II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian dan Prinsip Koperasi
Jika dilihat dari sejarahnya, prinsip-prinsip koperasi pertama kali dikemukakan
oleh koperas~ Rochdale pada tahun 1844 di lnggris X
(Nasution, 1990).
Prinsip-prinsip itu adalah (1) pengawasan bersama
dari semua anggota (secara dernokrasi); (2) kepemimpinanlmanajemBn terbuka; (3) bunga yang terbatas atas modal; (4) distribusi keuntungan dilakukan melalui transaksi; ( 5 ) semua risiko ditanggung bersama; (6) perniagaan dengan tunai; (7) pengembangan Pendidikan; dan (8) bebas dari politik dan agama. Sementara itu, di Jerman pada abad yang sama juga telah lahir koperasi pertanian, dipelopori oleh F.W. Raiffeisen, dengan sendi dasar koperasi yang serupa : ( I ) swadaya, artinya para petani harus dapat rnengatasi kesulitan dengan kekuatan sendiri; (2) daerah kerja terbatas, artinya daerah operasi koperasi yang didalamnya tiap-tiap anggota saling mengenal dengan baik; (3) SHU sebagai cadangan, artinya seluruh SHU dipergunakan untuk cadangan menarnbah besarnya modal; (4) tanggung jawab anggota tidak terbatas, artinya kekayaan pribadi anggota termasuk sebagai tanggungan; ( 5 ) usaha hanya kepada anggota, artinya koperasi tidak melayani orang-orang yang bukan anggota; dan (6) pengurus bekerja atas dasar sukarela, artinya pengurus tidak memperoleh balas jasa.
Hasil kongres ICA ke-28 (Oktober 1984, di Hamburg) mengajukan resolusi untuk meninjau kembali sendi-sendi dasar koperasi Rochdale yang telah disahkan oleh kongres ICA pada tahun 1966 sebagai sendi dasar koperasi dunia, yaitu rnenjadi : 1. Sifat keanggotaan koperasi adalah sukarela. 2. Rapat anggota merupakan kekuasaan tertinggi.
*
3. Tiap anggota mempunyai hak suara yang sama.
4. Pembagian SHU usaha berdasarkan pertimbangan besarrlya jasa atau usaha. 5. Atas modal yang ditanam dalam koperasi pernilik modal (anggota atau bukan anggota) diberi bunga terbatas.
.
6. Koperasi
merupakan
badan
ekonomi
yang
berwatak
sosial,
ketatataksanaan terbuka. Aliansi
Koperasi
lnternasional
(International
Cooperative
AlliancellCA) pada tahun 1995 kemudian telah merumuskan ' kembali identitas koperasi sebagai berikut: "Koperasi adalah asosiasi orang yang berhimpun secara sukarela untuk dapat memenuhi tujuan, kebutuhan, dan aspirasi mereka dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya melalui perusahaan yang dimiliki bersarna dan dikontrol secara demokratis." Dengan demikian, jika mendefinisikan suatu koperasi atau organisasi koperasi tidak cukup hanya dengan mendefinisikan karakter sosial, tetapi juga harus mendefin~sikankarakter ekonomi, dan sebaliknya. Tegasnya, koperasi rnerupakan amalgamasi dari bentuk organisasi sosial dan organisasi ekonomi.
Namun demikian wujud eksistensi dan tujuan pembentukan koperasi pada dasarnya adalah sebagai lembaga usaha atau lembaga ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan anggota. Dalam dimensi ini, koperasi adalah suatu usaha atau bisnis (a cooperative is a business), yang dalam banyak ha1 memiliki kesamaan dengan bentuk bisnis lain, tetapi dalam beberapa ha1 penting memiliki kekhasan dan perbedaan. perusahaan
yang
menjadi
X
Pada dasarnya koperasi adalah: suatu wahana
bagi
anggotanya'
untuk
mengembangkan kegiatan dan tujuannya, berdasarkan nilai-nilai dan prinsip-prinsp tertentu yang membedakan koperasi dari perusahaan lain. Nilai-nilai tersebut adalah kernandirian, tanggung-jawab, dernokrasi, persamaan, pemerataan, dan solidaritas. Disamping itu nilai-nilai seperti kejujuran, keterbukaan, tanggung-jawab sosial, dan perhatian pada sesama merupakan bagian dari sejarah perkembangan koperasi. Nilainilai tersebut memang bukan melulu milik koperasi, namun secara sadar dan terbuka telah dinyatakan sebagai dasar yang dianut oleh setiap anggota koperasi. Apabila ditelusuri prinsip-prinsip koperasi di atas, tampak jelas bahwa koperasi bukanlah hanya semata-mata organisasi ekonomi (economic
enterprice),
melainkan juga
merupakan
organisasi
kemanusiaan (human association). Oleh karena itu, organisasi koperasi memiliki karakter yang unik, yaitu merupakan kombinasi dari elemen ekonomi dan elemen sosial. Keenam prinsip di atas pada hakikatnya merniliki bobot yang sama dan saling melengkapi. Penempatan "prioritas" atas salah satu prinsip koperasi tersebut akan menimbulkan
perdebatan, mana yang merupakan prioritas atau persyaratan mutlak dan mana yang bukan prioritas. Sebenarnya tidak ada suatu alasan yang kuat untuk rnenetapkan bahwa satu prinsip lebih dominan dari pada prinsip yang lain.
Kebalikan dari pendapat di atas, masing-masing
kornponen prinsip koperasi dipandang rnempunyai derajat yang tidak sama.
Prinsip utarna adalah member promotion. Sedangkan prinsip0
prinsip
lainnya
promotion tersebut.
hanya
rnerupakan
Disamping itu
pendukung
member
koperasi juga dipandang sebagai
organisasi ekonomi anggota atau the association of member economy. Pada tahun 1995, ICA kembali melakukan perumusan ulang atas prinsip-prinsip koperasi sehingga menjadi (I) keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka, (2) pengawasan dan parnantauan (kontrol) dilakukan oleh anggota secara demokratik, (3) anggota memberikan partisipasi ekonomi kepada koperasi, (4) koperasi bersifat otonom dan merdeka, (5) koperasi rnenyelenggarakan pendidikan, latihan, dan penyebaran informasi, (6) koperasi menyelenggarakan kerjasama diantara sesama koperasi, (7) koperasi rnemperhatikan masyarakat sekitarnya (ICA, 1995). Berdasarkan pandangan prinsip koperasi modern, ICA (1995b) menyatakan bahwa setidaknya terdapat lima alasan mengapa kegiatan usaha dilakukan dengan badan hukum berbentuk koperasi. karena
koperasi
enterprises).
merupakan
perusahaan
komunitas
Pertama, (community
Koperasi mernpertahankan manfaat ekonomi dalam
masyarakat yang bersangkutan. Keuntungan tidak dibawa keluar oleh kepentingan luar karena anggota koperasi adalah pemilik, dan
keberadaan koperasi adalah untuk rnernenuhi kebutuhan rnasyarakat yang tidak dapat dipenuhi oleh bentuk usaha atau perusahaan lain. Dalarn kegiatan pertanian rnisalnya adalah untuk memenuhi kebutuhan akan bahan baku, pengolahan, dan pemasaran produk dalam satu pengelolaan yang terintegrasi oleh penggunanya sendiri. Kedua, koperasi rnendorohg demokrasi (promofe demo~racy). Setiap anggota dalarn koperasi rnengembangkan modal bersama-sama, rnengangkat pengurus, dan rnenerirna manfaat dari koperasi dengan prinsip persamaan dan pernerataan. Pernecahan masalah dan kebijakan usaha juga diputuskan secara demokratis melalui suatu mekanisme tertentu.
.
Ketiga, koperasi mengembangkan pasar yang terbuka.
Keberadaan koperasi dengan melibatkan banyak anggota mencegah pemusatan kekuatan ekonorni secara monopolis pada beberapa swasta tertentu.
Pasar akan lebih terbuka dan bersaing, sehingga berbagai
rnanfaat yang dapat diperoleh dari kondisi tersebut (pasar terbuka) akan dapat lebih dirasakan oleh rnasyarakat pada umumnya.
Keempat,
koperasi meningkatkan harkat hidup dan harga diri kemanusiaan. Dan kelima, koperasi merupakan sistern untuk melakukan pembangunan, terutama jika kegiatan komunitas dikembangkan dalam jaringan regional dan nasional.
Secara mikro setiap koperasi juga dapat merasakan
manfaat atas skala usaha yang lebih efisien, sedangkan secara makro hat tersebut kemudian akan secara akumulatif memberi manfaat bagi se[uruh rnasyarakat.
Hal serupa dinyatakan oleh Rural Business-Cooperative Service dari USDA (1997)' Koperasi dikembangkan untuk (1) meningkatkan kekuatan rebut tawar (bargaining power); (2) mengurangi biaya (melalui peningkatan skala usaha); (3) mengadakan produk dan jasa yang tidak dapat diberikan oleh pelaku usaha lain; (4) membuka dan memperbesar peluang pasar; (5) rneningkatkan kualitas produk dan jasa; dan ( 6 )
*
meningkatkan pendapatan. Jika diproyeksikan pada kondisi perkoperasian di Indonesia, khususnya koperasi pedesaanlKUD, beberapa pemikiran mengenai prinsip dan rnanfaat koperasi yang telah diuraikan diatas mungkin belum atau tidak terlihat (antara lain dapat dilihat dari hasil analisa Nasution,
1990). Hal tersebut terutama karena kompleksitas perkoperasian di Indonesia menjadi lebih tinggi akibat kebijakan
menjadikan koperasi
pedesaan sebagai sarana untuk turut rnewujudkan swasembada pangan (beras),
dan
(goverment
karena oriented
pendekatan approach)
pengembangan koperasi.
yang
pada
berorientasi masa
yang
~~merintah lalu
dalam
Penyeragarnan jenis koperasi pedesaan
menjadi KUD, juga telah menyebabkan kegiatan yang beragam menghadapi kesulitan untuk disesuaikan dalam format KUD yang seragam tersebut. Sedangkan prinsip-prinsip koperasi yang dianut oleh koperasi di hdonesia, berdasarkan UU no 2511992 adalah (1) keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka, (2) pengelolaan dilakukan secara dernokratis, (3) pernbagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan
' Homepage USDA dalam www.ica.com
besarnya jasa usaha masing-masing anggota, (4) pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal, (5) kemandirian, (6) pendidikan koperasi, dan (7) kerjasama antarkoperasi. Perbandingan antara prinsip ICA dan UU 2511995 disarnpaikan pada Tabel
1 berikut. Tabel tersebut
menunjukkan bahwa secara urnum tidak terdapat perbedaan yang rnendasar, hanya saja prinsip ke empat dari UU 25192 tidak terdapat pada R
prinsip ICA. Sedangkan prinsip ke tujuh dari ICA telah dinyatakan secara implisit pada pasal 3 dan pasal 4 dari UU 25/92. Tabe! 1. Perbandingan Prinsip Koperasi UU 2511992 dan ICA 1995
control, the capital of their cooperative.
lam prinsip tetapi dalam
1
Ketiga, pengawasan koperasi adalah atas dasar 'satu orang satu suara' guna menerapkan prinsip demokrasi.
Sedangkan pada
perusahaan non-koperasi pengawasan dilakukan atas dasar pemilikan modal, jumlah modal akan menentukan jumlah suara yang dimiliki. Keempat, pada koperasi distribusi hasil (keuntungan) dilakukan atas dasar peran kegiatan masing-masing anggota dalam kegiatan koperasi. X
Sedangkan pada perusahaan non-koperasi hasil didistribusikan atas dasar modal yang diberikan.
Dalam ha1 ini distribusi hasil paaa
perusahaan non-koperasi relatif lebih mudah dan sederhana, sedangkan pada koperasi dibutuhkan mekanisme akuntansi yang ketat. Kelima, koperasi berusaha untuk memberikan jasa atas dasar
.
biaya, yaitu dengan meminimumkan marjin. Hal ini berkaitan dengan usaha untuk memaksimalkan pelayanan kepada anggota. Oleh sebab itu marjin koperasi seharusnya selalu lebih rendah dari pada perusahaan non-koperasi, kecuali terdapat operasi yang tidak efisiensi, kesalahan manajemen, atau faktor lain yang mempengaruhi kinerja koperasi. Dilain pihak koperasi berusaha untuk memperoleh harga tertinggi dalam penjualan output anggota, dan memberi harga tertinggi pada anggota. Hal ini berbeda dengan perusahaan non-koperasi yang berusaha untuk membeli dengan harga minimal dari produsen dan menjaul dengan harga maksimal.
Jadi pada pasar yang bersaing sempurna, dimana penjual
berbadan koperasi dan non-koperasi menghadapi harga yang sama, harga beli koperasi dari anggota harus lebih tinggi dibandingkan harga beli perusahaan non-koperas~
Disamping perbedaan tersebut, perusahaan koperasi dan nonkoperasi juga rnemiliki kesarnaan. Kewajiban koperasi dan perusahaan non-koperasi terbatas pada aset dari kegiatan usahanya. Koperasi dan non-koperasi bertujuan untuk melakukan kegiatan usaha yang efisien, baik secara teknis maupun manajemen, pada berbagai kondisi pasar. Keduanya juga menghadapi peraturan dan perundangan usaha (bisnis) Ik
yang sama. Dalam
ha1 ini
koperasi
dapat
dinyatakan
sebagai
suatu
perusahaan plus, yaitu lembaga usaha yang dituntut untuk menjalankan berbagai praktek bisnis guna mendukung efisiensi dan efektivitasnya, dan pada saat yang sama menerapkan berbagai prinsip lain seperti
.
demokrasi, kebersamaan, partisipasi, dan sebagainya. Bahkan koperasi adalah lembaga usaha yang sangat modern, yang telah menerapkan berbagai ciri perusahaan modern sejak perancangannya.
Perusahaan
modern dan maju umumnya memiliki ciri sebagai perusahaan terbuka, demokratis, milik publik, dan kegiatannya berorientasi holders.
sfake-
Hal tersebut justru sudah menjadi ciri koperasi sejak awal
perancangnnya. Jika dikaitkan dengan pertanian, secara umum terdapat tiga tipe koperasi (ICA, 1990; Madane, 1990), yaitu koperasi
pemasaran
(marketing coperative), koperasi sarana produksi (supplies-cooperative), dan koperasi jasa (service cooperative). Petani pada umumnya tidak memproduksi jumlah yang cukup yang memungkinkan petani tersebut melakukan bisnis langsung dengan pedagang besar atau pedagang eceran.
Melalui koperasi pemasaran, beberapa petani bersama-sama
1
dapat memasarkan produknya dengan lebih efisien dan berusaha memenuhi jumlah yang diminta oleh konsumen langsungnya.
Pada
koperasi pemasaran yang modern kegiatan pemasaran tersebut diintegrasikan pula dengan kegiatan pengolahan, pengemasan, dan penyimpanan; sekaligus membantu anggotanya untuk dapat memenuhi standar yang diminta oleh pasar dan yang disyaratkan oleh pemerintah dalarn
pemasaran produk rnereka.
Koperasi
sarana
X
produksi
memungkinkan anggota untuk mengumpulkan sumberdaya pembelian sarana produksi, seperti bibit, pupuk, alat pertanian, dan sebagainya. Pembelian dalam jumlah yang besar secara bersama-sama akan mengurangi biaya, menjamin pasokan, dan memungkinkan untuk mendapat kualitas yang lebih baik.
Bentuk koperasi yang lain adalah
koperasi yang dibentuk untuk dapat memberikan jasa khusus kepada anggota, seperti produksi pakan, inseminasi buatan, perkreditan, perbengkelan,
dan
sebagainya;
bahkan
listrik
pedesaan
dan
telekomunikasi pedesaan. Bentuk koperasi tersebut sebagian tidak berdiri sendiri, tetapi menjalankan fungsi dari ketiga tipe koperasi yang ada, atau sebagai koperasi serba usaha. Bentuk tersebut kemudian juga berkembang (Hoff, et al. 1993), antara lain menjadi koperasi konsumsi, koperasi komoditi, dan koperasi petani.
Koperasi konsumsi merupakan koperasi yang
beranggotakan para konsumen, yang berusaha untuk dapat memperoleh barang kebutuhan hidup anggotanya dengan murah rnelalui pembelian dengan skala besar. Koperasi komoditi adalah koperasi yang menangani produksi, pengolahan, dan pemasaran komoditas tertentu.
Koperasi
petanl umumnya berbasls wllayah dlmana anggotanya adalah petani di wilayah tersebut. Koperasi ini dapat menangani seluruh komoditas yang diproduksi petani dan mernasok seluruh kebutuhan petani. Sebagai perusahaan koperasi memiliki beberapa bentuk struktur (Meyer, 1994). Struktur tersebut dapat dilihat perbedaannya atas dasar geografis, bentuk kontrol, fungsi, finansial, dan aspek lain.
Jika dilihat X
dari aspek geografis, koperasi dapat dibedakan menjadi (1) koperasi lokal, yang melayani satu daerah dalam radius 10 - 50 km, atau beberaba desa atau satu kecamatan, beranggotakan petani individual; (2) koperasi supra-.lokal, merupakan koperasi yang melayani bebecapa kecamatan atau satu kabupaten; (3) koperasi regional, merupakan koperasi yang melayani beberapa kabupaten atau satu propinsi; (4) koperasi interregional atau koperasi nasional, merupakan koperasi yang melayani beberapa propinsi atau satu negara, umumnya beranggotakan koperasi regional dan umumnya memberikan pelayanan khusus dalam kegiatan usaha anggota; dan (5) koperasi internasional, yang beranggotakan koperasi dari beberapa negara. Perlu menjadi catatan bahwa wilayah yang dimaksud dalam lingkup kerja koperasi tersebut lebih bermakna sebagai wilayah usaha (geoekonomi) dari pada wilayah dalam arti fisik. Dilihat dari bentuk kontrolnya, koperasi dapat dibedakan menjadi koperasi terpusat (centralized cooperative) atau koperasi federal (federal
cooperative) atau bentuk koperasi campuran (Meyer, 1994). Koperasi terpusat, juga disebut sebagai koperasi primer, dikontrol oleh anggota individual secara langsung.
Koperasi terpusat ini umumnya adalah
koperasi lokal yang anggotanya terdiri dari individu petani. Namun tidak
tertutup kemungkinan, koperasi terpusat memiliki cakupan wilayan yang luas dengan jumlah anggota yang sangat banyak. Ciri pokoknya adalah hanya terdapat satu kantor pusat, satu dewan pengurus, dan satu manajer, serta anggota secara individual memiliki hak untuk mengontrol koperasi. Umumnya koperasi terpusat memiliki keterkaitan bisnis secara langsung dengan individu anggotanya. n
Pada koperasi federal, atau juga disebut sebagai koperasi sekunder, anggota
koperasi adalah koperasi lain.
Koperasi federal
merupakan kesatuan bisnis (business entity) yang berbeda dengan anggota atau koperasi primer. Dewan pengurus pada koperasi federal adalah pewakilan dari koperasi primer. Struktur lain adalah koperasi
.
campuran, yaitu koperasi yang anggotanya adalah individu dan koperasi. Hal ini dimaksudkan untuk dapat rnelayani petani individual yang memiliki skala usaha relatif besar bersarna-sarna dengan individu petani kecil ayng terwakili oleh koperasi primernya. Struktur koperasi menurut fungsi telah dijelaskan sebelumnya, yaitu koperasi pemasaran, koperasi pembelian atau koperasi sarana produksi, koperasi jasa, dan koperasi serba usaha. Jika dilihat dari aspek finansial, koperasi dapat berbentuk koperasi saham dan non-saham. Pada koperasi saham, koperasi mengeluarkan surat berharga (stock), yang terdiri dari saham urnum, yaitu saham senilai tertentu yang rnenjadi harus dirniliki sebagai syarat untuk rnenjadi anggota; dan saharn khusus (preferred stock) untuk rnenampung tambahan kapital yang diberikan oleh anggota.
Pada koperasi non-saharn, koperasi mengeluarkan sertifikat
keanggotaan untuk menunjukkan syarat keanggotaan dan sertifikat
khusus untuk rnenunjukkan tambahan kontribusi kapital anggota. Kedua bentuk tersebut serupa dengan sistem sirnpanan wajib dan simpanan sukarela bagi anggota koperasi. Perkembangan dan kompleksitas bisnis telah mendorong pula evolusi struktur organisasi koperasi. Beberapa bentuk struktur koperasi yang baru adalah sebagai berlkut (ICA, 1995~). Pertama, *anak perusahaan koperasi (subsidiary), yaitu perusahaan yang diorganisasi, dimiliki, dan dikontrol oleh koperasi sebagai induk perusahaannya. Anak perusahaan ini rnenjalankan suatu tugas khusus atau fungsi dari koperasi yang bersangkutan terutama dengan pertimbangan efisiensi usaha. Kedua, perusahaan bersama (joint venture), yaitu perusahaan yang diorganisasi, dimiliki, dan dikontrol oleh lebih dari satu koperasi. Perusahaan gabungan ini diadakan untuk menjalankan suatu tugas dan fungsi yang sama-sama dibutuhkan oleh beberapa koperasi yang terlibat. Ketiga, koperasi menjadi "holding company" dari beberapa perusahaan yang menjalankan fungsi usaha bagi mereka. Koperasi sendiri seringkali tidak melakukan usaha secara langsung tetapi mendapat manfaat dari kontrol untuk rnendahukan pelayanan bagi anggota dan keuntungan dari kegiatan perusahaannya.
Keempat, koperasi menjadi agen kontrak.
Anggota bergabung dalam koperasi untuk memungkinkan mereka melakukan kontrak dengan suatu perusahaan guna menjalankan suatu fungsi usaha tertentu.
Koperasi sendiri tidak melakukan usaha tetapi
memegang hak kontrak atas perusahaan (non-koperasi) lain.
Dan
kelima, koperasi menjadi pemegang hak waralaba (franchises), atau memberikan hak kewaralabaan kepada perusahaan lain. Kelima bentuk
struktur koperasi sebagai perusahaan tersebut diatas pada dasarnya adalah sebagai hasil dari respon koperasi terhadap perkembangan dunia usaha dan keinginan koperasi untuk dapat melayani usaha anggota dengan lebih baik. Secara teoritik, hubungan fundamental antara koperasi dengan anggotanya dapat ditunjukkan oleh skema pada Gambar 1.
Hubungan X
koperasi dengan anggota dalam transaksi produk memiliki pola yag berbeda dengan hubungan anggota dengan perusahaan lain (swasta). Perbedaan tersebut terutama sebagai akibat dari perbedaan tujuan (maksimisasi) : perusahaan swasta mernaksimumkan keuntungannya sedangkan koperasi rnemaksimurnkan imbalan (return) yang diterima
.
anggota.
Setidaknya terdapat 5 (lima) pola hubungan transaksional
antara anggota dengan koperasi yang berbeda dengan perusahaan nonkoperasi, yang sekaligus dapat memberikan garnbaran mengenai manfaat (dampak) koperasi kepada anggotanya. Pertama, anggota menjual produknya kepada koperasi. Kedua, anggota menjual produknya melalui koperasi.
Ketiga, anggota mernbeli input & r J koperasi.
Keempat,
anggota rnernbeli input melalui koperasi. Dan kelima, pelayanan terpadu yang dapat diberikan oleh koperasi, termasuk pelayanan kegiatan konsumsi.
C
Garnbar 1. Model Koperasi Sebagai Badan Usahq
2.3. Mazhab Koperasi
lmplementasi dari
prinsip-prinsip koperasi
seperti
diuraikan
dimuka telah rnelah~rkanbeberapa mazhab koperasi (Damanik,
dalam
Swasono, 1985) yang diterapkan oleh beberapa negara penganutnya yaitu
pertama,
mazhab
koperasi
persemakmuran
(Co-operative
Commonwealth School) yang lahir di Inggris. Mazhab yang bersikap
*
fundamental ini menginginkan dan memperjuangkan agar prinsip-prins~p koperasi diberlakukan pada bagian luas kegiatan
manusia
dan
lembaga, sehingga koperasi memberi pengaruh dan kekuatan yang dominan di tengah masyarakat. Mazhab ini beranggapan bahwa bekerja sama (cooperation) diantara anggota masyarakat merupakan cermin dari
.
masyarakat yang maju dan beradab. Mereka yang memiliki kemampuan usaha kecil perlu bekerja sama dengan sesama pengusaha kecil dan juga bekerjasama dengan pengusaha besar, dan sebaliknya.
Sistem kerja
koperasi dianggap cukup baik serta mampu memberikan tingkat Ceadilan dan pemerataan pendapatan masyarakat (Suwandi, 1982). Kedua,
mazhab koperasi kapitalisme (School of Modified
Capitalism), atau School of Yardstick.
Mazhab ini merupakan suatu
paham yang menganggap koperasi sebagai suatu kontrol terhadap bentuk kapitalitis. sendiri.
Kapitalis memiliki potensi untuk merusak dirinya
Sistem pasar
bebas dan orientasi keuntungan yang
dikembangkan berpotensi pula untuk menciptakan monopoli dan ketidakseimbangan kemampuan pelaku pasar. ketimpangan kemampuan ekonomi. wahana bagi pengusaha kecil
Akibatnya akan timbul
Koperasi dianggap dapat menjadi
atau konsumen kecil meningkatkan
kernarnpuannya secara bersarna-sama rnenghadapi ketidak sempurnaan pasar tersebut. Dengan koperasi pelaku ekonorni yang berskala kecil tersebut diharapkan akan rnampu bersaing di pasar.
Oleh sebab itu,
menurut pandangan ini perkembangan koperasi tirnbul sebagai reaksi atas kegagalan pasar, dirnana pada bentuk terburuknya kapitalisme tidak saja bekerja kurang efisien dart eksploitatif,
bahkan juga tidak X
rnenghargai harkat kemanus~aan. Namun karena koperasi dianggap turnbuh dalam sistem yang kapitalistis, maka koperasi harus manipu bekerja lebih efisien dan rnampu memberikan insentif lebih kepada anggota (pelanggan) dibandingkan dengan pelaku usaha lain jika ingin tetap bertahan. Ketiga, mazhab koperasi sosialisme (Co-operative Socialism), paham ini menganggap bahwa koperasi sebagai alat untuk menuju sosialisrne.
Melalui koperasi, yang mengedepankan prinsip-prinsip
kebersamaan dan pemerataan, diharapkan dapat dibangun suatu masyarakat dan sistem ekonomi sosialis dimana kepentingan individual berada dibawah kepentingan bersama. Keempat,
mazhab
koperasi
sektoral
(Co-operative Sector
School), paham ini menganggap bahwa koperasi sebagai salah satu sektor dalam pembangunan. Menurut pengikutnya koperasi ini adalah suatu sistem yang memiliki filsafat dan kode etik sendiri suatu sistem yang sebagian ekonomis dan sebagian sosial, dengan suatu perangkat prinsip-prinsip bisnis yang jelas dan tujuan sosial dan edukatif yang tidak meragukan.
Di Arnerika Serikat, khususnya dikalangan koperasi pertanian, terdapat satu alur pemikiran yang lain, yang disebut sebagai Californian School, atau juga disebut sebagai Sapiro School karena diawali oleh pernikiran Aaron Sapiro pada tahun 1920 (Torgerson, et al. 1997). Mazhab kelirna ini menyatakan bahwa koperasi dikembangkan oleh para petani
karena
ingin
meningkatkan
kinerja
pemasaran
dan X
menyeirnbangkan perlakukan yang diterima oleh petani dari para pemasok bahan baku dan para distributor. Koperasi pertanian dibangun dalarn suatu sistem komoditas (sekarang disebut sebagai sistem agribisnis) dalam rangka rneningkatkan efisiensi melalui peningkatan skala usaha dengan melakukan rnanajernen produksi dan distribusi bersarna diantara petani. Mazhab-mazhab
koperasi
diatas
kemudian
memberikan
interpretasi yang berbeda pada prinsip-prinsip koperasi, yang pada gilirannya akan menentukan pola perilaku usaha yang dAakukan. Koperasi lndonesia mengacu pada arahan yang diberikan oleh UUD 1945, dan tidak secara ekspl~sitmengikuti salah satu mazhab. Namun jika dilihat dari perkernbangan dan perilakunya, gerakan koperasi lndonesia telah membangun suatu rnazhab sendiri, yang secara umum dapat dikatakan sebagai paduan antara mazhab persemakmuran, 'yardstick',
dan
rnazhab
sektoral.
Kemudian sejalan
dengan
perkembangan pendekatan agribisnis dalam pengembangan kegiatan pertanian di Indonesia, pemikiran Sapiro rnulai mendapat tempat pula dalam strategi pengembangan koperasi Indonesia, khususnya koperasi
pedesaan (KUD). Hal yang terakhtr ini sangat terlihat pada usaha dan pembahasan mengenai keterkaitan KUD dengan koperasi sekundernya.
2.4. Teori-Teori Utama dalam Ekonomi Koperasi
Permodelan formal dalam teori ekonomi koperasi baru dilakukan sejak tahun 1940-an. Para teoritisi umumnya sepakat untuk menfusun model ekonomi koperasi dalam tiga pandangan pokok yang berbeda ; (1) koperasi sebagai wujud integrasi vertikal dari perusahaan-perusahaan yang .mandiri (vertical integration of independent firms); (2) koperasi sebagai unit bisnis mandiri (independent business enterprise), dimana koperasi dapat dianalisa sebagai variasi bentuk perusahaan umum; dan (3) koperasi dipandang sebagai wujud penggabungan perusahaan, yang
memiliki bentuk pengaturan alternatif dari persaingan individual. Perdebatan teoritik hingga akhir 1960-an masih berkisar pada pandangan pertama dan kedua diatas, yang pada dasarnya berhubungan dengan kemampuan, dan juga perilaku, koperasi dalam pengambilan keputusan; dan pandangan apakah koperasi merupakan suatu "perusahaan" atau bukan.
Pada tahun 1980-an teori ketiga mulai berkembang, yang
diharapkan dapat menjadi alternatif kolaborasi dalam teori ekonomi koperasi sekaligus sebagai jawaban atas tuntutan bisnis yang dihadapi koperasi (Staatz, 1987; Sexton, 1994).
2.4.1. Koperasi sebagai Bentuk lntegrasi Vertikal Kegiatan Ekonomi Anggota Teori ini diawali oleh analisa Emelianoff pada tahun 1942 dan dikembangkan oleh
Robotka dan
dikembangkan menjadi
model
pengambilan keputusan oleh Phillips (Staatz, 1987), sehingga akhirnya dikenal sebagai teori Emelianoff,' Robotka, dan Phllips.
Argumpntasi
dasarnya adalah bahwa koperasi beroperasi atas dasar biaya dan tidak memperhatikan akumulasi kapital serta tidak memperhatikan keuntungan atau kerugian. Anggota koperasilah yang memperhatikan kedua aspek terakhir tersebut, sehingga koperasi dianggap bukan suatu perusahaan. Phillips, I953 dalam Staatz, 1987; menyatakan bahwa koperasi dibentuk oleh anggota yang bersepakat untuk melakukan pengambilan keputusan usaha bersama-sama.
Dengan demikian koperasi dianggap tidak
memiliki kegiatan ekonomi yang terlepas dari kegiatan ekonomi anggotanya. Secara teoritik, Phillips kemudian mengembangkin model dasar perilaku ekonomi koperasi dengan melakukan intergrasi vertikal antara anggota koperasi, dimana tingkat output optimal optimal diperoleh pada kondisi penjumlahan b~ayamarjinal anggota dan koperasi sama dengan penerimaan marjinal dari pasar yang dihadapi. Kondisi ini terjadi di titik A pada Gambar 2.
Kelemahan mendasar dari teori ini adalah
bahwa Phillips mengasumsikan jumlah optimal akan didistribusikan secara merata diantara anggota dan tingkat keseimbangan perusahaan lain (non-koperasi) dapat ditentukan dan 'given'. Jika kedua ha1 tersebut tidak dipenuhi maka dengan teori ini akan dihadapi kesulitan untuk menentukan tingkat output optimal yang pasti (Vitaliano, 1978 &Q
Sexton, 1984). Namun demikian, teori ini banyak mendapat dukungan dari kelompok yang rnementingkan aspek sosial dan politik dari koperasi (Groves, 1985).
I
PliCe
4
Q,
9,
0v.llllly
pent ~-htaximization 01 coopere~~ve's prolit (analogous lo IOF'S goal 01 trtold nm~frtw:alogr
L:,,,I
8-Maxtmizal~on 01 sum ol Consumer and producer surplurer (Enhe's IDIUIIOIIJ ('zero rurplur" rolula:--ep. ltelmbo#ger-tloorl
F.-,~s~ - h l ~ n ~ m i z a t i o 0 1nnnennber price corlrarlent with coverang corw
Cambar
2.
AIternatif Tingkat Harga dan lumlah Optimal bagi Koperasl Produsen dan Konsumen
2.4.2. Koperasi sebagai Suatu Perusahaan
Teori ekonomi koperasi dengan memandang koperasi sebagai perusahaan yang mandiri dimulai dari analisa Enke terhadap koperasi konsumsi
pada
tahun
1945
(Sexton,
1984),
yang
kemudian
dikembangkan terutama oleh Helmberger dan Hoos pada awal tahun 1960-an. Enke menyatakan bahwa pengelola koperasi memilikiXtugas !n dan tanggung jawab untuk dapat mengambil keputusan manajemen $a tantangan yang dihadapi oleh pengelola koperasi adalah untuk dapat memaksimumkan manfaat (surplus) yang diterima baik oleh anggota maupun oleh koperasi itu sendiri. Kedua ha1 itulah yahg dianggap dapat menjamin keberlangsungan kegiatan koperasi, dan ha1 ini menjadi dasar yang kuat untuk menganggap koperasi sebagai suatu perusahaan yang mandiri, terpisah aspek manajemennya dari kegiatan usaha anggota. Atas
dasar pemikiran tersebut, teori Enke-Helmberger kemudian
menyatakan bahwa pada dasarnya kesejahteraan anggota koperasi dan masyarakat akan dimaksimumkan jika
koperasi diarahkan untuk
memaksimumkan surplus produsen koperasi dan surplus konsumen anggota.
Hal ini terjadi pada kondisi dimana kurva biaya marjinal
koperasi (kurva penawarannya) berpotongan dengan kurva permintaan (teori Pareto), yaitu titik B pada Garnbar 2. Kelemahan teori ini adalah bahwa titik B bukan merupakan kondisi keseimbangan yang stabil. Pada kondisi tersebut koperasi memperoleh keuntungan sebesar BD.
Jika
keuntungan tersebut kemudian dibagikan kembali ke anggota maka ha1 tersebut dapat dianggap sebagai bentuk subsidi harga dan akan menjadi insentif
bagi
anggota
untuk
meningkatkan
produksinya.
Titik
keseimbangan yang stabil adalah pada titik C, tetapi kondisi ini bukan merupakan kondisi kesejahteraan maksimal. Kelemahan ini dicoba untuk diperbaiki dalam teori HelmbergerHoos (Staatz, 1987), yang sekaligus juga rnengadopsi sebagian pemikiran dasar teori Emelianoff, Robotka, dan Phillips. Helberger dan Hoos menyatakan bahwa, pertama, perbedaan kondisi keseimbangan jangka pendek dan jangka panjang suatu koperasi tidak ditentukan oleh perubahan perilaku anggota (terutama dalam ha1 k u ~ a penawarannya) tetapi oleh pertambahan jumlah anggota : dalam jangka pendek jumlah anggota tetap sehingga jumlah penawaran tetap, dan pada jangka panjang jumlah anggota bertambah dan jumlah penawaran juga bertambah. Kedua, koperasi beroperasi pada basis keuntungan sama dengan no1 (zero profit basis), dimana seluruh surplus (sisa hasil usaha) akhirnya dikembalikan
ke
anggota;
dengan
asumsi
manajer .koperasi
memaksimumkan surplus koperasi rata-rata per unit (atau harga yang dibayarkan) kepada petani (Carson, 1977; Staatz, 1987). Pada kondisi ini secara sederhana keseimbangan yang optimal adalah pada titik C (Gambar 2). Ketiga, Helmberger dan Hoos mengasumsikan bahwa anggota adalah penerima harga (price taker).
Akibatnya koperasi akan
menghadapi kurva penawaran anggota yang jelas dan merupakan penjumlahan horizontal dari
kurva penawaran
seluruh anggota.
Keseimbangan jumlah dan harga yang dibayarkan koperasi kepada anggota ditentukan melalui perpotongan antara kurva penawaran
Gambar
3
Hubungan Penerimaan Produk Koperasl dan Biaya
Cambar
4
Keseimbangan Biaya dan Penerimaan Produk Koperasi
34
anggota
tersebut
dengan
kurva
penerimaan
bersih
koperasi.
Keseimbangan ini akan stabil pada jangka pendek. Pada jangka panjang keseimbangan akan ditentukan oleh penambahan (atau pengurangan jumlah anggota) yang akan berpengaruh terhadap kondisi penawaran anggota. Dengan dasar pemikiran yang sama, Dahl dan Hammond (1977) X
menjelaskan perbedaan transaksi antara anggota dengan koperasi dan non-koperasi untuk kegiatan penjualan produk oleh anggota
dengan
uraian sebagai berikut. Berdasarkan teori ekonomi klasik, keseimbangan penawaran terjadi jika VMPx = Px, dimana VMPx = nilai produk marjinal produk X dan Px = harga X. Jika digambarkan dalam bentuk kurva, maka VMP merupakan bentuk penggambaran lebih lanjut dari kurva MP (produk marjinal), dan berkaitan dengan MP akan terdapat juga kurva penerimaan rata-rata (ARP) dan kurva
penerimaan
rata-rata
net0
(NARP),
yaitu
kurva
menggambarkan penerimaan rata-rata dikurangi biaya tetap.
yang Kurva-
kurva tersebut dapat digambarkan pada Gambar 3, dan akan digunakan untuk membandingkan operasi perusahaan koperasi dan non-koperasi. Untuk menyederhanakan disumsikan biaya produksi kedua jenis perusahaan dianggap sama, sehingga akan memiliki kurva MP, ARP, dan NARP yang sama pula.
Kondisi yang berbeda adalah dalam tujuan
maksimisasi. Koperasi akan memaksimumkan imbalan (return) kepada anggota
produsennya,
sedangkan
memaksimumkan keuntungannya sendiri.
perusahaan
koperasi
akan
Dianggap harga pasar bersaing untuk komoditas X adalah P I . Jumlah yang dibeli oleh perusahaan non-koperasi adalah Q1, yaitu kondisi pada persamaan diatas. Koperasi akan rnernilih keseimbangan yang berbeda tergantung pada kurva penawaran anggotanya.
Jika
penawaran anggota koperas~adalah SO maka koperasi akan rnembayar harga P3 kepada anggota, dan. akan membeli sebanyak Q3; atau X
mengikuti kondisi NARPx = Px P3 adalah harga maksimum yang dapat dibayarkan koperasi dan tetap menutupi semua biaya.
Koperasi membayar lebih tinggi dan membeli
lebih banyak dari pada perusahaan non-koperasi. Pembayaran mungkin saja tidak dilakukan sekaligus, koperasi mernbayar harga pasar pada saat transaksi dan kemudian membayarkan tambahan harga pada akhir tahun. Pembayaran tambahan harga ini bukan Sisa Hasil Usaha (SHU) dan bukan pembayaran yang ditunda, tetapi lebih mirip pemberian bonus atas aktivitas anggota. Namun demkian keseirnbangan tersebut keseimbangan yang stabil.
bukan merupakan
Jika keanggotaan koperasi tidak dibatasi
(sesuai dengan prinsip koperasi) maka petani produsen non-anggota. akan bergabung ke koperasi. Hal ini akan menggeser kurva penawaran ke kanan dari SO ke S1. Akibatnya , koperasi hanya mampu membayar sama dengan harga pasar P I , walaupun dengan jumlah Q4.
Jumlah
barang yang dibeli koperasi tetap lebih banyak dari pembelian oleh perusahaan non-koperasi.
1
Pada kondisi lain, koperasi dapat pula hanya mampu membayar dengan harga yang sama bahkan lebih rendah dari perusahaan nonkoperasi.
Pada Gambar 4, harga pasar dianggap berada pada P4.
Walaupun beroperasi dalarn keadaan rugi, perusahaan non-koperasi Jika
akan meminimumkan kerugiannya jika rnembeli jumlah Q5.
penawaran anggota adalah S 2 . dan tujuan koperasi adalah untuk I
menutupi seluruh biaya produksi maka koperasi terpaksa membeli dengan harga lebih rendah dari P4. Anggota kemudian mulai beralih melakukan transaksi dengan non-koperasi. koperasi berkurang menjadi S3.
Penawaran anggota ke
Pada kondisi ini koperasi yang
beroperasi sama dengan perusahaan non-koperasi akan beroperasi paling efisien. Dengan demikian keseimbangan jangka panjang untuk koperasi dan non-koperasi adalah pada harga PO dan QO. Dalam hat ini untuk harga diatas PO, segmen a-b dari VMP adalah kurva permintaan NARP adalah k u ~ permintaan a koperasi dan dibawah harga PO k u ~ a koperasi terhadap produk anggotanya. Permintaan non-koperasi adalah segmen a-b-c dari VMP. Uraian diatas menyirnpulkan bahwa koperasi sebagai perusahaan akan memberikan manfaat bagi anggota berupa harga yang lebih tinggi dan jumlah yang lebih banyak. Hal ini akan semakin nyata jika jumlah penawaran anggota cukup besar, tetapi tidak terlalu besar sehingga rnendorong turunnya harga.
mekanisme ini merupakan suatu bentuk
kontrol tidak langsung untuk mendorong koperasi menjadi efisien dengan skala yang memadai dan mencegahnya menjadi monopoli.
Walaupun telah dapat semakin menjelaskan perilaku ekonomi koperasi, terutama dalarn kaitannya dengan anggota, teori HelmbergerHoos tetap membawa kelemahan teori Enke-Helmberger, yaitu keraguan apakah penawaran anggota dapat didefinisikan dengan jelas, terutama dengan adanya sinyal harga yang "semu" akibat adanya pernbagian SHU (yang dapat diartikan sebagai 'rebate' terhadap harga yang diterirna
*
anggota), disamping
kelemahan asumsi yang menganggap manajer
mengetahui fungsi penerimaan bersih koperasi.
Disamping itu asuinsi
surplus atau keuntungan sama dengan no1 dapat berarti rnenyalahi prinsip koperasi yang menegaskan bahwa koperasi harus dapat rnembayar produk anggota minimal dengan harga pasar dan kernudian membagikan keuntungan (SHU) dan tidak boleh melakukan 'discounting' harga pada tingkat eceran Pada perkembangan lebih kini terdapat beberapa penyesuaian atas tujuan koperasi sebagai perusahaan. Royer, 1982 dalam Staatz, 1987
menyatakan
bahwa
tujuan
koperasi
hendaknya
adalah
rnemaksimumkan kesejahteraan anggota, yang akan diperoleh jika keuntungan dari usahatani yang dilakukan ditambah marjin bersih koperasi adalah rnaksimum.
Tujuan ini lebih sesuai dengan 'jiwa'
koperasi, walaupun tetap menghadapi permasalahan ketidak-stabilan keseirnbangan kecuali terdapat batasan atas jurnlah yang dapat dijual oleh anggota kepada koperasinya. Menggunakan prinsip yang sarna, Cotterill (1987) menyatakan bahwa sebagai perusahaan koperasi harus dievaluasi dalarn konteks surplus konsumen dan produsen yang diciptakannya baik kepada
anggota maupun non-anggota melalui harga yang lebih rnenarik bagi semua pihak, dan bukan dilihat dari nilai penerirnaan bersih koperasi. Titik C pada Gambar 2 rnerupakan kondisi keseimbangan bagi koperasi dengan menggunakan pendekatan ini; dan jika koperasi mampu membatasi jumlah permintaan menjadi Q2 maka nilai kesejahteraan anggota akan meningkat. Kondisi optimal akan tercapai jika kurva biaya
*
marjinal berbentuk 'L' (bukan 'U'), dimana kondisi surplus no1 dan kesejahteraan maksjmum tercapai
pada titik
yang
sama
mengakibatkan kondisi kesejahteraan rnaksimurn yang stabil.
yang Secara
ernpirls, studi yang dilakukan Cotterill , 1986 dan Rhodes, 1983 dalam Staatz, 1987 dengan menggunakan pendekatan tersebut rnenyirnpulkan bahwa koperasi mampu mensejahterakan petani pada kondisi pasar yang tidak sempurna (situasi monopoli dan oligopoli), dimana keterbukaan keanggotaan koperasi mampu rnernbuat harga dan jumlah yang diperdagangkan pada pasar yang tidak sernpurna tersebut wndekati keseimbangan pasar bersaing sernpurna, serta pada industri' dengan skala usaha efisien minimum yang relatif besar maka penggabungan (merger) antar koperasi (yang juga berarti peningkatan jumlah anggota) akan memberikan pelayanan yang lebih baik bagi seluruh anggota.
2.4.3. Koperasi sebagai Suatu Bentuk Koalisi Salah satu unsur yang paling banyak rnendapat kritik dari kedua teori
diatas
adalah dalam
ha1 kernarnpuan teori-teori
tersebut
menerangkan proses pengambilan keputusan dalam koperasi. Pada teori
Ernelianoff, Robotka, dan Phillips manajer koperasi dianggap tidak rnerniliki peran dalam pengarnbilan keputusan, anggota koperasi yang melakukan seluruh fungsi pengambilan keputusan (Bateman, et al. 1979; Staatz,
1987).
Sedangkan
pada
teori
Enke-Helmberger-Hoos,
diasumsikan keanggotaan yang homogen serta konflik kepentingan didalam koperasi dianggap minimal dan dapat diabaikan, se9ngga keputusan semua pihak yang berada dalam koperasi (manajemen atau anggota) dianggap sama.
Disisi lain, banyak studi telah menunjukkan
bahwa kedua kondisi tersebut (manajemen tidak mengambil keputusan dan homogenitas kepentingan) tidak berlaku (Sexton, 1984; Staatz, 1987).
Secara khusus telah diidentifikasi bahwa kepentingan yang
mendasari keputusan anggota tidak seragam, karena ketidak-seragaman kondisi anggota; manajemen koperasi merniliki kepentingan yang dapat sangat mempengaruhi pengambilan keputusan; adanya ketidak-samaan dan ketidak-merataan informasi diantara pihak-pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan; serta sikap pengambilan keputusan kolektif yang sangat mempengaruhi bentuk pengambilan keputusan dalam koperasi. Bahkan keragaman sumber, kekuatan dan orientasi pengambilan keputusan telah menjadi salah satu aspek yang dinilai paling fundamental yang membedakan koperasi dengan bentuk badan usaha lain.
Atas
dasar tersebut beberapa teoritisi ekonomi (antara lain Karlehto, 1953; dan Ohm, 1956; dalam Staatz, 1987) telah menyatakan bahwa koperasi dapat dilihat sebagai koalisi berbagai pihak (petani, manajer, konsumen, dan sebagainya), dimana masing-masing memiliki kepentingan dan tujuan
masing-masing; serta akan berpartisipasi hanya jika organisasi koperasi dapat memenuhi kepentingan dan tujuan tersebut. Pada
pemikiran in1 keseimbangan pengambilan keputusan
koperasi yang optimal dapat dianggap sebagai optimasi bertujuan banyak (multi-objective optimation). Pada kondisi ini kemungkinan tidak semua tujuan dari masing-masing pihak yang terlibat dalam koperasi Papat dipenuhi.
Kuncinya dalah bahwa koperasi dapat menunjukkan' kinerja
usaha sedemikan sehingga tahankan partisipasinya.
masing-masing pihak dapat memper-
Penelitian yang dilakukan Murray (1983)
menunjukkan bahwa faktor yang sangat berpengaruh pada pandangan ini adalah kekuatan relatif dari masing-masing pihak yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini diilustrasikan dengan perbedaan kepentingan antara manajer dan petani pada koperasi peternakan Inggris. Petani yang telah melakukan investasi yang cukup besar pada usaha peternakannya mengharapkan penerimaan finansial yang besar bagi anggota dan tidak mementingkan kesehatan finansial koperasinya. Sebaliknya manajer koperasi menginginkan agar sisa hasil usaha yang tidak dibagikan lebih diperbesar agar pengelolaan koperasi lebih leluasa. Pada kondisi kepentingan yang berbeda seperti ini, tindakan keputusan yang diambil oleh koperasi akhirnya sangat ditentukan oleh kekuatan pengaruh masing-masing pihak.
2.5. Pendekatan Ekonomi Kelembagaan Terhadap Perilaku Koperasi
Kajian terhadap
perilaku suatu
lembaga
ekonomi
sangat
tergantung pada konsep pemikiran ekonomi yang mendasarinya. Saat ini terdapat dua aliran pemikiran besar yang mewarnai hampir setiap kajian ekonomi mikro modern (Spechler, 1990), yaitu pendekatan neo-klasik (The Mainstream and Austrian neo-classical economics and the libeparian perspective) dan pendekatan ekonomi kelernbagan (instifufionalism and neo-institutionalism). Pendekatan neo-klasik menekankan pada asumsiasumsi dasar yang telah mapan dan berbagai perangkat teori yang telah lengkap dan mantap, terutama dalam menjelaskan berbagai perilaku perusahaan, perilaku konsumen, perilaku pasar, dan hal-ha1 yang
.
berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat; sebagai hasil dari proses berbagai kajian yang panjang. Neo-klasik mendasari pemikiran mengenai perilaku ekonomi pada beberapa perspektif dasar
: (a) adanya
keseimbangan pasar bersaing sempurna, dan ketidak-sempurna'an pasar hanya merupakan pengecualian; (b) faktor (produksi) rnendapat imbalan sesuai dengan nilai dail kontribusi marjinalnya terhadap produksi, ha1 yang dapat mempengaruhi kondisi tersebut umumnya diabaikan; (c) selera diasumsikan tetap dan universal; (d) faktor organisasi dan manajemen diabaikan; (e) pengaruh politis dan sosial dianggap minimal; (e) masalah pemerataan ditangani secara terpisah dari efisiensi. Dilain pihak pendekatan ekonomi kelembagaan justru berusaha untuk rnendalarni hal-ha1 yang dinilai sebagai kelemahan dalarn pendekatan neo-klasik.
Berangkat dari pernikiran Thorstein Veblen
(1857-1929),dan dalam pengaruh pemikiran beberapa guru ekonomi dan
sosiologi Eropa, seperti Gustav Schrnoller (1839-1917), Max Weber (1864-1920) dan Werner Sombart (1983-1941); pernikiran ekonorni kelembagaan justru berkembang di Amerika, walaupun salah satu penutis kelembagaan terkemuka, yaitu John Kenneth Galbraith (1908-.....) menolak untuk dikatakan sebagai "orang kelembagaan".
Walaupun
beberapa bentuk mekanisme kqian yang dilakukan mungkin juga X
rnenggunakan teknik yang dikernbangkan oleh neo-klasik, perspektif ekonomi kelernbagaan yang
dikembangkan para
pemikir diafas
menegaskan pentingnya beberapa ha1 yang tidak terdapat pada pendekatan neo-klasik (Spechler, 1990) Pertarna, fokus kajian ekonorni kelembagaan ditujukan pada
.
lembaga sebagai unit analisa.
Dalam ha1 ini yang dirnaksud
kelernbagaan adalah pengaturan-pengaturan sosial tentang hubungan antar individu dan kelompok. Ekonomi kelernbagaan rnenempatkan norma, peraturan, kesepakatan dan berbagai bentuk serupa; yang kemudian tercermin dalam bentuk struktur hak (property right) dan hal-ha1 yang diakui bersama (common denominator), sebagai faktor penentu dalam pengambilan keputusan ekonomi. Perbedaan unsur kelembagaan tersebut akan rnembedakan kriteria pencapaian tujuan suatu kegiatan ekonomi. Hal berbeda dengan pendekatan neo-klasik yang umurnnya rnernandang rasionalitas dari pencapaian keuntungan rnaksimurn dan kriteria hedonistik lainnya. Kedua, kegiatan ekonorni dipandang sebagai suatu proses evolusi yang berkelanjutan menuju pencapaian tujuan tertentu (bukan sekedar hanya mencari keseimbangan), dan tujuan tersebut bukan hanya keuntungan maksimurn.
Proses evolusi dari
lembaga ekonomi tersebut mirrp dengan proses evolusi berdasarkan teori Darwin : kondisi lembaga pada tahap berikut ditentukan oleh kemampuan lembaga yang bersangkutan beradaptasi dengan perkembangan kondisi lingkungan. Ketiga, setiap lembaga dan aktivitas ekonomi dapat memiliki tujuan yang berbeda atau memiliki beberapa tujuan. Dan keempat, ekonomi kelembagaan menekankan pentingnya memperhatikan berbagai
*
orientasi normatif
(sosial, politik, dan
sebagainya) yang
dapat
mempengaruhi tujuan atau perilaku suatu kegiatan ekonomi. Pemikiran diatas memiliki banyak persamaan dengan paradigma
poke<
koperasi sebagai lembaga ekonomi.
Koperasi merupakan
kelembagaan yang memiliki norma dan peraturan yang dinyatakan dalam bentuk prinsip-prinsip koperasi, yang menjadi ciri pembeda terhadap lembaga usaha non-koperasi.
Koperasi berkembang sejalan dengan
perkembangan masyarakat yang dilayaninya. Koperasi memiliki tujuan yang beragam baik tujuan koperasi itu sendiri maupun tujuan pars pemilik (state-holder), yaitu para pengurus, anggota, manajer, masyarakat, bahkan pemerintah, yang tidak hanya bertumpu pada pencapaian keuntungan maksimum. Dalam ha1 ini berdasarkan prinsip-prinsip yang dianutnya, berbagai orientasi normatif terlihat cukup menonjol di koperasi Salah satu pendekatan yang dikembangkan oleh pendekatan ekonomi kelembagaan adalah bahwa kelembagaan memandang perilaku sebagai bagian dari rangkaian Struktur Conduct-Performance).
-
Perilaku
-
Kinerja (Structure-
Struktur dianggap akan menentukan pola
perilaku, dan pola perilaku akan mempengaruhi kinerja, serta pada akhirnya kinerja akan mempengaruhi kondisi struktur kelembagaan
ekonoml yang bersangkutan (Cook, 1995; Schmid, 1987).
Oleh sebab
itu kajian terhadap per~lakuusaha perlu dimulai dengan memahami struktur kelembagaan atau dapat pula diartikan sebagai berbagai faktor yang dapat mempengaruhi perilaku; yang kemudian dilanjutkan dengan mengidentifikasi pola perilaku lembaga serta berbagai penjelasan mengapa perilaku tersebut terbentuk; serta dilanjutkan dengan usaha X
untuk
memahami
keterkaitan
perilaku
dengan
keragaan
yang
ditimbulkannya. Dalam satu sistem yang berkelanjutan (proses), kin&ja pada
gilirannya
akan
kemudian
akan
mempengaruhi
struktur
kelembagaan karena unsur-unsur dari struktur berkembang sebagai akibat tingkat kinerja yang diperoleh.
Jika seluruh proses tersebut
mengarah kepada tujuan yang telah disepakati oleh unsur-unsur dalam lembaga
maka
kegiatan
yang
dilakukan
oleh
lembaga
dinilai
menunjukkan kemajuan. Dalam konteks struktur, terdapat satu aspek yang dinilai oleh para pemikir ekonomi kelembagaan memiliki pengaruh yang besar, yaitu aspek hak (rights atau property rights). Perbedaan, atau perubahan, struktur hak-hak pelaku dalam setiap kelembagaan merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap perilaku, dengan memperhatikan karakteristik interdependensi dan karakteristik sumberdaya (Schmid, 1987). Kajian mengenai koperasi tampaknya memiliki unsur-unsur dari kedua pendekatan diatas.
Sebagai lembaga ekonomi, yang menjadi
bagian dari kegiatan ekonomi (pasar), koperasi tentu menghadapi berbagai aspek dan termasuk dalam batasan teori yang dikembangkan oleh pendekatan neo-klasik.
Namun sebagai suatu lembaga yang
merniliki kekhususan, terutama berkaitan dengan prinsip-prinsip koperasi yang tidak hanya memiliki aspek ekonomi dan sejarah perkembangannya yang panjang, koperasi memiliki prakondisi yang sejalan dengan pendekatan yang dikembangkan oleh kelompok ekonomi kelembagaan. Pendekatan kelembagaan dalam analisa ekonomi koperasi diawali dengan pengembangan teori perilaku ekonomi
koperasi dwgan
memandang koperasi sebagai suatu koalisi. Pada pendekatan ini setiap pengambil keputusan diasumsikan rnemiliki kepentingan dan tujuan yang berbeda. Pada beberapa penelitian (Sexton, 1984) ditunjukkan bahwa antar anggota koperasi terdapat perbedaan tujuan dan heterogenitas koperasi merupakan kondisi dasar yang perlu dipergunakan sebagai asumsi dalam setiap analisa ekonomi koperasi.
Para pelaku dengan
tujuan yang berbeda tersebut kemudian membentuk suatu koalisi (sarana untuk bekerja sama) dalarn bentuk koperasi dalam rangka mencapai tujuan masing-masing.
Syarat keberhasilan koperasi sebagdi koalisi
adalah kemampuan para pengambil keputusan untuk menyusun suatu sasaran bersama dimana sasaran tersebut dapat menjadi mewujudkan tujuan masing-masing pelaku (Staatz, 1995). Sebagai ilustrasi misalkan terdapat koperasi yang memiliki empat orang pengambil keputusan dengan kepentingan dan tujuan yang berbeda : (1) seorang pengurus yang bertujuan untuk mencapai keberhasilan masa kepengurusannya dalam bentuk peningkatan jumlah aset
koperasi,
(2)
seorang
manajer
yang
bertujuan
untuk
memaksimumkan bonus yang akan diterimanya, (3) anggota A yang mengharapkan SHU yang maksimal, dan (4) anggota B yang
mengharapkan dapat membeli input bagi kegiatan produksinya dengan lebih rnurah. Keempat tujuan hipotetis tersebut cukup realistik dalam kegiatan usaha koperasi pada umumnya. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pencapaian masing-masing tujuan akan sangat ditentukan oleh besarnya nilai usaha (omset) koperasi. Semakin besar nilai usaha rnaka akan semakin besar pula kemungkinan pencapaian R
tujuan masing-masing pihak. menjadi
sasaran
bagi
Dengan demikian volume usaha' dapat
kegiatan
usaha
koperasi
yang
mampu
mengakomodasi tujuan dari seluruh pihak yang terlibat didalamnya. Walaupun memiliki bentuk sasaran yang sama (volume usaha) yang besar, kondisi tersebut memiliki alasan yang berbeda dengan perilaku
.
perusahaan
penyertaan
modal
(IOF)
yang
menjadikan
tujuan
memaksimumkan keuntungan sebagai tujuan bersama setiap unsur organisasinya. Pertanyaan selanjutnya dari pendekatan diatas adalah s'eberapa besar volume usaha yang harus dicapai oleh koperasi. Hal ini penting dalam praktek manajemen koperasi, dan menjadi semakin relevan jika diantara tujuan
para
pengambil keputusannya temyata terdapat
perbedaan kepentingan (conflict of interest).
Kondisi ini setidaknya
melahirkan dua aspek penting dalam pengambilan keputusan koperasi : (I) solusi optimalnya adalah kondisi "memuaskan (satisfying)", yaitu suatu kondisi yang dapat diterima oleh semua pihak yang berkepentingan; dan (2) aspek hak (property right) yang berimplikasi pada kemampuan pengambilan keputusan dari para pelaku akan sangat menentukan pencapaian kondisi atau kesepakatan optimal.
Aspek yang pertama
mendorong berkembangnya penerapan metode program tujuan ganda dan terutama teori permainan (goal programming and game theory) sebagai sarana pengambilan keputusan dalam koperasi, mengingat kedua metode tersebut memiliki kemampuan untuk mengakomodasi perilaku yang didasarkan pada tujuan yang heterogen pada koperasi. Aspek kedua mendorong tierkembangnya sistem kontrak e l a m koperasi, terutama yang menjelaskan hak dan kewajiban dari para pelaku pengarnbilan keputusan, yaitu kontrak untuk anggota, kontrak untuk pengurus, dan kontrak untuk manajer. Fulton (1995), menyatakan bahwa struktur hak (property rigth) adalah unsur sentral dalam koperasi sekaligus menjadi faktor pernbeda koperasi dengan badan hukum usaha lainnya (perusahaan penyertaan modal).
Hal ini misalnya dapat dilihat
dari perlakukan koperasi kepada aset. Koperasi yang berbasis kepada keanggotaan
(bukan
kepada
penyertaan
modal
modal)
akan
memberiknan imbalan tetap pada modal yang disertakan (fixed pay rate for capital) dan seluruh nilai lebih yang dihasilkan dari kegiatan usahanya diserahkan pada anggota.
.-.
Proses dan kinerja pengambilan keputusan juga akan sangat ditentukan oleh sistem dan pengaturan kontrak atau kesepakatan lain diantara pihak yang terlibat.
Kontrak dalam ha1 ini dapat dianggap
sebagai representasi formal dari kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam koperasi.
Bentuk kontrak yang berbeda akan rnengakibatkan
pengaturan pangarnbilan keputusan dan bentuk keputusan yang diarnbil akan berbeda pula. Williamson (1985) mengidentifikasikan kontrak yang berlaku di koperasi (AS) umumnya dapat dibedakan dalam dua bentuk :
kontrak yang rnenjelaskan proses untuk mengatasi perbedaan pendapat, disebut kontrak neoklasik (neoclassical contracting); dan kontrak yang menjelaskan kesepakatan untuk bekerjasama dalam jangka waktu tertentu dan proses yang dilakukan dalam kerjasama tersebut, disebut kontrak hubungan kerja (relational contracting).
'Staatz
(1987)
menunjukkan bahwa kontrak dapat memberikan insentif kepada petani
*
dalam berkoperasi dan implikasinya pada struktur hak kepernilikan (properfy rigths) dalam koperasi yang pada akhirnya mempengardhi kinerja koperasi.
2.6. Perkembangan Kelembagaan Koperasi
Kelembagaan suatu organisasi ekonomi perlu mendapat perhatian yang lebih besar. Berkaitan pandangan kelembagaan atas struktur hak kepemilikan dan perkembangan kegiatan koperasi,
.
Cook (1995)
menyatakan bahwa koperasi akan berkembang secara bertahap,'dirnana tantangan yang dihadapi pada setiap tahap adalah hasil dari pembahan struktur hak yang dialami pada tahap sebelumnya.
Cook mendasari
hipotesa yang diajukannya mengenai perkembangan koperasi pada hasil penelitian sendiri dan hasil penelitian lain serta data perkembangan koperasi pertanian dan pedesaan di Amerika Utara (AS dan Kanada) dari tahun 1951 hingga 1991. Kajiannya diawali dengan ketertarikan Cook pada arah perkembangan koperasi pertanian dan pedesaan pada masa yang akan datang, dan statistik diskriptif yang menunjukkan bahwa terdapat keragaman serta beberapa kesamaan diantara perkembangan
koperasi di Arnerika Utara, terutama jika dilihat dari proses yang dilalui oleh koperasi-koperasi yang telah berhasil pada awal tahun 1990-an. Disamping itu, walaupun nilai ekonomi koperasi masih meningkat dari tahun 1960-an hingga 1990-an narnun ha1 tersebut disurnbangkan oleh koperasi yang berbeda.
Artinya selama periode tersebut terdapat
koperasi yang berhenti berusaha, ada koperasi yang tetap bertahan, dan
*
ada koperasi-koperasi baru yang tumbuh. tersebut perlu dijelaskan lebih rinci.
Cook beranggapan Hal-ha1
Dalam ha1 ini walaupun cook
menelaah berbagai aspek perkernbangan usaha, tetapi penekanannya terutama adalah pada keterkaitan aspek kelembagaan koperasi dengan kinerja ekonomi yang dihasilkannya. Aspek-aspek seperti tujuan usaha dan peran para pengambil keputusan yang terlibat, serta volume usaha, nilai dan perturnbuhan, jumlah dan nilai usaha anggota, rnerupakan aspek-aspek sentral dalam pembahasannya. Pemikiran Cook didasarkan pada setidaknya tiga pe'mikiran sebelumnya yang juga berusaha menjelaskan proses perkembangan koperasi (Cook, 1995). Pertama, Helrnberger (1966) menyatakan bahwa perkembangan koperasi akan selalu "bergelombang" sesuai dengan perkembangan ekonomi masyarakat dimana koperasi itu berada. Cook menyebut pendapat ini sebagai 'wave-theory'.
Kedua, t e Vay (1983)
menyatakan bahwa koperasi yang didirikan dengan alasan untuk menghadapi kegagalan pasar kemungkinan akan menjadi tidak berguna. Setelah koperasi mernberikan jasanya kepada anggota sedemikian sehingga anggota tertarik untuk melakukan transaksi dengan koperasi, maka perusahaan pesaingnya akan bereaksi
dengan
berusaha
memberikan layanan dan harga yang lebih baik. Pada kondisi ini misi koperasi telah tercapai, dan ha1 yang diberikan oleh koperasi mungkin menjadi 'redundant' dan beberapa koperasi dapat 'hilang' karena alasan ini. Namun beberapa koperasi lain mungkin juga akan tetap bertahan karena memang mampu lebih efisien dan mampu memberikan insentif lebih kepada anggota dibandingkan dengan perusahaan pesaingnya. X
Ketiga, Staatz (1987) rnenyatakan bahwa perusahaan penyertaan modal (IOF) umumnya lebih bersifat 'opportunist' dibandingkan koperasi pada kondisi pasar yang statik atau menurun. Hal ini dapat menjadi daya tarik lain dari koperasi untuk tetap mendapat apresiasi dari anggotanya. Dalam rentang 40 tahun yang diamati beberapa koperasi lahir, tumbuh, dan berkembang, serta beberapa koperasi tutup, 'hilang' atau tidak tercatat lagi. Kesimpulan pertama dari pengamatan Cook adalah bahwa
koperasi
menunjukkan
perkembangan
jika
dilihat
dari
pertumbuhan nilai usaha dan perkembangan tersebut tidak berhubungan dengan waktu. Beberapa koperasi' marnpu mencapai suatu tingkat nilai usaha dalam lima atau sepuluh tahun sedangkan koperasi yang lain mencapai tingkatan yang sama dalam dua puluh atau tiga puluh tahun. Beberapa koperasi berkembang baik untuk lima hingga sepuluh tahun tetapi kemudian tutup dan menghilang tanpa didahului oleh penurunan kinerja usaha, sedangkan beberapa koperasi lain mengalami ha1 yang sama tetapi didahului oleh berbagai indikasi penurunan kinerja dan \
koperasi yang bersangkutan kemudian ditinggalkan oleh anggotanya.
Cook ddak menyatakan ielas jumlah koperasl yang memlllkl perkembangan sepettl yang dlgambarkannya.
Hipotesa Cook rnenyirnpulkan bahwa perkernbangan koperasi, khususnya koperasi pertanian rnengikuti empat tahap, dirnana dua tahap adalah tahap 'keseirnbangan' dan dua tahap lainnya adalah tahap 'ketidak-seimbangan' (Gambar 5). Koperasi pertanian di Amerika umumnya dikembangkan atas dasar dua pertirnbangan pokok. Pertama, untuk mengatur mengendalikan produksi dan pasokan diantara para X
produsen sehingga produsen tidak saling bersaing.
~edua,'untuk
menghirnpun para produsen (petani) guna menghadapi pasar yang tidak sempurna dalarn rnonopoli atau oligopoli pada pasar sarana produksi dan monopsoni atau oligopsoni pada pasar produk.
Kedua alasan
tersebut pada dasarnya adalah usaha petani produsen atas inisiatif
.
sendiri untuk berarna-sama berusaha bertahan menghadapi kesulitan usaha yang dihadapi, sehingga pada kondisi ini koperasi berada pada "tahap defensif'.
Hasil yang diharapkan dari koperasi pada tahap ini
adalah peningkatan kekuatan rebut tawar petani (anggota) yang diwujudkan dalam bentuk tindakan dan perilaku usaha koperasi. Tahap defensif ini urnurnnya adalah tahap yang tidak atau belum stabil, atau belum berada pada keseimbangan. Cook menunjukan bahwa struktur organisasi koperasi pada tahap ini umumnya rnasih sangat beragam, belum adanya jenis usaha utama yang solid, jenis usaha umumnya mengikuti jenis usaha anggota, perilaku usaha lebih banyak ditentukan oleh peluang-peluang jangka pendek dan belum dimiliki rencana jangka panjang, aturan dan tata-tertib organisasi lemah atau mudah berubah, serta pengurus dan manajernen mudah berganti.
Koperasi yang dibentuk atas dasar pertimbangan mengatur pasokan diantara produsen hampir seluruhnya tidak berkembang lebih lanjut : menjadi stagnan atau tutup.
Koperasi yang berpeluang untuk
terus berkembang adalah koperasi yang didasarkan pada usaha untuk mengatasi kegagalan pasar. Mengikuti pemikiran LeVay dikemukakan sebelumnya, koperasi yang tidak bertahan adalah koperasi yang mampu X
menghadapi reaksi dari pesaing yang memperbaiki pelayanan dan'harga sehingga tetap mendapat apresiasi dari anggota. Koperasi yang berhasil tersebut kemudian memasuku tahap "alternatif", yaitu sebagai alternatif lembaga usaha yang mampu metayani anggota, disamping para pelaku usaha lain.
.
Dalam ha1 ini kinerja usaha yang diharapkan adalah
kemampuan untuk memberikan insentif ekonomi khusus bagi anggota yang
menjadikan koperasi
mampu memberikan manfaat khusus
dibandingkan pelaku usaha lain. Manfaat khusus tersebut dapat berupa diskriminasi harga positif, sisa hasil usaha, atau bentuk manfaat lain. Pada tahap ini kelernbagaan koperasi berada pada kondisi yang lebih stabil dan mantap.
Umumnya telah terbentuk keseimbangan dalam
manajemen dan alokasi sumberdaya.
Aturan dan organisasi lebih
mapan, umumnya berbentuk sistem kerja divisional, dan personal manajemen baik pengurus rnaupun manajer, memiliki program yang jelas. Catatan penting dari kesimpulan Cook adalah bahwa koperasi pertanian yang mampu bertahan dan berkembang pada tahap alternatif adalah koperasi yang menerapkan pemikiran Sapiro (Californian School), yaitu koperasi menjadi wahana petani produsen menguasai kegiatan hilir lanjutan dari sistem komoditas yang dilakukan untuk mendapatkan nilai
tambah yang lebih besar. Dengan perkataan lain, koperasi pertanian yang berhasil adalah koperasi yang melakukan bisnis pada kegiatan agribisnis hilir dari kegiatan pertanian anggotanya. Koperasi pertanian di Amerika banyak yang bertahan pada tahap ini dalam jangka waktu yang cukup lama. Beberapa diantaranya tidak menunjukkan perkembangan yang tinggi dalam kinerja usahanya&ahkan cenderung stagnan. Dilain pihak diantaranya telah berkembang rnenjadi usaha skala besar tetapi dalam jumlah yang kurang lebih sarna juga justru gagal dan berhenti berusaha. Menurut Cook, pernikiran Helmberger dan LeVay yang didasarkan pada disiplin ilrnu ekonomi neo-klasik tidak berhasil menjelaskan fenomena tersebut secara rnantap. alternatifnya,
Cook
menjelaskan perkembangan tersebut
Sebagai dengan
menggunakan kerangka pemikiran ekonomi kelernbagaan. Menurut Cook pada saat koperasi telah berlaku sebagai perusahaan (pada tahap 'alternatif) perkembangan usahanya akan menimbulkan masalah kelembagaan yang serius. Perturnbuhan volume usaha, pelayanan, dan keuntungan koperasi pada tahap sebelumnya akan
mernungkinkan
koperasi
merniliki
kinerja
serupa
dengan
perusahaan lainnya. Biaya transaksi antara anggota dengan koperasi dan anggota dengan perusahaan lain non-koperasi akan relatif menjadi tidak berbeda, sehingga biaya transaksi ini akan semakin sulit untuk rnenjadi faktor yang menentukan perbedaan antara koperasi dengan perusahaan lain. Layanan, sisa hasil usaha {residual claims), dan keikutsertaan dalam pengambilan keputusan bagi semua orang (one man one
vote) justru akan menjadi faktor yang lebih menentukan dalam rnenjarnin
loyalitas anggota kepada koperasi.
Ketiga faktor tersebut kemudian
akan sangat ditentukan oleh pengaturan dari hak dan kewajian (set-up of
the property rights) diantara anggota, pada para pengurus, dan rnanajer. Ketidak-jelasan
pengaturan
hak
dan
kewajiban
tersebut
akan
menimbulkan beberapa masalah sebagai berikut. fertama, masalah "penunggang-bebas" atau free-rider. Maplah ini timbul jika hak dan kewajiban tidak cukup kuat atau cukup jelas pengaturannya untuk mencegah pemanfaatan koperasi yang tidak disertai dengan menanggung biaya.
Misalnya, masalah yang timbul
karena sifat keanggotaan yang terbuka.
Pada saat koperasi marnpu
mendapatkan harga produk yang baik maka akan anggota baru akan banyak masuk ke koperasi. Akibatnya pasokan koperasi meningkat dan akan rnenurunkan harga.
Pada saat harga turun para anggota tadi
kemudian keluar dari koperas~. Contoh lain adalah pada saat koperasi akan melakukan.kontrak dengan suatu mitra usaha. Negosiasi dilakukan dengan rnenggunakan basis produksi seluruh anggota, dan anggota berusaha memastikan bahwa produknya disertakan dalam negosiasi tersebut. Setelah kontrak diperoleh rnaka jika harga di pasar lebih rendah dari harga kontrak anggota akan menjual melalui koperasi, tetapi jika harga pasar lebih tinggi dari harga kontrak maka anggota menjual produknya ke pasar sehingga koperasi tidak dapat rnemenuhi kontraknya dan harus membayar penalti. Bentuk masalah 'free-rider' yang
lain
adalah
dalam
ha1
mernperoleh SHU. Pada saat koperasi sudah menjadi perusahaan yang
besar, rnaka unit SHU yang dibagikan per aktivitas umumnya juga besar. Pada kondisi non-diskriminatif para anggota baru akan memperoleh unit SHU yang sarna dengan anggota lama, padahat anggota-lamalah sebenarnya yang membesarkan koperasi tersebut.
Misalnya, unit SHU
yang dibagikan untuk tahun 1980 adalah $100 per ton transaksi produk. Anggota yang baru rnasuk pada. tahun 1980 tetapi memiliki 5000 ton X
produk yang ditransaksikan dengan koperasi akan rnenerima SHU lebih besar dari pada anggota yang telah turut rnembesarkan koperasi tetapi hanya merniliki 1000 ton produk. Hal ini akan potensial menimbulkan konflik antar generasi dan menjadi bentuk disinsentif untuk loyal kepada koperasi. Kedua, masalah kontrol.
Berkembangnya usaha koperasi
umumnya tidak hanya menyangkut peningkatan skala usaha (business
scale) tetapi juga cakupan usaha (business scope) baik dalam ha1 produk, wilayah, maupun waktu, dan pada gilirannya memperluas' lingkup manajemen.
Hal ini akan meningkatkan peran manajer dan pengurus.
Jika ha1 ini disertai dengan perbedaan kemampuan mendapat inforrnasi serta ketidak-sempurnaan sistem pemantauan dan pengawasan maka kontrol terhadap kegiatan usaha akan berkurang.
Akibatnya anggota
akan menjadi sangat tergantung pada manajemen, baik dalam ha1 kewajiban yang harus dilakukan maupun manfaat yang akan diterima. Model pengelolaan atas dasar "kepercayaannsemata seperti ini bersifat rentan dan peka terhadap masalah disinformasi dan konflik personal. Ketiga, masalah "biaya-mempengaruhi" (influence cost). Berkaitan dengan masalah diatas, peningkatan skala usaha dan cakupan usaha
mengakibatkan berkernbangnya kegiatan yang dilakukan koperasi. Pada kondisi tujuan yang beragarn diantara para pengarnbil keputusannya serta ketidak-merataan informas;, dapat tirnbul potensi kegiatan usaha untuk mernpengaruhi pengambilan keputusan (lobi, pendekatan, mosi, dan sebagainya) yang
dapat
menirnbulkan perselisihan. Usaha
mempengaruhi pengambilan keputusan, yang
rnenirnbulkan biaya t
rnernpengaruhi, dalam suatu organbisasi akan timbul jika keputusan tersebut berpengaruh pada
distribusi kesejahteraan dan terdabat
perbedaan kepentingan diantara anggota organisasi.
Besarnya biaya
akan .tergantung pada keberadaan otoritas, prosedur pengarnbilan keputusan, dan tingkat keragaman atau konflik kepentingan, serta inforrnasi yang dimiliki.
Jika kernarnpuan untuk membiayai-pengaruh
tidak sarna, dan ha1 ini adalah ha1 yang urnum terjadi pada koperasi dengan keanggotaan yang terbuka, maka kondisi demikian akan menjadi surnber potensi konflik. Cook menyatakan bahwa pada tahap ini koperasi mengalami tahap masalah penataan struktur hak. Justru karena koperasi telah menjadi sarana untuk memperoleh kesejahteraan (kekayaanlwealth) maka pengaturan rnengenai kedudukan anggota, kedudukan
manajer,
dan
proses
kedudukan pengurus,
pengambilan keputusan
yang
menyertainya menjadi penting untuk diperhatikan derni kelangsungkan usaha koperasi itu sendiri
Tahap ini merupakan tahap ketidak-
seimbangan yang membutuhkan proses penanganan kelembagaan yang sesuai. Jika koperasi tidak mampu keluar dari masalah ini maka koperasi yang bersangkutan akan stagnan dan pada gilirannya akan ditinggalkan
oleh anggota.
Beberapa koperasi
berhasil rnengatasi masalah ini
dengan membatasi jumlah anggota dan rnengadakan kontrak yang jelas baik dengan pengurus, manajer maupun anggota. Jika koperasi mampu mengatasi masalah pada tahap penataan struktur hak, maka koperasi kan memasuki tahap usaha yang berkelanjutan (sustainable business), dimana tantangan yang dihqdapi adalah kemampuan manajernen yang berkelanjutan pula. Dalam ha1 ini umumnya faktor kegagalan tidak lagi ditentukan oleh aspek-aspek internal keorganisasian tetapi lebih oleh kemampuan manajemen menghadapi lingkungan bisnis. Dalam tahap ini prinsip koperasi telah berjalan dengan mantap, dan koperasi tidak lagi kelemahan (handicap) karena sifat kelembagaannya. Goldsmith (1995) menyatakan bahwa teori Cook menawarkan suatu pandangan modern yang berbeda atas perusahaan koperasi yang lebih sesuai dengan perkembangan baru dalam kegiatan usaha koperasi sekaligus dalam perkembangan teori koperasi. Kajian yang dilakukan Cook juga secara tegas mengembangkan pemikiran dari asurnsi yang diperbaharui mengenai koperasi. Misalnya, Cook mengasumsikan bahwa keanggotaan koperasi adalah heterogen, bahwa optimasi koperasi tidak terpisah dengan optimasi tingkat usaha anggota, bahwa suasana demokratik tidak sekedar dibatasi oleh ketentuan pengambilan keputusan dengan sistem satu orang satu suara; dan bahwa informasi memang bersifat asjmetrik dan kondisi ini mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Cook juga telah menerapkan perilaku koperasi dalam konteks perilaku manajerial yang berdasarkan pada analisa manajemen strategis.
Hal ini kiranya rnerupakan pendekatan yang lebih tepat dalam rnenempatkan koperasi sebagai lembaga usaha modern bersama bentuk lembaga usaha lainnya.
2.7. Sejarah dan Perkembangan Koperasi Unit Desa Pemikiran untuk mewujudkan sistem ekonomi yang berasaskan kekeluargaan telah lama diata-citakan oleh bangsa lndonesia untuk menggantikan secara fundamental sistem kapitalis yang dilaksanakan kolonialis (Nasutiopn, 1990).
Kekeluargaan dapat diartikan sebagai
suatu bentuk organisasi yang unsur-unsurnya terikat pada suatu aturan
.
yang dibuat bersama dalam hikmah musyawarah mufakat, bekerja untuk tujuan bersama, dan memperoleh manfaat sesuai dengan peran sertanya dalam organisasi (Suwandi, 1982; Suwardi, 1994). Sejarah perkoperasian di lndonesia dimulai dengan didi;ikannya bank bantuan dan tabungan pegawai bangsa lndonesia (Spaark bank voor-lnlandsche bestuurs ambtenaren) oleh R. Bei Aria Wiria Atmadja (patih di Purwokerto) pada tahun 1895 (Suwandi, 1987; Sagimun, 1987). Pendirian bank tersebut ditujukan untuk membantu pegawai negeri bumi putera, petani, dan tukang. Oleh karena itu bank tersebut rnendapat julukan De Vader van de Landbouw Crediet Bank. Memang pada waktu itu Patih Wiria Atmadja tidak pernah menamakannya dengan koperasi, tetapi prinsip dasar yang dianut oleh bank tersebut yang dikenal sebagai swadaya (self help) adalah prinsip dasar koperasi (Nasution, 1990).
Pada tahun 1908, dr. R. Sutomo mendirikan Perkumpulan Budi Utomo, yang di bidang ekonomi menggerakkan masyarakat dengan prinsip-prinsip koperasi melalui pendirian koperasi-koperasi konsumsi. Demikian juga
H.O.S. Tjokroaminoto mendirikan Syarekat Dagang
Islam (SDI) pada tahun 1912. gerakan
politik,
juga
SDI berperan di samping sebagai
merupakan
gerakan
ekonomis
*yang
mengembangkan koperasi-koperasi simpan-pinjam tipe Schoolze. Bank pertama yang menamakan dirinya koperasi lahir di desa Bontoran Kabupaten Tulungagung Jawa Timur pada tahun 1915, yang kemudian dikenal sebagai Rochdale Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya, antara tahun 1931
-
1937 Niti
Sumantri mendirikan koperasi usaha desa atau koperasi serba usaha yang pertama di Sukabumi, bahkan koperasi serba usaha yang pertama di Indonesia. Pada tahun 1937
-
1942, ia dipilih menjadi ketua Central
Cooperative Bandung (CCB), yang selanjutnya ia juga sebag4 pendiri dan terpilih menjadi ketua yang pertama pada Bank Koperasi Propinsi Jawa Barat (BKP). Sumantri bersama dengan tokoh koperasi lainnya seperti R.M. Margono Djojohadikoesoemo dan Prof.lr. Teko Sumodiwiryo menyelenggarakan Kongres Koperasi Ke-i pada bulan Juli 1947 di Tasikmalaya. Dalam kongres itu dibentuk Sentral Organisasi Koperasi Rakyat indonesia (SOKRI) dan Niti Sumantri juga terpilih menjadi Ketuanya yang pertama. Satu ha1 yang masuk dalam catatan sejarah adalah dalam kongres diputuskan tanggal 12 Juli menjadi sebagai Hari
Dalam untalan sejarah perkoperasian, tercatat dengan tinta emas tokoh pejuang kemerdekaan yang sejak awal perjuangan memperjuangkan tegak berdirinya koperasi Indonesia, yaitu Muhammad Hatta (Bung Hatta), yang lahir pada tanggal 12 Agustus 1902. Beliau dikenal juga sebagai demokrasi
pendekar
kedaulatan rakyat
politik, demokrasi
ekonomi
Indonesia, pendekar
Indonesia,
dan berperan I
sebagai arsitek Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Oleh sebab itu Bung Hatta lebih dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia. Pada tahun 1955 kedudukan koperasi dalam sistem perekonomian lndonesia semakin jelas, seperti yang tercantum dalam Pasal 38 ayat 1 Undang-Undang Sementara Tahun 1955, yaitu sebagai salah satu
.
pelaku dalam sistem demokrasi ekonomi.
Koperasi pada masa itu
diberikan banyak fasilitas untuk berkembang, seperti pemberian hak monopoli beberapa jenis barang impor dan penyaluran bahan-bahan konsumsi (Nasution, 1990). Latar
belakang kelahiran
koperasi
di
lndonesia
dengan kelahiran koperasi di negara-negara Barat.
berbeda
Perbedaannya
terletak pada tiga hal, yaitu : Pertama, koperasi lndonesia lahir pada zaman penjajahan atau zaman kolonialisme dan feodalisme, karena itu semangat yang ada dalam koperasi lndonesia
bertujuan untuk
menyingkirkan kolonialisme dan feodalisme yang berbentuk kapitalisme dan imperialisme secara fundamental.
Kedua, koperasi lndonesia
berangkat dari budaya asli Indonesia, yaitu sifat kolektifisme atau gotong-royong. agama.
Ketiga, Koperasi lndonesia memiliki dasar moralitas
Dengan demikian yang mendasari prinsip-prinsip koperasi
Indonesia adalah : (a) asas kekeluargaan dan gotong-royong; (b) swadaya, swakerta, dan swasembada, sebagai pencerminan prinsip dasar percaya pada diri sendiri; (c) pengembangan daerah kerja; dan (d) ketatalaksanaan yang terbuka (Nasution, 1990). Dalam periode 1960 sampai dengan 1965, undang-undang dan beberapa peraturan dikeluarkan dalam rangka pembangunan koperasi, tetapi baik undang-undang maupun peraturan-peraturan tersebut lebih diarahkan pada kepentingan politik dari golongan-golongan tertentu dan menempatkan koperasi sebagai bagian tertentu dalam sistem ekonomi yang cenderung bersifat etatisme. angin baru bagi
gerakan koperasi
Tahun 1967 membawa
di Indonesia,
yaitu dengan
diterbitkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1967 tentang PokokPokok Perkoperasian. Penjabaran UU Nomor 1211967 khususnya yang menyangkut pembangunan pedesaan dinyatakan dalarn kebijaksanaan pemerintah melalui lnstruksi Presiden Nornor 4 Tahun 1973 (Inpres No. 411973) tentang Pengaturan dan Pembinaan Badan Usaha Unit Desa (BUUD). BUUD ini adalah bibit dasar KUD. lnpres No. 411973 berlatar belakang dari keberhasilan serangkaian
pilot
proyek
koperasi pertanian
(Koperta) pada tahun 1965 sampai dengan tahun 1967
di D.I.
Yogyakarta, pilot proyek bimbingan masal (Bimas) pada tahun 1967 di Karawang, Bimas swasembada bahan makanan pada tahun 1967-1968, dan Bimas yang disempurnakan (Bimas unit desa) pada tahun 1969 (Nasution, 1990).
Perubahan status BUUD menjadi KUD (Inpres 211978) menjadikan KUD bukan lagi sebagai koperasi pertanian, tetapi menjadi koperasi serba usaha. Keanggotaan menjadi terbuka bagi semua warga desa yang bidang usahanya sangat beragam, yang berarti beragam pula kebutuhannya. Hal tersebut menyebabkan KUD sulit menjadi organisasi ekonorni
yang profesional,
karena
profesionalisme memerlukan X
spesialisasi dan bukan generalisasi (Nasution, 1990). Peranan Pemerintah dalam pembangunan koperasi sernakin nyata dengan dikeluarkannya lnpres No. 4 Tahun 1984 tentang Pembinaan dan Pengembangan Koperasi Unit Desa. dalam organisasi KUD semakin kuat.
Penetrasi birokratisasi ke
Hal ini terlihat dari semakin
terintegrasinya program-program pembangunan pedesaan ke dalam KUD, dibentuknya lembaga tambahan yaitu Badan Pembirnbing dan Pelindung KUD (BPP KUD) serta menginstruksikan 12 Menteri, Gubernur Bank Indonesia, Kepala Badan Urusan Logistik, dan semua Gbbernur Kepala Daerah Tingkat I untuk membina KUD. Irnplikasinya, KUD adalah sebagai agen pemerintah untuk mempercepat pembangunan pedesaan. Keterlibatan pemerintah dalam pernbangunan koperasi pada dasarnya rnerupakan amanah oleh kedudukan dan peranannya dalarn sistem demokrasi ekonomi Indonesia.
Dalam sistern ini pemerintah
merupakan pihak eksekutip yang berperan sebagai pelaku ekonomi pasif. Tugas dan tanggung jawab pemerintah adalah rnenyelaraskan dan rnenyeimbangkan aktivitas ketiga pelaku ekonomi aktif (swasta, koperasi, dan badan usaha milik negara) agar fungsi dan tanggung jawabnya sesuai dengan makna dari Pasa 33 UUD 1945, serta agar
yang satu tidak mengurangi eksistensi yang lain. perencanaan pembangunan
Di samping itu,
yang indikatif yang ditunjukkan
oleh
pembangunan ekonomi sektoral berimplikasi pada pengendalian secara aktif kegiatan pembangunan (Nasution, 1990). Kegiatan pemerintah dalam pembangunan perkoperasian adalah dengan menggunakan ketentuan ' hukum dan peraturan pemerptah dirangkaikan dengan program pembangunan nasional terutama program pembangunan pertanian menjadi program pembangunan perkoperasian. Program pembangunan perkoperasian pada umumnya dibagi dalam tiga aspek pembinaan, yaitu dalam bidang usaha, bidang kelembagaan, dan lingkungan.
Dari ketiga aspek pembinaan pemerintah ini diharapkan
akan dapat menggerakkan kelima faktor
internal
KUD, yaitu (1)
keberhasilan usaha; (2) pencapaian target; (3) pelayanan kepada anggota,
(4)
partisipasi
aktif
anggota,
dan
(5)
meningkatkan
pertumbuhan anggota. Jika kelima unsur ini dapat berinteraksi'secara positif, maka sasaran akhir koperasi dapat tercapai, yaitu meningkatkan kesejahteraan anggota (member promotion).
Keberhasilan koperasi
dapat dilihat keragaannya yang dinyatakan dalam tiga kriteria, yaitu tingkat
pertumbuhan
koperasi
(Cooperative
growth),
besarnya
sumbangan koperasi sebagai pangsa pasar (Cooperative share), dan dampak koperasi (Cooperative effect). Jika dilihat dari sejarah perkembangan koperasi di Indonesia dapat dikatakan bahwa koperasi (sebagai organisasi) telah melewati empat periode :
Periode I. Masa Sebelum Kemerdekaan. Pada tahap ini koperasi telah menjadi alat perjuangan politik dan perjuangan sosial-ekonomi melawan penjajah.
Aspek kemandirian dan membangun kekuatan
bersama sangat mewarnai perilaku organisasi dan pengembangan kegiatan koperasi. Periode II. Setelah Kemerdekaan hingga UU no. 1211967. *Pads tahap ini koperasi banyak menjadi ajang mencari dukungan dan memberi pengaruh kepada rakyat oleh kekuatan-kekuatan politik yang ada pada masa itu. Aspek sosial dalam organisasi koperasi ditonjolkan, guna memberi legitimasi bagi aspek politik, dan kedua aspek tersebut dijadikan prasyarat bagi pencapaian fungsi ekonomi koperasi. Periode Ill. Sejak UU no.1211967 hingga UU no. 2511992. Pada tahap ini koperasi menjadi bagian dari usaha untuk memenuhi kebutuhankebutuhan dasar masyarakat, khususnya pangan. Pada periode ini KUD dibentuk dan mendapat tugas untuk mendukung usaha pqcapaian swasembada
pangan
(beras)
sekaligus
sebagai
wahana
untuk
menumbuhkan kegiatan ekonomi rakyat di pedesaan. Pada periode ini pendekatan-pendekatan program yang terencana secara terpusat dan peran pemerintah yang besar banyak mewarnai kegiatan KUD. Periode IV. Mulai UU 2511992 hingga sekarang. Pada periode ini koperasi, termasuk KUD berada dalam lingkungan yang berubah dinamis. Pembangunan nasional Indonesia memasuki PJP II, pendapatan dan kesadaran masyarakat (anggota koperasi) meningkat, dunia memasuki era kesejagatan, dan keunggulan menjadi keharusan untuk dapat bertahan dan berkembang.
Setiap periode diatas memiliki pembenaran historis masingmasing, dan sesuai dengan ha1 tersebut sesuatu yang dinilai tepat pada suatu periode belum tentu tepat untuk periode yang lain.
Dalam ha1 ini
KUD dikembangkan sebagai salah satu bentuk penjabaran UU no 1211967, yang dikaitkan pembangunan pedesaan, dan dinyatakan dalam kebijaksanaan pemerintah melalui. lnstruksi Presiden Nomor 4 Tahun Y
1973 (Inpres No. 411973) tentang Pengaturan dan Pembinaan Badan Usaha Unit Desa (BUUD). BUUD ini adalah bibit dasar KUD (~asutidn, 1990). lnpres No. 411973 sendiri berlatar belakang dari keberhasilan serangkaian pilot proyek koperasi pertanian (Koperta) pada tahun 1965 sampai dengan tahun 1967 di D.I. Yogyakarta, pilot proyek bimbingan
.
masal (Bimas) pada tahun 1967 di Karawang, Bimas swasembada bahan makanan pada tahun 1967-1968, dan Bimas yang disempurnakan (Bimas unit desa) pada tahun 1969. Tujuan dari semua pilot proyek tersebut adalah pembentukan ketembagaan sebagai sarana pendukung untuk mewujudkan swasembada pangan terutama padi, dengan empat tugas pokok, yaitu
penyuluhan pertanian yang dilaksanakan oleh
penyuluh pertanian lapang (PPL), penyediaan modal yang dilaksanakan oleh Bank Rakyat Indonesia Unit Desa (BRI Udes), penyediaan sarana produksi padi (Saprodi) oleh kios-kios koperasi pertanian (kios Koperta), dan pengolahan dan pemasaran oleh Koperta. Dengan empat tugas pokok di atas sebenamya program BUUD merupakan program terpadu dalam satu sistem
kelembagaan,
yang dalam
kerjanya
tetap
memperhatikan aspek sosial, ekonomi, dan budaya sebagai pengikat. lkatan sosial dan budaya inilah yang terabaikan dalam pengalihan
BUUD menjadi KUD yang dilakukan dengan mengamalgamasikan Koperta di setiap desa dalam satu wilayah unit desa. Perubahan status BUUD menjadi KUD (Inpres 211978) menjadikan KUD bukan lagi sebagai koperasi pertanian, tetapi menjadi koperasi serba usaha. Keanggotaan menjadi terbuka bagi semua warga desa yang bidang usahanya sangat beragam, yang berarti beragam pula kebutuhannya. Hal tersebut dinilai menjadi penyebab KUD sulit menjadi organisasi
ekonomi
yang
profesional,
karena pada umumnya
profesionalisme memerlukan spesialisasi dan
bukan generalisasi
(Nasution, 1990). Peranan pemerintah dalam KUD tidak berhenti hanya dengan menetapkan peraturan perundangan dalam pembentukan KUD tetapi juga dalam mengembangkan kegiatan dan organisasinya. Selama Pelita ke-ll pemberian prioritas kepada KUD diwujudkan dalam bentuk kegiatan yang terkait dengan program peningkatan produksi pertanian. Program ini memang berhasil mendukung terwujudnya peningkatan produksi dan pendapatan di pedesaan, tetapi belum mampu memperbaiki distribusi pendapatan
dalam
masyarakat.
Peranan
Pemerintah
dalam
pembangunan koperasi kemudian menjadi semakin nyata dengan dikeluarkannya lnpres No. 4 Tahun 1984 tentang Pembinaan dan Pengembangan Koperasi Unit Desa. Penetrasi birokratisasi ke dalam organisasi KUD semakin kuat.
Hal ini terlihat
dari semakin
terintegrasinya program-program pembangunan pedesaan ke dalam KUD, dibentuknya lembaga tambahan yaitu Badan Pembimbing dan Pelindung KUD (BPP KUD) serta menginstruksikan 12 Menteri, Gubernur
Bank Indonesia, Kepala Badan Urusan Logistik, dan semua Gubernur Kepala Daerah Tingkat I untuk rnernbina KUD. Keikutsertaan pemerintah dalarn pernbinaan koperasi pada dasarnya merupakan arnanah oleh kedudukan dan peranannya dalarn sistern demokrasi ekonomi Indonesia (Nasution, 1990). Dalam sistern ini pemerintah merupakan pihak eksekutip yang berperan sebagai wlaku ekonomi pasif.
Tugas dan tanggung jawab pemerintah adalah
menyelaraskan dan menyeimbangkan aktivitas ketiga pelaku ekonorni aktif (swasta, koperasi, dan badan usaha milik negara) agar fungsi dan tanggung jawabnya sesuai dengan makna dari Pasa 33 UUD 1945, serta agar yang satu tidak mengurangi eksistensi yang lain. perencanaan pembangunan
yang
Di samping itu,
indikatif yang ditunjukkan
oleh
pembangunan ekonomi sektoral berimplikasi pada pengendalian secara aktif kegiatan pernbangunan. Kegiatan pemerintah dalam pembangunan perkoperasian adalah .
dengan menggunakan ketentuan hukum dan peraturan pemerintah dirangkaikan dengan program pembangunan nasional terutama program pembangunan pertanian rnenjadi program pembangunan perkoperasian. Program pembangunan perkoperasian pada umumnya dibagi dalam tiga aspek pembinaan, yaitu dalam bidang usaha, bidang kelembagaan, dan lingkungan. Dari ketiga aspek pernbinaan pemerintah ini diharapkan akan dapat menggerakkan kelima faktor
internal
KUD, yaitu (1)
keberhasilan usaha; (2) pencapaian target; (3) pelayanan kepada anggota,
(4)
partisipasi aktif
anggota, dan
(5)
meningkatkan
perturnbuhan anggota. Jika kelirna unsur ini dapat berinteraksi secara
.
positif, maka sasaran akhir koperasi dapat tercapai, yaitu meningkatkan kesejahteraan anggota. Pola pembinaan koperasi dalam arti luas telah terangkum dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1967, yaitu : sebagai pembina dalarn arti memberikan masukan-masukan yang bermanfaat bagi pembangunan koperasi; seba$ai pengawas dalam arti mengawasi jalannya koperasi sesuai dengan peranan dan tanggung jawab koperasi dalam pembangunan ekonomi masyarakat; sebagai pengarah dalam arti mengarahkan pembangunan koperasi pada kegiatan-kegiatan yang bermanfaat langsung bagi para anggota dan masyarakat desa, serta sebagai penyedia sarana, dalam arti rnernberikan fasilitas dan peluang bagi koperasi untuk mengembangkan usahanya. Dalam penjelasan pasal 37 UU No.12 Tahun 1967 dipertegas bahwa bantuan pernerintah diberikan benar-benar sesuai dengan yang diperlukan dan dengan persyaratan tertentu, misalnya, untuk sekali saja, atau untuk sementara secara berangsur-angsur dikurangi sesuai dengan pertumbuhan kemampuan send~ri.Dalarn mukadimah UU No.12 Tahun 1967 juga dikatakan bahwa peranan pemerintah yang terlalu jauh dalam mengatur masalah perkoperastan akan menghambat langkah, mernbatasi
sifat-sifat
keswadayaan,
keswasernbadaan,
dan
keswakertaan yang sesungguhnya merupakan unsur pokok dari asas percaya pada diri sendiri yang dianut koperasi. Sebagai salah satu unsur pelaksana
dari pemerintah di bidang pembinaan, birnbingan, dan
pengawasan sejak tahun 1983 melalui Keputusan Presiden No. 451M Tahun 1983 tentang Kabinet Pernbangunan IV, ditetapkan Departernen
Koperasi secara tersendiri. Dengan ditetapkannya Departemen Koperasi secara tersendiri diharapkan akan dapat meningkatkan lagi keragaan koperasi yang telah dicapai pada pelita-pelita sebelumnya. KUD sendiri kemudian dikembangkan dengan pola pembangunan yang berbeda dengan pola pembangunan non-KUD. Perbedaan utama pola pembinaan KUD dan non-KUD adalah pada tahapan-tahgpan pernbinaannya. Pola pembinaan KUD dapat digambarkan dalarn tiga tahap sebagai berikut (Nasution, 1990) : Pertama, tahap ofisialisasi; pada tahap ini peranan pemerintah sangat besar, sebagai konseptor dan promotor, pengambil inisiatif berdirinya KUD, dan terlibat secara langsung dalam
pengendalian organisasi
dan
kegiatan
usaha.
pemerintah juga menyediakan berbagai fasilitas, seperti peralatan dan pergudangan, serta menyediakan seluruh pembiayaan kredit yang menjadi modal KUD. Kedua, tahap deofisialisasildebirokratisasi; dalam tahap ini peranan pemerintah mulai dikurangi,
sedangkan tahggung
jawab dan peranan koperasi (keswadayaan) ditingkatkan, karena dilihat dari jangkauan waktu, koperasi sudah menghimpun pengetahuan, pengalaman, dan kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Dengan dernikian berbagai keputusan sudah harus diambil oleh koperasi sendiri, tanpa menggantungkan diri pada pernerintah, seperti pembentukan pengurus, badan perneriksa, pengangkatanlpemberhentian karyawan,
pengendalianlpengawasan,
penyusunan
kegiatan usaha, dan pembinaan organisasi.
perencanaan,
Ketiga, tahap otonomi;
dalam tahap ini (a) peranan pemerintah semakin kecil, (b) kerjasama antar-koperasi baik secara horisontal maupun vertikal telah berjalan
secara efektif, dan (c) tatanan organisasi koperasi sudah tersusun sebagai mata rantai yang saling berhubungan satu sama lainnya. Dasar pembinaan dan pengembangan KUD pendekatannya dilakukan melalui empat matra, yaitu (1) Proses, karena perkembangan KUD merupakan rentetan perubahan kearah kemajuan, (2) Metoda, yang
disesuaikan dengan perkembangall KUD berdasarkan keadaan lingkungan, swakarta, swadaya, dan swasembada, (3) Program, yang menyangkut kepentingan dan kebutuhan masyarakat pedesaan, dan (4) Gerakan, ialah restrukturisasi ekonomi yang diwujudkan sesuai dengan asas kekeluargaan dan gotong-royong menuju dernokrasi ekonorni (Nasution, 1990). Program pembinaan kelembagaan KUD umumnya diarahkan dalam bentuk (Nasution, 1990) : (a) Program fleksibilitas kelembagaan KUD bertujuan menetapkan struktur kelembagaan KUD yang fleksible
sehingga pada gilirannya KUD mampu merencanakan, mengorganisir, mengarahkan, mengkoordinas~kandan mengawasi kegiatan-kegiatannya secara efektif dan efisien sesuai dengan sumber daya yang dimiliki; (b) Program peningkatan partisipasi aktif anggota KUD terutama ditujukan untuk meletakkan kedudukan rapat anggota sebagai lembaga tertinggi yang bebas dari campur tangan pihak
lain.
Agar KUD mampu
menggerakkan partiisipasi aktif anggota dalam seluruh
rangkaian
kegiatan KUD semenjak proses pengambilan keputusan, perenanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan usaha, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan anggotanya; (c) Program pembinaan dan pengembangan manajemen koperasi bertujuan untuk pengadaan personil
yan profesional dan mandiri, baik kualitas maupun kuantitas terutam yang
berasal
dari gerakan koperasi itu sendiri; (d) Program
penanganan, penyuluhan, pendidikan dan
latihan
perkoperasian.
Program ini diarahkan kepada anggota koperasi agar mereka mau berpartisipasi aktif pada setiap kegiatan koperasi. perkoperasian ditujukan badan
pemeriksa,
pengawasan pengendalian,
untuk meningkatkan ketrampilan pengurus,
*
manajer, dan
koperasi
Program latihan
karyawan
bertujuan
untuk
KUD;
(e)
Program
memantapkan
pengawasan dan pemeriksaan
intern
KUD
sistem yang
terkoordinir, efektif dan efisien, Program pembinaan dan pengembangan usaha KUD diwujudkan dalam bentuk : (a) Program peningkatan dan pengembangan skala usaha KUD bertujuan untuk meningkatkan daya saing KUD dalam menghadapi para pelaku ekonomi lainnya. Untuk bisa bersaing, maka skala usaha KUD harus layakdan efisien dalam rangka merfiberikan pelayanan yang ssebesar-besarnya kepada para anggotanya dan masyarakat; (b) Program peningkatan dan pengembangan usaha bagi KUD bertujuan menciptakan kesempatan usaha, kepastian pasar, dan harga bagi usaha yang dikembangkan oleh para anggota KUD; (c) Program peningkatan dan pengembangan lembaga keuangan KUD. Tujuan program ini untuk meningkatkan modal dalam KUD agar pada gilirannya rasio antara modal dalam dan modal luar KUD lebih propesional.
Lembaga
keuangan
koperasi
diperlukan
untuk
menghindari atau mengurangi ketergantungannya terhadap dana dari bank yang biayanya jauh lebih besar; (d) Program peningkatan dan
pengembangan sarana usaha
KUD. Tujuan, program ini untuk
meningkatkan kemampuan KUD menggunakan alat-alat teknologi yang sesuai dengan kebutuhan usaha anggotanya; (e) Program peningkatan dan pengembangan kerja sama usaha antara KUD, PUSKUD, dan INKUD dengan usaha swasta dan BUMN.
Kerjasama ini dibangun sesuai
dengan peranan masing-masing .sebagai mitra usaha, sesuai dengan
*
keperluan KUD tanpa
melupakan asas dan sendi-sendi dasar
perkoperasian. Program memanfaatkan lingkungan bagi KUD diwujudkan dalam bentuk : (a) memasyarakatkan kemauan politik yang kuat dari pimpinam nasional mengenai pembinaan KUD kepada seluruh lapisan struktur birokrasi
pemerintah agar
membantu pengembangan KUD;
(b)
memanfaatkan secara optimal dengan menyesuaikan serta mengaitkan tujuan dan sasaran KUD kepada program pengembangan sektor-sektor lainnya dari pemerintah; (c) rnemasukkan unsur-unsur pemba;uan
dari
koperasi dengan nilai-nilai baru yang sesuai dengan kecenderungan hidup di desa yang bergeser dari sikap ruralisme ke urbanisme, serta memanfaatkan gejala tumbuhnya pluralisme (kebhinekaan) di daerah dengan rnenginternalkan unsur keswadayaan koperasi di dalamnya. Salah satu aspek penting dalam peran serta pemerintah pada pengembangan koperasi adalah adanya pendekatan kewilayahan dalam setlap peraturan dan program (Hanafiah, 1990).
Hal ini dapat dilihat
pada berbagai bentuk peraturan tentang perkoperasian. UU no.1211967 tentang Pokok-pokok Perkoperasian menyatakan bahwa daerah kerja koperasi pada dasarnya harus cukup memiliki potensi ekonomi bagi
perkembangan koperasi yang bersangkutan.
Guna kelancaran tugas
pengawasan dan pembinaan, daerah kerja koperasi didasarkan pada wilayah administrasi pemerintahan. lnpres no 211978 tentang BUUDIKUD menyatakan bahwa wilayah BUUDIKUD ditentukan oleh potensi ekonomi wilayah yang bersangkutan, yang terdiri dari beberapa desa dalam kecamatan. Apabila potens~ ekonomi suatu kecamatan memungX
kinkannya, dalarn kecamatan tersebut dapat dibentuk lebih dari satu BUUDIKUD.
Keputusan Bersama Menperdag dan Mendagri No. 593
NKpblN79 tahun 1979 tentang wilayan keanggotaan dan wilayah kerja BUUD'menyatakan bahwa wilayah keanggotaan KUD ialah wilayah yang disajikan KUD sebagai wilayah untuk menjalankan fungsinya sebagai pusat pelayanan kepada para anggota dan masyarakat dalam wilayah tersebut. Luas keanggotaan KUD ditentukan oleh hal-ha1 sebagai berikut : (a) perluasan ekonomi dan partisipasi masyarakat yang terdapal dalam wilayah
keanggotaan
tersebut
yang
cukup
mampu
menunjang
pertumbuhan dan perkemabangan KUD untuk menjadai suatu ekonomi yang mantap dan cukup luas meliputi lebih dari satu desa dalam kecamatan; (b) kernampuan pelayanan KUD harus dapat memenuhi berbagai
kebutuhan
para
anggota
serta
masyarakat
diwilayah
keanggotaannya sehingga kegiatannya meliputi berbagai bidang kegiatan ekonomi. Berlainan dengan wilayah keanggotaan KUD, wilayah usaha KUD tidak dibatasi dan dapat menyebar keluar wilayah keanggotaannya, sesuai dengan kepentingan-kepentingan usaha dan kegiatan-kegiatan
ekonomi yang dijalankan, sepanjang kegiatan tersebut untuk kepentingan anggota-anggota KUD atau KUD yang bersangkutan. Pada lnpres no. 411984 tentang pembinaan dan pengembangan KUD dinyatakan bahwa
lingkup wilayah kerja KUD pada dasarnya meliputi satu atau beberapa desa sesuai dengan potens~ekonomi yang layak untuk dikelola dan dikembangkan secara berdayaguna dan berhasil guna, yang ditetapkan t
oleh Menteri Koperasi dengan mempertimbangkan kemampuan KUD dan potensi wilayah yang bersangkutan. Dilihat dari analisa kelernbagaan, dapatlah dikatakan bahwa struktur KUD sangat ditentukan oleh rancangan pembentukannya. Walaupun sebagian KUD adalah kelanjutan dari Koperta atau bentuk kelernbagaan yang tumbuh dari keinginan bersama anggota-anggotanya, sehingga rnemiliki dapat struktur yang beragam atau serupa, peran pemerintah yang besar pada tahap awal pengembangan KUD telah membentuk struktur KUD yang seragam. Oleh sebab itu walaupu'n dalam perkembangannya terdapat berbagai bentuk penyesuaian dan kemajuan, namun penelaahan terhadap KUD tidak dapat dipisahkan dari rancangan awal KUD pada saat rnasih menjadi BUUD.
Setidaknya terdapat 4
(empat) ha1 yang diharapkan dapat menjadi peran utama KUD dalam membangun perekonornian pedesaan (ha1 serupa antara lain juga diungkapkan oleh Subyakto dalam Swasono, 1983) :
1. KUD sebagai penyedia kebutuhan anggota dan masyarakan pedesaan.
2. KUD sebagai wahana pendidikan masyarakat pedesaan.
3. KUD sebagai penyalur produksi pertanian dan pedesaan.
4. KUD sebagai lembaga pengembangan usaha rnasyarakat pedesaan Pertama,
KUD
diharapkan
dapat
rnernenuhi
kebutuhan
anggotanya, baik untuk barang-barang (sarana) produksi maupun barang konsumsi. Kedua, KUD diharapkan menjadi wahana pemerintah untuk rnelakukan pendidikan rnasyarakat dalam berbagai aspek kehidGpan. Kedua ha1 ini dilatar-belakangi oleh beberapa faktor yang rnenjadi tantangan pada masa awal pengembangan KUD, seperti keterbatasan pelaku. distribusi barang ke pedesaan dan masih diperlukannya berbagai subsidi
terhadap
berbagai
kebutuhan
(produksi dan
konsumsi)
rnasyarakat serta rnasih terbatasnya pengetahuan dan penguasaan teknologi di masyarakat. Ketina, rnenyalurkan produk (barang) yang dihasilkan rnasyarakat (petani) ke lernbaga yang akan menampungnya disertai pengaturan arus uang yang menyertainya.
Hal ini sangat jelas
terlihat pada sistem pengadaan gabah yang mellbatkan KUD dan Dolog. Ketiga peran tersebut rnerupakan peran KUD yang banyak mendapat dukungan pemerintah, terutarna karena rnemang sebagian besar berkaitan dengan program-program pembangunan pertanian dan pedesaan yang dicanangkan pernerintah.
Sedangkan peran keempat,
KUD diharapkan dapat menunjang dan rnengembangkan berbagai kegiatan ekonomi dan usaha baru di pedesaan, baik kegiatan usaha yang dilakukan oleh anggota rnaupun usaha yang dikembangkan oleh KUD sendiri. Dilihat dari aspek perilaku usaha terdapat beberapa kesirnpulan yang dapat dihasilkan atas ~nterpretasiperan KUD yang diharapkan
terutama oleh pemerintah (pembina) tersebut diatas. pertarna dan
kedua,
rnasyarakat
Pada peran
pedesaan merupakan sasaran
konsurnen utama KUD yang bersangkutan. Walaupun wilayah usaha KUD dapat melewati wilayah keanggotaannya, narnun karena disetiap wilayah adrninistratif (kecamatan) diharapkan dapat dibentuk KUD maka keunggulan masing-masing KUD adalah dengan rnemenuhi kebutuhan u
anggota di wilayah kerjanya, atau dengan perkataan lain untuk kebiatankegiatan tersebut anggota adalah pasar bagi KUD. Mengingat transaksi antara lembaga usaha diatas KUD (pabrik pupuk, pabrik petisida, penyedia teknologi) dengan KUD urnurnnya rnendapat intewensi yang kental dari pernerintah maka bentuk transaksi dengan lernbaga usaha diatas KUD tersebut terjadi dengan berbagai bentuk transaksi tidakbebas, seperti dengan kontrak, pernberian fee, sistem 'droping', dan kuota; sedangkan proses transaksi yang relatif bebas justru terjadi diantara KUD dengan anggota. lrnplikasi lain adalah jika terjadi kondisi dirnana kebutuhan masyarakat disuatu wilayah serupa (hisalnya kebutuhan es untuk mengawetkan ikan pada wilayah pesisir pantai) rnaka secara alarniah akan terjadi 'persaingan' antar KUD yang berada pada wilayah berdekatan untuk dapat rnernasarkan produknya ke anggota diwilayah yang berbeda. Pada peran ketiga, KUD lebih banyak berperan sebagai salah satu mata rantai dari rangkaian kegiatan yang sudah diatur sebelurnnya. Dalarn ha1 ini kedudukan lembaga usaha setelah KUD (misalnya Dolog pada beras dan GKSl pada susu) urnurnnya merniliki kemampuan rebut tawar yang lebih kuat. Mengingat KUD adalah lernbaga yang langsung
1
berhadapan dengan pihak-pihak tersebut pada gilirannya akan sangat mempengaruhi perilaku usaha KUD dan keterkaitannya dengan kegiatan anggota. Sesungguhnya peran keempatlah yang diharapkan dapat lebih berkembang, karena ha1 inilah yang dapat benar-benar menjadi wujud dari KUD sebagai koperasi yang menghimpun daya usaha anggotanya dalam meningkatkan keunggulan melalui peningkatan skala usaha atau n
pertambahan
nilai
produksl
Namun
mengingat
proses
awal
perkembangan KUD lebih banyak diwarnai oleh dukungan pemerinteh untuk menjalankan peran pertama, kedua, dan ketiga, maka peran yang keempat umumnya hanya terjadi jika
KUD dapat memanfaatkan
momentum dari ketiga kegiatan yang pertama untuk dapat memupuk daya dan kemampuan sehingga dapat mengembangkan usaha baru tersebut. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, perkembangan KUD sangat dipengaruhi oleh peran serta pemerintah.
Dalam sejarah
keberadaannya, terdapat dua momentum penting yang secara'khusus mempengaruhi perkembangan KUD.
Pertama, keluarnya lnstruksi
Presiden (Inpres) no. 2 tahun 1978 tentang Badan Usaha Unit DesalKoperasi Unit Desa (BUUDIKUD) yang menjadi dasar berdirinya KUD. Kedua, keluarnya lnstruksi Presiden (Inpres) no. 4 tahun 1984 tentang Pembinaan dan Pengembangan Koperasi Unit Desa (KUD). Pada Lampiran lnpres no. 211978 Pasal 5 (1) dinyatakan bahwa pembentukan BUUD adalah "untuk membimbing, mendorong, dan mempelopori pengembangan dan membina KUD", dan anggota-anggota BUUD adalah "unsur-unusr pemuka masyarakat seperti camat, pamong desa, guru, ulama, dan sebagainya".
Tujuan pembentukan tersebut
dinyatakan pada pasal 1 : "Pengembangan BUUDIKUD adalah untuk menumbuhkan dan
meningkatkan peranan
dan
tanggung-jawab
masyarakat pedesaan agar mampu mengurusi diri sendiri secara nyata serta mampu memetik dan menikmati hasil pembangunan guna meningkatkan taraf hidupnya".
Pasal 4 kemudian menyatakan lingkup
kegiatan KUD, yaitu bahwa "KUD sebagai pusat pelayanan berbagai n
kegiatan perekonomian pedesaan memiliki fungsi-fungsi : (a) perkreditan; (b) penyediaan dan penyaluran sarana-sarana produksi, barang-barang keperluan sehari-hari
dan jasa-jasa
lainnya; (c)pengolahan dan
pemasaran hasil produksi; (d) kegiatan perekonomian lainnya. lnpres no. 211978 tersebut sering disebut sebagai dasar hukum
.
pembentukan dan pendirian KUD. Jika pada bab sebelumnya kondisi KUD saat ini menunjukan orientasi usaha yang mengarah kepada pasar internal, yaitu para anggotanya sendiri, maka lnpres no. 211978 menunjukan bahwa ha1 tersebut rnemang merupakan arah d&n tujuan pembentukan KUD.
Kond~si ini perlu diletakkan dalam konteks
perkembangan masyarakat (pedesaan) dan kondisi pembangunan nas~onalIndonesia. Pada tahun 1978 Indonesia masih sedang berusaha untuk rnemenuhi kebutuhan pokok rakyat yang ditandai oleh usaha pernbangunan guna mencapai swasembada pangan, terutama pangan. Dilain pihak, perekonomian Indonesia tengah menikmati devisa yang berasal dari ekspor migas yang besar dan pemerintah masih menjadi pelaku yang dominan dalam pembangunan ekonomi. Kedua hat tersebut mendorong peran pemerintah yang besar pula dalam mernbangun ekonomi pedesaan, termasuk pengembangan kelembagaan ekonominya.
Hal lain yang perlu pula diperhatikan adalah bahwa tatanan dan sistem perekonomian dipedesaan, dalam arti mekanisme pasar, belum berjalan dengan baik. Hal ini timbul baik karena belurn adanya pelaku usaha yang bersedia melakukan kegiatan ekonorni di beberapa wilayah pedesaan, rnaupun karena dominasi beberapa pelaku ekonomi untuk beberapa ha1 tertentu. Sehingga jika mekanisme produksi, distribugi, dan konsumsi diserahkan pada rnekanisme pasar (peran serta pemerintah minimal) rnaka diperkirakan justru akan terjadi inefisiensi yang akan rnerugikan rnasyarakat pedesaan sendiri. Konsekwensi dari peran serta pernerintah, antara lain juga ditunjukkan oleh arahan pasal 5 (1) lnpres no. 2/78 diatas, rnaka kegiatan-kegiatan pemerintah
yang
merupakan
dikernbangkan kegiatan
KUD
sebagai
suatu
yang
dorninan
program diawal
perkernbangannya. Disarnping itu perilaku sernua pengambil keputusan di KUD : pengurus, anggota, dan pernbina, juga akan berorientasi pada ketentuan yang dibuat oleh pemerintah. Kedua ha1 tersebut mendorong timbulnya kriteria perkembangan KUD yang
berorientasi pada
pencapaian sasaran program. Dalarn ha1 ini dapat dikemukakan bahwa KUD merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rencana dan pelaksanaan program pernbangunan ekonorni dan pembangunan wilayah pedesaan. Setelah Indonesia rnengalarni swasembada beras, peran KUD dikernbangkan tidak hanya untuk rnenunjang kebutuhan rnasyarakat pedesaan sendiri.
lnpres no. 411984 rnenyatakan pada pasal 4 (1.c)
bahwa KUD "rnerupakan koperasi serba usaha yang rnelakukan usaha
pelayanan berbagai barang dan jasa rnulai dari produksi sampai dengan pemasarannya".
Berkaitan dengan ha1 tersebut pembinaan KUD
bertujuan untuk (pasal 2) : "memantapkan dan menumbuhkan swadaya KUD sehingga mampu menjadi pusat pelayanan kegiatan perekonomian pedesaan pedesaan", dan "memperkuat kerangka dasar dan arah pembangunan KUD sebagai pusat .pelayanan dalam tata perekonomian X
masyarakat didaerah pedesaan". Sebagai sasaran (pasal 3), "pembinaan dan pengembangan KUD terutama diarahkan agar KUD dapat memegahg peranan utarna dalam kegiatan perekonomian pedesaan, khususnya di sektor-sektor : (a) pertanian yang meliputi pertanian pangan, peternakan, perikanan, perkebunan, dan agro-industri; (b) penyaluran kebutuhan pokok masyarakat pedesaan, terutama pangan, sandang, dan papan; (c) jasa yang antara lain meliputi bidang simpan pinjam, perkreditan, angkutan darat dan air, listrik pedesaan, dan konstruksi; (d) industri kecil dan kerajinan rakyat; dan (e) lain-lain bidang sesuai kemampuan dan keadaan setempat". lnpres no. 411984 tersebut kernbali rnenegaskan pentingnya kedudukan KUD. Hanya saja berkembang dari lnpres no. 211978, KUD sekarang tidak lagi ditempatkan sebagai bagian dari suatu program pembangunan tetapi sebagai bagian dari perekonomian pedesaan itu sendiri. Hal ini berimplikasi pada penekanan penilaian perkembangan KUD dalam konteks makro atau setidaknya dalam suatu kewilayahan (propinsi atau kabupaten).
Sedangkan peran, kemampuan serta
perkembangan KUD secara individu masih merupakan derivasi dari peran makronya. Konsekwensi logisnya adalah bahwa KUD diharapkan rnarnpu
memperoleh pangsa pasar tersebesar, dan untuk itu KUD diberi kesempatan rnengembangkan kegiatannya pada berbagai aktivitas ekonomi masyarakat dan menjadi koperasi serba usaha.
Narnun
demikian orientasi kegiatan kepada pasar anggota tampaknya masih tetap berlanjut, walaupun jika sebelumnya lebih banyak beriorientasi konsumsi maka selanjutnya KUD didorong untuk memperhatikan A !
kebutuhan kegiatan produksi para anggotanya. Sehingga sasaran pengembangannnya ditentukan berdasarkan pemikiran untuk setiap KUD mendapat pangsa pasar terbesar dari aktivitas ekonomi anggotanya, dan karena KUD terdapat minimal satu disetiap kecamatan maka peran KUD secara keseluruhan diharapkan dapat cukup berarti.
.
Demikian pula
peran serta pernerintah sebagai pembina rnasih tetap menonjol, walaupun tidak lagi berperan langsung sebagai salah satu pelaku atau pengambil keputusan langsung tetapi lebih sebagai pernberi fasilitas dan penentu berbagai bentuk pengaturan. Dalam konteks kriteria perkembangan KUD, salah satu penjabaran penting dari lnpres 411994 tersebut adalah lnstruksi Menteri Koperasi No. 04/lnstlMN111988 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengembangan KUD
Mandiri,
yang
kemudian
disertai
pula
dengan
Petunjuk
Operasionalnya berdasarkan Surat Dirjen Bina Lembaga Koperasi no. 1309/BLWV11111988. Menurut lnrnenkop no.411988 tersebut KUD Mandiri adalah "KUD yang memiliki kemampuan rnanajernen yang terbuka dan rasional dalam mengernbangkan ekonomi para anggotanya berdasarkan atas kebutuhan dan keputusan para anggota KUD".
Suatu KUD dapat
disebut sebagai KUD Mandiri jika rnemiliki kemampuan pokok dan dapat memenuhi ukuran-ukuran KUD Mandiri seperti tercantum pada Tabel 2. Pemenuhan kriteria KUD Mandiri telah menjadi sasaran utama pembinaan sekaligus sasaran para pengelola KUD. pencapaian KUD
Terlebih setelah
Mandiri berkaitan dengan berbagai ketentuan
persyaratan dalam perolehan berbagai fasilitas seperti perkreditan atau penyertaan dalam berbagai program. Usaha tersebut pada .gilirannya mendorong perkembangan KUD menuju suatu lembaga usaha yang diusahakan untuk memiliki berkarakteristik sesuai dengan ukuran KUD ~ a n d i r i . Beberapa ha1 yang menonjol adalah, pertama, meneruskan orientasi pengembangan KUD sebelumnya ke pasar anggota.
.
Hal ini
terlihat setidaknya pada kriteria pertarna, kedua, ketiga, keempat, kelima, dan kesembilan. Disamping itu orientasi manajemen usaha (bisnis) juga dipentingkan, terlihat dari kriteria keenam, ketujuh, kedelapan, kesepuluh, dan kesebelas. Sedangkan kesehatan KUD sebagai organisasi juga tetap mendapat tempat yang cukup penting, seperti ditunjukkan oleh kriteria ke kedua-belas dan ketiga-belas. Dengan demikian, berdasarkan kriteria tersebut KUD Mandiri adalah KUD yang sehat secara organisasi dan usaha serta berorientasi pada anggota. Hal terakhir terutama diwujudkan dalam bentuk orientasi internal kepada pasar anggota, atau anggota sebagai pasar bagi kegiatan KUD. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa kriteria KUD Mandiri tersebut cederung bersifat statis, sekali suatu KUD mencapai kriteria Mandiri maka predikat tersebut akan terus disandangnya.
Tabel 2. Kemampuan Pokok dan Ukuran Penilaian KUD Mandiri Kemampuan Pokok Yang Diharapkan dar~ KUD Mandiri (lnmenkop 04llnstlMN111988)
Ukuran Penilaian KUD Mandiri (SK Dirjen BLK No. 1309lBLW11111988)
1. Kemampuan merencanakan dan mengelola usaha dengan skala yang layak dan berdaya guna.
1. Mempunyai anggota penuh minimal 25 % dari jumlah dewasa yang memenuhi ' persyaratan keanggotaan KUD di dgerah kerjannya.
2. Kemampuan bersaing dan menguasai 2. Dalam rangka meningkatkan produktivitas pasar. anggota maka pelayanan kepada anggdta 3. Kemampuan menyediakan dan memanminimal 80 % volume usaha KUD faatkan permodalan dengan struktur secara keselunrhan, permodalan yang sehat guna mendukung 3. Minimal tiga tahun buku berturut-turut pengembangan kegiatan usaha anggota. RAT dilaksanakan tepat waktu sesuai 4. Kemampuan menyerap teknologi dan dinas, mengelola sarana yang berhasil guna. 4. Anggota pengurus dan Badan Pemeriksa 5. Kernampvan memberikan pelwanan jasa semua berasal anggota KUD dengan dan penyediaan barang yang dibutuhkan jumlah maksimal untuk pengurus orang dengan harga sesuai dengan jangkauan dan Badan Pemeriksa orang, para anggota. 5. Modal sendiri KUD minimal Rp. 25 juta 6. Kemampuan melaksanakan pengolahan dan pemasaran hasil produksi para 6. Hasil audit laoran keuangan Layak tanpa catatan (unqualified opinion). anggota dengan harga yang layak.
7. Kemampuan meningkatkan ketramp~lan 7. Batas toleranasi deviasi usaha .terhadap para anggota dalam mengembangkan rencana usaha KUD (program nonprogram) sebesar 20 % kegiatan usahanya. Kemampuan menyediakan perangsang 8. Rasio keuangan : Likuiditas antara 150 % 200 %, Solvabilitas minimal 100 % untuk para nggota didalam mutu pelayanan yang membedakan anggota dengan bukan anggota, sehingga 9. Total volume usaha haws proporsional dengan jumlah anggota, dengan minimal dirasakan manfaat dan makna rata-rats Rp. 250.000 per anggota per keanggotaanya dibanding dengan bukan tahun. anggota. 9. Kemampuan melaksanakan mekanisme 10. Pendapatan kotor minimal dapat menutup biaya berdasarkan prinsip efisiensi keja Alat Perlengkapan Organisasi KUD
8.
-
secar aserasi administrasi yang slap diperiksa dan manajemen yang profesional.
10. Kemampuan memberikan penyuluhan dan pendidikan kepada para anggota mengenai perkoperasian 11. Kemampuan memberikan masukan dan peran serta dalam merumuskan kebijaksanaan pemerintah dibidang perkoperasian.
1 1. Sarana usaha layak dan dikelola sendiri
t 2. Tidak ada penyelewengan dan manipulasi yang m e ~ g i k a nKUD oleh pengelola KUD
3. Tidak mempunyai tuwgakan
Disamping itu predikat KUD Mandiri lebih bermakna bagi hubungan KUD dengan pembina (pernerintah) atau dengan anggota daripada dengan pelaku usaha lain.
Predikat Mandiri belum dipandang sebagai
kemampuan usaha yang bisa diandalkan dalam berbagai bentuk aktivitas usaha dan transaksi yang dilakukan KUD.
2.8. Studi Ekonomi Koperasi Terdahulu
Studi ini akan terpusat pada kajian terhadap perilaku koperasi di Indonesia, khususnya KUD.
Studi yang pernah dilakukan terhadap
koperasi pedesaan Indonesia, khususnya KUD, umurnnya berorientasi pada studi kebijakan dan dilakukan oleh pernerintah, baik secara rnandiri maupun bekerjasama dengan lembaga penelitian atau perguruan tinggi. Kajian lain tentang koperasi dan KUD juga telah banyak dilakukan oleh banyak penulis dan pernikir koperasi, tetapi umurnnya juga rnerupakan bentuk kajian ilmiah-populer. Tema kajian yang banyak dilakukall adalah mengenai aspek
sosial (dan politik) koperasi disamping aspek
manajemen (lihat misalnya Swasono, 1985; Swasono, 1983; Suwandi, 1987). Kajian
ilmiah-akademis
yang
dilakukan
terhadap
koperasi
pedesaan dan pertanian, khususnya KUD, relatif rnasih sedikit. Diantaranya yang rnenonjol adalah kajian yang dilakukan Rauf (1981), Harsono (1985), Brojosaputro (1989), Brojosunaryo (1989), dan Nasution (1990). Rauf (1981) melakukan kajian sosiologis atas tingkat partisipasi anggota petani pada KUD dl Sulawesi Tenggara.
Harsono (1985),
Brojosaputro (1989), dan Brotosunaryo (1989) menganalisa faktor yang mempengaruhi keberhasilan KUD.
Harsono (1985) meneliti pengaruh
faktor partisipasi, penampilan pengurus, dan faktor lingkungan terhadap keberhasilan KUD. Brojosaputro (1989) memperluas dan memperdalam faktor pengaruh tersebut terutama dengan menyertakan aspek kinerja usaha koperasi yang bersangkutan sebagai faktor pengaruh utama. X
Brotosunaryo (1989) kemudian mengembangkan dan menegaskan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan KUD adalah faktor manajemen dan unsur-unsur usaha (bisnis) dari KUD yang bersangkutan.
.
Nasution (1990) menelaah keragaan KUD sebagai organisasi ekonomi pedesaan secara komprehensif dengan pendekatan persamaan simultan yang menyangkut fungsi keberhasilan usaha KUD, fungsi pencapaian target, fungsi pelayanan kepada anggota, fungsi partisipasi anggota, dan fungsi keanggotaan.
Atas informasi yang diperoleh dari
kajian positif tersebut, kemudian dilakukan analisa normatif dalani bentuk optimasi program linier untuk tingkat
penerimaan dan ditelaah
dampaknya pada distribusi pendapatan dengan menghitung indeks gini. Studi-studi
tersebut
telah
memberikan
banyak
penjelasan
mengenai hubungan sebab akibat dari berbagai faktor dalam tingkup sosial, ekonomi, dan manajemen koperasi.
Hampir seluruh faktor,
internal dan eksternal, telah ditelaah dalam kaitannya dengan keberhasilan dan terhadap sebagian dari dampak koperasi kepada masyarakat. Narnun demikian, masih terdapat beberapa ha1 yang belurn dikaji secara mendalam, khususnya dalam konteks koperasi pedesaan atau KUD. Pertama, kajian teori ekonomi koperasi. Landasan teori yang
digunakan
dalam
kajian-kajian
sebelumnya
umumnya
masih
menggunakan pendekatan teori ekonomi yang berlaku untuk perusahaan pada umumnya, dan belum secara khusus menampilkan pendekatan teori ekonomi koperasi yang sebenarnya juga sudah cukup berkembang. Kalaupun ada usaha untuk mengelaborasi berbagai ciri khusus koperasi, ha1 ini lebih banyak diterjemahkan sebagai tujuan atau kendala. Kedua,
*
pendekatan ekonomi kelernbagaan.
Kajian yang telah tjanyak
dikembangkan umumnya masih sedikit menyertakan tinjauan ekonomi kelembagaan, khususnya aspek proses dan aspek perilaku ekonominya. Aspek'kelembagaan lebih banyak ditelaah secara sosiologis.
Dilain
pihak analisa ekonomi yang dilakukan umumnya masih berbentuk analisa sebab-akibat yang statik dan belum dapat menggambarkan suatu proses akumulatif yang terjadi secara kontinyu. Nasution (1990) dengan
pendekatan
Hasil studi yang dilakukan persamaan simultan telah
menunjukkan pentingnya aspek dinamika proses dan perilaku yang bersifat berkesinambungan dari faktor-faktor yang sating mempengaruhi. Ketiga, aspek perilaku dalarn kaitannya dengan peran pelaku dan proses pengambilan keputusan.
Analisa terhadap ketiga ha1 tersebut relatif
masih minimal, dan selama ini umumnya masih dikaji secara implisit dalam bentuk analisa faktor. Pada lingkup internasional, kajian akademik terhadap ekonomi koperasi telah berkembang sejalan dengan teori ekonomi koperasi itu sendiri.
Dalam ha1 ini Secara garis besar terdapat dua fokus kajian
akademik terhadap koperasi, yaitu kajian yang mengarah pada kedudukan dan peran koperasi dalarn perekonomian secara regional atau
makro; dan kajian yang menelaah berbagai aspek dalam koperasi sebagai suatu perusahaan secara mikro.
Kajian perilaku usaha lebih
banya dilakukan dalam konteks ekonomi mikro dan perkembangan terakhir dalam kajian ini adalah pada pendalaman pendekatan ekonomi kelembagaan. Hal ini telah menjadi salah satu konsentrasi kajian yang banyak dilakukan oleh kalangan akademisi (Staatz, 1987; Goldsmith, E
1995).
Dilain pihak kajian ekonomi pembangunan telah menjadi
pendekatan yang banyak digunakan dalam menelaah peran koperasi secara regional dan atau makro. ~ada sepuluh tahun terakhir kajian atas perilaku usaha koperasi memiliki tiga kecenderungan pendekatan. Pertama, pendekatan teoritik
.
yang menelaah pemikiran-pemikiran dasar mengenai perilaku ekonomi koperasi. Pendekatan ini bersifat induktif dengan menggunakan suatu kajian teoritik sebagai dasarnya. Goldsmith (1995 - Ohio State University) misalnya telah melakukan kajian akademik yang cukup ekstenstf untuk menunjukkan bahwa perilaku koperasi ditentukan oleh teori transaksi yang dilakukan koperasi sebagai perusahaan. Padaawalnya Goldsmith rnenetaah aspek-aspek teoritik yang berhubungan dengan topik tersebut, dan kemudian pada bagian akhir kajiannya dilakukan pembuktian empiris melalui kajian ekonometrika persamaan tunggal dengan menggunakan metode pendugaan OLS (karena OLS merupakan metode yang telah paling banyak digunakan dalarn teori transaksi untuk koperasi dan dinilai cukup berhasil) pada kasus perdagangan internasional yang dilakukan oleh koperasi pangan (food and beverage). Data yang digunakan adalah
1
data sekunder yaitu catatan transaksi yang dilakukan oleh koperasi yang menjadi objek penelitian. Contoh lain dari kelompok pertama adalah kajian yang dilakukan oleh Peterson (1991, Cornel University) yang menyatakan bahwa perilaku koperasi ditentukan oleh pemikiran dasar dalarn strategi meningkatkan penerimaan dan penyediakan keamanan usaha (enhancing return* and providing
security).
Serupa
dengan
Goldsmith,
Peterson
juga
mengembangkan kajian teoritik yang sangat ekstensif mengenai kedua strategi tersebut diatas, dan kemudian melakukan pembuktian empiris. Peterson menggunakan model ekonometrika dengan persarnaan simultan yang diduga dengan menggunakan pendekatan Two-Stage-least-Square (2SLS) memanfaatkan data primer hasil wawancara dengan sejumlah manajer koperasi. Kedua, pendekatan penerapan basis teori ekonomi kelembagaan pada suatu koperasi tertentu untuk kemudian dikembangkan berbagai kesimpulan yang menyangkut perilaku usahanya.
Pendekatan ini
cenderung deduktif dengan mengandalkan pada pengamatan empirik sebagai dasar pengarnbilan kesimpulan.
Gargiulo (1992
-
Colombia
University), misalnya menelaah secara mendalam kondisi perilaku usaha dari koperasi-koperasi agribisnis di wilayah barat-laut (norfhwest) Amerika.
Dalam studi yang dilakukan Gargiulo tidak menggunakan
pendekatan ekonometrika tetapi melakukan penarikan kesimpulan dengan kajian distriptif terhadap para pengambil keputusan. Sedangkan Van Wassenaer (1989
-
Harvard University) menelaah berbagai
keputusan strategis dan hubungannya dengan hak-hak pengambilan
keputusan pada tiga perusahaan koperasi susu : Cooperative Company Friesland; Farmland, dan The New Zaeland Dairy Board. Studi ini juga tidak mengembangkan permodelan ekonometrika yang ekstensif untuk membuktikan hipotesa-hipotesa awalnya. Pada pendekatan yang kedua ini tampaknya
para penulis tidak
bermaksud untuk melakukan
generalisasi atas kesimpulan yang diperoleh.
D
Pendekatan yang ketiga adalah pendekatan ekonometrika yang mengedepankan permodelan sebagai kekuatan analisa.
Fok (1992 -
University of Alabama); Han (1992 - Iowa State University), dan Crooks (1990
-
University of Minnesota) melakukan pendekatan ini.
Fok
mengkaji berbagai unsur dalam manajemen koperasi (secara individual) dengan menggunakan persamaan simultan untuk menangkap pola sating keterkaitan dalam objek kajiannya. Han lebih menekankan pada model penawaran koperasi yang dihadapkan pada pasar yang tertentu. Pengujian atas persyaratan neoklasik untuk kurva dan fungsi penawaran dilakukan dalam sistem yang juga mengadopsi pemikiran kelembagaan. Sedangkan Crooks menggunakan model sektoral (industri susuldairy) untuk memahami perilaku ekonomi koperasi yang terlibat didalamnya.
2.9. Rangkuman Pembahasan
Jika dikaitkan dengan KUD sebagai suatu badan usaha maka bentuk kegiatan 'ideal' bagi KUD adalah dalam melayani kebutuhan input serta produksi, barang konsumsi dan teknologi anggota (Gambar I), menerima dan mengolah bahan mentahlsetengahjadi dari anggota. hasil
produk olahan tersebut kemudian ditransaksikan dengan pembeli luar koperasi sedemikian sehingga diperoleh nilai tambah dan SHU yang diterima anggota lebih besar. Kegiatan yang dilakukan KUD tersebut diharapkan dapat memberikan insentif bagi anggota sehingga anggota tidak perlu bertransaksi dengan pembeli atau penjual luar koperasi, kecuali untuk kegiatan yang memang belum diusahakan KUD. X
Secara normatif koperasi Indonesia, termasuk KUD, terlihat menganut mazhab campuran Jika dilihat dari landasan hukumnya, yaitu UUD 1945, maka koperasi Indonesia tampak memiliki kesamaan dengan pemikiran mazhab persemakmuran. Namun dalam prakteknya koperasi lndonesia telah menjadi suatu sektor tersendiri selain sektor swasta dan BUMN. Dalam argumentas~pendirian dan praktek usahanya koperasi juga
banyak digunakan kerangka pemikiran mazhab
'yardstick',
sedangkan khusus untuk KUD telah banyak dorongan untuk memiliki pandangan mazhab Sapiro agar anggota dapat memiliki nilai tambah yang lebih besar. Secara teoritik, perilaku usaha KUD mengikuti kerangka pemikiran koperasi sebagai perusahaan. Pada kegiatan usaha dengan sistem fee maka keseimbangan transaksi optimal adalah pada kondisi zero profit dengan besaran fee yang diperhitungkan dalam biaya marjinal. Sedangkan pada usaha lainnya, keseimbangan pasar persaingan sempurna merupakan bentuk keseimbangan transaksi optimal, dengan besaran SHU telah diperhitungkan dalam biaya marjinal. Dilain pihak, secara kelembagaan KUD merupakan bentuk koalisi antara beberapa pengambil keputusan, yaitu anggota, pengurus dan
manajer, serta pemerintah. Dengan demikian pendekatan kelembagaan merupakan salah satu pendekatan yang tepat dalam mengkaji berbagai aspek yang berhubungan dengan KUD.
Dalam ha1 ini hipotesa yang
diajukan Cook dalam mengantisipasi perkembangan kelembagaan koperasi dapat menjadi alternatif pendekatan yang dapat digunakan dalam menelaah perkembangan kelembagaan KUD.
*