II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyakit Hawar Daun Pinus merkusii
Berbagai penyakit pada berbagai jenis Pinus yang sudah diketahui baik di pesemaian maupun di lapang pada hutan tanaman atau hutan slam, di antaranya adalah: a. Layu Diplodia yang disebabkan oleh Diplod.ia.pinea dengan serangan pada pucukpucuk vegetatif yang didahului infeksi pada kerucut bunga
Pinus nigra, P.
ponderosa, dan P. sylvestris (Snyder dan Derr 1972); b. Layu daun dengan gejala bercak coklat yang disebabkan oleh Scirrhia acicola pada P. palustris (Snyder dan Deri 1972); c. Kara! Fusiform pada bibit P. elliottii Engelm. var. elliottii dan P. taeda L. yang disebabkan oleh Cronartium fusiforme (Blair dan Cowling 1974, Miller dkk. 1977); d. Layu pangkal batang yang disebabkan oleh Colletotrichum acutatum f. sp. pinea pada bibit P. radiata D. Don (Nair dan Corbin 1981); e. Penyakit Fox-tail merupakan gejala kelainan pertumbuhan pada P. merkusi muda, juga dijumpai pada P. canariensis, P. caribaea, P. cembraides, P. echinata, P. elliotii. P. oocarpa, P. palustris, P. radiata, P. taeda, dan P. tropicalis (Suharti clkk. 1986);
f.
Lodoh P. merkusii yang disehabkan oleh Rhizoctonia sp. dan Fusarium sp. yang menyerang benih yang akan berkecambah sampai bibit berumur 2 bulan (Achmad 1996). Di Indonesia, kecuali lodoh, beberapa penyakit pada P. merkusii belum banyak
dikenal dan sering diabaikan perannya dalam merugikan bibit di pesemaian danlatau
tegakan di lapang. Sementara itu Ncrhamara (1986) mendapatkan P. sylvestris umu: 12 tahun dengan gejala terhambatnya pertumbuhan dan P. kesiya dengan gejala sapu
setan ("witches broom") dan kemunykinar: adanya resinosis. Namun demikian secara endemis, kedua penyakit pinus eksotik tersebut belum ditemukan di Indonesia. 2.1.1. Patogen dan Gejalz Penyakit
Khusus Pestalotia yang menyebabkan penyakit pada pinus seperti tertera pada monograf yang dikeluarkan Guba (1961) adalah sebagai berikut: a.
Pestalatia funerea Desmb. dengan beberapa sinonim di antaranya P. abietina Rown., P. cesati Rabh., dan P. cupressina Niessl. Fungi ini ditemukan menyerang: Pinus taeda L., P. sylvestris, P. panderasa Laws., P. divaricata, P. pinaster Ait., P. canariensis L. Smith, P. longifolia Slibs., P. insignis Mill., P. radiata, P. massoniana Lamb., dan P. palustris, di samping dapat menyerang Cupressus lusitanica Mill., Casuarina leptoclada Miq., dan Thuja occidentalis L. Fungi ini memiliki penyebaran yang sangat luas yaitu meliputi Eropa, Afrika, Asia, Australia, dan Amerika (Anonim 1976).
b. Pestalotia stavensonii Peck., Bull. dengan beberapa
sincnim di antaranya: P.
strobilicola Speg. dan P. conigena Vagl. Fungi ini ditemukan menyerang Pinus edulis Engelm, P. panderosa Laws., P. rigida Mill., P. strobus L., dan P. silvestris, di samping dapat menyerang daun jarcrm beberapa jenis Abies dan Picea. c. Pestslotia foedans Sarcc. & Ell. ciengan beberapa sinonim di antaranya P. ramealis Fries. dan P. shiraiana P. Henn, dapat menyerang Pinus mcga Turra, P. radiata D. Don, P. palustris Mill., P. strobus, P. ramealis Fries., dan P. austriaca Link.; di samping itu fungi ini dapat menyerang jenis tanaman daun jarum lain seperti Thuja occidentalis L., Juniperus sp., dan Cryptomeria japonica D. Dan.
Pestslotia pada pinus tcrsebut ditemukan di daun danlatau kerucut bunga, namun tidak dijelaskan lebih jauh tingkat serangan dan epidemiologinya. Dalam identifikasi jenis Pestalotia, morfologi konidiospora fungi ini merupakan ciri yang
penting.
Konidiospora biasanys 4-6 sel dengan setula yang jumlahnya
bervariasi 2-5, dan pedisel di pangkalnya. Ukuran konidiospora dan apendiksnya juga sangat pen!ir?g dalam penentuan jenis Pestalotia. Gejala penyakit daun bibit P. merkusii yang diserang Pestalotia menurut Rahayu (2000) muncul mula-mula pada bagian ujung tajuk yang masih muda, kemudian diikuti oleh mengeringnya tajuk tersebut dan akhirnya bibit mati. Gejala serangan biasa dimulai di pucuk kotiledon pada umur bibit 2,5 bulan yang diikuti oleh daun tunggal, dan daun jarum.
Dari ujung daun yang berwarna kecoklatan, infeksi
kemudian berkembang ke arah pangkal; pada bagian daun yang kering karena terinfeksi sering dijumpai bintik-bintik hitam yang muncul dari bawah epidermis yang merupakan kumpulan konidiospora yang dihasilkan dari aservulus (Sutarman dkk. 2G01).
Gejala serzngan Pestalotia yang terlihat pada daun lebar seperti yang dikel-nukakan oleh Sharma dan Florence (1997) adalah bahwa awalnya terjadi bercakbercak cokiat memanjang pada ujung dan tepi daun serta yang kemudian bercakbercak !ersebut berkembang dan berhubungan atail menyatu, namun perkembangan penya~itsampai pada tingkat demikian tidak menyebabkan pengguguran daun. 2.1.2. lnteraksi Tanaman-Patogen
Terjadinya penyakit di pesemaian tidak lepas kaitannya dengan kondisi tegakan tempat dilakukan pengumpulan benih.
Kemungkinan yang terjadi di lapangan adalah adanya individu pohon P. merkusii yang terserang patogen penyebab hawar daun atau tegakan baik sebagai sub
ekosistem maupun sebagai suatu ekosistem hutan. Suatu lndividu danlatau kelompok pohon pinus yang sehat akan memiliki implikasi yang sangat jauh berbeda dengan hutan pinus yang sakit.
Oleh karenanya pemahaman keadaan sakit bagi tanaman ini
menjadi penting. Di lain pihak fakta menunjukkan bahwa di dalam suatu kawasan atau kelompok tanaman hutan, selalu dijumpai beberapa individu pohon dengan gejala penyakit tertentu.
Dengan demikian konsep tentarig penyakit hutan menjadi lebih
memberikan implikasi yang luas dan penting dibandingkan dengan individu tanaman sakit. Menurut Hadi (1986), hutan dikatakan sakit bila pohon-pohon di dalamnya mengalami tekanan secara terus menerus oleh faktor-faktor biotik atau oleh faktorfaktor abiotik (fisik atau kimia) lingkungannya sedemikian rupa hingga timbullah kerugian. Kerugian itu dapat dalam bentuk kualitas danlatau dalam bentuk kuantitas produksinya. T e k a ~ a nterjadi karena adanya interaksi yang terus menerus antara pohon dan faktor-faktor tersebu: yang dapat berakibat terbentuknya gambaran yang tampak dengan jelas yang disebut "gejala" dan dapat pula tidak jelas karena interaksi berjalan sangat lambat. Jika di!ihat dari perkembangan geja!anya, diduga infeksi Pestalotia pada P.
merkus~r terjadi sebagai hasil penguraian oleh enzin yang rnenghidrolisis komponen dinding sel di samping akibat luka mekanis. Dinding sel daun di antaranya tersusun atas senyawa-senyawa kutin, selulosa, dan pektin yang berfungsi sebagai penahan fisik terhadap penetrasi fungi. Untuk mengatasi halargan tersebut, seperti dinyatakan oleh Goodman dkk.
(1987) patogen harus memproduksi enzim pendegradasi
senyawa-senyawa tersebut seperti kutin esierase, karboksikutin-peroksidase, polimetilgalakturonase,
pektin
transeliminase
dan
pektik-asid
transeliminase,
pektin
metilesterase, serta enzim-enzim selulolitik. Enzim pektinolitik dihasilkar! oleh banyak kelompok dan jenis mikroorganisme. Enzim ini bekerja pada bahan pektik sebagai polisakarida struktural di lamela tengah dan dinding sel primer tanaman tingkat tinggi (Bailey dan Pessa 1990). Lebih lanjut dikemukakan bahwa sehubungan dengan keragaman yang luas bahan pektik pada tanaman yang berbeda, kisaran yang lebih kompleks enzim pendegradasi pektin telah dapat
diidentifikasi
termasuk:
endopoligalakturonase
(poli-I ,4-oc-D-galakturonida
glikanohidrolase, EC 3.2.1.15), pektin esterase (pektin pektilhidrolase, EC 3.1.1.11), dan pektat liase (polil,4-a -D-galakturonida liase, EC 4.2.2.2). Enzim yang bertanggung jawab dalarn proses maserasi yang mengakibatkan disintegrasi jaringan oleh pemisahan sel ini sangat dipengaruhi oleh pH. Menurut Barmore dan Nguyen
(1985) pH 5,O adalah optimum bagi poligalakturonase, dan
kondisi reaksi kiinia 3i etas pH optimum akan menyebabkan s u a t ~inhibitor Serupa protein (dengan berat moiekul 54000 dalton), yang dise~resikan oleh Diplodia natalensis
baik secara "invitro" maupun "invivo",
dapat membentuk kornpleks
inhibitor-poligalakturonase yang cara kerjanya bersifat kompetiiif terhadap
enzim
tersebut. Tanaman sendiri akan bereaksi terhadap patogen melalui pengaMivan sejunlah mekanisme pertahanan yang melibatkan perubahan-perubahan fisik dan kimia serta pengembangan fungsi dinding set dengan cara: akumulasi glikoprotein (hidroksiprolin), lignifikasi dan suberisasi, deposisi halosa, dan akumulasi senyawa-senyawa fenolik (Broglie dkk. 1993).
Polifenoloksidase msrupakan enzim kunci berfungsi dalam mengoksidasi senyawa fenolik tanaman dan berfungsi dalam ketahanan tanaman. Menurut Martyn dkk. (1979) polifen~loksidasepada bibit kapas terdapat di hipokotil dan berada di se!sel epidsrmis, korteks, endodermis, dan set-set di stele; pada tanaman sehat, produk reaksi berada di ruang tilakoid dan saluran "fret" kloroplast hanya pada tiga tipe sel yaitu: parenkim vaskular, lapisan seludang, dan sel-sel penyimpan fenol, sedang pada daun sakit, produk reaksi terdapat di sernua set yang mengandung kloroplast. Peroksidase yang juga sebagai enzim yang penting dalam mekanisme pertahanan tanaman, berperan dalarn pengoksidasian senyawa fenolik
dan metabolit
lain dalam rangka penyusunan komponen dinding sel (Ebermann dan Lick1 1985, Podleckis d ~ k . 1984).
Sebagaimana dikemukakan Grec (1992) baik aktivitas
polifenoloksidase maupun peroksidase juga merupakan bagian dalam proses respirasi tanaman yang melibatkan transfer elektron. Menurut Nakano dan Edward (1987) di dalam kloroplas, fotoreduksi O2
yang tidak dapat dihindari di daun ini dapat
mengakibatkan pembentukan 0 2 - dan H202 yang jika tidak dibuang dapat merusak piranti fotosintetis dan rnenghambat fiksasi C02. Selanjirtnya dikemukakan bahwa pacia klorofil tanaman C3, di bawah penyinaran cahaya, 0 2 - diubah menjadi H202dan O2oleh superoksida dismutase, dan kemudian H202dicerna olen askorbat peroksidase. Pematahan halangan fisik-kimia
dinding sel tersebut merupakan tahap awal
meka~ismepengambilan sumber energi. Seianjutnya seperti yang dikemukakan oleh Asahi dkk. (1979), patogen akan mengembangkan sistem pemindahan bahan terlarut dengan dinamika membran plasma dan variasi sistem turgor sebagai pengendali dalam pengambilan bahan terlarut; kemudian patogen melakukan sintesis makrornolekul dan memelihara pertukarannya.
2.2. Epidemiologi Penyakit
Epidemiologi adalah ekologi penyakit dan aplikasi praktisnya dalam pengelolaan penyakit.
Hal ini berkaitan dengan aspek kuantitatif penyakit pada tingkat individu
populasi, cian ekosistern (Tainter dan Bakei- 1996). Selanjutnya dikemukakan bahwa memaharni bagaimana penyakit pada tiap tingkatan tersebut berubah menurut waktu dan ruang merupakan ha1 yang penting (kritis) dalam
upaya untuk mengendalikan
penyebarannya. Van der Plank (1963, diacu oleh Rowe dan Powelson 1973) menggolongkan epidemi penyakit tanaman dalarn dua kelompok yaitu: (I)Penyakit "Simple interest" yaitu penyakit yang sumber inokulumnya tertentu dan peningkatan penyakit berdasarkan waktu menurut deret hitung, ( i ~ )Penyakit "Compound interest" yaitu penyakit yang merniliki sumber inokulum sekunder yang berkembang dari infeksi primer, dan peningkatan penyakit bersifat eksponensial. Patogen dan inang sebagai kornponen
suatu ekosistem akan berinteraksi
sepanjang waktu dengan evolusi dan koevolusi sebagai hasil responsnya terhadap perubahan kondisi lingkungan.
Dalam kajian fitopatologi, unsur-unsur "segitiga
penyakit" ysitu inang, patogen, dan lingkungar! saling berinteraksi yang dalam perkernbangannya dipengaruhi oleh unsur keempat yaitu waktu (Agrios 1997). Dari segi patogen, Nelson (1979) menunjukkan pada kinel-ja parasit yang mencerminkan adanya suatu evolusi, dengan komponennya: kemampuan selektif populasi parasit yang baru (wujud ekspresi gen), efisiensi infeksi, periode laten, produksi inokulum, virulensi, dan ketahanan nonparasitik.
Urtuk segi tanaman, biasanya dilihat pada
penampilannya dalam ha1 ketahanan terhadap serangan patogen. Seleksi, pemuliaan, bahkan sampai rekayasa genetika biasanya dilakukan untuk tujuan mencari varietas
tahan atau toleran. Beberapa penelitian yang bersifat penemuan varietas yang tahan dan toleran terhadap patogen-patogennya telah di!akukan misalnya pada P. palustris terhadap Scirrhia acicola penyebab becak coklat daun (Snyder dan Derr 1972), dan F. nigra, P. panderosa, serta P. sylvestris
terhadap Diplodia pinea penyebab layu
Diplodia (Peterson 1977). Lingkungan baik biotik maupun abiotik akan sangat berpengaruh terhadap patogen dan inang. Tahap pya-disposisi, inokulasi, dan keberhasilan infeksi, seperti dinyatakan Celhoun (1979) sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan seperti: suhu, kelembaban, cahaya, dan nutrisi.
Blair dan Cowling (1974)
menunjukkan
pengaruh tapak terhadap epidemi karat "fusiform" pada anakan P. taeda dan P. elliottii. Lebih lanjut dijelaskan bahwa infeksi karat pada suatu tapak dapat diduga melalui pengamatan jumlah basidiospora di udara dan parameter cuaca lainnya. Sementara itu menl~rutHuber dan Gillespie (1992) kelembaban nisbi udara bersama-sama dengan kebasahan daun berpengaruh terhadap produksi dan pelepasan inokulum. Suhu udara tidak hanya berpengaruh pada patogen tular udara, tetapi juga terhadap patogen tular tanah
(Pullman dan DeVay 1982a); faktor lingkungan ini
terlitama secara langsung mempengaruhi ketahanan inang terhadap serangan patogen.
Suhu dan kelembaban juga mempengaruhi ketahanan inokuium patogen
yang terakumulasi di tanah. Punja dan Jenkins (1954) menunjukkan pengaruh kedua knmponen cuaca tersebut bersama-sama dengan konsentrasi C 0 2 dan O2 terhadap ketahanan sklerotium Sclerotium rolfsii pada kedalaman tanah 2,5 cm yang mampu berkecambah pada kelembaban nisbi 80-100%, suhu (Y,) antara -2,5 dan -10 bar.
21-30 OC, dan potensi matriks
Sehubungan dengan sifat Pestalotia sebagai parasit ncnobligat, maka sumber inokulum penyakit daun jarum ini dapat terakurnulasi di kerucut biji ("cone") atau pada sisa tanaman yang sudah terinfeksi sebelumnya dan gugur
ke bawah tegakan.
6erkait6n dengan itu, cara pzngarnbilan atau pengangkutan benih dapat menjadi penyebab akumulasi atau pengkonsentrasian inokulum potensial. Menurut Sutherland dan Wood (1978) prosedur pengambilan benih mempengaruhi munculnya penyakit yang disebabkan oleh Geriiculodendron pyriforme pada Picea sitchensis; pada biji yang diambil langsung dari pohon tidak dijumpai fungi patogen ini. Dalam penelitian epidemiologi, salah satu keluarannya adalah pemanfaatan model yang dibangun dari berbagai data komponen penyusun epidemi untuk keperluan perkiraan kemunculan danlatau perkembangan penyakit lebih lanjut serta kerugian atau kehilangan hasil. Hasil penelitian Pulma dan DeVay (1982b) menunjukkan kerugian atau kehilangan hasil kapas akibat
layu Verticillium yang dapat diperkirakan dan
dihitung sekitar 2 minggu sesudah gejala pada daun muncul.
2.3.
Analisls Kerugian
Kerugian yang dimaksud da!am penelitian ini adalah kerugian hasil ("damage") yaitu
penurunan kualitas dan kuantitas bibit P. merkusii sebagai akibat kerusakan
("injury"), yang disebabkan oleh sersngan penyakit hawar daun P. merkusii, yang dapat meilimbulkan kerugian uang ("loss"). Kerugian atau kehilangan ("loss") oleh Madden dkk. (1981) didefinisikan sebagai ukuran kuantitatif danlatau kualitatif berkurangnya hasil (panen) sebagai akibat serangan penyakit.
Untuk menaksir kehilangan hasil,
kehilangan itu terjadi.
harus diketahui bagaimana
Kepentingan utama dalam kegiatan
pengukuran atau
penaksiran kehilangan hasil tersebut dalam perspektif perlindungan tanaman adalah untuk
menentukan tingkat
kehilangan
mempertimbangkan perpaduan aspek
hasil
yang
dapat
diterima
dengan
biologi, ekonomi, dan fisik dalam sistem
pengelolaan pertanaman. Menurut Heaton dkk. (1981), terutama pada kasus penyakit tanaman hortikultura (tanaman buah dan kacangan), suatu pendekatan
untuk menghitrlng
perkiraan kehilangan adalah pengukuran pengurangan keuntungan bersih usaha pertanaman tersebut sebagai akibat serangan penyakit.
Hal ini penting dalam
pengambilan keputusan yang optimal bagi pengelolaan tanaman, perencanaan penggunaan fungisida, dan prioritas penelitian yang harus dilakukan berikutnya. Perkiraan kehilangan hasil karena penyakit akan bermanfaat bagi berbagai keperluan seperti: evaluasi sistem pengendalian penyakit dan dalam pengalokasian sumber daya bagi penelitian, terutama dalam tahap awal penyelidikan penyakit yang menyebabkan kerusakan serius (Gooding dkk. 1981). Selanjutnya dikemukakan pula bahwa kajian kehilangan hasil secara komersial dengan inokulasi alami di lapangan akan dapat membeiikan hasil yang sangat berbeda dengan kajian serupa yang dilakukan dengan inokulasi buatan di rumah kaca. Pada kasus penyakit hawar daun bibit pinus terdapat perbedaan pendekatan da!am menilai kerugian atau kehilangan hasil akibat penyakit di pesemaian. Bibit P.
rnerkusii, sebagai tanaman yang tidak mentintut persyaratan tempat tumbuh yang tinggi pada ketinggian 200-2000 m dpl dan struktur tanah yang sarang sampai cukup sarang dengan pH 4,5-53, ditanam di lapangan pada jarak tanam 3 m x 2 m (Atmawidjaya 1986). Dengan demikian dalam 1 ha diperlukan 2.000 bibit termasuk untuk keperluan penyulaman (Sumber: KPH Cianjur). Oleh karenanya jika sejumlah x bibit mati atau
rusak akibat penyakit hawar daun, maks penyakit tersebut akan mengakibatkan tertunda atau gagalnya penanaman pinus sebanyak x/2000 ha. Dalam melakukan analisis kerugian akibat serangan penyakit, diperlukan konsistensi dalam menilai berat serangan penyakit baik terhadap individu maupun kelompok tanaman.
Untuk itu harus ditentukan pengelompokan berat serangan
berdasarkan kriteria tertentu sehingga akan diperoleh lndeks Penyakit suatu pertanaman pada waktu tertentu pula. Sehubungan dengan penentuan intensitas penyakit di lapang (hutan tanaman atau hutan alam), metodenya mirip yang digunakan untuk
daun lebar. Hadi dan
Nuhamara (1997) dan Old (1997b) menetapkan berat penyakit pada pohon Acacia mangium dengan tingkatan serangan: nihil, rendah, sedang, dan berat dengan skor
masing-masing adalah 0, 1, 2, dan 3. Tetapi untuk penilaian di pesemaian, tampaknya pemberian skor bisa diperbesar sampai nilai 4 dengan pertimbangan bahwa pembedaan gejala yang lebih teliti mungkin untuk dilakukan oleh pengamat.
2.4.
Prospek Pengendalian dan Aplikasi Fungisida
Secara umurn cara pengendaliar! penyakit tanaman (Agrios 1986) terdiri atas:
(a) penerapan peraturanlundang-undang yang bertujuan untuk meniadakan patogen dari inang atau daerah gecgrafis tertentu; (b) kultur teknis yang bert~juanuntuk penekanan kontak tumbuhan denyan patcgen dan mengeradikasi atau penurunan jumlah patogen yang terdapat pada tumbuhan, lahan atau daerah; (c) secara hayati di antaranya dengan penggunaan rnikrooragisme antagonis terhadap patogen; (d) perlakuan secara fisik; dan (e) perggunaan bahan kimia yaitu pestisida khususnya fungisida.
Pengelolaan penyakit dengan cara kultur teknis dan penggunaan fungisida merupakan cara yang mendesak diperl~ikandalam upaya mengatasi masalah penyakit hawar daun bibit pinus di pesemaian. Berdasarkan sasaran kerja bahan aktif,
Griffin (1994) mengelompokkan
fungisida seperti tertera pada Tabel 2 1. Tabel 2.1. Pengelompokan bahan aktif fungisida berdasarkan sasaran kerja bahan aktif Sasaran bahan Aktif
Kelompok Bahan Aktif
Thiol dan kelompok fungsional enzim Tembaga, Merkuri, Dithiokarbamat, Kaptan, Benzoquinon dan naftaquinon lainnya Membran sel dan metabolisme lipid Poliena makrolida, Piridin dan pirimidin, Imidazol, dan Triazol Karboksamida, Thujaplisin, Piersidin A, Produksi energi Antimisin A 5Hidroksipirimidin, Asam nukleat dan metabolisme Glutarimida, Fluorositosin, Blastisidin S, Asilanilida protein Polioksin dan nikkomisin, Papulasandin dan Biosintesis dinding sel Kaetiasandin Trisiklazol, Piroquilon, Fithalida Biosintesis melanin Pembelahan Inti
Benzimidazol, Rhizoxin
L
I
Dua jenis fungisida yang digunakan dalam penelitian ini adalah difenokonazol dan mankozeb yang masing-masing menurut Uesugi (1998) adalah dari golongan trizzol dan golongan dithiokarbamat. Difenokonazol adalah fun~isidasistemik bersifat kuratif dan diserap oleh daun dan ditranslokasikan secara akropetal dan translaminar. Senyawa ini mempengaruhi biosintesis ergosterol melalui per~gharnbatandemetilasi steroid.
Oleh karenanya
fungisida ini disebut sebagai fungisida "Sterol Biosynthetis Inhibitors" (SBI) atau "Sterol Demethylation Inhibitors" (DMI) sehubungan penghambatan demetilasi C-14 pada
lanosterol dalam tahap pembentukan sterol (Griffin ?393, Arnold dkk. 1995). Eata teknis difenokonazol tertera pada Tabel 2.2 (Roberts 1999). Tabel 2.2. Deskripsi teknis difenokonazol Nama umum : Difenoconazole Nama kimia (IUPAC) : cis,trans-3Chloro-4-[4-methyl-2-(1 H-l,2,4Triazol-1-ylmethyl)-l,3-dioxolan-2-yl]-phenyl 4-chlorophenyl ether (perbandingan isomerisomer cis terhadap trans berkisar 0,7-1,5) CASRN Rumus molekul Berat molekul
: 119446-68-3 : CI~HI~C~~N~O~ : 406,3
Struktur kimia CI
Kelarutan di air
: 15 mgl-'(25 OC)
Tekananuap
: 3,3 x lo-' Pa (25 OC) : 1100(est.) : Non -ionised
KO= PKZ
Sterol memainkan peran yang penting dalam fungsi biologis membran; ha1 ini berarti bahwa fungi yang mengandunglmemiliki sterol akan sensitif terhadap fungisida kelompok triazol ini (Loeifler dar! Hayes i992). Menurut Kelley dan Jones (1981) senyawa ini digunakan untuk mengantisipasi adanya kemungkinan resistensi terhadap fungisida protektif yang aplikasinya sebelum terjadi infeksi seperti benomii dan dodine.
Meskipun demikian Senior dkk. (1995)
melaporkan adanya resistensi Erysiphe graminis terhadap beberapa fungisida DM1 seperti flutriafol dan triadimenol.
Bahan aktif fungisida DPdll yang termasuk dalam kelompok triazol di antaranya adalah:
difenokonazol,
siprokcnazol,
tenbukonazol,
flusilazole,
heksakonazol,
imibenkonazol, bitertanol: bromukonazol (Uesugi 1998). Mankozcb adalah fungisida kontak dengan spektrum fungi target yang luas. Data teknis pada rnankozeb tersaji pada Tabel 1 (Roberts 1999). Bahan aktif ini dapat merupakan campuran maneb dan zineb dengan rumus kimia yang sama kecuali pada logamnya.
iogam pada maneb adalah Mangan dengan nama kimia "manganese
ethylenebis", sedang logam pada
zineb adalah Seng dengan nama kimia "zinc
ethylenebis" (Worthing, 1979; Roberts dkk., 1999). Tabel 2.3. Deskripsi teknis mankozeb Nama umum : Mancozeb Nama kimia (IUPAC) : Manganese ethylenebis(dithiocarbamate) (polymeric) complex dengan garam Seng (20% manganese, 2,55% zinc) : 8018-01-7 CASRN Rumus molekul : Campuran Berat molekul : Campuran H S Struktcjr kimia 1 H2C-N-C-S
I
I
\
X = Mn, Zn Kelarutan dalam air
: 6-20 mgl-'(20 OC)
Koc
: >2000 : Non-ionised
PK~