II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengukuran Dampak Lingkungan Setiap kegiatan yang menggunakan sumberdaya alam, disamping menimbulkan manfaat, dapat pula menimbulkan biaya dalam bentuk penurunan aliran jasa lainnya atau disebut sebagai dampak dari kegiatan tersebut. Dikemukakan oleh Freeman III (1992), nilai dampak yang ditimbulkan dari suatu kegiatan ekonomi dapat diestimasi dengan menggunakan pendekatan nilai ekonomi total atau total economic value (TEV)1. Pagiola, Ritter and Bishop (2004), menyusun representasi TEV seperti disajikan pada Gambar 1. Nilai penggunaan (use value) adalah nilai ekonomi yang dapat dimanfaatkan baik secara langsung maupun tak langsung. Nilai penggunaan langsung (direct use value) adalah barang dan jasa sumberdaya dan lingkungan yang digunakan langsung oleh manusia2. Total Economic Value (TEV)
Use value
Direct use value: 1. Consumptive 2. Non- consumptive
Indirect use value
Non- use value
Option Value 1. Option 2. Bequest
Existence value
Sumber: Pagiola, Ritter and Bishop, 2004
Gambar 1. Tipologi Barang dan Jasa Sistem Sumberdaya dan Lingkungan: Nilai Ekonomi Total 1 2
Freeman III (1992), mendefinisikan nilai ekonomi total sistem sumberdaya dan lingkungan merupakan penjumlahan dari nilai sekarang yang terdiskon (discounted present value) dari aliran semua jasa. Pagiola, Ritter and Bishop (2004), membedakan nilai penggunaan langsung menjadi consumptive use dan nonconsumptive use. Consumptive use misalnya adalah pemanenan produk makanan, kayu bakar, kayu untuk konstruksi, tanaman obat-obatan dan satwa buruan untuk dimakan, dan non-consumptive use seperti kegiatan wisata alam dan aktivitas budaya yang tidak memerlukan pemanenan produk.
15 Nilai penggunaan tidak langsung (indirect use value) adalah nilai ekonomi yang diterima oleh masyarakat dari sumberdaya alam dan lingkungan secara tidak langsung, seperti manfaat ekologis dari hutan sebagai pengatur tata air, penyerapan karbon, iklim mikro dan pencegah erosi. Nilai pilihan (option value) diturunkan dari pilihan untuk melakukan preservasi bagi penggunaan barang dan jasa sumberdaya dan lingkungan di masa yang akan datang yang tidak dapat digunakan pada saat sekarang, baik bagi dirinya sendiri (option value) maupun bagi yang lainnya/ahli warisnya (bequest value). Nilai bukan penggunaan (non use value) merupakan nilai keuntungan yang dapat dinikmati manusia sehubungan dengan keberadaan sumberdaya alam dan lingkungan. Manusia dapat memberikan nilai pada sumberdaya hutan tanpa bermaksud untuk memanfaatkannya pada masa yang akan datang, yaitu mereka memberikan nilai secara murni pada sumberdaya alam, dengan harapan keberadaan sumberdaya hutan dapat dipertahankan terus-menerus. Nilai ini juga tercermin dari banyak pihak ingin memberi uang, waktu, ataupun barang untuk membantu melindungi jenis ekosistem yang langka dan akan terancam punah. 2.2. Nilai Ekonomi Hutan Tropika Kim (2002), menjelaskan hutan tropika sangat berperan terhadap keberadaan manusia di bumi ini, yaitu dapat menjamin dan meningkatkan kesejahteraan manusia. Karena pemanfaatan hutan tropika selama ini lebih banyak berorientasi pada kayu, memacu kerusakan dan kehilangan sumberdaya lainnya seperti keanekaragaman hayati dan penurunan fungsi hutan. Tabel 2 menjelaskan jenis-jenis ekosistem dan jasa lingkungan yang disediakan oleh masing-masing ekosistem. Namun, karena kawasan hutan
16 dikonversi menjadi peruntukan lainnya, mengakibatkan jasa ekosistem hutan terbatas atau tidak lengkap. Sebagai contoh konversi hutan menjadi ladang mengakibatkan kehilangan sumberdaya dan lingkungan antara lain: penyediaan air bersih, kayu dan hasil hutan non-kayu, serta pencegah bencana alam. Tabel 2. Jenis-Jenis Ekosistem yang Utama dan Jasa Lingkungan yang Disediakan
Air bersih • • • • • Makanan • • • • • • • • • Kayu dan hasil hutan non-kayu • • • Produk baru (novel product) • • • • • Pengaturan keanekaragaman hayati • • • • • • • • • Konservasi tanah • • • • • • Kualitas udara dan Iklim • • • • • • • • • Kesehatan manusia • • • • • Penawar racun • • • • • • Mencegah bencana alam • • • • Budaya • • • • • • • • • Sumber : Millenium Ecosystem Assesment dalam Pagiola, Ritter and Bishop, 2004
pulau
Gunung
Polar
Laut
Pesisir
Airdalam tanah
Perkotaan
Hutan
Ladang
Jasa ekosistem
Persawahan
Ekosistem
• • •
•
Suparmoko (2002), mengidentifikasi beberapa dampak negatif dari penebangan hutan tropika, diantaranya adalah hilangnya kayu hutan dan hasil ikutannya, dan ada kemungkinan timbulnya erosi tanah sehingga beberapa jenis tanaman ikut hilang atau menurun produktivitasnya. Untuk menghitung nilai kayu yang hilang digunakan angka volume kayu yang hilang dikalikan dengan rente ekonomi per unit (unit rent)3.
3
Rente ekonomi (economic rent) adalah nilai yang harus dibayarkan kembali kepada pemerintah sebagai agen yang memperhatikan kepentingan umum dan menjaga terpeliharanya sumberdaya alam dan lingkungan (Suparmoko, 2002:45)
17 Untuk keperluan evaluasi penggunaan lahan hutan tropika, perlu diidentifikasi terlebih dahulu sumberdaya apa saja yang disediakan oleh suatu hutan tropis. Hutan tropis diibaratkan oleh Godoy (1992), sebagai kue lapis yang terdiri atas berbagai tipe manfaat. Pada Gambar 2, garis vertikal (aksis Y) merupakan nilai dollar untuk barang-barang dan jasa hutan meliputi: (1) rente kayu komersial, (2) hasil hutan non-kayu, (3) eksternalitas, (4) wisata, dan (5) keanekaragaman hayati. Garis horizontal (aksis X) menunjukkan dimensi waktu. $ (+)
0
5. Keanekaragaman hayati 4. wisata 3. Eksternalitas positif 2. Hasil hutan non-kayu 1. Kayu komersial waktu
(-)
Gambar 2. Manfaat Sosial Hutan Tropis Suatu perusahaan akan melakukan investasi untuk menggunakan lahan hutan jika nilai sekarang atau net present value (NPV) adalah positif
yang
ditunjukkan dalam Gambar 3 dimana area A lebih besar dari area B. Area B merepresentasikan biaya investasi awal seperti pembangunan jalan, pembelian mesin, dan lain sebagainya. A merepresentasikan manfaat finansial bersih yang diperoleh perusahaan dari satu kali produksi.
18
$ (+)
A 0 waktu
B (-)
Gambar 3. Keputusan Investasi Swasta dalam Melakukan Penebangan Kayu Seperti
diilustrasikan
pada
Gambar
4,
perusahaan
hanya
akan
menanamkan modalnya jika A’>B+B merupakan biaya investasi dan B’ atau (X1, X5, X6, X4) merupakan pembayaran yang dilakukan oleh perusahaan kepada pemerintah
sebelum
produksi
dimulai.
Segi
empat
(X5, X2,
X3,
X6 )
merepresentasikan pemindahan manfaat dari perusahaan kepada pemerintah. Oleh karena
itu,
keuntungan
bersih
(net
gain)
perusahaan
adalah
sebesar
A’(keuntungan) dikurangi B (biaya investasi), sementara kerugian bersih (net losses) perusahaan sebesar B’ (pembayaran bersih kepada pemerintah).
$ (+) X1
X5 B’
b
X6
X4 B
A’ 5. Keanekaragaman hayati 4. Wisata 3. Eksternalitas positif 2. Hasil hutan non-kayu 1. Kayu komersial
X2
X3 waktu
(-)
Gambar 4. Keuntungan Penebangan Kayu dengan Penilaian Sosial yang Baik
19 2.3. Eksternalitas dan Tindakan Penanggulangannya Umumnya
para
ekonom
menggunakan
kriteria
efisiensi
untuk
mengevaluasi alokasi sumberdaya dan prioritas kegiatan pada suatu proyek atau kebijakan. Konsep efisiensi yang menjadi dasar adalah pareto efficiency atau pareto optimal. Suatu kegiatan ekonomi atau proyek dikatakan memiliki alokasi sumberdaya yang efisien atau optimal menurut Just and Schmitz (1982), jika tidak ada lagi alternatif pengalokasian yang akan meningkatkan sekurangkurangnya satu orang menjadi lebih baik (better off) situasinya tanpa membuat pihak lainnya lebih buruk (worse off). Namun dalam kenyataannya kondisi optimal ini jarang ditemui, tetap saja ada pihak yang merasa dirugikan dari pelaksanaan suatu kegiatan ekonomi atau disebut juga dengan pareto-inferior. Keadaan ini dapat dilihat dari timbulnya eksternalitas atau dampak eksternal bagi pihak lain. Secara umum eksternalitas didefinisikan sebagai pengaruh yang diterima oleh pihak lain sebagai akibat dari kegiatan ekonomi. Lebih spesifik lagi disampaikan oleh Fauzi (2004), bahwa eksternalitas terjadi jika kegiatan ekonomi (produksi atau konsumsi) dari satu pihak mempengaruhi utilitas (kegunaan) pihak lain secara tidak diinginkan, dan pihak pembuat eksternalitas tidak menyediakan kompensasi terhadap pihak yang terkena dampak. Intervensi pemerintah paling tidak ditujukan untuk menghilangkan eksternalitas dan menciptakan alokasi sumberdaya dengan kondisi paretosuperior. Pada kondisi pareto-improvement ini paling tidak, terdapat seorang yang kedudukannya
menjadi
lebih
baik,
sedangkan
kedudukannya menjadi lebih buruk (Panayotou, 1997).
tidak
seorangpun
yang
20 Teori ekonomi standar mengenai ekternalitas diilustrasikan seperti Gambar 5 dimana Q merepresentasikan kegiatan ekonomi; MNPB (marginal net private benefit) merupakan tambahan manfaat bersih dari perubahan satu unit tingkat kegiatan ekonomi; dan MEC (marginal external cost) adalah nilai tambahan kerusakan lingkungan dari kegiatan ekonomi. Saat kegiatan ekonomi berada pada Q* merupakan kondisi sosial yang diinginkan dimana tingkat eksternalitas berada dalam kondisi yang optimal yakni sebesar area B. Namun, kondisi ini sulit dicapai karena pihak swasta sebagai operator kegiatan ekonomi, melakukan intensitas kegiatan ekonomi yang lebih tinggi, yakni pada tingkat QΠ. Pada tingkat ini manfaat bersih yang diperoleh swasta sebesar area A+B, namun menimbulkan tingkat eksternalitas yang merugikan (cost) sebesar area C + D. Cost, benefit X
MNPB MEC
A
D
Y
C
B
O
Q*
QΠ
Sumber: Pearce and Turner, 1990
Gambar 5. Definisi Ekonomi Eksternalitas yang Optimal Ilustrasi pada Gambar 5 ini memberikan proposisi penting bahwa konsep eksternalitas tidak lain adalah perbedaan antara biaya swasta (private cost) dan biaya sosial (social costs). Pearce and Turner (1990) mengatakan, jika perbedaan
21 ini tidak diatur, maka pihak yang menimbulkan kerusakan lingkungan (eksternalitas negatif) akan terus beroperasi pada titik QΠ dimana manfaat yang diterima sebesar area A + B + C, namun biaya eksternalitas (negative externality) yang ditimbulkan adalah sebesar area B + C + D, sehingga manfaat sosial bersih atau net social benefit (NSB) yang diterima = (A + B + C) – (B + C + D). Panoyotou (1997), memahami bahwa NSB merupakan selisih antara manfaat kotor yang diterima dengan manfaat yang diabaikan (opportunity costs). Manfaat bersih yang diterima konsumen disebut dengan consumer surplus (CS). Sedangkan manfaat bersih yang diterima oleh produsen disebut dengan producer surplus (PS). Dengan demikian NSB adalah penjumlahan antara perubahan consumer surplus dan producer surplus Δ (CS + PS) yang disebut juga dengan social surplus (pengertian ini diringkas seperti terlihat pada Kotak 1). Kotak 1. Ringkasan: Net Social Benefit (Panayotou, 1997) Net Social Benefits: = Benefit gained (added) – benefit given up (opportunity cost) = Δ(net benefit to consumer) + Δ (net benefit to producers) = Δ (willingness to pay – actual payments)+ Δ (revenus – opportunity cost) = Δ(CS) + Δ(PS) Dalam bentuk grafik, CS ditunjukkan dengan area di bawah kurva permintaan (demand curve) yang sekaligus mengekspresikan marginal benefit (MB) dari output kebijakan atau proyek. Sedangkan PS ditunjukkan dengan area di atas kurva penawaran (yang mengekspresikan marginal opportunity cost) dan di bawah tingkat harga (Gambar 6). Dari penjelasan di atas diperoleh pengetahuan penting bahwa dalam kaitannya dengan sumberdaya alam, biaya eksternalitas identik dengan total biaya imbangan atau total opportunity cost (diindikasikan dalam Gambar 6).
Ini
22 diperkuat oleh Pearce and Turner (1990), yang menyatakan opportunity cost dan eksternalitas merupakan dua cara pandang yang berbeda dalam melihat masalah yang sama.
Rp
Rp Total willingnes to pay
S=MC CS D=MB=MWTP
P
P
Actual Payment 0
Total opportunity cost
PS
Q*
Q
0
Q
Q*
Sumber: Panayotou, 1997
Gambar 6. Representasi Surplus Konsumen dan Produsen Jika kedua kurva pada Gambar 6 digabung, maka diperoleh diagram representasi surplus sosial (social surplus) seperti terlihat pada Gambar 7. Pada pasar persaingan yang berfungsi dengan baik dan tidak ada kegagalan pasar (market failure), pasar berada pada kondisi keseimbangan, yakni: (1) memaksimumkan surplus sosial, dan (2) mencapai pareto efisien. Q* adalah tingkat kegiatan ekonomi yang mengalami efisiensi alokatif. Gangguan terhadap proses keseimbangan ini akan merubah alokasi sumberdaya, selanjutnya akan menurunkan surplus sosial sehingga terjadi distorsi ekonomi. Sebaliknya,
adanya
eksternalitas
negatif
atau
manfaat
menyebabkan terjadinya suatu alokasi yang tidak efisien.
yang
diabaikan
23 Rp Net Social Benefit = Social Surplus = CS + PS
CS
S=MC
D=MB=MWTP
Total opportunit
P PS
Allocative Efficiency O
Q*
Q
Sumber: Panayotou, 1997
Gambar 7 Representasi Diagram Surplus Sosial Secara konsepsual, alternatif pengendalian eksternalitas negatif yang ideal dikenal dengan the first best policy dimana pengendalian polusi dilakukan melalui ”bargaining” dan”negotiation” antara pihak perusahaan yang menimbulkan dampak (pollutant) dengan masyarakat yang terkena polusi (suffer). Mekanisme yang digunakan dalam pelaksanaan kebijaksanaan ini adalah pemberian kompensasi sehingga kedua belah pihak tidak ada yang merasa dirugikan. Mengingat target the first best policy ini sulit dicapai, maka telah dikembangkan konsep the second best policy dimana pengendalian polusi dilakukan melalui intervensi pemerintah. Penerapan tindakan ini tidak akan menghilangkan dampak negatif polusi tetapi dalam konteks mengupayakan agar masyarakat menerima manfaat yang lebih besar dari dampak negatif yang ditimbulkan atau dikenal dengan prinsip society benefit > society cost. Dalam
upaya
menerapkan
prinsip
kemasyarakatan
ini
kedalam
pengelolaan hutan, Fauzi (2004), mengedepankan pentingnya pengukuhan hak
24 kepemilikan (assigning property rights)4 dan pemberian akses kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan. Pengukuhan hak akan meningkatkan manfaat dari pertukaran (gains from trade) atas eksternalitas. Pengukuhan hak kepemilikan akan efektif, hanya jika diketahui persis pihak mana yang melakukan eksternalitas. Dengan demikian, kerusakan lingkungan bisa dihitung dan tawarmenawar bisa dilakukan sehingga eksternalitas bisa dikurangi. Hal ini dimungkinkan karena pemberian hak akan meningkatkan gains (manfaat ekonomi) dari salah satu pihak dengan menurunkan gains dari pihak lain. Fauzi (2004), mengembangkan empat kemungkinan kombinasi yang dapat digunakan untuk memberikan akses dalam pengelolaan sumberdaya alam yang dapat menjamin pengelolaan sumberdaya alam yang lestari. Tipe pertama, hak kepemilikan sumberdaya berada pada komunal atau negara dengan akses yang terbatas. Kombinasi ini memungkinkan pengelolaan sumberdaya yang lestari; Tipe kedua, sumberdaya dimiliki secara individu (private) dengan akses yang terbatas. Pada tipe ini karakterteristik hak kepemilikan terdefinisikan dengan jelas dan pemanfaatan yang berlebihan bisa dihindari; Tipe ketiga adalah kombinasi antara hak kepemilikan komunal dan akses yang terbuka. Tipe ini akan melahirkan ”the tragedy of the common”. Tragedi ini terjadi karena apa yang dihasilkan dari sumberdaya alam jangka panjang tidak lagi sebanding dengan apa yang dimanfaatkan oleh pengguna; Tipe keempat, suatu kombinasi yang jarang terjadi dimana sumberdaya dimiliki secara individu namun akses dibiarkan terbuka. Pengelolaan seperti ini tidak akan bertahan lama karena rentan terhadap 4
Hanley et al. (1997) dalam Fauzi (2004), menjelaskan bahwa hak kepemilikan akan terkukuhkan dengan baik (well-define property right) jika memenuhi karakteristik: (1) hak milik tersebut dikukuhkan pemilikannya baik secara individu maupun kolektif, (2) eksklusif, artinya seluruh keuntungan dan biaya penggunaan sumberdaya sepenuhnya menjadi hak (tanggung jawab) pemilik sumberdaya, (3) transferable (dapat dipindah-tangankan) karena hak pemilikan yang transferable akan menimbulkan insentif untuk mengkonservasi (melestarikan) sumberdaya tersebut, dan (4) terjamin (secure), dengan adanya jaminan memiliki maka akan timbul insentif untuk memperbaiki atau memperkaya sumberdaya tersebut selama masih dalam pemilikannya.
25 intrusi dan pemanfaatan yang tidak sah, sehingga sumberdaya akan cepat terkuras habis. Hubungan antara hak kepemilikan dan akses dalam pengelolaan sumberdaya alam digambarkan Fauzi (2204), dalam bentuk bagan. Sayangnya bagan yang ditampilkan belum sepenuhnya menggambarkan konsekuensi dari masing-masing akses (terbuka dan terbatas). Hal ini perlu diketengahkan karena setiap keputusan pengelolan yang dipilih harus mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan. Oleh karena itu dilakukan modifikasi gambar Fauzi (2004), menjadi sebagai berikut. Komunal
Hak Kepemilikan
Akses terbuka (Open acces)
Kerusakan sumberdaya alam tidak terkendali
Akses terbatas (Limited acces)
Kerusakan sumberdaya alam terkendali
Negara
Individu
Sumber: Fauzi, 2004 (dimodifikasi)
Gambar 8. Hubungan antara Hak Kepemilikan dan Akses dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Selain mengupayakan pengukuhan hak kepemilikan, tindakan lainnya yang dapat dilakukan adalah ’menginternalkan’ dampak yang ditimbulkan, yakni memasukkan komponen biaya eksternal sehingga diperoleh output yang optimal. Teori ekonomi standar untuk menentukan ouput optimal adalah ’Coase Theorem’ (Coase, 1960 dalam Pearce and Turner, 1990). Pada kasus produksi komoditas yang menimbulkan eksternalitas negatif, dapat dijelaskan dalam Gambar 9.
26 Polusi yang belum mengeluarkan biaya eksternal untuk menghilangkan polusi yang sama dengan batas ambang polusi
Q Polusi Q of Polution
Q3=tingkat output yang polusinya belum memerlukan biaya eksternal
0
Q3 Biaya bencana polusi
Q2
Q1
Output= Q Total damage pollution Q1=tingkat output tanpa memperhitungkan biaya eksternal
0
Q3
Q2
MNPB, MEC
Q1
Output=Q
MEC
MNPB
Q2=tingkat output optimal yang telah memperhitungkan biaya eksternal atau kondisi tercapainya polusi optimal
0
Q3
Q2
Q1
Output=Q MEC
0
Q3
Q2
Q1
Output Q
Gambar 9. Penentuan Output Optimal “dengan” dan “tanpa” Biaya Eksternalitas pada Kasus Produksi Komolitas yang Menimbulkan Polusi
Gambar 9 pada prinsipnya menjelaskan tentang pengaruh internalisasi biaya eksternal terhadap tingkat keluaran (output) suatu kegiatan ekonomi. Tanpa memasukkan biaya eksternal (internalisasi) tingkat output optimal terjadi pada saat MNPB=MEC atau pada tingkat Q2. Namun jika biaya eksternal tidak diperhitungkan, tingkat output yang diusahakan pada tingkat Q1. Hal inilah yang
27 pada gilirannya memicu terjadinya ’ekonomi ekspansif’ yang mengabaikan pelestarian sumberdaya alam. Intervensi pemerintah dalam pengendalian dampak negatif suatu kegiatan ekonomi dapat pula melalui koreksi pajak dengan menerapkan: kebijakan pajak dan kebijakan standar. Pada kebijakan pajak, diterapkannya strategi instrumen ekonomi atau economic instrument strategy, dimana setiap dampak yang ditimbulkan dikenakan pajak lingkungan (green tax), sedangkan pada kebijakan standar, pengendalian dampak negatif dilakukan melalui common and control (CAC) strategy. Pemerintah menetapkan standar emisi yang diperbolehkan, jika melebihi batas standar, polluter akan dikenakan sanksi/hukuman. Efektivitas kedua kebijakan ini tergantung dari magnitude kurva MNPB dan MEC. Jika kurva MNPB lebih curam dibanding kurva MEC, maka kebijakan standar akan lebih efektif. Sebaliknya, jika kurva MNPB lebih landai dibanding kurva MEC, maka kebijakan pajak akan terpilih (Gambar 10 dan 11). MNPB; MEC MNPB1
Standard (S)
MNPB2 MEC A Pajak (T)
O
D
Q1
B
C E
Q* Q2
Output (Polusi)
Gambar 10. Perbandingan Efektifitas Kebijaksanaan Standar dan Pajak (Studi Kasus: Kebijakan Pajak Lebih Efektif (ABD>BCE)
28 MNPB; MEC Standard (S)
MEC
MNPB1 A
MNPB2
B
C E
Paja D
O
Q1
Q*
Q2
Output (Polusi)
Gambar 11. Perbandingan Efektifitas Kebijaksanaan Standar dan Pajak (Studi Kasus: Kebijakan Standar Lebih Efektif (ABD
2.4. Analisis Biaya-Manfaat Lingkungan Panayotou (1997), menjelaskan bahwa Cost-Benefit Analysis (CBA) sebagai skenario yang meliputi perubahan yang diinginkan, penyusunan baselines, pengestimasian (prediksi) dampak fisik, penilaian dampak tersebut (untuk memperoleh manfaat), dan estimasi biaya untuk mencapai perubahan yang diinginkan. CBA bertujuan untuk membantu pembuatan keputusan sosial dan memfasilitasi alokasi sumberdaya yang lebih efisien. Karena sumberdaya terbatas, sementara kebutuhan tidak terbatas, maka CBA merupakan sangat diperlukan dalam rangka penyusunan prioritas menurut manfaat bersih suatu kebijakan atau proyek. CBA memiliki kelebihan dalam menyeimbangkan aspek-aspek manfaat suatu kebijakan atau proyek berkenaan dengan sumberdaya rill masyarakat yang harus dikorbankan untuk implementasi kebijakan atau proyek itu.
29 Pendekatan CBA yang paling mutakhir dalam banyak literatur disebut dengan extended CBA. Menurut Panayoutou (1997), extended CBA adalah pengintegrasian nilai lingkungan kedalam CBA. Tiwari (2000), menjelaskan perbandingan prinsip CBA konvensional dengan extended CBA yang ia sebut sebagai Environmental CBA5, sebagaimana yang tersaji pada Tabel 3. Tabel 3. Perbedaan Prinsip Cost Benefit Analysis Konvensional dengan Environmental Cost Benefit Analysis Cost Benefit Analysis Konvensional 1. Hanya total manfaat kegiatan ekonomi yang dihitung 2. Perubahan kesejahteraan ditentukan oleh perbedaan with dan without kegiatan ekonomi atau proyek 3. Pengukuran biaya didapat pada biaya opportunitas sosial, tetapi hanya biaya langsung yang dipertimbangkan 4. Manfaat produser diukur sebagai perubahan surplus produsen
5. Menggunakan suku bunga temporal aggregasi 6. Perubahan kesejahteraan tidak dinilai dengan uang (unmonetized) 7. Analisis sensitivitas dibuat dengan menggunakan asumsi yang berbeda
Environmental Benefit Cost Analysis 1. Total manfaat kegiatan ekonomi melampaui total biaya, tetapi juga mempertimbangkan kriteria lingkungan dan sustainabilitas sosial 2. Perubahan kesejahteraan ditentukan sebelum (before) dan setelah (after) proyek 3. Pengukuran biaya diperoleh dari biaya lingkungan dan harga kelangkaan sumberdaya yang secara bersamasama disebut dengan biaya imbangan sosial (social opportunity cost). 4. Manfaat produser diukur dari perubahan surplus produsen dan dalam waktu bersamaan dengan membandingkan WTP dengan harga supplai sumberdaya 5. Tingkat preferensi waktu atau suku bunga (discount rate) yang diterapkan biasanya lebih rendah dibandingkan CBA konvensional 6. Sedapat mungkin dampak-dampak dinilai dengan uang (monetized) 7. Analisis sensitifitas menggunakan NPV yang dihitung dari pespektif yang berbeda.
Sumber: Tiwari, 2000
5
Untuk keperluan penjelasan yang praktis maka pada uraian selanjutnya sering digunakan ECBA untuk menunjukkan Extended BCA atau Environmental BCA
30 2.5. Telaah Penelitian Terdahulu Kim (2002), dalam penelitiannya mengenai nilai ekonomi hutan tropika di Indonesia, memperhitungkan biaya sosial dalam analisis biaya manfaat eksploitasi hutan tropika. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan nilai ekonomi total dengan menggunakan teknik pemindahan manfaat (benefit transfer). Komponen dan besarnya biaya-biaya itu antara lain: biaya kerusakan tegakan tinggal (Rp 609 963.88/ha), biaya kerusakan hasil hutan non-kayu (Rp 230 474/ha/tahun), biaya penurunan jasa penyimpanan karbon (Rp 9 048 000/ha/tahun), biaya kehilangan nutrien tanah (hidro-orologis) sebesar Rp16 623.85/ha/tahun), biaya penurunan indeks biodiversitas (Rp 37 891/ha/tahun), biaya penurunan nilai pilihan (Rp 3 000/ha/tahun), dan biaya penurunan nilai keberadaan (Rp 9 000/ha/tahun), sedangkan nilai warisan tidak dihitung oleh Kim dalam penelitiannya. Hodgson and Dixon (1988), menduga salah satu biaya imbangan non pasar penebangan kayu komersial, yakni potensi kehilangan manfaat perikanan dan daerah resapan air. Jonish (1992), mengevaluasi biaya imbangan penerapan pengelolaan hutan berkelanjutan di Malaysia, berupa potensi kehilangan pekerjaan pada industri kayu. Loomis et al. (1989), menghitung biaya imbangan konversi lahan menjadi perumahan di California, berupa kehilangan kesempatan berburu dan melihat rusa. Saastamoinen (1992), mengevaluasi kehilangan manfaaat kayu komersial dari preservasi hutan di Filipina. Howard (1995), melakukan evaluasi ekonomi terhadap pengelolaan kawasan lindung. Estimasi indirect benefits dihitungnya menggunakan data sekunder tentang produksi ikan, biaya penanaman hutan dan emisi karbon. Option value diestimasi dengan manfaat komersial dari genetic material. Data tambahan biaya diperoleh dari pengeluaran pemerintah dan kontribusi keuangan
31 internasional untuk kawasan lindung. Opportunity costs diperoleh dari estimasi keuntungan bersih terhadap pembangunan pedesaan dan pertanian. Indirect benefits dan non use benefits diestimasi dengan menggunakan pendekatan fungsi produksi untuk mengestimasi nilai jasa perlindungan daerah tangkapan air (watershed protection). Karena sumber air merupakan bagian penting dari sistem hidrologi dan mengatur volume dan kualitas air di daerah bawahan, maka hutan sangat mendukung industri perikanan. Nilai jasa perlindungan daerah tangkapan air ini diasumsikan sama dengan nilai kontribusi industri yang tergantung dengan sumber air tersebut. Jasa hutan sebagai penyerap karbon dinilai dengan menggunakan dua teknik: biaya kerusakan yang dihindari dan biaya pengganti. Pada pendekatan pertama, jasa dinilai sekitar US$ 17 juta/tahun. Penggunaan biaya penggantian jasa penyerapan karbon bernilai US$ 20 juta/tahun. Option value diduga dengan menggunakan pemanfaatan untuk keperluan farmasi (US$ 0.40 juta/ha hutan (rain forest)) dan US$ 0.20 juta/ha savannah dan wetland serta pemanfaatan untuk bahan genetik (US$ 1.5 juta). Untuk analisa ekonomi, biaya-manfaat non-pasar dan biaya imbangan dari area yang diproteksi diperhitungkan oleh Howard. Manfaat non-pasar dibaginya menjadi direct dan indirect use values dan option value. Direct use untuk kayu dan hasil hutan non kayu (HHNK) yang dimanfaatkan oleh penduduk lokal diperkirakan (berdasarkan hasil survei) sekitar US$ 74 juta/tahun. Direct use benefits dari turis menyediakan tambahan sebesar US$ 16 juta/tahun. Indirect benefits dari jasa lingkungan hutan yang dihitung untuk penyerapan karbon (carbon sequestration) mencapai US$ 17 juta/tahun dan watershed protection
32 (US$ 14 juta/tahun). Option value lebih dari US$ 2 juta, berdasarkan pada pengeluaran perusahaan farmasi dan agro-chemical untuk penggunaan materi genetik yang dilindungi. Dari sisi biaya, tambahan biaya yang harus dikeluarkan pemerintah (US$ 3 juta/tahun), opportunity cost per tahun dalam bentuk manfaat yang hilang dari kegiatan pertanian dan pedesaan (US$ 111 juta) dan biaya langsung dari kerusakan tanaman dan ternak (US$ 76 juta). Sebagai tambahan, dalam analisa ekonomi pengeluaran negara donor harus diperhitungkan sebagai biaya.
Dengan
memperhitungkan
seluruh
biaya
dan
manfaat,
Howard
mengestimasi total nilai sistem kawasan lindung menjadi negatif US$ 1.08 milyar, atau negatif US$ 332/ha. Howard juga menemukan bahwa masyarakat lokal yang tinggal di sekitar kawasan mengalami kerugian sekitar US$ 135/rumah tangga/tahun sedangkan maanfaat yang diperoleh berkisar antara US$ 30 hingga US$ 136/rumah tangga/tahun. Sedangkan manfaat dari ikan tidak ada biaya yang diestimasi, melainkan manfaat dari jasa proteksi daerah tangkapan air. Analisis finansial yang dilakukan oleh Howard menghasilkan NPV yang positif yakni US$ 37.2/ha, sedangkan analisa ekonomi menghasil NPV negatif yakni US$ 332.4/ha. Hasil ini memperlihatkan bahwa terjadi kerancuan dalam insentif finansial yang dihadapi oleh pemerintah dan opportunity cost yang besar berkenaan dengan kawasan lindung dengan kepadatan yang tinggi. Rekomendasi kebijakan yang diusulkan berkenaan dengan upaya bagaimana agar kesejahteraan yang diperoleh lebih besar dari biaya kawasan. Studi yang dilakukan oleh Howard ini mendapat respon dari Bishop (1999), bahwa analisis yang dilakukan oleh Howard hanya melihat hutan lindung
33 dari perspektif makro sehingga beberapa kawasan lindung lebih mudah dijustifikasi dalam bentuk ekonomi dibandingkan yang lainnya, misalnya manfaat yang hilang dari kegiatan pertanian yang mengakibatkan kesuburan lahan menjadi lebih rendah atau remote areas. Isu sustainability tidak dianalisis secara eksplisit, demikian pula kasus ekstraksi kayu dan HHNK, serta kasus perhitungan manfaat yang hilang dari kegiatan pertanian atau pedesaan. Degredasi tanah sebaiknya menjadi perhatian jika kawasan lindung dikonversi menjadi peruntukan lain, misalnya untuk pertanian. Elaborasi kemungkinan yang lain meliputi sensitivity analysis untuk menguji kesahihan hasil perubahan tertentu pada asumsi kunci, shadow pricing of marketted items dan penggunaan suku bunga sosial pada analisis ekonomi mempertimbangkan penggunaan langsung yang lainnya (misalnya air minum yang bersih) dari kawasan lindung. Untuk keperluan dugaan hasil hutan non-kayu, menarik untuk menyimak studi yang dilakukan oleh Chopra (1993), di hutan tropika di India. Dalam penelitiannya, Chopra mengetengahkan analisa finansial biaya-manfaat hutan non kayu terhadap hutan tropis basah dan hutan tropis kering dari hutan sekunder berdasarkan nilai total ekonomi. Analisa meliputi nilai manfaat langsung dan tak langsung, nilai pilihan dan nilai keberadaan. Suku bunga yang digunakan adalah 12 persen selama 30 tahun waktu perencanaan, digunakan untuk menghitung net present value (NPV). Metode valuasi yang digunakan adalah teknik pasar dan non-pasar (market and non market based techniques). Hasil studi ini menunjukkan bahwa jumlah nilai guna langsung dan tak langsung dari hutan yang diestimasi diperkirakan antara US$ 220/ha/tahun dan US$ 357/ha/tahun.
34 Berkaitan dengan peranan masyarakat dalam pengelolaan hutan, Gunatilake et al. (1993), menduga manfaat ekonomi hutan berdasarkan kegiatan masyarakat di sekitar kawasan hutan negara di Srilangka. Metode harga pasar produk atau harga barang substitusi digunanakan untuk menilai HHNK utama yang dieksploitasi oleh masyarakat lokal. Sementara itu pendekatan sistem bercocok tanam digunakan untuk menjelaskan seluruh kegiatan ekonomi masyarakat serta untuk menduga pendapatan bersih dan pendapatan non-moneter (tanpa memasukkan ongkos tenaga kerja dalam keluarga). Harga produk di lokasi usahatani dan hutan (farm and forest gate price) digunakan untuk mengestimasi pendapatan, disesuaikan dengan ongkos transpor ke lokasi. WTP digunakan untuk menilai tanaman obat-obatan. Hasil studi ini mengungkapkan bahwa HHNK (tidak termasuk rumput) menyediakan US$ 253/rumah tangga/tahun, atau sama dengan 16.2 persen dari total pendapatan. Return untuk kawasan dari pengambilan HHNK sekitar US$ 92/ha/tahun, dibandingkan US$ 399 dan US$ 1 034/ha/tahun, masing-masing untuk kegiatan bercocok tanam dan produksi kapulaga (cardamom). Hadker et al. (1997), yang menduga WTP penduduk untuk konservasi kawasan lindung Borivli menarik pula untuk disimak. Survei dilakukan di lima kawasan yang padat dan mengalami ancaman perambahan dan deforestasi yang terus meningkat dari waktu ke waktu. Penelitian ini menggunakan metode Contingent Valuation dengan memakai formulasi pilihan double-bounded dichotomous (dimana responden ditawarkan dua jumlah penawaran secara berurutan), penawaran keduanya tergantung dari respon terhadap penawaran yang pertama). Hasil penelitian ini menemukan bahwa rata-rata WTP rumah tangga
35 yang diestimasi mencapai US$ 0.23/bulan atau secara agregat memiliki present value sekitar US$ 31.6 juta, dimana
jauh di atas
budget sekarang untuk
memelihara kawasan yakni sebesar US$ 20 000 juta. Sementara itu, Prasanthi et al. (1999), yang juga menggunakan CVM, melakukan dugaan nilai penggunaan dan bukan penggunaan hutan hujan tropis seluas 9 000 ha di Srilangka. Nilai ekonomi yang dipertimbangkan meliputi nilai penggunaan dan nilai bukan penggunaan dalam upaya menghitung nilai total ekonomi hutan lindung. Nilai kegunaan meliputi manfaat langsung yang berasal dari ekstraksi produk hutan, non-consumptive uses seperti rekreasi, dan manfaat tidak langsung dari jasa lingkungan hutan lindung dan digabungkan dengan pertanyaan WTP tunggal. Dalam penelitian ini digunakan open-ended CVM yang merupakan bagian dari WTP individu terhadap nilai kegunaan dan bukan kegunaan termasuk nilai keberadaan (exiestence values). Walsh et al. (1990), menyajikan studi kasus manfaat pelestarian dari pemanfaatan hutan secara intensif di negara bagian Colorado, USA, termasuk isuisu penurunan kualitas. Nilai yang dihitung menggunakan CVM, dan hasilnya diuji dengan berbagai kemungkinan pengaruh atau bias. Nilai ekonomi yang dipertimbangkan antara lain nilai kegunaan langsung (rekreasi), nilai pilihan dan nilai bukan kegunaan (nilai keberadaan dan warisan). Total WTP per tahun ratarata US$ 47/rumah tangga dengan tingkat kepercayan 95 persen sebesar US$ 32 hingga US$ 62. Nilai bukan kegunaan pelestarian direpresentasikan mendekati ¾ dari total manfaat, dan keinginan mereka meningkatkan manfaat diestimasikan lebih dari 2 kali dan ½ kali dari nilai rekreasi itu sendiri.
36 Penelitian mengenai nilai manfaat hutan tropika juga dilakukan oleh Chomitz and Kumari (1998), yang melakukan dugaan terhadap perubahan nilai manfaat hidrologis dan hasil hutan non-kayu kawasan hutan. Nilai manfaat hidrologis yang diperhitungkan berasal dari dampak perubahan penggunaan lahan, diantaranya adalah: erosi dan sedimentasi, kerusakan dam, produksi ikan, suplai air dan kekeringan. Chomitz and Kumari menyimpulkan antara lain bahwa pelestarian hutan menghasilkan manfaat domestik yang substansial dalam mengurangi erosi yang dihasilkan dari berbagai perubahan seperti pembangunan jalan, tanaman tahunan, semak belukar, dimana kawasan yang dipengaruhi berdampak langsung terhadap arus/aliran, reservoir, dan daerah tangkapan air yang dipengaruhi adalah kecil, curam, dan rawan erosi. Cruz et al. (1988) dalam Chomitz and Kumari (1998), melaporkan erosi di sekitar
dam
Pantabangan,
Filipina
mengakibatkan
kerugian
sebesar
US$ 4/ha/tahun sebagai akibat alih fungsi hutan. Proteksi hutan akan menyediakan manfaat lebih kurang US$ 80/ha pada tingkat suku bunga 5 persen. Mengenai nilai manfaat proteksi hutan ini juga dilaporkan oleh Shahwahid et al. (1997), yang melakukan penelitian di Hulu Langat Forest Reserve, Malaysia, bahwa proteksi hutan menghasilkan manfaat sebesar US$ 44/ha/tahun. Biaya imbangan larangan penebangan kayu komersial sekitar US$ 1 400/ha. Dengan demikian manfaat bersih dari proteksi hutan adalah US$ 1 356/ha. Eade and Moran (1996), dalam penelitiannya menyajikan aset lingkungan dalam dua dimensi, yakni dalam bentuk ”peta-peta nilai ekonomi” termasuk nilai non-pasar. Tujuannya adalah untuk mengestimasi efek spasial perubahan nilai ekonomi pada peta-peta tersebut dan melakukan penilaian dengan menggunakan
37 geografical information system (GIS). Metode yang digunakan dalam menduga total nilai ekonomi kawasan konservasi Rio Bravo, Brazil ini adalah dengan memanfaatkan GIS dan menghitung nilai ekonomi aset lingkungan tersebut dengan menggunakan teknik benefit transfer. Nilai ratio, interval atau nominal aset lingkungan ini dikalikan dengan nilai manfaat aset lingkungan pada tempat lain (dengan menggunakan teknik benefit transfer) menghasilkan nilai aset lingkungan yang bersangkutan. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa total nilai ekonomi aset-aset lingkungan kawasan Rio Bravo adalah antara US$ 43.35 sampai dengan US$ 2 000.55/sel.