II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Definisi pulau secara umum menurut UNCLOS adalah suatu wilayah atau area tanah (daratan) yang terbentuk secara alami, dikelilingi air, yang berada di atas muka air pada pasang surut tinggi (tidak boleh tenggelam jika air dalam keadaan pasang tertinggi). Hal ini dapat berupa area, populasi, kepadatan, indikator ekonomi misalnya PDB, karakteristik fisik dan geografi, atau kombinasinya. (Downes, 1988 dalam Srebrnik, 2004). Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (PWKPPK), menyatakan bahwa pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km 2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan ekosistemnya, yang pemanfaatannya dilakukan berdasarkan kesatuan ekologis dan ekonomis secara menyeluruh dan terpadu dengan pulau besar di dekatnya. Hess (1990), Dahuri (1998), dan Bengen (2001) menyebutkan pulau kecil adalah pulau yang berukuran kecil, yang secara ekologis terpisah dari pulau induknya dan memiliki batas yang pasti, terisolasi dari habitat lain, sehingga mempunyai sifat insular. Daratan yang pada saat pasang tertinggi permukaannya ditutupi air tidak termasuk kategori pulau kecil. Stratford (2003) menambahkan bahwa pulau (kecil atau sangat kecil) peka terhadap perubahan budaya dan lingkungan eksternal. Selain itu terdapat pula batasan yang menyebutkan pulau kecil adalah pulau dengan luas 10 000 km 2 atau kurang (Bell et.al. dalam
Dahuri, 1998; UNESCO, 1994 dalam
Sugandhy, 1999; Hess, 1990). Batasan lain yang juga dipakai adalah pulau dengan luas 5 000 km 2 (Falkland, 1995) atau dengan luas 2.000 km 2 (Ongkosongo, 1998; Falkland, 1995). Untuk pulau sangat kecil dipakai ukuran luas maksimum 1 000 km 2 dengan lebar kurang dari 3 km (Hehanusa, 1995; Falkland, 1995).
UNESCO (1991)
dalam Bengen dan Retraubun (2006)
menyatakan pulau sangat kecil luasnya tidak lebih besar dari 100 km 2 atau lebarnya tidak lebih besar dari 3 km. Pengertian
pengelolaan
pulau-pulau
kecil
adalah
suatu
proses
perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumberdaya pulaupulau kecil yang luas areanya≤ 2.000 km 2, secara fungsional saling berinteraksi dari sisi ekologis, ekonomi, sosial budaya, baik secara individual maupun secara sinergis dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
10 Dalam
kaitannya dengan pengelolaan banyak
faktor
yang harus
diperhatikan seperti: pulau kecil secara fisik memiliki sumberdaya daratan (terestrial) yang sangat terbatas, habitatnya seringkali terisolasi dari habitat lain, area tangkapan air terbatas dan mempunyai lingkungan yang khusus dengan proporsi spesies endemik yang tinggi bila dibandingkan dengan pulau kontinen, secara ekologi memiliki kondisi yang sangat rentan, sehingga interaksi antara lahan dan perairan laut melalui proses hidrologis dan arus laut sebagaimana pergerakan biotanya, mempunyai karakteristik yang spesifik (Salm et al., 2000). Menurut Adrianto (2004), dalam perspektif ekosistem wilayah pesisir, wilayah pulau-pulau kecil dapat dibagi menjadi beberapa sub wilayah yaitu : (1) wilayah perairan lepas pantai (coastal offshore zone); wilayah pantai (beach zone); (3) wilayah dataran rendah pesisir (coastal lowland zone); (4) wilayah pesisir pedalaman (inland zone). Selanjutnya dalam hubungannya dengan keterpaduan, pendekatan berbasis keberlanjutan sistem wilayah pesisir di pulau-pulau kecil menjadi syarat mutlak pengelolaan lingkungan wilayah pesisir di pulau-pulau kecil harus mempertimbangkan faktor keterpaduan antar komponen yang secara riil tidak dapat dipisahkan satu sama lain, yang akan menjadi tercapainya keberlanjutan pembangunan, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pulau kecil merupakan habitat yang terisolasi dari habitat lain sehingga membentuk kehidupan unik di pulau tersebut. Retraubun (2005) menyatakan bahwa beberapa karakteristik pulau-pulau kecil yang dapat menjadi kendala pengembangannya antara lain adalah: (1) Ukuran yang kecil dan terisolasi menyebabkan sangat mahalnya sarana dan prasarana, serta minimnya sumberdaya manusia yang handal; (2) Kesulitan atau ketidakmampuan
untuk
mencapai
skala
ekonomi
yang
optimal
dan
menguntungkan (dalam hal administrasi, usaha produksi, dan transportasi); (3) Ketersediaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang ada pada akhirnya akan menentukan daya dukung suatu sistem pulau-pulau kecil dalam menopang
kehidupan
manusia
dan
kegiatan
pengembangannya;
(4)
Produktivitas sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang ada saling terkait satu sama lain secara erat. Keberhasilan usaha pertanian, perkebunan atau kehutanan di lahan darat yang melupakan prinsip-prinsip ekologis, dapat mengancam industri perikanan pantai dan pariwisata bahari di pulau-pulau kecil; dan (5) Budaya lokal yang kadangkala bertentangan dengan kegiatan pembangunan (terutama pariwisata), karena budaya wisatawan (asing) yang
11 tidak sesuai dengan adat atau agama setempat. 2.2. Penataan Ruang Sesuai dengan Undang-undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. Selanjutnya dinyatakan bahwa tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat secara hirarki memiliki hubungan fungsional. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya. Ruang itu terbatas dan jumlahnya relatif tetap sedangkan aktifitas manusia dan pesatnya perkembangan setiap hari sehingga kebutuhan akan ruang semakin tinggi. Ruang merupakan sumberdaya alam yang harus dikelola bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa bumi air serta kekayaan alam yang tergantung didalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dalam konteks konstitusional ini ruang harus dilindungi dan dikelola secara terkoordinasi, terpadu, dan berkelanjutan. Ruang dalam wilayah nasional adalah wadah bagi manusia untuk melakukan kegiatannya. Hal ini tidak berarti bahwa wilayah nasional akan habis dibagi oleh ruang-ruang yang diperuntukkan bagi kegiatan manusia (fungsi budidaya) akan tetapi harus dipertimbangkan pula adanya ruang-ruang yang mempunyai fungsi lindung dalam kaitannnya terhadap keseimbangan tata udara, tata aiar, konservasi flora dan fauna serta kesatuan ekologi (Sugandhy,1999). Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program
12 beserta pembiayaannya. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang menurut UU No. 26 Tahun 2007. Penyusunan rencana tata ruang harus memperhatikan fungsi yang harus diemban oleh masing-masing ruang/kawasan. Fungsi suatu kawasan akan diperoleh jika penyusunan rencana tata ruang sebagai tahap awal dari proses penataan ruang mempertimbangkan aspek kesesuaian lahan, kemampuan lahan dan ketersediaan lahan yang selanjutnya akan mendorong pembangunan berkelanjutan (Azhari, 2004). Menurut Rustiadi, et al., ( 2004 ), penataan ruang pada dasarnya merupakan perubahan yang disengaja. Dengan memahaminya sebagai proses pembangunan melalui upaya-upaya perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik, maka penataan ruang mempunyai tiga urgensi, yaitu: 1) optimalisasi pemanfaatan sumberdaya (prinsip produktifitas dan efisiensi), 2) alat dan wujud distribusi sumberdaya (prinsip pemerataan, keberimbangan dan keadilan ), 3) keberlanjutan prinsip (sustainability). Rustiadi, et al. (2006) menyatakan bahwa tata ruang merupakan wujud pola dan struktur pemanfaatan
ruang merupakan wujud dan struktur
pemanfaatan ruang yang terbentuk secara alamiah dan sebagai wujud dari hasil pembelajaran (learning process). Selanjutnya proses ‘pembelajaran’ tersebut merupakan rangkaian siklus tanpa akhir berupa pemanfaatan, monitoring, evaluasi, tindakan pengendalian, perencanaan (untuk memperbaiki dan mengantisipasi masa depan), pemanfaatan
dan seterusnya yang disebut
penataan ruang. Menurut Rustiadi et al. (2006) bahwa perencanaan tara ruang dapat diartikan sebagai bentuk pengkajian yang sistematis dari aspek fisik, sosial dan ekonomi untuk mendukung dan mengarahkan produktifitas ruang didalam memilih cara yang terbaik untuk meningkatkan produktifitas agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat secara berkelanjutan. Sehingga rencana tata ruang dapat merupakan dokumen pelaksanaan pembangunan yang harus dipatuhi oleh semua pihak termasuk masyarakat setempat. Perencanaan tata ruang yang terintegrasi antar daerah dalam satu ekosistem dimaksudkan agar keseimbangan (dalam bentuk ruang yang nyaman, produktif dan berkelanjutan) dapat diwujudkan dalam satu kesatuan ekosisistem, tidak hanya terbatas pada wilayah yang direncanakan. Pengabaian terhadap prinsip ini akan mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup di wilayah lain misalnya di wialyah hilir
apabila perencanaan di wilayah
hulu
tidak
13 memperhatikan dampak yang ditimbulkan dari impelementasi rencana tata ruangnya terhadap wilayah hilir (Dardak, 2005) Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. Program pemanfaatan ruang disusun berdasarkan rencana tata ruang yang telah ditetapkan oleh masing-masing pemangku kepentingan sesuai dengan kewenangannya. Dalam penyusunan dan pelaksanaan program masing-masing pemangku kepentingan tetap harus melakukan koordinasi dan sinkronisasi untuk menciptakan sinergi dalam mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang (Dardak, 2005). Pengendalian pemanfaatan
ruang merupakan upaya untuk
mengarahkan pemanfaatan ruang agar tetap sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Pengendalian pemanfaatan ruang dilaksanakan melalui peraturan zonasi, perizinan, pemantauan, evaluasi dan penertiban terhadap ruang (Dardak, 2005). 2.3. Penggunaan Lahan Sumberdaya
lahan
didefinisikan
sebagai
lahan
dimana
ekstraksi
sumberdaya alam terjadi (dapat terjadi) seperti hutan, bahan tambang, atau pertanian (Lovering et al, 2001). Dengan demikian pengertian sumberdaya lahan lebih luas daripada tanah, yaitu suatu lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, topografi, tanah, hidrologi dan vegetasi dimana pada batas-batas tertentu mempengaruhi kemampuan penggunaan lahan. Menurut Jayadinata (1999), konsep lahan atau tanah setidaknya mancakup (1) konsep ruang, (2) konsep tanah, (3) konsep faktor produksi, (4) konsep situasi, (5) konsep properti dan (6) konsep modal. Selanjutnya menurut Sutawijaya (2004), tanah merupakan sumber daya yang menyediakan ruangan (space) yang dapat mendukung semua kebutuhan makhluk hidup. Dikatakannya pula bahwa ruangan yang disediakan tersebut sangat terbatas, sedangkan kebutuhan akan tanah mempunyai kecenderungan terus meningkat dari tahun ke tahun, dalam memenuhi kebutuhan perumahan, pertanian, industri dan lain-lain. Hal inilah yang menuntut perkembangan teoritis nilai tanah. Guna lahan atau penggunaan lahan adalah segala macam campur tangan manusia baik secara permanen ataupun secara siklus terhadap sekumpulan sumberdaya lahan dengan tujuan untuk memperoleh manfaat dari lahan, guna
14 mencukupi kebutuhan hidupnya, baik berupa kebendaan maupun spiritual ataupun keduanya (Sugiharto, 2006). Menurut Hubacek and Vazquez (2002), guna lahan dipengaruhi oleh tiga kelompok faktor. Kelompok pertama, terdiri dari faktor fisik, biologi dan teknik mencakup kuantitas, alam, ketersediaan dan karakteristik sumberdaya lahan, yang limit pastinya ditetapkan oleh apa yang dapat dilakukan operator dalam menggunakan sumber daya lahannya. Kelompok kedua, institusi, sebagai the “rules of the game” di masyarakat, membatasi orang dan secara tidak sadar menentukan kebiasaan orang dalam berinteraksi. Dan kelompok ketiga, secara terbatas merupakan kekuatan ekonomi, supply dan demand, sebagai pembentuk guna lahan dewasa ini. Sedangkan Jayadinata (1999) menyatakan bahwa faktor yang menjadi penentu dalam pola guna lahan adalah (1) perilaku masyarakat (social behavior) dan (2) faktor ekonomi. Supply lahan dalam pandangan fisik selalu dipertimbangkan sebagai hal yang tetap dan terbatas. Namun supply lahan secara ekonomi tergantung pada supply fisik, faktor kelembagaan, ketersediaan teknologi, dan lokasinya. Supply ekonomi mungkin dibatasi sebagai unit lahan yang memasukan kekhususan dalam merespon terhadap rangsangan, seperti harga dan kelembagaan. Pemilik lahan dalam menentukan tipe dan intensitas penggunaan lahannya tergantung pada harga lahan yang akan diperoleh per hektar. Dewasa ini supply lahan menggambarkan praktek
utilisasi, ketersediaan ekonomi sekarang, dan
kemampuan beradaptasi terhadap kebutuhan demand (Hubacek and Vazquez, 2002). Berdasarkan kondisi tersebut, pada saat supply masih cukup luas, maka demand menjadi tidak terbatas. Menurut Hubacek dan Vazquez (2002), demand lahan dibedakan atas dua kategori yang berbeda yakni direct demand dan derived demand. Direct demand lahan dikatakannya sebagai demand lahan yang digunakan langsung untuk konsumsi lahan, diarahkan oleh sinyal pasar bahwa konsumer menjadi land user, seperti petani, yang memberikan kepuasan terhadap demand bagi barang dan jasa sekarang. Namun demand kedua yakni derived demand, yang merupakan demand secara umum dimana konsumen meminta produk, sementara produser men-supply lahan sebagai faktor produksi. Mekanisme supply dan demand tersebut akan menentukan pola penggunaan lahan. Menurut Sugiharto (2006), pola guna lahan secara fisik yang dimaksud adalah upaya dalam meningkatkan pemanfaatan, mutu, dan penggunaan lahan untuk kepentingan penempatan suatu atau beberapa kegiatan fungsional
15 sehingga dapat memenuhi kebutuhan kehidupan dan kegiatan usaha secara optimal ditinjau dari segi sosial ekonomi, sosial budaya, fisik, dan secara hukum. 2.4. Perubahan Penggunaan Lahan Perubahan penggunaan lahan diartikan sebagai suatu proses perubahan dari penggunaan lahan sebelumnya ke penggunaan lain yang dapat bersifat permanen maupun sementara dan merupakan konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang baik untuk tujuan komersial maupun industri. Kim et al. (2002) memandang perubahan penggunaan lahan sebagai suatu sistem yang sama dengan ekosistem. Hal ini disebabkan pada satu kasus dalam sebuah sistem dimana penambahan populasi beberapa spesies biasanya menimbulkan kerusakan kepada spesies lainnya. Barlowe (1986) menyatakan bahwa dalam m enentukan penggunaan lahan terdapat tiga faktor penting yang perlu dipertimbangkan yaitu : faktor fisik lahan, faktor ekonomi dan faktor kelembagaan. Selain itu, faktor kondisi sosial dan budaya masyarakat setempat juga akan mempengaruhi pola penggunaan lahan. Bila dicermati secara seksama, faktor utama penyebab terjadinya perubahan penggunaan lahan adalah peningkatan penduduk sedangkan perkembangan ekonomi adalah faktor turunannya. Pertambahan jumlah penduduk berarti pertambahan terhadap makanan dan kebutuhan lain yang dapat dihasilkan oleh sumberdaya lahan. Permintaan terhadap hasil-hasil pertanian meningkat dengan adanya pertambahan penduduk. Demikian pula permintaan terhadap hasil nonpertanian seperti kebutuhan perum ahan dan sarana
prasarana
wilayah.
Peningkatan
pertumbuhan
penduduk
dan
peningkatan kebutuhan material ini cenderung menyebabkan persaingan dalam penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan dalam pelaksanaan pembangunan tidak dapat dihindari. Perubahan tersebut terjadi karena adanya keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang terus meningkat jumlahnya dan tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik. Barredo et al. (2003) menyatakan bahwa terdapat lima penyebab perubahan penggunaan lahan dalam suatu aktifitas perkotaan yaitu karakteristik lingkungan, karakteristik ketetanggaan lokal, kebijakan perencanaan kota dan wilayah, karakteristik spasial kota seperti aksesibilitas dan faktor yang berhubungan dengan preferensi individu, tingkat
16 pembangunan wilayah dan sistem politik. Sementara itu Mc Neil et al. (1998) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mendorong perubahan pengunaan lahan adalah politik, ekonomi, demografi dan budaya. Aspek politik adalah adanya kebijakan yang dilakukan oleh pengambil keputusan. Pertumbuhan ekonomi, perubahan pendapatan dan konsumsi juga merupakan faktor penyebab perubahan penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan di suatu
wilayah
merupakan
cerminan
upaya
manusia
dalam
memanfaatkan dan mengelola sum berdaya lahan yang akan m em berikan pengaruh terhadap manusia itu sendiri dan kondisi lingkungannya. 2.5. Perencanaan Penggunaan Lahan Lahan dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Sedemikian pentingnya nilai lahan, hingga seringkali muncul konflik di antara berbagai stakeholders yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan dalam pemanfaatan lahan. Potensi penggunaan lahan sangat beragam, mulai dari pertanian, pertambangan, kehutanan dan perlindungan alam serta industri dan perkotaan. Pengambilan keputusan yang tepat dalam pemanfaatan lahan seringkali menjadi persoalan penting dalam masyarakat modern (Verheye, 1997). Perencanaan penggunaan lahan (land-use planning) merupakan sebuah proses yang mencakup penilaian secara sistematis terhadap potensi lahan, identifikasi beberapa alternatif penggunaan lahan dan kondisi sosial ekonomi masyarakat dalam rangka menetapkan opsi penggunaan lahan terbaik. Perencanaan penggunaan lahan selalu berhubungan dengan beberapa aktivitas seperti penetapan penggunaan lahan untuk masa yang akan datang (physical planning), peningkatan kondisi fisik lahan (land development) dan penetapan metode pengelolaan lahan (land management) (van Lier, 1998). Aktivitas ini menurut Johnsons and Cramb (1996) membutuhkan informasi yang tepat yang terkait dengan aspek biofisik, ekonomi dan sosial. Perencanaan tidak akan berhasil mencapai tujuan (societal goals) yang diinginkan tanpa dukungan data yang akurat. Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, perencanaan penggunaan lahan menempati posisi yang sangat sentral. Perencanaan penggunaan lahan selalu dihadapkan pada dua dimensi yang saling bertentangan, yaitu konservasi ekologi dan pertumbuhan ekonomi. Keberlanjutan (sustainability) sebagai tujuan utama perencanaan penggunaan lahan sering kali menjadi tantangan manakala
17 kedua kepentingan yang saling bertentangan ini harus disatukan. Menanggapi tantangan tersebut, van Lier (1998) optimis akan tetap bisa dilaksanakan apabila para pelaku ekonomi merasa diri sebagai bagian dari lingkungan sehingga kesejahteraan ekonomi tidak akan pernah bisa dicapai tanpa langkah-langkah nyata perlindungan terhadap lingkungan dan basis sumberdaya yang ada. Demikian juga perlunya penanaman kesadaran bahwa keuntungan ekonomi jangka panjang hanya dapat diraih apabila tercipta keseimbangan lingkungan dan sumberdaya secara dinamik. Pembangunan ekonomi yang berkelanjutan juga diperlukan sebagai prasyarat bagi terciptanya keseimbangan lingkungan dan sumberdaya. Van Lier (1998) mengusulkan konsep spasial untuk menjembatani kesenjangan antara kepentingan konservasi dengan pertumbuhan ekonomi dalam rangka mencapai tujuan keberlanjutan. Konsep ini didekati dari 3 subkonsep, yaitu konsep integrasi vs segregasi (integration vs segregation concept); konsep kerangka kerja (framework concept); dan konsep jaringan ekologi (ecological network concept). Konsep integrasi berbasis landscape ecology. Beberapa tipe penggunaan lahan (misalnya pertanian, infrastruktur, outdoor recreation dan lalu lintas) direncanakan dan dikembangkan dengan tetap menjaga fungsi ekologi wilayah. Konsep kerangka kerja didasarkan pada pemahaman tentang adanya perbedaan antara bagian wilayah yang berdinamika tinggi (misalnya pertanian, rekreasi, permukiman dan transportasi) dengan bagian wilayah yang berdinamika rendah (misalnya ekosistem alami). Konsep ini melakukan
koreksi
melalui
segregasi
spasial
terhadap
lahan
dengan
penggunaan intensif (intensively-used lands) yang memerlukan lay-out dan pemanfaatan yang fleksibel pada satu sisi, dan lahan dengan penggunaan ekstensif yang memerlukan stabilitas pada sisi lain. Konsep jaringan ekologi merupakan
sebuah
fungsional dalam
konstelasi
konteks
elemen-elemen
dispersi spesies
landscape
di dalam
yang
bersifat
landscape yang
bersangkutan. Jaringan ekologi membuat hubungan antara wilayah inti (core regions), wilayah pengembangan (nature development regions), dan wilayahwilayah penghubung (connecting areas). 2.6. Kesesuaian Lahan Meningkatnya kebutuhan akan lahan akibat bertambahnya jumlah penduduk, menyebabkan terjadinya tumpang tindih kepentingan terhadap
18 sebidang lahan. Kegiatan pembangunan yang mendatangkan keuntungan ekonomi yang lebih besar atau dari sudut pandang politik lebih penting, akan menggeser kegiatan pembangunan yang kurang menguntungkan atau kurang penting dari segi politik. Hal ini jika dibiarkan dapat mengarah pada pola sebaran kegiatan yang secara ekonomi paling menguntungkan, namun belum tentu menguntungkan atau bahkan merugikan dari segi lingkungan (Wiradisastra 1989). Sebagaimana diketahui, penggunaan lahan membutuhkan persyaratan yang berbeda-beda. Hal ini menjadi dasar pentingnya mengetahui potensi lahan atau kelas kesesuaian/kemampuan lahan untuk berbagai penggunaan dalam perencanaan penggunaan lahan, yang dapat dilakukan melalui evaluasi lahan. Selain bermanfaat untuk menentukan kelas kesesuaian/kemampuan lahan, evaluasi lahan juga penting untuk memprediksi konsekuensi-konsekuensi dari perubahan penggunaan lahan yang akan dilakukan (Hardjowigeno dan Widiatmaka,
2007;
Sitorus,
1998).
Evaluasi
lahan
merupakan
proses
memperbandingkan antara kualitas lahan dengan persyaratan dari penggunaan lahan yang spesifik dan sebagai hasilnya harus memberikan pilihan penggunaan lahan yang sesuai dengan segala pertimbangannya (FAO, 1976). Klasifikasi kemampuan atau kesesuaian lahan adalah pengelompokan lahan berdasarkan kesesuaian atau kemampuannya untuk tujuan penggunaan tertentu (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007; Sitorus, 1998). Istilah kemampuan lahan digunakan oleh Soil Conservation Service, USDA, sebagai cara pengharkatan tanah ke dalam delapan kelas kemampuan lahan. Dalam sistem ini,
lahan
dikelompokkan
memproduksi
tanaman
terutama
pertanian
menimbulkan kerusakan dalam
atas
dan
dasar
rumput
kemampuannya
makanan
ternak,
untuk tanpa
jangka waktu panjang (Klingiebiel and
Montgomery, 1961). Sedangkan menurut FAO (1976), istilah kesesuaian dan kemampuan lahan mempunyai arti yang sama sehingga dapat saling dipertukarkan dan selanjutnya memperkenalkan istilah evaluasi lahan. Namun demikian, pengertian yang umum dianut saat ini adalah bahwa kemampuan lahan berarti potensi untuk penggunaan pertanian secara umum, sedangkan kesesuaian lahan berarti potensi lahan untuk macam/ jenis penggunaan tertentu.
19 2.7. Simulasi Perubahan Penggunaan Lahan dengan Pendekatan Cellular Automata Hukum geografi pertama dinyatakan Tobler (1970) bahwa “setiap hal memiliki keterkaitan dengan hal lainnya, namun yang lebih berdekatan memiliki keterkaitan lebih dari lainnya”. Keterkaitannya dengan data raster, Vliet (2008) menyatakan bahwa perubahan penggunaan lahan dalam suatu grid ditentukan oleh penggunaan lahan dan karakteristik ketetanggaan grid terdekat
disekitarnya
(neighbourhood).
Pengaruh
ketetanggaan
dari
penggunaan lahan melekat dalam constrained cellular automata (CA) yang didasarkan atas model perubahan penggunaan lahan sebelumnya dan pengaruh dari penggunaan lahan tetangganya (Verburg et al., 2004). Model CA seringkali digunakan untuk model perubahan penggunaan lahan dan pertumbuhan kota (urban growth) dimana saat ini model CA telah digunakan sebagai alat untuk mendukung perencanaan penggunaan lahan dan analisis kebijakan (Barredo et al., 2003). CA pertama kali diperkenalkan oleh Ulam dan Von Neuman pada tahun 1940 yaitu membuat kerangka kerja formal untuk meneliti perilaku sistem yang kompleks. CA adalah model dinamik dari interaksi lokal antar sel pada grid yang teratur (Hand, 2005). CA juga didefinisikan sebagai grid dua dimensi dimana nilai sel
merepresentasikan
penggunaan
lahan,
sedangkan
perubahan
penggunaan lahannya tergantung aturan (rule) yang mempertimbangkan penggunaan tetangganya (Manson, 2001). Model CA bersifat dinamik, unitnya berupa ruang diskrit (piksel) dan merupakan fungsi waktu serta dapat diperbaiki (update) secara serentak. Komponen utama CA adalah sel (cell), state, aturan atau fungsi perubahan (transition rule or transition function) dan ketetanggaan (Chen et al. 2002). Skenario perubahan penggunaan lahan pada setiap piksel tergantung pada kesesuaian lahannya, penggunaan lahan periode sebelumnya dan lahan tetangganya. 2.8. Alokasi Pemanfaatan Ruang Menurut UU. No. 26 Tahun 2007, alokasi pemanfaatan ruang (pola ruang) adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya.
20 Secara umum, perencanaan pola pemanfaatan ruang adalah suatu proses penyusunan rencana alokasi pemanfaatan ruang untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup, manusia, dan kualitas pemanfaatan ruang, yang secara struktural menggambarkan keterikatan fungsi lokasi yang terbagi dalam berbagai kegiatan. Perencanaan pola pemanfaatan ruang dilakukan melalui proses dan prosedur penyusunan serta penetapan rencana alokasi pemanfaatan ruang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta mengikat semua pihak (Darwanto, 2000). Rencana pola pemanfaatan ruang berbentuk alokasi peruntukan ruang di suatu wilayah perencanaan. Bentuk alokasi pemanfaatan ruang pada dasarnya dapat berupa alokasi letak, luas dan atribut lain (misalnya jenis dan intensitas kegiatan) yang direncanakan dapat tercapai pada akhir periode perencanaan (Darwanto,
2000).
Menurut
Sugandhy
(1999),
dalam
pembangunan
berkelanjutan berwawasan lingkungan, perlu dikembangkan pola pemanfaatan ruang yang menyerasikan tata guna lahan, air, serta sumberdaya alam lainnya dalam satu kesatuan tatanan lingkungan yang harmonis dan dinamis serta ditunjang oleh pengelolaan perkembangan kependudukan yang serasi. Alokasi pemanfaatan ruang perlu dikelola berdasarkan pola terpadu melalui pendekatan wilayah dengan memperhatikan sifat lingkungan alam, lingkungan buatan, dan lingkungan sosial budaya. Menurut Hardjowigeno dan Nasution (1990), pendekatan perencanaan alokasi pemanfaatan ruang melalui perencanaan tata guna lahan dapat dilakukan dengan cara penilaian terhadap lahan dan komponen-komponennya, seperti tanah, iklim dan lain-lain untuk memenuhi kebutuhan manusia yang selalu berubah menurut waktu dan ruang. Konsep perencanaan tata guna lahan harus mempertimbangkan aspek kebutuhan masyarakat, kemampuan teknis, tenaga kerja serta modal yang dapat menjadi kontribusi bagi masyarakat. Suatu tata guna lahan yang terencana harus dapat diimplementasikan/ditetapkan, dapat diterima oleh masyarakat setempat, dan sekaligus dapat meningkatkan taraf hidup atau tingkat pendapatan masyarakat (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Darwanto (2000), menekankan pada adanya kaitan antara tiga proses yang saling bergantungan dalam penentuan lokasi pemanfaatan ruang. Pertama, proses
yang mengalokasikan aktivitas pada suatu kawasan sesuai dengan
hubungan fungsional tertentu. Kedua, proses pengadaan atau ketersediaan fisik
21 yang menjawab kebutuhan akan ruang bagi aktivitas seperti untuk tempat untuk bekerja, tempat tinggal, transportasi dan komunikasi. Ketiga, dalam proses pengadaan dan pengalokasian pemanfaatan ruang ini, kaitan antara bagianbagian permukaan bumi, tempat berbagai aktivitas dilakukan, dengan bagian atas ruang (angkasa) serta kebagian dalam yang mengandung berbagai sumberdaya perlu dilihat dalam wawasan yang integratif. Di dalam alokasi lahan memungkinkan pola penggunaan lahan dianalisis untuk memilih pencapaian tujuan khusus yang terbaik. Teknik yang umum yang diterapkan untuk mengalokasikan penggunaan lahan adalah (1) berdasarkan klasifikasi kemampuan lahan, (2) berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi, (3) alokasi berdasarkan analisis sistem, (4) sistem pakar, (5) metode evaluasi multi kriteria dan (6) pemrograman matematik (7) model simulasi spasial yang sering diintegrasikan dengan Sistem Informasi Geografis (SIG). Alokasi penggunaan lahan berdasarkan klasifikasi kemampuan lahan adalah cara yang paling praktis karena penentuan kelas-kelas kemampuan lahan hanya didasarkan pada kondisi faktor-faktor biofisik suatu kawasan. Metode ini sangat sedikit atau kurang sekali mempertimbangkan faktor sosial ekonomi
yang mempengaruhi penggunaan
lahan (Vink, 1975). Pendekatan alokasi lahan dengan menggunakan prinsip-prinsip ekonomi pernah dikemukakan oleh Gregory (1955) dan Valdepenas (1969) dalam Balangue (1988). Melalui penggunaan teori produksi gabungan (joint production) dalam model grafik dua dimensi, dapat ditentukan satu pilihan antara hutan untuk single-use atau multiple-use. Menurut Gregory, masalah alokasi terletak pada posisi expantion path yang digambar melalui satu kumpulan grafik isocost dan isorevenue. Jika expantion path letaknya dekat dengan axis penggunaan lahan single use, keputusannya adalah lahan hutan single-use lebih dominan dari multiple-use. Sebaliknya jika expantion path lebih dekat dengan axis lahan multiple-use, maka penggunaan lahan yang dominan adalah jenis penggunaan hutan multiple-use. Jika expantion path lokasinya tepat ditengah-tengah kedua axis, keputusannya adalah penggunaan lahan hutan sama baiknya. Balangue (1988) menggunakan kriteria ekonomi (total net return) untuk memecahkan kombinasi alokasi lahan untuk menghasilkan kayu dengan lahan untuk menghasilkan ternak. Secara grafik digambarkan sekumpulan isocost dan isorevenue untuk beberapa tingkat biaya dan kombinasi optimum produknya (penerimaan maksimum). Pendapatan total bersih dicari dengan mengurangkan
22 biaya dari pendapatan kotor. Akhirnya tingkat biaya yang menghasilkan pendapatan bersih tertinggi dikatakan sebagai tingkat biaya dan aktivitas produksi paling efisien secara ekonomi. Alokasi lahan hutan dengan prinsip ekonomi ini mempunyai kelemahan karena tidak semua hasil dari hutan dapat dihitung secara ekonomi dengan nilai uang. Net return yang hanya didasarkan pada kuantifikasi tujuan (target), output dan input secara moneter belum tentu mencerminkan net benefit yang sebenarnya (Balangue, 1988). Pendekatan analisis sistem untuk alokasi penggunaan lahan dimulai dengan mengidentifikasi sistem dan subsistem yang ada di daerah studi.
Setiap elemen dari sistem yang ada dianalisis sesuai
dengan fungsinya dan keterkaitannya dengan unsur lainnya. Pendekatan ini biasanya memerlukan masukan dari berbagai disiplin ilmu sehingga tim perencanan biasanya terdiri dari latar belakang yang berbeda. Setiap alternatif penggunaan lahan dievaluasi dengan menggunakan kriteria-kriteria ekologis, ekonomis, sosial budaya dan mungkin juga politik. Jenis penggunaan lahan yang mempunyai nilai positif tertinggi dalam hal kualitas hidup akan dialokasikan di daerah studi (Soerianegara, 1977). Pendekatan analisis sistem ini juga dapat dikombinasikan dengan metode lainnya seperti dengan metode pemrograman matematik (Soemarno, 1991). Penggunaan pemrograman matematik seperti linear programming, goal programming, STEP method sangat berguna dalam memecahkan permasalahan alokasi jenis-jenis penggunaan lahan.
Problem alokasi sumberdaya muncul
apabila terdapat sejumlah aktivitas yang harus dilakukan dan terdapat keterbatasan (kendala), baik dalam jumlah ketersediaan sumberdaya maupun dalam cara dan waktu penggunaannya. Dalam kondisi seperti ini maka tujuan yang ingin dicapai adalah mengalokasikan sumberdaya yang tersedia kepada aktivitas-aktivitas yang ada secara optimal. Permasalahan pengalokasian sumberdaya untuk mencapai kondisi optimal ini dicakup dalam teknik-teknik optimalisasi dengan menggunakan beberapa model matematika dan simulasi (Jeffers 1978; Soemarno 1991). Optimalisasi mengisyaratkan upaya penemuan nilai maksimal atau minimal dari beberapa fungsi matematis dengan jalan menetapkan harga bagi peubah-peubah yang dapat dikendalikan hingga batasbatas tertentu. Maksimalisasi merupakan proses penemuan nilai maksimal dari suatu fungsi tujuan, sedangkan minimalisasi merupakan proses penemuan nilai minimalnya (Budiharsono, 2005).
Kedua proses ini sering digunakan dalam
23 pengalokasian sumberdaya lahan pertanian yang menghadapi beberapa kendala. Seringkali juga mengungkapkan kemungkinan-kemungkinan yang mampu meningkatkan keluaran yang diinginkan dari suatu sistem dengan jalan memodifikasi struktur sistem atau mengubah cara pengelolaan sistem yang ada. Hal ini merupakan alasan utama bagi penggunaan model-model yang memungkinkan kita untuk mengungkapkan dan menelaah konsekuensi-konsekuensi dari perubahan tersebut. Penggunaan model program linear untuk menyelesaikan permasalahan menghendaki beberapa persyaratan dan asumsi. Lima macam persyaratannya adalah : adanya tujuan yang ingin dicapai, adanya alternatif kombinasi aktivitas yang dapat saling diperbandingkan, rumusan kuantitatif (model matematik), sumberdaya yang terbatas, dan
keterkaitan
peubah (hubungan fungsional). Sedangkan lima macam asumsi yang harus dipenuhi adalah : linearitas, proporsionalitas, aditivitas, kontinuitas (divisibilitas), dan deterministik (Nasendi dan Anwar, 1985). Apabila suatu permasalahan mempunyai tujuan lebih dari satu (bertujuan ganda) dan tidak saling menenggang, maka model program linear harus dimodifikasi. Hasil modifikasi ini disebut Program Tujuan Ganda (PTG) atau Goal Programming atau Multiple Objective Goal Programming (Budiharsono, 2005). Pada dasarnya analisis PTG ini bertujuan untuk meminimalkan simpangan (deviasi) terhadap berbagai tujuan, sasaran atau target yang telah ditetapkan dengan usaha yang dapat ditempuh untuk mencapai target atau tujuan tersebut secara memuaskan sesuai dengan kendala yang ada. Sehingga dengan prosedur analisis ini dapat dicoba untuk mendeteksi sedekat mungkin targettarget tersebut sesuai dengan skala prioritasnya. 2.9. Pengambilan Keputusan Multi Kriteria Salah satu metode yang sudah banyak digunakan, dikembangkan dan diakomodasikan
untuk
menghadapi
berbagai
kriteria
yang
ada
dalam
pengambilan keputusan tanpa melakukan konversi pada unit pengukuran adalah pengambilan keputusan dengan banyak kriteria. Analisis multi kriteria ini memerlukan sejumlah pendekatan dengan terlebih dahulu menghitung banyak kriteria untuk membentuk struktur dan proses pengambilan keputusan. Untuk mendukung analisis ini ada beberapa software yang digunakan yaitu simple multi attribute rating techniques (SMART) dan visual interactive sensitivity analysis
24 (VISA). Untuk analisis kesesuaian lahan dengan menggunakan SIG, umumnya menghasilkan sejumlah pilihan yang mudah. Pada penelitian ini kriteria pilihan terdiri dari kategori yang sangat sesuai sampai yang tidak sesuai dari masingmasing peruntukannya dan terdapat sumber yang terbatas sehingga harus dibuat daftar prioritas. Mencari prioritas mana yang terbaik, SIG mempunyai kemampuan yang terbatas, yaitu kelemahan dalam penentuan prosedur pendukung keputusan (Subandar, 1999). Selanjutnya dikatakan juga bahwa SIG mempunyai kekurangan dalam kemampuan menganalisa model dan sulit mengakomodasi variasi dalam konteks proses pembuatan keputusan (spatial decision). Dalam mengelola suatu sumberdaya alam, seorang pengelola harus membuat keputusan spasial pada lokasi sumberdaya alam seperti penggunaan lahan, kesesuaian lahan berdasarkan alternatif yang mudah. Keputusan biasanya akan sulit karena pembuat keputusan menganggap dampak alternatif dalam dimensi yang banyak. Hal ini membuktikan bahwa pengelolaan sumberdaya alam adalah masalah yang multi kriteria dan multi objektif dan diperlukan suatu teknik evaluasi yang saling berhubungan untuk mendukung proses pembuatan keputusan dalam pengelolaan sumberdaya alam. Teknik MCDM merupakan suatu teknik yang cukup baik diterapkan karena bertujuan dalam mengakomodasi proses seleksi yang melibatkan beragam kriteria (multi criteria) dalam pemilihan alternatif (Gumbriech, 1996). Teknik MCDM ini akan lebih luas penerapannya bila dikombinasikan dengan SIG. Penerimaan teknik ini pada beberapa bidang ditentukan oleh beberapa faktor, seperti : a) Teknik MCDM memiliki kemampuan dalam menangani jenis data yang bervariasi
(kuantitatif, kualitatif dan data campuran) dan pengukuran yang
intangible. b) Teknik MCDM dapat mengakomodasi perbedaan yang diinginkan dalam penentuan kriteria ekologi, ekonomi dan sosial budaya. c) Skema bobot yang bervariasi menghadirkan prioritas yang berbeda atau pandangan dari stakeholders yang berbeda, dapat diterapkan MCDM. d) Teknik MCDM tidak membutuhkan penentuan nilai ambang seperti pada operasi
overlay sehingga kehilangan informasi yang dihasilkan tidak terjadi
akibat penurunan skala dari variabel continue pada skala nominal. e) Prosedur analisis atau agregasi dalam teknik MCDM relatif sederhana dan
25 straight forward (Jansen and Rietveld, 1990; Carter, 1991; Jankowski 1994; dalam Subandar, 1999). 2.10. Nilai Ekonomi Ekosiste m Penelitian jasa ekosistem merupakan bidang yang tumbuh cepat, dan bahkan istilah jasa ekosistem sendiri mungkin relatif baru, namun pemahaman bahwa alam menyediakan jasa untuk kesejahteraan manusia diketahui sejak jaman dahulu (Fisher, et al., 2009). Meskipun sejarah konsep, literatur sedikit membedakan secara pasti bagaimana jasa ekosistem didefinisikan (Boyd and Banzhaf, 2007). Menurut Fisher, et al., (2009) ada tiga definisi umum dari jasa ekosistem yaitu: a. Kondisi dan proses melalui ekosistem alam dan jenis yang tumbuh, lestari dan memenuhi kebutuhan hidup manusia. b. Populasi manusia mendapat secara langsung dan tidak langsung dari fungsi ekosistem (Costanza, et al., 1997). c. Manusia mendapat manfaat dari ekosistem (MA, 2005). Selanjutnya Millenium Ecosystem Assessment (MA) mengelompokkan jasa ekosistem kedalam empat kategori: a. Jasa pendukung, yang mendukung jasa persediaan yang lain yaitu siklus hara dan formasi tanah; b. Jasa persediaan, yang merupakan barang yang dapat dipanen seperti daging, buah, pangan, serat, bahan bakar dan air; c. Jasa pengaturan, yang bertanggung jawab memelihara keanekaragaman hayatinya sendiri, termasuk proses dan dinamika pemurnian secara alam, seperti pemurnian alam, mekanisme kontrol biologi, penyimpanan karbon, penyerbukan tanaman; dan d. Jasa budaya, yang menyediakan sumber artistik, spiritual religious, rekreasi atau pengayaan keilmuan pendidikan atau manfat non material. Dalam setiap kegiatan pembangunan sebagai implementasi suatu kebijakan pembangunan selalu timbulnya biaya dan manfaat yang merupakan dampak negatif dan positif akibat dari kegiatan atau kebijakan tersebut. Untuk menyatakan bahwa suatu kegiatan atau kebijakan itu layak atau tidak layak diperlukan suatu perbandingan yang menghasilkan suatu nilai atau suatu rasio yang dinyatakan dalam rupiah. Tanpa pemberian nilai dalam rupiah akan sulit
26 bagi kita untuk menyatakan bahwa suatu kegiatan atau kebijakan itu layak dilaksanakan (Suparmoko, 2002). Nilai (value) merupakan persepsi seseorang; yaitu harga yang diberikan oleh seseorang terhadap sesuatu pada tempat dan waktu tertentu. Kegunaan, kepuasan, dan kesenangan merupakan istilah lainnya yang dapat diterima dan berkonotasi nilai atau harga. Ukuran harga ditentukan oleh waktu, barang, atau uang yang akan dikorbankan seseorang untuk memiliki atau menggunakan barang atau jasa yang diinginkannya. Penilaian adalah kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan konsep dan metodologi untuk nilai barang dan jasa (Davis and Johnson, 1987). Nilai ekonomi mencakup konsepsi kegunaan, kepuasan dan kesenangan yang diperoleh oleh individu atau masyarakat tidak terbatas kepada barang dan jasa yang diperoleh dari jual beli tetapi semua barang dan jasa yang dapat memberikan manfaat untuk kesejahteraan manusia. Baik barang publik maupun privat akan memberikan manfaat bagi masyarakat. Dengan demikian manfaat fungsi ekologis pada hakekatnya juga mempunyai nilai ekonomi karena jika fungsi ekologis tersebut terganggu maka akan menimbulkan kerugian berupa bencana atau kerusakan. Valuasi Ekonomi menurut Sanim (2006) adalah ilmu tentang pembuatan pilihan-pilihan (making choices), dalam pembuatan pilihan-pilihan dari alternatif yang dihadapkan kepada pilihan tentang lingkungan hidup adalah lebih kompleks,
dibandingkan
dengan
pembuatan
pilihan
dalam
konteks
barang-barang privat murni (purely private foods). Nilai ekonomi suatu ekosistem/sumberdaya
dapat
dibagi
dalam
3
kategori
yaitu: (1) jasa untuk pengembangan dan pemeliharaan dari kemampuan dari ekosistem itu sendiri; (2) jasa untuk ekosistem lain; dan (3) jasa untuk penggunaan manusia. CSERGE (1994) menyatakan bahwa salah satu cara melakukan assesment untuk mendapatkan potensi pulau kecil adalah dengan melakukan penilaian ekonomi ekosistem. Terdapat 3 (tiga) jenis pendekatan penilaian sebuah ekosistem alam yaitu (1) impact analysis, (2) partial analysis, dan (3) total valuation. Pendekatan impact analysis dilakukan apabila nilai ekonomi ekosistem dilihat dari dampak yang mungkin timbul sebagai akibat dari aktivitas tertentu, misalnya akibat tumpahan minyak terhadap ekosistem pesisir. Sedangkan partial analysis dilakukan dengan menetapkan dua atau lebih alternatif pilihan pemanfaatan ekosistem. Sementara itu, total valuation di lakukan untuk menduga total kontribusi ekonomi dari sebuah ekosistem kepada
27 masyarakat dalam sebuah ekosistem tertentu. Dalam konteks ini, pendekatan yang digunakan untuk menilai potensi pulau kecil adalah dengan total valuasi nilai ekonomi atau lebih dikenal valuasi ekonomi. Lebih lanjut dinyatakan bahwa valuasi ekonomi dapat didefinisikan sebagai pengukuran preferensi dari masyarakat untuk sumberdaya dan lingkungan hidup yang baik dibandingkan terhadap lingkungan hidup yang jelek. Dengan kata lain valuasi dari preferensi dilakukan yang dilakukan oleh masyarakat sendiri. Hasil dari valuasi dinyatakan dalam nilai uang (money terms) sebagai cara dalam mencari preference revelation, misalnya dengan menanyakan ”apakah masyarakat berkehendak untuk membayar?”. Penggunaan nilai uang memungkinkan membandingkan antara ”nilai lingkungan hidup (environmental values)” dan ”nilai pembangunan (development values)”. Esensi valuasi ekonomi dari lingkungan adalah memindahkan penilaian orang ke dalam unit moneter pada suatu aset lingkungan tertentu (Hardarson, 2000). Valuasi ekonomi sumberdaya pulau kecil pada prinsipnya memberikan nilai moneter terhadap barang dan jasa yang dihasilkan pulau kecil, baik yang tangible maupun yang intangible. Analisis penentuan nilai ekonomi sebagai suatu entitas untuk menjelaskan potensi pulau kecil bukanlah sesuatu yang mudah mengingat kompleksitas interaksi antar sistem yang ada di pulau kecil (Fauzi dan Anna, 2005). Sehubungan dengan kerangka penilaian jasa ekosistem Hein et al., (2006) mengelompokan penilaian jasa ekosistem ke dalam 4 tahap yaitu; spesifikasi batasan sistem yang dinilai; penilaian jasa ekosistem yang disuplai
oleh
sistem;
penilaian
perbandingan nilai jasa (Gambar 2).
jasa
ekosistem
dan
agregasi
atau
28
Tahap 1. Spesifikasi batasan ekosistem yang dinilai
EKOSISTEM
Jasa Produksi
- Pangan - Serat - Air - Produksi oksigen - Formasi tanah - Siklus hara
Direct Use Value (DUV)
Jasa Pengaturan
- Pemurnian air - Kontrol biologi - Penyimpanan karbon - Penyerbukan
Indirect Use Value (IUV)
Jasa Budaya
- Peluang / kesempatan kerja - Artistik - Rekreasi - Religius - Keilmuan
Option Value (OV)
Total Nilai
Non Use Value (NUV)
Tahap 2. Penilaian jasa ekosistem dalam bentuk biofisik
Tahap 3. Valuasi menggunakan indikator moneter dan indikator lain
Tahap 4. Agregasi atau perbandingan nilai yang berbeda
Gambar 2 Kerangka Penilaian Jasa Ekosistem (Hein, et al., 2006). Keterangan: TEV
= Nilai ekonomi total adalah nilai-nilai ekonomi yang terkandung dalam suatu sumberdaya alam, baik nilai guna maupun nilai fungsional yang harus di pe rhi tung kan d alam men yusun keb ija kan p en gel ola ann ya sehi ng ga alo kasi dan alternatif penggunaannya dapa t di tentukan secara benar dan mengenai sasaran. UV = Nilai be rbasis pemanfaa tan . NUV = Nilai berbasis buka pemanfaatan. D U V = N i l a i e ko nom i y an g d i pe ro l eh d a ri pem a n fa ta a n l an gs u n g d a ri s eb u ah sumberdaya / ekosistem. IU V = Ni lai e konomi yang di peroleh d ari p eman faa tan tid ak l angsung da ri sebuah sumberdaya / ekosistem. OV = Nilai ekonomi yang diperoleh dari potensi pemanfaatan langsung maupun tidak langsung dari sebuah sumberdaya / ekosistem di masa datang dengan asumsi sumberd a ya te rsebu t ti dak mengal ami kemusnahan a tau kerusa kan yang permanen. BV = Ni lai e konomi yang di peroleh d ari man faa t p eles tari an (perl indu ngan dan pengawetan) sumberdaya/ ekosistem untuk kepentingan generasi masa depan untuk mengambil manfaat dari sumberdaya/ ekosistem tersebut.
29 EV
=
N il ai e k on omi y ang di pe ro le h d a ri se bu ah pe rse psi bah wa keb erada aan (existence) dari sebuah ekosistem/ sumberdaya itu ada, terlepas dari apakah ekosistem/sumberdaya tersebut dimanfaatkan atau tidak. Nilai ini lebih berkaitan dengan nilai religius yang melihat adanya hak hidup pada setiap komponen sumberdaya alam.
2.11. Metode Penilaian Manfaat Ekonomi Ekosistem James (1991) mengelompokkan teknik penilaian manfaat sumberdaya berdasarkan kriteria yang menggambarkan karakteristik setiap jenis nilai, baik nilai guna langsung, nilai guna tidak langsung, nilai pilihan dan nilai keberadaan. Untuk metode penilaian nilai guna langsung terdiri atas : (i)
Nilai manfaat sosial bersih
Metode ini menggunakan data demand dan supply yang lengkap secara series sehingga dapat disusun kurva supply dan demand untuk menentukan nilai barang
berdasarkan
perpotongan
kedua
kurva
tadi
sebagai
harga
keseimbangan. (ii)
Harga pasar
Metode ini digunakan untuk barang atau jasa lingkungan yang memiliki harga pasar. Data yang diperlukan adalah harga dan jumlah setiap jenis barang/ jasa sumberdaya alam dan lingkungan. Menurut Davis dan Johnson (1987) metode fakta pasar dan nilai kini bersih termasuk dalam teknik penilaian ini. Metode nilai kini bersih mencoba untuk menghitung nilai saat ini dari hasil penggunaan lahan hutan. (iii)
Harga pengganti
Metode ini terdiri dari beberapa teknik : a. Harga subtitusi. Nilai barang/ jasa sumberdaya alam dan lingkungan yang tidak memiliki harga pasar didekati dari harga barang subtitusinya. b. Harga subtitusi tidak langsung. Untuk barang subtitusi yang tidak ada harga pasarnya, maka nilai barang didekati dari harga penggunaan lain dari barang subtitusi. c. Biaya oportunitas tidak langsung. Nilai barang/ jasa sumberdaya alam dan lingkungan didekati dari faktor biaya pengadaannya (khususnya upah). d. Nilai tukar perdagangan. Harga barang/ jasa sumberdaya alam dan lingkungan didekati dari nilai pertukaran dengan barang yang ada harganya. e. Biaya relokasi. Nilai barang/ jasa sumberdaya alam dan lingkungan didekati dari biaya pemindahan ke tempat lain dimana manfaat penggunaan dapat digantikan di tempat baru.
30 (iv)
Biaya perjalanan.
Metode ini biasa digunakan untuk menghitung nilai kawasan rekreasi. Modifikasi dari metode ini adalah biaya pengadaan yang bisa digunakan untuk menghitung nilai air berdasarkan biaya besarnya biaya pengadaan sampai air tersebut dikonsumsi. (v)
Nilai dalam proses produksi
Teknik ini digunakan untuk menilai barang/ jasa sumberdaya alam dan lingkungan yang merupakan input dalam produksi suatu barang. Sebagai contoh untuk menghitung nilai tegakan melalui pendekatan output kayu gergajian yang dihasilkan. Untuk memilih metode penilaian nilai guna langsung dari sumberdaya alam dan lingkungan yang tepat ditentukan berdasarkan pada seberapa jauh ketersediaan data harga yang ada dan sifat dari produk sumberdaya alam dan lingkungan tersebut. Tahapan pemilihan metode penilaian guna langsung dapat dilihat pada gambar 3. Data permintaan dan penawaran tersedia lengkap lengkap
Ya Metode Manfaat Sosial Bersih
Tidak Ya Produk dijual di pasar
Metode harga pasar
Tidak Hasil produk produk akhir
merupakan
Ya
Tidak
Ya Hasil produk produk antara
merupakan
Harga pengganti • Harga subtitusi • Harga subtitusi tidak langsung • Biaya oportunis tidak langsung • Nilai tukar • Biaya relokasi
Nilai produksi • Pendekatan fungsi produksi • Faktor pendapatan bersih
Gambar 3 Tahapan pemilihan metode penilaian nilai guna langsung (James, 1991). Sedangkan untuk metode penilaian nilai guna tidak langsung, nilai pilihan dan nilai keberadaan dari sumberdaya hutan terdiri atas : (i)
Perlindungan aset
a. Biaya penggantian. Nilai dari fungsi sumberdaya didekati dari biaya
31 penggantian/ pembuatan kembali sumberdaya hutan yang rusak, sehingga fungsinya terpulihkan kembali atau berdasarkan biaya penggantian fungsi sumberdaya hutan yang rusak dengan alternatif barang/jasa lainnya. b. Biaya rehabilitasi. Nilai dari fungsi sumberdaya didekati dari biaya perbaikan kondisi sumberdaya tersebut sehingga fungsinya kembali seperti semula. Perbedaan dengan biaya penggantian adalah tingkat kerusakan yang terjadi tidak sampai harus mengganti total aset tersebut. c. Nilai produksi yang hilang. Nilai dari fungsi sumberdaya didekati dari nilai perubahan hasil produksi akibat perubahan fungsi sumberdaya tersebut. d. Biaya pembangunan tambahan. Nilai dari fungsi sumberdaya didekati dari pengeluaran biaya tambahan pembuatan fasilitas tertentu agar fungsi SDA tetap ada. (ii)
Metode penilaian kontingensi.
Pemilihan metode penilaian nilai guna tidak langsung, nilai pilihan dan nilai keberadaan ditentukan berdasarkan pada dapat tidaknya nilai tersebut direfleksikan pada
nilai-nilai
manfaat yang mudah terukur.
Tahapan
pemilihannya dapat dilihat pada Gambar 4. Mempunyai fungsi perlindungan
Metode Perlindungan Aset • Biaya pemulihan • Biaya rehabilitasi • Biaya kehilangan produksi • Biaya pembangunan tambahan
Ya
Tidak
Ya
Nilai fungsi atau atribut dapat direfleksikan dalam nilai lahan atau harga lainnya
Hedonic Pricing Method
Tidak
Ya
Mendukung fungsi produksi
Nilai Produksi • Pendekatan fungsi produksi • Faktor pendapatan bersih
Tidak
Ada harga pasar untuk barang yang mempunyai fungsi sama
Harga pengganti • Harga Subtitusi • Harga Subtitusi tidak langsung Ya
Tidak
Fungsi atau atribut tidak dapat didekati baik dengan transaksi komersial ataupun pengganti
Penilaian kontingensi Ya
Gambar 4 Tahapan pemilihan metode penilaian nilai guna tidak langsung, nilai pilihan, dan nilai keberadaan (James, 1991)
32 2.12. Model dan Simulasi Model merupakan abstraksi dari kenyataan sebenarnya (Hannon and Ruth, 1994; Grant, et al., 1997; Banks, et al., 1999), yang merupakan penggambaran formal elemen-elemen esensial dari suatu masalah (Grant, et al., 1997). Selain itu model didefinisikan sebagai representasi dari suatu sistem untuk tujuan studi sistem. Model penting untuk mempertimbangkan aspek yang diteliti dari sistem yang
mempengaruhi
sistem
yang
diinvestigasi.
Aspek-aspek
ini
direpresentasikan dalam model dari sistem. Disamping itu, model secara detail cukup memungkinkan kesimpulan yang valid untuk menjelaskan sistem yang nyata (real system). Komponen dari sistem adalah unsur (entitas, atribut dan aktifitas dari model) (Banks, et al., 1999). Pembangunan suatu model dapat membantu menganalisa data dari petak percobaan
dan
observasi.
Model
dapat
membantu
mensintesis
dan
mengkomunikasi pengetahuan yang ada dan mengidentifikasi kesenjangan pemahaman kita. Pemodelan memungkinkan cara yang paling efisien untuk menguji data percobaan, menginvestigasi implikasi dam merumuskan petunjuk silvikultur yang optimal (Vanclay, 2002). Sedangkan menurut Muhammadi, et al., (2001) bahwa model adalah suatu bentuk yang dibuat untuk menirukan suatu gejala atau proses. Model biasanya diambil dari
berbagai asumsi yang
berhubungan dengan operasi sistem. Asumsi ini diekspresikan dalam hubungan matematik, logik dan simbolik antara objek atau unsur (entities) dari sistem. Model dapat dikelompokan menjadi model kualitas, model ikonik dan model kuantitatif.
Model kuantitatif adalah model yang berbentuk rumus matematik,
statistik atau komputer (Muhammadi, et al., 2001). Model matematik sering dibagi dalam 2 kategori yaitu model statik dan model dinamis. Model statis membantu kita belajar tentang perilaku sistem yang statis (tidak memasukan unsur waktu). Sedangkan model dinamis membantu kita berpikir tentang bagaimana suatu sistem berubah menurut waktu. Pertumbuhan (growth), kerusakan (decay) dan osilasi adalah dasar dari pola sistem dinamis (Ford, 1999). Model simulasi dapat digunakan untuk (1) analisa terperinci dari kebijakan tertentu, (2) analisa sensitifitas (3) perbandingan antara beberapa alternatif kebijakan (skenario) dan (4) perilaku antara biaya dan manfaat (Eriyatno, 1999).
33 2.13.
Pendekatan Dinamika Sistem Menurut Eriyatno (1999) sistem adalah totalitas himpunan hubungan yang
mempunyai struktur dalam nilai posisional serta matra dimensional terutama dimensi ruang dan waktu. Sistem dapat dibayangkan sebagai suatu koleksi yang terisolir dari komponen-komponen yang berinteraksi. Elemen-elemen sistem dapat berupa benda, fakta, metode, prosedur kebijakan, bagian organisasi, dll. Hubungan antar sistem dapat berupa transaksi, interaksi, transmisi, koreksi kaitan, hubungan, dll. Dalam sistem terdapat proses transformasi yang mengolah input menjadi output sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai (Didu, 1999). Menurut Eriyatno (1999), terdapat tiga pola pikir yang menjadi pegangan pokok oleh para ahli sistem dalam menganalisis permasalahan yaitu (1) sibernetik (cybernetic), yaitu berorientasi pada tujuan, (2) holistik (holistic), yaitu cara pandang yang utuh terhadap keputusan sistem, dan (3) efektif (effectiveness), yaitu prinsip yang lebih mementingkan hasil guna yang operasional serta dapat dilaksanakan daripada pendalaman teroritis untuk mencapai efisiensi keputusan. Para ahli memberikan batasan permasalahan yang sebaiknya menggunakan pendekatan sistem dalam pengkajiannya, yaitu permasalahan yang memenuhi karakteristik (1) kompleks, (2) dinamis dan (3) probabilistik. Dinamika sistem adalah studi mengenai perubahan sistem menurut waktu dengan memperhatikan faktor umpan balik (Purnomo, 2004). Dinamika sistem adalah metode menganalisa masalah yang mana waktu adalah suatu faktor penting (Ford, 1999). Dinamika sistem adalah metodologi yang dapat digunakan untuk memahami suatu permasalahan yang rumit dan kompleks. Model dinamika sistem akan melibatkan input-input, hubungan dan output memiliki hubungan diantara bagian-bagian sistem dan model. Masalah-masalah yang akan dibuat model dinamika sistem harus memiliki sedikitnya dua ciri utama yaitu (1) bersifat dinamis, meliputi kuantitas
yang berubah menurut waktu yang dapat
digambarkan dalam bentuk grafik perubahan menurut waktu, (2) pemikiran mengenai umpan balik karena semua sistem pada dasarnya mempunyai sistem umpan balik. Ekosistem hutan adalah suatu sistem yang kompleks yang terdiri dari berbagai interaksi komponen, dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, maka suatu metode khusus yaitu analisis sistem seharusnya diterapkan. Dalam analisis sistem, sistem alam nyata ditranlasikan kedalam model matematik kuantitatif.
34 Tergantung pada kompleksitas dari sistem, sistem dapat dibagi dalam dua atau lebih subsistem (Soeryanegara, 1995).