II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Sumberdaya Hutan Menurut Undang -Undang Nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kehutanan disebutkan bahwa hutan adalah suatu lapangan bertumbuhan pohon -pohonan yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan. Menurut Society of American Forester (SAF) hutan sebagai ekosistem dicirikan oleh adanya penutupan pohon yang cukup rapat dan luas, biasanya dengan ciri-ciri beragam dalam komposisi jenis, struktur dan kelas umur yang membentuk suatu persekutuan. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjukan dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Menurut Muntasib (1999), hutan memiliki manfaat langsung maupun tidak langsung bagi kehidupan manusia. Manfaat tersebut antara lain meliputi: −
Sebagai sumber kekayaan keanekaragaman hayati, plasma nutfah dan genetik.
−
Sebagai pelindung tanah dari erosi dan pengatur tata air
−
Sebagai penyerap karbondioksida dan memprodukdi oksigen
−
Sebagai penghasil produk hasil hutan untuk keperluan masyarakat, industri dan eksport.
−
Sebagai sumber mata pencahariann dan tempat hidup sebagian masyarakat
−
Sebagai pelindung suasana iklim dan membuat daya pengaruh yang baik bagi mahluk hidup.
−
Sebagai tempat pendidikan, pelatihan dan penelitian
−
Sebagai tempat rekreasi. Menurut pasal 3 Undang-undang nomor 5 tahun 1967, hutan berdasarkan
fungsinya dibedakan dalam menjadi empat jenis hutan, yaitu: 1. Hutan lindung; yaitu kawasan hutan yang karena keadaan sifat alamnya diperuntukan guna mengatur tata air, pencegahan bencana banjir dan erosi serta pemeliharaan kesuburan tanah. 2. Hutan produksi; yaitu kawasan hutan yang diperuntukan guna produksi hasil hutan untuk memenuhi keperluan ma syarakat pada umumnya dan khususnya untuk pembangunan, industri dan eksport.
14
3. Hutan suaka alam; ialah kawasan hutan yang karena sifatnya khas diperuntukan secara khusus untuk perlindungan alam hayati dan manfaat lainya. 4. Hutan Wisata; ialah kawasan hutan yang diperuntukan secara khusus untuk dibina dan dipelihara guna kepentingan pariwisata dan atau wisata buru. Kehutanan menurut Undang -undang nomor 5 tahun 1967 adalah kegiatan yang berkaitan dengan hutan dan pemanfaatannya, yakni suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan berdasarkan ilmu pengetahuan dan pengalaman. untuk menjamin dan mempertinggi pemanfaatan hutan secara lestari. Ada beberapa konsep pengelolaan sumberdaya hutan yang sudah diterapkan di Indonesia, yaitu: a. Social foresty Social forestry adalah suatu sistem pengelolaan hutan dan lingkungan hidup dengan suatu tujuan sosial ekonomi tertentu (Kartasubrata, 1988), Haeruman (1985) dalam Kartasubrata (1988) menyamakan istilah social forestry dengan hutan kemasyarakatan, yang diartikan sebagai interaksi antara hutan dengan masyarakat sekitarnya yang membentuk dan mengembangkan keduaduanya secara mantap dan berkesinambungan. b. Agroforestry Agroforestry adalah nama kolektif untuk sistem penggunaan lahan dan teknologi di mana tanaman keras berkayu (pohon -pohonan, perdu, jenis-jenis palem, bambu dan sebagainya) ditanam bersamaan dengan tanaman pertanian dan/hewan, dengan suatu tujuan tertentu dalam suatu bentuk pengaturan spasial atau urutan temporal, dan didalamnya terdapat interaksi ekologi dan ekonomi diantara berbagai komponen yang bersangkutan (Lundgren dan Rainteree,1982 dalam Nair, 1993). Kartasubrata (1988) menjelaskan bahwa agroforestry adalah suatu sistem penggunaan lahan dengan suatu tujuan produktivitas tertentu, yang dalam jangka panjang dapat me ningkatkan kesejahteraan masyarakat yang bersangkutan. c. Agroforest Agroforest adalah ekosistem agroforestry serbaguna. Pepohonan ditanam secara rapat dalam suatu blok, dengan memperlihatkan derajat keanekaragaman jenis,seperti pepohonan,tanaman pertanian dan hewan, dengan struktur tajuk yang multistrata dan dikelola oleh para petani. Repong damar dikenal sebagai bentuk agroforest yang merupakan salah satu bentuk teknologi agroforestry.
15
Pengelolaan sumberdaya hutan menurut terminologi SAF adalah praktek penerapan prinsip -prinsip biologi, fisika, kimia, analisis kuantitatif, manajemen, ekonomi, sosial, dan analisis kebijakan dalam mempermudahkan, membina, memanfaatkan, dan mengkonservasikan hutan untuk mencapai tujuan dan sasaran -sasaran tertentu dengan tetap mempertaruhkan produktivitasnya. Dengan demikian, kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan terkait dengan pembangunan sektor kehutan, yaitu suatu upaya untuk memanfaatkan sumberdaya hutan bagi kepentingan ekonomi, ekologi, dan sosial secara seimbang. Menu rut Arief (2001) pencapaian tujuan pembangunan kehutanan dilakukan dengan cara membagi lahan hutan ke dalam tiga jenis pengelolaan, yaitu: 1). Pengelolaan sumberdaya hutan produksi yang berfungsi seimbang antara kepentingan ekonomi dan ekologi: 2). Pengelolaan sumberdaya hutan konservasi yang berfungsi ekologi; dan 3). Pengelolaan sumberdaya hutan konversi yang berfungsi ekonomi. Saat ini telah ditetapkan bahwa pembangunan kehutanan dititik beratkan pada pemanfaatan sumberdaya hutan untuk kepentingan ekonomi, ekologi dan sosial secara seimbang. Jadi pengelolaan sumberdaya
hutan
bukan
hanya
sekedar
menetapkan
hutan
sebagai
perlindungan tanah. Iklim, sumber air dan pemenuhan kebutuhan akan kayu dan produk lainya, tetapi pengelolaan sumberdaya hutan harus ditujukan untuk mendaya gunakan semua lahan demi kepentingan keberlanjutan kehidupan masyarakat. Sehingga, secara utuh dan menyeluruh perlu diperhatikan kaitan fungsi dan masalah yang satu terhadap fungsi dan masalah lainnya. Secara umum pengelolaan sumberdaya hutan adalah seseorang atau kelompok yang bertanggung jawab atas berbagai kegiatan yang terkait dengan unit pengelolaan hutan (CIFOR,1999). Pengusahaan hutan produksi alam secara mekanis di Indonesia sudah dimulai sejak akhir tahun 1960 dan sejak saat itu berkembang secara pesat baik jumlah perusahaan, luas areal kerja maupun distribusinya. Pengusahaan diberikan kepada swasta dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH) (Tinambunan, 2002). Pemanfaatan sumberdaya hutan di daerah tropik meningkat secara tajam sejak tahun 1970 -an. Hal ini disebabkan terjadinya peningkatan populasi dunia, permintaan lahan untuk pertanian dan pemukiman serta permintaan kayu untuk bahan industri (Pratiwi, 1996).
16
Memasuki milenium ketiga, sektor kehutanan Indonesia menghadapi tantangan yang sangat berat dan kompleks. Tantangan tersebut disebabkan antara lain karena diterapkannya kebijakan otonomi daerah, khususnya otonomi pengelolaan sumberdaya hutan yang akan berdampak pada konstelasi peran dan stabilitas interaksi para pihak di berbagai tingkatan. Selain itu, tuntutan pasar kayu dunia terhadap produk-produk hutan yang ramah lingkungan juga menjadi salah satu faktor pembatasan dalam kancah perdagangan. Tantangan-tantangan di sektor kehutanan dewasa ini secara kongkrit telah menjelma menjadi berbagai persoalan besar yang sangat mengancam kelestarian sumberdaya hutan. Elvida dan Sukadri (2002) mengatakan bahwa pasca Otonomi daerah berbagai permasalahan muncul antara lain peraturan perundang -undangan yang ada merupakan aspek yang lemah untuk mendukung desentralisasi kehutanan, sehingga muncul perda yang bermasalah dan saling tumpang tindih. Selain itu disinyalir adanya peningkatan deforestasi hutan karena Pemerintah daerah lebih menitik beratkan pada peningkatan Pendapatan Asli Daerah dari pada keberlanjutan sumberdaya hutan. Merebaknya konflik sosial sebagai akibat ketidak pastian status kawasan hutan,
meningkatnya
praktek
penebangan
liar,
penyelundupan
kayu,
ketidakpastian hukum dan lemahnya stabilitas keamanan telah menjadikan sektor kehutanan sebagai sektor yang kontradiktif. Disatu sisi, sektor kehutanan secara makro masih dijadikan sebagai salah satu andalan dalam upaya pemulihan ekonomi nasional melalui aktifitas eksport, penyerapan tenaga kerja dan penyediaan peluang usaha masyarakat. Di sisi lain realisasi iklim usaha di sektor kehutanan saat ini justru tidak memungkinkan setiap pelaku usaha mewujudkan target-target sosial, ekonomi dan lingkungan berskala lokal, nasional maupun global (Nugroho, 2001). Sebenarnya tujuan utama pengelolaan hutan pada dasarnya adalah Sustainable Forest Management (SFM) yang memiliki tiga faktor utama yaitu ekonomi (produksi), Ekologi dan sosial. Dewasa ini pengelolaan sumberdaya hutan terkesan lebih mengutamakan kepentingan ekonomi dibandingkan dua kepentingan lainya yaitu ekologi dan sosial. (Elvida dan Sukadri, 2002). Sektor kehutanan yang pernah menjadi sumber devisa utama
ini, di
tahun 2004 nafasnya agaknya tersengal-sengal (Sudradjat, 2004). Ditahun ini dan tahun -tahun mendatang, kekurangan bahan baku tetap akan menjadi momok bagi industri kehutanan. Belum adanya upaya yang mampu
17
membuahkan hasil untuk mengembangkan atau setidaknya mengurangi ketimpangan antara kapasitas industri dan ketersediaan bahan baku. Bahan baku bagi industri kehutanan menjadi barang langka, sesuatu yang dulu dianggap mudah dan berlimpah. Proses kerusakan sumberdaya hutan kini kian memuncak sejak lima tahun terakhir. Bahkan beberapa tahun terakhir ini setiap tahun telah berlangsung pengrusakan hutan seluas 2,4 juta hektar. Kondisi sumberdaya hutan dinegara berkembang saat ini tidak memiliki kesempatan untuk bernapas. Kesempatan sumberdaya hutan bisa bernapas hanya bisa terjadi dinegara maju (Suryohadikusumo, 2003). Terhentinya kegiatan hutan produksi akan semakin memperce pat terjadinya kerusakan. Dalam restrukturisasi
kondisi dan
sumberdaya
alternatif
hutan
manajemen
yang
kian
menjadi
berkurang,
sebuah
maka
kebutuhan.
Restrukturisasi kehutanan dapat diarahkan secara fisik untuk mengendalikan kerusakan sumberdaya hutan dan memulihkan kondisi sumberdaya hutan yang telah rusak (Kartodihardjo, 2003). Kondisi ini dapat tercapai apabila over cutting, illegal logging dan perizinan dapat dikendalikan. Menurut Simon (2003), restrukturisasi merupakan keniscayaan dimana dibutuhkan perubahan sistem dan tata nilai para pihak dalam mengelola hutan. Perubahan itu mencakup perubahan organisasi, sistem manajemen, sistem administrasi dan personalia. Darusman
(2002)
menyatakan
bahwa
pencegahan
kerusakan
sumberdaya hutan akibat pemanfaatannya dapat tercapai apabila kegiatan ekonomi/pemanfaatan itu bergerak dalam kerangka perilaku biologi (biological behavior). dan dalam batas-batas daya dukung dari sumberdaya hutannya sendiri. Jadi sebenarnya, kegiatan ekonomi pemanfaatan sumberdaya hutan harus bergerak pada rambu -rambu ekologi/biologi sumberdaya hutannya sendiri. Bergerak pada rambu-rambu ekologi tidak berarti mengebiri atau memperlambat kegiatan ekonomi, tetapi membuat kegiatan ekonomi dapat berjalan lancar, cepat dan tanpa henti karena terhindar dari bahaya -bahaya yang diperingatkan oleh rambu-rambu tersebut. Rukmana (2004) mengatakan bahwa dampak dari ketidak jelasan pemahaman persoalan kehutanan di antara para pihak terutama otoritas pengelolaan sumberdaya hutan, persepsi terhadap pengelolaan sumberdaya hutan, bahkan ketidak jelasan harapan yang digantungkan kepada hutan teraktualisasikan dilapangan dalam bentuk dampak yang sangat konkrit.
18
Sumberdaya hutan adalah faktor produksi dan konsumsi untuk kesejahteraan bangsa Indonesia khususnya dan umat manusia pada umumnya Sumberdaya
hutan
dalam
memberikan
manfaat
kesejahteraan
kepada
masyarakat mempunyai dimensi yang luas yakni bagi kelangsungan generasi kini dan generasi yang akan datang maupun bagi keutuhan bumi sebagai tempat hidup seluruh bangsa di dunia. (Darusman, 2002). Sumberdaya hutan merupakan salah satu sumberdaya penting bagi Indonesia yang terletak di daerah tropika basah, oleh karena hutan mempunyai nila ekologis yang strategis baik di tingkat lokal, regional maupun global. Sementara itu hutan juga mempunyai arti ekonomis, karena hasil hutan terutama kayunya merupakan salah satu sumber devisa negara (Pratiwi dan Mulyanto, 2002). Kerusakan ekosistem hutan dapat mengakibatkan masalah -masalah lingkungan lokal maupun regional seperti erosi, banjir, pengeringan mata air, penurunan curah hujan, perubahan iklim, kehilangan keaneka ragaman hayati dan sebagainya (Hamilton, 1991). Kesalahan utama dalam pengelolaan sumberdaya hutan adalah ”market failure ” dalam sistem produksi yang menganggap pollution adalah external cost. Dalam konteks pengelolaan sumberdaya hutan, perusak lingkungan ada tiga yaitu; economics, engineer, lawyer, sedangkan penyelamat lingkungan juga ada tiga yaitu; economics, engineer, lawyer. (Salim, 2004). Elvida dan Sukadri (2002) mengatakan bahwa pengelolaan hutan tidak semata-mata untuk meningkatkan penerimaan daerah termasuk PAD, tetapi dititik beratkan pada kewenangan daerah untuk mengelola hutan dengan arif dan bijaksana. Persepsi pengelolaan keberlanjutan sumberdaya hutan adalah: (a) Hutan sebagai paru -paru dunia dan megadiversity (aspek ekologi); (b) Hutan sebagai sumber produksi (aspek Ekonomi); (c) Kedua hal tersebut
harus
diarahkan demi peningkatan kesejahteraan rakyat (aspek sosial). Kelestarian
sumberdaya
hutan sangat tergantung dari kebijakan
pengelolaanya. Kelestarian sumberdaya hutan hampir tidak mungkin ditemukan kalau hanya diukur dengan produksi kayu (Poore et al, 1989). Hasil kayu bukan merupakan indikator utama dari kesehatan ekosistem hutan (forest ecosystem health) (Jhonshon dan Cabarle, 1993). Dengan demikian tidaklah memadai jika mendefinisikan keberlanjutan sumberdaya hutan hanya dari aspek produktivitas walaupun mencakup hasil hutan kayu dan non kayu yang terus menerus (Jhonshon dan Cabarle, 1993). Pengertian keberlanjutan pengelolaan hutan lebih
19
bijaksana jika tidak hanya memperhatikan pada kelestarian hasil saja, tetapi perlu memperhatikan aspek ekologi dan sosial ekonomi. Bruenig dan Poker (1989), mengatakan bahwa pemanfaatan sumberdaya hutan yang bijaksana untuk keuntungan ekonomi dan ekologi dalam jangka waktu yang lama merupakan hal penting dalam keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan. ITTO (1992) mendefinisikan pengelolaan sumberdaya hutan adalah sebagai proses pengelolaan lahan hutan se cara permanen untuk mendapatkan satu atau lebih tujuan yang spesifik, dengan memperhatikan produksi yang terus menerus dari suatu hasil hutan dan jasa yang diinginkan, tanpa mengakibatkan penurunan nilai-nilai dan produktivitasnya pada masa yang akan datang, serta tanpa menyebabkan pengaruh fisik dan lingkungan sosial. Menurut Awang et al. (2001), secara umum permasalahan yang dihadapi bidang kehutanan saat ini antara lain: 1. Arah dan sistem pengelolaan sumberdaya hutan tidak jelas. 2. Akibat arah dan sistem yang tidak jelas maka perlindungan terhadap sumberdaya hutan juga tidak jelas. 3. Adanya konflik-konflik pemanfaatan sumberdaya hutan didaerah-daerah karena politik OTDA untuk sumberdaya hutan disikapi secara berlainan. 4. Kepentingan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan belum mendapat dukungan penuh dari pemerintah. Bruenig (1986) dalam Simon (1993) mengemukakan bahwa sifat-sifat ekosistem hutan meliputi stabilitas (stability), fleksibilitas (flexibility), mudah disesuaikan (adaptability), dan dapat diterima (acceptability) dari sudut pandang ekologi, ekonomi maupun sosial. 2.2.
Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berkelanjutan. Bond et al. (2001) menyatakan bahwa istilah berkelanjutan (sustainability)
didefinisikan sebagai pembangunan dari kesepakatan multidimensional untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik untuk semua orang. Pemahaman lain terhadap konsep berkelanjutan dikemukakan oleh Roderic et al. (1997), bahwa berkelanjutan memerlukan pengelolaan tentang sekala keberlanjutan ekonomi terhadap dukungan sistem ekologi, pembagian distribusi sumberdaya dan kesempatan antara generasi sekarang dan yang akan datang secara berimbang serta adil, serta efisiensi dalam pengalokasian sumberdaya. \
20
Menurut World Commision on Environment and Development (WCED, 1987) Pembangunan berkelanjutan atau sustainable development adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Greenland dan Szabolcs (1994), menyatakan bahwa kebutuhan ma sa mendatang tergantung pada cara keterkaitan antara pertumbuhan penduduk, pengelolaan sumberdaya energi dan proteksi lingkungan secara harmonis. Konsep pembangunan berkelanjutan adalah konsep kegamangan terhadap pola pembangunan industri yang memuja efisiensi dan pengembangan besar-besaran modal, tanpa memperhitungkan atau hanya sedikit sekali mempertimbangkan kerusakan alam (Setiadi, 2004). Pembangunan berkelanjutan adalah kerangka berpikir yang telah menjadi wacana secara internasional. Kerangka berpikir ini pada tahun 1992 dalam Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janero disepakati oleh semua negara di dunia termasuk Indonesia untuk digunakan sebagai panduan. Program Aksi Dunia hasil konferensi Rio tersebut dikenal sebagai Agenda 21. Dalam agenda tersebut Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan UNDP (2000) menyatakan, bahwa kerangka berpikir pembangunan berkelanjutan pada intinya adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa harus menghalangi pemenuhan kebutuhan generasi masa datang. Melalui kerangka berpikir pembangunan berkelanjutan, maka setiap negara, wilayah dan daerah dapat mengembangkannya sendiri, baik cara maupun prioritas permasalahan yang akan diatasi dan potensi yang akan dikembangkan. Menurut Marten (2001), pembangunan berkelanjutan dapat didefinisikan sebagai pemenuhan kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan kecukupan kebutuhan generasi mendatang. Pembangunan berkelanjutan tidak berarti berlanjutnya pertumbuhan ekonomi, karena tidak mungkin pembangunan dalam konteks ekonomi tumbuh jika tergantung pada keterbatasan kapasitas sumber daya alam yang ada. Salim (2004) menyatakan bahwa prasyarat bagi tercapainya
pembangunan
berkelanjutan
adalah
bahwa
setiap
proses
pembangunan mencakup tiga aspek utama yaitu ekologi, ekonomi dan sosial. Tiga aspek tersebut dalam pembangunan harus berada dalam sebuah keseimbangan tanpa saling mendominasi. Lebih jauh Salim (2004) membuat matriks pembangunan berkelanjutan sebagai berikut:
21
Tabel 1. Matriks Pembangunan Berkelanjutan Ekonomi Ekonomi
Sosial
Equitable growth
Sosial input ekonomi Lingkungan Lingkungan Input ekonomi Sumber: Emil Salim, 2004. Sosial
Ekonomi input sosial Berantas Kemiskinan Lingkungan Input sosial
Lingkungan Ekon input lingkungan Sosial input lingkungan Lestarikan ekosistem
Dahuri et al. (1996) mengemukakan bahwa pembangunan berkelanjutan secara umum dapat dikelompokkan ke dalam empat dimensi yaitu ekologi, sosial-ekonomi, sosial- politik, serta hukum dan kelembagaan. Kay dan Alder (1999) juga menyebutkan
beberapa kriteria yang dapat menjadi acuan
pembangunan berkelanjutan pada prinsipnya juga menyangkut aspek dimensi ekologi, ekonomi, sosial-budaya, serta hukum dan kelembagaan. Beberapa literatur lain menambahkan aspek teknologi, sehingga dalam pembahasan selanjutnya digunakan dimensi ekologi, ekonomi, sosial-budaya, teknologi, hukum dan kelembagaan. Dari berbagai definisi tersebut secara umum dapat diartikan bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan suatu pendekatan pembangunan yang tidak bertentangan antara tujuan dan sasaran dalam kebijakan pembangunan ekonomi dan kebijakan dalam pengelolaan lingkungan hidup yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi mendatang. Konsep pembangunan berkelanjutan tidak sekedar sebuah terobosan baru yang dihasilkan para ahli pada dekade tahun 1970 -an. Pembangunan berkelanjutan tersebut telah menempatkan kebijakan pelestarian lingkungan hidup menjadi suatu keniscayaan dan kebutuhan dalam pembangunan ekonomi (Arifin, 2004). Dengan kata lain, kebijakan pelestarian lingkungan hidup adalah salah satu variabel tetap (fixed variable )
dalam proses pembangunan ekonomi suatu
bangsa. Prinsip pembangunan berkelanjutan sebenarnya sederhana, tidak kompleks dan mudah dicerna. Bermula dari kenyataan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi itu ada batasnya dan bahwa perekonomian yang terlalu mengandalkan pada hasil ekstrasi sumberdaya alam tidak akan bertahan lama. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak akan berarti apa-apa jika degradasi lingkungan yang ditimbulkannya tidak diperhitungkan (Arief, 2004).
22
Menurut Mitchell (1997), ada dua prinsip keberlanjutan, yaitu sebagai berikut: a) Prinsip
lingkungan/ekologi
kehidupan,
kedua,
:
pertama,
memelihara
melindungi
integritas
sistem
ekosistem
penunjang
dan,
ketiga,
mengembangkan dan menerapkan strategi preventif dan adoptif untuk menanggapi ancaman perubahan lingkungan global. b) Prinsip sosial politik : pertama, mempertahankan skala fisik dari kegiatan manusia dibawah daya dukung atmosfer, kedua, mengenali biaya lingkungan dari kegiatan manusia dan, ketiga, menyakinkan adanya kesamaan sosio, politik dan ekonomi dalam transisi menuju masyarakat yang berkelanjutan. Pembangunan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan hidup, interaksi antara pembangunan dan lingkungan hidup membentuk sistem ekologi. Dalam hubungan ini Soemarwoto (2001), mengemukakan bahwa faktor lingkungan diperlukan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Faktor lingkungan tersebut meliputi: pertama, terpeliharanya proses ekologi yang esensial, kedua, tersedianya sumber daya yang cukup, ketiga, lingkungan sosialbudaya dan ekonomi yang sesuai. Sitorus (2004), mengemukakan pentingnya pembangunan berkelanjutan dengan alasan : a) Terbatasnya cadangan sumber-sumber yang tidak dapat diperbaharui (nonrenewable resources). b) Terbatasnya kemampuan lingkungan untuk dapat menyerap polusi c) Terbatasnya lahan yang dapat ditanami d) Terbatasnya produksi persatuan luas lahan, atau batasan fisik terhadap pertumbuhan penduduk dan kapital. Fauzy dan Anna (2005) menyatakan bahwa konsep pembangunan sumberdaya yang berkelanjutan mengandung aspek : 1. Ecological sustainability (keberlanjutan ekologi). Dalam pandangan ini pemanfaatan sumberdaya hutan hendaknya tidak melewati batas daya dukungnya. Peningkatan kapasitas dan kualitas ekosistem menjadi hal yang utama. 2. Socioeconomic sustainability (keberlanjutan sosial-ekonomi). Konsep ini mengandung makna bahwa pembangunan kehutanan perlu memperhatikan
23
keberlanjutan dari kesejahteraan pemanfaat sumberdaya hutan pada tingkat individu. 3. Comunity
sustain ability,
mengandung
makna
bahwa
keberlanjutan
kesejahteraan dari sisi komunitas atau masyarakat perlu menjadi perhatian pembangunan kehutanan yang berkelanjutan 4. Institusional sustanability (keberlanjutan kelembagaan). Dalam kerangka ini keberlanjutan kelembagaan yang menyangkut memelihara aspek finansial dan administrasi yang sehat merupakan prasyarat dari ketiga pembangunan berkelanjutan diatas. Ada empat prinsip pengelolaan sumberdaya alam guna mencapai pembangunan yang berkelanjutan, yaitu: a. Optimalisasi sumberdaya
pemanfaatan
sosial
alam
didasarkan
harus
ekonomi; pada
Bahwa
pengembangan
strategi
yang
dapat
mengoptimalkan manfaat sosial dan ekonomi jangka panjang dari sumberdaya alam yang dapat diperbaharui. b. Koordinasi antar bidang sektoral ; Ekosistem sumberdaya alam wajib dikelola dengan memadukan kebijakan -kebijakan sektoral, perencanaan dan strategi pengelolaan guna mengoptimalisasi pemanfaatanya. Optimalisasi manfaat sosial ekonomi dapat dicapai dengan peningkatan koordinasi yang lebih baik dalam proses perencanaan atas kebutuhan pemanfaatan sumberdaya alam. c. Multiguna
sumberdaya
alam;
Dalam
mengoptimalkan
pemanfaatan
sumberdaya, kegiatan perencanaan dan manajemen sumberdaya alam dilakukan dengan mengambil berbagai kegunaan yang dimiliki oleh sumberdaya alam yang tersedia dan dapat diperbaharui. d. Memperhatikan kapasitas ekosistem; Pemanfaatan sumberdaya alam akan sangat bergantung pada kemampuan ekosistem sumberdaya alam tersebut dalam menyediakan sumber daya guna memenuhi permintaan. Keberhasilan dan keberlanjutan suatu sistem pengelolaan hutan erat berhubungan dengan keberadaan lembaga yang ada, penyelengaraannya serta pengembangannya. Lembaga yang ada mengacu pada seperangkat aturan yang digunakan untuk mengatur kegiatan-kegiatan yang bersifat repetitive dan yang hasilnya berpengaruh pada masyarakat luas. Pengembangan kelembagaan mengacu pada upaya penanganan dalam bentuk perencanaan, pengujian, penyempurnaan, pemantauan, dan penegakan perangkat aturan untuk menata
24
kegiatan -kegiatan tertentu. Upaya-upaya tersebut dapat dilakukan oleh individu maupun kelompok/lembaga Menurut LEI, 1999, penilaian keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan adalah sebagai berikut: a. Kelestarian fungsi produksi (ekonomi); Adanya kepastian penggunaan lahan sebagai kawasan hutan, status penataan batas kawasan hutan, kualitas fisik tata batas, perencanaan dan implementasi penataan hutan menurut tipe -tipe dan fungsi hutan, pengorganisasian kawasan yang menjamin kegiatan produksi yang kontinyu, produksi yang sesuai dengan kemampuan produktivitas
hutan,
meminimumkan
tingkat
pembalakan,
serta
meminimumkan dampak perubahan penutupan lahan akibat perambahan, alih fungsi kawasan hutan, kebakaran dan gangguan lainnya. b. Kelestarian fungsi ekologi; Meletakkan proporsi yang proposional antara pemanfaatan
hutan
dengan
menimbulkan
dampak
fungsi
kerusakan
ekologi
hutan
yang
hutan, pada
sehingga
tidak
akhirnya
akan
mengakibatkan kerusakan lingkungan dan hilangnya keanekaragaman hayati. c. Kelestarian fungsi sosial; Adanya kejelasan batas antara kawasan konsesi dengan kawasan komunitas setempat yang terdelinasi secara jelas, adanya jaminan akses pemanfaatan hasil hutan oleh masyarakat setempat, sebagai sumber-sumber ekonomi komunitas masyarakat di sekitar hutan, komunitas masyarakat disekitar hutan dapat mengakses kesempatan kerja dan peluang berusaha serta meminimasi dampak kerusakan sumberdaya hutan terhadap kesehatan masyarakat. Kebijakan pengelolaan hutan perlu memperhatikan; (a) hutan sebagai ekosistem yang memiliki sifat-sifat penting (produktifitas, stabilitas, fleksibilitas), b) kelestarian produksi, fungsi ekologi dan kelestarian fungsi sosial, (c) dinamika yang saling berkaitan antara ekosistem dengan sistem sosial. 2.3.
Analisis Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Widjajono (1999), menya takan bahwa analisis kebijakan adalah ilmu yang
menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan publik. Kebijakan yang diambil akan mempunyai biaya dan manfaat tertentu. Menurut Vining et al, (1998), analisis kebijakan adalah nasehat yang berorientasi pada klien yang relevan dengan kebijakan publik dan disampaikan dengan nilai-nilai sosial. Tidak
25
semua nasehat adalah analisis kebijakan, jadi untuk menentukan nasehat tersebut, perlu lebih spesifik dan terkait dengan kebijakan publik. Analisis kebijakan adalah sebagai ilmu seni dan keahlian. Keberhasilan analisis kebijakan harus dapat mempergunakan keahlian dasar kedalam perpektif yang realistik atas ketentuan -ketentuan dalam masyarakat. Analisis kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan perlu didesain dalam proyeksi usaha dan investasi jangka panjang yang membutuhkan dukungan prakondisi yang sehat.(Rukmana, 2004). Menurut Vining et al. (1998) ada lima hal yang perlu diperhatikan dalam persiapan analisis kebijakan yaitu : a) Analis
perlu
tahu
bagaimana
mengumpulkan,
mengorganisasi
dan
berkomunikasi dalam situasi di mana terdapat batasan waktu dan akses kepada orang -orang. b) Analis perlu mempunyai prespektif untuk melihat masalah-masalah sosial dalam konteksnya. c) Analis perlu memiliki kemampuan teknik agar dapat memprediksi dengan baik dan mengevaluasi alternatif kebijakan dengan percaya diri. d) Analis perlu mempunyai pemahaman perilaku organisasi dan politik agar supaya dapat memprediksi kemungkinan pengaruh dan keberhasilan pelaksanaan kebijakan. e) Analis perlu mempunya i rambu -rambu etika bahwa secara ekplisit bertanggungjawab kepada klien. Analisis kebijakan pengelolaan hutan memiliki dimensi penting yang perlu difahami oleh stakeholders kehutanan yaitu bahwa pengelolaan hutan merupakan manajemen proses terhadap ekosistem hutan yang memiliki dinamika siklus hidup yang unik. Ketidak pedulian terhadap instrumen manajemen merupakan fakta bahwa kebijakan pengelolaan hutan masih jauh dari profesional dan lebih cocok jika dikatakan konvensional yang didasarkan pada pemahaman bisnis kecil berjangka musiman (Rukmana, 2004). 2.3.1. Peranan Sumberdaya Hutan Indoensia. Indonesia dikaruniai hutan tropika basah terbesar kedua di dunia. Sekitar 78 persen dari luas daratan Indonesia tergolong sebagai kawasan hutan. Kawasan hutan tersebut terdiri atas 7 (tujuh) jenis wilayah biogeografi dengan keanekaragaman ekosistem mulai dari hutan pantai, hutan rawa, hutan mangrove, hutan dataran rendah, hutan savanna, hutan hujan pegunungan, dan hutan alpin. Dengan luasan yang hanya 1,3 persen dari to tal luas permukaan
26
bumi, Indonesia setidaknya memiliki 10 persen dari seluruh jenis tumbuhan di dunia, 12 persen dari seluruh jenis mamalia, 16 persen dari seluruh jenis reptil dan amphibi, dan
17 persen dari seluruh jenis burung. Indonesia termasuk
sebagai salah satu dari keenam negara yang memiliki kekayaan sumberdaya keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (mega-biodiversyti countries) (World Bank , 2000). Kekayaan sumberdaya hutan yang demikian besar tersebut, memberikan peranan penting dalam pelaksaaan pembangunan baik dari aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan serta untuk masyarakat dunia dari fungsi hutan sebagai penyerap karbon (carbon sink) dan nilai keanekaragaman hayati. Pada tahun 1993, hasil hutan kayu menghasilkan devisa sebesar USD 3 milyar dan menempatkan
hasil hutan kayu sebagai komoditi penting dari sumberdaya
hutan. Dengan angka devisa sebesar itu, ekspor hasil hutan kayu menempati tempat kedua dalam menghasilkan devisa setelah minyak dan gas. Kondisi ini terus berlangsung, setidaknya sampai tahun 1994. Nilai devisa dari kayu mencapai angka USD 4,2 milyar. Peranan hasil hutan terhadap perekonomian dapat dilihat tidak hanya dari perolehan devisa saja, tapi juga dari penyediaan lapangan kerja dan menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi di daerah terpencil. Menurut Departemen Kehutanan dan Perkebunan (1998) tenaga kerja yang terserap oleh sektor kehutanan mencapai sekitar 5,4 persen dari total tenaga kerja Idonesia. Sekalipun demikian, di balik peran sumberdaya hutan yang begitu besar, ada sejumlah masalah penting yang dihadapi dan bahkan sampai saat ini cenderung semakin kompleks. Tingkat kerusakan hutan baik dalam bentuk deforestasi dan degradasi hutan yang sudah berada pada tingkat yang memprihatinkan, karena paradigma pembangunan yang digariskan selama ini nyata -nyata lebih bertumpu pada pertumbuhan ekonomi. Disamping itu, penyebab kerusakan hutan alam adalah akibat kepentingan (politis, ekonomis, dan sosial) yang akhirnya menuntut dibukanya pengusahaan hutan komersial dalam skala besar terutama setelah tahun 1967, yang pada akhirnya menempatkan hutan Indonesia pada pengelolaan yang tidak lestari dan manfaat yang diperoleh dari petumbuhan ekonomi juga tidak merata (World Bank , 2000). Bila ditelaah lebih jauh, berbagai kerusakan lingkun gan dan sumberdaya hutan terkait dengan (a) tidak berimbangnnya porsi kegiatan pemanfaatan dengan kegiatan rehabilitasi hutan dalam kebijakan pengelolaan hutan yang
27
digariskan pemerintah; dan (b) pemanfaatan yang lebih terkonsentrasi pada pemanfaatan hasil hutan kayu. Kebijakan pemerintah dalam pengelolaan hutan lebih menitikberatkan pada pemanfaatan kayu dibanding pemanfaatan lainnya (sumber obat-obatan dan jasa lingkungan untuk ekowisata). Orientasi dan kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya hu tan selama ini sering dinilai sebagai ”hanya berorientasi kayu” (timber oriented). Banyak manfaat lain dari sumberdaya hutan yang belum diperhitungkan secara maksimal termasuk dalam menentukan nilai akhir dari satu meter kubik kayu saat dipasarkan. Pasar kayu Indonesia telah gagal didalam menetapkan harga kayu. Harga kayu yang berlaku dipasaran tidak mencerminkan nilai kayu yang sesungguhnya. Keadaan ini menujukkan fakta empiris, bahwa telah terjadi kegagalan pasar untuk kayu Indonesia (market failure ) yang menyebabkan komoditi kayu itu sendiri dihargai sedemikian rendah (undervalued ). 2.3.2. Kronologis Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Alasan yang mendorong pemerintah berorientasi hanya pada eskploitasi kayu dalam kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan antara lain karena strategi pembangunan yang lebih didasarkan pada kebutuhan ekspor. Hal ini ditandai, antara lain dengan upaya diversifikasi ekspor dari minyak bumi dan gas merambah ke sumberdaya alam lain, yaitu hutan melalui kegiatan pembalakan dalam skala besar dan komersial dengan sistem Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Strategi ini menurut World Bank (2000) telah mengakibatkan tingginya tingkat ekspansi ekonomi selama hampir tiga dekade terakhir. Kegiatan pembalakan sekala besar dan komersial melalui sistem HPH diduga telah menjadi salah satu penyebab utama kerusakan serta penurunan kualitas ekosistem hutan dan lingkungan. Sementara itu, turut memperparah keadaan adalah fakta bahwa berbagai kegiatan ekspolitasi hutan dan industri perkayuan telah menimbulkan satu konglomerasi negatif, karena berbagai industri tersebut didominasi oleh segelintir konglomerat. Bahkan dalam banyak hal, HPH telah dimanfaatkan sebagai bagian dari kronisme politik. Dalam konstelasi seperti ini, kartel pemasaran kayu lapis, dinilai telah memberikan pengaruh sangat besar dalam proses penentuan arah kebijakan dan penyelenggaraan kegiatan pembangunan sektor kehutanan. Uraian berikut merupakan ilustrasi yang menggambarkan secara ringkas kronologis kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan .
28
Pemanfaatan sumberdaya hutan untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi dimulai secara intensif sejak tahun 1967, sebagai tidak lanjut dari kerjasama dengan IMF pada tahun 1966. Dari kerjasama tersebut, Indonesia mulai menerima pinjaman dana internasional, me mbuka diri bagi investasi asing, dan mulai mengembangkan kebijakan ekonomi pasar yang bertumpu pada pertumbuhan. Selanjutnya, kebijakan ekonomi pasar ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya paket kebijakan pengelolaan hutan yang tediri dari UndangUndang Pokok Kehutanan No. 5 tahun 1967, PP No. 33 tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan, dan PP No. 21 tahun 1970 tentang Pengusahaan Hutan. Paket kebijakan tersebut menciptakan iklim kondusif bagi perusahaanperusahaan (termasuk perusahaan asing) untuk memulai kegiatan eksploitasi hutan skala besar
secara komersial. Hasilnya, pada era ’70-an Indonesia
mengalami ”timber booming ”, dan mulai masuk pada jajaran negara pengekspor kayu bulat terbesar di dunia. Pada tahun 1982, kayu menjadi sumber devisa negara terbesar kedua setelah minyak dan gas bumi (Departemen Kehutanan, 1993). Selama tahun 1980 - 1985 pemerintah mengeluarkan sejumlah peraturan yang mengharuskan adanya peningkatan pasokan kayu bulat untuk kebutuhan peningkatan industri
perkayuan dalam negeri, dengan
alasan untuk
meningkatkan nilai tambah yang kemudian dilanjutkan dengan penghentian ekspor kayu bulat. Pada tahun 1981, pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang industri kehutanan terpadu yang berbasiskan pada kayu lapis. Kondisi ini melahirkan dominasi industri kayu lapis yang kemudian menghantarkan negara Indonesia sebagai pengekspor kayu lapis terbesar di dunia. Pada tahun 1987 Indonesia tercatat menguasai 58 persen dari total ekspor kayu lapis dunia. Sejak akhir tahun 80-an indsutri kayu lapis terus mengalami perkembangan antara lain karena adanya kebijakan pajak ekspor yang akhirnya hanya menguntungkan perkembangan industri tersebut dibanding terhadap industri perkayuan lainnya (Departemen Kehutanan, 1993). Pada akhir tahun 1980 -an beberapa wilayah utama pemasok bahan baku kayu (antara lain Sumatera Utara dan Kalimantan Timur) mulai mengalami kelangkaan kayu akibat eksploitasi berlebihan. Beberapa wilayah lain pun pada periode yang sama, mulai memperlihatkan kecenderungan serupa. Sebagai tindak lanjut untuk mengatasi permasalahan kelangkaan kayu pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang pengembangan Hutan Tanaman Industri (HTI)
29
yang diiringi dengan pengembangan industri pulp dan kertas. Selanjutnya pemerintah juga mengeluarkan kebijakan mengenai pengembangan Perkebunan Besar Kelapa Sawit. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa setidaknya sampai tahun 1980-an, produk hasil hutan didominasi oleh kayu bulat. Kemudian, industri perkayuan bergeser dominasinya ke industri kayu lapis sejalan dengan kebijakan peningkatan industri hilir di dalam negeri melalui pengurangan ekspor kayu bulat, sampai akhirnya pelarangan secara penuh ekspor kayu bulat pada tahun 1985. Kondisi ini telah memberikan implikasi meningkatnya tekanan terhadap sumberdaya hutan yang dicerminkan oleh tingkat kerusakan dan degradasi hutan yang begitu tinggi (bervariasi antara 1,3 – 2,4 juta ha per tahun). Untuk mengatasi tingkat kerusakan dan degradasi hutan yang semakin meningkat, pemerintah mengkaji penerapan pengelolaan hutan tradisional oleh masyarakat lokal, khusunya masyarakat adat yang pada saat munculnya sistem HPH berbagai sistem pengelolaan hutan tradisonal ini tidak terakomodasi dengan baik, dan bahkan termarjinalisasi.
Sesungguhnya, ada beberapa
kebijakan pemerintah yang berorientasi pada kepentingan pemberdayaan masyarakat,
seperti
program
pengembangan
hutan
rakyat,
hutan
kemasyarakatan, bina desa hutan, pembangunan masyarakat desa hutan, aneka usaha kehutanan, dan hutan cadangan pangan, namun implementasi dari kebijakan-kebijakan ini di lapangan dinilai tidak optimal dan tidak mencapai sasaran yang digariskan. Hal ini dikarenakan berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak berhasil menjawab persoaln riil yang menjadi akar dari berbagai gejala yang justru muncul dan berkembang di tengah masyarakat, yakni persolan ketidakjelasan sistem kepemilikan (tenurial system) dan hak-hak kepemilikan (property rights) (Khans, 1996). Ada pula kebijakan kehutanan yang berkaitan dengan aspek rehabilitasi dan konservasi hutan dan lingkungan, antara lain kegiatan reboisasi dan penghijauan, pembangunan Hutan Tanaman Industri, dan ratifikasi berbagai perjanjian internasional berkaitan dengan tujuan konservasi seperti CITES. Beberapa kebijakan ini dalam pelaksanaannya justru tidak sejalan dengan tujuan rehabilitasi dan konservasi itu sendiri. Hutan Tanaman Industri (HTI) bahkan menjadi salah satu penyebab kerusakan hutan alam (World Bank, 1993). Kondisi ini semakin diperparah dengan
adanya dukungan pemerintah dalam bentuk
dana reboisasi (DR). Insentif dana reboisasi pada program HTI
ternyata
30
menyebabkan peningkatan permintaan akan areal-areal hutan alam untuk alasan pemenuhan bahan baku, karena dalam waktu yang bersamaan telah dilakukan investasi besar-besaran dalam rangka memperbesar kapasitas industri pulp dan kertas. Menurut World Bank (2000) akibat ketidaktepatan insentif ini, hutan -hutan alam menjadi rusak, sementara areal-areal yang benar-benar ditanami jauh lebih rendah dari yang ditargetkan. Sejalan dengan laju
perkembangan HTI, perkebunan besar juga
memperlihatkan kecepatan serupa pada waktu yang bersamaan. Hal ini dicerminkan oleh meningkatnya pembukaan perkebunan besar kelapa sawit dan karet. Kondisi ini dipacu oleh kebijakan pemerintah yang cenderung mendukung pembangunan perkebunan skala besar. Hal ini tertuang antara lain dalam peraturan pemerintah yang menetapkan bahwa perkebunan dapat diusahakan di kawasan hutan konservasi. Akibatnya, permintaan lahan perkebunan besar juga turut meningkat dan turut mendorong meningkatnya laju deforestasi dan degradasi hutan. Kronologis kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan yang dikeluarkan pemerintah memberikan gambaran bahwa paradigma pebangunan kehutanan yang dianut
tidak akan kondusif untuk pencapaian pengelolaan sumberdaya
hutan secara berkelanjutan. Hal ini dapat ditunjukkan oleh laju deforestasi dan degradasi hutan yang semakin besar, semakin meningkatnya bermacam konflik baik konflik vertikal maupun horizontal yang terkait dengan pemanfaatan dan kepemilikan lahan, kapasitas indu stri perkayuan nasional yang melebihi kemampuan pasokan kayu bulat dari hutan alam secara lestari, ketimpangan redistribusi manfaat hasil hutan, dan peningkatan konversi hutan alam untuk perkebunan besar (Proyek Agenda 21 Sektoral, 2000). 2.3.3. Kebijakan Sektor Kehutanan Selama tiga dekade,
sejak tahun 1967 kebijakan sektor kehutanan
sejalan dengan kebijakan pembangunan nasional cenderung berorientasi pada aspek pengaturan pengelolaan dengan titik berat pada produksi hasil hutan atau pengusahaan hutan alam. Orientasi seperti ini, menempatkan
sumberdaya
hutan sebagai sumber pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang menyebabkan penurunan potensi sumberdaya hutan mencapai lebih dari 50 persen (Kartodihardjo, 1999). Sedangkan bila dilihat dari isi kebijakan, kebijakan sektor kehutanan umumnya lebih bersifat teknis, perizinan, dan prosedur operasional. Misalnya hanya seputar pengaturan urut-urutan suatu kegiatan yang
31
perlu dilakukan. Dengan corak isi kebijakan seperti itu maka ukuran keberhasilan lebih ditentukan oleh proses administratif pencapaian aturan dimaksud yang dalam banyak kasus bahkan lepas dari esensi dan semangat pengaturan itu sendiri. Dalam proses penyusunan Rencana Kerja Tahunan (RKT), misalnya, tidak ada kaitan antara lulusnya RKT dengan tingkat manfaat dokumen RKT sebagai fungsi perencanaan. Masih
dari
segi
isi,
ada
banyak
indikasi
yang
menunjukkan
ketidakharmonisan antara isi atau substansi kebijakan dengan semangat dan esensi kebijakan yang ingin dicapai. Sebagai contoh, melalui Program Pembangunan Masyarakat Desa Hutan (PMDH), pemerintah menginginkan peran dan kontribusi langsung keberadaan HPH kepada masyarakat di dalam dan di sekitar areal konsesinya. Namun dalam pelaksanaannya, isi kebijakan PMDH ini menyebabkan beban biaya operasional PMDH semakin membengkak dan ironinya pembengkakan ini sama sekali tidak berkaitan dengan kemungkinan peningkatan produktivitas ataupun efisiensi perusahaan (Khans, 1996). Bahkan menurut Katrodihardjo (1999) PMDH tidak mampu mendistribusikan manfaat hutan kepada pihak yang tepat (intended beneficiaries) secara adil dan proporsional. Berkaitan dengan proses pembuatan kebijakan,
kebijakan sektor
kehutanan cenderung tidak transparan dan bahkan terkesan tertutup. Hal ini dapat dipahami mengingat sistem pemeritahan yang selama ini bersifat sentralistik dengan orientasi kepentingan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat (state based oriented). Dalam proses seperti ini keberpihakan menjadi tidak jelas dan dapat bergeser pada pihak-pihak yang memegang kendali kekuasaan atau pihak-pihak didekatnya, terutama pihak-pihak
yang menguasai faktor-faktor
produksi yang notabene menguasai hajat hidup orang banyak. Dengan kata lain, proses pembuatan kebijakan selama ini tidak secara serius menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan lainnya (Kartodihardjo, 2000). Dengan pemberlakuan sistem desentralisasi melalui Undang -Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah maka kebijakan sektor kehutanan seharusnya lebih transparan, demokratis, dan mengakomodir nilai-nilai budaya lokal yang diyakini dapat diterima oleh semua pihak yang berkepentingan terhadap sumberdaya hutan.
32
2.4. Kawasan Perbatasan Kawasan perbatasan Indonesia terdiri dari perbatasan darat yang berbatasan langsung dengan Malaysia, Papua Nugini (PNG), dan Timor Leste serta perbatasan laut yang berbatasan dengan 10 negara, yaitu India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Republik Palau, Australia, Timor Leste, dan Papua Nugini (PNG). Kawasan perbatasan darat Indoensia berada di tiga pulau yaitu Pulau Kalimantan, Pulau Papua, dan Pulau Timor, serta tersebar di empat provinsi, yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Papua, dan Nusa tenggara Tomur. Setiap kawasn perbatasan memiliki kondisi yang berbeda satu sama lain. Kawasan perbatasan di Kalimantan berbatasan dengan Negara Malaysia yang masyarakatnya lebih sejahtera. Kawasan perbatasan di Papua, masyarakatnya relatif setara dengan masyarakat PNG, sementara dengan Timor Leste kawasan perbatasan Indoensia masih relatif baik dari segi infrastruktur maupun tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Kawasan perbatasan darat di Kalimantan memiliki kawasan perbatasan dengan Malaysia di delapan kabupaten yang berada di wilayah Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Wilayah Kalimantan Barat berbatasan langsung dengan wilayah Serawak sepanjang 847,3 KM yang melintasi 98 desa dalam 14 kecamatan di lima kabupaten, yaitu Kabupaten Sanggau, Kapuas Hulu, Sambas, Sintang, dan Bengkayang. Dari kelima kabupaten tersebut hanya ada terdapt dua pintu perbatasan (border gate) resmi, yaitu di Kabupaten Sanggau dan Bengkayang. Kabupaten Sanggau memiliki fasilitas Custom, Imigration, Quarantine, and Security (CIQS) dengan kondisi yang relatif baik, sedangkan fasilitas CIQS di tempat lainnya maish sederhana serta belum didukung oleh aksesbilitas yang baik karena kondisi jalan yang buruk. Potensi siumberdaya alam
di kawasan perbatasan Kalimantan Barat
cukup besar dan bernilai ekonomi sangat tinggi, terdiri dari hutan produksi (konversi), hutan lindung, dan danau alam yang dapat dikembangkan menjadi daerah wisata alam (ekowisata) serta sumberdaya laut yang ada di sepanjang perbatasan Kalimantan Barat. Beberpa sumberdaya alam tersebut berstatus taman nasional dan hutan lindung yang perlu dijaga kelestariannya seperti Cagar Alam Gunung Nyiut, Taman Nasional Betung Kerihun, dan Suaka Margastawa Danau Sentarum. \
33
Seiring dengan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di kawasan perbatasan, maka berbagai kegiatan ilegal telah terjadi seperti pencurian kayu atau penebangan kayu liar (illegal logging ) yang dilakukan oleh oknum-oknum di negara tetangga bekerjasama dengan masyarakat Indonesia. Kegiatan penebangan kayu secara liar oleh masyarakt Indonesia ini dipicu oleh kemiskinan dan rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat di sekitar perbatasan, serta lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di kawasan tersebut. Isu dan permasalahan pengelolaan kawasan perbatasan baik perbatasan darat maupun laut, dapat dikelompokkan menjadi enam aspek, yaitu kebijakan pembangunan, ekonomi sosial dan budaya, pertahanan dan keamanan, pengelolaan sumberdaya alam, kelembagaan dan kewenangan, serta kerjasama antar negara. Pada aspek kebijakan pembangunan, ada dua hal pokok yang menjadi permasalahan yaitu kebijakan pembangunan di masa lalu yang belum berpihak kepada kawasan-kawasan tertinggal dan terisolir dan belum adanya kebijakan dan strategi nasional pengembangan kawasan perbatasan. Selama beberapa puluh tahun masalah perbatasan masih belum mendapat perhatian yang cukup dari pemerintah. Hal ini tercermin dari kebijakan pembangunan yang kurang memperhatikan kawasan perbatasan dan lebih mengarah kepada wilayahwilayah yang padat penduduk, aksesnya mudah dan potensial, sedangkan kebijakan pembangunan di daerah -daerah terpencil, terisolir dan tertinggal seperti kawasan perbatasan masih belum diprioritaskan. Pada GBHN 1999-2004 secara tegas telah mengamanatkan arah kebijakan pembangunan daerah perbatasan yaitu meningkatkan pembangunan di seluruh daerah, terutama di Kawasan Timur Indonesai (KTI), daerah perbatasan dan wilayah tertinggal lainnya dengan berlandaskan pada prinsip desentralisasi dan otonomi daerah. Sasarannya adalah terwujudnya peningkatan kehidupan soial-ekonomi dan kesejahteraan sosial masyarakat, terkelolanya potensi wilayah, ketertiban serta keamanan wilayah perbatasan. Namun demikian, sejauh ini belum tersusun suatu kebijakan nasional yang memuat arah, pendekatan, dan strategi pengembangan
kawasan
perbatasan
yang
bersifat
menyeluruh
dan
mengintegrasikan fungsi dan peran seluruh stakeholders wilayah perbatasan, baik di pusat maupun daerah secara menyeluruh dan terpadu. Hal ini
34
mengakibatkan penanganan pembangunan wilayah perbatasan terkesan terabaikan dan masih bersifat parsial. Paradigma pengelolan wilayah perbatasan di masa lampau sebagai ”halaman belakang” wilayah NKRI membawa implikasi terhadap wilayah ini sebagai daerah yang terisolir dan tertinggal dari sisi ekonomi dan sosial. Munculnya paradigma ini, disebabkan oleh sistem poltik yang sentralsitik dan sangat menekankan stabillitas keamanan. Disamping itu, secara historis hubungan Indonesia dengan beberapa negara tetangga pernah dilanda konflik, serta seringkali terjadinya pemberontakan-pemberontakan di dalam negeri. Konsekuensinya,
persepsi
penanganan
wilayah
perbatasan
lebih
didominasi pandangan untuk mengamankan perbatasan dari potensi ancaman dari luar (external threat) dan cenderung memposisikan kawasan perbatasan sebagai sabuk pengaman (security belt). Hal ini mengakibatkan pengelolaan wilayah perbatasan dengan pendekatan ke sejahteraan melalui optimalisasi potensi sumberdaya alam, terutama yang dilakukan investor swasta tidak berjalan. Menurut UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang PROPENAS bahwa arah kebijakan pembangunan kawasan perbatasan meliputi; a) Meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat; b) Meningkatkan kapasitas pengelolaan potensi kawasan perbatasan; dan c) Meningkatkan ketertiban dan keamanan daerah yang berbatasan dengan negara lain. Wilayah perbatasan memiliki potensi sumberdaya hutan yang belum dimanfaatkan dan di kelola secara optimal. Pengelolaan sumberdaya hutan diwilayah perbatasan perlu memperhatikan upaya pelestarian fungsi hutan sebagai
sistem
penyangga
kehidupan
bagi
kesejahteraan
masyarakat.
(BPKH wilayah III, 2004). Jika dicermati, di wilayah perbatasan terjadi aktivitas ekonomi yang relatif tinggi khususnya yang berkaitan dengan sumberdaya hutan/kayu. Akibatnya, muncul banyak permasalahan di kawasan ini seperti kesenjangan ekonomi, terjadinya praktek-praktek illegal loging, ketertinggalan pembangunan dan keterisolasian wilayah (Suratman, 2004). Salah satu kebijakan pembangunan ekonomi yang akan dilaksanakan pemerintah daerah provinsi Kalimantan Barat adalah melalui pengembangan wilayah perbatasan. Kebijakan ini penting karena 5 dari 10 kabupaten/kota yang ada di Kalimantan Barat memiliki wilayah administrasi kawasan perbatasan. Dasar kebijakan pengembangan kawasan perbatasan tertuang dalam perda
35
nomor 1 tahun 1995 tentang RTRWP Kalimantan Barat yang menetapkan wilayah perbatasan sebagai kawasan tertentu/strategis yang diprioritaskan pengembangannya. Selanjutnya, implementasi perda ini tertuang pada Properda Kalimantan Barat 2000 – 2005 yang dikhususkan untuk pembangunan wilayah perbatasan (BAPPEDA Provinsi Kalimantan Barat, 2001). Pembangunan daerah perbatasan bertujuan untuk merangsang kegiatan produksi masyarakat, meningkatkan pembangunan dan pelayanan masyarakat, serta mendorong dan meningkatkan mutu lingkungan (Bappeda Provinsi Kalimantan Barat, 2003).
Disamping itu, kerjasama bidang sosial ekonomi
antara Pemerintah Indonesia dan Malaysia (Sosek Malindo) yang ditandatangani pada sejak tanggal 13 Desember 1984 bertujuan untuk: a) Meningkatkan pembangunan jalan yang menghubungkan dua negara b) Terselenggaranya pertukaran informasi, c) Kesepakatan prosedur dan syarat lintas batas bagi kendaraan umum maupun perdagangan d) Kerjasama di bidang kehutanan antara Departemen Kehutanan dengan Jabatan kehutanan Serawak pada daerah Bentuang Karimun dan Lanjak, Kabupaten Kapuas Hulu dengan Danau Entimau Serawak. Visi dari kerjasama ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat kedua daerah melalui kerjasama Sosek Malindo menuju tahun 2020. Sedangkan Misi kerjasama ini adalah: a) Menciptakan kondisi sosial ekonomi dan budaya yang kondusif bagi kesejahteraan masyarakat masing -masing daerah. b) Meningkatkan
kerjasama
ekonomi
yang
berkeadilan
dan
saling
menguntungkan kedua belah pihak serta tetap berorientasi pada kelestarian lingkungan. c) Meningkatkan kerjasama sosial dan budaya dalam upaya meningkatkan kualitas dan pemberdayaan sumberdaya manusia di kedua daerah. Beberapa strategi yang dilakukan untuk mewujudkan tujuan dari kerjasama tersebut adalah: a) Debirokratisasi sistem dan prosedur dalam hal pengurusan. b) Pemberian kepastian hukum, perlindungan dan penegakan hukum. c) Harmonisasi perundangan kedua negara yang berkaitan dengan kegiatan sosial ekonomi dan sosial budaya di kedua daerah.
36
d) Penggalian potensi ekonomi dan investasi atas dasar kerjasama yang saling menguntungkan serta adil. e) Peningkatan kualitas dan pemberdayaan sumberdaya manusia melalui kerjasama bidang pendidikan, kesehatan, ilmu pengetahuan, dan teknologi, serta budaya. f)
Peningkatan kualitas lingkungan melalui kerjasama program-program perbaikan kerusakan dan pengendalian atas dampak negatif pembangunan. Menurut Guo (1996) Kalimantan Barat adalah salah satu dari empat
provinsi di Indonesia yang secara langsung mempunyai perbatasan darat dengan negara tetangga yaitu serawak Malaysia Timur. Di wilayah perbatasan (wilayah Kalimantan barat) potensi sumberdaya hutan relatif besar dan belum dikelola secara optimal. Selain memang adanya keterbatasan baik fisik maupun sosial ekonomi dikawasan ini, juga dikarenakan kurangnya perhatian dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah terhadap pengelolaan sumberdaya di wilayah perbatasan. Akibatnya, kawasan perbatasan yang kaya akan sumberdaya alam khususnya sumberdaya hutan belum bisa memberikan kontribusi yang besar terhadap
peningkatan
kesejahteraan
masyarakat
maupun
peningkatan
pendapatan asli daerah (PAD). Hal ini disebabkan lemahnya kosentrasi pembangunan ke kawasan perbatasan khususnya pembangunan sektor kehutanan yang kurang mendapat prioritas didalam perencanaan pembangunan. Di sisi lain, kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah perbatasan terkesan masih bersifat sektoral dan belum mencakup aspek Ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, hukum dan kelembagaan. 2.5.
Rapid Apraissal Indeks Sustainable For Forest Management (RapInsusforma) Rapid apraissal (RAP) adalah suatu teknik multi-dislipinary untuk
mengevaluasi comparative sustainability berdasarkan sejumlah atribute/Indikator yang mudah untuk di skoring (Fauzi dan Anna, 2005). Insusforma merupakan singkatan dari Index Sustainable For Forest Management atau indeks keberlanjutan
pengelolaan
mengaplikasikan
sumberdaya
pendekatan
hutan.
Rap-Insusforma
Penelitian dalam
ini
mencoba
memotret
status
keberlanjutan pembangunan sumberdaya hutan dengan mengambil studi kasus di wilayah perbatasan Kalimantan Barat. Menurut CIFOR (1999) definisi atribut atau indikator adalah variabel atau komponen dari ekosistem hutan atau sistem pengelolaan yang digunakan untuk
37
menyimpulkan status suatu kriteria. Penentuan atribut atau indikator di sektor kehutanan haruslah menyampaikan satu pesan tunggal yang berarti. Pesan yang berarti tersebut disebut informasi. Informasi ini akan mewakili suatu kumpulan atau beberapa unsur data yang saling berhubungan (CIFOR,1999) Proses Rapid Apraissal Analysis, adalah teknik yang dikembangkan oleh University of British Columbia Canada untuk sumberdaya perikanan, untuk mengevaluasi keberlanjutan sumberdaya perikanan secara multidisipliner. Metode ini adalah metode yang sederhana dan fleksibel yang menampung kreativitas
dalam
pendekatannya
terhadap
suatu
masalah. Metode ini
memasukkan pertimbangan - pertimbangan melalui penentuan atribut yang akhirnya menghasilkan skala prioritas (Fauzy dan Anna, 2005). Dalam Rapid Apraisal Analysis, sumberdaya dapat saja di definisikan sebagai suatu entitas dalam lingkup yang luas, atau dalam lingkup sempit misalnya
dalam
satu
yurisdiksi.
Sejumlah
atribut
sumberdaya
dapat
dibandingkan, atau bahkan trajektori waktu dari individual sumberdaya dapat di plot. Atribut dari setiap dimensi yang akan di evaluasi dapat dipilih untuk merefleksikan keberlanjutan, serta dapat diperbaiki atau diganti ketika informasi terbaru diperoleh (Fauzi dan Anna, 2005). Penggunaan analisis Rapid Apraissal yang mencakup aspek dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, hukum dan kelembagaan akan diperoleh gambaran yang jelas dan komprehensif mengenai kondisi sumberdaya hutan khususnya di daerah wilayah penelitian, sehingga akhirnya dapat dijadikan bahan untuk menentukan kebijakan yang tepat untuk mencapai pembangunan kehutanan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Menurut CIFOR (1999) definisi atribut atau indikator adalah variabel atau komponen dari ekosistem hutan atau sistem pengelolaan yang digunakan untuk menyimpulkan status suatu kriteria. Penentuan atribut atau indikator di sektor kehutanan haruslah menyampaikan satu pesan tunggal yang berarti. Pesan yang berarti tersebut disebut informasi. Informasi ini akan mewakili suatu kumpulan atau beberapa unsur data yang saling berhubungan (CIFOR,1999). Menurut Susilo (2003) atribut-atribut pembangunan berkelanjutan dari setiap dimensi tersebut dapa t dianalisis dan digunakan untuk menilai secara cepat status keberlanjutan pembangunan sektor tertentu dengan menggunakan metode multi variabel non -parametrik yang disebut multidimensional scaling (MDS). Metode ini belum pernah dilakukan untuk mengevaluasi pembangunan
38
bidang kehutanan. Metode Rapid Apraisal pernah digunakan untuk mengevaluasi pembangunan perikanan yang dikenal dengan nama RAPFISH (The Rapid Appraisal of the Status of Fisheries) dan di bidang peternakan untuk desain sistem budi daya sapi potong berkelanjutan. Hasil evaluasi keberlanjutan sumberdaya hutan ini akan dilakukan analisis keterkaitan dan ketergantungan antar faktor untuk menentukan urutan prioritas kebijakan. Faktor-faktor yang dominan akan menjadi dasar untuk membangun model. Dalam Rapid Appraisal Analysis, analisis data dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu (1) tahap penentuan atribut deskriptor yang mencakup lima dimensi (Ekologi, Ekonomi, Sosial, Hukum dan Teknologi); (2) Tahap penilaian setiap atribut dalam skala ordinal berdasarkan kriteria keberlanjutan setiap dimensi; (3) Tahap analisis ordinasi indeks keberlanjutan dilakukan dengan menggunakan
metode
multi
variable
non-parametrik
yang
disebut
multidimensional scaling (MDS). Selanjutnya analisis Montecarlo untuk mengukur sensitivitas yang telah dipadukan menjadi satu dalam perangkat lunak tersebut, dan analsisis laverage untuk menentukan aspek anomali dari atribut yang dianalisis (Mersyah, 2004). Fauzi dan Anna (2005) menyatakan bahwa prosedur Rapid appraisal indeks status keberlanjutan sumberdaya dilakukan melalui lima tahapan yaitu: (1) Analisis terhadap data sektor yang diteliti melalui data statistik dan studi literature dan pengamatan dilapangan; (2) Melakukan skoring dengan mengacu pada literatur dengan menggunakan Excell; (3) Melakukan analisis MDS dengan software SPSS untuk menentukan ordinasi dan nilai “stress” melalui ALSCAL Alogaritma; (4) Melakukan rotasi untuk menentukan posisi sumberdaya pada ordinasi bad dan good dengan excell dan Visual Basic; (5) Melakukan sensitivity analysis (leverage analysis) dan Monte Carlo Analysis untuk memperhitungkan aspek ketidakpastian. 2.6.
Model Definisi model adalah suatu penggambaran abstrak dari sistem dunia
nyata (riil), yang akan bertindak seperti dunia nyata untuk aspek-aspek tertentu ( Manetsch and Park, 1997). Model dikelompokkan menjadi 3 jenis yaitu model kuantitatif, kualitatif dan ikonik (Aminullah, 2003). Model yang baik
akan
memberikan gambaran perilaku dunia nyata sesuai dengan permasalahan dan akan me minimalkan perilaku yang tidak signifikan dari sistem yang dimodelkan.
39
Salahsatu cara untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks adalah dengan menggunakan konsep model simulasi. Dengan menggunakan simulasi, maka model akan mengkomputasikan jalur wa ktu dari variabel model untuk tujuan tertentu dari input sistem dan parameter model. Karena itu model simulasi akan dapat memprediksi dunia riil yang kompleks. Model juga dapat digunakan untuk keperluan optimasi, dimana suatu kriteria model dioptimalkan terhadap input atau struktur sistem alternatif. Karena itu, model dapat dibangun dengan basis
data (data base) atau basis pengetahuan (knowledge base)
(Eriyatno, 2003). Menurut Muhammadi et al., (2001), pemahaman struktur dan perilaku sistem akan membantu dalam pembentukan model dinamika kuantitatif formal, dengan menggunakan diagram sebab akibat (causal loop) dan diagram alir (flow chart). Diagram sebab akibat akan dipergunakan sebagai dasar untuk mebuat diagram alir yang akan disimulasikan dengan menggunakan program
model
yang ada dalam software atau program untuk analisis sistem, sehingga setelah dilakukan analisis akan didapatkan kesimpulan dan kebijakan apa yang harus dilaksanakan. Menurut Muhammadi et al. (2001) tahapan-tahapan untuk melakukan simulasi model adalah sebagai berikut. a. Penyusunan konsep. Pada tahap ini dilakukan identifikasi variabel-variabel yang berperan dalam menimbulkan
gejala
atau
proses.
Variabel-variabel
tersebut
saling
berinteraksi, saling berhubungan, dan saling berketerg antungan. Kondisi ini dijadikan sebagai dasar
untuk menyusun gagasan atau konsep mengenai
gejala atau proses yang akan disimulasikan. b. Pembuatan model. Gagasan atau konsep yang dihasilkan pada tahap pertama selanjutnya dirumuskan sebagai model yang berbentuk uraian , gambar atau rumus. c. Simulasi. Simulasi dilakukan dengan menggunakan model yang telah dibuat. Pada model kuantitatif, simulasi dilakukan dengan memasukkan data ke dalam model, sedangkan
pada model kualitatif, simulasi dilakukan dengan
menelusu ri dan melakukan analisis hubungan sebab akibat antar variabel dengan memasukkan data atau informasi yang dikumpulkan untuk memahami perilaku gejala atau proses model
40
d. Validasi hasil simulasi. Validasi
bertujuan untuk mengetahui kesesuaian antara hasil simulasi
dengan gejala atau proses yang ditirukan. Model dapat dinyatakan baik jika kesalahan atau simpangan hasil simulasi terhadap gejala atau proses yang terjadi di dunia nyata relatif kecil. Hasil
simulasi yang sudah divalidasi
tersebut digunakan untuk memahami perilaku gejala atau proses serta kecenderungan di masa depan, yang dapat dijadikan sebagai dasar bagi pengambil keputusan untuk merumuskan suatu kebijakan di masa mendatang . 2.7. Hasil Penelitian Terdahulu. Ada beberapa hasil penelitian terdahulu yang berhubungan dengan topik penelitian ini, baik yang berhubungan dengan metode yang digunakan (Rapid appraisal-multidimensional scaling ). Menurut Fauzi dan Anna (2002) metode MDS dapat dipergunakan untuk melakukan analisis keberlanjutan pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan. Melalui penelitian yang berjudul ”Evaluasi Status Keberlanjutan Sumberdaya Perikanan: Aplikasi Pendekatan Rafish (Studi kasus perairan pesisir DKI Jakarta), Fauzi dan Anna menyusun sebanyak 47 atribut yang dikelompokkan ke dalam lima dimensi (aspek), yaitu: dimensi ekonomi, dimensi sosial, dimensi teknologi, dimensi etika, dan dimensi ekologi untuk menggambarkan kondisi sistem pengelolaan sumberdaya perikanan pada saat penelitian dilakukan(exisiting condition). Hasil penelitian diperoleh 15 Atribut yang sensitif mempengaruhi nilai indeks keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan di perairan pesisir DKI Jakarta yaitu: 1) dimensi ekonomi: marketable right, sector employment, dan other income ; 2) dimensi sosial: education level, environmental knowledge, fishing income ; 3) dimensi teknologi: selective gear, on-board handling Ice 1.5, dan gear; 4) dimensi etika: just management, illegal fishing, dan alternative; dan 5) dimensi ekologi: range collapse, change in level, dan size of fish caught. Susilo (2003) melalui penelitiannya yang berjudul “Keberlanjutan Pembangunan Pulau-Pulau Kecil: Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta”, menggunakan metode Rapid appraisal multidimensionl scaling melalui aplikasi Rafish dan simulasi model ekonomi-ekologis. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pembangunan pulaupulau kecil di Kelurahan Pulau Panggang dan Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta belum berkelanjutan. Dari lima dimensi yang dikaji (ekologi, ekonomi,
41
sosial, teknologi, hukum dan kelembagaan) didapatkan bahwa dimensi ekonomi memiliki nilai keberlanjutan paling rendah dan kondisi ekonomi dan ekologi di lokasi tersebut dalam kondisi tidak seimbang. Dalam melakukan analisis disusun sebanyak 61 atribut dan ternyata dua atribut yang tidak sensitif berpengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan sehingga dihilangkan/diabaikan. Mersyah (2005) menggunakan metode pendekatan sistem dengan analisis non parametrik, multidimensional scaling dengan aplikasi Rafish , analisis Prospektif dan sistem dinamis (powersim) pada penelitian yang berjudul ”Desain Sistem Budidaya Sapi Potong Berkelanjutan untuk Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kabupaten Bengkulu Selatan”. MDS dengan aplikasi Rafish digunakan untuk menilai
keberlanjutan sistem budidaya sapi potong yang
dilakukan oleh masyarakat petani ternak di Kabupaten Begkulu Selatan dengan mengelompokkan atribut ke dalam lima dimensi, yaitu: dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial-budaya, dimensi teknologi, dimensi hukum dan kelembagaan. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa, sistem budidaya sapi potong di Kabupaten Bengkulu Selatan pada saat dilakukan penelitian termasuk kategori cukup berkelanjutan. Penelitian yang berhubungan dengan pengelolaan kawasan hutan di wilayah perbatasan pernah dilakukan oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah III dengan judul penelitian ”Rancangan Pengelolaan Kawasan Hutan Wilayah Perbatasan Indonesia -Malaysia di Kalimantan Barat” menggunakan metode
Focus Group Discussion(FGD) dan Stakeholder Meeting . Dari hasil
penelitian dapat dirmuskan beberapa rancangan pengelolan kawasan hutan di wilayah perbatasan yang di kelompokkan ke dalam tiga jenis kawasan yaitu; 1) pengelolaan kawasan hutan produ ksi dengan cara: melakukan koordinasi penataan kawasan, pemantapan kawasan, pemetaan potensi dan penyusunan basis data, penetapan Taman Nasional, pengelolaan sub DAS Paloh, dan studi AMDAL kawasan Paloh Sajingan; 2). pengelolaan kawasan hutan lindung dengan cara: penyelesaian penataan batas kawasan, penyusunan Kesatuan Pengelolaan
Hutan
Lindung
(KPHL),
dan
pemanfaatan
hutan
bakau;
3) pengelolaan kawasan hutan produksi dengan cara: penataan batas kawasan hutan produksi, identifikasi perizinan, efektifitas dan efisiensi pemanfaatan kayu, pembagian rencana kerja tahunan (RKT), dan penerbitan SKSHH. Secara rinci hasil penelitian terdahulu yang berhubungan dengan metode dan topik penelitian dapat dilihat padat Tabel 2.
42
Tabel 2. Hasil penelitian terdahulu yang berhubungan dengan topik penelitian No.
Nama Peneliti
Judul Penelitian
1.
Fauzi dan Anna
Evaluasi status keberlanjutan sumberdaya perikanan: aplikasi pendekatan Rafish (Studi kasus perairan pesisir DKI Jakarta)
2.
Susilo
Keberlanjutan pembangunan pulaupulau kecil: Studi kasus Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.
Waktu Penelitian 2002
2003
Metode Penelitian
Kesimpulan
“Rapid appraisal multidimensional: dengan menggunakan aplikasi Rafish
Ada 47 atribut yang disusun untuk mencerminkan keberlanjutan sumberdaya perikanan yang dikelompokkan ke dalam lima dimensi yaitu ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, dan etika. Atribut yang sensitif mempengaruhi status keberlanjutan masing-masing dimensi adalah: 1. Dimensi ekonomi: marketable right, sector employment, dan other income; 2. Dimensi sosial: education level, environmental knowl edge, fishing income; 3. Dimensi teknologi: selective gear, on-board handling Ice 1.5, dan gear; 4. Dimensi etika: just management, illegal fishing, dan alternative; dan 5. Dimensi ekologi: range collapse, change in level, dan size of fish caught. Rapid appraisal Pembangunan pulau-pulau kecil di Kelurahan multidimensional: Pulau Panggang dan Pari, Kepulauan seribu, DKI dengan Jakarta belum berkelanjutan. Dari lima dimensi menggunakan yang dikaji (ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, aplikasi Rafish dan hukum dan kelembagaan) didapatkan bahwa simulasi model dimensi ekonomi memiliki nilai keberlanjutan paling ekonomi-ekologis. rendah dan kondisi ekonomi dan ekologi di lokasi tersebut dalam kondisi tidak seimbang. Dalam melakukan analisis disusun sebanyak 61 atribut dan ternyata dua atribut yang tidak sensitif berpengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan.
\
43