5
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Resirkulasi Budidaya ikan menggunakan sistem intensif mengakibatkan penurunan kualitas air, karena adanya akumulasi, mineraIisasi dan nitrifikasi bahan organik. Menurut Barnabe (1986) dalam Tanjung (1994), memelihara ikan pada sistem resirkulasi selalu dihadapkan pada masalah penumpukan zat-zat organik (feces, sisa pakan) dan anorganik (amonia, nitrit, nitrat) yang terlarut, terbatasnya oksigen terIarut serta penurunan pH. Sistem resirkulasi mempunyai peran dalam menentukan keberhasilan sistem ini dalam mempertahankan kualitas air sehingga tetap layak bagi ikan yang dipelihara. Karena itu diperlukan rancangan sistem yang tepat dan cara perlakuan yang terpadu dengan memastikan efektivitas setiap tahap perlakuan dan keterpaduan sistem secara keseluruhan (Muir, 1994). Sistem budidaya resirkulasi (RAS), merupakan metode tradisional untuk pembesaran ikan di kolam dengan kepadatan tinggi, atau di dalam tangki secara terkontrol (Helfrich & Libey, 1991). Sistem resirkulasi untuk pemeliharaan ikan telah digunakan oleh beberapa peneliti dengan berbagai kondisi yang berbeda baik sistem dan ukuran ikan maupun jenis cara perlakuan (filter) yang digunakan (Suresh & Lin, 1992; Tanjung, 1994; Sunarma., 1997). Pemakaian bahan filter yang tepat akan menentukan keberhasilan pemeliharaan ikan pada sistern resirkulasi karena akan menentukan pertumbuhan bakteri non-patogen pada bahan tersebut. Menurut penelitian yang dilakukan oleh LIPI, efektivitas filter biologi dalam sistem resirkulasi bergantung pada jumlah populasi bakteri dan jamur, besar kecilnya bahan filter dan kedalaman filter. Apabila diperhatikan adanya kecenderungan saat jumlah bakteri meningkat, maka jumlah jamur menurun atau sebaliknya (Anonymous, 1992). Menurut Rheinheimer (1985), ukuran dan komposisi bakteri dan jamur di air sangat bergantung pada konsentrasi dan senyawa organik, karena senyawa ini merupakan sumber pakan bagi mikroorganisme. Keiser dan Wheaton (1983), mengemukakan, bahwa media biofilter akan menyediakan permukaan tempat media tumbuh. Semakin besar populasi mikroorgarnime, maka proses nitrifikasi pun akan semakin tinggi. Biofilter sebagai suatu sistem, ukuran dan bentuk bahan yang digunakan sebagai filter
6
sangat penting. Butiran kecil memiliki daerah permukaan Iebih besar untuk tempat menempeInya bakteri dan jamur dibanding butiran besar, ukuran butiran kecil banyak digunakan sebagai filter asalkan tidak menghambat sirkulasi air (Spotte, 1979).
2.2. Filter Mekanik Filter mekanik bekerja secara fisika yaitu menyaring kotoran-kotoran atau partikel yang berukuran lebih besar dari pori-pori media filter (Purwakusuma, 2003). Bahan yang biasa digunakan pada filter mekanik dalam budidaya perikanan adalah spons, ijuk, serat kapas (dakron) (Satyani, 2001). Filter mekanik bekerja secara fisika sehingga hanya menyaring kotoran ataupun partikel yang terlarut di dalam air. Untuk pengolahan selanjutnya diperlukan filter yang bekerja secara biologi dan kimia yang bisa mengoksidasi bahan organik dan anorganik melaui bantuan mikroorganisme dan penyerapan secara kimiawi melalui pertukaran ion-ion.
2.3. Filter Biologi Filter biologi mengandalkan kerja bakteri dalam mendegradasi bahan organik dan anorganik di media budidaya. Filter ini berfungsi sebagai perombak senyawa nitrogenous yang bersifat racun (amonia dan nitrit) menjadi senyawa tidak beracun (nitrat) dengan bantuan mikroorganisme. Menurut Spotte (1979), mekanisme nitrifikasi yang dilakukan oleh bakteri nitrifikasi melalui dua tahapan oksidasi : tahap pertama adalah bakteri Nitrosomonas dengan bantuan oksigen akan mengoksidasi amonium menjadi nitrit, kemudian tahapan kedua dengan bantuan bakteri Nitrobakter nitrit akan dioksidasi menjadi nitrat. Mikroorganisme yang berperan dalam mendegradasi bahan beracun di media budidaya selama prose hidupnya memerlukan tempat hidup. Organisme ini akan tinggal menempel di permukaan substrat dan membentuk biofilm. Media filter yang berpori-pori merupakan media yang baik karena mempunyai permukaan yang luas untuk menampung lebih banyak bakteri. Selain tempat hidup, bakteri memerlukan pakan untuk kelangsungan hidupnya. Pakan bakteri berupa amonia dan nitrit yang merupakan hasil buangan beracun bagi ikan, sedangkan hasil buangan bakteri berupa nitrat tidak beracun. Menurut Golz (1995), bahan organik dioksidasi oleh bakteri heterotropik dalam kondisi aerob menjadi karbon, amonia, air dan sel baru. Amonia sebagai senyawa beracun
7
akan dioksidasi oleh bakteri nitrifikasi oleh bakteri Nitrosomonas dan Nitrobakter menjadi nitrit dan nitrat. Proses oksidasi bahan organik tergantung dari jumlah bakteri, semakin banyak bakteri yang bersinggungan dengan air maka filter akan bekerja lebih maksimal karena bahan organik yang bersinggungan dengan bakteri akan lebih banyak. Untuk mengoksidasi makananya, bakteri memerlukan suplai oksigen yang cukup. Ketergantungan bakteri akan tersedianya amonia di perairan menyebabkan filter biologi baru dapat bekerja optimal setelah dua sampai enam minggu setelah sistem dijalankan.
2.4. Filter Kimia Menurut Purwakusuma (2003), filter kimia adalah sebuah filter mekanik yang bekerja pada skala molekuler, mampu menangkap bahan terlarut seperti gas dan bahan organik, media filtemya antara lain zeolit, arang aktif dll.
Zeolit Zeolit
mempunyai
sifat
mampu
menyerap
dan
sebagai
media
menepelnya mikroorganisme (biofilm) yang dapat memanfaatkan berbagai unsur yang tersuspensi dalam air dan diserap bersama sebagai bahan makanan organisme. Hal ini berkaitan dengan kemampuan mikroorganisme di dalam biofilm dalam menyerap bahan organik yang terbatas sehingga kelebihan yang ada tidak bisa dimanfaatkan. Zeolit adalah mineral alam berbahan dasar kelompok senyawa aluminium silikat yang terhidrasi logam alkali dan alkali tanah (terutama natrium dan kalsium) dan mempunyai rumus umum LmAlxSiy02nH20 (Palaar, 1989). Pada struktur zeolit semua atom Al dalam bentuk tetrahedral sehingga Al akan bermuatan negatif karena berkoordinasi dengan empat atom oksigen dan selalu dinetralkan oleh kation dan alkali (alkali tanah) untuk mencapai senyawa yang stabil. Zeolit adalah mineral yang memiliki sifat khas dengan struktur rongga yang teratur dengan ukuran tertentu, sehingga berpotensi sebagai absorben limbah amonia. Klinoptilolit merupakan salah satu bahan yang terkandung di dalam zeolit yang mempunyai volume rongga 36%, KTK (Kapasitas Tukar Ion) 254 meq/100g, dengan kestabilan panas yang tinggi. Zeolit alam klinoptilolit mempunyai bukaan pori cukup besar, 4,0-7,2 nm dan selektifitas penyerapan ion amonium yang baik, kemudahan dalam preparasi, dan setelah jenuh dapat
8
diregenerasi untuk digunakan lagi. Lebih jauh lagi bahwa ZnO yang dipreparasi di dalam zeolit menunjukan harga Eg, sebagai ukuran kemampuan fotokatalis, yang lebih besar daripada Eg ZnO bulk. Harga Eg yang lebih besar diharapkan dapat memberikan aktifitas fotokatalitik yang lebih tinggi (Wahyuni et al. 2004). Tsitsisvii (1980) dan Blanchard (1984) dalam Las (2007), menemukan klinoptilolit dengan rumus kimia Na6(Al6Si30O72)24 H2O yang dapat memisahkan logam berat (Pb, Cu, Cd, Zn, Co, Ni dan Hg) secara baik dalam limbah industri. Klinoptilolit dan modernit juga dapat memisahkan amonia sampai 99% limbah industri. Di bidang pertanian Zeolit digunakan sebagai “soil conditioning” yang dapat mengontrol dan menaikan pH tanah serta kelembaban tanah (Las, 2007). Zeolit
khabasit
mempuyai
pori
0,49-0,59
nm
dapat
digunakan
untuk
memisahkan senyawa parafin seperti CH4, C2H6, n-parafin dan iso parafin dan aromatis. Zeolit Na-Modernit dengan pori 0,4-0,49 juga dapat memisahkan gas N2, O2, CH4, C2H6 dengan parafin, iso parafin dan aromatis. Zeolit klinoptilolit dapat memisahkan 99% amonium/amonia dari limbah industri. Selain mempunyai rongga yang besar zeolit juga mempunyai sifat absorben yang baik. Proses absorpsi secara garis besar dapat dibagi dua hal pokok yang berdasar pada cara absorpsinya yaitu absorpsi fisika (Van der Waals) merupakan fenomena yang terjadi secara reversible sebagai akibat dari gaya atraksi (tarik-menarik) antar molekul padatan dengan substansi yang terabsorp (Gottardi, 1978 dalam Setiaji 2000). Kedua adsorpsi kimia atau kemisorpsi atau adsorpsi aktif yang merupakan hasil interaksi kimia antara suatu padatan dan substansi teradsorp (Hamdan, 1992 dalam Setiaji, 2000). Zeolit sudah dikenal sebagai penyerap jauh sebelum Mc. Cabe (1985) dalam Golzs (1995), meneliti tentang penyerapan fisik khabasite, dimana volume molekular bahan yang akan diserap berpengaruh terhadap jumlah dan kemampuan yang dapat diserap zeolit tersebut. Hal ini berkaitan dengan kekhasan sifat zeolit yang memiliki bentuk kristalin yang teratur dengan diameter serta ukuran yang sama, juga adanya rongga (cavity) yang saling berhubungan ke segala arah, sehingga menyebabkan luas permukaan internal zeolit menjadi semakin besar. Topologi zeolit yang dilewati oleh jaringan berliku-liku (chanel) berdimensi bebas membuatnya dapat digunakan sebagai absorben (Setiaji, 2000) Di perairan dengan kondisi bersalinitas zeolit berperan sebagai pengontrol pH dan penyerap NH3, NO3- dan H2S, pengontrol kandungan alkali, oksigen dan perbaikan lahan tambak melalui penyerapan logam berat Pb, Fe,
9
Hg, Sn, Bi, dan As. Beberapa metode penurunan kosentrasi anion Cr(VI) telah dilaporkan oleh Mulyani dan Koesnarpadi (2001) dalam Wahyuni, et al. (2004), menyatakan pertukaran ion dengan zeolit terfosfatasi, reduksi Cr(VI) menjadi Cr(III) dengan reduktor zat organik dan reduksi dengan fotoreduksi terkatalis dengan cahaya Santoso (2001) dalam Wahyuni, et al. (2004) Zeolit murni mempunyai kemampuan mengikat atau daya afinitas yang cukup besar terhadap ion-ion amonia. Oleh karena itu, untuk menghilangkan amonia diperlukan zeolit yang dapat tukar menukar ion, yakni ion natrium (Na+) dari zeolit dan klinoptilolite dapat ditukar tempatnya oleh ion amonium (NH4+.) sehingga NH4+ yang tadinya berkeliaran larut dalam air lalu diikat oleh zeolit. Diikatnya
ion
amonium
mengakibatkan
berkurangnya
molekul
amonia.
Persamaan reaksi proses pengikatan tersebut adalah sebagai berikut : Na+ Z- + NH4+
NH4+ Z + Na+
2 Na+ Z + Ca+ 2
Ca+ 2 Z -2 + 2 Na+
Soemantojo
(1998),
mengatakan
H-zeolit
mempunyai
kestabilan
kapasitas adsorpsi yang lebih tinggi dari zeolit alam. H-Zeolit diperoleh dengan pemanasan pada suhu 5500 C selama satu jam. Penggunaan zeolit dalam mengurangi
amonia
tidak
mempengaruhi
suhu
air,
ukuran
butirannya
mempengaruhi efisiensi pembuangan amonia. Makin kecil butirannya, makin tinggi efektifitasnya. Penggunaan Zeolit dalam bidang pertanian dan lingkungan dikaitkan dengan selektifitas penyerapan ion sangat penting ditentukan mengingat kompleksnya komposisi kimia air limbah, tanah dan permukaan.
Nitrifikasi Spotte (1979) menyatakan, bahwa nitrifikasi adalah oksidasi amonia secara biologis menjadi nitrit dan nitrat oleh bakteri autrotrop. Nitrosomonas sp. dan Nitrobacter sp. adalah kemungkinan genera yang terpenting dari bakteri autrotrop di datam air tawar, air payau dan air laut.
22
Mekanisme proses nitrifikasi oleh bakteri melaui tahapan yaitu : Tahap pertama : 2NH4+ +3 O2 Nitrosomonas Tahap kedua : 2NO2- + O2
Nitrobakter sp.
Keseluruhan : NH4+ + 2O2
2NO2- + 4 H+ + 2H2O
2NO3-
NO3- + 2 H+ + H2O
Bakteri autrotrop yang melakukan proses nitrifikasi membutuhkan senyawa anorganik sebagai sumber energi dan karbondioksida sebagai sumber karbon. Nitrosomos sp dan Nitrobacter sp. adalah bakteri autrotrop obligat yang tidak dapat mengoksidasi subtrat selain dari pada NH4 dan NO2-. Mc Carty dan Haug (1971) menyatakan bahwa proses kimiawi nitrifikasi sebagai berikut : 55 NH4+ + 5 CO2 + 76 O2
C5H7O2N + 54 NO2- + 52 H2O + 109 H+
54 NO2-+ 5 CO2 + NH4+ + 195 O2 + 2H2O
C5H7O2N + 400 NO3- + H+
Selanjutnya dinyatakan oleh Mc Carty dan Haug (1971), bahwa ion H+ yang dibebaskan dari proses nitrifikasi akan menurunkan pH air dan mengurangi keseimbangan karbonat yaitu dengan reaksi : 2 H+ + 2 CO32-
2 H+ + 2 HCO3-
2 H2CO3
2H2O + 2CO2
Efisiensi proses nitrifikasi dipengaruhi oleh enam faktor, yaitu (1) keberadaan senyawa beracun (bakterida) di dalam air, (2) suhu, (3) pH, (4) kandungan oksigen terlarut, (5) salinitas dan (6) luas permukaan subtrat yang tersedia untuk menempelnya bakteri. Bahan-bahan yang bersifat racun tersebut menghambat bakteri nitrifikasi melalui dua mekanisme yaitu menghambat perkembangbiakan dan pertumbuhan bakteri atau mempengaruhi metabolisme sel sehingga menurunkan kemampuan oksidasi bakteri. Yoshida (1967) dalam Spotte (1979), menyatakan bahwa pertumbuhan optimum bakteri nitrifikasi dalam air laut pada suhu 27-28°C. Kawai et al. (1979) dalam Spotte (1979), mengatakan aktivitas bakteri nitrifikasi menurun dengan meningkatnya atau menurunnya salinitas di mana bakteri tersebut tetap hidup (ambient salinity). Oksidasi amonia dan nitrit Iebih efisien terjadi pada kondisi
28
aerob. Bakteri Nitrobacter mempunyai lingkungan hidup sebagai autrotrof di dalam air tawar, air payau dan air laut. Genus Nitrobacter selnya berbentuk batang pendek, sering berbentuk beji dengan penutup polar dari cytomembranne (Buchanan dan Gibbons, 1974). Hidup dalam lingkungan kisaran pH 6,5-8,5 dan kisaran suhu 5-40°C, habitatnya di tanah, air tawar dan air laut.
2.5. Kualitas Air Air sebagai media hidup ikan harus memiliki kondisi optimal baik kualitas maupun kuantitasnya. KuaIitas air pada budidaya ikan secara intensif ditentukan oleh : DO, suhu, CO2 bebas, pH, NH3, nitrogen dan alkalinitas air (Boyd & Tucker, 1990).
DO Swingle dan Loyd (1980), menyatakan bahwa ikan memerlukan kadar oksigen terlarut minimum 1,0 mg/liter bila dalam keadaan istirahat, tetapi bila keadaan aktif memerlukan oksigen terlarut 3 mg/l. ltasawa dalam Alabaster dan Lloyd (1980), mengemukakan bahwa untuk meningkatkan atau mempertahankan pertumbuhan, nafsu makan dan konversi pakan yang baik bagi ikan, kandungan oksigen terlarut 3 mg/liter pada suhu 26,5°C. Menurut Boyd (1988), menyatakan kehidupan air tawar cukup baik jika kandungan 02 terlarut lebih besar dari 5 mg/liter.
Suhu Suhu merupakan salah satu faktor ekternal penting yang mempengaruhi produksi ikan (Huet, 1971). Suhu dapat mempengaruhi aktivitas penting pada ikan seperti pernapasan, pertumbuhan, reproduksi dan selera makan. Menurut Djadjadiredja dan Jangkaru (1973), suhu optimal untuk kelangsungan hidup ikan berkisar antara 25°-27°C. Suhu air mempunyai arti yang sangat penting, selain mempengaruhi langsung aktivitas fisiologis biota perairan juga mempengaruhi sifat fisika kimia air. Makin tinggi suhu perairan makin sedikit jumlah biota yang hidup di perairan tersebut.
Diketahui
suhu
air
akan
mempengaruhi
kehidupan
langsung
mikroorganisme termasuk virus dan bakteri. Suhu berguna dalam mengukur aktifitas kimia dan biologis, suhu juga berpengaruh terhadap proses nitrifikasi dan
28
amonium. Proses pembusukan anaerobik sebagian besar dipengaruhi oleh suhu, yang prosesnya akan mencapai empat kali lipat pada suhu 270C di banding suhu 70C (Mahida, 1986 dalam Linda 1995).
CO2 Karbondioksida adalah sumber karbon yang lebih disukai oleh tumbuhan akuatik seperti algae dibandingkan bikarbonat dan karbonat. Kadar CO2 di perairan mengalami pengurangan bahkan juga hilang dari perairan akibat proses fotosintesis, evaporasi dan agitasi air. Perairan yang diperuntukkan bagi kepentingan budidaya sebaiknya memiliki kadar CO2 bebas < 5 mg/l (Efendi, 2000). Kandungan karbon bebas diperairan dalam jumlah berlebihan bersifat racun bagi ikan. Menurut Pescod (1973) batas kelayakan kandungan CO2 bagi ikan dalam lingkungan budidaya adalah 12 mg/l.
NH3 Sisa-sisa pakan dan kotoran terurai menjadi nitrogen dalam bentuk NH3 terlarut. ElFAC (European Inland Fisheries Advisory Comision) dalam Boyd, 1991) menyatakan bahwa kadar NH3 0,2-2,0 mg/l dalam waktu yang singkat sudah bersifat racun bagi ikan. Senada dengan hasil percobaan yang dilakukan di beberapa di laboratorium, NH3 yang membahayakan bagi ikan dan mematikan dengan kadar 0,2-2,0 mg/l NH3 (Alabaster dan Lloyd, 1980). Sedangkan menurut Pescod (1973), kandungan amonia harus Iebih kecil dari 1,0 mg/l. Menurut Boon et al. dalam Hariati (1989), tingkat kejenuhan nitrogen dalam gas (ammonia dan nitrit) dapat menyebabkan gas bubble disease bagi anak-anak ikan. Pengaruh utama nitrit adalah perubahan di dalam transfer oksigen, oksidasi persenyawaan penting dan rusaknya jaringan organ respirasi.
Alkalinitas Alkalinitas adalah gambaran kapasitas air untuk menetralkan asam yang dikenal dengan acid-neutralizing capacity (ANC) atau kapasitas anion di dalam air yang dapat menetralkan kation hidrogen. Pembentuk alkalinitas utama di perairan adalah bikarbonat, karbonat dan hidroksida. Diantara ketiga ion tersebut, paling banyak ion hidroksida terdapat di perairan alami (Effendie, 2000). Dalam budidaya intensif diperlukan air yang bersifat netral atau sedikit basa yaitu pada pH 7-8 (Huet, 1971). Nilai alkalinitas yang rendah menyebabkan
28
kematian ikan karena pada kondisi tersebut pH air sangat berfluktuasi. Pada umumnya pada budidaya ikan nila alkalinitas air berkisar antara 30-200 mg/l CaCO3 (Stickney, 1979) .
2.6. Bahan organik Bahan organik pada suatu perairan berasal dari proses penguraian organisme yang mati oleh bakteri dan sisa pakan yang banyak mengandung protein dan karbohidrat (Boyd, 1990). Menurut Suastika et al., (1994) bahan organik di air adalah substansi yang tidak mungkin terlepas dari aktivitas akuakultur. Meningkatnya bahan organik dalam air akan membahayakan kehidupan secara tidak langsung.
Biochemical Oxigen Demand (BOD) Nilai BOD merupakan banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme selama proses dekomposisi bahan organik sehingga BOD5 menggambarkan suatu proses oksidasi bahan organik oleh mikroorganisme yang terjadi di perairan (Boyd, 1988). Menurut Winarno dan Fardiaz dalam Linda (1995), salah satu cara mengetahui adanya kandungan bahan organik dalam air limbah adalah dengan cara menganalisis BOD5. BOD5 merupakan uji yang paling penting dalam menentukan daya cemar limbah. Energi yang didapat untuk pengolahan limbah secara aerobik akan berkurang bila jumlah oksigen terlarut rendah. Selanjutnya Valo et al. (1985) dalam Linda (1995), menyatakan bahwa oksigen merupakan faktor yang sangat penting dalam penguraian bahan organik. Pada keadaan oksigen sangat rendah proses penguraian bahan organik oleh bakteri aerobik mesofil akan berjalan lambat. Sejalan dengan penurunan BOD5 tersebut kemungkinan ketersediaan oksigen dalam air akan meningkat akibat oksigen yang ditransfer (reoksigenasi) akan
lebih
tinggi
dibandingkan
oksigen
yang
dipakai
(deoksigenasi).
Berkurangnya bahan organik juga akan akan meningkatkan kemampuan transfer oksigen ke dalam air, yang diakibatkan oleh kemampuan difusi oksigen melalui permukaan kontak udara-air tidak terhalangi. Menurut Spotte (1979), bahan organik merupakan senyawa aktif yang dapat terkonsentrasi pada lapisan permukaan air dan merupakan penghalang (barrier) adanya kontak langsung antara udara dan air sehingga difusi oksigen terhalang.
28
TSS (Total Suspended Solid) Padatan tersuspensi total adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter > 1 µm) yang tertahan di saringan millipore dengan diameter pori 0.45 µm. TSS terdiri dari lumpur, pasir halus, jasad renik dan pakan yang tidak termakan (Wedemeyer, 1996). Di media budidaya TSS merupakan buangan metabolisme berupa feces dan sisa pakan yang terlarut.
2.7. Bakteri Mekanisme kerja sistem biofilter sangat ditentukan oleh aktifitas kerja bakteri yang akan tumbuh di permukaan media filter (biofilm) (Golzs, 1995). Bakteri dapat berkembang apabila makanan yang dibutuhkan tersedia dan tidak ada faktor pembatas pertumbuhan lainnya. Menurut Spotte (1979), menyatakan bahwa nitrifikasi merupakan proses oksidasi amonia secara biologis menjadi nitrit dan nitrat oleh bakteri autrotof, yaitu Nitrosomonas sp. dan Nitrobacter sp. Bakteri ini tidak dapat mengoksidasi subtrat selain NH4+ dan NO-2 (Mc Carty dan Haug, 1971). Selanjutnya dinyatakan, bahwa ion H+ yang yang dibebaskan selama
proses
nitrifikasi
akan
menurunkan
pH
air
dan
mengurangi
keseimbangan karbonat. Kemampuan oksidasi oleh bakteri dipengaruhi oleh 6 faktor yaitu : keberadaan senyawa beracun (bakterisida) air, suhu, pH, oksigen terlarut, salinitas dan luas permukaan untuk menempel bakteri (Mc Carty dan Haug, 1971). Bakteri nitrifikasi tumbuh optimum pada suhu 27-280C (Yoshida dalam Spotte, 1979). Aktifitas bakteri nitrifikasi menurun dengan meningkat atau menurunnya salinitas tempat bakteri hidup. Oksidasi amonia dan nitrit lebih efisien pada kondisi aerob (Kawai et al. dalam Spotte, 1979). Bakteri nitrifikasi hidup pada kisaran pH 6.5-8.5, hidup di habitat tanah, air tawar dan laut (Buchanan dan Gibbons, 1974). Genus Nitrosomonas, dengan sel berbentuk batang lurus dengan membran peripheral, terdapat lamela berbentuk pita. Genus Nitrobacter sel berbentuk batang pendek, sering berbentuk baji dengan penutup polar dari Cytomembrane. Bakteri dapat dikelompokkan kedalam dua kelompok gram yaitu gram positif dan negatif. Bakteri gram negatif dan positif dibedakan oleh adanya jumlah peptidoglikan yang terdapat pada dinding sel. Pada bakteri gram positif mempunyai jumlah peptidoglikannya sampai 50-90%, sedangkan pada gram
28
negatif hanya mengandung peptidoglian sebesar 10%. Ketebalan peptidoglikan tersebut yang menahan cairan violet kristal (Gaudy dan Gaudy, 1980 dalam Linda (1995). Hasil oksidasi bahan organik sangat ditentukan oleh kinerja bakteri yang saling melengkapi, kerjasama yang bersifat variatif dari bakteri dapat menimbulkan efek yang positif dan negatif. Selama proses penguraian terjadi berbagai macam variasi kerjasama bakteri yang bekerja tidak selalu sinergis. Menurut Grady (1985) dalam Linda (1995), mikroba mempunyai sistem kerja interaksi berdasarkan efek yang dihasilkan. Klasifikasi sistem interaksi kerja bakteri selengkapnya di gambarkan pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi sistem interaksi kerja bakteri. Efek organisme A terhadap organisme B Positif Tidak ada Negatif
Efek organisme B terhadap organisme A Positif Mutualisme Komensalisme Parasit dan Predator
Tidak ada Komensalisme Netral Amensalisme
Negatif Parasit dan Predator Amensalisme Kompetisi
Menurut Rolz et al. (1986), bakteri yang bekerja sendiri (pure culture) akan menghasilkan produk yang lebih rendah jika dibandingkan dengan beberapa mikroorganisme
yang
bekerjasama.
Hasil
percobaan
yang
dilakukanya
ditemukan bahwa A.cellulolyticus (cultur murni) dapat menguraikan selulosa sebanyak 19%, sedangkan bila kultur ditambahkan C. Sacharolyticum maka selulosa yang dapat diuraikan sebanyak 34%. Menurut Metcalft dan Eddy (1991), suatu reaksi kimia antara subtrat dan enzim selalu menghasilkan suatu produk dan kerja dari enzim yang dipengaruhi oleh pH dan suhu, nitrat dalam air sebagai pencemar berfungsi sebagai penerima elektron.
2.8. Biologi Ikan Red Rainbow Menurut Allen (1991), klasifikasi ikan red rainbow Glossolepis incisus Weber adalah sebagai berikut : Filum Subfilum Kelas Ordo Famili Genus Spesies
: Chordata : Vertebrata : Actinopterygii : Atheriniformer : Melanotaeniidae : Glossolepis : Glossolepis incisus Weber
28
Ciri-ciri umum ikan red rainbow (Glossolepis incisus Weber) menurut Suyatno (2000), yaitu moncong agak panjang, mata lebar, badan silindris, sirip punggung dan sirip perut membentuk simetris mendekati ekor. lkan rainbow memiliki sirip punggung ganda, sirip punggung pertama lebih kecil dari pada sirip punggung kedua. Sementara bentuk sirip ekor normal bercagak (lunate). Satu hal yang lebih khusus dari ikan rainbow adalah sirip dada kanan dan kiri yang transparan seperti plastik. Tubuh ikan jantan berwama merah terang (merah bata) dan ikan betina berwarna merah pucat. Pada kedua sisi bagian tengah tubuh terdapat warna keperakan. Warna siripnya kemerahan atau jingga. Menurut Nasution (2000), menyatakan bahwa ikan rainbow akan berwarna lebih menarik bila menjelang masa memijah. Menurut Allen (1991), ikan red rainbow merupakan ikan omnivora yang memakan serpihan makanan, invertebrata kecil, serangga air, crustacea kecil, larva serangga, alga dan makanan hidup lainnya maupun makanan yang sudah dibekukan. Habitat asli ikan rainbow adalah perairan yang mengalir seperti sungai dan danau (Lingga dan Susanto, 1987). Menurut Allen (1991), ikan ini banyak terdapat di Danau Sentani, lrian Jaya, Indonesia. lkan red rainbow juga dapat dipelihara di dalam akuarium, tanki, drum dan juga bak beton. lkan Red rainbow mudah memijah pada kondisi lingkungan yang sesuai dengan kondisi di habitat alaminya. Suhu yang sesuai adalah 24-270 C, sedangkan pH airnya berkisar antara 6 - 8 (Nasution, 2000). Lingga dan Susanto (1987), menambahkan bahwa pH air sebaiknya di atas 7 (agak basa) sehingga dalam pemeliharaannya dapat menggunakan air sumur atau air ledeng sebagai medianya. Panjang maksimal yang dapat dicapai ikan red rainbow adalah 5 inci atau sekitar 13 cm (Allen,1991). Menurut Lingga dan Susanto (1987), ikan red rainbow sudah dapat memijah pada saat ia mencapai umur kurang lebih 7 bulan dengan ukuran rata-rata 5 cm. Ikan rainbow merupakan ikan yang aktif bergerak, senang hidup berkelompok dan sering terlihat membentuk barisan, serta dapat dipelihara bersama-sama dengan ikan Iainnya.
2.9. Pertumbuhan Pertumbuhan menurut Effendie (2002), adalah perubahan bentuk akibat pertambahan panjang, berat dan volume dalam periode tertentu. Dijelaskan bahwa pertumbuhan secara individual adalah pertambahan jumlah sel-sel
28
secara mitosis yang akhirnya menyebabkan ukuran jaringan, sedangkan pertumbuhan bagi populasi adalah pertumbuhan jumlah individu. Beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan menurut Sikong (1982), meliputi faktor internal, yaitu keturunan, jenis kelamin dan umur. Sedangkan faktor ekstemal, yaitu kualitas media budidaya, makanan, penyakit, dan lain-lain.
2.10. Warna Warna pada ikan tampak karena adanya pigmen (Fujii, 1983). Pigmen pada hewan tersimpan dalam kondisi stabil dan terkonsentrasi pada produkproduk integumen. Integumen merupakan sistem pembalut tubuh seperti eksoskeleton, rambut, bulu, kitin, kulit dan derivat-derivatnya. Menurut Rahardjo (1980), ikan mempunyai sel khusus penghasil pigmen yaitu iridosit dan kromatofor. lridosit terdiri dari leukofor dan guanofor yang merupakan sel cermin dan hanya memantulkan warna di luar tubuh seperti guanin kristal yang berwarna keputih-putihan yang merupakan sisa metabolisme. Kromatofor merupakan sel-sel yang mengandung sel-sel pigmen dan terdapat di dermis. Kromatofor menghasilkan empat sel pigmen yaitu eritrofor yang mengandung pigmen merah dan oranye, xantofor yang mengandung pigmen kuning, linkofor yang mengandung pigmen putih dan melanofor yang mengandung pigmen hitam. Pigmen merah, kuning dan oranye mengandung vitamin A yang di peroleh dari pakan. Sel melanofor mengandung zat warna melanin yang merupakan sal pigmen yang paling berperan dalam hampir semua warna. Baik leukofor maupun iridofor mengandung pigmen tak berwarna yang dapat bergerak dalam sitoplasma atau menumpuk pada permukaan kulit. Menurut Wikipedia (2008), setiap warna mempuyai panjang gelombang yang berbeda-beda, selengkapnya bisa dilihat dalam Tabel 2. Tabel 2. Beberapa warna dengan panjang gelombangnya : No.
Warna
Panjang gelombang (nm) Biru 440-490 Kuning 565-590 Jingga (orange) 585-620 Merah 625-740 Sumber : www. wikipedia. com (9 Juli 2008)
Ket Merah+kuning -
28
Warna merah adalah cahaya yang mempunyai frekwensi yang bisa ditangkap mata manusia. Warna merah mempunyai panjang gelombang ± 700 nm. Seperti darah yang mempunyai oksigen warnanya merah seperti hemoglobin. Cahaya merah dapat terserap ke dalam laut, sahingga binatang laut invertebrata laut menjadi merah yang tadinya berwarna hitam di habitat aslinya.