II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keadaan Hutan Indonesia dan Potensi Simpanan Karbonnya Saat ini, kondisi hutan alam tropis di Indonesia sangat mengkhawatirkan yang disebabkan oleh adanya laju kerusakan yang tinggi. Pada kurun waktu 1980-1990 laju kerusakan hutan mencapai 1,7 hektar per tahun yang kemudian meningkat menjadi 2 hektar pertahun setelah tahun 1996 (FWI/GFW,2002). Hal ini membawa konsekuensi akan perlunya upaya rehabilitasi hutan. Selain itu, diperlukan paradigma baru dalam pengelolaan hutan yang tidak hanya berorientasi pada kayu sebagai produk utama, melainkan juga pada produk-produk non kayu seperti potensi simpanan karbon. Seperti yang dikemukan Suhendang (2002), sumberdaya hutan di Indonesia memiliki potensi tinggi dalam hal keanekaragaman hayati (biodiversity) dan potensi penyerapan karbon. Menurut Suhendang (2002) memperkirakan bahwa hutan Indonesia yang luasnya sekitar 120,4 juta hektar mampu menyerap dan menyimpan karbon sekitar 15,05 milyar ton karbon. Besarnya potensi hutan sebagai penyerap dan penyimpanan karbon tersebut, memberikan peluang besar kepada Indonesia untuk terlibat dalam mekanisme perdagangan karbon yang digagas dunia Internasional sejak disetujuinya Protokol Kyoto pada tahun 1997.
2.2 Hutan Acacia mangium Acacia mangium ditemukan pertama kali oleh Rumphius pada tahun 1653 sewaktu mempelajari tumbuh-tumbuhan di kepulauan Maluku. Hasilnya baru duplikasikan pada tahun 1750 (Adisubroto et.al 1985). Acacia mangium merupakan salah satu famili Leguminosae yang sebagian perawakannya berupa pohon atau perdu. Pohon Acacia mangium bisa mencapai tinggi 30 m dan diameter 90 cm dengan batang bebas cabang antara 0-15 m (Departemen Kehutanan 1992). Acacia mangium memiliki berat jenis rata-rata 0,61 (0,43-0,66), dengan kelas awet III dan kelas kuat II-III.(Mandang dan Pandit 2002). Acacia mangium dikenal sebagai tanaman tropis basah yang cepat tumbuh serta penting bagi pembangunan HTI. Tiga hal yang melatarbelakangi tegakan Acacia mangium ini menjadi jenis tanaman untuk HTI yaitu jenis ini menjadi jenis tanaman yang
4 terpilih untuk dikembangkan, mempunyai kemampuan tumbuh cepat pada lahan yang tersedia dan manfaat yang diberikan jenis ini mempunyai nilai ekonomi yang menguntungkan. Sebagai salah satu jenis yang terpilih untuk dikembangkan dalam kegiatan reboisasi dan pembangunan HTI, keberhasilan tegakan ini untuk dapat tumbuh baik di lapangan sangat ditentukan oleh mutu bibit yang dihasilkan dari persemaian. Oleh karena itu pengelolaan persemaian sekaligus pencegahan hama dan penyakit haruslah sangat diperhatikan. Hal ini disebabkan semakin meluas hutan tanaman Acacia mangium yang cenderung bersifat monokultur dapat berisiko tinggi terserang penyakit. Jenis tegakan Acacia mangium ini mudah terserang rayap, penyakit dumping-off dan penyakit embun tepung (Downy mildew) (Departemen Kehutanan 2001).
2.3 Pemanenan Kayu Pemanenan kayu dapat didefinisikan sebagai serangkaian kegiatan kehutanan yang mengubah pohon dan biomassa lainnya menjadi bentuk yang dapat dipindahkan ke lokasi lain, sehingga dapat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat ( Suparto 1979). Conway (1982) menjelaskan bahwa pemanenan kayu merupakan serangkaian kegiatan yang dimaksudkan untuk memindahkan kayu dari hutan ke tempat penggunaan atau pengolahan kayu. Kegiatan pemanenan kayu dibedakan atas 4 (empat) komponen yaitu: 1.
Penebangan, yaitu mempersiapkan kayu seperti menebang pohon serta memotong kayu sesuai dengan ukuran batang untuk disarad.
2.
Penyaradan, yaitu usaha untuk mengangkut kayu dari tempat penebangan ketepi jalan angkutan.
3.
Pengangkutan, yaitu usaha untuk mengangkut kayu dari hutan ketempat penimbunan atau pengolahan kayu.
4.
Penimbunan, yaitu usaha untuk menyimpan kayu dalam keadaan baik sebelum digunakan atau dipasarkan, dalam keadaan ini termasuk pemotongan ujung-ujung kayu yang pecah atau kurang rata sebelum ditimbun.
5 Menurut Elias (2002), sistem pemanenan kayu dapat dikelompokkan : a. Berdasarkan energi yang dipakai : - sistem manual - sistem semi mekanis - sistem mekanis b. Berdasarkan peralatan yang dipakai : - sistem traktor - sistem kabel - sistem aerial (balon dan helikopter) - sistem gravitasi - sistem penarikan dan pemikulan kayu oleh manusia - sistem penarikan dengan tenaga hewan c. Berdasarkan bentuk dan ukuran kayu yang dihasilkan : - Full tree system - Tree length system - Long wood system - Short wood system - Pulp wood system - Chips wood system - Cut to length system d. Berdasarkan sistem silvikultur yang dipakai : - Sistem Tebang Pilih Tanaman Indonesia (TPTI) - Sistem Tebang Pilih Tanaman Jalur (TPTJ) - Sistem Tebang Habis Pemudaan Alam (THPA) - Sistem Tebang Habis Pemudaan Buatan (THPB) e. Berdasarkan mobilitas peralatan pemanenan. Sistem pemanenan hasil hutan ditinjau dari derajat mekanisasi dibagi tiga macam : 1. Sistem manual Sejak dari proses penebangan, pemangkasan cabang dan ranting, pemotongan batangbatang pohon menjadi ukuran tertentu, penyaradan hasil penebangan ke TPn serta pemuatan ke atas truk dilakukan dengan tenaga otot.
6
2. Sistem semi-mekanis Dalam sistem ini proses penebangan, pemangkasan cabang dan ranting, pembagian batang, penyaradan dan pengangkutan dilakukan secara semi mekanis. 3. Sistem mekanis penuh Sistem mekanis penuh berarti sejak dari tahap penebangan, pemangkasan cabang dan ranting, pembagian batang, serta penyaradan dan pengangkutan dilakukan secara mekanis. Sistem ini pada umumnya diterapkan pada pekerjaan yang berskala besar seperti HTI, dimana target produksi pemanenan kayu sebagai pemasok bahan baku setiap industri pulp and paper dapat mencapai jutaan meter kubik pertahunnya. Dalam merekayasa sistem dan teknik pemanenan kayu di HTI selain aspek teknis, sosialekonomis dan lingkungan juga harus dipertimbangkan terutama aspek penciptaan lapangan kerja baru (Elias 2002).
2.4 Limbah Menurut Massijaya (1998), limbah kayu dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan lokasi terjadinya limbah, limbah pemanenan kayu yang berada di hutan dan limbah pengolahan kayu yang berada di lokasi industri pengolahan kayu. Limbah pemanenan kayu merupakan massa kayu yang tidak dimanfaatkan sebagai akibat dari kegiatan pemanenan di hutan alam, dapat berupa jenis – jenis kayu non komersil/ tidak termasuk kayu mewah, kayu dekoratif dengan penggunaan tertentu, kayu bulat dengan diameter kurang dari 30 cm tanpa batasan panjang, dan kayu bulat dengan panjang kurang dari 2 meter tanpa batasan diameter. Meulenhoff (1972) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan limbah eksploitasi adalah sisa primer yang ditinggalkan dalam hutan sebagai akibat kegiatan eksploitasi. Limbah ini bisa terdiri dari: a. Tunggak – tunggak yang berbanir atau tidak berbanir. b. Ujung pohon atau bagian pohon di atas batang bebas cabang termasuk cabang atau ranting. c. Sisa batang bebas cabang setelah dipotong-potong dengan panjang tertentu.
7 d. Kayu bulat yang tidak memenuhi syarat pengujian kayu karena cacat, bengkok, dan pecah. e. Pohon-pohon belum dikenal atau belum ada pemasarannya (non komersil). f. Pohon-pohon lain yang rusak akibat kegiatan penebangan. Kegiatan penebangan ini meninggalkan banyak limbah yang meliputi limbah tunggak, limbah cabang dan ranting, limbah batang atas, limbah potongan pendek. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kartika (2004) diketahui bahwa limbah yang dihasilkan dari kegiatan pemanenan adalah sebesar 23,268%. Jika ditinjau dari asal limbah maka untuk limbah cabang dan ranting merupakan asal limbah yang paling besar (13,115%) sedangkan asal limbah paling kecil adalah potongan pendek (1,493%). Menurut Darusman (1989), telah banyak ditelaah hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya limbah. Beberapa pakar eksploitasi mengemukakan bahwa limbah kayu di areal penebangan terutama terjadi karena cara pengerjaan yang kurang memperhatikan efisiensi, desain peralatan yang tidak sesuai, organisasi kerja yang kurang baik dan permintaan jenis produk yang kurang menguntungkan. Disamping itu ada faktor-faktor alami yang dipersalahkan sebagai penyebab timbulnya limbah kayu di areal penebangan, yakni topografi berat, musim hujan dan lain-lain.
2.5 Biomassa Brown (1997) mendefinisikan biomassa pohon sebagai jumlah total bahan organik hidup di atas tanah pada pohon termasuk daun, ranting, cabang dan batang utama yang dinyatakan dalam berat kering oven ton per unit area. Selain itu jumlah dari biomassa pohon merupakan selisih antara hasil fotosintensis dengan konsumsi untuk respirasi dan proses pemanenan. Penentuan biomassa dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui besarnya biomassa yang terkandung dalam petak tebangan dan dalam limbah pemanenan. Hampir 50% dari biomassa dari vegetasi hutan tersusun atas unsur karbon dimana unsur tersebut dapat di lepas ke atmosfer dalam bentuk karbondioksida (CO2) apabila hutan tersebut dibakar. Biomassa dapat dibedakan ke dalam dua kategori yaitu biomassa di atas tanah (above ground biomass) dan biomassa di bawah permukaan tanah (below ground biomass). Biomassa di atas tanah adalah berat bahan unsur organik per unit area pada
8 waktu tertentu yang dihubungkan ke suatu fungsi sistem produktifitas, umur tegakan hutan dan distribusi organik. Pendugaan biomassa vegetasi dapat menyediakan informasi tentang simpanan karbon dan nutrisi di dalam vegetasi. Model persamaan allometrik penduga biomassa tegakan telah dikembangkan oleh Brown (1997) dalam berbagai jenis hutan yang dikelompokkan berdasarkan curah hujan (Tabel 1). Persamaan yang dikembangkan menggunakan parameter diameter yang diukur setinggi dada orang normal atau dbh (1,3 m) dan tinggi total. Penyusunan model allometrik biomassa tegakan juga telah dilakukan Ogawa et al (1965) yang menghasilkan persamaan: Ws = 0,0396 ( D²H) 0, 6326 yang berlaku untuk Ws = biomassa batang, D = diameter dan H = tinggi Tabel 1. Persamaan allometrik penduga biomassa tegakan Tempat tumbuh No
Range
Jumlah
DBH
sampel
(cm)
pohon
Y = 0,1329D²·³²
5 - 40
28
0,89
Lembab
Y = 42,69 – 12,8D + 1,242D2
5- 148
170
0,84
(1500 - 4000)
Y = 0,118D²·³¹
5- 148
170
0,97
Basah (>4000)
Y = 21,3 – 6,95D + 0,74D2
4 - 112
169
0,92
Curah Hujan
Persamaan
(mm/th) Kering
1
(< 1500 )
2 3
R2
Sumber : Brown (1997)
Menurut Chapman (1976) dalam Sumanti (2003), secara garis besar metode pendugaan biomassa di atas permukaan tanah dapat dikelompokkan menjadi dua cara, yaitu :
a. Metode Pendugaan Langsung 1. Metode Pemanenan Suatu Tegakan Metode ini dapat digunakan pada tingkat kerapatan yang cukup rendah dan komunitas dengan jenis yang sedikit. Nilai total biomassa yang diperoleh dengan menjumlahkan biomassa seluruh tegakan dalam suatu unit area sampel 2. Metode Pemanenan Kuadrat.
9 Metode ini mengharuskan memanen semua tegakan dalam suatu unit area sampel dan menimbangnya. Nilai total biomassa diperoleh dengan mengkonversi berat bahan organik tegakan yang dipanen di dalam suatu unit area sampel. 3. Metode Pemanenan Tegakan yang Mempunyai Luas Bidang Dasar Rata-rata. Metode ini cukup baik untuk tegakan dengan ukuran seragam. Dalam metode untuk tegakan yang ditebang ditentukan rata-rata diameternya lalu ditimbang beratnya. Nilai total biomassa diperoleh dengan menggandakan nilai berat rata-rata dari semua tegakan sampel.
b. Metode Pendugaan Tidak Langsung 1. Metode hubungan allometrik Persamaan allometrik dibuat dengan mencari korelasi yang paling baik antar dimensi pohon dengan biomassanya. Sebelum membuat persamaan tersebut, pohon-pohon yang mewakili sebaran kelas diameter ditebang dan ditumbangkan. Nilai total biomassa diperoleh dengan menjumlahkan semua berat individu pohon dari suatu unit area tertentu. 2. Metode Crop Meter Pendugaan biomassa metode ini dengan cara menggunakan seperangkat peralatan elektroda listrik yang kedua kutubnya diletakkan di atas permukaan tanah pada jarak tertentu. Biomassa tumbuhan yang terletak antara dua elektroda dipantau dengan memperhatikan alectrical capacitance yang dihasilkan alat tersebut. Adinugroho dan Sidiyasa (2006) mengelompokkan komponen-komponen penyusun biomassa pohon di atas permukaan tanah sebagai berikut : a. biomassa batang utama + kulit b. biomassa cabang c. biomassa ranting d. biomassa daun e. biomassa tunggak Pengukuran biomassa tunggak, batang, dan cabang beraturan dihitung menggunakan pendekatan volume dikalikan kerapatan kayu pada setiap bagian komponen tersebut.
10 Untuk pengukuran biomassa daun, ranting dan cabang tidak beraturan dilakukan dengan cara penimbangan secara langsung.
2.6 Kerapatan Kayu (Wood Density) Kerapatan kayu merupakan perbandingan massa kayu kering oven (gr) dengan volumenya (cm3) (Haygreen dan Bowyer 1996). Brown (1997) juga menegaskan bahwa kerapatan kayu merupakan massa kayu kering oven per satuan volume (ton/m3 atau gram/cm3). Sedangkan berat jenis erat kaitannya dengan kerapatan kayu, dimana berat jenis diperoleh dengan membagi nilai kerapatan kayu dengan kerapatan air ( 1 gr/cm3) sehingga berat jenis tidak mempuyai satuan (Haygreen dan Bowyer 1996). Berat jenis kering udara bagi suatu tempat tertentu bersifat agak tetap. Di Indonesia umumnya kayu yang diperdagangkan bersifat sangat basah. Pada keadaan pengarangan yang sama kayu-kayu dengan berat jenis yang lebih tinggi akan memberi arang kayu yang lebih keras dan lebih berat pada tiap kesatuan isi dari pada kayu-kayu dengan berat jenis yang lebih rendah (Seng 1990).
2.7 Karbon Umumnya kandungan karbon dalam hutan berkisar antara 45-50% dari biomassa dari vegetasi hutan (Brown, 1997). Sehingga untuk perhitungan karbon dari hasil perhitungan biomassa tersebut dikonversi bentuk C (ton C/ha) yaitu dengan mengalikan faktor konversi sebesar 0,5 (Handayani, 2002). Kandungan karbon dalam hutan dapat diduga dengan menggunakan rumus C=B X 0,5 Dimana : C= Jumlah stok karbon (ton/ha) B= Biomassa diatas tanah Tahapan penentuan kandungan karbon dari sampel tegakan adalah sebagai berikut : 1. Menghitung kandungan karbon per pohon dengan mengunakan rumus: C= B X 0,5 2. Hasil dari perhitugan kandungan karbon perpohon dikalikan dengan jumlah individu per ha maka diperoleh kandungan karbon per ha. Setelah itu hasil perhitungan C dikonversi dalam bentuk CO2 dengan mengalikan hasil perhitungan C tersebut dengan faktor konversi sebesar 3,67 (Handayani, 2002). Nilai tersebut diperoleh dari rumus kimia C bentuk matematis sebagai berikut :
11 CO2 = C X 3,67 Dimana : CO2 = Kandungan karbondioksida (ton/ha) C = Kandungan karbon (ton/ha)
2.8 Kadar Abu Kadar abu adalah jumlah oksida-oksida logam yang tersisa pada pemanasan yang tinggi. Abu tersusun dari mineral-mineral terikat kuat pada arang seperti kalsium, kalium dan magnesium. Komponen utama abu dalam beberapa kayu tropis ialah kalium, kalsium, dan magnesium dan silika. Galat dalam penetapan kadar abu dapat disebabkan oleh hilangnya klorida logam alkali dan garam-garam amonia serta oksida tidak sempurna pada karbonat dari logam alkali tanah (Achmadi,1990). Menurut Haygreen& Bowyer (1982) kayu mengandung senyawa organik yang tetap tinggal setelah terjadi pembakaran pada suhu tinggi pada oksigen yang melimpah, residu semacam ini dikenal sebagai abu. Abu dapat ditelusuri karena adanya senyawa yang tidak terbakar yang mengandung unsur-unsur seperti kalsium ,kalium ,magnesium ,mangan dan silika. Karena mineral-mineral yang penting untuk fungsi fisiologis pohon cenderung terkonsentrasi dalam jaringan kulit, kadar abu kulit biasanya lebih tinggi daripada kayu.
2.9 Kadar Zat Terbang Kadar zat terbang menunjukan kandungan zat-zat yang mudah menguap yang hilang pada pemanasan 950°C yang terkandung pada arang. Secara kimia zat terbang terbagi menjadi tiga sub golongan yaitu senyawa alifatik, terpena dan senyawa fenolik. Zat-zat yang menguap ini akan menutupi pori-pori kayu dari arang (Haygreen & Bowyer 1982). Zat mudah terbang adalah persentase gas yang dihasilkan dari pemanasan arang yang ditetapkan pada temperatur dan waktu standar yaitu pada 950 ± 20°C selama 2 menit (ASTM 1996 b).