III. LANDASAN TEORI
3.1.
Logika Fuzzy dan Analisa Risiko secara Fuzzy Logika fuzzy adalah suatu cara untuk memetakan suatu ruang masukan ke
dalam suatu ruang keluaran. Beberapa alasan menggunakan logika fuzzy antara lain mudah dimengerti, sangat fleksibel, memiliki toleransi terhadap data yang tidak tepat, mampu memodelkan fungsi-fungsi non linier yang sangat kompleks, mampu mengakomodir pengalaman para pakar dan menggunakan bahasa alami (Kusumadewi 2003). Pada himpunan fuzzy nilai keanggotaan terletak pada rentang 0 sampai 1. Apabila x memiliki nilai keanggotaan fuzzy µ A [x]=0 berarti x tidak menjadi anggota himpunan A, demikian pula apabila x memiliki nilai keanggotaan fuzzy
µ A [x]=1 berarti x menjadi anggota penuh pada himpunan A. Ada beberapa hal yang perlu diketahui dalam memahami sistem fuzzy, yaitu: •
Variabel fuzzy merupakan variabel yang hendak dibahas dalam suatu sistem fuzzy. Contohnya permintaan, jumlah produksi, dan sebagainya
•
Himpunan fuzzy merupakan suatu grup yang mewakili suatu kondisi atau keadaan tertentu dalam suatu variabel fuzzy. Contohnya permintaan turun, jumlah produksi normal dan sebagainya.
•
Semesta pembicaraan adalah keseluruhan nilai yang diperbolehkan untuk dioperasikan dalam suatu variabel fuzzy. Semesta pembicaraan merupakan himpunan bilangan real yang senantiasa naik (bertambah) secara monoton dari kiri ke kanan. Contohnya semesta pembicaraan untuk variabel permintaan [0 - 4000].
•
Domain himpunan fuzzy adalah keseluruhan nilai yang diijinkan dalam semesta pembicaraan dan boleh dioperasikan dalam suatu himpunan fuzzy. Domain merupakan himpunan bilangan real. Dalam logika fuzzy ada dikenal istilah fungsi keanggotaan. Fungsi
keanggotaan adalah suatu kurva yang menunjukkan pemetaan titik-titik input data ke dalam nilai keanggotaannya (sering juga disebut dengan derajat keanggotaan) yang memiliki interval antara 0 sampai 1. Salah satu cara yang dapat digunakan
44
45
untuk mendapatkan nilai keanggotaan adalah dengan melalui pendekatan fungsi. Ada beberapa fungsi yang telah dikenal dan biasa digunakan yaitu: •
Representasi Linear. Pada representasi linier, pemetaan input ke derajat keanggotaannya digambarkan sebagai suatu garis lurus. Ada 2 keadaan himpunan fuzzy yang linear. Pertama, kenaikan himpunan dimulai pada nilai domain yang memiliki derajat keanggotaan nol [0] bergerak ke kanan menuju nilai domain yang memiliki derjat keanggotaan lebih tinggi.
•
Representasi Kurva Segitiga. Pada dasarnya merupakan gabungan antara dua garis linear yang membentuk segitiga.
•
Representasi Kurva Trapesium. Pada dasarnya seperti bentuk segitiga, hanya saja ada beberapa titik yang memiliki nilai keanggotaan 1.
•
Representasi Kurva Bentuk Bahu. Daerah yang terletak di tengah-tengah suatu variabel yang direpresentasikan dalam bentuk segi tiga, pada sisi kanan dan kirinya akan naik dan turun.
•
Representasi Kurva-S. Kurva pertumbuhan dan penyusutan merupakan kurva-S atau sigmoid yang berhubungan dengan kenaikan dan penurunan permukaan secara tak linear.
•
Representasi Kurva Lonceng (Bell Curve). Untuk merepresentasikan bilangan fuzzy, biasanya digunakan kurva berbentuk lonceng. Kurva berbentuk lonceng ini terbagi atas 3 kelas, yaitu: o Kurva
π
. Kurva
π
berbentuk lonceng dengan derajat
keanggotaan 1 terletak pada pusat dengan domain (γ), dan lebar kurva (β). o Kurva Beta. Kuva beta didefenisikan dengan 2 parameter, yaitu nilai pada domain yang menunjukkan pusat kurva (γ), dan setengah lebar kurva (β). Salah satu perbedaan mencolok kurva beta dari kurva pi adalah, fungsi keanggotanya akan mendekati nol hanya jika nilai (β) sangat besar. o Kurva Gauss. Kurva gauss juga menggunakan (γ) untuk menunjukkan nilai domain pada pusat kurva, dan (k) yang menunjukkan lebar kurva.
46
Disamping fungsi keanggotaan, ada komponen kedua dari logika fuzzy yaitu aturan-aturan fuzzy (fuzzy rules) yaitu suatu aturan yang memungkinkan menterjemahkan aturan-aturan fuzzy dari kecerdasan manusia menjadi program yang dapat diimplementasikan pada komputer. Terdapat beberapa cara untuk menurunkan aturan fuzzy (Ngai & Wat 2005) antara lain berdasarkan: 1) Pengetahuan pakar atau diturunkan dari ilmu rekayasa yang bersesuaian 2) Sifat/kemampuan operatif yang direkam dan kemudian dilakukan analisa untuk menentukan aturan-aturan tersebut. 3) Penurunan berdasarkan model fuzzy dari sistem atau proses. Teori gugus fuzzy pertama kali hanya dipandang sebagai teknik yang secara matematis mengekspresikan ambiguity dalam bahasa. Teori gugus fuzzy dikembangkan sebagai pengukuran beragam fenomena ambiguity secara matematis yang mencakup konsep peluang. Menurut Marimin (2007), sistem fuzzy merupakan penduga numerik yang terstruktur
dan
dinamik.
Sistem
ini
mempunyai
kemampuan
untuk
mengembangkan sistem intelijen dalam lingkungan yang tidak pasti dan tidak tepat. Sistem ini menduga suatu fungsi dengan logika fuzzy. Logika fuzzy sering menggunakan informasi lengiustik dan verbal.
Dalam logika fuzzy terdapat
beberapa proses, yaitu penentuan gugus fuzzy, penerapan aturan if-then serta proses inferensi fuzzy. Selain diterapkan pada sistem pakar, sistem fuzzy juga diterapkan pada pengambilan keputusan kelompok pada beberapa bidang (Marimin 2007). Dalam analisa risiko, ekspresi tingkat kemungkinan terjadinya risiko dan dampak yang ditimbulkan penilaiannya dinyatakan dalam sistem fuzzy (Schmucker 1986). Anallisis risiko fuzzy tidak hanya memberikan estimasi fuzzy terhadap kemungkinan terjadinya risiko dari sebuah komponen, namun juga memberikan suatu estimasi fuzzy pentingnya masing-masing komponen terdapat totalitas sistem (Schmucker 1986).
3.2.
Fuzzy Analytical Hierarchy Process (Fuzzy AHP) Teori fuzzy merupakan suatu cara pengambilan keputusan menggunakan
pendekatan logika fuzzy dan sangat berguna untuk memecahkan masalah- masalah
47
yang
berhubungan
dengan
hal-hal
yang
mengandung
ketidakpastian
(imprecision). Dengan logika fuzzy dimungkinkan membangun sistem yang lebih merefleksikan data sebenarnya.
Pada umumnya pengembangan metode fuzzy
AHP melalui beberapa tahapan (Jagananthan et al. 2007) sebagai berikut: 1. Pembuatan struktur hierarki Pembuatan struktur hierarki diawali dengan melakukan identifikasi sistem yang bertujuan untuk menemukan pokok permasalahan yang akan diselesaikan, menemukan tujuan yang ingin dicapai dan kriteria-kriteria yang akan digunakan dalam menentukan pilihan alternatif-alternatif yang tersedia. Setelah identifikasi sistem selesai, maka dibuat strutur hierarki dengan melakukan abstraksi antara komponen dan dampak-dampaknya pada sistem. Bentuk abstraksi ini mempunyai hubungan yang saling berkaitan antara tujuan yang ingin dicapai, pihak-pihak yang terkait, kriteria dan alternatif. 2. Penilaian alternatif dan kriteria. Penilaian dilakukan oleh pengambil keputusan dalam bentuk variabel linguistik seperti: sangat baik, sedikit baik sedang, sedikit buruk dan lain-lain. Penentuan nilai fuzzy untuk setiap alternatif dalam bentuk Triangular Fuzzy Number (TFN) akan diperoleh tiga fungsi keanggotaan (under optimistic, most likely dan pessimistic condition). TFN dikembangkan dengan menentukan nilai dari fungsi keanggotaan pessimistic sebagai a, nilai dari fungsi keanggotaan most likeky sebagai b, dan nilai dari fungsi keanggotaan optimistic sebagai c. 3. Fuzzyfikasi terhadap hasil penilaian. Menurut Marimin (2007), fuzzyfikasi pada metode fuzzy AHP adalah proses pengubahan nilai selang rating (berupa batas nilai) yang diberikan oleh penilai menjadi selang dalam bentuk bilangan fuzzy dengan maksud untuk menghilangkan ketidakkonsistenan nilai yang disebabkan oleh selang rating dan bias setiap penilai.
Jagananthan et al. (2007) memberikan fungsi
keanggotaan untuk setiap atribut kepentingan dengan model representasi TFN, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 7.
48
Tabel 7 Atribut dan fungsi keanggotan Fuzzy dengan model TFN Atribut (A elemen baris, B elemen kolom) B Mutlak lebih penting dari A B Sangat jelas lebih penting dari A B Lebih penting dari A B Sedikit lebih penting dari A A Sama Penting dengan B A Sedikit lebih penting dari B A Lebih penting dari B A Sangat jelas lebih penting dari B A Mutlak lebih penting dari B
Fungsi Keanggotaan (1/9, 1/9, 1/7) (1/9, 1/7, 1/5) (1/7, 1/5, 1/3) (1/5, 1/3, 1) (1/3, 1, 3) (1, 3, 5) (3, 5, 7) (5, 7, 9) (7, 9, 9)
4. Defuzzifikasi nilai skor fuzzy Defuzzifikasi dilakukan untuk menentukan satu nilai dari skor fuzzy. Menurut Marimin (2007), defuzzyfikasi merupakan suatu proses pengubahan output fuzzy ke output yang bernilai tunggal (crips).
Terdapat banyak metode
defuzzyfikasi, namun yang banyak digunakan adalah metode centroid dan maksimum. Di dalam metode centroid, nilai tunggal dari variabel output dihitung dengan menemukan nilai variabel dari center of gravity suatu fungsi keanggotaan untuk nilai fuzzy, sedangkan di dalam metode maksimum, satu dari nilia-nilai variabel yang merupakan nilai kepercayaan maksimum gugus fuzzy dipilih sebagai nilai tunggal untuk variabel output. Selain itu defuzzyfikasi dapat dilakukan dengan metode rata-rata geometrik, adapun tahapan defuzzyfikasi tersebut adalah sebagai berikut: •
Menghitung nilai rata-rata geometric dari nilai batas bawah (BB), batas tengah (BT) dan batas atas (BA) dari skor penilaian masing-masing pakar untuk mendapatkan nilai batas bawah, batas tengah dan batas atas agregasi dari penilaian pakar dengan rumus: BB =
•
n
∏ BB n
1
BT =
n
BA =
n
(11)
∏ BT ∏ BA n
1
n
1
Menghitung nilai tunggal (crips) dengan rata-rata geometric dari nilai di atas dengan rumus: N crips =
3
BB * BT * BA
(12)
49
5. Membuat matrik kriteria dan alternatif. Berdasarkan hasil perhitungan nilai tunggal untuk kriteria dan alternatif dari masing-masing kriteria, kemudian dibuat matriknya. Matrik ini nanti digunakan untuk menghitung bobot dengan cara manipulasi matrik. 6. Menghitung bobot kriteria. Bobot kriteria dihitung dengan manipulasi matrik, dengan tahapan sebagai berikut: a. Melakukan perkalian kuadrat terhadap matrik kriteria b. Menghitung jumlah nilai dari setiap baris matrik, kemudian melakukan normalisasi matrik. c. Menghitung jumlah nilai dari setiap baris matrik ternormalisasi. d. Menghentikan proses ini, bila selisih antara jumlah nilai baris matrik normal dari dua perhitungan berturut-turut lebih kecil dari ketelitian yang ditentukan. 7. Menghitung nilai eigen setiap alternatif. Nilai eigen dari setiap alternatif dihitung dengan cara manipulasi matrik yang sama dengan langkah 6 di atas. 8. Menghitung Consistency ratio. Menurut Marimin (2007), Consistency Ratio (CR) dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: CR =
CI =
CI RI
(13)
(P − N ) ( N − 1)
(14)
Dimana: CI = Konsistensi Indeks RI = Indeks random yang didapat dari tabel Oardkridge P = Nilai rata-rata konsistensi vektor N = jumlah elemen alternatif atau criteria Nilai indeks random dari tabel Oardkridge adalah: N
1
2
3
4
RI
0,0
0,0
0,58 0,9
5
6
7
8
9
1,12 1,24 1,32 1,41 1,45
10
11
12
1,49
1,51
1,56
50
9. Menghitung skor akhir. Skor akhir dari alternatif dapat ditentukan dengan mengalikan matriks nilai eigen alternatif dengan bobot dari setiap kriteria. 10. Menentukan rangking dari skor akhir. Untuk merangking skor akhir delakukan dengan cara mengurutkan skor alternatif dari nilai tertinggi sampai terendah.
3.3.
Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) Metode FMEA pertama kali diperkenalkan pada tahun 1940 untuk tujuan
militer oleh angkatan bersenjata Amerika Serikat. Dan kemudian, FMEA digunakan dalam pengembangan roket untuk menghindari kegagalan dalam teknologi roket ketika Amerika Serikat akan mengirim orang pergi ke bulan untuk pertama kalinya. Pengembangan lebih lanjut, metode ini disesuaikan dengan penerapannya dalam industri otomotif seperti Toyota untuk keamanan, peraturan, peningkatan produksi, dan desain. Menurut Puente et al. (2002), FMEA adalah sebuah metode untuk memeriksa penyebab cacat atau kegagalan yang terjadi selama produksi, mengevaluasi prioritas risiko, dan membantu menentukan tindakan yang tepat untuk menghindari masalah yang diidentifikasi. Menurut Yeh dan Hsieh (2007), FMEA digunakan secara luas dalam peningkatan mutu dan alat penilaian risiko di industri manufaktur. Alat ini menggabungkan pengetahuan manusia dan pengalaman untuk: (1) mengidentifikasi potensi kegagalan yang dikenal atau mode dari suatu produk atau proses, (2) mengevaluasi kegagalan suatu produk atau proses dan efeknya, (3) membantu perekayasa untuk melakukan tindakan perbaikan atau tindakan preventif, dan (4) menghilangkan atau mengurangi kemungkinan terjadi kegagalan. FMEA terdiri dari dua jenis, yaitu desain FMEA dan proses FMEA. desain FMEA adalah suatu prosedur untuk mengidentifikasi bahwa bahan-bahan yang benar telah digunakan, untuk mencocokkan spesifikasi pelanggan, dan untuk memastikan
bahwa
peraturan
dikembangkan
harus
dipenuhi
sebelum
menyelesaikan desain produk. Sementara penggunaan proses FMEA berhubungan dengan produksi dan proses perakitan. Di mana, proses FMEA digunakan untuk
51
mengidentifikasi beberapa potensi kegagalan yang dapat disebabkan oleh proses produksi, mesin, metode produksi. Dengan kedua, potensi masalah dapat dipelajari, cacat dapat secara akurat diketahui sebelum produk disampaikan kepada pelanggan, efek pada seluruh sistem dapat dipelajari dan keputusan yang tepat dapat diambil dengan benar. Dalam metode FMEA Konvensional, tiga parameter (keparahan, kejadian, dan deteksi) digunakan untuk menggambarkan masing-masing mode kegagalan menurut penilaian pada skala 1-10. Tingkat keparahan (Severity rating) adalah keseriusan efek kegagalan komponen berikutnya, subsistem, sistem, atau pelanggan. Tingkat Kejadian adalah kemungkinan atau frekuensi kegagalan terjadi dengan 1 merupakan kesempatan paling tidak ada kejadian dan 10 adalah yang ada kejadian tertinggi. Tingkat deteksi adalah ketidakmampuan untuk mendeteksi kegagalan atau probabilitas dari kegagalan tidak terdeteksi sebelum dampak efek terwujud. Secara tradisional, penilaian FMEA dilakukan dengan menggunakan nomor prioritas risiko (RPN). RPN adalah hasil perkalian dari peringkat keparahan (S), kejadian (O), dan deteksi (D). Mode kegagalan memiliki RPN yang lebih tinggi diasumsikan lebih penting dan diberi prioritas lebih tinggi untuk tindakan korektif daripada yang memiliki RPN yang lebih rendah.
Prosedur FMEA Ada tiga tahap yang sangat penting dalam menerapkan FMEA untuk memastikan keberhasilan analisis. Tahap pertama adalah menentukan modus potensi kegagalan. Tahap kedua adalah mencari data untuk menentukan tingkat keparahan, kejadian, dan deteksi. Tahap ketiga adalah memodifikasi desain produk atau proses. Proses detail melakukan FMEA dapat dibagi menjadi beberapa langkah sebagai berikut (Yeh & Hsieh 2007): 1. Identifikasi fungsi sistem atau proses dan bentuk sebuah struktur hierarki, dengan membagi sistem atau proses menjadi beberapa subsistem atau fungsi proses. 2. Tentukan mode kegagalan dari setiap komponen dan dampaknya. Tentukan tingkat keparahan (S) dari masing-masing mode kegagalan masing-masing sesuai dengan efek pada sistem.
52
3. Tentukan penyebab kegagalan mode dan memperkirakan kemungkinan setiap kegagalan terjadi. Tentukan tingkat terjadinya (O) dari masingmasing mode kegagalan sesuai dengan kemungkinan terjadinya. 4. Identifikasi pendekatan untuk mendeteksi kegagalan dan mengevaluasi kemampuan sistem untuk mendeteksi kegagalan sebelum kegagalan terjadi. Tentukan tingkat deteksi (D) dari masing-masing mode kegagalan. 5. Hitung nilai risiko prioritas (RPN) dan tentukan prioritas untuk diperhatikan. 6. Tetapkan tindakan yang perlu disarankan untuk meningkatkan kinerja sistem. 7. Tampilkan laporan FMEA dalam bentuk tabel.
3.4.
Fuzzy Failure Mode and Effect Analysis (FFMEA) Berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, FMEA
konvensional dianggap oleh banyak peneliti memiliki beberapa kelemahan sebagai alat pengawasan mutu perencanaan. Menurut Xu et al. (2002), dan Yeh & Hsieh (2007), beberapa kelemahannya adalah sebagai berikut: (1) pernyataan dalam FMEA sering subyektif dan kualitatif yang dijelaskan dalam bahasa alamiah. Tentu saja, itu sulit untuk mengevaluasi keandalan dari produk atau proses yang tepat; (2) ketiga tingkat parameter (keparahan, kejadian, dan deteksi) yang diasumsikan memiliki kepentingan yang sama. Sebenarnya, dalam praktiknya bobot kepentingan dari ketiga parameter adalah tidak sama; (3) Nilai RPN yang dihasilkan dari hasil perkalian tingkat S, O, D. Namun, nilai RPN yang sama mungkin menyiratkan representasi risiko yang berbeda. Sebagai contoh, perhatikan dua mode kegagalan yang berbeda masing-masing memiliki nilai 6, 3, 2 dan 3, 4, 3 untuk tingkat S, O, D. Keduanya akan diperoleh nilai RPN 36 dan karena itu memiliki prioritas yang sama untuk diselesaikan. Tetapi dalam kenyataannya, mungkin akan mempunyai risiko yang berbeda. Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan itu, metodologi yang didasarkan pada logika fuzzy sering digunakan sebagai alat untuk memanipulasi istilah linguistik yang digunakan secara langsung dalam membuat penilaian yang kritis. Sistem fuzzy adalah sistem berbasis pengetahuan yang dibangun dari keahlian dan pengalaman dalam bentuk
53
aturan fuzzy IF-THEN. Metode inferensi fuzzy FMEA dilakukan dengan menggunakan metode Mamdani. Metode Mamdani sering dikenal sebagai metode Max-Min. Metode ini diperkenalkan oleh Ebrahim Mamdani pada tahun 1975. Untuk mendapatkan output fuzzy, diperlukan empat tahap yaitu: 1. Susun fungsi keanggotaan fuzzy; 2.
Buat aturan berbasis logika fuzzy;
3.
Lakukan proses inferensi fuzzy;
4.
Tahap defuzzyfikasi
Pengetahuan ahli
Input nilai S, O, D,
Fungsi keanggotaan fuzzy
Aturan fuzzy
Fungsi keanggotaan fuzzy
Fuzzyfikasi
Aturan inferensi
Defuzzyfikasi
Output nilai risiko
Proses inferensi fuzzy
Gambar 9 Tahapan evaluasi risiko dengan fuzzy FMEA (Yeh & Hsieh 2007) 3.4.1. Fungsi Keanggotaan Fuzzy FMEA Fungsi keanggotaan adalah suatu kurva yang menunjukkan pemetaan titik input data ke dalam nilai-nilai keanggotaan (sering juga disebut tingkat keanggotaan) yang memiliki interval antara 0 ke 1. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk memperoleh nilai keanggotaan adalah melalui sebuah pendekatan fungsi. Lebih lanjut dalam tulisan ini, fungsi keanggotaan yang digunakan adalah fungsi keanggotaan fuzzy segitiga dan trapesium. Seperti terlihat pada Gambar 10 dan 11, domain (x) mewakili nilai tertentu dan µ(x) mewakili nilai fungsi keanggotaannya. Dalam keanggotaan fuzzy segitiga, nilai fungsi keanggotaan adalah nol seperti µ(a) ketika rating tidak termasuk dalam istilah linguistik dan nilai fungsi keanggotaan adalah satu seperti µ(b) ketika rating sepenuhnya milik istilah linguistik. Dengan demikian, fungsi keanggotaan fuzzy segitiga dapat dinyatakan dengan persamaan berikut:
54
µ(x) 1
0
a
x
c
b
Gambar 10 Fungsi keanggotaan fuzzy segitiga Trapesium pada dasarnya seperti sebuah segitiga, kecuali bahwa ada beberapa poin yang memiliki nilai keanggotaan 1. Oleh karena itu, fungsi keanggotaan fuzzy trapesium dapat dinyatakan dengan rumus sebagai berikut:
µ(x) 1
0
a
b
c
d
x
Gambar 11 Fungsi keanggotaan fuzzy trapesium Pada FMEA konvensional, pemetaan skor keparahan (S), kejadian (O), dan deteksi (D) dilakukan dengan menggunakan istilah linguistik. Berdasarkan alasan itu, aplikasi dari logika fuzzy sangat tepat untuk menampung masalah yang disebabkan FMEA konvensional. Dalam FMEA konvensional, tiga parameter (keparahan, kejadian, dan deteksi) yang digunakan untuk menggambarkan setiap mode kegagalan dinilai dengan variabel input dengan skala 1-10, yang dikelompokkan menjadi lima tingkat kepentingan dari Sangat Rendah "VL" hinga Sangat Tinggi "VH "Pada Tabel 8. Disajikan Input dari fungsi keanggotaan dalam
55
lima tingkatan dalam istilah linguistik untuk keparahan dengan pendekatan ini yang dapat digambarkan pada Gambar 12. Hal yang sama untuk tingkat deteksi atau paparan dan tingkat posibilitas terjadinya dapat ditunjukkan pada Gambar 13.
Tabel 8 Kategori variabel input fuzzy FMEA Nilai input
Kategori
Probabiltas
Dampak
Paparan
1
1
1
Sangat Rendah (VL)
2, 3
2, 3
2, 3
Rendah (L)
4, 5, 6
4, 5, 6
4, 5, 6
Sedang (M)
7, 8
7, 8
7, 8
Tinggi (H)
9, 10
9, 10
9, 10
Sangat Tinggi (VH)
Gambar 12 Fungsi keanggotaan input posibilitas risiko
Gambar 13 Fungsi keanggotaan input dampak dan paparan risiko
56
Kemudian, output variabel adalah nilai RPN, digunakan untuk mewakili prioritas untuk tindakan koreksi dengan skala 1-1000, yang dikategorikan ke dalam sembilan kelas interval, seperti Sangat Rendah "VL", antara Sangat Rendah dan Rendah "VL-L", .dan seterusnya sampai skala Sangat Tinggi "VH" yang digambarkan dalam Tabel 9. Fungsi keanggotaan fuzzy dari variabel output tersebut dapat ditampilkan pada Gambar 14.
Tabel 9 Kategori variabel output fuzzy FMEA Nilai output
Kategori
1 - 50
Sangat rendah (VL)
50 - 100
Sangat rendah-rendah (VL-L)
100 - 150
Rendah (L)
150 - 250
Rendah sedang (L-M)
250 - 350
Sedang (M)
350 - 450
Sedang – Tinggi (M-H)
450 - 600
Tinggi (H)
600 - 800
Tinggi – sangat Tinggi (H-VH)
800 - 1000
Sangat tinggi (VH)
Gambar 14 Fungsi keanggotaan fuzzy variabel output RPN Aturan berbasis Fuzzy Setiap aturan dalam basis pengetahuan fuzzy akan berhubungan dengan hubungan yang kabur. Dalam aturan fuzzy IF-THEN, bagian IF sebagai variabel
57
input fuzzy, dan bagian THEN sebagai variabel keluaran fuzzy. Sebagai contoh, aturan fuzzy IF-THEN dinyatakan sebagai berikut:
Karena masing-masing dari tiga parameter telah dikategorikan ke dalam lima tingkat nilai linguistik, maka jumlah kombinasinya adalah 125 (5x5x5). Semua kombinasi harus dikelompokkan untuk menghasilkan aturan berbasis fuzzy. Basis aturan fuzzy yang diterapkan dalam tulisan ini diadaptasi dari sistem pendukung Keputusan untuk FMEA yang diusulkan oleh Puente et al. (2002). Basis aturan tersebut dapat diilustrasikan pada Gambar 15.
Gambar 15 Skema Aturan fuzzy FMEA (Puente et al. 2002)
58
3.4.2. Proses Inferensi Fuzzy FMEA Mesin inferensi digunakan untuk menggabungkan aturan fuzzy IF-THEN dalam basis aturan dan implikasi fuzzy. Sebelumnya telah disebutkan, bahwa metode inferensi yang digunakan adalah metode Mamdani dalam melakukan inferensi pengambilan keputusan. Untuk mendapatkan kesimpulan. Mesin inferensi minimum menggunakan: (1) operator min untuk "AND" pada sisi-IF dari aturan fuzzy dan operator maks untuk "OR" dari aturan, (2) operator gabungan digunakan untuk mengagregasi kombinasi konsekuensi menjadi aturan tunggal.
3.5.
Stakeholder Dialogue dengan Optimasi Non Linier Istilah ADR (Alternative Dispute Resolution) relatif baru dikenal di
Indonesia, akan tetapi sebenarnya penyelesaian-penyelesaian sengketa secara konsensus sudah lama dilakukan oleh masyarakat, yang intinya menekankan pada upaya musyawarah mufakat, kekeluargaan, perdamaian dan sebagainya. ADR mempunyai daya tarik khusus di Indonesia karena keserasiannya dengan sistem sosial budaya tradisional berdasarkan musyawarah mufakat. Keuntungan ADR mampu menyelesaikan sengketa dalam waktu singkat dan biaya yang lebih murah, karena penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui perundingan yang secara prosedur tidak harus mengikuti jalur hukum. Dilain pihak ADR mempunyai kelemahan yaitu memerlukan mediator yang netral dan tidak berpihak pada salah satu pihak yang berkepentingan. ADR berkembang sebagai
mekanisme
penyelesaian
konflik
karena
masyarakat terhadap proses dan kinerja pengadilan.
adanya
ketidakpuasan
ADR secara umum
digunakan pada resolusi konflik yang melibatkan berbagai pihak dengan bargaining position yang relatif seimbang, melibatkan kepentingan yang bersifat heterogen, dan memiliki komitmen dan kepercayaan berbagai pihak yang berkepentingan. Untuk itu pelaksanaan ADR mensyaratkan “kesukarelaan” dan “itikad baik” dengan mengesampingkan penyelesaian secara pengadilan. Hasil dari kesepakatan, atau kompromi harus dinyatakan dalam kesepakatan tertulis dan bersifat final yang mengikat berbagai pihak yang berkepentingan untuk taat pada peraturan yang disahkan dari hasil kesepakatan.
59
Untuk
menyelesaikan
perbedaan
kepentingan
berbagai
pihak
membutuhkan persyaratan, yaitu: 1) kedua belah pihak yang tidak sejalan harus mematuhi dan tunduk peraturan hasil kesepakatan, 2) industri bersedia mengurangi sebagian keuntungan usaha untuk memberikan kompensasi sesuai hasil kesepakatan, dan 3) masyarakat tidak bertindak sewenang-wenang dan bersedia menerima hasil kesepakatan. Nilai
kesepakatan
diperoleh
berdasarkan
pendekatan
hypothetical
compensation dengan menggunakan regresi non linier berdasarkan tingkat utilitas risiko pelaku rantai pasok terhadap perubahan parameter kesepakatan. Fungsi utilitas risiko petani dalam rantai pasok dapat dirumuskan dengan fungsi regresi non linier sebagai berikut: −β ( x)
U p ( x) = α e
(15)
Fungsi utilitas risiko pelaku lain dalam rantai pasok dapat dirumuskan dengan fungsi sebagai berikut: n
U A ( x) = ∑ wiα e
β ( x)
(16)
i =1
dimana: x = Parameter kesepakatan w i = Bobot kepentingan setiap pelaku dalam rantai pasok yng dapat diperoleh dengan teknik analitik hierarki proses U p (x) = Fungsi utilitas risiko petani yang diperoleh berdasarkan penilaian faktor-faktor risiko dengan pendekatan kemungkinan preferensi tingkat petani. U A (x) = Fungsi utilitas risiko agregasi dari setiap tingkatan lainnya dalam jaringan rantai pasok. Rumus regresi non linier tersebut digunakan untuk memodelkan tingkat utilitas risiko setiap pelaku rantai pasok berdasarkan perubahan parameter kesepakatan. Hasil akhir kesepakatan diperoleh berdasarkan proses interpolasi linier yang menghasilkan tingkat kesalahan terkecil dari perpotongan fungsi U p (x) dan U A (x) pada suatu nilai x tertentu. Lasdon dan Smith (1992) memecahkan nilai kesepakatan dua variabel dari nilai paling bawah dan nilai paling atas melalui program optimasi non linier. Ada
60
beberapa langkah pokok yang harus dilakukan pada penerapan optimasi non linear, yaitu:
1) suatu fungsi/sub routine harus tercatat pada perhitungan
komputer dari fungsi kendala dan fungsi tujuan untuk nilai variabel yang diberikan, 2) terdiri dari sejumlah variabel kendala dengan nilai paling bawah dan nilai paling atas pada variabel, dan 3) pada proses optimasi non linier dilakukan interpolasi atau iterasi, sehingga variabel yang digunakan membutuhkan data kuantitatif untuk menghasilkan data yang realistis. Program pemecahan masalah melalui optimasi non linier dinyatakan dengan rumus tujuan sebagai berikut: Tujuan : Minimize U(x) = U p (x) – U A (x) Kendala: U lbi ≤ U i (x) ≤ U ubi , untuk i = 1, 2, ..., m dan i ≠ p X lbj < X j < X ubj , untuk j = 1,2, ..., n. X adalah vektor pada n variabel, x 1 , ..., x n dan fungsi U 1 , ..., U m semua tergantung pada X.
3.6.
Fungsi Regresi Fuzzy Regresi adalah alat yang komprehensif dan kuat yang dapat digunakan
untuk menemukan dan menganalisis hubungan antara variabel dependen atau disebut juga variabel respon, dan satu atau lebih variabel penjelas juga dikenal sebagai variabel independen. Analisis regresi merupakan metode estimasi yang digunakan untuk menemukan hubungan antara variabel dependen dan independen dan juga digunakan untuk mengestimasi variansi dari kesalahan pengukuran. Analisis regresi fuzzy merupakan perluasan dari analisis regresi klasik di mana beberapa unsur dari model yang diwakili oleh bilangan fuzzy. Model regresi fuzzy merupakan suatu model non-parametrik yang dapat digunakan untuk menjelaskan variasi dari variabel terikat Y dalam hal variasi dari variabel bebas X sebagai Y = f (X) dimana f (X) adalah fungsi linear (Wang & Tsaur 2000). Regresi Fuzzy dapat digunakan untuk menangani masalah regresi dengan jumlah data yang kurang dan adanya hubungan yang samar-samar (vague) antara antara variabel bebas dan variabel terikat(Xue et al. 2005). Model ini pertama kali diperkenalkan oleh Tanaka pada tahun 1982. Analisis regresi linier pertama dengan model fuzzy menggunakan bilangan fuzzy sebagai koefisien
61
regresi yang dinyatakan dengan interval sebagai nilai keanggotaan (Tanaka et al. 1982). Karena koefisien regresi merupakan bilangan fuzzy, maka nilai Y sebagai variabel dependen yang diperkirakan juga bilangan fuzzy. Chang dan Ayyub (2001) telah menjelaskan tiga pendekatan dalam regresi fuzzy
yaitu
regresi
possibilitas
yang
didasarkan
pada
meminimalkan
ketidakjelasan sebagai kriteria optimal, pendekatan kedua yang didasarkan pada kesalahan kuadrat terkecil sebagai kriteria pengepasan (fitting criteria) dan pendekatan ketiga adalah digambarkan sebagai analisis regresi interval. Untuk pemodelan yang disajikan dalam penelitian ini menggunakan algoritma berdasarkan kesalahan kuadrat terkecil yang dikembagkan oleh Bargiela (2007). Regresi fuzzy possibilistas dari Tanaka dapat direpresentasikan dengan variabel terikat Y sebagai beriku: Y = A 0 + A 1 x 1 + A 2 x 2 + ... .. + + ... + A j x j A k x k
(17)
T
di mana Y adalah output fuzzy, x = [x 1 , x 2 ,. . , X k .] , adalah vektor input variabel bebas dengan nilai riil dan koefisien regresi masing-masing A j , j = 0,. . , K., diasumsikan sebagai bilangan fuzzy segitiga simetris dengan pusat α j dan C j setengah lebarnya, C j ≥ 0. Dalam regresi fuzzy, nilai penyimpangan antara nilai yang diamati (variabel bebas) dan nilai yang estimasi (varibel terikat) diasumsikan akibat dari ketidakjelasan sistem atau kekaburan dari koefisien regresi (Tanaka et al. 1982). Dengan kata lain, menurut teori regresi fuzzy, nilai residual antara pengamatan penduga diakibatkan oleh ketidakpastian parameter dalam model dan bukan oleh kesalahan pengukuran (Tseng & Lin 2005). Model regresi fuzzy dapat diklasifikasikan berdasarkan nilai variabel terikat dan bebas sebagai berikut: a) Data input dan output adalah bukan bilangan fuzzy b) Data input dan output adalah bilangan fuzzy c) Data input adalah bukan bilangan fuzzy tetapi data output adalah bilangan fuzzy (Choi & Buckley 2008). Sebuah perkiraan interval biasanya terdiri dari batas atas dan batas bawah tertentu yang akan diperkirakan nilai yang tidak diketahui berada diantaranya dengan tingkat posibilitas yang ditentukan. Perkiraan interval berkaitan dengan
62
akurasi perkiraan sehubungan dengan target nilai yang diamati (Durga & Dimitri 2006). Penggunaan perkiraan interval dalam mesin pembelajaran adalah sesuai ketika berhadapan dengan fungsi multivariat dimana data yang tersedia sangat tidak tepat dan terbatas serta ketika interaksi variabel tidak pasti, keadaan yang samar-samar. Dengan kata lain fenomena fuzzy sangat tepat dimodelkan dengan hubungan fungsional fuzzy. Penggunaan perkiraan interval dalam mesin pembelajaran dikatakan sebagai teknik regresi linier fuzzy. Sayangnya, regresi linier fuzzy hanya dapat diterapkan ke fungsi linear saja. Namun dalam kenyataannya, banyak fungsi kehidupan nyata tidak mengikuti hubungan yang linear. Kabar baiknya adalah bahwa dimungkin untuk mengubah fungsi non linier menjadi linier dalam beberapa kasus (Wang & Tsaur 2000). Setelah fungsi linear diperoleh untuk membuka hubungan linier tersembunyi di dalamnya, teknik regresi linier fuzzy dapat diterapkan. Namun demikian, output regresi harus diinterpretasikan sesuai dengan proses transformasi yang terlibat. Fuzzy regresi berguna untuk mengestimasi hubungan antara variabel bebas dan terikat bila data yang tersedia sangat terbatas dan kurang tepat dan ketika interaksi antar variabel tidak pasti atau kabur (Wang & Tsaur 2000). Para peneliti telah menunjukkan bahwa kinerja regresi linier fuzzy menjadi relatif lebih baik dibandingkan dengan regresi linier klasik ketika ukuran data relatif kurang dan kecocokan model regresi kurang baik (Wang & Tsaur 2000 ). Jadi regresi linier fuzzy menjadi alternatif yang cukup baik dari pada regresi linier klasik dalam mengestimasi parameter regresi bila terdapat tidak cukup data untuk mendukung analisis regresi statistik dan / atau untuk model regresi yang kurang sesuai yang dikarenakan hubungan yang tidak jelas antara variabel dan spesifikasi model yang kurang baik (Xue et al. 2004). Suatu persamaan regresi linier fuzzy dengan satu variabel dependen dapat dituliskan sebagai berikut: Y = B0 + B1X
(18)
Persamaan (18) dapat diselesaikan dengan menggunakan metode yang dikembangkan oleh Bargiela (2007), untuk mendapatkan nilai dari B 0 dan B 1 sebagai berikut:
63
SS xy+ Bˆ1+ = SS xx
(19)
~ ~ Bˆ 0+ = Y − Bˆ1+ X
(20)
Dimana: ~ 1 X L (α ) + X U (α ) X =∫ dα 0 2
(21)
L U 1Y (α ) + Y (α ) ~ Y =∫ dα 0 2
(22)
n 1 ~ SS xx = ∑ ∫ (( X iL (α )) 2 + ( X iU (α )) 2 )dα − 2nX 2
(23)
n 1 ~~ SS xy+ = ∑ ∫ ( X iL (α )Yi L (α ) + X iU (α )YiU (α ))dα − 2nXY
(24)
i =1
i =1
3.7.
0
0
Fungsi Utilitas Risiko Fuzzy Fungsi utilitas merupakan nilai preferensi (preferences value) seseorang
terhadap tingkat risiko dalam membuat keputusan. Fungsi utilitas tersebut dipetakan ke dalam nilai-nilai utilitas, dimana nilai utilitas lebih besar, berarti tingkat preferensinya lebih tinggi (Wilkes 2008). Fungsi utilitas risiko setiap tingkatan rantai pasok dapat direpresentasikan sebagai fungsi regresi non-linear sebagai berikut: U k ( x) = α e
β ( x)
(25)
Dimana U k (x) adalah fungsi utilitas risiko pada tingkat k dalam jaringan rantai pasok dan x adalah harga jagung di tingkat petani. Karena setiap tingkatan rantai pasok memiliki beberapa faktor risiko, fungsi utilitas risiko untuk setiap tingkatan rantai pasok dapat diperoleh dengan menggabungkan faktor-faktor risiko untuk setiap tingkatan rantai pasokan dengan menggunakan rata-rata tertimbang sebagai berikut: n
U k ( x) = ∑ wi Rik ( x) i =1
(26)
64
n
∑w
i
i =1
=1
(27)
Dimana R ik (x) adalah nilai utilitas risiko faktor ke i pada tingkat k dalam jaringan rantai pasok. Dan w i adalah bobot masing-masing faktor risiko yang diperoleh dari analisis dengan menggunakan proses AHP. Nilai utility faktor risiko dapat diperoleh dari nilai utilitas variabel risiko untuk setiap faktor risiko rantai pasok menggunakan metode geometric mean sebagai berikut:
Rik ( x) = m ∏ j =1V jik ( x) m
(28)
Dimana V jik (x) adalah nilai utilitas dari variabel j risiko i faktor risiko untuk tingkat k rantai pasokan dengan harga x. Utilitas nilai variabel risiko yang diperoleh dengan mengalikan nilai kemungkinan dan dampak dari variabel risiko, dengan fungsi sebagai berikut: Vijk ( x) = Pijk ( x) S ijk ( x)
(29)
Dimana P ijk (X) adalah kemungkinan risiko dan S ijk (x) adalah dampak risiko i variabel risiko pada faktor-faktor risiko j dan k tingkat rantai pasokan. Nilai dampak risiko dan kemungkinan risiko ini diukur dengan bilangan fuzzy berdasarkan penilaian oleh para pemangku kepentingan dalam rantai pasokan untuk menilai tingkat risiko berdasarkan perubahan harga jagung di tingkat petani. Berdasarkan persamaan (26), (28) dan (29) akan diperoleh fungsi risiko utilitas fuzzy sebagai berikut: m U k ( x) = ∑ wi m ∏ j =1 Pijk ( x) S ijk ( x) i =1 n
(30)
Dengan mensubstitusikan persamaan (30) ke dalam persamaan (25), maka akan mendapat persamaan berikut:
∑ w ∏ n
i =1
i
m
m j =1
β ( x) Pijk ( x) S ijk ( x) = α e
(31)
65
3.8.
Proses Manajemen Risiko Manajemen risiko adalah suatu proses mengidentifikasi, mengukur risiko,
serta membentuk strategi untuk mengelolanya melalui sumber daya yang tersedia. Strategi yang dapat digunakan antara lain mentransfer risiko pada pihak lain, mengindari risiko, mengurangi efek buruk dari risiko dan menerima sebagian maupun seluruh konsekuensi dari risiko tertentu.
a) Identifikasi risiko Proses ini meliputi identifikasi risiko yang mungkin terjadi dalam suatu aktivitas usaha. Identifikasi risiko secara akurat dan komplet sangatlah vital dalam manajemen risiko. Salah satu aspek penting dalam identifikasi risiko adalah mendaftar risiko yang mungkin terjadi sebanyak mungkin. Teknik-teknik yang dapat digunakan dalam identifikasi risiko antara lain: Brainstorming, Survei, wawancara, informasi historis, kelompok kerja, dana lain-lain.
b) Analisa risiko Setelah melakukan identifikasi risiko, maka tahap berikutnya adalah pengukuran risiko dengan cara melihat potensi terjadinya seberapa besar severity (kerusakan) dan posibilitas terjadinya risiko tersebut. Penentuan posibilitas terjadinya suatu kejadian sangatlah subyektif dan lebih berdasarkan nalar dan pengalaman. Beberapa risiko memang mudah untuk diukur, namun sangatlah sulit untuk memastikan posibilitas suatu kejadian yang sangat jarang terjadi. Sehingga, pada tahap ini sangatlah penting untuk menentukan dugaan yang terbaik supaya nantinya kita dapat memprioritaskan dengan baik dalam implementasi perencanaan manajemen risiko. Kesulitan dalam pengukuran risiko adalah menentukan kemungkinan terjadi suatu risiko karena informasi statistik tidak selalu tersedia untuk beberapa risiko tertentu. Selain itu, mengevaluasi dampak severity (kerusakan) seringkali cukup sulit untuk asset immateriil. Dampak adalah efek biaya, waktu dan kualitas yang dihasilkan suatu risiko. Beberapa contoh dampak yang dikaitkan dengan biaya, waktu dan kualitas dapat diperlihatkan pada Tabel 10.
66
Tabel 10 Penilaian dampak risiko Dampak Sangat rendah
Biaya Dana mencukupi
Waktu agak menyimpang dari target
Rendah
Membutuhkan dana tambahan Membutuhkan dana tambahan Membutuhkan dana tambahan yang signifikan Membutuhkan dana tambahan yang substansial
agak menyimpang dari target Penundaan berdampak terhadap stakeholder gagal memenuhi deadline
Sedang Tinggi
Sangat tinggi
penundaan merusak proyek
Kualitas kualitas agak berkurang namun masih dapat digunakan gagal untuk memenuhi janji pada stakeholder beberapa fungsi tidak dapat dimanfaatkan gagal untuk memenuhi kebutuhan banyak stakeholder proyek tidak efektif dan tidak berguna
Setelah mengetahui posibilitas dan dampak dari suatu risiko, maka kita dapat mengetahui potensi suatu risiko. Untuk mengukur bobot risiko kita dapat menggunakan skala dari 1-5 seperti yang disarankan oleh JISC infoNet, sebagaimana terlihat pada Tabel 11.
Tabel 11 Bobot skala pengukuran risiko Skala 1 Sangat rendah 2 Rendah
Posibilitas hampir tidak mungkin terjadi kadang terjadi
3 Sedang
mungkin tidak terjadi
4 Tinggi
sangat mungkin terjadi
5 Sangat tinggi
hampir pasti terjadi
Dampak dampak kecil dampak kecil pada biaya, waktu dan kualitas dampak sedang pada biaya, waktu dan kualitas dampak substansial pada biaya, waktu dan kualitas mengancam kesuksesan proyek
c) Pengelolaan risiko Jenis-jenis cara mengelola risiko, dapat dikategorikan dengan berbagai cara sebagai berikut: •
Risk avoidance, yaitu memutuskan untuk tidak melakukan aktivitas yang mengandung risiko sama sekali. Dalam memutuskan untuk melakukannya, maka harus dipertimbangkan potensial keuntungan dan potensial kerugian yang dihasilkan oleh suatu aktivitas.
67
•
Risk reduction, Risk reduction atau disebut juga risk mitigation yaitu merupakan metode yang mengurangi kemungkinan terjadinya suatu risiko ataupun mengurangi dampak kerusakan yang dihasilkan oleh suatu risiko.
•
Risk transfer, yatu memindahkan risiko kepada pihak lain, umumnya melalui suatu kontrak (asuransi) maupun hedging.
•
Risk deferral, Dampak suatu risiko tidak selalu konstan. Risk deferral meliputi menunda aspek suatu proyek hingga saat dimana posibilitas terjadinya risiko tersebut kecil.
•
Risk retention. Walaupun risiko tertentu dapat dihilangkan dengan cara mengurangi maupun mentransfernya, namun beberapa risiko harus tetap diterima sebagai bagian penting dari aktivitas. Beberapa hal yang dapat dilakukan terhadap nilai suatu risiko dikatakan
sebagai penanganan risiko. Konsep penanganan risiko menggunakan beberapa prinsip sebagai berikut: •
High probability, high impact : risiko jenis ini umumnya dihindari ataupun ditransfer ke pihak lain.
•
Low probability, high impact : respon paling tepat untuk tipe risiko ini adalah dihindari. Dan jika masih terjadi, maka lakukan mitigasi risiko serta kembangkan contingency plan.
•
High probability, low impact : respon terhadap risiko ini adalah dengan melakukan mitigasi risiko dan mengembangkan contingency plan
•
Low probability, low impact : efek dari risiko ini dapat dikurangi, namun biayanya dapat saja melebihi dampak yang dihasilkan. Dalam kasus ini mungkin lebih baik untuk menerima efek dari risiko tersebut. Contingency plan: Untuk risiko yang mungkin terjadi maka perlu
dipersiapkan contingency plan seandainya benar-benar terjadi. Contingency plan haruslah sesuai dan proporsional terhadap dampak risiko tersebut. Dalam banyak kasus seringkali lebih efisien untuk mengalokasikan sejumlah sumber daya untuk mengurangi risiko dibandingkan mengembangkan contingency plan yang jika diimplementasikan akan lebih mahal. Namun beberapa skenario memang membutuhkan full contingency plan, tergantung pada proyeknya. Namun jangan
68
sampai tertukar antara contingency planning dengan re-planning normal yang memang dibutuhkan karena adanya perubahan dalam proyek yang berjalan. d) Implementasi manajemen risiko Setelah memilih respon yang akan digunakan untuk menangani risiko, maka saatnya untuk mengimplementasikan metode yang telah direncanakan tersebut. e) Monitoring risiko Mengidentifikasi, menganalisa dan merencanakan suatu risiko merupakan bagian penting dalam perencanaan suatu proyek. Namun, manajemen risiko tidaklah berhenti sampai disana saja. Praktek, pengalaman dan terjadinya kerugian akan membutuhkan suatu perubahan dalam rencana dan keputusan mengenai penanganan suatu risiko. Sangatlah penting untuk selalu memonitor proses dari awal mulai dari identifikasi risiko dan pengukuran risiko untuk mengetahui keefektifan respon yang telah dipilih dan untuk mengidentifikasi adanya risiko yang baru maupun berubah. Sehingga, ketika suatu risiko terjadi maka respon yang dipilih akan sesuai dan diimplementasikan secara efektif.
3.9. Soft System Methodology Soft System Methodology (SSM) dikembangkan oleh (Checkland 1981) sebagai suatu proses pengkajian dan penelitian tindakan untuk memperbaiki situasi masalah yang tidak terstruktur di mana isu-isu yang samar dirasakan tapi tidak jelas. SSM adalah cara yang terorganisasi untuk menangani situasi permasalahan yang dirasakan (permasalahan sosial). Metode ini berorientasi pada tindakan yang mengatur cara berpikir tentang situasi sehingga tindakan yang dapat membawa perbaikan dapat diambil. Metodologi ini cocok untuk resolusi konflik yang timbul dari pandangan yang berbeda, dan karenanya terdapat tujuan yang bertentangan dari berbagai pemangku kepentingan (Daellenbach 1997). Soft Sistem Methodology lebih menekankan pada sistem aktivitas manusia, sebagai contoh keterlibatan manusia dalam suatu kegiatan dengan tujuan tertentu dalam suatu organisasi. Metodologi ini menyediakan jendela sedemikian sehingga kompleksitas interaksi manusia tersebut dapat diselidiki, dijelaskan dan dipahami dengan mudah. Setelah pemahaman tentang situasi yang diselidiki telah tercapai
69
maka metodologi ini memungkinkan mengidentifikasi perubahan yang bersifat sistemik sesuai dengan yang diinginkan (dalam hal ini akan mengurangi beberapa masalah dan permasalahan) dan layak secara budaya (dengannya aktor dalam sistem akan cenderung untuk terlibat dengan perubahan yang diusulkan dan proses perubahan itu sendiri). SSM mendorong pembelajaran dan pemahaman yang diharapkan akan menyebabkan perubahan yang disepakati dan penyelesaian masalah secara bersama (Warwick 2008). Dua ciri karakteristik yang penting bagi pendekatan sistem lunak (soft system) adalah fasilitasi dan strukturisasi. Fasilitasi bertujuan untuk menyediakan lingkungan di mana pelaku atau stakeholder dibimbing dengan benar dalam diskusi atau perdebatan dapat disalurkan. Strukturisasi di sisi lain, berkenaan dengan proses yang mana permasalahan manajemen diatur sedemikian sehingga pemangku kepentingan atau pelaku dapat mengerti, dan akhirnya berpartisipasi dalam perencanaan dan proses pengambilan keputusan. Pendekatan ini dapat dicirikan sebagai non-matematis, menggunakan konsep berbasis sistem, proses dan tekniknya lebih menekankan dialog dan partisipasi dengan klien (Coelho et al. 2010). Kebutuhan untuk memahami interaksi yang kompleks dan dinamis terhadap gagasan, permasalahan dan pandangan yang menjadi ciri masalah sosial telah memunculkan SSM sebagai suatu metode solusi refleksif terhadap permasalahan sosial. Proses model SSM mempunyai tahapan utama proses sebagai berikut: Tahap 1 dan 2 Mencoba untuk membangun gambaran sedetail mungkin (rich picture) terhadap situasi, tahap 3 Berusaha untuk menjelaskan sifat-sifat dari sistem yang dipilih. Tahap 4 Membangun model konseptual dari sistem yang didefinisikan. Tahap 5 Membandingkan model konseptual dengan situasi aktual untuk melakukan konfirmasi pada hal yang dihasilkan dengan para pemangku kepentingan. Tahap 6 Membuat outline kemungkinan perubahan yang diinginkan dan analisa kelayakannya. berdasarkan hasil pada tahap 6.
Tahap 7 Terlibat dalam tindakan