II. TINJAUAN PUSTAKA Jejaring sosial dapat menjadi sebab dan akibat konflik, maupun upaya resolusi konflik di pedesaan. Dalam kerangka inilah dijelaskan bagaimana secara teori, konflik dalam kaitannya dengan jejaring sosial yang di dalamnya ada proses komunikasi. Sebelumnya perlu ditelusuri hasil-hasil studi bernuansa konflik melalui studi-studi di Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Indonesia (UI) dan Lembaga Ilmu dan Pengetahuan Indonesia (LIPI) sampai tahun 2004. Hasil-hasil studi tersebut merupakan bagian dari proses pemetaan konflik masyarakat pedesaan di Indonesia. 2.1. Memahami Konflik di Masyarakat Pedesaan 2.1.1. Pemetaan Konflik Masyarakat di Pedesaan Pemetaan konflik masyarakat pedesaan di Indonesia dilakukan dengan menelusuri hasil studi bernuansa konflik di Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Indonesia (UI) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Penelusuran tersebut menghasilkan beberapa konsep dan teori yang sering digunakan. Konsep-konsep yang digunakan pada “panggung konflik agraria” yaitu : a.
Konsep kelas Marxian, yang membagi masyarakat berdasarkan kepemilikannya yaitu penguasaan lahan dan akhirnya tingkat pendapatan, sehingga dikenal ada golongan atas yang menguasai tanah luas dan golongan petani sempit atau antara nalayan pemilik dan non-pemilik (Machfuddin, 1981; Girsang, 1996; Sjamsuddin, 1984; Sitorus, 1997; Hanggar, 2001), bahkan ditambah dengan kelas “bawah” atau golongan ketiga sebagai petani tak bertanah (Hamid, 1981), juga ditambah pula dengan golongan “sedang” (Kliwon, 1985)
b.
Konsep kelas Weberian, yang membagi masyarakat berdasarkan multi-dimensi bukan hanya kepemilikan saja dan menghasilkan elit lokal ekonomi, elit lokal politik dan elit lokal sosial (Satria, 2000) yang sebenarnya merupakan akibat dari tindakan “rasional” individu.
c.
Konsep “patron-client”, sebagai akibat ketakutan petani menanggung resiko “kegagalan” (Sutisna, 2001)
d.
Konsep konflik sebagai suatu peselisihan atau perbentrokan antara dua pihak karena memperebutkan “tanah pusaka” (Harun, 1998), juga sebagai konflik kepentingan antara pemerintah dan masyarakat, serta konflik antara penduduk asli dan pendatang akibat salah satu kelompok yang termarjinalisasi (Syahyuti, 2002);
makna protes pemilik tanah (Saleh, 1997); sengketa tanah adat (Tantri, 2002); konflik penguasaan dan pemanfaatan kawasan hutan (Petrus, 2000); perlawanan nelayan sebagai strategi adaptasi (Dede, 2001) e.
Konsep monetesi pedesaan, yang berakibat pada hilangnya atau menyempitnya atau pun berubahnya fungsi lahan pertanian (Sahab, 2002) Konsep-konsep yang digunakan pada panggung “konflik peluang berusaha dan
bekerja” yaitu : a.
Konsep persaingan di bidang usaha dagang, yang menghasilkan dominasi yang satu (etnis cina) terhadap yang lain (etnis melayu), atau dikatakan yang tertindas menjadi tersubordinasi (Arbi, 2001); konsep konflik kepentingan antar pedagang, (Meiyani, 1998);
b.
Konsep status yang terbentuk sebagai hasil keberadaan kekuatan ekonomi atau pendapatan rumahtangga, sehingga menghasilkan status rumahtangga kuat, kurang kuat dan pekerja (Susilowati, 1986)
c.
Konsep kelas sosial yang diadaptasi dari Marx dan Weber, dan menghasilkan pengertian kelas yang merupakan golongan dari sejumlah orang yang memiliki hubungan produksi yang sama dalam bidang ekonomi (Murdiyanto, 2001) juga pembagian kelas ala Marx yang menghasilkan lapisan masyarakat bawah (lowerlevel) sebagai nelayan dan produsen ikan/nelayan tradisional yang berstatus sebagai buruh dan melakukan usaha tanpa motor serta masyarakat atas (upperlevel) sebagai pemilik modal dan penguasa/nelayan non tradisional sebagai nelayan pemilik dan melakukan usaha menggunakan perahu bermotor (Pranadji, 1995; Boer, 1984)
d.
Konsep rasionalitas petani yang dijadikan alasan yang paling memungkinkan sebagai faktor pemicu sehingga petani melakukan tindakan-tindakan sosial yang dianggapnya logis (Mukhtar, 1994) Panggung “konflik nilai sosial budaya” sendiri mengungkapkan beberapa konsep
penting yaitu : a.
Konsep elit informal yang berperan dalam proses pembuatan keputusan pembangunan desa disebabkan oleh penggerak yang bersifat laten yang didasarkan pada hubungan sosial dan struktur sosial dari masyarakat (Iberamsjah, 1988)
b.
Konsep integrasi yang tidak lagi diartikan sebagai pembauran berbagai kelompok etnis dengan mengorbankan nilai atau norma yang mereka anut, tetapi lebih cenderung ke arah sosialisasinya Coser, yang memungkinkan seseorang tidak memaksakan apa yang dianggap baik oleh suatu kelompok padahal berbeda menurut pandangan etnis lain, sehingga integrasi dianggap sebagai sikap dan pandangan serta pola hubungan yang harmonis dari dan antar para pelakupelakunya sehingga tercipta homogenitas pada pola nilai-nilai dan norma di antara kelompok dan struktur yang ada (Saad, 1984), juga menghasilkan perubahan secara sadar terhadap aspek kesejahteraan yang disebabkan proses interaksi antar individu dan antar kelompok masyarakat yang berinteraksi dan akhirnya menghasilkan “sesuatu yang baru” serta penciptaan keadaan yang lebih baik (Yosep, 1996); konsep integrasi pada unit pemukiman transmigrasi (Soumokil 1992); konsep keserasian hubungan antar etnik di perkotaan (Hartoyo, 1996); konsep integrasi masyarakat terasing ke dalam sistem nasional (Tasman, 1995); konsep tingkat integrasi transmigrasi dan penduduk asli (Torro, 1998); konsep interaksi antara masyarakat pendatang dan lokal (Ikhawan, 2000); konsep konflik dan integrasi dalam Komunitas Islam di Bali (Budi, 1992).
c.
Konsep status, yang dikembangkan sebagai hasil dari penggunaan sumberdaya manusia dan pengelolaan sumberdaya alam yang tercermin dalam pola usaha, dan menentukan pula produksi sekaligus pendapatan, atau dengan kata lain dasar ekonomi menjadi penentu status seseorang dalam masyarakatnya (Singarasa, 1988)
d.
Konsep kelas berdasarkan kedudukan dalam kekerabatan, sehingga lebih cocok dengan kelas Weberian yang lebih multidimensi dibandingkan dengan Marxian yang hanya terfokus pada dasar kepemilikan yang mengarah ke ekonomi, walaupun dalam aplikasinya ternyata terdapat tiga kelas dalam masyarakat yaitu lapisan atas, lapisan menengah dan lapisan bawah (Siagian, 2000); konsep konflik sebagai pertentangan kelas sosial dan ekonomi (Warsilah 2003)
e.
Konsep gerakan sosial (Keron, 2001); konsep solidaritas internal dan integrasi kelompok (Ngabalin, 2001); konsep konflik etnis yang menjurus pada konsep kerusuhan sosial (Syahrul, 2001; Konita, 2003); konsep pengakuan yang diperoleh dengan strategi oleh etnis lokal (Satrio, 2002); konsep resolusi konflik antara migran dengan penduduk asli (Zainuddin, 2002); konsep konflik etnis dan ras (Lan, 2003); konsep konflik agama (Basyar, 2003)
Berbagai konsep yang dicetuskan melalui studi pada masing-masing panggung, menunjukkan adanya kemiripan walaupun pada kedudukan panggung yang berbeda. Hal ini menjadi satu keraguan untuk menyatakan ada “pembaharuan” dalam penggunaan konsep-konsep pada studi yang bernuansa konflik. Hal ini terlihat dengan jelas, apabila konsep-konsep tersebut disandingkan dengan konsep-konsep yang asli. Studi konflik yang dilakukan di UI cukup memberikan sumbangan konsep-konsep dan teori-teori demi perkembangan studi konflik di Indonesia. Hal ini disumbangkan oleh kajian studi konflik yang lebih beragam, serta tidak adanya pembatasan kajian pada batas “pedesaan”. Selain itu, kekuatan teori yang dibangun lebih nyata karena studistudi yang dilakukan lebih terfokus pada tataran teoritik dibandingkan tataran praktis (empirik) seperti di IPB. Hasil kajian menunjukkan keberadaan konsep-konsep yang ternyata semuanya berada di bawah payung “teori konflik” sehingga menawarkan “disharmonisasi” seperti konsep pemetaan konflik, manajemen konflik, komunal, separatis yang dipadu dengan konsep-konsep konflik horizontal, konflik vertikal, elitmassa, antar elit, struktur konflik, penggerak konflik, konflik tanah, hukum negara dan hukum adat. Selain itu pandangan Coser menjadi acuan bahwa konflik antar kelompok menyebabkan menguatnya solidaritas internal dan memperkuat integrasi kelompok, sebagai hasil proses komunikasi desas-desus. Hasil lacakan terhadap hasil studi bernuansa “konflik” di LIPI, ternyata penggunaan konsep-konsep Marxian dalam menganalisis fenomena konflik sudah “mendominasi” setelah melewati tumbangnya ORBA (tahun 1998), sehingga keinginan peneliti untuk menelusuri “sesuatu” yang bertentangan dengan kebiasaan (mainstream) juga bermunculan seiring dengan munculnya era “reformasi”. Studi konflik di LIPI akhirnya lebih mampu memberikan sumbangan konsep-konsep dan teori-teori demi perkembangan studi konflik di Indonesia. Hal ini disumbangkan oleh kajian studi konflik yang lebih beragam, serta tidak adanya pembatasan kajian. Selain itu, ditunjang pula oleh kemampuan mengelola tataran teoritik dan praktis (empirik) secara bersamaan dalam pelaksanaan studi. Walau pun dalam hal perkembangan teori ternyata sama seperti di UI yaitu, nuansa konflik lebih cepat bergerak setelah munculnya “reformasi” (tahun 1998). Perkembangan teori sekaligus ditentukan oleh keberanian menentukan fokus kajian studi, karena semakin terfokus pada disharmonisasi maka penggunaan teori konflik akan lebih mampu memaparkan fenomena-fenomena yang ada. Oleh karena itu, studi-studi terbaru yang dilakukan LIPI (setelah 2000 – seiring dengan maraknya konflik sosial di Indonesia) mengangkat fenomena konflik dari sisi “disharmonisasi” dengan menggunakan teori konflik sehingga mampu menjelaskan fenomena konflik dengan lebih tajam, lengkap dan sesuai fenomena yang ada. Sehingga dapat dikatakan bahwa, studi-studi konflik (baik di IPB dan di luar IPB termasuk UI dan LIPI) mengarah pada pengungkapan runtut kejadian (berlangsungnya konflik), mencari akar permasalahan (akar konflik), menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan konflik serta menguraikan cara menanggulangi konflik. Akar permasalahan konflik pada dasarnya bersumber pada dua aspek penting yaitu, aspek
ekonomi dan aspek nilai (budaya atau agama). Kedua aspek ini memunculkan aspek lainnya seperti politik. Hasil kajian menunjukkan belum ada studi yang menjelaskan adanya keterkaitan konflik dan jejaring sosial baik dari penyebab konflik maupun cara penanggulangan konflik. Berkaitan dengan konflik pedesaan yang disajikan dalam disertasi ini, dapat dikatakan bahwa kemunculan konflik di kalangan masyarakat pedesaan khususnya Pulau Saparua merupakan imbas dari konflik yang berkepanjangan di kota Ambon. Sehingga pilihan jejaring sosial sebagai aspek penting dalam konflik pedesaan Pulau Saparua menjadi jelas. Bahwasannya konflik di Saparua muncul karena diperluasnya konflik Ambon ke berbagai wilayah lain secarra sengaja oleh “pihak-pihak yang berkepentingan”, atau pun secara tidak sengaja oleh masyarakat pedesaan melalui proses komunikasi antar individu yang berkerabat dan atau bertetangga yang berisi terjadinya konflik serta akibat-akibat yang diderita.
Proses penyebaran konflik dari
Ambon ke berbagai wilayah lain paling terjadi karena ada jejaring sosial yang menghubungkan antara wilayah Ambon dengan wilayah sasaran penyebaran konflik termasuk Saparua. 2.1.2. Konflik Masyarakat di Pedesaan Masyarakat manusia di manapun berada senantiasa menghadapi kemungkinan terjadinya konflik. Sepanjang peradaban manusia di muka bumi, konflik merupakan warna lain kehidupan yang tidak bisa dihapuskan. Konflik atau pertentangan umumnya dianggap sebagai sesuatu yang tidak fungsional. Suatu sistem, pranata, atau institusi yang acapkali mengalami konflik dinilai tidak lebih harmonis daripada sistem, atau institusi lain yang relatif jarang mempunyai konflik.
Pemahaman seperti ini lebih
disebabkan oleh adanya kecenderungan dari kebanyakan orang untuk memilih “strategi hidup” yang akomodatif, daripada harus memakai jalan yang sering menempatkan orang dalam posisi yang saling kontradiktif. Dalam analisis studi konflik, paling tidak ada tiga pandangan klasik yang dapat dipakai sebagai dasar. Ketiga pandangan tersebut masing-masing diungkapkan oleh Marx, Coser dan Dahrendorf seperti dijelaskan berikut ini. 1. Pandangan Karl Marx (1967) Dalam teori Marx terdapat beberapa segi kenyataan sosial yang tidak dapat diabaikan oleh teori apa pun, antara lain adalah penegakuan akan adanya struktur kelas dalam masyarakat, kepentingan ekonomi yang saling bertentangan di antara orangorang yang berada dalam kelas berbeda, pengaruh yang besar dari posisi kelas
ekonomi terhadap gaya hidup seseorang serta bentuk kesadarannya; serta berbagai pengaruh dari konflik kelas dalam menimbulkan perubahan struktur sosial. Marx memberi tekanan pada dasar ekonomi untuk kelas sosial, khususnya pemilikan alat produksi. Ia juga mempunyai ide yang kontroversial mengenai sistem dua-kelas yang digunakan dalam analisisnya, khususnya tentang ramalannya mengenai pertumbuhan yang semakin melebar antara kelas borjuis dan proletar.
Marx
mengajukan ramalan mengenai revolusi proletariat di waktu yang akan datang, dimana menurutnya tidak akan terjadi perubahan struktur sosial yang utama, kecuali dengan revolusi. Filosofi Marx banyak ditemukan dalam analisa sosiologi maupun ekonomi. Intinya Marx menghubungkan antara komitmen ideologi dengan struktur ekonomi dan posisi kelas. Pemikiran filosofi Marx berpusat pada usahanya untuk membuka kedok sistem nilai masyarakat; pola kepercayaan; dan bentuk kesadaran sebagai ideologi yang mencerminkan dan memperkuat kepentingan kelas yang berkuasa. Marx lebih memberi tekanan pada pentingnya kondisi materiil dalam struktur masyarakat, dan membatasi pengaruh budaya yang bebas terhadap kesadaran individu serta perilakunya. Marx (1967) membagi kesadaran manusia menjadi “kesadaran palsu” dan “kesadaran benar”.
Misalnya, ia meyakini bahwa kepatuhan dari para buruh dalam
pekerjaannya merupakan kesadaran palsu, sebab sesungguhnya dalam diri mereka terdapat bentuk kebutuhan lain yang ingin diperjuangkannya. Marx menunjuk kondisikondisi obyektif dari kelas pekerja dan dari majikan kapitalis sebagai sesuatu yang sifatnya memang mengalienasi, tanpa menghubungkannya dengan reaksi subyektif mereka atas kondisinya. Dengan demikian jelaslah, bahwa Marx memberikan gambaran tentang model konflik klas revolusioner dan perubahan sosial. Marx mengajukan asumsi yang sangat simpel, yaitu organisasi ekonomi, khususnya kepemilikan tanah (the ownership of property) akan menentukan organisasi yang ada dalam masyarakat. Struktur kelas dan susunan institusional seperti nilai budaya, kepercayaan, dogma agama/religi, dan sistem ide lain merupakan refleksi dasar-dasar ekonomi masyarakatnya (Marx, 1967). Oleh karena itu, semakin segmen sub ordinat menjadi sadar tentang kepentingan kolektifnya yang
sesungguhnya
(true
collective
interests),
semakin
cenderung
mereka
mempertanyakan legitimasi dari keberadaan pola distribusi sumber-sumber langka sebagai gejala berikut ini :
1.
2. 3.
4.
Semakin perubahan sosial dibuat oleh segmen dominan untuk merusak keberadaan hubungan di antara segmen subordinat, semakin cenderung mereka menjadi sadar tentang kepentingan kolektifnya. Semakin segmen dominan menciptakan keterasingan di antara segmen subordinat, semakin cenderung mereka menjadi sadar tentang kepentingan kolektifnya. Semakin para anggota segmen subordinat dapat mengkomunikasikan keluhankeluhan di antara satu dengan yang lain, semakin cenderung mereka menjadi sadar tentang kepentingan kolektifnya. Semakin segmen subordinat dapat mengembangkan ideologi yang mempersatukan (unifying ideologies), semakin cenderung mereka menjadi sadar akan kepentingan kolektifnya.
2. Pandangan Ralf Dahrendorf (1959) Menurut Dahrendorf (1959), terdapat hubungan yang erat antara konflik dengan perubahan sosial. Konflik akan menyebabkan terciptanya perubahan sosial. Aspek terakhir teori konflik Dahrendorf adalah mata rantai antara konflik dan perubahan sosial. Konflik menurutnya memimpin ke arah perubahan dan pembangunan. Dalam situasi konflik golongan yang terlibat melakukan tindakan-tindakan untuk mengadakan perubahan dalam struktur sosial. Kalau konflik itu terjadi secara hebat maka perubahan yang timbul akan bersifat radikal. Begitu pula kalau konflik itu disertai oleh penggunaan kekerasan, maka perubahan struktural akan efektif. Dalam pandangan Dahrendorf, masyarakat memiliki dua muka, yaitu konsensus dan konflik. Teorinya tentang konflik dialektik ini dianggap masih mendapat pengaruh dari Marx. Menurutnya setiap organisasi sosial akan menunjukkan realita : • • • • • •
Setiap sistem sosial akan menampilkan konflik yang berkesinambungan, Konflik dimunculkan oleh kepentingan oposisi yang tak terhindarkan, Kepentingan oposisi tersebut merupakan refleksi dari perbedaan distribusi kekuasaan di antara kelompok dominan dan kelompok lapisan bawah, Kepentingan akan selalu membuat polarisasi ke dalam dua kelompok yang berkonflik. Konflik selalu bersifat dialektik, karena resolusi terhadap suatu konflik akan menciptakan serangkaian kepentingan oposisi yang baru, dan dalam kondisi tertentu, akan memunculkan konflik berikutnya. Perubahan sosial selalu ada pada setiap sistem sosial, dan hal ini merupakan hasil yang tidak terhindarkan dari konflik dialektik, dan aneka tipe pola institusional.
Konflik berhubungan dengan tumbuhnya kesadaran kelompok subordinat tentang kepentingan obyektifnya.
Peningkatan kesadaran tersebut sejalan dengan
bekembangnya kondisi teknik (kader kepemimpinan dan kodifikasi dalam sistem ide), berkembangnya kondisi politik (diperbolehkannya kelompok oposisi mengorganisir diri);
serta
bekembangnya
kondisi
sosial
(adanya
peluang
kelompok
laten
untuk
berkomunikasi dengan yang lain, dan meningkatnya rekruitmen oleh struktur yang ada). Oleh karena itu, jika suatu kelompok terbentuk secara kebetulan (byhance) sangat mungkin akan terhindar dari konflik.
Sebaliknya apabila kelompok semu yang
pembentukannya ditentukan secara struktur, maka akan memungkinkan untuk terbentuk menjadi suatu kelompok kepentingan yang menjadi sumber konflik atau pertentangan. Analisa Dahrendorf menunjukkan adanya posisi yang dilematis dari kelompok superordinat. Bahwa peningkatan atau perkembangan kondisi teknik, politik, dan sosial akan meningkatkan kesadaran kelompok semu/laten tentang kepentingan obyektifnya. Hal ini dapat membuka peluang tumbuhnya konflik. Di sisi lain, jika ketiga kondisi di dalam organisasi tersebut dirasa kurang, konflik pun akan berlangsung brutal atau keras. Walaupun demikian, di akhir proposisinya dikatakan bahwa semakin keras suatu politik, maka akan semakin besar angka perubahan struktural dan reorganisasi. Artinya, bahwa konflik yang terjadi di dalam masyarakat mempunyai fungsi bagi terjadinya perubahan-perubahan sistem dalam skala tertentu (Dahrendorf, 1959). Berdasarkan pemikiran Dahrendorf tersebut, dapat dimaknai bahwa tindakantindakan “improvement” yang dilakukan oleh kelompok superordinat akan menghasilkan dua konsekuensi sekaligus. Pertama, terberdayakannya kelompok subordinat sehingga kesadaran tumbuh, dan ini juga berarti ancaman bagi keberadaan kelompok superordinat. Kedua, semakin terjauhkannya kelompok subordinat dengan akses-akses strategis yang ada dalam sistem, dan ini dapat menumbuhkan kekecewaan yang muaranya juga konflik antar segmen. Berdasarkan pemahaman semacam ini, dapat diduga bahwa konflik memang merupakan keniscayaan kehidupan yang tidak terhindarkan.
3. Pandangan Lewis Coser (1956) Menurut Coser, konflik disebabkan oleh adanya kelompok lapisan bawah yang semakin mempertanyakan legitimasi dari keberadaan distribusi sumber-sumber langka. Pertanyaan tentang legitimasi tersebut diakibatkan oleh kecilnya saluran untuk menyampaikan keluhan-keluhan yang ada, dan perubahan deprivasi absolut ke relatif (Coser, 1956). Coser (1956) menyampaikan proposisi tentang kekerasan konflik (the violence of conflict) sebagai berikut :
1. Semakin suatu kelompok berada pada konflik yang terjadi karena isu-isu yang realistik atau tujuan yang dapat dicapai (obtainable goals), semakin cenderung mereka melihat kompromi sebagai alat untuk merealisasikan kepentingannya, oleh karenanya, kekerasan konflik akan semakin berkurang. 2. Semakin suatu kelompok berada pada konflik yang terjadi karena isu-isu yang tidak realistik atau tujuan yang tidak dapat dicapai (unobtainable goals), semakin besar tingkat emosional akan dapat membangunkan dan terlibat dalam konflik, dan oleh karenanya konflik akan semakin keras. • Semakin konflik terjadi karena nilai-nilai pokok, semakin cenderung mengarah pada isu-isu yang nonrealistik. • Semakin konflik yang realistik berlangsung lama, semakin cenderung akan munculnya atau meningkatnya isu-isu yang nonrealistik. 3. Semakin kurang fungsi hubungan interdependensi di antara unit-unit sosial di dalam sistem, semakin kurang tersedianya alat-alat institusi untuk menahan konflik dan ketegangan, semakin keras suatu konflik. • Semakin besar perbedaan kekuasaan di antara super dan subordinat di dalam sistem, semakin kurang fungsi interdependensi. • Semakin besar tingkat isolasi subpopulasi di dalam sistem, semakin kurang interdependensi. Pandangan Coser, bahwa konflik sosial dipandang memiliki fungsi secara sosial menjadi penting artinya untuk memahami konflik masyarakat di pedesaan Saparua. Konflik sebagai proses sosial lebih banyak dilihat dari segi fungsi positif, maka teori konflik yang dikembangkan Coser disebut pula Fungsionalisme Konflik Sosial. Sebuah pandangan tentang konflik sosial yang menekankan langkah pada mengenal dan mengkaji sebab dan bentuk konflik yang wujud didalam masyarakat serta potensi akibatnya dengan perubahan sosial. Langkah ini menunjukkan agar konflik dikelola untuk tidak dapat menimbulkan perubahan sosial yang tidak diharapkan. Ada harapan, bahwa konflik yang dikelola dapat diarahkan pada perubahan sosial yang diharapkan. Pemahaman ini paling memungkinkan dalam menjelaskan fenomena konfflik di Saparua, sehingga konflik dapat dikelola menjadi kekuatan masyarakat untuk bergerak lebih maju. Berdasarkan pemikiran tersebut, secara teoritik dapat diduga bahwa kekerasan yang terjadi disebabkan oleh adanya isu-isu yang nonrealistik di dalamnya. Isu yang tidak realistik adalah isu yang tujuan-tujuannya tidak dapat direalisir. Misalnya isu tentang agama, etnis, dan suku merupakan sesuatu yang tidak realistik. Konflik yang terjadi karena isu tersebut dikonsepsikan akan berlangsung secara keras, seperti di Saparua. Namun, konflik yang terjadi kemudian dapat dikelola sehingga mengarah pada perubahan sosial yang diharapkan. Dalam pemahaman kami, lama tidaknya suatu konflik dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu luas-sempitnya tujuan konflik, pengetahuan sang pemimpin tentang simbol-simbol kemenangan dan kekalahan dalam konflik, serta peran
pemimpin dalam memahami biaya konflik dan dalam mempersuasi pengikutnya. Pemikiran semacam ini menunjukkan kejelasan, bahwa peran pemimpin begitu besar. 2.2. Keterkaitan Jejaring Sosial dan Konflik Keterkaitan konflik dan jejaring sosial dapat dipahami dalam jejaring komunikasi. Jejaring komunikasi menunjukkan bagaimana hubungan antar individu terbangun dalam proses komunikasi melalui pola-pola tertentu. Jejaring komunikasi (communication network) adalah suatu hubungan yang relatif stabil antara dua individu atau lebih yang terlibat dalam proses pengiriman dan penerimaan informasi (Rogers dan Kincaid, 1981). Sependapat dengan Lewis (1987) yang mengatakan bahwa jejaring komunikasi adalah sistem yang merupakan garis komunikasi
yang
menghubungrkan
pengirim
pesan
dengan
penerima
pesan.
Selanjutnya, DeVito (1992) mendefinisikan jejaring komunikasi sebagai saluran atau jalan tertentu yang digunakan untuk meneruskan pesan dari satu orang ke orang lain. Rogers (1983) mengemukakan bahwa jejaring komunikasi adalah suatu jejaring yang terdiri dari individu-individu yang saling berhubungan oleh arus komunikasi yang terpola. Pernyataan ini diperkuat oleh Berger dan Chaffe yang diacu dalam Purnomo (2002) menyatakan bahwa jejaring komunikasi sebagai suatu pola yang teratur dari kontakkontak antara individu yang dapat diidentifikasi sebagai pertukaran informasi yang dialami seseorang di dalam sistem sosialnya. Robins yang diacu dalam Mislini (2006) berpendapat bahwa jejaring komunikasi adalah dimensi vertikal dan horisontal dalam komunikasi organisasi yang dibangunkan dalam bermacam-macam pola. Jejaring komunikasi dibagi dalam lima macam jejaring, yaitu; jejaring rantai, jaringan Y, roda, lingkaran dan jejaring semua saluran, seperti terlihat pada Gambar 1 berikut ini :
Rantai
Y
Roda/Star
Semua saluran
Lingkaran
Gambar 1 Jejaring Komunikasi Umum (Robbins, 1984) Berdasarkan kriteria tersebut bahwa tidak ada satupun jejaring yang akan menjadi terbaik untuk semua kejadian. Apabila kecepatan yang penting, maka jejaring roda dan semua saluran yang lebih disukai. Jejaring rantai, jejaring Y dan jejaring roda mendapat nilai tinggi untuk kecermatannya. Susunan jejaring semua saluran adalah yang terbaik apabila tujuannya adalah untuk mencapai kepuasan yang tinggi bagi penerima pesan. Tabel 1 menunjukkan bahwa untuk mengukur efektifitas jejaring komunikasi maka dapat menggunakan empat kriteria. Tabel 1 Jejaring Komunikasi dan Kriteria Evaluasi Kriteria
Rantai Kecepatan Sedang Kecermatan Tinggi Timbulnya Sedang Pemimpin Ada Moril Sedang Sumber: Robins, SP (1984)
Jenis Jejaring Komunikasi Y Roda Lingkaran Sedang Cepat Lamban Tinggi Tinggi Rendah Sedang
Tinggi
Tidak ada
Sedang
Rendah
Tinggi
Semua Saluran Cepat Sedang Tidak ada Tinggi
Berkaitan dengan perspektif jejaring, terdapat beberapa konsep yang perlu dipahami, sehingga dapat mempertajam analisis terhadap jejaring komunikasi, yaitu konsep jejaring sentralisasi versus desentralisasi. Konsep ini kemudian dikenal dengan jejaring komunikasi model Y, bintang, all channel, rantai, konsep independen di mana anggota bebas dari pemilihan terhadap posisinya untuk menjadi apa kemudian informasi (berkomunikasi) lebih dapat terpuaskan (Beebe dan Masterson yang diacu dalam Mislini, 2006). Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan pengertian jejaring komunikasi secara lebih khusus sesuai dengan penelitian ini, yaitu suatu rangkaian hubungan di antara individu-individu, sehingga membentuk pola-pola atau model-model jejaring komunikasi tertentu.
Model jejaring komunikasi tersebut, menjadi jalan bagi
penyebaran informasi antar individu sehingga terbentuk sekelompok individu dengan persepsi yang sama.
Berkaitan dengan konflik maka, penyebaran informasi berupa
pandangan negatif terhadap komunitas lain menyebabkan terbentuknya sekelompok individu yang berpandangan negatif. Hal yang sama terjadi juga pada komunitas yang menjadi lawan, maka terbentuk pula persepsi negatif dalam komunitas yang menjadi lawan. Pertemuan persepsi negatif berujung pada konflik antar kedua komunitas,
Rogers dan Kincaid (1981), menegaskan bahwa analisis jejaring komunikasi merupakan metode penelitian untuk mengidentifikasi struktur komunikasi dalam suatu sistem, di mana data hubungan mengenai arus komunikasi dianalisis dengan menggunakan beberapa tipe hubungan interpersonal sebagai unit analisis. Tabel 2 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara efek komunikasi dengan jejaring komunikasi. Tabel 2 Perbedaan Efek Komunikasi dengan Jaringan Komunikasi Keterangan Model yang digunakan pada pendekatan ini Unit analisis Tujuan variabelvariabel independen Tujuan variabelvariabel dependen
Pendekatan Efek Komunikasi
Analisa Jaringan Komunikasi
Model linier
Model konvergen
Individual
Beberapa tipe hubungan interpersonal Indeks dari struktur komunikasi (contoh: indek keterkaitan dan indek integrasi)
Karakteristik individu
1. Siapa berkomunikasi dengan siapa Efek dari komunikasi 2. Persetujuan dan pengertian individu (pengetahuan, sikap, dan dalam jaringan atau perilaku yang nyata)
Sumber: Rogers (1986) Inti dari perbedaan di atas adalah bahwa komunikasi konvergen sebagai proses pertukaran informasi dengan satu atau lebih individu lainnya, sementara komunikasi linier adalah sebagai proses komunikasi satu arah. Analisis jaringan komunikasi menggambarkan jaringan hubungan interpersonal yang dihasilkan lewat pertukaran informasi dalam struktur komunikasi interpersonal. Rogers (1986) mendefinisikan bahwa jaringan komunikasi terdiri dari saling keterkaitan antara individu-individu yang dihubungkan oleh arus atau alur komunikasi yang terpola.
Dikaitkan dengan
kemunculan konflik maka, struktur komunikasi turut menentukan cepat tidaknya konflik terjadi.
Semakin kuat keterikatan antar individu, maka arus komunikasi bergerak
semakin lancar. Proses komunikasi linier memperbesar peluang konflik, karena tidak ada pertukaran informasi yang terjadi, sehingga arus informasi mengalir searah tanpa ada konflirmasi kebenaran informasi. Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam jejaring komunikasi, yaitu: (1) mengidentifikasi klik dalam suatu sistim; (2) mengidentifikasi peranan khusus seseorang dalam jaringan, misalnya; sebagai liaisons, bridges dan isolated; dan (3) mengukur
berbagai indikator (indeks) struktur komunikasi seperti keterhubungan klik, keterbukaan klik, keintegrasian klik dan lain sebagainya. Klik adalah bagian dari sistem (sub sistem) di mana anggota-anggotanya relatif lebih sering berinteraksi satu sama lain dibandingkan dengan anggota-anggota lainnya dalam sistem komunikasi (Rogers dan Kincaid,1981). Identifikasi klik membantu menentukan kedudukan aktor dalam penyebaran informasi. Berkaitan dengan konflik yang terjadi, maka kedudukan dan kemampuan aktor menjalankan fungsi pecahnya konflik.
penyebaran informasi semakin memperbesar peluang
Persepsi negatif tentang kelompok lain yang semakin menguat,
memudahkan terbentuknya perilaku yang mendukung persepsi tersebut.
Keinginan
menghancurkan kelompok lain merupakan wujud perilaku, akibat persepsi negatif terhadap kelompok lain.
Pembentukan persepsi merupakan gambaran proses
terbentuknya jejaring sebagai rangkaian hubungan di antara individu-individu dalam suatu sistem sosial sebagai akibat dari terjadinya pertukaran informasi di antara individu-individu tersebut. Pertukaran informasi membentuk pola-pola atau model-model jaringan komunikasi tertentu. Dengan demikian model jejaring dalam konflik merupakan model jaringan komunikasi antara anggota masing-masing komunitas yang terbentuk karena terjadinya komunikasi (pertukaran informasi) di antara anggota komunitas dalam membicarakan akibat konflik yang sedang terjadi. Pendekatan komunikasi menjadi penting untuk memahami fenomena jejaring sosial dalam konflik karena, membangun jejaring tidak lepas dari peran komunikasi dalam arti sempit yaitu interaksi antara orang. mungkin terbentuk.
Tanpa interaksi maka jejaring tidak
Namun, pendekatan komunikasi di sini lebih ditekankan pada
pandangan terhadap jejaring sosial sebagai suatu hubungan antara orang yang akhirnya membentuk rangkaian hubungan dengan tujuan-tujuan tertentu. Tujuan-tujuan inilah yang sebenarnya menjadi penting, karena kesamaan tujuan pada dasarnya merupakan prinsip utama dibangunnya interaksi. Dalam hal ini, tujuan diarahkan pada penyebaran konflik atau penghentian konflik. Walaupun semakin sesuai tujuan antara individu yang berinteraksi maka semakin mudah tujuan tercapai, namun peran pemimpin dalam masyarakat
sebenarnya
menempati
posisi
yang
penting
dan dominan
untuk
menentukan tujuan apa yang ingin dicapai. Proses interaksi tersebut menggambarkan kekuatan ikatan antar individu dari berbagai aspek, termasuk pula ikatan se-agama. Ikatan demikian menunjukkan adanya modal sosial yang berkembang dalam masyarakat yang tergambarkan melalui jejaring antar individu.
Bagi sosiolog studi tentang jejaring sosial telah dikenal sejak tahun 1960-an, yang dihubungkan dengan bagaimana individu terkait antara satu dengan lainnya dan bagaimana ikatan afiliasi melayani baik sebagai pelicin untuk memperoleh sesuatu yang dikerjakan maupun sebagai perekat yang memberikan tatanan dan makna bagi kehidupan sosial (Powell dan Smith-Doerr, 1994). Mitchell (1969) menegaskan, pada tingkatan antar individu, jejaring sosial dapat didefinisikan sebagai rangkaian hubungan yang khas di antara sejumlah orang dengan sifat tambahan, yang ciri-ciri dari hubungan ini sebagai keseluruhan, yang digunakan untuk menginterpretasikan tingkah laku sosial dari individu-individu yang terlibat. Sedangkan pada tingkatan struktur memperlihatkan bahwa pola atau struktur hubungan sosial meningkatkan dan/atau menghambat perilaku orang untuk terlibat dalam bermacam arena dari kehidupan sosial. Oleh karena itu tingkatan ini memberikan suatu dasar untuk memahami bagaimana perilaku individu dipengaruhi oleh struktur sosial. Studi yang membahas keterkaitan antara jejaring sosial dan konflik sosial masih jarang dilakukan.
Jejaring sosial merupakan ekspresi modal sosial, sehingga studi
jejaring sosial dan konflik dapat ditelusuri dari studi modal sosial dan konflik. Uphoff dalam Dasgupta dan Ismail Seregeldin [ed] (2000 : 215 – 243) mengatakan bahwa, modal sosial sangat membantu jika dipahami dalam dua kategori, yaitu struktural dan kognitif. Kategori pertama diasosiasikan dengan berbagai bentuk organisasi sosial, khususnya peran (roles), aturan (rules), preseden (precedents), prosedur (procedure) dan networks yang memberikan kontribusi terhadap perilaku kerjasama (cooperative behavior), serta terutama sekali terhadap tindakan kolektif yang memberi manfaat timbal-balik, “mutually benefit collective action” (MBCA). Sedangkan kategori yang kedua berasal dari proses mental dan hasil gagasan-gagasan yang diperkuat oleh budaya dan ideologi, khususnya norma-norma (norms), nilai-nilai (values), sikap perilaku (attitudes), dan keyakinan (beliefs) yang memberikan kontribusi terhadap perilaku kerjasama. Kedua kategori tersebut tidak dapat berdiri sendiri, tetapi saling mempengaruhi dan saling melengkapi satu sama lain. Dalam pandangan Uphoff, modal sosial dapat ditelusuri bentuknya, dari yang paling minimum, elementer, substansial hingga maksimum. Hal ini karena karakteristik modal sosial itu sendiri mengandung makna “some degree of mutuality, some degree of common identity, some degree of cooperation for mutual, not just personal, benefit (Dasgupta dan Ismail Seregeldin (ed) (2000 : 222). Modal sosial dapat dianalisa melalui fenomena-fenomena perilaku sebagaimana digambarkan dalam tabel 3.
Mengacu pada konsep-konsep di Tabel 3., yang dimaksud dengan modal sosial yaitu, pertama, institusi-institusi, relasi-relasi, nilai-nilai dan norma-norma yang membentuk perilaku kerjasama (cooperative behavior) dan koordinasi tindakan-tindakan bersama (collective action) untuk suatu tujuan yang manfaatnya dapat dirasakan secara bersama-sama (mutual benefit); kedua, kapablitas yang muncul dari prevalensi kepercayaan dalam suatu masyarakat atau di dalam bagian-bagian tertentu dari masyarakat. Tabel 3. Kategori komplementer Modal Sosial Aspek
Struktural
Kognitif
Sumber dan Manifestasi
Roles and Rules, Networks dan relasi personal lainnya, Prosedur dan Preseden
Norma-norma, nilai-nilai, sikap/tingkah laku, kelayakan
Domain
Organisasi Sosial
Civil Culture
Faktor Dinamis
Linkage horizintal Linkage Vertikal
Trust, solidaritas, kerjasama, derma (generosity)
Common Elements
Ekspektasi-ekspetasi yang melahirkan peilaku kerjasama yang kemudianmenghasilkan manfaat timba-balik (mutual benefit)
Sumber : Uphoff dikutip oleh Dasgupta dan Ismail Seregeldin [ed], (2000 : 215 – 243) Dalam kasus konflik, modal sosial merupakan dasar utama dalam jejaring sosial yang dapat diamati pada dua tingkat : vertikal dan horizontal. Pada tingkat vertikal, dilihat bagaimana masyarakat membangun hubungan dengan pemerintah setempat, policy maker, dari waktu ke waktu sehingga menghasilkan sinergi.
Pada tingkat
horizontal akan dilihat, pertama, bagaimana kerekatan dan keterikatan orang-orang satu sama lain dalam kelompok yang sama (solidaritas kelompok) yang melahirkan tindakan bersama dan perilaku kerjasama; dan kedua, bagaimana hubungan antara anggota satu kelompok dengan anggota kelompok yang lain (solidaritas sosial) yang kemudian melahirkan kepercayaan sosial (social trust). Dalam hal ini, melalui modal sosial dapat dianalisa jaringan sosial sebagai tindakan bersama dalam konflik sebagaimana digambarkan dalam Tabel 4.
Tabel 4. Kontinum Modal Sosial Minimum Modal Sosial
Elementer Modal Sosial
Substansial Modal Sosial
Maksimum Modal Sosial
Tidak da kerjasama, sangat mementingkan diri sendiri (seek selfinterested)
Ada kerjasama, tetapi hanya terjadi jika kerjasama itu sangat menguntungkan untuk dirinya sendiri
Kerjasama terjadi atas dasar komitmen pada usaha bersama dan diharapkan bermanfaat juga untuk orang lain
Komit pada kesejahteraan orang lain, kerjasama tidak dibatasi pada pencarian keuntungan utuk diri sendiri, konsen pada public good.
Nilai-nilai : hanya menghargai diri sendiri (selfaggrandizement)
Efisiensi kerjasama
Efektivitas kerjasama
Altruisme, dipandang sebagai sesuatu yang baik dalam dirinya sendiri
Isu-isu : selfishness, bagaimana menjaga selfishness dari destruksi sosial ?
Transaction cost, bagaimana biaya transaksi dikurangi untuk meningkatkan jaringan keuntungan masing-masing ?
Collective action, bagaimana kerjasama disukseskan dan dipertahankan ?
Self-sacrifie, berkorban atas dasar patriotisme atau fanatisme agama ?
Strategy Otonom
Kerjasama taktis
Kerjasama strategis
Meleburkan kepentingankepentingan individual (merger of individual interest)
Mutual benefit, tidak dihitung
Isntrumental
Intitutionalizad
Transenden
Sumber : Uphoff dikutip oleh Dasgupta dan Ismail Seregeldin (ed), (2000 : 215-243) Beberapa studi yang terfokus pada konflik sumberdaya alam telah berusaha menunjukkan keterkaitan antara jejaring sosial dan konflik sosial melalui modal sosial (social capital).
Seperti halnya studi Allen (1998) pada komunitas Nebraska yang
terfokus pada interaksi dalam membangun modal sosial dengan kesimpulan bahwa, pembentukan modal sosial merupakan unsur penting yang menjadi dasar penyelesaian konflik lokal karena jejaring, norma dan kepercayaan dibangun sebagai dasar tindakan kolektif komunitas. Sehingga modal sosial dianggap relevan sebagai strategi dasar dalam resolusi konflik. Demikian pula studi Keong (2000) yang terfokus pada modal sosial dan masyarakat sipil di Singapura, menyimpulkan bahwa modal sosial dibangun dengan mengembangkan tiga strategi penting yaitu, membangun jembatan penghubung (inisiatif dan proses pelembagaan melalui kerjasama dan pemecahan masalah secara bersama-sama); memperluas batas-batas (menyusun kembali batas-batas politik untuk
diskusi dan pengambilan keputusan bersama); dan menghancurkan penghalang (mereformasi wewenang dalam hubungan antara pemerintah dan masyarakat yang berkaitan dengan pelayanan publik dan implementasi kebijakan). Ditunjang oleh studi Graham (2004) yang terfokus pada pemerintahan, konflik sosial dan pilihan aktivitas kerja di Philipina yang menyimpulkan bahwa, adanya peran jejaring sosial termasuk hubungan antara kekuatan ekonomi dan nelayan tradisional dimana tradisi pemerintah selama ini ternyata hanya menghasilkan modal sosial negatif sehingga diperlukan pemerintah yang bersih. 2.3. Ikhtisar Teori konflik secara fungsional yang dikemukakan Coser dapat menjadi saluran memahami konflik dalam tataran mikro, dengan individu, dan struktur jaringan sosial yang biasanya menjadi unit kajian konflik melalui pendekatan teori perilaku. Dalam upaya pengembangan teori konflik yang fungsional dan didekati melalui pendekatan teori perilaku disebutkan, bahwa konflik terjadi akibat bias persepsi di kalangan anggota kelompok atau masyarakat. Oleh karenanya muncul sikap positif terhadap kelompok dirinya masing-masing (in-group), berupa solidaritas internal, dan sikap negatif terhadap kelompok lain (out-group). Proses ini menumbuhkan jejaring sosial baru dan secara struktural terjadi perubahan akibat kelahiran kepemimpinan yang bersifat agresif. Akhirnya kondisi ini akan melahirkan konflik. Apabila konflik yang terjadi akan diselesaikan, maka masyarakat yang menghadapi konflik harus mampu mengubah konflik, pertikaian, atau perselisihan menjadi sebuah bentuk kerja sama. Secara teori, konflik antarkelompok itu akan berubah menjadi kerjasama apabila kepada mereka dikenalkan sebuah tujuan yang asasnya secara meyakinkan dapat membuat mereka yang sedang bertikai melihat sesuatu yang jauh lebih penting dari persoalan yang menjadi sumber konflik, sehingga mereka berusaha bekerjasama (Sherif, 1998 dikutip oleh Santosa, 2004). Pemahaman konflik dengan menggunakan kerangka Teori Konflik Fungsional dan Teori Perilaku dapat menjadi dasar dalam memberi kerangka penyelesaian konflik. Mengikuti pandangan Burton (1991), penyelesaian konflik dapat dilakukan dalam tiga bentuk berbeda. Pertama, melalui manajemen untuk menemukan alternatif jalan keluar sebuah perselisihan (by alternative dispute resolution) agar dapat menampung atau membatasi
konflik.
Kedua,
adalah
penyelesaian
konflik
(settlement)
dengan
menggunakan proses yang bersandar pada wewenang dan hukum yang dapat
dipaksakan oleh kelompok elit. Sedangkan, penyelesaian yang ketiga adalah melakukan resolusi konflik.
Bentuk penyelesaian yang berbeda dengan sekedar penyelesaian
konflik melalui pendekatan manajemen konflik atau penyelesaian konflik yang bersandar pada kewenangan hukum. Resolusi konflik lebih menjadi sebuah proses analisis dan penyelesaian masalah yang menjadi sumber konflik dengan mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan individu dan kelompok seperti identitas dan pengakuan, juga perubahan-perubahan kelembagaan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhankebutuhan tersebut. Keterkaitan jejaring sosial dan konflik dilihat berdasarkan berpindahnya informasi dari satu pihak ke pihak lainnya.
Berpindahnya informasi membentuk persamaan
persepsi terhadap “sesuatu” yang diinformasikan. Akibat konflik yang dirasakan oleh satu pihak, diinformasikan ke pihak lain (kerabat, teman atau tetangga) di tempat pengungsian menimbulkan persepsi yang sama dalam arti kerabat, teman atau tetangga turut merasakan kesulitan yang dihadapi pemberi informasi akibat konflik yang berkepanjangan. Kemasan informasi kemudian menyebar dan membentuk kelompok yang memiliki persepsi yang sama terhadap informasi tersebut. Persepsi selanjutnya berubah menjadi perilaku emosional yaitu, keinginan untuk membalaskan dendam kepada siapa saja yang dianggap menyebabkan pemberi informasi mengalami kesulitan saat konflik.
Penjelasan tersebut mengarah pada Teori Pembelajaran Sosial yang
dikembangkan Bandura (1971) yang dikutip oleh Hjelle dan Ziegler(1992). Bandura menjelaskan teori pembelajaran sosial membahas tentang (1) bagaimana perilaku kita dipengaruhi oleh lingkungan melalui penguat (reinforcement) dan observational learning, (2) cara pandang dan cara pikir yang kita miliki terhadap informasi, (3) begitu pula sebaliknya, bagaimana perilaku kita mempengaruhi lingkungan kita dan menciptakan penguat (reinforcement) dan observational opportunity - kemungkinan bisa diamati oleh orang lain. Teori Pembelajaran Sosial terutama bagaimana cara pandang dan cara pikir terhadap informasi yang diterima, mengarahkan terbentuknya perilaku konflik akibat cara pandang dan cara pikir bahwa kesulitan akibat konflik yang diterima kerabat, teman dan atau tetangga merupakan akibat dari perbuatan pihak atau kelompok lain. Sehingga satu-satunya cara penyelesaiannya hanya membalaskan dendam kepada kelompok yang sama walaupun bukan pelaku yang sebenarnya. Konteks konflik di pedesaan Saparua menunjukkan bagaimana kesulitan atau akibat yang diterima pihak Salam dan Sarani asal Saparua yang tinggal di luar Saparua menjadi informasi yang menyebar bagi kerabat, teman dan tetangga saat kembali ke
Saparua sebagai pengungsi. Penyebaran informasi memebentuk dua kelompok korban konflik, kemudian bermuara pada dua komunitas Salam dan Sarani. Padahal akibat yang diterima bukan perbuatan salah satu anggota kelompok di Saparua, tetapi di luar Saparua.
Namun informasi telah membentuk persepsi, yang berkembang menjadi
perilaku membalaskan dendam pada komunitas yang dianggap sebagai penyebab. Sumber-sumber utama konflik seperti ekonomi, politik, agama dan budaya secara tidak langsung dialihkan oleh adanya penyebaran informasi yang membentuk kelompok dan kemudian komunitas berdasarkan ikatan agama yang sama pada suatu jejaring sosial. Sehingga jejaring sosial yang lain dengan dasar ikatan budaya yang sebenarnya melampaui ikatan agama, menjadi tidak berfungsi.
Konflik kemudian
berkembang menjadi berkepanjangan, ketika perilaku yang terbentuk dari informasi yang bergerak dalam jejaring sosial dengan ikatan agama merupakan perilaku saling membalaskan dendam. Kajian jejaring sosial dan konflik di masyarakat pedesaan ini lebih merujuk pada upaya manajemen bukan penyelesaian konflik dengan pengaturan konflik berdasarkan kewenangan yang umumnya didasarkan pada aktivitas mediasi dan negosiasi. Oleh karena dua pendekatan yang disebut terakhir hanya akan berjalan jika pihak-pihak yang berkonflik setuju untuk bernegosiasi dan mempunyai posisi tawar yang sama. Padahal, hal tersebut sering tidak dipunyai masyarakat, khususnya mereka yang ada di pedesaan. Dengan demikian, hal yang penting dilakukan dalam penyelesaian konflik di masyarakat pedesaan adalah melacak konflik untuk menemukan proses perubahan berencana sebagai bentuk manajemen konflik yang mengarahkan penyelesaian konflik sebenarnya. Merujuk pada penyebaran informasi yang membentuk kelompok dengan ikatan agama dalam satu jejaring sosial, upaya penyelesaian konflik secara sederhana dapat dilakukan dengan mengubah isi informasi. Informasi akibat konflik diganti dengan informasi penguatan adat/budaya, sehingga ikatan adat/budaya kembali dikuatkan dan diharapkan kembali melampaui ikatan agama seperti sebelum konflik. Jika strategi ini mampu dijalankan, diharapkan menjadi satu strategi manajemen konflik melalui penguatan kelembagaan adat/budaya yang tidak memandang agama atau aspek lain baik politik dan ekonomi sebagai faktor pembatas. Penelitian ini dilakukan untuk mempertanyakan apakah selain faktor-faktor penyebab yang diungkapkan berbagai penelitian sebelumnya, adakah faktor lain yang mendorong terjadinya konflik di Saparua. Merujuk pada kenyataan tersebut maka aspek ekonomi, politik, budaya dan agama diterima sebagai akar konflik sebagaimana telah
diungkapkan oleh berbagai studi sebelumnya, namun selain ke empat faktor tersebut jejaring sosial terindikasi sebagai faktor lain yang mendorong terjadinya konflik. Hal inilah yang menjadi pokok permasalahan penting dalam mengungkapkan keterkaitan antara jejaring sosial dan konflik, sehingga ada sumbangan teori yang belum pernah diungkapkan oleh berbagai studi konflik selama ini.