II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taman Nasional sebagai Destinasi Wisata Saat ini ekowisata diartikan secara beragam, diantaranya oleh Fennell (2003), mendefinisikan ekowisata sebagai bentuk wisata berbasiskan sumber daya alam secara berkelanjutan dengan fokus utama pengalaman dan pengetahuan dari alam, etika dalam mengelola alam yang berdampak negatif rendah, tidak konsumtif, berorientasi pada kepentingan masyarakat lokal. Memperhatikan kekhasan sebuah kawasan alami, berkontribusi terhadap konservasi dan kawasan lindung. Yoeti (2000), mendefinisikan ekowisata sebagai suatu jenis pariwisata yang kegiatannya semata-mata menikmati aktivitas yang berkaitan dengan lingkungan alam dengan segala bentuk kehidupan dalam kondisi apa adanya dan kecenderungan sebagai ajang atau sarana lingkungan bagi wisatawan dengan melibatkan masyarakat sekitar kawasan proyek ekowisata. Wood
(2002),
menjelaskan
bahwa
ekowisata
adalah
perjalanan
bertanggunjawab pada suatu tempat alami dengan berprinsipkan konservasi dan pelestarian lingkungan serta pelibatan masyarakat setempat. Dari berbagai definisi ekowisata yang ada saat ini, penelitian ini mengunakan pengertian ekowisata yang jelaskan dalam Pedoman Umum Pengembangan Ekowisata Daerah, di mana ekowisata didefinisikan sebagai suatu model pengembangan wisata yang bertanggung jawab di daerah yang masih alami atau di daerah-daerah yang dikelola secara kaidah alam dimana tujuannya selain untuk menikmati keindahannya, juga melibatkan unsur pendidikan, pemahaman, dan dukungan terhadap usaha-usaha konservasi sumber daya alam dan meningkatkan pendapatan masyarakat setempat (Depdagri, 2000). Menurut Gunn (1994), suatu kawasan dikembangkan untuk tujuan wisata karena terdapat atraksi yang merupakan komponen dari suplai. Atraksi merupakan alasan terkuat untuk perjalanan wisata, bentuknya dapat berupa ekosistem, tumbuhan langka atau satwa langka. Atraksi biasanya adalah hasil dari pengembangan dan pengelolaan. Atraksi terdapat di daerah pedesaan (rural) dan
perkotaan (urban), keadaan di kedua tempat tersebut sangat berbeda. Daerah pedesaan menyajikan suatu atraksi yang tebih tenang dan alami, sedangkan daerah perkotaan menyediakan atraksi yang tebih berupa budaya dan hasilnya, seperti sungai kota, museum, dan sebagainya. Kawasan wisata tergantung pada sumberdaya alami dan budaya, dimana distribusi dan kualitas dari sumberdaya ini dengan
kuat
mendorong
pengembangan
wisata.
Bentuk-bentuk
wisata
dikembangkan dan direncanakan berdasarkan hal berikut: a. Kepemilikan (ownership) atau pengelola areal wisata tersebut yang dapat di kelompokkan ke tiga sektor yaitu badan pemerintah, organisasi nirlaba, dan perusahaan komersial. b. Sumberdaya (resource), yaitu: alam (natural) atau budaya (cultural). c. Perjalanan wisata/lama tinggal (longstay) d. Tempat kegiatan yaitu di datam ruangan (indoor) atau di luar ruangan (outdoor) e. Wisata utama/wisata penunjang (primary/secondary) f. Daya dukung (carrying capacity) tapak dengan tingkat penggunaan pengunjung yaitu: intensif, semi intensif, dan ekstensif.
Sedangkan menurut Western (1993) dalam Lindberg (1995), bahwa ekowisata adalah hal tentang menciptakan dan memuaskan suatu keinginan tentang alam, tentang eksploitasi potensi wisata untuk konservasi dan pembangunan dan tentang mencegah dampak negatif terhadap ekologi, kebudayaan dan keindahan. MacKinnon (1993) mengutarakan bahwa taman nasional adalah kawasan alami dan berpemandangan indah yang dilindungi atau dikonservasi secara nasional atau intemasional serta memiliki manfaat bagi ilmu pengetahuan, pendidik-an dan rekreasi. Kawasan tersebut relatif luas, materinya tidak diubah oleh kegiatan manusia serta pemanfaatan sumberdaya tambang tidak diperkenankan. Taman nasional merupakan salah satu bentuk dari kawasan yang dilindungi. Ciri taman nasional adalah :
a. Adanya karakteristik atau keunikan ekosistem b. Terdapat spesies tertentu yang endemik, terancam punah atau langka c. Merupakan tempat yang memiliki keanekaragaman spesies d. Terdapat lanskap atau daerah yang bergeofisik dengan nitai estetik seperti glasier, mata air panas, dan lainnya e. Berfungsi sebagai perlindungan hidrologi, air tanah, dan iklim f. Memiliki fasilitas untuk wisata atam g. Terdapat tempat peninggalan budaya.
Undang-undang Republik Indonesia No. 5 tahun 1990 bab 1 ayat 14 menyatakan
taman nasional adalah suatu kawasan pelestarian alam yang
mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang untuk
tujuan
penelitian,
ilmu
pengetahuan,
dimanfaatkan
pendidikan, menunjang
budidaya, pariwisata, dan rekreasi (Dephut, 1990). Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.56/Menhut-II/2006 tentang zonasi taman nasional menyebutkan bahwa Zonasi taman nasional adalah suatu proses pengaturan ruang dalam taman nasional menjadi zona-zona, yang mencakup kegiatan tahap persiapan, pengumpulan dan analisis data, penyusunan draft rancangan zonasi, konsultasi publik, perancangan, tata batas dan penetapan, dengan mempertimbangkan kajian-kajian dari aspek-aspek ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Sedangkan zona pemanfaatan Taman Nasional adalah Zona pemanfaatan adalah bagian taman nasional yang letak, kondisi dan potensi alamnya yang terutama dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan kondisi/jasa lingkungan lainnya. Sedangkan Zona tradisional adalah bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam (Dephut, 1996). Selanjutnya dijelaskan oleh MacKinnon (1993) bahwa kawasan yang dilindungi seperti taman nasional, dapat memberikan kontribusi yang banyak pada pengembangan wilayah dengan menarik wisatawan ke wilayah pedesaan. Kawasan yang dilindungi memiliki daya tarik yang besar bagi banyak negara tropika,
mendatangkan keuntungan ekonomi yang berarti bagi negara dan dengan perencanaan yang benar dapat bermanfaat bagi masyarakat lokal. Berabagai kawasan taman nasional yang tersebar di Indonesia tak pelak lagi merupakan modal fisik yang paling siap pakai untuk pengembangan ekowisata, karena memiliki keindahan dan keankaragaman hayati sumber daya alam yang ada di dalamnya ( Hani, 2000). Menurut Fandeli (2000), bahwa destinasi yang diminati wisatawan dalam penyelenggaraan ekowisata adalah daerah alami. Kawasan konservasi sebagai obyek daya tarik wisata dapat berupa Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Wisata dan Taman Buru. Tetapi kawasan hutan yang lain seperti hutan lindung dan hutan produksi bila memiliki obyek alam sebagai daya tarik ekowisata dapat dipergunakan pula untuk pengembangan ekowisata. Area alami suatu ekosistem sungai, danau, rawa, gambut, di daerah hulu atau muara sungai dapat pula dipergunakan untuk ekowisata. Pendekatan yang harus dilaksanakan adalah tetap menjaga area tersebut tetap lestari sebagai areal alam. Kegiatan utama ekowisata tertumpu pada usaha-usaha pelestarian sumber daya alam/budaya sebagai objek wisata yang dapat dijadikan sumber ekonomi yang berkelanjutan, dikelola secara adil dan bijaksana bagi bangsa dan negara. Ekowisata seharusnya merupakan falsafah/filosofi dasar bagi pengembangan kepariwisataan yang berkelanjutan (Soedarto, 1999). Menurut WTO (2004), bahwa prinsip wisata berkelanjutan adalah berhubungan dangan segi lingkungan, ekonomi, sosial budaya dari sebuah pengembangan wisata serta keseimbangan ketiga faktor tersebut. Pembangunan berkelanjutan dalam kontek wisata adalah pembangunan wisata yang memelihara areal wisata yang terdiri dari lingkungan dan masyarakat setempat (Tosun, 2001). Selanjutnya dijelaskan dalam WTO (2004), bahwa wisata berkelanjutan harus mengikuti prinsip-prinsip :
a. Membuat penggunaan sumber daya alam dan lingkungan secara optimal. b. Peduli terhadap sosial budaya masyarakat setempat. c. Menjamin kehidupan, penyenyelenggaraan ekonomi berjangka panjang, mendapatkan keuntungan sasoal ekonomi bagi semua stakeholder.
2.2. Konsep Ekowisata Berdasarkan Pedoman Pengembangan Ekowisata Daerah (Depdagri, 2000), di jelaskan bahwa ekowisata merupakan perpaduan antara berbagai minat yang tumbuh dari keprihatinan lingkungan, ekonomi dan sosial. Karena itu ekowisata dikatakan sebagai perjalanan yang bertanggungjawab karena merupakan suatu komitmen yang kuat terhadap konservasi sumber daya alam dan keserasian sosial. Dari pengertian tersebut kegiatan ekowisata selalu terkait dengan berbagai dukungan upaya, yaitu : a. Dukungan ekowisata bagi konservasi sumber daya alam b. Dukungan ekowisata bagi pemberdayaan masyarakat c. Dukungan ekowisata bagi pengembangan ekonomi berkelanjutan Selanjutnya dijelaskan di dalam Pedoman Pengembangan Ekowisata Daerah (Depdagri, 2000) bahwa dalam pelaksanaannya, kegiatan ekowisata harus dapat melibatkan peran serta masyarakat (community based development) mulai dari tahap perencanaan, pengelolaan dan kepemilikannya. Masyarakat harus diperlakukan sebagai subjek pembangunan. Dengan demikian, kegiatan ekowisata diharapkan akan mampu mengupayakan keuntungan finansial sekaligus sebagai alternatif peningkatan taraf hidup masyarakat. Sehingga akan tumbuh rasa memiliki terhadap sumber daya alam yang dimanfaatkan untuk ekowisata.
2.3. Perencanaan Ekowisata Inskeep (1991), mendefinisikan perencanaan sebagai upaya mengorganisir sesuatu
dimasa yang akan datang
untuk mencapai hasil tertentu.
Proses
perencanaan pada dasarnya harus mengikuti beberapa langkah yaitu studi pendahuluan, penentuan sasaran pengembangan, survei dan inventarisasi situasi yang ada (existing condition) dan karakteristik areal pengembangan, melakukan
analisis dan sintesis, membuat formulasi rencana, membuat rekomendasi, implementasi kegiatan dan monitoring terhadap pelaksanaan kegiatan. Ditjen PKKH (2001), memberikan kriteria dalam tahap perencanaan dalam pengembangan ekowisata di Taman Nasional dalam rangka pengendalian kerusakan keanekaragaman hayati di Taman Nasional dan Taman Wisata Alam. Perencanaan merupakan tahap awal dari pengembangan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Antisipasi dan regulasi dari peubahan yang akan terjadi dalam suatu sistem yang akan dikembangkan, dirancang atau disusun dalam perencanaan. Hal ini dilakukan dengan harapan bahwa pengembangan dapat meningkatkan keuntungan sosial, ekonomi dan lingkungan bagi setiap pelakunya. Proses perencanaan diharapkan terpadu, melibatkan semua pihak dan mengacu kepada rencana pengembangan lokal, regional dan nasional. Adapun kriteria yang perlu diperhatikan pada tahap perencanaan ini meliputi : a. Rencana pengembangan ekowisata harus mengacu pada rencana pengelolaan kawasan. b. Memperhatikan kondisi ekologi/lingkungan. c. Memperhatikan daya tarik, keunikan alam dan prospek pemasaran daya tarik tersebut. d. Memperhatikan kondisi sosial, budaya dan ekonomi. e. Tata Ruang f. Melakukan analisis potensi dan hambatan yang meliputi analisis terhadap potensi sumberdaya dan keunikan alam, analisis usaha, analisis dampak lingkungan, analisis ekonomi, analisis sosial dan analisis pemanfaatan ruang. g. Menyusun Rancang Tindak Terintegrasi atas dasar analisis yang telah dilakukan. h. Melakukan konsultasi publik terhadap rencana yang akan dikembangkan. Prinsip-prinsip umum dari perencanaan kawasan rekreasi alam (Gold 1980), yaitu: 1. Semua orang harus dapat melakukan aktivitas dan memakai fasilitas rekreasi 2. Rekreasi harus dikoordinasikan dengan kemungkinan-kemungkinan rekreasi lain yang sama untuk menghindari duplikasi
3. Rekreasi harus berintegrasi dengan pelayanan umum lain seperti kesehatan, pendidikan dan transportasi 4. Fasilitas-fasilitas harus dapat beradaptasi dengan permintaan di masa yang akan datang. 5. Fasilitas dan program-programnya secara finansial harus dapat dikerjakan. 6. Penduduk sekitar harus dilibatkan dalam proses perencanaan 7. Perencanaan lokal dan regional harus berintegrasi. 8. Perencanaan harus merupakan proses yang berkelanjutan dan membutuhkan evaluasi. 9. Fasilitas dan pemanfaatan lahan seefektif mungkin untuk ketersediaan sarana kesehatan, keamanan dan kenyamanan penggunanya, merupakan contoh desain yang positif serta suatu bentuk kepedulian terhadap manusia.
Perencanaan lanskap yang baik menurut Simonds (1983) harus melindungi badan air dan menjaga air tanah, mengkonservasi hutan dan sumber mineral, menghindari erosi, menjaga kestabilan iklim, menyediakan tempat yang cukup untuk rekreasi dan suaka margasatwa, serta melindungi tapak yang memitiki nilai keindahan dan ekologi. Proses perencanaan meiiputi tahapan riset, analisis, sintesis, serta pembangunan dan operasional hasil perencanaan. Riset terdiri dari survei dan pengumpulan data lainnya. Sedangkan analisis dilakukan pada tapak, meninjau peraturan pemerintah, peluang, hambatan, dan program pengembangan. Sintesis yang dilakukan mengacu pada dampak implementasi metoda. Kegiatan pembangunan dan operasional meiiputi juga observasi pada hasil perencanaan. Model yang diutarakan oleh Kiemstedt (1967), diacu dalam Gunn (1994) adalah dengan melakukan pengukuran dan memetakan 3 (tiga) set faktor untuk menetapkan area terbaik yang sesuat untuk pengembangan rekreasi. Faktorfaktor tersebut meliputi faktor fisik, fasilitas yang tersedia, serta keadaan budaya dan alam dari suatu region. Setiap set faktor diringkas menjadi sebuah indeks atraksi. Prosesnya meliputi beberapa langkah awal yaitu mengukur subkomponen yang berkaitan dengan lokasi dimana fungsi atraksi, nilai atraksi
dari setiap peubah dihitung. Kemudian dilakukan overlay peta sehingga dapat dilihat area dengan kategori yang tertinggi dari semua komponen maka merupakan yang paling tinggi atraksinya dan selanjutnya ditetapkan untuk dikembangkan. Gunn (1994) mengutarakan bahwa perencanaan untuk wisata harus dilakukan pada tiga skala.
Pertama adatah skala tapak (site scale), yang telah
banyak dilakukan pada tapak dengan luasan tertentu seperti pada resor, marina, hotel, taman dan tapak wisata lainnya. Skala kedua adalah tujuan (destination scale), dimana atraksi-atraksi wisata dikaitkan dengan keberadaan masyarakat sekitar, pemerintah daerah, dan sektor swasta juga dilibatkan. Skala ketiga adalah
wilayah,
atau
bahkan
suatu
negara (regional
scale), dimana
pengembangan lebih terarah pada kebtjakan tata guna lahan yang terkait dengan jaringan transportasi, sumberdaya yang harus dilindungi dan dikembangkan sebagai daerah yang sangat potensial. Dalam perencanaan kawasan wisata dengan teknologi komputer
menggunakan program sistem informasi geografis akan
diperoleh peta yang memperlihatkan sumberdaya yang paling sesuai bagi kegiatan wisata. Selanjutnya hasil dari proses penentuan ini akan dapat membantu pembuat kebijakan (policy makers) untuk membuat perencanaan wisata secara lebih lokal. Pembuat kebijakan dalam hal ini pemerintah membuat suatu kebijakan dan peraturan yang menentukan mekanisme yang membantu terwujudnya kerjasama dan integrasi antara badan-badan yang bergerak didalam penentuannya yaitu masyarakat dan pihak swasta. Menurut Gunn (1997),
aspek lain yang cukup penting dalam
pengembangan atraksi wisata
adalah areal terbuka yang memuat pusat
pelayanan seperti pelayanan jasa transportasi, penginapan, penyediaan makanan, pertunjukan/entertainment, sarana komunikasi dan sarana berbelanja.
2.4. Taman Nasional dan Masyarakat Setempat Keberhasilan pengelolaan banyak tergantung pada kadar dukungan dan penghargaan yang diberikan kepada kawasan yang dilindungi oleh masyarakat sekitarnya. Di tempat di mana kawasan yang mana kawasan dilindungi dipandang
sebagai penghalang, penduduk setempat dapat menggagalkan pelestarian. Tetapi bila pelestarian dianggap sebagai suatu yang positif manfaatnya, penduduk setempat sendiri yang akan bekerjasama dengan pengelola dalam melindungi kawasan itu dari pengembangan yang membahayakan (MacKinnon,1993). Menurut Rahardjo (2005), bahwa pengembangan ekowisata semestinya tidak semata dipandang sebagai sebuah aktifitas pembangunan yang biasa saja. Ekowisata semestinya dikembangkan dalam kerangka pemberdayaan masyarakat lokal. Dengan demikian ekowisata akan menjadi piranti demokratisasi dalam pengelolaan sumberdaya alam sekaligus sebagai bentuk apresiasi terhadap kekayaan yang dimiliki oleh masyarakat lokal. Berbagai definisi tentang ekowisata pada umumnya menekankan bahwa kegiatan ekowisata bertanggung jawab kepada lingkungan, memiliki kepedulian terhadap budaya masyarakat masyarakat lokal
serta memberikan tambahan pendapatan bagi
dengan melibatkannya dalam penyelenggaraan
kegiatan
ekowisata tersebut (Scheyvens, 1999).
2.5. Interpretasi Lingkungan Menurut Istanto dan Priatna (2001), interpretasi adalah suatu metode komunikasi yang bertujuan untuk menjelaskan kepada pengunjung dan yang lainnya tentang suatu objek atau potensi kawasan dengan karakteristik dan keterkaitannya, agar mereka dapat memahami lebih dalam tentang objek atau potensi dimaksud sehingga tumbuh pemahaman, kesadaran, keinginan untuk ikut melindungi dan melestarikannya. Sedangkan menurut Crabtree (2001), bahwa interpretasi menggunakan dan menyediakan informasi. Bagaimana fakta itu dapat akurat dan dapat menarik sangat tergantung pada interpretasi. Sekartjakrarini (2003) menjelaskan bahwa konsekuensi dari pengembangan interpretasi sebagai suatu produk (kegiatan dan fasilitas pelayanan) adalah diperlukannya suatu ruang/tapak untuk mewujudkannya. Terkait dengan tujuan dan teknik penyajian interpretasi, program interpretasi yang dikembangkan harus mempertimbangkan :
a. Potensi objek dan daya tarik pariwisata kawasan. b. Teknik pengemasan. c. Ketersediaan sarana dan prasaran pendukung.
2.6. Daya Dukung Kawasan Menurut Nurisyah et al (2003), bahwa salah satu model pendekatan untuk mempertahankan kelestarian, keberadaan atau optimalisasi manfaat dari suatu sumber daya alam, sumber daya lanskap dan lingkungan yaitu dengan melakukan pendekatan atau penilaian terhadap daya dukung atau carrying capacity. Menurut Wilkinson (1990), bahwa secara konprehensif definsi carring capacity terdiri dari empat elemen : a. Daya dukung fisik b. Daya dukung lingkungan c. Daya dukung fasilitas d. Daya dukung sosial
Carrying capacity diakui memiliki tiga komponen yaitu fisik, sosial dan ekologi. Kapasitas fisik yaitu jumlah pengunjung dalam satu unit kunjungan. Daya dukung sosial adalah jumlah pengunjung dalam suatu areal yang dapat ditampung tanpa menimbulkan dampak negatif. Sedangkan daya dukung ekologi adalah kemampuan lingkungan untuk mengatasi gangguan yang menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan tersebut (Dearden, 1997).
2.7. Sistem Informasi Geografis Rahmad Husein (2006) menjelaskan bahwa Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan komputer yang berbasis pada system informasi yang digunakan untuk memberikan bentuk digital dan analisa terhadap permukaan geografi bumi. Alasan SIG dibutuhkan adalah karena untuk data spasial penanganannya sangat sulit terutama karena peta dan data statistik cepat kadaluarsa. Berikut adalah dua keistimewaan analisa melalui Sistem Informasi Geografis (SIG) yakni:
a. Analisa Proximity Analisa Proximity merupakan suatu geografi yang berbasis pada jarak antar layer. Dalam analisis proximity SIG menggunakan proses yang disebut dengan buffering (membangun lapisan pendukung sekitar layer dalam jarak tertentu untuk menentukan dekatnya hugungan antara sifat bagian yang ada. b. Analisa overlay Proses integrasi data dari lapisan-lapisan layer yang berbeda disebut dengan overlay. Secara analisa membutuhkan lebih dari satu layer yang akan ditumpang susun secara fisik agar bisa dianalisa secara visual.
Sedangkan menurut Jaya (2002), bahwa buffer atau penyengga adalah suatu wilayah (zona) dari suatu jarak tertentu di sekitar tentitas fisik seperti titik, garis atau poligon. Pembuatan wilayah penyangga (buffer) adalah suatu teknik yang dengan menggambarkan lebar batas di sekitar feature titik atau garis, buffer dapat dikelompokkan atas 3 (tiga) macam yaitu buffer titik (point buffer), buffer garis (line buffer) dan buffer poligon (polygon buffer).