II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Pembangunan dan Pergeseran Paradigma Pembangunan Menurut Rustiadi et al. (2009) proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang sistematis dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik, dengan kata lain proses pembangunan merupakan proses memanusiakan manusia. Indonesia dan berbagai negara berkembang, seringkali mengenal istilah pembangunan lebih berkonotasi fisik, bahkan seringkali secara lebih sempit diartikan sebagai membangun infrastruktur/fasilitas fisik. Pengertian dari ”pemilihan alternatif
yang sah” dalam definisi
pembangunan diatas diartikan bahwasanya upaya pencapaian aspirasi tersebut dilaksanakan sesuai dengan hukum yang berlaku atau dalam tatanan kelembagaan atau budaya yang dapat diterima. Todaro dalam Rustiadi et al. (2009) berpendapat bahwa pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusiinstitusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Jadi pada hakekatnya pembangunan ini harus mencerminkan perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individual maupun kelompokkelompok sosial yang ada di dalamnya untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik secara material maupun spiritual. Terjadinya perubahan baik secara incremental maupun paradigma menurut Anwar (2005), mengarahkan pembangunan wilayah kepada terjadinya pemerataan (equity) yang mendukung pertumbuhan ekonomi (efficiency) dan berkelanjutan (sustainability). Konsep pembangunan yang memperhatikan ketiga aspek tersebut, dalam proses perkembangannya secara evolusi dengan berjalan melintas waktu yang ditentukan oleh perubahan keadaan sosial, ekonomi serta realitas politik. Pembangunan dapat diartikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan suatu negara/wilayah untuk mengembangkan kualitas hidup masyarakatnya.
Salah satu ciri penting pembangunan wilayah adalah upaya mencapai pembangunan berimbang (balanced development). Isu pembangunan daerah yang berimbang menurut Murty (2000) tidak mengharuskan adanya kesamaan tingkat pembangunan antar daerah (equally developed), juga tidak menuntut pencapaian tingkat industrialisasi daerah yang seragam, juga bentuk-bentuk keseragaman pola dan struktur ekonomi daerah, atau juga tingkat pemenuhan kebutuhan dasar setiap daerah. Pembangunan yang berimbang adalah terpenuhinya potensi-potensi pembangunan sesuai dengan kapasitas pembangunan setiap daerah yang jelasjelas beragam. 2.2. Disparitas Pembangunan Antar Wilayah Menurut Chaniago et al. (2000) disparitas diartikan sebagai suatu kondisi yang tidak seimbang atau ketidakberimbangan atau ketidaksimetrisan. Apabila dihubungkan
dengan
pembangunan
sektoral
atau
wilayah,
disparitas
pembangunan adalah suatu kondisi ketidakberimbangan pembangunan antar sektor dan antar wilayah yang ditunjukkan oleh perbedaan pertumbuhan antar wilayah. Disparitas pertumbuhan antar wilayah tergantung pada perkembangan struktur sektor-sektor ekonomi dan struktur wilayah (perkembangan sarana dan prasarana sosial-ekonomi, seperti sarana pendidikan, kesehatan, perumahan, transportasi, sanitasi dan lain-lain). Disparitas antar wilayah sangat terkait dengan distribusi pendapatan. Iskandar
(1993)
menjelaskan
betapa
pertumbuhan ekonomi suatu wilayah.
pentingnya
pemerataan
terhadap
Menurutnya, pertumbuhan ekonomi
terutama disebabkan oleh adanya peningkatan pendapatan dan perubahan distribusi pendapatan. Tetapi peningkatan pendapatan berpengaruh terhadap
tidak akan banyak
pertumbuhan ekonomi suatu wilayah.
Sedangkan
peningkatan pendapatan dalam arti meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara nyata. Terjadinya disparitas regional dipicu oleh adanya perbedaan faktor anugerah awal (endowment factor). Disparitas mengacu pada standar hidup relatif dari seluruh masyarakat. Perbedaan inilah yang menyebabkan tingkat pembangunan di
10
berbagai wilayah dan daerah berbeda-beda, sehingga menimbulkan gap atau jurang kesejahteraan di pelbagai wilayah tersebut (Sukirno, 1976). Menurut Myrdal (1957) perbedaan tingkat kemajuan ekonomi antar daerah akan mengakibatkan pengaruh yang merugikan (backwash effects) mendominasi pengaruh yang menguntungkan
(spread effects) yang dalam hal ini dapat
menyebabkan ketidakseimbangan. Pelaku-pelaku yang mempunyai kekuatan di pasar secara normal akan cenderung meningkat, bukannya menurun, sehingga mengakibatkan ketimpangan antar wilayah atau disparitas regional (Arsyad, 1999). Pendapat Myrdal didukung oleh Hirchman (1968) bahwa terjadinya trickle down effect dari daerah core ke daerah periphery yang lebih kecil daripada polarization effect akan menyebabkan semakin tingginya disparitas pendapatan antar daerah. Disparitas pembangunan antar wilayah merupakan fenomena universal. Di semua negara tanpa memandang ukuran dan tingkat pembangunannya. Menurut Anwar (2005),
disparitas pembangunan baik dalam aspek antar kelompok
masyarakat maupun menurut aspek spasial antar wilayah merupakan masalah pembangunan antar-wilayah yang tidak merata dan harus memperoleh perhatian sungguh-sungguh. Terlebih lagi dalam negara berkembang seperti Indonesia, yang mempunyai struktur sosial dan kekuasaan (power) yang mengandung perbedaan tajam, akibat dari sisa-sisa penjajahan, sehingga strategi pembangunan semestinya diarahkan kepada peningkatan efisiensi ekonomi yang menyumbang kepada pertumbuhan yang sejalan dengan pemerataannya (equity). Pada banyak negara, pembagian ekonomi yang tidak merata telah melahirkan masalah-masalah sosial politik. Hampir di semua negara, kebijakan-kebijakan pembangunan diarahkan untuk mengurangi disparitas antar wilayah. Namun pada banyak negara berkembang termasuk Indonesia, strategi pembangunan masa lalu yang terlalu menekankan efisiensi dan mengabaikan distribusi pemerataan ekonomi, telah melahirkan banyak kesenjangan dalam kehidupan masyarakat yang semakin melebar. Anwar (2005) juga menyebutkan bahwa dalam skala nasional, proses pembangunan yang dilaksanakan selama ini (cenderung hanya memperhatikan pertumbuhan ekonomi makro dan menekankan
11
kepada kapital fisik) ternyata pada sisi lain telah menimbulkan masalah ketimpangan pembangunan yang cukup besar dan kompleks. Ditambah dengan terjadinya ”penyakit” dari penentu kebijakan yang urban bias, menyebabkan investasi dan sumberdaya terserap dan terkonsentrasi di kawasan metropolitanmegapolitan yang menjadi pusat-pusat pertumbuhan, sementara wilayah-wilayah hinterland mengalami pengurasan sumberdaya berlebihan. Disparitas pembangunan pada akhirnya akan menimbulkan permasalahan yang dalam konteks makro sangat merugikan proses pembangunan yang ingin dicapai sebagai bangsa. Ketidakseimbangan pembangunan antarwilayah di satu sisi terjadi dalam bentuk buruknya distribusi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya yang menciptakan inefisiensi dan tidak optimalnya sistem ekonomi. Di sisi lain, potensi konflik menjadi sedemikian besar karena wilayah-wilayah yang dulunya kurang tersentuh pembangunan mulai menuntut hak-haknya. Ketidakseimbangan pembangunan menghasilkan struktur hubungan antarwilayah yang membentuk suatu interaksi yang saling memperlemah. Wilayah hinterland menjadi lemah karena pengurasan sumberdaya yang berlebihan (backwash), yang mengakibatkan aliran bersih dan akumulasi nilai tambah tertuju ke pusat-pusat pembangunan secara masif dan berlebihan sehingga terjadi akumulasi nilai tambah di kawasankawasan pusat pertumbuhan (Rustiadi et al., 2009). Namun di sisi lain, terjadinya akumulasi nilai tambah di kawasan-kawasan pertumbuhan selanjutnya mengarah kepada proses terjadinya kemiskinan dan keterbelakangan di wilayah hinterland. Akhirnya keadaan ini mendorong terjadinya migrasi penduduk ke kota-kota, sehingga timbul berbagai ”penyakit urbanisasi” yang luar biasa di perkotaan (Anwar, 2005). Ketidakseimbangan pembangunan inter-regional, disamping menyebabkan kapasitas pembangunan regional yang sub-optimal, pada gilirannya juga menihilkan potensi-potensi pertumbuhan pembangunan agregat (makro) dari adanya interaksi pembangunan inter regional yang sinergis (saling memperkuat) (Rustiadi et al., 2009). Pengukuran keberimbangan pembangunan wilayah dapat didekati dengan mengukur disparitas pembangunan antar wilayah. Disparitas pembangunan ekonomi
12
antar
wilayah
dapat
dilakukan
secara
deskriptif
dengan
memperbandingkan PDRB, pertumbuhan PDRB atau PDRB per kapita antar wilayah. Kesenjangan statis antar wilayah secara lebih terukur dapat dilakukan dengan
menggunakan
indeks-indeks
kesenjangan
spasial
seperti
Indeks
Williamson. Indeks Williamson merupakan salah satu indeks yang paling digunakan untuk melihat disparitas antar wilayah. Pengukuran didasarkan pada variasi hasilhasil pembangunan ekonomi antar wilayah yang berupa besaran PDRB. Kriteria pengukuran adalah : semakin besar nilai indeks yang menunjukkan variasi produksi ekonomi antar wilayah semakin besar pula tingkat perbedaan ekonomi dari masing-masing wilayah dengan rata-ratanya, sebaliknya semakin kecil nilai ini menunjukkan kemerataan antar wilayah yang baik. Pengukuran indeks Williamson dapat dilakukan dengan atau tanpa menggunakan penimbang. Dengan adanya penimbang tersebut, walaupun suatu daerah mempunyai PDRB per kapita yang ekstrim tinggi, namun kalau jumlah penduduknya relatif kecil, maka tidak akan terlalu menyebabkan kesenjangan terlalu tinggi. Sebaliknya walaupun besaran PDRB perkapita suatu wilayah hanya moderat saja dibandingkan wilayah lain yang kecil, namun jumlah penduduknya relatif besar maka akan menyebabkan kesenjangan secara keseluruhan.
2.3. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Disparitas Antar Wilayah Terdapat beberapa faktor utama yang menyebabkan terjadinya disparitas regional, dimana faktor-faktor ini terkait dengan variabel fisik dan sosial ekonomi wilayah. Menurut Murty (2000) faktor-faktor utama tersebut adalah: (1) Faktor Geografi Pada suatu wilayah atau daerah yang cukup luas akan terjadi perbedaan distribusi sumberdaya alam, sumberdaya pertanian, topografi, iklim, curah hujan, sumberdaya mineral dan variasi spasial lainnya. (2) Faktor Sejarah Bentuk kelembagaan atau budaya dan kehidupan perekonomian pada masa lalu merupakan penyebab yang cukup penting terutama yang terkait dengan sistem insentif terhadap kapasitas kerja dan enterpreneurship.
13
(3) Faktor Politik Instabilitas politik sangat mempengaruhi proses perkembangan dan pembangunan di suatu wilayah. (4) Faktor Kebijakan Diterapkannya kebijakan pembangunan dengan penekanan pada sektor industri sejak tahun 1980-an diduga menjadi penyebab semakin melebarnya disparitas di Indonesia. (5) Faktor Administratif Disparitas pembangunan antar wilayah dapat terjadi karena pengaruh kemampuan pengelolaan administrasi.. (6) Faktor Sosial Masyarakat yang tertinggal pada umumnya tidak memiliki institusi dan perilaku yang kondusif bagi berkembangnya perekonomian. Sedangkan masyarakat yang relatif maju umumnya memiliki institusi dan perilaku yang kondusif untuk berkembang. (7) Faktor Ekonomi Faktor-faktor ekonomi yang menyebabkan terjadinya disparitas regional diantaranya adalah sebagai berikut : a. Faktor ekonomi yang terkait dengan kuantitas dan kualitas dari faktor produksi yang dimiliki seperti lahan, infrastruktur, tenaga kerja, modal, organisasi dan perusahaan; b. Faktor ekonomi yang terkait dengan akumulasi dari berbagai faktor diantaranya adalah lingkaran setan kemiskinan, standar hidup rendah, efisiensi rendah, konsumsi rendah, tabungan rendah, investasi rendah, dan pengangguran meningkat. c. Faktor ekonomi yang terkait dengan kekuatan pasar bebas dan pengaruhnya pada spread effect dan backwash effect. d. Faktor ekonomi yang terkait dengan distorsi pasar, seperti immobilitas, kebijakan harga, keterbatasan spesialisasi, keterbatasan keterampilan tenaga kerja dan sebagainya. Menurut Tambunan (2003), faktor-faktor penyebab terjadinya disparitas ekonomi antar wilayah di Indonesia antara lain: 14
(1) Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah Ekonomi dari suatu wilayah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi akan cenderung tumbuh lebih pesat, sedangkan wilayah dengan konsentrasi ekonomi yang rendah akan cenderung mempunyai tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah. (2) Alokasi Investasi Kurangnya investasi langsung di suatu wilayah menyebabkan pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat per-kapita di wilayah tersebut rendah, karena tidak ada kegiatan-kegiatan ekonomi yang produktif seperti industri manufaktur. (3) Tingkat Mobilitas Faktor Produksi Antar Daerah Kurang lancarnya mobilitas faktor produksi seperti upah/gaji dan tingkat suku bunga atau tingkat pengembalian dari investasi langsung antar wilayah juga merupakan
penyebab
terjadinya
disparitas
ekonomi
regional.
Jika
perpindahan faktor produksi antar wilayah tidak ada hambatan, maka akan tercapai pembangunan ekonomi antar wilayah yang optimal. (4) Perbedaaan Sumberdaya Alam Pembangunan ekonomi di wilayah yang kaya sumberdaya alam akan lebih maju dan masyarakatnya lebih makmur dibandingkan dengan wilayah miskin sumberdaya alam. (5) Perbedaaan Kondisi Demografis Antar Wilayah Perbedaan kondisi demografis antar wilayah, terutama dalam hal jumlah dan pertumbuhan penduduk, tingkat kepadatan penduduk, pendidikan, kesehatan, disiplin masyarakat dan etos kerja, mempengaruhi tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi lewat sisi permintaan dan penawaran. Dari sisi permintaan, tingginya jumlah penduduk merupakan potensi besar bagi pertumbuhan pasar, yang berarti faktor pendorong bagi pertumbuhan kegiatan-kegiatan ekonomi. Dari sisi penawaran, jumlah populasi yang besar dengan tingkat pendidikan dan kesehatan yang baik, disiplin dan etos kerja yang tinggi merupakan aset penting bagi faktor produksi.
15
(6) Kurang Lancarnya Perdagangan Antar Wilayah. Ketidaklancaran perdagangan antar wilayah disebabkan terutama oleh kurang memadainya
infrastruktur,
khususnya
keterbatasan
transportasi
dan
komunikasi. Faktor infrastruktur juga sangat berpengaruh pada kinerja perdagangan luar negeri (ekspor-impor). 2.4. Disparitas Pembangunan Wilayah di Indonesia Disparitas Pembangunan pada saat ini masih banyak terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Rustiadi et al. (2009) menunjukan bahwa berdasarkan indeks Williamson, Indonesia masih memiliki disparitas
antar wilayah yang tinggi
dengan indeks disparitas sebesar 1,56. (Tabel 2). Hal ini dapat dimengerti karena dari segi geografis, Indonesia memiliki wilayah yang luas dengan tingkat keragaman antar wilayah. Setiap daerah dikaruniai sumberdaya yang berbeda, ada yang berlimpah sumberdaya alam, sumberdaya manusia, maupun buatan sedangkan ada daerah yang kurang sekali sumberdayanya. Kawasan Barat Indonesia (KBI) memiliki indeks disparitas 1,27 dengan migas dan 1,23 tanpa migas. Karakteristik wilayah dan sosial budaya masyarakat di KBI memang tak terlalu beragam antar daerah sehingga disparitas antar wilayah tidak terlalu tinggi. Beberapa daerah yang memiliki kekayaan alam berlimpah seperti Aceh dengan minyak dan gas bumi, Riau dengan minyak dan gas bumi, serta barang tambang lainnya dan hasil hutan. Disamping itu secara umum KBI memiliki tanah yang subur, yang cocok untuk pertanian atau perkebunan karena di wilayah ini banyak gunung berapi. Keadaan ini membuat pertanian serta kegiatan ekonomi secara luas lebih maju di KBI. Indeks disparitas di Kawasan Timur Indonesia mencapai 3,20 dengan migas atau 4,26 tanpa migas. Angka ini lebih tinggi dibanding KBI karena tingkat keragaman geografis dan sosial budaya masyarakat antar daerah di KTI juga lebih tinggi. Ada beberapa daerah yang berlimpah sumberdaya alam seperti Kalimantan dan Irian, sedangkan daerah di sekitarnya kurang. Daerah-daerah yang cocok untuk pertanian dan perkebunan yang intensif seperti di Sulawesi, sedangkan sebagian NTT dan NTB memiliki iklim dan tanah yang kering sehingga tidak cocok untuk pertanian. Kalimantan Timur dan Papua memiliki daerah-daerah 16
yang kaya sumberdaya alam seperti minyak, barang tambang dan hasil hutan. Karakteristik sosial budaya masyarakat di masing-masing pulau sangat beragam sehingga tingkat kemajuan yang dicapai antar wilayah juga berbeda. Tabel 2. Tingkat disparitas antar provinsi, pulau, kawasan dan nasional tahun 2000 berdasarkan Indeks Williamson IW Provinsi
IW
Migas
NonMigas
1. NAD
3,56
2,39
2. Sumatera Utara
0,31
3. Sumatera Barat
Provinsi
Migas
NonMigas
17. Kalimantan Barat
0,46
0,46
0,34
18. Kalimantan tengah
0,24
0,24
0,44
0,44
19. Kalimantan Selatan
0,33
0,31
4. Riau
0,84
0,26
20. Kalimantan Timur
1,76
0,42
5. Jambi
0,33
0,26
KALIMANTAN
2,53
0,58
6. Sumatera Selatan
0,42
0,37
21. Sulawesi Utara
0,25
0,25
7. Bangka Belitung
0,10
0,10
22. Gorontalo
0,31
0,31
8. Bengkulu
0,37
0,37
23. Sulawesi Tengah
0,20
0,20
9. Lampung
0,34
0,36
24. Sulawesi Selatan
0,48
0,48
SUMATERA
1,50
0,73
25. Sulawesi Tenggara
0,43
0,43
10. DKI
0,51
0,51
SULAWESI
0,43
0,43
11. Jawa Barat
0,81
0,83
26. NTB
0,81
0,81
12. Banten
0,79
0,79
27. NTT
0,27
0,27
13. Jawa Tengah
0,67
0,70
28. Maluku
0,67
0,67
14. DI Yogyakarta
0,40
0,43
29. Maluku Utara
0,15
0,02
15. Jawa Timur
1,38
1,61
30. Papua
3,85
4,15
16. Bali
0,39
0,39
LAINNYA
4,78
4,94
JAWA & BALI
1,18
1,31
KBI
1,27
1,23
3,20
4,26
Indonesia
1,56
1,53
KTI
Sumber : Abel (2006)
Secara deskriptif kesenjangan pembangunan antar wilayah dapat dilakukan dengan perbandingan secara langsung antara proporsi penduduk, luas wilayah dengan proporsi kontribusi wilayah terhadap PDRB secara keseluruhan (PDRB Nasional). Tabel 3 memperlihatkan deskripsi pembangunan Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) diperbandingkan. Dalam Tabel 2 terdeskripsikan bahwa di tahun 2002, KTI yang meliputi 74,2 % wilayah
17
nasional, hanya dihuni 18,7 % penduduk dan hanya menghasilkan 17,4 % PDRB Nasional. Tabel 3. Persentase penduduk, luas wilayah dan PDRB pulau-pulau di KBI dan KTI tahun 2000 dan 2002 Kawasan/Pulau
Luas Wilayah
Penduduk (%)
PDRB (%)
(%)
2000
2002
2000
2002
KBI
35,79
81,50
81,32
82,62
82,60
Jawa
10,89
61,45
58,65
59,99
60,07
Sumatera
24,62
20,92
21,15
21,27
21,09
Bali
0,28
1,55
1,52
1,37
1,43
KTI
64,21
18,50
18,68
17,38
17,40
Kalimantan
27,73
5,56
5,58
9,58
9,48
7,36
7,30
7,27
4,20
4,49
Nusa Tenggara
15,16
2,89
3,82
2,30
1,59
Papua
21,30
0,94
0,90
1,72
1,50
4,42
0,93
1,11
0,37
0,35
Sulawesi
Maluku Sumber : Rustiadi et al (2009)
2.5 Tinjauan Penelitian-Penelitian Terdahulu tentang Disparitas Antar Wilayah Williamson (1966) melakukan penelitian tentang disparitas antar wilayah di dalam negara. Williamson menghubungkan disparitas pendapatan rata-rata antar wilayah dengan berbagai faktor termasuk tingkat urbanisasi suatu wilayah. Disamping pola dan faktor penentu disparitas, Williamson juga mengamati proses terjadinya disparitas. Penelitian dan pengkajian tentang pembangunan ekonomi regional yang memfokuskan pada disparitas ekonomi antar wilayah juga banyak dilakukan di Indonesia diantaranya oleh Sjafrizal (1997) serta Welly dan Waluyo (2000) dengan menggunakan data PDRB tanpa migas tahun 1983-1997 menunjukkan indeks ketimpangan bergerak dari 0,49 – 0,54. Indeks ketimpangan Indonesia jika dibandingkan dengan kelompok negara maju (0,49-0,54) dan berpendapatan menengah (0,46) akan berada di atas rata-rata.
18
Akita dan Alisjahbana (2002) dalam penelitiannya mengukur disparitas antar wilayah di Indonesia dengan menggunakan indeks Theil. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa selama periode tahun 1993-1997, terjadi peningkatan disparitas pendapatan regional yang cukup signifikan dari 0,262 menjadi 0,287 dimana sumber disparitas yang paling besar disumbangkan di dalam provinsi (sekitar 50%). Sedangkan pada tahun 1998, indeks Theil mengalami penurunan, dimana 75% dari penurunan tersebut disebabkan karena menurunnya disparitas antar provinsi. Penelitian yang dilakukan oleh Giannetti dan Mariassunta
(2002)
menyatakan bahwa daerah-daerah khusus dengan sektor canggih pada awal periode sampel memiliki pendapatan perkapita yang lebih serupa, sementara daerah-daerah khusus dengan sektor-sektor tradisional tertinggal. Qing dan Kaiyuen (2005) menyatakan hasil empiris menunjukkan bahwa di antara semua faktor signifikan secara statistik, PDB per kapita dan dikotomi desa-kota adalah dua variabel yang paling penting yang mempengaruhi kesenjangan fiskal, dengan kontribusi total 60%. Faktor-faktor yang relatif penting lainnya adalah struktur ekonomi dan kepadatan penduduk. Epifani dan Garcia (2005) menyatakan secara khusus migrasi dari pinggiran ke inti dapat mengurangi kesenjangan pengangguran dalam jangka pendek, tetapi memperburuk keadaan dalam jangka panjang. Chen dan Groenewold (2010) menganalisis efektivitas dari berbagai kebijakan oleh pemerintah daerah dan pusat dalam mengatasi disparitas, dan menemukan bahwa kebijakan pengurangan biaya migrasi internal efektif dalam mengurangi kesenjangan output per kapita. Kebijakan peningkatan produktivitas pertanian di wilayah pedalaman paling mungkin untuk mengurangi kedua kesenjangan. Fan et al. (2011) mempertimbangkan tiga unsur strategi dalam mengatatasi kesenjangan jangka panjang, yaitu infrastruktur, investasi sosial dan perlindungan, dan reformasi tata pemerintahan. Goletsis dan Chletsos (2011) mengidentifikasi kesenjangan regional dan pola pertumbuhan daerah merupakan faktor penting yang mempengaruhi perumusan kebijakan. Indikator tunggal, biasanya PDB berbasis, pendekatan telah mengungkapkan kekurangan yang signifikan.
19