8
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Industri Primer Hasil Hutan Industri kayu dibedakan berdasarkan hasil produksinya, yaitu industri primer dan industri sekunder (lanjutan). Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor. P.35/Menhut-II/2008 yang dimaksud dengan Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IPHHK) adalah pengolahan kayu bulat dan/atau kayu bulat kecil menjadi barang setengah jadi atau barang jadi. IPHHK itu sendiri terdiri dari: (a). Industri Penggergajian Kayu; (b) Industri Serpih Kayu ( wood chip); (c). Industri Vinir ( veneer ); (d). Industri Kayu Lapis ( Plywood ); dan/ atau (e). Laminated Veneer Lumber.
Sedangkan industri sekunder (lanjutan) adalah
industri yang mengolah lebih lanjut produk dari industri primer (pengerjaan kayu/wood working). Berdasarkan jenis Industri Primer Hasil Hutan Kayu berdasarkan atas kapasitas produksi dikelompokkan menjadi : 1). Skala kecil dengan kapasitas produksi sampai dengan 2.000 m3 per tahun; 2). Skala menengah dengan kapasitas produksi lebih besar dari 2.000 m3 sampai dengan 6.000 m3 per tahun; 3). Skala besar dengan kapasitas produksi lebih besar dari 6.000 m3 per tahun. Sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : P.35/MenhutII/2008,
perizinan
IPHHK
merupakan
Kewenangan
Menteri
Kehutanan,
sedangkan pengaturan, pembinaan dan pengembangan jenis-jenis industri hasil hutan
lainnya
masih
menjadi
kewenangan
Menteri
Perindustrian
dan
Perdagangan. Pemberian izin usaha IPHHK dengan kapasitas diatas 6.000 m3 merupakan kewenangan Menteri Kehutanan dan izin sampai 6.000 m3 merupakan Gubernur.
Izin Usana Industri dan izin perluasan IPHHK dapat
diberikan kepada perorangan, koperasi, BUMN, BUMD dan BUMS, sedangkan IPHHK sampai dengan 2.000 m3 pertahun hanya dapat diberikan kepada perorangan dan koperasi.
Industri penggergajian kayu dengan kapasitas
produksi sampai dengan 2.000 m3 per tahun hanya diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan dalam negeri.
9
2.2 Bahan Baku Industri Primer Hasil Hutan Sumber bahan baku industri kehutanan umumnya berasal dari hutan alam dan hutan tanaman. Sumber bahan baku yang berasal dari hutan tanaman terdiri dari Hutan Tanaman, Hutan Rakyat dan Kebun.
Sedangkan untuk
pemanfaatan hutan alam harus memiliki Ijin Usaha Industri Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Alam (IUIPHHK-HA) atau izin lain yang sah. Pemanfaatan hasil hutan kayu adalah segala bentuk usaha yang memanfaatkan dan mengusahakan hasil hutan kayu dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokok hutan. Kegiatan ini hanya dapat dilaksanakan pada areal hutan yang memiliki potensi untuk dilakukan kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu dan dapat dilaksanakan setelah diperoleh izin usaha, IUIPHHK pada hutan alam adalah izin untuk memanfaatkan hutan produksi
yang
kegiatannya
terdiri
dari
pemanenan
atau
penebangan,
penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan kayu.
70 60 50 40 30 20 10 0
Sumber : Statistik Kehutanan, 2011
Gambar 2. Perkembangan Luas IPHHK Hutan Alam di Indonesia Pada gambar 2 terlihat sebelum tahun 2000, IPHHK berkembang dengan pasokan bahan baku terbesar berasal dari hutan alam.
Akan tetapi laju
deforestasi yang tinggi menyebabkan semakin berkurangnya jumlah dan luasan IUPHHK-HA. Berdasarkan data sampai dengan akhir Desember 2010, jumlah IUPHHK hutan alam diseluruh indonesia adalah 304 perusahaan dengan total areal seluas 24,69 juta Ha.
Areal pengusahaan hutan terbesar di Pulau
10
Kalimantan yaitu sejumlah 155 unit dengan luas areal 11,69 juta Ha. Dengan luasan terbesar adalah di Provinsi Kalimantan Timur 4,5 juta Ha dan kalimantan Tengah 3,7 juta Ha (Kemenhut, 2011) Untuk mengatur mengenai bahan baku Menteri Kehutanan menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia (Permenhut) Nomor : P. 43/Menhut-II/2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.16/Menhut-II/2007 Tentang Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) Primer Hasil Hutan Kayu. RPBBI adalah rencana yang memuat kebutuhan bahan baku dan pasokan bahan baku yang berasal dari sumber yang sah sesuai kapasitas izin industri primer hasil hutan dan ketersediaan jaminan pasokan bahan baku untuk jangka waktu 1 (satu) tahun yang merupakan sistem pengendalian pasokan bahan baku. Pertimbangan diterbitkannya Permenhut tersebut adalah bahwa sumber daya alam hutan sebagai penghasil kayu bulat untuk pemenuhan bahan baku IPHHK perlu dikelola secara lestari, dan pemenuhan bahan baku IPHHK perlu disesuaikan dengan daya dukung sumber daya alam hutan untuk menjamin kelestarian sumber daya alam hutan tersebut. Permenhut tersebut mengatur bahwa pemegang IPHHK diwajibkan menyusun RPBBI setiap tahunnya, yang didasarkan pada kapasitas izin industri yang dimiliki dan bahan baku dari hasil penebangan yang sah. Pemegang izin IPHHK juga diwajibkan membuat laporan realisasi pemenuhan bahan baku secara berkala setiap bulannya. Kewajiban penyusunan RPBBI serta laporan realisasinya tersebut idealnya dapat memberikan perbandingan antara kebutuhan bahan baku industri tersebut dan kemampuan IPHHK memenuhinya secara aktual.
Kapasitas
produksi masing-masing industri seharusnya hanya diberikan berdasarkan kemampuan pemenuhan bahan baku oleh pengusaha industri tersebut dengan memperhatikan aspek pengelolaan hutan dan kemampuan daya dukung hutan secara lestari (Greenomics, 2004) Bahan baku IPHHK khususnya di Provinsi Jawa Timur sebagian besar bersumber dari hutan alam produksi atau hutan tanaman. Degradasi hutan alam produksi yang kurang lebih 1 Juta m3 pertahun menjadikan adanya kesenjangan dalam pemenuhan bahan baku terhadap IPHHK, dimana kapasitas terpasang industri jauh lebih besar dari kemampuan hutan produksi hutan alam produksi/tanaman.
11
Untuk mengatasi permasalahan bahan baku industri dan penanganan degradasi hutan alam produksi, pemerintah telah menetapkan berbagai program antara lain program Hutan Tanaman Industri (1990), akan tetapi program ini hanya bisa memenuhi 20% dari kebutuhan bahan baku industri sedangkan keterlibatan peran masyarakat dalam program ini sangat rendah (Siregar et al. 2006). Program lain adalah dengan memanfaatkan lahan-lahan yang kurang produktif di luar kawasan hutan melalui kegiatan pembangunan hutan rakyat (Dewi et al. 2004) melalui penanaman komoditas kehutanan pada lahan–lahan rakyat/ lahan milik
sebagai alternatif pemenuhan bahan baku industri yang
sekaligus juga dapat memberikan penghasilan kepada masyarakat. Apabila
pembangunan
kehutanan
berbasis
masyarakat
ini
terus
berkembang, maka tekanan terhadap hutan alam produksi dalam bentuk eksploitasi untuk pemenuhan industri baik yang legal maupun illegal akan dapat dikurangi, dan sekaligus memberikan peran yang signifikan kepada masyarakat untuk turut serta memberikan jaminan terhadap kelangsungan industri kehutanan nasional (Dir BIK dan PHH, 2006).
2.3 Hutan Rakyat Hutan rakyat adalah hutan-hutan yang dibangun dan dikelola oleh rakyat, kebanyakan berada di atas tanah milik atau tanah adat; meskipun ada pula yang berada di atas tanah negara atau kawasan hutan negara (BPKH Jogjakarta) . Sedangkan menurut Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/Menhut-V/2004 Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh diatas tanah yang dibebani hak milik maupun hak lainnya dengan ketentuan luas minimum 0,25 Ha, penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan tanaman lainnya lebih dari 50%. Ada beberapa macam hutan rakyat menurut status tanahnya diantaranya: - Hutan milik, yakni hutan rakyat yang dibangun di atas tanah-tanah milik. Ini adalah model hutan rakyat yang paling umum, terutama di Pulau Jawa. Luasnya bervariasi, mulai dari seperempat hektare atau kurang, sampai sedemikian luas sehingga bisa menutupi seluruh desa dan bahkan melebihinya. - Hutan adat, atau dalam bentuk lain: hutan desa, adalah hutan-hutan rakyat yang dibangun di atas tanah komunal; biasanya juga dikelola untuk tujuantujuan bersama atau untuk kepentingan komunitas setempat.
12
- Hutan kemasyarakatan (HKm), adalah hutan rakyat yang dibangun di atas lahan-lahan milik negara, khususnya di atas kawasan hutan negara. Dalam hal ini, hak pengelolaan atas bidang kawasan hutan itu diberikan kepada sekelompok warga masyarakat; biasanya berbentuk kelompok tani hutan atau koperasi. Model HKm jarang disebut sebagai hutan rakyat, dan umumnya dianggap terpisah. Namun ada pula bentuk-bentuk peralihan atau gabungan yaitu modelmodel pengelolaan hutan secara bermitra, misalnya antara perusahaanperusahaan kehutanan (Perhutani, HPH,HPHTI) dengan warga masyarakat sekitar; atau juga antara pengusaha-pengusaha perkebunan dengan petani di sekitarnya. Model semacam ini, contohnya PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat), biasanya juga tidak digolongkan sebagai hutan rakyat; terutama karena dominasi kepentingan pengusaha (Dir BIK dan PHH, 2006). Menurut jenis tanamannya Ditjen RRL (1995) membagi tipologi hutan rakyat menjadi tiga macam yaitu: (1)
Hutan rakyat murni (monoculture), yaitu hutan rakyat yang hanya terdiri dari satu jenis tanaman pokok berkayu yang ditanam secara homogen atau monokultur.
(2)
Hutan rakyat campuran (polyculture), yaitu hutan rakyat yang terdiri dari berbagai jenis pohon-pohonan yang ditanam secara campuran.
(3)
Hutan rakyat wana tani (agroforestry), yaitu yang mempunyai bentuk usaha kombinasi antara kehutanan dengan cabang usaha tani lainnya seperti tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan, dan lain-lain yang dikembangkan secara terpadu. Secara teknik, hutan-hutan rakyat ini pada umumnya berbentuk wanatani;
yakni campuran antara pohon-pohonan dengan jenis-jenis tanaman bukan pohon. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman sengon pada hutan rakyat yang ditumpangsari dengan nanas memberikan nilai keuntungan lebih tinggi terhadap petani (Siregar et al. 2006). Dewasa ini hutan rakyat sudah sangat berkembang khususnya dibeberapa wilayah di Pulau Jawa. Nilai dari hasil hutan rakyat ini cukup signifikan untuk memberikan jaminan hidup bagi masyarakat. Hasil penelitian Supriyanto (2002) menunjukkan bahwa pendapatan petani dari hutan rakyat mampu menyumbang 38,58% terhadap rata-rata total pendapatan petani pertahun serta analisa secara finansial dan ekonomi penguasaan hutan rakyat sengon layak dilakukan.
13
2.4 Pengembangan Hutan Rakyat Pola Kemitraan Salah satu kendala yang dihadapi oleh petani dalam pengembangan dan pembangunan hutan rakyat adalah faktor modal. Pola kemitraan diyakini sebagai suatu cara untuk mengatasi permasalahan ini dengan mengembangkan kemitraan baik dengan pemerintah, swasta maupun dengan Perhutani (Fauziyah, E dan D. Diniyati, 2003). Pola kemitraan bertujuan agar terciptanya unit-unit usaha perhutanan rakyat pada daerah sentra industri pengolahan kayu serta terbinanya partisipasi masyarakat dalam pelestarian sumberdaya. Menurut Donie, et. al (2001), dengan adanya pola kemitraan paling tidak ada tiga hal yang akan dicapai yaitu kualitas dan kuantitas tegakan yang lebih baik, pasar yang telah terjamin dan minat serta kemampuan petani semakin meningkat. Secara resmi definisi kemitraan telah diatur dalam Undang-Undang Usaha Kecil (UUUK) no 9 tahun 1995 yaitu kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan.
Dalam pembangunan hutan
rakyat yang lestari, untuk menunjang keberhasilannya ditawarkan berbagai alternatif model, diantaranya adalah pembangunan hutan rakyat dengan pola kemitraan, yaitu dengan cara membentuk kemitraan antara petani pemilik lahan dan pihak swasta sebagai perusahaan mitra. Tujuannya antara lain adalah memberdayakan
masyarakat
sekitar
hutan
sebagai
kekuatan
ekonomi,
meningkatkan kemampuan perekonomian masyarakat melalui kemandirian dalam mengelola usaha serta meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Hutan rakyat pola kemitraan dibangun oleh perusahaan di lahan milik masyarakat dan dikelola berdasarkan prinsip-prinsip kemitraan yang berazaskan kelestarian, sosial, ekonomi dan ekologi. Dasar pertimbangan kerjasama ini adalah adanya saling membutuhkan dan saling menguntungkan antara kedua belah pihak (Triyono 2004). Perusahaan memerlukan bahan baku kayu untuk industri secara berkesinambungan dan rakyat pemilik lahan memerlukan bantuan modal, pengetahuan teknis dan kepastian pemasaran. Selain itu, munculnya pemikiran untuk mengembangkan pola kemitraan dalam pembangunan hutan rakyat juga didasari keinginan untuk meningkatkan peran serta pihak -pihak yang terkait
langsung
dengan
pembangunan
hutan
rakyat
yaitu
pengusaha/industri pengolahan kayu dan pemerintah (Dir BIKPHH, 2006).
petani,
14
2.5 Penginderaan Jauh dan SIG Evaluasi
pemanfaatan
penggunaan/penutupan
lahan
ruang (land
aktual use/land
(eksisting) cover),
menggambarkan kondisi fisik wilayah secara aktual.
yang
diperlukan
meliputi untuk
Informasi pemanfaatan
ruang aktual akan sangat membantu dalam analisis potensi fisik secara utuh. Pada wilayah perencanaan yang luas, aktivitas evaluasi ini memerlukan alat bantu yang mampu memberikan gambaran tutupan (coverage) wilayah secara luas, cepat, konsisten dan terkini. Sumber informasi yang memiliki kemampuan tersebut adalah citra satelit, oleh karena itu evaluasi pemanfaatan ruang aktual (existing land use and land cover) biasanya dilakukan dengan bantuan analisis citra satelit dan Sistem Informasi Geografis (Rustiadi et al, 2009). Sistem informasi geografis (SIG) merupakan suatu cara baru yang berkembang saat ini dalam menyajikan dan melakukan analisis data spasial dengan komputer. Selain mempercepat proses analisis, SIG juga bisa membuat model yang dengan manual sulit dilakukan (Barus & Wiradisastra 2000). Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh dapat membantu dan mempercepat kegiatan inventarisasi sumber daya alam, sedangkan Sistem Informasi Geografi (SIG) digunakan untuk analisis. Melalui pemanfaatan citra satelit, dapat dilakukan analisis untuk memperoleh data penutupan lahan. Perekaman data permukaan bumi (penutup lahan) pada selang waktu yang berbeda dapat memberikan data perubahan penutupan lahan, sehingga kondisi lahan (hutan) yang sebenarnya pada periode tertentu dapat diketahui secara pasti. Menurut Lilesand dan Keifer (1994) data satelit penginderaan jauh di daerah beriklim tropis dan subtropis umumnya berhasil menyediakan informasi yang baik tentang kondisi dan perkembangan vegetasi.
Kondisi dan
perkembangan vegetasi dapat dideteksi dari citra satelit Landsat Thematic Mapper (TM) dengan memperhatikan respon spektral. Fluktuasi respon spektral dipengaruhi
oleh
jenis
vegetasi,
fase
pertumbuhan
vegetasi,
kondisi
perkembangan vegetasi dan keadaan lingkungannya. Salah satu masalah yang dijumpai dalam menentukan lahan yang secara aktual tersedia bagi pengembangan suatu komoditas adalah ketersediaan data dan informasi penggunaan lahan yang sudah kurang sesuai dengan keadaan sesungguhnya di lapangan sebagai akibat dari perubahan penggunaan lahan yang bersifat dinamis.
Untuk itu peranan data citra satelit diharapkan
15
dapat mengatasi masalah ini, karena data ini dapat secara cepat dan akurat memberikan informasi terhadap keadaan penutup lahan (land cover) melalui teknologi penginderaan jauh (Ritung dan Hidayat, 2006). Peta merupakan alat yang paling baik untuk membantu perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, peta dapat diperoleh dengan cara pengukuran langsung di lapangan atau dengan menggunakan interprestasi foto udara maupun citra Landsat, dengan peta akan didapatkan informasi penyebaran obyek dan keterkaitan secara spesial (keruangan) dengan penumpang–tindihan (tumpang susun) dari beberapa peta dengan skenario tertentu dan diperoleh informasi yang bermanfaat (Dimiyati dan Dimyati, 1998 dalam Situmeang et al, 2005)
2.6 Analisis Kesesuaian Lahan Semakin berkurangnya lahan yang subur dan potensial untuk pertanian dan adanya persaingan penggunaan lahan antara sektor pertanian dan non pertanian memerlukan teknologi tepat guna untuk mengoptimalkan penggunaan lahan secara berkelanjutan.
Untuk dapat memanfaatkan sumberdaya lahan
secara terarah dan efisien diperlukan tersedianya data dan informasi yang lengkap mengenai keadaan iklim, tanah dan sifat lingkungan fisik lainnya, serta persyaratan tumbuh tanaman yang diusahakan terutama tanaman yang mempunyai peluang pasar dan manfaat ekonomi yang cukup baik (Djaenudin et al, 2003). Data iklim, tanah, dan sifat fisik lingkungan lainnya yang berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman serta terhadap aspek manajemennya perlu diidentifikasi melalui kegiatan survei dan pemetaan sumberdaya lahan. Hasil survei ini merupakan dasar bagi evaluasi lahan.
Evaluasi lahan merupakan
suatu pendekatan atau cara untuk menilai potensi sumber daya lahan. Hasil evaluasi lahan akan memberikan informasi dan/atau arahan penggunaan lahan yang diperlukan, dan akhirnya nilai harapan produksi yang kemungkinan akan diperoleh. Inti evaluasi kesesuaian lahan adalah membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan dengan sifat-sifat atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001). Semua jenis komoditas pertanian yang berbasis lahan untuk dapat tumbuh atau hidup dan berproduksi optimal memerlukan persyaratan-persyaratan
16
tertentu. Persyaratan tersebut terutama terdiri dari energi radiasi, temperatur, kelembaban, oksigen, hara, drainase, tekstur, struktur dan konsistensi tanah serta kedalaman efektif.
Persyaratan tumbuh atau persyaratan penggunaan
lahan yang diperlukan oleh masing-masing komoditas mempunyai batas kisaran minimum, optimum dan maksimum untuk masing-masing komoditas pertanian (Djaenudin et al, 2003). Persyaratan tumbuh merupakan salah satu faktor penting yang perlu diperhatikan dalam menetapkan jenis yang sesuai untuk di kembangkan di suatu wilayah. Persyaratan tumbuh berisi informasi tentang faktor tumbuh dan syaratsyarat yang diperlukan oleh tanaman untuk dapat tumbuh dengan baik. Persyaratan tumbuh ini meliputi antara lain sifat-sifat karakteristik tanah dan iklim yang
diperlukan
dalam
menunjang
pertumbuhan
tanaman,
sementara
kesesuaian lahan adalah produk matching antara persyaratan tumbuh dan kualitas lahan yang tersedia (Rachmad E, et al. 2008) Klasifikasi kesesuaian lahan adalah pengelompokan lahan berdasarkan kesesuaiannya untuk tujuan tertentu. Dalam Sistem FAO (1976) klasifikasi kesesuaian lahan dibagi menjadi 4 (empat) kategori, yaitu : a.
Ordo, menunjukan apakah suatu lahan sesuai atau tidak sesuai untuk penggunaan tertentu.
b.
Kelas, Menunjukan tingkat kesesuaian suatu lahan.
c.
Sub-Kelas, menunjukan jenis pembatas atau macam perbaikan yang harus dijalankan dalam masing-masing kelas.
d.
Unit, menunjukan perbedaan-perbedaan besarnya faktor penghambat yang berpengaruh dalam pengelolaan suatu sub-kelas. Pada tingkat ordo ditunjukan apakah suatu lahan sesuai atau tidak sesuai
untuk suatu jenis penggunaan tertentu. Dikenal 2 (dua) ordo, yaitu : a. Ordo S (sesuai) : lahan yang termasuk ordo ini adalah lahan yang dapat digunakan dalam jangka waktu yang tidak terbatas untuk suatu tujuan yang telah dipertimbangkan. Keuntungan dari hasil pengelolaan lahan ini akan memuaskan setelah dihitung dengan masukan yang diberikan. b. Ordo N (tidak sesuai) : lahan yang termasuk ordo ini adalah lahan yang mempunyai kesulitan sedemikian rupa, sehingga mencegah penggunaannya untuk suatu tujuan tertentu. Lahan tidak sesuai (misalnya untuk tujuan pertanian) karena adanya berbagai penghambat, baik secara fisik (lereng
17
sangat curam, berbatu-batu, dan sebagainya) atau secara ekonomi (keuntungan yang didapat lebih kecil dari biaya yang dikeluarkan). Memprediksi kesesuaian lahan untuk suatu tujuan tertentu dapat dilakukan dengan memanfaatkan Sistem Informasi Geografis (SIG). Kemampuan SIG dalam memprediksi ketersedian lahan tidak lepas dari nilai lebih SIG dalam menjalankan fungsi-fungsi analisis spasial. Nilai lebih SIG dalam analisis spasial dapat dilihat dari lima fungsi utamanya, yaitu fungsi pengukuran dan klasifikasi, fungsi overlay, fungsi neighbourhood, fungsi network, dan fungsi tiga dimensi (Aronoff, 1993)
2.7 Komoditas Hutan Rakyat Potensial Komoditas potensial untuk pengembangan hutan rakyat di Jawa Timur didasarkan atas kesesuaian lahan serta agroklimatnya untuk budidaya tanaman tahunan kesiapan kelembagaan sosial penunjang , kesediaan masyarakat dan tersedianya tenaga kerja serta sumberdaya lain yang membentuk keunggulan komparatif wilayah untuk hutan rakyat. Dalam memilih jenis untuk hutan rakyat harus dipenuhi beberapa hal agar jenis yang diusahakan dan dikembangkan dapat dapat menghasilkan secara optimal, yaitu : 1.
Aspek lingkungan, yaitu jenis yang dipilih harus sesuai dengan iklim, jenis tanah dan kesuburan serta keadaan fisik wilayah
2.
Aspek sosial, yaitu jenis yang dipilih harus jenis yang cepat menghasilkan setiap saat, dikenal dan disukai masyarakat serta mudah dibudidayakan.
3.
Aspek ekonomi, yaitu dapat memberikan penghasilan dan mudah dipasarkan serta memenuhi standar bahan baku industri Berdasarkan hasil penelitian Sukadarwati (2006), potensi hutan rakyat yang
terdiri dari populasi 7 (tujuh) jenis tanaman yang dikembangkan di hutan rakyat dan tersebar di pulau Jawa dan di luar pulau adalah Jati, Sengon, Mahoni, Bambu, Akasia, Pinus dan Sonokeling dan akhir-akhir ini jabon juga mulai diminati untuk dibudidayakan karena tingginya permintaan industri plywood.
2.8 Analisis Biaya dan Kelayakan Finansial Hutan Rakyat Pendapatan dari pengusahaan hutan rakyat diperoleh dari penjualan hasil hutan rakyat berupa kayu bulat, kayu olahan, maupun kayu bakar. Besarnya pendapatan dari pengusahaan hutan rakyat dapat dihitung berdasarkan jumlah
18
rata-rata panen persatuan luas dikalikan harga yang berlaku saat itu. Hadisapoetro (1978) dalam Dirgantara (2008) menyatakan bahwa pendapatan petani merupakan besarnya keuntungan yang diperoleh petani dengan cara mengurangi jumlah penerimaan dengan total biaya yang di keluarkan. Penerimaan adalah nilai seluruh produksi baik yang dijual maupun di konsumsi oleh petani dan keluarganya atau yang diberikan pada orang lain, sedangkan pengeluaran adalah sejumlah pengorbanan berupa uang yang di keluarkan petani untuk membiayai usahatani. Suatu usahatani dapat dikatakan layak apabila secara finansial usahatani tersebut menguntungkan dan memiliki ketahanan dan keberlanjutan usaha yang tinggi, dimana hal tersebut dapat dinilai menggunakan analisis finansial. Analisis finansial adalah analisis dimana suatu proyek dilihat dari sudut pandang lembaga atau individu-individu yang menanamkan modalnya atau berkepentingan langsung dalam proyek. Cara menilai suatu proyek yang paling banyak diterima untuk penilaian proyek jangka panjang adalah dengan menggunakan Discounted Cash Flow Analysis (DCF) atau analisis aliran kas yang terdiskonto. Gittinger (1986) dalam Herawati T (2001) menyatakan bahwa teknik diskonto merupakan teknik untuk menurunkan manfaat dan arus biaya yang diperoleh pada masa yang akan datang menjadi nilai biaya pada masa sekarang. Benefit Cost Ratio (BCR), Net Present Value (NPV) dan Internal Rate of Return (IRR) merupakan tiga kriteria umum yang biasa digunakan untuk menilai suatu proyek menggunakan teknik diskonto. Kebijakan harga kayu sangat besar pengaruhnya terhadap tingkat kelayakan hutan rakyat karena tingkat kelayakan hutan rakyat sensitif terhadap perubahan harga. Implikasinya, kebijakan harga dapat berperan untuk mengembangkan hutan rakyat. Temuan Jariyah et al (2003) menunjukkan bahwa semakin luas lahan dan semakin dominan tanaman kayu-kayuan, maka tingkat kelayakannya semakin sensitif terhadap perubahan harga kayu yang terjadi.
2.9 Analisis pasokan (supply) dan kebutuhan bahan baku kayu (BBK). Analisis ini bertujuan untuk mengetahui besarnya volume pasokan dan kebutuhan bahan baku kayu di Provinsi Jawa Timur. Variabel analisis terdiri dari volume (produksi/pasokan) dan sumber kayu. Analisis kebutuhan (demand) bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh dari sisi kebutuhan bahan baku kayu oleh industri (Malik, 2007). Variabel analisisnya adalah volume
19
kebutuhan bahan baku kayu, jumlah unit dan kapasitas industri kayu Jawa Timur. Analisis pasokan dan kebutuhan dilakukan dengan membandingkan besaran pasokan kayu dan kebutuhan oleh industri pengolahannya di Jawa Timur. Dari hasil analisis pasokan dan kebutuhan BBK, maka dapat diketahui neraca bahan baku kayu Jawa Timur yaitu volume dan sumber kayu yang diproduksi dari Jawa Timur serta kayu dari luar Jawa sehingga diketahui kebutuhan suplai kayu dari hutan rakyat.
2.10 Analisa Analitycal Hierarchy Process (AHP) Di dalam pengambilan suatu keputusan, banyak sekali kriteria yang harus diperhitungkan baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Banyak diantara kriteria-kriteria tersebut dapat bersifat conflicting (saling bertentangan) pada suatu alternatif sehingga dalam pengambilan keputusan dengan melibatkan kriteria ganda (multi-criteria decision making) yang dihasilkan adalah solusi kompromi (compromised solution) terhadap semua kriteria yang diperhitungkan (Sari, 2008). Salah satu teknik analisis kriteria ganda adalah AHP (Analytical Hierarchy Process) yang dikembangkan oleh Thomas L.Saaty. AHP merupakan suatu model pendukung keputusan yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty. Model pendukung keputusan ini akan menguraikan masalah multi faktor atau multi kriteria yang kompleks menjadi suatu hirarki, menurut Saaty (1993), hirarki didefinisikan sebagai suatu representasi dari sebuah permasalahan yang kompleks dalam suatu struktur multi level dimana level pertama adalah tujuan, yang diikuti level faktor, kriteria, sub kriteria, dan seterusnya ke bawah hingga level terakhir dari alternatif. Dengan hirarki, suatu masalah yang kompleks dapat diuraikan ke dalam kelompok-kelompoknya yang kemudian diatur menjadi suatu bentuk hirarki sehingga permasalahan akan tampak lebih terstruktur dan sistematis.
2.11 Optimasi Transportasi Model transportasi ditujukan untuk mengetahui pola interaksi optimal yang mampu meningkatkan efisiensi tanpa melebihi kapasitas suplai tetapi harus mampu memenuhi kapasitas demand yang ada. Pusat-pusat suplai dan pusatpusat demand seringkali tidak berada pada lokasi yang sama.
Karena itu
20
diperlukan upaya transportasi untuk membawa barang dan jasa dari pusat-pusat suplai ke pusat demand (Pribadi et al, 2010). Setiap wilayah memiliki kapasitas supply dan demand yang levelnya berbeda, sehingga akan terbentuk hierarki ruang sebagai dasar untuk membangun struktur ruang.
Munculnya lokasi-lokasi pusat suplai dan pusat
demand bisa terjadi karena keunggulan sumberdaya yang dimiliki oleh suatu wilayah atau karena proses historis yang melibatkan interaksi antara manusia dengan ruangnya. Tujuan utama yang ingin dicapai dalam model transpotasi adalah mencari pola interaksi antara wilayah suplai dan demand yang paling efesien sehingga dapat meminimumkan biaya-biaya transportasi. Kendala yang dihadapi adalah setiap pusat suplai mempunyai kapasitas yang terbatas dalam memproduksi barang dan jasa, dan setiap pusat demand memiliki tingkat permintaan yang harus dipenuhi.
21
Contents II. TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................... 8 2.1. Industri Primer Hasil Hutan........................................................................ 8 2.2 Bahan Baku Industri Primer Hasil Hutan.................................................... 9 2.3 Hutan Rakyat .......................................................................................... 11 2.4 Pengembangan Hutan Rakyat Pola Kemitraan......................................... 13 2.5 Penginderaan Jauh dan SIG ................................................................... 14 2.6 Analisis Kesesuaian Lahan...................................................................... 15 2.7 Komoditas Hutan Rakyat Potensial ......................................................... 17 2.8 Analisis Biaya dan Kelayakan Finansial Hutan Rakyat ............................ 17 2.9 Analisis pasokan (supply) dan kebutuhan bahan baku kayu (BBK). ........ 18 2.10 Analisa Analitycal Hierarchy Process (AHP) .......................................... 19 2.11 Optimasi Transportasi ........................................................................... 19 2.12 Analisis SWOT ......................................... Error! Bookmark not defined.