II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Teori Penyerapan Tenaga Kerja Simanjuntak (2001) menjelaskan bahwa tenaga kerja adalah penduduk yang
sudah atau sedang bekerja, yang sedang mencari pekerjaan dan melakukan kegiatan lain seperti bersekolah atau mengurus rumah tangga dengan batasan umur 15 tahun. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Ananta (1990) dan Sitanggang dan Nachrowi (2004) yang menyatakan bahwa tenaga kerja adalah sebagian dari keseluruhan penduduk yang secara potensial dapat menghasilkan barang dan jasa. Sehingga dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa tenaga kerja adalah sebagian penduduk yang dapat menghasilkan barang dan jasa bila terdapat permintaan terhadap barang dan jasa. Angkatan kerja dalam suatu perekonomian digambarkan sebagai penawaran tenaga kerja yang tersedia dalam pasar tenaga kerja. Bellante dan Mark menyatakan bahwa penawaran kerja dipengaruhi oleh tiga komponen, yaitu: jumlah populasi di suatu wilayah, persentase angkatan kerja dan jam kerja (Sitanggang 2003). Konsep permintaan tenaga kerja dapat dijelaskan dalam ilustrasi berikut ini. MPPL;W/P
MPPL1;W/P1 MPPL2;W/P2 Ld=Ld(W/P,K) L L1
L2
Sumber: Crouch, 1992
Gambar 1 Kurva Permintaan Tenaga Kerja Keuntungan yang diperoleh perusahaan akan meningkat pada saat marginal cost (MC) sama dengan marginal revenue (MR). Karena pada pasar persaingan sempurna marginal revenue (MR) sama dengan price (P) maka dapat dirumuskan sebagai berikut: MC = MR = P..............................(1)
12
Apabila tenaga kerja yang digunakan lebih banyak, maka akan menaikan harga per unitnya, disebut juga upah nominal (W). Output yang meningkat karena MPPL mengakibatkan biaya per unit dari output turut meningkat atau biaya marginal (MC) = W/ MPPL. Berdasarkan persamaan (1) dapat ditulis kondisi profit maximization: W = MPPL ..............................(2) P Variabel sebelah kiri pada persamaan (2) adalah perbandingan tingkat upah dengan tingkat harga barang yang disebut dengan upah riil. Artinya, komoditas per orang per periode waktu, yang menunjukan bahwa W memiliki ukuran per orang per periode waktu dan P memiliki ukuran mata uang per komoditas, Jadi:
( Rp / orang ) W waktu = ko mod itas / orang / periodewaktu..............................(3) = P ( Rp / ko mod itas )
Upah riil adalah pengembalian waktu kerja terhadap komoditas. Dengan kata lain adalah kemampuan daya beli terhadap komoditas dari tingkat upah. Misalkan upah riil adalah (W/P). Hal ini adalah ukuran dari keduanya yaitu tingkat upah nominal dan tingkat harga barang yang dikendalikan secara bersamasama oleh upah riil (diasumsikan bahwa perusahaan adalah penerima harga di dalam pasar tenaga kerja dan pasar barang). Pada gambar 1 apabila tingkat upah riil turun ke (W/P)2 maka tenaga kerja L2 yang digunakan, begitu seterusnya. Kombinasi (W/P)1 dan L1 dan (W/P)2 dan L2 adalah indikasi harga dan jumlah tenaga kerja yang diminta kemudian disimpulkan bahwa kurva permintaan tenaga kerja adalah identik dengan kurva MPPL Apabila perusahaan memiliki persediaan modal yang besar, kurva permintaan tenaga kerja akan meningkat karena pada tingkat tenaga kerja yang digunakan, marginal phiysical labour adalah lebih tinggi ketika persediaan modal lebih besar. Ini memiliki hubungan dengan kenyataan yaitu pada tingkat tenaga kerja berapapun, setiap tenaga kerja memiliki bagian yang besar dari tingkat modal untuk bekerja dengan ketika ukuran jumlah modal meningkat. Kemudian dapat ditulis dalam bentuk persamaan sebagai berikut:
13
Ld = Ld (
W , K ), Ld 1 . < 0, Ld 2 > 0.............................(4) P
Permintaan tenaga kerja adalah fungsi dari upah riil dan tingkat modal. Disamping itu, Fungsi investasi mengaitkan jumlah investasi atau pada tingkat bunga riil investasi bergantung pada tingkat bunga riil karena tingkat bunga adalah biaya pinjaman. Fungsi investasi miring ke bawah yaitu ketika tingkat bunga naik, semakin sedikit proyek investasi yang menguntungkan (Mankiw 2000). Suku Bunga Riil (r)
Fungsi Investasi I(r)
Nilai Investasi (I)
Sumber: Mankiw, 2000 Gambar 2 Kurva Investasi Dari Gambar 2 terlihat bahwa kurva investasi memiliki slope negatif sehingga jika suku bunga naik maka akan semakin sedikit proyek investasi yang menguntungkan. Para ekonom membedakan antara tingkat bunga nominal dengan tingkat bunga riil. Tingkat bunga nominal adalah tingkat bunga yang biasa dilaporkan dan merupakan tingkat bunga yang dibayar investor ketika meminjam uang. Tingkat bunga riil mengukur biaya pinjaman yang sebenarnya dan merupakan tingkat bunga yang menentukan tingkat investasi. Tingkat bunga riil merupakan tingkat bunga nominal yang dikoreksi karena pengaruh inflasi. Investasi bergantung pada tingkat bunga riil karena tingkat bunga adalah biaya pinjaman (Mankiw 2000). Persamaan yang menggambarkan hubungan antara tingkat inflasi dengan suku bunga riil adalah sebagai berikut: I = I (r ).............................(5)
Kegiatan investasi akan dilaksanakan apabila tingkat pengembalian modal lebih besar atau sama dengan tingkat bunga. Semakin tinggi tingkat bunga maka
14
tingkat investasi yang dilakukan akan mengalami penurunan. Ketika suku bunga mengalami penurunan, investasi akan mengalami peningkatan (Sukirno 1996).
2.2.
Teori Kesempatan Kerja menurut Keynes Menurut Baldwin (1986), dalam teori Keynes mengenai penentuan
pendapatan nasional, tingkat investasi tergantung dari faktor-faktor yang sama seperti dalam model Neo-Klasik ialah tingkat keuntungan atau hasil-hasil dari pertambahan investasi dan tingkat suku bunga. Lebih jelasnya, para pengusaha akan terus melakukan penanaman-penanaman modal baru selama tingkat persentase keuntungan marjinalnya masih lebih tinggi daripada suku bunganya. Saat penurunan dalam tingkat suku bunga ataupun suatu kenaikan umum dalam tingkat keuntungan dari proyek-proyek investasi sebagai akibat suatu faktor misalnya kemajuan teknologi akan mendorong perluasan penanaman modal. Di lain pihak, tingkat penabungan dalam sistem Keynes tidaklah ditentukan dengan cara yang sama seperti dalam model Neo-Klasik. Keynes menjadikan penabungan (dan penggunaan uang) suatu fungsi hanya dari tingkat pendapatannya. Sedangkan penulis-penulis Neo-Klasik memberi tekanan baik pada segi pendapatan maupun pada segi tingkat suku bunga, terutama pada yang disebut terakhir sebagai faktor-faktor yang menentukan penabungan (pemakaian uang). Dengan menganggap bahwa tingkat suku bunga di pasar sudah tertentu dan dengan mengandaikan adanya suatu jadwal permintaan investasi yang tertentu pula (suatu jadwal efisiensi modal marjinal) maka kita dapat mula-mula menentukan volume investasi yang akan dilakukan oleh dunia usaha. Jika investasi ini dan suatu fungsi penabungan (serta konsumsi) tertentu sudah diketahui maka tingkat keseimbangan pendapatan nasional lalu ditentukan melalui proses pelipat-gandaan (multiplier process). Menurut Keynes, tingkat pendapatan ini mungkin tidak cukup tinggi untuk menciptakan kesempatan kerja bagi seluruh tenaga kerja yang ada. Untuk melihat mengapa tingkat pendapatan ini mungkin tidak cukup tinggi untuk menciptakan kesempatan kerja bagi seluruh tenaga kerja yang ada, maka anggaplah bahwa harga-harga uang dan upah-upah dalam uang bersifat fleksibel
15
sehingga pengangguran turun. Pengaruh dari penurunan-penurunan ini atas kedua komponen pendapatan nasional adalah konsumsi dan investasi. Penurunan harga yang berimbang dengan penurunan tingkat upah tidaklah akan merubah pengeluaran-pengeluaran konsumsi nyata sedangkan kesempatan kerja tergantung pada pengeluaran-pengeluaran untuk konsumsi nyata dan investasi serta tidak akan ada pengaruh penciptaan lapangan kerja dari penurunan harga serta upah. Jika harga-harga turun lebih kecil dari tingkat upah, maka hasil yang sesungguhnya adalah bertambahnya pengangguran. Ini disebabkan oleh akan terjadinya suatu pergeseran dalam pendapatan yang menguntungkan pihak penerima laba yang merupakan suatu golongan pendapatan yang menabung banyak tetapi mengonsumsi sedikit. Penurunan dalam upah uang dan tingkat harga dapat juga menurunkan tingkat suku bunga serta memperbesar investasi. Transaksi-transaksi akan memerlukan lebih sedikit uang dan karenanya akan tersedia lebih banyak uang untuk menaikan harga penawaran kertas-kertas berharga dan menurunkan tingkat suku bunga. Tetapi Keynes menyatakan pula bahwa sekali tingkat suku bunga itu mencapai suatu tingkat rendah tertentu, maka orang-orang dalam sistem ekonomi akan bersedia untuk membiarkan saja semua uang tunai yang disediakan bagi mereka, daripada memanfaatkannya untuk membeli surat-surat berharga yang sudah ada. Tingkat suku bunga tidak akan turun sampai dibawah tingkat ini sedangkan tingkat upah dan harga-harga akan turun. Dengan demikian maka tidak mungkinlah terjadi penambahan investasi lewat jalan ini. Untuk mencegah keruntuhan sistem perekonomian karena harga-harga yang terus turun, maka Keynes mengandaikan bahwa upah uang bersifat fleksibel. Dalam sistem Neo-Klasik tidaklah terdapat perangkap likuiditas yang mencegah turunnya tingkat suku bunga jika harga-harga bersifat fleksibel. Lagipula, jadwal permintaan investasi sangat elastis. Sedikit penurunan tingkat suku bunga akan menghasilkan pertambahan yang besar dalam investasi. Penurunan suku bunga juga akan merangsang kesempatan kerja dengan menaikan kemampuan konsumsi sistem ekonomi dari suatu tingkat pendapatan nyata yang tertentu. Sebagai akibat dari kekuatan-kekuatan ini, pengangguran merupakan suatu masalah yang hanya bersifat sementara dalam model Neo-Klasik.
16
Keynes dan banyak ahli ekonomi lainnya dari tahun 1930-an berpendapat bahwa pengangguran akan tetap bertahan sebagai suatu persoalan jangka panjang kecuali apabila pemerintah memainkan peranan yang lebih besar dalam perekonomian. Dasar yang utama untuk kesimpulan ini adalah pandangan yang pesimis mengenai kesempatan-kesempatan investasi di masa depan. Mereka tidak melihat adanya kemajuan-kemajuan teknologi di dalam bidang investasi, yang dapat disamakan dengan penemuan-penemuan besar abad kesembilanbelas serta awal abad keduapuluh. Daerah-daerah geografi yang dapat dikembangkan tampaknya juga tinggal sedikit, dan bahkan tuntutan investasi dari jumlah penduduk yang berkembang pesat pun sudah menurun. Menurut pandangan mereka maka akibatnya dalam beberapa segi akan lebih buruk daripada keadaan diam menurut teori Klasik. Paling tidak, dalam keadaan diam semua orang mendapatkan pekerjaan. Tetapi di suatu lingkungan di mana terdapat keseimbangan (ekuilibrium) tanpa kesempatan kerja yang penuh, maka tiadanya pertumbuhan yang memadai dan pengangguran massal berjalan berdampingan. Kebijakan utama yang disarankan Keynes untuk mengimbangi prospekprospek buruk bagi investasi swasta adalah penanganan oleh pihak pemerintah yang ditutup dengan pembiayaan defisit. Pengeluaran biaya-biaya ini secara langsung maupun tidak langsung lewat proses pelipat-gandaan (multiplier) akan memperbesar permintaan dalam keseluruhan barang dan jasa dan mengembalikan pendapatan nasional ke tingkat kesempatan kerja yang penuh. Lagipula, karena sumberdaya-sumberdaya yang tersedia tidak sepenuhnya dimanfaatkan, maka peningkatan dalam pengeluaran secara menyeluruh ini dapatlah dicapai tanpa inflasi. Analisa-analisa Keynes ditujukan pada sistem-sistem ekonomi yang sudah berkembang, kebijakan-kebijakan yang dianjurkannya banyak mendapat perhatian di negara-negara yang masih kurang berkembang. Negara-negara ini pun menderita karena pengangguran yang luas. Sebagai akibatnya, rencana investasi yang dibiayai dengan defisit merupakan cara yang mudah bagi tercapainya tujuantujuan pembangunan dan perluasan kesempatan kerja di negara-negara ini. Sayangnya, pengangguran pun biasanya hanya terbatas pada kalangan pekerja yang tidak memiliki sesuatu keterampilan. Selain itu, kapasitas yang berlebihan
17
hanya terdapat dalam industri-industri serta sektor-sektor tertentu saja. Karena adanya kekurangan-kekurangan dan kesulitan-kesulitan dibidang-bidang lain, pembiayaan-pembiayaan dengan defisit sangat mungkin hanya akan menghasilkan suatu kenaikan dalam tingkat harga-harga tanpa disertai penambahan jumlah barang dan jasa.
2.3.
Permintaan Tenaga Kerja dari Sisi Perusahaan Menurut Nainggolan (2009), Dalam memperkirakan penggunaan tenaga
kerja, perusahaan akan melihat tambahan output yang akan diperolehnya sehubungan dengan penambahan seorang tenaga kerja. Untuk menganalisis hal tersebut digunakan beberapa asumsi, ini berarti setiap rumah tangga perusahaan sebagai individu tidak dapat mempengaruhi harga atau menghasilkan produksi (output) maupun untuk faktor-faktor produksi (input) yang digunakan dalam industri adalah suatu faktor yang harus diterima. Tenaga kerja sebagai salah satu faktor produksi dikombinasikan dengan faktor-faktor produksi lainnya khususnya modal akan menghasilkan suatu output berupa barang dan jasa. Oleh karena itu rumah
tangga
perusahaan
dalam
kegiatan
menghasilkan
produksinya
membutuhkan atau meminta jasa tenaga kerja. Dengan
suatu
asumsi
perusahaan
dalam
menghasilkan
outputnya
menggunakan faktor tenaga kerja dan modal (dalam jangka pendek), di mana faktor modal jumlahnya tetap, maka secara matematis fungsi produksi dapat ditulis sebagai berikut: Q = f ( L, K ) dimana : Q = Jumlah output yang dihasilkam L = Jumlah sumber tenaga kerja K = Jumlah sumber modal (jasa barang modal) Model yang akan digunakan untuk menjelaskan kesempatan kerja dapat didekati dari fungsi permintaan Hicksian. Fungsi permintaan Hicksian diturunkan dari kondisi minimisasi biaya sebuah unit usaha. Misalnya untuk memproduksi
18
suatu output diperlukan dua faktor input, yaitu tenaga kerja (L) dengan upah per unitnya w dan modal kerja (K) dengan biaya modal sebesar r. Kondisi tersebut secara matematis dapat ditulis sebagai berikut: Q = f ( K , L)..............................(1) Sedangkan biaya totalnya dapat dijabarkan sebagai berikut: TC = wL + rK ..............................(2) Dengan minimisasi biaya total untuk setiap n faktor input produksi, dan menempatkan persamaan (1) sebagai kendala dan persamaan (2) sebagai tujuan, maka melalui metode langrange fungsi tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut: l = wL + rK − λ (Q − f ( K , L)..............................(3) Turunan parsial (pertama) yang merupakan “kondisi perlu” untuk masalah optimasi terhadap K, L dan λ harus sama dengan nol adalah sebagai berikut:
∂l ∂f ( K , L) = lL = w − λ = 0..............................(4) ∂L ∂L ∂l ∂f ( K , L) = lK = r − λ = 0..............................(5) ∂K ∂K ∂l = lλ = Q − f ( K , L) = 0..............................(6) ∂λ Dengan memanipulasi persamaan (4) dan persamaan (5), maka akan diperoleh:
w r w MPL = atau = ..............................(7) MPL MPK r MPK Sedangkan λ secara ekonomi dapat diinterpretasikan sebagai suatu biaya marginal (marginal cost = MC). Dari persamaan (4) dan persamaan (5) dapat diperoleh nilai pengganda langrange sebagai berikut:
λ* =
w r = ..............................(8) MPL MPK
w merupakan harga per unit faktor input tenaga kerja dan r merupakan harga per unit faktor input kapital, sedangkan MPL adalah besarnya tambahan output sebagai akibat adanya kenaikan per unit faktor input tenaga kerja dan MPK adalah besarnya tambahan output sebagai akibat adanya kenaikan per unit faktor input kapital. Dengan demikian:
λ* =
w r = merupakan marginal cost MPL MPK
19
Berdasarkan kondisi tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dari hasil proses minimisasi total cost (TC) akan diperoleh nilai optimal dari penggunaan faktor input (L,K) dan dengan demikian fungsi permintaan dari faktor input (L,K) ini adalah fungsi dari harga input (w, r) dan tingkat produksinya (Q) yang secara matematika dapat dinyatakan sebagai berikut: L* = L * ( w, r , Q )..............................(9) merupakan fungsi permintaan tenaga kerja. K * = K * ( w, r , Q )..............................(9) merupakan fungsi permintaan kapital.
2.4.
Kesempatan Kerja dan Pertumbuhan Ekonomi Menurut Mankiw (2000), Okun seorang ahli ekonomi, memperkenalkan
Hukum Okun dan menyatakan bahwa terdapat kaitan yang erat antara tingkat pengangguran dengan GDP (Gross Domestic Product) riil, di mana terdapat hubungan yang negatif antara tingkat pengangguran dengan GDP riil. Pernyataan ini dapat diartikan bahwa terdapat hubungan yang positif antara kesempatan kerja dengan GDP riil. Okun menggunakan data tahunan dari Amerika Serikat untuk menunjukan hukum Okun ini seperti terlihat pada Gambar 3. Perubahan Persentase dalam GDP riil
Garis Titik Sebaran Pengamatan
Perubahan dalam tingkat Pengangguran
Sumber: Mankiw, 2000 Gambar 3 Kurva Hukum Okun Gambar 3 di atas ini merupakan titik sebar dari perubahan dalam tingkat pengangguran pada sumbu horizontal dan perubahan persentase dalam GDP riil pada sumbu vertikal. Gambar ini menunjukan dengan jelas bahwa perubahan dalam tingkat pengangguran dari tahun ke tahun sangat erat kaitannya dengan
20
perubahan dalam GDP riil dari tahun ke tahun, seperti terlihat pada garis titik sebar pengamatan yang berslope negatif. Salah satu masalah yang biasa muncul dalam ketenagakerjaan adalah ketidakseimbangan antara permintaan tenaga kerja (demand for labour) dan penawaran tenaga kerja (supply of labour) pada suatu tingkat upah. Ketidakseimbangan tersebut dapat berupa: 1.
Lebih besarnya penawaran tenaga kerja dibanding permintaan tenaga kerja (adanya excess supply of labour).
2.
Lebih besarnya permintaan tenaga kerja dibanding penawaran tenaga kerja (adanya excess demand for labour). Apabila jumlah orang yang menawarkan tenaganya untuk bekerja adalah
sama dengan jumlah tenaga kerja yang diminta, maka tidak akan ada excess supply for labour maupun excess demand for labour. Pada kondisi seperti ini berarti terjadi tingkat upah keseimbangan di mana semua orang yang ingin bekerja telah dapat bekerja, berarti tidak ada orang yang menganggur. Apabila terjadi excess supply of labour berarti ada orang yang menganggur pada tingkat upah tertentu, sedangkan apabila terjadi excess demand of labour berarti masih ada kemungkinan tenaga kerja dapat melakukan negoisasi upah sesuai keinginannya di atas upah keseimbangan. Lewis dalam Subri (2003) mengemukakan bahwa kelebihan pekerja merupakan kesempatan dan bukan suatu masalah, di mana kelebihan pekerja satu sektor ekonomi akan memberikan andil terhadap pertumbuhan output dan penyediaan pekerja di sektor lain. Lebih murahnya biaya upah asal pedesaaan terutama dari sektor pertanian akan dapat menjadi pendorong bagi pengusaha perkotaan untuk memanfaatkan pekerja tersebut dalam pengembangan industri modern perkotaan. Selama berlangsungnya proses industrialisasi, maka kelebihan penawaran pekerja di sektor pertanian akan terserap. Fei-Ranis dalam Subri (2003) mengemukakan bahwa ada tiga tahapan pembangunan ekonomi dalam kondisi kelebihan tenaga kerja. Tahapan tersebut adalah:
21
1.
Para penganggur semu (yang tidak menambah output pertanian) dialihkan ke sektor industri dengan upah institusional yang sama.
2.
Tahap di mana pekerja pertanian menambah output tetapi memproduksi lebih kecil dari upah institusional yang mereka peroleh dapat pula dialihkan ke sektor industri.
3.
Tahap ditandai awal pertumbuhan swasembada pada saat buruh pertanian menghasilkan output lebih besar dari perolehan upah institusional, maka dalam kondisi seperti ini kelebihan pekerja terserap ke sektor jasa dan industri yang meningkat terus-menerus sejalan dengan pertumbuhan output dan perluasan usahanya. Harrod-Domar (Todaro 2000) dalam teori pertumbuhannya menyatakan
bahwa secara definitif tingkat pertumbuhan output (Y) dikurangi dengan tingkat pertumbuhan produktivitas tenaga kerja (Y/L) kurang lebih sama dengan pertumbuhan kesempatan kerja (L). Secara matematis hubungan-hubungan tersebut dapat disajikan sebagai berikut: ∆Y ∆(Y / L) ∆L − = ..............................(1) Y Y/L L
Sementara itu menurut Todaro (2000), bahwa faktor-faktor atau komponen pertumbuhan ekonomi yang penting dalam masyarakat adalah sebagai berikut: 1.
Akumulasi modal, termasuk semua investasi baru dalam bentuk tanah, peralatan fisik, dan sumber daya manusia.
2.
Perkembangan populasi, yang akan mengakibatkan terjadinya pertumbuhan angkatan kerja walaupun terlambat.
3.
Kemajuan teknologi, terutama untuk sektor industri. Dengan menggunakan teori Harrod-Domar, Todaro menekankan bahwa
pertumbuhan ekonomi dapat menciptakan lapangan kerja yang seluas-luasnya dengan lebih mengutamakan perkembangan sektor-sektor ekonomi yang padat karya seperti sektor pertanian dan industri-industri berskala kecil. Apabila pertumbuhan ekonomi dilihat dari pertambahan output dalam bentuk GDP konstan, maka akan menghilangkan unsur inflasi di dalamnya. Sementara itu di sisi lain inflasi ini sebenarnya dapat memicu pertumbuhan ekonomi yang pada
22
akhirnya akan dapat menciptakan kesempatan kerja. Di lain pihak, Arsyad (2000) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi daerah diartikan sebagai kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk atau apakah perubahan struktur ekonomi terjadi atau tidak. Hal ini berarti bahwa pertumbuhan ekonomi daerah secara langsung ataupun tidak langsung akan menciptakan lapangan kerja. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tolak ukur dari keberhasilan pembangunan ekonomi suatu daerah diantaranya adalah PDRB daerah tersebut dan pertumbuhan penduduk yang bermuara pada tingkat kesempatan kerja. PDRB menggambarkan kemampuan suatu daerah dalam mengelola sumber daya alam dan faktor-faktor produksi. PDRB juga merupakan jumlah dari nilai tambah yang diciptakan dari seluruh aktivitas ekonomi suatu daerah atau sebagai nilai produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu daerah. Mengambil analisis makro Produk Domestik Regional Bruto, Mankiw (2000) menjelaskan bahwa secara umum PDRB dapat dihitung berdasarkan harga konstan atau berdasarkan harga berlaku. PDRB menurut harga konstan adalah merupakan ukuran kemakmuran ekonomi yang lebih baik sebab perhitungan output barang dan jasa perekonomian yang dihasilkan tidak dipengaruhi oleh perubahan harga.
2.5.
Analisis Sektoral dan Struktur Ekonomi Suatu perekonomian secara umum dapat dianalisis pada dua aspek, yaitu
analisis sektoral dan analisis regional. Kajian tersebut dapat dilakukan untuk tingkat ekonomi nasional maupun untuk tingkat ekonomi daerah (regional/lokal). Analisis sektoral, baik perekonomian tingkat nasional, tingkat regional (subnasional) maupun tingkat subregional dilihat berdasarkan sektor-sektor kegiatan ekonomi atau lapangan usaha. Hingga saat ini sektor-sektor kegiatan ekonomi atau lapangan usaha dibagi menjadi 9 sektor, yaitu: 1.
Sektor Pertanian
2.
Sektor Pertambangan, dan Penggalian
23
3.
Sektor Industri Pengolahan
4.
Sektor Listrik, Gas, dan Air Minum
5.
Sektor Bangunan
6.
Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran
7.
Sektor Pengangkutan, dan Komunikasi
8.
Sektor Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan
9.
Sektor Jasa-jasa
Dari 9 sektor di atas dikelompokan kembali menjadi 3, yaitu: 1.
Sektor Primer meliputi pertanian; dan pertambangan, dan galian
2.
Sektor Sekunder meliputi industri pengolahan; listrik, gas, dan air minum; dan bangunan
3.
Sektor Tersier meliputi perdagangan, hotel, dan restoran; pengangkutan, dan komunikasi; keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan; dan jasa-jasa. Meminjam istilah Kuznets, perubahan struktur ekonomi umum disebut
transformasi struktural dan dapat didefinisikan sebagai suatu rangkaian perubahan yang saling terkait satu dengan yang lainnya dalam komposisi permintaan agregat, perdagangan luar negeri (ekspor dan impor), penawaran agregat (produksi dan penggunaan faktor produksi seperti tenaga kerja dan modal) yang diperlukan guna mendukung proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (Todaro 2000). Struktur ekonomi yang dimaksud disini adalah bangun ekonomi suatu provinsi atas sektor primer (pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan), sektor sekunder (manufaktur, konstruksi), dan sektor tersier (jasa). Perbedaan peran antar sektor primer dan sekunder di setiap provinsi, dapat menggambarkan perbedaan tingkat industrialisasi antar provinsi, dimulai dengan struktur ekonomi dengan sifat pertanian yang dominan hingga industri yang dominan. Struktur ekonomi suatu provinsi pada dasarnya dapat ditelaah atau diukur dari 2 indikator pokok. Pertama, diukur dari nilai moneter seluruh barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai lapangan usaha ekonomi di suatu wilayah pada suatu kurun waktu tertentu. Kedua, diukur dari segi ketenagakerjaan, yakni jumlah penduduk yang
24
bekerja menurut lapangan usaha, status pekerjaan, atau jenis pekerjaannya (Harmini 1997).
2.6.
Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi Istilah pembangunan ekonomi biasanya dikaitkan dengan perkembangan
ekonomi di negara-negara berkembang. Sebagian ahli ekonomi mengartikan istilah pembangunan ekonomi sebagai pertumbuhan ekonomi yang diikuti oleh perubahan
dalam
struktur
corak
kegiatan
ekonomi.
Sedangkan
istilah
pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai perkembangan fisik produksi barang dan jasa yang berlaku di suatu negara (Sukirno 2006). Todaro (2000) mengatakan bahwa proses pertumbuhan ekonomi mempunyai kaitan erat dengan perubahan struktural dan sektoral yang tinggi. Beberapa perubahan komponen utama struktural ini mencakup pergeseran secara perlahanlahan aktivitas sektor pertanian ke sektor nonpertanian dan dari sektor industri ke sektor jasa. Suatu wilayah yang sedang berkembang, proses pertumbuhan ekonominya akan tercermin dari pergeseran sektor ekonomi tradisional yaitu sektor pertanian akan mengalami penurunan disatu sisi dan peningkatan peran sektor nonpertanian disisi lainnya. Dalam teori pertumbuhan ekonomi regional, menurut Ardani (1992) pada dasarnya teori-teori yang mengemukakan tentang pertumbuhan suatu daerah dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu inward looking theory yakni menganalisis pertumbuhan ekonomi yang diakibatkan oleh intern daerah itu sendiri, misalnya the export base theory dan the sector theory dan yang kedua, outward oriented theory yang menekankan pada mekanisme yang mendasari penurunan pertumbuhan ekonomi dari suatu daerah ke daerah lain. Selanjutnya, pendekatan ini dalam penerapannya antara satu dengan yang lainnya dapat saling melengkapi. Sedangkan dari hasil pengamatan empirik Clark dan Fisher (1940) kenaikan pendapatan perkapita di berbagai daerah pada berbagai waktu pada umumnya diikuti dengan pergeseran dan peralihan permintaan secara berangsur-angsur dari sektor produksi primer ke sektor produksi sekunder dan tersier. Hal ini pada
25
gilirannya akan mengakibatkan perubahan dalam struktur produksi melalui pergeseran kesempatan kerja dan alokasi dana. Tingkat produktivitas yang berbeda pada berbagai sektor ekonomi dan terdapatnya laju pertumbuhan yang berbeda diantara sektor-sektor menyebabkan terjadinya pergeseran-pergeseran diantara peran masing-masing sektor terhadap komposisi produk nasional. Hasil produksi sektor pertanian secara absolut dapat terus bertambah akan tetapi kontribusi produk pertanian terhadap produk nasional relatif menurun. Kecenderungan tersebut diikuti oleh meningkatnya produksi sektor industri manufaktur dan sektor jasa. Perubahan struktural juga dapat dilihat dari sudut pergeseran kesempatan kerja, yang dilihat dari jumlah angkatan kerja yang bekerja pada masing-masing sektor produksi. Clark dan Fisher (1940) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa terdapat hubungan yang erat antara perubahan struktur produksi dengan struktur kesempatan kerja menurut sektor. Penyerapan tenaga kerja yang tinggi dapat dicapai dengan: Pertama, peningkatan produktivitas tenaga kerja disetiap sektor; Kedua, bergesernya tenaga kerja dari sektor dengan produktivitas yang lebih rendah ke sektor dengan produktivitas yang lebih tinggi (Suhartono 2009). Kuznets (1966) dari hasil penelitiannya dengan mengumpulkan data yang berasal dari 13 negara maju (Inggris, Perancis, Jerman, Belanda, Denmark, Norwegia, Swedia, Italia, Amerika Serikat, Kanada, Australia, Jepang dan Rusia) ingin menunjukan perubahan sumbangan berbagai sektor ekonomi terhadap produksi nasional dalam proses pembangunan ekonomi. Dari penelitiannya (18011963) Kuznets membuat kesimpulan mengenai corak perubahan persentase kontribusi berbagai sektor dalam pembangunan ekonomi, sebagai berikut (Sukirno 1984): 1.
Sumbangan sektor pertanian terhadap produksi nasional telah menurun di 12 negara yang diteliti. Umumnya pada taraf permulaan dari pembangunan ekonomi, peranan sektor pertanian mendekati 20 persen dan bahkan mencapai hampir 2/3 dari seluruh produksi nasional. Pada masa akhir observasi, peranan sektor pertanian dalam menghasilkan produksi nasional hanya mencapai 20 persen atau lebih rendah di kebanyakan negara. Dengan demikian dalam proses pembangunan, sektor pertanian peranannya telah
26
menurun paling sedikit sebesar 20 persen dan bahkan sampai 30 persen. Pengecualian terjadi di Australia yang dalam delapan dasawarsa peranan sektor pertanian bertambah besar walaupun dalam jangka waktu tersebut kemajuan ekonominya terus menerus berlangsung. 2.
Di 12 negara peranan sektor industri dalam menghasilkan produk nasional meningkat. Pada tahun-tahun awal observasi, kontribusi sektor indusri berkisar 20 sampai 30 persen dari jumlah seluruh produksi nasional. Pada akhir observasi, peranan sektor industri meningkat mencapai 40 persen bahkan ada kalanya mencapai 50 persen dari total produksi nasional.
3.
Selama masa observasi, kontribusi sektor-sektor jasa dalam pembentukan produksi nasional tidak mengalami perubahan yang berarti dalam perubahan tersebut dan tidak konsisten sifatnya. Di Swedia dan Australia, peranannya menurun. Di Kanada dan Jepang peranannya meningkat, dan pada kebanyakan negara peranannya tidak begitu nyata (tidak siginifikan).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penurunan peranan sektor pertanian dalam menciptakan produksi nasional diimbangi dengan kenaikan yang hampir sama besarnya pada sektor industri. Perubahan struktur ekonomi yang digambarkan oleh Kuznets, menunjukan bahwa sektor pertanian mengalami perkembangan
produksi
yang lebih
lamban
dibandingkan
dengan
laju
pertumbuhan sektor industri. Tidak terdapatnya perubahan kontribusi sektor jasa dalam produksi nasional, yang berarti perkembangan sektor jasa adalah sama dengan tingkat pertumbuhan produksi nasional.
2.7.
Konsep Otonomi Daerah Semenjak bergulirnya reformasi, masyarakat menuntut kesungguhan
pemerintah dalam menjalankan pemerintahan yang adil dan merata. Oleh karenanya lahir UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Selain itu, untuk mendukung kedua UU tersebut pemerintah juga telah mengesahkan 2 UU baru pada 15 Oktober 2004 yaitu UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Berdasarkan
27
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas daerah tertentu yang berwenang mengelola, mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Sedangkan desentralisasi dan otonomi daerah menurut UU No. 22 Tahun 1999 adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu, dalam penjelasan UU No. 25 Tahun 1999 dikatakan bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerahdaerah kabupaten dan kota. Dan tiap-tiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Sejalan dengan perkembangannya, konsep otonomi daerah pada UU No. 22 Tahun 1999 mengalami penyempurnaan pada UU No. 32 Tahun 2004. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 pasal 10 ayat (3) otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Menurut undangundang tersebut, otonomi daerah mencakup semua bidang kecuali pada bidangbidang tertentu, seperti politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama. Bidang-bidang tersebut tetap menjadi urusan pemerintah pusat. Menurut tinjauan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ada tiga alasan pemerintah meninjau ulang pelaksanaan otonomi daerah dengan mengadakan revisi terhadap UU No. 22 tahun 1999. Ketiga alasan tersebut adalah sebagai berikut: 1.
Kewenangan yang besar dari DPRD (provinsi dan kabupaten/kota) sebagai akibat berubahnya DPRD yang semula merupakan bagian dari pemerintah daerah menjadi lembaga legislatif di daerah. Praktek money politics (tawarmenawar dalam memperoleh dana) diantara aparat pemerintahan pun mudah terjadi.
28
2.
Kecenderungan banyak pemerintah kebupaten/kota untuk meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) dan sumber-sumber penghasil dana dengan cara menaikkan retribusi dan pajak. Dalam jangka panjang, peningkatan retribusi dan pajak justru akan merugikan daerah yang bersangkutan karena menyulitkan para pedagang dan pengusaha serta menjauhkan para calon investor. Di negara maju, menaikkan pajak adalah langkah terakhir yang ditempuh
pemerintah
untuk
menaikkan
pendapatan
negara karena
merugikan rakyat banyak. 3.
Adanya masalah hierarki antara pemerintah daerah pada tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota. Kewenangan yang besar yang diberikan kepada kabupaten/kota menimbulkan persepsi di kalangan pejabat pemerintah daerah bahwa mereka tidak lagi terikat dan tunduk kepada pemerintah pusat tingkat provinsi. Padahal kenyataannya peran gubernur masih tetap penting dalam mengkoordinir para bupati/walikota agar tercipta kerjasama yang baik dan dikuranginya benturan-benturan di antara mereka. Sehingga dengan adanya revisi terhadap UU No. 22 Tahun 1999 menjadi
UU No. 32 Tahun 2004 semakin jelas untuk lebih memfokuskan pada tujuan desentralisasi dan otonomi daerah dalam konteks nasional yakni memelihara keutuhan negara dan bangsa, melembagakan proses seleksi kepemimpinan nasional dan mempercepat pencapaian kemakmuran rakyat. Tujuan desentralisasi dan otonomi daerah adalah untuk mewujudkan demokrasi di tingkat lokal, meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, menciptakan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintah daerah serta melindungi hak-hak masyarakat lokal (LIPI 2002 dalam Nada 2009).
2.8.
Penyerapan Tenaga Kerja dan Kesempatan Kerja Adanya pertumbuhan penduduk yang tinggi akan menimbulkan berbagi
persoalan dan hambatan dalam upaya-upaya pembangunan yang dilakukan oleh setiap negara. Karena dengan adanya pertumbuhan penduduk yang tinggi akan menyebabkan tingginya pertambahan jumlah struktur umur muda yang pada akhirnya akan berdampak pada meningkatnya jumlah tenaga kerja sedangkan
29
negara terutama negara-negara yang sedang berkembang memiliki kemampuan yang sangat terbatas dalam menyediakan kesempatan kerja baru. Jika hal tersebut diabaikan tentu saja adanya pertumbuhan penduduk akan menimbulkan berbagai persoalan terutama terkait pada jumlah pengangguran yang semakin meningkat. Penduduk memiliki 2 peranan dalam pembangunan ekonomi. Satu dari segi permintaan dan yang lain dari segi penawaran. Dari segi permintaan penduduk bertindak sebagai konsumen dan dari segi penawaran penduduk bertindak sebagai produsen. Oleh karena itu perkembangan penduduk yang cepat tidaklah selalu merupakan penghambat bagi jalannya pembangunan ekonomi jika penduduk ini mempunyai kapasitas yang tinggi untuk menghasilkan dan menyerap hasil produksi yang dihasilkan. Ini berarti bahwa tingkat pertambahan penduduk yang tinggi disertai dengan tingkat penghasilan yang tinggi pula. Jadi pertambahan penduduk yang rendah tidak ada gunanya bagi pembangunan ekonomi (Irawan dan Suparmoko 1992). Penduduk juga dapat dapat dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu Penduduk Usia Kerja (PUK) yang di Indonesia dibatasi pada umur 15 tahun ke atas dan Penduduk Diluar Usia Kerja (PDUK). Penduduk Usia Kerja (PUK) atau yang sering disebut tenaga kerja terdiri dari penduduk angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja (labour force) didefinisikan sebagai jumlah orang yang bekerja ditambah dengan jumlah orang yang menganggur atau mencari pekerjaan. Sedangkan penduduk kelompok bukan angkatan kerja adalah penduduk dalam usia kerja yang tidak bekerja dan yang belum ingin bekerja seperti golongan orang yang sedang bersekolah, golongan ibu rumah tangga, dan golongan lainnya seperti penduduk yang cacat mental atau sebab-sebab lain sehingga tidak produktif (Widodo 1990). Ketenagakerjaan merupakan aspek yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia karena mencakup dimensi ekonomi dan sosial. Salah satu sasaran utama pembangunan Indonesia adalah terciptanya lapangan kerja baru dalam jumlah dan kualitas yang memadai agar dapat menyerap tambahan angkatan kerja yang memasuki pasar kerja setiap tahun. Upaya pembangunan pada setiap negara selalu diarahkan pada perluasan kesempatan kerja dan berusaha agar setiap penduduknya
30
dapat memperoleh manfaat langsung dari pembangunan. Keterlibatan penduduk dalam kegiatan ekonomi suatu negara dapat diukur dengan porsi penduduk yang masuk dalam pasar kerja (bekerja atau mencari pekerjaan). Kesempatan kerja memberikan gambaran besarnya jumlah penyerapan pasar kerja sehingga angkatan kerja yang tidak terserap merupakan masalah suatu negara karena menganggur (Sitanggang 2003). Menurut Suhartono (2009), proporsi penduduk yang bekerja menurut lapangan usaha biasa dipakai sebagai salah satu ukuran untuk melihat potensi sektor perekonomian dalam menyerap tenaga kerja. Indikator tersebut juga dapat digunakan sebagai salah satu ukuran untuk menunjukan struktur perekonomian suatu wilayah. Transformasi ketenagakerjaan menurut lapangan pekerjaan erat kaitannya dengan transformasi struktur produksi dan perbedaan pertumbuhan produktivitas per pekerja menurut sektor atau lapangan pekerjaan yang terjadi selama pertumbuhan ekonomi berlangsung. Perkembangan produktivitas per pekerja di suatu negara biasanya dipengaruhi oleh: (1) perkembangan stok barang modal per pekerja; (2) perkembangan mutu tenaga kerja yang tercermin pada perbaikan pendidikan, keterampilan dan kesehatan pekerja; (3) peningkatan skala unit usaha; (4) pergeseran pekerja dari kegiatan yang relatif lebih rendah produktivitasnya ke yang lebih tinggi; (5) perubahan product mix atau komposisi output pada masing-masing sektor atau subsektor; dan (6) pergeseran teknik produksi dari padat karya ke padat modal. Proses akumulasi yang terjadi selama pertumbuhan ekonomi menyebabkan antara lain timbulnya gejala: 1.
Perkembangan stok barang modal per pekerja
2.
Perkembangan mutu tenaga kerja yang tercermin pada perbaikan pendidikan, keterampilan dan kesehatan pekerja
3.
Peningkatan skala unit usaha
4.
Pergeseran pekerja dari kegiatan yang relatif lebih rendah produktivitasnya ke yang lebih tinggi
Oleh karena itu, pada umumnya produktivitas pekerja pada tiap-tiap lapangan pekerjaan mengalami kenaikan. Namun demikian, karena proses akumulasi yang terjadi pada masing-masing sektor dan lapangan pekerjaan tidak terjadi dengan
31
kecepatan yang sama, perkembangan produktivitas pada masing-masing sektor dan lapangan pekerjaan juga berbeda-beda. Proses akumulasi di sektor pertanian biasanya berlangsung lebih lambat dari sektor-sektor nonpertanian, sehingga laju pertumbuhan produktivitas di sektor tersebut menjadi lebih lambat dari sektorsektor nonpertanian. Bersamaan dengan pergeseran yang terjadi pada struktur PDB/PDRB, struktur ketenagakerjaan juga mengalami pergeseran baik menurut sektor maupun lapangan pekerjaan. Menurut sektornya, ketenagakerjaan terdiri dari sektor pertanian, industri, dan jasa. Rincian sektor dapat dilihat dari lapangan pekerjaan yang dibagi menjadi 9 sektor seperti berikut ini: (1) pertanian; (2) pertambangan, dan penggalian; (3) industri pengolahan; (4) listrik, gas, dan air bersih; (5) bangunan; (6) perdagangan, hotel, dan restoran; (7) pengangkutan, dan komunikasi; (8) keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan; (9) jasa-jasa. Permintaan tenaga kerja menurut Haryani (2002), berkaitan dengan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan oleh perusahaan atau instansi secara keseluruhan. Berapa jumlah tenaga kerja yang diminta di pasar tenaga kerja ditentukan oleh faktor-faktor seperti: tingkat upah, teknologi, produktivitas, kualitas tenaga kerja, fasilitas modal, produk domestik regional bruto, dan tingkat suku bunga. 1.
Tingkat Upah Tingkat upah akan mempengaruhi tingi rendahnya biaya produksi perusahaan. Kenaikan tingkat upah akan mengakibatkan kenaikan biaya produksi, yang selanjutnya akan meningkatkan harga per unit produk yang dihasilkan. Apabila harga per unit produk yang dijual ke konsumen naik, reaksi yang biasanya timbul adalah mengurangi pembelian atau bahkan tidak lagi membeli produk tersebut. Kondisi ini memaksa produsen untuk mengurangi jumlah produk yang dihasilkan, yang selanjutnya juga dapat mengurangi permintaan tenaga kerja. Penurunan jumlah tenaga kerja akibat perubahan skala produksi disebut efek skala produksi (scale effect). Suatu kenaikan upah dengan asumsi harga barang-barang modal yang lain tetap, maka pengusaha mempunyai kecenderungan untuk menggantikan tenaga kerja dengan mesin. Penurunan jumlah tenaga kerja akibat adanya penggantian dengan mesin disebut efek subtitusi (subtitution effect).
32
2.
Teknologi Penggunaan teknologi dalam perusahaan akan mempengaruhi berapa jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan. Kecanggihan teknologi saja belum tentu mengakibatkan penurunan jumlah tenaga kerja. Karena dapat terjadi kecanggihan teknologi akan menyebabkan hasil produksi yang lebih baik, namun kemampuanya dalam menghasilkan produk dalam kuantitas yang sama atau relatif sama. Dalam menentukan permintaan tenaga kerja lebih dipengaruhi oleh kemampuan mesin untuk menghasilkan produk dalam kuantitas yang jauh lebih besar daripada kemampuan manusia. Misalnya, mesin huller (penggilingan padi) akan mempengaruhi permintaan tenaga kerja untuk menumbuk padi.
3.
Produktivitas Berapa jumlah tenaga kerja yang diminta dapat ditentukan oleh seberapa tingkat produktivitas dari tenaga kerja itu sendiri. Apabila untuk menyelesaikan suatu proyek tertentu dibutuhkan 30 karyawan dengan produktivitas standar yang bekerja selama 6 bulan. Namun dengan karyawan yang produktivitasnya melebihi standar, proyek tersebut dapat diselesaikan oleh 20 karyawan dengan waktu 6 bulan
4.
Kualitas Tenaga Kerja Pembahasan mengenai kualitas ini berhubungan erat dengan pembahasan mengenai produktivitas. Mengapa demikian, karena dengan tenaga kerja yang berkualitas menyebabkan produktivitas meningkat. Kualitas tenaga kerja ini tercermin dari tingkat pendidikan, keterampilan, pengalaman, dan kematangan tenaga kerja dalam bekerja.
5.
Fasilitas Modal Dalam prakteknya faktor-faktor produksi baik sumberdaya manusia maupun sumberdaya non manusia seperti modal tidak dapat dipisahkan dalam menghasilkan barang atau jasa. Pada suatu industri, dengan asumsi faktorfaktor produksi yang lain konstan, maka semakin besar modal yang ditanamkan akan semakin besar permintaan tenaga kerja. Misalnya, dalam suatu industri rokok dengan asumsi faktor-faktor lain konstan, maka apabila
33
perusahaan menambah modalnya, maka jumlah tenaga kerja yang diminta juga bertambah. Fasilitas modal yang pada umumnya disebut sebagai penanaman modal atau investasi berasal dari 2 sumber, diantaranya: a. Investasi Asing Investasi asing atau biasa disebut Penanaman Modal Asing (PMA) adalah salah suatu bentuk penghimpunan modal guna menunjang proses pembangunan ekonomi yang bersumber dari luar negeri. Salvatore (1997) menjelaskan bahwa PMA terdiri atas: 1). Investasi portofolio (portfolio investment), yakni investasi yang melibatkan hanya aset-aset finansial saja, seperti obligasi dan saham, yang didenominasikan atau ternilai dalam mata uang nasional. Kegiatan-kegiatan investasi portofolio atau finansial ini biasanya berlangsung melalui lembaga-lembaga keuangan seperti bank, perusahaan dana investasi, yayasan pensiun, dan sebagainya. 2). Investasi asing langsung (foreign direct investment), merupakan PMA yang meliputi investasi ke dalam aset-aset secara nyata berupa pembangunan pabrik-pabrik, pengadaan berbagai macam barang modal, pembelian tanah untuk keperluan produksi, dan sebagainya. Wiranata (2004) berpendapat bahwa investasi asing secara langsung dapat dianggap sebagai salah satu sumber modal pembangunan ekonomi yang penting. Semua negara yang menganut sistem ekonomi terbuka, pada umumnya memerlukan investasi asing, terutama perusahaan yang menghasilkan barang dan jasa untuk kepentingan ekspor. Di negara maju seperti Amerika, modal asing (khususnya dari Jepang dan Eropa Barat) tetap dibutuhkan guna memacu pertumbuhan ekonomi domestik, menghindari kelesuan pasar dan penciptaan kesempatan kerja. Apalagi di negara berkembang seperti Indonesia, modal asing sangat diperlukan terutama sebagai akibat dari modal dalam negeri yang tidak mencukupi. Untuk itu berbagai kebijakan di bidang penanaman modal perlu diciptakan dalam upaya menarik pihak luar negeri untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
34
Undang-undang yang mengatur PMA di Indonesia pertama kali ditetapkan berdasarkan UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang kemudian disempurnakan oleh UU No. 11 Tahun 1970 juga mengenai Penanaman Modal Asing. Di dalam UU tersebut terdapat berbagai kemudahan yang dilengkapi dengan berbagai kebijakan dalam paket-paket deregulasi yang berkaitan dengan investasi asing. Hal ini dimaksudkan untuk lebih menarik investor dalam menanamkan modalnya untuk berinvestasi di Indonesia guna memenuhi kebutuhan sumber-sumber pembiayaan pembangunan b. Investasi Dalam Negeri Investasi Dalam Negeri biasa dikenal dengan istilah Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) adalah bentuk upaya dalam rangka menambah modal guna menunjang pembangunan nasional maupun wilayah melalui investor dalam negeri. Modal yang diperoleh dari dalam negeri ini dapat berasal dari pihak swasta ataupun dari pemerintah. Upaya dalam mencatat nilai penanaman modal yang dilakukan dalam satu tahun tertentu yang digolongkan sebagai investasi dalam negeri, meliputi pengeluaran atau pembelanjaan untuk: 1). Seluruh nilai pembelian para pengusaha dalam negeri atas barang modal dan membelanjakan untuk mendirikan industri-industri. 2). Pengeluaran masyarakat untuk mendirikan tempat tinggal. 3). Pertambahan dalam nilai stok barang-barang perusahaan yang sumber pengadaannya berasal dari modal domestik berupa bahan mentah, barang yang belum diproses dan barang jadi. Undang-undang yang mengatur PMDN di Indonesia pertama kali ditetapkan berdasarkan UU No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri yang kemudian disempurnakan oleh UU No. 12 Tahun 1970 juga mengenai Penanaman Modal Dalam Negeri. 6.
Produksi Domestik Regional Bruto (PDRB) Produk Domestik Regional Bruto (Gross Regional Domestic Product, GRDP) adalah total nilai atau harga pasar (market price) dari seluruh barang dan jasa akhir (final goods and services) yang dihasilkan oleh suatu
35
perekonomian daerah selama kurun waktu tertentu (biasanya satu tahun). PDRB adalah konsep pengukuran tingkat kegiatan produksi dan ekonomi aktual suatu wilayah. PDRB merupakan salah satu ukuran atau indikator yang secara luas digunakan untuk mengukur kinerja ekonomi daerah (regional economic performance) atau kegiatan makroekonomi daerah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa PDRB dapat dijadikan suatu indikator untuk mengetahui dan mengukur kondisi perekonomian maupun pertumbuhan ekonomi pada suatu wilayah pada kurun waktu tertentu. Konsep PDRB dapat diartikan sebagai salah satu ukuran kemajuan dalam suatu
masyarakat,
karena
dapat
mencerminkan
kemampuan
atau
keberhasilan masyarakat dalam memperoleh pendapatan. Disamping itu PDRB juga dapat digunakan untuk dijadikan bahan evaluasi dari hasil pembangunan ekonomi yang telah dilaksanakan baik oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat umum lainnya. 7.
Suku Bunga dalam Investasi Suku Bunga adalah harga yang dibayar peminjam (debitur) kepada pihak yang meminjamkan (kreditur) untuk pemakaian sumber daya selama interval waktu tertentu. Jumlah pinjaman yang diberikan disebut prinsipal dan harga yang dibayar biasanya diekspresikan sebagai persentase dari prinsipal per unit waktu (umumnya, setahun) (Fabozzi et al. 1994). Investasi yang ditanamkan pada suatu negara atau daerah, ditentukan oleh beberapa faktor, yang antara lain: suku bunga, ekspektasi tingkat return, tingkat pertumbuhan ekonomi, tingkat laba perusahaan, situasi politik, kemajuan teknologi dan kemudahan-kemudahan dari pemerintah (Kelana dalam Rachman 2005). Suku bunga menentukan jenis-jenis investasi yang akan memberikan keuntungan kepada para pemilik modal (investor). Para investor hanya akan menanamkan modalnya apabila tingkat pengembalian modal dari modal yang ditanamkan (return of investment), yaitu berupa persentase keuntungan netto (belum dikurangi dengan suku bunga yang dibayar) yang diterima lebih besar dari suku bunga. Seorang investor mempunyai dua pilihan di dalam menggunakan modal yang dimilikinya yaitu dengan meminjamkan
36
atau membungakan uang tersebut (deposito), dan menggunakannya untuk investasi (Nainggolan 2009). Suku bunga kredit perbankan merupakan biaya opportunitas dalam pembentukan investasi oleh sektor bisnis, sehingga peningkatan suku bunga kredit perbankan akan menurunkan tingkat investasi dan kemudian menurunkan pertumbuhan ekonomi. Penurunan intensitas persaingan bank akan meningkatkan penawaran kredit perbankan atau berasosiasi positif dengan struktur kredit perbankan. Peningkatan struktur kredit perbankan akibat penurunan intensitas persaingan bank akan meningkatkan investasi sektor riil dan kemudian mendorong pertumbuhan ekonomi (Bank Indonesia 2007). Ramalan mengenai keuntungan dimasa depan akan memberikan gambaran pada investor mengenai jenis usaha yang prospektif dan dapat dilaksanakan dimasa depan dan besarnya investasi yang harus dilakukan untuk memenuhi tambahan barang-barang modal yang diperlukan. Dengan bertambahnya pendapatan nasional maka tingkat pendapatan masyarakat akan meningkat, daya beli masyarakat juga meningkat, total aggregat demand meningkat yang pada akhirnya akan mendorong tumbuhnya investasi lain (Nainggolan 2009).
2.7.
Analisis Shift Share Menurut Priyarsono, et al (2007), analisis Shift Share adalah salah satu alat
analisis yang digunakan untuk mengidentifikasi sumber pertumbuhan ekonomi baik dari sisi pendapatan maupun dari sisi tenaga kerja pada suatu wilayah tertentu. Keunggulan utama dari analisis Shift Share adalah dapat melihat perkembangan produksi atau kesempatan kerja di suatu wilayah hanya dengan menggunakan 2 (dua) titik waktu data. Data yang digunakan juga mudah diperoleh dan relatif tersedia di setiap wilayah, yaitu data PDRB, PDB dan penyerapan tenaga kerja di masing-masing sektor. Analisis Shift Share mempunyai banyak kegunaan, diantaranya adalah untuk melihat hal-hal berikut:
37
1.
Perkembangan
sektor
perekonomian
di
suatu
wilayah
terhadap
perkembangan ekonomi wilayah yang lebih luas 2.
Perkembangan sektor-sektor perekonomian jika dibandingkan secara relatif dengan sektor-sektor lainnya
3.
Perkembangan suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya sehingga dapat membandingkan besarnya aktivitas suatu sektor pada wilayah tertentu dan pertumbuhan antar wilayah
4.
Perbandingan laju sektor-sektor perekonomian di suatu wilayah dengan laju pertumbuhan perekonomian nasional dan sektor-sektornya Secara umum, terdapat 3 (tiga) komponen utama dalam analisis Shift Share
(Budiharsono 2001), yakni: 1.
Komponen pertumbuhan nasional (national growth component) Komponen
pertumbuhan
nasional
(PN)
adalah
perubahan
produksi/kesempatan kerja suatu wilayah yang disebabkan oleh perubahan produksi/kesempatan kerja nasional, perubahan kebijakan ekonomi nasional atau perubahan dalam hal-hal yang mempengaruhi perekonomian semua sektor dan wilayah. Beberapa contoh diantaranya adalah kecenderungan inflasi, pengangguran dan kebijakan perpajakan. 2.
Komponen bauran industri (industrial mix component) Komponen bauran industri (BI) timbul karena perbedaan sektor dalam permintaan produk akhir, perbedaan dalam ketersediaan bahan mentah, perbedaan dalam kebijakan industri (seperti kebijakan perpajakan, subsidi dan price support) dan perbedaan dalam struktur dan keragaman pasar.
3.
Komponen keunggulan kompetitif (competitive advantage component) Komponen keunggulan kompetitif (KK) timbul karena peningkatan atau penurunan PDRB atau kesempatan kerja dalam suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya. Cepat lambatnya pertumbuhan suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya ditentukan oleh keunggulan komparatif, akses pasar, dukungan kelembagaan, prasarana sosial ekonomi serta kebijakan ekonomi regional pada wilayah tersebut. Hubungan antara ketiga komponen tersebut selengkapnya disajikan pada
Gambar 4. Berdasarkan ketiga komponen pertumbuhan wilayah tersebut dapat
38
ditentukan dan diidentifikasi perkembangan suatu sektor ekonomi pada suatu wilayah. Apabila BI+KK ≥ 0 maka dapat dikatakan bahwa pertumbuhan sektor ke i di wilayah ke j termasuk ke dalam kelompok progresif (maju). Sementara itu, BI+KK < 0 menunjukan bahwa pertumbuhan sektor ke i pada wilayah ke j tergolong pertumbuhannya lambat. Suatu sektor disebut maju jika perkembangan sektor tersebut pada periode berikutnya dinilai relatif lebih baik dibandingkan dengan sektor yang sama di wilayah referensinya, dan sebaliknya yang dimaksud dengan sektor yang lambat adalah perkembangan sektor tersebut pada periode selanjutnya dinilai lebih buruk dibandingkan dengan sektor yang sama di wilayah referensinya. Secara matematis rumus analisis Shift Share adalah: yit − y io = ∆y = yio {[Yt Yo ] − 1} + yio {[Yit Yio ] − [Yt Yo ]} + y io {[ yit y io ] − [Yit Yio ]} dimana komponen: yio {[Yt Yo ] − 1}
= unsur pertumbuhan nasional
= [G]
yio {[Yit Yio ] − [Yt Yo ]}
= unsur bauran industri
= [M]
yio {[ y it y io ] − [Yit Yio ]} = unsur keunggulan kompetitif
Maju BI+KK ≥ 0
Komponen Pertumbuhan Nasional Wilayah ke-j Sektor ke-i
= [S]
Wilayah ke-j Sektor ke-i
Komponen Bauran Industri (BI)
Komponen Keunggulan Kompetitif (KK)
Lambat BI+KK < 0
Sumber : Budiharsono, 2001
Gambar 4 Model Analisis Shift Share Dalam analisis Shift Share, komponen pertama [G] disebut komponen “Share”, sedangkan komponen kedua [M] dan ketiga [S] disebut komponen “Shift”. Perhitungan analisis Shift Share diperoleh dengan menjumlahkan ketiga komponen diatas dan hasilnya harus sama dengan total perubahan dari data industri/sektor yang ada di daerah (∆y) (Bendavid 1991). keterangan:
39
∆y
= Pertumbuhan total tenaga kerja daerah penelitian periode t (orang)
y io
= Jumlah tenaga kerja sektor i daerah penelitian di tahun awal (orang)
yit
= Jumlah tenaga kerja sektor i daerah penelitian di tahun akhir (orang)
Yio
= Jumlah tenaga kerja sektor i nasional di tahun awal (orang)
Yit
= Jumlah tenaga kerja sektor i nasional di tahun akhir (orang)
Yo
= Jumlah total tenaga kerja nasional di tahun awal (orang)
Yt
= Jumlah total tenaga kerja nasional di tahun akhir (orang)
Evaluasi Kinerja Sektor-sektor dan Aplikasi Analisis Shift Share Menurut Priyarsono et al. (2007), untuk mengevaluasi profil pertumbuhan sektor-sektor perekonomian dapat dilakukan dengan menggunakan bantuan 4 kuadran yang terdapat pada garis bilangan. Sumbu horizontal menggambarkan persentase perubahan komponen bauran industri (BIij), sedangkan sumbu vertikal merupakan persentase perubahan komponen keunggulan kompetitif (KKij). Dengan demikian pada sumbu horizontal terdapat BI sebagai absis, sedangkan pada vertikal terdapat KK sebagai ordinat. Penjelasan masing-masing kuadran yang terdapat pada Gambar 5 di atas adalah sebagai berikut: 1.
Kuadran I merupakan kuadran di mana BI dan KK sama-sama bernilai positif. Hal ini menunjukan bahwa sektor-sektor di wilayah yang bersangkutan memiliki pertumbuhan yang cepat (dilihat dari nilai BI-nya) dan memiliki daya saing yang lebih baik apabila dibandingkan dengan wilayah-wilayah lainnya (dilihat dari nilai KK-nya).
2.
Kuadran II menunjukan bahwa sektor-sektor ekonomi yang ada di wilayah yang bersangkutan pertumbuhannya cepat (BI-nya bernilai positif) tetapi daya saing wilayah untuk sektor-sektor tersebut dibandingkan dengan wilayah lainnya kurang baik (dilihat dari KK yang bernilai negatif).
3.
Kuadran III merupakan kuadran di mana BI dan KK bernilai negatif. Hal ini menunjukan bahwa sektor-sektor ekonomi di wilayah yang bersangkutan
40
memiliki pertumbuhan yang lambat dengan daya saing yang kurang baik jika dibandingkan dengan wilayah lain. 4.
Kuadran IV menunjukan bahwa sektor-sektor ekonomi pada wilayah yang bersangkutan memiliki pertumbuhan yang lambat (dilihat dari BI yang bernilai negatif) tetapi daya saing wilayah untuk sektor-sektor tersebut baik jika dibandingkan dengan wilayah lainnya (dilihat dari KK yang bernilai positif). Kuadran IV
Kuadran I
%M
%S Kuadran III
Kuadran II
Sumber : Budiharsono, 2001
Gambar 5 Profil Pertumbuhan Sektor Perekonomian Pada kuadran di atas terdapat garis yang memotong Kuadran II dan Kuadran IV yang membentuk sudut 45º. Garis tersebut merupakan garis yang menunjukan nilai pergeseran bersih. Di sepanjang garis tersebut pergeseran bersih bernilai nol (PB.j=0). Bagian atas garis tersebut menunjukan PB.j>0 yang mengindikasikan bahwa wilayah-wilayah/sektor-sektor tersebut pertumbuhannya progresif (maju). Sebaliknya, di bawah garis 45º berarti PB.j<0, menunjukan wilayahwilayah/sektor-sektor yang lamban. Secara matematis nilai pergeseran bersih (PB) sektor i pada wilayah j dapat dirumuskan sebagai berikut: PBij = BIij + KKij
keterangan: PBij
= Pergeseran bersih sektor i pada wilayah j
41
= Komponen bauran industri sektor i pada wilayah j
BIij
KKij = Komponen keunggulan kompetitif sektor i pada wilayah j
apabila: PBij > 0 maka pertumbuhan sektor i pada wilayah j termasuk ke dalam kelompok
progresif (maju) PBij < 0 maka pertumbuhan sektor i pada wilayah j termasuk ke dalam kelompok lamban
2.8.
Teori Ekonomi Basis Dalam teori ekonomi basis, perekonomian di suatu daerah dibagi menjadi 2
sektor utama, yaitu sektor basis dan sektor nonbasis. Sektor basis adalah sektor yang mengekspor barang dan jasa ataupun tenaga kerja ke tempat-tempat di luar batas perekonomian daerah yang bersangkutan. Disamping barang, jasa dan tenaga kerja, ekspor sektor basis dapat juga berupa pengeluaran orang asing yang berada di daerah tersebut terhadap barang-barang yang tidak bergerak, seperti tempat-tempat wisata, peninggalan sejarah, museum dan sebagainya. Adapun sektor nonbasis adalah sektor yang menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat yang bertempat tinggal di dalam batas-batas daerah itu sendiri. Sektor ini tidak mengekspor barang, jasa maupun tenaga kerja sehingga luas lingkup produksi dan daerah pasar sektor nonbasis hanya bersifat lokal (Glasson 1977). Menurut Priyarsono et al. (2007) secara teoritis, sektor mana saja yang merupakan sektor basis dan nonbasis di suatu daerah tidaklah bersifat statis melainkan dinamis. Artinya, pada tahun tertentu mungkin saja sektor tersebut merupakan sektor basis, namun pada tahun berikutnya belum tentu sektor tersebut secara otomatis menjadi sektor basis. Sektor basis atau nonbasis bisa dapat mengalami kemajuan ataupun kemunduran. Sehingga definisi dari sektor basis dan nonbasis dapat saja bergeser setiap tahunnya. Adapun sebab-sebab kemajuan sektor basis adalah: 1.
Perkembangan jaringan transportasi dan komunikasi
2.
Perkembangan pendapatan dan penerimaan daerah
42
3.
Perkembangan teknologi
4.
Adanya pengembangan prasarana ekonomi dan sosial
Di satu sisi, penyebab kemunduran sektor basis atau nonbasis adalah: 1.
Adanya penurunan permintaan di luar daerah
2.
Kehabisan cadangan sumber daya Menurut Glasson (1977) semakin banyak sektor basis dalam suatu daerah
akan menambah arus pendapatan ke daerah tersebut, menambah permintaan terhadap barang dan jasa di dalamnya dan menimbulkan kenaikan volume sektor nonbasis. Dengan kata lain, sektor basis berhubungan langsung dengan permintaan dari luar, sedangkan sektor nonbasis berhubungan secara tidak langsung, yaitu melalui sektor basis terlebih dahulu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sektor basis merupakan penggerak utama dalam perekonomian suatu daerah. Menurut Tiebout (1962) pendekatan pendapatan lebih baik digunakan dibandingkan dengan pendekatan tenaga kerja karena beberapa alasan berikut ini: 1.
Pada pendekatan tenaga kerja sangat sulit untuk mengonversi tenaga kerja paruh waktu (part time) dan pekerja musiman menjadi tenaga kerja penuh tahunan.
2.
Masalah kedua terjadi pada tenaga kerja ”penglaju” (commuter), yaitu mereka yang bekerja pada daerah yang diteliti, tetapi rumahnya berada di daerah lain.
3.
Masalah terakhir adalah adanya perbedaan produktivitas tenaga kerja antar sektor juga masih menimbulkan perdebatan diantara para ahli ekonomi.
Berbagai masalah tersebut telah menyebabkan pendekatan tenaga kerja relatif kurang peka untuk mengukur perubahan tenaga kerja total di suatu daerah dibanding pendekatan pendapatan. Namun demikian, ketiga permasalahan tersebut dapat diatasi sehingga pendekatan tenaga kerja sangat cocok digunakan terutama di negara atau daerah yang jumlah penduduknya besar. Melalui pendekatan
tenaga
kerja,
pemerintah
(pusat
maupun
daerah)
mengembangkan sektor yang penyerapan tenaga kerjanya paling tinggi.
dapat
43
Menurut Priyarsono et al. (2007), untuk mengetahui sektor basis atau nonbasis dapat digunakan metode pengukuran langsung atau metode pengukuran tidak langsung. Pada metode pengukuran langsung, penentuan sektor basis dan nonbasis dilakukan melalui survei langsung di daerah yang bersangkutan. Sebaliknya, pada metode pengukuran tidak langsung penentuan sektor basis dan nonbasis dilakukan dengan menggunakan data sekunder beberapa indikator ekonomi di suatu daerah, terutama data PDB/PDRB dan tenaga kerja per sektor. Secara umum terdapat 3 metode yang digunakan untuk menentukan sektor basis dan nonbasis di suatu daerah berdasarkan pengukuran tidak langsung, yaitu: 1.
Metode Asumsi Metode ini merupakan pendekatan yang paling sederhana dalam penentuan sektor basis dan nonbasis di suatu daerah. Berdasarkan pendekatan ini sektor primer dan sekunder diasumsikan sektor basis, sedangkan sektor tersier dianggap sebagai sektor nonbasis. Metode ini cukup baik diterapkan pada daerah yang luasnya relatif kecil dan tertutup serta jumlah sektornya sedikit. Namun demikian, pada kasus-kasus tertentu, penentuan sektor basis dan nonbasis tersebut mungkin saja menjadi tidak akurat. Hal ini dikarenakan suatu sektor seharusnya termasuk ke dalam sektor basis, akan tetapi pada pendekatan asumsi sektor tersebut termasuk ke dalam sektor nonbasis.
2.
Metode Location Quotient (LQ) Pada metode ini, penentuan sektor basis dan nonbasis dilakukan dengan cara menghitung perbandingan antara pendapatan (tenaga kerja) di sektor i pada daerah level bawah terhadap pendapatan (tenaga kerja) total semua sektor di daerah level bawah dengan pendapatan (tenaga kerja) di sektor i pada daerah level atas terhadap pendapatan (tenaga kerja) semua sektor di daerah level atasnya. Secara matematis nilai LQ dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: S ib LQ =
S ia
Sb Sa
dimana: LQ = Location Quotient
44
Sib = Pendapatan (tenaga kerja) sektor i pada daerah level bawah Sb = Pendapatan (tenaga kerja) total semua sektor pada daerah level bawah Sia = Pendapatan (tenaga kerja) sektor i pada daerah level atas S a = Pendapatan (tenaga kerja) total semua sektor pada daerah level atas Daerah bawah dan daerah atas dalam pengertian ini merupakan daerah administratif. Misalnya, analisis sektor basis dan nonbasis dilakukan di level kecamatan maka daerah bawahnya adalah kecamatan, sedangkan daerah atasnya adalah kabupaten/kota dimana kecamatan tersebut berada. Jika hasil perhitungan dengan menggunakan rumus di atas menghasilkan nilai LQ>1 maka sektor i dikategorikan sebagai sektor basis. Nilai LQ yang lebih dari satu tersebut menunjukan bahwa pangsa pendapatan (tenaga kerja) pada sektor i di daerah bawah lebih besar dibanding daerah atasnya dan output pada sektor i lebih berorientasi ekspor. Sebaliknya, apabila nilai LQ<1 maka sektor i diklasifikasikan sebagai sektor nonbasis. Keunggulan LQ yaitu selama data pendapatan dan tenaga kerja di suatu daerah tersedia secara lengkap dan akurat merode ini cukup akurat untuk diterapkan. Selain itu, perhitungan yang digunakan juga relatif sederhana dan tidak membutuhkan biaya yang besar dan waktu yang lama dalam mengklasifikasikan sektor basis dan nonbasis di suatu daerah. 3.
Metode Pendekatan Kebutuhan Minimum (MPKM) Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh Ullman dan Dacey pada tahun 1960 (McCann 2001). Dalam MPKM daerah yang diteliti dibandingkan dengan daerah yang memiliki ukuran yang relatif sama dan ditetapkan sebagai daerah memiliki kebutuhan minimum tenaga kerja di sektor tertentu. Pada awalnya daerah-daerah yang berukuran relatif sama dengan daerah yang diteliti tersebut dipilih terlebih dahulu. Untuk setiap daerah, kemudian dihitung persentase angkatan kerja yang dipekerjakan pada setiap sektor. Kemudian, angka-angka persentase tersebut diperbandingkan antar satu daerah dengan daerah lainnya. Persentase angkatan kerja terkecil (yang paling minimum) dipergunakan sebagai ukuran kebutuhan minimum bagi
45
sektor tertentu dan sekaligus sebagai batas untuk menentukan sektor basis dan nonbasis. Rumus yang digunakan adalah: Eir MPKM =
Er
Eim Em
dimana: MPKM = Metode Pendekatan Kebutuhan Minimum
Eir
= Pendapatan (tenaga kerja) sektor i di daerah yang diteliti
Er
= Pendapatan (tenaga kerja) total semua sektor di daerah yang diteliti
Eim
= Pendapatan (tenaga kerja) sektor i di daerah yang memiliki batas minimum pendapatan (tenaga kerja)
Em
= Pendapatan (tenaga kerja) total semua sektor di daerah yang memiliki batas minimum pendapatan (tenaga kerja)
Kelemahan metode ini lebih sulit untuk diterapkan terutama di negaranegara yang memiliki banyak daerah administratif. Selain itu, menurut Budiharsono (2001) apabila masing-masing sektor tersebut dipecah lagi menjadi sektor-sektor yang lebih terperinci maka akan mengakibatkan hampir semua sektor merupakan sektor basis.
2.9.
Penelitian Terdahulu Penelitian Barreto dan Howland (1993) meregresikan output (GNP) terhadap
tingkat pengangguran dengan menggunakan metode first difference menunjukan bahwa PDRB berpengaruh negatif terhadap tingkat pengangguran. Schnabel (2002) mengestimasi trend tingkat pertumbuhan ekonomi pada sampel negaranegara industri (Amerika Serikat, Jepang, Prancis, Jerman, Australia, Spanyol, Swedia, Kanada, Inggris Raya, dan Italia) dengan menggunakan metode first difference dari hukum Okun menunjukan bahwa untuk hampir semua negara observasi, persamaan tanpa menggunakan intercept atau slope shift menghasilkan
46
statistik Durbin-Watson (DW) yang sangat rendah dan pertumbuhan output, pertumbuhan lag output berpengaruh negatif terhadap tingkat pengangguran. Penelitian Rachman (2005), dalam studinya tentang kesempatan kerja di DKI Jakarta dengan runtut waktu tahun 1982-2003 menunjukan bahwa variabel Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), investasi, Upah Minimum Provinsi (UMP), dan angkatan kerja secara bersama-sama berpengaruh terhadap kesempatan kerja di DKI Jakarta. Namun apabila dilihat secara parsial, variabel investasi tidak sesuai dengan hipotesis, dimana hasil analisisnya menunjukan pengaruh yang negatif terhadap kesempatan kerja. Ketidaksesuaian ini diantaranya disebabkan oleh adanya relokasi beberapa industri ke luar wilayah DKI Jakarta dan adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) pada sektor-sektor ekonomi yang ada di DKI Jakarta. Sedangkan hasil analisis dari variabel PDRB, Angkatan Kerja, dan UMP sesuai dengan hipotesis, dimana PDRB berpengaruh positif, Angkatan Kerja berpengaruh positif, dan UMP berpengaruh negatif terhadap Kesempatan Kerja di DKI Jakarta. Penelitian Erisman (2003), dapat dijabarkan secara deskriptif bahwa dari hasil analisis spasial menunjukan pada sektor pertanian wilayah Jakarta Utara merupakan sektor basis baik dengan pendekatan tenaga kerja maupun output, diduga kondisi ini menggambarkan penekanan pada subsektor perikanan sesuai dengan kondisi wilayah Jakarta Utara yang berbatasan dengan laut. Pada sektor industri pengolahan menjadi sektor basis pada wilayah Jakarta Utara terutama pada pendekatan output. Untuk sektor bangunan atau konstruksi dengan pendekatan tenaga kerja dan output menjadi sektor basis pada wilayah Jakarta Selatan. Sektor perdagangan, hotel, dan restoran baik dengan pendekatan tenaga kerja maupun output, menjadi sektor basis pada wilayah Jakarta Pusat. Kemudian pada sektor pengangkutan, dan komunikasi dengan pendekatan tenaga kerja maupun output menjadi sektor basis di wilayah Jakarta Utara. Sedangkan pada sektor keuangan, persewaan, dan jasa keuangan dengan pendekatan tenaga kerja merupakan sektor basis pada wilayah Jakarta Selatan tetapi dengan pendekatan output lebih dominan pada wilayah Jakarta Pusat. Selanjutnya untuk sektor jasajasa baik dengan pendekatan tenaga kerja maupun output nampaknya memberikan hampir merata dominan pada setiap wilayah kecuali pada wilayah Jakarta Utara.
47
Berdasarkan analisis ekonometrik persamaan simultan dapat diperoleh gambaran bahwa pengendalian penduduk merupakan prioritas terhadap penurunan tingkat pengangguran. Kemudian dilanjutkan dengan penetapan upah yang seimbang antar keinginan pekerja dan pengusaha menjadi penelaahan lebih lanjut untuk menekan tingkat pengangguran. Selanjutnya investasi tetap harus ditingkatkan untuk menurunkan tingkat pengangguran. Inflasi yang terkendali juga dapat mempengaruhi tingkat pengangguran, walaupun kenaikan tingkat inflasi pada periode sebelumnya menurunkan pengangguran. Mungkin hal ini merupakan insentif untuk pengembangan usaha tetapi perlu dilihat purchasing power dari masyarakat, sehingga tidak membuat kondisi memburuk. Kenaikan suku bunga juga akan meningkatkan pengangguran walaupun secara relatif sangat kecil. Penelitian Malau (2007), menunjukan bahwa penyerapan tenaga kerja di Provinsi DKI Jakarta masih didominasi sektor tersier. Adapun faktor yang berpengaruh terhadap pasar kerja sektor tersier adalah angkatan kerja, penyerapan tenaga kerja, upah, investasi, dan pendapatan. Penelitian Elnopembri (2007), untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan tenaga kerja industri kecil di kabupaten Tanah Datar. Data yang digunakan adalah data sekunder runtut waktu (time series) dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2004 berupa jumlah tenaga kerja industri kecil, Upah Minimum Regional (UMR), tingkat suku bunga investasi kredit Bank Pemerintah Daerah, tingkat suku bunga kredit investasi bank persero pemerintah di daerah, dan nilai produksi industri kecil di kabupaten Tanah Datar. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian adalah analisis regresi berganda yang ditaksir dengan menggunakan metode kuadrat terkecil (Ordinary Least Square, OLS) dalam bentuk semi-log. Hasil analisis regresi menunjukan bahwa upah minimum regional memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja industri kecil. Tingkat suku bunga kredit investasi Bank Pemerintah Daerah dan Bank Persero Pemerintah di daerah sama-sama memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja industri kecil artinya peningkatan suku bunga
48
kredit hanya akan mengakibatkan turunnya permintaan tenaga kerja industri kecil. Nilai produksi memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja industri kecil. Ekspansi yang dilakukan industri kecil dengan menciptakan akses pasar akan mendorong peningkatan produksi sehingga berdampak terciptanya lapangan kerja baru. Penelitian Situmorang dan Kalsum (2007), yang bertujuan untuk mengetahui: (1) gambaran struktur perekonomian dalam kaitannya dengan struktur
ketenagakerjaan
di
provinsi
Lampung,
(2)
faktor-faktor
yang
mempengaruhi kesempatan kerja sektor pertanian dan nonpertanian di provinsi Lampung, (3) faktor-faktor yang mempengaruhi transformasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor nonpertanian di provinsi Lampung, (4) respon kesempatan kerja sektor pertanian dan nonpertanian terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi, dan (5) respon transformasi tenaga kerja sektor pertanian ke sektor nonpertanian
di
provinsi
Lampung
terhadap
faktor-faktor
yang
mempengaruhi. Penelitian menggunakan data deret waktu (time series) tahun 1981-2006 yang dianalisis dengan pendekatan ekonometrika. Model kesempatan kerja dan transformasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor nonpertanian di Provinsi Lampung terdiri dari delapan persamaan struktural dan tujuh persamaan identitas, dan pendugaan parameter dilakukan dengan metode 2SLS. Hasil pendugaan menunjukan bahwa: (1) pola struktur perekonomian provinsi Lampung adalah: Pertanian–Industri–Jasa, sedangkan pola penyerapan tenaga kerja adalah: Pertanian–Jasa–Industri. (2). (a) Kesempatan kerja subsektor tanaman pangan dipengaruhi oleh PDRB, kesempatan kerja nonpertanian dan lag kesempatan kerja. (b) Kesempatan kerja subsektor perikanan dipengaruhi oleh upah, produksi, PDRB, kesempatan kerja selain perikanan dan lag kesempatan kerja. (c) Kesempatan kerja subsektor peternakan dipengaruhi oleh upah, produksi, investasi dan kesempatan kerja nonpertanian. (d) Kesempatan kerja subsektor perkebunan dipengaruhi oleh upah, PDRB dan investasi subsektor perkebunan. (e) Kesempatan kerja subsektor kehutanan dipengaruhi oleh upah, PDRB, kesempatan kerja nonpertanian dan lag kesempatan kerja. (f) Kesempatan
49
kerja sektor industri dipengaruhi oleh PDRB, kesempatan kerja pertanian dan lag kesempatan kerja. (g) Kesempatan kerja sektor jasa dipengaruhi oleh kesempatan kerja sektor industri dan sektor pertanian. (3). Transformasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor nonpertanian dipengaruhi kesempatan kerja sektor jasa. (4). (a) Kesempatan kerja subsektor tanaman pangan tidak responsif terhadap perubahan peubah penjelasnya. (b) Kesempatan kerja subsektor perikanan responsif terhadap perubahan produksi dan upah subsektor perikanan. Kesempatan kerja subsektor peternakan responsif terhadap perubahan upah dan PDRB subsektor peternakan. (d) Kesempatan kerja subsektor perkebunan tidak responsif terhadap perubahan peubah penjelasnya. (e) Kesempatan kerja subsektor kehutanan responsif terhadap perubahan kesempatan kerja selain subsektor kehutanan. (f) Kesempatan kerja sektor industri tidak responsif terhadap perubahan semua peubah penjelasnya. (g) Kesempatan kerja sektor jasa responsif terhadap perubahan kesempatan kerja sektor pertanian. (5) Transformasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor nonpertanian di provinsi Lampung responsif terhadap perubahan kesempatan kerja sektor jasa. Berdasarkan hasil penelitian, maka disarankan: (1) untuk meningkatkan kesempatan kerja sektor pertanian, maka upah dan produksi serta PDRB harus ditingkatkan, (2) untuk menjaga kelestarian hutan, maka upah subsektor kehutanan harus ditingkatkan sebagai insentif bagi tenaga kerjanya, serta kesempatan kerja selain subsektor kehutanan harus ditingkatkan, (3) karena kesempatan kerja sektor jasa berpengaruh nyata terhadap transformasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor nonpertanian, maka penanganan dan pembinaan sektor jasa perlu dan urgen dilakukan melalui tindakan nyata dan serius, (4) bagi penelitian selanjutnya, perlu dilakukan penyempurnaan model dengan memasukkan variabel-variabel yang secara teori ekonomi dan laras ilmiah belum dimasukkan dalam penelitian ini, misalnya disagregasi kesempatan kerja sektor pertanian dan nonpertanian menurut wilayah desa dan kota. Penelitian Suhartono (2009), yang bertujuan untuk mengetahui sektor-sektor ekonomi yang potensial dan layak dikembangkan terhadap PDRB dan kesempatan kerja di masing-masing kabupaten/kota untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi, tingkat ketimpangan pendapatan dan untuk mengetahui hubungan antara sektor-
50
sektor ekonomi dengan pertumbuhan ekonomi dan sektor-sektor ekonomi dengan penyerapan tenaga kerja di provinsi Jawa Tengah. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif, dengan Location Quotient (LQ), Analisis Shift Share, Indeks Williamson dan Analisis Korelasi. Hasil penelitian dalam tahun 2006 menunjukan: (1) Sektor industri pengolahan; pertanian; perdagangan, hotel, dan restoran merupakan sektor terbesar sumbangannya dalam PDRB provinsi Jawa Tengah. (2) Sektor ekonomi yang potensial dan layak dikembangkan di masing-masing kabupaten/kota di provinsi Jawa Tengah beragam. (3) Sektor bangunan/konstruksi mengalami pertumbuhan lebih cepat di 13 kabupaten/kota dibanding dengan tingkat pertumbuhan provinsi. (4) Ketimpangan pendapatan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah selama tahun 2002-2006 menunjukan tingkat ketimpangan sangat timpang. (5) Terjadi perubahan/pergeseran dalam hal penyerapan tenaga kerja dalam kurun waktu tahun 2002-2006 dari sektor primer ke sektor tersier di tahun 2005. Penelitian Purwanti (2009), menunjukan bahwa kesempatan kerja nyata di kabupaten Bangli dipengaruhi secara positif oleh pertumbuhan kesempatan kerja di provinsi Bali dan keunggulan kompetitif. Berarti kedua komponen tersebut akan menambah kesempatan kerja yang terjadi di kabupaten Bangli, namun tidak dengan komponen bauran industri. Komponen bauran industri mempengaruhi kesempatan kerja di kabupaten Bangli secara negatif, yang berarti komponen ini menyebabkan laju kesempatan kerja mengalami kontraksi. Sektor basis kesempatan kerja di kabupaten Bangli pada tahun awal penelitian adalah sektor pertanian dan sektor industri pengolahan. Sepuluh tahun kemudian sektor basis bertambah menjadi tiga sektor yaitu masuknya sektor pertambangan dan penggalian. Sektor-sektor ini adalah sektor yang mampu menyerap tenaga kerja lebih dari cukup sehingga dapat menghasilkan produk untuk memenuhi kebutuhan lokal (kabupaten Bangli) dan juga untuk daerah lain. Sektor-sektor di luar sektor basis merupakan sektor nonbasis yakni sektor-sektor yang tidak mampu menciptakan kesempatan kerja yang cukup tinggi sehingga tidak dapat menghasilkan produk untuk memenuhi kebutuhan lokal.
51
Perubahan kesempatan kerja di sektor basis akan membawa perubahan terhadap kesempatan kerja total dan kesempatan kerja di sektor nonbasis. Namun perubahan yang terjadi di kabupaten Bangli dalam kurun waktu 10 tahun justru menurun. Jika dibandingkan dengan tahun 1998, tiap kenaikan kesempatan kerja di sektor basis pada tahun 2007 memberikan dampak yang lebih kecil terhadap peningkatan kesempatan kerja total dan kesempatan kerja di sektor nonbasis. Hal ini cukup mengkhawatirkan karena jika sektor-sektor basis tidak diberikan perhatian yang lebih untuk dikembangkan maka tidak menutup kemungkinan sektor-sektor ini dikemudian hari justru berubah menjadi sektor nonbasis. Penelitian Dimas dan Woyanti (2009) mengenai Penyerapan Tenaga Kerja di DKI Jakarta membuktikan bahwa dalam kurun waktu tahun 1990-2004, PDRB, tingkat upah dan investasi riil secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja di DKI Jakarta. Sedangkan secara parsial, PDRB berpengaruh positif dan siginfikan, tingkat upah dan investasi riil berpengaruh negatif dan signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja di DKI Jakarta dengan menggunakan metode analisis metode kuadrat terkecil (Ordinary Least Square, OLS) Penelitian
Nainggolan
(2009),
tentang
analisis
faktor-faktor
yang
mempengaruhi kesempatan kerja pada kabupaten/kota di provinsi Sumatera Utara, menggunakan data panel dengan variabel bebas Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Kabupaten/Kota,
Tingkat
Bunga
Kredit,
Upah
Minimum
Kabupaten/Kota di Provinsi (UMK) dan variabel terikat kesempatan kerja. Data dengan runtun waktu tahun 2002-2007. Metode analisis yang dipergunakan adalah Metode Generalized Least Square (GLS) dengan Random Effek Model (REM). Hasil penelitian menunjukan bahwa variabel Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten/Kota berpengaruh positif sebesar 76,38 persen dan signifikan, Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) berpengaruh negatif sebesar 53,06 persen dan signifikan, dan Tingkat Bunga Kredit berpengaruh negatif sebesar 7,29 persen dan tidak signifikan terhadap kesempatan bekerja pada kabupaten/kota di provinsi Sumatera Utara.
52
Penelitian Nugroho (2010), tentang sektor industri pengolahan dilihat dari keterkaitan antar industrinya baik backward linkage maupun forward linkage, diketahui industri-industri yang mempunyai potensi untuk dikembangkan dalam rangka pembangunan ekonomi di DKI Jakarta, mengidentifikasi sumber-sumber pertumbuhan output sektor industri pengolahan melalui pendekatan dekomposisi pertumbuhan output, serta menguraikan peranan peningkatan produktivitas tenaga kerja dan ekspansi output masing-masing industri terhadap peningkatan penyerapan tenaga kerja. Peranan ekspansi output akan diuraikan menjadi peranan permintaan domestik, promosi ekspor, substitusi impor, dan perubahan teknologi pada sektor industri pengolahan di DKI Jakarta periode tahun 1993-2000 dan tahun 2000-2006. Dalam hal menentukan jenis industri pengolahan yang mempunyai keunggulan serta menentukan arah pengembangannya dalam perekonomian di provinsi DKI Jakarta, digunakan pendekatan input-output (I-O), yang meliputi: analisis keterkaitan antar-industri, serta analisis dekomposisi pertumbuhan output dan analisis dekomposisi pertumbuhan tenaga kerja. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data I-O DKI Jakarta tahun 1993, 2000, 2006, serta data penunjang lainnya. Jika dilihat selama dua periode observasi, terdapat beberapa industri yang menunjukan kecenderungan terus meningkatkan penyerapan tenaga kerja, meskipun telah terjadi peningkatan teknologi pada industri tersebut. Industriindustri tersebut adalah industri makanan dan minuman, industri kosmetik, industri barang dari gelas dan kaca, industri barang-barang dari logam, kecuali mesin dan peralatan. Hal ini menunjukan bahwa industri-industri tersebut telah memanfaatkan teknologi tepat guna dalam pertumbuhannya sehingga dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak. Menurut Nugroho (2010), penyerapan tenaga kerja pada beberapa industri pengolahan karena adanya perubahan teknologi yang memberikan efek negatif menunjukan bahwa kemungkinan penurunan tersebut dilakukan pada tenaga kerja yang tidak memiliki keterampilan/keahlian yang dbutuhkan sehingga perlu adanya
53
pelatihan-pelatihan dan pendidikan khusus bagi calon tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang berkualifikasi.
54
Tabel 7 Penelitian-Penelitian Terdahulu No.
Peneliti
1
Barreto dan Howland
Judul There are Two Okun’s Law Relationships Between Output and Labor
2
Schnabel
Output Trends and Okun’s Law
3
Dimas dan Nenik Woyanti
Penyerapan Tenaga Kerja di DKI Jakarta
4
Edyan Rachman
Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kesempatan Kerja di DKI Jakarta
5
Erisman
Analisis Ekonomi Pasar Tenaga Kerja di Wilayah
Model
Metode
Hasil
f (U ) = α + β f (GNP )
Regresi OLS
-PDRB berpengaruh negatif terhadap tingkat pengangguran.
∆U = α + β 1 y t + β 2 y t −1
LnY = β 0 + β 1 PDRB + β 2UR +
β 3 IR + µ
KK = a0 + a1PDRB + a2 INV + a3UMP + a4 AK + e
-----
Regresi OLS
Regresi OLS
Regresi OLS
Analisis LQ dan
-Secara bersama-sama, pertumbuhan output, pertumbuhan lag output berpengaruh negatif terhadap tingkat pengangguran. -Secara parsial, pertumbuhan output, pertumbuhan lag output berpengaruh negatif terhadap tingkat pengangguran. -Secara bersama-sama PDRB, upah riil dan investasi riil berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja di DKI Jakarta. -Secara parsial, PDRB berpengaruh positif, upah riil dan investasi riil berpengaruh negatif terhadap penyerapan tenaga kerja. -Secara bersama-sama PDRB, investasi, UMP, dan angkatan kerja berpengaruh terhadap kesempatan kerja di DKI Jakarta. -Secara parsial, investasi berpengaruh negatif, PDRB dan angkatan kerja berpengaruh positif, dan UMP berpengaruh negatif terhadap kesempatan kerja. -Sektor pertanian; industri pengolahan; dan pengangkutan,
55
DKI Jakarta
6
7
Albert Galau Malau
Dampak Kebijakan Ekonomi Terhadap Pasar Kerja, Investasi dan Pendapatan Sektor Tersier di Provinsi DKI Jakarta
Elnopembri
Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyerapan Tenaga Kerja Industri Kecil di Kabupaten Tanah Datar Provinsi Sumatera Barat Tahun 1990-2004
Persamaan Simultan
PK tersier = A0 + A1 AK + A2 TK + A3UMR + A4 INV + A5Y + E
LnPTK = α 0 + α1LnUMR + α 2 SBKBPD + α 3 SBKBPP + α 4 LnPROD + ε
Regresi OLS
Regresi OLS
dan komunikasi menjadi sektor basis di Jakarta Utara. Sektor bangunan menjadi sektor basis di Jakarta Selatan. Sektor perdagangan, hotel, dan restoran menjadi sektor basis di Jakarta Pusat. Sektor keuangan, persewaan, dan jasa keuangan menjadi sektor basis di Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat. Sektor jasa-jasa hampir merata dominan pada setiap wilayah kecuali di Jakarta Utara . -Penetapan upah untuk menekan pengangguran, investasi untuk menurunkan pengangguran, Inflasi mempengaruhi pengangguran, Kenaikan suku bunga menaikan pengangguran -Penyerapan tenaga kerja di DKI Jakarta di dominasi sektor tersier. -Faktor yang berpengaruh terhadap pasar kerja sektor tersier adalah angkatan kerja, penyerapan tenaga kerja, upah, investasi, dan pendapatan. -UMR berpengaruh positif dan signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja industri kecil. Tingkat suku bunga kredit investasi Bank Pemerintah Daerah dan Bank Persero Pemerintah berpengaruh negatif dan signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja industri
56
8
Suriaty Situmorang dan Umi Kalsum
Kesempatan Kerja dan Transformasi Tenaga Kerja Dari Sektor Pertanian Ke Sektor Nonpertanian di Provinsi Lampung
-----
Metode 2SLS
kecil. Nilai produksi berpengaruh positif dan signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja industri kecil. -Hasil pendugaan menunjukan bahwa: (1) Pola penyerapan tenaga kerja: Pertanian–Jasa–Industri. (2). (a) Kesempatan kerja subsektor tanaman pangan dipengaruhi PDRB, kesempatan kerja nonpertanian dan lag kesempatan kerja. (b) Kesempatan kerja subsektor perikanan dipengaruhi upah, produksi, PDRB, kesempatan kerja selain perikanan dan lag kesempatan kerja. (c) Kesempatan kerja subsektor peternakan dipengaruhi upah, produksi, investasi dan kesempatan kerja nonpertanian. (d) Kesempatan kerja subsektor perkebunan dipengaruhi upah, PDRB dan investasi subsektor perkebunan. (e) Kesempatan kerja subsektor kehutanan dipengaruhi upah, PDRB, kesempatan kerja nonpertanian dan lag kesempatan kerja. (f). Kesempatan kerja sektor industri dipengaruhi PDRB, kesempatan kerja pertanian dan lag kesempatan kerja. (g). Kesempatan kerja sektor jasa dipengaruhi oleh kesempatan kerja sektor industri dan sektor pertanian.
57
9
10
Suhartono
Putu Ayu Pramitha Purwanti
Struktur Ekonomi, Kesempatan Kerja dan Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Jawa Tengah
Analisis Kesempatan Kerja Sektoral di Kabupaten Bangli Dengan Pendekatan Pertumbuhan Berbasis Ekspor
11
Dimas dan Nenik Woyanti
Penyerapan Tenaga Kerja di DKI Jakarta
12
Indra Oloan Nainggolan
Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kesempatan Kerja Pada Kabupaten/Kota di
Analisis LQ, Shift Share, Indeks Williamson, dan Analisis Korelasi
-----
Dij = N ij + M ij + Cij dan
( LQ = (
Eij
Ein
Ej En
)
Shift Share dan Analisis LQ
)
LnY = β 0 + β 1 PDRB + β 2UR +
β 3 IR + µ
Log ( KK )it = b0 + b1Log ( PDRB)it + b2 Log ( R)it + b3 Log (UMK )it + µit
Regresi OLS
Metode GLS dengan Random Effek Model
-Terjadi perubahan/pergeseran dalam hal penyerapan tenaga kerja dalam kurun waktu tahun 20022006 dari sektor primer ke sektor tersier di tahun 2005. -Kesempatan kerja nyata di kabupaten Bangli dipengaruhi secara positif oleh pertumbuhan kesempatan kerja di provinsi Bali dan keunggulan kompetitif. Komponen bauran industri mempengaruhi kesempatan kerja di kabupaten Bangli secara negatif. -Sektor basis kesempatan kerja di kabupaten Bangli pada tahun awal penelitian adalah sektor pertanian dan sektor industri pengolahan. Sepuluh tahun kemudian sektor basis bertambah menjadi tiga sektor yaitu masuknya sektor pertambangan, dan penggalian. -Secara bersama-sama PDRB, upah riil dan investasi riil berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja di DKI Jakarta. -Secara parsial, PDRB berpengaruh positif, upah riil dan investasi riil berpengaruh negatif terhadap penyerapan tenaga kerja. -PDRB Kabupaten/Kota berpengaruh positif 76,38% dan signifikan, UMK berpengaruh negatif 53,06% dan signifikan, dan
58
Provinsi Sumatera Utara
13
Hari Nugroho
Analisis Sumber Pertumbuhan Output dan Tenaga Kerja Sektor Industri Pengolahan di Provinsi DKI Jakarta : Pendekatan Dekomposisi Input-Output
(REM)
-----
Pendekatan InputOutput
Tingkat Bunga Kredit berpengaruh negatif 7,29% dan tidak signifikan terhadap kesempatan bekerja pada kabupaten/kota di provinsi Sumatera Utara -Jika dilihat selama dua periode observasi, terdapat beberapa industri yang menunjukan kecenderungan terus meningkatkan penyerapan tenaga kerja, meskipun telah terjadi peningkatan teknologi pada industri tersebut.
59
2.10.
Hipotesis Penelitian Berdasarkan perumusan masalah, tinjauan kepustakaan dan dari berbagai
hasil kajian empiris yang telah dilakukan peneliti-peneliti sebelumnya, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian ini sebagai berikut: 1.
Pertumbuhan kesempatan kerja riil sangat potensial terjadi pada sektor tersier di DKI Jakarta.
2.
Sektor tersier merupakan sektor basis dalam menyerap tenaga kerja di DKI Jakarta.
3.
PMA berpengaruh positif terhadap kesempatan kerja di DKI Jakarta
4.
PMDN berpengaruh positif terhadap kesempatan kerja di DKI Jakarta
5.
PDRB berpengaruh positif terhadap kesempatan kerja di DKI Jakarta
6.
Suku Bunga Kredit berpengaruh negatif terhadap kesempatan kerja di DKI Jakarta
2.11.
Kerangka Pemikiran Pembangunan nasional pada hakikatnya tidak hanya terkait dengan indikator
ekonomi saja. Melainkan terbagi dalam berbagai bidang yang pada ujung pangkalnya juga bertujuan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat secara utuh. Akan tetapi, pembangunan nasional yang menjadi fokus dalam penelitian ini dan selalu
menjadi
pembangunan
wacana bidang
serta
ekonomi
berkaitan dalam
terhadap
kesejahteraan
pembangunan
ekonomi
adalah nasional.
Pemerintah pusat tidak selalu dapat membuat kebijakan-kebijakan ekonomi sebagai implementasi dari pembangunan ekonomi nasional yang dapat berpengaruh dan dirasakan secara langsung oleh masyarakat umum baik di perkotaan maupun di pedesaan terlebih di pedalaman. Oleh karenanya, perlu peran serta dari pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota yang secara riil mengetahui segala persoalan ekonomi yang dihadapi oleh daerahnya. Adanya penyelenggaraan otonomi daerah semenjak bergulirnya era reformasi di awal abad 21 menandakan adanya kebijakan pemerintah pusat untuk melibatkan peran pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan secara luas untuk mencapai tujuan pembangunan nasional. Sehingga dengan adanya kewenangan
60
yang diberikan pemerintah pusat, pemerintah daerah akan lebih leluasa untuk fokus dalam upaya pencapaian sasaran pembangunan ekonomi daerah yang pada umumnya dicerminkan dengan adanya pertumbuhan ekonomi daerah yang tinggi dan
distribusi
pendapatan
yang
merata sebagai
indikator keberhasilan
pembangunan. Dalam hal ini, implementasi pengendalian stabilitas ekonomi baik di pusat hingga daerah dilakukan oleh bank sentral maupun perwakilannya di daerah dikarenakan adanya keterkaitan dengan kebijakan moneter. Penerapan kebijakan dalam pertumbuhan ekonomi daerah dipengaruhi oleh berbagai faktor yang diantaranya pendapatan regional, penyerapan tenaga kerja, investasi, teknologi dan sebagainya. Disamping itu, faktor tersebut secara umum diklasifikasikan ke dalam berbagai sektor-sektor untuk memudahkan analisis dalam pengambilan keputusan sektor apa yang layak untuk ditindaklanjuti dalam memacu pertumbuhan ekonomi daerah akibat adanya kebijakan nasional ataupun daerah seperti penanaman modal (investasi) selain untuk melihat keterkaitan dan kontribusi sektor-sektor tersebut terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah yang akan dijadikan basis ekonomi daerah. Lainnya, klasifikasi terhadap sektor-sektor ekonomi juga bertujuan untuk mengkaji potensi daerah yang secara nyata mempunyai kontribusi langsung terhadap wilayahnya baik karena adanya pengaruh pertumbuhan provinsi, bauran industri maupun keunggulan kompetitif sebagai sektor unggul yang dapat memberikan dampak secara langsung dalam struktur perekonomian daerah terutama terkait dengan penyerapan tenaga kerja. Disamping itu, perlu adanya analisis terhadap pengaruh dari faktor-faktor yang mempengaruhi kesempatan kerja yang terdiri atas penanaman modal asing, penanaman modal dalam negeri, produk domestik regional bruto, dan suku bunga kredit guna melihat seberapa besar pengaruh dari indikator tersebut dalam menciptakan kesempatan kerja yang ada.
61
Pembangunan Nasional
Pembangunan Bidang Lainnya
Pembangunan Bidang Ekonomi Otonomi Daerah
Pembangunan Ekonomi Daerah
Pertumbuhan Ekonomi
Stabilitas Ekonomi
Faktor Lainnya
Investasi
PMA
PMDN
PDRB
Penyerapan Tenaga Kerja
Suku Bunga Kredit
Sektor Ekonomi
Shift Share (SS)
Multiple Regression
Kesempatan Kerja
Distribusi Pendapatan
Pertumbuhan Nasional
Bauran Industri
Location Quotient (LQ)
Keunggulan Kompetitif
Kesempatan Kerja Absolut
Kebijakan Pembangunan pada Sektor yang Menyerap Tenaga Kerja Tinggi
Kesejahteraan Masyarakat
Keterangan : Alur Analisis Alur Teoritis Indikator Sasaran Kebijakan Metode Analisis Variabel Penelitian
Gambar 6 Alur Kerangka Pemikiran
Sektor Basis
62
Untuk selanjutnya, perlu adanya kebijakan pemerintah daerah mengenai program pembangunan pada sektor yang menyerap tenaga kerja tinggi sebagai implementasi pelaksanaan otonomi daerah dalam merespon analisis yang terkait dengan paparan di atas untuk melakukan tidakan nyata untuk mencapai kesejahtearaan masyarakat seperti yang telah diamanatkan dalam konstitusi.
63