II. TINJAUAN PUSTAKA
A.
Konsep Produk
1.
Produk dan Jasa Manusia memuaskan kebutuhan dan keinginan mereka dengan produk dan
jasa.
Produk adalah segala sesuatu yang dapat ditawarkan ke pasar untuk
diperhatikan, dimiliki, digunakan, atau dikonsumsi yang dapat memuaskan kebutuhan atau keinginan. Produk mencakup objek fisik, jasa orang, tempat, organisasi, gagasan atau bauran dari semua bentuk-bentuk tersebut. Jasa adalah segala aktivitas atau manfaat yang dapat ditawarkan oleh suatu kelompok kepada yang lainnya, yang pada dasarnya tidak nyata (berwujud) dan tidak berakibat pada kepemilikan apapun. Namun demikian penawaran perusahaan ke pasar seringkali mencakup baik itu barang berwujud maupun jasa (Kotler dan Armstrong 2001). Dalam ISO 9000 (2000a), produk didefinisikan tidak hanya bermakna barang tetapi juga jasa. Dalam konsep produk (product concept), perusahaan berpendapat bahwa konsumen akan menyukai produk-produk yang menawarkan fitur yang paling bermutu, berkinerja, dan inovatif.
Perusahaan memusatkan perhatian untuk
menghasilkan produk yang unggul dan memperbaiki mutunya dari waktu ke waktu (Kotler 2005a). Namun demikian konsep produk juga dapat menyebabkan myopia pemasaran yaitu tidak memperhatikan tantangan yang berkembang dalam industrinya. Perusahaan mendapat sedikit atau tidak mendapat sama sekali masukan pelanggan dan sering sekali mereka bahkan tidak mengamati produkproduk pesaing (Kotler dan Armstrong 2001). Produk sendiri memiliki lima tahap daur hidup (product life-cycle) sejak masih konsep sampai mati (Gambar 1), yaitu: 1.
Pengembangan produk dimulai ketika perusahaan menemukan dan mengembangkan suatu gagasan produk baru selama pengembangan produk, penjualan sebesar nol dan biaya investasi perusahaan menumpuk.
6
2.
Pengenalan adalah periode pertumbuhan penjualan yang lambat ketika produk diperkenalkan di pasar. Laba belum diperoleh pada tahap ini karena biaya pengenalan produk sangat besar.
3.
Pertumbuhan adalah periode penurunan pasar dan peningkatan laba yang pesat.
4.
Kedewasaan adalah periode pertumbuhan penjualan yang menurun karena produk telah diterima oleh sebagian besar pembeli potensial. Tingkat laba tetap atau menurun karena pengeluaran pemasaran bertambah untuk mempertahankan produk menghadapi pesaing.
5.
Penurunan adalah periode ketika penjualan turun dan laba merosot.
Penjualan dan Laba
Penjualan
Laba Waktu Pengembangan Pengenalan
Pertumbuhan Kedewasaan Penurunan
Kerugian dan investasi Gambar 1 Daur hidup produk (Kotler dan Armstrong 2001)
Tidak semua produk mengikuti daur hidup produk ini. Beberapa produk diperkenalkan dan mati dengan cepat, lainnya tetap berada dalam tahap kedewasaan untuk waktu yang lama. Beberapa memasuki tahap penurunan dan kemudian terdaur kembali ke dalam tahap pertumbuhan melalui promosi yang kuat dan positioning ulang (Kotler dan Armstrong 2001).
7
2.
Mainan Edukatif Pada dasarnya, semua jenis dan bentuk mainan anak memiliki muatan
pendidikan atau bersifat edukatif karena sesungguhnya anak ketika melakukan aktivitas bermain, ia sedang belajar. Mainan edukatif atau yang biasa dikenal juga dengan alat permainan edukatif (APE) adalah jenis mainan yang bersifat edukatif atau dapat memenuhi syarat sebagai perangsang bagi anak untuk terjadinya proses belajar anak (Ismail 2006). APE yang baik adalah yang dapat mengembangkan totalitas kepribadian anak, bukan karena kelucuan atau kebagusannya. Adapun ciri mainan edukatif (APE) yaitu: (1)
dapat merangsang anak secara aktif berpartisipasi dalam proses, tidak pasif atau hanya diam;
(2)
bentuk mainan biasanya ”instrumen” sehingga memungkinkan bagi anak untuk
membentuk,
merubah,
dan
mengembangkan
sesuai
dengan
imajinasinya; (3)
dibuat dengan tujuan tertentu, sesuai dengan target usia anak. Menurut Ismail (2006), bermain pada anak-anak ditujukan untuk
mengembangkan tiga kemampuan pokok, yaitu: (1)
Kemampuan fisik-motorik (psikomotor). Dengan bergerak seorang anak akan terlatih motorik kasarnya, sehingga memiliki sistem perototan yang terbentuk secara baik dan sehat. Kemampuan motorik halus dapat dilatih dengan permainan seperti: puzzle, membedakan bentuk, dan sebagainya.
(2)
Kemampuan sosial-emosional (afektif). Anak melakukan aktivitas bermain karena ia merasa senang untuk melakukannya dan seiring dengan pertumbuhannya anak akan mengalami proses sosialisasi, bergaul dengan orang-orang di sekitarnya.
(3)
Kemampuan kecerdasan (kognisi). Dalam proses bermain, anak juga bisa diperkenalkan dengan perbendaharaan huruf, angka, kata, bahasa, komunikasi timbal-balik, maupun mengenal obyek-obyek tertentu.
8
Selain unsur edukatifnya, dalam produk mainan anak edukatif juga perlu diperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan unsur keamanan dan kesehatan di antaranya: desain produk, bahan baku yang digunakan, keamanan elektrikal, kebisingan suara dan kandungan logam atau unsur berbahaya, serta pemberian label peringatan pada produk mainan anak yang dihasilkannya. Standar mutu produk dapat menggunakan atau merujuk pada standar-standar yang sudah ditetapkan oleh pemerintah (nasional) ataupun standar internasional.
Badan
Standarisasi Nasional (BSN) telah mengeluarkan standar mengenai keamanan produk mainan anak, yaitu: (1) SNI 12-6527.1-2001; Keamanan mainan – Bagian 1: Spesifikasi sifat fisis dan mekanis, (2) SNI 12-6527.2-2001; Keamanan mainan – Bagian 2: Spesifikasi sifat mudah terbakar, (3) SNI 12-6527.3-2001; Keamanan mainan – Bagian 3: Spesifikasi untuk perpindahan elemen-elemen tertentu, dan (4) SNI 12-6527.4-2001 Keamanan mainan – Bagian 4: Spesifikasi untuk peralatan percobaan kimia dan aktivitas yang terkait.
Terdapat pula standar
internasional untuk keamanan produk mainan anak, diantaranya EN71-1988 part 3; Safety of Toys (keamanan mainan) dan ISO/IEC Guide 50:2002; Safety Aspects – Guidelines for child safety.
3.
Dimensi Mutu Produk dan Jasa Produk merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kepuasan
pelanggan. Oleh sebab itu produk harus memiliki pembeda (diferensiator) yang nyata dan tak diragukan.
Menurut Kotler (2005a), variabel-variabel yang
merupakan pembeda produk (diferensiasi produk) mencakup: (1)
Bentuk merupakan diferensiasi produk berdasarkan ukuran, model, atau struktur fisik produk.
(2)
Fitur (feature) merupakan pelengkap fungsi dasar produk.
(3)
Kinerja (performance) adalah tingkat berlakunya karekteristik dasar produk. Tingkat kinerja produk disesuaikan dengan pasar sasaran dan tingkat kinerja pesaingnya.
9
(4)
Kesesuaian (conformance) adalah tingkat kesesuaian produk terhadap spesifikasi sasaran yang dijanjikan.
(5)
Daya tahan (durability) adalah ukuran usia yang diharapkan terhadap penggunaan produk dalam kondisi nomal.
(6)
Keandalan (reliability) adalah ukuran probabilitas bahwa produk tersebut tidak akan gagal atau rusak dalam periode waktu tertentu.
(7)
Mudah diperbaiki adalah ukuran kemudahan untuk memperbaiki produk ketika produk itu rusak atau gagal.
(8)
Gaya (style) menggambarkan penampilan dan perasaan yang ditimbulkan oleh produk itu bagi pembeli.
(9)
Desain adalah totalitas fitur yang mempengaruhi penampilan dan fungsi produk tertentu sesuai dengan persyaratan pelanggan. Banyak penelitian dilakukan oleh para pakar di bidang manajemen
mengenai dimensi mutu yang mempengaruhi kualitas produk dan jasa, termasuk menentukan dimensi mutu mana yang paling menentukan dalam kualitas produk dan jasa tertentu.
Beberapa diantaranya yang paling banyak dikenal adalah
dimensi mutu jasa yang dikemukakan oleh Parasuraman et al. (1985) dalam Jasfar (2005) dan dimensi mutu produk yang dikemukakan oleh Garvin (1988). David Garvin (1988), melalui penelitian yang dilakukannya terhadap beberapa industri manufaktur mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi konsumen dalam menilai kualitas produk, mendefinisikan delapan dimensi yang dapat digunakan untuk menganalisis karakteristik mutu produk, yaitu: (1)
Performance (performansi), berkaitan dengan aspek fungsional dari suatu produk dan merupakan karekteristik utama yang dipertimbangkan konsumen ketika ingin membeli suatu produk.
(2)
Feature merupakan aspek kedua dari performance yang menambah fungsi dasar, berkaitan dengan pilihan-pilihan dan pengembangannya. Seringkali terdapat kesulitan untuk memisahkan karakteristik performance dan feature. Biasanya konsumen mendefinisikan nilai dalam bentuk fleksibilitas dan
10
kemampuan mereka untuk memilih feature yang ada dan mutu dari feature itu sendiri. (3)
Reliability (keandalan), berkaitan dengan kemungkinan suatu produk melaksanakan fungsinya secara berhasil dalam periode waktu tertentu di bawah
kondisi
tertentu
(kemungkinan
tingkat
keberhasilan
dalam
penggunaan produk). (4)
Conformance (kesesuaian), berkaitan dengan tingkat kesesuaian produk terhadap spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya berdasarkan keinginan
konsumen.
Kesesuaian
merefleksikan
tingkat
dimana
karakteristik rancangan produk dan karakteristik operasi memenuhi standar yang telah ditetapkan (conformance to requirements). (5)
Durability (daya tahan) merupakan ukuran masa pakai suatu produk.
(6)
Serviceability (kemampulayanan) merupakan karakteristik yang berkaitan dengan kecepatan, keramahan, kesopanan, kompetensi, kemudahan dan akurasi dalam perbaikan.
(7)
Aesthetics (estetika) merupakan karakteristik yang bersifat subyektif sehingga berkaitan dengan pertimbangan pribadi dan refleksi dari preferensi individual.
(8)
Perceived quality (mutu yang dirasakan) bersifat subyektif, berkaitan dengan perasaan konsumen dalam mengkonsumsi suatu produk dan merupakan karakteristik yang berkaitan dengan reputasi (image) produk dan perusahaan. Parasuraman et al. (1985) dalam Jasfar (2005) berhasil mengidentifikasi
sepuluh faktor yang dinilai konsumen dan merupakan faktor utama yang menentukan kualitas jasa melalui penelitian yang dilakukan terhadap beberapa jenis industri jasa, yaitu access, communication, competence, courtesy, credibility, reliability, responsiveness, security, understanding, dan tangibles. Namun pada tahun 1988, Parasuraman (et al.) kembali melakukan penelitian pada kelompok fokus (focus group), baik pengguna maupun penyedia jasa dan akhirnya dikemukakan lima dimensi mutu jasa karena beberapa dimensi mutu
11
yang diidentifikasi pada penelitian pertama ternyata memiliki hubungan yang sangat kuat dan dapat dijadikan dalam satu dimensi mutu. Kelima dimensi mutu jasa tersebut adalah (Jasfar 2005; Kotler 2005b; Lupiyoadi dan Hamdani 2006): (1)
Reliability (keandalan), yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya atau meyakinkan.
(2)
Responsiveness (daya tanggap), yaitu kemauan atau keinginan atau kebijakan untuk membantu dan memberikan jasa yang dibutuhkan konsumen secara cepat dan tepat.
(3)
Assurance (jaminan), meliputi pengetahuan, kemampuan, keramahan, kesopanan, dan sifat dapat dipercaya (kemampuan untuk menumbuhkan rasa percaya konsumen).
(4)
Empathy (empati), meliputi sikap karyawan atau perusahaan untuk memahami kebutuhan, keinginan maupun kesulitan konsumen, memberikan perhatian yang tulus dan mendalam serta bersifat individual atau pribadi (khusus).
(5)
Tangibles (produk-produk fisik atau berwujud), tersedianya sarana dan prasana fisik yang dapat diandalkan dan merupakan bukti nyata dari jasa yang diberikan perusahaan, seperti: penampilan fisik, perlengkapan, karyawan, dan bahan komunikasi.
B.
Konsep Kepuasan Pelanggan
1.
Kebutuhan dan Harapan Pelanggan Konsep paling dasar yang melandasi pemasaran adalah kebutuhan manusia.
Kebutuhan (needs) manusia adalah pernyataaan dari perasaan kekurangan. Kebutuhan meliputi kebutuhan fisik dasar akan makanan, pakaian, kehangatan, dan rasa aman; kebutuhan sosial akan rasa memiliki dan kasih sayang; serta kebutuhan individual akan pengetahuan dan ekspresi diri. Sedangkan keinginan (wants) adalah kebutuhan manusia yang dibentuk oleh budaya dan kepribadian seseorang. Keinginan digambarkan dalam bentuk objek yang akan memuaskan kebutuhan. Manusia memiliki keinginan yang hampir tidak terbatas tetapi hanya
12
memiliki sumber daya yang terbatas. Jadi mereka memilih produk yang memberi nilai dan kepuasan terbesar dari uang mereka. Ketika didukung oleh daya beli, keinginan menjadi permintaan (demands). Pelanggan memandang produk sebagai kumpulan manfaat dan memilih produk yang memberi mereka kumpulan manfaat terbaik dari uang mereka (Kotler dan Armstrong 2001). Dalam pemasaran, kita selalu berbicara tentang bagaimana memenuhi kebutuhan yang belum terpenuhi. Dewasa ini, ada begitu banyak produk yang dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan.
Semantara itu, akan selalu ada
kebutuhan yang tidak terpenuhi, dengan lahirnya tiap-tiap bayi berarti lahir pula segudang kebutuhan baru yang belum terpenuhi atau gaya hidup (life style) yang selalu menciptakan tren-tren baru yang berarti terciptanya kebutuhan baru. Orang dapat mencoba memuaskan kebutuhan tersebut dengan bermacam cara. Strategi pemasaran untuk memuaskan kebutuhan adalah menawarkan sesuatu yang bernilai untuk ditukar dengan sesuatu yang diinginkan pihak lain. Konsep dasar pemasaran adalah pertukaran dan salah satu tujuan pemasaran adalah menciptakan produk yang memenuhi kebutuhan yang sudah jelas dari pasar sasaran yang sudah jelas pula (Kotler 2006). Fokus pada pelanggan merupakan bagian dari proses yang mengarah kepada perbaikan berkesinambungan organisasi dan pemahaman terhadap harapan pelanggan adalah prasyarat untuk peningkatan mutu dan pencapaian kepuasan total. Oleh sebab itu organisasi harus mampu memahami kebutuhan pelanggan sekarang dan di masa mendatang, memenuhi persyaratan dan terus berupaya untuk memenuhi harapan pelanggan (ISO 2000a).
2.
Kepuasan Pelanggan Pelanggan biasanya menghadapi sederetan besar produk dan jasa yang dapat
memuaskan kebutuhan tertentu. Bagaimana mereka memilih di antara sedemikian banyak produk dan jasa?. Konsumen membuat pilihan pembelian berdasarkan persepsi mereka terhadap nilai yang melekat pada berbagai produk dan jasa (Kotler dan Armstrong 2001).
Pelanggan sangat memerhatikan kualitas,
pelayanan, dan nilai. Hal tersebut menciptakan peluang yang kompetitif di pasar
13
yang masih kurang digarap.
Banyak perusahaan dan industri sedang
meningkatkan kualitas, layanan dan nilai mereka, namun
belum merupakan
atribut keunggulan yang membedakan (Kotler 2006). Persaingan yang semakin meningkat telah memicu perusahaan (bisnis) untuk lebih memperhatikan kepuasan pelanggan. Menurut Kotler (2005a), kepuasan pelanggan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan antara kinerja (hasil) produk yang dirasakan dan yang diharapkannya.
Pada dasarnya pengertian
kepuasan pelanggan mencakup perbedaan antara tingkat kepentingan dan kinerja atau hasil. Engel (1990) dan Pawira (1993) dalam Rangkuti (2006) mengatakan bahwa pengertian tersebut dapat diterapkan dalam penilaian kepuasan atau ketidakpuasan terhadap satu perusahaan tertentu karena keduanya berkaitan erat dengan konsep kepuasan pelanggan, sebagaimana dijelaskan pada Gambar 2. Akhirnya, perusahaan harus beroperasi berdasarkan filosofi bahwa ia mencoba untuk menyerahkan satu tingkat kepuasan tinggi dengan tunduk pada penyerahan tingkat kepuasan yang dapat diterima kepada pemercaya lain, dengan adanya sumber daya totalnya (Rangkuti 2006).
Kebutuhan dan keinginan pelanggan
Tujuan perusahaan
Produk
Harapan pelanggan terhadap produk
Nilai produk bagi pelanggan
Tingkat Kepuasan Pelanggan Gambar 2 Diagram konsep kepuasan pelanggan (Rangkuti 2006)
14
3.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Pelanggan Kepuasan pelanggan (customer satisfaction) bergantung pada perkiraan
kinerja produk dalam memberikan nilai, relatif terhadap harapan pembeli. Jika kinerja produk jauh lebih rendah dari harapan, pembeli tidak terpuaskan. Jika kinerja produk melebihi yang diharapkan, pembeli lebih senang. Pelanggan yang merasa puas akan kembali membeli, dan mereka akan memberitahu yang lain tentang pengalaman baik mereka dengan produk tersebut.
Kunci kepuasan
pelanggan adalah menyesuaikan harapan pelanggan dengan kinerja perusahaan. Perusahaan yang pintar bermaksud untuk memuaskan pelanggannya dengan hanya menjanjikan apa yang dapat mereka berikan, kemudian memberikan lebih banyak dari yang mereka janjikan (Kotler dan Armstrong 2001). Dalam
mencapai
kepuasan
pelanggan,
perusahaan
mempertimbangkan elemen-elemen yang mempengaruhinya.
harus
Terdapat enam
elemen pemberi kepuasan pelanggan, yaitu: (1) produk; (2) penjualan; (3) purna jual; (4) lokasi; (5) waktu; dan (6) budaya, sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 3. Elemen budaya memberi pengaruh paling besar karena ini merupakan sumber nilai-nilai dan sistem keyakinan yang menentukan siapa yang dilayani perusahaan. Setiap elemen akan terdiri dari faktor yang merupakan pertimbangan yang ada dalam benak pelanggan pada saat melakukan pembelian (Wellington 1998). John Chambers, CEO Cisco Systems, mengungkapkannya dengan baik: ”Jadikanlah pelanggan pusat dari budaya Anda” (Kotler 2005). Menurut Irawan (2007) terdapat lima pendorong (driver) utama kepuasan pelanggan. Pendorong pertama adalah kualitas produk. Pelanggan akan puas kalau setelah membeli dan menggunakan produk tersebut, ternyata kualitas produknya baik.
Kualitas produk dalam hal ini terdiri dari: performance,
durability, feature, reliability, consistency, dan design. Pendorong kedua adalah harga.
Bagi pelanggan yang sensitif, biasanya harga murah adalah sumber
kepuasan karena mereka akan mendapatkan value of money yang tinggi. Pendorong ketiga adalah kualitas layanan (service quality). Kualitas layanan sangat bergantung pada tiga hal, yaitu: sistem, teknologi, dan manusia. Pendorong keempat adalah faktor emosi (emotional factor), khususnya untuk
15
produk yang berhubungan dengan gaya hidup, seperti: mobil, pakaian, dan lainlain. Pendorong kelima adalah berhubungan dengan biaya dan kemudahan untuk mendapatkan produk tersebut.
1. Elemen Produk
6. Elemen Budaya
2. Elemen Penjualan
Kepuasan Pelanggan 3. Elemen Purna Jual
5. Elemen Waktu
4. Elemen Lokasi
Gambar 3 Berbagai elemen pemberi kepuasan pelanggan (Wellington 1998)
C.
Survei Kepuasan Pelanggan Kebanyakan pengukuran kepuasan pelanggan dilakukan melalui metode
survei. Survei ini bisa dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan tertulis ataupun lisan, wawancara per telepon atau tatap muka, kelompok fokus (focus group) atau intercept.
Pengukuran intercept adalah riset dimana peneliti
mencegat pelanggan saat mereka masuk atau keluar dari suatu tempat bisnis dan mengajukan pertanyaan. Pelanggan tersebut ”tertangkap”. Teknik intercept ini bisa merupakan survei tertulis, lisan atau gabungan dari keduanya (Gerson 2002). Pengukuran kepuasan pelanggan dapat dilakukan secara langsung melalui pertanyaan kepada pelanggan dengan ungkapan: sangat tidak puas, tidak puas, cukup puas, puas, dan sangat puas (Rangkuti 2006).
1.
Instrumen Penelitian Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah keusioner.
Pengembangan dan penggunaan kuesioner kepuasan pelanggan secara umum
16
terdiri dari 3 tahap, yaitu (Hayes 1992): (1) mengidentifikasi persyaratan pelanggan atau dimensi mutu yang merupakan karakteristik penting dari sebuah produk atau jasa; (2) mengembangkan kuesioner, termasuk berbagai komponen spesifik untuk memperoleh informasi spesifik tentang persepsi pelanggan berkaitan dengan persyaratan pelanggan yang teridentifikasi pada tahap 1; (3) penggunaan
kuesioner
untuk
tujuan
spesifik.
Model
umum
untuk
mengembangkan dan menggunakan kuesioner kepuasan pelanggan digambarkan pada Gambar 4. Pengukuran kepuasan pelanggan dengan menggunakan kuesioner yang berisi daftar pertanyaan mengenai dimensi mutu produk biasanya menggunakan skala lima (likert), yaitu: skala 1 sampai 5 yang menunjukkan sangat tidak puas sampai dengan sangat puas. Pertanyaan dalam kuesioner harus dapat dimengerti oleh responden dengan mudah dan jelas. Pertanyaan yang tidak dapat dimengerti oleh akan menyebabkan responden menolak untuk menjawabnya atau menjawab secara tidak tepat. Hal ini akan menyulitkan dalam melakukan analisis data nantinya. Oleh sebab itu, untuk menghindari masalah tersebut sebaiknya kata atau kalimat yang digunakan mudah dimengerti dan tidak bermakna ganda (ambiguous), hindari pertanyaan yang bias, mengarahkan (leading) responden, alternatif dan asumsi yang implisit, terlalu umum dan berupa perkiraan atau dugaan serta gunakan pernyataan yang bersifat positif dan negatif (Malhotra 2004).
Menentukan kebutuhan pelanggan
Mengembangkan dan mengevaluasi kuesioner
Menggunakan kuesioner
Gambar 4 Model umum untuk pengembangan dan penggunaan kuesioner kepuasan pelanggan (Hayes 1992; Supranto 2006) Kuesioner sebagai intrumen pengukuran harus valid dan dapat diandalkan (reliable). Suatu instrumen dikatakan valid apabila instrumen tersebut dapat mengukur apa yang seharusnya diukur atau sesuai dengan tujuan pengukuran
17
(Malhotra 2004; Kountur 2007) atau sejauh mana fakta-fakta mendukung kesimpulan yang dibuat berdasarkan nilai hasil pengukuran (Hayes 1992). Validitas dikatakan sempurna jika tidak ada kesalahan pengukuran atau nilai hasil pengukuran sama dengan nilai hasil sebenarnya dengan nilai kesalahan (eror) sistematik dan acak (random) sama dengan nol (Malhotra 2004).
Pengujian
validitas kuesioner dimaksudkan untuk memperoleh jaminan atau keyakinan bahwa nilai hasil pengukuran mewakili dimensi-dimensi produk yang dimaksudkan untuk diukur. Metode untuk memastikan validitas kuesioner (Hayes 1992; Malhotra 2004) adalah (1) content-related strategy (content/face validity) berfokus pada apakah butir-butir pertanyaan mewakili keseluruhan item kepuasan pelanggan. Validitas isi (content) adalah evaluasi yang subyektif terhadap isi kuesioner (skala) yang mewakili pengukuran yang dilakukan; (2) criterion-related strategy (criterion validity) berfokus pada hubungan antara ukuran-ukuran (apa yang diukur) dan apakah nilai hasil pengukuran memperkirakan apa yang seharusnya diperkirakan. Validitas kriteria menguji apakah skala pengukuran menunjukkan hubungan yang diharapkan antar variabel yang dipilih sebagai kriteria yang mengandung arti atau makna tertentu; dan (3) construct-related strategy (construct validity), spesifik kepada apakah ukuran-ukuran (apa yang diukur) berhubungan atau tidak. Reliabilitas kuesioner adalah sejauh mana hasil pengukuran bebas dari variasi kesalahan acak (random error variance) (Hayes 1992; Malhotra 2004). Semakin kecil nilai kesalahan berarti semakin tinggi reliabilitas atau keandalan pengukuran (reliability of measurement), begitu pula sebaliknya. Reliabilitas berhubungan dengan konsistensi hasil pengukuran jika dilakukan pengukuran kembali terhadap dimensi atau karakteristik yang sama. Reliabilitas disebut juga sebagai: (a) consistency; (b) stability; (c) dependability; (d) predictability; dan (e) accuracy. Metode mengukur reliabilitas di antaranya terdiri dari: (a) splithalf; (b) cronbach alfa; (c) variance component (Suharjo 2006). Bentuk atau pendekatan umum untuk menguji reliabilitas kuesioner adalah (1) test-retest reliability dilakukan dengan memberikan responden satu set skala (item pertanyaan) yang sama (identik) pada dua waktu yang berbeda dengan kondisi yang hampir sama. Digunakan koefisien korelasi untuk membandingkan 2 pengukuran tersebut; (2)
18
equivalent form reliability (alternative forms reliability). Pengujian ini memerlukan dua bentuk skala (item pertanyaan) yang sama (equivalent) dan dilakukan pada responden yang sama dalam dua waktu yang berbeda. Korelasi dapat dilihat dari rata-rata (mean), varian (variance), dan interkorelasi pada kedua bentuk kuesioner tersebut; dan (3) internal consistency menjelaskan hubungan timbal-balik (interrelationship) antara item (butir-butir) pertanyaan dalam kuesioner, semakin tinggi interrelationship antar butir-butir pertanyaan semakin tinggi reliabilitas kuesioner. Metode pengujian yang digunakan adalah split-half reliability dan cronbach’s alpha.
2.
Teknik Sampling Sampel adalah bagian dari populasi tertentu yang menjadi perhatian.
Populasi pada kenyataannya dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu: populasi terbatas (finite) dan populasi tidak terbatas (infinite). Populasi terbatas adalah suatu populasi yang unsurnya terbatas berukuran N. Sedangkan populasi tidak terbatas adalah suatu populasi yang mengalami proses secara terus-menerus sehingga ukuran N menjadi tidak terbatas perubahan nilainya (Suharyadi dan Purwanto 2004). Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk memilih sampel dari populasi.
Setiap metode pengambilan sampel atau teknik sampling memiliki
tujuan yang sama, yaitu: memberikan kesempatan untuk menentukan unsur atau anggota populasi untuk dimasukkan ke dalam sampel. Pada dasarnya metode pengambilan sampel (proses pemilihan sampel) dapat dikelompokkan dalam dua bagian, yaitu: (1) random sampling adalah proses pemilihan sampel dengan seluruh anggota populasi mempunyai kesempatan untuk dipilih; dan (2) nonrandom sampling adalah proses pemilihan sampel dimana tidak semua anggota populasi memiliki kesempatan untuk dipilih (Kountur 2007). Secara skematik metode penarikan sampel ditunjukkan pada Gambar 5. Selain metode pengambilan sampel yang juga harus diperhatikan adalah menentukan jumlah sampel (sample size) yang tepat dan dapat mewakili setiap anggota populasi. Semakin besar sampel semakin besar kemungkinan untuk
19
membuat keputusan yang tepat atau semakin tepat hasil yang diberikan. Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan jumlah sampel adalah waktu dan biaya penelitian yang tersedia.
Namun demikian, bagaimanapun usaha-usaha
untuk mendekatkan nilai statistik dengan parameter yang dilakukan dengan memperoleh sampel yang tepat dan mewakili setiap anggota populasi, tetap tidak dapat dihindari bahwa baik nilai rata-rata hitung maupun standar deviasi sampel tidak akan sama persis dengan nilai rata-rata hitung dan standar deviasi populasinya.
Perbedaan antara nilai statistik sampel dengan nilai parameter
populasi disebut kesalahan penarikan sampel (Suharyadi dan Purwanto 2004).
Metode Penarikan Sampel
Probability Sampling
1. Penarikan sampel acak sederhana (simple random sampling) 2. Penarikan sampel acak terstruktur (stratified random sampling) 3. Penarikan sampel cluster (cluster random sampling) 4. Penarikan sampel sistematis (systematic random sampling)
Non-Probability Sampling
1. Penarikan sampel kuota (Quota sampling) 2. Penarikan sampel purposive (purposive sampling) 3. Penarikan sampel secara nyaman (convenience sampling) 4. Penarikan sampel berdasarkan pendapat peneliti (judgment sampling) 5. Snowball sampling
Gambar 5 Metode penarikan sampel (Suharjo 2006; Malhotra 2004)
D.
Konsep Manajemen Mutu Kepuasan pelanggan berkaitan erat dengan mutu. Mutu mempunyai
pengaruh langsung terhadap kinerja produk, demikian pula terhadap kepuasan
20
pelanggan.
The American Society for Quality Control mendefinikan mutu
sebagai sifat dan karakteristik total dari sebuah produk atau jasa yang berhubungan dengan kemampuannya memuaskan kebutuhan pelanggan (Kotler dan Armstrong 2001). Oleh sebab itu, mutu harus dikelola sebagai suatu kesatuan fungsi-fungsi dalam perusahaan dan konsep manajemen mutu telah banyak dikembangkan oleh para ahli, seperti: konsep Plan-Do-Check-Action (PDCA) dari Edward Deming; konsep manajemen zero defect dan pencegahan yang disebut juga dalil-dalil manajemen mutu dari Philip B. Crosby; serta Trilogi Juran dari Joseph M. Juran. Trilogi Juran merupakan ringkasan dari tiga fungsi manajemen mutu yang utama, yaitu: (1) perencanaan mutu; (2) pengendalian mutu; dan (3) peningkatan mutu (Juran 1995).
Perencanaan mutu merupakan kegiatan pengembangan
produk dan proses yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. Kegiatan dalam perencanaan mutu tersebut terdiri dari merumuskan tujuan mutu, mengidentifikasi pelanggan, menentukan kebutuhan pelanggan, mengembangkan keistimewaan produk yang merespon kebutuhan pelanggan, mengembangkan proses yang dapat menghasilkan keistimewaan produk, serta menciptakan pengendalian proses dan mengubah rencana hasil menjadi kekuatan operasi. Pengendalian mutu terdiri dari mengevaluasi kinerja mutu aktual dan membandingkannya dengan tujuan mutu organisasi serta melakukan tindakan berdasarkan perbedaan (penyimpangan) antara kinerja aktual dan tujuan tersebut. Proses peningkatan mutu adalah sarana untuk meningkatkan kinerja mutu ke tingkat
yang
dikehendaki.
Metodologinya
terdiri
dari
mengembangkan
infrastruktur yang diperlukan untuk menjamin upaya peningkatan mutu, mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan spesifik untuk proyek-proyek peningkatan, membentuk sebuah tim proyek, serta memberikan sumber daya, motivasi, dan pelatihan yang dibutuhkan oleh tim. Tim bertanggungjawab kepada setiap proyek peningkatan atau perbaikan mutu untuk mendiagnosis masalah (kasus), merangsang dirumuskannya tindakan perbaikan, dan melaksanakan pengendalian untuk mempertahankan hasil (Juran 1995). Dalam konsep industri modern Deming, proses industri harus dipandang sebagai suatau perbaikan terus menerus (continous improvement) yang dimulai
21
dari sederet siklus sejak adanya ide-ide untuk menghasilkan suatu produk, pengembangan produk, proses produksi, sampai distribusi kepada konsumen. Seterusnya, berdasarkan informasi sebagai umpan balik yang dikumpulkan dari pengguna produk atau pelanggan itu kita dapat mengembangkan ide-ide untuk menciptakan produk baru atau memperbaiki produk lama beserta proses produksi yang ada saat ini. Deming menekankan pentingnya interaksi tetap antara empat komponen utama, yaitu: riset pasar, desain produk, proses produksi dan pemasaran, agar perusahaan industri mampu menghasilkan produk dengan harga kompetitif dan mutu yang lebih baik, sehingga memuaskan konsumennya (Gaspersz 1998). Beberapa tahun belakangan ini, banyak perusahaan mengadopsi program manajemen mutu total (total quality management). Tujuan dasar dari gerakan mutu terpadu masa kini adalah kepuasan total pelanggan (total customer satisfaction). Mutu dimulai dari kebutuhan pelanggan dan diakhiri dengan kepuasan pelanggan (Kotler dan Armstrong 2001). Saat ini pendekatan sistem terhadap manajemen mutu total yang banyak dijadikan referensi penerapan oleh organisasi (perusahaan) adalah sistem manajemen mutu ISO 9001, dimana proses-proses yang saling berinterrelasi dan berinteraksi serta berpengaruh terhadap mutu harus diidentifikasi dan dikelola dalam sebuah sistem yang terintegrasi sehingga hasil yang dicapai lebih efektif (ISO 2000b). Model pendekatan proses yang menggambarkan keterhubungan antar proses-proses dan klausul-klausul dalam standar ISO 9001 ditunjukkan pada Gambar 6. Ilustrasi model pendekatan proses ISO 9001 tersebut menunjukkan bahwa pelanggan memegang peranan penting dalam menentukan persyaratan input dan pemantauan kepuasan pelanggan akan memberikan informasi kepada perusahaan sejauh mana persyaratan pelanggan tersebut dapat dipenuhi sehingga perusahaan dapat menentukan tindakan yang tepat untuk melakukan perbaikan atau peningkatan yang diperlukan agar kepuasan pelanggan dapat tercapai dan terus ditingkatkan. Perbaikan atau peningkatan harus dilakukan berdasarkan hasil pemantauan dan pengukuran terhadap produk, proses, maupun kepuasan pelanggan.
22
PENINGKATAN BERKELANJUTAN
P E L A N G G A N
P E R S Y A R A T A Masukan N
Tanggungjawab Manajemen
Manajemen Sumberdaya
Pengukuran, Analisis, Perbaikan
Realisasi Produk
Keluaran Produk
K E P U A S A N
P E L A N G G A N
Gambar 6 Model pendekatan proses - Sistem Manajemen Mutu yang menjelaskan klausul-klausul dalam standar ISO 9001 (ISO 2000b)
Penigkatan berkelanjutan (continual improvement) Peningkatan berkelanjutan dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara yang mendasar, yaitu: (1) proyek terobosan (breakthrough projects) untuk memperbaiki dan meningkatkan proses yang ada sekarang atau menerapkan proses baru yang dilaksanakan diluar kegiatan rutin dan melibatkan sebuah tim lintas fungsi dalam perusahaan; (2) secara bertahap (small-step ongoing improvement activities) yang bergulir bersamaan dengan proses yang berlangsung. Dalam melaksanakan peningkatan, penanggung jawab perusahaan harus memberikan kewenangan yang sesuai kepada karyawan, dukungan teknis dan sumber daya yang diperlukan (ISO 2000c). Perusahaan harus pula memperhatikan kondisi (permintaan) pasar dan karakteristik pelanggan sehingga peningkatan kinerja mutu atribut produk diharapkan dapat pula meningkatkan penjualan dan kinerja perusahaan secara keseluruhan.