II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Bangunan Konstruksi Kayu Kebutuhan kayu sebagai bahan baku untuk berbagai keperluan terus meningkat. Demikian pula untuk keperluan bahan bangunan. Kayu-kayu yang beredar di pasaran sebagian besar berasal dari hutan dikelompokkan atas jenis-jenis komersial
alam yang
seperti mahoni (Swietenia
macrophylla), akasia (Acacia mangium willd), jati (Tectona grandis), dan kayu campuran
(borneo). Ketidak-seimbangan kecepatan antara pemanenan dan
penanaman p a d a h u t a n k a y u menyebabkan pasokan kayu dari hutan kian menurun baik volume maupun mutunya yang mengakibatkan harga kayu menjadi relatif mahal (Abdurachman dan Nurwati Hadjib, 2006). Abdurachman (2006) mengatakan bahwa berbagai upaya telah dilakukan dalam mengatasi keterbatasan jumlah pasokan kayu hutan antara lain dengan mengalihkan perhatian kepada jenis-jenis kayu yang berasal dari hutan rakyat atau hutan tanaman,
terutama
sebagai
bahan baku
industri
pengolahan kayu, baik yang berskala kecil maupun besar. Demikian pula untuk keperluan bahan bangunan dan industri barang kerajinan. Oleh sebab itu, kayu yang berasal dari hutan tanaman maupun hutan rakyat yang potensinya cukup besar diharapkan dapat memenuhi kebutuhan kayu untuk berbagai keperluan tersebut. Di sisi lain, kayu yang dihasilkan dari hutan tanaman dan hutan rakyat pada umumnya merupakan jenis kayu cepat tumbuh (fast growing), seperti kayu akasia (Acacia mangium willd), sengon (Paraserianthes falcataria lnielsen) dan lain-lain. Jenis-jenis kayu yang sering dijumpai di hutan rakyat sebagai bahan bangunan antara lain kayu meranti, akasia, mindi, sengon, kihiang, kiputri, karet, pinus, kayu buah seperti kecapi, nangka, kemang, kemiri, manggis dan lain-lain yang memiliki diameter 30 –40 cm (Abdurachman dan Nurwati Hadjib, 2006). Ciri kualitas kayu
gergajian
umumnya
memuat
persyaratan
mutu,
hasil
yang
dipersyaratkan, kadar air, ukuran maksimum dan minimum yang digunakan (Lampiran 2). Jenis-jenis kayu tersebut relatif bermutu rendah karena selain berumur muda, juga mengandung banyak cacat seperti mata kayu, miring
3
serat, cacat bentuk dan sebagainya. Sehingga untuk dapat memenuhi persyaratan bahan konstruksi
bangunan
diperlukan
teknologi
yang
tepat sesuai dengan tujuan penggunaannya. Abdurachman (2006) menyatakan bahwa sebagai bahan konstruksi bangunan, kayu harus memenuhi syarat seperti memiliki kemampuan menahan bermacam-macam beban yang bekerja dengan aman dalam jangka waktu yang direncanakan, mempunyai ketahanan dan keawetan yang memadai melebihi umur pakainya, serta mempunyai ukuran penampang dan panjang yang sesuai dengan pemakainnya dalam konstruksi. Jenis kayu yang berasal dari hutan rakyat ialah jenis kayu yang diusahakan atau dibudidayakan oleh rakyat dengan lokasi atau tempat tumbuh tidak teratur atau tidak terpola, biasanya ditanam pada areal dekat hutan alam/hutan tanaman atau tanah-tanah negara yang belum dimanfaatkan (Hak Guna Garap, HGG) dalam (Abdurachman dan Nurwati Hadjib, 2006). Luas hutan rakyat di Indonesia adalah 1.568.415,63 ha dengan potensi 39.416.557 m3 dan jumlah pohon siap tebang 78.485.993 atau potensi produksi 19.621.480 m3 (dengan assumsi volume 0,25 m3/pohon). Hutan rakyat yang terkonsentrasi di Pulau Jawa, potensinya sekitar 23.578.787 m3 dari jenis akasia, bambu, jati, mahoni, pinus, sengon, sonokeling dan tisuk. Jumlah pohon siap tebang diperkirakan 77.214.541 pohon (19.303.480 m3). (Ditjen BPK, 2005) dalam (Abdurachman dan Nurwati Hadjib, 2006). A.1 Bahan konstruksi Abdurachman (2006) mengatakan bahwa bahan konstruksi adalah bahan
yang
dipergunakan
untuk
mendukung
beban dalam
arti
memerlukan analisa atau perhitungan yang cukup cermat, dan untuk kayu mencakup bahan-bahan untuk kuda-kuda, jembatan, tiang pancang dan sebagainya. Wirjomartono 2006) menyatakan
(1977) dalam (Abdurachman dan Nurwati Hadjib, bahwa
penggunaan
kuda-kuda
kayu
dapat
menghemat biaya sekitar 40-50% untuk daya dukungya dibandingkan jika
4
menggunakan
baja.
Diperkirakan
sekitar
80%
konsumsi
kayu
diperuntukkan pada bangunan rumah dan gedung, sedangkan yang 20% untuk perancah, jembatan, dermaga dan lain-lain. Penggunaan kayu untuk pembangunan jembatan dan tiang pancang tidak lebih dari 5%. Menurut Abdurachman (2006) sampai abad ke-20 sebagian besar dari hampir semua bangunan perumahan dan struktur bangunan komersial dibangun dari kayu. Karena masih berlimpahnya sumber kayu menyebabkan hampir semua
struktur
bangunan perumahan, jembatan, bangunan
komersial ringan, pabrik dan tiang menggunakan kayu solid. Sekarang bangunan tersebut lebih banyak menggunakan bahan kayu struktural yang lebih modern. Hasil
penelitian
Karnasudirdja
(1989) dalam (Abdurachman dan
Nurwati Hadjib, 2006) menghasilkan bahwa glulam (bahan lapis dari balok kayu) yang dibuat dari meranti merah dan jati dengan perbandingan meranti merah : jati = 2,5 cm:1cm, menghasilkan nilai kekuatan yang tidak berbeda nyata dengan kekuatan yang dihasilkan dari glulam sejenis dengan
porsi
jati
lebih
tinggi.
Hasil
penelitian
ini
telah
dapat
digunakan oleh PT PAL untuk mengganti lambung jati menjadi lamina jatimeranti. A.2 Bagian konstruksi bangunan Abdurachman (2006) mengatakan bahwa dalam suatu konstruksi bangunan setidaknya terdiri dari beberpa elemen bangunan, yaitu : 1. Tanah Pondasi harus memiliki kontur yang rata sesuai dengan daya dukung tanah yang diperlukan, , struktur yang kuat dan stabil serta mampu menahan beban bangunan. 2. Lantai Kayu untuk lantai lebih disukai hardwood (kayu daun lebar) dan dengan kekerasan yang tinggi. Beberapa industri mensyaratkan kayu untuk lantai dipilih kayu yang bercorak indah, kelas kuat I-II dan kelas awet I-II. 3. Dinding Dinding bagian luar selain digunakan papan kayu yang memiliki daya
5
nilai kekuatan dan keawetan yang tinggi, saat ini lebih umum
digunakan
kayu lapis eksterior, papan partikel eksterior. Sedangkan untuk dinding di bagian dalam ruangan (interior) tidak diperlukan persyaratan yang tinggi. Pembuatan dinding, selain diperlukan kayu yang bercorak indah, juga kayu yang stabil dan awet, untuk berbagai keperluan dipersyaratkan mampu meredam suara (isolator). Kayu gergajian yang telah dicoba dibuat untuk partisi dinding antara lain kayu karet, mindi, kelapa dan mangium. Partisi dinding yang dibuat dari kayu karet yang diawetkan dengan boron menunjukkan penampilan yang mirip dengan ramin. Sedangkan yang dibuat dari kayu mangium menunjukkan menampilan seperti jati. A.3 Dimensi beberapa jenis kayu di pasaran Ukuran
kayu rakyat dalam bentuk kayu gergajian bervariasi untuk
setiap jenis kayu tertentu seperti kayu mahoni yang biasanya dipakai sebagai bahan mebel, kayu buah sebagai bahan kayu pertukangan dan konstruksi (Abdurachman dan Nurwati Hadjib, 2006). Spesifikasi
ukuran
balok untuk rangka dinding, kusen pintu kayu, kusen jendela kayu, daun pintu kayu dan daun jendela kayu untuk bangunan rumah dan gedung seperti pada Lampiran 2. B. Bangunan pre-Pabrikasi Tahan Gempa Pada dasarnya yang dimaksud dengan bangunan tahan gempa bukan berarti bangunan tersebut itu tidak akan mengalami kerusakan bila terjadi gempa.
Bangunan
tahan
gempa
memiliki
kaidah
sebagai
berikut
(Puslitbangkim, 2004) dalam ( Lina Karlina dan Naresworo, 2006): 1.
Bila terjadi gempa ringan bangunan tidak akan mengalami kerusakan baik pada elemen struktur (kolom, balok, atap, dinding, dan pondasi) maupun pada elemen non-struktur (genteng dan kaca).
2.
Bila terjadi gempa berkekuatan sedang, bangunan bisa mengalami kerusakan hanya pada elemen non-struktur. Sedangkan elemen strukturnya tidak boleh rusak.
3.
Bila terjadi gempa berkekuatan besar, bangunan bisa mengalami kerusakan, baik pada elemen struktur maupun elemen non-strukturnya.
6
Namun kedua elemen tersebut tidak boleh membahayakan penghuni yang ada di dalam bangunan. Penghuni harus bisa mempunyai waktu untuk menyelamatkan diri sebelum bangunan runtuh. 4.
Departemen Pemukiman dan Prasaran Wilayah dalam Lina Karlina (2006) menyatakan bahwa untuk memenuhi kinerja bangunan yang diharapkan, maka harus dipenuhi persyaratan bangunan tahan gempa sebagai berikut: a. Bangunan harus terletak di atas tanah yang stabil. b. Denah bangunan rumah sebaiknya sederhana dan simetris. c. Kualitas material dan campuran beton serta spesi/mortar harus memadai. d. Sloof diangkur ke pondasi. e. Adanya balok ring yang diikat kaku dengan kolom. f. Setiap luasan dinding 10 m2 harus dipasang kolom praktis. g. Dinding pasangan bata/batako dipasang angkur setiap jarak vertical 30 cm yang dijangkarkan ke kolom. h. Seluruh kerangka bangunan harus terikat secara kokoh dan kaku. i. Rangka kuda-kuda, pada titik sambungan kayu diberi baut dan plat pengikat. j. Usahakan atap terbuat dari material yang ringan k. Pelaksanaan konstruksi harus baik Lina Karlina dan Naresworo (2006) menyatakan bahwa stuktur bangunan
berkayu memiliki stabilitas dan integritas struktur yang sangat tinggi. Kayu memiliki kekuatan dibanding berat yang jauh lebih tinggi dai pada baja dan beton sehingga bangunan kayu umumnya lebih ringan. Sambungan-sambungan komponen bangunan kayu bersifat kompak dan tidak mudah lepas. Kerusakan pada salah satu komponen bangunan kayu dapat diatasi karena kayu dapat mengambil posisi keseimbangan baru. Sifat-sifat demikian menyebabkan bangunan kayu lebih tahan terhadap gempa.
7
Ada beberapa sifat yang umum terdapat pada semua jenis kayu yaitu : 1.
Kayu tersusun dari sel-sel yang memiliki tipe bermacam-macam dan susunan dinding selnya terdiri dari senyawa kimia berupa selulosa dan hemi selulosa (karbohidrat) serta lignin (non karbohidrat).
2.
Semua kayu bersifat anisotropik, yaitu memperlihatkan sifat-sifat yang berlainan jika diuji menurut tiga arah utamanya (longitudinal, radial dan tangensial).
3.
Kayu merupakan bahan yang bersifat higroskopis, yaitu dapat menyerap atau melepaskan kadar air (kelembaban) sebagai akibat perubahan kelembaban dan suhu udara disekelilingnya. Elemen bangunan terdiri atas elemen vertikal dan horizontal. Agar
bangunan dapat bekerja dengan baik, elemen yang paling penting adalah sambungan. Secara umum bangunan rangka kayu tahan gempa harus memenuhi persyaratan berikut: 1.
Rangka dinding harus dilengkapi batang-batang diagonal.
2.
Balok pondasi diikat ke pondasi dengan baut jangkar.
3.
Hubungan dan sambungan antar elemen harus kuat.
4.
Terdapat pengaku untuk meningkatkan kekakuan bangunan karena bangunan kayu cenderung lebih fleksibel dibanding bangunan beton.
5.
Atap diusahakan seringan mungkin.
6.
Hubungan papan dengan rangka harus kuat.
7.
Gunakan sambungan bibir miring berkait pada balok nok dan gording.
8.
Sambungan dilakukan sejarak 1/6 bentang dari tumpuan.
C. Kenyamanan Termal Professor Fanger (1970); Morris G. Davis (2004) dari Technical University of Denmark beranggapan bahwa thermal comfort didefinisikan sebagai istilah keadaan fisik tubuh yang lebih baik daripada keadaan fisik lingkungan, apa yang benar-benar kita rasakan adalah suhu kulit dan bukan suhu udara. ASHRAE (American Society of Heating, Refrigerating and Air Conditioning Engineers ) mensyaratkan tingkat kenyamanan dipengaruhi oleh: suhu udara ruangan, kelembaban ruangan, dan kecepatan udara dalam ruangan 8
dengan batasan kenyamanan berada pada suhu efektif (effective themperature) 23oC – 27oC, kecepatan angin 0,1 - 1,5 m/s , kelembaban relatif (RH) antara 50-60%. Untuk kenyamanan termal dibutuhkan: 1.
Thermal balance, yaitu nilai heat loss = nilai heat gain. Keseimbangan Termal pada setiap individu berbeda-beda, misalnya saat berkeringat, seseorang mungkin nyaman saat terjadi keringat dan dalam tubuhnya terjadi keseimbangan termal, namun tak sedikit pun orang yang merasa tidak nyaman saat tubuhnya berkeringat.
2.
Mean skin themperature, harus berada pada level yang tepat untuk kenyamanan
(suhu
kulit
untuk
kenyamanan
berkurang
dengan
bertambahnya aktivitas). 3.
Sweating, kenyamanan adalah fungsi dari nilai sweating yang disukai, yang mana juga merupakan fungsi aktivitas dan laju metabolisme. Terdapat beberapa standar yang menentukan kenyamanan thermal. Dalam Standar ISO 7730 tahun 2000 disebutkan bahwa standar
kenyamanan termal adalah sebagai berikut: 1.
Kenyamanan termal didefinisikan sebagai keadaaan pikiran yang mengekspresikan kepuasan termal terhadap lingkungan termal.
2.
Standar menunjukan cara untuk memperkirakan sensasi termal pada tubuh manusia
terhadap
derajat
ketidakpuasan
termal
(thermal
dissatisfaction) manusia. 3.
Kondisi lingkungan yang bisa diterima untuk kenyamanan.
4.
Modifikasi
lingkungan
indoor
dengan
tujuan
untuk
mencapai
kenyamanan termal, atau lingkungan indoor agar idak terjadi terjadi penyimpangan kenyamanan. Menurut Tri Harso (2001) dalam ilmu arsitektur dikenal paling sedikit empat macam kenyamanan: kenyamanan ruang, kenyamanan penglihatan, kenyamanan pendengaran, dan kenyamanan termal. Dalam kenyamanan termal, manusia merasakan sensasi panas atau dingin sebagai wujud respon dari sensor perasa pada kulit terhadap stimuli suhu di sekitarnya. Sensor perasa berperan menyampaikan rangsangan rasa kepada otak, dimana otak akan memberikan perintah kepada bagian-bagian tubuh tertentu agar melakukan
9
antisipasi guna mempertahankan suhu tubuh agar tetap berada pada sekitar 37oC sehingga organ tubuh dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Anggraeni (1998) menyatakan bahwa batas kenyamanan pada daerah khatulistiwa berkisar antara suhu 22,5ºC sampai 29,5ºC dengan kelembaban udara relatif berkisar antara 30-80%. Penelitian Farida Idealistina (1991); Anggraeni (1998) menyatakan bahwa suhu nyaman diperlukan manusia untuk mengoptimalkan produktifitas kerja. Dalam menyatakan suatu kondisi termal tertentu, ISO 7730-94, menggunakan indeks yang diperkenalkan oleh Fanger yakni PMV (Predicted Mean Vote, prediksi sensasi termal rata-rata) dan PPD (Predicted Percentage Dissatisfied, prediksi prosentase ketidaknyamanan). Nilai atau besaran PMV dinyatakan dengan angka antara -3 (cold, dingin sekali) hingga +3 (hot, panas sekali). Skala sensasi termal yang digunakan merujuk pada skala yang direkomendasikan oleh ISO 7730-94. Suhu nyaman atau netral dicapai apabila nilai PMV = 0, dimana pada kondisi ini nilai PPD mencapai 5% atau persentase responden yang nyaman mencapai 95%. Pada kondisi termal apapun prosentase responden yang tidak nyaman (PPD) tidak akan mungkin mencapai 0%, atau prosentase responden yang nyaman tidak mungkin mencapai 100%. Sementara itu rentang suhu nyaman dicapai apabila nilai PMV berada antara – 0,5 hingga +0,5, dimana pada kondisi ini nilai PPD mencapai 10%, atau prosentase responden yang nyaman mencapai 90%. C.1 Suhu dalam bangunan (o C) Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap proses fisik dan kimiawi yang selanjutnya akan mengendalikan proses metabolisme tubuh manusia. Suhu berpengaruh terhadap kecepatan proses respirasi dan proses metabolik (Tiwari, 1998). Kategori suhu udara ada dua macam: suhu udara biasa (air suhu) dan suhu radiasi rata-rata (mean radiant themperature = MRT). MRT merupakan radiasi rata-rata dari permukaan-permukaan bidang yang mengelilingi seseorang. MRT sangat penting karena menimbulkan rasa panas bagi seseorang hingga 66%. Kenyamanan termal sulit tercapai bila suhu udara dan MRT berbeda hingga 5o C atau lebih (Heinz Frick et.all, 2007).
10
Pada konstruksi bangunan, radiasi matahari gelombang pendek dapat masuk kedalam bangunan melalui penutup transparan dan diubah menjadi radiasi panas gelombang panjang. Radiasi panas ini tidak dapat keluar dari bangunan dan terperangkap didalamnya sehingga timbul efek rumah kaca yang menyebabkan suhu udara di dalamnya meningkat. Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya suhu dalam bangunan adalah tingkat intensitas radiasi matahari, besar kecilnya panas yang hilang melalui atap dan dinding. C.2 Kelembaban udara pada bangunan (RH) Relatif humidity (RH), kelembaban relatif merupakan persentase kandungan air di udara pada suhu tertentu. Persentase yang menunjukan besaran kelembaban udara didapat dari perbandingan antara keadaan kenyataan uap air dan jumlah maksimum uap air yang dikandung oleh udara pada kondisi ruang dan suhu yang sama (Tiwari, 1998). Kelembaban udara menjadi penting saat suhu udara mendekati atau melampaui ambang batas daerah kenyamanan termal dan kelembaban udara mencapai lebih dari 80% atau kurang dari 30% (Heinz Frick et.al, 2007). Beberapa faktor yang mempengaruhi kelembaban udara yaitu besar kecilnya suhu, kondisi iklim, efek angin, dan intensitas cahaya matahari. Apabila kondisi cuaca mendung maka suhu menjadi rendah, intensitas cahaya berkurang sehingga kelembaban menjadi tinggi (Tiwari, 1998). C.3 Kecepatan udara pada bangunan Pergerakan udara adalah aspek yang penting untuk kenyamanan termal, terlebih didaerah panas, seperti hanya didaerah tropis. Pergerakan angin terjadi karena adanya perbedaan tekanan udara di dalam dan di luar bangunan, angin menyebabkan adanya zona tekanan tinggi dan rendah disekeliling bangunan sehingga menyebabkan terjadinya aliran udara (Tiwari, 1998). Pergerakan udara atau angin yang menyapu permukaan kulit sehingga mempercepat pelepaan panas secara konveksi. Bila permukaan kulit basah, maka penguapan yang terjadi mengakibatkan terjadinya pelepasan panas yang lebih besar. Pada suhu udara 25oC, kecepatan 0,5 m/detik membuat tubuh
11
terasa 2oC lebih dingin. Kecepatan angin 1 m/detik membuat tubuh terasa 3oC lebih dingin (Heinz Frick et.al, 2007). C.4 Intensitas cahaya matahari Menurut Tiwari (1998) intensitas matahari yang cukup akan berpengaruh tehadap distribusi suhu dalam bangunan, yang kemudian akan mempengaruhi metabolisme dan aktivitas manusia dalam bangunan tersebut. Cahaya dengan masa penyinaran dari pagi hingga sore dikalikan dengan intensitas yang tinggi merupakan jumlah energi yang dapat diterima oleh suatu bangunan. Pada pagi hari, belum banyak cahaya yang diterima, begitu pula pada sore hari karena matahari meredup sehingga intensitas cahaya berkurang. Kondisi cuaca yang mendung selama beberapa hari akan mengurangi intensitas cahaya matahari. Intensitas cahaya matahari erat kaitannya dengan besarnya radiasi matahari, menurut Tiwari (1998) dalam kondisi sebenarnya terdapat beberapa jenis nilai radiasi matahari, yaitu: 1. Extraterrestrial radiation (Ion) Extraterrestrial radiation (Ion) merupakan radiasi yang terjadi di luar daerah atmosfer. Perubahan jarak bumi ke matahari akan mempengaruhi besarnya radiasi ekstraterensial. Menurut Tiwari (1998) pada bulan Juni bearnya radiasi berkisar 1322 W/m2. Radiasi tesebut dapat dihitung dengan menggunakan rumu sebagai berikut: ……….…………………………………1 Keterangan : Isc = Rata-rata energi radiasi matahari (1353 W/m2) (Energi dan Listrik Pertanian,105) n = Hari ke-n dalam satu tahun 2. Terrestrial radiation (In) Terrestrial radiation (In) merupakan radiasi yang masuk ke dalam atmosfer (daerah terestrial). Radiasi yang terjadi pada daerah terestrial adalah radiasi langsung, radiasi tidak langsung, dan radiasi total. Radiasi ini dipengaruhi oleh turbidity factor dari atmofer dan ketinggian lokasi.
12
Tiwari (1998) menyatakan bahwa turbidity factor merupakan ketetapan yang mempengaruhi besarnya radiasi yang jatuh pada suatu wilayah yang dikategorikan sebagai wilayah pegunungan, dataran rendah dan perkotaan, dimana besarnya angka ini setiap bulannya mengalami perubahan (Tabel 4). Perhitungan nilai Terrestrial radiation (In) menggunakan rumus sebagai berikut : ………………………………………2 Keterangan : TR
= Turbidity faktor
α
= Ketinggian permukaan
Tabel 1. Nilai Turbidity faktor dalam berbagai wilayah untuk setiap bulannya dalam satu tahun Jenis daerah Bulan kePerkotaan Dataran Pegunungan 1 3,10 2,20 1,80 2 3,20 2,20 1,90 3 3,50 2,50 2,10 4 3,90 2,90 2,20 5 4,10 3,20 2,40 6 4,20 3,40 2,70 7 4,30 3,50 2,70 8 4,20 3,30 2,70 9 3,90 2,90 2,50 10 3,60 2,00 2,10 11 3,30 2,30 1,90 12 3,10 2,20 1,80 Tm 3,70 2,76 2,15 Sumber : Bansal et.all, 1990 dalam Tiwari, 1998
3. Direct radiation (Ibi) Direct radiation (Ibi) merupakan radiasi yang langsung jatuh ke permukaan bumi pada daerah terestrial. Radiasi tersebut dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: ………………....………………………………………......3 ……………………......4 …………...…………………......5 …………………………………………………………......6
13
…………………...…………...……………7 ………………………………………………………8 …………………………………………...9 Keterangan : θi
= Sudut dating matahari
( o)
αs
= Sudut altitude matahari
( o)
β
= Sudut inklinasi
(β = 30o)
αw
= Sudut tegak/vertical
( o)
γs
= sudut azimuth Matahari
( o)
Ф
= Besar latitud
ω
= Sudut jam matahari
( o)
δ
= Sudut deklinasi
( o)
4. Diffuse radiation (Idh) Diffuse radiation (Idh) merupakan radiasi yang tidak langsung jatuh ke permukaan bumi pada daerah terestrial sehingga terjadi pembauran. Radiasi tidak langung terjadi pada permukaan mendatar dan pemukaan miring. Radiasi tersebut dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: …………..……………………...……………..10
…………...……...11 Keterangan : Idh = Radiasi tidak langsung yang terjadi pada pemukaan mendatar (W/m2) Idi = Radiasi tidak langsung yang terjadi pada permukaan miring (W/m2) 5. Reflektivitas radiation (Ir) Reflektivitas radiation (Ir) adalah radiasi yang jatuh ke permukaan bumi dan dipantukan kembali ke atmosfer. Radasi tersebut dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berukut :
14
………………………………………………………...…...12 ……………………………………………………..……..13 ……………………………..…………………....14 Keterangan : Ibh
= Radiasi pantulan pada tipe permukaan (W/m2)
ρg
= Konstanta refleksi (Tabel 5)
Ith
= Radiasi pantulan pada permukaan mendatar (W/m2)
Ir
= Total radiasi pantuan (W/m2)
β
= Sudut inlinasi
Tabel 2. Nilai konstansta refleksi dengan berbagai jenis permukaan Jenis permukaan Konstanta refleksi Permukaan nomal bumi 0,21 – 0,45 Permukaan air 0,16 Permukaan es dan salju 0,16 – 0,78 Sumber : Bansal et.all, 1990 dalam Tiwari, 1998)
6. Total Radiation (Iti) Total Radiation (Iti) adalah radiasi total yang diterima oleh permukaan bumi. Radiasi tersebut dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: ………………………………...……………………..15 D. Proses Pindah Panas pada Bangunan Panas yang masuk kedalam bangunan berasal dari lingkungan dan akan dikeluarkan kembali ke lingkungan. Perpindahan panas yang terjadi dalam bangunan ini terjadi karena adanya perbedaan tekanan didalam dan di luar bangunan. Hal yang dengan demikian akan membuat terjadi pergerakan fluida antara didalam dan diluar bangunan untuk menyeimbangkan energi. Soegijanto (1999) menyatakan bahwa bangunan akan mendapatkan perolehan panas dan mengeluarkan atau kehilangan panas ke lingkungan sekitarnya, perolehan dan pengeluaran panas dapat terjadi melalui peristiwa perpindahan panas. Proses pindah panas yang terjadi pada bangunan tersebut terjadi melalui beberapa jenis pidah panas, yaitu pindah panas radiasi, pindah panas konduksi dan pindah panas konveksi. 15
D.1 Pindah panas radiasi Radiasi
adalah
proses
transfer
energi
melaluii
gelombang
elektromagnet. Radiasi tidak merambat pada suatu material dan terjadi pada ruang hampa. Radiasi merupakan bagian dari energi yang dapat dinilai berdasarkan besarnya suhu. Saat energi radiasi mengelilingi setiap bagian atau seluruh partikel maka akan terjadi perpindahan panas. Besarnya energi radiasi bergantung pada suhu permukaan dari partikel tersebut. Tiwari (1998) menyatakan bahwa persamaan besarnya perpindahan panas karena radiasi digambarkan oleh persamaan berikut : Q == hε Aσ ∆TT4 ………………………………………………………………….16 Q
Keterangan: ε = Emisivitas permukaan σ = Konstanta Boltsman-Stefan,5.67x10-8 W/m2K4 T = Suhu permukaan luar,°K Q = Pindah panas Konduksi ( Joule ) D.2 Pindah panas konveksi Konveksi adalah transfer panas dari satu bagian fluida ke beberapa bagian lain dengan suhu rendah dari pencampuran partikel fluida. Pergerakan fluida dapat terjadi karena adanya paksaan ataupun secara alami. Apabila pergerakan fluida disebabkan karena adanya perbedaan tekanan maka kondisi tersebut dapat disebut konveksi paksa (Tiwari, 1998). Davies, Moris (2004) pada proses percepatan sentrifugal gravitasi perlu digantikan posisinya sesuai dengan posisi fluida, gaya pergerakan akibat viskositas ini dapat diabaikan. Pada dua plat dengan perbedaan perubahan suhu yang kecil dimana salah satu plat diberikan pendinginan maka akan menyebabkan terhambatnya pergerakan dari viskositas fluida udara pada posisi tersebut, sehingga kondisi ini disebut Rayleigh number. Q = ε σ T 4……..……………………………………………………….……17
Keterangan : Q
= Pindah panas Konduksi ( Joule )
h
= Koefisien pindah panas
A
= Luas permukaan, m2
16
∆T = Perbedaan suhu permukaan, °K Untuk konduktivitas panas konveksi (h) pada permukaan vertikal (v) dapat diketahui dengan menggunakan persamaan dibawah. .…..………………………...…………18 .……………………..……………………………...……19 ………………………………..…………………………………....20 Nilai konduktivitas panas konveksi pada permukaan vertikal (i) dengan membentuk sudut θ dapat diketahui dengan menggunakan persamaan dibawah.
……..……….………..………………21
….………..……...…………...…………22 ...……….………………..…..…23 .……...…………………………………….…………………...….24 Nilai konduktivitas panas konveksi pada permukaan horizontal (h) dapat diketahui dengan menggunakan persamaan dibawah. …..……………………………...………………………..………25 ……..………….……….………………………..26 ...………………..….………………...….…………………...……27 D.3 Pindah panas konduksi Konduksi adalah perpindahan panas yang merambat dari material satu ke material yang lain atau merambat dari satu partikel ke partikel yang lain. Pindah panas kondukksi biasanya terjadi pada daerah lantai dan lapisan
17
dinding.
Persamaan
besarnya
perpindahan
panas
karena
konduksi
digambarkan oleh persamaan berikut : Q = −K
∂T K = (T1 − T2 ) ∂X S .…………………...……………………………….28
Keterangan : Q = Pindah panas Konduksi ( Jaule ) T = Suhu (°C atau °K) X = Jarak antar material,m K = Thermal conductivity (W/m°C) S = Ketebalan material, m T1 = Suhu Udara (°C atau °K) T2 = Suhu material (°C atau °K) E. Simulasi Distribusi Termal Pada Bangunan Simulasi adalah teknik penyusunan dari kondisi nyata (sistem) dan kemudian melakukan percobaan pada model yang dibuat dari sistem. Simulasi merupakan alat yang fleksibel dari model atau kuantitatif. Simulasi cocok diterapkan untuk menganalisa interaksi masalah yang rumit dari sistem. Simulasi berguna untuk mengetahui pengaruh atau akibat suatu keputusan dalam jangka waktu tertentu (Avissar, et.al., 1982) didalam Marat (2006). Dalam melakukan simulasi, terlebih dahulu harus dibuat model yang akan dijadikan acuan untuk melakukan simulasi agar diperoleh nilai ekonomis, efektif, mudah, resiko kecil. Kriteria umum agar model simulasi efektif adalah : 1) model simulasi dapat memprediksi proses fisik dan fisiologi dalam sistem dengan ketepatan yang masuk akal dan dapat dibuktikan dengan percobaan; 2) model simulasi bersifat umum dan cukup fleksibel untuk diaplikasikan pada system tertentu yang memiliki kondisi lingkungan yang beragam. Untuk mengetahui kriteria tersebut, parameter lingkungan yang digunakan adalah kondisi batas yang mudah diukur dan tidak dipengaruhi oleh keberadaan sistem. Skala waktu, parameter, initial condition dapat dengan mudah diubahubah, serta dapat dengan mudah menyelesaikan persamaan-persamaan yang tidak linier dan dapat mengkaji sistem secara utuh (Avissar, et.al., 1982) didalam Marat (2006). 18
Simulasi dapat dilakukan dengan pembuatan model persamaan matematika, program komputer, atau pembuatan model prototipe sehingga system yang akan disimulasikan dapat terwakili oleh model yang disimulasikan. Simulasi analisis distribusi suhu dan kelembaban udara (RH) pada bangunan dapat dilakukan dengan persamaan matematika, dan program komputer. Parameter yang harus diperhitungkan dalam simulasi analisis distribusi suhu dan kelembaban udara (RH) pada bangunan antara lain suhu lingkungan, suhu udara dalam bangunan, suhu tanah, radiasi matahari, kecepatan angin, system dan besaran ventilasi, bahan-bahan bangunan (konduktivitas panas, emisivitas, koefisien pindah panas, absorpsivitas). Simulasi distribusi parameter iklim mikro seperti suhu, kelembaban, kecepatan angin, sudut dating radiasi matahari telah banyak dilakukan pada bangunan pertanian terutama greenhouse baik menggunakan persamaan-persamaan matematika, program komputer maupun model atau prototipe.
19