II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Manajemen Lingkungan Hidup Lingkungan hidup dalam kaitan dengan pembangunan mulai dikenal
kalangan Pemerintah di dunia sejak tahun 1972 dengan mengupayakan berbagai langkah pengembangan pola pembangunan yang tidak merusak lingkungan. Arus pemikiran di negara sedang berkembang, termasuk Indonesia menunjukkan bahwa masalah lingkungan hidup justru menjadi persoalan yang cukup penting. Menurut Sumarwoto (2003), dalam perspektif tersebut lahirlah konsep ecodevelopment yang di Indonesia dikenal dengan pembangunan berwawasan lingkungan. Artinya pembangunan diperlukan dan harus dilaksanakan dengan tidak boleh merusak lingkungan hidup Menurut Iskandar (1998) hal utama yang diperlukan dalam pembangunan berwawasan
lingkungan
adalah
penggunaan
sumber
daya
secara
berkesinambungan, serta bagaimana meningkatkan kualitas lingkungan hidup bagi seluruh masyarakat. Pembangunan dapat menghasilkan dampak negatif selain dampak positif. Berbagai fakta dan pengalaman menunjukkan bahwa dampak negatif pembangunan menyebabkan tujuan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat menjadi terhambat atau bahkan tidak tercapai. Pandangan tersebut pada dasarnya menjelaskan bahwa pelaksanaan kegiatan pembangunan semestinya tidak didudukan dalam parameter ekonomi saja, melainkan juga perlu menggunakan parameter sosial dan lingkungan dalam mencapai kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi saja tidak cukup memenuhi syarat pembangunan berkelanjutan. Syarat lain yang harus dipenuhi adalah pembangunan itu harus berwawasan lingkungan atau ramah lingkungan hidup. Pengalaman di Indonesia menunjukkan kegiatan pembangunan yang menggunakan pendekatan ekonomi dan politik seringkali tidak menghasilkan pemerataan kesejahteraan, melainkan cenderung menyebabkan kerusakan lingkungan hidup. Menurut Tangkilisan (2004) secara umum diketahui bahwa kerusakan lingkungan
nampak
meningkat
seiring
dengan
Terkesan
bahwa
semakin
meningkat
kegiatan
meningkat
pula
kerusakan
lingkungan
hidup.
kegiatan
pembangunan.
pembangunan, Emil
Salim
semakin
(1986)
juga
26
mengemukakan bahwa penyumbang utama kerusakan lingkungan adalah industri, aktivitas industri telah menghasilkan kotoran limbah ampas industri yang sangat serius menyebabkan pencemaran lingkungan. Kerusakan lingkungan tersebut mencermikan pula rendahnya pengawasan terhadap pengelolaan sumber daya alam, termasuk pengawasan dari masyarakat sekitar. Pada sisi lain, Bell (1998) menjelaskan bahwa “environmental problems are not only problems of technology and industry, of ecology and biology, of pollution control and pollution prevention.
They are also social problems.
Environmental problems are problem for society--problems that threaten our existing pattern of social organization. It is people who create environmental problems, and it is people who must resolve them”. Pandangan Bell tersebut menjelaskan bahwa permasalahan lingkungan bukan hanya permasalahan teknologi dan industri, ekologi dan biologi, pengendalian polusi dan pencegahan polusi. Permasalahan lingkungan juga merupakan permasalahan sosial. Permasalahan
lingkungan
adalah
masalah
untuk
suatu
masyarakat.
Permasalahan tersebut dapat mengancam pola teladan organisasi sosial yang ada. Hal tersebut menunjukkan sesungguhnya siapa yang menciptakan permasalahan lingkungan, dan siapa yang harus memecahkan masalahnya. Berdasarkan lingkungan
hidup
penjelasan haruslah
tersebut, didudukan
maka dalam
persoalan
manajemen
kerangka
mencapai
keberlangsungan perikehidupan dan kesejahteraan masyarakat serta menjaga keberlangsungan hidup makhluk lainnya yang ada di muka bumi. Parameterparemeter pokok yang perlu diperhatikan dalam kegiatan pembangunan sekurang-kurangnya harus memperhatikan juga secara prioritas pada aspek sosial dan lingkungan, bukan hanya sekedar parameter ekonomi dan politik. Hal ini ditegaskan oleh Sanim (2006) bahwa pembangunan ekonomi dan manajemen lingkungan merupakan hal yang komplemen bukan kompetitif. Pandangan tersebut didasarkan pada paradigma hubungan manajemen lingkungan hidup dan pembangunan ekonomi seperti yang dikemukakan oleh Bank Dunia, bahwa: (a) economic development and sound environmental management are coplementary aspect of the same agenda; (b) without adequate environmental protection,
development
will
be
undermined---without
development,
environmental protection will fall; and (c) development and environmentall: a false dhicotomy.
27
Peran Pemerintah sebagai penentu kebijakan dalam mewujudkan hal tersebut sangat sedemikian penting.
Sugiarto, etal. (2000) menjelaskan
pembelajaran yang ditemukan pada pemerintahan Jepang bahwa peran pemerintah berkewajiban untuk membuat sasaran, arahan, dan pembagian peranan/tugas pelaku kebijakan dalam memelihara lingkungan hidup, yaitu sebagai berikut: (1)
Selain
menetapkan
rencana
dasar
kebijakan
lingkungan
hidup,
menetapkan tujuan pemeliharaan lingkungan berdasarkan masalah yang muncul. Dengan berpijak pada hukum, menetapkan rencana dasar dan pembagian peranan/tugas dari seluruh unsur yang terkait; (2)
Pembentukan pola dasar kegiatan seluruh unsur yang terkait berdasarkan penilaian masalah lingkungan, perubahan aturan, perkembangan ekonomi, sosial, serta ilmu pengetahuan dan teknologi;
(3)
Untuk mendorong partisipasi aktif dari pengusaha dan masyarakat, diadakan pendidikan dan pelatihan pemeliharaan lingkungan, membantu kegiatan pengusaha, membuka jalur informasi, dan lain-lain;
(4)
Membantu kegiatan organisasi-organisasi masyarakat dalam pemeliharaan lingkungan dengan bantuan dana dan teknologi;
(5)
Berperan
aktif
dalam
kegiatan
pemeliharaan
lingkungan
hidup
internasional; (6)
Menerapkan aturan pemeliharaan lingkungan hidup pada bangunanbangunan yang diperkirakan berpengaruh pada kelestarian lingkungan hidup; dan
(7)
Menerapkan pelaksanaan kegiatan aturan pemeliharaan lingkungan hidup pada pengusaha dan masyarakat. Dalam konteks Indonesia, Tangkilisan (2004) menjelaskan bahwa peran
koordinasi pemerintah sangat menentukan keterpaduan pengelolaan lingkungan hidup, temasuk dalam konteks pelaksanaan pembangunan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka kebijakan manajemen lingkungan hidup yang ditetapkan melalui Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pengelolaan lingkungan hidup diterjemahkan sebagai upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan
28
penataan,
pemanfaatan,
pengembangan,
pemeliharaan,
pemulihan,
pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup. Kebijakan tersebut ditujukan untuk mencegah terjadinya tumpang tindih, baik
dalam
perencanaan,
pelaksanaan,
dan
pengendalian
pelaksanaan
pengelolaan lingkungan hidup. Dalam pengaturannya pada Pasal 9 ayat 2 dan 3 dijelaskan bahwa: (1)
Pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan secara terpadu oleh instansi pemerintah sesuai dengan bidang tugas dan tanggungjawab masingmasing,
masyarakat
memperhatikan
serta
keterpaduan
pelaku
pembangunan
perencanaan
dan
lain
dengan
pelaksanaan
kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup (ayat 2); dan (2)
Pengelolaan lingkungan hidup wajib dilakukan secara terpadu dengan penataan ruang, perlindungan sumber daya alam non hayati, perlindungan sumber daya buatan konservasi, sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, keanekaragaman hayati dan perubahan iklim (ayat 3). Pengelolaan lingkungan hidup tentu saja bukan semata-mata kewajiban
pemerintah, melainkan juga seluruh pelaku kegiatan pembangunan. Oleh karena itu, diperlukan pengembangan keterlibatan masyarakat dan swasta dalam pengelolaan lingkungan hidup. Hal ini ditegaskan oleh Tangkilisan (2004) bahwa salah satu sebab meningkatnya pencemaran lingkungan oleh industri adalah karena pelaku industri tidak mematuhi ketentuan-ketentuan atau persyaratanpersyaratan industri yang berwawasan lingkungan yang telah digariskan dalam peraturan perundangan yang berlaku. Selain persoalan yang ditimbulkan oleh sektor industri swasta tersebut, aktivitas masyarakat juga perlu ditekankan dalam lingkungan hidup.
menjaga kelestarian
Demikian pula halnya dengan kinerja Pemerintah Daerah
dalam bidang lingkungan hidup menjadi sisi yang perlu dibenahi. Hal ini tidak lain adalah untuk meningkatkan optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam dalam kegiatan pembangunan yang ramah lingkungan. Sumber daya air sebagai salah satu bagian dari unsur lingkungan juga menjadi permasalahan serius selama ini. Meningkatnya jumlah penduduk dan meningkatnya laju pembangunan sebagai konsekuensi dari perkembangan
29
penduduk, telah menyebabkan meningkatnya kebutuhan air di berbagai sektor. Peningkatan kebutuhan air terutama untuk kebutuhan domestik (rumah tangga), kebutuhan pembangunan pertanian, dan kebutuhan industri (Kementerian Lingkungan Hidup, 2004). Pada sisi yang lain, ketersediaan air yang ditawarkan dari sumbernya yang ada relatif terbatas dan cenderung menurun baik dari aspek kuantitas maupun kualitasnya. Pengertian sumber daya air dalam definisi Undang-Undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dijelaskan bahwa air adalah semua air yang terdapat pada, di atas maupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di darat. Menurut Kodoatie dan Sjarief (2005), air permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah, termasuk didalamnya antara lain adalah: air dalam sistem sungai, waduk, danau, dan air irigasi. Permasalahan klasik sumber daya air sudah berlangsung sejak lama, yaitu kekeringan pada waktu musim kemarau, dan banjir serta longsor pada waktu musim hujan.
Permasalahan tersebut menunjukkan indikasi degradasi
lingkungan yang dari waktu ke waktu cenderung meningkat. Kerusakan lingkungan di kawasan hulu akan mempercepat terjadinya krisis air. Faktor utama krisis air adalah perilaku manusia yang memanfaatkan potensi sumber daya alam, terutama hutan dan lahan secara tidak terkendali untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Fenomena tersebut juga terjadi pada sektor irigasi, dimana ketersediaan air irigasi sekarang ini tidak hanya dimanfaatkan untuk kebutuhan tanaman pada usaha pertanian tertentu, melainkan juga sudah dialokasikan untuk kebutuhan industri dan air minum. Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan manajemen lingkungan hidup dalam kegiatan pembangunan berbasis sumber daya air irigasi perlu penataan dan strategi baru dalam mengantisipasi berbagai perubahan yang terjadi dalam kegiatan pembangunan sumber daya air. Kerusakan di wilayah tangkapan air menjadi salah satu faktor yang sangat menentukan ketersediaan air. Oleh karena itu, alternatif pendekatan yang perlu dilakukan adalah memadukan aspek penawaran dan permintaan (supply and demand) atau dengan kata lain adanya keterpaduan antara hulu dan hilir dalam menjaga keberlanjutannya.
30
2.2.
Teori Sistem dan Permodelan Sistem Globalisasi yang semakin kompleks dan perubahan lingkungan yang
semakin cepat menuntut suatu cara yang komprehensif untuk memecahkan berbagai persoalan dengan menggunakan falsafah kesisteman. Pemikiran kesisteman merupakan pendekatan ilmiah untuk mengkaji permasalahan yang memerlukan telaah berbagai hubungan yang relevan, komplementer dan terpercaya.
Pada
tahun
1968,
Von
Bertalanffy
memperkenalkan
dan
mempublikasikan gagasan tentang General System Theory (GST) sebagai suatu doktrin interdisipliner yang mengupas tentang prinsip-prinsip dan model-model yang diterapkan pada sistem secara umum, dengan memperhatikan jenis ukuran, elemen spesifik maupun daya geraknya (Eriyatno dan Sofyar, 2007). Aplikasi pendekatan kesisteman didasari oleh teori sistem yang dikembangkan Ludwig von Bertalanffy melalui “teori sistem umum” atau General System Theory (GST) sejak tahun 1937 sebagai suatu yang memungkinkan untuk menghidupkan kembali kemunculan sebuah “ilmu pengetahuan kesatuan” (Nisjar dan Winardi, 1997).
Pandangan tersebut dikritik oleh Midgley (2000)
bahwa teori GST tersebut kurang dilengkapi oleh dua tantangan subyek/obyek, sebagaimana yang dijelaskannya: ”he did not take it far enough to complete the challenge to subject/object dualism. This becomes evident when we look at von Bertalanffy's thoughts on the nature of human knowledge about the world.” Terlepas dari berbagai kritik atas teori GST yang dikemukakan oleh Ludwig von Bertalanffy, secara konseptual, sistem dipahami dengan sangat sederhana oleh Bertalanffy (dalam Nisjar dan Winardi, 1997) sebagai “a complex of interacting elements”. Pengertian sistem tersebut menunjukkan penjelasan suatu kompleksitas untuk unsur-unsur yang saling berinteraksi. Istilah sistem menurut Luenberger (1979) diberlakukan juga seperti halnya pada analisa umum sebagaimana yang dijelaskannya bahwa:”The term system, as applied to general analysis, was originated as a recognition that meaningful investigation of a particular phenomenon can often only be achieved by explicitly accounting for its environment”.
Pemahaman istilah sistem dimulai sebagai suatu pengenalan
terhadap investigasi suatu peristiwa yang penuh arti dan seringkali hanya dapat dicapai melalui akuntansi lingkungan. Hal ini menegaskan bahwa istilah sistem pada awalnya berangkat dari fenomena atau gejala pada suatu konteks lingkungan yang mempunyai keterkaitan satu sama lainnya.
31
Pemahaman sistem menurut pakar lainnya yaitu Jackson (2005) digambarkan secara sederhana bahwa: ”simply defined, a system is a complex whole the functioning of which depends on its parts and the interactions between those parts”. Definisi sistem tersebut menjelaskan sistim sebagai suatu keseluruhan yang kompleks dan bagian-bagian didalamnya mempunyai fungsi tertentu yang saling bergantung serta terdapat interaksi-interaksi diantara bagianbagian yang terdapat didalamnya. Pengertian tersebut menjelaskan suatu sistem sangat tergantung pada subsistem-subsistem yang saling menunjang satu sama lainnya. Pemaknaan definisi sistem sebagai suatu kumpulan objek-objek atau beberapa elemen yang saling terkait dijelaskan oleh (Eriyatno dan Sofyar, 2007) bahwa sistem didefinisikan sebagai suatu agregasi atau kumpulan objek-objek yang saling menerangkan dalam interaksi dan tergantung satu sama lain. Dengan kata lain sistem diartikan sebagai suatu set elemen-elemen yang berada dalam keadaan yang saling berhubungan. Penjelasan definisi sistem yang diterima secara umum oleh para pemikir sistem dikemukakan oleh Hall dan Fagen (dalam Nisjar dan Winardi, 1997) bahwa: “A system is a set of objects together with relationship between the objects and between their attributes connected or related to each other and to their environment in such a manner as to for an entirety or whole”. Menurut Eriyatno (1998), sistem adalah totalitas himpunan elemen-elemen yang mempunyai struktur dalam nilai posisional serta matra dimensional terutama dimensi ruang dan waktu, dalam upaya mencapai suatu gugus tujuan (goals). Proses transformasi elemen dalam suatu sistem dapat dinyatakan dalam fungsi matematika, operasional logik, dan proses operasi yang mengkaitkan secara prediktif antara output dan input-inputnya. Dalam ilmu sistem transformasi ini dikenal dengan istilah pendekatan “Kotak Gelap” (black box). Para ahli sistem memberikan batasan perihal yang alternatif solusi sebaiknya menggunakan teori sistem yang pengkajiannya mempunyai persoalan sesuai karakteristik: (1) kompleks; (2) dinamis; dan (3) probabilistik. Tiga pola pikir yang menjadi pegangan pokok ahli sistem dalam merancang berbagai solusi, yaitu: (1) Sibernetik (cybernetic), artinya berorientasi pada tujuan; (2) Holistik (holistic), yaitu cara pandang yang utuh terhadap kebutuhan sistem; dan (3) Efektif (effective), sehingga dapat dioperasionalkan.
32
Pendekatan kesisteman mengutamakan kajian struktur sistem baik yang bersifat penjelasan maupun sebagai pendukung bagi penyelesaian persoalan. Kajian sistem dimulai dengan identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan sehingga dapat dihasilkan suatu operasi dari sistem. Dalam pendekatan sistem umumnya telah ditandai dengan: (1) pengkajian terhadap semua faktor yang berpengaruh dalam rangka mendapatkan solusi untuk mencapai tujuan; dan (2) adanya model-model untuk membantu pengambilan keputusan lintas disiplin, sehingga permasalahan yang kompleks dapat diselesaikan secara komprehensif. Hal yang kedua tersebut dikenal dengan permodelan sistem. Menurut Murdick, Ross dan Claggett (1993), model dapat dipahami sebagai aproksimasi atau penyimpulan (abstraction) dari kenyataan dan yang dapat disusun dalam berbagai bentuk. Pengertian model lainnya juga dikemukakan Gordon, Murdick, et al., dan Toha (dalam Simatupang, 1995) sebagai berikut: (1) Gordon (1978) mendefinisikan model sebagai kerangka utama informasi (body of information) tentang sistem yang dikumpulkan untuk mempelajari sistem tersebut; (2) Murdick, et al. (1984) menyatakan bahwa model adalah aproksimasi atau penyimpulan (abstraction) dari sistem nyata yang dapat disusun dalam berbagai bentuk; dan (3) Toha (1990) mengemukakan bahwa model adalah penampilan elemenelemen terpenting dari persoalan sistem nyata. Menurut Eriyatno (2003), permodelan dapat diartikan sebagai suatu gugus aktiviitas pembuatan model. Definisi model diartikan sebagai suatu perwakilan atau abtraksi dari suatu obyek atau situasi aktual. Model memperlihatkan hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat. Suatu model yang lengkap apabila dapat mewakili berbagai aspek dari realitas atau sistem nyata yang sedang dikaji. Dengan demikian klasifikasi model dapat dikategorikan menurut jenis, dimensi, fungsi, tujuan pokok pengkajian atau derajat keabstrakannya. Berdasarkan berbagai pengertian tersebut, pada umumnya literatur tentang model disepakati oleh banyak pihak sebagai suatu representasi atau formalisasi dalam bahasa tertentu dari suatu sistem nyata. Sistem nyata
33
merupakan sistem yang sedang belangsung dalam kehidupan, sistem yang dijadikan titik perhatian dan dipermasalahkan. Dengan demikian permodelan adalah proses membangun atau membentuk sebuah model dari suatu sistem nyata dalam bahasa formal tertentu. Fenomena yang terjadi dalam kehidupan dapat dibangun suatu model yang menggambarkan informasi tertentu dengan menggunakan suatu piranti bahasa formal yang mudah dimengerti (Simatupang, 1995). Proses
permodelan
sebagaimana
terlihat
pada
gambar
tersebut
menunjukkan bahwa suatu sistem yang sedang berlangsung dalam kehidupan (sistem nyata) akan dilihat dan dibaca oleh pemodel dan membentuk gambaran tertentu (image) didalam pikirannya. Gambaran imajinasi tersebut tidak persis sama dengan sistem nyata karena pemodel membacanya dengan menggunakan “kacamata” tertentu atau sudut pandang/visi/wawasan tentang kehidupan yang dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu: (1) tata nilai yang diyakini oleh pemodel; (2) ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh pemodel; dan (3) pengalaman hidup dari pemodel. Imajinasi atau citra itu sendiri adalah suatu model yang disebut model mental (pikiran atau proses berpikir manusia).
Model tersebut tidak mudah
dikomunikasikan dengan orang lain, sehingga diperlukan suatu alat komunikasi tertentu yang dipahami oleh orang lain. Alat komunikasi tersebut pada umumnya berbentuk bahasa tertulis atau berupa wujud fisik. Model yang sudah diformalkan kemudian diuji kesesuaiannya dengan sistem nyata secara ilmiah.
Namun
demikian, untuk memperkecil kesalahan pengembangan dan hasil dari suatu model dapat dilakukan penyesuaian-penyesuaian pada tingkat tertentu. Suatu model dapat membantu pemecahan masalah yang sederhana ataupun kompleks dalam bidang manajemen dengan memperhatikan beberapa bagian atau beberapa ciri utama daripada memperhatikan semua detail sistemnya. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Siregar (dalam Simatupang, 1995) mengemukakan bahwa terdapat beberapa karakteristik suatu model yang baik sebagai ukuran pencapaian tujuan permodelan, yaitu: (1) Tingkat generalisasi yang tinggi. Semakin tinggi derajat generalisasi suatu model, maka semakin baik kemampuannya dalam memecahkan masalah;
34
(2) Mekanisme transparansi. Suatu model dikatakan baik apabila memberikan gambaran mekanisme model dalam memecahkan masalah. Artinya terdapat penjelasan kembali (rekonstruksi) tanpa ada yang disembunyikan. (3) Potensial untuk dikembangkan. Suatu model yang berhasil biasanya mampu membangkitkan minat (interest) peneliti lain untuk menyelidikinya lebih lanjut. Selain itu juga membuka kemungkinan pengembangannya menjadi model yang lebih kompleks dan berdaya guna untuk menjawab masalah sistem nyata; dan (4) Peka terhadap perubahan asumsi dan mempunyai kemampuan dalam menjawab permasalahan sistem nyata. Pada
sisi
lain,
Sargent
(dalam
Eriyatno
dan
Sofyar,
2007)
mengemukakan permodelan dalam bentuk struktur sebagaimana terlihat pada Gambar 6.
Penerapan model dalam kerangka penelitian dikemukakan oleh
Kanungo dan Batnagar (2002) bahwa:”factors in the research model include people, process, information system/information technology, and management factors apart from direct measures of the information system quality. Pandangan tersebut menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor dalam penelitian model, yaitu masyarakat, proses, sistem informasi/teknologi informasi, dan manajemen sebagai bagian dari pengukuran langsung kualitas sistem informasi. Beberapa faktor tersebut telah digunakan oleh Zahedi (1998) serta Stylianou dan Kumar (2000), yang menyediakan secara lebih lengkap dan perspektif secara terintegrasi dengan sudut pandang yang berbeda. Kanungo dan Bhatnagar (2002) mengemukakan bahwa:”the four factors in the research model have been developed further based on prior research. The elaboration for each factor that appears below was used to refine the research instrument”. Penjelasan tersebut menegaskan bahwa keempat faktor dalam riset model telah dikembangkan ke depan berdasarkan penelitian sebelumnya. Pengembangan setiap faktor telah digunakan untuk menyuling instrumen penelitian.
Berdasarkan pandangan tersebut, maka dalam riset model perlu
diperhatikan beberapa faktor yang utama, yaitu masyarakat, proses, sistem informasi/teknologi informasi, dan manajemen.
35
ENTITAS PERIHAL/SUBSTANSI
Validasi Operasional
Validitas Model Konseptual
Percobaan
MODEL KOMPUTERISASI (SPK, SMA)
Validasi Data dan Informasi
Analisis dan Permodelan
Pemrograman Komputer dan Implementasi MODEL KONSEPTUAL
Validasi Model Komputerisasi
Gambar 6 Permodelan sistem (Sargent, 1999) Permodelan pada tingkat metodologi sistem dibagi dua, yaitu Hard System Metodology (HSM) seperti teknik operasional riset dan sistem dinamik; serta Soft System Metodology (SSM). Untuk riset kebijakan sebaiknya digunakan teknik-teknik dari SSM, namun sering juga dimanfaatkan kehandalan sistem dinamik dari HSM untuk analisa sebab akibat (Eriyatno dan Sofyar, 2007). Berdasarkan hal tersebut, maka pendekatan penelitian yang dilakukan adalah menggunakan metode SSM. Secara sederhana, pendekatan metoda SSM dapat digambarkan sebagaimana terlihat pada Gambar 7 (Checkland, dalam Eriyatno dan Sofyar, 2007).
36
7. Tindakan untuk Memperbaiki Keadaan
1. Situasi Permasalahan yang Tidak Terstruktur
Tindakan
6. Identifikasi Hal yang Diingnkan Secara Sistematis dan Perubahan yang Layak Secara Efektif
Temuan
2. Situasi Permasalahan yang Ditemukenali
5. Perbandingan antara 4 dan 2
Dunia Nyata Pemikiran Sistem 3. Pendefinisian Sistem Yang Relevan
4. Model Konseptual
Pendekatan Sistem 4a. Konsep Sistem Formal
4b. Pemikiran Sistem Lainnya
Gambar 7 Soft System Methodology (Checkland, 1981) Berbagai teknik dikembangkan dalam metode SSM untuk memperoleh atau menganalisa input penelitian, termasuk penelitian kebijakan. Teknik yang digunakan dalam pendekatan penelitian ini lebih bersifat komplementer. Hal ini didasarkan pada pandangan Eriyatno dan Sofyar (2007) bahwa mengingat kebijakan publik adalah pengetahuan yang bersifat multidisipliner, tentunya untuk menghasilkan sintesa yang mendalam dan komprehensif tidak cukup bila hanya menggunakan satu metoda saja. Pendekatan melalui penggabungan berbagai metoda dengan kombinasi teknik yang tepat dapat mempertajam analisis, meningkatkan mutu disain dan meminimalisasi bias dalam penelitian.
2.3.
Manajemen Strategi Manajemen strategi merupakan suatu konsep yang lahir sebagai reaksi
atas perubahan lingkungan secara global sehingga unit organisasi perlu melakukan pengamatan, pengendalian dan evaluasi terhadap lingkungan eksternal dalam menentukan strategi melalui potensi kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Dengan kata lain manajemen strategi dapat dipandang sebagai
37
serangkaian keputusan dan tindakan manajerial yang menentukan kinerja organisasi dalam jangka panjang. Pemahaman terhadap konsep manajemen strategi dapat dijelaskan melalui pengertian manajemen dan strategi.
Hal ini juga ditegaskan oleh
Bawono (2008) bahwa manajemen strategi terdiri atas dua suku kata yang dapat dipilah menjadi kata manajemen dan strategi.
Manajemen diperkirakan ada
sejak manusia menyadari perlunya kerjasama dengan orang lain, atau sejak seseorang memanfaatkan bantuan orang lain untuk mencapai tujuan yang diinginkannya. Hal ini karena seseorang menyadari adanya keterbatasan kemampuan
fisik
maupun
pikiran
dalam
melaksanakan
tugas-tugasnya.
Manajemen sebagaimana merupakan suatu rangkaian tindakan untuk mencapai hubungan kerjasama yang rasional dalam suatu sistem administrasi. Menurut Koontz, O’Donnell dan Weihrich (1993) manajemen merupakan pelaksanaan sesuatu hal dengan memanfaatkan bantuan orang lain.
Kedua
definisi tersebut walaupun sangat sederhana menunjukkan arti pentingnya manajemen sebagai fenomena sosial (Manila, 1996).
Sedangkan menurut
Nawawi (2003) manajemen merupakan serangkaian proses yang terdiri atas perencanaan
(planning),
pengorganisasian,
(organizing),
pelaksanaan
(actuating), pengawasan (controlling), dan penganggaran (budgeting). Pada hakikatnya manajemen merupakan proses pemberian bimbingan, kepemimpinan, pengaturan, pengendalian, dan pemberian fasilitas lainnya. Pengertian manajemen dapat disebut pembinaan, pengendalian pengelolaan, kepemimpinan, ketatalaksanaan, yang merupakan proses kegairahan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Sedangkan Sirait (2006) menjelaskan bahwa proses manajemen adalah seperangkat kegiatan-kegiatan yang mencakup pengkoordinasian, pengintegrasian, dan penggunaan sumbersumber daya guna mencapai tujuan organisasi melalui manusia-manusia, teknikteknik, berbagai informasi dalam suatu struktur organisasi. Menurut Wibowo (2006) manajemen sudah semakin dirasakan sebagai suatu kebutuhan pokok, baik oleh sekumpulan individu, kelompok, maupun organisasi
untuk
mencapai
tujuannya.
Pengetahuan
manajemen
telah
mengajarkan banyak hal tentang bagaimana tujuan tersebut dapat dicapai secara efisien dan efektif. Suatu organisasi dibentuk untuk mencapai tujuan
38
bersama, namun untuk mencapai tujuan secara efektif diperlukan manajemen yang baik dan benar. Manajemen merupakan suatu proses atau serangkaian tindakan untuk mencapai tujuan dengan menjalankan fungsi manajemen dan menggunakan sumber daya, serta menjalankan empat fungsi utama manajemen, yaitu planning, organizing, leading, dan controlling untuk mencapai tujuan suatu organisasi (Dubrin, 1990) sebagaimana terlihat pada Gambar 8. Dalam konteks sistem, manajemen dianggap sebagai sebuah sistem sumber daya, guna memiliki suatu kelompok cirri-ciri sistematik yang dinamik, guna pencapaian suatu bauran produktivitas yang optimum dan kepuasan bagi organisasi yang ada secara keseluruhan (Nisjar dan Winardi, 1997). Pandangan tersebut mengharuskan dimasukkannya konsep-konsep ilmu behavioral kedalam suatu pendekatan proses dan structural terhadap manajemen yang terintegrasi, bersama-sama dengan pemanfaatan ilmu manajemen yang terdapat serta teknik-teknik analisis sistem bagi pemecahan problem dan alokasi sumbersumber daya. Anggapan terhadap masing-masing fungsi manajerial sebagai sebuah subsistem, maka hal tersebut memungkinkan pemusatan perhatian pada titik-titik pokok interaksi atau interfaces dimana output satu kelompok aktifitas (atau subsistem) menjadi input bagi sekelompok aktifitas (subsistem) berikutnya. Hal tersebut memungkinkan pencapaian suatu pandangan yang bersifat holistik tentang manajemen, daripada apabila hanya memperhatikan jumlah dari fungsifungsi terpisah, yang dilaksanakan secara terpisah satu sama lainnya. Sedangkan pemahaman terhadap strategi secara konseptual dijelaskan oleh Glueck dan Jauch (dalam Saladin, 2004) bahwa strategi dapat diartikan sebagai
sebuah
rencana
yang
disatukan,
luas
dan
terintegrasi,
yang
menghubungkan keunggulan strategi perusahaan dengan tantangan lingkungan dan yang dirancang untuk memastikan bahwa tujuan utama perusahaan dapat dicapai melalui pelaksanaan yang tepat oleh organisasi.
Pengertian strategi
dalam pandangan tersebut didasarkan pada manajemen perusahaan, namun apabila dikembangkan lebih lanjut dapat berlaku pada semua tingkat organisasi, termasuk organisasi pemerintahan. Menurut Robbins (1995), strategi dapat didefinisikan sebagai penentuan dari tujuan dasar jangka panjang dan sasaran sebuah perusahaan, dan penerimaan dari serangkaian tindakan serta alokasi dari sumber-sumber yang
39
dibutuhkan untuk melaksanakan pencapaian tujuan tersebut. Sedangkan Salusu (2003) menjelaskan bahwa situasi strategik merupakan suatu interaksi antara dua orang atau lebih yang masing-masing mendasarkan tindakannya pada harapan tentang tindakan orang lain yang tidak dapat dikontrol, dan hasilnya akan terganting pada gerak-gerik perorangan dari masing-masing pemeran. Menurut Wilopo (2003), strategi merupakan positioning organisasi di masa depan dengan memberikan daya ungkit melalui aset-aset yang dimiliki untuk menciptakan aset yang dapat membawa organisasi pada posisi superior terhadap
pesaing
menjelaskan
melalui
bahwa
memungkinkan
penciptaan
strategi
adalah
organisasi-organisasi
nilai. pola
dapat
Sedangkan alokasi
Barney
sumber
mempertahankan
daya
(1997) yang
kinerjanya.
Strategi juga dpat diartikan sebagai keseluruhan rencana mengenai penggunaan sumberdaya-sumberdaya untuk menciptakan suatu posisi yang menguntungkan. (Grant, 1995). Berdasarkan seluruh pengertian strategi tersebut dapat dijelaskan bahwa strategi merupakan suatu kesatuan rencana yang menyeluruh, komprehensif, dan terpadu yang diarahkan untuk mencapai tujuan organisasi. Terdapat beberapa karakteristik dari pengertian strategi tersebut di atas, yaitu: (1) Adanya suatu rencana tindakan yang dirancang untuk mencapai tujuan baik jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang; (2) Untuk menyusun suatu strategi diperlukan analisis terhadap lingkungan, baik lingkungan eksternal (peluang dan ancaman/tantangan) maupun lingkungan internal (kekuatan dan kelemahan) untuk mengantisipasi perubahanperubahan yang terjadi dalam suatu dinamika tertentu; (3) Perlunya suatu keputusan pilihan dan pelaksanaan yang tepat dan terarah guna mencapai tujuan organisasi; dan (4) Strategi dirancang untuk menjamin agar tujuan dan sasaran dapat dicapai melalui langkah-langkah yang tepat. Pengertian mengenai manajemen strategi tersebut pada dasarnya menjelaskan pemilihan alternatif strategi yang terbaik bagi organisasi dalam segala hal untuk mendukung pencapaian tujuan organisasi. Oleh karena itu, suatu organisasi perlu melaksanakan manajemen strategi secara terus menerus dan harus fleksibel dengan tuntutan situasi dan kondisi lingkungan. Manajemen
40
strategi merujuk pada proses manajerial untuk membentuk visi strategi, penyusunan obyektif, penciptaan strategi, mewujudkan dan melaksanakan strategi dan kemudian sepanjang waktu melakukan penyesuaian dan koreksi terhadap visi, obyektif strategi dan pelaksanaan tersebut. Menurut
Siagian
(2004)
manajemen
stratejik
diartikan
sebagai
serangkaian keputusan dan tindakan mendasar yang dibuat oleh manajemen puncak dan diimplementasikan oleh seluruh jajaran suatu organisasi dalam rangka pencapaian tujuan organisasi tersebut. Manajemen strategis memiliki 4 (empat) tugas yang harus dilaksanakan, yaitu: (1) pembelajaran strategis; (2) perencanaan strategis; (3) tindakan strategis; dan (4) pengendalian strategis. Dengan demikian manajemen strategis merupakan proses untuk membantu organisasi dalam mengidentifikasi apa yang ingin dicapai, dan bagaimana seharusnya mencapai hasil yang bernilai.
Secara sederhana manajemen
strategi dapat dipahami sebagai proses pemilihan dan penerapan strategistrategi yang sudah ditetapkan dalam suatu proses perencanaan. Manajemen strategi mengandung langkah-langkah yang diperlukan dalam suatu proses untuk menetapkan berbagai pilihan yang terbaik dari sejumlah pilihan-pilihan yang ada secara lebih tepat dan menguntungkan atas penggunaan berbagai potensi sumberdaya yang ada.
2.4.
Konsep Kebijakan Secara konseptual, rumusan kebijakan adalah suatu program pencapaian
tujuan, nilai-nilai dan praktek-praktek yang terarah (Islamy, 1997).
Dalam
pengertian kebijakan tersebut terkandung serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan
hambatan-hambatan
dan
kesempatan-kesempatan
terhadap
pelaksanaan usulan kebijakan dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Pengertian kebijakan mencerminkan adanya: (1) susunan rancangan tujuan dan dasar pertimbangan program pemerintah yang berhubungan dengan masalahmasalah tertentu yang dihadapi masyarakat; (2) apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan dan atau tidak dilakukan; dan (3) masalah-masalah yang kompleks yang dinyatakan dan dilaksanakan oleh pemerintah. Oleh karena itu, suatu kebijakan dapat memuat 3 (tiga) elemen penting, yaitu sebagai berikut: (2) Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai;
41
(3) Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan; dan (4) Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi tersebut. Berdasarkan
pengertian
tersebut,
maka
dapat
dijelaskan
secara
sederhana bahwa kebijakan adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat. Pengertian kebijakan mempunyai beberapa implikasi sebagai berikut: (1) Kebijakan dalam bentuk perdananya berupa penetapan tindakan-tindakan; (2) Kebijakan tidak cukup hanya dinyatakan tetapi dilaksanakan dalam bentuknya yang nyata; (3) Kebijakan baik untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu mempunyai dan dilandasi dengan maksud dan tujuan tertentu; dan (4) Kebijakan harus senantiasa ditujukan bagi kepentingan seluruh anggota masyarakat. Pada tingkat implementasinya penetapan kebijakan seringkali dihadapkan pada berbagai kendala. Kendala penetapan kebijakan dikemukakan oleh Goodin, Rein dan Moran (2006) bahwa ”policy making is always a matter of choice under constraint. But not all the constraints are material. Some are social and political, having to do with the willingness of people to do what your policy asks of them or with the willingness of electors to endorse the policies that would-be policy makers espouse”.
Kendala penetapan kebijan tersebut tidak hanya sekedar
persoalan material, tetapi lebih jauh dari itu adalah menyangkut persoalan sosial, politik, dan kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu pilihan yang tersedia. Menurut Abidin (2002) pengertian kebijakan itu bersifat dinamis, terutama terkait dengan sifat yang melekat pada definisi kebijakan.
Sejalan dengan
perkembangan studi yang makin maju, pengertian kebijakan ada pula yang mengaitkan dengan analisis kebijakan yang merupakan sisi baru dari perkembangan ilmu sosial untuk pengalamannya dalam kehidupan sehari-hari. Analisis kebijakan selain merupakan metode untuk memahami apa dan bagaimana suatu kebijakan terjadi, juga menyediakan alat yang bermanfaat bagi
42
praktisi yang terlibat dalam proses perumusan kebijakan. Analisis kebijakan itu sendiri menurut Dunn (1994), merupakan aktivitas menciptakan pengetahuan tentang dan dalam proses pembuatan kebijakan. Dengan demikian, pengertian analisis
kebijakan
merupakan
upaya
untuk
menghasilkan
dan
mentransformasikan informasi yang dibutuhkan untuk suatu kebijakan, dengan menggunakan berbagai metode penelitian dan pembahasan dalam suatu kondisi tertentu untuk menyelesaikan suatu masalah. Analisis kebijakan dapat diharapkan untuk menghasilkan informasi dan argumen-argumen yang masuk akal mengenai tiga macam pertanyaan, yaitu: (1) nilai yang pencapaiannya merupakan tolok ukur utama untuk melihat apakah masalah telah teratasi; (2) fakta yang keberadaannya dapat membatasi atau meningkatkan pencapaian nilai-nilai; dan (3) tindakan yang penerapannya dapat menghasilkan pencapaian nilai-nilai. Di dalam menghasilkan informasi dan argumen-argumen tersebut, seorang analis dapat memakai satu atau lebih dari tiga pendekatan analisis, yaitu empiris, valuatif dan normatif. Menurut Waldo (dalam Kartasasmita, 1995) analisis kebijakan lebih banyak memberi perhatian kepada teknik yang dapat digunakan untuk menganalisis dan mengevaluasi kebijakan, dalam kaitannya dengan masukan, keluaran, hasil, pengorbanan dan lain sebagainya, yang berkaitan dengan kebijakan publik, dan bukan kepada substansi dari kebijakan itu sendiri. Analisis kebijakan lebih memfokuskan pada pendekatan proses pengambilan keputusan dalam penetapan suatu kebijakan publik dalam bidang tertentu. Dalam konteks tersebut di atas, Wahab (1997) memberikan penjelasan bahwa implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses atau tahapan kebijakan publik.
Menurut Sunggono (1994), suatu
kebijakan pemerintah sebelum diimplementasikan serta dievaluasi hasil-hasil implementasinya, maka kebijakan pemerintah tersebut diberi bentuk hukum melalui peraturan perundang-undangan. Berkaitan
dengan
riset
kebijakan,
Eriyatno
dan
Sofyar
(2006)
mengemukakan bahwa pada bidang penelitian kebijakan publik (policy research) para peneliti harus terlibat langsung dan mendalami pada proses sintesis, karena peran pemerintah dan masyarakat secara umum akan meningkat, terutama dalam pengendalian dan penentuan berbagai aturan atau ketentuan bagi model konseptual serta manajemen publik.
Selain itu juga dalam pengembangan
43
kebijakan harus dapat memahami bagaimana membangun kebijakan secara komprehensif atau kebijakan yang smart, dengan teknik berbasis pengetahuan merumuskan konsepsi instrument pembangunan berkelanjutan dan pencegahan dampak melalui pemikiran sintesa. Berkaitan
dengan
konsep
kebijakan
tersebut,
Pemerintah
telah
menetapkan suatu piranti pengaturan pembangunan daerah melalui UndangUndang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Salah satu materi kebijakan mengatur tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten). Secara umum, urusan pemerintahan yang diserahkan oleh Pemerintah kepada Pemerintah Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang bersifat wajib dan diatur dalam ketentuan Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (1) UndangUndang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dapat dilihat selengkapnya pada Tabel 6. Perubahan-perubahan yang mendasar atas pembagian kewenangan urusan pemerintahan dalam kerangka kebijakan Otonomi Daerah tersebut pada gilirannya mempengaruhi proses pengambilan keputusan kebijakan baik di tingkat pusat maupun daerah.
Salah satu konsekuensi logisnya adalah
pengembangan dan pengelolaan irigasi sebagai bagian dari upaya penyediaan sarana dan prasarana umum menjadi urusan Pemerintah Daerah.
Namun
demikian pengaturan tersebut dalam pelaksanaannya dibatasi oleh UndangUndang No. 7 tahun 2004 tentang sumber daya air. Pembatasan pengelolaan irigasi tersebut didasarkan pada strata luas lahan beririgasi sebagai berikut: (1) Daerah Irigasi (DI) kurang dari 1000 ha (DI kecil) dan berada dalam satu kabupaten/kota menjadi tanggungjawab Pemerintah Kabupaten/ Kota; (2) Daerah Irigasi (DI) dengan luasan lebih dari 1000 sampai dengan 3000 (DI sedang) atau DI kecil yg lintas kabupaten/kota menjadi tanggungjawab Pemerintah Provinsi; dan (3) Daerah Irigasi (DI) dengan luasan lebih dari 3000 ha (DI besar) atau DI sedang yg lintas provinsi, strategis nasional, dan lintas negara menjadi tanggungjawab Pemerintah Pusat.
44
Tabel 6 Kewenangan Pemerintah Daerah dalam urusan Pemerintahan yang bersifat wajib. No. 1 2 3 4 5 6
7 8 9
10 11 12
13 14
15
16
Pemerintah Daerah Provinsi (Pasal 13 ayat 1) Perencanaan dan pengendalian pembangunan. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. Penyediaan sarana dan prasarana umum. Penanganan bidang kesehatan. Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potesial. Penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota. Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota Pengendalian lingkungan hidup. Pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota Pelayanan kependudukan dan catatan sipil. Pelayanan administrasi umum pemerintahan. Pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh Peraturan perundang-undangan.
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Pasal 14 ayat 1) Perencanaan dan pengendalian pembangunan. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. Penyediaan sarana dan prasarana umum. Penanganan bidang kesehatan. Penyelenggaraan pendidikan.
Penanggulangan masalah sosial. Pelayanan bidang ketenagakerjaan. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah. Pengendalian lingkungan hidup. Pelayanan pertanahan. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil. Pelayanan administrasi umum pemerintahan. Pelayanan administrasi penanaman modal. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh Peraturan perundang-undangan.
Sumber: UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Pengaturan lebih lanjut tentang pengembangan dan pengelolaan irigasi di Indonesia ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 2006 tentang Irigasi. Berdasarkan materi Pasal 2 (1) dikemukakan bahwa keberlanjutan sistem irigasi sebagaimana ditentukan oleh: (1) Keandalan air irigasi yang diwujudkan melalui kegiatan membangun waduk, waduk lapangan, bendungan, bendung, pompa, dan jaringan drainase yang
45
memadai, mengendalikan mutu air, serta memanfaatkan kembali air drainase; (2) Keandalan prasarana irigasi yang diwujudkan melalui kegiatan peningkatan, dan pengelolaan jaringan irigasi yang meliputi operasi, pemeliharaan, dan rehabilitasi jaringan irigasi di daerah irigasi; (3) Meningkatnya pendapatan masyarakat petani dari usaha tani yang diwujudkan melalui kegiatan pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi yang mendorong keterpaduan dengan kegiatan diversifikasi dan modernisasi usaha tani.
2.5.
Pengelolaan Irigasi Berkelanjutan Pembangunan merupakan konsep yang multidimensi. Oleh karena itu
pembangunan memperhatikan berbagai aspek yang berkaitan dengan aspekaspek sosial ekonomi penduduk, pemanfaatan sumber daya alam maupun pengelolaan
lingkungan.
Keterkaitan
diantaranya
merefleksikan
bentuk
hubungan yang sangat kompleks. Menurut Iskandar (1998) pada hakekatnya terdapat tiga domain dalam pembangunan, yaitu: (1) domain ekonomi; (2) domain sosial; dan (3) domain ekologi. Himpunan bagian yang saling beririsan antara domain tersebut menghasilkan tiga model strategi pembangunan dan integrasi antara ketiga himpunan bagian tersebut disebut model strategi pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan generasi mendatang. Menurut Kleden (1992), pembangunan yang berkelanjutan dapat didefinisikan sebagai sejenis pembangunan yang di satu pihak mengacu pada pemanfaatan sumber-sumber alam maupun sumber daya manusia secara optimal, dan di lain pihak serta pada saat yang sama memelihara keseimbangan optimal diantara berbagai tuntutan yang saling bertentangan terhadap sumber-sumber daya tersebut. Pada
sisi
lain,
Pahlman
memberikan
pengertian
pembangunan
berkelanjutan sebagai: ”... is about a broader, deeper and more dynamic process of learning and change, aimed at creating appropriate and equitable human activity systems and ways of life”.
Pengertian tersebut menekankan bahwa
46
pembangunan berkelanjutan merupakan suatu proses yang lebih luas, mendalam, dan proses pembelajaran yang lebih dinamis dan berubah, mengarah pada penciptaan menuju kreativitas kehidupan manusia yang wajar dan sesuai. Secara sederhana konsep pembangunan berkelanjutan dijelaskan pada Gambar 8.
Business ethics; human rights/social equity; corporate social responsibility
Brownfields redevelopment; ecosystems services; by-product synergy
Economic Prosperity
Social objectives
Environment Quality
Air&water quality; urban design and mobility; healt, education and safety, overall quality of life
Stakeholder engagement & consultation
Gambar 8 Paradigma pembangunan berkelanjutan Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, maka dalam konteks pembangunan irigasi dapat dipahami bahwa pengelolaan irigasi berkelanjutan merupakan suatu proses pemanfaatan sumber daya air irigasi maupun sumber daya
manusia
secara
optimal
dengan
mengutamakan
dan
menjaga
keseimbangan optimal diantara berbagai kendala terhadap sumber-sumber daya tersebut untuk kepastian pemanfaatan atau kebutuhan pada masa dan generasi berikutnya. Model pembangunan berkelanjutan dikembangkan berdasarkan 3 (tiga) prinsip-prinsip keberlanjutan sebagaimana dikemukakan dalam Comhar (2007), yaitu: (1) pengambilan keputusan yang tepat; (2) pemenuhan kebutuhan masyarakat melalui efisiensi penggunaan sumberdaya; dan (3) Pemerataan pembangunan. Keberlanjutan sistim irigasi tersebut diformulasikan melalui pola pengembangan dan pengelolaan irigasi dengan menggunakan pendekatan sistim
47
dan mendayagunakan berbagai faktor/komponen yang berpengaruh terhadap sistim irigasi tersebut. Hal ini juga dinyatakan oleh Bell (1998) bahwa masalah lingkungan yang berkelanjutan juga terkait dengan masalah sosial. Pengelolaan irigasi berkelanjutan sangat diperlukan sebagai upaya dalam mengoptimalkan potensi sumberdaya air dan menekan permasalahan yang muncul.
Permasalahan berkaitan dengan irigasi antara lain dijelaskan oleh
Mawardi (dalam Visi, 1995) bahwa: ”many problems in irrigation O&M are emerging recently. The major problems are related with scarcity in water source, low adaptability of irrigation structures with local environment, low irrigation efficiency and low farmers participation. The problems arise partly due to the changes in environmental factors such as: (1) change in agricultural practices and orientation; (2) scarcity in land and water as the two principal resources in agriculture In one side, while in the other side the demand is increasing; (3) recent strong requirement of more sustainability development and better environment quality; and (4) change in socio-economic attitudes of villagers as an impact of the development process in the country”. Pengertian
irigasi
sebagaimana
yang
terdapat
dalam
Peraturan
Pemerintah No. 20 tahun 2006 Tentang Irigasi adalah usaha penyediaan, pengaturan, dan pembuangan air irigasi untuk menunjang pertanian, yang jenisnya meliputi irigasi air permukaan, irigasi rawa, irigasi air bawah tanah, irigasi pompa dan irigasi tambak. Irigasi diselenggarakan dengan tujuan mewujudkan kemanfaatan air yang menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya petani. Selain itu juga, irigasi berfungsi mempertahankan dan meningkatkan produktivitas lahan untuk mencapai hasil pertanian yang optimal tanpa mengabaikan kepentingan lainnya.
Hal tersebut juga ditegaskan oleh Varley
(1995) bahwa meskipun tidak dapat diperkirakan secara tepat, investasi irigasi telah memberikan sumbangan nyata terhadap pertumbuhan produksi beras di Indonesia (kira-kira sebesar 20 – 30%) dari kenaikan tersebut. Sebagai suatu sistem, irigasi dijelaskan oleh Notodihardjo (dalam Pasandaran, 1991) bahwa sistem irigasi merupakan upaya pemberian air kepada tanaman dalam bentuk lengas tanah sebanyak keperluan untuk tumbuh dan berkembang. Small dan Svendsen (1990) mendefinisikan sistem irigasi dalam perspektif sosial sebagai intervensi manusia untuk memodifikasi distribusi, antara
48
ruang dan waktu, air yang terdapat dalam saluran alamiah, parit, saluran pembuang atau akuifer dan untuk memanipulasi seluruh atau sebagian air ini untuk produksi tanaman pertanian. Manfaat sistem irigasi itu sendiri dapat memberikan berbagai kegunaan. Sistem irigasi dapat berguna sebagai input dalam proses produksi, seperti yang dijelaskan oleh ahli-ahli pertanian bahwa irigasi berguna untuk mengantarkan air sesuai dengan kebutuhan tanaman. Pada sisi lain, kegunaan sistem irigasi juga dapat dipandang sebagai output pertanian yaitu irigasi berguna untuk meningkatkan produksi pertanian atau suplai bahan makanan negara. Perencana pemerintah mungkin pula melihat irigasi sebagai sebuah cara untuk menjaga keberlangsungan pembangunan ekonomi secara regional maupun nasional.
Sedangkan ilmuwan sosial yang memperhatikan kondisi
manusia memandang kegunaan irigasi sebagai upaya peningkatan kehidupan secara memadai, aman dan layak. pandangan-pandangan
yang
Menurut Small dan Svendsen (1990),
beragam
tentang
kegunaan
irigasi
dapat
diklarifikasikan berdasarkan kelangsungan hubungan mereka dengan kegiatan irigasi yaitu menangkap dan memanipulasi suplai air untuk peningkatan hasil produksi pertanian. Sejalan
dengan
perkembangan
penyelenggaraan
pembangunan,
khususnya di bidang sumber daya air, Pemerintah telah menetapkan suatu kebijakan pengembangan dan pengelolaan irigasi secara partisipatif (PPSIP). Sebagaimana yang dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2006 tentang Irigasi, pengertian pengembangan jaringan irigasi adalah pembangunan jaringan irigasi baru dan atau peningkatan jaringan irigasi yang sudah ada.
Sedangkan pengelolaan jaringan irigasi adalah kegiatan yang
meliputi operasi, pemeliharaan, dan rehabilitasi jaringan irigasi di daerah irigasi. Dengan demikian, PPSIP diselenggarakan berdasarkan pendekatan partisipatif dimana kesetaraan peran antara Pemerintah dan masyarakat menjadi salah satu kunci keberhasilannya. PPSIP dikembangkan dalam mewujudkan pencapaian tujuan reformasi kebijakan sumber daya air dan irigasi, yaitu agar pengelola irigasi, petani pemakai air dan penerima manfaat irigasi lainnya, mampu melaksanakan pengelolaan irigasi secara efektif dan efisien serta berkelanjutan dengan melibatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan sistem irigasi baik
49
pengembangan maupun pengelolaan jaringan irigasi. Secara umum PPSIP sebagai program reformasi pengelolaan irigasi dituangkan dalam kerangka kegiatan (Tabel 7). Tabel 7. Kerangka kegiatan reformasi kebijakan pengelolaan irigasi
Program Program 1. 1.1. 1.2. 1.3. 1.4.
Program 2. 2.1.
2.2. 2.3. 2.4. 2.5. Program 3. 3.1.
3.2. Program 4. 4.1.
4.2. 4.3. 4.4. Program 5. 5.1. 5.2. 5.3. 5.4.
Kegiatan PERSIAPAN UMUM Penyadaran publik Pembentukan Komisi Irigasi (provinsi dan kabupaten/kota) Persiapan dan pengesahan Peraturan Daerah (Perda) Penyusunan pedoman pelaksanaan kegiatan Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Irigasi Partisipatif (PPSIP). PEMBERDAYAAN ORGANISASI P3A Pembentukan P3A/GP3A/IP3A, termasuk mobilisasi TPP/KPL serta pelaksanaan PSETK dengan metode pendekatan PPKP Evaluasi kinerja P3A/GP3A/IP3A sebagai bahan penentuan tingkat partisipasi petani Peningkatan kemampuan teknik P3A/GP3A/IP3A Penyusunan rencana O&P tahunan Peningkatan kemampuan dalam bidang agribisnis dan kegiatan terkait. PENGELOLAAN IRIGASI PARTISIPATIF Pelaksanaan partisipasi P3A/GP3A/IP3A dalam pengelolaan sistem jaringan irigasi primer dan sekunder, mencakup : - Sistem inventarisasi melalui penelusuran bersama - Identifikasi kegiatan yang dibutuhkan dan penyusunan rencana pengelolaan irigasi - Penyusunan pengelolaan irigasi partisipatif dan dokumen O&P Partisipatif (DOPP) Monitoring dan Evaluasi PPSIP RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN PENGELOLAAN IRIGASI Persiapan Dana Pengelolaan Irigasi (DPI) berdasarkan Angka Kebutuhan Nyata Operasi dan Pemeliharaan (AKNOP) dan angka kebutuhan rehabilitasi Aplikasi Dana Pengelolaan Irigasi Peningkatan kemampuan dalam rangka pengelolaan DPI Monitoring dan Evaluasi pelaksanaan DPI KEBERLANJUTAN SISTEM IRIGASI Pelaksanaan pengelolaan aset irigasi Menjaga ketersediaan air irigasi Peningkatan pendapatan petani Menjaga keberkanjutan fungsi lahan pertanian beririgasi terhadap konversi lahan
50
Butir-butir kebijakan tersebut satu sama lainnya mempunyai keeratan hubungan yang sinergis dan strategis. Implementasi salah satu butir kebijakan tanpa diikuti dengan butir kebijakan yang lainnya tidak akan menghasilkan pencapaian tujuan secara optimal dan berkelanjutan.
Pendekatan partisipatif
juga menjadi jantung dari implementasi butir-butir kebijakan tersebut.
Oleh
karena itu, prinsip-prinsip pendekatan partisipatif harus dicermati dan diterapkan dengan sebaik-baiknya dalam rangka menumbuhkembangkan kepedulian masyarakat terhadap keberlanjutan pengeloaan sistem irigasi. Pengelolaan
irigasi
adalah
kegiatan
operasi,
pemeliharaan,
dan
rehabilitasi jaringan irigasi yang diselenggarakan dengan memanfaatkan sumber daya alam maupun sumber daya manusia secara optimal dalam rangka memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan generasi mendatang. Dalam konteks kegiatan operasi, pemeliharaan, dan rehabilitasi jaringan irigasi tersebut terdapat unsur yang sangat penting dalam kegiatan pengelolaan irigasi, yaitu sumber air (termasuk ketersediaan air irigasi) dan infrastruktur jaringan irigasi. Selain kedua unsur tersebut, unsur lahan beririgasi dan kelembagaan pengelola irigasi menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam keberlanjutan pengelolaan irigasi.
Konversi lahan yang tidak terkendali tentunya membuat
investasi sistem irigasi yang dibangun menjadi tidak efisien. Hal ini dikarenakan fungsi sistem irigasi yang dibangun berfungsi untuk mendukung produktivitas usaha tani guna meningkatkan produksi pertanian dalam rangka ketahanan pangan nasional dan kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat petani. Kelembagaan pengelolaan irigasi yang dibentuk dan dikembangkan meliputi instansi pemerintah yang membidangi irigasi, perkumpulan petani pemakai air, dan komisi irigasi. Pada tingkat masyarakat petani, kelembagaan pengelola irigasi dikembangkan melalui organisasi Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A). Organisasi petani tersebut merupakan salah satu kelembagaan sosial yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat perdesaan yang sebagian besar hidup dari sektor pertanian. Dalam proses pemberdayaannya, organisasi P3A perlu mendapat dukungan dari kelembagaan ekonomi, khususnya yang ada di wilayah perdesaan (seperti Koperasi Unit Desa atau KUD). Selain itu juga perlu perhatian
yang
lebih
serius
terhadap
bantuan
stimulan
dari
lembaga
perekonomian yang ada dalam bentuk skim kredit atau sejenisnya untuk
51
mendukung pengelolaan irigasi yang mandiri dan berkelanjutan sesuai dengan batas-batas kewenangannya. Berasarkan penjelasan tersebut, maka irigasi sebagai sebuah sistem terdiri dari beberapa unsur pendukung, yaitu adanya : (1) sumber air, termasuk didalamnya ketersediaan air; (2) infrastruktur berupa jaringan irigasi baik saluran maupun bangunan irigasi; (3) lahan pertanian beririgasi; dan (4) kelembagaan pengelola irigasi baik di tingkat pemerintah maupun masyarakat petani pemakai air.
Oleh karena itu, dalam kegiatan pengelolaan irigasi berkelanjutan perlu
memperhatikan keempat unsur penting tersebut, terutama agar optimalisasi tujuan pemanfaatan sistem irigasi dapat dirasakan dari generasi ke generasi berikutnya.