II. TINJAUAN PUSTAKA A. KARET ALAM DAN KARET ALAM PADAT (SIR 20) Karet alam adalah senyawa hidrokarbon yang dihasilkan melalui penggumpalan getah dari hasil penyadapan tanaman tertentu. Getah tersebut kemudian dikenal dengan sebutan lateks, yaitu suatu cairan putih yang keluar dari batang tanaman yang disadap (Le Brass 1968). Menurut alfa (1995), karet alam termasuk ke dalam elastomer karena mempunyai sifat deformasi elastis. Dalam suhu ruang dan kondisi normal, karet mempunyai sifat lentur, elastis dan lembek sehingga karet dapat melunak karena deformasi. Komposisi karet alam dipengaruhi oleh komposisi lateks dan cara pengolahan yang digunakan untuk mendapatkan karet alam mentah. Karet alam mempunyai bobot molekul antara 200.000-400.000 dan bobot jenisnya 0,92. Adanya rantai molekul pendek menyebabkan daya rekat karet yang tinggi. Karet alam adalah polimer berbobot molekul tinggi dari isoprene yang mempunyai konfigurasi cis-1,4-isoprena (Honggokusumo 1978). Struktur ruang cis-1,4-isoprena dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Struktur ruang cis-1,4-isoprena (Honggokusumo 1978) Menurut Eng et al. (1997), bobot molekul karet alam berkisar antara 1 sampai 2 juta. Partikel karet alam terdiri dan hidrokarbon karet, lemak, glikolipida, fosfolipida, protein, karbohidrat, bahan anorganik, dan lain-lain dengan komposisi seperti terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Partikel Karet Alam Komposisi (%) Jenis Komponen Hidrokarbon karet 93.7 Lemak 2.4 Glikolipida, fosfolipida 1.0 Protein 2.2 Karbohidrat 0.4 Bahan Anorganik 0.2 Lain-lain 0.1 Sumber: Tanaka (1998) Karet alam memiliki kelebihan dibandingkan dengan karet sintetik, diantaranya memiliki daya elastis sempurna, plastisitas yang baik, sedangkan vulkanisnya mempunyai ketahanan kikis yang tinggi, kalor timbul kecil dan daya tahan yang tinggi terhadap keretakan akibat benturan
3
yang berulang- ulang. Kekurangan karet alam diantaranya tidak tahan oksidasi, ozon, cahaya matahari, serta ketahanan terhadap minyak dan hidrokarbon yang sangat buruk (Arizal 1994). Karet remah merupakan salah satu jenis karet alam. Menurut Setyamidjaja (1993), karet ini tidak digolongkan atas visualisasi semata, tetapi berdasarkan sifat karet yang diuji dalam laboratorium. Karet ini di-bal dengan berat 33.3 kg. Karet ini diproses dengan cara mencacah dan membersihkannya. Selanjutnya, karet dikeringkan pada temperatur 100 – 110 oC, sehingga pengeringan berlangsung lebih cepat. Di Indonesia, penentuan kualitas karet ini berpedoman pada Standard Indonesian Rubber (SIR). Karet remah atau crumb rubber adalah produk karet alam yang relatif baru. Dalam Perdagangan dikenal dengan sebutan “karet spesifikasi teknis”, karena penentuan kualitas atau penjenisannya dilakukan secara teknis dengan analisis yang diteliti di laboratorium. Bentuk bongkah dibuat setelah bahan baku karet alam ini melalui peremahan lebih dahulu, sehingga disebut juga karet remah atau crumb rubber. Keuntungan pengolahan karet remah adalah proses pengolahannya lebih cepat, produk lebih bersih dan lebih seragam, dan penyajiannya lebih menarik (Anonim 2009). Spesifikasi dari crumb rubber adalah dengan menggunakan standar yang dikenal dengan nama SIR (Standard Indonesian Rubber) yaitu produk karet alam yang baik processing ataupun penentuan kualitasnya dilakukan secara spesifikasi teknis. Adapun standar spesifikasi SIR dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Spesifikasi Standard Indonesian Rubber Spesifikasi SIR5 SIR20 SIR35 Kadar kotoran (%) 0,05 0,20 0,35
SIR50 0,50
Kadar Abu (%) Kadar zat menguap (%) Sumber: Anonim (2009)
0,50
0,75
1,00
1,25
1,00
1,00
1,00
1,00
Menurut Solichin (1991), penetapan syarat mutu teknis karet adalah sebagai berikut: 1. Plastisitas awal (Po), dimaksudkan untuk mengetahui panjang rantai molekul karet dari pembentukan atau pemutusan ikatan silang dalam rantai molekul karet. 2. Plasticity Retention Index (PRI), dimaksudkan untuk mengetahui daya tahan karet terhadap degradasi oleh oksidasi yang terjadi selama proses pengeringan pada suhu tinggi yang dipengaruhi oleh perimbangan senyawa pro-oksidan dan anti-oksidan dalam karet. 3. Viskositas Mooney (VM), yaitu untuk mengetahui panjang rantai molekul serta derajat pengikatan silang dalam rantai molekul karet, yang dipengaruhi oleh waktu penyimpanan (storage hardening). 4. Kadar abu, dimaksudkan untuk menjamin agar karet mentah tidak terlalu banyak mengandung bahan kimia seperti: natrium bisulfit, natrium karbonat, tawas. 5. Kadar zat menguap, yaitu untuk mengetahui bahwa karet mentah telah mengalami proses pengeringan yang sempurna; dipengaruhi oleh suhu pengeringan, bentuk dan ukuran bahan. 6. Kadar nitrogen, yaitu untuk mengetahui jumlah zat-zat yang mengandung nitrogen dari senyawa protein dan turunannya dalam karet mentah. Di pasaran, sekitar 99% karet alam diperoleh dalam bentuk karet padat, dan sisanya dalam bentuk lateks pekat. Berdasarkan bahan bakunya karet padat dibedakan menjadi dua yaitu karet padat yang dibuat dari lateks kebun dan karet padat yang dibuat dari lum. Lum adalah lateks
4
yang telah menggumpal pada saat penyadapan. Contoh karet padat yang dibuat dari lateks kebun adalah Ribbed Smoked Sheet (RSS), pale crepe, Standard Indonesian Rubber 3 Constant Viscosity (SIR 3 CV); sedangkan contoh karet padat yang dibuat dari lum adalah Brown crepe, SIR 10, dan SIR 20. (BPTK 2005). SIR 20 termasuk karet dengan mutu yang relatif rendah dibandingkan dengan SIR 5 dan SIR 3 (Setyamidjaja 1993). Bahan baku karet ini berasal dari lum mangkok, skrep, lum tanah, krep mutu rendah, maupun lump yang menempel pada batang pohon. Mutu yang rendah ini menyebabkan harganya murah.
B. DEGRADASI KARET Degradasi karet merupakan proses pendegradasian polimer dengan cara menghilangkan kesatuan monomer secara bertahap dalam reaksi (Ramadhan et al. 2005). Degradasi molekul karet dilakukan untuk memperoleh karet dengan bobot molekul rendah yang ditandai dengan rendahnya viskositas Mooney (Surdia 2000). Degradasi karet secara mekanis terjadi melalui proses perlakuan pelunakan (mastikasi). Menurut Bristow dan Watson (1963), yang berperan dalam proses pemutusan rantai molekul karet pada mastikasi dingin adalah tenaga mekanis yang berasal dari gaya geser antara permukaan gilingan dengan balok karet (the bulk rubber). Pemutusan rantai molekul oleh tenaga mekanik akan menghasilkan radikal-radikal bebas yang akan mengikat oksigen dari udara, sehingga terbentuk molekul-molekul yang stabil. Mastikasi karet alam menyebabkan degradasi molekul, sehingga berat molekulnya kira-kira menjadi sepersepuluh dari berat molekul semula. (Kartowardojo 1980). Degradasi karet alam (SIR 20) yang dilakukan meliputi persiapan bahan, penggilingan dengan two roll mill (mastikasi), penambahan bahan kimia dan pengujian. Mastikasi adalah proses pelunakan (plastisasi) elastomer, sebagai langkah persiapan bagi proses pencampuran dengan tujuan agar bahan kimia yang ditambahkan dapat tercampur merata. Untuk memudahkan pelaksanaan plastisasi dapat ditambahkan peptizer (Alam 2003). Mastikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah mastikasi dingin karena menggunakan suhu 60 oC. Pelunakan digolongkan dalam mestikasi dingin jika mastikasi dilakukan pada suhu di bawah 100 oC (Amir, 1990). Proses penggilingan SIR 20 merupakan proses perlakuan awal atau pendahuluan untuk melunakkan karet hingga mudah bercampur satu sama lain. Pelunakan ini diakibatkan oleh pemutusan rantai molekul polimer, sehingga diperoleh bobot molekul yang lebih rendah. Pada karet alam, pemutusan terjadi pada ikatan karbon pada rantai utama (back bone) yaitu –CH2CH2--. Pada proses mastikasi karet alam akan terjadi penurunan bobot molekul dari orde 106 hingga sepuluh kali lebih rendah (Bristow dan Watson 1963). Menurut Abednego (1990), efisiensi mastikasi karet tercapai pada dua zona suhu rendah (misalnya di bawah 60 oC) dan pada suhu tinggi (misalnya di atas 140 oC), sedangkan pada suhu ±100 oC, efisiensi mastikasi lebih rendah. Selanjutnya dijelaskan bahwa oksigen sangat berperan dalam mastikasi. Mastikasi tanpa adanya oksigen menyebabkan karet alam sulit mengalami pelunakan. Menurut Prastanto dan Ary (2005), mastikasi dilakukan agar diperoleh karet dengan viskositas Mooney 20 ML (1+4) 100 oC pada pembuatan sealer. Hal ini berarti bahwa karet yang digunakan memiliki angka viskositas Mooney sebesar 20 pada syarat waktu pemanasan pendahuluan yang dinyatakan dalam menit sebesar 1 menit, waktu pemanasan alat pengujian
5
selama 4 menit dan pengujian berlangsung pada suhu 100 oC. Kondisi optimum mastikasi dilakukan dengan memvariasikan jumlah peptizer dan waktu mastikasi (3, 6, 12, 24, 48 menit) sampai diperoleh kondisi yang paling optimum. Suhu mastikasi awal adalah 40 oC dan suhu akhir mastikasi 60 oC.
C. HIDROKSILAMIN NETRAL SULFAT (HNS) Hidroksilamin netral sulfat merupakan bahan kimia yang banyak digunakan secara komersial untuk memproduksi karet viskositas mantap. Menurut Solichin et al. (1995), hidroksilamin yang digunakan untuk memproduksi karet viskositas mantap adalah dalam bentuk garam Hidroksilamin netral sulfat (NH2OH)2H2SO4.. Struktur hidroksilamin dapat dilihat pada Gambar 2.
O HO
S
OH
O NH2 OH Gambar 2. Struktur Hidroksilamin (Hoyle 2007) Hidroksilamin Netral Sulfat (HNS) dapat memantapkan viskositas Mooney karet alam melalui pengikatan gugus aldehida, sehingga membentuk gel karena gugus aldehida pada rantai poliisoprena terlebih dahulu diikat sebelum gugus aldehida tersebut melakukan reaksi selanjutnya. Adapun dasar dari pencegahan cross linking ini adalah untuk menghilangkan kereaktifan gugus aldehida pada rantai poliisoprena dan mereaksikannya dengan senyawa amina monofungsional, yaitu hidroksilamin atau garamnya. Hidroksilamin merupakan senyawa yang cukup reaktif untuk mencegah terjadinya ikatan silang dan paling banyak digunakan sebagai bahan pemantap viskositas Mooney karet alam secara komersial. Namun, cara aplikasi yang biasa dilakukan berupa 10% HNS dalam air. Pelarutan HNS dalam air akan melepaskan kembali molekul asam sulfat yang bersifat korosif, sehingga dalam aplikasinya menyebabkan beberapa kerusakan terhadap berbagai peralatan dan mesin-mesin pada proses pembuatan karet. Oleh karena itu, pelarutan HNS dalam air sebaiknya dihindari (Budianto et al. 2007). Karet alam lama-kelamaan dapat meningkat viskositasnya atau menjadi keras. Karet alam yang sudah direaksikan dengan hidroksilamin tidak akan mengeras selama penyimpanan dan disebut karet CV (Constant Viscosity). Hidroksilamin direaksikan dengan karet agar karet alam tidak mengkristal pada suhu rendah, karena apabila ini terjadi diperlukan pemanasan karet terlebih dahulu sebelum diolah di pabrik barang jadi karet (Budianto et al. 2007).
6
D. PEPTIZER Peptizer biasanya berasal dari golongan tiol atau merkaptan yang mengandung gugus aromatik, sehingga dapat memutus rantai polimer. Penggunaan sedikit bahan ini cukup besar pengaruhnya dalam menurunkan viskositas karet (Alfa 2003). Peptizer terbagi dua, yaitu chemical peptizer dan physical peptizer (Ho 1982 diacu dalam BPTK 2005): 1. Chemical peptizer Pada proses mastikasi terjadi pemutusan rantai pada karet. Ikatan yang putus terletak pada ikatan setelah ikatan rangkap dua diantara unit-unit monomer, dengan adanya pemanasan akan mempercepat putusnya ikatan. Peptizer kimia digunakan sebagai katalis pada proses mastikasi. Konsentrasi yang digunakan pada peptizer kimia adalah 0,15 sampai 0,25 bsk (berat per 100 gram karet). 2. Peptizer fisik Peptizer fisik dapat melunakkan polimer dengan proses pelumasan yang berada diantara rantai polimer. Konsentrasi yang digunakan pada peptizer fisik ini adalah 2 sampai 3 bsk. Suhu yang digunakan adalah di bawah 100 0C.
E. ASPAL MODIFIKASI Aspal didefinisikan sebagai material berwarna hitam atau coklat tua yang pada temperatur ruang berbentuk padat sampai agak padat. Apabila dipanaskan sampai temperatur tertentu dapat menjadi lunak/cair sehingga dapat membungkus partikel agregat pada waktu pembuatan campuran aspal. Aspal akan mengeras dan mengikat agregat pada tempatnya. Oleh karena itu, aspal bersifat termoplastis (Anonim 2000). Bahan dasar utama dari aspal adalah hidrokarbon yang umumnya disebut bitumen, sehingga aspal sering juga disebut bitumen. Aspal umumnya berasal dari salah satu hasil destilasi minyak bumi (aspal minyak) dan bahan alami (aspal alam). Aspal minyak pada suhu ruang (25 – 30 oC) berbentuk padat dan dibedakan berdasarkan nilai penetrasinya. Aspal dengan penetrasi rendah digunakan di daerah bercuaca panas dengan volume lalu lintas tinggi. Aspal dengan penetrasi tinggi digunakan untuk daerah bercuaca dingin dan lalu lintas rendah. Di Indonesia umumnya digunakan aspal penetrasi 60/70 dan 80/100. Aspal minyak (aspal semen) bersifat mengikat agregat pada campuran aspal dan memberikan lapisan kedap air, serta tahan terhadap pengaruh asam, basa dan garam. Sifat aspal akan berubah akibat panas dan umur, aspal akan menjadi kaku dan rapuh, akhirnya daya adhesinya terhadap partikel agregat akan berkurang (Anonim 2000). Aspal adalah bahan visko elastik yang sifatnya berubah akibat perubahan temperatur. Pada temperatur rendah berbentuk semi padat sedangkan pada temperatur tinggi berbentuk cair. Hal ini disebabkan perubahan jarak partikel aspal. Pada temperatur tinggi, jarak antar partikel mejadi renggang sehingga aspal berubah menjadi cair, pada temperatur rendah, jarak antar partikel menjadi dekat, sehingga aspal menjadi padat (Suroso 2007). Hasil eksperimen mengenai campuran antara aspal dan karet telah banyak dilakukan. Dengan mencampurkan karet dengan aspal selama 45 – 60 menit, maka akan dihasilkan suatu material baru. Material ini memiliki karakteristik teknis yang menguntungkan pada kedua komposisi yang disebut aspal karet (Huffman 1980). Aspal tersebut diabsorbsi oleh partikel karet yang bertambah besar pada temperatur tinggi, sehingga meningkatkan konsentrasi aspal cair dalam campuran beraspal.
7