15
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Valuasi Ekonomi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Valuasi Ekonomi berasal dari kata “valuation” dan “economics". Meyer dan Herman (1947) mengatakan bahwa ekonomi menjelaskan tentang transformasi sumberdaya alam melalui penggunaan fasilitas fisik (physical forces), energi (stored energy), dan kapasitas manusia, menjadi barang yang berguna bagi manusia, serta cara mengangkut barang tersebut ke konsumen. Baxter dan Ray (1978) mendefinisikan ekonomi sebagai ilmu tentang perilaku sosial dan institusi yang menyangkut penggunaan sumberdaya yang langka untuk memproduksi dan mendistribusikan barang dan jasa untuk mencapai kepuasan dan keinginan manusia. Klemperer (1996) mengatakan bahwa ekonomi akan menolong kita dalam memilih cara yang terbaik dalam menggunakan sumberdaya. Ekonomi akan menjelaskan perilaku manusia dalam pengambilan keputusan tentang alokasi sumberdaya alam yang terbatas. Dengan demikian paling tidak terdapat tiga hal yang harus diperhatikan dalam ekonomi yaitu: jenis dan jumlah barang yang akan diproduksi, bagaimana cara memproduksinya, dan bagaimana mendistribusikannya (Johnson, 2000). Ekonomi dalam konteks valuasi ini adalah perilaku manusia yang mencerminkan cara-cara terbaik dalam menggunakan sumber daya alam untuk memenuhi kepuasan manusia. Cara terbaik merupakan kearifan manusia untuk menggunakan potensi internal dan fasilitas eksternal dalam menggunakan sumberdaya alam. Dengan demikian kegiatan ekonomi manusia akan selalu berusaha meningkatkan kesejahteraannya secara berkesinambungan.
16
Valuasi berasal dari kata "value" atau "nilai" yang bermakna persepsi manusia atau orang tertentu terhadap makna suatu objek dalam waktu dan tempat tertentu. Dengan demikian hutan dan konversinya akan memiliki nilai yang berbeda bagi individu atau kelompok masyarakat yang berbeda. Persepsi ini sendiri merupakan ungkapan, pandangan, perspektif seseorang (individu) tentang atau terhadap suatu benda sebagai basil dari proses pemahaman melalui suatu pemikiran, dimana harapan dan norma-norma yang dimiliki oleh individu atau kelompok masyarakat sangat berpengaruh. Valuasi merupakan prosedur yang dilakukan untuk menemukan nilai suatu sistem (Klemperer, 1996). Nilai yang dimaksudkan di sini adalah nilai manfaat (benefit) suatu barang yang dapat dinikmati oleh manusia atau masyarakat. Adanya nilai yang dimiliki oleh suatu barang (sumber daya dan lingkungan) pada gilirannya akan mengarahkan perilaku individu, masyarakat ataupun organisasi dalam suatu pengambilan keputusan. Menemukan nilai suatu barang atau jasa lingkungan merupakan tema utama dalam bidang ekonomi lingkungan dan merupakan hal yang krusial bagi pembangunan berkelanjutan. Masalahnya adalah bahwa menilai suatu asset lingkungan bukan sesuatu yang mudah oleh karena banyak aset lingkungan yang tidak memiliki pasar sehingga tidak mempunyai harga. Sebagai contoh adalah fungsi perlindungan hutan, atau diversitas biologi hutan tropis. Fungsi lingkungan ini sangat dibutuhkan keberadaannya oleh masyarakat tetapi karena tidak memiliki pasar seperti yang dimiliki barang lainnya, misalnya ikan dan kayu bakar, maka terdapat kesulitan untuk menentukan nilai fungsi lingkungan tersebut. Demikian halnya total manfaat ekonomi dan total biaya ekonomi yang ditimbulkan dari izin konsesi lahan untuk pembangunan HTI. Penilaian ekonomi
17
(valuasi ekonomi) apakah program pembangunan HTI selama ini secara keseluruhan menguntungkan atau justru merugikan perlu dilakukan. Barton (1994) menjelaskan bahwa nilai ekonomi dari ekosistem hutan merupakan nilai dari seluruh instrument yang ada padanya termasuk sumber makanan dan jasa ekologis. Nilai dari seluruh instrumen yang terdapat pada ekosistem hutan yang dapat dikuantifikasi melalui metode valuasi ekonomi total (Total Economic Valuation). Valuasi ekonomi, menurut Fauzi (2004) dapat didefinisikan sebagai upaya untuk memberikan nilai kuantitatif terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan baik atas nilai pasar (market value) maupun nilai non pasar (non market value). Penilaian ekonomi sumberdaya alam merupakan suatu alat ekonomi (economic tool) yang menggunakan teknik penilaian tertentu untuk mengestimasi nilai uang dari barang dan jasa yang diberikan oleh suatu sumberdaya alam. Tujuan dari penilaian ekonomi antara lain digunakan untuk menunjukkan keterkaitan antara konservasi sumberdaya alam dan pembangunan ekonomi, maka valuasi ekonomi dapat menjadi suatu peralatan penting dalam peningkatan apresiasi dan kesadaran masyarakat terhadap lingkungan itu sendiri. Penilaian ekonomi sumberdaya merupakan suatu bentuk penilaian yang komprehensif. Dalam hal ini tidak saja nilai pasar (market value) dari barang tetapi juga nilai jasa (nilai ekologis) yang dihasilkan oleh sumberdaya alam yang sering tidak terkuantifikasi kedalam perhitungan menyeluruh sumberdaya alam. Menurut Constanza (1991) tujuan valuasi ekonomi adalah menjamin tercapainya tujuan maksimisasi kesejahteraan individu yang berkaitan dengan keberlanjutan ekologi dan keadilan distribusi. Untuk tercapainya ke tiga tujuan diatas, perlu
18
adanya valuasi ekosistem berdasarkan tiga tujuan utama yaitu efisiensi, keadilan, dan keberlanjutan. Valuasi ekonomi penggunaan sumberdaya alam hingga saat ini telah berkembang pesat. Di dalam konteks ilmu ekonomi sumberdaya dan lingkungan, perhitungan-perhitungan berkembang.
tentang biaya lingkungan sudah cukup
banyak
Menurut Hufscmidt et al. (1983) secara garis besar metode
penilaian manfaat ekonomi (biaya lingkungan) suatu sumberdaya alam dan lingkungan pada dasarnya dapat dibagi
ke dalam dua kelompok besar, yaitu
berdasarkan pendekatan yang berorientasi pasar dan pendekatan yang berorientasi survai atau penilaian hipotetis. Dari kedua pendekatan tersebut selanjutnya Hufscmidt et al. (1983) mengembangkan lebih lanjut metode penilaian untuk masing-masing kelompok seperti berikut ini : 1. Pendekatan Orientasi Pasar - Penilaian manfaat menggunakan harga pasar aktual barang dan jasa (actual market based methods) : a. Perubahan dalam nilai hasil produksi (change in productivity) b. Metode kehilangan penghasilan (loss of earning methods) - Penilaian biaya dengan menggunakan harga pasar aktual terhadap masukan berupa perlindungan lingkungan : a. Pengeluaran pencegahan (averted defensif expenditure methods) b. Biaya penggantian (replacement cost methods) c. Proyek bayangan (shadow project methods) d. Analisis keefektifan biaya
19
- Penggunaan metode pasar pengganti (surrogate market-based methods) : a). Barang yang dapat dipasarkan sebagai pengganti lingkungan b). Pendekatan nilai pemilikan c). Pendekatan lain terhadap nilai tanah d). Biaya perjalanan (travel cost) e). Pendekatan perbedaaan upah (wage differential methods) f). Penerimaan konpensasi/pampasan 2. Pendekatan Orientasi Survai - Pertanyaan langsung terhadap kemauan membayar (Willingness to Pay) - Pertanyaan langsung terhadap kemauan di bayar (Willingness to Accept) Dalam metode perhitungan yang berorientasi pasar, metode penilaian manfaat kualitas lingkungan menggunakan harga pasar aktual.
Harga pasar
tersebut dapat diubah menjadi harga bayangan bilamana diperlukan (Hufscmidt et al., 1983). Untuk mengukur nilai sumberdaya dilakukan berdasarkan konsep nilai ekonomi total (total economic value) yaitu nilai kegunaan atau pemanfaatan (use value) dan nilai bukan kegunaan atau non use values. Konsep use value pada dasarnya mendefinisikan suatu nilai dari konsumsi aktual maupun konsumsi potensial dari suatu sumberdaya (Krutila, 1967). Barton (1994) membagi konsep use value kedalam nilai langsung (direct use value) dan nilai tidak langsung (indirect use value) adalah nilai yang dihasilkan dari pemanfaatan aktual dari barang dan jasa serta nilai pilihan (option value). Sementara nilai non use value meliputi nilai keberadaan existence values
20
dan nilai warisan (bequest values) jika nilai-nilai tersebut dijumlahkan akan diperoleh nilai ekonomi total (total economic values). Nilai guna langsung meliputi seluruh manfaat dari sumberdaya yang dapat diperkirakan langsung dari konsumsi dan produksi dimana harga ditentukan oleh mekanisme pasar. Nilai guna ini dibayar oleh orang secara langsung mengunakan sumberdaya dan mendapatkan manfaat darinya. Nilai guna tidak langsung terdiri dari manfaat-manfaat fungsional dari proses ekologi yang secara terus menerus memberikan kontribusi kepada masyarakat dan ekosistem (Miyata, 2007). Nilai pilihan (Option value) meliputi manfaat-manfaat sumberdaya alam yang disimpan atau dipertahankan untuk tidak dieksplorasi sekarang demi kepentingan yang akan datang. Contohnya spesies, habitat dan biodiversity. Nilai Keberadaan (existance values) adalah nilai yang diberikan masyarakat kepada sumberdaya tertentu atas manfaat spiritual, estetika, dan kultural. Nilai guna ini tidak berkaitan dengan penggunaan oleh manusia baik untuk sekarang maupun masa datang, semata-mata sebagai bentuk kepedulian atas keberadaan sumberdaya sebagai obyek. Nilai warisan (bequest value) adalah nilai yang diberikan masyarakat yang hidup saat ini untuk sumberdaya alam tertentu agar tetap utuh untuk diberikan kepada generasi selanjutnya. Nilai ini berkaitan dengan konsep penggunaan masa datang, atau pilihan dari orang lain untuk menggunakannya. Munasinghe (1993) menyatakan bahwa kebanyakan hasil hutan non kayu dikonsumsi secara lokal (nasional). Namun demikian produk ini merupakan sumber daya yang sangat bernilai dan nilai komersialnya per hektar dapat melebihi produksi kayu. Contoh, satu hektar hutan Amazon Brasil menghasilkan
21
nilai ekonomi sebesar US$ 6 280 yang dihasilkan oleh oleh buah dan lateks. Sedangkan kayu (logging) hanya memberikan kontribusi sebesar 7% dari TEV. Hasil hutan non kayu tertentu memiliki pasar intemasional yang penting. Rotan, lateks, coklat, vanilla, dan lain sebagainya merupakan komoditas yang telah memiliki pasar hingga ke negara-negara maju. Ekotourisme di hutan tropis juga merupakan aktivitas ekonomi yang telah berkembang dan memiliki potensi mancanegara. Pengunjung lokal juga memiliki potensi untuk mendatangkan benefit tetapi tingkat WTPnya masih rendah bila dibandingkan dengan turis mancanegara. Nilai kegunaan tak langsung berhubungan dengan dukungan atas perlindungan yang disediakan oleh hutan tropis terhadap aktivitas ekonomi lainnya yang berada di luar wilayah hutan tropis. Sebagai contoh adalah fungsi perlindungan DAS (Daerah Aliran Sungai) hutan tropis yang mengatur tingkat sedimentasi dan banjir sehingga pengaruhnya sangat menentukan produktivitas ekonomi pada kawasan pertanian dan perikanan di sekitarnya. Nilai tak langsung sering sulit ditentukan karena tidak dapat diduga secara langsung melalui observasi manusia atau perilaku pasar (Bann, 1998). Nilai option adalah tipe nilai kegunaan yang berhubungan dengan kegunaan masa depan hutan tropis. Nilai option muncul karena masyarakat memiliki pilihan tentang kegunaan hutan tropis di masa yang akan datang. Konsekuensinya adalah terdapat upaya masyarakat untuk melindungi hutan. Dengan demikian tingkat penggunaan hutan tropis sekarang akan rendah dengan harapan dapat mempunyai nilai masa depan yang lebih tinggi dalam lingkup ilmu pengetahuan dan pendidikan serta kegunaan ekonomi lainnya. Kategori khusus
22
nilai option adalah nilai warisan (bequest value) yang merupakan hasil dari penghargaan yang tinggi terhadap konservasi hutan untuk memenuhi kebutuhan generasi yang akan datang.
Motifnya adalah keinginan untuk memberikan
sesuatu kepada keturunan. Seperti halnya nilai kegunaan tak langsung, nilai option dan bequest value sulit untuk diakses karena menyangkut asumsi-asumsi yang berhubungan dengan pendapatan dan preferensi masa depan (Wallander, 2007). Selanjutnya seperti yang telah dikemukakan di atas untuk sumber daya alam yang mudah diukur kuantitasnya dan diketahui harganya di pasar baik melalui pasar yang sesungguhnya ataupun pasar tiruan (surrogate), valuasinya dapat menggunakan unit rent atau unit price. Untuk fungsi-fungsi hutan yang sifatnya tidak harus melalui nilai penggunaan, valuasinya (non-use value) akan menggunakan “benefit transfer”, karena penghitungan secara langsung biasanya dengan menggunakan survei lapangan akan memakan waktu yang lama dan biaya yang mahal. Menurut Simangunsong (2003), nilai ekonomi fungsi hutan dapat dibedakan menjadi nilai guna (use value) dan nilai tanpa penggunaan (non-use value). Selanjutnya nilai guna dibedakan menjadi nilai guna langsung dan nilai guna tidak langsung. Contoh dari nilai guna langsung adalah nilai untuk kayu bulat, kayu bakar, dan hasil hutan lainnya seperti madu dan air. Nilai guna tidak langsung, di antaranya nilai terhadap konservasi lahan dan air, penyerap karbon, pencegah banjir, dan keanekaragaman hayati. Kemudian nilai tanpa penggunaan meliputi nilai pilihan dan nilai keberadaan. Untuk melakukan penilaian terhadap barang dan jasa yang tidak memiliki harga pasar, Bateman et al. (2002) mengemukakan bahwa: Economic Valuation
23
refers to the assignment of money value to non-marketed assets, goods and services, where the money values have a particular and precise meaning. Nonmarketed goods and services refer to those which may not be directly bought and sold in the market place. Bila suatu barang dan/atau jasa memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan manusia maka dikatakan bahwa barang dan jasa tersebut memiliki nilai ekonomi (economic value). Nilai ekonomi didefinisikan sebagai nilai yang menggambarkan ukuran moneter sebagai hasil transaksi yang terjadi di pasar. Dengan demikian valuasi ekonomi merupakan suatu kajian yang menawarkan suatu tantangan yang menarik tentang metode pengukuran sehingga nilai jasa atau barang yang tidak memiliki harga pasar dapat ditransformasi ke nilai moneter. Oleh sebab itu valuasi ekonomi juga melibatkan analisis ekologi guna memahami semua komponen dan atribut feature atau hutan yang dinilai. WWF (2004) menggunakan analisis ekologi dalam model valuasi ekosistem untuk menghitung nilai moneter kerusakan lahan basah di daerah mediterane, Eropa Selatan. Tujuan analisis ini adalah mengidentifikasi nilai ekologi yang dimiliki setiap elemen-elemen bentang alam di lahan basah Kalloni. Model ini difokuskan pada sensitivitas habitat alami terhadap gangguan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia. Pemahaman tentang konsep valuasi ekonomi memungkinkan para pengambil keputusan dapat menentukan penggunaan sumberdaya alam dan lingkungan dapat digunakan dengan mengaitkan antara konservasi sumberdaya alam dan pembangunan ekonomi, sehingga dengan demikian valuasi ekonomi dapat menjadi suatu alat penting dalam peningkatan apresiasi dan kesadaran masyarakat terhadap sumberdaya alam dan lingkungan (Gittinger, 1986).
24
2.2. Pengembangan HTI Dengan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Pengusahaan Hutan Tanaman Industri diatur di dalam Pasal 1 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1967 dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1990 sertat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 228/Kpts-II/1990 tentang Tata Cara dan Persyaratan Permohonan Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri. Dasar pemikiran dikeluarkannya peraturan tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri, adalah karena: (1) menurunnya potensi hutan alam yang disebabkan antara lain oleh luasan hutan yang makin berkurang, kerusakan hutan akibat kebakaran, dan sebab lainnya, dan (2) hutan alam tidak dapat diandalkan sebagai
pemasok
bahan
baku
jangka
panjang
sehingga
potensi
dan
produktivitasnya perlu ditingkatkan. Pembangunan hutan tanaman industri, bertujuan untuk: (1) meningkatkan produktivitas kawasan hutan yang kurang produktif, (2) mendukung industri hasil hutan dalam negeri guna meningkatkan nilai tambah dan devisa, (3) melestarikan lingkungan hidup melalui konservasi hutan, dan (4) memperluas lapangan kerja dan berusaha. Ada tiga prinsip yang harus diperhatikan dalam mengelola hutan tanaman industri: (1) kelestarian lingkungan hidup, (2) sumber daya alamiah, dan (3) prinsip ekonomi. Ketiga prinsip itu harus diperhatikan secara saksama oleh pemegang izin Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri dalam mengelola kawasan hutan. Hutan Tanaman industri merupakan hutan tanaman yang dikelola dan diusahakan oleh suatu organisasi atau perusahaan dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi untuk memenuhi kebutuhan bahan baku
25
industri hasil hutan berdasarkan azas manfaat yang lestari dan azas ekonomi yang efisien dengan menerapkan sistim silvikultur intensif (Departemen Kehutanan, 1990). Menurut Alrasjid (1984), kebijaksanaan pembangunan hutan tanaman industri umumnya diarahkan pada 4 tujuan pokok, yaitu : 1. memenuhi kebutuhan industri, antara lain berupa pulp untuk bahan baku kertas, kayu gergajian, panel dan sebagainya, 2. memenuhi tuntutan perlindungan, antara lain untuk kebutuhan hidro-orologi, 3. memenuhi kebutuhan energi, dan meningkatkan pendapatan dan kebutuhan masyarakat terutama yang ada di sekitar areal pembangunan hutan tanaman industri. Tujuan pemerintah dalam pembangunan HTI diharapkan secara bertahap akan mengubah lahan kritis menjadi produktif dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Secara langsung pembangunan HTI akan mengubah penyerapan tenaga kerja yang sebelumnya bekerja untuk illegal logging menjadi tenaga pembangunan HTI (Departemen Kehutanan, 1996). Keberhasilan pembangunan HTI diharapkan akan mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, serta penerimaan devisa negara. Selain itu, HTI akan membangkitkan kembali pembangunan ekonomi, karena membuka peluang bagi peningkatan investasi asing dan domestik, penyerapan tenaga kerja, penyediaan lapangan usaha, terjaminnya bahan baku industri, serta meningkatkan nilai ekspor yang berdampak terhadap perolehan devisa negara. Keberhasilan ini akan mendorong banyak aspek terkait yang berdampak pada pembangunan ekonomi nasional secara menyeluruh (Barr, 2001).
26
Pengelolaan HTI berbasis masyarakat atau Community Based Forest Management (CBFM) merupakan salah satu pendekatan pengelolaan sumberdaya hutan yang meletakkan pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaan (Darmawan dkk., 2004). Menurut Suharjito et al. (2000) pengelolaan hutan berbasis masyarakat adalah sistem pengelolaan hutan yang dilakukan oleh individu atau kelompok suatu komunitas, pada lahan negara, lahan komunal, lahan adat atau lahan milik perusahaan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan masyarakat, serta diusahakan secara komersial ataupun subsisten. Sementara
itu,
sumberdaya berbasis
Carter
(1996)
masyarakat
yaitu,
memberikan suatu
definisi
strategi
untuk
pengelolaan mencapai
pembangunan yang berpusat pada manusia. Pusat pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan di suatu daerah terletak/berada di tangan organisasi-organisasi dalam masyarakat di daerah tersebut.
Beberapa kelebihan model pengelolaan hutan berbasis masyarakat
antara lain: 1. Mampu mendorong pemerataan dalam pengelolaan sumber daya alam, 2. Mampu merefleksikan kebutuhan masyarakat yang spesifik, 3. Mampu meningkatkan manfaat lokal bagi seluruh anggota masyarakat, 4. Mampu meningkatkan efisiensi secara ekonomi dan ekologi, 5. Responsif dan adaptif terhadap variasi kondisi sosial dan lingkungan lokal, 6. Masyarakal lokal termotivasi untuk mengelola sumberdaya alam secara berkelanjutan.
27
Keberhasilan pembangunan HTI diharapkan akan mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, serta penerimaan devisa negara. Selain itu, HTI akan membangkitkan kembali pembangunan ekonomi, karena membuka peluang bagi peningkatan investasi asing dan domestik,penyerapan tenaga kerja, penyediaan lapangan usaha, terjaminnya bahan baku industri, serta meningkatkan nilai ekspor yang berdampak terhadap perolehan devisa negara. Keberhasilan ini akan mendorong banyak aspek terkait yang berdampak pada pembangunan ekonomi nasional secara menyeluruh. Sebagai ilustrasi dapat digambarkan bahwa sampai dengan tahun 2007 pembangunan HTI di Indonesia telah mencapai 254 unit dengan luas 3.57 juta hektar. Pada tahun 2006 nilai investasi HTI sebesar US$ 3 milyar (nilai perolehan tidak termasuk nilai standingstock (tegakan), menyerap 135 ribu tenaga kerja dan mendukung 7 unit industri pulp dan kertas. Nilai investasi pulp dan kertas sebesar US$ 16 milyar dengan kapasitas produksi sekitar 8.5 juta ton/tahun (peringkat 12 besar dunia) dan menyerap tenaga kerja 178 600 orang, dengan penerimaan devisa negara dari pulp dan paper sekitar US$ 6 milyar per tahun (Barr, 2001) Keberhasilan yang diharapkan jika tidak diikuti dengan pengelolaan yang baik akan menyebabkan kerugian ekonomi yang besar. Penebangan liar, pengelolaan konsesi hutan yang sangat buruk, konversi hutan menjadi perkebunan, dan kebakaran hutan setiap tahun membuat hutan tropis Indonesia kian menyusut, komunitas-komunitas yang bergantung pada hutan dengan cepat kehilangan sumber daya alam masa depannya (Global Forest Watch, 2002). Biaya sosial, finansial dan lingkungan yang ditimbulkannya amat besar. Penebangan liar telah mengakibatkan negara kehilangan pendapatan sedikitnya
28
sebesar US$ 15 milyar setahunnya, dan hilangnya hutan langsung mempengaruhi mata pencaharian lebih dari satu milyar penduduk di negara berkembang yang hidup dalam kemiskinan yang parah. Hilangnya hutan juga diikuti oleh maraknya kebakaran, tanah longsor, dan banjir yang mengambil nyawa ribuan orang. Penebangan liar juga telah mengancam eksistensi banyak spesies yang rentan. Dampak negatif dari perusakan tersebut secara langsung dirasakanoleh masyarakat yang tinggal di sekitar hutan yaitu berupa banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, dan kekeringan dimana kualitas dan kuantitasnya semakin meningkat dari tahun ke tahun (World Bank, 2002) 2.3. Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan
berkelanjutan
(sustainability)
didefinisikan
sebagai
pembangunan multidimensional untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik untuk semua orang (Bond et al., 2001). Selanjutnya Roderic et al. (1997), menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan memerlukan pengelolaan tentang skala keberlanjutan ekonomi terhadap dukungan sistem ekologi, pembagian distribusi sumberdaya dan kesempatan antara generasi sekarang dan yang akan datang secara berimbang serta adil, serta efisiensi dalam pengalokasian sumberdaya. Pembangunan berkelanjutan adalah kerangka berpikir yang telah menjadi wacana secara internasional. Dalam Agenda 21 Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan UNDP (2000), World Commision on Environment and Development menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan atau sustainable development
adalah
pembangunan
untuk
kebutuhan
masa
kini
tanpa
29
mengorbankan kebutuhan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Murphy et al. (2005) menyatakan bahwa kebutuhan masa mendatang tergantung pada cara keterkaitan antara pertumbuhan penduduk, pengelolaan sumberdaya energi dan proteksi lingkungan secara harmonis. Melalui kerangka berpikir pembangunan berkelanjutan, maka setiap negara, wilayah dan daerah dapat mengembangkan konsepnya sendiri, baik cara maupun prioritas permasalahan yang akan diatasi dan potensi yang akan dikembangkan. Konsep ini adalah upaya menuju pembangunan industri yang memuja efisiensi dan pengembangan besar-besaran modal, tanpa memperhitungkan atau hanya sedikit sekali mempertimbangkan kerusakan alam. Banerjee (1999) menyatakan bahwa di negara-negara berkembang pembangunan lebih memprioritaskan kepada pembangunan kinerja ekonomi dan mengabaikan penanganan terhadap masalah-masalah sosial dan lingkungan seperti pengangguran, kemiskinan, kerusakan lingkungan dan buruknya akses informasi yang dimiliki oleh warga masyarakat. Ada tiga hal penting terkait dengan pernyataan Banerjee ini, yaitu pertama: lingkungan sebagai dampak dari proses pembangunan berkelanjutan, kedua: adaptasi teknologi yang terkait dengan lingkungan, dan ketiga: penemuan “kembali” alam sebagai implikasi logis dari majunya peradaban umat manusia. Pembangunan berkelanjutan memastikan bahwa generasi yang akan datang memiliki kesempatan ekonomi yang sama dalam mencapai kesejahteraannya, sepertihalnya generasi sekarang. Untuk dapat melaksanakan pembangunan berkelanjutan diperlukan cara mengelola dan memperbaiki portofolio asset
30
ekonomi, sehingga nilai agregatnya tidak berkurang dengan berjalannya waktu. Portofolio asset ekonomi tersebut adalah kapital alami, kapital fisik dan kapital manusia. Dalam paradigma ekonomi, pembangunan berkelanjutan dapat diterjemahkan sebagai pemeliharaan kapital. Ada empat variasi kebijakan mengenai pembangunan berkelanjutan : 1. Kesinambungan yang sangat lemah (very weak sustainabillity) atau “Hartwick-Solow sustainability” yang hanya mensyaratkan kapital dasar total yang harus dipelihara. Kesinambungan ini dapat dicapai dengan memastikan bahwa tingkat/ laju konsumsi berada di bawah Hicksian Income, dimana Hicksian Income ini didefinisikan sebagai tingkat konsumsi maksimum yang dapat membangun kondisi masyarakat yang lebih sejahtera di akhir periode pembangunan dibandingkan dengan kondisi awalnya. Diasumsikan natural capital dapat disubsitusi dengan kapital buatan manusia (man-made capital) tanpa batas. Dengan kata lain, deplesi sumberdaya alam tidak diperhitungkan dalam penilaian kegiatan ekonomi (Harnett, 1998) 2. Kesinambungan
yang
lemah
(weak
sustainability),
mensyaratkan
pemeliharaan kapital total, dengan kendala bahwa modal alami yang penting (critical natural capital) harus dilestarikan. Misalnya : bila sumberdaya air dan keragaman spesies merupakan hal yang penting bagi stabilitas ekosistem, sumberdaya tersebut tidak dapat dikorbankan bagi alasan-alasan pertumbuhan ekonomi. 3. Kesinambungan yang kuat (strong sustainability) mensyaratkan bahwa tidak ada substitusi bagi modal alami (natural capital), karena natural capital ini memperkuat kesejahteraan manusia dan degradasi natural capital tersebut
31
dapat dikembalikan kondisinya ke kondisi awal. Kesinambungan yang kuat mensyaratkan pemeliharaan kapital total, dengan kendala bahwa agregrat kapital total harus dilestarikan. 4. Kesinambungan yang sangat kuat (very strong sustainability) mensyaratkan bahwa kesinambungan sistem ekologi adalah esensi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Pembangunan yang bergantung pada sumberdaya (resource-dependent
“development”)
diperbolehkan,
namun
demikian,
pertumbuhan yang bergantung pada sumberdaya (resources-dependent “growth”) tidak dapat dibenarkan. Interpretasi ini mensyaratkan pemisahan setiap komponen dari natural capital. Pada kenyataannya, very strong sustainability lebih merupakan sistem daripada suatu konsep ekonomi. Suatu pembangunan, agar dapat berkelanjutan, memiliki suatu persyaratan minimum yaitu bahwa sediaan kapital alami (natural capital stock) harus dipertahankan sehingga kualitas dan kuantitasnya tidak menurun dalam suatu rentang waktu (Pearce, 1992). Pemanfaatan sumberdaya alam sebagai natural capital adalah suatu proses substraksi dan/atau penambahan materi dari dan kepada sistem alam. Proses ini kemudian menyebabkan perubahan ke dalam setiap komponen sistem alam tersebut yang berakibat pada perubahan kondisi alami dari sumberdaya. Salim (2004) menyatakan bahwa prasyarat bagi tercapainya pembangunan berkelanjutan adalah bahwa setiap proses pembangunan mencakup tiga aspek utama yaitu ekologi, ekonomi dan sosial. Tiga aspek tersebut dalam pembangunan harus berada dalam sebuah keseimbangan tanpa saling mendominasi. Lebih jauh Salim (2004) membuat matriks pembangunan berkelanjutan berikut ini.
32
Tabel 1. Matriks Pembangunan Berkelanjutan
Ekonomi Sosial Lingkungan
Ekonomi Equitable growth Sosial input ekonomi Lingkungan Input ekonomi,
Sosial Ekonomi input sosial Berantas Kemiskinan Lingkungan Input sosial
Lingkungan Ekonomi input lingkungan Sosial input Lingkungan Lestarikan ekosistem
Sumber: Emil Salim, 2004.
Fauzi (2004) mengemukakan bahwa beberapa kriteria yang dapat menjadi acuan pembangunan berkelanjutan pada prinsipnya menyangkut aspek dimensi ekologi, ekonomi, sosial-budaya, serta hukum dan kelembagaan. Beberapa literatur lain menambahkan aspek teknologi, sehingga dalam pembahasan selanjutnya digunakan dimensi ekologi, ekonomi, sosial-budaya, teknologi, hukum dan kelembagaan. Dari berbagai definisi tersebut secara umum dapat diartikan bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan suatu pendekatan pembangunan yang tidak bertentangan antara tujuan dan sasaran dalam kebijakan pembangunan ekonomi dan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup dapat memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi mendatang. Dengan kata lain, kebijakan pelestarian lingkungan hidup adalah salah satu variabel tetap (fixed variable) dalam proses pembangunan ekonomi suatu bangsa. Menurut Mitchell (1997) ada dua prinsip keberlanjutan, yaitu: 1. Prinsip lingkungan ekologi: pertama, melindungi sistem penunjang kehidupan, kedua, memelihara integritas ekosistem dan, ketiga, mengembangkan dan menerapkan strategi preventif dan adoptif untuk menanggapi ancaman perubahan Iingkungan global.
33
2. Prinsip sosial politik: pertama, mempertahankan skala fisik dari kegiatan manusia dibawah daya dukung atmosfer, kedua, mengenali biaya lingkungan dari kegiatan manusia dan, ketiga, menyakinkan adanya kesamaan sosio, politik dan ekonomi dalam transisi menuju masyarakat yang berkelanjutan. Pembangunan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan hidup, interaksi antara pembangunan dan lingkungan hidup membentuk sistem ekologi. Dalam hubungan ini Soemarwoto (2001) mengemukakan bahwa faktor lingkungan diperlukan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Faktor lingkungan tersebut meliputi: pertama, terpeliharanya proses ekologi yang esensial, kedua, tersedianya sumber daya yang cukup, ketiga, lingkungan sosialbudaya dan ekonomi yang sesuai. Soeriaatmadja
(2000)
mengemukakan
pentingnya
pembangunan
berkelanjutan dengan alasan : 1. Terbatasnya cadangan sumber-sumber yang tidak dapat diperbaharui (nonrenewable resources). 2. Terbatasnya kemampuan lingkungan untuk dapat menyerap polusi 3. Terbatasnya lahan yang dapat ditanami 4. Terbatasnya produksi persatuan luas lahan, atau batasan fisik terhadap pertumbuhan penduduk dan kapital. Ada empat prinsip pengelolaan sumberdaya alam guna mencapai pembangunan yang berkelanjutan, yaitu: 1. Optimalisasi pemanfaatan sosial ekonomi; Bahwa pengembangan sumberdaya alam harus didasarkan pada strategi yang dapat mengoptimalkan manfaat sosial dan ekonomi jangka panjang dari sumberdaya alam yang dapat diperbaharui.
34
2. Koordinasi antar bidang sektoral; Ekosistem sumberdaya alam wajib dikelola dengan memadukan kebijakan-kebijakan sektoral, perencanaan dan strategi pengelolaan guna mengoptimalisasi pemanfaatanya. Optimalisasi manfaat sosial ekonomi dapat dicapai dengan peningkatan koordinasi yang lebih balk dalam proses perencanaan atas kebutuhan pemanfaatan sumberdaya alam. 3. Multiguna
sumberdaya
alam;
Dalam
mengoptimalkan
pemanfaatan
sumberdaya, kegiatan perencanaan dan manajemen sumberdaya alam dilakukan dengan mengambil berbagai kegunaan yang dimiliki oleh sumberdaya alam yang tersedia dan dapat diperbaharui. 4. Memperhatikan kapasitas ekosistem; Pemanfaatan sumberdaya alam akan sangat bergantung peda kemampuan ekosistem sumberdaya alam tersebut dalam menyediakan sumber daya guna memenuhi permintaan. Keberhasilan dan keberlanjutan suatu sistem pengelolaan hutan erat berhubungan dengan keberadaan lembaga yang ada, penyelengaraannya serta pengembangannya. Lembaga yang ada mengacu pada seperangkat aturan yang digunakan untuk mengatur kegiatan-kegiatan yang bersifat repetitive dan yang hasilnya berpengaruh pada masyarakat luas. Pengembangan kelembagaan mengacu pada upaya penanganan dalam bentuk perencanaan, pengujian, penyempurnaan, pemantauan, dan penegakan perangkat aturan untuk menata kegiatan-kegiatan tertentu. Upaya-upaya tersebut dapat dilakukan oleh individu maupun kelompok/lembaga. Kebijakan pengelolaan hutan perlu memperhatikan: (1) hutan sebagai ekosistem yang memiliki sifat-sifat penting (produktifitas, stabilitas, fleksibilitas),
35
(2) kelestarian produksi, fungsi ekologi dan kelestarian fungsi sosial, dan (3) dinamika yang saling berkaitan antara ekosistem dengan sistem sosial. Implikasi dari pembangunan berwawasan lingkungan yang telah diuraikan di atas adalah: 1. Menjamin terpenuhinya secara berkesinambungan kebutuhan dasar nutrisi bagi masyarakat, baik untuk generasi masa kini maupun yang akan datang, 2. Dapat menyediakan lapangan kerja dan pendapatan yang layak yang memberikan tingkat kesejahteraan dalam kehidupan yang wajar, 3. Memelihara kapasitas produksi pertanian yang berwawasan lingkungan, 4. Mengurangi
dampak
kegiatan
pembangunan
pertanian
yang
dapat
menimbulkan pencemaran dan penurunan kualitas lingkungan hidup, dan 5. Menghasilkan berbagai produk pertanian, baik primer maupun hasil olahan, yang berkualitas dan higienis serta berdaya saing tinggi. 2.4. Studi-studi tentang Valuasi Ekonomi Penelitian tentang nilai ekonomi total hutan tanaman industri masih kurang sekali. Diantaranya Hasil penelitian Astana, Muttaqin dan Djaenudin (2005), tentang “Analisis Dampak Kebijakan Konversi Hutan” menunjukkan bahwa konversi hutan alam untuk HTI atau pertanian tanaman pangan tidak menyebabkan pendapatan masyarakat lebih tinggi dan distribusi pendapatan masyarakat lebih merata dibandingkan dengan mempertahankan hutan alam. Karenanya kebijakan pengembangan HTI dan pertanian tanaman pangan hanya dapat dipertahankan jika disertai upaya perubahan institusi yang lebih menjamin peningkatan dan pemerataan pendapatan masyarakat.
36
Penelitian lain adalah yang dilakukan oleh Maturana (2005) dari Cifor tentang “Biaya Dan Manfaat Ekonomi Dari Pengelolaan Lahan Hutan Untuk Pengembangan Hutan Tanaman Industri Di Indonesia”. Dalam penelitian ini dibandingkan biaya dan manfaat ekonomi dari lima perusahaan HTI terbesar di Sumatera. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dampak keseluruhan dari alokasi lebih dari 1.4 juta ha lahan negara untuk lima perusahaan perkebunan untuk keperluan produksi bubur kertas adalah negatif. Dimana biaya ekonomi lebih tinggi dibandingkan manfaat-manfaat ekonomi yang diperoleh. Penelitian lain yang terkait dengan studi ini adalah penelitian yang dilakukan Amin, Rukma, dan Marwan (2006), tentang pengelolaan HTI dengan pola MHBM dan MHR, dimana ketiganya melakukan analisis farm acounting dari pengusahaan HTI tersebut dibandingkan dengan usaha perkebunan karet dan kelapa sawit berdasarkan harga aktual, dari hasil kajian tersebut ternyata pengusahaan HTI pola MHR dan MHBM masih lebih menguntungkan dari usahatani karet dan kelapa sawit. Sedangkan studi mengenai valuasi ekonomi Hutan yang cukup intensif telah banyak dilakukan di beberapa negara maju seperti Amerika (Krieger, 2001) dan di beberapa negara Asia seperti Jepang (Yoshida dan Goda, 2001), Korea Selatan (Eom dan
Kang, 2001), Taiwan (Chen,2001), dan Indonesia
(Simangunsong dan Suparmoko, 2003).
Dalam sepuluh tahun terakhir ini
masalah penangan dan pemahaman mengenai pemanfaatan lahan hutan menjadi isu global yang sangat penting. Krieger (2001) melaporkan hasil kajiannya mengenai valuasi ekonomi ekosistem hutan di beberapa lokasi di Amerika serikat. Dalam hasil kajiannya
37
Krieger menilai ekosistem hutan dari ketersediaan air (watersheet service), stabilisasi tanah dan kontrol erosi, kualitas udara, pengaturan iklim dan carbon, keanekaragaman hayati, rekreasi dan turisme, produk komersial hutan non kayu, dan nilai budaya. Pendekatan yang digunakan dalam mengukur nilai tersebut adalah metode biaya perjalanan (travel cost method), pendekatan harga hedonic (Hedonic approach), contingen valuation, defensive (averting) expenditure, Benefit transfer, Nilai komersial (commercial value), pengeluaran bruto (gross expenditure), dan dampak ekonomi (economic impact). Institut Penelitian Mitsubishi di Jepang pada tahun 1995 secara nasional melakukan valuasi ekonomi lahan sawah di Jepang dengan menggunakan metode biaya penggantian (replacement cost method) dimana nilai seluruh areal lahan sawah di Jepang setara dengan US$ 67x109. Eom dan Kang (2001) melakukan penelitian tentang valuasi ekonomi multifungsi lahan pertanian di Korea Selatan dengan menggunakan metode biaya penggantian (replacement cost method). Di Indonesia penelitian valuasi ekonomi sumberdaya hutan yang dilakukan oleh Simangunsong (2003), memperkirakan nilai ekonomi total (TEV) sumber daya hutan mencapai US$ 1 283 sampai US$ 1 416/ha/tahun, atau kalau diambil nilai tengahnya sekitar US$ 1 349/ha/tahun. Apabila hutan ditebang diperkirakan akan terjadi kerusakan dengan nilai kerugian sebesar US$ 205.34/ha. Perhitungan ini hanya mencakup degradasi atau kehilangan nilai barang dan jasa hutan karena penebangan hutan, sedangkan nilai kayu yang ditebang belum diberikan nilai dalam penilaian ini.
38
Satu pendekatan lain dalam penelitian valuasi ekonomi sumberdaya hutan yang dilakukan oleh Suparmoko (2003) adalah dengan menggunakan nilai pungutan hutan sebagai proxy terhadap nilai hutan secara keseluruhan baik itu nilai guna dan nilai tanpa penggunannya. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa nilai pungutan hutan paling tidak sebesar 15% dari nilai dasar pungutan itu yaitu nilai hutan secara keseluruhan. Dengan pendekatan ini maka nilai hutan secara keseluruhan akan dapat diperkirakan. Penelitian tentang valuasi ekonomi pengusahaan hutan tanaman industri dimaksudkan untuk mencoba menggabungkan dan mengaplikasikan konsepkonsep valuasi ekonomi yang sesuai untuk hutan tanaman industri yang banyak mendapat perhatian serius akhir-akhir ini.