc adalah suatu sifat yang mengacu pada kelompok taksonomi yang hanya memiliki satu tipe. Dalam bidang Botani monotipyc berarti taksa yang hanya memiliki satu spesies; Ginkgo adalah
genus monotypic, sementara Ginkgoaceae adalah famili monotypic.
Oleh karena itu, famili Ginkgoceae dan genus Ginkgo ini memiliki nilai konservasi yang tinggi. Mengacu pada pengertian tersebut, dalam penelitian ini digunakan istilah spesies atau genus tunggal dan spesies atau genus jamak. Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan marga dan atau spesies tunggal adalah marga atau spesies yang ditemui di wilayah penelitian yang merupakan anggota satu-satunya dari suatu famili, sedangkan marga dan atau spesies jamak adalah marga dan atau spesies yang bukan merupakan anggota satu-satunya dari suatu famili.
Marga dan spesies tunggal memiliki nilai
konservasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan marga dan spesies jamak. Berdasarkan sifat ini, nilai suatu spesies dikategorikan kedalam spesies tunggal jika famili yang ditemui hanya memiliki satu marga dan dalam satu marga tersebut hanya ditemui satu spesies; spesies ini diberi nilai dua (2). Spesies jamak dibagi menjadi dua kategori, yaitu 1) jika famili yang ditemui beranggotakan lebih dari satu marga dan marga yang bersangkutan memiliki satu spesies, spesies tersebut diberi nilai 1,5; dan 2) jika famili yang ditemui memiliki lebih dari satu marga dan marga yang bersangkutan memiliki lebih dari satu spesies, spesies tersebut diberi nilai. Indeks konservasi komunitas berdasarkan sifat merupakan total LN nilai masing-masing spesies tersebut dibagi dengan total terbesar LN nilai yang mungkin terjadi, yaitu jumlah spesies (N) kali LN2 (NLN2).
Dalam rumus matematika sederhana indeks nilai
komunitas berdasarkan sifat spesies dapat dinyatakan sebagai berikut:
29
N
NSft =
dalam hal ini: NSft Sfti N LN
= = = =
∑ LNSft
i
i =1
NLN2
Nilai relatif komunitas berdasarkan sifat spesies nilai sifat spesies ke i jumlah spesies yang menjadi anggota komunitas log natural
Keliaran (Wilderness) Spesies Pada umumnya, spesies yang telah dibudidayakan kelestariannya lebih dapat
dijamin
dibanding
dengan
spesies
yang
masih
liar.
Manusia
membudidayakan suatu spesies pohon umumnya karena telah mengetahui dan atau merasakan manfaatnya atau mengharapkan suatu manfaat yang dapat diperoleh dari spesies tersebut, misalnya manfaat ekonomi, lingkungan (ekologis), atau keindahan (psikologis).
Oleh karena itu, spesies yang telah
dibudidayakan umumnya mudah ditemukan dimana-mana. Sedangkan spesies liar pada umumnya manfaatnya atau teknik budidayanya belum diketahui, karenanya
masyarakat
umum
belum
membudidayakannya
dan
jarang
ditemukan. Olfield (1989) menyatakan bahwa upaya konservasi ex-situ perlu diprioritaskan pada spesies yang dalam beberapa generasi tidak dapat survive tanpa bantuan dari manusia. Berdasarkan pertimbangan tersebut, nilai konservasi spesies berdasarkan keliarannya dikategorikan kedalam spesies nonbudidaya (nilai 2) dan spesies budidaya (nilai 1).
Penentuan spesies
berdasarkan keliarannya didasarkan pada Nailola (1986) dan pengetahuan penulis berdasarkan pengalaman dan pengamatan. Indeks konservasi komunitas berdasarkan status merupakan total LN nilai masing-masing spesies tersebut dibagi dengan total terbesar LN nilai yang mungkin terjadi, yaitu jumlah spesies (N) kali LN2 (NLN2).
Dalam rumus matematika sederhana indeks nilai
komunitas berdasarkan keliaran spesies dapat dinyatakan sebagai berikut: N
NKlr =
dalam hal ini: NKlr Klri N LN
= = = =
∑ LNKl
i
i =1
NLN2
Nilai relatif komunitas berdasarkan keliaran spesies nilai keliaran spesies ke i jumlah spesies yang menjadi anggota komunitas log natural 30
Masing-masing faktor penentu nilai tersebut (Endemisme, Status, Sifat, dan Keliaran) tentu memiliki bobot yang berbeda terhadap indeks konservasi (Ik). Oleh karena itu diperlukan penentuan bobot yang proporsional, tergantung pada nilai pentingnya. Penentuan bobot didasarkan pada prinsip bahwa, makin langka atau makin jarang ditemui spesies tersebut makin penting untuk dilindungi untuk menjaga kelestariannya dengan cara menanam atau mengembangkannya di kawasan RTH. Di dalam komunitas, hal ini ditunjukkan oleh jumlah nilai faktor penentu nilai konservasi (Endemisme, Status, Sifat, dan Keliaran), makin kecil jumlah nilai menunjukan jumlah spesies yang bernilai 2 semakin sedikit sehingga dalam memilih jenis yang akan dikonservasi perlu mendapatkan prioritas. Secara rinci, cara penentuan bobot bagi masing-masing faktor penentu nilai konservasi disajikan pada Lampiran 3. Berdasarkan cara penentuan seperti yang disajikan pada Lampiran 3, diperoleh bobot masing-masing faktor adalah sebagai berikut: Endemisme (0,3), Status (0,3), Sifat (0,2), dan Keliaran (0,2). Selanjutnya indek N
∑ LNEnd
0,3
konservasi komunitas adalah
ii
N
∑ LNSts
+ 0,3
i =1
ii
N
∑ LNSft
+ 0,2
i =1
ii
N
∑ LNKl
+ 0,2
i =1
ii
i =1
4
dengan kisaran antara 0 (nol) s.d. 1 (satu). Nilai indeks tersebut selanjutnya dibagi menjadi empat kategori yaitu 0 ≤ Ik ≤ 0,25 rendah, 0,26 < Ik ≤ 0,50 sedang, 0,51 < Ik ≤ 0,75 tinggi, dan 0,76 ≤ Ik sangat tinggi. 3.5 Data yang Dikumpulkan dan Metoda Pengumpulan dan Pengolahannya Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang dibangkitkan karena belum tersedia. Pembangkitan data dilakukan melalui observasi, inventarisasi, pengukuran dan penghitungan, dan wawancara. Data sekunder adalah data yang telah tersedia pada berbagai sumber, antara lain Data Statistik Pemerintah Daerah atau instansi terkait, literatur (tulisan ilmiah) atau Laporan Penelitian, peta atau rujukan lainnya. Data sekunder diperoleh dengan cara mengutip langsung dan menyebutkan sumbernya. Data primer yang dikumpulkan meliputi data vegetasi pada berbagai RTH (hutan kota, jalur hijau jalan, jalur hijau sungai, dan jalur hijau pantai). Inventarisasi pada vegetasi sampel meliputi pencatatan spesies, penghitungan kerapatan (jumlah individu) masing-masing spesies, dan pengukuran diameter batang setinggi dada. Data primer lainnya adalah kondisi umum di sekitar areal 31
pengamatan serta yang berkaitan dengan pendapat atau persepsi masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar RTH yang diamati. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi data kondisi umum kota Bandar Lampung (kondisi fisik dan kondisi sosial ekonomi) serta data kondisi umum RTH di kota Bandar Lampung. Kondisi umum RTH mencakup luas, distribusi menurut wilayah administratif, penggunaan lahan RTH saat ini, serta gambaran mengenai kondisi umum jalur hijau jalan, sungai dan pantai. Data yang diperoleh diolah dengan metoda tabulasi dengan bantuan komputer. 3.5.1 Populasi dan Contoh Penelitian Populasi penelitian adalah ruang terbuka hijau (RTH) yang terdapat di Kota Bandar Lampung sebagai suatu kesatuan yang terdiri atas unit-unit areal RTH. Berdasarkan bentuknya, unit areal RTH tersebut dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu berbentuk area (pitch) dan berbentuk jalur. Areal RTH berbentuk area terdiri atas perbukitan, hutan kota, dan taman kota.
Ruang terbuka hijau
berbentuk jalur terdiri atas jalur hijau (sempadan) jalan, sempadan sungai, dan sempadan pantai. Penentuan contoh dilakukan secara terarah (purposive) didasarkan pada prinsip keterwakilan bentuk dan letak geografi. Untuk contoh RTH berbentuk area diambil 6 unit contoh, meliputi empat perbukitan, satu hutan kota dan satu taman kota. Penyebaran unit contoh di lapangan dapat dilihat pada Gambar 1. Untuk sampel RTH berbentuk jalur diambil tujuh (7) jalur sempadan jalan, yaitu Jalan Soekarno Hatta, Jalan M. Noer, Jalan Gatot Subroto, Jalan Sultan Agung, Jalan Radin Intan, Jalan Laksamana Malahayati, dan Jalan Teuku Cik Ditiro; empat (4) jalur sempadan sungai (way), yaitu Way Halim, Way Kuripan, Way Sukoharjo, dan Way Simpur;
serta dua (2) jalur sempadan pantai yaitu Pantai
Panjang dan Pantai Lempasing. Sebagai vegetasi pembanding kondisi keanekaragaman jenis pohon digunakan vegetasi yang relatif alami dan terdekat dengan Kota Bandar Lampung. Untuk vegetasi contoh digunakan suatu bagian dari vegetasi di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rahman yang kondisinya mendekati hutan primer.
32
3.5.2
Teknik Inventarisasi Pohon Inventarisasi jenis pohon di areal RTH berbentuk area dilakukan dengan
menggunakan metoda jalur berpetak. Pada masing-masing areal pengamatan dibuat satu jalur selebar 20 m yang memotong bagian tengah areal.
Jalur
tersebut dibagi menjadi bagian-bagian masing-masing sepanjang 20 m sehingga masing-masing bagian jalur tersebut membentuk petak segi empat berukuran 20 m x 20 m. Secara keseluruhan jalur memanjang tersebut menjadi jalur berpetak seperti dapat dilihat pada Gambar 4.
Arah jalur 1
2
3
4
5
20 m
Gambar 4 Jalur berpetak untuk inventarisasi jenis-jenis pohon RTH berbentuk area. Untuk inventarisasi pohon di sepanjang sempadan jalan dan sungai petakpetak tunggal berukuran 20 m x 20 m ditempatkan secara sistematis dengan jarak antar petak 60 m.
Sampel sempadan pantai berupa jalur memanjang
(seperti pada Gambar 3) dari garis pantai ke arah darat dengan lebar 20 meter sampai pohon terjauh. Jarak maksimal dari pantai adalah 100 m. Untuk masingmasing sampel pantai dibuat lima (5) jalur. Setiap individu pohon yang masuk dalam petak dan berukuran diameter batang ≥ 5 cm dicatat nama dan diukur diameter batangnya.
Pengukuran
diameter batang dilakukan pada ketinggian 140 cm dari permukaan tanah. Petak petak yang tidak berpohon dengan diameter ≥ 5 cm dinyatakan sebagai petak kosong. Pengukuran diameter batang pohon yang kurang dari 10 cm dilakukan dengan menggunakan kaliper dan yang lebih dari 10 cm dengan menggunakan phi-band.
33
Untuk mengetahui perbedaan jumlah Rosot karbon pada pohon dan tumbuhan bawah berdasarkan intensitas penutupan tajuk, dari masing-masing lokasi (kecuali Taman Dipangga) diambil 3 petak sampel berukuran 20 m x 20 m. Kriteria penutupan tajuk yang digunakan adalah tipe vegetasi rapat (penutupan tajuk >70%), tipe vegetasi sedang (penutupan tajuk < 40%), dan tipe vegetasi jarang (penutupan tajuk < 40%).
Dari Taman Dipangga tidak dilakukan
pengambilan contoh berdasarkan penutupan tajuk karena arealnya sempit dan tidak terdapat perbedaan penutupan tajuk berdasarkan kriteria tersebut. Pada petak berukuran 20 m x 20 m dibuat tiga buah petak contoh tumbuhan bawah berukuran 1 m x 1 m. Pengambilan contoh tumbuhan bawah dilakukan secara destruktif, seluruh tumbuhan bawah yang terdapat dalam petak berukuran 1 m x 1 m diambil dan ditimbang bobot basahnya. Ketiga contoh tumbuhan bawah dari petak berukuran 20 m x 20 m dicampur (dikompositkan) dan dihitung rata-rata bobot basahnya. Dari contoh tumbuhan bawah yang telah dikompositkan diambil contoh (sub-contoh) sebanyak 300 gram. 3.6 Pengolahan dan Analisis Data 3.6.1
Penghitungan Parameter Keanekaragaman Keanekaragaman jenis pohon ditentukan berdasarkan jumlah jenis yang
ditemui. Untuk melihat indeks nilai penting masing-masing jenis pohon dilakukan analisis vegetasi yang meliputi kerapatan relatif (KR) dan frekuensi relatif (FR). Indeks nilai penting (INP) = KR + FR. Ukuran keanekaragaman yang digunakan adalah kekayaan jenis (Species Richness), indeks keanekaragaman, dan indeks kemerataan (Species Eveness) (Ludwig and Reynold, 1988). Kekayaan jenis dihitung dengan menggunakan Indeks Margalef sebagai berikut (S-1) R = --------LN.N dalam hal ini: R = indeks kekayaan jenis Margalef S = jumlah jenis yang teramati N = jumlah individu (seluruh jenis) yang teramati LN= logaritma natural Indeks keanekaragaman spesies dihitung dengan menggunakan indeks keanekaragaman Shanon (H) sebagai berikut: 34
s H’ = - ∑ pi LN pi i=1 Dalam hal ini: S = jumlah spesies yang teramati pi = proporsi jumlah individu spesies ke-i LN = log natural Kemerataan jenis dihitung dengan menggunakan Rasio Hill yang dimodifikasi (Modified Hill’s Ratio) sebagai berikut: (1/ λ -1) E = -----------eH’ - 1 dalam hal ini: E = indeks kemerataan ratio Hill yang dimodifikasi λ = indeks kelimpahan Simpson s λ=Σ i=1
ni (ni -1) -----------N(N-1)
S = jumlah spesies yang teramati ni = jumlah individu spesies ke-i N = jumlah individu seluruh spesies
H’ = Indek keanekaragaman Shannon s H’ = - ∑ pi LN pi i=1 dalam hal ini: S = jumlah spesies yang teramati pi = proporsi jumlah individu spesies ke-i LN = log natural
3.6.2
Penghitungan Rosot Karbon Besarnya karbon yang tersimpan dalam vegetasi sebanding dengan
volume biomasa tersebut.
Oleh karena itu, dalam penelitian ini, penentuan
besarnya karbon yang tersimpan dalam vegetasi didasarkan pada besarnya biomasa yang dikandung oleh vegetasi tersebut. Kandungan biomassa suatu
35
vegetasi, dalam penelitian ini, merupakan hasil penjumlahan biomasa pohon hidup (tegakan) dan biomassa tumbuhan bawah. Penentuan kandungan biomassa pohon hidup dilakukan secara nondestruktif dengan menggunakan model allometrik (Brown 1997) sebagai berikut: Y = 0,118 D2,53 (R2 = 0,9) dalam hal ini: Y = biomassa pohon (kg/pohon) D = diameter setinggi dada (DBH) pohon (cm) R2 = koefisien determinasi persamaan Penghitungan C-organik tumbuhan bawah dilakukan dengan menggunakan metode Walkey and Black (Thom dan Utomo, 1992). Rumus yang digunakan dalam penentuan total berat kering dan total karbon adalah menurut Hairiah, Van Noordwijk, dan Palm (1999).
Sedangkan rumus yang digunakan untuk
menentukan besarnya persen C-organik berdasarkan rumus Walkey and Black (1958, dalam Thom dan Utomo, 1992). Rumus-rumus tersebut adalah sebagai berikut :
TotalBeratKering(kg / m2 ) =
TotalBeratBasah(kg) xBeratKeringSubsampel ( g ) ......(1) BeratBasahSubsampel( g ) xLuasArealSampel(m2 )
BiomasaBeratKering (ton / ha ) = 10 xTotalBeratKering (kg / m 2 ) ……………….(2) Total Karbon (tonC/ha) = BiomasaBerat Kering(ton/ha) x C − oragnik (%) …..(3)
T 0,3886(1 − ) xmlK 2Cr2O7 S …………………………………………………..(4) %C = Berat sampel ( g) Penentuan jumlah karbon pada pohon didasarkan pada asumsi-asumsi sebagai berikut : 1) Berat jenis (BJ) rata-rata kayu tropis adalah 0,56 (ITTO and FRIM 1994; digunakan World Bank 1995 dan Kim 2001). 2) Kandungan karbon dalam 1m3 biomassa = 0,28 ton (Kim 2001).
36