8
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Penelitian Sebelumnya
Berdasarkan hasil kajian tentang pengelolaan bersama (joint management) pelayanan persampahan di wilayah perkotaan (Pusat Kajian dan Diklat Aparatur, 2004) dengan pengelolaan sampah yang dilakukan oleh pemerintah pada umumnya, dapat digambarkan sebagai berikut:
Swadaya masyarakat
Pengelolan Sampah oleh Dinas Cipta Karya
Pengangkutan secara swadaya Sampah tercampur dari rumah tangga/sekolah/pasar
Pengangkutan
TPS/Depo Sampah
Tempat Pembuangan Akhir Sampah
Recycling Pemulung
Gambar 2.1 Pengelolaan Sampah oleh Pemerintah yang diolah Pengelolaan sampah yang dilakukan oleh pemerintah pada umumnya sampah yang sudah tercampur dari rumah tangga/sekolah/pasar yang berada di TPS diangkut oleh Dinas Cipta Karya ke tempat pembuangan akhir sampah. Sedangkan
untuk
tangga,sekolah,pasar)
pengangkutan
sampah
dari
sumber
sampah
(rumah
ke TPS diangkut secara swadaya oleh masyarakat dan
pemulung memilah sampah di sumber sampah. TPS dan TPA. Sistem ini dianggap belum optimal karena keterbatasan daya angkut sampah yang dimiliki oleh Dinas Cipta Karya atau PD Kebersihan. Masalah ini menyebabkan
9
tidak semua sampah bisa terangkut habis. Kelemahan ini juga ditambah dengan lemahnya penerapan peraturan daerah serta disiplin masyarakat yang kurang menunjang. Selain itu, sistem pengelolaan sampah ini menimbulkan persoalan yaitu: a. Persepsi dan perilaku masyarakat yang masih salah tentang sampah. Persepsi tersebut antara lain: sampah adalah urusan pemerintah melalui Dinas Pekerjaan Umum Cipta Karya atau PD Kebersihan; sampah dapat dibuang dimana saja, baik di jalan, di pasar, di sungai dan sebagainya; serta masyarakat tidak mengetahui bahaya sampah plastik dan lain-lain (Pusat Kajian dan Diklat Aparatur, 2004). b. Banyaknya pembuangan sampah di luar TPS menunjukkan indikasi bahwa jumlah TPS yang tersedia di suatu wilayah kurang mencukupi (Amin, 2000). c. Pengangkutan sampah umumnya dilakukan dengan menggunakan gerobak atau truk pengangkut sampah yang dikelola oleh kelompok masyarakat maupun dinas kebersihan. Masalah yang terjadi pada saat pengangkutan sampah adalah sampah dan cairan sampah berceceran sepanjang rute pengangkutan, atau terhalangnya arus transportasi akibat truk pengangkut sampah yang digunakan oleh dinas kebersihan kota mengangkut sampah (Pusat Kajian dan Diklat Aparatur, 2004). d. Penanganan TPA yang tidak bijak menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan karena bau yang ditimbulkan dari sampah yang terdekomposisi, bau tersebut kemudian akan mengundang lalat yang dapat menyebabkan berbagai penyakit menular. Selain hal tersebut tanah maupun air tanah dan air bawah tanah terkontaminasi oleh cairan lindi karena TPA tidak dilengkapi dengan kolam pengolah lindi. Hal tersebut menyebabkan kesulitan bagi pengelolaan sampah untuk menyediakan lahan yang akan digunakan sebagai TPA karena umumnya penduduk setempat akan menolak bila sekitar daerahnya akan digunakan sebagai TPA (Arianto dan Darwin, 2002). Hal ini menunjukkan bahwa sistem pengelolaan sampah yang dilakukan oleh pemerintah tidak mendidik masyarakat untuk menjaga kebersihan agar
10
berperilaku santun terhadap lingkungan. Oleh karena itu, perlunya sistem baru yang menggunakan potensi kelembagaan RT dipicu untuk aktif berperan dan juga sekaligus mengawasi yaitu dengan pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian oleh Kusumastuti Rezeki (2003) di TPS Rawa Kerbau Jakarta Pusat bahwa proses yang dirancang dalam usaha kegiatan pengolahan sampah terpadu skala kawasan ini berupa pemilahan dan pembuatan kompos. Sampah lainnya yang bernilai komersial langsung dijual ke bandar. Peralatan dan mesin yang digunakan dalam kegiatan berupa belt conveyor untuk membantu mempermudah pemilahan sampah dan alat pendukung lainnya: sapu lidi, cangkul, sekop, sarung tangan dan sepatu boot. Proses yang sederhana dan penggunaan mesin
yang seminimal mungkin akan lebih memudahkan
pemeliharaannya dan masih memungkinkan untuk dikembangkan lebih lanjut. Manfaat langsung pengolahan sampah terpadu skala kawasan terdiri atas penghasilan dari penjualan pupuk kompos dan pemanfaatan daur ulang sampah komersial sebesar Rp. 203.228.400,00/tahun. Manfaat tak langsung (lingkungan) adalah nilai kualitas lingkungan yang dihasilkan dengan adanya usaha tersebut sebesar Rp. 53.160.000,00/tahun. Biaya yang diperlukan terdiri atas biaya investasi, biaya operasional dan perawatan sebesar Rp. 223.581.000,00/tahun dan biaya perlindungan lingkungan sebesar Rp. 2.500.000,00/tahun. Usaha kegiatan yang akan dilakukan bersifat padat karya sehingga perkiraan penggunaan alat dan biaya semaksimal mungkin mendekati harga yang dapat dijangkau oleh komunitas lokal. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Murdeani (2005) di Kelurahan Sukapura dan Kelurahan Sukagalih di Kota Bandung berkesimpulan bahwa: a. Perilaku memilah/tidak memilah sampah tidak berhubungan dengan tingkat pengetahuan
dan
pemahaman,
tingkat
pendidikan,
tingkat
ekonomi
masyarakat. Tetapi perilaku memilah/tidak memilah berhubungan dengan persepsi responden mengenai tingkat kesulitan memilah sampah; b. Kesediaan responden untuk memilah berhubungan dengan tingkat pendidikan, pengetahuan, persepsi responden mengenai tingkat kesulitan memilah sampah.
11
Tetapi kesediaan responden untuk memilah tidak berhubungan dengan tingkat ekonomi dan kesejahteraan responden; c. Adanya perubahan nyata pada pengetahuan mengenai persampahan setelah diberikan treatment berupa kampanye dengan penyebaran artikel. Berikut ini adalah perbandingan antara pengelolaan sampah berbasis masyarakat dan pengelolaan sampah dengan sistem pemerintah berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh utami (2008) dan Firnandi (2002) sebagai berikut: Tabel 2.1 Perbandingan Pengelolaan Sampah oleh Pemerintah dan Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat No
1.
2.
3.
4.
Aspek-Aspek Pengelolaan Sampah
Efektif Reduksi jumlah sampah Efisiensi a. Teknologi& peralat
b. Waktu pengembangan c. Pelaksanaan sistem pengelolaan Ekologis
Ekonomis a. Pembiayaan
Pengelolaan sampah berbasis masyarakat dengan komposter rumah
Pengelolaan sampah berbasis masyarakat dengan membuat kompos komunal
Pengelolaan sampah oleh pemerinah
57,1% dari total jumlah sampah
70% dari jumlah sampah
10 – 15 % dari jumlah sampah di TPA
- Biaya > 1.000.000 - Perlu banyak komposter individu
- Biaya < 10 juta - Perlu 1 instalasi pengomposan komunal Relative singkat (3-12 bulan) Konsisten
- Biaya > 1 milyar - Perlu banyak angkutan sampah
- Pencemaran akibat pengelolaan sampah dapat dihindari - Adanya keterpaduan antara recycling, reuse dan replant
Pencemaran akibat pengelolaan sampah dapat dihindari
Pencemaran akibat pengelolaan sampah
Tercukupi oleh retribusi sampah
Tercukupi oleh retribusi sampah
Tidak tercukupi oleh retribusi sampah
Lama > 10 tahun Pasang surut (tidak konsisten
Perhari Konsisten
12
5.
Sosial Budaya a. Partisipasi pelaku
b. Peran pemimpin lokal
c. Pemanfaatan hasil pengelolaan sampah
6.
Kelembagaan
7.
Kebijakan
Partisipasi kolaboratif antar pelaku sesuai kapasitanya dalam setiap proses pengelolaan sampah
Tidak dibangun partisipasi pelaku lainnya sesuai kapasitasnya
Tidak menumbuhkan partisipasi
Pendampingan oleh inisiator, block leaders dan pemimpin lokal yang kuat Dinikmati oleh seluruh pelaku terkait
Pendampingan yang kuat dari inisiator
Pelaksana pengangkutan sampah
Hanya dinikmati tukang sampah dan pengelola kelompok pengelola sampah Peranan lembaga tidak optimal
Hanya dinikmati masyarakat yang dapat dilalui oleh angkutan sampah
Peranan dan kemitraan kelembagaan optimal mendukung program pengelolaan sampah - Ada dukungan - Tidak adanya pemerintah dukungan dari daerah pemerintah pasca konflik - Partisipasi dengan dinas masyarakat dalam cipta karya pengelolaan sampah belum - Partisipasi diatur dalam masyarakat perda dalam pengelolaan sampah belum diatur dalam perda
Peranan lembaga tidak optimal
Pengelolaan sampah dengan sistem pengumpulan/pe wadahan,pemin dahan/pengangk utan,pemusnaha n/penggurugan
Sumber: Utami (2008) dan Firnandi (2002) diolah
Sedangkan berdasarkan laporan evaluasi program ADIPURA tahun 2007 dalam Tonny (2007) secara umum masyarakat di seluruh kategori kota (Metrpolitan, Besar, Sedang dan Kecil) memandang ADIPURA sebagai program yang kental dengan kepentingan pemerintah dan tidak mempertimbangkan bagaimana agar masyarakat lebih berpartisipasi terhadap upaya peningkatan kebersihan dan
13
keteduhan kota. Padahal, tanpa adanya partisipasi masyarakat, apapun kebijakan yang diputuskan pemerintah tidak akan dapat diimplementasikan dengan baik. Seharusnya, masalah peningkatan kebersihan dan keteduhan kota bukan untuk kepentingan memperoleh Anugerah ADIPURA, tetapi justru untuk kepentingan masyarakat. Sehingga, yang paling penting adalah bagaimana membudayakan gerakan kebersihan itu sendiri. Bagaimana pemerintah kota bisa menerjemahkan Program ADIPURA hingga ke keseharian masyarakat akar rumput. pelaksanaan Program ADIPURA juga lebih terkesan dijadikan sebagai tolok ukur keberhasilan aparatur pemerintah. upaya membangkitkan peranserta masyarakat telah didukung dengan regulasi pemerintah, seperti Perda tentang Kebersihan.
Akan tetapi,
regulasi tersebut kurang maksimal implementasinya karena tidak menerapkan reward and penalty.
Peranan pemerintah lokal dan pusat sebagai “motor
penggerak” yang dominan dibandingkan peran masyarakat dalam meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan.
Masyarakat menilai “keberhasilan” tersebut
merupakan “penilaian sesaat” untuk kepentingan pemerintah lokal dan pusat. Sampai sejauh ini masyarakat memandang bahwa peran masyarakat lebih disebabkan karena ada gerakan yang memobilisasi warga masyarakat oleh proyek pemerintah daripada kesadaran dari dalam masyarakat dan cenderung bersifat temporer. Adapun tantangan dan hambatan pengembangan pengelolaan sampah berbasis masyarakat adalah : a. Inkonsisten kelompok pengelola sampah dalam menghadapi masalah pengelolaan sampah di lingkup kerjanya. b. Perlunya tenaga teknis atau pendamping untuk membuat pola pengelolaan sampah berbasis masyarakat yang sangat tergantung dengan karakteristik masyarakat. c. Tergantung kepada kesadaran masyarakat untuk melakukan pemilahan sampah pada tingkat rumah tangga yang akhirnya menjadi kebiasaan masyarakat.
14
d. Perlu waktu yang lama untuk membangun pengelolaan sampah berbasis masyarakat karena menyangkut perubahan perilaku masyarakat untuk memilah sampah.
2.2 Penanganan Sampah Berbasis Masyarakat
Faktor manusia sebagai aktor yang dominan memegang kunci utama dalam pengelolaan sampah. Perilaku dan sistem nilai pada masyarakat merupakan faktor kunci dalam pengelolaan sampah. Kemauan masyarakat untuk berpartisipasi mulai dari pewadahan sampai pengolahan (daur ulang dan pengkomposan) secara nyata berpengaruh pada keberhasilan sistem pengelolaan sampah. Oleh karena itu pengelolaan sampah bisa dilakukan oleh masing-masing penghasil timbunan sampah dengan memilah sampah dari tingkat rumah tangga untuk kemudian dikelola secara kolektif dalam satu kesatuan komunitas berdasarkan wilayah tempat bermukim. Hal ini sejalan dengan kebijakan dan strategi nasional pembangunan bidang persampahan dan penanganan sampah sedekat mungkin dengan sumbernya maka diperlukan pemberdayaan masyarakat sekitar untuk diajak berperan aktif dalam usaha daur ulang (BPPT dalam Utami, 2008). Oleh karena itu menurut penulis pengelolaan sampah berbasis masyarakat adalah pengelolaan sampah yang dilakukan oleh individu atau komunitas atau kelompok di dalam masyarakat dengan partisipasi aktif dari masyarakat untuk ikut serta mendukung pelaksanaan pengelolaan sampah tersebut. Berikut ini adalah sistem pengelolaan sampah berbasis masyarakat: Box 1 Studi Kasus Pengelolaan Kompos di Kebun Karinda, Lebak Bulus, Jakarta Selatan Kebun Karinda mengembangkan teknologi pengomposan dengan sistem aerobik termofilik. Untuk sampah rumah tangga digunakan Takakura Home Method. Kegiatan di Kebun Karinda antara lain: pelatihan dan penyuluhan pengelolaan sampah organik dan pembibitan, kegiatan rutin pengomposan sampah rumah tangga dan halaman, dan pembibitan tanaman hias, tanaman obat, tanaman pelindung dan sayuran organik. Kegiatan-kegiatan tersebut ditujukan untuk peserta dari RT/RW, kelurahan, organisasi, perkumpulan, pemerintahan, lembaga pendidikan (TK, SD, SMP, SMU, PT), kelompok pengajian, pesantren, jemaat gereja. Pelatihan diberikan dalam dua cara: yaitu melalui pemutaran Video CD dalam bahasa yang mudah di mengerti,
15
dan memberikan kesempatan kepada peserta untuk terlibat dalam kegiatan pengomposan. Metode ini secara efektif memungkinkan peserta untuk memahami teknik pengomposan. Bagi murid-murid TK dan SD, lebih ditekankan pada kegiatan memilah, mencacah, memasukkan wadah pengomposan, panen pupuk kompos dan terakhir mencampur media tanam dan menanam tanaman dalam pot. Anak-anak ini ternyata dapat menjadi motivator bagi orangtuanya, yang kemudian mendaftar untuk ikut penyuluhan. Teknik pengomposan yang dipakai cukup sederhana dan mudah dilakukan oleh siapapun, dengan memakai bahan murah yang tersedia di lingkungan sekitar, jadi cocok untuk kondisi daerah. Sumber: Suryohadikusumo,2006.
Analisis: Untuk menumbuhkan kesadaran pengelolaan sampah dapat dilakukan pada RT/RW, kelurahan, organisasi, perkumpulan, pemerintahan, lembaga pendidikan, kelompok pengajian, pesantren, dan jemaat gereja. Cara yang dapat dilakukan dalam menumbuhkan kesadaran pengelolaan sampah dengan memutar film tentang pengelolaan sampah dan pelatihan langsung pengelolaan sampah. Boks 2 Studi Kasus Pengelolaan Sampah Terpadu di Surabaya (Menggunakan Takakura Home Method) KITA (Kitakyushu International Techno-Cooperative Association) memberikan bantuan teknis kepada LSM untuk menumbuh-kembangkan teknologi pengomposan bernama “Takakura Home Method (THM)” di Indonesia sejak 2004. Pengolahan yang dilakukan adalah pengelolaan limbah rumah tangga yang dimulai pada tahun 2000, LSM mengorganisir masyarakat Kampung Rungkut Lor untuk memilah sampah organik dan anorganik sebelum meletakkan di luar rumah untuk dikumpulkan. Selain itu program pertanian perkotaan yaitu LSM dan masyarakat Rungkut Lor membudidayakan sayuran dan tanaman obat di halaman rumah dengan memakai kompos yang dihasilkan. Kegiatan ini telah memberi penghasilan bagi masyarakat karena mereka dapat membuat jamu dan minuman untuk dijual ke pasar. Selain itu, program pertanian ini juga telah memberikan bukan hanya manfaat ekonomi tapi juga meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat dan menciptakan lingkungan yang semakin hijau di Kampung Rungkut Lor. Disamping itu, sanitasi ekologi yaitu program sanitasi ekologi bertujuan untuk mengelola septik tank rumah-tangga secara benar. Sistem dasar sanitasi ekologi adalah mengubah limbah manusia menjadi pupuk organik. Sanitasi ekologi bermanfaat bagi masyarakat karena dapat mengurangi volume septik tank rumah-tangga dan meningkatkan kualitas air tanah. Selain itu, riset terkait dengan sanitasi ekologi telah dirancang untuk menemukan metode yang tepat untuk menerapkan sanitasi ekologi yang efektif di masyarakat. Sumber: Suryanto, 2000
Analisis: Pengkomposan diawali dengan pemilahan sampah pada tingkat rumah tangga dan hasil pupuk tersebut diintegrasikan pada bidang pertanian sehingga bermanfaat bagi masyarakat secara langsung penggunaan pupuk kompos.
16
2.3 Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengelolaan Sampah
Pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sampah menurut Damanhuri dan Padmi (2005) adalah dengan melakukan perubahan bentuk perilaku yang didasarkan pada kebutuhan atas kondisi lingkungan yang bersih yang pada akhirnya dapat menumbuhkan dan mengembangkan peran serta dalam bidang kebersihan. Perubahan bentuk perilaku masyarakat dapat terwujud apabila ada usaha membangkitkan masyarakat dengan mengubah kebiasaan, sikap dan perilaku terhadap kebersihan/sampah tidak lagi didasarkan kepada keharusan atau kewajibannya, tetapi lebih didasarkan kepada nilai kebutuhan. Untuk mengubah kebiasaan tersebut, maka diperlukan sosialisasi terhadap peran serta masyarakat yang dilakukan secara menyeluruh, yaitu kalangan pemerintah, swasta, perguruan tinggi dan masyarakat. Hal ini merupakan kolaborasi seluruh stakeholder untuk berperanserta dalam mengelola sampah. Keberhasilan pengelolaan sampah sangat tergantung kepada kesadaran dan kemauan untuk ikut berperanserta dari stakeholder. Senada dengan pikiran diatas, Freire dalam Mudiyono,et al (2005) menilai bahwa pemberdayaan sebagai metode yang mengubah persepsi sehingga memungkinkan individu beradaptasi dengan lingkungannya, dan oleh karena itu perlu intervensi dan stimulus dari luar. Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment), berasal dari kata “power” (kekuasaan atau keberdayaan). Karena itu, ide utama pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan. Tujuan pemberdayaan untuk menambah kekuasaan yang kurang beruntung. Pernyataan terdiri dari dua konsep yang berbeda ‘kekuasaan’ dan ‘kurang beruntung’ (Ife, 2003) yaitu: a. Kekuasaan terhadap definisi kebutuhan Salah satu ciri masyarakat modern adalah kediktatoran terhadap kebutuhan. Dalam kasus ini dapat dilihat bahwa orang diberi kekuasaan untuk mendefinisikan
kebutuhan
mereka
karena
mereka
juga memerlukan
pengetahuan dan keahlian yang relevan, proses pemberdayaan ini memerlukan pendidikan dan penerimaan informasi.
17
b. Kelompok yang kurang beruntung lainnya Yang termasuk kelompok yang kurang beruntung yaitu lanjut usia, masyarakat terasing, mereka yang tinggal di daerah terpencil, gay dan lesbian.
2.4 Pengolahan Sampah
Pengolahan sampah didefinisikan sebagai kontrol terhadap timbunan sampah, pewadahan, pengumpulan, pemindahan, pengangkutan, proses dan pembuangan akhir sampah yang mana semua hal tersebut dikaitkan dengan prinsip-prinsip terbaik untuk kesehatan, ekonomi, keteknikan dan engineering, konservasi, estetika, lingkungan dan juga sikap masyarakat. Sistem pengelolaan sampah pada dasarnya dilihat sebagai komponen-komponen subsistem yang saling mendukung satu sama lain dan saling berinteraksi untuk mencapai tujuan yaitu kota yang bersih, sehat dan teratur. Komponen-komponen tersebut dalam Damanhuri dan Padmi (2005) yaitu : a. Organisasi dan Manajemen Aspek organisasi dan manajemen merupakan suatu kegiatan yang multi disiplin yang bertumpu pada prinsip teknik dan manajemen yang menyangkut aspek ekonomi, sosial dan budaya dan kondisi fisik wilayah kota serta memperhatikan pihak yang dilayani, yaitu masyarakat kota. Perancangan dan pemilihan bentuk organisasi disesuaikan dengan: a) Peraturan pemerintah yang membinanya; b) Pada sistem operasional yang diterapkan; c) Kapasitas kerja sistem; d) Lingkup pekerjaan dan tugas yang harus di tangani. b. Teknik operasional Penanganan sampah yang dianjurkan saat ini adalah tidak mengganggu sampah hingga terbentuk, tetapi berupaya agar: a) Limbah yang dihasilkan mudah ditangani, misalnya dipisahkan sesuai jenisnya; b) Limbah yang dihasilkan lebih sedikit, misalnya dengan daur ulang; c) Sifat limbah menjadi tidak
berbahaya.
Pendekatan
tersebut
dikenal
sebagai
pendekatan
berhubungan dengan urutan prioritas penanganan limbahnya sebagai berikut:
18
a) Menghilangkan atau mengurangi timbunan sampah di sumber misalnya melalui penghematan penggunaan bahan dan sebagainya. b) Mendaur ulang sampah, terutama pada sumber sampah itu sendiri. c) Menggunakan teknologi pengelolaan limbah yang aman ke lingkungan, misalnya pada sebuah landfill yang dirancang, dibangun, dioperasikan dan dimonitor secara baik. Untuk mencapai tujuan diatas maka perlu adanya teknik operasional sampah secara terpadu. Secara umum teknik operasional pengelolaan sampah mengenal beberapa komponen yang diterapkan oleh pemerintah yang terdiri dari: 1) Pewadahan Pewadahan adalah penampungan sementara sampah yang dihasilkan di sumber tiap saat. Syarat wadah sampah yang baik adalah: (a) Tidak mudah rusak dan kedap air kecuali kantong plastik; (b) Ekonomis; (c) Mudah diperbaiki; (d) Mudah diperoleh atau dibuat oleh masyarakat; (e) Mudah dan cepat dikosongkan; (f) Kuat dan tahan terhadap korosi; (g) Tidak mengeluarkan bau dan tidak dapat dimasuki serangga/binatang; (h) Kapasitasnya sesuai dengan sampah yang dihasilkan. Penentuan ukuran volume sampah yang digunakan adalah jumlah penghuni tiap rumah, tingkat hidup masyarakat, frekuensi pengambilan atau pengumpulan sampah, cara pengambilan sampah (manual/mekanik), sistem pelayanan (individual/manual). Dalam peletakkan atau penempatan wadah sebaiknya mudah dijangkau oleh petugas sehingga waktu pengambilan dapat lebih cepat dan singkat, aman dari gangguan binatang ataupun dari pemungut barang bekas sehingga sampah tidak dalam keadaan berserakan, sesuai ukuran yang tersedia. 2) Pengumpulan Pengumpulan merupakan kegiatan awal dari proses pengelolaan sampah disamping kegiatan pewadahan. Tujuan dari pengumpulan ini adalah untuk keseimbangan pembebanan tugas, optimalisasi penggunaan peralatan, waktu
dan
petugas
serta
minimasi
jarak
operasi.
Perencanaan
19
pengumpulan sampah harus memperhatikan: (a) Ritasi antara satu - empat rit/hari; (b) Periodisasi: satu hari, dua hari atau tiga hari satu kali tergantung dari kondisi komposisi sampah semakin besar persentase sampah organik, periodisasi pelayanan maksimal satu hari; (c) Kapasitas kerja; (d) Desain peralatan; (e) Kualitas pelayanan. 3) Pemindahan dan Pengangkutan Pengangkutan sampah adalah subsistem yang bersasaran membawa sampah dari lokasi pemindahan atau dari sampah secara langsung tempat pembuangan akhir atau TPA. Alat pengangkutan sampah harus memenuhi persyaratan yaitu: (a) Alat pengangkut sampah harus dilengkapi dengan penutup sampah, minimal dengan jaring; (b) Tinggi bak maksimal 1,6 m, sebaiknya ada alat ungkit; (c) Kapasitas disesuaikan dengan kondisi/kelas jalan yang akan dilalui; (d) Bak truk/dasar kontainer sebaiknya dilengkapi pengaman air sampah. 4) Pengolahan Sampah Pengolahan sampah sangat penting untuk dilakukan sebelum sampai ke TPA. Tujuan pengolahan sampah adalah reduksi sampah, recovery (pemulihan), recycling (daur ulang), reuse (pemanfaatan kembali) dan konversi bentuk fisik. Pola pengolahan persampahan yang selama ini dilaksanakan di Indonesia, hendaknya dikembangkan dengan memasukkan pilihan pemprosesan dan pengolahan untuk menjadikan sampah sebagai sumber daya yang dapat dimanfaatkan, baik di tingkat kawasan maupun TPA sebagaimana terlihat dalam matriks 2.1 sehingga sampah yang akan diurug ke dalam tanah diminimalkan. Matriks 2.1 Kelebihan dan Kelemahan Alternatif Sistem Pengolahan Sampah Jenis Pengolahan Composting (Pengkomposan) 1. High Rate (modern)
Kelebihan - Proses pengomposan lebih cepat. - Volume sampah yang terbuang berkurang.
Kelemahan
Catatan
- Memerlukan peralatan lebih banyak dan kompleks. - Biaya investasi mahal.
- Harga kompos yang dihasilkan lebih mahal daripada pupuk kimia. - Biaya operasional lebih tinggi dari harga jual.
20
2. Windrow Composting (sederhana)
Baling (Pemadatan)
Incinerator (Pembakaran)
Recycling (Daur Ulang)
- Tidak memerlukan banyak peralatan. - Sesuai untuk sampah yang banyak mengandung unsur organik. - Volume sampah yang terbuang berkurang. - Biaya investasi lebih murah. - Volume sampah yang terbuang dapat dikurangi. - Praktis/efisien dalam pengangkutan ke TPA. - Untuk kapasitas besar hasil sampingan dari pembakaran dapat dimanfaatkan antara lain untuk pembangkit tenaga listrik. - Volume sampah menjadi sangat berkurang - Hygienes.
- Perlu perawatan yang baik dan kontinu. - Proses pengkomposan lebih lama. - Memerlukan tenaga lebih banyak.
- Pemanfaataan kembali bahanbahan (anorganik) yang sudah terpakai. - Merupakan lapangan kerja bagi pemulung sampah (informal). - Volume sampah yang terbuang berkurang, menghemat lahan pembuangan akhir.
- Biaya investasi, operasi dan pemeliharaan relative mahal.
Dianjurkan bila jarak ke pembuangan sampah akhir lebih dari 25 km.
- Biaya investasi dan operasi mahal. - Dapat menimbulkan polusi udara.
Ada dua tipe: - Sistem pembakaran berkesinambunga n untuk kapasitas besar (>100 ton/hari). - Sistem pembakaran terputus untuk kapasitas kecil (<100 ton/hari).
- Tidak semua jenis sampah bisa didaur ulang. - Memerlukan peralatan yang relatif mahal bila dilaksanakan secara mekanis. - Kurang sehat bagi pemulung sampah (informal).
Dianjurkan pemisahan mulai dari sumber sampahnya.
Sumber: Damanhuri dan Padmi, 2005
5) Pembuangan Akhir Lahan urug merupakan salah satu cara yang dapat dipakai dalam upaya penyingkiran dan pemusnahan sampah. Sistem urug tidak menjamin bahwa
21
tidak akan terjadi dampak atau efek samping akan tetapi dengan penanganan yang baik semua dampak dari pelaksanaan lahan urug dapat ditekan seminimal mungkin. Dalam pelaksanaannya sistem lahan urug masih memiliki resiko dari timbunan sampah. a) System Open Dumping Sistem ini dilakukan dengan cara sampah hanya ditumpuk dan dibiarin pada lokasinya yang telah dipilih sebagai lahan urug tanpa melakukan pengolahan apapun. b) Sanitary Landfill Upaya yang dilakukan untuk mengurangi limbah sampah kota dimana lahan dibagi menjadi beberapa area dilakukan penutupan setiap hari.
Timbunan Sampah Penanganan Sampah: Pemilahan, Pewadahan- Proses Di Sumber Pengumpulan Pemindahan dan Pengangkutan
Pemisahan - Pemprosesan Pengolahan Sampah Pembuangan Akhir
Gambar 2.2 Operasionalisasi Teknis Pengolahan Sampah (Damanhuri dan Padmi, 2005)
c. Pembiayaan Aspek pembiayaan merupakan sumber daya penggerak agar roda sistem pengelolaan persampahan di kota tersebut dapat berjalan dengan lancar. Diharapkan sistem pengelolaan persampahan di Indonesia akan menuju pada pembiayaan sendiri. Syarat pembiayaan ini menyangkut beberapa aspek seperti:
22
a) Bagaimana proporsi APBN dan anggaran pengelolaan persampahan, antara retribusi dan biaya pengelolaan persampahan. b) Bagaimana proporsi komponen biaya tersebut untuk gaji, transportasi, pemeliharaan pendidikan, dan pengembangan serta administrasi. c) Bagaimana proporsi antara retribusi dengan pendapatan masyarakat. d) Bagaimana struktur dan penarikan retribusi yang berlaku. d. Pengaturan Aspek pengaturan didasarkan atas kenyataan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, dimana sendi-sendi kehidupan bertumpu pada hukum yang berlaku. Manajemen persampahan kota di Indonesia membutuhkan kekuatan dan dasar hukum seperti dalam pembentukan organisasi, pemungutan retribusi, ketertiban masyarakat dan sebagainya. e. Partisipasi Tanpa adanya partisipasi masyarakat semua program pengelolaan sampah yang direncanakan akan sia-sia, salah satu pendekatan kepada masyarakat untuk dapat membantu program pengelolaan persampahan adalah: a) Bagaimana mengubah persepsi masyarakat terhadap pengelolaan sampah yang tertib, lancar dan merata. b) Faktor-faktor sosial, struktur dan budaya setempat. c) Kebiasan dalam pengelolaan sampah selama ini.
2.5. Pengelolaan Lingkungan Sosial
Dalam rangka pengelolaan lingkungan sosial, sesuai konsep pembangunan berkelanjutan, maka titik berat perhatiannya adalah pada kesinambungan dari interaksi-interaksi di dalam lingkungan sosial itu sendiri dan dengan lingkunganlingkungan yang lain. Hal ini digunakan untuk mengetahui keberlanjutan pengelolaan sampah di komunitas. Terkait dengan kesinambungan lingkungan sosial maka setidak-tidaknya terdapat enam komponen atau ruang lingkup
23
lingkungan sosial yang perlu diperhatikan (disinambungkan). Keenam komponen tersebut ialah (Purba, 2001): a. Adanya pengelompokan sosial Individu sebagai mahluk sosial tidak bisa dihindarkan dengan interaksi sosial. Di lain pihak individu juga tidak dapat dilepaskan dari situasi tempat ia berada dan situasi ini sangat berpengaruh terhadap kelompok yang terbentuk akibat situasi tersebut. Sejumlah orang-orang, dilihat kesatuan tunggal, merupakan satu kelompok sosial, tetapi kita mempunyai perhatian terhadap interaksi kelompok dan terhadap ciri-cirinya yang relative stabil. Menurut Muzafer Sherif dalam Goldberg dan Larson (2006) ciri-ciri kelompok sosial adalah sebagai berikut: 1) Adanya dorongan/motif yang sama pada setiap individu sehingga terjadi interaksi sosial sesamanya dan tertuju dalam tujuan bersama. 2) Adanya reaksi dan kecakapan yang berbeda di antara individu satu dengan yang lain akibat terjadinya interaksi sosial. 3) Adanya pembentukan dan penegasan struktur kelompok yang jelas, terdiri dari peranan kedudukan yang berkembang dengan sendirinya dalam rangka mencapai tujuan bersama. 4) Adanya penegasan dan peneguhan norma-norma pedoman tingkah laku anggota kelompok yang mengatur interaksi dan kegiatan anggota kelompok dalam merealisasi tujuan kelompok. b. Penataan sosial Penataan sosial sangat diperlukan untuk mengatur ketertiban hidup dalam masyarakat yang mempersatukan lebih dari satu orang. Penataan itu dapat berupa aturan-aturan sebagai pedoman bersama dalam menggalang kerjasama dan pergaulan sehari-hari antar anggotanya. c. Media sosial Untuk
menggalang kerjasama
yang mempersatukan
sejumlah
orang
diperlukan media baik yang berupa simbol-simbol maupun kepentingankepentingan yang tidak mungkin dikerjakan sendiri-sendiri secara terpisah.
24
d. Pranata sosial Suatu kesatuan sosial, betapa kecilnya, memerlukan aturan-aturan sebagai pedoman bersama dalam mengembangkan sikap dalam menghadapi tantangan dalam kehidupan bersama. e. Pengendalian dan pengawasan sosial Untuk menjamin ketertiban masyarakat, lebih-lebih dalam masyarakat yang majemuk dan sedang mengalami perkembangan yang pesat kearah masyarakat industri dewasa ini, pengendalian dan pengawasan sosial menjadi amat penting artinya. Setiap kesatuan sosial mengembangkan pola-pola dan mekanisme pengendalian yang sampai batas tertentu sangat efektif. f. Kebutuhan sosial Lingkungan sosial itu terbentuk didorong oleh keinginan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagaimana diketahui, bahwa tidak semua kebutuhan hidup manusia itu bisa dipenuhi oleh seorang diri, terutama kebutuhan sosial (social needs). Kebutuhan sosial, antara lain mencakup kebutuhan untuk hidup bersama, pembentukan komuniti, kelompok sosial, keteraturan atau ketertiban masyarakat dan sebagainya. Berdasarkan pendapat diatas, penulis mengkaitkan pengelolaan lingkungan sosial dengan pengelolaan sampah berbasis masyarakat yaitu bagaimana prinsip pengelolaan lingkungan sosial sesuai dengan mekanisme pembentukan kelompok pengelolaan sampah yang akan dibentuk.
2.6 Komunikasi Kelompok dalam Memecahkan Masalah
Komunikasi kelompok diperlukan dalam kelompok pengelola sampah untuk memecahkan masalah yang dihadapi kelompok dalam merubah perilaku anggota kelompok. Dalam rangka memecahkan masalah pada kelompok menurut McBurney dan Hance dalam Goldberg dan Larson (2006), masalah-masalah seharusnya diungkapkan dalam bentuk pertanyaan dan bukan dalam bentuk perintah atau usulan, karena diskusi adalah suatu bentuk penyelidikan dan suatu pertanyaan yang mengarahkan para peserta diskusi ke jalur yang benar. Suatu
25
pertanyaan yang baik dalam diskusi, menurut Crowell dalam Goldberg dan Larson (2006), haruslah sesuai dengan sasaran kelompok maupun dengan waktu yang tersedia. Selain itu juga harus menarik dan bermanfaat. Menurut Wegner dan Arnold dalam Goldberg dan Larson (2006) menyarankan agar suatu pertanyaan sebaiknya didasarkan pada cara berpikir yang reflektif, serta melibatkan lebih dari dua cara pemecahan masalah. Harnack dan Fest dalam Goldberg dan Larson (2006) mengingatkan bahwa suatu pertanyaan tidak boleh ditujukan secara langsung pada cara pemecahan dan harus jelas menentukan tingkah laku siapa yang kira-kira harus diubah. Dalam kelompok menghadapi masalah, perlunya bentuk pemecahan masalah yang ideal, mengharuskan kelompok-kelompok bekerja melalui langkah-langkah sebagai berikut: a. Apakah kita semua sudah setuju pada sifat masalah? b. Cara pemecahan mana yang paling ideal jika dilihat dari sudut pandang semua pihak yang terlibat dalam masalah? c. Kondisi-kondisi apa dalam masalah yang dapat diubah agar cara pemecahan yang ideal mungkin dapat dicapai? d. Dari sekian cara pemecahan yang tersedia pada kita, yang manakah yang kirakira paling baik untuk menjadi cara pemecahan yang ideal? Komunikan dari bentuk analisis ini bahwa bentuk memusatkan perhatiannya pada hambatan-hambatan di dalam situasi masalah, asumsinya ialah bahwa kalau hambatan-hambatan ini dapat diatasi, atau kalau syarat dalam situasi.
2.7 Kepemimpinan dan Komunikasi Kelompok
Pengelompokkan sosial untuk penanganan sampah memerlukan kelompok yang memiliki tingkah laku kepemimpinan yang “kelompok sentris” (group-centered) dengan yang “pemimpin-sentris’ (leader-centered). Yang dimaksud dengan “kelompok sentris” ialah jika seorang pemimpin secara aktif mendorong anggota kelompok untuk sama-sama ikut bertanggungjawab dalam merencanakan, mengarahkan, mengkoordinasikan, dan mengevaluasi kegiatan kelompok.
26
Sedangkan yang dimaksud dngan “pemimpin-sentris” ialah kalau pemimpin formal dari kelompok menganggap dirinya bertanggungjawab sepenuhnya terhadap fungsi-fungsi diatas. Perbandingan antara dua bentuk tingkah laku pemimpin tersebut diatas menghasilkan hal-hal sebagai berikut: a. Pemimpin-pemimpin yang pemimpin sentris dinilai lebih tinggi daripada pemimpin yang kelompok-sentris dalam hal nilai andil mereka terhadap kelompok. b. Diskusi kelompok-sentris dinilai lebih baik daripada diskusi pemimpin-sentris dan dianggap memiliki tingkatan lebih tinggi dalam hal keterlibatan, kerjasama, situasi yang hangat dan ramah, dan kemudahan untuk memberi sumbangan pendapat. Diskusi kelompok-sentris nampak menghasilkan kepuasan yang lebih besar dalam hal keputusan yang dicapai serta interaksi anggota yang lebih tinggi.
2.8 Perempuan sebagai Pusat Dapur
Keluarga sebagai salah satu komponen terpenting dari sistem sosial, yang turut mendukung atau mempertahankan keseimbangan di tengah masyarakat. Keluarga adalah penyumbang yang positif bagi tatanan sosial. Rumah tangga yaitu keluarga beserta dengan konteks internalnya, seringkali didefinisikan keberadaannya via dapur. Di ruangan inilah bercokol seorang perempuan sebagai pusatnya. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut (Budiman,2006): Masyarakat Keluarga/Rumah Tangga Dapur Dapur Perempuan Perempuan
Gambar 2.3 Perempuan Sebagai Pusat Rumah Tangga
27
Berdasarkan gambar diatas maka dapat dikatakan bahwa dalam pengelolaan sampah yang mempunyai peranan penting dalam rumah tangga adalah perempuan. Sumber sampah terbesar berada di dapur. Oleh karena itu pengelolaan sampah pada tingkat rumah tangga dilakukan pemberdayaan pada perempuan dalam pembentukan kelompok pengelola sampah.
2.9 Modal Sosial
Modal sosial dapat diartikan sebagai sumber (resource) yang timbul dari adanya interaksi antara orang-orang dalam suatu komunitas. Namun demikian, pengukuran modal sosial jarang melibatkan pengukuran terhadap interaksi itu sendiri. Melainkan, hasil interaksi tersebut, seperti terciptanya atau terpeliharanya kepercayaan antar warga masyarakat. Sebuah interaksi dapat terjadi dalam skala individu maupun institusional. Secara individual, interaksi terjadi manakala relasi intim antara individu terbentuk satu sama lain yang kemudian ikatan emosional. Setiap masyarakat memiliki sumberdaya tertentu yang dapat dikembangkan untuk mengatasi masalah bersama. Dengan asumsi tersebut maka potensi ini dalam masyarakat dapat digunakan untuk pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Merujuk pada Ridell dalam Suharto (2008), ada tiga parameter modal sosial, yaitu kepercayaan (trust), norma-norma (norms) dan jaringan-jaringan (networks). a. Kepercayaan Kepercayaan adalah harapan yang tumbuh di dalam sebuah masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya perilaku jujur, teratur, dan kerjasama berdasarkan norma-norma yang dianut bersama. b. Norma Norma-norma terdiri dari pemahaman-pemahaman, nilai-nilai, harapanharapan dan tujuan-tujuan yang diyakini dan dijalankan bersama oleh sekelompok orang.
28
c. Jaringan Infrastruktur dinamis dari modal sosial terwujud jaringan-jaringan kerjasama antar manusia menurut Putnam dalam Suharto (2008). Jaringan tersebut menfasilitasi terjadinya komunikasi dan interaksi, memungkinkan tumbuhnya kepercayaan dan memperkuat kerjasama. Pengembangan modal sosial dan komunitas terdapat tujuh pendekatan yang khas atau unik untuk komunitas dan modal sosial didalamnya yang dapat diintervensi dalam pengembangan masyarakat (Kolopaking dan Tonny, 2007), yaitu: a. Kepemimpinan komunitas Tokoh-tokoh masyarakat diharapkan berperan penting dalam setiap kegiatan pengembangan program. b. Dana komunitas Dana komunitas merupakan segala bentuk dana yang dapat dihimpun oleh dan dari masyarakat. c. Sumberdaya material Sumberdaya material merupakan kelengkapan sarana organisasi di komunitas. d. Pengetahuan komunitas Diperlukannya berbagai kegiatan pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan. e. Proses pengambilan keputusan Proses pengambilan keputusan merupakan suatu proses dimana masyarakat sebagai anggota komunitas berhak menyampaikan aspirasi yang menyangkut kepentingan bersama anggota. f. Teknologi komunitas Teknologi komunitas merupakan teknologi tepat guna yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat/organisasi untuk menjalankan peran sesuai yang diharapkan. g. Organisasi komunitas Organisasi komunitas merupakan perkumpulan orang dalam masyarakat yang mengelola kegiatan tertentu.
29
Berdasarkan hal diatas penulis akan mengkaji modal sosial yang ada di masyarakat yang dapat digunakan untuk pengelolaan sampah berbasis masyarakat.
2.10 Strategi Pengembangan Kelembagaan
Perubahan bentuk perilaku masyarakat dapat terwujud apabila ada usaha membangkitkan masyarakat dengan mengubah kebiasaan sikap dan perilaku terhadap kebersihan/sampah tidak lagi didasarkan kepada keharusan atau kewajibannya, tetapi lebih didasarkan kepada nilai kebutuhan. Untuk mengubah kebiasaan tersebut, maka diperlukan sosialisasi terhadap peran serta masyarakat yang dilakukan secara menyeluruh, yaitu kalangan pemerintah, swasta, perguruan tinggi dan masyarakat. Peranserta masyarakat adalah kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat baik individu maupun kelompok, yang merupakan bagian dari penyelenggaraan pengelolaan sampah kota dan bersifat menunjang program pengelolaan sampah kota. Tujuan program peranserta masyarakat dalam Kolopaking dan Tonny (2007) adalah: a. Memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang adanya program pengelolaan sampah. b. Memperoleh dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan program. c. Meningkatkan kinerja keseluruhan sistem pengelolaan sampah kota. Keterlibatan
peranserta
masyarakat
harus
bersifat
menyeluruh
terhadap
serangkaian proses implementasi pengelolaan sampah dan juga bersifat terus menerus. Pergeseran paradigma pembangunan (kesejahteraan sosial) dengan (Kolopaking dan Tonny, 2007): 1. Pengembangan masyarakat yang bersumber dari manusia. 2. Partisipasi. 3. Sistem pemerintahan yang baik (publik; swasta).
30
Asumsi dasar pengembangan kemitraan antar kelembagaan ini adalah proses desentralisasi dan otonomi daerah yang diikuti dengan perubahan pola-pola peran serta antara organisasi dan kelembagaan (organizational and institutional coevolution) dalam pembangunan di tingkat daerah (kabupaten/kota) hingga komunitas. Dalam konteks desentralisasi, otonomi daerah dan otonomi komunitas (tanpa mengharuskan wewenang pemerintah pusat), pemberdayaan komunitas perkomunitasan dipahami sebagai suatu hasil dari interaksi atau hubungan sebabakibat antara “proses pembangunan yang bottom up” yang dalam kajian ini diartikan sebagai pembangunan berbasis komunitas perkomunitasan (rural community based development program) dan “proses pembangunan yang topdown” yang dalam kajian ini dipahami sebagai implementasi kebijakan-kebijakan pemerintah lokal (local government policies). Artinya, komunitas perkomunitasan yang berdaya diindikasikan tidak hanya oleh tingkat pendapatan, tetapi lebih dari itu sampai sejauh mana dinamika warga komunitas hidup dengan bertumpu pada kelembagaan di tingkat komunitas dan lokal yang berkelanjutan yang kemudian mampu memberikan dampak ganda pada aktivitas ekonomi dan usaha-usaha produktif di tingkat komunitas perkomunitasan. Berikut ini adalah gambar kerangka kebijakan untuk pengembangan kelembagaan: Insentif- Insentif Kelembagaan (Institutional Incentive) TOP-DOWN
Pemerintah • Aras makro kebijakan • Infrastruktur • Fasilitasi program
Ruang dialog/komunikasi masyarakat dengan pemerintah
Masyarakat: • Aras mikro-aksi kolektif • Program pemberdayaan dan partisipasi
BOTTOM-UP
Kapasitas Kelembagaan (Institutional Capacity)
Catatan: dikembangkan dari Kolopaking dan Tonny (2007) Gambar 2.4
Kerangka Kebijakan untuk Pengembangan Kelembagaan dan Kawasan Berbasis Masyarakat
31
2.11 Kerangka Pemikiran
Pengelolaan sampah merupakan rangkaian kegiatan mulai dari pengumpulan sampah pada wadah di sumber (penghasil), dikumpulkan menuju TPS kemudian diangkut ke tempat pemprosesan dan daur ulang. Pengelolaan sampah bukan hanya menyangkut aspek teknis, tetapi menyangkut juga aspek non teknis, seperti bagaimana mengorganisir, bagaimana membiayai dan bagaimana melibatkan masyarakat penghasil sampah agar ikut berpartisipasi secara aktif dalam akivitas penanganan tersebut. Untuk menumbuhkan partisipasi aktif masyarakat dalam pengelolaan sampah dilakukan dengan pemberdayaan masyarakat dalam mengelola sampah khususnya perempuan. Pengelolaan sampah berbasis masyarakat dapat dilakukan dengan mengembangkan
modal
sosial
yang
ada
di
komunitas.
Keberlanjutan
pengembangan modal sosial dalam pengelolaan sampah dapat dilihat dari syaratsyarat pengelolaan lingkungan sosial oleh komunitas yang akan diaktualisasikan dalam pengorganisasian komunitas dalam kelompok pengelola sampah. Pengembangan
modal
sosial
dilakukan
dengan
strategi
pengembangan
kelembagaan pengelola sampah di pinggiran Sungai Kapuas. Pengorganisasian kelompok pengelola sampah di pinggir Sungai Kapuas sebagai eksperimen dengan melakukan transplantasi pembelajaran dari pengelolaan sampah di Kompleks Perumahan Dwi Ratna. Proses transplantasi tersebut dilakukan di komunitas RT 02 RW 07 Kelurahan Benua Melayu Laut. Pelaksanaan pengelolaan sampah berbasis masyarakat tersebut memerlukan kesiapan pada tingkat pemerintah, masyarakat dan perpaduan pemerintah dan masyarakat. Perbedaan karakteristik dan geografis kedua komunitas tidak menjadi penghalang untuk melaksanakan proses transplantasi karena pengelolaan sampah rumah tangga sangat tergantung kepada persepsi dan kemauan masyarakat untuk memilah sampah dan megolah sampah.
32
Pengembangan
pengelolaan
sampah
berbasis
masyarakat
tersebut
akan
menghadapi masalah pada ruang pemerintah yaitu kurangnya anggaran, kurangnya kapasitas penanganan sampah, kurangnya manajemen pengelolaan lingkungan dan teknologi yang sederhana. Pada ruang masyarakat dan pemerintah yaitu kurangnya pendidikan terhadap masyarakat. Selain itu pada ruang masyarakat yaitu adanya solidaritas, kemauan mengelola sampah di tingkat kelompok, dan mau belajar. Dengan adanya penanganan masalah pengelolaan sampah pada dimensi pemerintah, dimensi masyarakat dan dimensi pemerintah dan masyarakat. Maka penanganan sampah yang selama ini 40 persen tidak terurus dapat tertangani. Pengelolaan
sampah
berbasis
masyarakat
akan
terciptanya
program
pengembangan kelompok, pengembangan teknologi pupuk kompos, komunikasi dan edukasi. Dengan adanya hal tersebut akan menjaga kelestarian lingkungan dengan 40 persen sampah kota dapat ditangani, meningkatkan ekonomi masyarakat dan meningkatkan kehidupan sosial. Berikut ini adalah analisis kerangka pemikiran penulis dalam membangun pengelolaan sampah berbasis masyarakat:
33
Masalah Pengelolaan Sampah Kota Pontianak Hanya 60 persen yang tertangani
Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat di Komunitas Kompleks Perumahan Dwi Ratna
Sukses
Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat di Komunitas Pinggir Sungai Kapuas Dimensi Pemerintah
Dimensi Pemerintah dan Masyarakat
Ketidakberdayaan Pemerintah: - Kurangnya anggaran - Kurangnya kapasitas pengelola sampah - Kurangnya manajemen pengelolaan lingkungan
- Kurangnya kerjasama masyarakat dan pemerintah - Kurangnya pendidikan terhadap masyarakat
Eksperimen
Dimensi Masyarakat Ada potensi kelompok masyarakat yang potensial: - Solidaritas - Kemauan mengelola sampah di tingkat kelompok - Mau belajar
Penanganan sampah yang selama ini 40 persen tidak terurus
-
Cita-Cita: Lingkungan lestari Lingkungan bersih dan sehat Masyarakat berdaya
Pengelolaan sampah berbasis masyarakat: - Pengembangan kelompok - Pengembangan teknologi pupuk kompos - Komunikasi - Edukasi -
Kelestarian lingkungan : 40 persen sampah kota dapat ditangani Meningkatkan ekonomi masyarakat Meningkatkan sosial
Gambar 2.5 Kerangka Pemikiran Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat