II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Bacillus thuringiensis (Bt) SEBAGAI BIOINSEKTISIDA Bioinsektisida merupakan patogen serangga yang banyak dikembangkan dari bakteri, virus, cendawan, dan protozoa. Khachatourians (1989) menyatakan bahwa bakteri yang paling banyak digunakan untuk memproduksi bioinsektisida adalah Bacillus. Bakteri ini mampu membentuk δ-endotoksin yang bersifat toksin terhadap larva serangga (Bravo 1997). Pemakaian bioinsektisida Bt ini memberikan beberapa keuntungan di antaranya adalah tidak meninggalkan residu yang dapat mencemari lingkungan dan relatif aman bagi organisme bukan sasaran (Aronson et al. 1986). Akan tetapi, sebagaimana ditinjau oleh Luthy et al. (1982) penggunaan bioinsektisida selain menguntungkan juga memiliki beberapa kekurangan yaitu spektrum sasaran yang sempit, tingkat persistensinya yang terbatas di lingkungan, kerentanan δ-endotoksinnya terhadap sinar matahari, dan biaya produksinya yang relatif tinggi dibandingkan insektisida kimia.
1. Bacillus thuringiensis (Bt) Pada tahun 1901, Bt pertama kali diisolasi oleh Ishiwata dari larva ulat sutra yang mati. Ishiwata berpendapat bahwa vektor pembawa penyakit pada larva tersebut adalah bakteri. Pada tahun 1911, Berliner menemukan bakteri yang sama di propinsi Thuringia, Jerman yang telah membunuh larva kupu-kupu Mediterania (Anagasta kuehniella). Berliner kemudian mengusulkan nama untuk bakteri tersebut adalah Bt (Dulmage et al. 1990). Bt merupakan jenis spesies bakteri yang dapat membunuh serangga tertentu. Sedikitnya terdapat 34 subspesies dari Bt yang disebut serotype atau varietas dari Bt dan lebih dari 800 keturunan atau benih Bt telah diisolasi (Swadener 1994). Bt berbentuk batang, bersifat gram positif aerob, tetapi umumnya aerob fakultatif, dan berflagelum. Bakteri ini dapat membentuk spora secara aerobik dan selama masa sporulasi juga dapat membentuk kristal protein yang toksik. Kristal protein ini dikenal juga sebagai δ-endotoksin yang merupakan komponen utama yang menyebabkannya bersifat insektisidal (Shieh 1994). Menurut Faust dan Bulla (1982), δ-endotoksin tersebut bersifat termolabil karena dapat terdenaturasi oleh panas (walaupun lebih stabil dibandingkan eksotoksin yang terlarut) dan tidak larut dalam pelarut organik namun larut dalam pelarut alkalin. δ-endotoksin tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu komposisi protoksin dan nilai nutritif media kultur yang bersangkutan (Aronson 1995; Mummigatti & Raghunathan 1990). Bt merupakan bakteri yang paling penting secara ekonomi dan terbanyak digunakan untuk produksi bioinsektisida, sehingga bioinsektisida komersial Bt digunakan secara luas untuk mengendalikan larva hama serangga (Feitelson et al. 1992). Bt yang dikomersialkan dalam bentuk spora membentuk inklusi bodi. Inklusi bodi ini mengandung kristal protein yang dikeluarkan pada saat bakteri lisis pada masa fase stationary. Penggunaan Bt sebagai bioinsektisida diharapkan semakin meningkat dan berkembang dengan ditemukannya galur-galur Bt yang mempunyai aktivitas tinggi dan spektrum inang yang lebih luas (Rupar et al. 1991). Substrat yang digunakan pada bioinsektisida Bt dalam penelitian ini adalah limbah dari industri tahu.
Tahu adalah salah satu makanan tradisional yang biasa dikonsumsi setiap hari oleh orang Indonesia. Pada proses pembuatan tahu dihasilkan dihasilkan dua macam limbah, yaitu limbah cair (whey) dan limbah padat (ampas). Pada umumnya pabrik tahu di Indonesia khusunya di Jawa Barat membuang langsung limbah cairnya dan limbah Lereclus padatnya dimanfaatkan sebagai makanan ternak atau dijual kepada pedagang oncom dan tempe gembus dengan harga yang relatif murah (Nurdjannah dan Usmiati 2009). Ampas tahu merupakan hasil samping dari proses pembuatan tahu yang banyak terdapat di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Potensi ampas tahu cukup tinggi, kacang kedelai di Indonesia tercatat pada Tahun 1999 sebanyak 1.306.253 ton, sedangkan Jawa Barat sebanyak 85.988 ton. Bila 50% kacang kedelai tersebut digunakan untuk membuat tahu dan konversi kacang kedelai menjadi ampas tahu sebesar 100-112%, maka jumlah ampas tahu tercatat 731.501,5 ton secara nasional dan 48.153 ton di Jawa Barat (Nurdjannah dan Usmiati 2009). Menurut Nurdjannah dan Usmiati (2009), kadar protein ampas tahu cukup tinggi yakni sekitar 6%. Ditinjau dari komposisi kimianya ampas tahu dapat digunakan sebagai sumber protein. Pada saat ini pemanfaatan ampas tahu sudah mulai dijajagi penggunaannya, diantaranya untuk substitusi tepung ampas untuk bahan pangan seperti minuman prebiotik, cookies, nugget, sosis, pembuatan tepung kaya serat dan protein yang dapat diaplikasikan untuk berbagai produk pangan, dan sebagai media tumbuh dan perkembangan jamur (Anonim 2009). Tanpa proses penanganan dengan baik, limbah tahu menyebabkan dampak negatif seperti polusi air, sumber penyakit, bau tidak sedap, meningkatkan pertumbuhan nyamuk, dan menurunkan estetika lingkungan sekitar. Pada penelitian ini, ampas tahu digunakan sebagai sumber karbon, nitrogen dan protein pada media fermentasi Bt sebagai bioinsektisida. Komposisi kimia limbah ampas tahu dan limbah cair tahu dari beberapa peneletian sebelumnya dapat dilihat pada Tabel 1. Sedangkan komposisi mineral limbah ampas tahu dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 1. Komposisi kimia limbah ampas tahu dan limbah cair tahu Jumlah (% bobot basis kering1 dan basis basah2)
Komponen
Limbah ampas tahu1
Limbah limbah cair tahu2
Air
13.83*
99.34**
Abu
3.36*
0.11**
Protein
15.75*
1.73***
Lemak
12.10*
0.6300***
Nitrogen
2.52*
0.05**
Serat
19.47*
-
Sumber :* (Debby et al. 2005) 1996)
** (Hartati 2010)
*** (Nuraida,dkk
Tabel 2. Kandungan Mineral Limbah Ampas Tahu Komponen Jumlah (µg/g) Ca
890.750
Mg
358.520
Fe
124.660
Cu
5.550
Pb
2.288
Zn
0.490
Sumber : (Debby et al. 2005)
2. Bacillus turingiensis subsp. aizawai (Bta) Sebagai Bahan Aktif Bioinsektisida Bta pertama kali ditemukan oleh Aizawa pada tahun 1962 (Dulmage, 1981). Bakteri ini mempunyai endospora subterminal berbentuk oval dan selama masa sporulasi menghasilkan satu kristal. Kristal protein Bt mempunyai beberapa bentuk, diantaranya bentuk bulat (oval) pada subsp. israelensis yang toksik terhadap Diptera, bentuk kubus yang toksis terhadap Diptera tertentu dan Lepidoptera, bentuk pipih empat persegi panjang (flat rectangular) pada subsp. tenebriosis yang toksis terhadap Coleoptera, bentuk piramida pada subsp. kurstaki yang toksik terhadap Lepidoptera (Shieh, 1994). Hofte dan Whiteley (1989) menjelaskan bahwa terdapat 14 gen penyandi kristal protein, 13 diantaranya disebut gen Cry (kristal protein) dan satu gen disebut dengan gen Cyt (sitolitik). Gen Cry adalah paraspora yang mengandung kristal protein dari Bt yang menghasilkan toksik terhadap organisme sasaran. Sedangkan Cyt adalah paraspora yang mengandung kristal protein dari Bt yang menghasilkan aktivitas hemolitik atau sitolitik. Hasil SEM Bacillus thuringiensis subsp. aizawai dapat dilihat pada Gambar 1.
Sel Bta Spora
Kristal Protein
TYPE ACCV NO
: JSM-5000 : 20kV : 000003
MAG : X10,000 WIDTH : 13.2um
Gambar 1. Hasil SEM Bacillus thuringiensis subsp. aizawai Ke-13 gen Cry tersebut dikelompokan ke dalam empat kelas berdasarkan kesamaan struktur asam-asam amino dan spektrum aktivitas insektisidanya. Masingmasing kelas mempunyai toksisitas yang spesifik terhadap jenis serangga tertentu. Cry I bersifat toksik terhadap Lepidoptera, Cry II bersifat toksik terhadap Lepidoptera dan Diptera, Cry III bersifat toksik terhadap Coleoptera, dan Cry IV bersifat toksik terhadap Diptera.
Bta memiliki empat jenis gen cry1, yaitu cry1Aa, cry1Ab, cry1Ca, cry1Da (Wright et al., 1997 ; Schnepf et al., 1998) yang menyandikan kristal protein berbentuk bipiramida (Schnepf et al., 1998). Menurut Lereclus et al. (1993), kristal protein ini memiliki aktivitas insektisidal terhadap larva serangga ordo Lepidoptera dan Diptera. Berdasarkan perbedaan gen penyandi kristal protein yang dimiliki, maka tipe patogenitas Bt dapat dikelompokkan seperti terlihat pada Tabel 3. Tabel 3. Tipe patogenitas dari Bacillus thuringiensis Subspesies Jenis Gen Tipe Patogenitas Contoh Produk
Bt subsp. kurstaki
Cry I
Spesifik untuk ordo
1. Dipel (Abbott)
Lepidoptera
2. Bactospeine
Contoh :
(Philips Duphar)
1. Kupu-kupu
3. Thuricide
2. Moth
4. Javelin (Sandoz)
Spesifik untuk ordo Lepidoptera Bt subsp. aizawai
Cry II
dan
Diptera Contoh :
Certan (Sandoz)
1. Ulat kubis 2. Ulat grayak
Bt subsp. sandiego
Cry III
Spesifik untuk ordo
1. Trident (Sandoz)
Coleoptera
2. M-One
Contoh :
(Mycogen)
1. Bettles Spesifik untuk ordo Diptera Contoh : Bt subsp. israelensis
Cry IV
1.
Nyamuk
2.
Lalat rumah
3.
Midges
4.
Craneflies
5.
Two wingedflies
1. Vectobac (Abbott) 2. Bactimos (Philips Duphar) 3. Teknar (Sandoz)
Sumber : (Ellar et al. 1986)
Protein cry1C(a) menyandikan protein yang toksik terhadap Spodoptera litura, sedangkan protein cry1 lain yang dimiliki Bta, yaitu cry1A(a), cry1A(b), cry1D(a) kurang toksik terhadap Spodoptera litura, tetapi dapat memberikan pengaruh sinergis pada protein cry1C(a) sehingga dapat meningkatkan keampuhannya (Muller et al., 1996). Sedangkan menurut Liu et al (1998), pada beberapa kasus, spora ternyata secara sinergis dapat meningkatkan toksisitas kristal protein. Pada Bta, sinergisme yang terjadi adalah antara spora dengan protein cry1C(a) tetapi tidak dengan protein cry1 yang lain.
3. Kristal Protein (δ-endotoksin) Bacillus thuringiensis (Bt) Sekitar 95 % dari keseluruhan komponen kristal protein terdiri dari protein dengan asam amino (umumnya terdiri dari asam glutamat, asam aspartat, dan arginin), sedangkan 5 % sisanya terdiri dari karbohidrat yaitu manosa dan glukosa (Bulla et al. 1977), serta tidak mengandung asam nukleat maupun asam lemak (Fast 1981). Protein yang menyusun kristal protein tersebut terdiri dari 18 asam amino. Kandungan asam amino yang terbesar adalah asam aspartat dan asam glutamat (Fast 1981). Menurut Aronson et al. (1986) dan Gill et al. (1992), komponen utama penyusun kristal protein pada sebagian besar Bt adalah polipeptida dengan berat molekul (BM) berkisar antara 130 sampai 140 kilodalton (kDa). Polipeptida ini adalah protoksin yang dapat berubah menjadi toksin dengan BM yang berfariasi dari 30 sampai 80 kDa, setelah mengalami hidrolisis pada kondisi pH alkali dan adanya protease dalam saluran pencernaan serangga. Aktivitas insektisida tersebut akan menghilang jika BM lebih rendah dari 30 kDa. Aktifitas toksin dari kristal protein ini tergantung pada sifat intrinsik dari usus serangga, seperti kadar pH dari sekresi enzim proteolitik dan kehadiran spora bakteri secara terus menerus beserta kristal protein yang termakan (Burgerjon dan Martouret 1971). Selain itu, efektifitas dari toksin tertentu dipengaruhi oleh kelarutan, afinitas tehadap reseptor yang ada serta pemecahan proteolitik ke dalam toksin. Secara umum dapat disimpulkan bahwa cara kerja kristal protein sebagai toksin dari Bt dapat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor spesifikasi dari mikroorganisme dan kerentanan dari serangga sasaran (Milne et al. 1990). Selain itu, umur dari serangga merupakan salah satu faktor yang menentukan toksisitas dari Bt. Jentik serangga yang lebih muda lebih rentan jika dibandingkan dengan jentik yang lebih tua (Swadener 1994). Proses toksisitas kristal protein (δ-endotoksin) sebagai bioinsektisida dimulai ketika serangga memakan kristal protein tersebut, maka kristal tersebut akan larut di dalam usus tengah serangga. Setelah itu, dengan bantuan enzim protease pada pencernaan serangga, maka kristal protein tersebut akan terpecah struktur kristalnya. Toksin aktif yang dihasilkan akan berinteraksi dengan reseptor pada sel-sel epitelium usus tengah larva serangga, sehingga akan membentuk pori-pori kecil berukuran 0.5-1.0 nm. Hal ini akan mengganggu keseimbangan osmotik sel di dalam usus serangga sehingga ion-ion dan air-air dapat masuk ke dalam sel dan menyebabkan sel mengembang dan mengalami lisis (hancur). Larva akan berhenti makan dan akhirnya mati. Kematian akan terjadi satu jam hingga 4-5 hari setelah intoksikasi, tergantung pada konsentrasi bakteri, ukuran dan jenis larva dan varietas bakteri yang digunakan (Hofte dan Whiteley 1989; Gill, et al. 1992). Proses toksisitas Bt pada larva ulat dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Diagram mekanisme patogenisitas Bt terhadap serangga (http://www.inchem.org/documents/ehc/ehc/ehc217.htm) Kristal protein yang bersifat insektisida ini sebenarnya hanya protoksin yang jika larut dalam usus serangga akan berubah menjadi polipeptida yang lebih pendek (27 – 147 kDa). Pada umumnya, kristal protein di alam bersifat protoksin karena adanya aktivitas proteolisis dalam sestem pencernaan serangga yang mengubah Bt protoksin menjadi polipeptida yang lebih pendek dan bersifat toksin. Jika ternyata serangga tersebut ternyata tidak rentan terhadap aksi δ-endotoksin secara langsung, maka dampak dari pertumbuhan spora di dalam tubuh serangga akan menjadi penyebab kematiannya. Spora tersebut akan berkecambah dan mengakibatkan membran usus rusak. Replikasi dari spora akan membuat jumlah spora di dalam tubuh serangga akan bertambah banyak dan mengakibatkan perluasan infeksi di dalam tubuh serangga yang pada akhirnya menyebabkan serangga tersebut mati (Swadener 1994).
B. FERMENTASI Bacillus thuringiensis Subsp. aizawai DAN KONDISINYA 1. Media Pertumbuhan dan Fermentasi Fermentasi secara sederhana adalah pemberian makanan mikroba dengan nutrien yang cocok, supaya mengahsilkan sesuatu yang bermanfaat atau produk akhir yang berharga dari metabolismenya (Vandekar dan Dulmage 1982). Dulmage dan Rhodes (1971) menambahkan bahwa faktor yang sangat mempengaruhi fermentasi Bt adalah komponen media dan kondisi fermentasi untuk pertumbuhan seperti pH, kelarutan oksigen, dan temperatur. Hal ini juga diperkuat oleh Vandekar dan Dulmage (1982) yang menyatakan bahwa pertumbuhan mikroorganisme saat berlangsungnya fermentasi membutuhkan sumber air, karbon, nitrogen, unsur mineral, dan faktor pertumbuhan dalam media pertumbuhannya. Menurut Dulmage dan Rhodes (1971), karbon adalah bahan utama untuk mensintesis sel baru atau produk sel. Beberapa sumber karbon yang dapat digunakan untuk memproduksi bioinsektisida Bt dengan fermentasi terendam adalah glukosa, sirup jagung, dekstrosa, sukrosa, laktosa, pati, minyak kedelai, dan molases dari bit dan tebu. Nitrogen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme biasanya dipenuhi oleh garam amonium. Dalam hal ini, sering nitrogen organik harus disediakan dalam bentuk asam amino tunggal atau bahan kompleks termasuk asam nukleat dan vitamin. Beberapa sumber
nitrogen yang sering digunakan dalam memproduksi bioinsektisida Bt adalah tepung kedelai, tepung biji kapas (proflo), corn steep, gluten jagung, ekstrak khamir, pepton kedelai, tepung ikan, tripton, tepung indosperma, dan kasein. Stanbury & Whitaker (1984) menambahkan bahwa urea merupakan sumber nitrogen yang sesuai untuk pertumbuhan mikroorganisme karena kemampuannya untuk mempertahankan pH. Selain sumber karbon dan nitrogen, mikroorganisme juga memerlukan mineral untuk pertumbuhan dan pembentukan produk metabolit. Kebutuhan mineral bervariasi tergantung pada jenis mikroorganisme yang ditumbuhkan. Unsur-unsur mineral merupakan garam-garam anorganik yang penting untuk pertumbuhan mikroorganisme meliputi K, Mg, P, S, dan yang diperlukan dalam jumlah yang sedikit seperti Ca, Zn, Fe, Co, Cu, Mo, dan Mn (Dulmage dan Rhodes 1971). Dalam media fermentasi Bt ditambahkan 0.3 g/l MgSO4.7H2O, 0.02 g/l MnSO4. H2O, 0.02 g/l ZnSO4.7 H2O, 0.02 g/l FeSO4.7 H2O, dan 1.0 g/l CaCO3. Penambahan ion Mg2+, Mn2+, Zn2+, dan Ca2+ ke dalam media perlu dipertimbangkan, karena berperan dalam pertumbuhan dan sporulasi Bt (Vandekar dan Dulmage 1982). Menurut Sikdar et al. (1991), Bt memerlukan unsur-unsur Ca, Mg, K, Fe, dan Mn untuk berperan dalam pertumbuhan dan produksi δ-endotoksin serta berfungsi untuk menjaga kestabilan spora terhadap panas.
2. Kondisi Fermentasi Proses fermentasi untuk memproduksi bioinsektisida terdiri dari dua tipe, yatu fermentsi semi padat (semi solid fermentation) dan fermentasi terendam (submerged fermentation). Dulmage dan Rhodes (1971) menambahkan bahwa pada fermentasi terendam, biakan murni Bt ditumbuhkan dalam media cair dengan dispersi yang merata). Proses fermentasi terendam dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu fermentasi tertutup (batch process), fermentasi kontinu, dan fermentasi sistem tertutup dengan penambahan substrat pada selang waktu tertentu (fed batch process). Produksi bioinsektisida Bt pada umumnya dilakukan dengan fermentasi sistem tertutup, karena hasil akhir yang diinginkan adalah spora dan kristal protein yang dibentuk selama proses sporulasi (Bernhard & Utz 1993). Fermentasi skala kecil dalam labu kocok dilakukan dengan menggunakan labu ukuran 300 ml yang diisi 50-100 ml. Sementara itu, Vandekar dan Dulmage (1982) dan Mummigatti dan Raghunathan (1990) melakukan fermentasi dalam labu Erlenmeyer ukuran 500 ml yang diisi 100-125 ml media. Keterbatasan aerasi dalam labu kocok membatasi pemilihan media yang dapat digunakan dalam fermentasi. Kondisi fermentasi Bt dapat dilakukan dalam labu kocok dilakukan pada suhu 28 – 0 32 C, pH awal media diatur sekitar pH 6.8 – 7.2, agitasi 142 – 340 rpm, dan dipanen pada waktu inkubasi 24 – 48 jam. Sedangkan fermentasi Bt dalam fermentor dilakukan pada kondisi suhu 28 – 32 0C, pH awal media sekitar 6.8 – 7.2, volume media sekitar setengah sampai dua per tiga dari kapasitas volume fermentor, agitasi 400 – 700 rpm, aerasi 0.5 – 1.5 volume udara/volume media/menit (v/v/m), dan dipanen pada waktu inkubasi 40 – 72 jam (Vandekar dan Dulmage 1982; Pearson dan Ward 1988; dan Sikdar et al. 1993). Pertumbuhan optimum sebagian bakteri Bt terjadi pada pH sekitar 7. Nilai pH awal media fermentasi sering kali diatur dengan menggunakan larutan penyangga atau dengan penambahan alkali atau asam steril. Nilai pH awal untuk media fermentasi Bacillus ditentukan pada kisaran 6.8 – 7.2. Selama fermentasi pH dapat berubah dengan cepat
tergantung pada penggunaan karbohidrat dan protein. Penggunaan karbohidrat yang terlalu banyak daripada protein dapat menurunkan pH, sedangkan penggunaan protein yang terlalu banyak daripada karbohidrat dapat menaikan pH. Nilai pH dapat dikendalikan dengan memelihara keseimbangan antara senyawa gula dan nitrogen (Quinlan dan Lisansky 1985). Menurut Vandekar dan Dulmage (1982), setiap mikroorganisme akan berbeda-beda dalam hal kebutuhan oksigen, dan kebutuhan ini akan berubah-ubah selama fase pertumbuhan yang berbeda. Dalam kondisi fermentasi yang aerob, penting untuk memperoleh campuran yang sesuai antara mikroorganisme, nutrien, dan udara. Untuk memperoleh hal tersebut harus dilakukan agitasi secara terus-menerus terhadap cairan fermentasi selama proses fermentasi. Hal ini penting apabila kultur ditumbuhkan dalam tabung atau labu. Agitasi dan aerasi tidak praktis jika dilakukan terhadap setiap labu secara sendiri-sendiri, maka aerasi dilakukan di atas mesin kocok. Agar proses fermentasi berjalan dengan lancar dan untuk memperkirakan waktu panen yang optimal, maka sejumlah parameter dimonitor untuk dilakukan pengukuran. Parameter-parameter tersebut diantaranya, suhu, nilai pH dan jumlah oksigen. Sedangkan pengukuran berat kering (biomassa), konsentrasi glukosa dan nitrogen, jumlah spora, bentuk koloni dapat dilakukan pada setiap sampel (Quinlan dan Lisansky 1985).
3. Pemanenan Pada prinsipnya proses pemanenan bahan aktif kristal protein dilakukan pemisahan sel mikroorganisme dan partikel-partikel yang besar. Beberapa teknik yang dapat digunakan adalah filtrasi, sentrifugasi, presipitasi, spray drying, freeze drying atau kombinasi dari proses-proses tersebut dan dekantasi. Bahan aktif bioinsektisida dapat diformulasikan menjadi sebuah produk flowable liquid, wettable powder, dust, atau granular tergantung pada tipe fermentasi, segi ekonomi dari proses, dan kebutuhan formulasi tertentu (Quinlan dan Lisansky 1985; Ignoffo dan Anderson 1979). Menurut Dulmage, et al. (1990) menyatakan bahwa terdapat beberapa bentuk formulasi produk Bt, yaitu flowable suspension, wettable powder, dan cairan. Formulasi flowable suspension adalah bentuk bioinsektisida yang dipanen dengan cara mencampur spora dan kristal dengan air atau minyak dan penstabil, sedangkan wettable powder diperoleh dengan cara melakukan proses freeze drying atau pengeringan beku terhadap campuran spora kristal dengan penambahan laktosa sebagai filler. Pada umumnya bahan pengisi (filler) yang sering digunakan dalam formulasi produk adalah laktosa. Menurut lakkis (2007) laktosa adalah karbohidrat yang memiliki fungsi enkapsulasi yang baik agar bahan aktifnya teraktifasi dalam saluran pencernaan, sehingga ketika produk masuk ke saluran pencernaan, laktosa harus sudah tercerna terlebih dahulu agar endotoksinnya aktif. Pemisahan biomassa yang telah dilakukan pada beberapa penelitian dilakukan dengan operasi sentrifugasi. Pada berbagai penelitian dilakukan operasi sentrifugasi pada kecepatan putar dan lama putar yang berbeda. Sentrifus adalah alat yang digunakan untuk membantu mempercepat proses pengendapan.
Menurut Stanburry dan Whitaker (1984), penggunaan sentrifus cukup luas meliputi pemisahan sel, organel dan molekul. Pada operasi sentrifugasi, kecepatan pengendapan partikel dipengaruhi oleh viskositas media, ukuran partikel dan densitas partikel. Leather, et al. (1988) melakukan sentrifugasi selama 30 menit pada kecepatan putar 15,000 rpm, sedangkan Yong Chul Shin et al. (1989) melakukan pada kecepatan 10,000 rpm selama 30 menit. Lacroix, et al. (1985) dan Boa dan Leduy (1984) melakukan sentrifugasi pada 8,000 rpm selama 30 menit. Mulchandani, et al. (1988) melakukan sentrifugasi pada kecepatan 7,000 rpm, dengan lama yang sama. Shipman dan Fan melakukan sentrifugasi pada kecepatan 3,500 rpm selama 15 menit, serta Heald dan Kristiansen (1985) pada 3,000 rpm selama 15 menit. Filtrasi adalah suatu operasi mekanis atau fisik yang digunakan untuk pemisahan padatan dari cairan (cairan atau gas) oleh media interposing melalui fluida. Kebesaran padat dalam fluida dipertahankan, namun pemisahan tidak lengkap. Padatan akan terkontaminasi dengan beberapa cairan dan filtrat akan berisi partikel-partikel halus (tergantung pada ukuran pori-pori dan menyaring ketebalan) (Lakkis 2007). Ada banyak metode yang berbeda dari penyaringan, semua bertujuan untuk mencapai pemisahan zat. Pemisahan ini dicapai dengan beberapa bentuk interaksi antara zat atau objek yang akan dihapus dan filter. Substansi yang melewati filter harus menjadi cairan, yaitu cairan atau gas. Metode penyaringan bervariasi tergantung pada lokasi materi yang ditargetkan, yaitu apakah terlarut dalam fase cairan atau tertunda sebagai padat (Lakkis 2007) Ada dua tipe utama media filter: yaitu berdasarkan permukaan filter yang terdiri dari saringan padat yang padat perangkap partikel, dengan atau tanpa bantuan kertas filter (misalnya Buchner saluran, belt filter, rotary vacum drum filter, crossflow filter, screen filter), dan berdasarkan kedalaman filter yang terdiri dari tempat alas bahan mentah yang mempertahankan partikel padat ketika melewati (misalnya pasir penyaring). Tipe pertama memungkinkan partikel-partikel padat, yaitu residu, harus dikumpulkan utuh, sedangkan pada tipe yang kedua tidak mengizinkan hal ini. Namun, tipe kedua cenderung kurang mampu menyumbat karena luas permukaan yang lebih besar sehingga partikel dapat terperangkap. Ketika partikel padat sangat baik, sering kali lebih murah dan lebih mudah untuk membuang butiran terkontaminasi daripada digunakan untuk membersihkan saringan padat (Lakkis 2007).
4. Enkapsulasi Enkapsulasi merupakan teknik penyalutan suatu bahan sehingga bahan yang disalut dapat dilindungi dari pengaruh lingkungan. Bahan penyalut disebut enkapsulan sedangkan yang disalut/dilindungi disebut core. Enkapsulasi pada bakteri dapat memberikan kondisi yang mampu melindungi mikroba dari pengaruh lingkungan yang tidak menguntungkan, seperti panas dan bahan kimia. Sedangkan mikroenkapsulasi adalah proses fisik dimana bahan aktif (bahan inti), seperti partikel padatan, tetesan air ataupun gas, dikemas dalam bahan sekunder (dinding), berupa lapisan film tipis. Proses ini digunakan untuk melindungi suatu zat agar tetap tersimpan dalam keadaan baik dan untuk melepaskan zat tersebut pada kondisi tertentu saat digunakan (Paramita 2010). Ide dasar mikroenkapsulasi berasal dari sel, yaitu permeabilitas selektif membran sel memberikan perlindungan terhadap inti sel dari kondisi lingkungan yang berubah-ubah
dan berperan dalam pengaturan metabolisme sel. Mikroenkapsulasi yang berkembang saat ini menggunakan prinsip yang sama untuk melindungi bahan aktif dari kondisi lingkungan yang tidak mendukung. Tujuan utama umum mikroenkapsulasi adalah untuk membuat bahan cairan bersifat seperti padatan. Hal ini menyebabkan beberapa sifat bahan inti menjadi berubah, misalnya sifat aliran bahan dan penangan bahan menjadi lebih mudah dalam bentuk padatan (Paramita 2010). Ada beberapa teknik yang digunakan dalam mikroenkapsulasi. Pemilihan proses berdasarkan pada sensitivitas bahan aktif, sifat fisik dan kimia baik bahan aktif maupun lapisan kulit, ukuran mikrokapsul yang diinginkan, tujuan aplikasi bahan, mekanisme pelepasan bahan aktif, dan alasan ekonomi. Metode fisik dari mikroenkapsulasi meliputi spray drying, spray cooling/chilling, freeze drying, spinning disk, fluidized bed, extrusion dan co-crystallization.Proses mikroenkapsulasi secara kimia adalah interfacial polymerization. Proses mikroenkapsulasi baik secara fisik maupun kimia diantaranya coaservation/fase pemisahan, enkapsulasi molekular, dan liposome entrapment. Alur proses mikroenkapsulasi dapat dilihat pada Gambar 3. Spray drying merupakan salah satu teknik enkapsulasi. Teknik spray drying mengubah bahan yang awalnya berupa bahan cair menjadi materi padat. Pada proses spray drying, bahan yang akan dikeringkan disemprotkan dalam bentuk kabut. Luas permukaan bahan yang kontak langsung dengan media pengering dapat lebih besar sehingga menyebabkan penguapan berlangsung lebih baik. Faktor yang mempengaruhi spray drying adalah bentuk penyemprot, kecepatan alir produk dan sifat produk (Paramita 2010). Menurut Spicer dalam Paramita (2010), keuntungan penggunaan spray drying adalah produk akan menjadi kering tanpa menyentuh permukaan logam yang panas, temperatur produk akhir rendah walaupun temperatur pengering relatif tinggi, waktu pengeringan singkat dan produk akhir berupa bubuk stabil yang memudahkan penanganan dan transportasi. Penggunaan spray drying tidak terbatas pada bahan makanan saja, tetapi juga pada makhluk hidup bersel tunggal, misalnya bakteri. Mikroenkapsulasi menggunakan spray dyring paling banyak digunakan dalam industri karena biayanya relatif lebih rendah. Proses ini fleksibel, dapat digunakan untuk variasi bahan dalam mikroenkapsulasi karena peralatannya mudah diterapkan dalam pengolahan bermacam bahan dan menghasilkan partikel-partikel yang berkualitas baik dengan distribusi ukuran partikel yang konsisten. Bahan yang dikemas dengan cara ini meliputi lemak, minyak, dan penyedap rasa. Pelapisnya dapat berupa karbohidrat, seperti dekstrin, gula, pati, dan gum, atau protein, seperti gelatin dan protein kedelai. Proses mikroenkapsulasi meliputi pembentukan emulsi atau suspensi antara bahan aktif dan pelapis, dan pengkabutan emulsi ke sirkulasi udara kering panas dalam ruang pengering menggunakan atomizer ataupunnozzle. Kadar air dalam droplet emulsi diuapkan akibat kontak dengan udara panas. Padatan yang tersisa dari bahan pelapis menjebak bahan inti (Paramita 2010). Spray drying berguna untuk bahan yang sensitif terhadap panas karena proses pengeringan berlangsung sangat cepat. Pada proses spray drying, bahan yang akan dikeringkan disemprotkan dalam bentuk kabut. Luas permukaan bahan yang kontak langsung dengan media pengering dapat lebih besar sehingga menyebabkan penguapan berlangsung lebih baik. Faktor yang mempengaruhi spray drying adalah bentuk penyemprot, kecepatan alir produk dan sifat produk. Menurut Master dalam Paramita
(2010) keuntungan spray drying mencakup keanekaragaman dan ketersediaan mesin, kualitas mikrokapsul yang tetap baik, berbagai ukuran partikel yang dapat diproduksi, dan kemampuan dispersibilitas yang baik dalam media berair. Keuntungan lainnya adalah produk akan menjadi kering tanpa menyentuh permukaan logam yang panas, temperatur produk akhir rendah walaupun temperatur pengering relatif tinggi, waktu pengeringan singkat dan produk akhir berupa bubuk stabil yang memudahkan penanganan dan transportasi. Beberapa kerugian yang diperoleh di antaranya kehilangan bahan aktif dengan titik didih rendah, adanya proses oksidasi dalam senyawa penyedap rasa, dan keterbatasan pada pilihan bahan dinding, dimana bahan dinding harus dapat larut pada air dengan jumlah yang layak. Spinning disk merupakan modifikasi proses dari spray cooling/chilling dengan menggunakan metode atomisasi. Prinsip dari spray cooling/chilling mirip dengan spray drying, namun menggunakan udara dingin dalam proses pengeringannya. Spinning disk melibatkan pembentukan inti suatu suspensi di lapisan cairan dan suspensi ini terletak di atas disk yang berputar dalam kondisi yang mengakibatkan lapisan film jauh lebih tipis daripada ukuran partikel inti. Pemakaian proses ini meningkat dengan cepat sejak tahun 2000 karena memberikan hasil yang seimbang atau bahkan lebih baik daripada spray drying atau spray cooling/chilling dengan biaya proses yang tidak berbeda (Paramita, 2010). Teknik coacervation merupakan pemisahan fase cair/cair secara spontan yang terjadi ketika dua polimer yang bermuatan berlawanan (misalnya protein dan polisakarida) dicampur dalam media berair kemudian mengarah ke pemisahan menjadi dua fase. Fase yang lebih rendah disebut (kompleks) coacervate dan memiliki konsentrasi yang tinggi dari kedua polimer. Fase atas disebut sebagai supernatan atau fase kesetimbangan, yang merupakan larutan polimer encer. Coacervate digunakan sebagai bahan makanan, misalnya pengganti lemak atau memberi rasa yang mirip daging dan biomaterial, seperti lapisan tipis (film) yang dapat dimakan dan kemasan. Metode ini sangat efisien dan menghasilkan mikrokapsul dengan ukuran yang lebih bervariarif daripada teknik mikroenkapsulasi yang lain (Paramita 2010). Proses ini meliputi tiga tahap, pertama, mecampur tiga fase yang saling tidak melarutkan (fase kontinyu atau air, bahan aktif yang akan dimikroenkapsulasi dan bahan pelapis). Kedua, bahan pelapis membentuk lapisan pada bahan inti. Hal ini dicapai dengan merubah pH, suhu atau kekuatan ion yang menghasilkan pemisahan fase (coacervation) dari pelapis dan sebaran inti yang terjebak. Terakhir, bahan pelapis memadat karena adanya panas, crosslinking (hubungan silang) dan teknik desolvasi. Mikrokapsul yang dihasilkan dari pemisahan fase encer memiliki dinding yang larut air dan bahan aktif yang bersifat menjauhi air (hidrofobik), seperti minyak sayur, penyedap rasa, dan vitamin yang larut dalam minyak (Paramita 2010). Menurut Spicer dalam Paramita (2010) enkapsulasi molekuler juga dikenal dengan nama pemasukan kompleksasi. Proses ini menggunakan cyclodextrin untuk membuat kompleks dan imobilisasi molekul. Cyclodextrin digunakan untuk menstabilkan emulsi dan melindungi bahan makanan yang sensitif dari cahaya, panas, dan oksigen. Siklodextrin dapat meningkatkan kelarutan bahan yang bersifat hidrofobik, mengurangi penguapan dari penyedap rasa pada makanan, dan menutupi rasa, aroma, atau warna makanan yang tidak diinginkan. Reaksi umum dalam enkapsulasi molekuler menggunakan prinsip “host-guest”. Kemampuan cyclodextrin untuk membentuk
pemasukan kompleksasi dengan molekul tamu memiliki dua faktor kunci. Yang pertama adalah tergantung pada ukuran relatif cyclodextrin dengan ukuran molekul tamu atau kunci tertentu di dalam kelompok-kelompok fungsional tamu. Jika ukuran tamu salah maka tidak akan sesuai untuk masuk ke dalam rongga cyclodextrin. Faktor kritis kedua adalah termodinamik interaksi antara berbagai komponen dari sistem (cyclodextrin, tamu, pelarut). Diperlukan adanya daya dorong dari molekul tamu ataupun daya tarik dari cyclodextrin yang menguntungkan. Dalam hal ini, cyclodextrin memiliki sifat fungsional hidrofilik (mendekati air) pada bagian bawah dan atas strukturnya yang seperti donat dan bersifat hidrofobik (menjauhi air) pada bagian tengah karena terhubung dengan jembatan glikosidik oksigen. Senyawa yang dapat membetuk kompleks dengan cyclodextrinadalah senyawa yang bersifat hidrofobik atau memiliki bagian yang hidrofobik. Bagian hidrofobik dari molekul tamu membentuk interaksi yang stabil nonkovalen dengan bagian tengah cyclodextrin (Paramita 2010).
Gambar 3. Diagram Alur proses mikroenkapsulasi (Paramita, 2010)
5. Penentuan Aktivitas Bioinsektisida Penentuan aktivitas bioinsektisida tidak sama seperti yang dilakukan pada insektisida kimiawi. Sedangkan pada bioinsektisida dilakukan dengan dua metode yaitu melalui bioassay dilakukan dengan menentukan kadar letal (LC50) dan Internasional Unit (IU) (Vandekar dan Dulmage 1982) atau dosis letal (LD50), diet dillution unit (DDU50) dan IU (Dulmage dan Rhodes 1971). Potensi produk bioinsektisida dinyatakan dalam satuan internasional (SI) karena LC50, LD50, dan DDU50 sebenarnya hanya menunjukkan potensi relatif produk yang dipengaruhi oleh spesies dan umur serangga. Potensi produk insektisida mikroba Bt dinyatakan dalam satuan internasional (SI) dengan cara pengukuran sebagai berikut :
Uji toksisitas bioinsektisida Bta bertujuan untuk menentukan LC50 dan potensi produk bioinsektisida yang dihasilkan. LC50 merupakan konsentrasi toksin dalam contoh yang dapat membunuh 50 % dari serangga uji (Vandekar dan Dulmage 1982). Semakin kecil nilai LC50 maka semakin efektif produk yang dihasilkan, yang berarti semakin tinggi tingkat toksisitasnya. Croccidolomia binotalis (C. binotalis) merupakan hama utama pada tanaman kubiskubisan seperti kubis, sesawi, lobok, petsai, dan brokoli (Kalshoven 1981; Harjadi 1989). Daerah persebaran hama ini cukup luas mencakup Afrika selatan, Asia Tenggara, Australia, dan Kepulauan Pasifik. Di Pulau Jawa, hama ini ditemukan di daratan rendah maupun daratan tinggi. Ulat C. binotalis dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Larva, kepompong, dan telur Croccidolomia binotalis (http://www.croccidolomiabinotalis.edu) Kerusakan yang disebabkan C. binotalis dapat menurunkan hasil baik kualitas maupun kuantitas, karena menyebabkan kerusakan krop kubis bahkan kubis tidak dapat membentuk krop (Uhan 1993). Kehilangan hasil akibat serangan C. binotalis dapat mencapai 65.8 %. Larva yang baru keluar telur akan hidup berkelompok, memakan daun dari permukaan bawah karena menghindari cahaya. Bekas daun yang dimakan kelompok larva
instar I biasanya berupa bercak putih yang merupakan lapisan epidermis daun yang tidak ikut dimakan dan berlubang bila epidermis mengering. Apabila serangga terjadi pada saat kubis sudah membentuk krop, larva yang telah mencapai instar III akan menggerek ke dalam krop dan merusak bagian ini, sehingga menurunkan nilai ekonomi. Pembusukan pada krop yang sudah rusak dapat terjadi karena munculnya serangan sekunder eleh cendawan dan bakteri (Sastrosiswojo dan Setiawati 1993). Larva C. binotalis melewati empar instar. Larva instar I berkelompok pada permukaan bawah daun, berwarna krem dengan kepala hitam kecoklatan, berukuran 2.1 – 2.7 mm dengan stadium rata-rata 2 hari. Larva instar II bewarna hijau terang, berukuran 5.5 – 6.1 mm dengan stadium rata-rata 2 hari. Larva instar III berwarna hijau, berukuran 1.1 – 1.3 mm, stadium rata-rata 1.5 hari. Larva instar IV berwarna hijau dengan tiga garis putih pada bagian dorsal dan satu pada bagian lateral tubuh, stadium rata-rata 3.2 hari. Dua hari setelah ganti kulit, warna kulit larva instar IV berubah menjadi coklat, larva menjadi tidak aktif, dan tidak banyak makan. Setelah 24 jan, larva akan masuk ke dalam tanah dan membentuk pupa. Pupa berwarna kecoklatan dan ukuran tubuhnya 9 – 10 mm (Prijono dan Hassan 1992). Masa pupa berlangsung selama 9 – 13 hari (Othman 1982) dan rata-rata 11.4 hari pada brokoli (Prijono dan Hassan 1992). C.
PENGEMASAN DAN PENYIMPANAN Pengemasan dapat memperlambat kerusakan produk, menahan efek yang bermanfaat dari proses, memperpanjang umur simpan, dan menjaga atau meningkatkan kualitas dan keamanan pangan. Pengemasan juga dapat melindungi produk dari tiga pengaruh luar, yaitu kimia, biologis, dan fisik. Perlindungan kimia mengurangi perubahan komposisi yang cepat oleh pengaruh lingkungan, seperti terpapar gas (oksigen), uap air, dan cahaya (cahaya tampak, infra merah atau ultraviolet). Perlindungan biologis mampu menahan mikroorganisme (patogen dan agen pembusuk), serangga, hewan pengerat, dan hewan lainnya. Perlindungan fisik menjaga produk dari bahaya mekanik dan menghindari goncangan dan getaran selama pendistribusian (Marsh dan Bugusu 2007). Keuntungan penggunaan plastik sebagai bahan kemasan antara lain harga relatif lebih murah, dapat dibentuk berbagai rupa, warna dan bentuk relatif lebih disukai konsumen, adaptasi yang tinggi terhadap produk, tidak korosif seperti logam, mudah dalam penanganan, dan mengurangi biaya transportasi (Syarief et al. 1989). Suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perubahan mutu makanan. Semakin tinggi suhu penyimpanan maka laju reaksi berbagai senyawa kimia akan semakin cepat. Oleh karena itu dalam menduga kecepatan penurunan mutu makanan selama penyimpanan, faktor suhu harus selalu diperhitungkan (Syarief dan Halid 1991). Ideal temperatur untuk penyimpanan produk kering adalah pada suhu 0-10˚C (3250˚F). Semakin rendah temperatur maka semakin panjang umur simpannya. Beberapa produk dapat disimpan beku pada -18˚C (0˚F) untuk satu tahun dan kondisinya masih bagus (ASEAN SCNCER 2003). Produk pangan akan mengalami perubahan mutu setelah disimpan selama selang waktu tertentu. Perubahan mutu produk pangan disebabkan oleh 3 faktor, yaitu : 1. Fisika, misal : RH, suhu, sinar matahari, thawing, refreezing 2. Kimia, misal : reaksi enzimatis, oksidasi 3. Mikrobiologi, misal : E. coli, Aspergillus. Clostridium, Salmonella (Anonim 2009).