II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1
TEH Tanaman teh (Camelia sinensis) diklasifikasikan sebagai berikut (Tuminah 2004) :
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Sub Kelas
: Dialypetalae
Ordo (bangsa)
: Guttiferales (Clusiales)
Familia (suku)
: Camelliaceae (Theaceae)
Genus (marga)
: Camellia
Spesies (jenis)
: Camellia sinensis
Varietas
: Assamica
Tanaman teh umumnya ditanam di perkebunan, dipanen secara manual, dan dapat tumbuh pada ketinggian 200 – 2 300 m dpl. Teh memerlukan curah hujan 1000-1250 mm per tahun, dengan temperature ideal antara 10-30 0C. Pohon kecil disebabkan oleh seringnya pemangkasan maka tampak seperti perdu. Bila tidak dipangkas, akan tumbuh kecil ramping setinggi 5 - 10 m, dengan bentuk tajuk seperti kerucut. Batang tegak, berkayu, bercabang-cabang, ujung ranting dan daun muda berambut halus. Daun tunggal, bertangkai pendek, letak berseling, helai daun kaku seperti kulit tipis, bentuknya elips memanjang, ujung dan pangkal runcing, tepi bergerigi halus, pertulangan menyirip, panjang 6 18 cm, lebar 2 - 6 cm, warnanya hijau, permukaan mengilap. Bunga di ketiak daun, tunggal atau beberapa bunga bergabung menjadi satu, berkelamin dua, garis tengah 3 - 4 cm, warnanya putih cerah dengan kepala sari berwarna kuning, harum. Buahnya buah kotak, berdinding tebal, pecah menurut ruang, masih muda hijau setelah tua cokelat kehitaman. Biji keras, 1 - 3. Pucuk dan daun muda yang digunakan untuk pembuatan minuman teh. Perbanyakan dengan biji, setek, sambungan atau cangkokan (LIPI 2009). Peranan iklim pada pertumbuhan tanaman teh (Dalimoenthe 2008): 1.
Letak Ketinggian dan Suhu Perkebunan daerah rendah < 800 m dpl dengan suhu rata-rata 23.86°C, perkebunan daerah
sedang 800-1.200 m dpl dengan suhu rata-rata 21.42°C, dan perkebunan daerah tinggi > 1.200 m dpl dengan dengan suhu rata suhu rata-rata rata 18.98°C. 2.
Suhu Tumbuh baik pada kisaran suhu 13°C - 30°C (atau 18°C - 25°C). Fotosintesa tanaman teh akan
meningkat jika suhu meningkat hingga 30°C. Jika suhu lebih dari 30°C, net fotosintat akan dirombak dan jika suhu lebih dari 48°C fotosintesa berhenti karena jaringan daun rusak. Suhu daun diusahakan 10-20°C di atas suhu udara.
3.
Curah Hujan Kadar air tanah yang baik bagi pertumbuhan tanaman teh adalah lebih dari 30 %. Jika kadar air
tanah kurang dari 30 %, pertumbuhan mulai terhambat. Jika kadar air kurang dari 15 %, tanaman teh mulai mati. Untuk tumbuh optimal diperlukan curah hujan minimal 1.150-1.400 mm/tahun. 4.
Kelembaban Kelembaban udara berpengaruh pada keseimbangan air dalam tanah dan tanaman. Jika
kelembaban udara optimal, fotosintat akan mengalir ke bagian pucuk dan cadangan dibongkar. Jika kelembaban udara rendah, sebagian besar fotosintat dialirkan ke akar sebagai cadangan makanan dan produksi pucuk turun. 5.
Cahaya Tanaman teh membutuhkan panas untuk pertumbuhan yang diperoleh dari suhu udara
sekeliling. Daun-daun yang terletak pada bagian bawah kanopi yang terlindung lebih efisien menggunakan energi surya jika dibandingkan daun-daun teh yang langsung menerima cahaya matahari.
2.2
PEMANENAN TEH
Tanaman teh memerlukan budidaya yang tepat agar pucuk teh yang dihasilkan memiliki mutu yang tinggi. Tahapan budidaya tanaman teh antara lain meliputi: pembibitan, penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan tanaman (pemupukan pengendalian hama, penyakit dan gulma, penyulaman, penyiangan, pembuatan rorak dan pemangkasan), serta pemanenan yaitu pemetikan pucuk teh. Pada penelitian ini, hanya difokuskan pada proses pemetikan teh. Pemetikan merupakan kegiatan pengambilan hasil, berupa pucuk teh yang memenuhi syarat olah, yang juga berfungsi membentuk kondisi tanaman agar mampu berproduksi tinggi secara berkesinambungan. Daun teh yang dipetik umumnya berupa pucuk-pucuk daun teh muda dan dua daun berikutnya. Kriteria pucuk yang baik adalah pucuk medium (P+2, P+3, atau burung muda), keadaan pucuk segar dan mulus, dan bebas dari benda lain selain pucuk teh. Jenis pemetikan yang dilakukan terdiri dari tiga jenis di antaranya : 1. Pemetikan jendangan Pemetikan yang dilakukan pada tahap awal setelah tanaman dipangkas dan dimaksudkan untuk membentuk bidang petik yang lebar dan rata dengan ketebalan lapisan daun yang cukup agar tanaman mempunyai potensial produksi yang tinggi. Untuk ketinggian petikan jendangan antara 15 sampai 20 cm dari bidang/luka pangkasan. 2. Pemetikan produksi Pemetikan yang dilakukan setelah lepas pemetikan jendangan sampai menjelang pemetikan gendesan, dengan memperhatikan kesehatan tanaman. Pemetikan ini dilakukan dengan dua metode yaitu pemetikan secara manual (dengan tangan) dan pemetikan dengan gunting petik. Pemetikan dengan gunting dilakukan bila tenaga kerja kurang dan kondisi kesehatan tanaman memungkinkan. Oleh karena itu, pemetikan dengan gunting jarang dilakukan. Adapun pada masa-masa tertentu di saat pucuk melimpah sedangkan tenaga petik sangat terbatas, dilakukan pemetikan dengan menggunakan mesin petik teh. Akan tetapi kondisi ini sangat jarang terjadi.
4
3.
Pemetikan gendesan Pemetikan yang dilakukan pada tanaman segera menjelang dipangkas dengan cara dipetik habis semua pucuk yang layak olah tanpa memperhatikan bagian pucuk yang ditinggalkan pada perdu dan hanya dilakukan sekali menjelang dipangkas
(a)
(b)
Gambar 1. Penggunaan mesin pemanen teh (a) pemetikan dengan tangan (b) Pucuk teh sebagai hasil pemetikan merupakan bahan baku yang harus memenuhi standar mutu yang spesifik agar layak diolah, untuk menghasilkan produk teh yang bermutu sesuai dengan permintaan konsumen. Untuk itu pelaksanaan penyediaan bahan olahannya, berupa kegiatan pemetikan teh, memerlukan disiplin teknis yang relatif tinggi oleh para pelaksananya serta perhatian pengawasan yang intensif oleh segenap tatanan serta manajemen di setiap kebun teh (Rachman 2005). Jenis petikan dapat dibedakan atas 3 kategori, yaitu (Rachman 2005) : 1. Petikan halus, pucuk yang dihasilkan terdiri dari pucuk peko (P) dengan satu daun atau pucuk burung (b) dengan satu daun muda, ditulis dengan rumus (P+1, B+1M) 2. Petikan medium, pucuk yang dihasilkan terdiri dari pucuk peko dengan dua, tiga daun muda, serta pucuk burung dengan satu, dua atau tiga daun muda (P+2, P+3, B+1M, dan B+2M) 3. Petikan kasar, pucuk yang dihasilkan terdiri dari pucuk peko dengan empat daun atau lebih, dan pucuk burung dengan beberapa daun tua (P+4, P+5, B+5, burung tua, dan daun tua).
Gambar 2. Standar analisa pucuk PTPN VIII Kebun Gunung Mas
5
2.3
ERGONOMIKA
Menurut Nurmianto (2008), ergonomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu Ergon berarti kerja dan Nomos berarti aturan dan hukum alam sehingga ergonomi dapat didefinisikan suatu ilmu yang mempelajari tentang aspek-aspek manusia dalam lingkungan kerjanya yang ditinjau secara anatomi, fisiologi, psikologi, engineering, manajemen, dan desain/perancangan. International Ergonomics Association (IEA) mendefinisikan Ergonomika sebagai suatu disiplin ilmu yang mempelajari interaksi antara manusia dan elemen lain dari suatu sistem dan kontribusinya terhadap desain kegiatan, kerja, produk, dan lingkungannya dengan tujuan untuk menyelaraskannya dengan kebutuhan, kemampuan, dan keterbatasan manusia (Santoso diacu dalam Irawan 2008). Pada dasarnya ergonomi mempelajari interaksi antara manusia dengan sistem kerja di mana mereka beraktifitas atau bekerja. Dapat pula dikatakan bahwa terdapat dua hal yang menjadi pokok bahasan dalam pendekatan Ergonomi yakni manusia dan sistem kerjanya. Manusia sebagai pelaku kerja yang tentunya memiliki kemampuan dan keterbatasan. Amatlah penting mengkaji manusia sebagai elemen yang berinteraksi dengan sistem kerja, secara khusus dengan alat/mesin dan lingkungan kerja. Antara manusia dan sistem kerja diharapkan terjadi kecocokan (match) agar manusia dapat bekerja secara aman, sehat dan nyaman. Agar didapatkan kecocokan tersebut, maka interaksi manusia dan sistem kerja harus berada pada kondisi yang optimal. Apabila tercipta kondisi kerja yang terdapat kesesuaian maka produktifitas kerja akan meningkat. Penerapan ergonomi pada umumnya merupakan aktivitas rancang bangun (desain) ataupun rancang ulang (re-design). Hal ini dapat meliputi perangkat keras seperti perkakas kerja (tools), bangku kerja (benches), dan lain-lain. Selain itu, ergonomi dapat berperan pula sebagai desain pekerjaan pada suatu organisasi misalnya penentuan jumlah jam kerja istirahat, pemilihan jadwal pergantian waktu kerja (shift kerja), dan lain-lain. Di samping itu, ergonomi juga memberikan peranan penting dalam meningkatkan faktor keselamatan dan kesehatan kerja agar diperoleh efisiensi kerja dan hilangnya resiko kesehatan akibat metode kerja yang kurang tepat (Nurmianto 2008). Ergonomi pada dasarnya membutuhkan kajian multidisiplin yang secara langsung ataupun tidak, mendukung dan dapat dijadikan sumber informasi. Kajian keilmuan yang cukup dekat dengan kajian Ergonomi di antaranya Anthropometri, Biomekanik, Fisiologi, Psikologi, Perencanaan kerja, keteknikan (Engineering), Biologi, Manajemen, Fisika, dan lain-lain. Anthropometri adalah suatu bidang Ergonomika yang menyangkut masalah pengukuran statik manusia. Berasal dari kata dalam bahasa Yunani yaitu anthropos (manusia) dan metron (pengukuran). Data anthopometri dapat digunakan untuk optimasi dimensi berbagai macam benda yang sering digunakan manusia. Aplikasi Anthropometri dalam pendekatan Ergonomi di antaranya berguna dalam perancangan ruang kerja, desain produk yang nyaman bagi pengguna dan lain-lain. Biomekanik adalah suatu bidang Ergonomika yang berhubungan dengan pengukuran dinamik tubuh manusia, yang di antaranya menyangkut selang gerak anggota tubuh, kecepatan gerak, kekuatan dan aspek gerak anggota tubuh lainnya. Dalam sistem otot rangka, otot bekerja menggerakkan tulang untuk berotasi pada sendinya. Sistem ini dapat dideskripsikan menyerupai tuas sederhana, dengan otot umumnya beraksi pada jarak yang relatif pendek dari sendi untuk menghasilkan gaya eksternal pada jarak yang lebih besar. Otot beraksi untuk menghasilkan keuntungan mekanis dengan hanya berkontraksi untuk menghasilkan gerak pada anggota gerak tubuh manusia. Fisiologi berkenaan dengan fungsi hidup manusia. Dalam pendekatan Ergonomi fisiologi terutama diperlukan untuk menganalisis kebutuhan dan konsumsi energi (Energy Cost) pada suatu aktifitas. Fisiologi kerja dalam Ergonomi berkenaan dengan kondisi dan reaksi fisiologis yang diakibatkan karena adanya beban atau tekanan (stress) eksternal saat melakukan suatu aktifitas/kerja. Contoh aplikasi fisiologi dalam Ergonomi di antaranya konsumsi energi untuk aktifitas kerja,
6
pengukuran denyut jantung, pengukuran konsumsi oksigen pada suatu aktifitas kerja, pengukuran suhu tubuh, kelelahan otot dan lain-lain. Dalam bidang teknik (Engineering), fokus ergonomi sangat erat berkaitan dengan kontekstualisasi aspek-aspek manusia di dalam proses perencanaan dan perancangan produk teknologi (alat, mesin, sistem produksi, lingkungan kerja, dll), termasuk pula dampaknya terhadap manusia sebagai pengguna atau operatornya. Oleh karena itu, ergonomi akan mengarahkan proses perancangan agar menghasilkan produk yang tidak saja memiliki kemampuan teknis yang lebih baik, tetapi juga produk yang sesuai dan serasi dengan kemampuan dan keterbatasan manusia sebagai pengguna ataupun operatornya.
2.4
BEBAN KERJA
Dalam ilmu ergonomika, kerja diartikan sebagai suatu aktivitas untuk menghasilkan sesuatu. Manusia menggunakan otot hampir untuk seluruh jenis pekerjaan, otot manusia sendiri memerlukan energi untuk melakukan kerja fisik. Menurut Astrand dan Rodahl (1977), konsumsi oksigen akan meningkat secara linier sesuai dengan beban kerja yang dialami. Hal ini menunjukkan bahwa semakin berat beban kerja yang dialami maka akan semakin meningkat penyerapan oksigen. Energi yang diperlukan otot untuk melakukan kerja berasal dari proses oksidasi glukosa yang terjadi di dalam tubuh. Prinsipnya terkait dengan proses oksidasi karbohidrat, yaitu : C6H12O6 + O2
CO2 +H20 + Energi
Oksigen digunakan untuk metabolisme bahan makanan dan melepaskan energi. Jumlah energi yang dilepaskan tergantung pada bahan makanan yang terbakar. Sehingga jumlah energi yang dihasilkan dapat didekati melalui perhitungan laju konsumsi O2 (VO2). Secara umum, 1 liter oksigen menghasilkan 5 kkal energi. Pengukuran VO2 pada subjek yang sedang melakukan aktivitas relatif tidak nyaman, sehingga pada level tertentu dapat mengganggu subjek. Terdapat hubungan linier antar VO2 dengan laju denyut jantung. Oleh karena itu pengukuran laju denyut jantung dapat digunakan untuk memperkirakan konsumsi oksigen yang kemudian dapat dikonversi ke dalam pengeluran energi (Sanders dan McCormick 1993). Beban ini akan diketahui saat operator menanggapi kerja dengan memberikan respon seperti denyut jantung yang tinggi atau keluar keringat. Semakin besar beban kerja dalam melakukan suatu pekerjaan ditandai dengan kebutuhan energi yang semakin besar pula, dengan demikian sistem pernafasan bergerak lebih cepat, kebutuhan oksigen meningkat, denyut jantung semakin cepat, dan terjadi peningkatan panas pada seluruh tubuh (Lovita 2009). Menurut Syuaib (2003) diacu dalam Lovita (2009), fisiologi kerja adalah satu bab disiplin ilmu ergonomika yang mengkaji tentang kondisi fisiologi yang disebabkan tekanan eksternal saat melakukan suatu aktivitas kerja. Kajian fisiologi kerja sangat terkait dengan beberapa indikator metabolik, yaitu : 1) Cardiovascular (denyut jantung) 2) Respiratory (pernafasan) 3) Body temperature (suhu tubuh) 4) Muscular act (aktivitas otot) Konsumsi oksigen secara langsung berkaitan dengan pengeluaran energi tetapi pengukurannya cukup rumit dalam situasi kerja nyata. Sehingga, pengukuran konsumsi energi lebih sering dihitung melalui pengukuran denyut jantung karena pengukurannya lebih mudah. Menurut Bridger diacu dalam Irawan (2008), denyut jantung meningkat sesuai fungsi dari beban kerja dan konsumsi oksigen.
7
Banyak peneliti ergonomika percaya bahwa meningkatnya tingkat denyut jantung menunjukkan beban kerja fisik maupun mental, karena adanya korelasi yang linier terhadap konsumsi energi fisik (physical energy cost). Oleh karena itu, sampel data kontinyu laju denyut jantung pada suatu aktivitas berguna sebagai indikator dari beban kerja psiko-fisiologis. Selain itu, terdapat dua faktor yang mempengaruhi kemampuan kerja fisik manusia, yaitu faktor personal dan lingkungan. Beberapa faktor personal adalah umur, berat badan, jenis kelamin, konsumsi rokok, gaya hidup, olah raga, status nutrisi, dan motivasi dalam melakukan kegiatan. Sedangkan beberapa faktor lingkungan yaitu polusi udara, kebisingan, faktor suhu udara, dan ketinggian tempat. Terdapat dua macam terminologi beban kerja, yaitu beban kerja kuantitatif dan beban kerja kualitatif (Lovita 2009).
2.4.1 Beban Kerja Kuantitatif Beban kerja kuantitatif adalah besarnya total energi yang dikeluarkan seseorang untuk melakukan suatu aktivitas. Beban kerja kuantitatif adalah besarnya total energi yang dikeluarkan seseorang untuk melakukan suatu aktivitas. Dalam penelitian ini digunakan terminologi TEC (Total Energy Cost), BME (Basal Metabolic Energy), dan WEC (Work Energy Cost). TEC adalah energi total yang digunakan oleh seseorang untuk melakukan aktivitas. BME adalah energi yang digunakan oleh seseorang hanya untuk menjalankan proses metabolisme dalam tubuh sehingga BME ini selalu ada walaupun seseorang tidak melakukan pekerjaan. WEC adalah energi yang digunakan oleh seseorang hanya saat melakukan kerja atau dengan kata lain respon energi dari tubuh kita terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang.
2.4.2 Beban Kerja Kualitatif Beban kerja kualitatif adalah suatu indeks yang mengindikasikan berat atau ringan suatu pekerjaan dirasakan oleh seseorang. Beban kerja kualitatif dihitung sebagai rasio relatif suatu beban kerja seseorang. Dalam penelitian ini, terminologi yang digunakan adalah IRHR (Increase Ratio of Heart Rate). IRHR adalah indeks perbandingan relatif denyut jantung seseorang saat melakukan suatu aktivitas terhadap denyut jantungnya saat beristirahat. Tinggi rendahnya nilai IRHR mencerminkan tingkat beban kerja kualitatif dari suatu aktivitas (Lovita 2009). Tabel 1. Kategori tingkat beban kerja berdasarkan IRHR Kategori
Nilai IRHR
Ringan
1.00 < IRHR < 1.25
Sedang
1.25 < IRHR < 1.50
Berat
1.50 < IRHR < 1.75
Sangat berat
1.75 < IRHR < 2.00
Luar biasa berat
2.00 < IRHR
Sumber : Lovita 2009
2.5
METODE STEP TEST
Pengukuran beban kerja dengan menggunakan metode denyut jantung ini mudah dilakukan namun memiliki kelemahan, yaitu denyut jantung berbeda-beda menurut waktu dan individunya, serta
8
denyut jantung tidak saja dipengaruhi oleh kerja fisik akan tetapi juga beban mental sehingga diperlukan metode sistem kalibrasi data yang akurat (Kastaman dan Herodian 1998). Salah satu metode yang dapat digunakan untuk kalibrasi data pengukuran denyut jantung adalah dengan menggunakan metode step test. Metode step test dimaksudkan untuk mengukur karakteristik denyut jantung individual dari operator tersebut. Penggunaan metode step test ini berfungsi untuk mengetahui suatu pola hubungan antara denyut jantung manusia dalam setiap aktivitas kerjanya dengan daya yang dikeluarkannya melalui penyesuaian-penyesuaian dalam cara pengukuran maupun kalibrasi data hasil pengukurannya (Kastaman dan Herodian 1998). Faktor-faktor individual untuk menentukan karakteristik individu pada metode ini adalah umur, jenis kelamin, berat dan tinggi badan. Denyut jantung sebanding dengan konsumsi oksigen. Beban kerja yang pasti dapat diketahui dengan mengkalibrasi antara kurva denyut jantung saat bekerja dengan beban kerja (denyut jantung) yang ditetapkan sebelum bekerja (metode step test) (Hayashi et al dalam Anindita 2003). Dengan metode ini, beberapa faktor individual seperti umur, jenis kelamin, berat, dan tinggi badan harus diperhatikan sebagai faktor penting untuk menentukan karakteristik individu yang diukur. Metode ini memiliki keunggulan di antaranya dapat dengan mudah mengatur selang beban kerja dengan hanya mengubah tinggi bangku dan intensitas langkah (Lovita 2009). Selain itu, metode ini mempunyai komponen pengukuran yang mudah, bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja, sehingga dengan metode ini ketidakstabilan denyut jantung seseorang dapat dengan mudah dianalisa (Amelia dalam Irawan 2008).
2.6
PRODUKTIVITAS
Produktivitas kerja merupakan suatu istilah yang sering digunakan dalam perencanaan pengembangan industri pada khususnya dan perencanaan pengembangan ekonomi nasional pada umumnya. Pengertian produktivitas pada umumnya lebih dikaitkan dengan pandangan produksi dan ekonomi, sering pula dikaitkan dengan pandangan sosiologi. Swastha dan Sukotjo (1995) diacu dalam Damayanti (2005) menyatakan bahwa produktivitas adalah sebuah konsep yang menggambarkan hubungan antara hasil (jumlah barang dan jasa) dengan sumber (jumlah tenaga kerja, modal, tanah, energi, dan sebagainya) yang dipakai untuk menghasilkan hasil tersebut. Selain itu, Nawawi (1990) diacu dalam Damayanti (2005) menjelaskan secara konkrit konsep produktivitas kerja sebagai berikut: 1. Produktivitas kerja merupakan perbandingan terbaik antara hasil yang diperoleh dengan jumlah kerja yang dikeluarkan. Produktivitas kerja dikatakan tinggi jika hasil yang diperoleh lebih besar dari pada sumber tenaga kerja yang dipergunakan dan sebaliknya. 2. Produktivitas yang diukur dari daya guna (efisiensi penggunaan personal sebagai tenaga kerja). Produktivitas ini digambarkan dari ketepatan penggunaan metode atau cara kerja dan alat yang tersedia, sehingga volume dan beban kerja dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang tersedia. Hasil yang diperoleh bersifat non material yang tidak dapat dinilai dengan uang, sehingga produktivitas hanya digambarkan melalui efisiensi personal dalam pelaksanaan tugastugas pokoknya. Sehingga dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa di dalam produktivitas kerja terdapat 3 (tiga) unsur pokok yang merupakan kriteria untuk menilainya. Ketiga unsur tersebut adalah unsur-unsur semangat kerja, cara kerja, dan hasil kerja. Menurut Sukarna (1993) diacu dalam Damayanti (2005), produktivitas kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: 1. Kemampuan dan ketangkasan karyawan
9
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Managerial skill atau kemampuan pimpinan perusahaan Lingkungan kerja yang baik Lingkungan masyarakat yang baik Upah kerja Motivasi pekerja untuk meraih prestasi kerja Disiplin kerja karyawan Kondisi politik atau keamanan, dan ketertiban Negara Kesatuan dan persatuan antara kelompok pekerja Kebudayaan suatu Negara Pendidikan dan pengalaman kerja Kesehatan dan keselamatan pekerja karyawan Fasilitas kerja Kebijakan dan sistem administrasi perusahaan.
Pengukuran produktivitas kerja pada dasarnya digunakan untuk mengetahui sejauhmana tingkat efektivitas dan efisiensi kerja karyawan dalam menghasilkan suatu hasil. Tingkat produktivitas kerja karyawan yang dapat diukur adalah (Damayanti 2005) : 1. Penggunaan waktu Penggunaan waktu kerja sebagai alat ukur produktivitas kerja karyawan meliputi kecepatan waktu kerja, penghematan waktu kerja, kedisiplinan waktu kerja, dan tingkat absensi. 2. Output yaitu hasil produksi karyawan yang diperoleh sesuai produk yang diinginkan perusahaan. Tujuan pengukuran produktivitas adalah membandingkan hasil hal-hal berikut (Syarif dalam Damayanti 2005) : 1. Pertambahan produksi dari waktu ke waktu 2. Pertambahan pendapatan dari waktu ke waktu 3. Pertambahan kesempatan kerja dari waktu ke waktu 4. Jumlah hasil sendiri dengan orang lain 5. Komponen prestasi utama sendiri dengan komponen prestasi utama orang lain Alat pengukuran produktivitas karyawan perusahaan dibedakan menjadi dua macam, yaitu (Ravianto dalam Damayanti 2005): 1. Physical productivity Physical productivity adalah produktivitas secara kuantitatif seperti ukuran (size) panjang, berat, banyaknya unit, waktu dan banyaknya tenaga kerja. 2. Value productivity Value productivity adalah ukuran produktivitas dengan menggunakan nilai uang yang dinyatakan dalam rupiah, yen, won, dollar. Berdasarkan pendapat di atas maka pengukuran produktivitas dapat dilihat dari dua komponen yaitu (Damayanti 2008) : 1. Efisiensi kerja Efisiensi kerja karyawan dapat dilihat dari ketercapaian target, ketepatan waktu, ketepatan masuk kerja. 2. Produksi Produksi kerja yang dihasilkan karyawan dapat dilihat dari kualitas, peningkatan setiap bulan dan persentase kesesuaian dengan harapan perusahaan.
10