II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembangunan Kawasan Perdesaan Secara Berkelanjutan 2.1.1. Pengertian Kawasan Perdesaan Dalam UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang didefenisikan bahwa Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Kata kawasan sendiri dapat diartikan sebagai wilayah dengan fungsi utama adalah lindung atau budidaya. Sedangkan wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Menurut Rustiadi (2005), secara teoritik tidak ada perbedaan nomenklatur antara istilah kawasan dan wilayah, namun penggunaan istilah kawasan di Indonesia lebih banyak diarahkan pada penekanan fungsional suatu unit wilayah, yakni adanya karakteristik hubungan dari fungsi-fungsi dan komponen-komponen di dalam suatu unit wilayah, sehingga batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional. Menurut
Notohadikusuma
(2005),
membangun
kawasan
pada
dasarnya bertujuan menciptakan atau meningkatkan dayaguna kawasan secara berkelanjutan. Konsep pendayagunaan kawasan selalu berpijak pada tiga persepsi (perception) dasar, yaitu (1) kawasan merupakan perwujudan sumberdaya dan asset, (2) prospek jangka panjang ke masa depan, dan (3) keberlanjutan manfaat Persepsi pertama mengkonotasikan makna lahan dan dengan demikian mengimplikasikan bahwa pengaturan penggunaan kawasan harus menuruti agihan (distribusi) harkat lahan berupa kemampuan dan kesesuaiannya. Persepsi kedua memberikan kepada perencanaan pembangunan kawasan suatu gagasan kebijakan strategis yang holistik berciri terpadu, antisipatif, adaptif, lentur, dan optimisasi. Persepsi ketiga memberikan isyarat kepentingan pendampingan secara sinergistik upaya produksi dengan upaya konservasi yang menjadi hakikat keberlanjutan. 2.1.2. Permasalahan Pengembangan Kawasan Perdesaan Lebih lanjut dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dijelaskan perlunya penegasan terhadap “kedudukan” kawasan pedesaan yang
16 berarti penegasan terhadap fungsi dan peran kawasan pedesaan, dimana fungsi dan peran kawasan pedesaan ini seharusnya dijabarkan dalam rencana tata ruang wilayah yang akan menjadi acuan pengembangan kawasan pedesaan. Selama ini ukuran keberhasilan pembangunan hanya dilihat dari terciptanya laju pertumbuhan perekonomian yang tinggi dimana alat yang dipergunakannya adalah dengan mendorong industrialisasi di kawasan-kawasan perkotaan. Kondisi ini bila ditinjau dari pemerataan pembangunan telah memunculkan kesenjangan antara kawasan perdesaan dan perkotaan karena sektor strategis hanya dimiliki oleh sebagian masyarakat di wilayah perkotaan. Untuk menelaah hubungan ekonomi antara suatu wilayah, Galtung (1971), membedakan antara centre yang merupakan pusat pertumbuhan dengan daerah pinggiran (periphery). Hal ini berlaku untuk hubungan ke luar ataupun ke dalam suatu negara. Hubungan yang dihasilkan tersebut digambarkan telah menguntungkan masyarakat di pusat-pusat secara keseluruhan, dan merugikan mayoritas masyarakat di daerah pinggiran. Tanpa disadari, sejak lama kondisi pembangunan desa-kota kita menggambarkan konstruksi mengenai tata hubungan ekonomi domestik yang timpang. Desa telah menjadi komoditas empuk bagi penghisapan surplus ekonomi pusat-pusat pembangunan di kota sehingga arus urban ke wilayah kota juga semakin besar Menurut Yoyok (2002), salah satu pendorong tingginya mobilitas penduduk desa ke kota dalam skala besar (massive urbanization) adalah adanya kenyataan bahwa kota memiliki daya tarik (pull factor) kuat secara ekonomi terhadap kaum migran. Pada banyak kasus kaum migran yang datang ke kota sering tidak memiliki kesiapan untuk hidup di kota baik karena rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan maupun tidak adanya tempat tinggal permanen yang mampu mendukung eksistensi mereka di kota. Kondisi ini merupakan salah satu faktor yang telah mempercepat laju proses taudifikasi atau penurunan kualitas (deterioration process) baik pada kondisi fisik keruangan dan kondisi sosiologis masyarakat maupun kondisi ekologis khususnya di area di mana penduduk banyak bermukim di perkotaan. Selama ini perhatian para pemerhati masalah mobilitas penduduk kebanyakan tertuju pada proses migrasi penduduk dari desa ke kota yang secara praktis cenderung memberikan kontribusi pada pemikiran alternatif solusi kasus masalah yang terjadi di perkotaan. Di pihak lain realitas di lapangan menunjukkan bahwa desa-desa yang ditinggalkan baik secara permanen maupun sementara, telah meninggalkan persoalan tersendiri.
17 Hal tersebut paling tidak jika dilihat dari semakin tidak menariknya sektor pertanian bagi para petani akibat sektor ini sampai saat ini belum banyak memberi motivasi ke arah kemakmuran di samping budidaya pertanian yang sulit menerapkan teknologi maju. Di pihak lain dari sisi pandang para konservasionis lingkungan, kondisi tersebut akan memberikan dampak cukup serius terhadap terjadinya perubahan tata guna lahan dan keseimbangan ekologis karena semakin berkurangnya penduduk yang menggarap sawahnya. Hal ini didukung oleh data statistik demografi serta prediksi BPS yang dibuat untuk satu dekade mendatang. Jika pada 1990 penduduk perdesaan di Indonesia masih berjumlah 69 persen, maka diperkirakan dengan laju pertumbuhan penduduk desa yang ‘hanya’ 1,3 persen per tahun diperkirakan pada 2010 nanti penduduk perdesaan akan menjadi 48 persen dari total penduduk Indonesia (Yoyok, 2002). Sementara itu dalam kurun waktu yang sama, lahan pertanian produktif akan menyusut sekitar 2,4 juta hektar. Fenomena ini paling tidak telah menimbulkan dua ekses dalam kehidupan masyarakat perdesaan kita dewasa ini yaitu semakin berkembangnya pekerjaan yang mengabsorbsi tenaga kerja non pertanian serta meningkatnya hedonisme masyarakat yang dicerminkan oleh perilaku konsumtif terhadap produk-produk industri seiring dengan semakin banyaknya manusia yang ingin hidup dengan gaya hidup kota. Pada kondisi tersebut di atas daerah pinggiran (urban fringe) berpotensi menjadi daerah yang rentan terhadap dampak perubahan baik secara fisik keruangan maupun psikis sosial masyarakat akibat terjadinya penetrasi lahan perkotaan ke lahan perdesaan. Hal ini antara lain disebabkan oleh adanya kekuatan yang dimiliki oleh kota dan penduduknya dalam mengubah kondisi desa-desa di pinggiran kota. Sargent (1976) dalam Yunus dan Sabari (2001), mengidentifikasi 5 (lima) kekuatan yang menyebabkan terjadinya pemekaran dan perubahan kota secara morfologis yaitu (1) peningkatan jumlah penduduk yang besar baik alami maupun migrasi; (2) peningkatan kesejahteraan penduduk secara ekonomi sehingga terjadi fenomena urban outflow, yaitu kecenderungan masyarakat kota untuk memilih tempat tinggal di pinggiran kota yang relatif memiliki kualitas lingkungan lebih baik; (3) peningkatan pelayanan transportasi karena kemajuan teknologi; (4) penurunan peranan pusat kota sebagai pusat kegiatan fungsi kekotaan dan (5) peningkatan peranan para pengembang dalam menyediakan lokasi baru permukiman dalam jumlah besar. Dalam banyak kasus kelima kekuatan tersebut
18 di atas menyebabkan melemahnya perspektif positif terhadap eksistensi wilayah perdesaan. 2.1.3. Pembangunan Desa yang Berkelanjutan Sustainable
Development
atau
Pembangunan
Berkelanjutan
merupakan gagasan ataupun konsep pembangunan yang sudah sejak lama dicanangkan baik oleh sekelompok masyarakat tertentu, negara, maupun oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Konsep tersebut dipicu oleh kekhawatiran manusia terhadap kelestarian tempat dimana mereka tinggal, disamping upaya mencari kemungkinan tempat tinggal lain di luar planet bumi. Namun yang lebih penting bagi manusia adalah bagaimana melestarikan tempat tinggal yang ada saat ini sehingga generasi penerus atau anak cucu kita dapat ikut menikmatinya. Istilah
pembangunan
berkelanjutan
mulai
dipopulerkan
setelah
Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (KTT-Bumi) di Brazil pada tahun 1992. KTT-Bumi merupakan penegasan kembali kesepakatan bersama bangsa-bangsa di muka bumi yang sadar akan pentingnya kelestarian lingkungan hidup atau pentingnya mengatasi masalah lingkungan global. Hal ini bisa terjadi karena pelestarian lingkungan hidup sangat penting dan tidak dapat dipisahkan begitu saja prioritasnya dengan pembangunan sektor lainnya. Pembangunan berkelanjutan didefenisikan sebagai “upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup termasuk sumberdaya ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan” (UU No. 23, tahun 1997). Dalam
defenisi
tersebut,
dapat
difahami
bahwa
konsep
pembangunan
berkelanjutan didirikan atau didukung oleh tiga pilar, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan. Ketiga pendekatan tersebut bukanlah pendekatan yang berdiri sendiri, tetapi saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain (Munasinghe, 1993). Tantangan pembangunan berkelanjutan adalah menemukan cara untuk meningkatkan kesejahteraan sambil menggunakan sumberdaya alam secara bijaksana. Oleh karena itu, kebijakan pembangunan harus memberi perhatian untuk perlunya menata kembali landasan sistem pengelolaan aset-aset di wilayah baik di perkotaan maupun di perdesaan. Penataan kembali tersebut lebih berupa
integrasi
kepada
pemanfaatan
ganda,
yaitu
ekonomi
dan
lingkungan/ekosistem, dan keberhasilannya dapat dilihat dan dirumuskan dengan melihat
indikator-indikator
antara
lain:
kontribusi
terhadap
keberlanjutan
lingkungan lokal, kontribusi terhadap keberlanjutan penggunaan sumberdaya
19 alam, kontribusi terhadap peningkatan lapangan kerja, kontribusi terhadap keberlanjutan ekonomi makro, efektifitas biaya dan kontribusi terhadap kemandirian teknis. Terkait dengan lingkungan dalam pembangunan berkelanjutan, Wibowo (1997) dalam Andri (2006), mengungkapkan empat ciri-ciri spesifik terpenting lingkungan khususnya sebagai agroekosistem. Empat aspek umum tersebut adalah: kemerataan (equitability), keberlanjutan (sustainability), kestabilan (stability) dan produktivitas (productivity). Secara sederhana, equitability merupakan penilaian tentang sejauh mana hasil suatu lingkungan sumberdaya didistribusikan diantara masyarakatnya. Sustainability dapat diberi pengertian sebagai kemampuan sistem sumberdaya mempertahankan produktivitasnya, walaupun menghadapi berbagai kendala. Stability merupakan ukuran tentang sejauh mana produktivitas sumberdaya bebas dari keragaman yang disebabkan oleh fluktuasi faktor lingkungan. Productivity adalah ukuran sumberdaya terhadap hasil fisik atau ekonominya. Dalam konteks pembangunan pedesaan yang berkelanjutan dimasa yang akan datang, pengelolaan sumberdaya di desa haruslah dilaksanakan dalam satu pola yang menjamin kelestarian lingkungan hidup, menjaga keseimbangan biologis, memelihara kelestarian dan bahkan memperbaiki kualitas sumberdaya alam sehingga dapat terus diberdayakan, serta menerapkan model pemanfaatan sumberdaya yang efisien. Selanjutnya oleh
Sutjahjo
(2006)
menyatakan
bahwa
lingkungan
sebagai
suatu
makroekosistem, didalamnya berlaku prinsip-prinsip (azas) yaitu adanya keanekaragaman, adanya saling keterkaitan dan ketergantungan, adanya keseimbangan yang dinamis, adanya harmonisasi dan stabilitas, dan adanya manfaat dan produktivitas. 2.2. Agropolitan dalam Membangun Perdesaan 2.2.1. Pengertian Kawasan Agropolitan Agropolitan berasal dari kata Agro berarti pertanian dan Politan berarti kota, yaitu kota pertanian yang tumbuh dan berkembang yang mampu memacu berkembangnya sistem & usaha agribisnis sehingga dapat melayani, mendorong dan menarik kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya. Agropolitan dapat juga diartikan sebagai kota pertanian atau kota di daerah lahan pertanian atau pertanian di daerah kota (Departemen Pertanian, 2002). Agropolitan kalau diartikan dalam bahasa Indonesia adalah Kota Tani. Kawasan
20 agropolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarkhi keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agribisnis (UU No. 26, 2007). Konsep
pengembangan
kawasan
agropolitan
pertama
kali
diperkenalkan Mc. Douglass dan Friedmann pada tahun 1974, sebagai siasat untuk mengembangkan pedesaan. Konsep ini pada dasarnya memberikan pelayanan perkotaan di kawasan pedesaan sehingga Mc Douglass dan Friedmann menyebut agropolitan dengan istilah lain yaitu “kota di ladang”. Agropolitan merupakan salah satu bentuk rencana untuk penataan kota di pedesaan yang aktifitasnya di sektor pertanian. Agropolitan merupakan gagasan yang baru diperkenalkan di Indonesia oleh Departemen Pertanian pada tahun 2002, namun sampai saat ini perhatian pembangunan masih berorientasi dan didominasi oleh kota-kota besar. Dalam rangka pembangunan perdesaan yang setara kota dimana sektor pertanian yang mendominasi aktifitas masyarakat di perdesaan, maka solusi penataan pembangunannya seyogyanya difokuskan pada sektor pertanian. Rustiadi et al. (2006), menyatakan bahwa agropolitan menjadi sangat relevan dengan wilayah perdesaan karena pada umumnya sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam memang merupakan mata pencaharian utama dari sebagian besar masyarakat perdesaan. Otoritas perencanaan dan pengambilan keputusan sebaiknya didesentralisasikan sehingga masyarakat yang tinggal di perdesaan akan mempunyai tanggung jawab penuh terhadap perkembangan dan pembangunan daerahnya sendiri. Menyangkut cakupan wilayah pengembangan kawasan agropolitan, Rustiadi et al. (2006), lebih lanjut menyatakan bahwa pengembangan kawasan agropolitan di Indonesia lebih cocok dilakukan pada skala kecamatan (district scale) karena pada skala kecamatan, akan memungkinkan hal-hal sebagai berikut : (1) Akses lebih mudah bagi rumah tangga atau masyarakat perdesaan untuk
menjangkau
kota,
(2)
Cukup
luas
untuk
meningkatkan
atau
mengembangkan wilayah pertumbuhan ekonomi (scope of economic growth) dan cukup luas dalam upaya pengembangan diversifikasi produk dalam rangka mengatasi keterbatasan-keterbatasan pemanfaatan desa sebagai unit eknomi, dan (3) Pengetahuan lokal (local knowledge) akan mudah diinkorporasikan dalam proses perencanaan. Namun demikian, sebagai unit wilayah fungsional,
21 agropolitan selain dapat berada dalam satu wilayah kecamatan, pengembangan kawasan agropolitan dapat juga berada dalam beberapa kecamatan dalam satu wilayah kabupaten, atau beberapa kecamatan dalam lintas wilayah beberapa kabupaten, atau beberapa kabupaten dalam satu propinsi atau lintas propinsi tergantung kemampuan dan kesiapan wilayah pengembangan tersebut. Konsep agropolitan pada dasarnya merupakan perpaduan teori-teori lokasi yang berkembang selama ini seperti teori Christaller, teori Losh, dan teori Von Thunen. Menurut Tarigan (2003), teori Christaller mencoba menjelaskan bagaimana susunan dari besaran kota, jumlah kota, dan distribusinya, dengan ciri-ciri : (1) wilayahnya adalah dataran tanpa roman yang semuanya adalah datar dan sama, (2) gerakan dapat dilaksanakan ke segala arah (isotropic surface), (3) penduduk memiliki daya beli yang sama dan tersebar secara merat pada seluruh wilayah, dan (4) konsumen bertindak rasional sesuai dengan prinsip minimalisasi jarak/biaya. Teori ini melihat bahwa jangkauan/luas pasar dari setiap komoditas ada batasnya yang dinamakan range dan ada batas minimal dari luas pasarnya agar produsen dapat tetap berproduksi yang dinamakan threshold. Tidak boleh ada produsen untuk komoditas yang sama dalam ruang threshold dan apabila ada, maka salah satu akan gulung tikar atau keduanya dan digantikan oleh pengusaha yang baru. Dalam teori Losh, dijelaskan bahwa lokasi penjual sangat berpengaruh terhadap jumlah konsumen yang akan digarapnya. Makin jauh dari tempat penjual, konsumen makin enggan membeli karena karena biaya transportasi untuk mendatangi tempat penjual semakin mahal, sehingga disarankan agar lokasi produksi berada di pasar atau dekat pasar. Pandangan ini pada prinsipnya mengikuti pandangan christaller. Adapun teori Von Thunen lebih menekankan perbedaan lokasi dari berbagai kegiatan pertanian atas dasar sewa tanah (pertimbangan ekonomi), dimana makin jauh jarak dari pasar, maka sewa tanah makin murah dan demikian sebaliknya. Dalam hal ini, beberapa asumsi yang digunakan adalah (1) wilayah analisis bersifat terisolir sehingga tidak terdapat pengaruh pasar dari kota lain; (2) tipe permukiman adalah padat di pusat wilayah (pusat pasar) dan makin kurang padat apabila menjauh dari pusat wilayah; (3) seluruh wilayah model memiliki iklim, tanah, topografi yang seragam; (4) fasilitas pengangkutan adalah primitif (sesuai pada zamannya) dan relatif seragam; dan (5) kecuali perbedaan jarak ke pasar, semua faktor alamiah yang memengaruhi penggunaan tanah adalah seragam dan konstan. Adat dasar ini, Von Thunen
22 membuat kurva hubungan sewa tanah dengan jarak ke pasar pada dua kegiatan yang berbeda. Teori-teori tersebut di atas menjelaskan perumbuhan aktivitas ekonomi yang membangun pewilayahan aktivitas ekonomi. Kesemua teori ini memberikan kita pemahaman bahwa setiap wilayah akan memiliki hirarki dan fungsi yang berbeda, sehingga membentuk suatu interaksi yang tetap dan kontinyu antara kota dan desa. Atas dasar fungsi dan hirarki tersebut dapat ditentukan lokasi untuk setiap aktivitas ekonomi yang akan dikembangkan 2.2.2. Strategi Pengembangan Kawasan Agropolitan Berdasarkan permasalahan pembangunan perdesaan yang terjadi, pengembangan
kawasan
agropolitan
merupakan
alternatif
solusi
untuk
pengembangan wilayah perdesaan. Kawasan agropolitan disini diartikan sebagai sistem fungsional desa-desa yang ditunjukkan dari adanya hirarki keruangan desa yakni dengan adanya pusat agropolitan dan desa-desa di sekitarnya membentuk kawasan agropolitan. Kawasan tersebut terkait dengan sistem pusat-pusat permukiman nasional dan sistem permukiman pada tingkat Propinsi (RTRW Propinsi) dan Kabupaten (RTRW Kabupaten). Kawasan agropolitan ini juga dicirikan dengan kawasan pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis di pusat agropolitan yang diharapkan dapat melayani dan mendorong kegiatan-kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya. Model agribisnis dan konsep pengembangan kawasan agropolitan dapat di lihat seperti Gambar 3 dan 4. Produksi Tanaman Komoditas Unggulan
Peternakan (Komoditas Unggulan)
- Komoditas Unggulan segar - Produk Olahan (Industri Kecil/RT)
Pasar Sub Terminal Agribisnis
Bahan Organik Kotoran - Perikanan (Pembenihan & Pembesaran)
Gambar 3. Contoh Model Agribisnis di Kawasan Agropolitan (Deptan, 2002)
23
DPP PASAR/GLOBAL Keterangan: Penghasil Bahan Baku
DPP DPP
Pengumpul Bahan Baku Sentra Produksi Kota Kecil/Pusat Regional Kota Sedang/Besar (outlet) Jalan & Dukungan Sapras Batas Kws Lindung, budidaya, dll Batas Kws Agropolitan DPP : Desa Pusat Pertumbuhan
Gambar 4. Konsep Pengembangan Kawasan Agropolitan (Deptan, 2002)
Kawasan agropolitan harus terintegrasi antara satu daerah dengan daerah lainnya karena setiap daerah memiliki keterkaitan dengan daerah lainnya, baik ditingkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, maupun ditingkat nasional (antar propinsi) yang dicirikan oleh adanya sarana dan prasarana seperti sarana jalan yang memadai yang menghubungkan diantara daerah tersebut, sehingga hubungan antar pusat-pusat
agropolitan dapat berjalan dengan lancar.
Keterkaitan pusat agropolitan antar daerah/kawasan dapat dijelaskan seperti Gambar 5.
Kawasan 1
Kawasan 2 Jalan Nasional
Jalan Propinsi
Jalan Propinsi
Jalan Kabupaten
Jalan Kabupaten
Keterangan : Pusat Kegiatan Nasional
Jalan Lokal
Jalan Lokal
Pusat Kegiatan Wilayah Pusat Kegiatan Lokal Pusat Agropolitan
Gambar 5. Keterkaitan Pusat Agropolitan dengan Sistem Pusat Nasional, Propinsi dan Kabupaten
24 Suatu kawasan agropolitan yang sudah berkembang memiliki cirip-ciri : (1) Sebagian besar masyarakat di kawasan tersebut memperoleh pendapatan dari kegiatan pertanian (agribisnis); (2) sebagian besar kegiatan di kawasan agropolitan didominasi oleh kegiatan pertanian (agribisnis), termasuk didalamnya usaha industri (pengolahan) pertanian, perdagangan hasil-hasil pertanian (termasuk perdagangan untuk kegiatan ekspor), perdagangan agribisnis hulu (sarana pertanian dan permodalan), agrowisata, dan jasa pelayanan; (3) hubungan
antara
kota
dan
daerah
hinterland/daerah
sekitar
bersifat
interdependensi/timbal balik yang harmonis dan saling membutuhkan, dimana kawasan pertanian mengembangkan usaha budidaya (on farm) dan produk olahan skala rumah tangga (off farm), sebaliknya kota menyediakan fasilitas untuk berkembangnya usaha budidaya dan agribisnis seperti penyediaan sarana pertanian, modal, teknologi, informasi pengolahan hasil, dan penampungan (pemasaran) hasil pertanian; dan (4) kehidupan masyarakat di kawasan agropolitan mirip dengan suasana kota (Deptan, 2004a). Menurut Ernalia et al, (2004) dan Deptan (2004a), Suatu wilayah dapat menjadi suatu kawasan agropolitan bila dapat memenuhi persyaratan berikut : a. Memiliki
sumberdaya
lahan
dengan
agroklimat
yang
sesuai
untuk
mengembangkan komoditi pertanian yang dapat dipasarkan atau telah mempunyai pasar (selanjutnya disebut komoditi unggulan), serta berpotensi atau telah berkembang diversifikasi usaha dari komoditi unggulannya. Pengembangan kawasan tersebut tidak saja menyangkut kegiatan budidaya pertanian (on farm) tetapi juga kegiatan off farm-nya, yaitu mulai pengadaan sarana dan prasarana pertanian (seperti benih/bibit, pupuk, obat-obatan, alat dan mesin pertanian), kegiatan pengolahan hasil pertanian (seperti pembuatan produk olahan, produk makanan ringan/kripik, dodol, dll) sampai dengan kegiatan pemasaran hasil pertanian (seperti bakulan, warung, jual beli hasil pertanian, pasar lelang, terminal/sub terminal agribisnis, dll) dan juga kegiatan penunjangnya (seperti pasar hasil, agrowisata). b. Memiliki berbagai sarana dan prasarana agribisnis yang memadai untuk mendukung pengembangan sistem dan usaha agribisnis yaitu : (1) Pasar, baik pasar untuk hasil-hasil pertanian, pasar sarana pertanian, alat dan mesin pertanian, maupun pasar jasa pelayanan termasuk pasar lelang, gudang tempat penyimpanan dan prosessing hasil pertanian sebelum dipasarkan.
25 (2) Lembaga keuangan (perbankan dan non perbankan) sebagai sumber modal untuk kegiatan agribisnis. (3) Memiliki kelembagaan petani (kelompok, koperasi, assosiasi) yang harus berfungsi pula sebagai Sentra Pembelajaran dan Pengembangan Agribisnis (SPPA). Kelembagaan Petani disamping sebagai pusat pembelajaran (pelatihan), juga diharapkan kelembagaan petani/petani maju dengan petani disekitarnya merupakan inti plasma dalam usaha agribisnis. (4) Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) yang berfungsi sebagai Klinik Konsultasi Agribisnis (KKA) yakni dengan sebagai sumber informasi agribisnis,
tempat
percontohan
usaha
agribisnis,
dan
pusat
pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan usaha agribisnis yang lebih efesien dan menguntungkan. Dalam pengembangan kawasan agropolitan
ini
BPP
perlu
diarahkan
menjadi
Balai
Penyuluhan
Pembangunan Terpadu dimana BPP ini merupakan basis penyuluhan bagi para penyuluh dan petugas yang terkait dengan pembangunan kawasan agropolitan dan penyuluh swakarsa seperti kontrakan/petani maju, tokoh, masyarakat dll. (5) Percobaan/pengkajian
teknologi
agribisnis,
untuk
mengembangkan
teknologi tepat guna yang cocok untuk daerah kawasan agropolitan. (6) Jaringan jalan yang memadai dan aksessibilitas dengan daerah lainnya serta sarana irigasi, yang kesemuanya untuk mendukung usaha pertanian (agribisnis) yang lebih efesien. c. Memiliki sarana dan prasarana umum yang memadai, seperti transportasi, jaringan listrik, telekomunikasi, air bersih, dan lain-lain. d. Memiliki sarana dan prasarana kesejahteraan sosial/mayarakat yang memadai seperti kesehatan, pendidikan, kesenian, rekreasi, perpustakaan swalayan dan lain-lain. e. Kelestarian lingkungan hidup baik kelestarian sumber daya alam, kelestarian sosial budaya maupun keharomisan hubungan kota dan desa terjamin. Berdasarkan persyaratan di atas, bila kawasan agropolitan merupakan suatu sistem, maka sistem tersebut terdiri dari subsistem sumber daya manusia pertanian dan komoditas unggulan, subsistem sarana dan prasarana agribisnis, sarana dan prasarana umum, prasarana kesejahteraan sosial, dan subsistem kelestarian lingkungan.
26 Sasaran
pengembangan
kawasan
agropolitan
adalah
untuk
mengembangkan kawasan pertanian yang berpotensi menjadi kawasan agropolitan, melalui : 1. Pemberdayaan masyarakat pelaku agribisnis agar mampu meningkatkan produksi, produktivitas komoditi pertanian serta produk-produk olahan pertanian, yang dilakukan dengan pengembangan sistem dan usaha agribisnis yang efisiensi; 2. Penguatan kelembagaan petani; 3. Pengembangan
kelembagaan
sistem
agribisnis
(penyedia
agroinput,
pengelolaan hasil, pemasaran dan penyedia jasa); 4. Pengembangan kelembagaan penyuluhan pembangunan terpadu; 5. Pengembangan iklim yang kondusif bagi usaha dan investasi; Selanjutnya Departemen Kimpraswil pada tahun 2002 (Dep. PU, 2005) menjabarkan delapan tujuan yang ingin dicapai, yaitu : 1. Meningkatkan
pendapatan
dan
kesejahteraan
masyarakat
petani
di
perdesaan. 2. Mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berbasiskan kerakyatan dan berkelanjutan. 3. Meningkatkan keterkaitan desa dan kota (rural-urban linkages). 4. Mempercepat pertumbuhan kegiatan ekonomi perdesaam yang berkeadilan. 5. Mempercepat industrialisasi di wilayah perdesaan. 6. Mengurangi arus urbanisasi atau migrasi dari desa ke kota. 7. Memberi peluang usaha dan menciptakan lapangan pekerjaan. 8. Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Untuk
mencapai
sasaran
dan
tujuan
pengembangan
kawasan
agropolitan tersebut di atas, maka beberapa strategi pengembangan kawasan agropolitan yang dapat dilakukan (Soenarno, 2003) antara lain : 1. Penyusunan master plan pengembangan kawasan agropolitan yang akan menjadi acuan masing-masing wilayah/propinsi. Penyusunan dilakukan oleh pemerintah daerah dan masyarakat sehingga program yang disusun lebih akomodatif. Master plan disusun dalam jangka panjang (10 tahun), jangka menengah (5 tahun) dan jangka pendek (1-3 tahun) yang bersifat rintisan dan stimultan. Dalam program jangka pendek setidaknya terdapat out line plan, metriks kegiatan lintas sektor, penanggung jawab kegiatan dan rencana pembiayaan.
27 2. Penetapan lokasi agropolitan; kegiatannya dimulai dari usulan penetapan kabupaten oleh pemerintah propinsi, untuk selanjutnya oleh pemerintah kabupaten mengusulkan kawasan agropolitan dengan terlebih dahulu melakukan identifikasi potensi dan masalah untuk mengetahui kondisi dan potensi lokasi (komoditas unggulan), antara lain: potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, kelembagaan, iklim usaha, dan sebagainya, serta terkait dengan sistem permukiman nasional, propinsi, dan kabupaten. 3. Sosialisasi program agropolitan; dilakukan kepada seluruh stakeholder yang terkait dengan pengembangan program agropolitan baik di pusat maupun di daerah, sehingga pengembangan program agropolitan dapat lebih terpadu dan terintegrasi. Sementara itu, Departemen Pertanian
pada tahun 2002 (Dep. PU,
2005) menyusun indikator keberhasilan program agropolitan berdasarkan dua pendekatan, yaitu : 1. Pendekatan Dampak. a. Pendapatan masyarakat dan pendapatan petani meningkat minimal 5 % di kawasan agropolitan (di kota dan desa-desa lokasi program agropolitan). b. Produktivitas lahan meningkat minimal 5 % di lokasi program c. Investasi masyarakat (petani, swasta, BUMN) meningkat minimal 10 % 2. Pendekatan Output a. 80 % dari kelembagaan petani (kelompok tani, koperasi, kelompok usaha) di kawasan agropolitan yang dibina mampu menyusun usaha yang berorientasi pasar dan lingkungan. b. Terjadinya partisipasi masyarakat dalam menyusun program/rencana tahunan. c. Terbentuknya jaringan bisnis petani. d. Terciptanya sistem penyuluhan pertanian yang profesional yang dilihat dari frekuensi pertemuan yang berkualitas dan multidisiplin. e. 80 % dari kontak tani maju terpilih mampu menjadi tempat belajar bagi petani di lingkungannya. 2.3. Wilayah Perbatasan 2.3.1. Paradigma Pengembangan Wilayah Perbatasan. Indonesia memiliki wilayah perbatasan dengan banyak negara baik berbatasan darat (kontinen) seperti Malaysia, Papua New Guinea (PNG), dan
28 Timor Leste, maupun berbatasan laut (maritim) di sepuluh negara seperti India, Malaysia, Singapura, hailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Australia, Timor Leste, dan Papua Nugini (Bappenas, 2005a) Pembangunan wilayah perbatasan selama ini belum mendapatkan perhatian yang cukup dari pemerintah. Hal ini tercermin dari kebijakan pembangunan yang kurang memperhatikan wilayah perbatasan dan lebih mengarah kepada wilayah-wilayah yang padat penduduk, aksesnya mudah, dan potensial, sedangkan kebijakan pembangunan bagi daerah-daerah terpencil, terisolir, dan tertinggal seperti wilayah perbatasan masih belum diprioritaskan. Paradigma
pengelolaan
wilayah
perbatasan
di
masa
lampau,
menempatkan wilayah perbatasan sebagai halaman belakang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang membawa implikasi terhadap kondisi wilayah perbatasan saat ini yang terisolir dan tertinggal dari sisi sosial dan ekonomi. Hal ini terjadi karena sistem politik dimasa lampau yang sentralistik dan sangat menekankan stabilitas keamanan, serta konflik dengan negara tetangga dan pemberontakan di dalam negeri. Beberapa isu dan permasalahan pengelolaan wilayah perbatasan (Bappenas, 2004) antara lain : 1. Kebijakan di masa lalu yang belum berpihak kepada kawasan tertinggal dan terisolir 2. Belum adanya kebijakan dan strategi nasional pengembangan wilayah perbatasan 3. Adanya paradigma wilayah perbatasan sebagai halaman belakang 4. Terjadinya kesenjangan pembangunan dengan negara tetangga 5. sarana dan prasarana umum masih minim 6. Tingginya angka kemiskinan dan jumlah keluarga pra-sejahtera 7. Terisolasinya wilayah perbatasan akibat rendahnya aksesibilitas menuju wilayah perbatasan 8. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia Melihat permasalahan-permasalahan tersebut di atas, maka paradigma tersebut perlu dirubah yang mengarah pada percepatan pertumbuhan ekonomi masyarakat di wilayah perbatasan. Paradigma baru pengembangan wilayahwilayah perbatasan adalah dengan mengubah arah kebijakan pembangunan yang selama ini cenderung berorientasi ”inward looking” menjadi ”outward looking” sehingga wilayah tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pintu gerbang aktivitas
ekonomi
dan
perdagangan
dengan
negara
tetangga
melalui
29 pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) dan pendekatan keamanan (security approach). Dalam peraturan Presiden Nomor 39 tahun 2005 tentang Rencana Kerja Pemerintah tahun 2006, telah menempatkan pembangunan wilayah perbatasan
sebagai
pembangunan
antar
prioritas
wilayah,
pertama
dengan
dalam
mengurangi
program-program
disparitas
sebagai
berikut
(Bappenas, 2005a) : 1. Percepatan pembangunan prasarana dan sarana di wilayah perbatasan , pulau-pulau kecil terisolir, melalui kegiatan (a) pengarusutamaan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk wilayah perbatasan, terkait dengan pendidikan, kesehatan, kelautan dan perikanan, irigasi dan transportasi, (b) penerapan kewajiban layanan publik dan perintisan untuk transportasi, dan kewajiban layanan untuk telekomunikasi serta listrik perdesaan. 2. Pengembangan ekonomi di wilayah perbatasan negara. 3. Peningkatan keamanan dan kelancaran lalulintas orang dan barang di wilayah perbatasan. 4. Peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah yang secara administrasi terletak di wilayah perbatasan negara.
2.3.2. Wilayah Perbatasan Kalimantan Barat Propinsi Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan negara bagian Sarawak, Malaysia Timur, memiliki panjang garis perbatasan sekitar 966 km melintasi 113 desa dalam 15 kecamatan dan di 5 kabupaten masing-masing Kabupaten Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sintang, dan Kapuas Hulu dengan luas wilayah perbatasan Kalimantan Barat sekitar 25.197 km2 dan luas seluruh kecamatan yang dilintasi garis perbatasan adalah 2.519.744 hektar (Bappenas, 2005a). Peta wilayah perbatasan Kalimantan Barat-Malaysia seperti pada Gambar 6. Dari lima kabupaten tersebut, tercatat sebanyak 50 jalur jalan setapak yang menghubungkan 55 desa di Kalimantan Barat dan 32 kampung di Sarawak dan disepakati 16 desa di Kalimantan Barat dan 10 kampung di Sarawak sebagai Pos Lintas Batas (PLB). Pada tanggal 25 Februari 1991 telah diresmikan Entikong sebagai Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) atau dikenal Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI), menyusul disepakati melalui SOSEK MALINDO
30 Nangau Badau di Kapuas Hulu pada tanggal 17 Desember 1998 dan Aruk di Sambas pada tanggal 12 Mei 2005 sebagai PPLB/TPI.
Gambar 6. Peta Wilayah Perbatasan Kalimantan Barat Dengan Sarawak, Malaysia Timur Sesuai kesepakatan dengan pihak Malaysia dalam forum Sosek Malindo, sebenarnya telah disepakati pembukaan beberapa pintu perbatasan secara bertahap di beberapa wilayah perbatasan di Kabupaten Kapuas Hulu, Sambas, Sintang, dan Bangkayang. Namun demikian, masyarakat di sekitar perbatasan sudah menggunakan pintu-pintu perbatasan tidak resmi sejak lama sebagai jalur hubungan tradisional dalam rangka kekeluargaan atau kekerabatan. Pos-pos keamanan dan pertahanan yang tersedia disepanjang jalur tradisional tersebut masih sangat terbatas, demikinan pula dengan kegiatan patroli keamanan yang masih menghadapi kendalah berupa minimnya sarana dan prasarana transportasi (Bappenas 2004). Secara topografi, wilayah perbatasan Kalimantan Barat sebagian besar terdiri atas dataran rendah dengan ketinggian kurang dari 200 meter dpl. Hanya sebagian kecil saja yang merupakan dataran tinggi, yakni di sekitar gunung Niut di Bengkayang dan gunung Lawit di Kapuas Hulu. Kondisi topografi ini berpengaruh terhadap persebaran penduduk beserta aktivitasnya di mana persebaran penduduk lebih banyak terdapat di dataran rendah. Dilihat dari tekstur tanahnya, sebagian besar merupakan jenis tanah Podsolik Merah Kuning
31 (PMK) sekitar 10,5 juta hektar dan Organosol Grey Humus (OGH) sekitar dua juta hektar (Bappenas 2005b) Kegiatan ekonomi masyarakat perbatasan lebih banyak terkonsentrasi pada sektor pertanian yang merupakan tulang punggung perekonomian masyarakat sehingga banyak tenaga kerja yang diserap disektor ini. Sekitar 40 persen
Produk
Domestik
Regional
Bruto
(PDRB)
kabupaten-kabupaten
disumbangkan oleh sektor pertanian yang meliputi pertanian tanaman pangan, perkebunan, dan peternakan. Pertanian tanaman pangan, pada tahun 2002 didominasi oleh produksi padi yang berasal dari Kabupaten Sambas, sedangkan tanaman palawija lebih didominasi oleh Kabupaten Bengkayang dengan tanaman jagung sebesar 31,87 persen. Perkebunan kelapa sawit disumbangkan oleh Kabupaten Sanggau sebesar 49,80 persen, sedangkan karet dan kakao lebih terkonsentrasi di Kabupaten Sintang (Bappenas, 2005b). Dilihat dari kondisi kependudukan dan sosial budaya masyarakat, jumlah penduduk di Kalimantan Barat pada tahun 2002 berjumlah 3,9 juta jiwa dengan persebaran penduduk yang tidak merata. Umumnya mereka menempati daerah pesisir pantai dan sepanjang aliran sungan besar, sedangn di wilayah kabupaten sepanjang perbatasan hanya dihuni oleh sekitar 176.365 jiwa. Hal ini menyebabkan masyarakat diwilayah ini sulit tersentuh oleh program-program pembangunan khususnya yang berkaitan dengan pengembangan SDM. Sarana dan prasarana menjadi hal penting dalam menunjang pembangunan wilayah Kalimantan Barat, seperti tersedianya jaringan jalan, jembatan, transportasi antar nodal infrastruktur pasar dan perbankan, pendidikan, kesehatan, perumahan, air bersih, irigasi, telekomunikasi dan sarana lainnya. Terbatasnya sarana dan prasarana di wilayah perbatasan Kalimantan Barat menyebabkan wilayah ini memiliki aksesibiltas yang rendah dan terisolasi dari wilayah sekitarnya. Bila dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia, maka kesenjangan infrastrukturnya semakin jelas. Di Malaysia aksesibilitas antar wilayah telah cukup baik, dimana jalan sudah di hot mix hingga ke kampungkampung di wilayah perbatasan Malaysia. Fasilitas sosial dan umum serta transportasi dan telekomunikasi yang lebih baik. Berbagai kendala infrastruktur wilayah perbatasan Kalimantan Barat menyebabkan kebutuhan biaya yang sangat mahal untuk mendatangi wilayah perbatasan tersebut. Jika hal ini dibiarkan akan lebih menambah ketimpangan pembangunan dan ketertinggalan ekonomi di wilayah ini.
32 Melihat kondisi wilayah perbatasan Kalimantan Barat yang masih terpencil dan terisolasi, Pemerintah Propinsi kalimantan Barat dalam hal ini Dinas Pertanian menginventarisir tiga permasalahan pokok yang dialami Wilayah Perbatasan Kalimantan Barat (Diperta Kalbar, 2005), antara lain : 1. Keterbatsan infrastruktur terutama prasarana jalan yang menyebabkan akses masyarakat perbatasan menjadi terbatas, sehingga orientasi kegiatan sosial ekonomi masyarakat di daerah perbatasan lebih banyak ke negara Malaysia (Sarawak) karena kedekatan dan kemudahan meskipun hanya dengan jalan setapak. 2. Belum tersusunnya penataan ruang perbatasan di mana sebagian besar ruang wilayah perbatasan adalah kawasan hutan sehingga kegiatan yang dapat dikembangkan umumnya dalam lingkup kegiatan kehutanan seperti HPH dan HTI yang kurang diminati dan melibatkan masyarakat, sementara kegiatan primer lainnya seperti perkebunan tidak tersedia peruntukan yang memadai. Demikian pula kegiatan ekonomi sekunder lainnya, praktis tidak berkembang 3. Penanganan pembangunan daerah perbatasan yang berorientasi pada pelaksanaan otonomi daerah, telah memunculkan penafsiran yang berbeda dan cenderung mengarah pada pengkotakan dalam propinsi. Sementara daerah perbatasan merupakan satu kesatuan kawasan yang memerlukan penanganan secara terpadu. 2.4. Pendekatan Sistem Sistem adalah suatu kesatuan usaha yang terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain yang berusaha mencapai suatu tujuan dalam suatu lingkungan kompleks. Pengertian ini mencerminkan adanya beberapa bagian dan hubungan antara bagian dan menunjukkan kompleksitas dari sistem yang meliputi kerjasama antara bagian yang interdependen satu sama lain (Marimin, 2004). Sedangkan pendekatan sistem didefenisikan sebagai suatu metodologi penyelesaian masalah yang dimulai dengan secara tentatif mendefenisikan atau merumuskan tujuan dan hasilnya adalah suatu sistem operasi
yang
secara
efektif
dapat
dipergunakan
untuk
menyelesaikan
permasalahan (Eriyatno, 1998). Menurut Manetsch and Park (1979), suatu pendekatan sistem akan dapat berjalan dengan baik jika terpenuhi kondisi-kondisi berikut :
33 1. Tujuan sistem didefenisikan dengan baik dan dapat dikenali jika tidak dapat dikuantifikasikan. 2. Prosedur pembuatan keputusan dalam sistem ini adalah terdesentralisasi atau cukup jelas batasannya. 3. Dalam perencanaan jangka panjang memungkinkan dilakukan. Djojomartono (2000), membedakan sistem atas dua jenis yaitu sistem statis dan sistem dinamik. Sistem statis adalah sistem yang nilai outputnya tidak tergantung pada nilai inputnya, sedangkan sistem dinamik adalah sistem yang memiliki variabel yang dapat berubah sepanjang waktu sebagai akibat dari perubahan input dan interaksi antar elemen-elemen sistem. Dengan demikian nilai output sangat tergantung pada nilai dari variabel-variabel input sebelumnya. Sistem dinamik dicirikan oleh adanya delay time yang menggambarkan ketergantungan output terhadap variabel input pada periode waktu tertentu. Menurut
Hardjomidjojo
(2006),
untuk
menyelesaikan
persoalan
dengan
pendekatan sistem dapat ditekankan pada tiga filosofi sistem yang dikenal dengan SHE (sibernetik, holistik, dan efektifitas). Sibernetik dapat diartikan bahwa dalam penyelesaian masalah tidak berorientasi pada permasalahan (problem oriented) tetapi lebih berorientasi pada tujuan (goal oriented). Holistik lebih
menekankan
menyeluruh,
pada
sedangkan
penyelesaian efektivitas
permasalahan
berarti
bahwa
secara sistem
utuh yang
dan telah
dikembangkan tersebut harus dapat dioperasikan. Lebih lanjut Eriyatno dan Sofyar (2007) menyatakan bahwa dalam penyelesaian persoalan dengan pendekatan sistem, harus memenuhi tiga karakteristik yaitu kompleks, dinamis, dan probabilistik. 2.4.1. Pemodelan dengan Interpretasi Struktur (Interpretative Structural Modelling) Pemodelan dengan interpretasi struktur (Interpretative Structural Modelling - ISM) merupakan salah satu teknik pemodelan yang dikembangkan untuk perencanaan kebijakan strategis. Menurut Eryatno (1998) dalam Marimin (2004), ISM adalah proses pengkajian kelompok (group learning proces) dimana model-model strukutural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu
sistem
melalui
pola
yang
dirancang
secara
seksama
dengan
menggunakan grafis serta kalimat. ISM menganalisis sebuah elemen dari elemen-elemen dan menyajikan dalam bentuk grafikal dari setiap hubungan langsung dan tingkatannya. Elemen mungkin saja menjadi objek dari kebijakan,
34 tujuan dari suatu organisasi, faktor-faktor penilaian, dan lain-lain. Saxena (1992) dalam Marimin (2004)
menyebutkan sembilan elemen yang dapat dianalisis
dengan pendekatan ISM yaitu (1) sektor masyarakat yang terpengaruh, (2) kebutuhan dari program, (3) kendala utama program, (4) perubahan yang diinginkan, (5) tujuan dari program, (6) tolok ukur untuk menilai setiap tujuan, (7) aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan, (8) ukuran aktifitas guna mengevaluasi hasil yang dicapai setiap aktivitas, (9) lembaga yang terlibat dalam pelasanaan pogram. Selanjutnya,
untuk setiap
elemen
dijabarkan
menjadi
sejumlah
subelemen. Dalam suatu kajian dengan menggunakan ISM, analisis dapat dilakukan terhadap semua elemen seperti di kemukakan atas atau hanya sebagian elemen saja tergantung tujuan yang ingin dicapai dalam kajian yang dilakukan. Apabila hanya sebagian elemen yang dikaji, maka penentuan elemenelemennya,
didasarkan pada hasil pendapat pakar termasuk penyusunan
subelemen pada setiap elemen yang terpilih. Setelah ditetapkan elemen dan subelemen, selanjutnya ditetapkan hubungan kontekstual antara subelemen yang terkandung adanya suatu pengarahan (direction) dalam terminologi subordinat yang menuju pada perbandingan berpasangan seperti apakah tujuan A lebih penting dari tujuan B. Perbandingan berpasangan yang menggambarkan keterkaitan antara subelemen atau tidaknya hubungan kontekstual dilakukan oleh pakar. Beberapa keterkaitan antara subelemen dengan teknik ISM dapat dilihat seperti Tabel 1. Tabel 1. Keterkaitan antara subelemen pada teknik ISM No.
Jenis Keterkaitan Subelemen
1. 2.
Perbandingan (comparative) Pernyataan (definitive)
3.
Pengaruh (influence)
4.
Keruangan (spatial)
5.
Kewaktuan (time scale)
Sumber : Marimin, 2004
Interpretasi A lebih penting/besar/indah, daripada B A adalah atribut B A termasuk di dalam B A mengartikan B A menyebabkan B A adalah sebagian penyebab B A mengembangkan B A menggerakkan B A meningkatkan B A adalah selatan/utara B A di atas B A sebelah kiri B A mendahului B A mengikuti B A mempunyai prioritas lebih dari B
35 Untuk menyajikan tipe hubungan kontekstual dengan teknik ISM, digunakan empat simbol yang disebut VAXO (Eryatno, 2007) dimana : V = untuk relasi dari elemen Ei sampai Ej, tetapi tidak berlaku untuk kebalikannya A = untuk relasi dari elemen Ej sampai Ei, tetapi tidak berlaku untuk kebalikannya X = untuk interelasi antara elemen Ei sampai Ej (berlaku untuk kedua arah) O = untuk merepresentasikan bahwa Ei sampai Ej adalah tidak berkaitan. 2.4.2. Sistem Dinamik Studi pengembangan sistem dinamik bertujuan untuk mendapatkan model keterkaitan secara dinamis antar variabel yang berpengaruh. Model adalah abstraksi atau penyederhanaan dari sistem yang sebenarnya (Hall dan Day,
1977).
Menurut
bentuknya,
model
dapat
dibedakan
antara
lain
Hardjomidjojo (2006) : 1. Model Fisik dan mental. Model fisik menggambarkan sistem secara nyata (fisik), sedangkan model mental menggambarkan sistem melalui penjelasan secara deskriptif atau persamaan matematis. 2. Model deskrptif dan numerik. Model deskriptif menjelaskan sistem tanpa menggunakan hubungan kuantitatif, umumnya menggunakan diagram atau berupa konsep. Sedangkan model numerik menggunakan persamaan matematis sehingga mempunyai kemampuan prediksi. 3. Model empirik dan model mekanistik. Model empirik juga disebut model statistik, yang mengandalkan hubungan kausal berdasarkan pengamatan empirik (hubungan input-output). Model ini kadang disebut ‘black box’ karena tidak menjelaskan mekanisme proses yang terjadi. Sedangkan Model mekanistik menjelaskan mekanisme proses yang terjadi, namun tergantung pada level model tersebut. 4. Model statis dan model dinamik. Model statis tidak memperhitungkan waktu yang selalu berubah (tidak ada fungsi waktu). Sedangkan model dinamik memperhitungkan waktu sebagai variabel. Dalam model dinamis, variabel yang tidak berubah dengan waktu disebut ‘parameter’ atau ‘konstanta’. 5. Model deterministik dan model stokastik. Model deterministik menghasilkan keluaran
(output)
yang
pasti
(determined)
atau
tunggal
dan
tidak
memperhitungkan berbagai kemungkinan lain akibat ketidak-pastian berbagai faktor eksternal. Sedangkan model stokastik dengan masukan (input) yang sama dapat memiliki berbagai kemungkinan.
Pada model semacam ini,
36 biasanya digunakan perhitungan peluang (probability) dari keluaran (output) model. Model-model tersebut digunakan untuk membantu dalam pengambilan keputusan lintas disiplin, sehingga permasalahan yang kompleks dapat diselesaikan secara komprehensif Dalam
melakukan suatu pemodelan, maka langkah pertama yang
harus dilakukan adalah menentukan struktur model yang akan memberikan gambaran bentuk dan perilaku sistem dimana perilaku tersebut dibentuk oleh kombinasi perilaku simpal umpan balik (causal loop) yang menyusun struktur model. Struktur model suatu sistem dapat dijelaskan dengan jalan menentukan pengaruh yang akan memberikan hubungan sebab akibat antara faktor-faktor yang ada. Hubungan sebab akbiat ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu hubungan positif dan hubungan negatif. Hubungan positif adalah hubungan sebab akibat dimana makin besar nilai faktor penyebab akan makin besar pula nilai faktor akibatnya. Sedangkan hubungan negatif adalah hubungan sebab akibat dimana makin besar nilai fakor penyebab akan makin kecil nilai faktor akibat. Akibat yang ada dapat juga mempengaruhi balik penyebab sehingga terdapat hubungan sebab akibat yang memiliki arah yang berlawanan dengan hubungan sebab akibat yang lain atau dikenal dengan feed back. Pemodelan dengan sistem dinamik dapat dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Powersim Constructor versi 2,5. Kelebihannya adalah mudah menghubungkan suatu sistem yang lain sepanjang ada hubungan matematis atau asumsi-asumsi yang dapat menghubungkan berbagai sistem tersebut, sedangkan kelemahan pemodelan dengan sistem dinamik terletak pada pendefenisian dan penggunaan asumsi-asumsi, penentuan hubungan variabel dengan variabel yang lain (Eryatno dan Sofyar, 2007). Tahapan yang dilakukan dalam pendekatan sistem dinamik meliputi : 1. Analisis kebutuhan yang merupakan permulaan pengkajian suatu sistem. Pada tahap ini dicari kebutuhan-kebutuhan dari masing-masing aktor dalam kaitannya dengan tujuan sistem. Tujuan analisis kebutuhan ini adalah untuk mendefenisikan kebutuhan setiap pelaku yang terlibat dalam suatu kegiatan, di mana dalam hal ini adalah pengembangan kawasan agropolitan di wilayah perbatasan. 2. Formulasi masalah merupakan rincian dari kebutuhan aktor yang saling bertentangan yang memerlukan solusi pemecahan. Munculnya pertentangan
37 dapat disebabkan oleh adanya konflik kepentingan dari para stakeholder dan keterbatasan sumberdaya yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan yang menimbulkan masalah dalam sistem. 3. Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan masalah yang harus dipecahkan dalam rangka memenuhi kebutuhan. Identifikasi sistem ini bertujuan untuk mencari pemecahan terbaik dari permasalahan yang dihadapi. Identifikasi sistem dapat digambarkan dalam bentuk diagram input-output (black box) dan diagram lingkar sebab akibat (causal loop). 4. Pemodelan sistem merupakan simplikasi dari sistem yang dihadapi. Model dapat juga didefenisikan sebagai suatu penggambaran abstrak dari sistem dunia nyata (riil) yang akan bertindak seperti dunia nyata terhadap aspekaspek tertentu. 5. Simulasi model adalah peniruan perilaku suatu gejala atau proses. Simulasi bertujuan untuk memahami gejala atau proses tersebut, membuat analisis dan peramalan perilaku gejala atau proses dimasa depan. Untuk membuat simulasi diperlukan tahapan berikut (a) penyusunan konsep, (b) pembuatan model, (c) simulasi, dan (d) validasi hasil simulasi 6. Validasi model merupakan salah satu kriteria penilaian keobjektifan dari suatu pekerjaan ilmiah. Validasi bertujuan untuk mengetahui kesesuaian antara hasil simulasi dengan gejala atau proses yang ditirukan. Dalam validasi model dapat dilakukan dua pengujian yaitu uji validasi struktur dan uji validasi kinerja. Uji validasi struktur lebih menekankan pada keyakinan pada pemeriksaan kebenaran logika pemikiran, sedangkan uji validasi kinerja lebih menekankan pemeriksaan kebenaran yang taat data empiris. Model yang baik adalah yang memenuhi kedua syarat tersebut yaitu logis-empiris (logicoempirical).