15
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Lahan, Penggunaan Lahan dan Konversi Lahan Lahan merupakan bagian dari bentang lahan (landscape) yang mencakup pengertian lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, topografi/relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan (Sitorus, 2003). Pengelolaan sumberdaya lahan adalah segala tindakan atau perlakuan yang diberikan pada sebidang lahan untuk menjaga dan mempertinggi produktivitas lahan tersebut (Sitorus, 2003). Penggunaan lahan adalah segala macam campur tangan manusia, baik secara permanen atau siklus terhadap suatu kumpulan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan yang secara keseluruhan disebut lahan, dengan tujuan untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan baik kebendaan maupun spiritual atau kedua-duanya (LUCC, 2002). Penggunaan lahan adalah semua jenis penggunaan untuk pertanian, lapangan olah raga, rumah mukim hingga rumah sakit dan kuburan. Dari pengertian penggunaan lahan yang dikemukakan di atas dapat disederhanakan seperti yang dikemukakan oleh Tyrrell et al. (2004) yaitu penggunaan lahan adalah bentuk penggunaan oleh manusia terhadap lahan termasuk keadaan yang belum terpengaruh oleh kegiatan manusia. Penggunaan lahan merupakan hasil dari usaha manusia yang sifatnya terus menerus dalam memenuhi kebutuhannya terhadap sumberdaya lahan yang tersedia (Sitorus, 1989). Pengertian-pengertian tersebut menunjukkan bahwa penggunaan lahan berhubungan erat dengan aktivitas manusia dan sumberdaya lahan. Penggunaan lahan sifatnya dinamis, mengikuti perkembangan kehidupan manusia dan budayanya. Pengelolaan sumberdaya lahan secara garis besar mempunyai dua tujuan, yaitu : (1) tujuan fisik dan (2) tujuan ekonomi. Tujuan fisik adalah tujuan yang dinyatakan atau diukur dalam satuan-satuan fisik, yang dapat dinyatakan dalam satuan-satuan volume atau berat dari hasil yang diperoleh. Tujuan ekonomi dinyatakan atau diukur dalam terminologi-terminologi ekonomi, seperti
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
16
pendapatan bersih maksimum (Sitorus, 2003). Pada umumnya kedua tujuan tersebut compatible artinya kedua tujuan tersebut sejalan atau dicapai secara bersama-sama. Akan tetapi bisa juga kedua tujuan tersebut tidak sejalan (incompatible). Tata guna lahan terjadi dari (1) tata guna, yang berarti penataan atau pengaturan penggunaan, dan (2) lahan, yang berarti ruang (permukaan tanah serta lapisan batuan di bawahnya dan lapisan udara di atasnya), yang merupakan sumberdaya alam serta memerlukan dukungan berbagai unsure alam yang lain (Jayadinata, 1992). Tata guna lahan dapat ditinjau menurut suatu wilayah (regional land use) secara keseluruhan. Karena wilayah terdiri atas pedesaan dan perkotaan, maka tata guna lahan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (1) tata guna lahan pedesaan (rural land use) dan (2) tata guna lahan perkotaan (urban land use). Masyarakat menghadapi beberapa tantangan khusus dalam mengelola sumberdaya lahan. Lahan sebagai tempat bagi pertumbuhan tanaman atau tumbuhtumbuhan maupun kehidupan hewan, bagi aliran air, bangunan, transportasi dan sebagainya. Dengan banyaknya macam penggunaan lahan ini, maka dengan digunakannya sebidang lahan akan mempengaruhi penggunaan yang lain yang sifatnya potensial. Penggunaan
lahan
untuk
kehidupan
perkotaan
dengan
bangunan-
bangunannya, untuk tempat tinggal, industri, jalur-jalur transportasi, taman-taman dan sebagainya, akan mengurangi tersedianya lahan untuk kegiatan pertanian dan lapangan terbuka. Untuk mengubah lahan pertanian menjadi lahan untuk perkotaan tidaklah begitu mahal daripada sebaliknya. Karena mengubah lahan perkotaan untuk pertanian berarti harus menghancurkan investasi kapital yang sangat besar (Sitorus, 2003). Oleh karena itu, keputusan untuk mengubah lahan pertanian menjadi lahan non pertanian adalah keputusan yang berdampak tidak dapat dikembalikan ke keadaan semula, karena biayanya akan sangat besar. Jika suatu wilayah diamati dalam suatu periode waktu tertentu maka akan dijumpai suatu perubahan penggunaan lahan, yang sering juga disebut sebagai konversi lahan. Konversi lahan dapat dibedakan atas dua, yaitu yang bersifat musiman dan yang permanen.
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
17
Konversi lahan yang bersifat musiman yaitu perubahan penggunaan lahan dalam waktu satu tahun terjadi perubahan penggunaan lahan dua kali atau lebih yang disebabkan karena menyesuaikan faktor musim. Penggunaan lahan musiman biasa terjadi pada lahan pertanian tanaman pangan yang juga sering disebut rotasi tanaman. Sebagai contoh, lahan sawah pada musim penghujan digunakan untuk tanaman padi sawah dan pada musim kemarau untuk tanaman palawija. Konversi lahan musiman ini tidak hanya karena faktor musim saja, tetapi faktor kehendak manusia juga akan menentukan. Konversi lahan yang bersifat permanen, yaitu perubahan penggunaan lahan dalam periode waktu yang relatif lama. Konversi lahan yang bersifat permanen ini dapat disebabkan karena faktor perubahan alam, atau karena faktor kehendak manusianya sendiri. 2.2. Multifungsi Lahan Pertanian Istilah "multifungsi" pertanian mulai muncul di dunia internasional pada awal tahun 1992, di Rio Earth Summit (De Vries, 2000). Istilah "Multifungsi Pertanian" telah dengan cepat berkembang untuk digunakan dalam diskusi mengenai masalah lingkungan, pertanian dan perdagangan internasional, Pendukung multifungsi di bidang pertanian umumnya menunjukkan manfaat lain selain penghasil pangan atau serat yang bisa berasal dari pertanian, manfaat tersebut sering kurang/tidak dihargai di pasar dan jenisnya bervariasi yang sangat tergantung pada kondisi pertanian itu sendiri. Manfaat ini biasanya mencakup kontribusi terhadap kepentingan masyarakat pedesaan (melalui pemeliharaan pertanian keluarga, kesempatan kerja di pedesaan dan warisan budaya), biologis, keanekaragaman, rekreasi dan pariwisata, kesehatan air tanah, bioenergi, lansekap, pangan yang berkualitas dan aman, serta habitat bagi hewan-hewan tertentu. Pemahaman yang komprehensif terhadap multifungsi lahan pertanian sangat diperlukan agar kecenderungan "under valued" terhadap sumberdaya tersebut dapat dihindarkan (Bappenas, 2006). Fungsi utama lahan pertanian adalah untuk mendukung pengembangan produksi pangan, khususnya padi dan palawija. Namun justifikasi tentang perlunya pengendalian konversi lahan pertanian ke non pertanian harus berbasis pada pemahaman bahwa lahan pertanian mempunyai manfaat ganda (multifungsi) (Irawan,
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
18
2005). Berbagai klasifikasi manfaat yang dapat diperoleh masyarakat dari keberadaan lahan pertanian dapat dilihat pada Callaghan (1992), Munasinghe (1992), Yoshida (1994) dan Kenkyu (1998). Secara holistik, manfaat tersebut terdiri dari dua kategori: (1) nilai penggunaan (use values), dan (2) manfaat bawaan (non use values). Nilai penggunaan dapat pula disebut sebagai personal use values. Manfaat ini dihasilkan dari kegiatan eksploitasi atau kegiatan usahatani yang dilakukan pada sumberdaya lahan pertanian. Manfaat bawaan dapat pula disebut sebagai intrinsic values, yaitu berbagai manfaat yang tercipta dengan sendirinya walaupun bukan merupakan tujuan dari kegiatan eksploitasi yang dilakukan oleh pemilik lahan pertanian. Manfaat bawaan mencakup kontribusinya dalam mempertahankan keanekaragaman hayati, sebagai wahana pendidikan, dan sebagainya. Nilai penggunaan dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu manfaat langsung (direct use values) dan manfaat tidak langsung (indirect use values). Manfaat langsung mencakup dua jenis manfaat, yaitu : (1) Manfaat yang nilainya dapat diukur dengan harga pasar atau marketed output, yaitu berbagai jenis barang yang nilainya dapat terukur secara empirik dan diekspresikan dalam harga output, misalnya berbagai produk yang dihasilkan dari kegiatan usahatani. Jenis manfaat ini bersifat individual, berarti manfaat yang diperoleh secara legal hanya dapat dinikmati oleh para pemilik lahan. (2) Manfaat yang nilainya tidak dapat diukur dengan harga pasar (unpriced benefit). Jenis manfaat ini tidak hanya dapat dinikmati oleh pemilik lahan tetapi dapat pula dinikmati oleh masyarakat luas, misalnya tersedianya pangan, wahana rekreasi, dan penciptaan lapangan kerja di pedesaan (Irawan, 2005). Manfaat tidak langsung dari keberadaan lahan pertanian umumnya terkait dengan aspek lingkungan. Yoshida (1994) dan Kenkyu (1998) menguraikan bahwa keberadaan lahan pertanian dari aspek lingkungan memberikan lima jenis manfaat, yaitu : kontribusinya dalam mencegah banjir, pengendali keseimbangan tata air, mencegah terjadinya erosi, mengurangi pencemaran lingkungan yang berasal dari limbah rumah tangga dan mencegah pencemaran udara yang berasal dari gas buangan. Seluruh jenis manfaat dapat dinikmati oleh masyarakat umum dengan cakupan wilayah yang lebih luas, karena masalah lingkungan yang ditimbulkan dapat bersifat lintas daerah.
Pengetahuan masyarakat Indonesia tentang multifungsi pertanian masih rendah, terbukti dari hasil penelitian Irawan et al. (2002) di DAS Citarum (Jawa Barat) dan DAS Kaligarang (Jawa Tengah). Masyarakat setempat baru mengenal 4
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
19
jenis fungsi lahan pertanian, yaitu: (1) penghasil produk pertanian, (2) pemelihara pasokan air tanah, (3) pengendali banjir, dan (4) penyedia lapangan kerja. Padahal fungsi lahan pertanian bagi manusia jauh lebih banyak, seperti dirumuskan oleh negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan/OECD (2003) dan International Assesment of Agricultural Knowledge, Science and Technology for Development/IAASTD (2008), yaitu: penghasil produk pertanian, berperan dalam mitigasi banjir, pengendali erosi tanah, pemelihara pasokan air tanah, penambat gas karbon atau gas rumah kaca, penyegar udara, pendaur ulang sampah organik, dan pemelihara keanekaragaman hayati. Lebih jauh di Korea Selatan, Eom dan Kang dalam Agus dan Husen (2005) mengidentifikasi 30 jenis fungsi lahan pertanian yang bermanfaat bagi masyarakat umum dan perlu terus dilestarikan. Pandangan masyarakat umum yang kurang benar terhadap lahan pertanian seperti tersebut di atas merupakan salah satu sebab rendahnya penghargaan terhadap lahan pertanian. Lebih jauh lagi, hal tersebut menyebabkan pandangan terhadap konversi lahan pertanian pun kurang proporsional. Masyarakat menganggap konversi lahan pertanian sebagai hal yang biasa, bukan sebagai proses hilangnya multifungsi lahan pertanian. Hal lain yang mendorong konversi lahan pertanian adalah kondisi sosial-ekonomi masyarakat pedesaan yang memerlukan pendapatan segera untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari, serta pemikiran tentang fungsi lahan pertanian hanya dalam jangka pendek dan ruang lingkup yang sempit. Selain itu, terdapat faktor eksternal yang mendorong percepatan proses konversi tersebut yaitu gencarnya pembangunan sektor nonpertanian dalam memperoleh lahan yang siap pakai, terutama ditinjau dari karakteristik biofisik dan asesibilitas. Kebutuhan tersebut pada umumnya dapat terpenuhi oleh lahan pertanian beririgasi. Isu multifungsi pertanian sudah mulai banyak diperhatikan dan dibicarakan di Indonesia, namun masih terbatas sebagai wacana di kalangan terbatas, seperti para ilmuwan, peneliti, perguruan tinggi, dan pengamat pertanian. Tampaknya para pengambil kebijakan di tingkat pusat maupun daerah belum banyak mempertimbangkan manfaat multifungsi tersebut dalam menetapkan kebijakan pembangunan. Demikian juga masyarakat umum masih kurang peduli terhadap kenyataan adanya multifungsi lahan pertanian, yang seyogianya dijadikan Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
20
bahan pertimbangan dalam menilai lahan pertanian. Ke depan, masih perlu advokasi lebih lanjut tentang pentingnya multifungsi tersebut dalam kehidupan, karena tidak bijaksana apabila mengabaikannya. Dari sudut penelitian, perlu diteliti berbagai jenis fungsi yang dimiliki berbagai tipe lahan pertanian seperti sawah irigasi dan tadah hujan, pertanian tanaman pangan lahan kering, pertanian rawa, dan perkebunan. Metode yang konvensional dalam menilai fungsi lahan pertanian adalah dengan mengukur hasil gabah dan serat (jerami) yang dihasilkannya untuk satu satuan luas dan satuan waktu tertentu. Akan tetapi selain berfungsi sebagai penghasil gabah dan serat yang mudah dikenali (tangible) tersebut, lahan sawah mempunyai fungsi yang lebih luas, diantaranya menjaga ketahanan pangan, menjaga kestabilan fungsi hidrologis daerah aliran sungai (DAS), menurunkan erosi, menyerap tenaga kerja, memberikan keunikan dan daya tarik pedesaan (rural amenity), dan mempertahankan nilai-nilai sosial budaya pedesaan. Fungsi selain penghasil gabah dan serat ini tidak bisa dipasarkan (non-marketable) dan pada umumnya tidak mudah dikenali (intangible). Penilaiannya biasa dilakukan dengan metode kualitatif dan metode valuasi ekonomi tidak langsung (indirect valuation methods) seperti replacement cost method (RCM), contingent valuation method (CVM), dan travel cost method (TCM). Dengan RCM, fungsi lahan pertanian dinilai berdasarkan biaya pembuatan alat dan sarana untuk mngembalikan suatu fungsi pertanian. Misalnya, fungsi lahan sawah sebagai pengendali banjir ditaksir dengan biaya pembuatan dan pemeliharaan dam pengendali banjir. CVM adalah penilaian kesediaan masyarakat menyumbang untuk mempertahankan atau mengembalikan berbagai fungsi lahan pertanian. TCM adalah penilaian biaya transport dan akomodasi yang dikeluarkan untuk suatu objek agrowisata (Agus et al., 2004).
2.3. Nilai Ekonomi Sumberdaya Lahan Dalam ekonomi sumberdaya lahan dikenal istilah rent. Pada suatu bidang lahan sekurang-kurangnya terdapat 4 jenis rent, yaitu : (1) Richardian Rent; yang menyangkut fungsi kualitas dan kelangkaan lahan; (2) Locational Rent; yang menyangkut fungsi aksesibilitas lahan; (3) Ecological Rent; yang menyangkut fungsi ekologi lahan; dan (4) Sociological Rent; yang menyangkut fungsi sosial dari lahan (Nasoetion dan Rustiadi, 1990).
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
21
Sewa lahan merupakan konsep penting dalam teori ekonomi sumberdaya lahan (Suparmoko, 1997), yang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : a.
Sewa (contract rent), adalah pembayaran dari penyewa kepada pemilik lahan, dimana pemilik melakukan kontrak sewa dalam jangka waktu tertentu.
b.
Keuntungan usaha (economic rent atau land rent), merupakan surplus pendapatan di atas biaya produksi atau harga input lahan yang memungkinkan faktor produksi lahan dapat dimanfaatkan dalam proses produksi. Contract rent dan land rent, merupakan dua konsep sewa penting yang
digunakan dalam ekonomi sumberdaya lahan. Kedua konsep tersebut hanya berbeda dalam satu hal, yaitu pada contract rent termasuk pembayaran yang sebenarnya kepada pemilik lahan. Pembayaran ini dapat lebih tinggi dan dapat juga lebih rendah dari surplus pendapatan (land rent) yang seharusnya diterima oleh pemilik. Kekurangan maupun kelebihan dari surplus pendapatan merupakan hak dari penyewa. Dalam pembahasan mengenai sewa lahan, maka konsep kedua (land rent) yang lebih penting. Teori sewa lahan model klasik yang banyak digunakan adalah konsep sewa yang dikemukakan oleh David Ricardo dan Von Thunen (Ritson, 1978). Ricardo menguraikan konsep sewa atas dasar perbedaan dalam kesuburan tanah, terutama pada masalah sewa di sektor pertanian. Sewa lahan akan meningkat apabila lahan semakin subur. Hal ini terjadi karena dengan meningkatnya tingkat kesuburan tanah maka produksi yang dihasilkan juga akan meningkat. Pendapat Ricardo dirumuskan sebagai berikut (Randall, 1987) : Qi = ai f (L,h,F) ……………………………………………….................… (1) dimana : Qi
= produksi tanaman i
ai
= proporsi tanaman i pada suatu areal
L
= jumlah tenaga kerja
h
= luas lahan
F
= tingkat kesuburan
Untuk satu satuan luas lahan, misal satu hektar (h = 1), maka tingkat produksi tanaman i adalah : qi = ai f (l,F) dimana : Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
22
qi = Qi/h = tingkat produksi per satu satuan luas lahan l
= L/h = jumlah tenaga kerja per satu satuan luas lahan
Apabila jumlah tenaga kerja per hektar yang diperlukan dalam pengelolaan lahan yang subur sama dengan lahan yang kurang subur, maka meningkatnya tingkat kesuburan akan meningkatkan produksi. Selanjutnya Ricardo menguraikan : = Pi ai f(l,F) - wl - ph (F) ……………................………………………(2) dimana : = tingkat keuntungan per satuan luas lahan Pi = harga per unit output w = upah tenaga kerja ph = land rent lahan berdasar tingkat kesuburan Pada saat tingkat keuntungan sama dengan nol, maka besarnya land rent adalah : ph (F)
= Pi ai f(l,F) – wl ……………………………………… (3) = Pi qi - wl
Apabila harga output, upah tenaga kerja dan jumlah tenaga kerja per satu satuan luas lahan tetap, maka peningkatan produksi (sebagai akibat meningkatnya kesuburan) akan menyebabkan peningkatan land rent. Teori sewa tanah model klasik yang kedua adalah teori sewa tanah menurut Von Thunen yang berpendapat bahwa faktor lokasi menentukan besar kecilnya land rent. Perbedaan land rent tersebut berkaitan dengan perlunya biaya transport dari daerah yang jauh ke pusat pasar. Pengaruh biaya transport kaitannya dengan perpindahan produk dari berbagai lokasi ke pasar terhadap land rent disajikan pada Gambar 3. Dalam Gambar 3.a dilukiskan bahwa semakin jauh jarak lokasi lahan dari pasar akan menyebabkan semakin tingginya biaya transportasi. Misalnya pada jarak 0 (tepat di lokasi pasar), biaya transportasi nol dan biaya total setinggi OC, besarnya land rent adalah CP. Pada jarak OK, biaya total menjadi KT, karena biaya transport meningkat menjadi UT, sehingga pada jarak OK tidak lagi terdapat land rent. Jadi land rent ini mempunyai hubungan terbalik dengan jarak lokasi
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
23
lahan dengan pasar, semakin jauh dari pasar land rent semakin murah, seperti yang digambarkan pada Gambar 3.b. Rp T
Land rent
P Land rent Biaya Transport C
U
O
K Jarak ke pasar (a)
L
M Jarak ke pasar (b)
Gambar 3 : Pengaruh Biaya Transport Produk Dari Berbagai Lokasi ke Pasar Terhadap Land Rent (Barlowe, 1986, hal.141; Suparmoko, 1997, hal. 177) Besarnya land rent tersebut dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut (Randall, 1987 dan Koestoer, 1994) : R = (P-td)Y – C ……………………………………………..........….. (4) dimana, R = land rent ($/km2) Y = jumlah produksi (tons/km2) P = harga pasar dari produk ($/ton) C = biaya produksi ($/ton) t
= biaya transport ($/ton/km)
d = jarak ke pasar (km) Pendapat Von Thunen didasari oleh hasil pengamatannya, yang melihat berbagai tanaman yang dihasilkan oleh daerah-daerah subur dekat pusat pasar dan ditemukan bahwa land rent lebih tinggi dari daerah-daerah yang lebih jauh dari pusat pasar. Perbedaan tersebut menimbulkan perbedaan jenis tanaman yang ditanam mulai dari yang dekat dengan pasar sampai yang jauh dari pasar, seperti terlihat pada Gambar 4.
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
24
Land Rent RA (a)
.
. RB RC
M
Jarak dari pasar
Jarak dari pasar
Tanaman A
Tanaman B
Tanaman C
M Jarak dari pasar (b)
Jarak dari pasar Gambar 4 : Penentuan Jenis Tanaman Berdasarkan Hubungan Land Rent Dengan Jarak Dari Pusat Pasar (Ritson, 1978, hal.203) Gambar 4.a menggambarkan perbedaan land rent terhadap jarak untuk berbagai jenis tanaman. Garis-garis tersebut mempunyai kemiringan (slope) yang negatif yang berarti semakin jauh lokasi lahan dari pusat pasar maka biaya
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
25
pengangkutan yang dibutuhkan semakin besar. Karena biaya pengangkutan semakin besar, maka land rent-nya semakin kecil, sehingga garisnya menurun. Tanaman A merupakan jenis tanaman yang mudah rusak, sehingga butuh biaya pengangkutan yang besar karena harus segera sampai di pasar. Kondisi ini digambarkan dengan slopenya paling tajam dibandingkan dengan tanaman B dan C. Dalam penentuan lokasi tanaman, maka tanaman A harus ditanam di daerah yang dekat dengan pusat pasar. Tanaman B dan C ditanam di daerah yang lebih jauh dari pasar, seperti yang disajikan pada Gambar 4.b. Dari Gambar 4 dapat dilihat bahwa : RA > RB > RC dimana, R
= land rent
A,B dan C = jenis-jenis tanaman Ada beberapa keterbatasan teori Von Thunen tersebut, sehingga sukar untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk land rent pada keadaan yang sebenarnya. Hal ini dikarenakan banyak faktor yang tidak konstan, seperti jumlah pasar berubah setiap saat, faktor-faktor produktivitas dan fisik yang berbeda-beda untuk daerah satu dengan daerah lainnya. Teori Von Thunen hanya khusus digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan land rent berdasarkan faktor lokasi saja (Koestoer, 1994). Selanjutnya land rent ini pulalah yang menentukan tinggi rendahnya harga lahan yang bersangkutan. Lahan-lahan yang lokasinya dekat pasar oleh masyarakat digunakan untuk daerah pusat kegiatan ekonomi, yang akan memberikan pendapatan dan nilai sewa yang tinggi untuk berbagai alternatif penggunaan lahan, seperti untuk industri dan kegiatan lain yang lebih menguntungkan (Suparmoko, 1997). Land rent sesungguhnya merupakan cermin dari harga yang terbentuk melalui mekanisme pasar. Namun dalam kenyataan land rent yang mencerminkan mekanisme pasar selama ini hanya menyangkut Richardian Rent dan Locational Rent, sementara Ecological Rent dan Sociological Rent tidak sepenuhnya terjangkau oleh mekanisme pasar. Dengan demikian mekanisme pasar dari sumberdaya lahan tidak selalu mencerminkan kelangkaan sumberdaya tersebut. Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
26
Dalam jangka panjang, apabila keadaan tersebut tetap dipertahankan maka akan terjadi percepatan konversi lahan pertanian ke non pertanian. 2.4. Faktor-Faktor Yang Menentukan Konversi Lahan Pertanian Menurut Nasoetion dan Winoto (1996) proses alih fungsi lahan secara langsung dan tidak langsung ditentukan oleh dua faktor, yaitu: (i) sistem kelembagaan yang dikembangkan oleh masyarakat dan pemerintah, dan (ii) sistem non-kelembagaan yang berkembang secara alamiah dalam masyarakat. Sistem kelembagaan yang dikembangkan oleh masyarakat dan pemerintah antara lain direpresentasikan dalam bentuk terbitnya beberapa peraturan mengenai konversi lahan. Menurut pihak Badan Pertanahan Nasional yang dilaporkan oleh Suwarno (1996), upaya-upaya pengendalian konversi lahan oleh pemerintah terasa memberikan hasil yang diharapkan. Namun penelitian yang dilakukan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian yang dilakukan Irawan, et al. (2000) menunjukkan bahwa peraturan yang ada belum cukup efektif untuk mengendalikan konversi lahan pertanian ke penggunaan lain. Menurut Winoto (1995a) dalam Nasoetion dan Winoto (1996), alih fungsi lahan 59,08 persen ditentukan oleh faktor-faktor yang berkaitan dengan sistem pertanian yang ada seperti halnya perubahan dalam land tenure system dan perubahan dalam sistem ekonomi pertanian. Faktor luar sistem pertanian seperti industrialisasi dan faktor-faktor perkotaan lainnya menjelaskan 32,17 persen, dan faktor demografis hanya menjelaskan 8,75 persen. Berdasarkan hal tersebut, maka faktor-faktor yang menentukan konversi lahan dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu faktor ekonomi, faktor sosial, dan peraturan pertanahan yang ada. Secara ekonomi alih fungsi lahan yang dilakukan petani baik melalui transaksi penjualan ke pihak lain ataupun mengganti pada usaha non padi merupakan keputusan yang rasional. Sebab dengan keputusan tersebut petani berekspektasi pendapatan totalnya, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang akan meningkat. Penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti, menunjukkan bahwa penggunaan lahan sawah untuk penanaman padi sangat inferior dibandingkan
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
27
dengan penggunaan untuk pariwisata, perumahan, industri dan hutan produksi. Rinciannya dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Rasio Land Rent yang Diperoleh dengan Mengusahakan Lahan untuk Sawah dan Penggunaan Lain Perbandingan Penggunaan Lahan Rasio Land Rent Peneliti Sawah : Industri
1 : 500
Iriadi (1990)*
Sawah : Perumahan
1 : 622
Riyani (1992)*
Sawah : Pariwisata
1 : 14
Kartika (1990)*
Sawah : Hutan Produksi
1 : 2,6
Lubis (1991)*
Sawah : Bawang Merah
1:7
Sitorus et al. (2007)a
Sawah : Palawija
1 : 1,7 – 4
Sitorus et al. (2007)b
Sawah : Sayuran
1 : 14 – 46,7
Sitorus et al. (2007)b
Sawah : Villa
1 : 367
Sitorus et al. (2007)b
Sawah : Tanaman Hias
1 : 904,2
Sitorus et al. (2007)b
*)Sumber : Nasoetion dan Winoto (1996) Penelitian Syafa’at et al. (2001) pada sentra produksi padi utama di Jawa dan Luar Jawa, menunjukkan bahwa selain faktor teknis dan kelembagaan, faktor ekonomi yang menetukan alih fungsi lahan sawah ke pertanian dan non pertanian adalah : (1) nilai kompetitif padi terhadap komoditas lain menurun; (2) respon petani terhadap dinamika pasar, lingkungan, dan daya saing usahatani meningkat. Konversi lahan sawah ke pertanian lain dan ke pemukiman dapat terjadi tanpa melalui transaksi. Namun kasus di Jawa menunjukkan bahwa kasus konversi seperti itu jauh lebih sedikit dibandingkan yang melalui transaksi. Ini menunjukkan bahwa harga lahan sawah sangat mempengaruhi konversi lahan sawah (Sumaryanto et al, 1996). Hasil temuan Rusastra et al. (1997) di Kalimantan Selatan, alasan utama petani melakukan konversi lahan adalah karena kebutuhan dan harga lahan yang tinggi, skala usaha yang kurang efisien untuk diusahakan. Pada tahun yang sama penelitian Syafa’at et al. (1995) di Jawa menemukan bahwa alasan utama petani melakukan konversi lahan adalah karena kebutuhan, lahannya berada dalam kawasan industri, serta harga lahan. Pajak lahan yang tinggi cenderung mendorong petani untuk melakukan konversi dan rasio pendapatan non pertanian terhadap
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
28
pendapatan total yang tinggi cenderung menghambat petani untuk melakukan konversi. Penelitian Jamal (2001), di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, harga jual lahan yang diterima petani dalam proses alih fungsi lahan secara signifikan dipengaruhi oleh status lahan, jumlah tenaga kerja yang terserap di lahan tersebut, jarak dari saluran tersier, jarak dari jalan, dan jarak dari kawasan industri atau pemukiman. Sementara itu produktivitas lahan, jenis irigasi, dan peubah lain tidak berpengaruh signifikan. Dari beberapa penelitian pada lingkup mikro, jika ditarik ke dalam lingkup makro, apakah konversi lahan di lingkup makro dipengaruhi oleh variabel makro yang merupakan proksi variabel dalam lingkup mikro. Dimana dapat digunakan nilai tukar petani sebagai proksi daya saing produk pertanian, khsususnya padi; PDB sektor industri, transportasi dan perdagangan, hotel dan restoran proksi aktivitas industri, pembangunan prasarana jalan dan pembangunan sarana pasar dan pariwisata; jumlah penduduk proksi kebutuhan untuk pemukiman. Secara makro, untuk wilayah Jawa dapat dilihat adanya hubungan antara rataan luas lahan sawah yang terkonversi setiap tahun dengan rataan pertumbuhan PDRB, khususnya PDRB total dan PDRB transportasi dan komunikasi. Artinya makin tinggi aktivitas ekonomi akan membutuhkan lahan sebagai input kegiatan produksi yang dilakukan. Keterbatasan lahan di Jawa dan keberadaan lahan sawah yang sebagian besar pada daerah yang mudah diakses, menyebabkan banyak lahan sawah yang digunakan untuk mendukung aktivitas ekonomi tersebut. Namun hubungan konversi lahan sawah dengan PDRB industri dan PDRB perdagangan, hotel dan restoran memperlihatkan perilaku yang berbeda Perbedaan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada periode krisis ekonomi kegiatan industri di Indonesia mengalami stagnan. Sebaliknya kegiatan perdagangan (khususnya impor) dan pariwisata mengalami peningkatan akibat melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Dua kegiatan ini bersama dengan pengeluaran pemerintah dan penjualan asset berupa lahan sawah bagi sebagian masyarakat untuk menghindari tekanan ekonomi saat krisis diperkirakan yang menyebabkan banyaknya lahan yang terkonversi pada saat krisis ekonomi. Menurut Witjaksono (1996) ada lima faktor sosial yang mempengaruhi alih fungsi lahan, yaitu:
perubahan perilaku, hubungan pemilik dengan lahan,
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
29
pemecahan lahan, pengambilan keputusan, dan apresiasi pemerintah terhadap aspirasi
masyarakat.
Dua
faktor
terakhir
berhubungan
dengan
sistem
pemerintahan. Dengan asumsi pemerintah sebagai pengayom dan abdi masyarakat, seharusnya dapat bertindak sebagai pengendali terjadinya alih fungsi lahan. Fenomena konversi lahan pertanian secara teori telah dijelaskan oleh Barlowe (1986) yang menguraikan ada hubungan antara land use (penggunaan lahan) dengan
land
rent (sewa
lahan).
Lahan
yang
digunakan
untuk
industrial/commercial use memiliki nilai sewa lahan yang tertinggi, diikuti kemudian penggunaan untuk pemukiman/perumahan, pertanian, hutan, padang rumput dan lahan kosong, seperti tertera pada Gambar 5. Land rent komersial / indus tri
permukiman
pertanian hutan padang rumput lahan kosong land use
Gambar 5. Hubungan Antara Land Rent Dengan Land Use (Barlowe, 1986, hal.14) Dengan semakin langkanya sumberdaya lahan yang tinggi kualitasnya mendorong para pemilik sumberdaya lahan untuk memilih alternatif penggunaan lahan yang paling menguntungkan. Apabila ada konflik penggunaan lahan, maka biasanya yang menang adalah yang memiliki land rent yang lebih tinggi. Di kota misalnya, pemukiman penduduk terpaksa mengalah untuk penggunaan berbagai fasilitas komersial dan industrial, seperti perkantoran, pertokoan, dan komplek industri. Begitu juga yang terjadi di daerah pinggiran kota, lahan-lahan pertanian terpaksa mengalah, dan diubah untuk pemukiman penduduk, kompleks industri
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
30
dan penggunaan lain yang nilai sewa lahannya lebih tinggi. Selanjutnya lahanlahan pertanian mendesak areal-areal hutan, sehingga banyak hutan yang dibuka dan diubah untuk areal pertanian. Kejadian tersebut secara grafis dapat diterangkan seperti pada Gambar 6. P
P
P
Du’ Da
Du
Q
Da’ Df
Da
Q agric.use-1
urban use-1 urban use-2
(a)
agric.use-2
Q agric.use-3 agric.use-4
forestry use-1 forestry use-2
(b)
Gambar 6. Mekanisme Konversi Lahan Pertanian Akibat Meningkatnya Permintaan Lahan Non Pertanian (Sutrisno, 1998, hal.26) Mekanisme konversi lahan pertanian ke non pertanian seperti yang digambarkan pada Gambar 6 dapat diterangkan sebagai berikut : a. Apabila diasumsikan ada sebidang lahan digunakan untuk perumahan dan pertanian. Permintaan lahan untuk pertanian digambarkan Da, sedangkan permintaan lahan untuk perumahan Du. Ketika permintaan lahan untuk perumahan meningkat menjadi Du’, maka untuk memenuhi permintaan tersebut akan menggunakan lahan untuk pertanian, sehingga luas lahan untuk pertanian berkurang dari agricultural use-1 menjadi agricultural use-2, sedangkan luas lahan untuk perumahan meningkat dari urban use-1 menjadi urban use-2. b. Hal yang sama terjadi pada konflik penggunaan lahan untuk pertanian dan kehutanan. Apabila permintaan lahan untuk pertanian meningkat (dari Da ke Da’) maka untuk memenuhi permintaan tersebut akan melakukan konversi hutan yang ada menjadi areal pertanian, sehingga luas hutan semakin berkurang
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
31
dari forestry use-1 menjadi forestry use-2, sedangkan luas lahan pertanian meningkat dari agricultural use-3 menjadi agricultural use-4. Pendapat yang hampir sama dikemukakan Randall (1987), yang menguraikan terjadinya konversi lahan pertanian dikarenakan adanya perbedaan laju pertumbuhan land rent antara urban use dengan agricultural use, dimana urban use memiliki laju pertumbuhan yang jauh lebih cepat. Ketika suatu saat (t*) ada pengaruh kota dan pemilik lahan dihadapkan pada dua pilihan, apakah lahannya akan tetap digunakan untuk pertanian atau dikonversikan untuk non pertanian, pemilik lahan cenderung untuk mengkonversikannya. Land price
h
P0
Land price path
h
P t* h
P at*
h
P a0 Land rent
Shape of the land rent path
Urban rent path
agricultural rent path O
agricultural use
t*
urban use
Waktu
Gambar 7. Perbedaan Land Prices dan Land Rents Sebelum dan Sesudah Konversi Lahan Pertanian (Randall, 1987, hal.338) Dari Gambar 7 dapat diketahui bahwa konversi lahan pertanian dipengaruhi oleh adanya perbedaan laju pertumbuhan land rent antara urban use dengan agricultural use. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh perbedaan produktivitas
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
32
lahan yang digunakan untuk pertanian dengan yang digunakan untuk non pertanian (urban use). Perbedaan laju land rent tersebut juga menyebabkan terjadinya perbedaan laju harga lahan (land price). Lahan-lahan untuk penggunaan non pertanian (urban use) mempunyai laju pertumbuhan harga yang lebih tinggi dibandingkan lahan untuk pertanian. Cepatnya pertumbuhan harga lahan untuk urban use tersebut karena permintaan lahan untuk urban use tinggi, padahal penawarannya relatif tetap (inelastis sempurna). Pasar lahan untuk urban use tersebut dapat digambarkan seperti pada Gambar 8. P S
P1 P0
O
D1 D0
Q
Gambar 8. Pasar Lahan Untuk Urban Use (Sutrisno, 1998, hal. 28) Pada dasarnya kurva penawaran lahan adalah inelastis sempurna karena penyediaan lahan tetap. Kurva permintaan lahan akan bergeser sesuai laju pertumbuhan penduduk dan ekonomi (Sutrisno, 1998). Lajunya pertumbuhan penduduk dan ekonomi akan menggeser kurva permintaan lahan ke kanan dari D0 ke D1. Meningkatnya permintaan atas lahan dari D0 ke D1 akan mengakibatkan naiknya harga lahan dari P0 ke P1. Peningkatan ini akan mengakibatkan terjadinya konversi lahan pertanian. 2.5. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Lahan Manfaat sumberdaya alam dan lingkungan dapat dikelompokkan ke dalam nilai kegunaan dan nilai non kegunaan. Perhitungan nilai ekonomi sebenarnya dari lahan pertanian dapat didekati dengan menghitung Nilai Ekonomi Total (Total
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
33
Economic Value = TEV) dari lahan pertanian. Secara teoritis nilai ekonomi total (TEV) dari lahan merupakan penjumlahan dari nilai kegunaan (Use Values = UV) dan nilai bukan kegunaan (Non Use Values = NUV). Nilai kegunaan terbagi menjadi nilai kegunaan langsung (Direct Use Value = DUV), nilai kegunaan tidak langsung (Indirect Use Value = IUV) dan nilai pilihan (Option Value = OV). Nilai kegunaan langsung merupakan nilai penggunaan aktual seperti untuk kegiatan budidaya pertanian. Nilai guna langsung tersebut mencakup seluruh manfaat SDA dan lingkungan yang dapat diperkirakan langsung dari produksi dan konsumsi melalui satuan harga berdasarkan mekanisme pasar. Nilai guna tersebut dibayar oleh seseorang atau masyarakat yang secara langsung menggunakan dan mendapatkan manfaat dari SDA dan lingkungan. Nilai kegunaan tidak langsung merupakan manfaat yang diturunkan dari fungsi ekosistem seperti fungsi lahan pertanian dalam konservasi tanah dan air, dan nilai yang terkait dengan keberadaan lahan seperti kelembagaan yang ada di pedesaan. Nilai pilihan adalah nilai yang menunjukkan keinginan individu untuk membayar bagi konservasi dan penggunaan di masa yang akan datang untuk berbagai penggunaan. Nilai pilihan dapat diartikan sebagai premi asuransi dimana keinginan masyarakat membayar untuk menjamin pemanfaatan masa mendatang dari lahan pertanian. Nilai bukan penggunaan biasanya terdiri dari nilai eksistensi (Existence Value = EV) dan nilai waris (Be guest Value = BV). Nilai eksistensi menggambarkan keinginan masyarakat untuk membayar nilai lahan pertanian itu sendiri tanpa mempedulikan nilai kegunaannya. Nilai waris mengukur manfaat individual dari pengetahuan bahwa orang lain akan memperoleh manfaat dari lahan pertanian di masa mendatang. Konsep nilai pilihan dan nilai bukan penggunaan masih bersifat rancu dan tumpang tindih. Konsep ini dipandang perlu sebagai petunjuk saja, sedangkan dalam praktek perbedaan kedua konsep tersebut tidak penting, mengingat yang utama adalah bagaimana menilai atau mengukur total nilai ekonomi (Munasinghe, 1993). Nilai ekonomi total dari sumberdaya lahan dirumuskan sebagai berikut : TEV = UV + NUV = (DUV + IUV + OV) + (BV + EV)
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
34
Nilai Ekonomi Total
Nilai Kegunaan
Nilai Non Kegunaan
Nilai Kegunaan Langsung
Nilai Kegunaan Tak Langsung
Nilai Pilihan
Outputnya dapat dikonsumsi langsung
Manfaat fungsional
Nilai kegunaan langsung dan tidak langsung masa depan
Pangan Biomasa Rekreasi Kesehatan
Fungsi ekologis Pengendali banjir
Nilai Eksistensi
Nilai NonKegunaan Lainnya
Nilai kepuasan atas keberlanjut an eksistensi
Keanekara gaman hayati Habitat dilindungi
Habitat Species yang terancam punah
Berkurangnya sifat nyata (tangibility) suatu nilai terhadap individu Gambar 9. Nilai Ekonomi Total dari Suatu Sumberdaya Lahan Pertanian (Turner, et al., 1994, hal.112 ; Jamal, 1999, hal. 31) Pengukuran TEV bukanlah suatu yang mudah, untuk Direct Value mungkin relatif mudah karena secara fisik dapat dilihat dan dinilai, sedangkan aspek lainnya relatif lebih sulit menilainya. Untuk dapat mengukur hal-hal yang tidak dapat dinilai (intangible), maka telah dikembangkan beberapa teknik perhitungan yang dikenal dengan valuasi ekonomi (Economic Valuation). Nilai ekonomi dari suatu barang atau jasa diukur dengan menjumlahkan kehendak untuk membayar (willingness to pay) dari banyak individu terhadap barang dan jasa yang bersangkutan. Tujuan utama dari valuasi ekonomi adalah untuk dapat menempatkan lingkungan supaya sebagai bagian integral dari setiap sistem ekonomi (Jamal, 1999). Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
35
2.6. Teknik Valuasi Ekonomi Barang dan Jasa Lingkungan Teknik menilai barang dan jasa lingkungan ada bermacam-macam (Reksohadiprodjo, 2001), antara lain : a. Dari segi manfaat (benefits) ada : (1) Teknik/pendekatan produktivitas, misalnya : (a) Perbaikan irigasi meningkatkan produktivitas tanaman : tambahan hasil x harga = pendapatan tambahan yang merupakan keuntungan bagi petani; (b) Pencemaran udara suatu pabrik menurunkan produktivitas tanaman: berkurangnya hasil x harga = pengurangan pendapatan petani (2) Teknik/pendekatan pasar (a) Kualitas udara yang baik cenderung meningkatkan nilai rumah (b) Upah yang dibayarkan tinggi bila tempat kerja sehat, dan (c) Wisatawan luar negeri bersedia membayar tinggi untuk dapat melihat Candi Borobudur karena sudah datang dari jauh memang untuk maksud itu. (3) Teknik/pendekatan
pasar
pengganti
(surrogate
market),
misalnya
surrogate mother, “dibayar” US$10,000 untuk mengandung(kan) selama 9 bulan. (4) Teknik/Pendekatan ligitasi dan kompensasi, misalnya nelayan Cilacap mengadukan Pertamina ke pengadilan (Hukum Acara) karena kawasan tercemar sehingga tak dapat lagi menangkap ikan. Pengadilan memutuskan Pertamina harus membayar kompensasi bagi penghasilan seorang nelayan yang hilang Rp 1.000.000,- per tahun. (5) Teknik/pendekatan berdasarkan survei; Melalui teknik ini ingin dicari kesediaan membayar dari seseorang akan barang
dan
jasa
lingkungan,
sehingga
nilai
ini
mencerminkan
permintaannya. Apabila penawaran barang dan jasa lingkungan tersebut terbatas, maka akan terjadi harga pasar. Konsumen yang berada pada daerah surplus konsumen, bersedia membayar lebih tinggi. b. Dari segi biaya (cost) antara lain : (1) Teknik biaya untuk pencegahan (Preventive Expenditure Technique): suatu kelompok masyarakat yang mau membayar untuk memagari suatu jalan Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
36
raya dengan lembaran besi untuk mengurangi polusi suara; biaya yang dikeluarkan adalah nilai dari lingkungan yang terpolusi. (2) Teknik analisis biaya pengembalian (Pay Back Technique); dalam suatu lahan konservasi, suatu kelompok masyarakat mengeluarkan uang untuk menanam di lahan yang tererosi untuk mencegah erosi lebih lanjut dan banjir. Biaya menanam, hilangnya erosi dan banjir adalah nilai dari lahan terkonservasi. (3) Teknik analisis keefektifan biaya (Effective Cost Technique); Pertamina saat ini masih berupaya untuk mengurangi kadar SO yang ada pada asap dari kilang minyak dengan mendirikan cerobong asap yang lebih tinggi serta menggunakan kualitas batubara yang lebih baik. Nilai lingkungan adalah besarnya nilai cerobong asap dan batubara yang digunakan serta kenyamanan masyarakat sekitar. Valuasi Ekonomi
Berdasarkan pada manfaat (Benefit-Based Valuation)
Harga Pasar Aktual (Actual Market Price)
Dampak pada Produksi (Effect on Production/ EOP) Pendapatan yang Hilang (Loss of Earning/Human Capital Approach)
Berdasarkan pada biaya (Cost-Based Valuation)
Pasar Pengganti (Surrogate Markets)
Biaya Perjalanan (Travel Cos)t Pembagian Tingkat Upah (Wage Differential) Nilai Kepemilikan (Property Value)
Biaya Pengganti (Replacement Cost) Proyek Bayangan (Shadow Project) Biaya Pencegahan (Preventive Expenditure) Biaya Relokasi (Relocation Cost)
Gambar 10. Metode valuasi ekonomi (Irham, 2001)
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
37
Perhitungan ekonomi yang menyeluruh terhadap lahan pertanian dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu : (1) berdasarkan manfaat (Benefit Based Valuation) dan (2) berdasarkan biaya (Cost-Based Valuation) (Reksohadiprodjo, 2001). Dari kedua pendekatan tersebut dapat dikembangkan lebih lanjut metode valuasi untuk masing-masing kelompok seperti yang disajikan pada Gambar 10. Perhitungan-perhitungan di atas memang bukan suatu yang mudah, diperlukan kecermatan dan ketepatan dalam menelaah nilai-nilai yang melekat pada lahan pertanian. Dengan melakukan perhitungan ini secara benar, tidak saja upaya pengendalian konversi lahan pertanian dapat lebih operasional sifatnya, tetapi juga menuntun untuk bersikap adil dalam pemanfaatan sumberdaya lahan pertanian yang semakin terbatas jumlahnya, dengan menilai sumberdaya tersebut menurut nilai sebenarnya, termasuk kemungkinan pemanfaatan di masa yang akan datang. 2.7. Studi Terdahulu Tentang Valuasi Ekonomi Lahan Pertanian Di Indonesia, penelitian tentang valuasi ekonomi lahan pertanian dengan pendekatan nilai manfaat multifungsi lahan pertanian juga sudah banyak dilakukan. Agus et al. (2003) telah menghitung nilai ekonomi multifungsi lahan pertanian, khususnya lahan sawah seluas 157.600 ha di DAS Citarum, Jawa Barat dan lahan sawah di Ungaran, Jawa Tengah dengan menggunakan metode biaya pengganti (RCM). Hasil penelitian menunjukkan sistem pertanian padi berkontribusi nyata dalam pengurangan banjir, konservasi sumberdaya air, pencegahan erosi, pembuangan limbah dan peredaman panas. Seluruh manfaat tersebut bernilai sekitar 17,38 juta rupiah per hektar per tahun. Jumlah total biaya pengganti untuk fungsi lingkungan dari sistem pertanian padi mencapai 45% dari total harga produksi beras yang dihasilkan dari area yang sama. Hal ini berarti bahwa petani menghasilkan jasa lingkungan secara cuma-cuma seharga 45% dari nilai produk padi. Total nilai manfaat lahan sawah di DAS Brantas sekitar 37,51 juta rupiah per hektar per tahun (Irawan et al, 2002). Lebih dari 60 persen dari total nilai manfaat lahan sawah tersebut bukan merupakan marketed output atau manfaat yang bersifat individual. Hal ini berarti sebagian besar manfaat keberadaan lahan sawah merupakan jenis manfaat yang dapat dinikmati oleh masyarakat luas atau yang Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
38
bersifat komunal. Dengan demikian, jika lahan sawah dikonversi ke penggunaan non pertanian, maka dampak negatif atau kerugian yang ditimbulkan lebih dirasakan oleh masyarakat luas daripada sebagian kecil masyarakat pemilik lahan. Irawan (2007), melakukan valuasi ekonomi lahan pertanian di Sub DAS Citarik Kabupaten Bandung dengan pendekatan nilai manfaat multifungsi lahan sawah dan lahan kering. Valuasi dilakukan dengan menggunakan metode penilaian RCM dan CVM. Hasil valuasi ekonomi menunjukkan nilai ekonomi lahan sawah Rp 47.991.476,-/ha/tahun dimana 85,6 % diantaranya adalah berupa nilai manfaat multifungsi atau jasa lingkungan. Hal itu menunjukkan sistem usahatani lahan sawah menghasilkan jasa lingkungan yang nilainya lebih tinggi daripada nilai padi yang dihasilkannya. Demikian juga pada lahan kering (tegalan) proporsi nilai manfaat multifungsinya mencapai 72,1 % dari Rp 6.300.360,/ha/tahun. Hasil Sensus Pertanian tahun 2003 mengungkapkan bahwa luas konversi lahan sawah selama tahun 2000-2002 adalah sebesar 563 ribu hektar. Mengacu pada hasil-hasil penelitian di atas, maka secara kasar dapat diperkirakan bahwa nilai manfaat yang hilang konversi lahan sawah tersebut sekitar 26,02 triliun rupiah atau rata-rata 8,67 triliun rupiah per tahun. Penelitian valuasi ekonomi lahan pertanian yang cukup intensif juga telah dilakukan di beberapa negara Asia antara lain di Korea Selatan (Eom, 2001; Suh, 2001), Jepang (Yoshida, 2001; Goda, 2001; Kato, 2001) dan Taiwan (Chen, 2001). Ada tiga metode yang umum digunakan dalam penelitian valuasi ekonomi lahan pertanian, yakni replacement cost method (RCM), hedonic pricing method (HPM) dan contingent valuation method (CVM). Penelitian valuasi ekonomi multifungsi lahan pertanian di Korea Selatan juga dilakukan dengan menggunakan metode RCM. Berbagai indikator teknis yang digunakan, seperti yang dilaporkan oleh Eom dan Kang (2001), antara lain kapasitas lahan sawah dan lahan kering untuk menyimpan air, masing-masing 2.376 m3/ha dan 791 m3/ha, kapasitas lahan sawah dan lahan kering memasok sumber air tanah masing-masing 4.685 m3/ha dan 846 m3/ha, dan perbedaan erosi tanah dari lahan kering dan lahan sawah sebesar 79,7 ton/ha/tahun. Dalam beberapa tahun terakhir ini masalah penanganan dan pemahaman mengenai fungsi-fungsi lahan pertanian, perbukitan dan pegunungan menjadi Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
39
masalah penting di Jepang. Secara nasional pada 1995 metode RCM telah digunakan oleh Institut Penelitian Mitsubishi untuk menaksir manfaat ekonomi lahan padi sawah di Jepang. Saat itu taksiran nilai ekonomi lahan sawah mencapai US$ 67 x 109 untuk seluruh areal lahan sawah yang ada di Jepang. Kemudian pada tahun 2001 dengan menggunakan metode yang sama dan indikator teknis yang terbaru, dilakukan valuasi ekonomi kembali terhadap multifungsi lahan pertanian dan pedesaan di Jepang. Hasilnya menunjukkan nilai ekonomi multifungsi lahan pertanian dan pedesaan mencapai US$ 68,8 x 109 atau meningkat dari kondisi tahun 1995. Indikator teknis yang digunakan antara lain kapasitas memegang air lahan sawah dan lahan kering, masing-masing 5,2 x 109 m3 dan 0,8 x 109 m3 untuk seluruh wilayah Jepang atau 1.793 m3/ha pada lahan sawah dan 444,4 m3/ha pada lahan kering. Kemampuan tanah memegang air tersebut merupakan multifungsi lahan pertanian untuk mengendalikan banjir, sehingga fungsi tersebut dinilai berdasarkan biaya penyusutan dan pemeliharaan suatu dam yang berfungsi untuk mengontrol pasokan air sebanyak itu. Kemudian kemampuan lahan pertanian memasok sumber air tanah diperkirakan sebesar 3,7 x 109 m3/tahun atau setara dengan 902,4 m3/ha/tahun dan indikator tersebut dinilai berdasarkan perbedaan antara harga air tanah dengan air PAM. Pada tahun 1991 Nishizawa et al. dalam Yoshida (2001) menggunakan metode HPM untuk menilai manfaat kesenangan lahan sawah di Jepang dengan taksiran nilai ekonomi sebesar US$ 120 x 109. Kemudian metode CVM pernah digunakan pada tahun 1997 untuk menilai multifungsi lahan sawah dan tahun 1999 untuk menilai multifungsi lahan kering di Jepang. Berdasarkan metode CVM nilai multifungsi lahan sawah di Jepang sekitar US$ 41 x 109 dan nilai multifungsi lahan kering sekitar US$ 35 x 109 (Yoshida, 1999). Valuasi ekonomi multifungsi lahan pertanian dengan menggunakan metode CVM seperti yang dilakukan oleh Yoshida dan Goda (2001) di Jepang sangat ekstensif dan melibatkan banyak responden. Pengiriman kuesioner sebanyak 5.000 buah melalui jasa pos kepada responden di seluruh Jepang yang terbagi dalam empat bagian wilayah survei (Jepang Utara, Kanto, Tengah dan Jepang Barat) menghasilkan 2.015 buah kuesioner yang dikembalikan oleh responden atau efektivitasnya 41,6 %. Berdasarkan hasil survei dengan metode CVM tersebut diperoleh rata-rata tingkat kemauan masyarakat untuk membayar (WTP) sebesar ¥ Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
40
72.633 atau setara dengan Rp 5,08 juta/rumah tangga/tahun. Besaran WTP tersebut ternyata dipengaruhi secara negatif oleh nilai awal penawaran (bid value) dan dipengaruhi secara positif oleh pengetahuan responden mengenai multifungsi lahan pertanian, jenis kelamin responden laki-laki, umur dan tingkat pendapatan responden. Berdasarkan studi-studi terdahulu tersebut maka dalam penelitian ini digunakan metode penilaian biaya pengganti (RCM) dan CVM. Metode RCM digunakan untuk menilai multifungsi lahan pertanian sebagai pencegah erosi dan sedimentasi. Kemudian CVM melalui pendekatan WTA dan WTP digunakan untuk menilai multifungsi lahan pertanian sebagai pengendali tata air, sedangkan penilaian dengan harga pasar digunakan untuk menilai manfaat multifungsi lahan pertanian sebagai penghasil produk pertanian dan penyedia kesempatan kerja.
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/