II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bio-Ekologi Rusa Timor 1. Taksonomi Menurut Schroder (1976), rusa timor (Cervus timorensis) diklasifikasikan ke dalam : Phylum
Chordata, Sub phylum Vertebrata, Class Mammalia, Ordo
Artiodactyla, Sub ordo Ruminansia, Super familly Cervidae, Family Cervidae, Sub family
Cervinae, Genus
Cervus, dan Species
Cervus timorensis de
Blainville (1822). Rusa timor di Indonesia terdiri atas delapan sub spesies, yaitu : a)
Cervus timorensis russa, terdapat di P. Jawa dan Kalimantan.
b) Cervus timorensis laronesiotes, terdapat di P. Peucang (TNUK) dan Nusa Barung, c)
Cervus timorensis timorensis,
terdapat di Timor, Pulau Roti, Semau,
Karimun Jawa dan Kamujan. d) Cervus timorensis renschi, terdapat di Bali. e)
Cervus timorensis macassarius, terdapat di Ternate, Merah, Halmahera, Bacan, Buru, Ambon dan Irianjaya.
f)
Cervus timorensis jonga, terdapat di Pulau Buton dan muna.
g) Cervus timorensis moluccensis, terdapat di Pulau Bangai dan Selayar. h) Cervus timorensis florensiensis, terdapat di Lombok, Sumbawa, Komodo, Rinca, Flores, Solor dan Sumbu. 2. Morfologi Senjata rusa berupa tanduk bercabang yang disebut ranggah / ceranggah dan hanya dimiliki oleh rusa jantan dengan panjang kira-kira dua kali panjang kepalanya (Schroder 1976). Ceranggah rusa jantan dewasa biasanya mempunyai cabang runcing tiga buah. Tanduk pertama kali tumbuh pada umur satu tahun yang terdiri atas tanduk tunggal, kemudian umur dua tahun tanduk mulai bercabang dua serta pada umur tiga tahun mulai bercabang tiga. Rusa jantan mempunyai warna kulit coklat kemerah-merahan dan biasanya lebih gelap daripada betina. Susanto (1980) menyatakan bahwa ciri morfologi lainnya adalah kakinya pendek, warna bagian perut lebih terang daripada
7 punggung, warna bulu coklat kemerahan, ekornya berambut pendek, mukanya cekung dengan tanduk (rusa jantan) yang besar, langsing dan panjang. Lebar tanduk maksimal 12 cm dan panjang tanduk maksimal 75 cm. Ciri-ciri rusa timor di Pulau Peucang sebagai berikut:
bulu tengkuk
terlihat lebat pada rusa timor jantan yang sedang birahi, namun sedikit jarang pada rusa betina. Warna bulu coklat muda sampai keabu-abuan. Rusa timor betina yang masih muda berwarna coklat muda. Warna bulu pada rusa timor betina tua lebih kelabu dan lebih gelap. Belang dipunggung rusa timor betina tidak jelas, tetapi lebih jelas pada individu yang masih muda. Bercak-bercak pada dada ukurannya kecil atau tidak ada sama sekali, sedangkan pada dagu tidak ada bercak-bercak. Dahinya lebih gelap dibanding bagian lain dari kepala (Darnawi 1994). 3. Reproduksi Tanda Rusa jantan memasuki musim kawin adalah rontoknya velvet pada tanduknya. Untuk merontokan velvet ini, rusa jantan sering menggosok-gosokan tanduknya ke pohon atau tanah.
Perkembangbiakan terjadi sepanjang tahun,
walaupun puncak perkembangbiakannya di Jawa antara Juli dan September (Phys et al. 2008). Menurut Hogewerf (1970) di Ujung Kulon musim birahi rusa jantan berlangsung dari bulan Juli sampai September.
Rusa betina pun mempunyai
musim birahi yang hampir bersamaan. Pada keadaan seperti ini rusa-rusa jantan yang berhasil menyisihkan rusa pejantan lain akan bergabung dengan rusa betina. Musim birahi akan berakhir setelah semua betina selesai dikawini, selanjutnya rusa jantan akan memisahkan diri untuk soliter atau bergabung dalam kelompok kecil. Menurut van Lavieren (1983), lama masa mengandung rusa adalah 267 hari dan jumlah anak yang dilahirkan biasanya satu ekor, tetapi kadang-kadang mampu melahirkan dua ekor. Dalam kondisi yang ideal rusa betina dapat melahirkan satu kali dalam setahun. Hoogerwerf (1970) menyatakan bahwa laju produksi anak pertahun rusa di Ujung Kulon adalah satu anak per tiga betina dewasa. Umur sapih rusa sekitar 4 bulan, sedangkan dewasa kelamin rusa betina
8 pada umur 7 – 9 bulan. Umur berbiak pertama (minimum breeding age) rusa berkisar 2 – 3 tahun, umur tertua rusa dapat melahirkan berkisar 10 – 20 tahun (van Bammel 1949). Umur dewasa kelamin rusa antara 18 – 24 bulan, lama mengandung 8 bulan, dengan jumlah anak dilahirkan satu ekor, jarang melahirkan sampai dua ekor, menyapih sampai anaknya berumur 6 – 8 bulan. Perkembangbiakan terjadi sepanjang tahun, walaupun puncak perkembangbiakannya di Jawa antara Juli dan September. Umur hidup rusa timor tidak lebih dari 20 tahun, kemungkinan hanya sampai 15 tahun (Phys et al. 2008). 4. Perilaku Rusa timor merupakan satwa yang hidup berkelompok dan lebih banyak aktif pada siang hari (nocturnal).
Aktivitas makan dilakukan terutama pada
malam hari. Sekitar pukul 10.00-11.00 rusa beristirahat untuk berjemur yang dilanjutkan dengan berbaring di tempat yang kering hingga sekitar pukul 13.30 dan setelah itu mulai makan rumput dan dedaunan hutan sampai pagi.. Rusa menyenangi tempat-tempat terbuka, kumpulan rusa yang sedang beristirahat atau merumput di padang rumput biasanya membentuk kelompok-kelompok kecil terdiri atas rusa betina dewasa dengan anak-anaknya yang baru lahir sampai berumur satu tahun. Ketika sedang di padang rumput, jantan dewasa menghiasi tanduknya dengan rumput dan ranting, yang kemungkinan untuk menakut-nakuti pejantan yang lain (Hoogerwerf 1970). Bila ada bahaya maka pemimpin kelompok akan memberikan peringatan kepada kelompoknya. Pimpinan kelompok rusa bukanlah rusa jantan, melainkan betina tua. Keadaan bahaya ditandai dengan isyarat kepada anggota kelompoknya berupa bunyi jeritan, yang selanjutnya diikuti oleh rusa yang berada di sekitarnya. Bila bahaya semakin mendekat maka rusa yang masih kecil akan lari terlebih dahulu baru diikuti oleh induk dan rusa muda lainnya (Phys et al. 2008). Rusa jantan sering mengambil inisiatif secara berkala untuk mencari makan di lapangan rumput setelah keadaan menjadi aman (Schroder 1976). Kecepatan lari rusa dan kemampuannya membuat manuver-manuver ketika berlari adalah sangat mengagumkan. Ceranggah yang besar bagi rusa jantan bukanlah penghalang untuk berlari di dalam hutan yang lebat (Hoogerwerf 1970).
9 5. Karakteristik Habitat Rusa Timor Menurut Dasman (1964), Alikodra (1983) dan Bailey
(1984), habitat
mempunyai fungsi dalam penyediaan makanan, air dan pelindung. Menurut Schroeder (1976), habitat C. timorensis umumnya berupa hutan, dataran terbuka serta padang rumput dan savana, biasanya rusa ditemukan sampai ketinggian 2.600 meter dari permukaan laut. Menurut Hoogerwerf (1970), C. timorensis lebih menyenangi tempat terbuka dan padang rumput. Persediaan pakan rusa banyak terdapat di padang rumput yang dikenal dengan padang penggembalaan (grazing area). Persediaan air bagi C. timorensis cukup dari kandungan air dalam makanannya, embun dan air hujan. Rusa jarang minum, karena sudah mendapatkannya dari kelembaban tumbuhan yang di makan (Phys et al. 2008). Semiadi & Nugraha (2004) menyatakan bahwa rusa timor lebih dominan mengkonsumsi rerumputan, ini sesuai dengan habitat aslinya yang cenderung mengarah ke padang savanah. Vegetasi pakan C. timorensis di Pulau Peucang adalah jenis rumputan, daun semak dan daun pohon-pohonan (Hoogerwerf 1970),
sedangkan
Prasetyonohadi (1986) menyatakan bahwa vegetasi rumput yang disukai rusa di Pulau Moyo adalah Paspalum longifolium, Imperata cylindrica, Eragrostis sp., Cechrus browii, Cyperus rotundus, Cynodon dactylon. Kebutuhan makan bagi rusa dapat diartikan sebagai kebutuhan kalori setiap hari. Kebutuhan kalori rusa kurang lebih 6.000 – 10.000 kalori setiap harinya (Dasman 1964).
Menurut
Sutrisno (1993), rusa dewasa di Pulau Timor rata-rata membutuhkan makan sebesar 5,70 kg/ekor/hari, dalam keadaan berat segar. Rusa di habitat alami memerlukan tempat berteduh dari panas dan hujan untuk melindungi diri dari musuh penyerang dan untuk tidur, serta istirahat (Syarief 1974).
Menurut Schroder (1976), tempat berlindung rusa biasanya
berupa hutan dan semak yang rapat. B. Daya Dukung Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, daya dukung lingkungan adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung kehidupan manusia dan mahluk hidup lain. Habitat merupakan suatu kawasan yang terdiri
10 dari berbagai komponen fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang biak satwaliar. Menurut Brown (1954) daya dukung adalah jumlah satwa maksimum yang dapat ditampung suatu areal pada periode beberapa tahun, tanpa merusak tanah, bahan makanan, pertumbuhan vegetasi, mata air atau keperluan lainnya. Dasman (1964) mendifinisikan daya dukung adalah habitat hanya dapat menampung jumlah satwa pada suatu batas tertentu sehingga daya dukung menyatakan fungsi dari habitat. Pendugaan daya dukung suatu habitat dapat dilakukan dengan mengukur jumlah hijauan per hektar yang tersedia bagi satwa yang memerlukan (Susetyo 1980). Hijauan yang ada di lapangan tidak seluruhnya dihabiskan oleh satwa, tetapi ada sebagian yang ditinggalkan untuk menjamin pertumbuhan selanjutnya dan pemeliharaan tempat tumbuh (Susetyo 1980). Syarief (1974) menyatakan bahwa besarnya daya dukung suatu areal dapat dihitung melalui pengukuran salah satu faktor habitat. McIlroy (1964) menyatakan bahwa untuk menghitung produktivitas hijauan padang rumput dapat menggunakan cara yang diperkenalkan yaitu dengan pemotongan hijauan pada suatu luasan sampel savana, menimbang dan dihitung produksi per unit luas per unit waktu. Bagian tanaman yang dimakan satwa tersebut disebut proper use. Menurut Susetyo (1980), faktor yang paling berpengaruh terhadap proper use adalah topografi karena sangat membatasi pergerakan satwa. Proper use pada lapangan datar dan bergelombang (kemiringan 0-50%) adalah 60-70%, lapangan bergelombang dan berbukit (kemiringan 5-23%) adalah 40-45% dan lapangan berbukit sampai curam (kemiringan lebih dari 23%) adalah 25-30 %. C. Populasi Populasi dalam bidang ekologi adalah kumpulan makhluk hidup dari spesies yang sama atau memiliki kesamaan genetik dan secara bersama-sama mendiami suatu tempat tertentu dan dalam waktu tertentu pula (Odum 1971). Tarumingkeng (1994) menekankan pengertian populasi dalam hal genetik, yakni himpunan individu atau kelompok individu suatu jenis yang tergolong dalam satu spesies atau kelompok lain yang dapat melangsungkan interaksi genetik dengan jenis yang bersangkutan, dan pada suatu waktu tertentu menghuni suatu wilayah
11 tertentu. Tarumingkeng (1994) menyatakan bahwa sifat khas yang dimiliki populasi adalah kerapatan (densitas), laju kelahiran (natalitas), laju kematian (mortalitas), sebaran umur (distribusi) dan jenis kelamin, potensi biotik, sifat genetik, perilaku dan pemencaran (dispersi). Parameter populasi yang utama adalah struktur populasi, yang terdiri dari sex ratio, distribusi kelas umur, tingkat kepadatan dan kondisi fisik (van Lavieren 1983). Nilai kepadatan diperlukan untuk menunjukkan kondisi daya dukung habitatnya (Alikodra 1990). Ada tiga kemungkinan perubahan populasi yaitu berkembang, stabil, dan menurun (van Lavieren 1982). Jika nilai angka kematian (d) dibandingkan dengan angka kelahiran (b) maka akan dapat diketahui keadaan populasi apakah berkembang, stabil atau menurun. Kepadatan populasi adalah besaran populasi dalam suatu unit ruang. Pada umumnya dinyatakan sebagai jumlah individu di dalam satu unit luas atau volume (Alikodra 1990). Nilai kepadatan diperlukan untuk menunjukkan kondisi daya dukung habitatnya. Parameter populasi yang berpengaruh terhadap nilai kepadatan populasi adalah natalitas, mortalitas, imigrasi dan emigrasi Natalitas merupakan jumlah individu baru (anak) yang lahir dalam suatu populasi dan dinyatakan dalam beberapa cara yaitu produksi individu baru (anak) dalam suatu populasi, laju kelahiran per satuan waktu atau laju kelahiran per satuan waktu per individu (Odum 1971). Van Lavieren (1983) menyatakan bahwa laju kelahiran dinyatakan dalam laju kelahiran kasar (crude birth rate), yakni perbandingan jumlah individu yang dilahirkan dengan jumlah seluruh anggota populasi
pada satu periode waktu; dan laju kelahiran umur spesifik yang
merupakan perbandingan jumlah individu yang lahir dengan jumlah induk yang melahirkan yang termasuk dalam kelas umur tertentu. Faktor-faktor yang mempengaruhi angka kelahiran adalah: 1) Perbandingan komposisi jantan dan betina (sex ratio) dan kebiasaan kawin, 2) Umur tertua individu masih mampu berkembangbiak (maximum breeding age), 3) Umur termuda individu mulai mampu berkembangbiak (minimum breeding age),
12 4) Jumlah anak yang dapat diturunkan oleh setiap individu betina dalam setiap kelahiran (fecundity), dan 5) Frekuensi melahirkan anak per tahun (fertility). Mortalitas merupakan jumlah individu yang mati dalam suatu populasi. Mortalitas dinyatakan dalam laju kematian kasar (crude mortality rate), yaitu perbandingan jumlah kematian dengan jumlah total populasi hidup selama satu periode waktu; ataupun laju kematian umur spesifik yang merupakan perbandingan jumlah individu yang mati dari kelas umur tertentu dengan jumlah individu yang termasuk dalam kelas umur tertentu tersebut selama periode waktu (Alikodra 1990). Faktor-faktor yang mempengaruhi kematian satwa adalah: 1) Kematian
oleh
keadaan
alam,
misalnya:
bencana
alam,
penyakit,
pemangsaan, kebakaran dan kelaparan. 2) Kematian oleh kecelakaan, misalnya: tenggelam, tertimbun tanah longsor, tertimpa batu dan kecelakaan yang menyebabkan terjadinya infeksi sehingga mengalami kematian. 3) Kematian oleh adanya pertarungan dengan jenis yang sama untuk mendapatkan ruang, makanan dan air serta untuk menguasai wilayah. 4) Kematian oleh aktifitas manusia, misalnya: perusakan habitat, perburuan, pencemaran dan kecelakaan lalulintas. Perbandingan jenis kelamin adalah proporsi antara individu jantan dengan betina atau dapat dinyatakan sebagai jumlah individu jantan per 100 individu betina (Lavieren, 1983). Perbandingan jenis kelamin dapat dibedakan atas: 1) Primary sex ratio, yaitu perbandingan individu jantan terhadap individu betina secara konsepsional. 2) Secondary sex ratio, yaitu perbandingan individu jantan terhadap individu betina pada saat kelahiran. 3) Tertiary sex ratio, yaitu perbandingan individu jantan terhadap individu betina pada akhir hidup. Sebaran kelas umur adalah pengelompokkan anggota populasi ke dalam kelas umur yang sama dan biasanya dibedakan antara kelompok jantan dan betina. Menurut van Lavieren (1982), pengelompokkan yang paling sederhana adalah
13 pengelompokkan ke dalam kelas umur bayi (new born), anak (juvenile), remaja (sub adult) dan dewasa (adult). Alikodra (1990) menyatakan bahwa struktur umur adalah perbandingan antara jumlah individu dalam setiap kelas umur dengan jumlah keseluruhan individu dalam suatu populasi. Struktur umur dipergunakan untuk menilai keberhasilan perkembangbiakan serta prospek kelestarian satwaliar. D. Pertumbuhan Populasi Perubahan populasi satwa baik berkembang naik atau menurunnya ditentukan oleh kemampuan genetik dan interaksinya dengan lingkungan, dimana komponen lingkungan yang menahan pertumbuhan populasi sangat kompleks dan saling berkaitan satu dengan lainnya. Menurut Alikodra (1990), pertumbuhan populasi dari waktu ke waktu terjadi dengan kecepatan (laju kelahiran) yang ditentukan oleh kemampuan berkembangbiak dan keadaan lingkungannya. Pertumbuhan populasi pada awalnya rendah kemudian mencapai maksimal dan selanjutnya menurun sampai akhirnya mencapai nol pada kondisi jumlah individu sama dengan daya dukung lingkungannya (Krebs 1978). Tarumingkeng
(1994)
menyatakan
bahwa
terdapat
dua
model
pertumbuhan populasi, yaitu model eksponensial (er) dan model logistik. Model pertumbuhan populasi eksponensial dapat
disebut
sebagai penggandaan
pertumbuhan populasi, dimana model pertumbuhan ini terjadi pada populasi yang tidak dibatasi oleh keadaan lingkungan. Nilai er dari suatu populasi merupakan perbandingan antara populasi dari dua waktu. Tarumingkeng (1994) menyatakan bahwa model pertumbuhan eksponensial bersifat deterministik yaitu disusun dengan asumsi bahwa kejadian-kejadian yang berlangsung dalam populasi dapat diramalkan secara pasti dan mutlak. Pada keadaan lingkungan yang tidak terbatas maka model pertumbuhan populasi sebagai berikut (van Lavieren,1982): r.t
Nt =No.e Keterangan
:
Nt N0 r e t
= = = = =
Ukuran populasi pada waktu ke-t Ukuran populasi awal Laju pertumbuhan Bilangan Euler (2,71828) Waktu ke-t
14
Pendekatan lain yang dilakukan untuk merumuskan model populasi yang lebih realistik yaitu dengan memasukan salah satu faktor penting yaitu kerapatan populasi sehingga terbentuk model yang terpaut kerapatan (density dependent model), dimana model pertumbuhan populasi terpaut kerapatan disebut model pertumbuhan logistik. Tarumingkeng (1994), menyatakan bahwa model pertumbuhan populasi logistik disusun berdasarkan asumsi-asumsi sebagai berikut: 1)
Populasi akan mencapai keseimbangan dengan lingkungan sehingga memiliki sebaran umur stabil (stable age distribution).
2)
Populasi memiliki laju pertumbuhan yang secara berangsur-angsur menurun secara tetap dengan konstanta r.
3)
Pengaruh r terhadap peningkatan kerapatan karena bertumbuhnya populasi merupakan respon yang instantaneous atau seketika itu juga dan tidak terpaut penundaan atau senjang waktu (time lag).
4)
Sepanjang waktu pertumbuhan keadaan lingkungan tidak berubah.
5)
Pengaruh kerapatan adalah sama untuk semua tingkat umur populasi.
6)
Peluang untuk berkembangbiak tidak dipengaruhi oleh kerapatan. Model
pertumbuhan
populasi
terpaut
kerapatan
pertumbuhan logistik, dengan bentuk persamaan sebagai berikut :
Nt =
Keterangan :
Nt N0 K r e t
= = = = = =
K K − N 0 −rt 1+ . e N0
Ukuran populasi pada waktu ke-t Ukuran populasi awal Kapasitas daya dukung lingkungan Laju pertumbuhan Bilangan Euler (2,71828..) Waktu ke-t
disebut
model
15 Dari perhitungan nilai r diperoleh tiga kemungkinan pertumbuhan populasi: 1)
Jika nilai r > 0, maka populasi akan bertumbuh meningkat.
2)
Jika nilai r = 0, maka populasi akan bertumbuh mendatar.
3)
Jika nilai r < 0, maka populasi akan menurun.