III
HASIL PENELITIAN DAN ANALISA
Eksistensi Perempuan Sebagai Mama Raja di Negeri Adat Rumah Tiga, Soahuku, dan Tananahu Pada bab ini akan diungkapkan gambaran umum Negeri adat Raja-Raja di Maluku dalam hal ini Negeri Rumah Tiga, Negeri Soahuku, dan Tananahu sebagai lokasi penelitian, mengenai kondisi geografis masing-masing negeri. Penulis juga membahas eksistensi perempuan sebagai Mama Raja dilihat dari perspektif jender. Secara berurutan akan dibahas: (1) Gambaran Umum: Kondisi Geografis dan negeri adat, dan (2) Hasil penelitian dan analisa.
3.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
3.1.1 Kondisi Geografis Gambar 1. Peta Provinsi Maluku
15
Provinsi Maluku merupakan salah satu provinsi tertua di Indonesia. Maluku dikenal juga dengan sebutan negeri raja-raja, karena memiliki banyak negeri adat yang dipimpin oleh seorang raja. Ibukota Maluku adalah kota Ambon. Provinsi Maluku merupakan daerah kepulauan yang terdiri dari 632 pulau besar dan kecil. Salah satu pulau terbesar di provinsi Maluku adalah Pulau Seram (18.625 Km2). Pulau ini juga yang menjadi salah satu tujuan lokasi penelitian penulis. Sebelah utara berbatasan dengan Provinsi Maluku Utara, sebelah selatan berbatasan dengan Negara Timor Leste dan Australia, sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah, sebelah timur berbatasan dengan Propinsi Papua. Negeri Rumahtiga atau yang lebih dikenal dengan desa Rumahtiga merupakan salah satu desa pesisir yang berada di sepanjang kawasan kecamatan Teluk Ambon Baguala. Tepatnya desa ini memiliki kawasan pesisir yang berhadapan dengan Desa Galala di seberang laut. Untuk menjangkau desa ini dibutuhkan waktu tiga puluh menit dari pusat kota Ambon, dengan menggunakan transportasi penyebarangan laut yakni kapal feri. Perjalanan darat juga dapat ditempuh menggunakan transportasi darat selama satu jam. Desa Rumahtiga juga merupakan sutau kehidupan sosial yang tidak berorientasi jauh dari kehidupan pantai dan pesisir. Kehidupan masyarakat di Desa Rumahtiga merupakan percampuran antara penduduk asli yang hanya sebagian kecil dan tinggal di sebagian besar kawasan pesisir. Sedangkan para pendatang yang bukan penduduk asli lebih banyak mendominasi kawasan daratan. Desa ini dipimpin oleh seorang Raja perempuan. Desa Tananahu dan Desa Soahuku sama-sama berlokasi di pulau Seram. Desa atau Negeri Tananahu terletak di kecamatan teluk Elpaputih Kabupaten Maluku Tengah tepatnya di sebelah selatan pulau Seram. Sedangkan Negeri Soahuku terletak di kecamatan Amahai Kabupaten Maluku tengah. Untuk menjangkau negeri Tananahu, membutuhkan waktu dua setengah jam dengan menggunakan kapal cepat dari pelabuhan Tulehu Ambon. Setelah tiba di Desa Soahuku dilanjutkan dengan perjalanan darat selama tiga puluh menit. Hampir seluruh penduduk negeri Tananahu bekerja sebagai petani. Sementara penduduk negeri Soahuku memiliki beragam pekerjaan, baik sebagai pegawai negeri sipil, petani, maupun wiraswasta.
16
3.1.2 Negeri adat Negeri di Maluku, Kota Ambon khususnya adalah sebuah realitas sosial yang hidup, dihormati, dan tetap dipatuhi oleh masyarakat. Karena memiliki simbol-simbol, kharisma dan aturan-aturan yang bijak dari unsur asli masyarakatnya, yang mampu mengendalikan interaksi sosial dan menciptakan ketertiban dan kestabilan politik pemerintahan Negeri. Sekalipun mengalami pasang surut akibat kebijakan pemerintah di masa lampau namun aktivitas masyarakat Ambon tetap mencerminkan nilai-nilai dan norma sebagai suatu masyarakat adat dengan salah satu cirinya, yaitu memiliki kelembagaan adat.1 Negeri sebagai kesatuan masyarakat hukum adat di kota Ambon dipimpin oleh seorang Raja yang berasal dari Mata rumah / Rumah tau. Yakni persekutuan marga keluarga awal yang terdiri dari ayah, ibu dan anak dan/atau keluarga dalam soa parentah (persekutuan marga yang memerintah) di negeri yang secara turun temurun diakui dan dihormati sebagai yang berhak untuk memerintah negeri.2 Pada saat ini jumlah keseluruhan Raja-Raja Negeri adat di Maluku, yakni 437 orang terdiri dari 406 Raja laki-laki (93%) dan 31 Raja perempuan (7%). Tempat penelitian penulis meliputi 3 (tiga) negeri, yakni negeri Rumah Tiga, Soahuku dan Tananahu. Penulis memilih tiga (3) negeri tersebut berdasarkan data yang terdapat di kantor Latupati, bahwa dua diantara ke-tiga negeri tersebut, yakni negeri Tananahu dan Soahuku baru pertama kali dipimpin oleh Raja Perempuan. Berbeda halnya dengan negeri Rumah Tiga yang pernah satu kali di pimimpin oleh Raja Perempuan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa di dalam kepemimpinan Raja-Raja di Maluku terdapat masalah kesenjangan jender.
3.2. Hasil Penelitian dan Analisa Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai: (a) Pergeseran citra perempuan dalam kepemimpinan publik Raja-Raja Negeri Adat di Maluku, (b) Tugas ganda perempuan dapat diatasi Raja perempuan, dan (c) Para Raja perempuan dapat mengatasi budaya patriarkhi 1
Pemerintah Kota, Penjelasan Aatas Peraturan Daerah Kota Ambon Nomor – 3 Tahun 2008 Tentang Negeri di Kota Ambon, 22. 2 Pemerintah Kota, Peraturan Daerah Kota Ambon Nomor-13 tahun 2008 tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan, Pengangkatan Dan Pelantikan serta Pemberhentian Raja, Keputusan Walikota Ambon, 1.
17
a. Pergeseran Citra Perempuan dalam Kepemimpinan Publik Raja-Raja Negeri Adat di Maluku Berdasarkan data yang diperoleh melalui teknik FGD, masyarakat di negeri Soahuku berpendapat bahwa kemampuan dalam memimpin lebih banyak diberikan kepada kaum laki-laki. Bagi mereka, Laki-laki dinilai lebih cepat dalam mengambil keputusan dibanding perempuan, laki-laki lebih kuat, perkasa. Namun masyarakat dan pengurus saniri negeri Tananahu mengakui bahwa sebenarnya perempuan memiliki kemampuan yang lebih baik dari laki-laki, bahkan secara intelektual perempuan lebih unggul. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan dari salah seorang warga laki-laki peserta FGD yang mengatakan, bahwa kepemimpinan perempuan sebagai Raja justru lebih baik. Pencitraan bahwa laki-laki lebih berani dan memiliki kemampuan untuk menjadi seorang pemimpin, dan perempuan diangap lemah serta tidak mampu melakukan peran-peran tertentu dalam masyarakat sama sekali tidak benar. Melihat kenyataan yang didapatinya sebagai masyarakat Tananahu yang dipimpin oleh Raja Perempuan, ia mengakui bahwa perempuan lebih tangguh, serta memiliki kemampuan berelasi, terbuka dan jujur.3 Berdasarkan observasi yang peneliti lakukukan, kemampuan seperti membimbing, melindungi, bahkan memberdayakan masyarakatnya dimiliki oleh Ibu Raja dari negeri Tananahu. Berlatar belakang seorang pengusaha, sebelum menjadi Raja di negerinya seperti mengubah kehidupannya untuk lebih peka lagi melihat kenyataan dan pergumulan yang sementara dihadapi oleh masyarakat setempat. Dalam wawancara bersama dengan Mama Raja, Y. A beliau mengatakan untuk menjadi seorang Raja yang memimpin masyarakat golongan menengah ke bawah, harus memiliki kemampuan untuk merangkul, tanpa membiarkan satupun yang luput. Selain itu kekuatan dari segi finansial juga menjadi hal yang tak kalah penting. Hal ini karena untuk memberdayakan orang-orang yang tidak mampu secara finansial, maka saya sebagai Raja yang ingin memberdayakan masyarakatnya harus memiliki kekuatan itu. Menurutnya, menjadi Raja bukanlah soal pekerjaan tetapi soal pelayanan.
4
Beliau menambahkan, menjadi seorang pembimbing
mengharuskan dirinya untuk bersikap benar, tegas dan perkasa tidak boleh terkesan
3 4
Hasil FGD dengan masyarakat Tananahu (22 Agustus 2014). Hasil Wawancara bersama Y.A Mama Raja Negeri Tananahu (20 Agustus 2014, pukul 15:00 WIT).
18
lemah. Sebagai Ibu yang melindungi anak-anaknya, ia harus menciptakan rasa aman dan keterbukaan.5 Dalam teori yang di jelaskan Gilman peranan-peranan seksual telah ditanamkan pada masa anak-anak, lewat institusi keluarga, pendidikan, adat dan hukum. Perempuan dan laki-laki sejak dilahirkan telah terkungkung dalam stereotip yang diciptakan oleh masyarakat di tempat mereka berada.6 Jadi, pemikiran dan perilaku jender seseorang dibentuk oleh lingkungan tempat seseorang lahir, tumbuh dan berkembang. Seperti teori yang dijelaskan juga oleh Davies dan Gunawardena mengenai beberapa wilayah perbedaan anatara laki-laki dan perempuan dalam kepemimpinannya. Yaitu, laki-laki lebih concern terhadap hal-hal yang berhubungan dengan finansial dibandingkan perempuan yang lebih berfokus terhadap orang-orang dalam lingkup pekerjaannya dan beban kerja mereka. Dalam upaya kompetitif
perempuan lebih concern terhadap
kerjasama dan team work. Laki-laki lebih menginginkan status dan penghargaan berbanding terbalik dengan perempuan.7 Peneliti menganalisa bahwa, keberadaan perempuan sebagai Mama Raja berhasil mematahkan penstereotipan yang melekat pada diri perempuan, sesuai dengan pendapat Gilman. Perempuan, tidak lagi terkungkung dalam stereotip yang berlaku dalam masyarakat dimana mereka bertumbuh dan berkembang. Peranan seksual dapat dilakoni perempuan dalam segala bidang. Baik dalam keluarga, pendidikan hukum, dan adat sebagai seorang pemimpin. Citra perempuan dalam kepemimpinan publik dapat disejajarkan dengan laki-laki. Hal itu, karena kelebihan-kelebihan dan kekhasan yang di miliki perempuan sebagai pemimpin. Sama halnya dengan yang dikatakan Davies dan Gunawardena, perempuan tidak hanya berorientasi untuk mengurus dirinya dan keluarganya saja (bidang domestik), tetapi juga masyarakat dan negerinya (bidang publik). Artinya perempuan sangat merata dalam memperhatikan sekelilingnya. Perempuan yang memberikan perlindungan dan rasa aman bagi masyarakat membuktikan bahwa tidak hanya laki-laki yang bisa melakukan hal ini. Perempuan juga dapat menjadi pelindung. Kekuatan dalam kelembutan dan ketegasan perempuan sebagi perempuan 5
Hasil wawancara dengan Y.A Mama Raja Negeri Tananahu (20 Agustus 2014, pukul 15:00 WIT). Sue Thornham, Teori Feminis dan Cultural Studies (terjemahan), (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), 29. 7 Tony Bush dan Marianne Coleman, Manajemen Strategis Kepemimpinan Pendidikan, (Jogkakarta: IRCiSoD, 2006), 98. 6
19
semakin membuat masyarakat merasa aman dan nyaman. Perempuan mampu mengerjakan tugas di bidang domestik dan publik secara seimbang. Berbeda dengan lakilaki yang hanya mampu melakukan salah satu tugas saja, yakni di bidang publik. Pemimpin perempuan juga peduli dengan masyarakatnya yang bermasalah, menderita, dan miskin. Kepedulian yang ditunjukan bukan dengan memberikan bantuan cuma-cuma tetapi mengarahkan dan memberdayakan masyarakatnya untuk mandiri. Dari hasil analisa terhadap data yang diperoleh melalui berbagai teknik di atas, dapat disimpulkan bahwa Mama Raja memang memperhatikan kondisi sosial masyarakat dan negeri yang dipimpinnya. Tindakan konkrit yang dilakukan Mama Raja merupakan bukti kepeduliannya kepada semua orang yang ia pimpin. Perbedaan citra antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat tidak lagi bersesuaian dengan kenyataan yang didapati. Citra yang selama ini ada pada diri laki-laki yaitu sebagai sosok yang kuat, gagah, dan berani berbicara di depan umum serta tegas dalam mengambil keputusan. Citra yang tertanam dalam masyarakat, tentang diri laki-laki dan perempuan, dapat digeser perempuan saat memimpin sebagai Raja. Dengan adanya kepemimpinan perempuan sebagai Raja, jelas terlihat bahwa subordinasi, kekerasan, marginalisasi, sterotip, dan peran ganda dapat diatasi oleh perempuan-prempuan ini.
b. Tugas Ganda Perempuan dapat diatasi Raja Perempuan Dalam teknik observasi yang dilakukan, peneliti menemukan bahwa selain menjadi Raja, perempuan juga harus mengerjakan tugas-tugas domestik yakni mencuci, memasak, menyetrika, mengurus suami, anak, cucu dan lain sebagainya. Perempuan mengerjakan tugas-tugas tersebut secara mandiri tanpa bantuan orang lain. Hal ini disebabkan pola pikir dan kebiasaan masyarakat bahwa di dalam setiap keluarga perempuan harus mengerjakan hal-hal diatas tanpa harus menyewa tenaga bantu. Tugas ini adalah kewajiban setiap ibu di dalam keluarga. Seperti yang telah dijelaskan oleh Gandhi, adanya stereotip tertentu yang dikenakan kepada perempuan dalam masyarakat sering membuat mereka tidak bebas untuk berperan. Perempuan dibatasi karena dianggap tidak pantas, lemah dan tidak mampu melakukan peran-peran tertentu dalam masyarakat. Persepsi mengenai perempuan yang lebih pantas melakukan pekerjaan rumah tangga, membuat perempuan tidak berani keluar 20
dari lingkaran yang telah ditetapkan masyarakat terhadapnya. Stereotip bagi kaum perempuan membuat perempuan tersubordinasi. Subordinasi akan berakibat pada tidak diakuinya potensi perempuan, sehingga perempuan sulit mengakses posisi-posisi strategis dan sentral dalam komunitasnya, terutama yang berkaitan dengan pengambilan kebijakan dan keputusan.8 Disamping itu, saat peneliti melakukan penelitian dengan teknik observasi di Negeri Soahuku, peneliti mendapati suatu kekhasan yang dimiliki oleh Raja perempuan yakni lebih memperhatikan detail, dan proses. Seperti memperhatikan warisan budaya adat, yaitu rumah adat yang selama ini terbengkalai pembangunannya. Hal itu menjadi perhatian Ibu J.R selaku Mama Raja negeri Soahuku. Kepemimpinannya sebagai Raja di negeri Soahuku tidak memfokuskan dirinya kepada jalannya pemerintahan dan tugastugas administrasi semata. Hampir sama dengan penuturan beberapa warga dalam FGD bersama masyarakat negeri Soahuku, mereka mengemukakan kepemimpinan J.R sebagai Raja perempuan di negeri Sohuku meskipun tidak memiliki kecakapan berkomunikasi bersama masyarakat, lebih dari itu J.R dinilai sangat memperhatikan budaya dan warisan para leluhur.9 Keprihatinannya kepada Baileo Negeri Soahuku yang selama ribuan tahun tidak dimiliki oleh negerinya, membuat beliau resah dan dengan dukungan Saniri Negeri beliau giat membangun Baileo. Baileo merupakan simbol adat setiap negeri-negeri adat di Maluku, karena Baileo sendiri merupakan rumah adat orang Maluku.10 Masyarakat sangat menghargai usahanya, sebagai pemimpin perempuan. Baginya, kedudukan laki-laki dan perempuan harus sejajar dan saling melengkapi. Memiliki tujuh bersaudara, terdiri dari enam perempuan dan satu orang laki-laki. Jelas terlihat bahwa dirinya lebih unggul dari lima saudara perempuannya bahkan satu saudara laki-laki, untuk menjadi seorang Raja. Warisan leluhur bukan hanya Baileo dan simbol adat lainnya, tetapi juga menjaga kerukunan hidup orang bersaudara (orang basudara) atau hidup persaudaraan tak terbatas agama. Beliau secara adil melibatkan masyarakat Muslim dan Kristen yang ada di Negeri Soahuku untuk bersama-sama membangun Negeri Soahuku. Pergumulan terbesar yang juga dialami negeri dan masyarakat Tananahu yakni mempertahankan tanah yang diperebutkan oleh perusahaan. Sengketa tanah ini, 8
Happy Budi Febriasih et. al., Jender dan Demokrasi (Malang: Averroes Press, 2008), 21. Hasil FGD masyarakat Soahuku (21 Agustus 2014). 10 Hasil Wawancara bersama J.R Mama Raja Negeri Soahuku (20 Agustus 2014, pukul 19:00 WIT). 9
21
diperjuangkan oleh Ibu Raja tentunya dengan dukungan masyarakat. Setelah sekian lama bergulat dengan kasus ini, tepat di tanggal 3 Januari 2013 diselenggarakan pencanangan kembali hak milik tanah dari tanah perusahaan ke tanah negeri. Berdasarkan observasi di lapangan, peneliti menemukan adanya pabrik sagu, yang didanai oleh Pemerintah dan dana pribadi ibu Y.A. Bahan mentah sagu yang di tanam di negeri Tanahnahu kemudian diolah di pabrik sagu menggunakan mesin dan dikerjakan oleh para pekerja pria yang berasal dari masyarakat setempat. Setiap bulan hasil olahan sagu yaitu sagu manta atau sagu mentah dikirim ke Cirebon sebanyak 60 ton. Hasil olahan sagu lainnya seperti kuekue kering, ataupun kerajinan tangan dikerjakan oleh perempuan-perempuan negeri Tananahu. Masyarakat yang dulunya tidak memiliki pekerjaan, saat ini dapat dikatakan makmur baik laki-laki maupun perempuan. Kepemimpinan dan Pelayanannya dilakukan juga bersama suami, anak-anak dan menantu serta seluruh masyarakatnya. Selama observasi yang penulis lakukan, mulai dari rumah sampai dalam pemerintahan di Negeri, jelas terlihat sosok Mama Raja Tananahu sangat dicintai oleh keluarga dan masyarakatnya. Hal ini semakin diperkuat saat, FGD berlangsung antar warga laki-laki dan perempuan. Mereka jujur mengungkapkan bahwa nyaris tidak ditemukan kekurangan selama dua periode kepemimpinan Ibu Y.A sebagai Ibu Raja. Mulai dari periode pertama tahun 2007-2013 dilanjutkan periode kedua tahun 2013-2019.11 Dalam wawancara bersama seorang pengurus di Latupati beliau mengatakan bahwa, saat dalam proses penentuan calon Raja dalam satu mata rumah perempuan jarang di ikut sertakan. Sekalipun ada sebagian kecil yang di sertakan dalam penentuan calon Raja dan diminta untuk menjadi calon Raja
dalam proses pemilihan di Negeri,
perempuan selalu menolak dengan alasan bahwa tugas yang mereka jalani sangat berat, mereka harus mengurus rumah tangga dan juga bekerja keras mencari nafkah demi mencukupi
kebutuhan
keluarga.12
Ternyata
perempuan
telah
terbiasa
dengan
penstereotipan yang selama ini melekat pada dirinya, yaitu untuk bekerja di ruang domestik. Ruang publik sepertinya hanya menjadi milik laki-laki. Perempuan Maluku umumnya masih terkurung dalam pemikiraan yang memandang laki-laki lebih pantas sebagai sosok pemimpin dan berbicara di depan banyak orang.
11 12
Hasi FGD bersama masyarakat Tananahu (22 Agustus 2014). Hasil wawancara dengan M.S pengurus Latupati (18 Agustus 2014).
22
Berbeda dengan hal di atas salah seorang warga negeri Rumah tiga mengatakan, bahwa sebenarnya, ketika perempuan diminta untuk terlibat dalam penentuan pencalonan Raja, didapati lebih dari satu orang calon perempuan dan mereka bersedia, sayangnya tidak diperbolehkan oleh kepengurusan pemilihan Raja, dengan alasan bahwa sudah menikah dan menjadi bagian keluarga dari suaminya karena menyandang marga dari suaminya. Sebagai istri, perempuan harus mengerjakan tugas-tugas domestiknya.13 Menurut teori Elison Scoot, marginalisasi berarti menempatkan perempuan ke pinggiran. Perempuan selalu dinomorduakan apabila ada kesempatan memimpin. Marginalisasi juga berakibat diskriminasi terhadap pembagian kerja menurut jender (jenis kelamin).14 Padahal tidak seharusnya demikian, jika kaum laki-laki bersedia membantu perempuan untuk melakukan tugas-tugas domestik dalam keluarga mungkin kaum perempuan pun dapat terlibat dalam kepemimpinan organisasi masyarakat adat yaitu sebagai Raja. Konsep jender yang dipahami masyarakat menimbulkan standarisasi pelabelan antara laki-laki dan perempuan secara sosial. Pelabelan feminim dan maskulin menyebabkan pembagian kerja laki-laki dan perempuan dalam masyarakat tidak setara.15 Melalui wawancara bersama Mama Raja Negeri Rumah Tiga, peneliti menemukan banyak sekali peran ganda yang harus dilakukan Mama Raja Negeri Rumah Tiga ini. Antara lain, sebagai seorang ibu rumah tangga, guru SD, Majelis Jemaat bahkan seorang Raja bukan perkara gampang. Peran ganda ini harus digeluti setiap hari oleh Ibu N. S.W yang memiliki suami seorang Polri dan dua anak laki-laki.16 Lewat observasi yang dilakukan penulis selama beberapa hari di Rumah Tiga, penulis mendapati sosok Ibu Raja yang tenang, dan sangat sederhana. Terbukti selama dalam pertemuanpertemuan beliau lebih memberikan waktu kepada suaminya untuk lebih benyak berbicara. Banyak hal yang telah dilakukan Ibu N.S.W terhadap negerinya yang adalah kawasan bekas konflik Maluku. Seperti, menghidupkan kembali sanggar totobuang, yaitu sanggar kesenian asli Negeri Rumah Tiga, dan penertiban rumah-rumah sewaan disekitar negeri Rumah Tiga.
13
Hasi FGD bersama masyarakat Rumah Tiga (19 Agustus 2014) Elison Scoot dalam Achmad Muthali’in, 34. 15 Mansour Fakih, 11. 16 Hasil Wawancara bersama N.S.W Mama Raja Negeri Rumah Tiga (18 Agustus 2014). 14
23
Dari hasil observasi dan wawancara yang dilakukan peneliti, dapat dilihat bahwa pemimpin perempuan seringkali tidak melihat kekuasaanya sebagai alat untuk menguasai pihak lain, tetapi melihat orang atau pihak lain yang dipimpin sebagai rekan. Keberadaan perempuan sebagai seorang Raja tidak serta merta membuatnya menjadi pemimpin yang otoriter. Tidak memandang dirinya berada pada puncak hierarki kekuasaan. Julia Cleves Mosse mengungkapkan bahwa pembagian peran jender yang tradisional dalam masyarakat sangat sulit untuk berubah, sebab jika hal itu terjadi maka akan merubah tatanan mapan masyarakat yang sudah terbentuk sejak lama.17 Dapat di analisa bahwa, teori Julia Cleves, sangat lemah. Begitu juga dengan pendapat Gandhi dan Scoot tentang posisi perempuan yang terpinggirkan karena lemah dan tidak mampu melakukan peran-peran tertentu di masyarakat. Jika dibandingkan dengan laki-laki yang dianggap lebih pantas karena kuat. Dalam kenyataannya, dapat di geser oleh para Raja perempuan ini. Rupanya perempuan dalam tugasnya sebagai seorang Mama Raja, berbeda dengan laki-laki, perempuan harus membuat keseimbangan sehingga tidak ada bagian atau aspek yang dikorbankan. Dalam bekerja, laki-laki hanya dapat berpusat pada satu hal saja. Perempuan tidak memandang tugas yang harus dikerjakan di dalam rumah tangganya, sebagai gangguan atau ancaman dalam pekerjaan sebagai pemimpin masyarakat adat, melainkan sebagai suatu keadaan wajar. Dari data yang ada, perempuan lebih terampil dalam segala hal, baik di rumah tangga maupun dalam pemerintahan negeri. Laki-laki akan kewalahan saat mengerjakan tugas publik dan domestik secara bersamaan. Perhatian permpuan tidak hanya berpusat pada satu fokus saja. Seperti teori yang dijelaskan oleh Kartini Kartono, mengenai tiga syarat penting menjadi pemimpin, yaitu memiliki kekuasaan, kewibawaan, dan kemampuan.18 Ketiga Mama Raja ini juga memiliki persyaratan-persyaratan tersebut. Mereka mempunyai otoritas dalam memimpin masyarakat adat, seperti memperjuangkan kembali hak-hak tanah Negeri yang dilakukan oleh Mama Raja Y.A. Kewibawaan sebagai perempuan walaupun, tidak berasal dari Soa Parenta juga dimiliki oleh Mama Raja negeri Rumah Tiga. Meskipun bukan berasal dari Soa Parenta, yaitu salah satu syarat pencalonan Raja di Maluku, tetapi beliau memiliki wibawa yang setara dengan orang lain yang berasal dari
17 18
Julia Cleves Mosse, Jender dan Pembangunan (Terjemahan), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 65. Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan, 31.
24
Soa Parenta. Kewibawaannya, lahir dari kelebihan-kelebiahan yang ia miliki untuk mengatur negeri dan masyarakatnya. Kehadiran dan keberhasilan kepemimpinan perempuan sebagai Raja menarik untuk di analisa. Aspek pemeliharaan sangat ditekankan oleh perempuan. Tidak hanya kepada urusan administratif tetapi juga kepada warisan budaya yang menjadi simbol masyarakat dan negeri adat yang dipimpinnya. Kepedulian ini dilakaukan Raja perempuan mungkin disebabkan latar belakang kehidupannya sebagai seorang perempuan, dan juga sebagai seorang ibu. Ternyata keberhasilan yang dicapai pada umumnya karena adanya dukungan dari orang lain disekitarnya, terutama dukungan keluarga seperti suami dan anak-anaknya. Nampaknya dukungan keluarga tidak disiasiakan. Perempuan memperhatikan profesinya sebagai seorang Raja, tetapi pada saat yang sama juga tidak melupakan kebutuhan keluarga. Menjadi Mama Raja membuktikan bahwa perempuan tidak lagi tersubordinasi. Berdasarkan analisa di atas maka disimpulkan bahwa tugas atau peran ganda yang dibebankan kepada kaum perempuan dapat dijalani dengan seimbang. Pekerjaan didalam rumah tangga dengan baik tanpa harus mengorbankan tugasnya sebagai Mama Raja. Begitupun sebaliknya. Perempuan rupanya memiliki ketrampilan multi focus berbeda dengan laki-laki yang hanya dapat berfokus pada satu pekerjaan saja.
c. Para Raja Perempuan dapat mengatasi budaya Patriarkhi Budaya patriarkhi merupakan salah satu penyebab kesenjangan jender dalam kepemimpinan negeri adat di Maluku. Adanya budaya patriarkhi yang menomorsatukan laki-laki dalam berebagai macam posisi membuat perempuan menjadi tersisih dan terpojokan. Menurut seorang warga Tananahu dalam wawancara, kepemimpinan lakilaki dianggap sebagai kodrat yang diberikan Tuhan. Dalam hal kepemimpinan sudah seharusnya laki-laki berdiri paling depan. Perempuan tidak diperbolehkan mendahului laki-laki dalam berbicara maupun mengambil keputusan.19 Hal ini disebabkan dalam budaya masyarakat di Maluku, kepemimpinan lebih sering dipercayakan kepada lakilaki. Kenyataan ini jelas mensterotipkan laki-laki dan perempuan dalam kemampuannya sebagai pemimpin. Hal ini tidak berarti bahwa perempuan tidak berpengalaman. 19
Hasil wawancara dengan S.T seorang warga Negeri Tananahu (25 Agustus 2014).
25
Berkaitan dengan hal itu dalam keluarganya, beliau terdiri dari enam bersaudara, dua laki-laki dan empat perempuan. Meskipun terdapat laki-laki, kemampuan Ibu Y. A sebagai pemimpin membuat Ia diusulkan dari Mata Rumah, setelah proses perundingan sebagai calon tunggal untuk menjadi Raja. Kehadiran Y. A sebagai Raja perempuan yang membawa perubahan baik bagi masyarakatnya dapat merubah sterotip yang selama ini melekat pada diri perempuan. Dalam wawancara bersama salah seorang pengurus Latupati, beliau mengatakan bahwa konstruksi budaya yang mengakar kuat di setiap masyarakat Maluku, menjadi penyebab pola pikir masyarakat Maluku pada umumnya tentang pencitraan laki-laki yang lebih pantas menjadi Raja dalam suatu negeri adat. Kepemimpinan merupakan masalah organisasi, oleh karena itu perempuan di anggap lebih pantas di rumah melayani suami dan anak-anak. Dalam Mata Rumah Parenta atau Soa Parenta, yang merupakan syarat khusus calon Raja, lebih banyak laki-laki meskipun dalam Mata Rumah tersebut terdapat perempuan yang memiliki hak yang sama untuk diajukan sebagai calon Raja.20 Menarik bagi peneliti melakukan penelitian di negeri Rumah Tiga, sehubungan dengan latar belakang Ibu Raja yang tidak berasal dari Mata Rumah Parenta atau Silsilah keluarga yang berhak mencalonkan utusan keluarganya sebagai Raja, yaitu syarat bagi seseorang untuk mencalonkan dirinya sebagai Raja. Hak untuk menjadi Raja sebenarnya ada pada suaminya namun karena keterikatan pekerjaan sebagai anggota Polri, tanggungjawab ini di serahkan kepada sang istri. Sebenarnya dari pihak suami yang berasal dari Mata Rumah Parenta, memiliki 8 saudara, yakni 5 laki-laki dan 3 perempuan. Tetapi karena Ibu N.S.W dianggap memiliki kemampuan memimpin diatas rata-rata, maka direkomendasikan oleh mata rumah atau keluarga dari pihak suami sebagai calon Raja lewat proses pengundian di gereja. Naomi Wolf mengungkapkan bahwa antara laki-laki dan perempuan itu sama, salah satu dari mereka seharusnya tidak boleh dianakemaskan hanya karena berbeda jenis kelamin. Laki-laki maupun perempuan memiliki kedudukan yang sama, keduanya dapat melakukan pekerjaan apa saja, tidak diklasifikasikan tetapi dapat dipertukarkan
20
Wawancara dengan M.S salah seorang pengurus Latupati (18 Agustus 2014).
26
satu sama lain.21 Menurut Elisabeth Fiorenza, inti dari patriarkhi yaitu ketergantungan pada kontrol kekuasaan laki-laki. Kepatuhan menjadi esensi utama patriarkhi.22 Fakta ini membuktikan bahwa kaum laki-laki diidentikan sebagai pemimpin pada aras yang lebih tinggi sedangkan perempuan pada aras yang rendah. Adanya pengaruh budaya patriakhi mempengaruhi segala aktifitas individu maupun masyarakat. Menarik untuk menganalisa kehadiran keberhasilan Mama Raja di tengah masyarakat Maluku yang selama ini terbiasa dengan budaya Patriarkhi. Dengan adanya pemimpin-pemimpin perempuan, yaitu sebagai Mama Raja, Patriarkhi kurang dipertimbangkan dan tidak lagi memadai. Kepemimpinan ke tiga ibu Raja ini dengan kekhasan yang di miliki mereka dapat menerobos budaya Patriarkhi yang sebelumnya mengakar kuat dalam masyarakat Maluku. Rupanya perempuan mampu menghadapi dan menolak budaya Patriarkhi yang cenderung memilih laki-laki sebagai pemimpin. Terbukti perempuan dapat mengekspresikan sikap-sikap perempuan yang dapat merawat dan menjaga dan diterapkan pada komunitasnya. Akhirnya karena kekhasan sikap-sikap perempuan seperti menjaga warisan leluhur, menjaga keseimbangan dalam tugas domestik maupun publik dan mempertahankan tanah atau tempat tinggal masyarakatnya serta memberdayakan masyarakat itulah yang menjadikan perempuan mempertahankan eksistensinya sebagai Raja di tengah budaya Patriarkhi. Dapat disimpulkan dari hasil analisa, yaitu budaya Patriarkhi tidak bersesuaian dengan kenyataan. Kepemimpinan Raja perempuan, membuktikan bahwa perempuan dapat keluar dari pandangan masyarakat yang dahulu membentuknya, terkait dengan stereotip feminitas yang dilekatkan pada diri perempuan yaitu, lemah, halus, tergantung, dan tidak tegas. Hal ini berarti laki-laki dan perempuan memiliki kesejajaran dalam berbagai aspek seperti yang diungkapkan oleh Naomi Wolf.
21
Naomi Wolf, Gegar Jender:Kekuasaan Perempuan Menjelang Abad 21 (terjemahan), (Yogyakarta: Pustaka Semesta Press, 1997), 205 22 Elisabeth Fiorenza, Discipleship of Equals, A Critical Feminist Ekklesiologi of Liberation (London: SCM Press, 1993), 213.
27
3.3 Rangkuman
Berdasarkan data di atas maka dapat disimpulkan, bahwa faktor penyebab kesenjangan jender dalam struktur kepemimpinan Negeri adat di Maluku karena masih ada budaya patriarkhi dalam masyarakat Maluku. Sebagai akibatnya mereka sukar untuk memilih pemimpin yang terbaik bukan dari latar belakangnya sebagai perempuan. Meskipun demikian, kehadiran dan kualitas Raja-Raja perempuan atau Mama Raja dapat menggeser pandangan itu. Ternyata tiga orang perempuan menghadapi dan menyiasati budaya patriarkhi dan menjadikan mereka sebagai pemimpin karena pergeseran citra perempuan dalam kepemimpinan publik Raja-Raja Negeri Adat di Maluku, tugas ganda perempuan yang dapat diatasi Raja Perempuan, dan kemampuan para Raja Perempuan yang dapat mengatasi budaya Patriarkhi. Laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama dalam mengemukakan pendapat, mengambil keputusan, maupun menjadi seorang pemimpin. Kesederajatan menjadi pemimpin jelas mulai terlihat dengan adanya Raja perempuan. Baik laki-laki maupun perempuan tentunya memiliki kekhasan yang berbeda dalam hal kepemimpinan. Kepemimpinan seorang Perempuan memiliki kekhasan yang tidak dimiliki laki-laki, yaitu sebagai seorang Ibu yang sederhana, tetapi tidak miskin untuk memberdayakan anak-anaknya. Serta menghargai dan memperhatikan hal-hal kecil yang justru dipandang sepele. Keadaan ini membuat mereka dianggap mempunyai kelebihan dam kekhasan. Ternyata saat ini juga, masyarakat sudah dapat menerima perempuan sebagai Raja, dan menerima perempuan ditengah-tengan komunitas masyarakat adat.
28